PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/TRI...

141
PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR ATAS PERSETUJUAN KORBAN (Studi Putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt) SKRIPSI Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto Oleh : Tri Pujiati E1A109074 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKUTAS HUKUM PURWOKERTO 2013

Transcript of PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN …fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/TRI...

i

PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN

DI BAWAH UMUR ATAS PERSETUJUAN KORBAN

(Studi Putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt)

SKRIPSI

Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

Oleh :

Tri Pujiati

E1A109074

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKUTAS HUKUM

PURWOKERTO

2013

ii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

PERANAN KORBAN DALAM TINDAK PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN

DI BAWAH UMUR ATAS PERSETUJUAN KORBAN

(Studi Putusan Nomor 93/Pid.B/PN.Pwt)

Oleh

TRI PUJIATI

E1A109074

Untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Purwokerto

Diterima dan disahkan

Pada tanggal, Mei 2013

Pembimbing I

Dr. Kuat Puji P, S.H, M.Hum

NIP. 19650829 199002 1 002

Pembimbing II

Dr. Setya Wahyudi, S.H. M.H

NIP. 19610527 198702 1 001

Penguji

Dr. Budiono, S.H. M.Hum

NIP. 19631107 198901 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Dr. Angkasa, S.H. M.Hum

NIP. 19640923 198901 1 001

ii

iii

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertanda tangan di bawah ini:

a. Nama : TRI PUJIATI

b. NIM : E1A109074

c. Angkatan : 2009

d. Program studi : Ilmu Hukum

e. Lingkup bagian : Hukum Pidana

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan

hasil karya saya bukan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya

akui sebagai tulisan atau pikiran saya.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini,

hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi seseuai dengan ketentuan

yang berlaku.

Purwokerto, Mei 2013

Yang Membuat Pernyataan

Tri Pujiati

iii

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Peranan Korban

dalam Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan

Korban (Studi Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN. Pwt).” Sripsi ini disusun guna

memenuhi tugas akhir sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana

Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam proses penulisan

skripsi ini. Namun berkat adanya bimbingan, dorongan, dan bantuan dari berbagai

pihak, sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Maka dalam kesempatan

ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. Angkasa, S.H., MH selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, atas kebijaksanaannya yang secara tidak langsung telah membantu

penulis.

2. Bambang Heryanto, S.H., MH selaku Dosen Pembimbing Akademik, atas

bimbingan dan motivasi yang telah diberikan kepada penulis.

3. Dr. Kuat Puji Prayitno, S.H, M.Hum selaku Dosen Pembimbing I, atas segala

bimbingan dan masukan yang telah diberikan kepada penulis.

4. Dr. Setya Wahyudi, S.H, M. H selaku Dosen Pembimbing II, atas segala

bimbingan, motivasi dan kesabarannya membimbing penulis.

iv

v

5. Dr. Budiono, S.H, M.Hum selaku Dosen Penguji, atas segala masukan, dan

saran terhadap skripsi penulis.

6. Segenap Dosen, Staff pengajar dan civitas akademik Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman yang telah memberikan bekal ilmu

pengetahuan serta bimbingan yang diberikan selama studi penulis.

7. Keluarga tercinta, yang telah memberikan bimbingan, kasih sayang, dukungan

moriil maupun materiil, serta doa yang sangat tulus sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan lancar.

8. Teman-Teman Paralel Hukum. Terimakasih atas kebersamaan dan doa dari

kalian semua. Semua pihak-pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu

yang telah membantu hingga terselesaikannya penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih terdapat

kekurangan, dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis mohon maaf

atas segala kesalahan dan kekurangan. Dengan segala keterbatasan penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang

berkepentingan.

Purwokerto, Mei 2013

Tri Pujiati

v

vi

ABSTRAK

Penelitian ini mengambil judul “Peranan Korban Dalam Tindak Pidana

Melarikan Perempuan Di Bawah Umur Atas Persetujuan Korban” (Studi Putusan

Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt). Permasalahan pada penelitian ini adalah

bagaimana peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan dibawah

umur serta bagaimana penerapan hukum pidana dalam tindak pidana melarikan

perempuan di bawah umur atas persetujuan korban.

Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan

adalah yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder dan wawancara

sebagai penunjang data sekunder. Data disajikan dalam bentuk uraian yang di

susun secara sistematis dengan analisis kualitatif.

Peranan korban dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa

tindakan kejahatan yang dilakukan oleh pelaku memang dikehendaki oleh si

korban untuk terjadi,dapat dikatakan bahwa, Korban sama salahnya dengan

pelaku dan korban sukarela, pelaku dalam hal ini dengan sengaja mengajak pergi

korban dan korban menyetujui ajakan dari pelaku untuk pergi, inisiatif dari pelaku

dan korban terbentuk melalui komunikasi yang dilakukan sebelumnya, yaitu

melalui pesan singkat dan Blackberry messenger. Korban juga tidak hati-hati

dalam berperilaku bahwa korban yang sebelumnya belum pernah bertemu dengan

pelaku akan tetapi menyetujui untuk pergi bersama. Berdasarkan teori Schafer,

korban termasuk dalam tipologi Precipitative Victim, artinya korban yang tidak

hati-hati dalam berperilaku, sehingga mendorong pelaku untuk melakukan

kejahatan . Perilaku korban tersebut mendorong pelaku untuk melakukan tindak

pidana melarikan perempuan di bawah umur.

Penerapan hukum pidana pada putusan nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt

telah mendasarkan pada perbuatan yang memenuhi syarat tertentu dan pidana.

Pertimbangan Hakim juga mendasarkan pada hal-hal yang memberatkan dan yang

meringankan. Salah satu aspek yang bersifat meringankan sanksi pemidanaan

adalah aspek tentang kesalahan dari korban yang sama dengan pelaku hal tersebut

menjadi bagian dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana. Peranan

korban secara implisit menjadi pertimbangan yang meringankan sanksi

pemidanaan.

Kata kunci: Peranan korban, Tindak pidana melarikan perempuan, Penerapan

hukum pidana

vi

vii

ABSTRACT

This study took the title "The Role of Crime Victims In Woman Run Over

Agreement Underage Victims" (Study of Decision Number:

93/Pid.B/2012/PN.Pwt). Problem in this study is how the role of the victim in

criminal escape underage girls as well as how the application of criminal law in a

criminal offense underage girls ran over the victim's consent.

To discuss these issues, the method used is normative, the data sources are

secondary data and interviews as supporting secondary data. Data presented in

the form of a description in stacking systematically with qualitative analysis.

The role of the victim in the case Number: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt that the

crimes committed by the offender is desired by the victim to happen, it can be said

that, just as wrong as victim and perpetrator voluntary victim, the perpetrator in

this case with deliberately took away the victim and the victim agreed to go

solicitation of actors, initiatives of the perpetrator and the victim are formed

through communications made before, namely through short messages and

Blackberry messenger. Victims also are not careful in their behavior that the

victim had not previously met with the perpetrator but agreed to go along. Based

of the theory of Schafer, victims are included in the typology Precipitative

Victim, meaning that victims who are not careful in their behavior, thus

encouraging the perpetrator to commit the crime. Encourages the behavior of the

victims of crime get underage girls.

Application of criminal law in the decision number:

93/Pid.B/2012/PN.Pwt was based on acts that meet certain requirements and

criminal. The judge also based his judgment on things that aggravating and

mitigating. One aspect that is easing sanctions on the aspect of punishment is the

fault of the victim with the same actors that become part of the role of the victim

in the crime. The role of victim implicitly into consideration that mitigates

criminal sanctions.

Keywords: The role of victims, women run offenses, Application of criminal law

vii

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN .................................................................. ii

HALAMAN PERNYATAAN .................................................................. iii

KATA PENGANTAR .............................................................................. iv

ABSTRAK ................................................................................................ vi

ABSTRACT .............................................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................. viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1

B. Perumusan Masalah ............................................................. 4

C. Tujuan Penelitian ................................................................. 4

D. Kegunaan Penelitian ............................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Peranan Korban .................................................................... 6

B. Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah umur atas

Persetujuan Korban

1. Pengertian Tindak Pidana ............................................. 16

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ......................................... 20

2.1 Barangsiapa ............................................................. 25

2.2 Melarikan Perempuan di Bawah Umur .................. 25

viii

ix

2.3 Tanpa Dikehendaki oleh Orang tua atau Walinya

tetapi atas Persetujuan Korban ................................ 28

2.4 Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau

tanpa perkawinan ..................................................... 30

C. Pidana dan Pemidanaan

1. Pengertian Pidana ......................................................... 31

2. Pengertian Pemidanaan ................................................. 34

3. Teori dan Tujuan Pemidanaan ...................................... 37

4. Jenis-jenis Pidana .......................................................... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Metode Pendekatan .............................................................. 52

B. Spesifikasi Penelitian ........................................................... 53

C. Lokasi Penelitian .................................................................. 54

D. Sumber Data ........................................................................ 54

E. Metode Pengumpulan Data .................................................. 54

F. Metode Penyajian Data ........................................................ 54

G. Metode Analisis Data ........................................................... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian .................................................................... 56

B. Pembahasan

1. Peranan Korban dalam Tindak Pidana Melarikan

Perempuan di Bawah umur atas Persetujuan Korban ... 75

ix

x

2. Penerapan Hukum Pidana dalam menentukan

lamanya penjatuhan Pidana .......................................... 86

BAB V PENUTUP

A. Simpulan .............................................................................. 127

B. Saran .................................................................................... 128

DAFTAR PUSTAKA

x

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia pada saat ini sedang mengadakan pembangunan jasmaniah

maupun rohaniah. Semua warga negara dan pemerintah ikut serta bersama-

sama dalam pembangunan khususnya dalam pembangunan hukum. Tujuan

dari negara hukum adalah menciptakan hukum yang memberikan keadilan,

kepastian dan kemanfaatan. Dalam berkehidupan pasti ada suatu kejahatan

(crimen) yang membuat resah masyarakat, dan itu merupakan sebagai

kenyataan sosial yang tidak dapat dihindari dan akan selalu ada.1 Kriminalitas

menimbulkan keresahan, karena kriminalitas dianggap sebagai suatu

gangguan terhadap kesejahteraan masyarakat, dari tindak kejahatan tersebut

menimbulkan korban.

Masalah hubungan penjahat dengan korban bukanlah merupakan

masalah yang baru, hanya saja, selama berabad-abad merupakan salah satu

subjek yang paling diabaikan dalam studi mengenai kejahatan dan dalam

pelaksanaan keadilan pidana.2 Dalam studinya tentang antar hubungan

pembuat kejahatan dan korban, Mendelsohn memperkenalkan masalah

kriminogen komplek untuk menyebut keseluruhan faktor kejahatan yang

berarti keseluruhan faktor yang memperhatikan sisi pembuat kejahatan dan

korbannya. Selama berabad-abad aspek pembuat kejahatan (penjahat)

1 Arif Gosita, 1983, Masalah Korban Kejahatan, Penerbit Akademika Pressindo,

Jakarta, Hal. 1 2 Ibid., hal. 40

2

mempunyai perhatian yang utama di bandingkan aspek masalah korban.

Padahal keduanya merupakan dua aspek yang sangat penting. Pembuat

kejahatan (penjahat) merupakan orang yang memunculkan satu tindakan

kejahatan,3 dan korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan

rohaniah sebagai akibat dari tindakan orang lain yang mencari pemenuhan

kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan

kepentingan dan hak asasi yang menderita.4 Korban tidak hanya sebab dan

dasar proses terjadinya kriminalitas akan tetapi korban memiliki peranan

penting dalam usaha untuk mengerti masalah kejahatan, delikuensi dan

deviasi. 5

Dalam buku “The Criminal and his Victim” von Hentig menunjukan

bahwa dalam kejahatan-kejahatan tertentu korban mempunyai peranan yang

penting dalam terjadinya kejahatan.6 Banyak kasus yang terjadi sekarang ini,

anak yang masih berusia di bawah umur dibawa lari oleh laki-laki yang sudah

dewasa tanpa ijin dari orang tuanya.

Salah satunya yaitu kasus yang terjadi di wilayah Pengadilan Negeri

Purwokerto. Bahwa ada seorang anak di bawah umur yang berinisial DVD

yang masih berusia 17 tahun, dibawa lari oleh laki-laki yang telah berusia

dewasa, yaitu MOCHAMMAD YUSUF SYARIFUDIN. Bahwa pelaku

bersama teman-temannya pada hari Senin tanggal 16 April 2012 pukul 21.00

3 I.S Susanto, 2011, Kriminologi, Penerbit Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, Purwokerto, hal. 22. 4 Dikdik M, Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan. PT RajaGrafindo, Jakarta, hal 46 5 Arief Ghosita, 1983, Op.Cit., hal. 40

6 I.S Susanto, 2011, Op.Cit., hal. 23

3

WIB, menjemput korban DVD di jembatan dekat rumahnya di kelurahan

Kober, Kecamatan Purwokerto Barat, atas permintaan dari korban.

Kemudian korban dijemput dengan mobil Avanza.

Setelah dijemput, korban pergi bersama pelaku dan teman-temannya

ke kost di depan SMP 9 Purwokerto. Selanjutnya mereka pergi ke Cheers

Cafe sekitar pukul 24.00 WIB. Di sana korban diajak minum-minuman keras

hingga mabuk, dan korban juga diberi sejenis obat penenang, sehingga ia

tidak sadarkan diri. Sampai akhirnya ibunya datang ke kost di depan SMP 9

Purwokerto, dan ia mendapati anaknya sedang tertidur sekamar dengan

pelaku dalam keadaan tidak sadarkan diri dan orang tua korban membawanya

pulang.

DVD dalam kedudukan tesebut adalah sebagai korban (victim) dari

suatu tindak kejahatan. Kedudukan korban dalam suatu tindak pidana

memang seharusnya dilindungi, akan tetapi ada kalanya korban berkaitan erat

dengan terjadinya tindak pidana. Dalam hal ini selain aspek pembuat

kejahatan diperhatikan juga aspek tentang korban. Kepribadian, dan interaksi

antara korban dan pelaku kejahatan membuka jalan bagi pelaku untuk

melaksanakan niat jahatnya. Seperti pada kasus yang terjadi pada putusan

pengadilan nomor 93/Pid. B/2012/PN. Pwt

Dari latar belakang dan studi kasus di atas, penulis mempunyai

ketertarikan terhadap peranan korban dalam tindak pidana melarikan anak

perempuan di bawah umur atas persetujuan korban, dan masalah penerapan

hukum pidana dalam menentukan tinggi rendahnya pidana dalam perkara ini.

4

Atas dasar itulah penulis tertarik untuk mengadakan penelitian guna

menyusun skripsi dengan Judul “PERANAN KORBAN DALAM TINDAK

PIDANA MELARIKAN PEREMPUAN DI BAWAH UMUR ATAS

PERSETUJUAN KORBAN” (Studi Putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt).

B. Perumusan Masalah

Dari uraian di atas dapat dirumuskan permasalahan

1. Bagaimana peran korban dalam terjadinya tindak pidana melarikan

perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dalam putusan nomor

93/Pid. B/2012/PN.Pwt ?

2. Bagaimana penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana melarikan

perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dalam putusan nomor

93/Pid.B/2012/PN.Pwt ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis tentang perananan korban dalam terjadinya tindak

pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban.

2. Untuk mengetahui penerapan hukum pidana terhadap tindak pidana

melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban dan

menganalisis tentang pertimbangan hukum dari hakim dalam menentukan

tinggi rendahnya pidana.

5

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini dilakukan guna memberikan sumbangan pemikiran bagi

pengembangan ilmu hukum khususnya hukum pidana, yang menyangkut

tentang peranan korban dan mekanisme pertimbangan hakim dalam

menjatuhkan tinggi rendahnya hukuman atau pemidanaan dalam perkara

ini.

2. Kegunaan Praktis

Berguna secara praktis bagi penegak hukum dalam memahami kedudukan

korban sebagai sebab dasar terjadinya kriminalitas dalam rangka mencari

kebenaran materiil, dan sebagai dasar pertimbangan untuk menentukan

penjatuhan putusan.

Hal ini berguna secara praktis dalam upaya mengevaluasi dan

menganalisis tentang masalah peranan korban, yang baik secara langsung

atau tidak langsung menyebabkan terjadinya tindak pidana, dan dapat

dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk bertindak hati-hati dalam

menjalankan kehidupannya, karena setiap orang terutama perempuan rentan

menjadi korban dalam tindak pidana.

6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Peranan Korban

Terjadinya kejahatan dipengaruhi oleh banyak faktor. Para kriminolog

secara klasik menjelaskan kejahatan antara lain dari faktor biologi, sosial,

psikologi. Akan tetapi juga ada yang menjelaskan kejahatan ditinjau dari aspek

peranan korban. Bahwa faktor kejahatan tidak hanya dapat dipahami dari sisi

penjahatnya saja tetapi dapat juga dipahami dari sisi korban. Menurut Arief

Ghosita korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai

akibat dari tindakan orang lain yang mencarai pemenuhan kepentingan diri

sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi

yang menderita.7 Mereka di sini dapat berarti individu, atau kelompok baik

swasta maupun pemerintah. Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak

yang paling menderita dalam suatu tindak pidana. Menderitanya korban bisa di

sebabkan murni karena pihak lain, tetapi tidak menutup kemungkinan timbul

karena keterlibatan korban di dalamnya.

Dalam memahami terjadinya suatu kejahatan, terlebih dahulu dapat

dipahami dari aspek peranan korban dalam terjadinya kejahatan. Dalam kajian

viktimologi, terjadinya viktimisasi peranan korban dapat menjadi faktornya.

Artinya korban di pandang dapat memainkan peranan dan menjadi unsur

7 Dikdik M, Arief Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Op.Cit., hal. 46

7

penting dalam terjadinya tindak pidana yang menimbulkan korban atau

viktimisasi.8

Seperti dalam bukunya Franz Werfel berjudul “The Murdered One is

guilty “der Ermoerdete ist schuld yang terkenal, pada intinya isinya

mengatakan bahwa korban sendiri merupakan orang yang banyak

menyebabkan kejahatan.9 Begitu eratnya peranan korban dalam terjadinya

viktimisasi disebabkan karena adanya suatu interaksi terlebih dahulu antara

korban dengan pelaku.

Dalam bukunya Dikdik M, Arif Mansur dan Elisatris Gultom tentang

“Urgensi Perlindungan korban dan kejahatan”, dibahas tentang hubungan

korban kejahatan dan pelaku kejahatan, korban mempunyai peranan yang

fungsional dalam terjadinya suatu kejahatan.10

Perbuatan pelaku dapat

mengakibatkan orang lain menjadi korban, sebagaimana dikemukakan oleh

Samuel Walker bahwa hubungan antara korban dan pelaku, adalah hubungan

sebab akibat. Akibat perbuatan pelaku, yaitu suatu kejahatan dan korban yang

menjadi objek sasaran perbuatan pelaku menyebabkan korban harus menderita

karena kejahatan.11

Begitu pula sebaliknya akibat perbuatan korban

menjadikan ia menjadi sasaran bagi pelaku kejahatan. Sehingga korban

menderita karena kejahatan yang dilakukan oleh pelaku.

Seseorang harus waspada agar ia tidak beresiko untuk menjadi korban.

Resiko korban mengandung suatu pengertian bahwa dalam kondisi dan situasi

8 Iswanto dan Angkasa, 2011, Diktat Kuliah Viktimologi, Fakutas Hukum Universitas

Jendral Soedirman, Purwokerto, hal. 27 9Loc. Cit

10 Dikdik M, Arif Mansur dan Elisatris Gultom, 2006, Op.Cit., hal. 60

11 Loc. Cit

8

tertentu cenderung mudah terjadi viktimisasi. Resiko korban menurut

Separovic terdiri atas:

1. Pesonal, including biological (age, sex, health,-especially mental healt)

Pribadi, disini termasuk faktor biologis (usia, jenis kelamin, kesehatan,

terutama kesehatan jiwa);

2. Social (Society-made victim, immigrants, minorities, occupation, criminal

behaviour, interpersonal relationship).

Sosial (korban produk masyarakat, imigrants, minoritas, pekerjaan, perilaku

kriminal, hubungan antar pribadi);

3. Situational factor (conflict situation, place and time, etch)

Faktor situasional (situasi konflik, tempat, dan waktu, dan lain-lain).12

Steinmetz membedakan 3 (tiga) faktor utama yang mempengaruhi

risiko orang menjadi korban antara lain sebagai berikut:13

a. Attractiveness (kedayatarikan);

Attractiveness secara meluas mengacu pada nilai bagi pelaku tindak pidana

potensial melakukan tindak pidana terhadap objek tertentu, singkatnya ada

sesuatu yang menarik pada diri korban, bagi pelaku kejahatan untuk

melakukan tindak pidana.

b. Proximity (kedekatan);

Faktor ini dibagi menjadi dua yaitu pendekatan sosial dan geografik. Faktor

pertama, berkaitan dengan tingkat hubungan yang dimiliki seseorang

dengan pelaku tindak pidana potensial sebagai akibat dari gaya hidupnya.

12

Iswanto dan Angkasa, 2011, Op.Cit., hal. 30 13

Ibid., hal. 35

9

Yang kedua, berkaitan dengan perbandingan tempat tinggal dan isu

mengenai tindak pidana yang jaraknya sama.

Risiko viktimisasi tersebut diasumsikan lebih besar bagi yang hidup di

dalam atau berdekatan dengan wilayah yang banyak pelaku tindak pidana

potensial. Resiko yang paling besar bagi viktimisasi personal, menurut

faktor proximity adalah bagi orang yang hidup di lokasi tertentu dan pindah

di sekitar lokasi perkotaan dengan cara demikian orang tersebut menjadi

sering berhubungan dengan pelaku tindak pidana potensial.

c. Exposure (keterbukaan).

Faktor exposure diartikan sebagai sejauh mana pelaku tindak pidana

diberikan kesempatan untuk melakukan tindak pidana ketika mereka

berhubungan dengan target yang sangat menarik.

Dengan kita melihat adanya resiko terjadinya viktimisasi tersebut

secara tersirat kita dapat melihat bahwa di dalam suatu tindak pidana tersebut,

setidaknya ada sebab, ada akibat, serta ada peranan korban di dalam tindak

pidana tersebut. Dalam teori Steinmetz bahwa salah satu faktor utama yang

mempengaruhi resiko orang menjadi korban adalah faktor exposure atau

keterbukaan, seseorang yang terbuka cenderung mudah menjadi korban. Di

sanalah ada peranan korban di dalamnya yaitu suatu sikap keterbukaan kepada

orang lain, hal tersebut bisa menjadikan pelaku tindak pidana mencari celah,

kelemahan dari korban untuk melakukan tindak pidana. Dengan celah

kelemahan tersebut mempermudah pelaku tindak pidana untuk melaksanakan

kejahatannya, dan akan beresiko bahwa pelaksanaannya akan berhasil.

10

Pemahaman terhadap hubungan antar penjahat dengan korban akan

memberikan pemahaman yang lebih baik tentang perkembangan dan bentuk

kejahatan, menurut Schafer korban adalah faktor penentu kejahatan, dan

bahwa suatu kerjasama keji sering kali terjadi antara pelaku kejahatan dan

korbannya, kelihatannya hal tersebut tidak masuk akal berdasar hasil

pengumpulan bahan yang ada terdapat indikasi adanya hubungan kolusi

korban-pembuat kejahatan. Dengan demikian, untuk memahami kejahatan

dengan lebih konprehensif dan meluas maka makin penting arti penyelidikan

terhadap keadaan saling mempengaruhi antara berbagai faktor penyebab, yang

nantinya dapat menentukan seberapa besar tingkat kesalahan pelaku dan

tingkat kesalahan korban.

Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat suatu

tipologi korban yang diklasifikasikan menjadi 6 tipe. Tipologi yang dimaksud

adalah sebagai berikut:14

1. The completly innocent victim. Korban sama sekali tidak bersalah oleh

Medelsohn disebut bentuk korban yang “ideal” yang cenderung terjadi pada

anak-anak dan mereka juga tidak menyadari ketika ia menjadi korban.

2. The victim with minor guilt and the victim due to his ignorance. Korban

dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan karena kelalaiannya.

3. The victim as guilty as the offender and voluntary victim. Korban sama

salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh Mendelsohn dibagi

menjadi beberapa sub tipe:

14

Ibid., Hal. 28-29

11

a. Bunuh Diri “Dengan melempar uang logam”

b. Bunuh diri dengan adhesi

c. Euthanasia

d. Bunuh diri yang dilakukan oleh suami istri (misalnya pasangan suami

istri yang putus asa karena salah satu pasangannya sakit).

4. The victim more guilty than the offender. Dalam hal ini korban

kesalahannya lebih besar daripada pelaku.

5. The most guilty victim and the victim as is gulty alone. Korban yang sangat

salah dan korban yang salah sendirian.

6. The simulating victim and the imagine as victim. Korban pura-pura dan

korban imajinasi. Contoh orang yang menderita paranoid, histeria, serta

pikun.

Sebenarnya sulit untuk menentukan tingkat kesalahan korban. Karena

akan sangat tergantung pada berbagai macam faktor. Terutama faktor situasi

dan kondisi. Korban bisa dikatakan sebagai partisipan dalam tindak kejahatan

tersebut. Bentuk partisipan dari korban ada yang bersifat aktif dan pasif.

Berdasarkan teori dari Schafer, bahwa Schafer membagi tipe korban

dalam kategori yang tergantung pada pertanggungjawaban korban. Tipe korban

itu antara lain:15

1. Unrelated victim yakni kejahatan yang dilakukan oleh pembuat kejahatan

tanpa ada hubungan apapun dengan korban. Korban secara acak dipilih oleh

pembuat kejahatan menjadi targetnya.

15

Yazid Effendi, 2001, Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku

Kejahatan, Penerbit Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, hal. 28-29.

12

2. Provocative victim. Korban dalam tipe ini memancing-mancing pembuat

kejahatan untuk melakukan kejahatan.

3. Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena tingkah laku

yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku melakukan kejahatan.

Disini korban memiliki tanggung jawab.

4. Biologically weak victims yakni siapa saja yang secara fisik atau mental

lemah.

5. Socially weak victim yakni keompok sosial yang lemah, dan sering

dieksploitasi oleh penjahat.

6. Self-victimizing dan political victim adalah korban akibat dari tindakannya

sendiri sebab mereka berkorban sendiri. Pertanggung jawaban ada pada

korban itu sendiri dan seharusnya tidak seharusnya dibagi dengan pihak

lain.

Hampir sejalan dengan Mendelsohn yang membuat tipologi korban

berdasarkan tingkat kesalahan, Ezzat A. Fattah juga mengklasifikasikan

korban yang ia dasarkan atas tingkat peranannya.16

Tingkatannya dimulai dari

korban yang sama sekali tidak berperan sampai korban yang berperan paling

kuat, terdiri atas:

1. Nonparticipating victims, who feel a denial or repulsion toward the crime

and the criminal, and who do not participate in the origin of the crime

committed agains them;

16

Iswanto dan Angkasa, 2011, Op.Cit., hal. 29

13

2. Lantent or predisposed victim, who have certain character predispsition for

being victimized by certain kinds of offenses;

3. Provocative victim, who participate the crime, or prevent provoke it;

4. Participating victim, who by their passivity or other similiar attitude make

their own victimization possible or easier; and;

5. False victims, who are not victim at all or who victimize themselves

Demikianlah mengenai berbagai pandangan mengenai peranan korban,

yang pada dasarnya memiliki tipikal yang pada pokoknya memiliki kesamaan.

Dari aspek tipe, dan pengkategorian korban tersebut, dapat menentukan

bagaimana peranan korban apabila dihubungkan dengan kasus yang penulis

teliti. Ada aspek-aspek yang berkaitan dengan korban yang nantinya akan

menentukan bagaimana kedudukan korban dalam tindak pidana tersebut, dan

mengenai kondisi korban yang nantinya akan berpengaruh pada penjatuhan

putusan pidana kepada si Terdakwa, sebagai pelaku dalam tindak pidana.

Ada tiga aspek yang berkaitan dengan si korban, ketiga aspek tersebut

adalah: 17

1) Peranan si korban dalam peristiwa tindak kejahatan.

Mengenai peranan si korban dalam peristiwa tindak pidana atau tindak

kejahatan, ada hal-hal yang berkaitan dengan aspek dari peranan korban

antara lain:

17

J.E. Sahetapy, 1987, Viktimologi Sebuah Bunga Rampai, Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta, hal. 86-93

14

a) Rangsangan bagi timbulnya kejahatan

Artinya ada hal-hal yang menimbulkan rangsangan atau dorongan dari

pelaku untuk melakukan tindak pidana atau kejahatan terhadap korban.

Bahwa suatu tindak kejahatan adalah perbuatan yang diperhitungkan

secara rasional. Menurut John S. Carroll, ahli yang menggunakan

pendekatan rasional-analitis, suatu tindakan kejahatan adalah

rasionalisasi dari keputusan yang telah diambil. Faktor-faktor yang

dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan untuk berbuat

kejahatan dirumuskan sebagai berikut:

SU= [(p(S) x G) – (p(F) x L)]

SU= Subjective Utility. SU ialah pertimbangan si pelaku kejahatan

apakah dia akan melaksanakan kejahatan yang direncanakannya. Secara

garis besar keputusan yang dibuat hanya dalam dua pilihan: akan

dilaksanakan atau tidak akan dilaksanakan.

P(S)= Probability of success. P(S) ialah pertimbangan si pelaku

kejahatan, sejauh mana ia akan berhasil sukses di dalam melaksanakan

tindak kejahatan yang direncanakannya.

G= Gain. G ialah pertimbangan besar kecilnya keuntungan yang akan

diperoleh dari suatu tindak kejahatan yang direncanakan. Keuntungan ini

dapat berupa keuntungan materi seperti barang-barang berharga, dan

dapat juga berupa keuntungan psikologis seperti kepuasan jiwa yang

diperoleh dari tindak kejahatan.

15

P (F)= Probability of fail. P (F) ialah pertimbangan besar kecilnya

kemungkinan gagal (tertangkap) di dalam melaksanakan tindak kejahatan

yang direncanakan.

L= Loss. L ialah besar kecilnya kerugian apabila si pelaku kejahatan

tertangkap di dalam melaksankan kejahatan .

Letak peranan korban di dalam rumusan kejahatan, menurut J.E

Sahetapy terletak di dalam faktor p(S) dan p(F) serta faktor G.

b) Tipe korban yang merangsang terjadinya kejahatan.

Menurut Henting sebab terjadinya kejahatan dikarenakan oleh sebab

keperibadian si korban seperti berikut ini:

1. Tipe apatis dan malas

2. Tipe menyerahkan diri (submisif)

3. Tipe kooperatif (ikut membantu)

4. Tipe profokatif.

Sifat kepribadian korban, faktor biologis (jenis kelamin, usia, kesehatan,

terutama kesehatan jiwa), dan tipe-tipe korban sebagaimana telah

dijelaskan dalam teori Mendelsohn, Stephen Scafer, dan Ezzat Al Fattah,

menunjukan adanya korelasi yang memungkinkan orang berpotensi

menjadi korban atas tindak pidana atau kejahatan.

2) Keputusan si korban untuk melaporkan tindak kejahatan.

Proses pengambilan keputusan untuk melaporkan suatu tindak kejahatan

melalui proses perhitungan untung rugi. Greenberg, Wilson dan Mills

(1982) dalam penelitian eksperimental kasus pencurian menemukan bahwa

16

hal utama yang menyebabkan orang tidak mau melaporkan kasus kejahatan

adalah:

a) Masalah tersebut tidak terlalu penting untuk dilaporkan, dan tidak

menguntungkan bila dilaporkan.

b) Kasus tersebut tidak dapat ditangani dengan baik, karena polisi tidak

efektif dalam bekerja.

c) Si korban takut mendapat pembalasan dari si pelaku bila ia melaporkan

kejadian.

3) Pengaruh si korban terhadap berat ringannya putusan pengadilan.

Walaupun peraturan hukum sudah digariskan bahwa si jaksa dan si hakim

tidak boleh menilai hal-hal lain kecuali faktor yang ditetapkan oleh hukum,

di dalam memutuskan berat ringan putusan suatu perkara seringkali para

hakim dan jaksa terpengaruh faktor-faktor non hukum. Faktor-faktor non

hukum itu antara lain;

a) Sifat kepribadian si jaksa atau hakim

b) Faktor penampilan terdakwa dan pengacara

c) Faktor diri si korban.

B. Tindak Pidana Melarikan Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan

Korban

1. Pengertian Tindak Pidana

Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana.

Istilah tindak pidana berasal dari kata Strafbaarfeit, yang terdiri dari tiga

17

kata, yaitu straf yang artinya pidana, baar artinya dapat atau boleh, dan feit

yang artinya perbuatan. Kata strafbaarfeit sering diartikan berbeda oleh para

sarjana hukum, sehingga belum ada unifikasi yang pasti mengenai definisi

dari kata tersebut. Istilah “tindak pidana” dipakai sebagai pengganti

strafbaarfeit.

Menurut Simons dalam bukunya Moeljatno, “strafbaar feit” adalah

kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan

hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang

yang mampu bertanggung jawab.18

Sedangkan Van hamel berpendapat dalam bukunya Moeljatno, bahwa

strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang

dirumuskan dalam wet yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana

(strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.19

Pompe menjelaskan bahwa perkataan Strafbaarfeit dapat dirumuskan

sebagai suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap ketertiban umum)

dengan sengaja atau tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, di

mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku adalah perlu demi

terpeliharanya ketertiban umum dan terjaminnya kepentingan umum. Lebih

lanjut Pompe menjelaskan menjelaskan menurut hukum pidana positif kita,

suatu tindakan yang menurut rumusan undang-undang telah dinyatakan

sebagai keadaan yang dapat dihukum.20

18

Moeljatno, 1993, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 56 19

Loc. Cit 20

P.AF. Lamintang, 1990, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cetakan kedua, Sinar

Baru, Bandung, hal. 183

18

Jika melihat dari pengertian-pengertian tadi maka dalam pokoknya:

a. Bahwa feit dalam strafbaarfeit berarti handeling (kelakuan/tingkah laku)

b. Bahwa pengertian strafbaarfeit dihubungkan dengan kesalahan orang

yang mengadakan kelakuan tadi.21

Mengenai pengertian strafbaarfeit, Sudarto membagi dua pandangan

sebagai berikut:

1. Pandangan monistis yaitu melihat keseluruhan (tumpukan) syarat untuk

adanya pidana itu semuanya merupakan sifat dari perbuatan;

2. Pandangan dualistis yaitu pandangan yang memisahkan pengertian

perbuatan pidana (criminal act) dan pertanggungjawaban pidana

(criminal responsibility).22

Moeljatno, dengan tegas membedakan dapat dipidananya perbuatan,

dapat dipidananya orangnya, sejalan dengan ini beliau memisahkan antara

pengertian perbuatan pidana dan pertanggung jawaban pidana. Pandangan

Moeljatno ini dapat disebut sebagai pandangan yang dualistis mengenai

perbuatan pidana (tindak pidana dan strafbaarfeit).

Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana.

Bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu

aturan, larangan mana disertai ancaman (sangsi) yang berupa pidana

tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut. Dapat

juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang oleh

suatu aturan dilarang dan diancam pidana, asal saja dalam pada itu di

ingat, bahwa larangannya ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu

keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang),

21

Moeljatno, 1993, Op.Cit., hal. 56 22

Sudarto, 1990/1991, Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B, Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman, Purwokerto, hal. 24

19

sedangkan ancaman pidananya di tujukan kepada orang yang

menimbulkan kejadian itu. 23

Beliau menggunakan istilah “perbuatan pidana”, karena pengertian

perbuatan pidana tidak meliputi pertanggung jawaban pidana. Secara

singkatnya penggunaan istilah “perbuatan pidana” dengan alasan bahwa

perbuatan itulah keadaan yang di buat oleh seseorang atau barang sesuatu

yang dilakukan dan perbuatan ini menunjuk baik pada akibatnya maupun

yang menimbulkan akibat.

Selanjutnya Vos dalam bukunya Utrecht yang berjudul Hukum Pidana

I bahwa peristiwa pidana adalah suatu kelakuan manusia (menslijke

gedraging) yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman.24

Jadi, suatu kelakuan manusia yang pada umumnya dilarang dan diancam

dengan hukuman. Istilah “peristiwa pidana” dipakai dengan alasan bahwa

istilah peristiwa itu meliputi suatu perbuatan maupun akibatnya (keadaan

yang ditimbulkan oleh karena perbuatan melalaikan itu).

Sedangkan menurut Wirjono Prodjodikoro bahwa Tindak pidana

adalah sebagai suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai pidana.25

Pada

intinya bahwa Tindak pidana merupakan perbuatan-perbuatan yang

melawan hukum, merugikan masyarakat dalam arti bertentangan dan

menghambat terlaksananya tata dalam pergaulan masyarakat yang dianggap

baik dan adil.

23

Moeljatno, 1993, Op.Cit., hal.54 24

Utrecht, 1986 , Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, hal. 251 25

Wirdjono Prodjodikoro, 2002, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,

Bandung, hal. 55

20

2. Unsur - unsur tindak pidana

Untuk menjatuhakan pidana itu harus dipenuhi syarat-syarat tertentu.

Syarat-syarat tertentu itu disebut dengan unsur-unsur tindak pidana. Bahwa

setiap tindak pidana dalam Kitab Undang Hukum Pidana pada umumnya

dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu unsur-unsur

subjektif dan objektif. Yang dimaksud dengan “unsur subjektif” adalah

unsur yanga ada dalam diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si

pelaku, dan yang termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang

terkandung dalam hatinya. Dan yang dimaksud dengan “unsur objektif”

adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu

dalam keadaan di mana tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan.26

Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana adalah: 27

a. Kesengajan atau ketidak sengajaan (dolus atau culpa);

b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti

dimaksud dalam Pasal 53 ayat (1) Kitab Undang Hukum Pidana

(KUHP);

c. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya

dalam kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-

lain;

d. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yan

terdapat dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

26

P.A.F Lamintang, 1990, Op.Cit,. hal. 184 27

Loc. Cit

21

e. Perasaan takut atau vrees seperti antara lain terdapat di dalam rumusan

tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana adalah: 28

a. Sifat melanggar hukum atau wederrechtlijkheid;

b. Kualitas si pelaku;

c. Kausalitas, yakni hubungan antara dengan pelaku dengan tindakan

sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Berkaitan dengan pengertian unsur-unsur tindak pidana (strafbaarfeit)

ada beberapa pendapat para sarjana mengenai pengertian unsur-unsur

berdasarkan aliran monistis dan dualistis. Yang pertama akan diuraikan

adalah mengenai unsur tindak pidana berdasarkan aliran monistis dari tindak

pidana antara lain sebagai berikut:

a. D. Simons

Unsur-unsur tindak pidana menurut Simons adalah:29

1) Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif, berbuat atau tidak

berbuat atau membiarkan;

2) Perbuatan itu dilarang oleh Undang-undang, diancam dengan

hukuman;

3) Perbuatan itu harus dapat dipertanggung jawabkan. Perbuatan itu

harus dapat dipersalahkan kepada si pelaku.

28

Loc. Cit 29

C.S.T Kansil, dan Christine S.T. Kansil, 1995, Latihan Hukum Pidana Untuk

Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 107

22

b. Van Hamel

Menurut Van Hamel unsur-unsur tindak pidana meliputi:30

1) Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang;

2) Bersifat melawan hukum;

3) Dilakukan dengan kesalahan;

4) Patut dipidana.

c. Mezger

Menyatakan bahwa unsur-unsur dari tindak pidana yaitu:31

1) Perbuatan dalam arti yang luas dari manusia (aktif atau membiarkan);

2) Sifat melawan hukum (baik bersifat objektif mapun besifat subjektif);

3) Dapat dipertanggung jawabkan kepada seseorang;

4) Diancam dengan pidana.

d. J. Baumman

Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah perbuatan yang

memenuhi rumusan delik antara lain: bersifat melawan hukum dan

dilakukan dengan kesalahan.32

e. Karni

Menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana adalah:

1) Perbuatan yang mengandung perlawanan hak;

2) Dilakukan oleh orang dengan salah dosa oleh orang yang sempurna

akal budinya;

3) Perbuatan tersebut patut dipertanggung jawabkan. 33

30

Sudarto, 1990/1991, Op.Cit., hal. 25 31

Loc. Cit 32

Loc. Cit

23

Sedangkan unsur-unsur tindak pidana menurut pendapat para sarjana

yang berpandangan dualistis adalah sebagai berikut:

a) Vos

Menyebutkan bahwa strafbaarfeit hanya berunsurkan kelakuan manusia

yang oleh peraturan perundang-undangan diberi hukuman, jadi suatu

kelakuan yang dilarang dan diancam dengan hukuman.34

b) Pompe

Bahwa strafbaarfeit adalah tidak lain dari feit, yang diancam pidana

dalam ketentuan undang-undang, jadi perbuatan itu adalah perbuatan

yang bersifat melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan diancam

pidana.35

c) Moeljatno

Menurut Moeljatno, strafbaarfeit sebagai perbuatan yang dapat diancam

pidana, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Untuk adanya

perbuatan pidana harus ada unsur-unsur :

1) Perbuatan manusia;

2) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang (ini merupakan

syarat formil). Syarat ini harus ada karena keberadaan asas legalitas

yang tersimpul pada Pasal 1 ayat (1) KUHP yang dirumuskan sebagai

berikut: tiada suatu perbuatan yang dapat dipidana kecuali atas

kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada

sebelum perbuatan dilakukan, asas ini dikenal dengan “Nullum

33

Loc. Cit 34

Utrecht, 1986, Op.Cit., hal 251 35

Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal. 25

24

delictum nulla poena sine previa lege poenaly” (tiada pidana tanpa

ada peraturan yang mengatur terlebih dahulu);

3) Memenuhi syarat materiil. Syarat ini pun harus ada, karena perbuatan

itu harus pula betul-betul dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan

yang tidak boleh atau tidak patut dilakukan, oleh karena itu

bertentangan dengan atau menghambat tercapainya tata dalam

pergaulan masyarakat yang di cita-citakan oleh masyarakat.36

Dalam Putusan Nomor 93/Pid. B/ 2012/ PN. Pwt adalah mengenai

tindak pidana melarikan perempuan yang belum dewasa tanpa dikehendaki

oleh orang tua/ walinya, tetapi atas persetujuan korban itu sendiri.

Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan Pasal 332 ayat (1) ke-1.

Pasal 332 KUHP merumuskan sebagai berikut:

Dihukum karena melarikan perempuan:

Diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, barangsiapa

membawa pergi wanita yang belum cukup umur, tanpa dikehendaki

orang tuanya atau walinya akan tetapi atas persetujuannya, dengan

maksud untuk memastikan penguasaanya terhadap wanita itu baik di

dalam maupun di luar perkawinan.

Oleh karena itu perlu diuraikan mengenai unsur-usur dalam tindak

pidana pada Pasal 332 ayat (1) ke-1 antara lain:

2.1 Barangsiapa

Menurut Wirdjono Prodjodikoro dalam Kitab Undang-undang

Hukum Pidana, yang dapat menjadi subjek tindak pidana adalah manusia.

Hal ini dapat terlihat dari perumusan dari Tindak pidana dalam KUHP, yang

menampakan daya berpikir sebagai syarat subjek tindak pidana itu, juga

36

Ibid., hal. 26

25

terlihat pada wujud hukuman/pidana yang memuat pasal-pasal KUHP, yaitu

hukuman penjara, kurungan dan denda.

2.2 Melarikan Perempuan di bawah umur

a. Melarikan Perempuan

Yang diartikan dengan melarikan perempuan adalah mengajak,

meminta, atau membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

Perbuatan ini harus merupakan perbuatan aktif, tidak cukup dengan

perbuatan mengajak belaka. Pun perempuan yang akan dilarikan melakukan

perbuatan yang aktif juga, hingga perbuatan pelarian itu harus perbuatan

bersama, di mana pelaku dan korban bersama-sama melakukan perbuatan

aktif. Jadi tidak perlu dipergunakan paksaan, bahkan bantuan dari

perempuan itu sendiri terdapat dalam perbuatan melarikan itu.

Perbuatan melarikan mulai dari tempat, kemana perempuan itu pergi

untuk memungkinkan perbuatan itu. Jadi setiap perbuatan untuk

mempermudah melarikan perempuan.37

Perbuatan melarikan perempuan

perempuan tersebut tidak mementingkan cara, apakah dengan sukarela atau

tidak, bahkan dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam

pengertian ini.

b. Anak di bawah umur

Pengertian anak mempunyai sudut pandang yang berbeda, dan

tergantung pada disiplin ilmu yang ditekuni. Namun secara umum mengenai

pengertian anak dimaksudkan untuk membatasi umur minimal dan

37

H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP BUKU

II) Jilid I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 124-126

26

maksimal seseorang yang dikategorikan sebagai anak-anak. Bila dilihat dari

hukum adat yang berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa, menunjukan

bahwa batas anak dan dewasa bisa dilihat dari usia maupun kenyataan sosial

dalam pergaulan hidup.

Ter Haar mengemukakan, menurut hukum adat masyarakat-

masyarakat hukum kecil-kecil itu, maka seseorang menjadi dewasa ialah

saat ia (lelaki dan perempuan) sebagai orang yang sudah berkawin

meninggalkan rumah ibu bapak mertuanya untuk berumah lain sebagai laki-

bini yang merupakan keluarga yang berdiri sendiri.38

Dalam KUHP pengertian anak di bawah umur ternyata tidak diatur,

hanya disebutkan istilah “belum cukup umur” dan “sudah cukup umur”

dalam beberapa Pasal-Pasal dalam perundang-undangan tertentu, dijelaskan

tentang pengertian anak dan batasan umur bagi seorang anak atara lain

sebagai berikut:

1) Pengertian anak menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Masalah kedewasaan diatur dalam Pasal 330 KUHPdt yang menentukan

bahwa “Belum Dewasa” adalah mereka yang belum mencapai umur genap

21 tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu

dibubarkan sebelum umur mereka genap 21 tahun, maka mereka tidak

kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa.

38

Ter Haar Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto, 1985, Asas-Asas dan Susunan

Hukum Adat, Cetakan kedelapan, Prandya Paramita, Jakarta Pusat, hal. 166

27

2) Pengertian anak menurut Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang

Hak Asasi Manusia. Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

3) Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003

Tentang Perlindungan Anak. Yang dimaksud dengan anak adalah belum

berumur 18 tahun atau belum menikah, termasuk anak yang ada di dalam

kandungan.

4) Pengertian Anak menurut Konvensi Hak Anak ( Convention on the Right

of the Child)

Seorang anak adalah setiap orang yang berusia 18 tahun kecuali

berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak kedewasaan

dicapai lebih awal.

5) Pengertian anak menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan.

Bahwa “ Perkawinan hanya diijinkan jika pria sudah mencapai umur 19

(sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam

belas) tahun”.

Secara tersirat Undang-Undang Perkawinan memberikan pembedaan

terhadap ukuran kedewasaan bagi laki-laki dengan perempuan. Laki-laki

dikatakan dewasa jika telah berusia 19 (sembilan belas) tahun, dan

perempuan dikatakan dewasa jika telah berusia 16 (enam belas) tahun.

6) Pengertian anak menurut Pasal 2 Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 1 tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182

28

mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk

Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Dalam konvensi ini istilah anak berarti

semua orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun.

Dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa menurut S 1931 Nomor 54,

jika dalam perundang-undangan dipakai istilah “minderjaring” (belum

cukup umur) terhadap golongan bumiputera maka yang dimaksud adalah

mereka yang umurnya belum cukup 21 (dua puluh satu) tahun dan belum

kawin sebelumnya. Jika sebelum 21 (dua puluh satu tahun), perkawinannya

diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi (belum cukup umur). 39

2.3 Tanpa Dikehendaki oleh Orang tua atau Walinya, tetapi atas

Perempuan itu sendiri.

a. Tanpa dikehendaki

Tanpa dikehendaki oleh orang tuanya atau walinya artinya lebih

keras dari pada atau bertentangan dengan kemauan orang tuanya atau

walinya. Hal ini diisyaratkan sehubungan dengan kekuasaan yang syah

yang dimiliki oleh orang tuanya atau walinya atas perempuan yang di

bawah umur.40

Tanpa kehendak di sini secara singkatnya tanpa ijin atau

tanpa sepengetahuan dari orang tuanya.

b. Orang tua atau wali

Secara umum Orang tua adalah ayah dan/ ibu dari seorang anak

melalui hubungan biologis atau sosial. Berdasarkan Pasal 1 angka 4

39

Moeljatno, 1985, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Bina Aksara,

Jakarta, hal. 48 40

H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125

29

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak,

orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/ atau ibu

angkat.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Wali adalah orang atau

badan yang dalam kenyataanya mejalankan kekuasaan asuh terhadap

orang tua terhadap anak. Masalah perwalian pada umumnya diatur

dalam Pasal 332-344 KUHPdt. Macam-macam perwalian ada 3 macam.

Pertama, perwalian oleh suami/isteri yang hidup paling lama

(langstevende echtgenoot) Pasal 345-354 KUHPdt. Kedua, Perwalian

yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta

tersendiri. Ketiga, perwalian yang diangkat oleh hakim (perwalian yang

secara sah ditunjuk oleh oleh hakim di Pengadilan Negeri, hal ini diatur

dalam Pasal 359 KUHPdt).

c. Atas Persetujuan perempuan itu sendiri.

Makna persetujuan memiliki pengertian bahwa para pihak saling

menyatakan kehendaknya masing-masing, ada persesuaian kehendak

atau ada kesepakatan kehendak dari pihak satu dengan pihak yang lain.

Bisa dikatakan bahwa persetujuan merupakan pernyataan kehendak para

pihak yang dibentuk oleh dua unsur, yaitu adanya unsur penawaran dan

adanya unsur penerimaan. Dalam hal ini yaitu ada unsur penawaran dari

pelaku untuk mengajak pergi, dan ada unsur penerimaan dari perempuan

itu sendiri atau korban, dalam hal ia diajak untuk pergi dari rumah.

30

Secara lebih jelas unsur ini berhubungan dengan kegiatan

perempuan di dalam mempermudah perbuatan melarikan, di mana

perempuan melakukan perbuatan aktif. Ada persetujuan dari korban.

Apabila Tanpa persetujuan perempuan, tentunya tidak akan dapat

melakukan perbuatan aktif.41

2.4 Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau tanpa perkawinan

Melarikan perempuan harus bertujuan mempersatukan laki-laki dan

perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan ikatan perkawinan atau

tanpa perikatan perkawinan. Memiliki seseorang perempuan adalah

melakukan perbuatan persetubuhan dengan perempuan itu dengan ikatan

perkawinan atu tanpa ikatan perkawinan, hingga ia memiliki ini juga

sebagai isteri.42

Maksud untuk tidak ditujukan pada memiliki secara terus-menerus

tetapi tidak juga apabila pelaku hanya sekali melakukan persetubuhannya.

Meskipun sebelumnya telah melakukan perempuan dengan atau tanpa

ikatan perkawinan. Jadi dalam hal ini pelaku menghendaki hasil dari

perbuatan baginya yaitu persetubuhan dengan pelaku. Tetapi meskipun

belum sampai dilakukan persetubuhan oleh pelaku dengan perempuan itu,

pelaku dapat dikenakan Pasal ini dengan melakukan perbuatan melarikan

perempuan itu.43

41

Loc. Cit 42

Loc. Cit 43

Loc. Cit

31

C. Pidana dan Pemidanaan.

Pidana dan Pemidanaan merupakan ilmu atau penologi akan terkait

erat dengan filosofi pemidanaan.44

Karena objek dari ilmu hukum pidana

itu sendiri adalah aturan yang merumuskan tentang kejahatan dengan

sanksi pidana dan untuk tujuan mempergunakannya dengan adil menurut

hukum.

Menurut Muladi, hukum pidana modern bercirikan orientasi pada

perbuatan dan pelaku (daad-dader strafrecht), stelsel sanksinya tidak

hanya meliputi pidana (straf, punishment) yang bersifat penderitaan, tetapi

juga tindakan tata-tertib (maatgregel, treatment) yang relatif bermuatan

pendidikan.45

Stelsel sanksi merupakan salah satu permasalahan pokok

dalam membicarakan hukum pidana.

Perihal tentang pemidanaan sering terjadi penggunaan istilah yang

berbeda-beda akan tetapi mempunyai maksud yang sama, seperti

punishment, treatment, sanction dan lain-lain. Punishment bila

diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berati hukuman.

Istilah “hukuman” berasal dari kata “straf” dan istilah “dihukum”

yang berasal dari perkatan “wordt gestraf” , menurut Moeljatno

merupakan istilah-istilah yang konvensional. Moeljatno tidak setuju

dengan istilah tersebut, dan lebih suka menggunakan kata “pidana” untuk

menggantikan kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk

44

M. Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double Track

Syste & Implementasinya, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 2 45

Ibid., hal 3

32

menggantikan kata “wordt gestraf”.46

Beliau menegaskan bahwa bila kata

“straf” diartikan “hukuman”. baik hukum pidana maupun hukum perdata.

“Hukuman” adalah hasil atau akibat dari penerapan hukum tadi yang

maknanya lebih luas dari pidana, sebab mencakup juga putusan hakim

dalam lapangan hukum perdata. 47

1. Pengertian Pidana

Moeljatno, menyatakan bahwa pidana adalah sebagai berikut:

a. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh

dilakukan, yang dilarang dengan disertai ancaman atau sanksi

yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa yang melanggar

larangan tersebut.

b. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat di kenakan atau

dijatuhkan pidana sebagaimana yang telah di-ancamkan.

c. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut. 48

Menurut van Hamel arti pidana atau straf menurut hukum positiv

adalah:

“Een bijzonder leed, tegen den overtreder van een door den staat

gehandhaafd rechtsvoorshrift, op den enkelen grond van die

overtreding, van wege den staat als handhaver der openbare

rechtsorde, door met met de rechtsbeeling belaste gezag uit te

spreken”

yang artinya kira-kira adalah:

“Suatu penderitaan yang bersifat khusus, yang telah dijatuhkan

oleh kekuasaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas

nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum

bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut

46

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Penerbit

Alumni, Bandung, hal. 1 47

Loc. Cit 48

Andi Hamzah, 1994. Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hal. 4-5

33

telah melanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakan oleh

negara”. 49

Menurut Simons pidana atau straf itu adalah suatu penderitaan

yang oleh undang-undang dikaitkan dengan pelanggaran terhadap suatu

norma, yang dengan putusan hakim telah dijatuhkan bagi seseorang yang

bersalah. 50

Menurut Algra Janssen bahwa pidana atau straf adalah sebagai

“Alat yang digunakan oleh penguasa atau hakim untuk memperingatkan

mereka yang telah melakukan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.

Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut kembali sebagian kebebasan

dan harta kekayaanya, yaitu seandainya ia telah melakukan suatu tindak

pidana”.51

Dalam buku Muladi dan Barda Nawawi, berikut ini dikemukakan

mengenai pengertian pidana oleh para sarjana antara lain sebagai berikut:

a) Sudarto

Pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang

melakukan perbutan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.52

b) Roeslan Saleh

Pidana adalah reaksi atas delik, dan ini berwujud suatu nestapa yang

dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu.53

49

P.A.F Lamintang, 1984, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, hal. 47 50

Ibid., hal 48 51

Loc. Cit 52

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal 2 53

Loc. Cit

34

c) Fitsgerald

Punishment is the autontative infliction of suffering an offence.54

d) Sir Rupert Cross

Punishment means “the inflication of pain by the state on someone who

has been convicated of an offence.55

e) Burton M Leiser

A punishment is a harm inflicted by a person in a position of authority

upon another who is judged to have violated a rule or a law.56

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pidana

dan pemidanaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Pidana itu hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan atau

nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

b. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang);

c. Pidana itu dikenakan kepada seseorang yang telah melakukan tindak

pidana menurut undang-undang. 57

2. Pengertian Pemidanaan

Untuk memberikan gambaran yang jelas mengenai pengertian

pidana dan pemidanaan, perlu diberikan pembatasan pengertian, beberapa

sarjana mengemukakan pendapat sebagai berikut:

54

Loc. Cit 55

Loc. Cit 56

Ibid., hal.3 57

Ibid., hal .4

35

a. Sudarto

Menurut Sudarto perkataan pemidanaan itu adalah sinonim dari

kata penghukuman. Tentang hal tersebut ia mengatakan sebagai

berikut:

“Penghukuman itu berasal dari kata hukum, sehingga dapat

diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang

hukumnya (berechten). Menetapkan hukum untuk suatu peristiwa

itu tidak hanya menyangkut bidang hukum pidana saja, akan

tetapi juga hukum perdata. Oleh karena tulisan ini berkisar pada

hukum pidana, maka istilah tersebut harus dipersempit artinya,

yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerapkali

sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan

pidana oleh hakim. Penghukuman dalam hal ini mempunyai

makna sama dengan sentence atau veroordeling”. 58

b. Jerome Hall

Jerome Hall batasan konseptual tentang pemidanaan. Hall

membuat deskripsi terperinci mengenai pemidanaan. Pertama,

pemidanaan adalah kehilangan hal-hal yang diperlukan dalam hidup.

Kedua, ia memaksa dengan kekerasan. Ketiga, ia diberikan atas nama

negara “diotorisasikan”. Keempat, pemidanaan mensyaratkan

peraturan-peraturan, pelanggarannya, penentuannya, yang

diekspresikan dalam putusan. Kelima, ia diberikan kepada pelanggar

yang telah melakukan kejahatan, dan ini mensyaratkan adanya

sekumpulan nilai-nilai yang dengan beracuan kepadanya, kejahatan dan

pemidanaan itu signifikan dalam etika. Keenam, tingkatan jenis

pemidanaan berhubungan dengan perbuatan kejahatan, dan diperberat

58

P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal 49

36

atau diringankan dengan melihat personalitas (kepribadian) si

pelanggar, dan motif dan dorongannya.59

c. Ted Honderich

Ted Honderich berpendapat bahwa pemidanaan harus memuat

tiga unsur antara lain: Pertama, pemidanaan harus mengandung

semacam kehilangan (deprivation) atau kesengasaraan (distress) yang

biasanya secara wajar dirumuskan sebagai sasaran dari tindakan

pemidanaan. Kedua, setiap pemidanaan harus datang dari institusi yang

berwenang secara hukum pula. Jadi pemidanaan merupakan hasil

keputusan pelaku-pelaku personal suatu lembaga yang berkuasa.

Karenanya, pemidanaan merupakan suatu tindakan balas dendam dari

korban terhadap pelanggaran hukum yang mengakibatkan penderitaan.

Ketiga, penguasa yang berwenang menjatuhkan pemidanaan hanya

kepada subjek yang telah terbukti secara sengaja melanggar hukum atau

peraturan yang berlaku dalam masyarakatnya.60

Berdasarkan memisahkan pengertian pemidanaan dengan pidana,

dapat kita ketahui bahwa pidana hanyalah merupakan suatu penderitaan

atau alat saja, yang berarti bukan merupakan suatu tujuan dan tidak

mungkin dapat mempunyai tujuan. Pejelasan ini dilakukan demi

menghindari kacaunya berpikir para penulis Belanda yang sering

mencampur adukan pengertian tujuan pemidanaan dengan tujuan

pidana. Kekacauan berpikir ini ternyata menurutnya, telah diikuti oleh

59

M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 70 60

Ibid., hal 71

37

beberapa penulis Indonesia sehingga menerjemahkan kata doel der straf

dengan tujuan pidana padahal yang dimaksud adalah tujuan

pemidanaan.61

3. Teori dan Tujuan Pemidanaan

Masalah pidana dan pemidanaan merupakan hal yang sangat

penting, dan masalah pidana dan pemidanaan tertuang dalam teori-teori

pemidanaan. Dalam teori-teori pemidanaan ini tercermin suatu sistem

nilai-nilai sosial budaya suatu bangsa, khususnya menyangkut persepsi

suatu bangsa terhadap hak-hak asasi manusia. Secara tradisional teori-teori

pemidanaan dapat dibagi dalam dua kelompok teori antara lain:

a. Teori absolout atau teori pembalasan ( retributive theorieen);

Teori ini adalah teori yang tertua, setua sejarah manusia. Teori

ini memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas

kesalahan yang telah dilakukan.62

Artinya hal tersebut berorientasi pada

perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri.63

Secara

singkatnya tujuan pemidanaan dari teori ini adalah pembalasan terhadap

para pelaku karena telah melakukan kejahatan yang mengakibatkan

kesengsaraan terhadap orang lain atau anggota masyarakat.

61

P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal 49 62

M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 34 63

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal. 10-11

38

Menurut Immanuel Kant orang yang melakukan tindak pidana

itu melanggar hukum dan etika susilaan, maka ajaran Kant disebut

dengan teori Pembalasan atas pelanggaran etika/kesusilaan.64

Menurut Stahl berdasarkanh pada ”Asas Ketuhanan”.

Menurutnya Negara adalah wakil Tuhan di bumi yang bertugas

menjaga ketertiban oleh karena itu mereka yang melanggar ketentuan

hukum Tuhan harus dihukum yang seimbang/sepadan, sehingga si

pembunuh harus dibalas dengan pembunuhan. Pembalasan adalah

mutlak, yang merusak mata harus dibalas dengan merusak mata pula.65

Menurut Johannes Andeanes tujuan utama dari pidana menurut

teori absolout adalah untuk memuaskan tuntutan keadilan sedangkan

pengaruh-pengaruhnya yang menguntungkan adalah sekunder.66

Dalam buku John Kaplan, teori Retribution ini dibedakan lagi

menjadi dua teori yaitu:

1) Teori Pembalasan (the reveange theory);

2) Teori penebusan dosa (the expiation theory);

Pembalasan mengandung arti bahwa hutang si penjahat telah

dibayarkan kembali (the criminal paid back), sedangkan penebusan

mengandung arti bahwa si penjahat membayar kembali hutangnya (the

criminal pays back). 67

64

C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, 1995, Op.Cit., hal. 97 65

Loc. Cit 66

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984, Op.Cit., hal. 11 67

Ibid., hal 13

39

Pompe yang seumur hidupnya berpegang pada teori pembalasan

menganggap pembalasan ini dalam arti yang positif dan konstruktif dan

bukan dalam arti tak ada manfaatnya seperti dalam pandangan mereka

yang anti pembalasan. 68

Van Bemmelen menyatakan bahwa untuk hukum pidana pada

dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri (vermijding van

eigenrichting) tetap merupakan fungsi yang paling penting sekali dalam

hukum pidana yakni memenuhi keinginan akan pembalasan

(tegemoetkoming aan de vergeldingbehoefte). 69

b. Teori relatif atau teori tujuan (ultilitarian theory).

Teori ini memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai

pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapai

tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju

kesejahteraan masyarakat.70

Tujuan pemidanaan pada teori ini yaitu

sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang ditunjukan

kepada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada

masyarakat.

Menurut Leonard Orland, teori relatif dalam pemidanaan

bertujuan untuk mengurangi kejahatan. Pidana ditetapkan bukan karena

orang melakukan kejahatan, tetapi agar orang tidak melakukan

kejahatan.71

68

Ibid., hal 15 69

Loc. Cit 70

M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 41 71

Loc. Cit

40

Menurut Nigel Walker teori ini lebih tepat disebut teori atau

aliran reduktif (the reductive point of view) karena dasar pembenaran

pidana pada teori ini adalah untuk mengurangi frekuensi kejahatan. 72

Menurut Karl O. Christiansen ada beberapa ciri pokok dari

teori relatif ini, yaitu:

1) The purpose of punishment is prevention (Tujuan pidana adalah

pencegahan);

2) Prevention is not a final aim, but means to a more suprems aim e.g.

social welfare (Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai

sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan

masyarakat);

3) Only breaches of the law which are imputable to the perperator as

intent or negligence qualify for punishment (Hanya pelanggaran-

pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja,

misalnya kesengajaan atau kelalaian yang memenuhi syarat untuk

adanya pidana);

4) The penalty shall be determined by its utility as an instrument for the

prevention of crime (Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya

sebagai alat pencegahan kejahatan);

5) The punishment is prospective, it ponits into the future; it may

conyain as element of reproach, but neither reproach nor retributive

elements can be accepted if they do not serve the prevention of crime

72

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Op.Cit., hal. 16

41

for the benefit or social welfare. (Pidana melihat ke depan atau

bersifat prospektif, ia mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur

pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima bila tak

membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan

masyarakat). 73

Dengan demikian menurut teori relatif, pidana bukanlah sekedar

melakukan pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan,

tetapi lebih dari itu pidana mempunyai tujuan yang bermanfaat. Karena

teori ini mempunyai tujuan-tujuan tertentu dalam pemidanaan maka,

teori relatif sering juga disebut sebagai ultitarian theory, ada tiga

bentuk teori tujuan bahwa pemidanaan pada teori ini mempunyai

mempunyai tujuan antara lain sebagai berikut:

a) Memberikan efek penjeraan dan penangkalan (deterrence).

Penjeraan sebagai efek pemidanaan, menjauhkan si terpidana dari

kemungkinan mengulangi kejahatan yang sama, sedangkan tujuan

penangkal, pemidaan berfungsi sebagai contoh yang mengigatkan

dan menakutkan bagi penjahat.

Wesley Cragg menilai bahwa fungsi penjeraan dari efek

pemidanaan sepatutnya lebih dianggap sebagai suatu bentuk kontrol

sosial. Menurut Philip Bean, maksud di balik penjeraan ialah

mengancam orang-orang lain untuk kelak melakukan kejahatan.

73

M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 42-43

42

b) Pemidanaan sebagai rehabilitasi. pemidanaan merupakan prose

pengobatan sosial dan moral bagi seorang terpidana agar kembali

berintegrasi dalam komunitas atau masyarakatnya secara wajar.

c) Pemidanaan sebagai wahana pendidikan moral.74

Dalam disertasinya, Muladi membagi teori-teori pemidanaan

menjadi 3 kelompok yaitu: Pertama, Teori retributif. Kedua, Teori

telelogis. Ketiga, Teori retributif-telologis, untuk teori retributif dan

teori teleologis memiliki makna yang tidak berbeda dengan penjelasan

sebelumnya. Sedangkan untuk teori retributif-telologis, teori ini

berpandangan bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural, karena

menggabungkan antara prinsip-prinsip telelogis dan retributif sebagai

satu kesatuan, sehingga teori ini sering disebut sebagai teori interegatif.

Tujuan pemidanaannya adalah bersifat umum dan khusus, perlindungan

masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat dan pengimbalan/

pengimbangan.75

Selain pembagian teori-teori pemidanaan seperti yang

dikemukakan di atas, yaitu teori absolout dan teori relatif, ada teori

ketiga yang disebut sebagai teori gabungan (vereniging theorieen).

Keberatan-keberatan terhadap teori pembalasan dan teori tujuan dapat

menimbulkan aliran ketiga yang mendasarkan pada jalan pikiran bahwa

pidana hendaknya didasarkan atas tujuan unsur-unsur pembalasan dan

mempertahankan ketertiban masyarakat, yang diterapkan secara

74

Ibid., hal 44-45 75

Ibid., hal 49-50

43

kombinasi dengan menitik beratkan pada salah satu unsurnya tanpa

menghilangkan unsur lain, maupun pada semua unsur yang ada.

Beberapa pendapat sarjana mengenai masalah tujuan pidana:

1) J.E Sahetapy

Pemidanaan bertujuan pembebasan. Pidana harus

membebaskan si pelaku dari cara atau jalan yang keliru yang telah

ditempuhnya. Makna membebaskan menghendaki agar si pelaku

bukan saja harus dibebaskan dari lama pikiran jahat, yang keliru

melainkan ia harus pula dibebaskan dari kenyataan sosial di mana

ia terbelenggu.

Tidak dipungkiri bahwa dalam pengertian pidana tersimpul

unsur penderitaan dalam tujuan membebaskan bukanlah semata-

mata untuk agar si pelaku menjadi takut atau merasa menderita

akibat suatu pembalasan dendam melainkan derita itu harus dilihat

sebagai obat atau kunci jalan keluar yang membebaskan dan

memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan.76

2) Bisman Siregar

Bisman Siregar mengemukakan pendapatnya dalam

simposim Pindana Nasional di Semarang tahun 1980 yang berjudul

“Tentang Pemberian Pidana” antara lain:

“Yang pertama-tama patut diperhatikan dalam pemberian

pidana bagaimana caranya agar hukuman badanlah

mencapai sasaran, mengembalikan keseimbangan yang

telah terganggu akibat perbuatan si tertuduh, karena tujuan

penghukuman tiada lain adalah untuk mewujudkan

kedamaian dalam kehidupan manusia”. 77

76

Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1984. Op.Cit., hal. 22-23 77

Ibid., hal 23-24

44

3) Roger Hood

Sasaran pidana di samping untuk mencegah si terpidana

atau pembuat potensiil melakukan tindak pidana, juga untuk

memperkuat nilai-nilai sosial (reinforcing social value) dan

menentramkan rasa takut masyarakat terhadap kejahatan (allaying

public fear of crime).78

Di Indonesia sendiri, Hukum pidana positif belum pernah

merumuskan tujuan pemidanaan. Selama ini wacana tentang tujuan

pemidanaan tersebut masih dalam tataran yang bersifat teoritis. Namun

sebagai bahan kajian, Rancangan KUHP Nasional telah menetapkan

tujuan pemidanaan pada Buku Kesatu Ketentuan Umum dalam Bab III

dengan judul Pemidanaan, Pidana dan Tindakan.79

Rancangan KUHP Nasional dalam Pasal 50 ayat 1 nya telah

menetapkan empat tujuan pemidanaan sebagai berikut:80

(1) Pemidanaan bertujuan:

a. Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakan

norma hukum demi pengayoman masyarakat;

b. Memasyarakatkan terpidana dengan pembinaan sehingga

menjadi orang yang baik dan berguna;

c. Menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana,

memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai

dalam masyarakat; dan

d. Membebaskan rasa bersalah pada terpidana.

Jadi tujuan dari pemidanaan tidak semata-mata untuk

memberikan penderitaan kepada orang yang melakuakan tindak pidana,

tetapi bertujuan untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak

pidana tersebut dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

78

Ibid., hal 21 79

M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 127 80

Loc. Cit

45

Seperti pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa pemidanaan tidak

bisa hanya memperhatikan kepentingan pembuat saja, atau juga hanya

memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dalam arti, bahwa

pemidanaan harus mengacu pada perspektif keseimbangan, yaitu

keseimbangan kepentingan masyarakat, pelaku, dan korban.81

4. Jenis- jenis Pidana

Dalam KUHP terdapat 2 (dua) jenis pidana yaitu diatur dalam

Pasal 10 KUHP yang membagi dua jenis pidana pokok dan pidana

tambahan, sebagai berikut:

a. Pidana Pokok meliputi:

1) Pidana mati;

2) Pidana penjara;

3) Pidana kurungan;

4) Pidana denda.

b. Pidana Tambahan, meliputi:

1) Pencabutan beberapa hak-hak tertentu;

2) Perampasan barang-barang tertentu;

3) Pengumuman Putusan hakim.

Jenis-jenis pidana sebagaimana tersebut di atas disusun

berdasarkan berat rigannya pidana. Ada yang membedakan antara pidana

pokok dan pidana tambahan, yang perbedaanya antara lain:82

81

Ibid., hal. 113 82

Roeslan Saleh, 1987, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara baru, Jakarta, hal 50-51.

46

a) Pidana tambahan dapat ditambahkan pada pidana pokok, namun ada

pengecualiannya, perampasan barang-barang tertentu dapat dilakukan

terhadap anak yang diserahkan kepada pemerintah tetapi hanya

mengenai barang-barang yang disita. Sehingga pidana tambahan itu

ditambahkan pada tindakan, bukan pada pidana pokok.;

b) Pidana tambahan tidak mempunyai sifat keharusan, jika hakim yakin

menghenai perbuatan pidana dan kesalahan Terdakwa, maka Terdakwa

harus dijatuhi pidana pokok. Dalam menggunakan pidana tambahan

hakim bebas, ia boleh menjatuhkan pidana tambahan boleh pula tidak;

c) Mulai berlakunya pencabutan hak tidak dengan suatu tindakan

eksekusi.

Hukum pidana Indonesia mendapat tambahan satu macam pidana

pokok baru yaitu pidana tutupan. Adanya pidana tutupan ini tetapi

dikarena pemerintah masih menghargai gagasan yang mulia tetapi

dilakukan dengan menentang pemerintahan yang sah.

Pidana tutupan ini merupakan pidana pokok yang terakhir di

bawah pidana denda. Mengenai hal pidana tutupan diatur pada Pasal 2

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946, yang bunyinya:

“(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang

diancam dengan pidana penjara, karena terdorong oleh maksud

yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan pidana tutupan”.

Dari rumusan Pasal tersebut bahwa pidana tutupan oleh pembuat

undang-undang dimaksudkan untuk menggantikan pidana penjara yang

sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim kepada pelaku kejahatan, atas

47

dasar bahwa kejahatan yang dilakukan oleh pelakunya dilakukan karena

terdorong oleh maksud yang patut dihormati.83

Di bawah ini akan dijelaskan mengenai uraian macam-macam

pidana pokok antara lain sebagai berikut:

1) Pidana mati

Pidana mati adalah pidana terberat menurut perundang-

undangan pidana kita. Menurut Undang-undang Nomor 2 Pnps Tahun

1964, tata cara pelaksanaan pidana mati adalah dengan ditembak

sampai mati.84

2) Pidana Penjara

Merupakan bentuk pidana yang berupa kehilangan

kemerdekaan. Menurut Lamintang Pidana Penjara adalah:

“Suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari

seseorang terpidana, yang dilakukan dengan menutup orang

tersebut di dalam sebuah lembaga pemasyarakatan, yang

dikaitkan dengan suatu tindakan tata tertib bagi mereka yang

melanggar peraturan tersebut“.85

Tentang lamanya pidana penjara diatur dalam Pasal 12 KUHP

yang dirumuskan sebagai berikut:

(1) Pidana Penjara adalah seumur hidup atau selama waktu tertentu.

a) Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek adalah

satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

b) Pidana penjara untuk waktu tertentu boleh dijatuhkan dua

puluh tahun selama waktu tertentu atau anatara pidana penjara

selama waktu tertentu, begitu juga dalam hal batas lima belas

tahun dapat dilampaui karena perbarengan (concursus),

pengulangan (residive) atau karena yang tahun berturut-turut

dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih

83 P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal. 146-147

84 Ibid., hal. 64

85 Ibid., hal. 69

48

antara pidana mati, pidana seumur hidup dan pidana penjara

sebgaimana yang ditentukan dalam Pasal 52 dan 52 a.

c) Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh

dari dua puluh tahun

3) Pidana Kurungan

Sama halnya dengan pidana penjara, pidana kurungan juga

merupakan suatu pidana berupa pembatasan kebebasan bergerak dari

seseorang terpidana. Perbedaan pidana kurungan dengan pidana

penjara menurut Roeslan Saleh adalah:86

a) Orang yang dijatuhi pidana penjara dapat dipidanakan kemana saja

untuk menjalani pidananya, sedangkan mereka yang dijatuhi pidana

kurungan harus menjalani kurungannya di dalam daerah di mana

dia berdiam ketika putusan hakim dijalankan, atau jika tidak

mempunyai tempat kediaman di dalam daerah di mana ia berada.

b) Mereka yang dijatuhi pidana penjara pekerjaannya lebih berat.

c) Mereka yang dijatuhi pidana kurungan dengan biaya sendiri boleh

sekedar meringankan nasibnya menurut aturan yang ditetapkan

dengan undang-undang. Terhukum dengan pidana kurungan jika

menghendaki boleh mengadakan makanan dan tempat tidur sendiri,

dan boleh pula membeli sesuatu yang hanya dapat meringankan

beban hidupnya dengan biaya hidupnya dengan biaya sendiri.

4) Pidana Denda

Mengenai pidana denda tidak ditentukan maksimumnya, yang

ditentukan adalah minimunya. Juga tidak ditentukan siapa yang harus

86

Roeslan Saleh, 1987, Op.Cit., hal 71-72

49

membayar denda. Jika pidana denda tidak dibayar maka dapat diganti

dengan pidana kurungan pengganti.87

Selain jenis pidana pokok, dalam sistem pemidanaan kita telah

disebutkan ada suatu pidana tambahan. Menurut sistem pemidanaan kita,

penjatuhan pidana tambahan adalah sifatnya fakultatif, artinya hakim tidak

selalu harus menjatuhkan pidana suatu pidana tambahan bagi setiap

Terdakwa yang diadili, akan tetapi terserah pada pertimbangannya apakah

disamping menjatuhkan pidana pokok, apakah juga bermaksud untuk

menjatuhkan pidana tambahan atau tidak.88

Pada Pasal 10 KUHP telah disebutkan jenis-jenis pidana tambahan,

dan mengenai penjelasannya sebagai berikut:

1) Pencabutan hak-hak tertentu

Sifat dari pidana tambahan yaitu pencabutan hak-hak tertentu

sifatnya adalah untuk sementara, kecuali terpidana telah dijatuhi dengan

pidana penjara selama seumur hidup.

Adapun hak-hak yang dapat dicabut menurut ketentuan Pasal 35

ayat (1) KUHP dirumuskan sebagai berikut:

(1) Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan

tertentu.

(2) Hak memasuki angkatan bersenjata

(3) Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadaka

berdasarkan aturan- aturan umum.

87

Ibid., hal 75 88

P.A.F Lamintang, 1984, Op.Cit., hal.97

50

(4) Hak menjadi penasehat atau pengurus menurut hukum, menjadi

wali, wali pengawas, pengawas, pengampu atau pengampu

pengawas atas orang yang bukan anaknya sendiri.

(5) Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwalian atau

pengampuan atas anak sendiri.

(6) Hak menjalankan pencaharian tertentu.

2) Perampasan barang-barang tertentu

Mengenai hal ini diatur dalam Pasal 39 ayat (1) KUHP yang

dirumuskan sebagai berikut: “Barang kepunyaan si terhukum, yang

diperoleh dengan kejahatan atau yang dengan sengaja dipergunakan

untuk melakukan kejahatan”.

Artinya benda-benda milik si terhukum yang diperoleh karena

kejahatan, itu bukan hanya benda yang secara langsung telah diperoleh

karena kejahatan, melainkan juga benda-benda yang oleh terpidana

telah dibeli dengan uang hasil kejahatan. Benda-benda seperti ini juga

dapat dinyatakan disita.

3) Pengumuman putusan hakim

Mengenai hal ini diatur dalam Pasa 43 KUHP yang dirumuskan

sebagai berikut:

“Apabila hakim memerintahkan supaya putusan diumumkan

berdasarkan Kitab Undang-Undang ini atau aturan umum lainnya, maka

harus ditetapkan pula bagaiaman cara pelaksanaan perintah atas biaya

terpidana”.

51

Dari rumusan tersebut diketahui, bahwa apabila hakim

menginginkan agar putusan itu diumumkan, maka di dalam putusannya itu

juga harus disebutkan tentang bagaimana caranya melakukan

pengumuman itu dan harus menentukan besarnya biaya yang harus

ditanggung oleh terpidana untuk melakukan pengumuman tersebut.

Pidana tambahan berupa pengumuman putusan hakim itu disatu

pihak merupakan suatu pidana, karena pidana tambahan itu telah

mendatangkan suatu penderitaan yang sangat berat dari terpidana, karena

nama baiknya telah dicemarkan di depan orang banyak, dan dilain pihak

sebagai tindakan yang menyelamatkan masyarakat.89

89

Ibid., hal. 143

52

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini digunakan tipe penelitian Yuridis Normatif

dengan menggunakan beberapa pendekatan masalah yang pendekatan

undang-undang (Statute Approach), dan pendekatan kasus (Case Approach).

1. Pendekatan Undang-Undang (statute approach)

Pendekatan Undang-undang (statute approach) adalah pendekatan

yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang

bersangkut paut dengan isu/ permasalahan hukum yang diteliti.90

Untuk itu

peneliti harus melihat hukum sebagai suatu sistem yang tertutup yang

mempunyai sifat comphrehensive, all inclisive, dan systematic.

Melakukan pendekatan ini akan mempelajari konsistensi dan

kesesuaian undang-undang dengan undang-undang lainnya. Hasil telaah

tersebut merupakan suatu argumen yang memecahkan isu yang dihadapi.91

Penelitian ini akan mempelajari Kitab Undang Hukum Pidana yang terkait

dengan Putusan Nomor: 93/Pid.B/PN. Pwt.

2. Pendekatan Kasus (case approach)

Pendekatan kasus digunakan dalam penelitian Normatif, digunakan

untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang

90 Soerdjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2007, Penelitian Hukum Normatif, PT.

RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal. 14 91

Ibid., hal. 93

53

telah diputus, sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurispudensi terhadap

perkara-perkara yang menjadi fokus penelitian. Kasus-kasus tersebut

dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dimensi penormaan

dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan

analisisnya untuk bahan masukan (Input) dalam eksplanansi hukum.92

Penggunaan pendekatan masalah tersebut dimaksudkan untuk

menjelaskan analisis peranan korban dalam tindak pidana melarikan

perempuan di bawah umur, dan menganalisis tentang pertimbangan hakim,

dalam memutus perkara melarikan anak di bawah umur.

B. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan bersifat preskriptif. Pada

tingkatan pertama penelitian ini difokuskan pada penelitian mengenai peran

korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur. Dalam

tingkatan ini dilakukan penelitian terhadap kaidah-kaidah hukum yang

merupakan patokan bersikap dan berperilaku bagi manusia. Pada tingkatan

kedua penelitian ini kemudian difokuskan pada inventarisasi dan sinkronisasi

hukum yang bertujuan untuk mengungkapkan kenyataan sampai sejauh mana

perundang-undangan tertentu serasi secara vertikal dan horizontal.

92

Jhonny Ibrahim, 2005, Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Banyumedia, Malang,

hal. 321

54

C. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pengadilan Negeri Purwokerto dan Pusat

Informasi ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

D. Sumber Data

Sumber data yang dipakai adalah bahan data sekunder, yaitu data

hukum yang diperoleh peneliti dari penelitian kepustakaan dan dokumentasi

yang merupakan hasil penelitian kepustakaan dan dokumentasi, yang

merupakan hasil penelitian dan pengolahan orang lain, yang sudah tersedia

dalam bentuk buku-buku atau dokumentasi yang biasanya disediakan di

perpustakaan, atau milik pribadi peneliti, yang berhubungan dengan masalah

yang diteliti dan putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt. Dalam hal ini

penulis juga memasukan hasil wawancara sebagai penunjang data sekunder

dalam rangka menganalisis putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt.

E. Metode Pengumpulan Data

Data disajikan dalam uraian-uraian yang disusun secara sistematis,

yaitu data sekunder yang diperoleh dilakukan sinkronisasi antara data yang

satu dengan data yang lain sehingga tersusun sebagai satu kesatuan yang

utuh, berhubungan, dan berkaitan erat serta berurutan.

F. Metode Penyajian Data

Data disajikan dalam bentuk teks Naratif dengan cara mendialogkan

antara Teori hukum, norma hukum, hasil penelitian dan analisis penelitian

55

yang dihubungkan antara satu dengan lainnya sesuai dengan pokok

permasalahan sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh (Comprehensive all

Inclusive dan Systematic).

a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada didalamnya terkait

antara satu dengan yang lain secara logis.

b. All inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu

menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada

kekurangan hukum.

c. Systematic bahwa disamping bertautan antara satu dengan yang lain,

norma norma tersebut juga tersusun secara hierarkis.93

G. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis dengan metode normatif kualitatif, yaitu

dengan menjabarkan data-data yang diperoleh berdasarkan norma hukum, doktrin

dan teori hukum pidana yang relevan dengan pokok masalah yang diteliti.94

93

Jhonny Ibrahim, 2005, Op.Cit., hal 303 94

Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, hal. 25

56

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Penelitian dilakukan terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto

dalam Putusan Perkara Nomor : 93/ Pid. B/2012/PN. Pwt tentang Melarikan

perempuan di bawah umur atas persetujuan korban itu sendiri, sebagaimana

diatur dan diancam pidana dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP, hasil

penelitian pada pokoknya adalah sebagai berikut:

1. Identitas Pelaku/ Terdakwa:

Nama lengkap : Mochammad Yusuf Syarifudin:

Tempat lahir : Banyumas:

Umur/ tanggal lahir : 25 tahun/ 21 September 1987:

Jenis Kelamin : Laki-laki:

Kebangsaan : Indonesia;

Tempat tinggal : Jalan Puteran Rt 04 Rw 01 Kelurahan Berkoh

Kecamatan Purwokerto Selatan Kabupaten

Banyumas;

Agama : Islam;

Pekerjaan : PNS (Anggota Polri);

Pendidikan : SLTA;

57

2. Duduk Perkara

Bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin pada hari Senin tanggal 16

April 2012 sekiranya pukul 21.00 WIB bertempat di jembatan jalan KS.

Tubun Kelurahan Rejasari Kecamatan Purwokerto Barat, menjemput

korban berinisial DVD yang kabur dari rumah, yang mana sebelumnya

antara pelaku dan korban sudah melakukan komunikasi melalui

Blackberry Messanger untuk ketemuan dan dating di Cheers Cafe dalam

rangka merayakan ulang tahun pelaku, korban dijemput oleh pelaku

dengan mengggunakan mobil Avanza. Setelah dijemput, korban pergi

bersama pelaku dan teman-temannya ke tempat kost di depan SMP 9

Purwokerto.

Bahwa pelaku, korban dan teman-temannya kemudian pergi ke

Cheers Cafe sekitar pukul 24.00 WIB. Di sana korban diajak minum-

minuman keras hingga mabuk, dan korban juga diberi sejenis obat oleh

temannya, sehingga ia tidak sadarkan diri. Bahwa sekiranya pukul 00.30

WIB Gemilang Dwiki teman dari korban DVD, mendapatkan informasi

dari saudaranya bahwa korban DVD sedang berada di Cheers Cafe dalam

keadaan mabuk, selanjutnya sekiranya pukul 01.00 WIB, Gemilang Dwiki

mencoba untuk mengajak korban untuk pulang, akan tetapi tidak diijinkan

oleh pelaku. Selanjutnya korban dibawa ke kost-kosan di depan SMP 9

Purwokerto.

Bahwa atas informasi dari Gemilang Dwiki, kedua orang tua

korban datang ke kost di depan SMP 9 Purwokerto, dan mereka mendapati

58

anaknya sedang tertidur sekamar dengan pelaku dalam posisi dipeluk oleh

Terdakwa. Dalam posisi itu korban tidak sadarkan diri kemudian ke dua

orang tua korban membawanya pulang.

3. Dakwaan Jaksa Penuntut Umum

Bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin pada hari Senin

tanggal 16 April 2012 sekira pukul 21.00 WIB, atau setidak-tidaknya pada

waktu lain dalam bulan April 2012, bertempat di Perumahan Shapire

Regency Block C-54 RT-03 RW-09 Jalan KS Tubun Kelurahan Rejasari

Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas atau setidak-tidaknya

pada suatu tempat lain di mana Pengadilan Negeri Purwokerto berwenang

memeriksa dan mengadili perkara ini, telah melarikan perempuan yang

belum dewasa yang berinisial DVD tanpa dikehendaki orang

tua/walinya, tetapi atas persetujuan perempuan itu sendiri, dengan

maksud untuk memastikan penguasaan terhadap wanita itu, baik di

dalam maupun di luar perkawinan. Berdasarkan uraian tersebut di atas

maka Terdakwa didakwa oleh Penuntut umum melakukan tindak pidana

dengan dakwaan tunggal yaitu melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP.

4. Alat bukti yang diajukan di persidangan

a. Keterangan saksi

1) Saksi Korban DVD

Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar jam

21.00 Wib, saksi dijemput oleh saudara Yusuf dan teman-temannya

59

yaitu Ranggi, Rendi, dan Bismo, di jembatan dekat rumah saksi,

dengan menggunakan mobil Avanza warna abu-abu, dan

sebelumnya saksi mendapat pesan sms dari Yusuf yang isinya

supaya datang ke acara ulang tahunnya di Cheers Cafe dan

mengajak berlibur ke Bandung dan menjanjikan akan membelikan

apapun yang diinginkan oleh saksi. Sebenarnya saksi belum pernah

bertemu dengan Yusuf, saksi hanya mengenal lewat Blackberry

messenger. Setelah menjemput korban, rombongan dan saksi pergi

ke arah stasiun, kemudian Ranggi turun untuk membeli minuman

keras di warung dekat jembatan, lalu ke bundaran Banyumas

Billiard Centre (BBC), setelah dari bundaran Banyumas Billiard

Centre (BBC), mereka pergi ke tempat kost di depan SMP 9

Purwokerto dan semuanya teman laki-laki turun untuk minum lagi,

setelah itu pergi ke Cheers Cafe dan di sana minum-minuman keras

jenis Red Label, Coca Cola dan rokok.

Kemudian saksi dipaksa untuk minum oleh Rendi, Yusuf

dan Ranggi, setelah itu Dwiki dan Mirna teman saksi datang untuk

mengajak saksi bergabung dengan Dwiki dan Mirna namun tidak

diijinkan oleh Ajeng dan Yusuf. Kemudian saksi menangis, dan

Ajeng membawa saksi kesudut ruangan dan mengancam saksi,

apabila saksi masih menangisi Dwiki maka sama saja saksi

membuat ribut. Kemudian Ajeng memasukan pil sebanyak 2 (dua)

buah ke mulut saksi. Kemudian terjadi keributan karena Dwiki dan

60

Yusuf memperebutkan saksi. Karena saksi sudah dalam keadaan

lemas Yusuf mengangkat saksi dan di masukan ke dalam mobil.

Kemudian saksi dibawa muter-muter untuk mencari Ranggi, dalam

perjalanan tersebut Ajeng dan Yusuf memberi pil sebanyak 2 (dua)

buah, kemudian saksi merasa lemas dan pusing dalam perjalanan

mencari Ranggi, ada yang memegang payudara saksi, dan

menciumi saksi akan tetapi saksi tidak tahu siapa yang melakukan

karena saksi dalam keadaan lemas, sampai akhirnya saksi tidak

sadarkan diri di rumah sakit selama 3 (tiga) hari.

2) Saksi Amin Naufal

Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul

19.00 WIB sewaktu saksi akan berangkat ke Masjid, di teras saksi

ada anak laki-laki, dan sepulang dari masjid anak tersebut masih

bersama anak saksi. Ketika saksi di dalam rumah isteri saksi tiba-

tiba mengatakan kepada saksi, bahwa DVD akan pergi ke

Yogyakarta dengan teman-temannya naik mobil, dan saksi tidak

mengijinkan. DVD ternyata tetap pergi tanpa ada ijin dari orang

tuanya, dan yang mengajak pergi adalah Mochammad Yusuf

Syarifudin, bahwa DVD diajak pergi dalam rangka merayakan

ulang tahunnya di Cheers Cafe dan juga akan diajak pergi ke

Bandung.

Pada kenyataanya DVD tidak pulang, dan isteri saksi

menemukan DVD di Sumampir, tempat kost-kostan dalam keadaan

61

mabuk dan sedang tidur bersama laki-laki. Bahwa saksi merasa

bingung melihat kondisi DVD sehingga pada pukul 11.00 WIB

saksi membawa DVD ke Rumah Sakit Islam Purwokerto dan DVD

baru sadar keesokan harinya pada tanggal 18 April 2012 pada pukul

10.00 WIB, dan pada saat itu mengatakan pada saksi bahwa ada

yang ingin diceritakan pada saksi akan tetapi DVD meminta supaya

cerita di depan Polisi, kemudian Saksi mendatangkan Polisi, dan

sampai akhirnya DVD menceritakan semua kejadian yang

dialaminya.

3) Saksi Asih Kusmiandini

Bahwa Saksi tidak kenal dan tidak ada hubungan keluarga

dengan Terdakwa dan saksi dalah ibu kandung dari korban, saksi

sebenarnya tidak mengijinkan DVD untuk pergi. Sekitar pukul

03.24 Wib saksi mendapat sms dari teman DVD yang isinya, bahwa

DVD sedang berada di kost-kostan di depan SMP 9, saksi mengira

DVD sedang berada di kamar, namun ternyata tidak ada. Sehingga

saksi pergi ke kost-kostan, dan mendapati DVD sedang tertidur

dengan posisi dipeluk oleh seorang laki-laki yang ada tatonya di

tangan kanannya, dan membangunkan DVD namun tidak

terbangun. Bahwa DVD baru sadarkan diri pada hari Rabu, tanggal

18 April 2012 pukul 10.00 WIB. Bahwa menurut cerita DVD ketika

di Cheers DVD diberi pil oleh Ajeng dan pak polisinya

(Mochammad Yusuf Syarifudin).

62

4) Saksi Gemilang Dwiky Lisprianda

Bahwa saksi di beri tahu oleh saudara dari saksi kalau DVD

sedang berada di Cheers Cafe, saksi menyusul DVD di Cheers

Cafe dengan maksud untuk mengajak DVD pulang. Setahu saksi

DVD dalam keadaan mabuk sehingga saksi berniat untuk

membawanya, namun tidak diijinkan oleh Mochammad Yusuf

Syarifudin. Kemudian saksi mengikuti rombongan mobil, yang

menuju ke kost-kostan di depan SMP 9, kemudian saksi memberi

kabar kepada keluarga DVD tentang keberadaan DVD.

5) Saksi Awal Amin Supriyadi

Saksi adalah teman sekolah korban. Pada hari Senin, 16

April 2012 saksi bertemu DVD di rumahnya, dengan tujuan supaya

saksi menyampaikan kepada orang tua DVD, bahwa korban akan

pergi ke Bandung, tetapi supaya saksi mengatakan korban mau

pergi Jogja, namun orang tuanya tidak mengijinkan. Pada saat itu

DVD marah dan mengajak saksi untuk kabur, namun tidak jadi.

Saksi tidak tahu kalau tenyata DVD pergi tanpa ijin dari orang

tuanya, dan saksi tidak ikut pergi bersama DVD.

6) Saksi Subismo Tegar

Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul

00.30 WIB, saksi bersama Ucup, Puteri, DVD, Rendi, dan Ranggi

dengan menggunakan mobil Avanza biru menuju ke Cheers Cafe,

untuk merayakan Ulang Tahun Ucup dan minum. Setelah dari

63

Cheers Cafe selanjutnya, mereka menuju ke kost-kostan Rendi di

Sumampir, yang berada di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa saksi

mendengar ketika DVD minta sejenis obat untuk menurunkan

alkohol kepada Ajeng, namun saksi kurang tahu selanjutnya karena

saksi juga dalam keadaan mabuk, dan duduk di belakang bersama

Putri. Bahwa sesampainya di kost saksi bersama Puteri langsung

masuk ke dalam kamar dan tidak tahu yang terjadi pada teman-

temanya;

7) Saksi Ranggi Ade Yulizar

Bahwa pada hari Senin, 16 April 2012 sekitar pukul 20.00

WIB saksi pergi bersama DVD dan yang mengajak pergi adalah

Mochammad Yusuf Syarifudin. Pada saat saksi menjemput DVD,

Terdakwa tidak meminta ijin kepada orang tuanya DVD, melainkan

menunggu di jembatan dekat Perumahan Shapire, dan setahu saksi

mereka sudah janjian. Sekitar pukul 23.00 WIB saksi bersama

rombongan pergi ke Cheers Cafe, dan semuanya minum-minuman

keras tersebut, termasuk DVD, lalu saksi pergi keluar sendirian,

untuk pergi kerumah temannya, sedangkan rombongan masih di

Cheers Cafe. Sekitar pukul 03.30 WIB, saksi baru menunju ke kost-

kostan di depan SMP 9 Purwokerto. Bahwa sekitar pukul 04.00

WIB, saksi melihat orang tua DVD ke kost, saat itu pula saksi

pulang ke rumah.

64

8) Saksi Rendi Wibowo alias Sondel

Bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul

23.30 WIB saksi bersama DVD pergi menggunakan mobil Avanza

dari tempat kost depan Kelurahan Semampir kecamatan Purwokerto

Utara, menuju ke Cheers Cafe dan semuanya minum, setelah itu

semua pulang ke kost lagi. Bahwa kemudian sekitar pukul 03.00

WIB ibunya DVD datang ke kost-kostan dan menanyakan

keberadaan DVD, lalu saksi bersama teman-temanya pergi.

b. Surat visum

Berdasarkan surat yang telah di bacakan dalam persidangan

yaitu Visum et Repertum atas nama DVD Nomor:

002/IV/VER/RSIP/2012/R tanggal 27 April 2012 yang ditanda tangani

oleh dr. Rena Susilo Dokter Rumah Sakit Islam Purwokerto, yang

disebutkan bahwa tidak ditemukan bekas akibat rudapaksa dan tidak

terdapat gangguan kesehatan (tubuh) untuk menjalankan pekerjaan

sehari-hari.

c. Petunjuk

a) 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun

2006 No Ka: MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131;

b) 1 (satu) buah STNK An. FARID PUNTODEWO Alamat Jalan

Stasiun 554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap. Dikembalikan

kepada pemiliknya melalui Terdakwa;

65

c) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada Terdakwa;

d) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan

kepada saksi DVD ;

d. Keterangan Terdakwa

Bahwa Pada hari Senin, tanggal 16 April 2012 sekitar pukul

13.30 WIB, Terdakwa berangkat dari asrama Polsek Sumpiuh menuju

ke Purwokerto dengan menggunakan mobil Toyota Avanza warna biru,

kemudian ia berbelanja baju, kemudian Terdakwa menuju ke tempat

Rendi yaitu kost-kostan di depan SMP 9 Purwokerto dengan tujuan

untuk menumpang mandi, kemudian karena di sana ada Ajeng, Ajeng

minta diantar ke salon, dan kemudian Terdakwa pergi ke Moro sendiri

untuk membeli HP, jam tangan, baju, serta celana.

Kemudian pada pukul 20.45 WIB, ia menerima sms dari Rendi,

yang intinya supaya Terdakwa kembali ke kost-kostan Rendi di depan

SMP 9 Purwokerto. Sesampai di sana sudah ada Bismo, Puteri, Hendi,

Ranggi yang sedang berpesta pil Code 15, lalu Terdakwa pergi untuk

mencari makan di Yogya Chiken setelah itu Terdakwa kembali ke kost-

kostan. Sekitar pukul 21.50 WIB, Terdakwa bersama dengan kelima

orang temannya keluar menggunakan mobil Avanza tersebut untuk

jalan-jalan, dan sekitar pukul 22.05 WIB Terdakwa menerima BBM dari

DVD dan menayakan hal-hal sebagai berikut:

DVD : Lagi di mana, Putri di situ nggak?

Terdakwa : Lagi keliling Indonesia, tadi ada tragedi kamu

ketangkep ibumu minum di GOR jam tujuan ya?”

66

DVD : Kamu jadi open minuman nggak, aku orangnya

dikekang sama orang tua loh

Terdakwa : Apa iya terus gimana?

DVD : Aku mau kabur ajalah

Terdakwa : Aku mau ke Cheers cuman gak sampai selesai

soalnya besok mau ke Bandung mau jalan-jalan.

DVD : Ikutlah, aku mau kabur aja dari rumah, si Puteri

ada kan?

Terdakwa : Ya.

DVD : Aku mau ikutlah, aku kabur dari rumah, aku di

jemput di turunan jembatan aja.

Terdakwa : Jembatan mana?

DVD : Tanya Puteri!

Terdakwa : Ya udah, saya muter-muter ajalah

DVD : Sekarang jemput di turunan yah!

Terdakwa : Ya, on the way

Kemudian Terdakwa menanyakan pada Puteri, jembatan mana

sih Put?

Puteri kemudian menjawab, jembatan KS. Tubun Perumahan

Shapire, kemudian Terdakwa bersama dengan rombongan menuju ke

jembatan sekitar pukul 23.30 WIB untuk bertemu dengan DVD.

Bahwa selanjutnya Terdakwa dan rombongan naik ke Bundaran

Banyumas Billiard Centre Tirta Kembar Purwokerto, lau kembali ke

kost-kostan Rendi, dengan maksud ganti baju lalu ke Cheers sekitar

67

pukul 00.30 WIB. Setelah sampai di Cheers Cafe rombongan masuk

kecuali ketiga orang yaitu, Ajeng, Puteri dan DVD yang dilarang oleh

security untuk masuk dengan alasan karena masih di bawah umur dan

tidak bisa menunjukan KTP, lalu Terdakwa mengatakan, mending

pulang saja kalau tidak bisa masuk, semua tanggungjawab saya kalau

ada apa-apa di dalam. Lalu security mengatakan, ya sudah silahkan

masuk, akhirnya Terdakwa berenam masuk keruangan bagian atas

Cheers Cafe dan duduk di sofa lalu Terdakwa memesan minuman Red

label sebanyak 2 botol, lalu semua minum sambil berjoged berpasangan

yaitu Puteri dengan Bismo, DVD dengan Ranggi dan Ajeng dengan

Rendi, lalu Ranggi bersama Rendi menarik-narik tangan DVD untuk

bergantian dan Terdakwa duduk sendirian sambil memperhatikan

mereka, karena Terdakwa merasa cemburu melihat DVD.

Bahwa setelah minuman habis, DVD minta dibelikan kentang

goreng, lalu Terdakwa langsung membelikan kentang goreng, tidak

lama Dwiki datang mendekati DVD langsung melakukan ciuman dan

Terdakwa kemudian mendekati Dwiki dan menendang kaki kiri Dwiki

dengan kaki kanan Terdakwa sambil mengatakan “nggak sopan lah

disini !” lalu Dwiki duduk disamping DVD. Kemudian Terdakwa jadi

membelikan kentang goreng, sekembalinya membeli kentang goreng,

Terdakwa melihat Ranggi sedang mencumbu DVD, kemudian

Terdakwa langsung mendekati Ranggi sambil mendorong kepala

Ranggi dengan tangan kanannya, sambil mengatakan “Kamu tau kan

68

saya suka sama DVD, mengapa kamu berani ciuman dan mencumbui di

depan saya” sambil memegang krah baju Ranggi dengan kedua

tangannya sampai bajunya sobek. Kemudian Ranggi pulang. Kemudian

Terdakwa bersama rombongan keluar dari Cheers Cafe sekitar pukul

03.15 WIB.

Bahwa Terdakwa bersama rombongan menuju parkiran menuju

mobil kemudian, mendapat BBM dari Bismo, yang intinya mengajak ke

Bandung, lalu Puteri mengatakan pada DVD, setelah semua masuk ke

mobil, DVD menangis sambil menyebut nama Dwiki serta mengatakan

ingin obat penenang, kemudian dijawab oleh Riki ya ada obat

penenangnya harganya Rp. 25.000,- kemudian dijawab oleh DVD “tapi

nggak punya uang” dan Terdakwa menjawab “Aku ada uang yo dipakai

dulu” lalu Riki memberi obat penenang sejenis Rikhlonal sebanyak 2

butir kepada Ajeng, ½ pil dimakan sendiri oleh Ajeng, dan 1 ½

diberikan kepada DVD. DVD masih mengoceh minta obat lagi tetapi

tidak diberi. Kemudian Terdakwa bersama rombongan menuju kost-

kostan Rendi di depan SMP 9 Purwokerto.

Bahwa Terdakwa tidak tahu pastinya DVD berumur berapa dan

Terdakwa menjemput DVD tanpa ijin dari orang tuanya. Terdakwa

menjemput DVD karena Terdakwa menaruh rasa suka kepada DVD,

dan sebelumnya DVD telah BBM dahulu dengan Terdakwa. Terdakwa

merasa bersalah dan menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan

mengulanginya lagi. Bahwa Terdakwa belum pernah dihukum.

69

Terdakwa adalah sebagai tulang punggung keluarga dan masih

mempunyai tanggungan seorang anak kandungnya yang masih kecil.

Bahwa Terdakwa sudah meminta maaf kepada keluarga korban, ayah

dan ibu kandung korban, dan telah memaafkan kesalahan Terdakwa.

e. Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Tuntutan pidana Penuntut Umum tertanggal 17 Juli 2012 yang

pada pokoknya menuntut agar Majelis Hakim menjatuhkan putusan

sebagai berikut:

1. Menyatakan bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin terbukti bersalah

secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Melarikan

perempuan di bawah umur” sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 332 Ayat (1) ke-1 KUHP;

2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mochammad Yusuf

Syarifudin dengan pidana penjara selama: 6 (enam) Bulan dikurangi

selama Terdakwa berada di tahanan sementara dengan perintah

Terdakwa tetap ditahan;

3. Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

1.000,- (seribu rupiah);

f. Pertimbangan Hukum Hakim

Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto

dalam perkara Nomor 93/Pid.B/2012/PN. Pwt, atas nama Terdakwa

Mochamad Mochammad Yusuf Syarifudin. Dengan mendasarkan pada

70

fakta fakta hukum di persidangan, Majelis Hakim memilih dan

mempertimbangakan bahwa dakwaan tunggal telah melakukan tindak

pidana melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP yang mempunyai

unsur-unsur sebagai berikut :

Ad. 1. Unsur barangsiapa;

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan barangsiapa adalah

siapa saja sebagai pendukung hak dan kewajiban yang dengan identitas

yang jelas, diajukan ke persidangan karena didakwa melakukan tindak

pidana dan perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya;

Menimbang, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan

sesorang Terdakwa bernama Mochammad Yusuf Syarifudin yang

membenarkan identitasnya seperti dalam surat dakwaan Penuntut

Umum dan setelah mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan

Terdakwa di persidangan didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan

(error in persona) yang disangka telah melakukan tindak pidana

tersebut adalah benar Mochammad Yusuf Syarifudin, maka dengan

demikian unsur barangsiapa telah terpenuhi menurut hukum.

Ad. 2. Unsur melarikan seorang wanita yang belum dewasa;

Menimbang, bahwa apa yang dimaksud dengan melarikan

perempuan yang belum dewasa adalah mengajak, meminta, atau

membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat tinggalnya.

Perbuatan membawa pergi seseorang wanita dalam ayat (1) ini tidak

mementingkan cara, apakah dengan secara sukarela atau tidak, bahkan

71

dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam pengertian ini.

Sedangkan yang dimaksud dengan belum dewasa adalah belum

berumur 18 tahun atau belum menikah;

Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas,

terbukti bahwa Terdakwa membawa pergi saksi korban yang berusia 17

tahun yang secara yuridis termasuk anak yang belum dewasa karena

belum berusia 18 tahun, Terdakwa melarikan korban dari tangal 16

April 2012, maka unsur kedua “membawa pergi seorang wanita yang

belum dewasa” telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa.

Ad.3 Unsur tanpa dikehendaki orang tua atau walinya tetapi

dengan persetujuannya dengan maksud untuk memastikan

penguasaan terhadap wanita itu, baik di dalam maupun di luar

perkawinan.

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan “tanpa dikehendaki

oleh orang tua atau walinya, tetapi atas persetujuan korban atau

peresetujuan perempuan itu sendiri” mempunyai pengertian yang sama

dengan tanpa persetujuan atau tanpa ijin atau tanpa sepengetahuan

orang tua atau walinya tetapi dengan persetujuan atau kehendak atau

kesepakatan wanita itu sendiri.

Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas,

maka unsur ketiga terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa;

72

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas

maka semau unsur-unsur dari Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP telah

terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa;

Menimbang, bahwa terhadap pembelaan Terdakwa melalui

penasehat hukumnya, oleh karena hanya merupakan permohonan untuk

mendapatkan hukuman yang seringan-ringannya, maka akan

dipertimbangkan sebagai hal meringankan terhadap pidana yang akan

dijatuhkan;

Menimbang, bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut

di atas, Majelis telah mendapatkan bukti-bukti yang menurut hukum,

dari bukti mana majelis memperoleh keyakinan bahwa Terdakwa

Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melarikan Perempuan

Yang Belum Dewasa Tanpa Dikehendaki Orang tuanya, di luar

Perkawinan” seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umun, karena

tidak ditemukan alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan hukum

dan alasan pembenar yang meniadakan kesalahan dalam diri Terdakwa,

maka Terdakwa harus dinyatakan salah dan kepada Terdakwa harus

dijatuhi pidana;

Menimbang, bahwa oleh karena Terdakwa telah terbukti

bersalah dan dijatuhi pidana maka kepadanya dijatuhi pidana maka

kepadanya dibebani untuk membayar biaya perkara seperti yang

tercantum dalam putusan di bawah;

73

Menimbang, bahwa sebelum menjatuhkan putusan akan

dipertimbangkan terlebih dahulu hal-hal yang memberatkan dan

meringankan terhadap pidana yang akan dijatuhkan kepada Terdakwa:

Hal-hal yang meringankan:

1. Terdakwa belum pernah dihukum;

2. Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga

memperlancar jalannya persidangan;

3. Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan

untuk memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin

mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat;

Hal-hal yang memberatkan :

Perbuatan Terdakwa menimbulkan rasa malu bagi keluarga saksi Amin

Naufal;

g. PUTUSAN

Mengingat dan memperhatikan Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP,

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman,

Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, serta

ketentuan undang-undang dan hukum yang berkaitan dengan

perundang-undangan ini.

Mengadili:

1. Menyatakan Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti

secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana

“Melarikan Perempuan Yang Belum Dewasa Tanpa Dikehendaki

Orang tuanya, di Luar Perkawinan”;

74

2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu terhadap Terdakwa tersebut

dengan dipidana penjara selama 3 (tiga) bulan;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangi

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.

4. Memerintahkan Terdakwa tetap ditahan;

5. Menetapkan alat bukti berupa:

a. 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun

2006 No Ka : MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131;

b. 1 (satu) buah STNK An. Farid Puntodewo, Alamat Jalan Stasiun

554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap; Dikembalikan

kepada pemiliknya melalui Terdakwa;

c. 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada

Terdakwa;

d. 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan

kepada saksi DVD ;

6. Membebankan kepada Terdakwa untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp. 1.000,00 (Seribu rupiah)

75

B. PEMBAHASAN

Berdasarkan hasil penelitian terhadap perkara Tindak Pidana

Melarikan Perempuan di Bawah umur atas persetujuan korban, di wilayah

Pengadilan Negeri Purwokerto dalam Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt

dan dengan melakukan studi pustaka yang berhubungan dengan objek

penelitian, maka dapat dianalisis sebagai berikut :

1. Peranan Korban dalam Tindak Pidana Melarikan Perempuan di

Bawah Umur atas Persetujuan korban dalam putusan Nomor:

93/Pid.B/2012/PN.Pwt

Salah satu aspek yang berkaitan dengan korban yaitu peranan

korban. Peranan korban mempunyai pengertian bahwa korban dipandang

dapat memainkan peranan dan menjadi unsur penting dalam terjadinya

tindak pidana yang menimbulkan korban atau viktimisasi.95

Secara

singkatnya bahwa peranan korban dalam tindak pidana melarikan

perempuan di bawah umur adalah korban mempunyai peranan yang

dianggap penting dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di

bawah umur.

Telah dikemukakan bahwa dalam memahami permasalahan

kejahatan secara komprehensif, tidak boleh mengabaikan tentang peranan

korban dalam kejahatan. Karena apabila kita melihat tujuan dari hukum

pidana yaitu untuk mencari kebenaran materiil maka harus diperhatikan

95

Iswanto dan Angkasa, Op.cit., hal. 27

76

segala aspek yang berhubungan dengan pelaku kejahatan, korban, situasi,

tempat dan waktu terjadinya tindak pidana. Apalagi di sini korban

mempunyai kedudukan yang sangat strategis, dalam terjadinya tindak

pidana.

Hukum pidana memberlakukan korban seperti hendak mengatakan

bahwa satu-satunya cara untuk melindungi korban adalah dengan

memastikan bahwa si pelaku mendapatkan balasan yang setimpal. Namun

hal itu sebenarnya bukan hal yang akan menciptakan keadilan karena

hukum pidana dalam prakteknya harus memperhatikan segala aspek yang

berhubungan dengan tindak pidana, termasuk di dalamnya adalah aspek

mengenai korban itu sendiri.

Dengan viktimologi akan tampak bahwa timbulnya korban tidak

mutlak disebabkan oleh kesalahan pelaku kejahatan, namun dapat pula

disebabkan karena kesalahan korban dari tingkat yang ringan hingga

kesalahan yang penuh dipihak korban. Yang nantinya, dapat menentukan

dapat tidaknya pelaku kejahatan memperoleh hukuman yang setimpal

dengan perbuatan yang dilakukannya.

Dapat dikatakan apabila korban merupakan aset yang penting

dalam upaya menghukum pelaku kejahatan. Bahwa berdasarkan studi

statistik menurut Wolfgang ditemukan bahwa satu korban di antara empat

kasus pembunuhan ikut mempercepat pembunuhan tersebut. Begitu pula

berdasarkan hasil penelitian dari Meir dan Meite, yang menunjukan dalam

77

kasus perkosaan tingkat Victim Precipitation (VP) mencapai sekitar 4-19%

karena kelalaian korban.96

Berdasarkan penelitian tersebut di atas menunjukan bahwa dalam

terjadinya viktimisasi, korban dapat ikut berperan, atas hasil interaksi

sebelumnya antara pelaku dan korban. Mengenai masalah peranan korban,

pihak korban ada yang mempunyai status sebagai partisipan aktif dan

sebagai partisipan pasif dalam suatu tindak pidana.

Makna dari partisipan aktif bahwa, ada tindakan yang saling

mendukung, dan memperlancar terjadinya tindak pidana antara korban

dengan pelaku. Sedangkan makna dari partisipan pasif bahwa dalam

terjadinya tindak pidana yang menyebabkan terjadinya viktimisasi tidak

ada tindakan dari korban yang mendukung terjadinya tindak pidana, hanya

pelaku yang murni melakukan kesalahan.

Dalam bukunya JE Sahetapy tentang “Viktimologi sebuah bunga

rampai”, bahwa Peranan si korban dalam peristiwa tindak kejahatan yaitu:

a) Rangsangan bagi timbulnya kejahatan

Ada hal-hal yang merangsang dari korban dalam timbulnya

kejahatan. Dan bahwasannya, suatu tindak kejahatan merupakan suatu

perbuatan yang diperhitungkan secara rasional. John S carroll yang

menggunakan pedekatan rasional-analitis. Ada faktor-faktor yang

dipertimbangkan di dalam pengambilan keputusan sebagaimana yang

dirumuskan sebagai berikut:

96

Ibid., hal 28

78

SU= [(p(S)x G) –[p(F)x L)]

SU = Subjective Utility. SU ialah pertimbangan si pelaku kejahatan

apakah dia akan melaksanakan kejahatan yang direncanakannya. Secara

garis besar keputusan yang dibuat hanya dalam dua pilihan: akan

dilaksanakan atau tidak akan dilaksanakan.

P(S) = Probability of success. P(S) ialah pertimbangan si pelaku

kejahatan, sejauh mana ia akan berhasil sukses di dalam melaksanakan

tindak kejahatan yang direncanakannya.

G = Gain. G ialah pertimbangan besar kecilnya keuntungan yang akan

diperoleh dari suatu tindak kejahatan yang direncanakan. Keuntungan

ini dapat berupa keuntungan materi seperti barang-barang berharga, dan

dapat juga berupa keuntungan psikologis seperti kepuasan jiwa yang

diperoleh dari tindak kejahatan.

P(F) = Probability of fail. P (F) ialah pertimbangan besar kecilnya

kemungkinan gagal (tertangkap) di dalam melaksanakan tindak

kejahatan yang direncanakan.

L = Loss. L ialah besar kecilnya kerugian apabila si pelaku kejahatan

tertangkap di dalam melaksankan kejahatan.

Letak peranan korban di dalam rumusan kejahatan, menurut J.E

Sahetapy terletak di dalam faktor p(S) dan p(F) serta faktor G.

Dalam Putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt terjadinya Tindak

Pidana melarikan Perempuan di Bawah umur atas persetujuan korban.

Pelaku melakukan tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur,

79

dikarenakan kesalahan korban yang mau dan setuju untuk ikut dengan

pelaku atau Terdakwa, padahal mereka belum saling mengenal baik

sebelumnya, dan antara mereka tidak terikat dalam hubungan

perkawinan. Korban tidak menghiraukan nasehat dari orang tuanya

untuk tidak pergi kemana-mana, akan tetapi korban tetap pergi ketika

orang tuanya sedang lengah dan korban mengambil kewenangan dari

orang tuanya untuk pergi dari rumah tanpa ijin.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan responden Budi

Setyawan, salah satu Hakim anggota yang mengadili perkara ini,

bahwa untuk menghitung tingkat kesalahan korban, bahwasannya

menerapkan perumusan rasional analisis seperti ini. Namun secara

praktiknya masalah peranan korban dapat diperhitungkan dengan cara

memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan, tidak bisa

kasuistik. Artinya, menyamakan kasus-kasus yang telah diputus, karena

banyak hal maupun faktor-faktor yang akan berpengaruh, dalam

pengambilan putusan. Paling tidak hakim bisa mengambil kesimpulan

dari peranan korban dari suatu tindak pidana yang tidak bisa di

kesampingkan.

b) Tipe korban yang merangsang terjadinya kejahatan.

Henting berpendapat bahwa si korban berperan di dalam

menimbulkan kejahatan. Dengan melihat Peranan korban dapat

menentukan sifat kepribadian korban.

80

Dalam tinjauan pustaka sebelumnya telah disebutkan mengenai

klasifikasi korban yang didasarkan atas tingkat peranannya. Mulai dari

korban yang tidak sama sekali berperan sampai korban yang berperan

paling kuat. Ada beberapa hal tentang klasifikasikan mengenai peranan

korban antara lain :

a. Henting

Peranan yang dilakukan oleh si korban menurut Henting ialah dalam

hal-hal berikut ini:97

1) Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk

terjadi.

2) Kerugian akibat tindak kejahatan mungkin dijadikankan si

korban untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.

3) Akibat yang merugikan si korban mungkin merupakan kerjasama

antara si pelaku dan si korban.

4) Kerugian akibat tindak kejahatan sebenarnya tidak terjadi bila

tidak ada provokasi dari si korban.

Apabila pendapat Henting mengenai peranan yang dilakukukan

oleh korban diterapkan pada kasus yang penulis teliti yaitu perkara

Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, bahwa Tindakan kejahatan yang

dilakukan oleh Terdakwa yaitu “Melarikan perempuan di bawah

umur”, memang di kehendaki oleh si korban untuk terjadi. Ada

Inisiatif dari Terdakwa untuk melakukan kejahatan dan ada inisiatif

97

J.E. Sahetapy, 1987, Op. Cit., hal 89-90

81

dari korban untuk menghendaki terjadinya kejahatan. Hal ini terlihat

pada fakta hukum yang teruangkap dalam persidangan bahwa

Korban dan Pelaku telah membuat janji terlebih dahulu dan sepakat

bertemu, pada tanggal 16 April 2012, sekitar pukul 21.00 WIB, dan

korban menemui di jembatan dekat rumahnya di kelurahan Kober,

Kecamatan Purwokerto Barat, Kabupaten Banyumas. Kepergian dari

Korban dengan Pelaku adalah atas persetujuan bersama tidak ada

suatu paksaan.

b. Mendhelson

Berdasarkan tingkat kesalahan korban Mendelsohn membuat

suatu tipologi korban yang diklasifikasikan menjadi 6 tipe. Tipologi

yang dimaksud adalah sebagai berikut:98

1) The completly innocent victim. Korban sama sekali tidak bersalah

oleh Mendelsohn disebut bentuk korban yang “ideal” yang

cenderung terjadi pada anak-anak dan mereka juga tidak

menyadari ketika ia menjadi korban.

2) The victim with minor guilt and the victim due to his ignorance.

Korban dengan kesalahan kecil dan korban yang disebabkan

karena kelalaiannya.

3) The victim as guilty as the offender and voluntary victim. Korban

sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela ini oleh

Mendelsohn dibagi menjadi beberapa sub tipe:

98

Iswanto dan Angkasa, Op.cit., Hal. 28-29

82

a. Bunuh Diri “Dengan melempar uang logam”

b. Bunuh diri dengan adhesi

c. Euthanasia

d. Bunuh diri yang dilakukan oleh suami istri (misalnya

pasangan suami istri yang putus asa karena salah satu

pasangannya sakit).

4) The victim more Guilty than the offender. Dalam hal ini korban

kesalahannya lebih besar daripada pelaku.

5) The most guilty victim and the victim as is gulty alone. Korban

yang sangat salah dan korban yang salah sendirian.

6) The simulating victim and the imagine as victim. Korban pura-

pura dan korban imajinasi. Contoh orang yang menderita

paranoid, histeria, serta pikun.

Bila dianalisis mengenai seberapa tingkat kesalahan korban,

maka sesuai dengan Teori Mendelsohn korban menurut penulis

korban termasuk dalam tipe korban yang ketiga (3), yaitu korban

yang sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela (The victim

as gulity as the offender and voluntary victim). Pendapat ini

terbangun mendasarkan pada konstruksi hukum bahwa Pelaku

bersalah telah sengaja mengajak pergi korban yang masih di bawah

umur tanpa ijin dari orang tuanya, pada waktu yang telah larut

malam tidak patut, melanggar norma kepatutan kemudian membawa

korban ketempat hiburan orang dewasa, di mana tempat hiburan

83

tersebut riskan untuk terjadinya tindak kejahatan, karena banyak

alkohol, dan alkohol salah satu pemicu seseorang untuk melakukan

kejahatan dan korbanpun mempunyai kesalahan yang sama karena

tidak berhati-hati dalam berinteraksi dalam pergaulan, sehingga

terpengaruh untuk ikut dan pergi dari rumah tanpa ijin dari orang

tuanya.

Korban dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt

mempunyai peranan secara fisik maupun non fisik. Secara fisik

korban yang kabur, dengan cara melompati pagar rumahnya,

berjalan menuju jembatan dekat rumahnya yaitu jembatan Kober,

kemudian mau ikut pergi bersama Terdakwa dan teman-teman

Terdakwa, menjadi faktor pemicu terjadinya tindak pidana melarikan

perempuan di bawah umur. Secara non fisik perilaku dari korban

yang bisa dikatakan kurang baik, terlihat bahwa korban mau diajak

oleh Terdakwa bersama dengan teman-teman lelakinya untuk pergi

ke Cheers Cafe di Purwokerto dan di sana minum minuman keras

hingga mabuk.

c. Sthephen Schafer

Bahwa Schafer membagi tipe korban dalam kategori yang

tergantung pada pertanggungjawaban korban. Tipe korban itu antara

lain:99

99

Yazid Effendi, 2001, Op. Cit, hal 28-29

84

1) Unrelated victim yakni kejahatan yang dilakukan oleh pembuat

kejahatan tanpa ada hubungan apapun dengan korban. Korban

secara acak dipilih oleh pembuat kejahatan menjadi targetnya. Di

sini pertanggungjawaban atas kejahatan ada pada pembuat

kejahatan.

2) Provocative victim. Korban dalam tipe ini memancing-mancing

pembuat kejahatan untuk melakukan kejahatan tertentu.

Pertanggungjawaban korban dalam kasus ini mungkin sama

besarnya dengan pelaku.

3) Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena

tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban mendorong pelaku

melakukan kejahatan. Di sini korban memiliki tanggung jawab.

4) Biologically weak victims yakni siapa saja yang secara fisik atau

mental lemah. Pertanggungjawaban atas tindak pidana dibagi

antara pelaku dengan masyarakat atau negara karena mereka tidak

memberikan fasilitas yang mencukupi untuk melindungi korban.

5) Socially weak victim yakni kelompok sosial yang lemah, dan

sering dieksploitasi oleh elemen kejahatan. Pertanggungjawaban

atas tindak pidana dibagi antara pelaku dengan masyarakat karena

masyarakat bertanggungjawab terhadap adanya prasangka

terhadap berbagai kelompok yang secara sosial lemah.

6) Self-victimizing dan political victim adalah korban akibat dari

tindakannya sendiri sebab mereka berkorban sendiri. Korban dan

85

pelakunya bergabung menjadi satu. Pertanggungjawaban ada

pada korban itu sendiri dan seharusnya tidak seharusnya dibagi

dengan pihak lain. Selanjutnya adalah political victim yaitu

korban yang menderita karena lawan politik mereka.

Apabila dianalis dengan teori Schafer. Maka menurut

penulis korban termasuk ke dalam tipologi Precipitative victim.

Precipitative victim adalah pelaku melakukan kejahatan karena

tingkah laku yang tidak hati-hati dari korban, mendorong pelaku

melakukan kejahatan.100

Di sini korban memiliki tanggungjawab.

Ketidak hati-hatian dari korban dalam hal ini korban kabur

dari rumah dan minta dijemput oleh pelaku, padahal telah

diketahuinya bahwa antara korban dan pelaku belum mengenal jauh,

mereka hanya saling mengenal melalui Blackberry massengger,

hubungan mereka bisa dikatakan intens, akan tetapi secara faktanya

mereka sebelumnya belum pernah bertemu, jadi antara mereka tidak

mengetahui tentang karakter masing-masing sesungguhnya. Bisa

dikatakan bahwa perilaku dari korban ikut berperan dalam terjadinya

kejahatan. Hal ini menjadi pertimbangan dari hakim dalam memutus

perkara sebagaimana yang didakwakan oleh Penuntut Umum.

Tanggungjawab pelaku dan korban di sini adalah mengenai hal

masalah pemberian ganti rugi baik restitusi dan kompensasi dengan

melihat sejauh mana kerugian yang dilanggar oleh korban, dalam hal

100

Yazzid Effendi, 2001, Op. Cit., hal 28

86

ini tanggungjawab pelaku adalah dibagi dengan korban, karena

korban dan pelaku sama-sama memiliki kesalahan yang seimbang.

Pada dasarnya pendapat tentang pengkasifikasian tingkat

peranan korban tersebut mempunyai kesamaan, yaitu sama-sama

mengklasifikasikan mengenai peranan korban yang mempunyai

kesalahan kecil hingga kesalahan penuh dari korban. Dalam hal ini

penulis telah menganalisis tentang peranan korban dalam tindak

pidana melarikan perempuan di bawah umur atas persetujuan korban

dengan menggunakan, teori peranan yang dilakukan oleh korban

menurut Henting, teori tipologi korban dari Mendelsohn yang

mendasarkan pada tingkat kesalahan korban dan mendasarkan pada

teori Schafer untuk melihat kategori pertanggungjawaban korban.

2. Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Melarikan

Perempuan di Bawah Umur atas Persetujuan Korban dalam putusan

Nomor : 93/Pid.B/2012/PN. Pwt

Hukum Pidana dapat didefinisikan sebagai aturan hukum, yang

mengikatkan kepada suatu perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

tertentu suatu akibat yang berupa pidana. Jadi pada dasarnya Hukum

Pidana berpokok pada 2 (dua) hal, antara lain:101

101

Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal.5

87

A. Perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu

Dengan “perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu itu

dimaksudkan perbuatan dilakukan oleh orang, yang mungkin adanya

pemberian pidana.102

Perbuatan semacam itu dapat disebut “perbuatan

yang dapat dipidana” atau disingkat dengan “perbuatan jahat”

(Verbrechten atau crime), atau juga bisa disebut dengan tindak pidana

(strafbaarfeit).

Strafbaarfeit menurut Pompe sebagai suatu perbuatan yang bersifat

melawan hukum, dilakukan dengan kesalahan dan dapat diancam

pidana.103

Bahwa suatu perbuatan apakah dapat dihukum atau tidak,

haruslah memenuhi syarat-syarat atau memenuhi unsur-unsur tertentu.

Unsur-unsur tindak pidana tersebut dijabarkan menjadi dua macam, yaitu

unsur subjektif sebagai unsur yang ada dalam diri si pelaku dan yang

termasuk di dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung dalam hatinya,

dan unsur objektif merupakan unsur-unsur yang ada hubungannnya dengan

keadaan-keadaan, yaitu dalam keadaan dimana tindakan-tindakan pelaku

itu harus dilakukan.

Berkaitan dengan masalah penjatuhan pidana atau pemidanaan,

Sudarto mengemukakan ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang

terdiri dari:104

102 Loc. Cit

103 Ibid., hal. 27

104 Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal. 30

88

Syarat pemidanaan

1) Perbuatan 2) Orang

a) Memenuhi rumusan a) Kesalahan

undang-undang

b) Bersifat melawan hukum - Kemampuan

(tidak ada alasan pembenar) Bertanggungjawab

- Dolus atau culpa

(tidak ada alasan pemaaf)

Bila diuraikan adalah sebagai berikut:

1) Perbuatan

Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan

seseorang. Perbuatan orang adalah suatu titik penghubung dan dasar

pemberian pidana. Perbuatan ini meliputi berbuat dan tidak berbuat.

Perbuatan yang dapat dijatuhi pidana adalah perbuatan yang memenuhi

rumusan delik dalam undang-undang, bersifat melawan hukum dan

dilakukan dengan kesalahan.

a) Memenuhi rumusan undang-undang

Perbuatan yang dapat dipidana adalah perbuatan yang mempunyai

sifat-sifat atau ciri-ciri dari delik sabagai mana yang disebutkan dalam

undang-undang. Dalam hal ini, maka perbuatan harus mempunyai sifat-

sifat atau ciri-ciri dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1, sebagaimana telah

didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum. Ciri-ciri konkrit Pasal 332 ayat

(1) ke-1 tersebut diasumsikan ke dalam unsur-unsur antara lain:

89

1) Unsur Barangsiapa;

Dikemukakan oleh Wirdjono Prodjodikoro bahwa dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana, yang dapat menjadi subjek tindak pidana

adalah manusia. 105

Hal ini dapat dilihat pada perumusan dari Tindak

pidana dalam KUHP, yang menampakan daya berpikir sebagai syarat

subjek tindak pidana itu, juga terlihat pada ujud hukuman/pidana yang

memuat Pasal-Pasal KUHP, yaitu hukuman penjara, kurungan dan denda.

Yang dimaksud dengan barangsiapa adalah siapa saja sebagai

pendukung hak dan kewajiban yang dengan identitas yang jelas, diajukan

ke persidangan karena didakwa melakukan tindak pidana dan

perbuatannya dapat dipertanggungjawabkan kepadanya.

Dalam perkara ini unsur barangsiapa ditujukan kepada

orang/manusia, hal ini sebagaimana dari fakta hukum yang terungkap

dalam persidangan, bahwa Penuntut Umum telah menghadapkan sesorang

Terdakwa bernama Mochammad Yusuf Syarifudin yang membenarkan

identitasnya seperti dalam surat dakwaan Penuntut Umum dan setelah

mendengar keterangan saksi-saksi serta keterangan Terdakwa

dipersidangan didapat fakta bahwa tidak ada kekeliruan (error in persona)

yang disangka telah melakukan tindak pidana tersebut adalah benar

Mochammad Yusuf Syarifudin, maka dengan demikian unsur barangsiapa

telah terpenuhi menurut hukum

105

Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Aditama,

Bandung, hal. 55

90

2) Unsur Melarikan Perempuan di bawah umur;

Yang diartikan dengan melarikan perempuan adalah mengajak,

meminta, atau membujuk orang lain untuk meninggalkan tempat

tinggalnya. Perbuatan ini harus merupakan perbuatan aktif, tidak cukup

dengan perbuatan mengajak belaka. Pun perempuan yang akan dilarikan

melakukan perbuatan yang aktif juga, hingga perbuatan pelarian itu harus

perbuatan bersama, di mana pelaku dan korban bersama-sama melakukan

perbuatan aktif. Jadi tidak perlu dipergunakan paksaan, bahkan bantuan

dari perempuan itu sendiri terdapat dalam perbuatan melarikan itu.

Perbuatan melarikan mulai dari tempat, kemana perempuan itu

pergi untuk memungkinkan perbuatan itu. Jadi setiap perbuatan untuk

mempermudah melarikan perempuan.106

Perbuatan melarikan perempuan

perempuan tersebut tidak mementingkan cara, apakah dengan sukarela

atau tidak, bahkan dengan kemauan perempuan itu sendiri masuk dalam

pengertian ini.

Sedangkan yang dimaksud dengan belum dewasa adalah belum

berumur 18 tahun atau belum menikah. Zakiah Darajat memberikan

pendapat mengenai batas usia anak, remaja dan dewasa berdasarkan

batasan umur, yaitu sebagai berikut: “Masa sembilan tahun antara tiga

belas dan dua puluh satu tahun sebagai masa remaja (adolensi) merupakan

masa peralihan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa di mana anak-

anak mengalami pertumbuhan yang cepat di segala bidang dan mereka

106

H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op. Cit., hal. 124-126

91

bukan lagi anak-anak baik bentuk badan maupun sifat berpikir, dan

bertindak tetapi bukan pula orang dewasa”. 107

Dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa menurut S 1931 Nomor 54,

jika dalam perundang-undangan dipakai istilah “minderjaring” (belum

cukup umur) terhadap golongan bumiputera maka yang dimaksud adalah

mereka yang umurnya belum cukup 21 (dua puluh satu) tahun dan belum

kawin sebelumnya. Jika sebelum 21 (dua puluh satu tahun),

perkawinannya diputus (bercerai), mereka tidak kembali menjadi (belum

cukup umur). 108

Berdasarkan fakta yang terungkap tersebut, terbukti bahwa

Terdakwa membawa pergi saksi korban yang berusia 17 tahun yang secara

yuridis termasuk anak yang belum dewasa karena belum berusia 18 tahun,

Terdakwa melarikan korban dari tangal 16 April 2012, maka unsur kedua

“membawa pergi seorang wanita yang belum dewasa” telah terpenuhi oleh

perbuatan Terdakwa.

Menimbang berdasarkan fakta tersebut unsur melarikan perempuan

di bawah umur telah terpenuhi menurut hukum.

3) Unsur Tidak dengan kemauan orang tuanya/walinya tetapi dengan

kemauan perempuan sendiri;

Tanpa dikehendaki oleh orang tuanya atau walinya artinya lebih

keras dari pada atau bertentangan dengan kemauan orang tuanya atau

walinya. Hal ini diisyaratkan sehubungan dengan kekuasaan yang syah

107

http://id. wikipedia.wiki.org/wiki/remaja, diakses tanggal 17 Februari 2013 108

Moeljatno, 1985, Op. Cit., hal. 48

92

yang dimiliki oleh orang tuanya atau walinya atas perempuan yang di

bawah umur.109

Tanpa kehendak di sini secara singkatnya tanpa ijin atau

tanpa sepengetahuan dari orang tua/ walinya.

Secara umum Orang tua adalah ayah dan/ ibu dari seorang anak

melalui hubungan biologis atau sosial. Berdasarkan Pasal 1 angka 4

Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, orang

tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/ atau ibu angkat.

Sedangkan menurut Pasal 1 angka 5 Wali adalah orang atau badan yang

dalam kenyataanya mejalankan kekuasaan asuh terhadap orangtua

terhadap anak.

Bahwa berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan

bahwa saksi Amin Naufal dan Saksi Asih Kusmiandini selaku sebagai

orang tua dari korban, bahwa pada hari Senin, tanggal 16 April 2012

sekitar pukul 21.00 WIB, tidak pernah memberikan ijin kepada anaknya

untuk pergi, dan Terdakwa juga tidak pernah meminta ijin kepada saksi-

saksi tersebut selaku sebagai orang tua saksi korban.

Makna kemauan perempuan itu sendiri atau atas persetujuan

memiliki pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendaknya

masing-masing, ada persesuaian kehendak atau ada kesepakatan kehendak

dari pihak satu dengan pihak yang lain. Bisa dikatakan bahwa persetujuan

merupakan pernyataan kehendak para pihak yang dibentuk oleh dua unsur,

yaitu adanya unsur penawaran dan adanya unsur penerimaan. Dalam hal

109

H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125

93

ini yaitu ada unsur penawaran dari pelaku untuk mengajak pergi, dan ada

unsur penerimaan dari korban dalam hal ia diajak untuk pergi dari rumah.

Secara lebih jelas unsur ini berhubungan dengan kegiatan

perempuan di dalam mempermudah perbuatan melarikan, di mana

perempuan melakukan perbuatan aktif. Ada persetujuan dari korban.

Apabila Tanpa persetujuan perempuan, tentunya tidak akan dapat

melakukan perbuatan aktif.110

Bahwa, sesuai dengan fakta yang terungkap dalam persidangan

bahwa sebelum pergi telah membuat janji dengan Terdakwa melalui pesan

singkat dan BBM dan saksi di jemput di jembatan dekat rumahnya.

Terdakwa merencanakan untuk mengajak pergi saksi bersama teman-

temannya untuk pergi ke Bandung.

Terdakwa bersama saksi korban, dan saksi-saksi Subismo Tegar,

Ranggi Ade Yulizar, dan saksi Rendi Wibowo pergi ke Cheers Cafe

sekitar pukul 22.00 WIB. Di tempat tersebut Terdakwa bersama saksi

korban DVD dan saksi-saksi tersebut memesan minuman Red label

sebanyak 2 botol dan diminum bersama.

Bahwa, setelah dari Cheers Cafe saksi korban DVD tidak diantar

pulang ke rumah melainkan bermalam di tempat kost dekat SMP 9

Purwokerto. Kepergian Terdakwa dan saksi korban DVD adalah atas

kehendak atau persetujuan bersama.

110

Loc. Cit

94

4) Unsur Dengan maksud akan mempunyai perempuan itu baik dalam

perkawinan nikah maupun di luar perkawinan.

Dengan maksud untuk memilikinya dengan atau tanpa perkawinan.

Melarikan perempuan harus bertujuan mempersatukan laki-laki dan

perempuan untuk melakukan persetubuhan dengan ikatan perkawinan atau

tanpa perikatan perkawinan.

Menurut Wirdjono Prodjodikoro, “memiliki” orang atau

perempuan itu harus diartikan sebagai bersetubuh dengan perempuan

meskipun hanya satu kali saja.111

Begitu pula seperti yang terdapat dalam bukunya H.A.K. Moch.

Anwar, (Dading) yang berjudul Hukum Pidana Bagian Khusus

(KUHP BUKU II) Jilid I bahwa pengertian memiliki seseorang

perempuan adalah melakukan perbuatan persetubuhan dengan

perempuan itu dengan ikatan perkawinan atu tanpa ikatan

perkawinan, hingga ia memiliki ini juga sebagai isteri.112

Maksud untuk tidak ditujukan pada memiliki secara terus-menerus

tetapi tidak juga apabila pelaku hanya sekali melakukan persetubuhannya.

Meskipun sebelumnya telah melakukan perempuan dengan atau tanpa

ikatan perkawinan. Jadi dalam hal ini pelaku menghendaki hasil dari

perbuatan baginya yaitu persetubuhan dengan pelaku. Tetapi meskipun

belum sampai dilakukan persetubuhan oleh pelaku dengan perempuan itu,

pelaku dapat dikenakan Pasal 332 ayat (1) ke-1 yaitu melakukan perbuatan

melarikan perempuan.113

111

Wirdjono Prodjodikoro, 2003, Op. Cit., hal 85 112

H.A.K. Moch. Anwar, (Dading), 1994, Op.Cit., hal. 125 113

Loc. Cit

95

Dalam fakta hukum yang terungkap dalam persidangan bahwa

antara Terdakwa dan saksi korban DVD sama sekali tidak terikat dalam

perkawinan, dan di antara mereka tidak terjadi hubungan persetubuhan.

Ada perluasan penafsiran bahwa meskipun dalam tindak pidana melarikan

perempuan harus ada suatu unsur persetubuhan akan tetapi pembentuk

undang-undang memberikan perluasan terhadap unsur tindak pidana

bahwa walaupun tidak ada unsur persetubuhan akan tetapi Terdakwa telah

memenuhi rumusan melarikan perempuan seperti yang dikemukakan

dalam bukunya H.A.K Mohammad Anwar.

Menimbang berdasarkan fakta yang terungkap tersebut di atas,

maka unsur ini terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan di atas maka

semua unsur-unsur dari Pasal 332 ayat (1) ke-1 KUHP telah terpenuhi oleh

perbuatan Terdakwa;

b) Bersifat melawan Hukum

Salah satu unsur dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan

hukum. Unsur sifat melawan hukum merupakan suatu penilaian yang

objektif terhadap perbuatan, bukan terhadap si pembuat yang secara sempit

dikatakan bahwa perbuatan tersebut telah memenuhi rumusan delik yang

ada dalam undang-undang.114

114

Sudarto, 1990/1991, Op.Cit., hal. 44

96

Ada 3 (tiga) pendirian tentang arti sifat melawan hukum.

1) Bertentangan dengan hukum.115

Bahwa perbuatan Terdakwa telah memenuhi rumusan undang-undang

dan secara tegas dalam undang-undang mencantumkan mengenai

Pasal 332 ayat (1) ke-1 mengenai melarikan orang dengan melawan

hukum.

2) Bertentangan dengan hak (subyektief recht) orang lain.116

Maksud bertentangan dengan hak subjektif orang lain yaitu

bertentangan dengan hak dari orang tua atau walinya sebagai

pengampu yang mempunyai kekuasaan terhadap anaknya, untuk

memberikan ijin.

3) Tanpa kewenangan atau tanpa hak, hal ini tidak perlu berkaitan

dengan hukum.117

Dalam hal ini Terdakwa tanpa kewenangan tanpa ijin membawa

korban lari dari rumahnya, dan tanpa kewenangannya tersebut,

Terdakwa bermaksud untuk memiliki atau menguasai perempuan itu

di luar perkawinan. Dengan demikian perbuatan Terdakwa

bertentangan dengan hukum atau undang-undang dan bersifat

melawan hukum sehingga syarat pemidanaan dari perbuatan telah

dipenuhi. Dengan demikian perbuatan dari Terdakwa bersifat

melawan hukum dan tidak ada alasan pembenar, tidak adanya alasan

pembenar berarti tidak ada alasan yang menghapuskan sifat melawan

115 Ibid., hal. 48

116 Loc. Cit

117 Loc. Cit

97

hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa

menjadi perbuatan yang tidak patut, dan tidak benar.

2) Orang

Syarat pemidanaan selanjutnya adalah orang subjek hukum, apakah

dilakukan dengan kesalahan, dilakukan oleh orang mampu

bertanggungjawab dan dolus atau culpa (adakah alasan pemaaf). Dalam

fakta hukum yang terungkap dalam persidangan bahwa yang menjadi

subjek tindak pidana dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN. Pwt

adalah Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin.

a. Kesalahan

Syarat pemidanaan selain menenuhi rumusan undang-undang,

bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar) juga harus dilakukan

dengan kesalahan. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat, bahwa

orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan lain, orang

tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan perbuatannya, perbuatannya

harus dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut. Berlaku azas

“Tiada Pidana Tanpa Kesalahan” (Kiene strafe ohne schuld atau geen straf

zonder schuld atau Nulla Poena Sine Culpa (“Culpa” di sini dalam arti

luas, meliputi pula kesengajaan).118

Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970), berbunyi “Tiada

seorang jua pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila Pengadilan, karena

alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapatkan

118

Ibid., hal 1

98

keyakinan bahwa seorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah

bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya”.119

Bahwa untuk

adanya pemidanaan harus ada kesalahan lebih dahulu dari si pembuat.

Mezger mengatakan, kesalahan adalah keseluruhan syarat yang

memberi dasar untuk adanya pencelaan pribadi terhadap si pembuat tindak

pidana (Schuldist der Erbegrif der Verrraussetzungen, die aus der Straftat

personlichen Verwurf gegen den Tater begrunden).120

Jadi dapat

dikatakan, bahwa orang bersalah melakukan sesuatu tindakan pidana,

maka berarti ia dapat dicela atas perbuatannya. Kesalahan mempunyai

unsur-unsur antara lain:121

1) Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat

(Schuldfahigkeit atau Zurechnungsfahikeit); artinya jiwa si pembuat

harus normal.

2) Hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa); ini disebut bentuk-bentuk

kesalahan.

3) Tidak adanya alasan penghapus kesalahan atau tidak ada alasan

pemaaf.

Dikatakan bahwa jika ketiga unsur tersebut terpenuhi maka yang

Terdakwa bisa dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungjawaban

pidana sehingga bisa dipidana.

119 Loc. Cit

120 Ibid., hal 2

121 Ibid., hal. 4

99

Ad.1 Kemampuan bertanggungjawab

Mengenai kemampuan untuk bertanggungjawab menurut Simons,

dapat diartikan sebagai suatu keadaan psycis sedemikian, yang

membenarkan adanya penerapan suatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari

sudut umum maupun orangnya.122

Selanjutnya dikatakan bahwa seseorang

mampu bertanggungjawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila:

1) Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya

bertentangan dengan hukum

2) Ia dapat menentukan kehendak sesuai dengan kesadaran tersebut. 123

Dalam penelitian terhadap putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt,

bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin adalah orang yang

menurut majelis hakim mampu bertanggungjawab, dan ia mengetahui dan

menyadari bahwa perbuatannya melarikan perempuan di bawah umur

adalah bertentangan dengan hukum. Apalagi Terdakwa berprofesi sebagai

Pegawai Negeri Sipil (PNS) anggota Polisi Republik Indonesia (POLRI)

yang sudah pasti mengetahui mengenai aturan-aturan hukum perundang-

undangan khususnya KUHP, dan apa sanksi yang akan diperoleh apabila

ia melanggar peraturan perundang-undangan. Sehingga syarat dipidananya

orang dalam hal kemampuan bertanggungjawab telah terpenuhi.

Perbuatan Terdakwa yang mampu dipertanggungjawabkan tersebut

telah dibahas sebelumnya.

122

Ibid., hal. 5 123

Loc. Cit

100

Ad. 2 Dolus atau culpa (tidak adanya alasan pemaaf)

Syarat pemidanaan yang terakhir adalah dolus ata culpa tidak

adanya alasan pemaaf. Sebagaimana yang terungkap dalam persidangan

bahwa perbuatan Terdakwa melarikan korban mendasarkan pada suatu

dorongan atau motif yaitu bahwa Terdakwa menaruh rasa suka kepada

korban sehingga ia melakukan perbuatan secara melawan hukum

melarikan perempuan di bawah umur tanpa persetujuan orang tua atau

walinya. Ada motif berarti ada suatu kesengajaan.

Ada hubungan batin berupa sengaja atau alpa. Kesengajaan atau

opzet yang berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan.

Berhubungan dengan keadaan batin orang yang berbuat dengan sengaja,

dalam ilmu pengetahuan hukum pidana terdapat 2 (dua) teori antara

lain:124

1) Teori kehendak (wills theorie)

Inti kesengajaan adalah kehendak untuk mewujudkan unsur-unsur delik

dalam rumusan undang-undang.

2) Teori pengetahuan atau membayangkan (Voorstellings-theorie)

Sengaja berarti membayangkan akan timbulnya akibat perbuatannya,

orang tidak bisa menghendaki akibat, melainkan hanya dapat

membayangkannya. Teori ini menitik beratkan pada apa yang diketahui

atau dibayangkan oleh si pembuat ialah tentang apa yang akan terjadi

pada waktu ia berbuat.

124

Ibid., hal. 11

101

Pada hakikatnya dalam praktik penggunaanya kedua teori tu adalah

sama. Perbedaannya adalah dalam terminologi, dalam istilahnya saja.

Dalam hal seseorang melakukan kesengajaan dapat dibedakan 3 (tiga)

corak batin, yang menunjukan tingkatan atau bentuk kesengajaan itu,

coraknya antara lain sebagai berikut:125

a) Kesengajaan sebagai maksud (opzet als oogmerk) untuk mencapai suatu

tujuan (yang dekat); Dolus directus. Corak kesengajaan ini merupakan

bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si pembuat

bertujuan untuk menimbulkan akibat dan dilarang. Kalau akibat ini

tidak ada, maka ia tidak akan berbuat demikian.

b) Kesengajaan dengan sadar kepastian (opzet met zekerheidsbewustzijn

atau noodzakelijkhebewutzijn). Dalam hal ini perbuatan mempunyai 2

(dua) akibat:

1) Akibat yang memang dituju si pembuat ini dapat merupakan delik

tersendiri atau tidak.

2) Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan

untuk mencapai tujuan dalam point a tadi, akibat ini pasti

timbul/terjadi.

c) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (dolus eventualis atau

voorwaarddelijk opzet). Dalam hal ini ada ketentuan yang semula

mungkin terjadi kemudian benar-benar terjadi.

125

Loc. cit

102

Perbuatan Terdakwa menurut penelitian penulis, adalah termasuk

dalam corak kesengajaan sebagai maksud (opzet als oormerk) dalam hal

ini Terdakwa memang sengaja melakukan perbuatan melarikan perempuan

tanpa persetujuan dari orang tua atau walinya, dan menghendaki perbuatan

tersebut beserta akibatnya yaitu dapat dihukum karena melakukan

perbuatan yang bersifat melawan hukum tersebut, meskipun dalam angan-

angannya tidak terbayangkan bahwa Terdakwa akan dituntut di muka

persidangan, karena kepergian korban bersama Terdakwa adalah

berdasarkan atas kesepakatan bersama, sehingga adanya unsur kesengajaan

dalam perkara ini telah terpenuhi.

Selain terpenuhinya unsur kesengajaan dari pelaku, juga apabila

lebih dianalisis lebih dalam lagi ditemukan suatu unsur kesalahan dari

korban. Sebenarnya unsur kesalahan merupakan suatu syarat pemidanaan

bagi pelaku. Namun apabila kita melihat mengenai aspek tentang korban,

ada tipologi dari korban tertentu, yang memang mempunyai kesalahan dan

mempunyai peran dalam terjadinya tindak pidana. Unsur kesalahan dari

korban bisa dalam tingkatan yang kecil hingga kesalahan yang besar. Arti

kesalahan dipandang sebagai unsur yang melekat pada pelaku, akan tetapi

apabila kembali ke aspek masalah korban, ada tipe tertentu dari korban

yang mempunyai peranan atau kesalahan.

Arti kesalahan ada 3 (tiga) Pertama, Kesalahan berarti bahwa

perbuatan yang dilakukan oleh pembuat dapat dicela, kedua, kesalahan

dalam bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan (dolus, opzet) atau

103

kesalahan yang berupa kealpaan (culpa), ketiga, kesalahan dalam arti

sempit. Pemakaian kata kesalahan dalam arti ini sebaiknya dihindarkan,

dan digunakan saja istilah kealpaan.126

Sembrono, teledor, kurang berhati-

hati atau kurang penduga-duga merupakan kealpaan.

Unsur kealpaan yang dilakukan oleh korban itu secara tidak

langsung, berimbas pada masalah penjatuhan pidana, dan akan berimbas

pada suatu pertanggungjawaban dalam viktimologi. Kesalahan dari korban

tersebut juga harus dapat dipertanggungjawabkan oleh korban. Dalam

peranan korban telah dijelaskan sebelumnya korban termasuk dalam tipe

Precipitative victim, karena ketidak hati-hatiannya mendorong pelaku

untuk melakukan kejahatan.

Ilmu hukum pidana mengenal adanya alasan-alasan yang

memungkinkan seseorang yang telah melakukan perbuatan yang telah

memenuhi unsur-unsur delik tidak dipidana. Namun demikian dalam suatu

perkara tindak pidana, tidak tertutup kemungkinan bagi seseorang yang

berpegang pada alasan penghapus pidana tetap dapat

dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatannya, karena

didalamnya terkandung asas culpa in causa. Hal ini dapat terjadi apabila

suatu tindak pidana yang menimpa diri seseorang justru disebabkan karena

sikap atau ulahnya yang kurang atau tidak berhati-hati, sehingga

126

Ibid., hal. 3

104

membawanya memasuki dalam keadaan yang riskan penuh resiko untuk

terjadinya tindak pidana. 127

Niko Keijzer, Utrecht dan Sitorus memiliki kesamaan pandangan

mengenai culpa in causa yakni perbuatan yang tidak berhati-hati, tidak

cermat, yang membawa pembuat memasuki situasi rawan untuk terjadinya

tindak pidana.128

Asas culpa in causa merupakan hal yang relatif baru, dan

belum banyak dikenal dalam praktek peradilan, oleh karena itulah asas

culpa in causa perlu dikaji secara mendalam dan meluas dalam studi ilmu

hukum pidana.129

Asas culpa in causa hubungannya dengan pengertian yuridis dari

kesalahan adalah dalam bentuk alpa bukan sengaja. Sebab dalam sengaja

harus terkandung kehendak, tidak demikian dengan kealpaan.

Pertanyaanya adalah bagaimana terhadap putusan hakim jika terjadi culpa

in causa. Untuk memberikan jawaban maka harus kembali kepada ajaran

tindak pidana yaitu ajaran monisme dan dualisme. Ajaran monisme

melihat kepada seluruh syarat untuk adanya pidana dan itu kesemuanya

merupakan sifat dari perbuatan.130

Konsekuensinya ajaran monisme tidak

memisahkan antara tindak pidana dengan tanggungjawab pidana.

Sedangkan ajaran dualisme membedakan dengan tegas dapat dipidananya

127http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CA

USA&sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013

128http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&a

mp;sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013 129

http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013

130 Sudarto, 1990/1991, Op.cit., hal 24

105

perbuatan dan dapat dipidananya orang.131

Konsekuensinya, ajaran

dualisme memisahkan antara tindak pidana dan tanggungjawab pidana.

Apabila dianut ajaran monisme, asas culpa in causa merupakan

suatu unsur tindak pidana, yakni sebagai unsur kesalahan maka ketika

culpa in causa terbukti maka putusan hakim adalah dibebaskannya

terdakwa dari segala dakwaan (vrijspraak), dan apabila menganut ajaran

dualisme, asas culpa in causa merupakan unsur pertanggungjawaban

pidana, sehingga jika culpa in causa terbukti, putusan hakim adalah

dilepas dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle rechtsvervolging),

artinya terdakwa terbukti melakukan perbuatan tetapi bukan sebagai tindak

pidana.132

Tetapi asas culpa in causa termasuk aspek pertanggungjawaban

pidana (kesalahan), maka asas culpa in causa merupakan alasan pemaaf

(alasan yang menghapus kesalahan).

Alasan penghapus pidana bisa karena perbuatannya dan

pembuatanya:

1) Alasan pembenar adalah alasan yang mengapus sifat melawan hukum

dari perbuatan meskipun perbuatan pembuat memenuhi rumusan

delik dalam undang-undang. Kalau perbuatannya tidak melawan

hukum tidak mungkin adanya pemidanaan. Dalam KUHP dirumuskan

dalam pasal 49 (1), 50 dan 51 (1).133

131

Loc.cit 132

http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+CAUSA&sourceid=chrome&ie=UTF-8 diakses tanggal 10 Mei 2013

133 Sudarto, 1990/1991, Op.cit., hal. 33-34

106

2) Alasan pemaaf yaitu alasan yang menyangkut pribadi dari pembuat

dalam arti bahwa seseorang tidak dapat dicela menurut hukum,

dengan kata lain ia tidak bersalah atau tidak dapat

dipertanggungjawabkan walaupun perbuatannya bersifat melawan

hukum. Jadi ada alasan yang menghapus kesalahan si pembuat,

sehingga tidak mungkin adanya pemidanaan. Dalam KUHP diatur

dalam Pasal 44, 49 (2) dan Pasal 51 (2). Mengenai Pasal 48 dapat

merupakan alasan pembenar adan alasan pemaaf. 134

Kembali kepada pembahasan dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/

2012/PN.Pwt bahwa Korban DVD dalam hal ini secara tidak sadar telah

membawa dirinya dalam keadaan yang berbahaya (culpa in causa).

Kealpaan seseorang harus ditentukan secara normatif. Untuk menentukan

adanya kealpaan ini harus dilihat peristiwa demi peristiwa, dan yang

memegang ukuran normatif dari kealpaan adalah hakim.135

Hakimlah yang

harus menilai sesuatu perbuatan in-concreto dengan ukuran norma

penghati-hati atau penduga-duga, seraya memperhitungkan di dalamnya

segala keadaan dan keadaan pribadi si korban dalam peranannya dalam

tindak pidana.

Dalam pertimbangan hakim dalam putusan secara tidak langsung

hakim mendeskripsikan tentang keadaan pribadi dari si korban, bahwa si

korban yang masih berusia di bawah umur belum mempunyai daya pikir

yang dewasa, masih labil, mudah terpengaruh oleh orang lain dan tidak

134

Loc.cit 135

Ibid., hal. 24

107

berhati-hati dan berperan secara fisik maupun non fisik. Karena

kealpaanya korban membawa dirinya dalam keadaan yang berbahaya,

secara fakta korban janjian dengan Terdakwa untuk pergi padahal telah

diketahuinya belum mengenal terlalu jauh, belum mengerti karakter dari

Terdakwa apakah mempunyai sikap batin yang jahat ataukah tidak,

kemudian korban yang masih berusia di bawah umur mau diajak ke tempat

hiburan malam Cheers Cafe di mana sebenarnya korban tidak boleh masuk

akan tetapi diusahakan oleh Terdakwa agar bisa masuk, kemudian di sana

korban minum minuman keras hingga mabuk, sehingga secara langsung

kekuasaan dari Korban berada di tangan pelaku. Kemudian setelah itu

sekitar pukul 03.00 WIB, Korban di bawa ke kost-kostan dekat SMP 9

Purwokerto untuk bermalam. Namun karena ada salah satu saksi yang

bernama Gemilang Dwiky yang mengadukan pada orang tua korban

bahwa Korban tidak pulang dan bermalam di kost-kostan dekat SMP 9

Purwokerto, sehingga ibu dari korban datang ke tempat itu untuk

menjemput korban. Sebenarnya Pelaku tidak menduga-duga bahwa akibat

perbuatannya akan ditangkap dan diadili, karena sepengetahuannya

kepergian Terdakwa dengan korban adalah atas persetujuan bersama.

Pertimbangan hakim dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt

tidak secara eksplisit memasukan masalah ulah korban yang

menjerumuskan dirinya untuk melarikan korban. Ini berarti bahwa

pengadilan tidak mempertimbangakan masalah culpa in causa. Karena

apabila di analisis dan dihubungkan pada pasal yang didakwakan yaitu

108

Pasal 332 ayat (1) ke 1. Unsur yang paling vital dalam tindak pidana

melarikan perempuan dibawah umur dalam pasal ini adalah adanya unsur

persetujuan dari Korban atau perempuan itu sendiri, sehingga

permasalahan culpa in causa tidak dapat dimasukan dalam pertimbangan

normatif dalam putusan ini.

Dalam hal putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt tidak ditemukan

adanya alasan–alasan yang dapat menghapuskan kesalahan si pembuat,

dan perbuatan Terdakwa mampu dipertanggung- jawabkan. Karena unsur-

unsur tersebut terpenuhi, maka Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin

dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggungan jawab pidana, dan

perbuatan Terdakwa dinyatakan bersifat melawan hukum. Sehingga semua

syarat penjatuhan pidana atau pemidanaan dalam putusan Nomor

93/Pid.B/2012/PN.Pwt terpenuhi.

Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan di atas, semua unsur-

unsur telah terpenuhi, dan telah terbukti secara sah dan meyakinkan

menurut hukum, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa Terdakwa

Mochammad Yusuf Syarifudin bersalah melakukan tindak pidana

“Melarikan perempuan di bawah umur tidak dengan kemauan orang tua

atau walinya, tetapi dengan kemauan perempuan itu sendiri dengan

maksud akan mempunyai perempuan itu baik di dalam perkawinan

maupun di luar perkawinan. Terdakwa melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1

KUHP.

109

Berdasarkan hasil wawancara dengan Hakim Pengadilan Negeri

Purwokerto yaitu Budi Setyawan, di mana beliau adalah salah satu hakim

anggota yang mempertimbangkan dan memutus perkara Nomor

93/Pid.B/2012/PN. Pwt bahwa dalam memutus suatu perkara ada beberapa

hal-hal yang harus diperhatikan antara lain:

1) Motifasi pelaku melakukan tindak pidana;

2) Terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana;

3) Hal-hal yang memberatkan dan meringankan.

Ad. 1. Motifasi pelaku melakukan tindak pidana

Motifasi pelaku melakukan tindak pidana mempunyai arti bahwa

ada alasan yang mendorong, seseorang melakukan tindak pidana atau

delict.136

Dalam putusan Nomor 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa menurut

Terdakwa motifasi dari pelaku membawa lari korban adalah karena

Terdakwa menaruh rasa suka pada korban.

Kemudian yang hal lain yang perlu diperhatikan dalam

memutuskan pemidanaan adalah terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana.

Ad. 2 Terpenuhinya unsur tindak pidana

Dalam perkara yang diteliti penulis ini semua unsur-unsur tindak

pidana dalam Pasal 332 ayat (1) ke-1 telah dipenuhi.

Dakwaan penuntut umum menurut Pasal 332 ayat (1) ke-1 dan

ancaman pidananya adalah 7 (tujuh) tahun penjara. Namun setelah

memperhatikan fakta hukum yang terungkap dalam persidangan

136

Sudarto, 1990/1991, Op. Cit., hal 12

110

khususnya ada suatu partisipasi korban dalam terjadinya tindak pidana ini,

apalagi korban juga dikategorikan sebagai partisipan yang aktif dan

mempunyai peran baik secara fisik maupun non fisik, Penuntut Umum

dalam Requisitoir-nya menuntut Terdakwa antara lain:

1) Menyatakan bahwa Mochammad Yusuf Syarifudin terbukti bersalah

secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana “Melarikan

perempuan di bawah umur” sebagaimana diatur dan diancam pidana

dalam Pasal 332 Ayat (1) ke-1 KUHP;

2) Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin

dengan pidana penjara selama 6 (enam) Bulan dikurangi selama

Terdakwa berada di tahanan sementara dengan perintah Terdakwa tetap

ditahan;

3) Menetapkan agar Terdakwa membayar biaya perkara sebesar Rp.

1.000, (seribu rupiah).

Dilihat dari tuntutan Penuntut umum pada point ke-2 yaitu

Penuntut Umum menuntut Terdakwa dengan pidana penjara selama 6

(enam) bulan. Adanya suatu tuntutan dari Penuntut Umum yang menuntut

lamanya pemidanaan yang tidak penuh, tapi pada dasarnya Penuntut

Umum memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan, bahwa

dalam terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur

tersebut, Terdakwa tidak mutlak bersalah sendirian, ada peranan dari

korban, ada kesalahan dari korban itu sendiri yang mendukung terjadinya

tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur tersebut.

111

Begitu pula hakim dalam mempertimbangkan dan memutuskan

perkara ini memperhatikan fakta yang terungkap dalam persidangan.

Adakah fakta hukum yang memberatkan ataupun meringankan.

Ad. 3 Hal yang memberatkan dan hal yang meringankan

Hal-hal yang memberatkan dan meringankan merupakan suatu

unsur non hukum yang akan berpengaruh pada penjatuhan putusan

pemidanaan. Sebagaimana seperti yang terdapat dalam Pasal 197 ayat 1

huruf f Kitab Undang Hukum Acara Pidana. Bahwa surat Putusan

pemidanaan salah satunya adalah memuat peraturan perundang-undangan

yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan Pasal peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar putusan, disertai keadaan-

keadaan yang memberatkan dan meringankan.

Menurut Pasal 58 KUHP “Dalam menggunakan aturan-aturan

pidana, keadaan pribadi seseorang yang menghapuskan, mengurangkan

atau meemberatkan pengenaan pidana hanya diperhitungkan terhadap

pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri”.

Menurut Pasal 50 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Bahwa putusan pengadilan

selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu

dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber

hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Hal yang memberatkan dan meringankan sebagaimana ada dalam

pertimbangan hakim antara lain:

112

Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan Terdakwa menimbulkan

rasa malu bagi keluarga saksi Amin Naufal.

Hal-hal yang meringankan antara lain:

1) Terdakwa belum pernah dihukum;

2) Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga memperlancar

jalannya persidangan;

3) Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk

memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan

diri kepada negara dan masyarakat.

Hal yang memberatkan pemidanaan bagi pelaku dalam putusan

Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt adalah sebagaimana tersurat dalam putusan

tersebut adalah perbuatan terdakwa menimbulkan rasa malu bagi keluarga

saksi Amin Naufal (orang tua korban). Bahwa perbuatan dari Terdakwa itu

dapat dicela, melanggar tiga (3) norma sekaligus yaitu melanggar norma

kesopanan, norma agama dan norma hukum, dapat dijabarkan antara lain:

1) Melanggar norma kesopanan yang ada dalam masyarakat, bahwa

perbuatan Terdakwa yang melarikan perempuan yang di bawah umur

pada waktu yang telah melebihi batas jam bertamu yaitu pukul 21. 00

WIB bisa dikatakan tidak sopan. Bertamu saja pada pukul 21.00 WIB

bisa dikatakan tidak sopan apalagi melarikan anak orang lain tanpa ijin

dari orangtuanya. Juga dari perilaku korban yang sudah memiliki

keluarga sendiri, telah beristri dan mempunyai anak mencerminkan

bahwa Terdakwa itu tidak sopan tidak menjaga nama baik keluarganya

113

dan nama baik dari keluarga korban. Perbuatan Terdakwa bisa

dikatakan tidak patut, dan perilakunya dapat dicela oleh masyarakat.

2) Melanggar norma agama, bahwa perbuatan Terdakwa dapat

mencerminkan kurangnya iman pada diri Terdakwa, karena Terdakwa

yang telah beristri dan mempunyai satu anak, akan tetapi tergoda pada

perempuan lain yaitu si korban dan menaruh rasa suka terhadap korban

sampai akhirnya membuat janji dengan korban untuk pergi dari rumah

tanpa ijin. Bisa dikatakan perbuatan Terdakwa dekat dengan zina.

Kepergian Terdakwa juga membawa pergi Korban Cheers Cafe di

mana ditempat tersebut banyak alkohol, dan mengajak korban untuk

minum minuman keraspun itu dikatakan melanggar norma agama,

karena alkohol menurut norma agama islam tergolong zat yang haram.

Korban dan Terdakwa di sini memeluk agama islam.

3) Melanggar norma hukum, bahwa perbuatan Terdakwa sudah jelas

melanggar norma hukum, yaitu melanggar Pasal 332 ayat (1) ke-1

KUHP. Perbuatan Terdakwa tergolong dalam kejahatan terhadap

kemerdekaan orang.

Dengan melihat pelanggaran-pelanggaran norma tersebut di atas

menimbulkan perasaan malu bagi kelurga korban, karena perbuatan

tersebut dapat dicela oleh hukum dan masyarakat.

Hal-hal yang meringankan pemidanaan bagi Terdakwa antara lain:

114

1) Terdakwa belum pernah dihukum

Dalam hal ini terdakwa belum pernah dihukum, bahwa perlakuan

aparat penegak hukum terhadap Terdakwa yang baru pernah dihukum

dengan Terdakwa yang telah dihukum lebih dari sekali (residivis)

tetap berbeda, Majelis hakim tetap menghukum lebih berat seorang

residivis, karena dilihat dari tujuan pemidanaan yang paling utama

adalah untuk membuat Terdakwa jera, akan tetapi ternyata pelaku

kembali melakukan kejahan sehingga berdasarkan hal tersebut Majelis

hakim akan memperberat pemidanaan bagi residivis.

2) Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga perbuatannya

memperlancar jalan persidangan.

Bahwa Terdakwa yang kooperatif dalam mengikuti jalannya

persidangan, dan mengakui dengan berterus terang memperlancar

jalannya persidangan, akan membuat Majelis Hakim

mempertimbangkan sikap baik dari Terdakwa sehingga tanggapan

Majelis Hakim bahwa Terdakwa menyesali perbuatannya, dan

mempunyai iktikad baik.

3) Terdakwa masih berusia muda sehingga masih dimungkinkan untuk

memperbaiki dirinya dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan

diri kepada negara dan masyarakat.

Bahwa usia dari terdakwa yang masih muda dengan ringannya

putusan diharapkan Terdakwa akan memperbaiki dirinya karena masa

depan Terdakwa masih panjang, apalagi Terdakwa berprofesi sebagai

115

anggota PNS Polisi yang secara psikologis memangku beban moral

bahwa dirinya harus lebih baik, menjaga nama baik dirinya dan

instansi Kepolisian. Dengan permasalahan tersebut setidaknya

membuat jera si Terdakwa dan dengan permasalahan tersebut ia akan

lebih baik, dalam mengabdikan diri kepada negara dan masyarakat.

Menurut pendapat dari penulis bahwa seharusnya Majelis Hakim

memasukan pertimbangan mengenai Terdakwa yang berprofesi sebagai

anggota Polisi namun melakukan tindak pidana, seharusnya hal itu

dijadikan pertimbangan yang memberatkan bagi Terdakwa, karena secara

moral Terdakwa adalah sebagai penegak hukum yang tahu aturan akan

tetapi ia melanggar sendiri aturan yang seharusnya ia tegakkan. Terdakwa

sebagai penegak hukum anggota Polisi telah melanggar etika pengabdian,

yaitu telah melakukan perbuatan yang sifatnya merendahkan perempuan,

karena Terdakwa secara melawan hukum telah melakukan kejahatan

terhadap kebebasan perempuan yang masih di bawah umur.

Dari pertimbangan putusan dalam hal faktor yang memberatkan

dan meringankan tersebut tidak dimasukan pertimbangan sosiologis

mengenai peranan korban apakah peranan korban tersebut menjadi faktor

yang memberatkan ataupun meringankan pemidanaan.

Menurut Budi Setywan, bahwa dalam mempertimbangkan sebuah

putusan pemidanaan, salah satunya adalah harus mempertimbangkan

masalah victimology, khususnya mengenai masalah peranan korban,

karakter atau sifat dari korban. Bahwa, dalam terjadinya tindak pidana

116

melarikan perempuan di bawah umur dalam perkara Nomor:

93/Pid.B/2012/PN.Pwt korban mempunyai peranan aktif baik secara fisik

maupun non fisik. Secara fisik korban yang kabur, dengan cara melompati

pagar rumahnya, berjalan menuju jembatan dekat rumahnya yaitu

jembatan Kober, kemudian mau ikut pergi bersama Terdakwa dan teman-

teman Terdakwa, menjadi faktor pemicu terjadinya tindak pidana

melarikan perempuan di bawah umur. Secara non fisik perilaku dari

korban yang bisa dikatakan kurang baik, terlihat bahwa korban mau diajak

oleh Terdakwa bersama dengan teman-teman lelakinya untuk pergi ke

Cheers Cafe di Purwokerto dan di sana minum-minuman keras hingga

mabuk.

Selain itu dalam memutus perkara tersebut hakim juga

mempertimbangkan keterangan korban, keterangan saksi, dan keterangan

Terdakwa sebagai penguat keyakinan Hakim dalam putusannya.

Dari keterangan korban: Dapat dilihat bahwa korban yang belum

terlalu mengenal Terdakwa, mau dijemput dan diajak pergi ke Cheers Cafe

dan minum-minuman keras bersama Terdakwa, dan teman-teman

terdakwa.

Dari Keterangan saksi: Saksi Subismo Tegar dan saksi Ranggi

mengatakan bahwa korban mau dijemput oleh Terdakwa, korban ikut

minum-minuman sampai mabuk dan meminta sejenis obat untuk

menurunkan alkohol kepada Ajeng.

117

Dari keterangan Terdakwa: Bahwa menurutnya korban yang minta

ikut untuk pergi bersama Terdakwa dalam rangka merayakan ulang

tahunnya di Cheers Cafe.

Dari hal-hal tersebut, Majelis hakim telah memperoleh beberapa

alat bukti yang sah menurut undang-undang (keterangan saksi, keterangan

ahli yang dituangkan dalam surat visum, dan keterangan Terdakwa) yang

sudah dapat dijadikan dasar memutus perkara, dan Majelis hakim juga

telah mempunyai keyakinan bahwa Terdakwa bersalah telah melakukan

tindak pidana. Akan tetapi selain hal-hal tersebut Majelis Hakim juga

mempunyai keyakinan bahwa korban ikut berperan dalam terjadinya

tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa. Perbuatan dari korban

adalah sama salahnya dengan pelaku.

Sehingga dalam hal ini menurut hakim masalah peranan korban

dapat dijadikan sebagai hal yang meringankan. Akan tetapi masalah

peranan korban tersebut secara eksplisit tidak disebutkan dalam

pertimbangan putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt. Seharusnya Hakim

dalam memutus perkara harus memasukan pertimbangan-pertimbangan

sosiologis salah satunya adalah mengenai peranan korban. Sehingga

terlihat adanya perhatian mengenai aspek masalah korban (victim), yang

mendasarkan pada victimology.

Menurut Budi Setyawan, bahwa apabila dalam

mempertimbangkan perkara ini konsen terhadap Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, maka hukuman yang

118

diancamkan akan lebih berat, karena dalam Undang-Undang tentang

Perlindungan Anak tersebut ada ketentuan minimal dan ketentuan

maksimal mengenai pemidanaan serta ketentuan denda. Akan tetapi dalam

perkara ini di mana, dalam fakta hukum yang terungkap dalam

persidangan ada tingkat peranan korban, maka sistem peradilan pidana

khususnya Penuntut Umum, konsen terhadap Kitab Undang Hukum

Pidana, dan mendasarkan bahwa adanya partisipasi korban ataupun

peranan korban dipertimbangkan sebagai alasan yang meringankan.

Dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt Majelis Hakim

tidak mempertimbangkan masalah perlindungan hukum bagi anak yang

menjadi korban tindak pidana. Hal ini terlihat dari tuntutan Jaksa Pentuntut

umum, yang tidak memasukan masalah tuntutan perlindungan hukum bagi

korban yang bersifat konkrit seperti: upaya rehabilitasi, pemberian restitusi

dan kompensasi. Majelis Hakim hanya memberikan perlindungan yang

bersifat abstrak seperti: Sidang dilakukan secara tertutup, sehingga korban

merasa aman, tidak merasa malu, karena perkaranya diperiksa di

pengadilan, dan dengan di tahannya Terdakwa, secara tidak langsung telah

memberikan rasa aman bagi korban.

Untuk masalah perlindungan hukum bagi korban, perlindungan

hukum yang bersifat konkrit tidak dimasukan oleh Jaksa Penuntut umum

dan tidak dipertimbangkan oleh Majelis Hakim, karena dalam putusan

Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt telah terbukti, bahwa dalam terjadinya

tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur ada peranan dari

119

korban yang tidak dapat dikesampingkan, dan juga setelah melihat hasil

visum et repertum bahwa pada diri korban DVD tidak ditemukan bekas

rudapaksa dan tidak ditemukan adanya gangguan kesehatan (tubuh) untuk

menjalankan pekerjaan sehari-hari. Mendasarkan pada hal tersebut bahwa

perlindungan hukum tidak diberikan oleh negara melalui perantara majelis

hakim karena melihat dari aspek kepatutan dan aspek kebutuhan, hal

tersebut dirasa kurang perlu karena secara fisik korban tidak mengalami

luka fisik yang dapat mengganggu kegiatan sehari-hari.

Dalam bukunya JE Sahetapy dijelaskan pula ada faktor-faktor dari

Korban yang berpengaruh terhadap putusan peradilan. Walaupun peraturan

hukum sudah digariskan bahwa si hakim tidak boleh menilai hal-hal lain

kecuali faktor yang ditetapkan oleh hukum. Namun dalam memutuskan

berat ringannya putusan suatu perkara seringkali para Hakim dan Jaksa

terpengaruh dengan faktor-faktor non hukum antara lain:137

1) Sifat kepribadian si jaksa atau hakim

Bahwa sifat kepribadian dari si Jaksa atau si Hakim

mempengaruhi berat ringannya tuntutan/putusan yang dijatuhkan

kepada Terdakwa. Karena si hakim atau si jaksa sifatnya subjektif, juga

memperhatikan dari tujuan pemidanaan itu sendiri, apakah lamanya

pemidanaan akan memberikan keadilan dan kemanfaatan bagi si

Terdakwa.

137

JE Sahetapy, 1987, Op. Cit., Hal. 92-93

120

2) Faktor penampilan Terdakwa dan pengacara

Penampilan Terdakwa dan pengacara di ruang pengadilan, seperti

gaya bicara, postur duduk dan berdiri, cara mempresentasikan

argumentasi ikut mempengaruhi berat ringannya putusan yang

diberikan.

Dalam perkara Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, Terdakwa

kooperatif, mengakui dengan terus terang perbuatannya sehingga

memperlancar jalannya persidangan, dan juga Terdakwa masih berusia

muda sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya

dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara dan

masyarakat. Hal-hal tersebut, juga masuk ke dalam hal-hal yang

meringankan Terdakwa.

3) Faktor diri si korban

Dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt bahwa faktor dari

sifat kepribadian korban yang kooperatif (ikut berperan) dalam

terjadinya tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur, ini ikut

mempengaruhi berat ringannya berat ringannya pidana atau hukuman si

Terdakwa.

B. Pidana

Yang dimaksud dengan pidana yaitu penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang-orang yang melakukan perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu. Bahwa Penerapan hukum pidana

121

berkaitan erat dengan terpenuhinya unsur-unsur dalam tindak pidana, dan

penjatuhan sanksi pidana yang diancamkan terhadap tindak pidana yang

dilakukan. Di dalam KUHP berlaku jenis-jenis pidana yang diterapkan

tercantum dalam Pasal 10 KUHP.

Ada beberapa hal pokok yang mempengaruhi kualitas penetapan

pidana yang dijatuhkan. Sehingga dalam penetapan pidana, Sudarto

menganjurkan kepada hakim agar “pertama-tama yang dipahami benar

oleh hakim adalah “apa makna kejahatan, penjahat (pembuat) dan pidana”.

Tidak cukup dengan mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dengan

berat dan sifat kejahatan, sehingga ada kesan bahwa pemidanaan adalah

suatu pembalasan, apalagi apabila ada peranan korban di dalam tindak

pidana.

Dan perlu kita ingat bahwa negara kita menganut teori

pembuktian negatif (negative wetelijk theorie) sebagaimana yang diatur

dalam Pasal 183 KUHAP.

Bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada

seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat

bukti yang sah dan memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak

pidana benar-benar terjadi dan bahwa Terdakwalah yang

bersalah melakukannya.

Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan Pengadilan Negeri

Purwokerto dengan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt, dapat diketahui dasar

pertimbangan hukum hakim dalam menjatuhkan tindak pidana, yaitu:

a) Adanya pembuktian berdasarkan alat-alat bukti yang sah yang diatur

dalam Pasal 183 KUHAP, yaitu dengan telah diajukannya barang bukti

122

oleh Penuntut Umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 184

KUHAP yang berupa:

1) Keterangan saksi

Saksi: DVD (Saksi Korban), Amin Naufal, Asih Kusmiandini,

Gemilang Dwiki Lisprianda, Awal Amin Supriyadi, Subismo Tegar,

Ranggi Ade Yulizar, dan Rendi Wibowo.

2) Surat

Berdasarkan surat yang telah di bacakan dalam persidangan yaitu

Visum et Repertum atas nama DVD Nomor:

002/IV/VER/RSIP/2012/R tanggal 27 April 2012 yang ditanda

tangani oleh dr. Rena Susilo Dokter Rumah Sakit Islam Purwokerto,

yang disebutkan bahwa tidak ditemukan bekas akibat rudapaksa dan

tidak terdapat gangguan kesehatan (tubuh) untuk menjalankan

pekerjaan sehari-hari.

3) Petunjuk

a) 1 (satu) unit mobil Avanza warna biru No. Pol. R-9346-EB Tahun

2006 No Ka: MHFFMRGK36K103972, No Sin: DB49131;

b) 1 (satu) buah STNK An. Farid Puntodewo, Alamat Jalan Stasiun

554 Rt. 02 Rw.01 Karangreja, Maos, Cilacap. Dikembalikan

kepada pemiliknya melalui Terdakwa;

c) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry dikembalikan kepada

Terdakwa;

123

d) 1 (satu) unit Hanphone Blackberry warna ungu dikembalikan

kepada saksi DVD ;

e) Keterangan Terdakwa yaitu Mochammad Yusuf Syarifudin

4) Mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan

Terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP

huruf (f). Hal-hal yang memberatkan: Perbuatan Terdakwa

menimbulkan rasa malu bagi keluarga saksi Amin Naufal.

Hal-hal yang meringankan antara lain: Terdakwa belum pernah

dihukum, Terdakwa mengakui terus terang perbuatannya sehingga

memperlancar jalannya persidangan, Terdakwa masih berusia muda

sehingga masih dimungkinkan untuk memperbaiki dirinya

dikemudian hari dan masih ingin mengabdikan diri kepada negara

dan masyarakat.

Mendasarkan pada hal-hal di atas, Majelis Hakim memperoleh

keyakinan bahwa Terdakwa Mochammad Yusuf Syarifudin, telah terbukti

secara sah, dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Melarikan

Perempuan di bawah umur tanpa di kehendaki orang tuanya di luar

perkawinan” seperti yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum, dan

karena tidak ditemukan alasan pemaaf yang meniadakan sifat melawan

hukum dan alasan pembenar yang meniadakan kesalahan dalam diri

Terdakwa, maka Terdakwa harus dinyatakan salah dan kepadanya harus

dijatuhi pidana. Terdakwa melanggar Pasal 332 ayat 1 ke-1 KUHP.

124

Dalam putusannya, Majelis Hakim menghukum Terdakwa dengan

pidana penjara selama 3 (tiga) bulan, menetapkan masa penahanan yang

telah dijalani Terdakwa dikurangi seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan,

memerintahkan Terdakwa untuk ditahan, dan membebankan kepada

Terdakwa untuk membayar perkara sebesar Rp. 1.000,00 (Seribu rupiah).

Hukuman atau pemidanaan selama 3 (tiga) bulan tidak

menyimpangi aturan yang ada dalam hukum formil karena sudah sesuai

dengan aturan yang ada dalam Pasal 183 KUHAP, hakim dalam

menjatuhkan putusan pidana harus mendasarkan kepada sekurang-

kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan keyakinan hakim. Apalagi bila

dilihat fakta yang terungkap dalam persidangan bahwa terjadinya tindak

pidana melarikan perempuan di bawah umur tersebut, ada peranan dari

korban yang tidak dapat dikesampingkan, korban mempunyai peranan

sebagai precipitative victim, akibat dari ketidak hati-hatiannya, ia menjadi

korban kejahatan, dan juga korban mempunyai kesalahan yang sama

dengan pelaku. Kesalahan dari Terdakwa dan korban berwujud pada,

kesengajaan dari Terdakwa yang mengajak pergi korban dan adanya peran

in causa dari korban berupa persetujuan dan tindakan dalam rangka

mewujudkan persetujuan tersebut yaitu mengambil kewenangan dari orang

tuanya untuk pergi.

Sifat kesalahan yang sama antara Terdakwa dengan korban

berimplikasi pada masalah penjatuhan sanksi. Dengan adanya peranan dari

korban dalam tindak pidana yang tidak bisa di kesampingkan tersebut,

sudah pasti menentukan lama tidaknya penjatuhan pidana, karena adanya

tindak pidana tersebut, bukanlah murni dari kesalahan pelaku. Sehingga

125

putusan pidana tersebut diharapkan akan memberikan keadilan, bagi

korban maupun bagi pembuat kejahatan atau pelaku.

Dalam penjatuhan hukuman atau pemidanaan, selain menegakan

hukum, keadilan, kepastian, juga harus mengejar kemanfaatan. Apakah

dengan penjatuhan hukuman tersebut bermanfaat bagi pelaku, korban dan

masyarakat. Karena tujuan dari pemidanaan tidak semata-mata untuk

memberikan penderitaan kepada orang yang melakukan tindak pidana,

tetapi bertujuan untuk memperbaiki orang yang melakukan tindak pidana

tersebut dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat.

Seperti pendapat dari Roeslan Saleh, bahwa pemidanaan tidak bisa

hanya memperhatikan kepentingan pembuat saja, atau juga hanya

memperhatikan perasaan korban dan keluarganya. Dalam arti, bahwa

pemidanaan harus mengacu pada perspektif keseimbangan, yaitu

keseimbangan kepentingan masyarakat, pelaku, dan korban.138

Tujuan lain dari hukum adalah untuk memberikan kemanfaatan,

putusan pemidanaaan tersebut bermanfaat bagi Terdakwa yang

memberikan efek penjeraan supaya Terdakwa bisa lebih memperbaiki

dirinya, apalagi Terdakwa adalah seorang Polisi yang seharusnya

memberikan contoh yang baik dalam berperilaku sebagaimana aparat yang

seharusnya menegakkan hukum, dan dengan pemidanaan tersebut

memberikan pendidikan moral yang penting supaya Terdakwa lebih bisa

menjaga sikapnya dan berperilaku sebagaimana Polisi yang seharusnya

lebih baik. Bagi korban bahwa dengan dipidananya Terdakwa akan

memberikan jaminan keamanan, dan perlindungan bagi korban. Bagi

masyarakat bahwa dengan dipidananya Terdakwa atau pelaku,

138

M. Sholehuddin, 2003, Op.Cit., hal. 113

126

memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat karena masyarakat untuk

sementara waktu terhindar dari pelaku kejahatan sampai akhirnya

narapidana tersebut kembali dan sudah dalam keadaan yang baik, telah

jera sehingga tidak akan melakukan tindak pidana lagi.

127

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

1. Peranan korban dalam tindak pidana melarikan perempuan di bawah umur

atas persetujuan korban dalam putusan Nomor: 93/Pid.B/2012/PN.Pwt

antara lain:

a) Tindakan kejahatan memang dikehendaki oleh si korban untuk terjadi

Bahwa Tindak Pidana Melarikan Perempuan di bawah umur tersebut

dikehendaki oleh korban, ada persetujuan antara korban dan Terdakwa.

b) Korban sama salahnya dengan pelaku dan korban sukarela (The victim

as gulity as the offender and voluntary victim).

Bahwa kesalahan dari Terdakwa adalah dengan sengaja mengajak

korban untuk pergi tanpa ijin dari orang tuanya, dan kesalahan dari

korban adalah korban sendiri meminta untuk dijemput oleh Terdakwa

dan korban meminta untuk masuk ke dalam Cheers Cafe. Dapat

dikatakan Terdakawa mempunyai kesalahan yang sama dengan

korban. Korban di sini juga tidak menyadari bahwa ia menjadi korban

kejahatan.

c) Korban tidak berhati-hati dalam berperilaku (Precipitativ victim)

Bahwa korban tidak berhati-hati dalam berperilaku yaitu bersedia

untuk dibawa pergi oleh Terdakwa yang belum kenal karakternya.

128

2. Penerapan Hukum Pidana terhadap Tindak Pidana Melarikan Perempuan

di Bawah Umur atas Persetujuan Korban dalam putusan Nomor:

93/Pid.B/2012/PN.Pwt telah mendasarkan pada aspek perbuatan yang

memenuhi syarat-syarat tertentu, oleh karena syarat-syarat tertentu telah

terpenuhi maka dijatuhkan pidana penjara selama tiga (3) bulan.

Penjatuhan sanksi telah memperhatikan hal-hal yang memberatkan dan

meringankan, salah satu aspek yang meringankan adalah aspek tentang

kesalahan dari korban yang seimbang dengan pelaku sehingga aspek

kesalahan tersebut bersifat meringankan sanksi pemidanaan, hal tersebut

menjadi bagian dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana,

Peranan korban tersebut secara implisit menjadi pertimbangan yang

meringankan sanksi.

B. SARAN

1. Bagi anggota POLRI sebaiknya makin memperketat pengawasan terhadap

anggotanya dan perlu meningkatkan pendidikan etika profesi kepolisian,

sehingga tidak ada lagi anggota yang melakukan perbuatan yang bersifat

melawan hukum, yang merugikan hak orang lain terutama penduduk sipil

yang seharusnya dilindungi, dan diayomi oleh anggota POLRI terutama

kepolisian.

2. Saran bagi Hakim adalah perlunya analisis mendalam lagi tentang masalah

viktimologi, sehingga tercipta suatu kualitas putusan yang baik, di mana

aspek peranan korban sangatlah penting salah satunya adalah dalam

129

menentukan lamanya pemidanaan. Selain mempertimbangakan mengenai

aspek peranan korban, hakim juga seharusnya mempertimbangkan

mengenai asas culpa in causa di mana asas tersebut berakaitan erat dengan

permasalahan korban yang membawa dirinya ke dalam keadaan yang

berbahaya, dalam mempertimbangkan kasus-kasus yang mungkin sedang

diadili. Dalam putusan ini Hakim seharusnya secara ekplisit memasukan

pertimbangan sosiologis mengenai peranan dari korban apakah akan

mengurangi atau mempengaruhi putusan hakim dalam menjatuhkan

pemidanaan, sehingga dirasa akan lebih adil dan transparan dalam

putusannya. Dalam mempertimbangkan hal yang memberatkan, seharusnya

hakim lebih jeli karena masih ada aspek lain yang memberatkan Terdakwa

seperti kedudukan Terdakwa yang harusnya menegakkan hukum justru

menyimpangi hukum.

3. Sebaiknya Pemerintah, melalui dinas-dinas sosial memberikan penyuluhan

mengenai, gaya hidup masyarakat, karena setiap orang dapat beresiko

menjadi korban kejahatan.

4. Bagi masyarakat sebaiknya menjaga segala hak milik, baik benda, harta,

maupun yang berwujud kehormatan, supaya terhindar dari resiko menjadi

korban dalam tindak kejahatan.

130

DAFTAR PUSTAKA

Effendi, Yazid. 2001. Pengantar Viktimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku

Kejahatan. Purwokerto: Penerbit UNSOED.

Gosita, Arif. 1983. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta: Penerbit Akademika

Pressindo.

Haar, Ter Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto. 1985. Asas-Asas dan Susunan

Hukum Adat. Cetakan kedelapan. Jakarta Pusat: Prandya Paramita.

Ibrahim, Jhony. 2005. Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:

Banyumedia

Iswanto dan Angkasa. 2011. Diktat Kuliah Viktimologi, Purwokerto: Fakutas

Hukum Universitas Jendral Soedirman.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil. 1995. Latihan Hukum Pidana Untuk

Perguruan Tinggi. Jakarta: Sinar Grafika.

Lamintang, P.A.F. 1984. Hukum Penitensier Indonesia. Bandung: Armico.

_________1990. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia Cetakan kedua,

Bandung: Sinar Baru.

M, Dikdik, Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2006. Urgensi Perlindungan

Korban Kejahatan. Jakarta: PT RajaGrafindo.

Moch, H.A.K. Anwar, (Dading). 1994. Hukum Pidana Bagian Khusus ( KUHP

BUKU II) Jilid I. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Muladi dan Barda Nawawi Arief. 1984. Teori-teori dan Kebijakan Pidana.

Bandung: Penerbit Alumni.

Moeljatno. 1993. Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.

Prodjodikoro, Wirdjono. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung:

Refika Aditama.

_________2003. Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Aditama.

Sahetapy, JE. 1987. Viktimologi Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan.

Saleh, Roeslan.1987. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara baru.

131

Sholehuddin, M. 2003. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide Dasar Double

Track System & Implementasinya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Soekanto, Soerdjono.1981. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

_________dan Sri Mamudji. 2007. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: PT.

RajaGrafindo Persada.

Sudarto. 1990/1991. Diktat Hukum Pidana Jilid I A-B. Purwokerto: Fakultas

Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Susanto, IS. 2011. Kriminologi. Purwokerto: Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

Utrecht. 1986. Hukum Pidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Perundang-undangan

Kitab Undang Hukum Pidana (KUHP).

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana (KUHAP)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO

mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk

Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Sumber lain:

Putusan Pengadilan Negeri Purwokerto dengan Nomor Register Perkara:

93/Pid.B/2012/PN.Pwt

Wawancara dengan Budi Setyawan, S.H., M.H selaku Hakim Pengadilan Negeri

Purwokerto tanggal 4 Maret 2013

http://id. wikipedia.wiki.org/wiki/remaja, diakses tanggal 17 Februari 2013.

Soekamto, Kajian Akademik Culpa in causa, 2011. Tersedia

http://www.google.com/search?q=CULPA+IN+CAUSA&oq=CULPA+IN+

CAUSA&sourceid=chrome&ie=UTF-8 , diakses tanggal 10 Mei 2013