Peranan Hormon Tiroid dalam Hubungannya dengan … II... · da antara gugus yang mengandung yodium...
Transcript of Peranan Hormon Tiroid dalam Hubungannya dengan … II... · da antara gugus yang mengandung yodium...
TINJAUAN PUSTAKA
Hormon utama yang dihasilkan oleh kelenjar tiroid
adalah 3, 5, 3'-triyodotironin (T3) dan tiroksin (Tq).
Triyodotironin dibentuk pula di perifer dengan cara
deyodinasi T4 ( El-Zaheri, Fang, Hinerfeld Braverman dan
Vagenakis,l978; Ganong, 1980). Pembetukan TQ di perifer I
cukup beaar yaitu aekitar 80% dari sirkulasi Tg pada
manusia (Bechers, 1983) dan 90% pada ayam (Astier,
1980 ) . Dengan kemajuan teknik radiokromatografi untuk hi-
'droliaat kelenjar tiroid ayam yang disuntik 1311, 'bebe-
rapa peneliti telah dapat mengindentifikasi T3 dan T4.
Walaupun dikemukakan bahwa T4 selalu ada dalam serum
ayam, sedangkan Tg hanya diketemukan sewaktu-waktu, tapi
keduanya mempunyai keaktivan yang sama (Ganong, 1980).
Pada mamalia, T3 umumnya mempunyai keaktivan tiga
sampai lima kali dibandingkan dengan T4 (Schvartz, Surks
dan Oppenheimer, 1971). Bahkan suatu penelitian menyim-
pulkan bahwa Tq hanya aktif bila diubah menjadi' Tg dan
kernungkinan T4 hanya merupakan pro hormon (Bernal dan
Refetoff, 1977). Hal ini didukung oleh penelitian lain
pada manusia (Braverman, Ingbar dan Sterling, 1970;
Gavin, Castle, McMahon, Martin, Hammond dan Cavalieri,
1977), pada tikue (Chiraeeveenuprapund, Buergi, Goswami
dan Rosenberg, 1978) dan pada kelinci (Cooper, Gibbens,
Thomas, Lowy dan Burke, 1982).
Proses pembentukan hormon tiroid terdiri dari tiga
tingkatan yaitu, 1) pengumpulan yodium, 2) yodinaei -
tiroein dan 3) proteolieie tiroglobulin (Turner dan
Bagnara, 1976 ) . I
Pengumpulan Yodium
Yodium adalah bahan daear utama untuk pembentukan
hormon tiroid. Dalam makanan, sebagian beaar yodium
berbentuk organik dan dikembalikan dalam bentuk anorga-
nik sebelum diabsorbei dari gastro intestinal. Yodium
dalam darah berada dalam bentuk anorganik.
Koneentrasi yodium dalam darah sangat rendah, se-
dangkan sel-sel epitelium tiroid mempunyai aviditas yang
beaar untuk mengambil yodium dibandingkan dengan jaring-
an-jaringan lain. Perbandingan yodium dalam plasma dan
yodium dalam kelenjar tiroid antara 1 : 10 sampai 1 :
100 (Harper, et al., 1979).
Kelenjar tiroid meneumpulkan yodium aecara aktif
dan mengangkutnya dari dalam darah ke koloid. Mekanisme
pengangkutan ini disebut "Iodide Trapping mechanism"
atau pompa yodium (Ganong, 1980). Sel tiroid kira-kira
50 m volt negatif terhadap daerah intereieial dan
7
koloid. Diduga yodium yang dipompakan ke dalam eel me-
lawan perbedaan tekanan lietrik, kemudian berdifuei ee-
arah dengan tekanan listrik masuk ke dalam koloid. Me-
kanieme pengangkutan ini dipercepat oleh TSH (Thyroid
Stimulating Hormone) atau tirotropin, dan dihambat oleh
tiourea dan sulfonamid. Mekanieme pengangkutan aktif
terhadap yodium dilakukan pula oleh kelenjar liur, mu-
koea lambung, placenta, korpue eiliaris pada mata dan I
flexue koroid dari kelenjar mammae, namun tidak dipenga-
ruhi oleh tirotropin. Juga pada kelenjar mammae yang
mengikat yodium untuk membentuk diyodotiroein (DYT),
tidak dapat membentuk Tg dan Tq (Werner, 1962).
Menurut Harper et al. (1979), jaringan-jaringan
eelain kelenjar tiroid dapat membentuk tirokein walaupun
dalam jumlah sangat kecil, dan jumlah ini belum dapat
mengataai ge jala hipotiroidisme sebagai akibat penghi-
langan kelenjar tiroid.
Meakipun pengaruh koneentraei eangat tinggi, narnun
yodium bebae hanya 1% dari yodium total dalam tiroid.
Yodiurn yang terkumpul pada epitelium folikel dari kelen-
jar tiroid diokeidasi menjadi I2 atau 10-. Proeee ini
dikontrol oleh sistim enzim yaitu perokeidaee, selanjut-
nya elektron-elektron akan diterima oleh hidrogen perok-
sida. Hidrogen peroksida ini dihaeilkan oleh enzim yang
memerlukan NADPH mirip dengan sitokrom-C reduktaee.
Yodinaei Tiroein
Yodium yang bebas dalam kelsnjar tiroid beberapa
detik kemudian akan terikat pada poaiei 3 inti aromatik
dari molekul tiroein yang tergabung pada tiroglobulin
membentuk monoyodotiroein (MYT) (Ganong, 1980).
Selanjutnya MYT akan mengalami yodinaei lebih jauh
dengan pengikatan yodium pada posiei 5 membentuk DYT. I
h a molekul DYT akan mengalami kondensasi okeidatif atau
mengalami penggabungan (kopeling) membentuk tirokain
dengan melepas alanin. Tirokain maeih bersatu dengan
tiroglobulin dalam ikatan peptida. Triyodotironin (T3)
dibentuk dari penggabungan antara MYT dan DYT. Juga
dalam jumlah kecil terbentuk pula reverse triyodotironin
(rTg). Skema metaboliame yodium dapat dilihat pada
Gambar 1, sedangkan Gambar 2 menunjukkan pengikatan yo-
dium pada pembentukan MYT dan DYT serta penggabungan dua
molekul DYT maupun molekul MYT dan DYT.
Sinteea hormon tiroid ditentukan oleh bahan pem-
bangun (precursor) yanp tersedia dalam lumen folikel ke-
lenJar tiroid, juga adanya gertakan dari hormon tirotro-
pin. Di eamping itu, ada tidaknya zat antitirosd akan
menentukan cepat dan lambatnya sintesa (Bechers, 1983).
Proteoliais Tiroglobulin
Proses eneimatik pada tiroglobulin berlanpsung ae-
cara terua menerue pada folikel kelenjar tiroid. Di
dalam eel gelembung koloid bergabung dengan liaosom I
(Ganong, 1980; Turner dan Bagnara, 1976). Ikatan pepti-
da antara gugus yang mengandung yodium dengan tiroglobu-
lin akan dipecahkan oleh protease di dalam lisosom.
Dengan demikian, MYT, DYT, Tg ban Tq dibebaekan ke delam
eitoplaema. Bentuk tirosin yaitu molekul MYT dan DYT
akan mengalami deyodinasi oleh yodotiroein dehalogenase
dari mikroaom, tetapi TQ dan Tq tidak dipengaruhi oleh
enzim ini. Sementara itu yodium yang dibebaskarb pada
proeea deyodinasi tirosin akan terkumpul lagi dalam pool
yang kemudian dipakai untuk sinteea hormon tiroid kemba-
li (Werner, 1962).
Deyodinaai dapat pula terjadi dalam jarinqan peri-
fer dan yodium ion yang dilepas diekskresikan ke dalam
urin. Di dalam hati, hormon tiroid segera dikonyugasi-
kan dengan aeam glukoronat dan dalam jumlah kecil diko-
nyugasikan dengan sulfat. Konyugat yang tidak aktif ini
dieekreeikan ke dalam empedu. Sebagian T4 yang dikonyu-
gaeikan dapat dieerap kembali dan diangkut ke ginjal
untuk diyodinaai atau dilepae eebagai konyugat utuh
(Bernal dan Refetoff, 1977 3 .
Yodium dalam diet
Tiroid
I I-
( Tiro- ! /c
I I
I tropic I I
I I Peroksidase I
Urin
Ruang ekstrasel
deyodinasi
Jar ingan
i
T4 - ' terikat
T4 bebar
I I
11 I 1
\I, , T3 : I T4 I I I I d
I
I Ti ro - I -globulin A I ... . L
protease i C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -----, 1 3
Gambar 1. Metabolisme Yodium dan Hormon Tiroid (Harper, et al. , 1979)
Tirosin Monoyodot irosin
1 - - - -..-
- k
HO -(-\$ki2 - CH - COOH + 4 O <I-- CB2 -- CH -- COOH
I I I ' 1 I
I I
NH2 1. Alanin
N H 2 L-, ,,,,,,,I
Diyodotirosin I Diyodotirosin
I I Tiroksin
I ---.-I-----.-.--
HO <->:HZ - - CH -COOH + H I 0
I I I I
I N H 2 Alanin
NHz L---- --,,,,-
Manoyodotirosin Diyodotiroein
1 I . NH2
Gambar 2. Biosintera Hormon Tiroid (Turner dan Bagnara, 1976)
Tiroksin dan triyodotironin keduanya terdapat dalam
darah ayam dengan perbandingan 6 : 4 (Mellen dan
Wentworth 1959). Di dalam plasma, T3 dan Tq diangkut
hampir aeluruhnya berada dalam ikatan dengan protein
yang diaebut protein pengikat tiroksin (thyroxine bin-
ding protein) yang berperan sebagai zat pengemban apeai-
fik untuk hormon (Harper et al., 1979). Protein yang
berperan sebagai pengemban ipi adalah globulin, preal-
bunim dan albunim, aehingga terjadi ikatan yang dieebut
thyroxine binding globulin (TBG), thyroxine binding pre-
albunim (TBPA) dan thyroxine binding albunin (TBA)
(Ross dan Tapley, 1966).
Namun demikian, TBG yaitu auatu glukoprotein yang
bergerak aecara elektroforetik pada daerah alfa 1 dan
alfa 2 globulin, tidak didapatkan pada unggas. Disebut-
kan pula bahwa pada ayam dan burung puyuh didapatkan
ikatan maupun pada TBA, dan hanya Tg
aaja diketemukan berikatan dengan prealbumin (Farmer,
King dan Parker, 1973). Akan tetapi Astier (1980) me-
nyatakan bahwa T3 dan Tq dalam plasma ayam juga ada
dalam ikatan albumin. Tidak tetapnya pengikatan T3 dan
Tq dalam plasma ayam adalah' karena rendahnya waktu
paruh dari kedua hormon tersebut, yaitu 8.3 jam untuk Tq
dan 7.2 jam untuk Tg ( Bell dan Freeman, 1971).
Seberapa jauh ikatan protein terhadap hormon ti-
roid dan beberapa ha1 yang dapat mempengaruhinya telah
banyak diteliti, diantaranya oleh Davis, Spaulding dan
Gregerman, (1970); Harpen, Paul Lee, Siege1 Greenfield
(1982); Refetoff, Robin dan Fang (1970); Ross dan
Tagley, (1966).
Untuk mengetahui kecepatan metabolieme hormon tiro-
id di perifer pada unggae, dapat dilakukan dengan menge-
tahui waktu paruh tirokain dengan yodium berlabel pada
aampel plaama, atau dengan Protein Bound Iodine (PBI)
dari plasma. Beberapa peneliti memberikan data mengenai
kandungan 1 2 7 ~ tiroid dan plasma yang dikumpulkan oleh
Farmer et a1..(1973), aetelah pemberian 1 2 7 ~ dalam ma-
kanan (Tabel 1).
Wentworth dan Mellen (1961) dalam penelitiannya
menduga adanya perbedaan kandungan Tq-I apabila waktu
pengukuran setelah penyuntikan yodium berlabel berbeda
pula. Dalam pgnelitiannya digunakan 13'1 sebanyak 15
pCi per 100 gram bobot badan, dan pengukuran dilakukan
pada 24, 48, 72 dan 96 jam aetelah penyuntikan 1311
Haeil ygng diperoleh dapat dilihat pada Tabel 2.
Oleh May, Kubena, Deaton 'dan Reece (1973) dilapor-
kan bahwa pengukuran kadar tirokain dengan teknik TBG
diperoleh angka 1.4 dan 1.6 g per 100 ml eerum pada P
Tabel 1. Kandungan lZ71 dalam Tiroid dan Plasma Ayam (Farmer et a l . , 1973)
lZ71 dalam t i r o i d P e n e l i t i
Anak ayam 0.14 - 89 0.92 Rosenberg et al.,
1963
Dewasa 2.14 - 310 3.16 Rosenberg et a l . ,
- - 1963 Dosis rendah 1.74 Singh et a1.,1968 Doeia aedang 7.90 - - Singh et a1.,1968
t i r o k s i n dalam t i r o i d
Rosenberg et' al. , 1963
Roeenberg st al., 1983
Prote in binding (mg/100 m l ) plasma
Mellen dan Hardy, 1957
Rosenberg et a l . , 1963
Rosenberg et a l . , 1983
Plasma ~q - kontrol ........................ Total (pg /100 m l ) 1.4-1.6 Rofetoff et a l . ,
1970 Bebaa ( ng/100 m l 5.5 Rofettof et a l . ,
1970
Tabel 2. Persentase Rataan Tiroksin Radio Aktif ( % dari Total Radio Aktivitas) dalam Plasma Ayam, Kalkun dan Itik dalaml&berapa Peri- ode Setelah Penyuntikan I (Wentworth dan Mellen, 1962)
Jam eetelah AY- Kal kun Itik penyuntikan ( % I ( % ) ( % )
Rataan 52.6 66.8 63.3
ayam dewasa. Pada ayam Jantan didapatkan 3.6 eampai 5.6
p g per 100 ml serum. Pada ayam umur 13 hari eampai de-
waea kelamin, diperoleh keeimpulan bahwa kadar serum op-
timal untuk TBG adalah .1.8%, eedangkan T4 dalam T4
binding globulin sebanyak 74 ng% T4.
Pada pengukuran laju eekresi tirokein akan dipenga-
ruhi oleh kondiei dari kelenjar tiroid. Pekary, Hersh-
man dan Sawin (1980) memberikan gambaran bahwa pada ma-
nusia hormon tiroid dengan TSH mempunyai hubungan hi- b
perbolik. Seeuai dengan pendapat di atas, bahwa kadar
TSH yang meningkat akan menqakibatkan kadar TQ dan T4
, menurun (Kaneko, 1980).
Tabel 3. Laju Sekreei Tirokein (Farmer et al., 1973)
L S T ~ Spesies Metoda (L tirokain Puetaka
G.P. T.S. D.O. T.D. G.P. T.S.
G.P. T.S. D.O.
( I sedang )
( I rendah )
G.P.
G.P.
Burung puyuh Jepang T.D
G.P. G.P.
Kalkun
T.D.
G.P. G.P. G.P.
Singh, st al., 1968 Singh, et al., 1968 Singh, et al., 1968 Singh, at al., 1968 Mellen, 1964 Mellen dan Wentworth, 1960 Tanabe et al. , 1965 Tanabe et al., 1965
Singh dan Rienke , 1968 Singh dan Rienke , 1968 . Kleinpeter dan Mixner , 1971 O'dell , 1952
Singh et al., 1967 Hoffman, 1970 Biellier dan Turner, 1950 Aetier et al. , 1972
Mellen, 1964 Smith dan Fox, 1951 Biellier dan Turner, 1955
a~~~ = Laju sekreei tiroksin G.P. = Goter prevention methode T.S. = Thyroxine substitution methode D.O. = Direct out put methode T.D. = Thyroxine degradation methode.
Beberapa faktor yang mempengaruhi produksi hormon
tiroid diantaranya adalah kontrol dari hipofiea yaitu
terhadap sekresi TSH yafig akan menurun apabila produksi
tiroksin cukup tinggi (Erickeon, Cavalieri dan Roeenberg,
1982; Farmer et al., 1973; Friedman,Lang dan Burke, 1978;
Disamping itu, menurut Bauch, Krumdieck, Hershman dan
Pittman (1970), pada mekanismb umpan balik jarak pan-
jang produksi hormon tiroid dipengaruhi oleh hipotala-
mue yang mengontrol sekresi TSH dengan TRH (thyrotro-
pin releasing hormone).
Keadaan dari fungei kelenjar tiroid akap menentukan
produksi hormon tiroid, miealnya dengan adanya variaei
mueim terhadap fungsi tiroid. Stahl dan Turner (1961)
meneliti adanya interaksi antara variaei musim dengan
fungsi kelenjar tiroid. Fungsi gonadal mempunyai hu-
bungan pula dengan fungei kelenjar tiroid, misalnya
pada kastrasi akan didapatkan peningkatan eirkulaei TSH
beraama dengan peningkatan eel tirotropik dari kelenjar
hipof iea' untuk rneningkatkan bobot kelen jar t iroid, pe-
nangkapan yodium berlabel ( 1311 ) dan pengikatan protein
dengan 1311 (Bell dan Freeman, 1971).
Pengaruh lingkungan miealnya banyaknya penyinaran
merupakan perangeang terhadap fungei kelenjar tiroid
untuk beberapa epesies. Panjangnya hari dapat menghambat
katabolisme hormon tiroid di perifer (Farmer et al.,
1973). Temperatur juga besar pengaruhnya terhadap fungsi
kelenjar tiroid. Diantaranya hasil penelitian Gregerman
dan Crowder (1963) yang mendapatkan pada tikus dengan
perlakuan cekaman temperatur sangat dingin mengakibatkan
laju sekresi tiroksin menjadi lambat. Demikian pula
pada kondisi temperatur yang eangat tinggi disertai pem-
berian makanan dengan protein rendah dapat menghambat I
laju sekresi tiroksin (Yousef dan Johnson, 1968; Sack,
Epstein dan Udassin, 1978).
Faktor lain yang mempengaruhi metabolisme hormon
tiroid adalah beberapa substrat yang dapat menghambat
eintesa hormon tiroid serta menghasilkan pembesaran ke-
lenjar tiroid. Beberapa dari padanya dapat dipakai seba-
gai alat untuk mendiagnosa penderita kekurangan atau ke-
lebihan hormon tiroid. Kekurangan yodium akan menyebab-
kan penurunan sintesa hormon tiroid yang kemudian diser-
tai kompeneasi pembesaran.kelen3ar tiroid. Sebaliknya,
tingginya yodium dalam sirkulasi darah hanya kecil
pengaruhnya terhadap sinteea hormon tiroid. (Harper
et al., 1980).
Zat-zat yang mempunyai pengaruh menghambat pembsn-
tukan hormon tiroid disebut anti tiroid. Diantaranya
tiourasil dan perklorat, yang mempunyai monovalen anion
yang mengikat kadar yodium dalam kelenjar tiroid dan
menyebabkan yodium bebae maeuk ke dalam aliran darah.
Karenanya kelenjar timid kekurangan yodium dan sintesa
hormon tiroid terhambat. Sinteea yodium dan CAMP di
dalam kelenjar tircid t i k ~ e ?.elah ditcsliti nleh
Rapoport, West dan Ingbar (1976). Senyawa lain mita1,nya
tripan blue, tiocarbamid dari kelompok tionamid yang
mempunyai pengaruh goitrogenik. Bagian yang aktif dari
senyawa ini berisi eenyawa tiourilen dimana satu nitro- I
gen diganti dengan SO (Peak, Batlle dan Payer, 1980).
Dieamping eenyawa-aenyawa di atae, beberapa bahan
makanan mempunyai pengaruh eebagai goitrogen alam misal-
nya pada kubis dan kacang tanah yang mengandung 5 vinil
2 tioxazolidin. Senyawa-senyawa lain yang mempunyai
pengaruh goitrogenik adalah eulfonamid dan derivatnya,
misalnya sulfonilurea, para amino salieilat, para amino
benzoat yang merupakan 'goitrogen apabila diberikan dalam
doeia tinggi (Bell dan Freeman, 1971).
Penelitian anti tiroid yang menghambat degradasi Tg
dan Tq dikemukakan oleh Akiba dan Mataumoto (1976),
aerta Heinen Herrmann, Moeny, Mareno, Teschke dan Krh-
kemper (1980). Beberapa faktor yang mempengaruhi kadar
hormon tiroid dalam eerum telah diperlihatkan pada tikus
dan manusia oleh Davia et a l . (1970); Valenta, Eieenberg
dan Mayes (1980); Volpert, Form dan Maayan (1980).
Para peneliti banyak menemukan Tg merupakan hormon
"yang lebih aktif bila dibandingkan Tq, aedangkan T4
hanya aktif setelah diubah menjadi T3.
Penelitian pada ayam (May, 1980a) menunjukk-
bahwa pemberian T4 dalam makanan menghasilkan kenaikan
kadar T4 plasma, sedangkan pada T3 plasma peningkatan
hanya terjadi satu hari setelah periode pemberian. Pada
manuaia sirkulaei TQ dalam darah diduga meningkat karena
adanya deyodinasi dari T4 di perifer (Braverman et al.,
1970).
Pada tea pencegahan goiter ayam tidak ada perbedaan
T3 dan T4 plasma (Shellabarger, 1955). Hal ini diduga
karena laju perubahan Tq menjadi T3 pada ayam relatif
lebih cepat dibandingkan dengan speeies lain sehingga
pengaruh penyuntikan senyawa Tg dan T4 memberikan penga-
ruh yang sama. Contohnya pada tikue yang diteliti oleh
Chiraaeveenuprapund et al. (1978), karena konversi T4
menjadi Tg relatif lambat, maka penyuntikan Tg lebih
cepat memberikan respons dibandingkan dengan psnyuntik-
an Tq. Demikian pula pada ayam petelur, yang diteliti
oleh Varman dan Parehad (1980).
Penelitian yang dilakukan pada manusia oleh Gavin
et al. (1977) mendapatkan laju produksi rT3 dan T3
maeing-maeing 34.3 i 5.9 pg/hari dan 20.3 i 6.6 pg/hari,
eetelah penyuntikan L-tiroksin pada paeien hipotiroid.
Penelitian pada ayam dilakukan oleh Newcomer (1976)
terhadap White Leghorn jantan yang mendapatkan makanan
dengan tambahan 0.02% dan 0.04% protamon. Protamon ter-
eebut mengandung 6.78% yodium total dimana 0.76% dasi
padanya merupakan yodium anorganik. Sebagai hormon aktif
di dal-ya adalah L-tirosin 1.03%. Penelitian ini
untuk mengetahui bobot kelenjar tiroid serta sirkd2.aei
Tg dan Tq dalam serum. Dari psnelitian tersebut nampak
bahwa pemberian tiroksin dalam bentuk protamon temnyata
menurunkan bobot kelenjar tiroid setara dengan jumlah
pember ian .
Tabel 4. Bobot Kelenjar Tiroid Karena Pengaruh Pem- berian Protamon (Newcomer, 1976). .
Umur Jumlah Protamon Protamon a y m Kontrol 0.02% 0.04%
(hari) (ekor)
........ (mg/lOOg BB) ............
22
Kesimpulan i n i memberikan petunjuk adanya pengham-
batan sekres i t i r o t r o p i n d a r i h ipof i sa a n t e r i o r karena
adanya t i roka in d a r i pemberian protarnon. H a l i n i seeuai
dengan pene l i t i an Westerfeld, Richert dan Ruegamer
( 1964 ) , bahwa pada ayam umur 1-56 h a r i dengan pemberian
0.6 mg T4/100 gram makanan akan menurunkan bobot kelen-
jar t i r o i d d a r i 8.0 mg/100 gram bobot badan menjadi
3.5 mg/100 gram bobot badan. Demikian pula pada pembe-
r i a n Tg dan Td dalam suntikan dengan dos i s 2 5 0 p g per
h a r i , bobot kelenjar t i r o i d menjadi 4.4 mg/lOOa gram
bobot badan.
Haail yang eama diperoleh Roberson dan T r u j i l l o
(1975), yang mendapatkan penurunan bobot ke len ja r t i r o i d
aecara d r a s t i s pada pemberian 0.0125% t i r o t r o p i n . Namun
demikian, Glazene'r dan J u l l (1946) mendapatkan kenyataan
l a i n d a r i h a s i l peneli t iannya dimana hanya pada ayam be-
t i n a didapatkan penurunan bobot kelenjar t i r o i d d a r i
0.006 gram menjadi 0.0024 gram/100 gram bobot badan,
pada umur 10 minggu dan mndapat 0.1% t i r o i d yang dike-
ringkan. Pada ayam jantan penambahan hormon t i r o i d pada
doeis yang aama diperoleh pertambahan bobot kelenjar b
t i r o i d 0.001 gram/100 gram bobot badan.
Sebaliknya pemberian, hormon a n t i t i r o i d , miealnya
pemberian t i o u r a s i l , bobot kelenjar t i r o i d akan mening-
kat dengan nyata ya i tu 7 - 12 k a l i l eb ih bera t (Andrews
Tabel 5 . Kadar T3 dan T4 Serum Darah' Ayam Yang Mendapatkan 0.02% dan 0.04% Protamon pada Berbagai Hari Pemberian (Newcomer, 1976).
Tanggal Jumlah Ko,nt ro 1 protamona protamona aYam 0.02% 0.04% ( ekor )
T3 (ng/lOO ml) ...................................
a 0.02% Protamon diber ikan mulai tanggal 6.11.72.
0.04% Protamon diberikan mulai tangpal 8.11.72.
dan Schnetzer, 1946; Marks dan Nix, 1973). Kenyataan
bahwa pemberian hormon tiroid eksogen mempunyai penga- .
ruh terhadap kelenjar tiroid serta fungsi fisiologis la-
innya dibuktikan oleh Heinen ian Carr ( 1980), bahwa mo-
bilisasi lemak bertybah dengan pemberian hormon tiroid
mencit yang diberi perlakukan temperatur sangat rendah
sehingga tetap bertahan hidup. Dikemukakan kekurangan
dalam penggunaan energi cadangan selama penelitian tidak
dapat diperbaiki dengan penahbahan tiroid yang dikering-
kan sebanyak 0.1 dan 0.2%.
Pengaruh pemberian hormon tiroid terhadap kadar T3
dan T4 eerum diteliti pula oleh Newcomer (1976). HasiP
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 5. Dari peneli-
tian tersebut ternyata bahwa pemberian 0.04% protamon
aelalu meningkatkan kadar T4 perum. Tetapi tidak demi-
kian halnya dengan kadar T3 Serum.
Tabel 6. Pengaruh Pemberian T4 Terhadap Kadar T3, rT3 dan Tq Serum ( May, 1980 )
Waktu pemberian makanan (hari )a Hormon Makanan ..............................
1 2 5 6
T3 - Kontrol 2. 4ga 2. 35a 2.3ga ~ - 3 7 ~ - Kontrol + 10 ppm T4 3. 38b 1. 9ga 5 . 5 ~ ~ 2.53'
rT3 - Kontrol 0.16~ 0.12~ 0.02~ 0 . 1 6 ~ - Kontrol + 10 PPm 28. 43b 5.74b 2 4 . 4 ~ ~ 33.4gb
T4 - Kontrol 15. 8oa , 17. 6oa 13. 6oa 15. 3oa - Kontrol + 10 ppm Tq 593. 3ob 156. 4ob 253.00~ 224. 5ob
a Beda huruf menunjukkan beda nyata dengan masing- maaing kontrol.
Hasil penelitian May (1980a), untuk mengetahui pe-
ngaruh pemberian Tq dalam makanan terhadap kadar Tg dan
Tq eemun tercantum dalam Tabel 6. Selanjutnya pada pe-
nelitian tahap lain dieimptalkan bahwa pemberian T3 se-
banyak 0.10 ppm dan 1.0 ppm akan semakin meningkatkan TQ
serum tetapi menuz%nkan T4 serum secara nyata. Pemberi-
an T4 sebanyak 0.10 ppm dan 1.0 ppm tidak menunjukkan
perbedaan yang nyata terhadap T3 serum, juga terhadap T4 I
serum pada pemberiaan Tg aebanyak 0.01 ppm.' Pada pem-
berian 1.0 ppm didapatkan kenaikan T4 serum sangat
nyata yaitu 69-5 ng/ml apabila dibandingkan dengan
kontrol (21.1 ng/ml). Penelitian ini dilakukan pada
broiler umur 0 - 28 hari.
Rro iLer
a Laju pertumbuhan merupakan faktor utama yang menen-
tukan efisiensi ekonomis dalam pengelolaan broiler, ha1
ini karena adanya hubungan yang erat dengan konversi
makanan (Pesti, 1982). Apabila strain broiler yang di-
pilih merupakan etrain dengan pertumbuhan yang baik maka
faktor lin-an akan merupakan faktor lain yang sangat
menentukan perkembangannya. ~ i l a h satu faktor diantara-
nya adalah temperatur lingkungan dimana.broiler dipeli-
hara (Huston, 1978; Siegel, 1969; Weaver, Beane dan
Cherry, 1980).
Broiler adalah hewan homeotermia sehingga mempunyai
kemampuan untuk meregulasi temperatur tubuhnya. Namun
demikian untuk mendagatkan performans yang b&ik diperlu-
kan temperatur optimum atau daerah termonetral. .
Daerah Termonetral adalah auatu kisaran temperatur
lingkungan dimana perubahan produkai panae pada tubuh
unggas tidak terjadi atau sedikit sekali terjadi. Dae-
rah termonetral mempunyai kisaran tertentu tergantung f
pada strain unggas, daya adaptasi individu, umur, kuan-
titas dan kualitas ransum, besar atau bobot badan unggae
(Arieli, Meltzer dan Berhman, 1980; Bell dan Freeman,
1971; Deaton, Reece, Kubeea dan May, 1963).
Beberapa peneliti telah membuktikan adanya hubungan
antara temperatur lingkungan dengan pertumbuhan broiler.
Diantaranya adalah Charles, Groom dan Bray (1981);
Cowan dan Michie (1978); Diab, Huaaeini dan Salman
(1981); Henken, Schaarsberg dan van der He1 (1983);
Meltzer, Ernst, Weathere dan Smith (1982).
' Pada awal pertumbuhan, yaitu sejak menetas sampai
umur tiga atau empat minggu, broiler tidak mempunyai ke-
mampuan untuk meregulaai temperatur tubuhnya terhadap
temperatur dingin, ha1 ini karena bulu dan lemak di
bawah kulit belum berkembang. Oleh karenanya pada peri-
ode tersebut diperlukan pemanae untuk mendapatkan tempe-
ratur optimum. Dengan demikian temperatur lingkungan
bukan merupakan masalah bagi pertumbuhannya. Temperatur
optimum untuk mengelolaan broiler pada period8 akhir
yaitu umur 4 -8 minggu berkisar antara 24.5 - 2 9 . 0 ~ ~ (Meltzer, 1983) atau 19 - 2 3 O ~ (Reece dan Deaton, 1971).
Daerah termonetral untuk beberapa kondisi wnur dan
bobot badan broiler dapat dilihat pada Tabel 7.
Dari penelitian Wathea, Gill, Charles dan Back
(1981), disimpulkan bahwa temperatur optimum untuk per- t
twnbuhan broiler jantan 21°c dan bet ina 22O~.
Dengan suhu lingkungan yang lebih tinggi dari suhu
optimum untuk pertumbuhan, maka hewan yang bersangkutan
akan meningkatkan pengeluaran panas tubuhnya agar tetap
aeimbang dengan produksi panasnya (Reece, Deaton dan
Bouchillon, 1969).
Tabel 7. Daerah Terrnonetral untuk Broiler pada Ber- bagai Umur dan Bobot Badan (Meltzer, 1983)
Umur Bobot badan broiler (g) Daerah tgrmonetral (hari) Jantan Bet ina ( c )
Menurut Siege1 (1969), pada wnumnya panae dapat di-
keluarkan dari tubuh melalui dua jalan yaitu aecara
langsung dengan cara radiaei, konduksi dan konvekei atau
melalui cara tidak langaung yaitu dengan evaporasi mela-
lui alat reapiraai. Apabila temperatur tubuh ayam
dengan temperatur lingkungan tidak berbeda jauh, maka
pengeluaran panas melalui radiaei, konvekei dan konduksi
eangat kecil, aedangkan pengeluaran panaa dengan jalan I
evaporasi aangat penting (Bell dan Freeman, 1971; Reece
dan Lott, 1982b).
Hasil penelitian eato on, Reeca dan Bouchillon
(1969) menunjukkan bahwa pada broiler umur delapan
minggu pengeluaran panae melalui radiasi, konveksi dan
kondukai 57% eedangkan melalui evaporaei 43% dari pro-
dukei panas total, dimueim dingin. Sebaliknya pada - mueirn panae angka tereebut maeing-maeing adalah 33% dan
67% (Reece at al., 1969).
Di daerah panae di mana auhu lingkungan lebih
tinggi dari auhu optimal untuk pdrtumbuhan maka pengelu-
aran panae tubuh melalui evaporaei lebih banyak. Hal
ini ditandai dengan peningkatan frequenai pernafasan
atau dikenal sebagai "panting". Sering disertai pula
dengan merentangkan sayap dan mengubah kedudukan bulu-
bulunya untuk meningkatkan dan melancarkan aliran darah
dipermukaan tubuh (Farrel, 1979).
Pada periode akhir pertumbuhan broiler yang dipeli-
hara pada temperatur 2 2 O ~ menghasilkan pertambahan bobot
badan lebih tinggi bila dibandingkan broiler yang dipe-
lihara pada temperatur 32Oc. Broiler yang dipelihara
pada temperatur dingin menunjukkan retensi asam amino
sebesar 68.07% dari total asam amino dengan efisiensi
30.15%, sedangkan pengelolaan pada temperatur panas
ksingt-masing 66.76% dan 15.52% untuk nilai retensi ter-
hadap total konsumsi asam amino dan efisiensi asam m i -
no (El Husseini, 1980). Hal ini sesuai dengan peneli-
tian sebelumnya bahwa temperatur pengelolaan broiler
untuk mendapatkan konversi ransum terbaik adalah pada
24Oc (baton et al., 1963)
Pada penelitian Charles, et a l . (1981) disimpulkan
bahwa pada pengelolaan broiler dengan temperatur yang
eemakin rendah maka -diperoleh pertambahan bobot badan
yang semakin baik. Pada penelitian ini digunakan tempe-
ratur pemeliharaan laOc, 21°c, 24Oc dan 27Oc. Demikian
pula pada penelitian Cowan dan Michie (1978), bahwa pada
temperatur pemeliharaan 16 dan 21°c diperoleh performans
yang lebih baik dari pada temperatur 26 dan 31°c. Pe- e
ningkatan mutu protein ransum ternyata tidak berhasil
memperbaiki rendahnya bobot badan yang disebabkan oleh
tingginya temperatur. Hasil yang sesuai diperoleh Ernat,
Weathers dan Smith (1982), bahwa tidak ada interaksi
antara temperatur dan koneentraei zat-zat makanan.
Namun demikian, hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan penelitian Diab, et al. (1981), yang memperoleh
perbaikan performans apabila broiler yang dipelihara pa-
da temperatur lingkungan tinggi dan diberi raneum dengan
energi lebih ditingkatkan. Performans broiler juga le-
bih baik pada penyinaran yang Ferbatas tetapi makanan
diberikan terus menerus dibandingkan pada pemberiaan si-
par terus menerus dengan makanan yang dibatasi.
Penelitian Dale dan Fuller (1980) menunjukkan ada-
nya laju pertumbuhan yang.nyata lebih baik pada pemeli-
haraan broiler di lingkungan dingin (14 A 1°C) bila di-
bandingkan di lingkungan panas (31 + 1°C). Juga peneli-
tian Henken, et al., (1983), bahwa pada lingkungan panas
efisiensi penggunaan protein dan energi menurun sesuai
dengan tingginya temperatur.
Pertumbuhw juga akan terhambat apabila amplitudo
harian eangat tinggi, Siege1 dan Drury (1970) melapor-
kan bahwa broiler periode akhir y h g dipelihara pada
temperatur rata-rata 21°c dengan kisaran 21.1 A 11. l0c
serta 21.1 f 16. ~ O C menun jukkan' pertumbuhan yang terham-
bat, sedangkan pada kiearan temperatur 21.1 2 5.5OC me-
nunjukk,an pertumbuhan yang baik.
Penyebab rendahnya pertumbuhan pada broiler yang
dipelihara di daerah panas masih belum mendapatkan ke-
sepakatan pendapat. Sebagian besar peneliti berpendapat
bahwa rendahnya pertumbuhan adalah karena rendahnya kon-
sumsi ransum dan dengan demikian zat makanan yang dikon-
sumsi juga lebih rendah (Smith, Teeter, Hinzt, Murray,
. Campbell dan Melouk, 1983). Namun demikian, Dale dan
Fuller (1980) menyimpulkan bahwa rendahnya konsumsi zat
rnakanan pada temperatur tinggi hanya merupakan bagian
kecil dari penyebab rendahnya pertumbuhan broiler. Ini
dibuktikannya bahwa broiler y k g dipelihara pada tempe-
ratur 21°c menun jukkan pertumbuhan 9% lebih baik bila
dibandingkan dengan broiler yang dipelihara pada tempe-
ratur 3 2 O ~ , meskipun kedua kelompok broiler tersebut di-
paksakan mengkonsumsi sejumlah ransum yang sama.
Hasil penelitian Adams, Andrews, Gardiner, Fontaine
dan Carrick (1962b), menunjukkan bahwa pemeliharaan bro-
iler pada temperatur tinggi (32. ~ O C ) , konsumsi mengalami
penurunan. Pada pemberian ransum dengan energi tinggi
den energi rendah massing-masing 21% dan 12% lebih rendah
bila dibandingkan dengan pengelolaan pada temperatur
rendah (21. 1°c) dengan ransum Lama.
Wathes et al. (1981) dari hasil penelitiannya men- - buat suatu rumus matematik mengenai jumlah konsumsi yang
dipengaruhi oleh umur, temperatur dan interaksi keduanya-
Rumus tersebut adalah sebagai berikut :
dimana ;
F = konsumsi ransum (kg/ekor)
Kf = tetapan
af, bf, df, dan ef = koefisien
T = temperatur (OC)
A = umur (hari) il
TA = interaksi antara temperatur dan urnur
Rumus di atas dapat digunakan pada broiler yang dipeli-
hara pada temperatur antara 1 5 O ~ - 27O~. Mekanisme ter j adinya penurunan konsumsi ransum aki-
bat dari temperatur tinggi telah banyak dikemukakan oleh
beberapa peneliti. Diantaranya oleh Smith dan Baranowe-
ki-Kish (1979), bahwa rendahnya konsumsi ransum pada
temperatur tinggi kemungkinan disebabkan oleh pengaruh
langsung pada mekanisme kontrol koneumei oleh bagian
otak unggas terhadap suatu kondiei lingkungan tertentu.
Selanjutnya oleh Smith et al. (1983) dikemukakan
bahwa pada kondisi panas laju aliran darah di daerah
usus akan menurun sehingga kegiatan usus lambat dan
waktu yang diperlukan makanan 'untuk melintasi usus men-
jadi lebih lama. Akibatnya akan menunda respons termo-
genik terhadap konsumsi, sehingga kemampuan mengkonsumsi
makanan berkurang. Hal ini karena keinginan makan pada
unggas disamping akibat dari mekanisme kontrol syaraf
juga didorong oleh kekoeongan saluran makanan.
Meskipun konsumsi rapsum menurun di daerah tempera-
tur panas, namun keadaan ini tidak terl~lu mempengaruhi
performans broiler, karena efisiensi zat makanan lebih
mensntukan nilai ekonomis , terutama ef ieiensi terhadap
penggunaan protein dan energi. Adams, Andrews, Rogler
dan Carrick (1962a) menunj-an hasil penelitiannya
bahwa jwnlah asam amino dengan ikatan sulfur (sulfur
amino acid = SAA) untuk setiap.gram pertambahan bobot
badan tidak dipengaruhi oleh temperatur lingkungan.
Dari hasil penelitian ini dapat dilihat meskipun konsum-
si SAA agak turun tetapi tidak nyata pengaruhnya terha-
dap pertambahan bobot badan, walaupun ada kecenderungan
menurun pada pengelolaan dengan temperatur tinggi r
Tabel 8).
Hurwitz, Weiselberg, Eisner, Bartov, Rieaenfeld,
Sharvit, Niv dan Bornstein (1980), melaporkan bahwa kon-
verai ransum pada broiler membaik dengan meningkatnya
temperatur lingkungan sampai batas 27O~. Kemudian akan
menurun pada. temperatur antara 27OC - 34OC, terutama @
konversi ransum dari broiler betina, sedangkan pada bro-
iler jantan nilai konversi menunjukkan angka tetap.
Tabel 8. Pertambahan Bobot Badan, Konsumai SAA dan Konversi SAA pada Broiler (Umur 4 -- 8 minggu) yang Dipelihara dengan Dua Macam Temperatur Berbeda (Adams et al., 1962)
Tingkat SAA (%)a Peubah yang ................................... diukur 0.40 0.50 0.60 0.80
f
Pertambahan bobot 885 997 995 997 badan (g)
Koneumsi SAA 0.34 0.34 0.51 0.66 ( ra/hari
Konversi SAA 0.0107 0.0121 0.0142 0.0184
Pertambahan bobot 756 849 872 861 badan (g)
Konsumsi SAA 0.29 0.38 0.44 0.57 ( g/hari
Konvers i SAA 0.0108 0.0124 0.0142 0.0186
a~~ = asam amino dengan ikatan sulfur.
Reece dan Lot (1983) melaporkan apabila konversi
raneum ditin3au dari umur yang eama, maka pengelolaan
pada tsm~eratur ~ 6 . 7 ~ ~ lebih Paik dari pada temperatur
21. 1°c. Namun apabila ditinjau dari bobot badan yang
eama, maka konverei ranaum pada kedua temperatur terse-
but sama.
Dari laporan di atas, memberikan petunjuk bahwa
untuk mencapai bobot tertentu pada pengelolaan broiler
di daerah temperatur panas diperlukan waktu yang lebih
lama dibandingkan di daerah temperatur sedang. Oleh ka-
renanya meningkatkan kandungaan zat makanan di dalam
ransum merupakan satu cara dalam meningkatkan performans
broiler.
Charles et al, (1981) metlaporkan adanya interaksi
antara temperatur dan beberapa kandungan zat makanan.
Selanjutnya ditunjukkan pula bahwa pertambahan bobot
badan pleningkat dengan peningkatan kandungan zat-zat
makanan pada temperatur lebih tinggi. Pada penelitian
ini d i m a k a n beberapa tingkat temperatur yaitu 15, 18,
21, 24 dan 27O~.
Penelitian pada temperatur tinggi (32.z0 ) terus
rnenerus, dengan disertai peningkatan kandungan protein,
mineral dan vitamin dalam ransum ternyata dapat memper-
baiki performane (Adams, et al., 1962b).
Scott dan Austic (1978) melaporkan bahwa penggunaan
aeam amino lisin pada broiler mempunyai hubungan dengan
pertumbuhan. Menurut McNaughton, May, Reece dan Deaton a
(1978), kebutuhan lisin adalah 0.90% dari ransum untuk
ayam yang tumbuh lambat sedangkan untuk ayam yang tumbuh
cepat memerlukan lisin 1.1% dari ransum.
Apabila salah satu asam amino yang ada dalam makan- .
an tidak cukup untuk mendukung sintesis protein daring-
an, maka asam amino yang lain tidak aemua digunakan dan
kelebihanriya &an terbuang dan dikeluarkan dari tubuh
(Scott, Nesheim dan Young, 1982).
May, Kubena, Reece dan Deaton (1972) melaporkan
dari haeil penelitiannya bahwa plasma alanin, arginin
dan tirosin menurun tetapi sistin, ornitin dan lisin me-
ningkat pada broiler yang dipelihara di temperatur ling-
kungan 7.2Oc dibandingkan dengan broiler yang dipelihara
pada temperatur 32. 2Oc. Pada penelit ian ini dilaporkan
pula bahwa plasma asam amino esensil menurun 8% pada
ayam yang dipelihara dengan temperatur lingkungan
t inggi
Karena rendahnya konsumsi ransum di daerah ganas
maka menurut Kubena, Lott, Deaton, Reece dan May (1972),
untuk mengejar kekurangan konsumsi protein di daerah
panas, nilai aat makanan hendaknya ditingkatkan seba-
nyak 5 - 10% dari normal: March dan Biely (1972) melaporkan bahwa penambahan
asam amino lisin ke dalam ransum basal dapat meningkat- I
kan pertambahan bobot badan dan memperbaiki konversi
ransum dari broiler yang dipelihara pada temperatur
eedang ( 20°c) dan temperatur tinggi (31. 1°c). Namun
pada penambahan energi, sshingga perbandingan antara
tingkat asam amino lisin dan energi turun, ternyata me-
nurunkan pertambahan bobot badan pada kedua temperatur
yemeliharaan di atas.
Hasil penelitian McNaughton et al. (1978), yang da-
pat dilihat pada Tabel 9, menunjukkan perbedaan dengan
haail yanelitian di ataa yaitu pada pengelolaan di
tempat dingin diperlukan liain lebih banyak dibandingkan
di tempat panas. Pada umur minggu diperoleh bobot
badan makaimum apabila mendapatkan tingkat penggunaan
lisin 1.05% di tempat dingin sedangkan di tempat panas
pada tingkat penggunaan lisin 0.95%. Hal ini karena
penelitian hanya dilakukan sampai umur 4 minggu, sdang-
kan kebutuhan asam amino tergantung pada laju pertumbuh-
an (Milligan dan Winn, 1964).
Menurut Kubena, et al., (1972), pengelolaan broiler
pada temperatur lebih tinggi. akan meningkatkan lemak
karkaa total. Keadaan ini tentunya juga akan mempenga-
ruhi beaarnya jumlah lemak abdominal karena adanya hu-
bungan erat antara kedua bagian lemak tersebut yaitu
dengan r = 0.94 ( McLeod, 1983 ) .
Pada produksi broiler, beaarnya persenan lemak ab-
dominal merupakan euatu kerugian karena lemak abdominal
merupakan bagian yang terbuang. Ini mengakibatkan per-
aenan karkas menjadi rendah. Meskipun lemak abdominal
dapat diproees eebagai haeil empingan, namun biaya
memproduksi lemak jauh lebih besar dari hasil earnpingan
ini (Griffiths dan Nairu, 1984).
Pada penelitian Kubena, Deaton, Chen dan Reece
(1974), diperlihatkan adanya peninpkatan lemak abdomina1
pada broiler yang dipelihara pada temperatur lebih
tinggi, walaupun yenelitidn ini menggunakan temperatur
lingkungan tert inggi 21°c. Disimpulkan pula bahwa lernak
abdominal dipengaruhi oleh jenfis kelarnin, umur dan bobot
Tabel 9. Pengaruh Temperatur Lingkungan Terhadap Kebutuhan asam Amino Lisin pada Broiler umur 2 dan 4 Minggu Ditinjau dari Bobot badan (McNaughton et al., 1978)
Tingkat Umur 2 ~ i n g g u ~ Umur 4 ~ i n g g u ~ penggunan ------------------- liain ( % ) ~ 3 . 9 ~ ~ 29.4Oc 15.6Oc ~ 9 . 4 ~ ~
................ ( gram ).................. 480d 401' 1 4 2 ~ 1 4 4 ~
171d 16aq 48zd 4 ~ 4 ~
18zc 1 8 5 ~ 510Cd 46gb
1 8 8 ~ 1 9 6 ~ 54gbc 52za
200b 2 0 3 ~ 55aab 535a
210ab 21zab 588a 546a
12za 2 1 3 ~ ~ 59Eia 54za
2 1 3 ~ 2 1 4 ~ 574a 4 ~ 7 ~
ahuruf berbeda pada lajur yang sama menunjukkan beda nyata ( P <0.05)
Pengaruh perbedaan temperatur pemeliharaan broiler
terhadap bobot badan dan lemak abdominal dapat dilihat
pada Tabel 10.
Tabel 10. Pengaruh Temperatur Pemeliharaan Terhadap Lemak Abdominal Broiler dalam tiga Perco- baan (Kubena et a1.,1974)
Jenia Umur Tempe- P B B ~ Bobot lemak % B B ~ kelamin ratur I abdominal
(minggu ) (OC) ( g ~ (B)
Jantan 8 4-16-4 1 954 24.9 a 1. 27ab 8 10-21-10 1 972 29.4 49ab 8 21 1 894 29.5 1.56
Betina 8 4-16-4 1 603 28.2 I.?<: 8 10-21-10 1565 28.8 1. 84c 8 21 1 539 31.4 2.04
Jantan 9 4-16-4 2 313 34.5 ab 1 4gab 9 10-21-10 2 349 36.3 1. 54bc 9 21 2 213 38.7 1.79
Betina 9 4-16-4 1 856 32.8 1.77: 9 10-21-10 1 834 36.3 1. Bec 9 21 1 791 38.7 2.16
a~~~ : pertambahan bobot badan
b% BB : persenan dari bobot badan 1
Huruf yang berbeda menunjukan beda nyata (P < 0.05)
*
Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa pada temperatur
lingkungan aelalu t inggi ( 21°c) maupun temperatur yang
diubah-ubah ( 10-21-loOc) , lemak abdominal broiler rata-
rata lebih tinggi dibandingkan temperatur lingkungan
rendah ( 4-16-~OC) , sedangkan antara kelompok j antan dan
kelompok betina, lemak abdominal nyata lebih tinggi pada
kelompok betina.
= Temperatur tinggi ternyata mempengaruhi kebutuhan
yodium. Pada kondiai temperatur optimum, broiler melder-
lukan 75 ppb yodium untuk mendapatkan pertumbuhan yang
makaimal (Creek, Parker dan'Hange, 1957). Namun demiki-
an, untuk mendapatkan ukuran kelenjar tiroid dan histo-
pabologi yang normal masing-maaing memerlukan yodium se-
beaar 150 ppb dan 300 ppb.
Temperatur tinggi, nyata menurunkan bobot badan.
Hal ini diduga ada hubungannya dengan kebutuhan yodium
karena untuk menjaga ukuran kelenjar tiroid agar tetap
normal diperlukan penambahan yodium. Namun berapa besar
penambahan tersebut aangat eulit diketahui karena penam-
bahan dalam tingkat yang aangat kecil kadang-kadang au-
dah merubah performans (Godfrey, Carrieck dan W'acken-
buah, 1953).
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Rogler dan
Parker (1978) menyimpulkan bahwa tingkat yodium nyata
mempengaruhi pertambahan bobot badan tetapi tidak ada I
interakai antara temperatur lingkungan dengan penggunaan
yodium. Walaupun pada penelitian ini ditunjukkan adanya
penurunan aktivitas kelenjar tiroid pada temperatur
tinggi yaitu dengan melihat data bobot kelenjar tiroid
Tabel 11. Pengaruh Temperatur dan Tingkat Yodium Terhadap Pertambahan Bobot Badan dan Ukuran Kelenjar Tiroid (Rogler dan Parker, 1978 )
Tingkat Yodium ( ppb )b ........................................ 15 75 150 250
PBB 3 - 8 minggua ( =A 2l0C 1 089 1 134 1 146 1 154 32 C 865, 898ab 906,, 924b
Rat aan 978 1 013 1 026 1 039
Bobot kelenjar tiroid 6mg)
210C 32 C
Rat aan
Konsumsi Yodium per hari (ug)
21Qc 1.04 5.42 11.42 18.80 32Oc 0.80 4.16 8.68 14.42
Rataan 0.92 4.79 10.05 16.61
"PBB : pertambahan bobot badan Huruf berbeda antara temperatur lingkungan yang sama menunjukkan beda nyata (P < 0.05)
b~uruf berbeda antara tingkat yodium yang sama me- nunjukkan beda sangat nyata (P < 0.01)
(Tabel 11). Kemungkinan lain yang mengakibatkan rendah-
nya bobot badan adalah karena cendahnya konsumsi ransum
yang berakibat konsumai yodium juga berkurang. Broiler
yang dipelihara pada temperatur 3 2 O ~ hanya mengk~nsumsi
ransum 76% dari broiler yang dipelihara pada temperatur
21°c. Apabila ditinjau dari konsumai yodium p*r unit
pertambahan bobot badan maka pada pemberian yodium
15 ppb dengan temperatur lingkungan 21°c dan 3 2 O ~ ,
masing-masing 33pg/kg dan 32pg/kg. Jadi untuk menda-
-patkan bobot badan yang sama, pada temperatur tinpgi di-
perlukan yodium lebih banyak:
Hormon tiroid mempunyai geranan penting pada sekre-
si hormon pertumbuhan {Growth hormone = GH).
Rendahnya bobot badan akibat dari hipotiroid atau
karena pemberian makanan yang beraifat goitrogen kemung-
kinan diakibatkan oleh rendahnya sekresi GH (Buttery,
1983).
Peake, Birge dan Daughaday (1973); Hervas, de Eeco-
bar dan Rey (1975) melaporkan bahwa pada tikus hipoti-
roid yang mendapat makanan propil tiourasil atau penyun-
tikan yodium radioaktif akan mereduksi kelenjar hipofise
dan kadar GH plasma akan menurun.
Pemberian hormon tiroid (Hervas et al., 1975) atau
hormon pertumbuhan (Coiro, Braverman, Christiantiton, Fang
dan Goodman, 1979) kepada tikus hipotiroid akan mening-
katkan laju sintesa RNA dal& inti dan sintesa protein
dalam sitoplasma. Hal ini dapat mengembalikan keadaan
hipotiroid menjadi normal (Young, 1980). Hasil serupa
diperoleh dari penelitian yada manusia oleh Dieguez,
Foord, Peters, Hall dan Scanlon (1985).
Mekanisme bagaimana hormon tiroid mempengaruhi per-
twnbuhan pada unggas berbeda dengan mamalia, terutama
peran GH dalam menurunkan laju pertumbuhan pada ayam eu-
tiroid (Cowan dan Margossian, 1966). Tiroidektomi pada
ayam (Harvey, Sterling dan Klandorf, 1983) atau pemberi-
an makanan goitrogenik pada ayam muda (Chianeon, Sharp,
Klandorf, Scanes dan Harvey, 1979) akan memperlihatkan
peningkatan kadar GH. Penambahan T3 maupun T4 akan
menurunkan kadar plasma GH pada ayam jantan eutiroid
(Harvey, 1983). Namun demikian, apabila Tg dan Tq di-
berikan kepada ayam hipotiroid maka akan meningkatkan GH
plasma, demikian pula yada pemberian TRH, plaama OH akan
meningkat aetelah 20 menit (Scanes dan Hayee, 1980).
Hal ini sesuai dengan penelitian Hervas, et a l . (1975),
bahwa Tq meningkatkan plasma GH pada tikus yang dihi-
langkan kelenjar tiroidnya.
Reepons TRH untuk merangaang GH pa& unggas mungkin
terjadi karena adanya mekanisme umpan balik, tergantung
pada tingkat T3 dan T4 plasma (Scanes dan Hayes, 1980). I
TRH berperan pada kontrol sekreai GH sehingga GH
menurun apabila ayam diberi T3 maupun Tq. Dalam keadaan
ini kemungkinan terjadinya reduksi GH adalah karena ada-
nya peningkatan laju metaboliame akibat penambahan T3
dan Tq. Hormon tiroid kemungkinan meningkatkan laju
penggunaan GH sehingga bobot badan menurun (Tata dan
Shellabarger , 1959) . Pada ayam Leghorn, kadar plasma OH msningkat apa-
bila hormon tiroid terutama T3 lebih rendah dibandingkan
ayam normal (Scane, Marsh, Decuypere dan Rudaa, 1983).
Keadaan ini-menunjukkan bahwa tidak seperti halnya pada
tikus, rendahnya pertumbuhan akibat hspotiroid pada ayam
bukan merupakan akibat dari rendahnya. GH. N m n sebs-
narnya hormon tiroid merupakan hormon poteneial dalam
merangsang somatomedin yang merupakan mediator bagi ak-
tivitaa GH (Fisher, 1980). Hal ini eesuai dengan penda-
pat Hoehino, Wakita, Suzuki dan Yamamoto (1982), bahwa
rendahnya aktivitas somatomedin pada periode pertumbuhan
ayam akan mengakibatkan rendahnya pertaxribahan bobot
badan.
Pemberian hormon tiroid dalam ransum telah dicoba
untuk meningkatkan performans, diantaranya dengan tiro-
protein yang diberikan pada ayam dara White Leghorn
(Dorminey, Aracott dan Bernier, 1973). Dalam bentuk
protamon dan kaeein beryodium maupun T3 dan T4 sintetia &
yang diberikan pada broiler diteliti oleh Newcomer
(1976) dan May (1980a).
Tabel 12. Pengaruh Homnon Tiroid Terhadap Pertam- bahan Bobot Badan Broiler Umur 28 Hari dan Konversi Malranan serta Kadar Tq Serum (May, 1980)
P B B ~ ~ o n v e r s i ~ Serum T~~ (g) makanan ( ng/ml)
Kontrol 7 ~ 6 ~ 1. 7za 41. lc
Kontrol + 0.10 ppm TQ 7 1 3 ~ 1. 77a 31. 3b
Kontrol + 1.00 ppm Tg 63aa ' 1. ~3~ 19. oa
Kontrol + 0.10 ppm T4 7 ~ 4 ~ 1. 71a 33. 8bC
Kontrol + 1.00 ppm Tq 7 1 4 ~ 1 - 7oa 88. 7d
a PBB, pertambahan bobot badan Huruf berbeda pada lajur yang aama menunjukkan beda nyata (P < 0.05)
Menurut Shellabarger (1955), T3 maupun T4 mempunyai
keaktivan yang sama dalam tes pencegahan goiter sedang-
kan beberapa penulis mengatakan TQ lebih aktif dari T4.
Untuk memberikan gambaran lebih jauh, May (1980a) menco-
ba memberikan Tg maupun Tq pada ayam. Percobaan ini di-
lakukan pada broiler umur 1 - 28 hari dan dilanjutkan
pada 28 - 42 hari. Hasil penelitian ini menunjukk& I
bahwa psmberian Tg sebanyak 1.0 ppm nyata menurunkan
pertambahan bobot badan. Demikian pula pada pemberian
Tq aebanyak 1.0 ppm. Hal ini karena eerum Tq pada broi-
ler yang diberi ransum kontrol sudah di ataa normal,
sehingga pemberian T3 maupun T4 menyebabkan mekanisme
umpan balik dimana keadaan tersebut akan menghambat pro-
duksi Tq dan dengan demikian kadar Tq serum turun diser-
tai dengan penurunan bobot badan. Lebih jelas dapat di-
lihat pada Tabel 12.