Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

14
Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh Pendahuluan Dalam negara demokrasi, supremasi dan kontrol sipil atas militer merupakan conditio sine qua non, demikian halnya dengan profesionalisme militer itu sendiri. Premis ini telah diterima secara luas oleh dunia internasional dan menandai terjadinya progresivitas politik di negara-negara demokrasi baru seperti di belahan Afrika Selatan, Asia, Amerika Latin, dan bahkan di bekas negara komunis Eropa Timur. Reformasi hubungan sipil-militer mutlak menjadi salah satu bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Selama satu tahun lebih, wacana umum mengenai masalah ini lebih berpusat pada "Paradigma Baru" yang disusun Mabes TNI. Di masa lalu, terutama pada masa Orde Baru, peran militer jauh melampaui peran spesifiknya di bidang pertahanan nasional. Biasanya, keterlibatan militer di bidang politik disebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer di Indonesia sehingga istilah "intervensi" tampak teramat sederhana dan tidak dapat mencerminkan besarnya skala dan cakupan peran militer tersebut. Pada sisi lain, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, para politisi cenderung memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Dengan demikian, proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia diharapkan menyehatkan hubungan sipil-militer dari kedua belah pihak. Artinya, supremasi sipil tetap ditegakkan, tetapi kalangan sipil juga harus bertekad menghindari penggunaan militer untuk kepentingan politik. Salah satu di antara peran non-pertahanan yang dimainkan militer adalah peran sosial-politik. Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Perwira-perwira militer, termasuk yang aktif, mulai dari menjadi kepala desa/lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai menjadi menteri. Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari kepala

description

sangat bagus

Transcript of Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

Page 1: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

Pendahuluan

Dalam negara demokrasi, supremasi dan kontrol sipil atas militer merupakan conditio sine qua non, demikian halnya dengan profesionalisme militer itu sendiri. Premis ini telah diterima secara luas oleh dunia internasional dan menandai terjadinya progresivitas politik di negara-negara demokrasi baru seperti di belahan Afrika Selatan, Asia, Amerika Latin, dan bahkan di bekas negara komunis Eropa Timur.

Reformasi hubungan sipil-militer mutlak menjadi salah satu bagian dari proses demokratisasi di Indonesia. Selama satu tahun lebih, wacana umum mengenai masalah ini lebih berpusat pada "Paradigma Baru" yang disusun Mabes TNI. Di masa lalu, terutama pada masa Orde Baru, peran militer jauh melampaui peran spesifiknya di bidang pertahanan nasional. Biasanya, keterlibatan militer di bidang politik disebut dengan intervensi. Akan tetapi, begitu besarnya peran militer di Indonesia sehingga istilah "intervensi" tampak teramat sederhana dan tidak dapat mencerminkan besarnya skala dan cakupan peran militer tersebut. Pada sisi lain, baik pada Orde Baru maupun Orde Lama, para politisi cenderung memanfaatkan militer untuk kepentingan politik. Dengan demikian, proses demokratisasi yang sedang berlangsung di Indonesia diharapkan menyehatkan hubungan sipil-militer dari kedua belah pihak. Artinya, supremasi sipil tetap ditegakkan, tetapi kalangan sipil juga harus bertekad menghindari penggunaan militer untuk kepentingan politik. Salah satu di antara peran non-pertahanan yang dimainkan militer adalah peran sosial-politik.

Melalui konsep kekaryaan, peran militer yang mencolok dibuktikan dengan banyaknya perwira militer yang menduduki jabatan-jabatan politik dan pemerintahan. Perwira-perwira militer, termasuk yang aktif, mulai dari menjadi kepala desa/lurah, camat, bupati/walikota, gubernur, sampai menjadi menteri. Selain itu, militer menduduki jabatan-jabatan lain yang seharusnya diduduki oleh birokrat sipil mulai dari kepala dinas, kepala kantor departemen, inspektur jenderal, direktur jenderal, sampai sekretaris jenderal. Selain itu, militer mengisi kursi di lembaga legislatif, baik di DPR maupun DPRD, yang diperoleh melalui penjatahan, bukan melalui pemilihan umum yang kompetitif. Jumlah kursi di DPR yang dijatahkan untuk militer pernah mencapai 100 kursi, kemudian dikurangi menjadi 75, dan sekarang menjadi 38. Berapapun jumlahnya, praktek ini telah melecehkan norma demokrasi yang mengharuskan semua kursi legislatif diisi melalui pemilihan umum. Tidak cukup sampai di situ saja, militer juga hadir di badan-badan ekonomi seperti badan usaha milik negara dan koperasi. Organisasi politik, organisasi kepemudaan, dan organisasi kebudayaan serta olahraga juga terbuka bagi militer. Praktek pengkaplingan jabatan-jabatan sipil yang diberikan kepada militer, baik di tingkat pusat maupun daerah, berjalan lancar. Lebih lanjut, praktek yang tidak selaras dengan spesialisasi fungsi militer di atas ditopang dan dibenarkan dengan mengeksploitasi tafsiran-tafsiran historis, ideologis, dan konstitusional. Disebutkan bahwa peran yang dominan itu selaras dengan fakta bahwa militer adalah tentara rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Konsekuensinya, dikotomi

Page 2: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

sipil-militer tidak dikenal dalam sistem politik Indonesia dan kedudukan militer dalam jabatan-jabatan sipil dapat dibenarkan. Secara ideologis, militer mengedepankan dan mensosialisasikan dwifungsi ABRI sebagai alasan bagi perangkapan fungsi militer dan penguasaan militer atas posisi-posisi politik, sosial dan ekonomi. Argumen konstitusional juga diberikan dengan menyalahgunakan pasal 2 UUD 1945 sehingga militer dianggap termasuk ke dalam kategori "golongan" yang berhak duduk di lembaga legislatif. Peran militer yang dominan seperti terjadi pada masa Orde Baru tentu saja menimbulkan berbagai dampak yang negatif dan destruktif dilihat dari pembinaan tatanan politik yang demokratis. Yang timbul bukan hanya dominasi militer di birokrasi sipil tetapi juga militerisasi masyarakat sipil, misalnya pembentukan resimen mahasiswa dan lembaga-lembaga paramiliter sebagai bagian dari organisasi massa. Sebagai akibatnya, di kalangan masyarakat sipil muncul budaya dan perilaku yang militeristis.

Praktek dominasi militer yang berlangsung lama, ditambah dengan pembenaran historis dan ideologis, telah menyebabkan militerisme menyusup ke berbagai aspek kehidupan masyarakat sipil. Dampak yang negatif dan destruktif seperti ini pulalah yang dapat disimpulkan dari pengalaman negara-negara lain yang militernya memainkan peran yang jauh melampaui batas-batas peran pertahanan. Disamping itu juga, dominasi politik TNI mendorong bangsa dan negara Indonesia ke arah disintegrasi. Walaupun hal ini menjadi masalah di seluruh Indonesia, gejalanya terlihat paling jelas di Timor Timur, Aceh dan Ambon. Keadaan ini sungguh ironis mengingat bahwa selama ini TNI menganggap dirinya sebagai kekuatan pemersatu bangsa dan negara. Reformasi posisi dan peran militer tersebut perlu dilaksanakan, dan dilaksanakan sesegera mungkin, berdasarkan anggapan bahwa fungsi militer perlu dikembalikan ke bidang pertahanan saja. Sebab, militer sebagai alat negara terbentuk supaya di dalam struktur negara ada badan yang diberi wewenang untuk memonopoli penggunaan senjata. Itulah sebabnya, prinsip dan praktek demokrasi mengharuskan militer menjadi alat negara yang menjalankan kebijakan pemerintah di bidang pertahanan, sedangkan kebijakan itu dibuat oleh pihak lain seperti pemerintah dan lembaga perwakilan rakyat yang dibentuk secara demokratis. Pengalaman negara-negara lain menunjukkan bahwa, apabila monopoli tersebut gagal atau bermasalah, akan terjadi beberapa kemungkinan yang tidak diinginkan oleh masyarakat dan militer sendiri yang ingin hidup tenteram dan demokratis. Salah satu di antaranya adalah militer yang kebal hukum, yaitu dimana militer menyalahgunakan monopoli tersebut tetapi pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh militer tidak diusut dan diadili dengan tuntas. Dua kemungkinan lain adalah pecahnya perang saudara, yaitu ketika suatu unsur masyarakat melanggar prinsip monopoli di atas dan menggunakan kekerasan senjata terhadap unsur masyarakat lain, dan pemberontakan, yaitu bila suatu unsur masyarakat melanggar monopoli tersebut dan menggunakan kekerasan senjata melawan pemerintah. Biasanya, dalam situasi ketika monopoli tersebut terancam, militer dihadapkan pada berbagai persoalan seperti demoralisasi, perpecahan internal, dan gangguan pada hirarki komando. Oleh karena itu, reformasi posisi dan peran TNI sebagai bagian dari proses demokratisasi di Indonesia adalah demi kebaikan TNI pula. Fenomena di atas telah sering dipertanyakan di masa lalu, namun sistem otoriter yang kaku tidak memungkinkan adanya perubahan yang mendasar. Dalam era reformasi,

Page 3: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

suara dan desakan dari masyarakat semakin keras menuntut reformasi posisi dan peran militer menuju kehidupan yang demokratis di Indonesia. Tuntutan tersebut dijawab oleh TNI dengan "Paradigma Baru"-nya. Pada satu sisi, pelaksanaan paradigma tersebut telah membawa dampak yang cukup positif. Misalnya, TNI memutuskan hubungan historisnya dengan Golkar dan bersikap cukup netral dalam pemilu yang lalu. Proses reformasi kepolisian juga dimulai dengan dipisahkannya POLRI dari ABRI. Contoh lain adalah kebijakan baru yang mengharuskan anggota aktif TNI yang menduduki jabatan sipil untuk memilih kembali ke satuannya atau pensiun. Namun di sisi lain, paradigma itu dinilai tetap mempertahankan peran sosial-politik TNI, walaupun pada tingkat intensitas yang lebih rendah. Disamping itu, pelaksanaan paradigma itu terkesan lebih merupakan upaya TNI untuk memperbaiki citranya daripada menyelesaikan persoalan yang sebenarnya. Oleh karena itu, kehadiran Paradigma Supremasi Sipil ini dirasakan perlu untuk lebih memperluas wacana publik mengenai penataan kembali hubungan sipil-militer di Indonesia, khususnya dalam kaitannya dengan pelaksanaan Sidang Umum MPR 1999. Dengan demikian, sangat diharapkan bahwa rekomendasi yang terkandung dalam cetak biru ini dapat diwujudkan dalam ketetapan MPR, sebagai landasan kebijakan pemerintahan selama lima tahun ke depan.

Kajian Hubungan Militer Sipil

Keterlibatan militer di negara berkembang secara tegas sekali dapat diakibatkan oleh faktor-faktor yang bersifat internal dan eksternal. Mengenai kedua faktor ini dapat kita temui dalam pembahasan-pembahasan yang di kemukakan oleh beberapa ahlinya, sebagai berikut :

Kemungkinan untuk campur tangan politik tidak hanya terdapat pada pihak militer itu sendiri tetapi juga ditentukan oleh kondisi-kondisi sosial politik eksternal. Kebangkrutan politik dan demoralisasi dalam sebuah sistem yang demokratis, ... dibarengi dengan krisis ekonomi, dapat mendorong militer untuk bertindak. (Taufik Abdullah, Dwifungsi ABRI, 1995, hal 5). Keterlibatan militer dalam politik dapat dilihat pada karakteristik internal pihak militer itu sendiri maupun pada situasi eksternal dimana militer beroperasi. Seperti, faktor internal orientasi dan kepentingan militer dan faktor eksternal meliputi kondisi sosio ekonomis, kondisi politik, dan faktor-faktor internasional. (Harold Crouch, The Millitary and Politics in Southeast Asia, 1985, hal 288).

Sebaliknya, Ulf Sundhaussen memberikan sarana analisis yang berbeda untuk memeriksa kelangsungan keterlibatan militer dalam bidang politik, khususnya di Dunia Ketiga. Rezim-rezim militer tidak dianggap sebagai bentuk-bentuk pemerintahan yang alamiah, walaupun kebudayaan-kebudayaan politik yang berbeda akan menentukan hal ini secara berbeda pula. Seperti yang dikatakan olehnya : Jika rezim militer memulihkan konsensus atau sekurang-kurangnya, menjalankan hukum dan membangun institusi-institusi politis yang dapat berfungsi untuk memecahkan konflik ... hal itu, demi maksud-maksud praktis, hidup lebih lama dari manfaatnya. Jika dilain pihak rezim itu gagal untuk mencapai tujuan-tujuan ini, rezim itu kehilangan raison d'etre atau dasar keberadaannya dan dengan demikian juga legitimasinya serta pada akhirnya kemampuannya untuk berkuasa. Jadi terlepas dari apakah rezim militer itu gagal atau berhasil, dalam jangka panjang rezim itu dapat disingkirkan dan bahkan dapat menjadi

Page 4: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

amat merugikan (counter productive). Dan rezim itu seharusnya sudah menarik diri sebelum masyarakat umum menerimanya lagi. (Ulf Sundhaussen, The Durability of Military Regime in Southeast Asia, 1985, hal 270). Walaupun pihak militer melibatkan diri dalam politik Dunia Ketiga dan dapat memberikan sumbangan pada pembangunan masyarakat, itu tidak berarti keterlibatan politiknya bersifat tetap. Dalam hal ini S.E. Finer menyatakan bahwa ada tiga pola yang bisa terjadi:  Pertama menyerahkan kekuasaannya, kedua menjadi sipil kemabali, ketiga pola tengahan dengan menjadi setengah sipil. (S.E. Finer, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 17). Akan tetapi samuel P. Huntington mengemukakan empat skenario yang mungkin: Militer mengembalikan kekuasaan tetapi menghalangi partisipasi seperti di Birma; mengembalikan kekuasaan dan memperluas partisipasi seperti di Thailand tahun 1973; mempertahankan kekuasaan dan menghalangi partisipasi seperti di Birma (1958-1960) dan lagi setelah tahun 1960 dan tetap mendominasi kekuasaan tetapi memperluas partisipasi seperti di Thailand periode tahun 1968 - 1971. (Samuel P. Huntington, dalam Bilver Singh, Dwi Fungsi ABRI, 1995, hal 17). Dari pembahasan teori-teori di atas merupakan suatu upaya menjelaskan bagaimana keterlibatan militer di bidang politik khususnya di Dunia Ketiga. Dalam pandangan militer terhadap perannya di Dunia Ketiga merupakan suatu kerangka pikir yang baru yang berbeda dengan Barat. Konsep dikotomis hubungan anatara sipil dan militer di Dunia Ketiga dengan supremasi sipil didalamnya sama sekali tidak memadai dalam rangka menjelaskan hubungan sipil-militer di Dunia Ketiga. Dengan begitu hubungan sipil militer yang suram tidak hanya disebabkan oleh kurangnya modernitas masyarakat, tetapi juga oleh keadaan ketertiban negara, tradisi-tradisi nasional, dan doktrin militer suatu negara. Kapanpun hubungan sipil militer akan ditentukan oleh faktor-faktor seperti, keadaan-keadaan suatu pemerintah berkuasa, hubungan dengan negara-negara lain, tingkat spesialisasi fungsional antara unsur-unsur eselon atas kaum elite yang memerintah, tingkat perselisihan fraksi dalam tubuh elite yang sedang berkuasa, tingkat birokrasi politik, sikap-sikap historis terhadap peran militer dalam kehidupan politik, struktur institusional masyarakat dan kepentingan korps militer.

Indonesia Baru yang Taat pada Supremasi Sipil

Undang-Undang Dasar 1945 menganut asas supremasi sipil. Militerisasi kontraproduktif dengan demokrasi. Karena militerisasi menciptakan sistem kekuasaan yang otoritarian-sentralistik dan melemahkan peran sipil dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tak mengherankan jika salah satu tuntutan agenda reformasi adalah pencabutan dwifungsi ABRI, pembarakan militer, mendekonstruksi peran sosial-politik militer. Atau dalam buku ini memakai terminologi demiliterisasi. Demiliterisasi adalah kembalinya militer ke barak-barak, di mana militer hanya memainkan perannya yang instrumental dalam bidang pertahanan dan keamanan luar negeri. Sekaligus mengakhiri dominasi dan intervensi militer dalam dunia politik, mengakhiri rezim otoritarian-sentralistik yang dipandegani militer dan melembagakan rezim demokratis di bawah supremasi sipil. Demiliterisasi bukan hanya menjadi agenda reformasi Indonesia, tapi merupakan mega proyek negara-negara yang menghendaki supremasi sipil dan demokratisasi. Supremasi dalam konteks ini dimaknai sebagai kemampuan pemerintahan sipil yang terpilih secara demokratis melalui pemilu untuk mengontrol kebijakan umum tanpa intervensi dari pihak miilter, untuk merumuskan tujuan

Page 5: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

organisasi pertahanan nasional, untuk memformulasikan dan mengontrol kebijakan pertahanan dan untuk memonitor implementasi kebijakan militer. Di bawah model supremasi sipil ini, militer hanya memainkan peran terhadap kebijakan-kebijakan yang mempengaruhi pertahanan dan keamanan luar negeri. Akan tetapi dalam hal ini militer hanya memainkan peran sebagai staf pemerintahan sipil. Militer hanya memberikan masukan-masukan sebagai ahli dan harus melaksanakan apapun keputusan sipil meskipun bertentangan dengan pendapatnya.

Dalam pemerintahan demokratis sangat menjunjung tinggi supremasi sipil. Di mana pengendali roda pemerintahan adalah elit sipil. Militer menjadi subordinatnya sipil. Tapi bukan berarti sipil menginjak-injak militer. Sipil tetap responsif dan respek terhadap keadaan militer. Sipil pun tidak berhak mencampuri kebijakan-kebijakan internal militer, semisal penaikan atau pencopotan pangkat dan jabatan kemiliteran.

Hubungan sipil-militer sebagai bagian dari sistem politik yang ditandai dengan ciri-ciri berikut: (1) pemerintahan yang berdasarkan pemisahan kekuasaan dengan prinsip checks and balances; (2) netralitas birokrasi, baik sipil maupun militer; (3) masyarakat sipil yang mandiri dan otonom; (4) partai politik dan sistem kepartaian yang kuat; dan (5) otonomi daerah yang luas. TNI adalah alat negara yang tunduk kepada supremasi sipil dan supremasi hukum, berdasarkan pada UUD 1945. Salah satu ciri TNI yang tunduk kepada supremasi hukum adalah yurisdiksi mahkamah militer dibatasi hanya pada bidang kejahatan perang. Sementara itu, keterlibatan anggota TNI dalam perkara-perkara pidana sipil diproses melalui sistem peradilan sipil sesuai dengan KUHP. Pers yang bebas mendukung kehidupan demokrasi.   

Kelancaran perputaran roda pemerintahan negara di tingkat pusat dan daerah, ditentukan antara lain oleh kinerja politikus. Jika kinerja politikusnya buruk, sangat mudah diduga, kinerja pemerintahan pun akan buruk. Kalau politikus cuma berorientasi kepada kepentingan kelompok (partai politik, organisasi kemasyarakatan, clan bisnis, atau lainnya), birokrasi negara (di pusat dan daerah) pun akan memprioritaskan kepentingan segmentatif tersebut. Itu disebabkan birokrasi pemerintahan yang menerima "perintah" politikus (bersifat langsung atau tak langsung), untuk mengarahkan roda pemerintahan seperti kemauan serta kepentingan politikus.

Kondisi pemerintahan yang berkiblat kepada kepentingan introvert itulah momok utama pembusukan sipil di Indonesia. Sebab, peran masyarakat sipil diambil alih secara amat halus (smooth) oleh politikus. Tidak hanya dalam melaksanakan kontrol terhadap eksekutif, tapi juga yang tertuju ke legislatif, bahkan yudikatif.

Peran dominan politikus yang menyudutkan kinerja pemerintahan (pusat dan daerah), memosisikan politikus bukan sebagai mitra ideal publik, melainkan "musuh". Politikus yang lebih mendahulukan kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan, lantas memengaruhi birokrat untuk bersikap dan berperilaku sama. Termasuk dalam daftar politikus hitam, politikus busuk, atau sebutan lain sejenis yang belakangan sedang marak-maraknya dilakukan berbagai kelompok masyarakat kita.

Page 6: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

Politikus (dalam daftar) hitam, politikus busuk, dan lain-lain, biasanya tidak memedulikan perlunya netralitas pejabat negara atau pejabat publik, pegawai negeri sipil, pegawai BUMN, BUMD, para pamong kelurahan, desa, dan lain-lain. Di samping ketidakberpihakan TNI serta Polri. Bagi mereka, yang penting bukan kesejahteraan batiniah masyarakat melainkan perolehan kekuasaan nasional di tingkat pusat dan daerah. Politikus macam itu berada di partai politik, di lembaga legislatif, dan di tempat lain dengan seragam khas masing-masing. Karena itu, tidak mengherankan jika birokrat yang seharusnya lebih berpotensi selaku negarawan, justru tampil sebagai politikus. Sebagian di antara mereka pun sangat lihai menyusup ke berbagai organisasi kemasyarakatan serta profesi, sehingga performance pribadi yang semestinya (sebagai pelayan publik) justru berbalik membuat publik menjadi budak politikus.

 

Indonesia Baru yang Melaksanakan Demiliterisasi  

Terciptanya masyarakat sipil bukanlah mimpi yang kian pudar, melainkan sesuatu yang real. Realitasnya terletak pada pengejarannya. Meskipun tujuan ultim belum tercapai, kita tidak pernah mimpi karena dalam pengejaran ada sesuatu yang real. Terlepas dari alternatif evolusi atau revolusi yang dipilih dalam pengejaran itu, dengan mengupayakan terciptanya tatanan masyarakat sipil, berarti kita telah merealitaskan sesuatu yang sebelumnya tidak real. Penciptaan rezim demokrasi-sosial mungkin bisa dijadikan tujuan sementara sebelum pada akhirnya masyarakat sipil yang terbuka, toleran, dan beradab dapat tercipta dengan sendirinya TNI tidak lagi mempersepsikan diri sebagai pihak yang lebih utama, yang lebih superior, dan yang memegang kata putus.

Di pihak masyarakat sipil harus mulai melakukan peran strategisnya dengan berpartisipasi secara aktif dalam proses kontrol terhadap peran militer maupun politisi sipil itu sendiri. Ini penting agar para politisi sipil dan militer tidak keluar dari garis mandat yang diberikan oleh masyarakat kepada mereka. Perlu dicatat bahwa pemberian mandat oleh rakyat kepada politisi sipil tidak berarti penyerahan seluruh kedaulatan kepada mereka. Hal itu bersifat relatif. Dengan demikian sangat dimungkinkan bagi masyarakat sipil untuk mengungkapkan kritik dan aspirasi-aspirasinya melalui saluran nonpolitik. Meski demikian harus ditegaskan pula bahwa pemanfaatan dan sekaligus penguatan saluran politik akan lebih mempercepat proses pelembagaan demokrasi. Masyarakat sipil tidak lagi berperilaku militeristik. Dengan demikian, penyeragaman, upacara sipil bernuansa militer, latihan militer dalam pra-jabatan pegawai negeri, pendidikan pamong praja dan organisasi paramiliter telah dihapus.

Penyelesaian persoalan nasional dan daerah tidak hanya menggunakan pendekatan keamanan yang militeristik, tetapi juga menggunakan pendekatan-pendekatan sosial-budaya, ekonomi dan politik.

Apalagi jika sistem parlementer seperti yang berlaku sekarang, tanpa reformasi demokrasi. Begitu pula di tingkat daerah, dengan dipertahankannya UU 22/1999

Page 7: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

tentang Pemerintahan Daerah, yang memberikan kekuasaan sangat besar kepada legislatif. Sementara lembaga perwakilan rakyat lebih merepresentasikan kepentingan politikus (parpol), ketimbang benar-benar mencerminkan (kehendak serta kepentingan) masyarakat luas.Tirani politikus sangat terasa, di saat peran masyarakat sipil direpresentasikan lebih banyak oleh politikus, ketimbang langsung oleh rakyat. Kecenderungan tersebut membuat negeri ini seolah mengalami perubahan paradigma, yakni negara berkedaulatan rakyat menjadi negara berkedaulatan politikus. Politikus mudah sekali dituduh tiran, bila para elite partai politik dan mereka yang memakai kostum birokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif) juga pengelola ormas, LSM, organisasi profesi, dan lain-lain, memosisikan rakyat sebagai subordinat. Sementara yang menjadi ordinatnya adalah politikus dalam aneka penampilan. Kecenderungan demikian, mengusik sentimen publik kepada politikus. Perasaan publik yang menilai hak serta kewajiban asasi dan konstitusi rakyat telah diambil paksa oleh politikus, mendorong kebencian, sekaligus perlawanan publik masyarakat terhadap politikus yang dinilai tiran.

Setiap orang akan berjuang meraih cita-cita dan impian itu dengan membangun kembali Indonesia baru yang demokratis, menyelenggarakan pemerintahan yang adil, bersih dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta mampu memberantas kemiskinan dan kebodohan, menempatkan Indonesia dalam posisi terhormat di berbagai forum internasional. Di dalamnya terdapat peran serta aktif dalam proses globalisasi, yang berpihak pada kesejahteraan manusia yang hidup bersama dengan segenap ciptaan yang lain.

Bidang ekonomi: sumber daya dan pelayanan publik – kemandirian ekonomi terbuka, negara yang menjamin kualitas hidup layak masyarakat melalui penerapan sistem ekonomi pasar berwatak sosial dan berorientasi kerakyatan, bidang ekologi – pemulihan dan penjagaan lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan, bidang sosial budaya – meningkatkan modal sosial berupa kesalingpercayaan di antara anggota/kelompok masyarakat, bidang hukum – mewujudkan supremasi hukum dengan tidak adanya diskriminasi dan pengecualian bagi mereka yang bersalah, bidang politik – pencapaian masyarakat yang demokratis yang dicerminkan antara lain dengan tiada laginya pencitraan negatif individual, geografis dan rasial, serta bidang hankam – menjamin keamanan dan pertahanan Negara, Bangsa dan Tanah Air Indonesia.

Seluruh perjuangan ini dilakukan secara terpadu agar membuahkan keutuhan sehingga tiap manusia menghormati keberadaan manusia lain, punya rasa memiliki, bertanggungjawab dan nyaman hidup di Indonesia.

Kita sadar bahwa terdapat tantangan konkrit yang menghadang langkah perjuangan – hegemoni dunia oleh negara adidaya, neoliberalisme, individualisme, konsumerisme, komunalisme dan prasangka buruk karena stigma sejarah dan kapitalisme global yang mengakibatkan terasingnya manusia dengan habitatnya, termasuk didalamnya tersingkirkannya keberadaan masyarakat adat dari buminya.

Menghadapi tantangan tersebut, harus dipilih cara dan jalan perjuangan supaya yang kuat membantu pihak yang lemah. Gerakan perjuangan ini dimulai dari penguatan masyarakat sipil yang selaras dengan tujuan untuk menjalankan roda pemerintahan,

Page 8: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

pendekatan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pemenuhan kebutuhan hidup sebagai sebuah bangsa secara mandiri. Untuk itu diperlukan adanya parlemen yang kredibel, pemerintahan yang bijak, dan negara dibawah Kepemimpinan Nasional yang memiliki cita-pandang (visi) yang teruji, kaya akan inspirasi yang tertempa pengalaman dan sejarah serta berkemampuan; memelihara, menggerakkan serta mengelola momentum yang dimiliki, di zona politik, sosial maupun ekonomi baik pada tingkat Nasional maupun Internasional.

Keberhasilan kemerdekaan ini harus dicapai melalui pembentukan jaringan komunikasi, pembangunan yang memperhitungkan faktor geopolitik, peningkatan mutu kehidupan umum, pembebasan dari citra negatif SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan), terpeliharanya ekologi, terwujudnya pendidikan murah bagi semua orang untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, adanya jaminan kesehatan umum, terbukanya lapangan kerja, kesempatan untuk usaha-usaha ekonomi skala kecil dan menengah, penghargaan dan pengakuan atas potensi lokal dan adat, serta kesadaran kesetaraan peran dan relasi sosial laki-laki dan perempuan.

Bagi siapapun yang masih punya harapan akan masa depan Indonesia baru, dan lebih baik, dan juga ingin mengalami anak-anak yang dididik dengan benar, memiliki hutan yang kembali hijau, dan hidup damai yang penuh harapan, bergabunglah dalam kerja keras perjuangan ini.

 

Saran:

LEMBAGA swadaya masyarakat (LSM) sempat menjadi tumpuan masyarakat dan disegani banyak kalangan. Banyak sumbangsih LSM dalam perjuangan gerakan sipil di Indonesia, dari sektor ekonomi, sosial, sampai hak-hak asasi manusia (HAM). Masih segar di ingatan kita, bagaimana LSM buruh memperjuangkan hak-hak buruh agar punya posisi tawar lebih baik di mata pemilik perusahaan. Bagaimana LSM HAM berjuang mati-matian dalam mengungkap berbagai kasus kejahatan aparat yang terselubung di republik ini, sampai perjuangan penguatan hak tawar masyarakat di mata eksekutif dan legislatif. Mereka silih berganti berbicara keras soal pergerakan dan pembelaan hak sipil di setiap kesempatan, melalui gerakan advokasi. Saat itu, sebagian besar peran ini dilakukan kalangan LSM Bingos (Big NGOs), seperti YLBHI, YLKI, Walhi, dan LP3ES, beserta jaringan mereka di seluruh Nusantara dan internasional. Dalam perjalanannya, gerakan advokasi diperkuat dengan litigasi, gerakan boikot, dan bentuk-bentuk tekanan publik lainnya. Gerakan LSM tersebut ternyata banyak membuahkan hasil. Sehingga, pada akhirnya, baik kalangan eksekutif, legislatif, aparat militer, maupun kalangan bisnis memperhitungkan langkah-langkah yang dilakukan para LSM. Memang, tidak semua keinginan gerakan sipil bisa terwujud. Tetapi, setidaknya, ada kemajuan berarti.

Gerakan LSM yang waktu itu boleh dikata masih "murni" ternyata mencapai puncaknya pada pertengahan 1990-an sampai jatuhnya rezim Orde Baru pada 1998. Saat itu, gerakan LSM yang bergandengan dengan gerakan mahasiswa, buruh, dan komponen masyarakat lainnya berhasil membuat perubahan besar. Situasi sosial ekonomi dan

Page 9: Peran Warga Dalam Perjuangan Militer Melawan Musuh

politik yang tidak menentu membuat LSM menjadi tempat bagi publik untuk menaruh harapan agar kehidupan mereka lebih baik, setelah aparat pemerintah dan legislatif tidak dapat memenuhi keinginan masyarakat. Situasi itu membuat peran LSM menjadi lebih menonjol. Sehingga, banyak badan donor internasional menyalurkan dananya membantu LSM di Indonesia, khususnya saat krisis ekonomi dan Pemilu 1999, melalui berbagai program, seperti good governance, pengentasan kemiskinan, atau social safety net dan pemantauan pemilu.  Berlimpahnya dana hibah dari para donor, dan tumbuhnya ribuan LSM baru di seluruh Indonesia, rupanya tidak diikuti kesiapan sumber daya yang dapat menyerap dan mempertanggungjawabkan penggunaan dana yang berlimpah tersebut secara baik. Filosofi bahwa terjun ke LSM adalah pengabdian, dan "kontrak miskin" alias bukan mengejar materi, menjadi tidak relevan lagi. Akibatnya, banyak kita dengar, saat ini ada beberapa LSM yang belum dapat mempertanggungjawabkan penggunaan dana para donor, atau ada LSM yang dituduh salah mengalokasikan dana yang diterimanya. Ada pula LSM yang pekerjaannya memeras para pelaku bisnis, politikus, atau pejabat. Bahkan, banyak juga kita dengar dan lihat, sejumlah tokoh LSM menjadi "selebriti", bergaji sama tingginya dengan anggota dewan direksi sebuah perusahaan swasta besar. Fenomena ini membuat publik harus menjaga jarak dengan LSM. Menjadi terkenal dan berpendapatan besar, bagi tokoh atau aktivis LSM, sah-sah saja. Asalkan program yang menjadi tanggung jawabnya bermanfaat bagi masyarakat, dan penggunaan dananya dapat dipertanggungjawabkan kepada pemilik dana (donor). Artinya, dalam hal tanggung jawab penggunaan dana, tidak ada perbedaan antara seorang pemimpin LSM dan pemimpin perusahaan atau pejabat publik, bahkan anggota DPR sekalipun. Tidak ada alasan, karena LSM, lalu mendapat pengecualian tidak perlu melaporkan penggunaan dana secara tertib keuangan. Begitu pula program yang dijalankannya harus sesuai dengan proposal dan anggaran yang disepakati.

Sebagai pihak yang bertugas melakukan kontrol sosial, seharusnya LSM dapat lebih bertanggung jawab dalam penggunaan dana publik, agar harapan publik terhadap LSM "murni" bisa kembali. Terlepas dari banyaknya LSM dari segi jumlah dan kegiatan, tanggung jawab LSM akan perannya dalam memberdayakan publik harus tetap berada di atas segalanya. Gaji besar boleh, asalkan perannya nyata dirasakan publik, dan penggunaan dananya juga dapat dipertanggungjawabkan dengan baik, sesuai dengan standar pelaporan keuangan yang patut. Mengejar donor untuk memperoleh proyek sebanyak-banyaknya pun boleh, asalkan dana tersebut juga dapat di pertanggungjawabkan dengan patut. Jika ini semua tidak bisa dilaksanakan, sebaiknya kita kembali ke khitah LSM sebagai tempat mengabdi, bukan tempat mencari proyek atau nafkah. Sehingga, jika program yang dijalankan gagal, beban moral LSM kepada publik tidak begitu besar. Mari kita buktikan, dan selamat berkarya demi pemberdayaan masyarakat sipil!