PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM ...
Transcript of PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM ...
PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF)
DALAM MENANGANI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA
PERIODE TAHUN 2010-2012
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)
Oleh:
Nurhayati Inayatul Maula
1110114000023
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2014 M/1435 H
v
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisa mengenai peran United Nations Children’s
Fund (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India periode
tahun 2010-2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kerjasama
antara UNICEF dengan pemerintah India, menganalisa efektifitas peran
UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India serta melihat
tantangan dan peluang yang di hadapi oleh UNICEF dalam menangani
kasus pernikahan anak di India. Penelitian ini dilakukan melalui studi
pustaka dengan analisa data sekunder.
Peneliti menemukan bahwa pada tahun 2007, India merupakan
negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak nomor dua terbesar
didunia, oleh karena itu, Pemerintah India membuat kebijakan nasional
maupun internasional untuk menangani kasus pernikahan anak. Dalam
usaha menetapkan kebijakan tersebut, Pemerintah India bekerjasama
dengan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
Skripsi ini dianalisa dengan menggunakan kerangka teori
organisasi internasional dengan pendekatan rezim dan pendekatan
neofungsionalisme. Dari hasil analisa dengan menggunakan teori tersebut
dapat disimpulkan bahwa: 1). Kerjasama yang dilakukan antara UNICEF
dan pemerintah India mampu menangani faktor-faktor penyebab dari
kasus pernikahan anak di India, antara lain pendidikan, budaya, dan
persepsi masyarakat mengenai keselamatan anak. 2). UNICEF memiliki
peranan yang efektif dalam menangani kasus pernikahan anak di India
ditunjukan dengan adanya penurunan angka pernikahan anak di India
ditahun 2010 hingga 2012.
vi
KATA PENGANTAR
الرحيم الرحمن الله بسم
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang
karena berkah, rahmat, serta kehadirat-NYA skripsi ini dapat diselesaikan dengan
sebaik-baiknya. Penyusunan skripsi yang berjudul PERAN UNITED NATIONS
CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM MENANGANI KASUS
PERNIKAHAN ANAK DI INDIA PERIODE TAHUN 2010-2012,
dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana
Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis ingin mengucapkan
terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan, dukungan serta bimbingan
yang diberikan kepada :
1. Ibu Debbie Affianty, M.A, selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Ibu Athiqah Nur Alami, M.A, selaku pembimbing skripsi yang telah bersedia
meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan serta
pengarahan yang sangat berharga dalam proses penyusunan skripsi sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan.
3. Seluruh Dosen Hubungan Internasional (kelas Internasional) Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan
vii
pengetahuan selama penulis kuliah sehingga mampu menyelesaikan skripsi
ini.
4. Kedua orang tua tercinta dan kaka tersayang yang tak pernah letih
memberikan bantuan moril maupun materil serta doa yang tidak pernah putus
hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
5. Sahabat tersayang; Miranti Israni, Septian Maulana Yusuf, Safee Peters,
Aunty Sumaya Peters, Uncle Abduraghman Peters yang selalu memberikan
semangat dan support dalam proses penulisan skripsi.
6. Teman-teman kelas HI INTER 2010, yang selalu memberikan semangat
selama ini dan terimakasih atas kerjasamanya selama program perkuliahan
berlangsung.
Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini masih jauh dari
sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki penulis. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati menerima
kritik dan saran yang dapat membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir
kata, skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.
Ciputat, 27 November 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .............................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKIPSI ............................... iii
LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ......................................................... iv
ABSTRAK ..................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ............................................................. 1
B. Pertanyaan Penelitian ........................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 7
D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8
E. Kerangka Teoritis ................................................................. 13
F. Metode Penelitian.................................................................. 20
G. Sitematika Penulisan ............................................................. 22
BAB II PERNIKAHAN ANAK DI INDIA
A. Isu Pernikahan Anak di India ............................................... 24
B. Faktor Penyebab terjadinya Pernikahan Anak di India ....... 26
C. Dampak Pernikahan Anak di India ...................................... 36
D. Kebijakan Pemerintah India dalam menangani Kasus
Pernikahan Anak di India ...................................................... 43
ix
BAB III PERAN DAN TANTANGAN UNICEF DALAM MENANGANI
KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA (2010-2012)
A. Tinjauan Umum mengenai United Nations Children’s Fund
UNICEF ............................................................................... 55
B. Peran UNICEF di India ........................................................ 60
C. Efektifitas Peran UNICEF dalam menangani Kasus
Pernikahan Anak di India ..................................................... 74
D. Tantangan dan Peluang yang dihadapi UNICEF dalam
menangani Kasus Pernikahan Anak di India ....................... 82
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................... 87
B. Saran ..................................................................................... 90
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... xii
LAMPIRAN
x
DAFTAR TABEL
Tabel II.C.1. Kebijakan Nasional India dalam menangani kasus pernikahan
anak di India .............................................................................. 44
Tabel II.C.2. Kebijakan Internasional yang diratifikasi oleh India dalam
menangani kasus pernikahan anak di India ........................... 52
Tabel III.A.1. Program UNICEF tahun 2006-2013 ........................................ 59
Tabel III.C.2. Persentase (%) angka penurunan kasus pernikahan anak
di India .................................................................................... 81
xi
DAFTAR SINGKATAN
ANMs Auxiliary Nurse Midwifes
ASHA Accredited Social Health Activists
CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination
against Women
CRC Convention on the Rights of the Child
DLHS District Level Household and facility Survey
ICESCR International Covenant on Economic, Social and Cultural
Rights
ICPS Integrated Child Protection Scheme
ICRW International Center for Research on Women
JRM Joint Review Missions
KGBV Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya
MDGs Millennium Development Goals
MS Mahila Samakhya
NCW National Commission for Women
NFHS National Family Health Survey
NPEGEL National Programme for Education of Girls at Elementary
Level
PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa
PCMA Prohibition of Child Marriage Act
RTE Right to Education Act
SOWC State of the World’s Children Report
SSA Sarva Shiksa Abhiyan
UEE Universal Elementary Education
UNFPA United Nations Population Fund
UNICEF United Nations Children’s Fund
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Pernikahan anak (child marriage) merupakan salah satu fenomena
internasional yang perlu menjadi perhatian, karena dianggap sebagai bentuk
pelanggaran hak asasi anak. Anak dengan usia di bawah 18 tahun masih belum
pantas dinikahi dan belum dapat memenuhi persyaratan untuk menikah baik
secara fisik maupun moral. Umumnya, seorang anak yang memiliki usia kurang
dari 18 tahun masih dianggap belum mampu memberikan persetujuan secara sadar
terhadap berbagai hal yang dianggap penting untuk pilihannya. Di usia yang bisa
dibilang masih sangat dini yakni kurang dari 18 tahun, mereka seharusnya duduk
di bangku sekolah dengan gelar ‘pelajar’ bukan dengan gelar ‘istri’ atau ‘suami’. 1
Praktek pernikahan anak ini dapat ditemukan di sejumlah wilayah didunia.
Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2007 menunjukkan bahwa
sebanyak 72.000.000 perempuan di dunia yang berusia 24 tahun menikah saat
mereka berusia di bawah 18 tahun.2 Berdasarkan data survey UNICEF tahun
2009, angka pernikahan anak berkisar 46,8% terjadi di Asia Selatan, 37,3%
terdapat di Sub-Sahara Afrika, 29% terdapat di Latin America dan Caribbean,
1 Sagade, Jaya, “Child Marriage in India: Socio-legal and Human Rights Dimensions”, Oxford
University Press, New Delhi:2005, Hal: 12 2 Statistics and Monitoring Section, Division of Policy and Strategy, UNICEF, January 2013.
2
17,6% terdapat di Asia Timur dan Pasifik, dan 17,4% terdapat di Timur Tengah
dan Afrika Utara.3
India merupakan negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak
nomor dua terbesar di dunia yakni berkisar 40%.4 Dalam hasil penelitian UNICEF
India pada tahun 2008, angka kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar
43%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18 tahun sekitar 54%. Sekitar
13.000 anak perempuan di India menikah setiap harinya, sehingga tercatat total
anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun lebih dari 23.000.000.5
Kasus-kasus penikahan anak di India mayoritas dilatarbelakangi oleh
adanya anggapan bahwa mempunyai seorang anak perempuan dianggap berkah
yang tak ternilai harganya. Anak perempuan dinilai dapat mengangkat kondisi
perekonomian keluarga mereka, melalui pernikahan dengan saudagar kaya.
Mereka tidak peduli dengan konsekuensi yang harus diterima oleh anak mereka
yang masih di bawah umur. Bahkan, para orang tua di Bihar-India berfikir bahwa
pendidikan untuk anak perempuan tidak terlalu penting. Mereka percaya bahwa
setiap anak perempuan yang telah menikah di bawah umur akan memperbaiki
status ekonomi orang tua mereka.6
Secara tradisional di India, tanggung jawab perawatan dan perlindungan
anak berada pada keluarga dan masyarakat. Keluarga di India umumnya bersifat
patriakal dan memiliki ikatan keluarga yang kuat dalam menjaga anak-anak
3Statistics and Monitoring Section, Division of Policy and Strategy, UNICEF, January 2013. 4Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty, “Early marriage and its Issues”,
Jurnal Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri, Agustus 2009. Hal: 27 5UNICEF, Child Marriage in India – An analysis of available data, (2012), India,
http://www.unicef.in/documents/childmarriage.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014 6Ibid
3
dengan baik. Akan tetapi, mereka belum memiliki kesadaran bahwa anak adalah
individu yang memiliki hak-hak tersendiri. Sedangkan Konstitusi India menjamin
hak-hak dasar anak-anak. Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan di usia dini
ini juga beresiko bagi sang anak, baik dari sisi psikologi, kesehatan, pendidikan
bahkan menyebabkan kematian. Di India, dampak dari pernikahan anak ini
mengarah kepada kekerasan, pemaksaan, hingga menimbulkan kematian. Di
Bihar dan Jharkhand menemukan bahwa kasus penyiksaan anak lebih sering
terjadi pada anak yang menikah diusia kurang dari 18 tahun. Mereka juga sering
dipaksa untuk berhubungan seksual tanpa bernegosiasi terlebih dahulu, akibatnya
sang anak lebih rentan terjangkit HIV/AIDS dan penyakit seksual lainnya. Selain
itu anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun dua kali lebih beresiko
pada saat proses kehamilan dan persalinan dibandingkan dengan perempuan
diusia 20-25 tahun. Hasil dari penelitian UNFPA tahun 2010 menemukan angka
66.6% pada anak perempuan berusia kurang dari 18 tahun yang mengalami
komplikasi pada persalinan.7
Pernikahan anak ini juga tidak jarang terkait dengan perdagangan anak.
Pernikahan anak biasanya mendorong pada hal pemaksaan, kekerasan, penipuan,
perbudakan dan bahkan tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan di
perdagangkan. Motif ini biasanya digunakan untuk mengambil keuntungan dari
anak (istri) untuk dijadikan pekerja seks anak (pelacuran anak) atau perburuhan.8
Di Iran, misalnya, tidak jarang orang tua yang menikahi anak mereka dengan laki-
7 ibid 8 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”, Macmillan Publishers. 3rd Edition, New Delhi,
2001, Hal: 165-168
4
laki yang jauh lebih tua kemudian anak mereka “diperdagangkan” dan orang tua
mendapatkan imbalan dari hasil “perdagangan” anak mereka.9
Pemerintah India pun bekerja sama dengan UNICEF India untuk
mengatasi segala sesuatu yang melanggar hak asasi anak khususnya mengatasi
kasus pernikahan anak di bawah umur di India.10 UNICEF (United Nations
Children’s Fund) merupakan organisasi internasional di bawah naungan PBB
yang membantu masalah anak-anak diseluruh dunia, baik yang berkaitan dengan
masalah kesehatan, pendidikan, malnutrisi, dan masalah pelanggaran hak asasi
anak.
UNICEF telah bekerja di India sejak tahun 1949. UNICEF memiliki 15
kantor pembantu yang berpusat di New Delhi dan 14 kantor UNICEF India
lainnya terletak di daerah Assam, Andhra Pradesh, Bihar, Chhattisgarh, Gujarat,
Jharkhand, Karnataka, Madhya Pradesh, Maharashtra, Orissa, Rajasthan, Tamil
Nadu, Uttar Pradesh, West Bengal. UNICEF melakukan penelitian secara
langsung dan menggunakan data yang berkualitas untuk memahami permasalahan
yang terjadi pada anak di India. UNICEF menggunakan pengetahuannya di
tingkat masyarakat untuk menerapkan dan memastikan bahwa perempuan dan
anak dapat mengakses layanan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan dan
fasilitas pendidikan. Pada saat yang sama UNICEF juga meninjau langsung ke
keluarga untuk membantu mereka dalam memahami apa yang harus mereka
9 USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID Vision
for Action”, Oktober 2012, hal: 3.
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf.
Diakses pada 26 September 2013 10UNICEF. (2007), Child National Report on “A World Fit for Children”,
http://www.unicef.org/worldfitforchildren/files/India_WFFC5_Report.pdf, Diakses pada tanggal
29 September 2013
5
lakukan untuk memastikan anak-anak mereka berkembang. Dalam menangani
masalah pada anak, UNICEF menjalin kemitraan dengan badan-badan PBB yang
lain, organisasi sukarela yang aktif di tingkat masyarakat, kelompok perempuan
dan donor.
UNICEF bekerja sama dengan Pemerintah India untuk memastikan bahwa
setiap anak yang lahir di India mendapatkan awal yang terbaik dalam hidup,
berkembang dan untuk mengembangkan potensi penuhnya.11 UNICEF bekerja di
India untuk melindungi semua hak anak di India, ini berarti hak untuk setiap anak
yang tinggal di India. Program bantuan yang diberikan oleh UNICEF berkaitan
erat dengan hak anak seperti layanan kesehatan, layanan pendidikan, program
perlindungan anak. Program tersebut diberikan pada dasarnya disesuaikan dengan
program yang diberikan oleh pemerintah India. UNICEF memiliki beberapa
langkah dalam membahas kasus pernikahan anak di India diantaranya yang
berhubungan dengan perlindungan anak (child protection), dan mempertegas Hak
Asasi seorang anak (children rights).12
Oleh karena itu, Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran UNICEF
dalam menangani kasus pernikahan di bawah umur di India dan seberapa efektif
peran UNICEF tersebut. Data yang digunakan pada penelitian ini di ambil dari
tahun 2010 hinga 2012, hal ini dikarenakan adanya peningkatan peran maupun
program yang dibentuk oleh UNICEF. Kemudian, terjadi penurunan pada angka
pernikahan anak di India. Dengan diketahuinya hal-hal tersebut, diharapkan dapat
11UNICEF, “In India, children’s vulnerabilities and exposure to violations of their rights remain
spread and multiple in nature”,
http://www.unicef.org/india/children_2360.htm, diakses pada tanggal 29 September 2013 12 ibid
6
dirumuskan sebuah analisa yang efektif dan tepat sasaran dalam menganalisa
kasus pernikahan di bawah umur di India.
B.Pertanyaan Penelitian
Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus
dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama di India. Meskipun Deklarasi
Hak Asasi Manusia secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun
ironisnya, praktek pernikahan usia di bawah umur 18 tahun masih terus
berlangsung dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia
muda yang terabaikan. Peraturan seperti The Prohibition of Child Marriage Act,
2006 (PCMA, 2006) seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat
serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat.13
Peningkatan yang terus terjadi pada kasus pernikahan di bawah umur 18 tahun di
India ini membuat kekhawatiran sendiri bagi masa depan anak di India.
Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor
menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara
luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit
untuk dirubah.14
13UNPFA(2005) , “Child marriage fact sheet,
http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm, Diakses pada
tanggal 7 Oktober 2013 Pukul 15.02 WIB
14UNICEF (2006), ” Early marriage: a harmful traditional practice, a statistical exploration.”,
http://www.unicef.org/earlychildhood/files/Guide_to_GC7.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober
Pukul 15.17 WIB
7
Berangkat dari kasus tersebut, penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab
pertanyaan: Bagaimana peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak
di India dan seberapa efektif peran tersebut dilakukan?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini dibuat bertujuan untuk:
1. Mengkaji Peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di
India.
2. Melihat efektifitas peran UNICEF dalam melawan kasus pernikahan anak
di India
3. Melihat tantangan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di
India
4. Melihat peluang UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di
India
Kasus pernikahan anak di bawah umur 18 tahun di India sudah menjadi
kasus pelanggaran hak asasi anak yang perlu diperhatikan. Oleh sebab itu,
penelitian ini diharapkan dapat lebih memaparkan tantangan yang dihadapi oleh
UNICEF dalam menangani kasus ini.
8
Adapun manfaat yang diberikan dari penelitian ini sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis dapat menambah wawasan ilmu Hubungan Internasional
yang berkaitan dengan bahan yang diteliti, khususnya peran organisasi
Internasional (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
b. Manfaat Praktis
1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai peran UNICEF dalam
menangani kasus pernikahan anak di India
2. Dapat dijadikan informasi bagi phiak terkait dengan masalah yang diteliti
serta bagi masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai peran
UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk membantu menambah informasi dan menghindari kesamaan pada
penulisan skipsi, penulis mengambil beberapa sumber untuk membantu proses
penelitian. Sumber pertama berasal dari skripsi yang ditulis oleh Widia Noviyanti,
mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat, prodi Kesehatan Masyarakat,
Universitas Indonesia. Untuk memenuhi gelar S1, Juli 2013 yang berjudul:
“Analisis Data Sekunder Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007:
Tren dan Dampak Pernikahan Dini di Indonesia”. Skripsi ini meneliti tentang
hasil studi UNICEF (2005) di semua negara, menunjukkan bahwa pernikahan
anak paling sering terjadi pada populasi dengan status ekonomi terendah.
9
Persentase pernikahan dini di Chad dan Republik Afrika Tengah berturut-turut
sebesar 71% dan 57%. Perbedaan angka lebih sedikit pada populasi terkaya yaitu
75% di Chad dan 55% di Republik Afrika Tengah, sedangkan populasi termiskin
sebanyak 66% di Chad dan 53% di Afrika Tengah (UNICEF, 2005). Berdasarkan
data UNICEF tahun 2012, kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia antara
tahun 2000-2010, terdapat 4% dari perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah
di bawah 15 tahun, sedangkan sebesar 22% perempuan pada kelompok umur
tersebut tersebut menikah di bawah 18 tahun. Tren pernikahan dini di Indonesia
mengalami penurunan pada tahun 1977-1992. Selanjutnya pada tahun 1992,
angka pernikahan dini meningkat hingga penelitian ini dilaksanakan.
Dampak pernikahan dini pada penelitian ini meliputi status perkawinan,
status ekonomi, fertilitas, mortalitas bayi, dan penggunaan kotrasepsi. Pernikahan
dini yang terjadi pada remaja, sering berujung pada ketidakstabilan rumah tangga
sehingga meningkatkan angka perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pernikahan dini. Hal ini
terjadi karena pada keluarga dengan status ekonomi rendah, orangtua mereka
menganggap bahwa anak perempuan merupakan beban ekonomi keluarga. Selain
itu, perempuan yang berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah sebagian besar
memiliki pendidikan yang rendah. Tidak sedikit dari mereka putus sekolah atau
tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena tidak mampu
membayar sekolah atau ingin segera bekerja untuk membantu orang tua.
Sumber kedua berasal dari skripsi yang ditulis oleh Eka Octavia: Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, prodi Hubungan Internasional, Universitas
10
Komputer Indonesia, 2009. Untuk memenuhi gelar S1 yang berjudul: “Peranan
United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam penanganan pekerja seks
komersial anak di India”. Skripsi ini meneliti tentang UNICEF (United Nation
Children’s Fund) yang termasuk dalam IGO, terbentuk pada tanggal 11 Desember
1946 untuk melindungi jiwa anak-anak dan mengatur segala hal mengenai
kesejahteraan anak-anak di dunia dan bernaung di bawah PBB serta bermarkas
besar di New York, melihat kenyataan dan tindakan yang telah terjadi terhadap
anak-anak di India merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia,
khususnya hak anak dan hal tersebut harus secepat mungkin ditekan agar
kelangsungan hidup anak-anak di India dapat berjalan sebagaimana mestinya
anak-anak di dunia. Peranan UNICEF terhadap pekerja seks anak di India sangat
membantu bagi pemerintah India dalam mengatasi pekerja seks anak, pengaruh
UNICEF secara nyata memberi dukungan kepada kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah India terhadap kelangsungan hidup anak-anak.
Sumber ketiga berasal dari buku yang ditulis oleh A.L. Basham, Professor
of Asian Civilization in the Australia National Univercity, Canberra. 3rd Edition,
New Delhi, 2001, yang berjudul: “The Wonder that was India: A Survey of the
History and Culture of the Indian sub-continent before the coming of the
Muslims”. Buku ini membahas mengenai kedudukan perempuan di India.
Seorang perempuan berdasarkan segi kekuasaanya, selalu rendah dimata hukum.
Sebagai seorang gadis kecil dia berada dibawah aturan orang tuanya, sebagai
wanita dewasa, dia mengabdi pada suaminya, menjadi ibu dari anak-anaknya, dan
sebagai seorang janda. Seorang suami memiliki hak penuh terhadap hak istrinya,
11
dia bisa menjual istrinya dalam terhimpit, dan seorang suami bisa mengendalikan
isterinya untuk kepentingan pribadi, dan jika isterinya meninggal, suami dapat
melakukan hal yang sama kepada anak perempuannya bukan kepada anak laki-
lakinya. Pada umumnya wanita tidak dapat memilih tujuan hidup. Perempuan
hanya ditakdirkan untuk menikah, kemudian merawat suami dan anak. Seorang
istri harus memiliki inisiatif dalam rumah tangga. Tugas utamanya, adalah
menunggu suaminya pulang, kemudian melayani suaminya, memijat kaki
suaminya, bangun tidur sebelum suaminya terbangun, makan dan tidur setelah
suaminya melakukan hal tersebut.
Kevirginitasan perempuan sangatlah penting, karena jika seorang
perempuan tidak virgin sebelum menikah maka tidak ada laki-laki yang mau
menikahi perempuan itu. Orang tua perempuan memiliki suatu pilihan untuk
menghukum dan mengusir puteri mereka yang tidak virgin sebelum menikah,
bahkan orang tua dapat menghukumnya dengan menjadikan anaknya seorang
pekerja seks komersial.
Sumber keempat berasal dari buku yang dituliskan oleh Jaya Sagade, New
Delhi, 2005, yang berjudul “Child Marriage in India: Socio-legal and Human
Rights Dimensions”. Buku ini menempatkan pernikahan anak dalam konteks
pelanggarangan hak asasi manusia di tingkat internasional. Buku ini juga
menunjukkan bagaimana pernikahan anak melanggar hak asasi manusia
khususnya hak asasi anak, hak tersebut seperti: hak atas kesehatan, mendapatkan
pendidikan, kesetaraan, kebebasan dan keamanan pribadi dan tentu saja hak untuk
memilih pasangan. Buku ini terfokus pada dampak dari pernikahan anak seperti
12
pada kesehatan dan perkembangan anak-anak perempuan. Ini menunjukkan
bagaimana praktik pernikahan anak memperkuat masalah dasar rendahnya tingkat
kesehatan, dan pendidikan di kalangan wanita. Buku ini juga berisi kritik kuat dari
negara hukum, dan kurangnya kepekaan gender yang melekat dalam ketentuan
berbagai undang-undang yang berhubungan dengan usia perkawinan, usia
persetujuan, dan validitas pernikahan.
Dalam buku ini menjelaskan ada delapan tipe pernikahan di India
diantaranya: pertama, Brahma, merupakan pernikahan dimana seorang pria dan
seorang wanita memiliki kasta yang sama. Kedua, Daiva, adalah pernikahan
dimana orang tua memberikan puterinya untuk membayar hutangnya. Ketiga,
Arsa, merupakan pernikahan dimana pernikahan yang sesuai dengan dowry dan
ada harga pengantin yang diukur oleh harga seekor sapi atau banteng. Keempat,
Prajapatya, merupakan pernikahan dimana seorang memberikan puterinya tanpa
dowry dan tanpa harga banding. Kelima, Gandharva, merupakan pernikahan yang
harus diadakan dengan dua kali perayaan atas persetujuan kedua belah pihak.
Keenam, Ashura, pernikahan yang terjadi dengan adanya sistem pembelian.
Ketujuh, Raksasa, pernikahan yang terjadi karena penangkapan. Kedelapan,
Paisaca, pernikahan yang terjadi karena rayuan seorang dalam keadaan tidak
sadar atau mabuk.
Dari beberapa skripsi dan buku yang tercantum diatas, terdapat persamaan
dan perbedaan dengan skripsi yang akan ditulis. Dilihat dari persamaannya, dari
beberapa sumber diatas dengan skripsi yang saya tulis sama-sama menjelaskan
tentang UNICEF secara general, kedudukan anak perempuan di India, dan
13
membahas mengenai kasus pelanggaran hak asasi anak. Sedangkan apabila dilihat
dari perbedaan antara beberapa skripsi dan buku diatas dengan skripsi yang saya
tulis, yaitu: Skripsi yang saya tulis lebih fokus kepada peran UNICEF dalam
menangani kasus pernikahan anak di India (2010-2012), dan seberapa efektif
peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Selain itu
beberapa sumber diatas tidak fokus kepada peran UNICEF dalam menangani
kasus pernikahan anak di India dan sumber-sumber di atas lebih menjelaskan
mengenai kasus pernikahan anak saja.
E. Kerangka Teoritis
Penulisan skripsi menggunakan teori Organisasi Internasional dengan
pendekatan rezim dan neofungsionalisme.
1. Pernikahan Anak
Pernikahan Anak atau Child Marriage adalah pernikahan secara
formal maupun adat dimana salah satu atau kedua pasangannya berada di
bawah usia 18 tahun.15 Dilihat dari sejarahnya, pernikahan anak ini
bertujuan untuk meningkatkan kesuburan dan memperbanyak garis
15 UNFPA. “Child Mariage”. 2010. http://www.unfpa.org/child-marriage. Diakses pada 26
September 2013
14
keturunan dan pernikahan anak ini dapat membantu hubungan ekonomi,
politik dan sosial diantara keluarga mereka.16
Pernikahan anak ini juga terkait dengan perdangangan anak.
Pernikahan anak biasanya mendorong pada hal pemaksaan, kekerasan,
penipuan, perbudakan dan bahkan tidak menutup kemungkinan anak
tersebut akan di perdagangkan.17 Seorang anak umumnya dianggap belum
mampu memberikan persetujuan atau pilihan secara sadar terhadap
berbagai hal yang dianggap penting untuk pilihannya. Diusia yang masih
sangat dini, mereka seharusnya duduk dibangku sekolah dan masih terlalu
jauh untuk memikirkan masalah pernikahan. Praktek pernikahan anak ini
sifatnya memaksa dan telah terjadi diseluruh daerah, budaya dan agama.
2. Teori Organisasi Internasional
Organisasi Internasional merupakan organisasi yang dibentuk oleh
negara-negara dengan persetujuan antara anggotanya dan mempunyai
suatu sistem yang tetap yang tugasnya adalah untuk mencapai tujuan
bersama dengan cara mengadakan kerjasama antara negara anggotanya.18
Dalam arti luas organisasi internasional meliputi organisasi
internasional publik atau public international organization yang
16 UNICEF, “Child Marriage and the Law”, 2008. Hal: 23.
http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law%281%29.pdf. Diakses
pada 26 September 2013 17 USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID
Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf.
Diakses pada 26 September 2013 18 Virally, M, “Definition and Clasification of International Organization: A Legal Approach”,
London. 2007, hal: 58
15
beranggotakan negara karena itu disebut juga sebagai organisasi antar
pemerintahan atau inter-governmental organization dan organisasi
internasional privat atau private international organization beranggotakan
badan atau lembaga swasta diberbagai negara karena itu disebut sebagai
organisasi non-pemerintahan atau non-governmental organization.19
Menurut Clive Archer dalam bukunya berpendapat bahwa
organisasi internasional adalah sebuah organisasi yang memiliki struktur
berkesinambungan serta pembentukan organisasi tersebut berdasarkan
pada perjanjian yang telah dibuat oleh anggotanya.20
Organisasi Internasional merupakan salah satu aktor penting dalam
hubungan internasional. Banyaknya organisasi internasional yang muncul
cenderung sejalan dengan banyaknya tujuan yang hendak dicapai dari
organisasi internasional itu sendiri. Anggota organisasi internasional
terdiri dari dua atau lebih negara yang berdaulat. Hal ini dimaksudkan agar
organisasi tersebut dapat terbentuk untuk mencapai sebuah tujuan yang
telah disepakati bersama oleh anggotanya. Organisasi Internasional yang
dibentuk oleh negara-negara anggotanya melalui instrumen pokok yang
telah disetujui bersama pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme
untuk mengadakan kerjasama dalam semua kegiatan diberbagai sektor
kehidupan internasional yang menjadi kepentingan mereka bersama.21
19 Sumaryo, Suryokusumo, “Pengantar Hukum Organisasi Internasional”, Jakarta: Tatanusa, Juli
2007, hal: 3-5 20 Archer, Clive, “International Organization”, London: 1983. 21 Ibid
16
Menurut Archer peranan organisasi internasional dapat dibagi
kedalam tiga kategori, yakni: Kategori Pertama, sebagai instrumen dimana
organisasi internasional digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk
mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya. Kedua,
sebagai arena dimana organisasi internasional merupakan tempat bertemu
bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas masalah-
masalah yang dihadapi dan tidak jarang organisasi internasional digunakan
oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam wilayahnya,
ataupun masalah dalam wilayah negara lain dengan tujuan untuk mendapat
perhatian internasional. Kategori ketiga, organisasi internasional dapat
membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh negara.22
Secara sederhana, dapat dirumuskan bahwa teori organisasi
internasional merupakan teori yang membahas mengenai suatu organisasi
yang pelakunya melintasi batas sebuah negara, berangkat dari kesepakatan
masing-masing anggota untuk bekerja sama, memiliki regulasi yang
mengikat anggota, dan untuk mewujudkan tujuan internasional tanpa
meleburkan tujuan nasional dari masing-masing anggota dari organisasi
internasional yang bersangkutan.23
22 Archer, Clive, “International Organization”, London: 1983. hal: 130-147 23 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York: 2006, hal:
54-56
17
3. Pendekatan Rezim dan Neofungsional dalam Teori Organisasi
Internasional
Dalam mempelajari teori organisasi internasional, terdapat dua
pendekatan utama yang berkaitan dengan teori organisasi internasional
yakni pendekatan rezim dan pendekatan institusional. Selain itu terdapat
dua turunan dari pendekatan institusional yakni pendekatan
neofungsionalisme dan pendekatan neoinstitusionalisme.24
Pendekatan rezim merupakan pendekatan yang muncul pada tahun
1950an dan mulai kuat kembali pada tahun 1980-1990an. Pendekatan
rezim ini menganalisa pengaruh tingkah laku organisasi internasional
terhadap aktor-aktor lain terutama negara sebagai sumber politik
internasional, melihat efektivitas atau aturan-aturan yang dibuat oleh
organisasi internasional dengan kata lain pendekatan ini mencoba
menganalisis seberapa efektif keberadaan suatu organisasi internasional
dalam menyelesaikan masalah yang menjadi bidangnya, selain itu
pendekatan rezim juga mengetahui apasaja hal-hal yang dihasilkan oleh
suatu organisasi internasional dan bagaimana pengaruhnya dalam
mengatasi suatu masalah.25
Pendekatan institutional muncul pada tahun 1950-1960an dan
disebut juga sebagai analisis institusi formal. Pendekatan institusional
24 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York: 2006, hal:
27-56 25 ibid
18
merupakan sebuah pendekatan yang melihat sebuah pendekatan yang
melihat suatu organisasi internasional secara internal atau apa yang terjadi
dalam organisasi tersebut, selain itu pendekatan institusionalisme ini lebih
melihat pada struktur formal, organisasi dan birokrasi hirarki organisasi
internasional. Titik awal munculnya pendekatan institusional ini adalah
munculnya piagam organisasi dan terjadinya perjanjian internasional.
Piagam tersebut akan menjadi dasar tentang kapan dan mengapa
organisasi dijalankan serta siapa saja yang bisa menjadi anggotanya.
Pendekatan ini juga mengatur struktur birokrasi, kekuatan, pembiayaan,
proses keluar-masuk anggota, dan mekanisme berakhirnya organisasi
internasional. Terdapat ketidak puasan pada pendekatan institusionalisme
sehingga berkembang menjadi dua cabang pendekatan yaitu pendekatan
neofungsionalisme dan pendekatan neoinstitusionalisme.26
Pendekatan Neofungsionalisme merupakan pendekatan yang
menjadi awal dari pendekatan rezim yang berkembang pada tahun 1960an.
Pendekatan neofungsionalisme ini tidak hanya melihat hanya pada isu-isu
yang ada didalam organisasi internasional tetapi juga agenda internasional
organisasi internasional itu sendiri. Pada pendekatan ini kerjasama dalam
organisasi internasional lebih mengutamakan aspek politik daripada
tuntutan teknis pada integrasi fungsi pemerintahan global. Pendekatan ini
membawa politik kembali ke dalam studi organisasi internasional,
pendekatan neofungsionalisme lebih fokus pada evolusi pola pemerintahan
26 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York, 2006, hal:
27-56
19
dalam suatu struktur kelembagaan dan organisasi yang ada, bukan pada
penciptaan bentuk-bentuk organisasi baru.
Pendekatan neoinstitusionalisme mucul pada tahun 1990an,
pendekatan ini lebih melihat aturan dan prosedur yang dibuat oleh
organisasi internasional untuk mencapai misi formal organisasi
internasional itu sendiri, selain itu melihat sejauh mana organisasi tersebut
menjaga aturan dan prosedur yang mereka buat dan memiliki perbedaan
dalam politik internasional. Pendekatan ini melihat bahwa negara sebagai
pelaku utama yang dapat mendorong organisasi internasional untuk
melakukan tugas tertentu untuk mereka.27
Melihat isu yang akan dibahas yakni peran UNICEF dalam kasus
pernikahan anak di India, maka penelitian ini menggunakan teori
Organisasi Internasional dengan asumsi-asumsi dari pendekatan rezim dan
pendekatan neofungsionalisme. Pendekatan rezim ini menganalisa
pengaruh tingkah laku organisasi internasional terhadap aktor lain
terutama negara dan menganalisa seberapa efektif keberadaan suatu
organisasi internasional dalam menyelesaikan masalah yang menjadi
bidangnya di suatu negara, serta mengetahui apa saja yang dihasilkan oleh
organisasi internasional tersebut. Dengan demikian pendekatan rezim
membantu dalam menganalisa pengaruh UNICEF terhadap pemerintah
India dalam menangani kasus pernikahan anak di India, menganalisa
efektifitas peran UNICEF dalam menangani faktor penyebab terjadinya
27 Ibid, hal: 54-56
20
pernikahan anak dan mengurangi angka pernikahan anak di India, dan
mengetahui apa saja yang dihasilkan oleh UNICEF dalam menangani
kasus pernikahan anak di India.
Sedangkan pendekatan neofungsionalisme, pendekatan yang
melihat kerja sama suatu organisasi internasional dengan suatu negara dan
dalam pendekatan ini organisasi internasional tidak melihat hanya pada isu
yang ada pada organisasi internasional, tetapi juga melihat agenda
internasional itu sendiri. Dengan demikian, Pendekatan neofungsionalisme
ini membantu dalam melihat agenda Internasional dari UNICEF pada
kasus pernikahan anak dan melihat relasi atau kerjasama antara UNICEF
dan pemerintah India.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian
kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang memusatkan
perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan dari
satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.28 Penelitian ini
merupakan penelitian deskriptif analisis, yaitu menggambarkan masalah
kemudian menganalisa permasalahan yang ada melalui data-data yang telah
dikumpulkan kemudian diolah serta disusun dengan berlandaskan pada teori-
teori dan konsep-konsep yang dipergunakan. Ini bertujuan untuk
28Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik” (Jakarta: Bina Aksara
1989), hal 11
21
memperdalam pengetahuan mengenai gejala itu dengan maksud untuk
merumuskan masalah secara terperinci atau mengembangkan hipotesis.29
Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk
menghimpun data, info, atau fakta yang berhubungan dan relevan dengan
masalah yang hendak diteliti. Karena adanya beberapa keterbatasan yang
dimiliki dalam melakukan penelitian ini, penulis tidak dapat meninjau
langsung ke negara India dan penulis kesulitan dalam mencari data per daerah
di India. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisa data sekunder
yaitu dengan penelusuran literatur atau data-data dan berbagai informasi
dengan berbagai macam materi melalui studi kepustakaan dan penelusuran
data melalui internet. Teknik pengumpulan data melalui studi dokumen atau
kepustakaan, yakni bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi
dengan bantuan macam- macam material yang terdapat di ruang
perpustakaan, misalnya berupa: buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan,
kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan lain-lain.
Dalam proses penelitian, penulis juga mengirimkan email langsung
kepada Fanspage UNICEF India dan mengunjungi beberapa institusi seperti
Embassy of India in Indonesia, Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre di
Jakarta, Kantor UNICEF Indonesia yang membantu menghubungkan kepada
UNICEF India, dan Kemeterian Luar Negeri Republik Indonesia dan penulis
juga mengunjungi beberapa perpustakaan guna membantu jalannya penelitian,
perpustakaan tersebut diantaranya: perpustakaan Universitas Indonesia,
perpustakaan BPPK (Kementrian Luar negeri), perpustakaan FISIP
29 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, “Metode Penelitian Sosial”, PT. Bumi Aksara,
hal.4
22
Universitas Prof. DR. Moestopo Beragama (UPDMB), Freedom Library, dan
perpustakaan FISIP UIN Jakarta. Data-data kepustakaan yang telah
diperoleh dijadikan fondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian di
tengah lapangan.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan terdiri dari empat bab, setiap bab terdiri dari sub bab yang
disesuaikan dengan pembahasan yang dilakukan. Sistematika penulisan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
BAB I: Pendahuluan
Pada bab I, penulis akan membahas mengenai pertanyaan masalah,
pertanyan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II: Pernikahan Anak di India
Pada bab II ini terdiri dari empat sub bab. Sub bab pertama, penulis
akan membahas mengenai isu pernikahan anak di India. Sub bab kedua,
penulis akan membahan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus
pernikahan anak di India. Sub bab ketiga, penulis akan membahas
mengenai dampak-dampak yang terjadi pada pernikahan anak di India.
Dan sub bab keempat, penulis akan membahas mengenai kebijakan
pemerintah India dalam menangani kasus pernikahan anak di India
23
BAB III: Peran dan Tantangan UNICEF dalam Menangani Kasus
Pernikahan di India (2010-2012)
Pada bab III merupakan bab analisa yang terdiri dari empat sub
bab. Sub bab pertama, penulis akan membahas mengenai tinjauan umum
UNICEF. Sub bab kedua, penulis menjelaskan peran UNICEF di India.
Sub ba ketiga, penulis menganalisa efektifitas peran UNICEF dalam
menangani kasus pernikahan anak di India. Kemudian Sub bab keempat,
penulis akan membahas mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi
UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
BAB IV: Penutup
Pada bab IV merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan
dan saran.
24
BAB II
PERNIKAHAN ANAK DI INDIA
A. Isu Pernikahan Anak di India
India adalah negara dengan populasi penduduk terbesar kedua di dunia
dengan jumlah 1.270.272.105 jiwa.1 India muncul sebagai kekuatan ekonomi baru
di dunia pada tahun 1990-an.2 Semenjak diakui sebagai kekuatan ekonomi baru,
India terus berkembang sebagai negara demokratis dengan pertumbuhan ekonomi
yang dapat dikatakan tumbuh dengan cepat. Akan tetapi, dibalik kesuksesan India
di bidang ekonomi dan di dunia internasional, India menjadi negara yang
memiliki catatan panjang atas pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap anak dan
perempuan. Berdasarkan enam kategori pelanggaran hak-hak anak yaitu ancaman
kesehatan, kekerasan seksual dan non-seksual, praktek-praktek berbahaya dalam
budaya, tradisi atau agama seperti pernikahan anak, keterbatasan akses terhadap
sumber ekonomi dan perdagangan manusia, India menjadi negara nomor empat
yang paling berbahaya bagi anak perempuan dan wanita pada kategori praktek
budaya seperti pernikahan anak.3
Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan dimana usia pengantin
laki-laki masih di bawah 21 tahun dan usia pengantin perempuan di bawah 18
1 “India’s Population in 2014”. http://www.indiaonlinepages.com/population/india-current-
population.html, disunting pada: Jumat, 13 Juni 2014. 16.42 2 OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”. December 2013. Hal: 13.
http://www.ohchr.org/do
cuments/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundation.pdf. Diakses pada: 13
Juni 2014. 3 Ibid.
25
tahun.4 Pernikahan anak di India telah telah terjadi semenjak abad pertengahan
dan dipengaruhi dengan budaya kasta yang ada di India. Dengan berjalannya
waktu, pernikahan anak dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak anak, karena
jika anak dinikahkan dibawa umur, maka beberapa hak anak akan terhambat atau
terbatasi, hak tersebut diantaranya adalah hak mendapatkan pendidikan, hak
mendapatkan pelayanan kesehatan, hak atas perlindungan hukum, dan hak untuk
tumbuh dan berkembang. Mayoritas yang menjadi korban dari pernikahan anak
ini adalah anak perempuan. Pengantin anak seringkali harus menghadapi putus
sekolah, resiko awal kehamilan dan mengalami kekerasan. Pada tahun 2007
hingga 2010, sekitar 23.000.000 anak perempuan di India menghadapi kenyataan
ini.5 Hal ini memiliki dampak cukup besar tidak hanya pada anak-anak sebagai
individu, tetapi juga pada keluarga, masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.
Mayoritas anak perempuan yang menikah di usia dini tidak diperbolehkan untuk
menyelesaikan pendidikan dan mereka hanya memiliki sedikit keterampilan untuk
bekerja, hal ini dapat meningkatkan angka kemiskinan di India.
Data lain menyebutkan bahwa pada tahun 2007-2008 India merupakan
negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak nomor dua terbesar didunia
yakni 40% atau sekitar 23.000.000 kasus pernikahan anak. Penelitian UNICEF
India pada tahun 2008, menemukan bahwa angka kejadian pernikahan anak
berusia 15 tahun berkisar 29%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18
4 Ministry of Law and Justice. “The Prohoibition of Child Marriage Act, 2006”.
http://wcd.nic.in/cma2006.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014 5 Ministry Of Women and Child Development, ”National Strategy Document on Prevention of
Child Marriage”, 2013, Hal: 1. http://wcd.nic.in/childwelfare/Strategychildmarrige.pdf. Diakses
pada 15 Juni
26
tahun sekitar 28% dan hampir setengah (43%) perempuan India berusia 20-24
tahun menikah saat mereka masih berusia di bawah 18 tahun. Adapun daerah-
daerah yang memiliki kasus pernikahan anak cukup tinggi di India adalah
Rajasthan, Madhya Pradesh Uttar Pradesh, Bihar, Jharkhand dan Bengal Barat
dengan kisaran angka 59% hingga 68 % atau sekitar 15.000.000 kasus pernikahan
anak. 6
Pernikahan anak di India merupakan masalah yang cukup kompleks
karena berkaitan dengan adat tradisional, agama, dan beberapa masalah sosial di
India. Selain itu, pernikahan anak ini menimbulkan dampak yang cukup parah
karena pernikahan anak ini merupakan kasus pelanggaran hak asasi anak bahkan
sampai menyebabkan kematian. Pernikahan anak ini juga merupakan masalah
sosial yang mengancam kehidupan masa depan pemuda India.
B. Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Anak di India
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kasus pernikahan
anak di India, diantaranya: Adat dan budaya tradisional India, persepsi masyarakat
mengenai keselamatan anak, faktor pendidikan dan faktor ekonomi. Jika dilihat
dari adat dan budaya tradisional India, pernikahan anak di India dilandasi
sejumlah motivasi diantaranya: pernikahan anak dipercaya mampu
mempromosikan kasta dalam kehidupan sehari-hari apabila kedua pasangan
menikah dengan kasta yang berbeda, dapat meningkatkan kesuburan dan
6 UNICEF, Child Marriage in India – An analysis of available data, (2012), India.
http://www.unicef.in/documents/childmarriage.pdf. Diakses pada 16 Juni 2014
27
memperbanyak garis keturunan dan pernikahan anak ini dapat membantu
hubungan ekonomi, politik dan sosial diantara keluarga mereka.7 Saat ini di India
khususnya di daerah yang memiliki kasus pernikahan anak cukup besar seperti
Bihar, Rajashtan, Jharkhand, Uttar Pardesh, dan Madya Pardesh, pernikahan anak
sudah menjadi tradisi dan telah disalahgunakan oleh sebagian besar penduduk
India karena tidak jarang dijadikan pekerja anak maupun diperdagangkan.
Pernikahan anak di bawah umur menjadikan, status perempuan di India dipandang
rendah oleh kaum laki-laki. Anak perempuan yang belum menikah dianggap
sebagai harga terpenting bagi kehormatan keluarga. Pernikahan anak dipercaya
sebagai cara untuk memastikan kesucian dan keperawanan pengantin wanita,
sehingga para orang tua menikahkan anak perempuannya untuk menjaga
kehormatan keluarganya.8
Selain itu, orang tua di India masih percaya bahwa jika mereka tidak
menikahkan anak mereka sebelum masa pubertas, maka mereka akan berdosa.
Jika anak perempuan mereka belum menikah hingga anak perempuan mereka
mendapat menstruasi maka dosa mereka sama seperti mereka membunuh orang.
Dengan adanya kepercayaan tersebut, maka orang tua memilih untuk menikahi
anak mereka sedini mungkin dengan tujuan menghindari dosa9
7 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”, Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New
Delhi, hal:165 8 UNICEF India. “Child Marriage: Fact Sheet”. November 2011. Hal 2.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni
2014 9 Basham, A. L. “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition. New Delhi,
2001. Hal:159
28
Di Bihar dan Rajashtan, masih banyak orang tua yang berfikir bahwa anak
perempuan itu tidak diharuskan untuk bersekolah, karena anak perempuan akan
menjadi seorang istri dan mematuhi seorang suami dan memiliki anak perempuan
akan melindungi atau membawa berkah bagi keluarga, sehingga mereka
menganggap untuk menikahi anak perempuan mereka dengan cepat tanpa melihat
resiko yang ada.10
Saat ini masih ada praktek-praktek pelanggaran hak wanita yang masih
terjadi, terutama dikarenakan tradisi dan budaya masyarakat India yang sudah
berakar sejak lama dan yang masih berlangsung sampai sekarang. Salah satunya
adalah budaya “Bride Price” atau Dowry, yang menimbulkan efek negatif
terhadap kondisi kehidupan wanita India.11
Dowry adalah pemberian yang dilakukan oleh pihak pengantin wanita
kepada pihak pengantin laki-laki ketika menikahkan anaknya, dowry bisa berupa
uang tunai, barang-barang berharga seperti perhiasan, alat elektronik, furniture
dan lain sebagainya, tergantung permintaan dari pihak laki-laki.12 Terkadang
semakin tinggi status sosial dan pendidikan dari calon pengantin laki-laki, maka
akan semakin tinggi pula jumlah dowry yang diminta.
Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Sonia Dalmia dan Pareena G.
Lawrence, Dowry merupakan hadiah dan tanda bukti kasih sayang dari orang tua
10 Ministry of Women and Child Development Government of Orissa, “State Plan of Action of
Childre,. 2009-2012”. http://www.wcdorissa.gov.in/download/StatePlanAction.pdf. Diakses pada
17 Juni 2014 11 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New
Delhi, hal: 165-168 12 Ibid.
29
terhadap anak perempuannya ketika memasuki pernikahan. Hadiah itu diberikan
kepada pihak laki-laki, sehingga anak perempuan mereka bisa sepenuhnya
menjadi anggota keluarga laki-laki dan menikmati kekayaan mereka sendiri
melalui dowry tersebut. Sehingga dowry ini dianggap sebagai kompensasi, karena
anak perempuan tidak mendapatkan hak waris seperti anak laki-laki.13 Akan
tetapi, pandangan tersebut berubah dengan didukung adanya hubungan yang kuat
antara status hirarki dan jumlah dowry dari keluarga wanita kepada pihak laki-
laki, pengantin laki-laki yang berasal dari kasta yang lebih tinggi akan menerima
jumlah dowry yang tinggi pula dibanding dowry bagi pengantin laki-laki dari
kasta yang lebih rendah.14 Seringkali permintaan keluarga pengantin laki-laki ini
tidak berhenti saat awal pernikahan, namun terus berlanjut ketika anak-anak
mereka sudah menikah. Pihak perempuan diharuskan memberikan apa yang
diminta oleh pihak keluarga laki-laki jika ingin anak mereka diperlakukan dengan
baik oleh keluarga pihak laki-laki.15
Budaya dowry ini telah menyebar hampir ke seluruh lapisan masyarakat
India. Jika pada empat abad yang lalu sistem dowry hanya dijalankan di kalangan
tertentu seperti umat Hindu yaitu pada kelompok kasta kelas atas. Saat ini, tradisi
dowry telah menyebar ke dalam kalangan kelas menengah dan bawah masyarakat
Hindu, Kristen dan Muslim di India. Di India bagian utara, masyarakat muslim
13 Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. “The Institutions of Dowry in India : Why it Continues
to Prevail. The Jounal of Developing Areas”. Vol.38 No.2. 2005.
14 Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. “The Institutions of Dowry in India : Why it Continues
to Prevai”l. The Jounal of Developing Areas. Vol.38 No.2. 2005.
15 Ibid
30
mulai mempraktekkan dowry sejak puluhan tahun yang lalu.16 Karena adanya
sistem dowry inilah anak perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga,
mereka akan membebani keluarga secara finansial di kemudian hari. Dengan
adanya sistem dowry ini para orang tua memilih untuk menikahkan putri mereka
sedini mungkin agar terbebas dari sistem dowry.17
Selain budaya dowry, sejak usia dini, anak-anak diajari tentang peran dan
kedudukan mereka dalam masyarakat, dimana kedudukan laki-laki lebih tinggi
dibandingkan perempuan dan peran perempuan hanya sebagai alat reproduksi atau
penghasil keturunan. Tradisi ini diperkuat dengan adanya sistem kasta dan
kepercayaan kepada dewa-dewa dan roh yang dianggap berperan penting dan tak
terpisahkan dari kehidupan mereka. Di India memiliki empat sistem kasta yaitu
Brahamana yang terdiri golongan tertinggi seperti para ulama atau pendeta-
pendeta, Kesatria yang terdiri dari golongan bangsawan dan tentara, Waisha yang
terdiri dari golongan pedagang dan petani dan Sudra yang terdiri golongan biasa
atau rakyat jelata.18
Setiap kasta di India mengajarkan bahwa hanya pria lah yang lebih
bernilai dan dominan di keluarga India. Mereka bertindak sebagai kepala rumah
tangga, pencari nafkah dan para pengambil keputusan.19 Selain mengajarkan
16 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New
Delhi, hal:165-168 17 ibid 18 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New
Delhi, hal:165-168 19 Bidner, Chris and Eswaran, Mukesh. “A Gender-Based Theory of the Origin of the Caste System
of India”. New Delhi. 2 Des 2012. Hal: 5.
31
mengenai kedudukan pria, sistem kasta juga memiliki aturan lain seperti
pendidikan hingga usia pasangan yang harus mereka nikahkan.
Dari keempat kasta hanya tiga yang masih memiliki peraturan yang masih
aktif hingga sekarang, yakni: Brahmana memiliki peraturan bahwa anak-anak
wajib mendapatkan pendidikan selama 8 tahun, Kesatria memiliki peraturan
bahwa anak-anak wajib mendapatkan pendidikan selama 11 tahun dan Waisha
memiliki peraturan bahwa anak-anak wajib mendapatkan pendidikan selama 12
tahun. Setelah mereka mendapatkan pendidikan sesuai dengan aturan kasta
mereka, mereka diwajibkan untuk melanjutkan pendidikan lebih dalam mengenai
kasta yang mereka anut selama 12 tahun. Setelah mereka menyelesaikan
pendidikan kasta kemudian mereka harus menikah dengan pasangan yang
memiliki kasta yang sama dan memiliki perbedaan usia 12 tahun lebih muda.20
Hal tersebut yang mendorong para orang tua menikahkan anak perempuan mereka
dengan seorang laki-laki yang usianya jauh lebih dewasa dan memiliki kesamaan
kasta dengan anak perempuan mereka. Kasta sendiri memiliki pengaruh pada
sistem dowry, karena semakin besar kelas kasta semakin tinggi pula jumlah dowry
yang harus diberikan.21
Persepsi masyarakat terhadap keselamatan anak merupakan faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di bawah umur. Hasil studi
http://www.isid.ac.in/~pu/conference/dec_12_conf/Papers/MukeshEswaran.pdf. Diakses pada 19
November 204.
20 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian
Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New
Delhi, hal:165-168 21 Ibid.
32
ICRW tahun 2011 menyatakan banyak orang tua di India sering merasa khawatir
tentang keselamatan dan keamanan anak perempuan mereka dari tindakan
pelecehan atau kekerasan seksual. Dengan menikahkan anak perempuan mereka
diusia dini mereka merasa dapat menjaga virginitas anak perempuan mereka.22
Pernikahan anak juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan
kekayaan dalam keluarga antar kelas sosial-ekonomi yang lebih tinggi. Beberapa
keluarga yang sangat kaya, mempunyai kecenderungan dan juga terdorong oleh
kebutuhan untuk melindungi kehormatan anak perempuan mereka dan nama
keluarga mereka, dan dengan status kekayaan keluarga. Hal ini membuat mereka
menikahi anak perempuan mereka ke keluarga yang memiliki tingkat
perekenomian yang setara.23
Adanya anggapan bahwa perempuan hanya dianggap sebagai pekerja yang
sifatnya reproduktif sedangkan laki-laki merupakan pekerja yang sifatnya
produktif. Sehingga timbul pembagaian pekerjaan dimana perempuan sifatnya
lebih diam dirumah atau mengontrol kebutuhan rumah tangga, sedangkan laki-laki
sifatnya bekerja diluar dan mencari uang. Hal ini menjadi salah satu penyebab
timbulnya ketidaksetaraan gender di India.24 Karena ketidaksetaraan gender ini
maka perempuan tidak memiliki hak atau tidak bisa mengambil keputusan dan
22 USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID
Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf.
Diakses pada 19 Juni 2014 23 OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December 2013. hal: 13.
http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundatio
n.pdf. Diakses pada: 13 Juni 2014. 24 Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and
The Way Forward”, 2013. hal: 5.
https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20South%20Asia.2013.pdf.
Diakses pada 19 Juni 2014
33
tidak bisa bernegosiasi mengenai pendidikan, pekerjaan, masalah keluarga, dan
masalah seksualitas sehingga anak perempuan cenderung hanya menerima apa
yang diberikan kepadanya. Hal tersebut yang mendorong orang tua untuk
menikahkan anak perempuan mereka saat usia mereka masih sangat dini. Untuk
kasus pernikahan anak laki-laki tidak sebanyak pernikahan anak perempuan
dikarenakan anak laki-laki tidak terbebani oleh sistem dowry dan anak laki-laki
tidak memiliki resiko yang dimiliki oleh perempuan. Di India, memiliki anak
perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga, karena memiliki anak
perempuan akan menghabiskan dana yang cukup besar untuk kebutuhan hidupnya
termasuk membayar dowry, sehingga tanpa berfikir panjang mereka menikahkan
putrinya tanpa melihat status dan usia.25
Kurangnya pendidikan juga menjadi faktor yang melatar belakangi
pernikahan anak di India. Rata-rata, anak yang memiliki pendidikan yang cukup
tinggi biasanya menikah diusia lanjut atau diatas 18 tahun.26 Berdasarkan data
dari National Family Health Survey (NFHS India), 40% anak perempuan yang
memiliki pendidikan tinggi di India menikah diusia 20-24 tahun.27 Hal ini
25 Davis, A., Postles, C. and Rosa, G,. “A girl’s Right to Say No to Marriage: Working to end
Child Marriage and Keep Girls in School”, Plan International, 2013.
http://www.planbelgie.be/sites/default/files/user_uploads/a_girls_right_to_learn_without_fear._wo
rking_to_end_gender-based_violence_at_school_plan_international_-_engelstalig.pdf. Diakses
pada 21 Juni 2014 26 Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and
The Way Forward”, 2013, hal: 5.
https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20South%20Asia.2013.pdf.
Diakses pada 19 Juni 2014 27 Marcy Hersh, Sunayana Walia and Priya Nanda, ”Solution Exchange for the Gender Community
Discussion Summary”, International Center for Research on Women (ICRW), New Delhi, Januari
2010. http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 21 Juni 2014
34
mengindikasikan bahwa seorang anak yang memiliki pendidikan yang lebih
tinggi, semakin kecil kemungkinan dia untuk menikah diusia dini.
Tingkat pendidikan yang rendah pada orang tua dan minimnya akses ke
sekolah dengan jarak yang cukup jauh yaitu 10 kilometer, khususnya di daerah
pedesaan, menjadi penghambat bagi pendidikan anak-anak dan berpotensi sebagai
pelaku pernikahan dini. Hasil studi dari ICRW tahun 2011 di India menemukan
tidak adanya infastruktur yang memadai, kurangnya akses menuju sekolah dan
jarak yang cukup jauh menjadi halangan bagi anak-anak untuk bersekolah.
Kebanyakan sekolah menengah didaerah pedesaan India memiliki jarak yang
cukup jauh dan sulitnya trasportasi menuju ke sekolah serta tingginya tingkat
kejahatan di desa membuat para orang tua semakin khawatir untuk mengirim anak
mereka kesekolah tersebut.28 Hal tersebut juga dirasakan di daerah Andra Pardesh,
berdasarkan DLHS-3 tahun 2010, terdapat hanya 31% anak yang tetap bersekolah
dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, sehingga menimbulkan mereka
harus putus sekolah diusia 10 hingga 15 tahun.29 Di daerah Rajasthan,
berdasarkan NFHS-3, terdapat 23% anak yang hadir kesekolah.30 Di daerah Bihar,
berdasarkan NFHS-3, 24 % anak yang bersekolah dan kemudian harus berhenti
sekolah saat usi mereka 10 tahun dikarenakan kekhawatiran orang tua mereka.31
28 ICRW and AUSAID, “Child Marriages in Southern Asi: Policy Action for Action”, 2012.
http://www.icrw.org/publications/child-marriage-southern-asia. Diakses pada 21 Juni 2014 29 Report, The District Level Household and facility Survey (DLHS): (Reproductive & Child
Health Project). http://www.rchiips.org/pdf/rch3/report/AP.pdf. Diakses pada: 23 Desember 2014 30 Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen India’s
demographic and health policies and programs. http://www.rchiips.org/nfhs/raj_state_report.pdf.
Diakses pada 23 Desember 2014 31 Ibid. http://www.rchiips.org/nfhs/NFHS-3%20Data/Bihar_report.pdf Diakses pada 23 Desember
2014
35
Selain beberapa faktor diatas, faktor ekonomi merupakan faktor yang
memiliki pengaruh besar terhadap kasus pernikahan anak ini. Pertimbangan
ekonomi pada suatu keluarga sangat mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di
bawah umur. Hasil penelitian UNICEF tahun 2011 menemukan sekitar 56%
pernikahan anak terjadi didaerah pedesaan India dan 29% pernikahan anak terjadi
didaerah perkotaan India.32 Praktek pernikahan anak pada umumnya terjadi di
pedesaan atau di daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dengan rata-rata
penghasilan penduduknya sebesar 5 hingga 100 Rupe perbulan.33 Acara
pernikahan di India sedikitnya memerlukan biaya 8000 Rupee, dengan biaya
pernikahan yang mahal dan ekonomi yang sangat minim serta terbatas maka
setiap keluarga yang memiliki anak perempuan di bawah umur memilih untuk
menikahi anak mereka sebelum masa pubertas dalam acara pernikahan masal
guna meminimalisir dana pernikahan. Selain itu orang tua memiliki
ketergantungan yang tinggi kepada seorang laki-laki atau saudagar kaya untuk
menikahi anak perempuan mereka dengan tujuan memperbaiki ekonomi
keluarga.34
Dikarenakan anak perempuan mereka belum cukup umur dan dianggap
masih suci, maka dalam pernikahan tersebut pihak laki-laki akan memberikan mas
kawin atau mahar berupa uang atau barang mewah yang akan diberikan langsung
32 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni
2014 33 34 World Bank, “World Development Report on Gender Equality and Development”, 2012, hal:
154.
http://econ.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTRESEARCH/EXTWDRS/EXT
WDR2012/0,,menuPK:7778074~pagePK:7778278~piPK:7778320~theSitePK:7778063~contentM
DK:22851055,00.html. Diakses pada 24 Juni 2014
36
oleh keluarga anak perempuan dan menjadi hak milik keluarga.35 Pengantin anak
perempuan memiliki harga yang lebih tinggi, hal ini disebabkan usia yang sangat
muda dan dipercaya mampu memberikan kontribusi yang baik untuk suami dan
keluarganya. Disamping itu, anak perempuan di India dianggap sebagai “paraya
dhan” atau properti pernikahan, oleh karena itu anak perempuan dinikahkan
sedini mungkin guna menutup hutang atau mengurangi hutang keluarga.36
Pernikahan anak ini terjadi tidak hanya dikalangan ekonomi rendah tetapi
juga dikalangan ekonomi tinggi. Untuk keluarga kaya, banyak orang tua yang
menikahi anaknya kepada keluarga kaya juga demi menjaga garis warisan dan
kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya.37
C. Dampak Pernikahan Anak di India
Pernikahan anak memiliki dampak yang negatif bagi sang anak sendiri,
baik dari sisi psikologi, kesehatan, dan pendidikan. Secara psikologis, anak yang
menikah di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, selain itu akan
mengalami krisis percaya diri. Anak juga secara psikologis belum siap untuk
bertanggung jawab dan berperan sebagai isteri atau ibu, sehingga jelas bahwa
35 International Center for Research on Women, “Too Young to Wed”, 2003, hal: 6.
http://www.icrw.org/publications/too-young-wed-0. Diakses pada 22 Juni 2014 36 Ibid, hal: 6 37 OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December 2013, hal: 13.
http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundatio
n.pdf. Diakses pada: 20 Juni 2014.
37
pernikahan anak menyebabkan imbas negatif terhadap kondisi psikologis serta
perkembangan kepribadian mereka.38
Disisi kesehatan, Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia
kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu
maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi
dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Faktanya hampir setengah (45%) anak
perempuan di India meninggal di bawah usia 20 tahun dan 15% diantaranya
meninggal pada saat kehamilan dan proses persalinan di usia yang sangat muda.
Di India, anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal
saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara
risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Anatomi
tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga
dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula.39
Data dari UNFPA India tahun 2006 menemukan bahwa dari 957 penderita
obstetric fistula di India 78% mengalami persalinan diusia 15-21 tahun atau
menikah di usia kurang dari 15 tahun dan penderita obstetric fistula sering
ditemukan di daerah Uttar Pradesh, Punjab, Assam, Orissa, Bihar, Jharkhand,
Madhya Pradesh dan Rajasthan.40 berdasarkan data NFHS-3, dari 50.000 hingga
38 UNFPA, “Child Marriage Fact Sheet”, 2005.
http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm. Diakses pada 23
Juni 2014 39 USAID, “Preventing Child Marriage: Protecting Girls Health”, 2006.
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pdaci387.pdf. Diakses pada 23 Juni 2014 40 UNFPA India, “A Study to identify the occurrence of Obstetric Fistula in India (Report)”. New
Delhi. 2006.
http://www.endfistula.org/webdav/site/endfistula/shared/documents/needs%20assessments/India%
20OF%20Needs%20Assessment.pdf. Diakses pada Jum’at 14 November 2014
38
100.000 anak perempuan yang melahirkan per tahunnya tercatat 22% penderita
obstetric fistula terdapat di Rajasthan, Punjab, dan Uttar Pardesh, 20% terdapat di
Orrisa, Bihar dan Jharkhand, 18% terdapat di Orissa, 18% di Madhya Pradesh.41
Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan
kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun
sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula
akibat hubungan seksual di usia dini. 42
Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga
meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Banyak
anak perempuan yang menikah dini yang berhenti sekolah saat mereka terikat
dalam pernikahan, mereka seringkali tidak memahami dasar kesehatan reproduksi
dan tidak memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dalam menggunakan alat
kontrasepsi, sehingga dengan mudah mereka terinfeksi HIV.43 Berdasarkan data
kementerian kesehatan India tahun 2009-2011, tercatat sekitar 116.000 perempuan
yang terjangkit HIV/AIDS, 14.500 diantaranya adalah anak-anak.44 Tidak hanya
itu, pernikahan anak ini juga berdampak pada bayi yang dilahirkan, berdasarkan
data dari The State of the Worlds Children Report (SOWC) India 2007, sekitar
41 Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen India’s
demographic and health policies and programs.
http://www.rchiips.org/nfhs/urban_health_report_for_website_18sep09.pdf. Diakses pada 23
Desember 2014 42 UNFPA India, “A Study to identify the occurrence of Obstetric Fistula in India (Report)”. New
Delhi. 2006.
http://www.endfistula.org/webdav/site/endfistula/shared/documents/needs%20assessments/India%
20OF%20Needs%20Assessment.pdf. Diakses pada Jum’at 14 November 2014
43 IPPF, “Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action”, 2006.
http://www.unfpa.org/webdav/site/global/shared/documents/publications/2006/endchildmarriage.p
df. Diakses pada 25 Juni 2014 44 Government of India, Press Information Bureau.
http://pib.nic.in/newsite/PrintRelease.aspx?relid=89785. Diakses pada 23 Desember 2014
39
1000 bayi yang lahir per tahunnya 19% bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah
17 tahun adalah prematur.45
Jika dilihat dari sisi pendidikan, dengan adanya pernikahan anak ini maka
anak yang dinikahkan mau tidak mau harus putus sekolah dan mengurus
pekerjaan rumah, sehingga anak tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam
pendidikan. Di daerah seperti Bihar, Mizoram, Rajasthan dan Uttar Pradesh
terdapat lebih dari 60% anak perempuan yang keluar dari sekolah sebelum
menyelesaikan pendidikan dasar mereka dan kemudian menikah diusia kurang
dari 18 tahun.46 Semakin dini anak perempuan menikah maka semakin rendah
pendidikannya, sehingga menimbulkan kemungkinan terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga. pelecehan seksual, dan ketergantungan ekonomi. Akibatnya,
terjadilah ketidaksetaraan di rumah tangga serta menimbulkan diskriminasi dan
rendahnya status seorang perempuan.47
Biasanya anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga ini juga
cenderung tidak melakukan perlawanan dan mereka biasanya dikhususkan untuk
pekerjaan rumah tangga dengan pengetahuan yang terbatas. Hal itu yang
menyebabkan anak perempuan (istri) tidak memiliki kemampuan untuk
bernegosiasi dan pihak laki-laki (suami) cenderung mengontrol dan membatasi
akses perempuan terhadap kehidupannya. Dikarenakan wanita atau anak
45 CSR India. “A Study on” Child Marriage in India: Situational Analysis in Three States”.
http://www.csrindia.org/images/download/case-studies/Child-Marriage-Report.pdf. Diunduh pada
Jumat, 14 November 2014 46 UNICEF, Statistics of India (2004), http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html.
Diakses pada 15 November 2014 47 UNICEF India, “Child Marriage: Fact Sheet”, November 2011. Hal 1.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. Diakses pada 26
Juni 2014
40
perempuan tidak memiliki daya dan keterampilan untuk negosiasi, maka sering
sekali mereka dipaksa untuk menetap dirumah dan melakukan segala bentuk
pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak (bagi yang memiliki anak), dan tidak
bisa bersosialisasi dengan baik sebagaimana biasanya seorang ibu rumah tangga.
Meskipun ada yang berbeda pendapat, tetapi pada kenyataannya pernikahan anak
ini juga termasuk dalam perdangangan anak.48 Tidak menutup kemungkinan
dengan adanya pernikahan anak maka akan menimbulkan sifat pemaksaan,
kekerasan, penipuan, perbudakan dan bahkan sampai anak tersebut akan di
perdagangkan dan digunakan dalam prostitusi.
Pada tahun 2006, tercatat 76% kasus perdagangan anak yang terjadi di
daerah Tamil Nadu, Karnataka, Andhra Pradesh dan Kerala karena dinikahkan secara
dini,49 Dengan menikahi seorang anak maka anak ini akan digunakan untuk
mengambil keuntungan dari anak (istri) untuk dijadikan tanaga seks anak
(pelacuran anak) atau perburuhan.50 Anak-anak perempuan di Bengal Barat, India
menjadi korban perdagangan anak yang terjadi akibat pernikahan anak, anak-anak
perempuan di Bengal dikirim ke daerah kecil seperti kashmir. Mereka dijadikan
pekerja seks dan dipaksa menikah dengan pria yang usianya jauh lebih tua.51
48 Shulman, Juliana, “Child Marriage In India”. [email protected]. Diakses pada 27 Juni
2014 49 2006, National Crime Record Bureau, Govt of India, New Delhi. http://ncrb.gov.in/. Diakses
pada 26 Desember 2014 50 USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID
Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf.
Diakses pada 27 Juni 2014 51 ibid
41
Di Selatan India Perdagangan dan pelacuran anak ini juga didukung
dengan adanya budaya “Devadasi”. Sebagian besar perempuan yang mengalami
devadasi ini mencari nafkah mereka dengan menyediakan layanan seksual kepada
anggota kuil dan masyarakat yang datang ke kuil.52 Pada tahun 2006 hingga 2010,
tercatat hampir 25.000 anak perempuan yang menjadi korban devadasi terdapat di
daerah Karnataka, Bengal, pada tahun 2007, terdapat 17.000 Jogini di Andhra
Pradesh, Maharashtra, dan Orissa.53 Sistem Devadasi adalah praktek keagamaan
yang masih dianut dibeberapa daerah di India selatan, dimana orang tua menikahi
anak perempuannya dengan Tuhan atau roh-roh leluhur mereka dikuil tempat
mereka berdoa untuk dipersembahkan kepada dewa atau roh leluhur mereka,
kemudian sang anak akan menetap di kuil tempat mereka menikah. Biasanya hal
ini terjadi sebelum anak perempuan mereka mencapai masa pubertas. Gadis yang
mengalami devadasi disebut sebagai Jogini dan Jogini dilarang melakukan
pernikahan yang sesungguhnya.54
Dampak terakhir dari kasus pernikahan anak di India ini adalah terjadinya
kasus perceraian dan timbulnya status janda pada anak. Pada tahun 2007, India
memiliki 7.000 kasus perceraian dari pernikahan anak yang tersebar di daerah
Rajasthan, Bengal Barat, Bihar, Jharkhand, Uttar Pardesh, dan Madhya Pardesh.
Biasanya kasus perceraian ini banyak terjadi di daerah pedesaan India
52 Vanini, Sakti. “Trafficking and HIV, Maharashtra” Trafficking Report. Rajastan 2005. Hal 19
http://shaktivahini.org/wp-content/uploads/2012/03/MharastraTAHA.pdf. Diunduh pada 18
November 2014. 53 Menon, Ramesh. “Devadasi in a role play performance on child marriage”. 26 April 2011
http://www.wunrn.com/news/2011/05_07/05_07_07/051407_india.htm Diunduh pada: 22
Desember 2014 54 Vanini, Sakti. “Trafficking and HIV, Maharashtra” Trafficking Report. Rajastan 2005. Hal 19
http://shaktivahini.org/wp-content/uploads/2012/03/MharastraTAHA.pdf. Diunduh pada 18
November 2014.
42
dibandingkan dengan daerah perkotaan.55 Daerah yang memiliki anak perempuan
berstatus janda terbanyak di India adalah Bengal Barat yakni 74%.56 Janda-janda
kecil ini biasanya mengalami diskriminasi yang menyebabkan timbulnya rasa
minder dan krisis kepercayaan diri sehingga membatasi ruang lingkup dirinya
sendiri.
Pernikahan semestinya dilakukan atas persetujuan penuh dari kedua
pasangan. Namun kenyataan yang dihadapi dalam pernikahan anak di India,
persetujuan menikah seringkali merupakan paksaan atau tekanan orang tua,
sehingga anak setuju untuk menikah dan seringkali merupakan bentuk bakti dan
hormat pada orang tua. Orang tua beranggapan bahwa menikahkan anak mereka
berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak, namun hal ini justru
menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang, tumbuh sehat, dan
kehilangan kebebasan dalam memilih.57
Berdasarkan berbagai dampak yang ditimbulkan dari pernikahan anak baik
dampak psikologis, kesehatan dan pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya,
maka praktek pernikahan anak seharusnya dihindari dan pemerintah perlu
melakukan tindakan untuk mengendalikan angka pernikahan anak di India.
55 Rohit Parihar, “Wedowed Children in India”, 31 Oktober 2008.
http://indiatoday.intoday.in/story/Widowed+children/1/18934.html. Diakses pada 26Desember
2014 56 Suswati Basu, “India’s City of Widow”. Rabu, 30 Juni 2010.
http://www.theguardian.com/commentisfree/2010/jun/30/india-city-widows-discrimination.
Diakses pada 26 Desember 2014 57 UNPFA, “Child marriage fact sheet”, 2005.
http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm. Diakses pada 29
Juni 2014
43
D. Kebijakan Pemerintah India dalam Menangani kasus Pernikahan Anak
di India
Pemerintah nasional dan masyarakat internasional semakin menyadari
bahwa pernikahan anak telah menjadi tantangan serius, baik sebagai pelanggaran
hak asasi manusia khususnya hak asasi anak dan menghambat perkembangan
masa depan anak. Kebudayaan tradisional India tepatnya pada masa perjuangan
kemerdekaan, tokoh nasional India, Mahatma Gandhi sudah menyerukan
persamaan hak bagi anak perempuan, bahwa tugas pertama pasca kemerdekaan
India adalah untuk menyusun konstitusi kepada masyarakat, tanpa ada perbedaan
atas dasar jenis kelamin. Seruan ini menjadi dasar bagi pemerintah India dalam
menangani kasus pernikahan anak, dimana memperhatikan juga mengenai
persamaan hak tanpa melihat jenis kelamin.58
Pemerintah India berusaha menangani kasus pernikahan anak dengan
berbagai cara. Secara Nasional Pemerintah India memiliki kebijakan dalam
menangani kasus pernikahan anak di India. Ada beberapa cara yang telah
digunakan oleh pemerintah untuk memberdayakan perempuan, mendorong anak-
anak india untuk lanjut sekolah, dan merubah mindset masyarakat India.59 Adapun
kebijakan nasional yang dilakukan oleh pemerintah India diantaranya, (Lihat
Tabel II.C.1)
58 UNICEF India, “End Child Marriage: Change Perceptions and Beliefs”, 2013. New Delhi, hal:
11. http://unicef.org.np/media-centre/press-releases/2014/08/11/india-commits-to-end-child-
marriage. Diakses pada 29 Juni 2014 59 UNICEF India, “End Child Marriage: Change Perceptions and Beliefs”, 2013. New Delhi, hal:
11. http://unicef.org.np/media-centre/press-releases/2014/08/11/india-commits-to-end-child-
marriage. Diakses pada 29 Juni 2014
44
Tabel. II.C.1. Kebijakan Nasional India dalam menangani kasus pernikahan anak di India
Kebijakan Nasional Ketentuan yang berkaitan tentang
pernikahan anak.
Bal Vivah Virodh Abhiyan Membuat aksi larangan program
pernikahan anak
The Compulsory Registration of
Marriages Act
Mewajibkan kepada seluruh warga
negara India untuk mendaftarkan
pernikahannya.
The Prohibition of Child Marriage Act,
2006
Ketentuan usia pernikahan di India
yakni perempuan 18 tahun dan laki-laki
21 tahun.
Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya
(KGBV)
Setiap anak di India berhak
mendapatkan pendidikan.
Dhanalakshmi Dana tunai yang digunakan untuk
asuransi anak di India
Child Protection Scheme (ICPS)
Memberikan perawatan dan
perlindungan terhadap peningkatan
kesejahteraan anak-anak dalam keadaan
sulit
Sarva Shiksa Abhiyan ( SSA ) Memberikan pendidikan dasar yang
dkhususkan untuk anak berusia 6-14
tahun.
Membantu menangani ketidaksetaraan
gender dan kesenjangan sosial terhadap
anak-anak.
Rajiv Gandhi Scheme for Empowerment
of Adolescent Girls-SABLA
Memberikan informasi mengenai nutrisi
dan kesehatan reproduksi.
Jika dilihat pada tabel diatas, pada tahun 2005, the National Commission
for Women (NCW) atau Komisi Perempuan Nasional India mengeluarkan Bal
Vivah Virodh Abhiyan atau larangan program pernikahan anak. Program ini
merupakan program kesadaran nasional india yang berfungsi untuk meningkatkan
kesadaran akan tingkat dan dampak dari pernikahan anak di India. program ini
difokuskan untuk daerah-daerah yang memiliki kasus pernikahan anak yang
45
cukup tinggi seperti; Rajasthan, Bihar, Chhattisgarh, Madhya Pradesh, Jharkhand,
dan Uttar Pradesh. Komisi perempuan India telah menerbitkan sebuah iklan di
media nasional untuk membangkitkan kesadaran didaerah-daerah yang
difokuskan. Progam ini juga dipercaya dapat membantu meningkatkan derajat
anak perempuan di India dan secara tidak langsung dapat meningkatkan target
usia pernikahan.60
Ditahun 2006, Mahkamah Agung di India memutuskan kepada seluruh
warga negara India untuk wajib melakukan pendaftaran bagi semua pernikahan.
Selain itu pemerintah India membuat The Compulsory Registration of Marriages
Act atau program aksi wajib daftar nikah. Dalam hal ini menyatakan bahwa setiap
warga negara India wajib mendaftarkan pernikahannya selambat-lambatnya dalam
waktu sepuluh hari sebelum hari pernikahan.61
Pernikahan tidak akan diakui secara resmi kecuali pasangan tersebut
memiliki sertifikat yang diperoleh setelah mendaftarkan ke pihak yang berwenang
dan pasangan yang telah mendaftarkan pernikahannya telah dipastikan bahwa
mereka telah cukup usia untuk menikah. Dalam proses pendaftaran pernikahan,
pemerintah juga melakukan pengecekan usia pada tiap pasangan, sehingga
pemerintah mengetahui dan dapat mencegah terjadinya praktek pernikahan anak
di India.62
60 Kumari, Ranjana. Dr, “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis in Three
States”, hal: 18-19. http://www.unodc.org/pdf/india/training_manual_police1.pdf. Diakses pada 28
Juni 2014 61 ibid 62 HAQ: Centre for Child Rights, ”Child Marriage in India: Achievements, Gaps and Challenges”,
New Delhi, India.
46
Pemerintah di Madhya Pradesh, Uttar Pradesh, Haryana dan Bihar dimana
pernikahan anak cukup besar terjadi di daerah tersebut masih belum mengambil
inisiatif untuk mewajibkan masyarakatnya dalam melakukan registrasi atau
mendaftarkan pernikahan, hal ini dikarenakan adanya kesenjangan undang-
undang antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah tersebut.63 Dengan
adanya program the Compulsory Registration of Marriages Act ini maka
pemerintah pusat sudah mewajibkan bagi semua warga negara India untuk
meregistrasikan atau mendaftarkan pernikahanan mereka dengan tujuan untuk
mengetahui struktur sosial dan kondisi lokal serta mencegah terjadinya
pernikahan anak di berbagai daerah di India.64
Ditahun yang sama, pemerintah India juga membuat The Prohibition of
Child Marriage Act, 2006 (PCMA, 2006) atau Aksi Larangan bagi pernikahan
anak di India. The Prohibition of Child Marriage Act, 2006 (PCMA, 2006) ini
deklarasikan pada 10 Januari 2007 dan mulai berlaku pada tanggal 1 november
2007. Program ini dibuat untuk mengatasi pernikahan anak di India yang semakin
marak.65
Sebelum dibuatnya The Prohibition of Child Marriage Act, 2006 (PCMA,
2006), pemerintah India sudah membuat The Child Marriage (Restraint) Act,
http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/haqcentreforchildrights1
.pdf. Diakses pada 01 Juli 204 63 Kumari, Ranjana. Dr, “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis in Three
States”, hal: 17-18. http://www.khubmarriage18.org/sites/default/files/55.pdf. Diunduh pada 02
Juli 2014 64 Ibid 65 Ministry of Women and Child Development. ” Handbook on The Prohibition of Child Marriage
Act, 2006” New Delhi: 2007. http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_handbook.pdf. Diakses
pada 2 Juli 2014
47
1929 dan The Prevention of Child Marriage Act, 2004. Kedua program tersebut
memiliki kesamaan pada tujuan yakni sama-sama bertujuan untuk melawan kasus
pernikahan anak di India hanya saja diperbaharui dan dibuat sesuai dengan
perkembangan kasus pernikahan anak disetiap tahunnya.66 The Prohibition of
Child Marriage Act, 2006 (PCMA, 2006) membuat beberapa undang-undang
yang diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: pencegahan, perlindungan dan
tuntutan bagi yang melanggar. Setelah diberlakukannya Child Marriage
Prohibition Act 2006 dan dibuatnya Child Marriage Officer, Pemerintah India dan
seluruh daerah di India wajib mengikuti dan mentaati peraturan yang ada, selain
itu Child Marriage Prohibition Act ini juga berlaku untuk semua warga India
terlepas dari agama dan diluar ikatan India, akan tetapi tidak berlaku untuk daerah
bagian Jammu dan Kashmir. Dalam penyelesaian kasus pernikahan anak terdapat
masalah dalam sulitnya penegakan hukum terhadap para pelanggar, hal ini
terbukti dengan ditahun 2010 terdapat 111 kasus dilaporkan pada PCMA dan
hanya 11 kasus yang dilanjutkan ke jalur hukum, (National Bureau Crime
Records).67
Pemerintah India telah mengambil langkah hukum yang positif dan
progresif untuk mencegah terjadinya perkawinan anak ini. Hukum pertama India
ialah menetapkan batas usia minimum untuk menikah yang dibuat oleh Child
Marriage Restraint Act dan telah diberlakukan sejak tahun 1929. Kemudian Child
66 Kumari, Ranjana. Dr. “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis in Three
States”. Hal: 16-17. http://www.khubmarriage18.org/sites/default/files/55.pdf. Diunduh pada 02
Juni 2014 67 Ministry of Women and Child Development, ” Handbook on The Prohibition of Child Marriage
Act, 2006”, New DelhI, 2007. . http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_handbook.pdf.
Diakses pada 02 Juli 2014
48
Marriage Prohibition Officers membuat sebuah undang-undang baru yang
disahkan pada bulan Desember 2006, yang melarang pernikahan anak dan
menetapkan usia sah untuk menikah pada 18 tahun untuk anak perempuan dan 21
tahun untuk anak laki-laki. Undang-undang baru tersebut mengamanatkan
langkah-langkah hukuman terhadap semua yang melakukan, mengizinkan ataupun
memperkenalkan pernikahan anak. Langkah-langkah ini termasuk hukuman
minimal dua tahun penjara dan denda hingga INR 100.000.68
Ditahun 2007, pemerintah India membuat Kasturba Gandhi Balika
Vidyalaya (KGBV). Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV) merupakan
komponen dari Department of Elementary Education Sarva Shiksha Abhiyan
(SSA), National Programme for Education of Girls at Elementary in India yang
mendirikan sekolah dasar dikomplek perumahan yang ditujukan anak perempuan
yang berusia 11-14 tahun hingga usia lanjut ataupun perempuan yang telah
berhenti dari pendidikannya dengan berbagai alasan. Kasturba Gandhi Balika
Vidyalaya (KGBV) ini dibuat untuk membantu mencegah pernikahan anak
melalui sistem pendidikan, tidak hanya itu dengan adanya Kasturba Gandhi
Balika Vidyalaya (KGBV) ini menyadari setiap anak berhak untuk mendapatkan
pendidikan.69
68 Ministry of Law and Justice, ”The Prohibition of Child Marriage Act, 2006”, New Delhi, 10
Januari 2007. http://wcd.nic.in/cma2006.pdf. Diakses pada 03 Juli 2014
69 Rawat, Sangeeta, ” Status and Functioning of Kasturba Gandhi Balika Vidyalayas
Uttarakhand”, Visual Soft Research Development, Vol.2, hal: 574-576.
http://www.vsrdjournals.com/vsrd/Issue/2011_11_Nov/Web/3_Sangeeta_Rawat_413_Research_C
ommunication_Nov_2011.pdf. Diakses pada 03 Juli 2014
49
Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV) ini telah dibuat pada tahun
2004, tetapi baru diresmikan oleh pemerintah India pada tanggal 01 April 2007.
Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV) telah dilaksanakan di 24 daerah di
India yakni: Assam, Andhra Pradesh, Arunachal Pradesh, Bihar, Jharkhand,
Gujarat, Haryana, Himachal Pradesh, Karnataka, Jammu dan Kashmir, Madhya
Pradesh, Chattisgarh, Manipur, Maharashtra, Meghalaya, Mizoram, Orissa,
Punjab, Rajasthan, Tamil Nadu, Tripura, Uttar Pradesh, Uttarakhand dan Bengal
Barat, Dadar dan Nagar Haveli. Terdapat 2180 KGBV yang disahkan oleh
Pemerintah India sampai dengan bulan Maret 2007.70
Pada Maret 2009, pemerintah India melalui Kementerian Perempuan dan
Anak atau The Ministry of Women and Child Development mengeluarkan
Dhanalakshmi atau dana tunai yang digunakan untuk asuransi anak perempuan di
India. Cara ini dibuat untuk mendorong setiap keluarga khususnya yang memiliki
anak perempuan agar mendaftarkan kelahiran anak mereka, menjaga kondisi
kesehatan dengan cara membawa anak perempuan mereka untuk melakukan
imunisasi, dan mempertahankan pendidikan anak mereka sampai kelas VIII.
Selain itu Dhanalakshmi ini juga memberikan perlindungan asuransi untuk anak
perempuan mereka yang belum menikah ketika usia mereka diatas 18 tahun.
Dhanalakshmi ini juga dipercaya mampu mengubah pola pikir perempuan (ibu)
dan anak dengan memanfaatkan dana yang ada untuk kesejahteraan anaknya.
70 Ibid, hal: 574-576
50
Sehingga, transfer tunai atau asuransi ini dibuat untuk menjaga kesejahteraan anak
perempuan di India.71
Selama tahun 2009 hingga 2010, Kementerian Perempuan dan Anak India
atau The Ministry of Women and Child Development telah mengeluarkan program
Perlindungan Anak Terpadu atau Integrated Child Protection Scheme (ICPS)
dengan maksud untuk menciptakan lingkungan yang aman di negara India dengan
cara memberikan perawatan dan perlindungan terhadap anak-anak berusia 0-18
tahun, baik anak-anak yang berada dalam konflik, anak-anak dari keluarga
migran, anak-anak dari tahanan, anak-anak perempuan dalam prostitusi, pekerja
anak, anak-anak yang hidup di jalanan, anak-anak korban pernikahan, maupun
diperdagangkan atau anak-anak korban kejahatan seksual.72
Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan kontribusi terhadap
peningkatan kesejahteraan anak-anak dalam keadaan sulit, serta mengurangi
kerentanan terhadap situasi dan tindakan yang mengarah pada penyalahgunaan,
penelantaran, eksploitasi, dan pemisahan anak. Program ini dicapai melalui:
Peningkatan akses dan kualitas layanan perlindungan anak, meningkatkan
kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak, penanganan dan tanggung jawab
yang jelas bagi perlindungan anak, struktur pemerintahan yang telah didirikan
berfungsi untuk memberikan pelayanan hukum dan dukungan kepada anak-anak
71 Ministry of Women and Child Development, “Child Protection and Welfare“, New Delhi,
Annual Report: 2009-2010, Chapter 4, hal: 49-50.
http://wcd.nic.in/publication/AR201213_english.pdf. Diakses pada 5 Juli 2014 72 Ibid, hal: 45-46
51
yang berada dalam kesulitan, mendirikan sebuah sistem pemantauan berdasarkan
pada bukti dan hasil evaluasi.73
Sarva Shiksa Abhiyan ( SSA ) atau program pendidikan untuk semua ini
dibuat pada tahun 2010 oleh pemerintah India dalam mencapai Universal
Elementary Education (UEE) di India. Program ini juga merupakan program
unggulan pemerintah yang bertujuan memberikan pendidikan dasar yang
berkualitas dengan fokus yang dikhususkan pada pendidikan anak perempuan
berusia 6-14 tahun dan membantu memperkuat infrastruktur sekolah. Tidak hanya
itu SSA ini juga membantu menangani ketidaksetaraan gender dan kesenjangan
sosial terhadap anak-anak dan memastikan adanya perbedaan yang signifikan
terhadap tingkat pendidikan sang anak.74
Pada tahun 2011-2012 pemerintah India melalui Ministry Women and
Child Development membuat suatu progam Rajiv Gandhi Scheme for
Empowerment of Adolescent Girls-SABLA. Rajiv Gandhi Scheme for
Empowerment of Adolescent Girls-SABLA merupakan suatu program yang
mempromosikan pemberdayaan perempuan, nutrisi yang lebih baik dan kebiasaan
yang sehat melalui informasi kesehatan reproduksi, pendidikan dan keterampilan
hidup di kalangan remaja perempuan. SABLA ini sedang dilakukan di daerah
Odisha dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan anak
perempuan dalam kelompok usia 11-18 tahun dan memberdayakan mereka
dengan memberikan pendidikan keterampilan hidup, kesehatan dan pendidikan
73 Ibid, hal: 45-46 74 Aide Memoire, “SARVA SHIKSHA ABHIYAN: Tenth Joint Review Mission”, July 2009, hal: 5.
http://www.indabook.org/d/Introduction-SARVA.pdf. Diakses pada 5 Juli 2014
52
gizi dan lain sebagainya. Program ini difokuskan untuk anak-anak perempuan
yang telah berhenti sekolah.75 Selain itu, pemerintah India juga memiliki tanggung
jawab utama untuk memastikan bahwa semua kebutuhan anak-anak terpenuhi dan
melindungi hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi anak sepenuhnya.
Pada level internasional, India juga ikut serta dan menandatangani
beberapa kebijakan Internasional mengenai hak asasi manusia khususnya hak
asasi anak sesuai dengan peraturan pemerintah India. kebijakan tersebut
diantaranya; International Covenant on Civil and Political Rights, International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Convention on the
Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW),
Convention on the Rights of the Child (CRC). (Lihat tabel).76
Tabel II.C.2. Kebijakan Internasional yang diratifikasi oleh India dalam menangani kasus
pernikahan anak di India
Kebijakan Internasional
Ketentuan yang berkaitan dengan
pernikahan anak dan perlindungan
anak.
International Covenant on Civil and
Political Rights
Artikel 10:
Pernikahan hendaknya disetujui oleh
pihak laki-laki dan pihak perempuan.
International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights (ICESCR)
Artikel 23:
Laki-laki dan Perempuan memiliki
batasan usia untuk menikah dan
membentuk sebuah keluarga.
75 Ministry Of Women and Child Development, “Implementation Guidelines: Rajiv Gandhi
Scheme for Empowerment of Adolescent Girls- SABALA”, 14 Desember 2010, hal: 8-11.
http://wcd.nic.in/schemes/SABLA-guidelines141210.pdf. Diakses pada 5 Juli 2014 76 UNICEF, “Child Marriage and the Law: Legislative Reform Initiative”, Paper Series. 2007.
http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law%281%29.pdf Diakses
pada 09 Juli 2014
53
Pernikahan tidak akan terjadi jika tidak
ada persetujuan dari kedua belah pihak.
Tiap negara mengadakan perjanjian
untuk mengambil langkah yang tepat
dalam menjamin kesetaraan hak dan
tanggung jawab dari pasangan
pernikahan, termasuk ketentuan
perlindungan untuk anak korban
pernikahan apabila terjadi perceraian.
Convention on the Elimination of all
Forms of Discrimination against Women
(CEDAW)
Artikel 18 (2):
Tiap negara harus mengambil langkah
yang tepat untuk menghapus dikriminasi
terhadap perempuan dalam segala hal
yang berhubungan dengan pernikahan
dan hubungan keluarga dan khususnya
harus memastikan adanya kesetaraan
gender.
Pertunangan dan pernikahan seorang
anak tidak memiliki kekuatan hukum,
dengan demikian perlu ditetapkan
ketentuan mengenai usia pernikahan dan
registrasi pernikahan yang resmi.
Convention on the Rights of the Child
(CRC)
Pernikahan anak tidak dianggap secara
langsung oleh CRC, hal ini memberikan
kesempatan pada anak untuk
mengekspresikan pandangan mereka
secara bebas, melindungi anak dari
pelecehan dan praktek-praktek
tradisional yang berbahaya.
Pemerintah India juga telah menjadi bagian dalam Millennium
Development Goals (MDGs) yakni komitmen untuk memenuhi hak-hak anak
untuk kelangsungan hidup, kesehatan, mendapatkan pendidikan, dan mendapatkan
perlindungan yang dideklarasikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Milenium oleh
189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan
September 2000.77 Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut
77 UNDP, The United Nations Development Programme, “Concern Worldwide and the Millennium
Development Goals: Working to keep the promise”, September 2010.
54
berkomitment untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program
pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-
isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan, MDGs
memiliki delapan sasaran diantaranya: Memberantas kemiskinan dan kelaparan,
mewujudkan pendidikan dasar bagi semua, mendorong kesetaraan gender dan
pemberdayaan perempuan, mengurangi angka kematian anak, meningkatkan
kesehatan Ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, menjamin
kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mengembankan kemitraan global untuk
pembangunan.78
Dengan berbagai kebijakan nasional maupun internasional yang dilakukan
pemerintah India dalam menangani kasus pernikahan anak, Pemerintah India juga
menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti: LSM, donor, petugas
keamanan, Gram Panchayat dan organisasi Internasional yakni UNICEF (United
Nations Children’s Fund) India untuk mengatasi segala sesuatu yang melanggar
Hak Asasi Anak khususnya mengatasi kasus pernikahan anak di India.79
http://www.un.org/en/mdg/summit2010/pdf/ZeroDraftOutcomeDocument_31May2010rev2.pdf.
Diakses pada 09 Juli 2014 78 ibid 79UNICEF (2007), Child National Report on “A World Fit for Children”. 29 September 2013.
http://www.unicef.org/worldfitforchildren/files/India_WFFC5_Report.pdf, diakses pada 09 Juli
2014
55
BAB III
PERAN DAN TANTANGAN UNICEF DALAM MENANGANI
KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA (2010-2012)
A. Tinjauan Umum United Nations Children’s Fund (UNICEF)
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Children’s
Fund (UNICEF) pada tahun 1946, setelah Perang Dunia II dalam rangka
menyediakan kebutuhan seperti makanan dan pakaian untuk anak-anak di Eropa.
Seiring berjalannya waktu, di tahun 1953 UNICEF menjadi bentuk badan tetap
dari PBB. Enam tahun kemudian, sidang umum PBB mengeluarkan Deklarasi
Hak Anak dan menetapkan perluasan bidang UNICEF untuk mengidentifikasi hak
anak meliputi kebutuhan anak seperti kesehatan dan gizi anak, pendidikan anak,
dan perlindungan anak. Pada bulan Desember 1950, majelis Umum PBB
memberikan mandat kepada UNICEF untuk membantu anak-anak yang hidup
dalam kekurangan, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang hingga
akhirnya, pada bulan Oktober 1953, Majelis Umum PBB memutuskan bahwa
UNICEF ditetapkan menjadi suatu badan permanen dalam PBB yang menangani
masalah anak. UNICEF kemudian lebih dikenal sebagai United Nations
Children’s Fund.1
UNICEF tersebar di lebih dari 190 negara dan wilayah melalui program-
program negara dan Komite Nasional berdasarkan perjanjian atau kerjasama
1 Margaret wachenfeld, “brief history of children’srights and the role of UNICEF”, hal 11.
http://www.unicef.org/rightsite/files/standupfinal.pdf. Diakses pada 15 Juli 2014
56
dengan pemerintah negara setempat, salah satu negaranya ialah India.2 Salah satu
dari 6 kantor regional UNICEF yang mengkoordinasikan dukungan khusus untuk
program-programnya berada di New Delhi.
UNICEF menginginkan perencanaan program-program di suatu negara
atau country programming dan kemudian memberikan pendekatan pelayanan oleh
dan untuk masyarakat.3 UNICEF memiliki komitmen untuk menjamin
perlindungan anak yang kurang beruntung, seperti korban perang, bencana alam,
kemiskinan dan semua bentuk pelanggaran terhadap anak. Pemberian nobel
kepada UNICEF pada tahun 1965 merupakan salah satu bukti tindakan langsung
dari dunia internasional terhadap kepedulian dan pengakuan bahwa kesejahteraan
anak tidak dapat dipisahkan dari perdamaian dunia itu sendiri.4
UNICEF dibangun dengan tujuan untuk merawat anak-anak di seluruh
dunia dan menyelesaikan masalah-masalah pada anak serta membantu anak-anak
dan kaum perempuan diseluruh dunia yang membutuhkan pertolongan dalam
krisis kemanusiaan. Sebagai salah satu organisasi internasional yang secara
khusus memberikan perhatian terhadap anak-anak dan untuk menyediakan
kebutuhan hidup bagi jutaan anak-anak yang lahir dalam kemiskinan di daerah
termiskin di negara berkembang, UNICEF berjuang untuk perdamaian dan
keamanan khususnya pada anak. UNICEF melibatkan semua orang dalam
menciptakan lingkungan yang aman untuk anak-anak. UNICEF dibuat untuk
2 Ibid 3 Rudy, T. May, “Administrasi dan Organisasi Internasional”, Refika Aditama, Bandung, 2005.
H: 48 4 Ibid
57
meringankan penderitaan pada anak dalam keadaan darurat dan dimanapun anak
terancam.5
UNICEF ingin memberikan yang terbaik dalam kehidupan setiap anak,
memperhatikan pendidikan anak, memastikan bahwa semua anak di imunisasi
terhadap penyakit anak yang umum dan bergizi baik, mencegah penyebaran
HIV/AIDS di kalangan muda, melibatkan semua orang dalam menciptakan
lingkungan protektif bagi anak-anak, mencapai kesetaraan bagi mereka yang di
diskriminasi, pada anak perempuan dan wanita khususnya.6
UNICEF memiliki sejumlah fungsi antara lain sebagai penyediaan
infrastruktur pendidikan dasar untuk dunia, meningkatkan tingkat kehidupan anak
di negara berkembang, kesetaraan gender melalui pendidikan bagi anak
perempuan, perlindungan anak-anak dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan,
melindungi dan advokasi hak anak, imunisasi bayi dari berbagai penyakit,
penyediaan gizi yang memadai dan air minum yang aman untuk anak-anak.
Pengembangan analisis situasi anak dan wanita adalah fungsi sentral dari mandat
UNICEF. Ini adalah output program yang sangat mendukung upaya nasional dan
lembaga ini adalah bagian dari upaya menyeluruh PBB untuk mendukung
kapasitas nasional untuk mempromosikan pembangunan manusia dan memenuhi
hak asasi warga negara.7
5 UNICEF. “What We do”. http://www.unicef.org/about/. Diakses pada 15 Juli 2014 6 Margaret wachenfeld, “brief history of children’srights and the role of UNICEF”, hal 11.
http://www.unicef.org/rightsite/files/standupfinal.pdf. Diakses pada 15 Juli 2014 7 UNICEF. “Child Protection” http://www.unicef.org/protection/. Diakses pada 15 Juli 2014
58
Melihat fungsi-fungsi tersebut, terlihat bahwa UNICEF sangat perduli
dengan anak-anak. UNICEF mengamati situasi anak-anak dari tiap negara dan
menyimpulkan bahwa kesejahteraan anak-anak di negara berkembang sangat
berbeda dengan kesejahteraan anak-anak di negara maju. Hal tersebut selalu
berkaitan baik dengan sistem pemerintahan dan sistem perekonomian negara
bersangkutan. Oleh karena itu, kesejahteraan anak-anak di negara berkembang
lebih mendapatkan perhatian khusus oleh UNICEF, maka UNICEF mengadakan
kerjasama dengan berbagai pihak untuk mendapatkan keseimbangan dalam
menangani masalah seputar anak.8
Peranan UNICEF untuk mengadvokasi hak-hak anak diseluruh dunia,
berkontribusi atas kesejahteraan dan perlindungan anak melalui program kerjanya
dan juga memberikan bantuan kesehatan, pendidikan bagi anak diseluruh dunia.
Program-program kerja yang dimiliki oleh UNICEF yaitu program perlindungan
anak dan inklusi sosial, program kelangsungan hidup anak, program pendidikan,
program dalam keadaan darurat dan aksi kemanusiaan. (lihat tabel III.A.1).9
Dalam menangani kasus pernikahan anak, UNICEF memasukan kasus
tersebut kedalam program perlindungan anak, sehingga program perlindungan
anak merupakan salah satu program yang menjadi perhatian UNICEF dan dalam
menjalankan program perlindungan anak ini UNICEF banyak aktif diberbagai
negara salah satunya India.
8 Margaret wachenfeld, “brief history of children’srights and the role of UNICEF”, hal 11.
http://www.unicef.org/rightsite/files/standupfinal.pdf. Diakses pada 15 Juli 2014 9 UNICEF. “What We do”. http://www.unicef.org/whatwedo/. Diakses pada 15 Juli 2014
59
TABEL. III.A.1. Program UNICEF tahun 2006-2013
Sumber: http://www.unicef.org/whatwedo/
Dalam melakukan program kerja tentu dibutuhkan anggaran yang tidak
sedikit. Mengenai pendanaan, UNICEF didanai oleh kontribusi sukarela, dimana
mayoritas berasal dari pemerintah, namun UNICEF juga menerima bantuan dana
yang cukup besar dari sektor swasta serta dari masyarakat yang mendukung
melalui Komite Nasional untuk UNICEF melalui sumbangan baik berupa materi
(dana) maupun non materi yang mendukung program-program kerja UNICEF.10
Berdasarkan tujuan, fungsi dan program diatas, UNICEF memiliki
kebijakan yaitu selalu bekerjasama dengan pemerintah di setiap negara atau pihak
lain dan mewujudkan program kerjanya. Kinerja yang dilakukan oleh UNICEF
merupakan hasil dari kemitraan atau kerjasama dengan pihak-pihak yang
10UNICEF. “United for Children”, 2013. http://www.unicef.org/partners/. Diakses pada 16 Juli
2014
Program
Perlindungan
anak dan inklusi
sosial
Program
kelangsungan
hidup anak
Program
Pendidikan
Program dalam
keadaan Darurat
dan aksi
kemanusiaan
Perkembangan
remaja
Pengembangan
anak usia dini
Pendidikan dasar
dan kesetaraan
gender
UNICEF dalam
keadaan darurat
Perlindungan
anak
Kesehatan Pendidikan anak
perempuan
Anak-anak
penyandang cacat
HIV/AIDS Inovasi untuk
pendidikan
Pemberantasan
kekerasan
terhadap anak
Imunisasi Belajar untuk
perdamaian dari
inisiatif sekolah
Inklusi inisiatif
sosial
Nutrisi
Air, sanitasi dan
hygiene
60
memiliki tujuan yang sama dengan UNICEF untuk membangun masa depan anak
di dunia menjadi lebih baik.
B. Peran UNICEF di India
UNICEF telah bekerja di India sejak tahun 1949. UNICEF berkomitmen
untuk bekerja sama dengan Pemerintah India untuk memastikan bahwa setiap
anak yang lahir mendapatkan awal yang terbaik dalam hidup, berkembang dan
mengembangkan potensi sepenuhnya.11 UNICEF India memiliki 15 kantor
pembantu yang berpusat di New Delhi dan 14 kantor UNICEF India lainnya
terletak di daerah Assam, Andhra Pradesh, Bihar, Chhattisgarh, Gujarat,
Jharkhand, Karnataka, Madhya Pradesh, Maharashtra, Orissa, Rajasthan, Tamil
Nadu, Uttar Pradesh, West Bengal.12 UNICEF melihat bahwa kasus pernikahan
anak di India merupakan kasus yang telah menjadi budaya dan harus ditangani
karena melanggar hak anak di India.13 UNICEF India bekerjasama dengan
pemerintah India untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di India dan
membantu anak-anak dalam mengatasi masalah yang terjadi pada anak, salah
satunya adalah masalah pernikahan pada anak. Kegiatan UNICEF India dilakukan
bersama dengan pemerintah negara yang bersangkutan, melaksanakan dan
bertanggung jawab atas program secara langsung ataupun melalui organisasi-
11 UNICEF India. “About Us: UNICEF in India” http://www.unicef.org/india/overview.html.
Diakses pada 16 Juli 2014 12 Ibid 13 UNICEF India, “Child Marriage: Fact Sheet”, November 2011. Hal 2.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. Diakses pada 17 Juli
61
organisasi yang ditugaskan pemerintah. Dukungan yang sangat besar di berikan
kepada program-program yang menangani permasalahan anak-anak di India.14
UNICEF India menggunakan pengetahuan di tingkat masyarakat untuk
mengembangkan intervensi yang inovatif untuk memastikan bahwa perempuan
dan anak-anak dapat mengakses layanan dasar seperti air bersih, kunjungan
kesehatan dan fasilitas pendidikan, dan layanan yang berkualitas tinggi lainnya.
UNICEF India menjangkau langsung ke keluarga untuk membantu mereka dalam
memahami apa yang harus mereka lakukan untuk memastikan perkembangan
anak-anak disetiap keluarga. Dalam melakukan programnya, UNICEF India tahu
bahwa kunci untuk mengatasi masalah anak di India harus didukung dengan
bantuan dari LSM, kelompok perempuan dan para donor yang ada. Secara umum
program-program UNICEF di India meliputi:
1. Kesehatan,
2. Gizi,
3. Air, lingkungan dan sanitasi,
4. HIV/AIDS,
5. Pendidikan,
6. Perlindungan anak.15
Program perlindungan anak atau child protection di India adalah suatu
program yang berfokus pada pekerja anak, perdagangan anak, pernikahan anak
14 UNICEF India, “Understanding the Perceptions of UNICEF Partners in India: Findings of a
Study”, India, Maret 2011. http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf.
diakses pada 17 Juli 2014 15 UNICEF India, “Our Work: UNICEF’s India Program”
http://www.unicef.org/india/activities.html. Diakses pada 17 Juli 2014
62
dan anak-anak dalam keadaan sulit lainnya. Di India, program ini dilaksanakan
dengan melakukan pendekatan baik secara sosial, fisik, mental, dan spiritual
sehingga anak-anak mendapatkan perhatian yang dibutuhkan, selain itu program
ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap perlindungan anak dan hak-
hak anak. Strategi yang dilakukan oleh program ini meliputi: Promosi pendidikan,
sebagai tindakan pencegahan dan komponen penting untuk rehabilitasi anak-anak,
mengatasi faktor yang berkaitan dengan kemiskinan melalui promosi self-help-
group, dan mobilisasi sosial untuk menangani kasus pernikahan anak.16
Pada Tahun 2008-2012, UNICEF ikut berpartisispasi dalam Eleventh Five
Years Plan yakni rencana kerja 5 tahun yang dibuat oleh pemerintah India,
dengan cara membuat beberapa program dan ikut serta dalam program
perlindungan anak yang telah dibuat oleh pemerintah India. Partisipasi UNICEF
ini untuk memastikan berjalannya program perlindungan hak anak dan perempuan
dalam rencana kerja 5 tahun tersebut. Rencana kerja tersebut meliputi:
1. Pengendalian dan Pemerataan pertumbuhan penduduk.
2. Pelayanan sektor sosial.
3. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan pengembangan
keterampilan.
4. Mengurangi ketidaksetaraan gender.
5. Melestarikan lingkungan.
16 UNICEF India, “Child Protection” http://www.unicef.org/india/child_protection.html Diakses
pada 17 Juli 2014
63
6. Meningkatkan sektor pertanian, industri dan jasa17
Pernikahan anak di India sudah menjadi salah satu fokus UNICEF, dalam
menangani masalah pada anak khususnya kasus pernikahan anak di India ini,
pemerintah India dan UNICEF melalui Eleventh Five Years Plan memfokuskan
kembali rencana kerjanya untuk menangani kasus pernikahan anak di India, yaitu:
1. Pengelompokan usia pada anak, sehingga anak di bawah usia 18
tahun tidak boleh dinikahakan.
2. Setiap penduduk wajib meregistrasikan pernikahannya dan
memverifikasi usia saat mereka menikah.
3. Memperkuat mekanisme pelaksanaan dan implementasi Prohibition
Child Marriage Act, 2006.
4. Memperkenalkan Dhanalaksmi kepada masyarakat desa.18
Tidak hanya rencana kerja Eleventh Five Years Plan, UNICEF dan
pemerintah India juga telah memulai program-program lain dalam menangani
kasus pernikahan anak di India. UNICEF bekerjasama dengan pemerintah India
untuk menyadarkan masyarakat India untuk tidak menikahakan anaknya diusia
dini dan meningkatkan kemampuan masyarakat India khususnya perempuan
dalam menangani kasus pernikahan dini. Disamping itu, UNICEF juga membantu
mengembangkan program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah India
berdasarkan pemahaman yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi dan
17“Eleventh Five Years Plan 2007-2012”, Vol.2, Planning Commssion Government of India,
http://www.unicef.org/india/search, diunduh pada: 12 Juli 2014. 18 Ibid
64
mengatasi norma-norma sosial serta realitas ekonomi yang mempengaruhi kasus
pernikahan anak.
Adapun kerjasama yang dilakukan oleh UNICEF dan Pemerintah India
diantaranya; UNICEF dan pemerintah India melalui kementerian pendidikan di
India bekerjasama untuk meningkatkan akses pendidikan yang lebih berkualitas
dan memastikan bahwa kesenjangan gender dapat dihilangkan dibidang
pendidikan, dengan membuat program the National Programme for Education of
Girls at Elementary Level (NPEGEL school) atau pendidikan nasional pada anak
perempuan di tingkat sekolah dasar (SD), program ini merupakan komponen dan
pengembangan dari program Sarva Shiksa Abhiyan (SSA) yang dibuat oleh
pemerintah India pada tahun 2010.19
Dalam program ini UNICEF menyediakan dukungan tambahan bagi rakyat
miskin atau anak perempuan yang tidak beruntung di sekolah dasarnya disamping
intervensi SSA sendiri. Dukungan tambahan tersebut yakni seperti menyediakan
alat dan sumber daya manusia dalam membangun NPEGEL. UNICEF juga
melatih anak perempuan dalam membuat keputusan dengan cara mempraktekan
apa yang mereka pelajari dalam suatu ilustrasi yang dibuat oleh UNICEF, dan
UNICEF juga sering mengadaknaan dialog khusus mengenai pentingnya
pendidikan dalam kasus pernikahan anak di India. 20
19 UNICEF India, “Briefing Paper Series: Innovations, Lessons and Good Practices. Community
Based Interventions on Child Marriage”, New Delhi, India, 2011, hal: 5.
http://www.unicef.org/india/9.__Child_Marriage_Community-based_Intervention.pdf. Diakses
pada 18 Juli 2014 20 Augustine, Marly. Dasgupta, Malasree. Menon, Sudha, “The National Programme for
Education of Girls at Elementary Level (NPEGEL)”, Best Practices Foundation, India, 2012.
http://www.bestpracticesfoundation.org/pdf/PDF14b2-NPEGEL.pdf. Diakses pada 18 Juli 2014
65
The National Programme for Education of Girls at Elementary Level
(NPEGEL school) ini dirancang untuk mendirikan sekolah-sekolah di perumahan
sekitar pedesaan dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang lebih
rutin dan proses pendaftaran pun lebih mudah terawasi. Selain itu program ini
dibuat dengan tujuan untuk mempermudah akses menuju kesekolah, mengurangi
ketidaksetaraan gender dalam sektor pendidikan, memastikan partisipasi
perempuan dan anak perempuan di bidang pendidikan, meningkatkan kualitas
pendidikan khususnya bagi perempuan dan anak perempuan untuk
memberdayakan kemampuan mereka.21
NPEGEL school ini telah didirikan di daerah-daerah di India seperti;
Assam, Haveli Andhra Pradesh, Arunachal Pradesh, Bihar, Chhattisgarh, Gujarat,
Jharkhand, Haryana, Himachal Pradesh, Karnataka, Jammu & Kashmir, Madhya
Pradesh, Maharashtra, Meghalaya, Mizoram, Orissa, Punjab, Rajasthan, Tamil
Nadu, Tripura, Uttaranchal Meghalaya, West Bengal dan Uttar Pardesh dan pada
tahun 2010-2012, tercatat 38.462 siswa yang tergabung dalam NPEGEL school.22
Selain The National Programme for Education of Girls at Elementary
Level (NPEGEL school), UNICEF bekerjasama dengan pemerintah India melalui
Kementerian Pengembangan Sumber Daya Manusia atau Ministry of Human
Resource Development India untuk mempromosikan hak-hak perempuan dan
memobilisasi masyarakat India khususnya anak perempuan untuk mengubah
norma-norma sosial yang merugikan mereka termasuk distkriminasi,
21 Ibid 22 Ibid
66
ketidaksetaraan gender dan rendahnya nilai anak perempuan dalam lingkungan
sosial dengan membuat suatu program Mahila Samakhya atau sekolah
perumahan. Program tersebut dikhususkan untuk perempuan, baik perempuan
yang telah menikah, perempuan yang putus sekolah atau perempuan yang
dipekerjakan.23
“Mahila” memiliki arti perempuan, “Samakhya” berasal dari bahasa
sansakerta yakni, “Sama” yang berati sama atau setara dan “Akhya” yang berarti
dihargai, dengan demikian Mahila Samakhya ini merupakan program
pemberdayaan perempuan dan pendidikan berbasis gender untuk perempuan
dikelompok marjinal di daerah pedasaan.24 Mahila Samakhya didirikan pada
tahun 2001 dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai pentingnya
pemberdayaan perempuan sebagai prasyarat untuk memfasilitasi anak perempuan
mereka ke bidang pendidikan dan memberikan alternatif untuk mobilisasi
pemberdayaan perempuan serta untuk mengatasi diskriminasi gender
dilingkungan mereka.25
Selain itu visi dan misi Mahila Samakhya ialah meningkatkan harga diri
dan kepercayaan diri perempuan, membangun citra yang positif terhadap
perempuan dengan mengakui kontribusi mereka terhadap masyarakat,
23 Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and Literacy,
“Mahila Samakhya”, New Delhi, 2011.
http://mhrd.gov.in/sites/upload_files/mhrd/files/Engagement_of_Consultants_for_Mahila_Samakh
ya_programme_0.pdf. Diakases pada 19 Juli 2014 24 Nualart, Barberillo, “The Mahila Samakhya Program: Empowering Education For Women’s
Equality in Indian Disadvantaged Communities and Rural Areas”, Communications Papers,
Media Literacy and Gender Studies, 2012. Hal: 7.
http://girona.academia.edu/CommunicationPapers/Volumen-1---N%C3%BAmero-1. Diakses pada
19 Juli 20014 25 Ibid
67
pemerintahan dan ekonomi, mengembangkan kemampuan berpikir kritis,
mendorong pengambilan keputusan dan tindakan melalui proses kolektif,
memungkinkan perempuan untuk membuat pilihan informasi dalam bidang
seperti pendidikan, pekerjaan dan kesehatan (terutama kesehatan reproduksi),
memastikan partisipasi yang sama dalam proses perkembangan, menyediakan
informasi, pengetahuan dan keterampilan untuk kemandirian ekonomi,
meningkatkan kesadaran dan informasi mengenai hukum yang berkaitan dengan
hak-hak anak dan perempuam serta hak mereka dalam masyarakat dengan maksud
untuk meningkatkan partisipasi mereka di semua bidang.26
Mahila Samakhya ini dilaksanakan dibeberapa daerah seperti Andhra
Pradesh, Assam, Bihar, Chattisgarh, Gujarat, Jharkhand, Karnataka, Kerala,
Uttarkhand dan Uttar Pradesh, pada tahun 2009-2011 tercatat 14.582 perempuan
yang telah lulus dari sekolah perumahan ini.27
Selanjutnya ditahun 2010, UNICEF dan pemerintah India melalui
Kementerian Perempuan dan Anak atau Ministry of Women and Child
Development di India bekerja sama untuk menetapkan dan menegakkan undang-
undang yang tepat untuk meningkatkan usia minimum pernikahan untuk anak
perempuan yakni 18 tahun dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang
pernikahan anak sebagai pelanggaran hak asasi manusia khususnya perempuan
dengan membuat buku saku mengenai Prohibition of Child Marriage Act 2006.
26 “Mahila Samakhya”, Conference Delhi, 2004, diakses pada:
http://siteresources.worldbank.org/INTINDIA/Resources/ms.pdf. Diakses pada 12 Juli 2014. 27 Ibid
68
Buku saku ini menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dari Prohibition
of Child Marriage Act 2006 dan tanggung jawab para pemangku pemerintah
seperti petugas Child Marriage Prohibition, polisi, pemerintah daerah, Panchayat
Members dan para guru dalam mengidentifikasi masalah kasus pernikahan anak di
India.28
Buku ini digunakan untuk membahas peluang, tindakan atau aksi dari
pihak lain seperti; pekerja anganwadi, Accredited Social Health Activists
(ASHA), Auxiliary Nurse Midwifes (ANMs), Komite kesejahteraan anak dan
petugas kesejahteraan daerah dalam menangani kasus pernikahan anak di India.29
Buku ini juga digunakan untuk membangun kesadaran Pemerintah dalam
bertanggung jawab untuk menerapkan hukum dalam menangani kasus pernikahan
anak di India. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan implementasi undang-
undang larangan pernikahan anak yakni Prohibition of Child Marriage Act, 2006
pada setiap kebijakan pemerintah dan lingkungan masyarakat untuk menunda usia
pernikahan.
Selain itu, UNICEF juga memberikan dukungan secara teknis kepada
Kementerian perempuan dan anak atau Ministry of Women and Child
Development di India dalam pelaksanaan Integrated Child Protection Scheme
28 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni
2014 29 UNICEF India and Ministry of Woman and Child Development, “Handbook:The Prohibition of
Child Marriage Act, 2006”, New Delhi.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_handbook.pdf. Diakses pada 17 Juli 2014
69
(ICPS) yang memberikan kesempatan baik untuk membangun dan memperkuat
sistem perkembangan anak di India.30
Salah satu dampak dari pernikahan anak di India adalah terjangkitnya
HIV/AIDS. UNICEF bekerja sama dengan pemerintah India dan masyarakat sipil,
khususnya dengan Ministry of Women and Child Development, Kementerian
Tenaga Kerja, pemberdayaan perempuan dan polisi untuk melindungi serta
memelihara hak-hak perempuan dan anak dalam menangani kasus pernikahan
anak dan menghindari penyebaran HIV/AIDS. Menurut UNICEF jika pernikahan
anak dapat dihindari maka secara otomatis HIV/AIDS juga dapat dihindari.31
Dalam menangani HIV/AIDS di India, UNICEF bekerjasama dengan
pemerintah India melalui Kementerian Kesehatan dalam membantu memperluas
dan meningkatkan kualitas program untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari
ibu dan anak-anak dengan berbagai cara seperti menyediakan pasokan obat-
obatan, meningkatkan kapasitas staff untuk membantu mengembangkan
komunikasi, meningkatkan pendekatan dan pantauan kepada masyarakat melalui
seminar dalam membahas mengenai pencegahan dan perawatan HIV/AIDS serta
pendidikan reproduksi bagi wanita. UNICEF juga mendukung upaya untuk
mengurangi diskriminasi terhadap anak-anak atau perempuan yang terjangkit
30 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni
2014 31 Ibid
70
HIV/AIDS dan berkomitmen untuk memastikan pentingnya kesehatan,
kesejahteraan sosial dan layanan pendidikan bagi seluruh masyarakat India.32
Di Bihar, pada Desember 2010, UNICEF dan pemerintah pemerintah India
mengadakan sebuah workshop kerjasama untuk perdamaian khususnya bagi anak
dan perempuan atau “Promotion of interreligious and intercultural dialogue,
understanding and cooperation for peace” dengan para katha vachaks atau
pemimpin agama di India sekaligus meminta bantuan kepada para pemimpin
agama dalam membantu menangani kasus pernikahan anak di India.33 Dalam
kerjasamanya, tidak ada pembuatan program khusus akan tetapi UNICEF
membangun kapasitas katha vachaks atau pemimpin agama dalam membantu
menangani kasus pernikahan anak di India dengan beberapa cara seperti,
menggunakan ajaran dari teks-teks keagamaan yang menekankan perlindungan
anak dalam kebaktian, pendidikan agama atau dalam proses acara keagamaan
yang dibuat dihari libur dan upacara adat serta menafsirkan prinsip-prinsip
perlindungan anak sesuai dengan ajaran agama dan adat mereka sehingga
meningkatkan kesadaran yang lebih besar dari masalah perlindungan anak.34
Kedua, Pemimpin agama juga memanfaatkan media keagamaan, seperti
radio dan televisi jaringan yang dijalankan oleh organisasi keagamaan, untuk
menyebarluaskan pesan tentang pentingnya menangani kasus pernikahan anak
32 UNICEF. “UNICEF Annual Repport for India 2012”. ROSA.
http://www.unicef.org/about/annualreport/files/India_COAR_2012.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014 33 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 20 Juli
2014 34 UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.
http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_Communities_for_Chil
dren_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014
71
atau pelanggaran hak anak lainnya. Selain itu pemimpin agama menentang segala
bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk hukuman fisik, pelecehan seksual
terhadap anak perempuan dan anak laki-laki, dalam komunitas agama dan adat,
kemudian memperjelas bahwa praktek-praktek budaya yang berbahaya bagi anak-
anak, seperti menikahkan anak yang berujung kekerasan dan perdagangan, bukan
bagian dari keyakinan dan praktek keagamaan.35
Pemimpin agama juga mulai mengembangkan dan menerapkan kode etik
mengenai interaksi yang sesuai dengan anak-anak dalam tempat-tempat ibadah,
organisasi adat dan keagamaan, lembaga (termasuk sekolah dan panti asuhan)
pada masyarakat, termasuk mekanisme pelaporan dan respon untuk pelecehan
anak. Selanjutnya, pemimpin agama membantu dalam mempromosikan
pendidikan dan pelatihan bagi keluarga, guru dan orang lain dalam masyarakat
pada penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap anak dengan mengundang
tenaga ahli seperti misalnya guru, dokter, atau pekerja sosial dari komunitas
agama untuk berbicara tentang hak-hak anak, perkembangan anak dan pentingnya
mengasuh secara positif dan disiplin tanpa kekerasan dengan anggota mereka
sendiri selama acara keagamaan.36
Pemimpin Agama juga melakukan kampanye mengenai isu-isu
perlindungan anak pada hari besar agama guna memperkuat sistem hukum dan
monitoring untuk melindungi hak anak. Komunitas-komunitas keagamaan juga
dapat memfasilitasi atau membantu dalam mekanisme pemantauan masyarakat,
35 UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.
http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_Communities_for_Chil
dren_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014 36 Ibid
72
memobilisasi masyarakat untuk mengambil tindakan untuk melindungi anak-anak
dan menilai kebutuhan mereka seperti, memastikan perawatan yang aman berbasis
keluarga bagi anak-anak yang rentan, seperti anak yatim piatu, anak yang pernah
dinikahkan akibat kasta, memberikan dukungan spiritual kepada keluarga yang
sedang kesulitan dan meningkatkan akses pelayanan sosial yang diperlukan
seperti dibuatnya kelas konseling.37
Melalui Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga atau Ministry
of Health and Family Welfare, UNICEF dan Pemerintah India juga menggunakan
media seperti televisi, radio, koran dan teater masyarakat sebagai cara untuk
menginformasikan larangan pernikahan anak. Dalam hal ini tidak ada program
khusus yang dibuat oleh UNICEF dan pemerintah India akan tetapi UNICEF dan
pemerintah India menjadikan media sebagai sarana alternatif dalam memobilisasi
dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. UNICEF telah memiliki 8
televisi siaran dan 6 radio siaran dan lebih dari 10 iklan pada media cetak yang
membahas mengenai kasus pernikahan anak di India. 38
UNICEF bekerjasama dengan pemerintah India untuk
mengimplementasikan Right of Children to Free and Compulsory Education Act,
2010 (RTE) melalu sekolah-sekolah dasar maupun sekolah-sekolah rumah yang
dibentuk dari program UNICEF dan pemerintah. Right of Children to Free and
37 UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.
http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_Communities_for_Chil
dren_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014 38 UNICEF India, “Delaying Marriage for Girls in India: A Formative Research to Design
Interventions for Changing Norms”, New Delhi, March 2011, hal: 62-64.
http://www.icrw.org/files/publications/Delaying-Marriage-for-Girls-in-India-UNICEF-ICRW.pdf.
Diakses pada 24 Juli 2014
73
Compulsory Education Act, 2010 (RTE) berfokus pada penyediaan pendidikan
gratis dan diwajibkan bagi anak-anak diusia 6 hingga 14 tahun. Undang-undang
ini mengharuskan pemerintah untuk memberikan pendidikan dasar secara gratis
dan memastikan kehadiran anak dilingkungan sekolah dan penyelesaian
pendidikan dasar bagi setiap anak dikelompok usia 6 hingga 14 tahun.39
Undang-undang ini telah menetapkan untuk mempekerjakan guru-guru
terlatih dan melarang setiap pengajar untuk menggunaan hukuman fisik atau
pelecehan mental terhadap para siswa. Undang-undang ini juga mengharuskan
seluruh pemerintah daerah untuk memantau penerimaan, kehadiran, dan
penyelesaian pendidikan dasar bagi setiap anak yang berada dalam wilayah
mereka. Pemerintah daerah dan Panchayat members diwajibkan untuk
menyimpan laporan atau catatan masuk hingga sampai berakhirnya pendidikan
dasar bagi semua anak berusia diatas 6 tahun di daerah mereka, di samping
pemantauan untuk menjamin pendidikan yang berkualitas didaerah mereka.
UNICEF lah yang mendukung pemerintah untuk mendapatkan kemitraan baru,
sehingganya teciptanya Right of Children to Free and Compulsory Education Act,
2010 (RTE).40
Selain itu, pada tahun 2010, UNICEF dan pemerintah India melalui
Kementerian pendidikan di Rajasthan melakukan kampanye untuk meningkatkan
kesadaran terhadap pernikahan anak di India dengan memasukan pesan bergambar
di sampul belakang 40.000.000 buku paket atau modul pelajaran sekolah untuk
39 UNICEF. “UNICEF Annual Repport for India 2012”. ROSA.
http://www.unicef.org/about/annualreport/files/India_COAR_2012.pdf. Diakses pada 25 Juli 2014 40 Ibid
74
membantu menginformasikan dan menambah wawasan terhadap kasus
pernikahan anak di India.41
Dilihat dari program kerjasama yang dilakukan oleh UNICEF dan
pemerintah India yang telah dijelaskan diatas, perlu ditinjau kembali bagaimana
efektivitas peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.
C. Efektivitas Peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di
India
Pada kasus ini, keefektifan peran UNICEF dalam menangani kasus
pernikahan anak dapat dilihat dari kemampuan UNICEF dalam mengatasi faktor-
faktor yang menjadi penyebab kasus pernikahan anak di India dan jumlah
penurunan angka pernikahan anak di India.
Pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab dari pernikahan anak di
India. Pendidikan juga merupakan hal terpenting dan wajib dimiliki oleh setiap
anak dan perempuan di India, selain itu pendidikan menjadi sorotan utama
pemerintah India dan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India
hal ini dipertkuat dengan dibuatnya Right of Children to Free and Compulsory
Education Act, 2010 (RTE) oleh pemerintah India dengan dukungan dari
UNICEF. Kurangnya pendidikan akibat terbatasnya fasilitas dan sulitnya akses
menuju sekolah menjadi salah satu kendala yang dihadapi orang tua dalam
41 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011. UNICEF India, “Child Marriage
Fact Sheet”, November 2011.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. Diakses pada 25 Juli
2014
75
menyekolahkan anaknya. Selain itu minimnya pendidikan pada orang tua juga
menyebabkan minimnya pendidikan pada anak mereka.42
Dengan demikian, dalam aspek pendidikan dengan dibuatnya Right of
Children to Free and Compulsory Education Act, 2010 (RTE) dan program
pendidikan Mahila Samakhya dan The National Programme for Education of
Girls at Elementary Level (NPEGEL school) ini dianggap efektif dalam
menangani kasus pernikahan anak di India, hal ini dibuktikan dengan adanya
jumlah peningkatan dari 68 Mahila Samakhya ditahun 2008-2010 menjadi sekitar
97 Mahila Samakhya yang dibangun di 10 daerah di India pada tahun 2011-2012.
Selain itu, tercatat lebih dari 20.000 perempuan dinyatakan lulus dari sekolah
Mahila Samakhya dan 76% melanjutkan kesekolah formal seperti Kasturba
Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV).43
Berdasarkan laporan Joint Review Missions (JRM) India yang dikeluarkan
oleh Ministry of Human Resource Development, Department of School Education
and Literacy, di Karnataka, sekolah Mahila Samakhya telah membantu
perempuan dalam perubahan mindset dan kebiasaan mereka, sehingga setiap
perempuan khususnya orang tua yang memiliki anak perempuan memastikan
bahwa anak perempuan mereka harus mengutamakan pendidikan dibandingkan
42 UNICEF India, “Right to Education (RTE) India”, India, 2012.
http://www.unicef.org/india/education_6144.htm. Diakses pada 26 Juli 2014 43 Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and Literacy,
“Mahila Samakhya”, New Delhi, 2011.
http://mhrd.gov.in/sites/upload_files/mhrd/files/Engagement_of_Consultants_for_Mahila_Samakh
ya_programme_0.pdf. Diakases pada 26 Juli 2014
76
pernikahan diusia dini yang dapat berdampak buruk bagi masa depan anak
perempuan mereka.44
Sedangkan pencapaian program The National Programme for Education
of Girls at Elementary Level (NPEGEL school) sesuai dengan tujuannya yakni
menangani ketidaksetraan gender pada pendidikan di India, NPEGEL school telah
membuktikan keefektifan programnya dari adanya perubahan sikap dan perilaku
yang lebih baik dari setiap anak perempuan yang bersekolah di NPEGEL school,
perubahan sikap dan prilaku tersebut tercermin dari tingkat kepercayaan diri yang
semakin tinggi didukung pula dengan adanya pelatihan pertahanan diri, wisata
pendidikan, bimbingan konseling, perpustakaan keliling dan ujian pencarian
bakat.45
Selain itu, dengan mengikuti sekolah ini anak perempuan lebih memiliki
kesadaran diri terhadap diskriminasi gender, sifat patriarki dan kesadaran akan
hak mendapatkan pendidikan sehingga kesadaran ini telah menyebabkan banyak
perempuan untuk memprotes perlakuan yang tidak adil dan bahkan mereka siap
berdiri menentang praktek-praktek tradisional yang berbahaya, seperti pernikahan
anak, perdagangan anak ataupun pelanggaran anak lainnya.46
Berdasarkan laporan Briefing Paper Series: Innovations, Lessons and
Good Practices. Community Based Interventions on Child Marriage yang
dikeluarkan oleh UNICEF India, di daerah Assam, anak perempuan membentuk
44 Ibid 45 Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and Literacy,
Government of India, “The National Programme for Education of Girls at Elementary Level
(NPEGEL)”, http://ssa.nic.in/girls-education/npegel/brief_NPEGEL_12Mar07.pdf/view, diunduh
Pada: 30 Juli 2014. 46 Ibid
77
Kishori manchas (seperti kelompok anak remaja) untuk berbagi informasi dalam
mengambil tindakan dalam memecahkan masalah mengenai ketidaksetaraan
gender di masyarakat.47
Selain itu mereka juga ikut berpartisipasi pelatihan pertahanan diri dengan
mengikuti olahraga karate atau taekwondo, sehingga mereka telah mengubah
persepsi mereka dari kemampuan mereka sendiri dalam melawan ketidaksetaraan
gender. Mereka menganggap jika mereka dapat belajar karate, mereka akan
memiliki kemampuan yang terlatih dan tingkat keberanian yang lebih tinggi
sehingga anak laki-laki dapat lebih menghormati dan menghargai mereka.48
Program sekolah perumahan seperti The National Programme for
Education of Girls at Elementary Level (NPEGEL school) dan Mahila Samakhya
dibuat untuk membantu mencegah pernikahan anak melalui sistem pendidikan.
Selain itu Right of Children to Free and Compulsory Education Act, 2010 (RTE)
juga telah membantu meningkatkan 85% anak di India mendapatkan pendidikan
khususnya di tingkat dasar.49 UNICEF dan pemerintah India yakin bahwa
program ini dapat membantu meningkatkan kualitas pendidikan di India baik
pendidikan bagi anak maupun orang tua sehingga dapat membantu mengurangi
pernikahan anak di India.50
47 UNICEF, “Briefing Paper Series: Innovations, Lessons and Good Practices. Community Based
Interventions on Child Marriage”, New Delhi, 2011.
http://www.unicef.org/india/9.__Child_Marriage_Community-based_Intervention.pdf. Diakses
pada 30 Juli 2014 48 Ibid 49 UNICEF India, “Right to Education (RTE) India”, India, 2012.
http://www.unicef.org/india/education_6144.htm. Diakses pada 26 Juli 2014 50 Ibid
78
Dalam hal budaya, para pemimpin agama dipercaya memiliki peran
penting dalam masyarakat dalam membentuk nilai-nilai sosial dan
menginformasikan perilaku yang bertanggung jawab, menghormati martabat dan
kesucian dari setiap kehidupan, tidak jarang pemimpin agama menjadi
komunikator yang terampil dan berpengaruh serta dapat mencapai hati dan pikiran
masyarakat karena mereka memiliki lebih banyak akses untuk masuk ke
lingkungan pribadi daripada kebanyakan aktor luar lainnya, pemimpin agama juga
berfungsi memberikan tuntunan rohani sehingga dapat memperbaiki pribadi dan
sosial masyarakat. Para pemimpin agama juga dapat memainkan peran penting
dalam mediasi pada kembalinya anak-anak dengan keluarga atau masyarakat yang
mungkin tidak menerima mereka kembali dengan menawarkan bimbingan rohani,
dengan melakukan ritual keagamaan atau doa, sehingga anak-anak tersebut dapat
mengembalikan martabat mereka. Terutama untuk anak perempuan yang rentan
menjadi korban diskriminasi.51
UNICEF dan pemerintah India mengakui bahwa berkolaborasi dengan
para pemimpim agama merupakan cara yang cukup efektif dalam menangani
kasus pernikahan anak di India. Selain itu para pemimpin agama menganggap
UNICEF memiliki pengaruh dalam memberikan wewenang bagi para pemimpin
agama untuk berpartisipasi dalam melindungi hak anak karena selama ini banyak
pihak yang menganggap bahwa mereka tidak harus berpartisipasi dalam hal ini.
Dengan adanya kolaborasi yang dilakukan oleh UNICEF dan para
pemimpin agama, tantangan tradisi atau adat yang telah berakar sudah mulai
51 UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.
http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_Communities_for_Chil
dren_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 30 Juli 2014
79
dibenahi sedikit demi sedikit. Di Karnataka dan Andhra Pradesh dimana devadasi
atau Jogini telah menjadi budaya di daerah tersebut telah dipastikan bahwa tidak
ada lagi anak perempuan yang menerapkan kebudayaan tersebut. Salah satunya
dengan cara mengubah tradisi kebudayaan melalui festival budaya Nag Panchami
yakni festival dimana masyarakat harus membawa Gudiya Pitahee atau sebuah
boneka yang mewakili perempuan dan anak perempuan dan kemudian boneka
tersebut siap untuk disiksa seperti dipukuli, dicabik-cabik, dan dicambuk.52
Tradisi ini menjadikan simbolis dari kebiasaan memukul pengantin baru
dengan alat seperti tongkat saat ia memasuki rumah suaminya. Dengan adanya
konsekuensi tersebut maka para pemimpin agama di Karnataka dan Andhra
Pradesh memutuskan untuk mengubah tradisi Nag Panchami ini, dimana boneka
tersebut tidak dipukuli atau disiksa melainkan dirangkul yang melambangkan
perawatan dan cinta bagi perempuan dan anak perempuan, dan diangkat setinggi
mungkin yang melambangkan perempuan memiliki harga diri yang tinggi dan
menghargai pengantin baru saat ia memasuki rumah suaminya. Dengan adanya
perubahan tradisi tersebut pemuka agama telah meyakini masyarakat desa untuk
membuat perubahan yang mendasar dalam tradisi yang selama ini mereka ikuti.53
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan angka pernikahan
anak di India seperti pendidikan dan budaya. Adanya tradisi budaya yang dimiliki
oleh orang tua dan anak-anak yang tidak bersekolah sehingga mereka mau tidak
mau masuk dalam pernikahan diusia yang masih dini. Oleh karena itu, UNICEF
berkontribusi dalam membuat program-program pendidikan dan berkolaborasi
52 Malika Basu dan Dhivya David, “Good Practice Against Child Marriage,. New Delhi, January
2010, http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 30 Juli 2014 53 Ibid
80
dengan para pemimpin agama. Walaupun program UNICEF ini tidak bisa secara
langsung dihubungkan dengan angka penurunan pernikahan anak. Tetapi upaya
yang dilakukan oleh UNICEF dan pemerintah India dalam aspek pendidikan dan
budaya bisa membantu dalam mengurangi faktor penyebab terjadinya pernikahan
anak di India.
Pihak lain yang mendukung efektivitas peran UNICEF adalah media.
UNICEF dan pemerintah India menjadi media sebagai sarana alternatif dalam
memobilisasi dan menyebarkan informasi kepasa masyarakat. Menurut
pemerintah India dan UNICEF pendekatan media ini dapat memainkan peran
penting dalam mengubah norma-norma sosial seperti yang terjadi di daerah
Rajasthan dan Bihar.54 Dengan demikian penggunanaan media ini dianggap cukup
efektif dalam membantu menangani kasus pernikahan anak di India. Teknik yang
dilakukan media dalam memberikan informasi mengenai pernikahan anak ini
cukup inovatif untuk menjangkau siapapun baik pria, wanita ataupun anak-anak.
Di daerah Rajasthan dan Bihar, pesan media tersebar melalui televisi,
radio, billboard, koran dan majalah, tidak hanya itu cara penyampainan pesan
media ini juga dibuat menarik seperti dibuatnya produksi teater masyarakat lokal
dan pertunjukan boneka serta video atau film pendek sehingga sangat menarik
minat masyarakat didaerah tersebut. Kebanyakan pesan yang disampaikan
membahas mengenai larangan pernikahan anak dan menginformasikan mengenai
program yang dibuat oleh pemerintah dalam menangani kasus pernikahan anak di
India. Koran dan Radio telah memiliki peran penting dalam memberi kesadaran
54 UNICEF India, “Understanding the Perceptions of UNICEF Partners in India: Findings of a
Study”, India, Maret 2011
81
kepada masyarakat Rajasthan dan Bihar akan dampak dari kasus pernikahan anak
yang terjadi di India.55
Program-program pendidikan, kesehatan dan kolaborasi dengan para
pemimpin agama yang dilakukan oleh UNICEF efektif dalam mengurangi faktor
penyebab terjadinya pernikahan anak, sehingga dapat membantu menurunkan
angka pernikahan anak di India. Hal Ini dibuktikan adanya penurunan angka pada
pernikahan anak di India. (lihat tabel III.C.2)
TABEL III.C.2. (%) Angka Penurunan kasus penikahan anak di India
Sumber: http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html
Seperti yang dilihat pada tabel III.C.2, Pada tahun 2002, India memiliki
sekitar lebih dari 44.000.000 atau 88% kasus pernikahan anak, kemudian
mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi 49% atau sekitar lebih dari
20.000.000 kasus pernikahan anak dan pada tahun 2012 tercatat hanya 19% atau
sekitar lebih dari 4000.000 anak yang menikah diusia kurang dari 18 tahun.56 Pada
November 2012, UNICEF dan Kementerian Kesehatan di India menyatakan,
55 Ibid 56 UNICEF Statistic, http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html, Diakses pada: 14
Juli 2014.
Tahun Persentase (%)
2002 88%
2007 49%
2012 19%
82
ditahun 2005 terdapat lebih dari 2.000.000 penderita HIV/AIDS diusia 15 hingga
49 tahun dan menunjukan penurunan yakni 0,33% atau sekitar 6600 pada tahun
2007 menjadi 0,27% atau sekitar 5400 pada tahun 2011.57
Data penurunan angka pada pernikahan anak tersebut merupakan indikasi
bahwa UNICEF memiliki kontribusi dalam menangani kasus pernikahan anak di
India. Meskipun demikian, selain beberapa program UNICEF yang dilakukan
dalam mengurangi kasus pernikahan anak di India, tidak menutup kemungkinan
ada faktor lain yang ikut membantu dalam menangani kasus pernikahan anak di
India.
D. Tantangan dan Peluang yang dihadapi UNICEF dalam menangani
pernikahan anak di India.
Didalam mengerjakan program di India, UNICEF menghadapi sejumlah
tantangan dalam menangani kasus pernikahan anak di India ini. Tidak jarang
tantangan ini menimbulkan kesuliatan bagi UNICEF dalam menangani kasus
permasalahan pada anak perempuan yang terjadi di India. Tantangan-tantangan
yang dihadapi oleh UNICEF diantaranya; Pertama, Jika dibandingkan dengan
program-program lain, program Child Protection ini merupakan program baru dan
belum dikenal dimasyarakat luas, sehingga masih belum bisa dipahami bagi
57Ministry of Statistic and Programme Implementation, Government Of India, “India Country
Report 2013”, India. 2013.
http://mospi.nic.in/mospi_new/upload/SAARC_Development_Goals_%20India_Country_Report_
29aug13.pdf. Diakses pada 14 Juli 2014
83
masyarakat India.58 Sehingga diperlukan penjelasan kembali mengenai pengertian
dan tujuan program ini guna meningkatkan akan pentingnya melindungi hak anak
di India. Selain itu perekrutan staff untuk program ini juga sering tertunda karena
adanya alasan politik seperti pemilu atau hambatan pemerintah yang prosedural
lainnya.59
Kedua, latar belakang sosial dan budaya yang cukup kompleks dan
bersifat patriakal dan masih memegang teguh kepercayaan terhadap asal-usul
kebudayaan mereka seperti salah satunya dengan masih mempertahankan budaya
kasta dan budaya dowry. Dalam hal ini UNICEF belum bisa menangani
permasalahan budaya yang ada di India, misalkan adanya pengaruh pada sistem
kasta yang diyakini oleh masyarakat India sebagai bagian dari kepercayaan agama
mereka sehingga menyulitkan pencapaian kerja UNICEF karena sebagian
masyarakat India percaya nasib manusia telah ditentukan oleh Tuhan.
Permasalahan lain terjadi pada sistem dowry yang dihadapkan pada tuntutan harga
pernikahan yang diajukan pada pihak pengantin perempuan.60
Selain itu alasan utama di balik pernikahan anak ini juga telah berubah
menjadi suatu kebiasaan dan memberi tekanan yang terkait pada nilai-nilai agama.
58 UNICEF, “Understanding the Perceptions of UNICEF Partners in India: Findings of a Study”,
New Delhi, 2009. http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf. diakses
pada 30 Juli 2014 59Ibid 60 Malika Basu dan Dhivya David, “Good Practice Against Child Marriage”, New Delhi, January
2010, http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 03 September
2014
84
Dan dengan adanya hubungan orang tua dan anak yang otoriter semakin
memperkuat nilai-nilai agama yang mendukung pernikahan anak tersebut.61
Para orang tua berfikir bahwa pendidikan bukan merupakan prioritas
utama bagi anak-anak di India, sehingga menimbulkan angka buta huruf yang
cukup banyak yakni sekitar 8.000.000 jiwa pada tahun 2009-2012.62 Hal tersebut
menjadi tantangan yang dihadapi oleh UNICEF dalam menerapkan sistem belajar
pada sekolah rumah yang didirikan oleh UNICEF. Seperti yang terjadi di Bihar,
siswa yang mengalami buta huruf sering mengalami diskriminasi pada pendidikan
yang mereka dapat, sehingga UNICEF harus lebih jeli dan lebih menseleksi
kembali siswa yang tergabung dalam program sekolah rumah tersebut.63
Tidak hanya tantangan akan tetapi UNICEF juga memiliki peluang dalam
menangani kasus pernikahan anak di India. Peluang-peluang tersebut seperti
adanya political will atau dukungan pemerintah India dalam menangani kasus
pernikahan anak di India, sehingga UNICEF dan pemerintah memiliki hubungan
kerja sama yang baik dan dapat berkolaborasi dalam menangani kasus pernikahan
anak di India.64
Beberapa kantor UNICEF di India menyatakan bahwa pemerintah
menunjukan respon yang baik dalam menangani kasus pernikahan anak. Penilaian
61 UNICEF India, “Delaying Marriage for Girls in India: A Formative Research to Design
Interventions for Changing Norms”, New Delhi, March 2011, hal: 50.
http://www.icrw.org/files/publications/Delaying-Marriage-for-Girls-in-India-UNICEF-ICRW.pdf.
Diakses pada 03 September 2014 62 UNESCO, “India still home to largest illiterate population”. 20 Januari 2010.
http://www.thehindu.com/features/education/issues/india-still-home-to-largest-illiterate-
population-unesco/article82886.ece. Diakses pada 14 November 2014 63 UNICEF India Country Office Annual Report 2011, hal: 33.
http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf. Diakses pada 03
September 2014 64 “UNICEF Inputs to Secretary-General’s Report in Response to HRC”, Februari 2014.
www.ohchr.org, Diunduh pada: 14 Juli 2014.
85
terhadap keterlibatan UNICEF tampaknya menghasilkan hasil yang cukup baik
seperti mulai adanya kesadaran masyarakat, orang tua, dan anak-anak dari bahaya
pernikahan anak.65
Selain itu mereka mulai menyadari akan keberadaan undang-undang yang
melarang praktik pernikahan anak dan ketersediaan pelayanan kesehatan,
pendidikan dan perlindungan sosial dalam rangka untuk membuat pilihan yang
lebih baik atau insentif perlindungan dan investasi pada anak perempuan, seperti
penurunan tekanan sosial yang dapat mengkondisikan anak perempuan serta
orang tua untuk terlibat dalam pernikahan anak, adanya peningkatan angka
kehadiran dan kelulusan sekolah, serta adanya peningkatan kebijakan mengenai
kualitas kerangka hukum dan tindakan oleh pemerintah India.66
Selain itu, delapan kantor UNICEF di India berkoordinasi untuk
menangani pernikahan anak di India, koordinasi dilakukan melalui media,
mengunjungi daerah-daerah yang memiliki jumlah pernikahan anak yang cukup
besar, dan peran serta komite perlindungan anak di pemerintah daerah dan
masyarakat sipil untuk mempromosikan hak-hak anak, termasuk upaya untuk
mengakhiri pernikahan anak di India.67
Dukungan dari media massa juga menjadi peluang bagi upaya UNICEF
dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Penyebaran informasi oleh
media dapat merangsang perubahan sosial yang positif didukung pula dengan
adanya keahlian dalam bidang komunikatif yang dimiliki oleh UNICEF sehingga
dapat lebih membangun komunikasi dan mempercepat penyampaian informasi
65 Ibid 66 Ibid 67 Ibid
86
pada masyarakat. Misalnya, UNICEF India memproduksi film-film yang memiliki
alur cerita untuk mengakhiri perkawinan anak-anak di masyarakat.68
Peluang selanjutnya adalah adanya minat dan semangat dari anak-anak di
India untuk bersekolah. Anak-anak di India merasa hak mereka untuk bersekolah
masih belum bisa diperjuangkan, hal tersebut juga didukung dengan adanya jarak
yang jauh, kurangnya alat transportasi dan lingkungan yang kurang aman
membuat orang tua mereka khawatir untuk menyekolahi anak mereka.69
Selain itu, terdapat dukungan dari 470 sekolah di 14 daerah di India
seperti: Andra Pardesh, Assam, Chhattisgard, Maharashtra, Bihar, Rajasthan,
Odisha, Uttar Pradesh, Gujarat, Jharkhand, Karnataka, West Bengal, Mumbai, dan
Madhya Pradesh untuk membantu program-program yang dilakukan oleh
UNICEF dan banyak relawan yang bersedia menjadi guru untuk menjadi tenaga
pengajar dalam program pendidikan yang dibuat oleh UNICEF dan pemerintah
India.70
Dengan adanya tantangan dan peluang yang dimiliki UNICEF dalam
menangani kasus pernikahan anak di India, UNICEF dapat memberikan
kontribusi dan dampak positif dalam penanganan kasus pernikahan anak di India.
Tidak hanya itu, peluang diatas memberikan kesempatan kepada UNICEF untuk
melanjutkan program-program yang telah dibuat dan tidak terhenti hingga tahun
2012 saja.
68 Malika Basu dan Dhivya David. “Good Practice Against Child Marriage”, New Delhi, January
2010, http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 04 September
2014 69 UNICEF India Country Office Annual Report 2011.
http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf. Diakses pada 03
September 2014 70 Ibid
87
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pernikahan anak telah menjadi fenomena yang marak terjadi di India.
Terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab terjadinya kasus pernikahan
anak di India, meliputi budaya tradisional India yang bersifat patriakal, kurangnya
pendidikan, faktor ekonomi, dan persepsi masyarakat terhadap keselamatan anak.
Sebagai upaya untuk merespon fenomena pernikahan anak, maka pemerintah
India membuat sejumlah kebijakan nasional maupun Internasional dalam
menangani kasus pernikahan anak. Dalam menangani kasus pernikahan anak,
pemerintah India bekerja sama dengan UNICEF dalam menangani kasus
pernikahan anak di India.
United Nations Children’s Fund (UNICEF) sebagai organisasi di bawah
naungan PBB berkomitmen untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan
anak. UNICEF memiliki tugas penting dalam memperhatikan pendidikan anak,
perlindungan anak, kesehatan dan gizi anak. Dalam upayanya UNICEF
menentang segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi pada anak. UNICEF
memiliki peran dalam mengatasi kasus pelanggaran hak anak di India khususnya
pernikahan anak di India, dengan menciptakan berbagai program kerja yang
bertujuan untuk melindungi hak anak dari ancaman diskriminasi.
88
UNICEF dan pemerintah India bekerja sama dalam perencanan kerja lima
tahun atau Eleventh Five Years Plans (2007-2012) yang menjadikan kasus
pernikahan anak sebagi fokus utamanya. Kemudian, UNICEF memfokuskan
kasus pernikahan anak ini kedalam program Child Protection. Tidak hanya itu,
peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India juga terlihat dari
program dan kegiatan lain baik dalam aspek pendidikan, budaya dan kesehatan.
Dalam aspek pendidikan, peran UNICEF terlihat dengan dibuatnya program
NPEGEL School, Mahila Samakhya, dan UNICEF membantu pemerintah India
dalam mengimplementasikan RTE kepada masyarakat India. Dalam aspek
budaya, UNICEF dan pemerintah India berkolaborasi dengan pemimpin agama
dalam merubah tradisi yang menimbulkan efek negatif bagi anak perempuan.
Sedangkan dalam aspek kesehatan, UNICEF bekerja sama dengan
pemerintah India dalam memberikan pendidikan reproduksi wanita dan
pencegahan HIV/AIDS. Peran lainnya adalah UNICEF membantu
mengimplementasikan PCMA, 2006 dan ICPS kepada masyarakat India.
Efektifitas peran UNICEF dalam penelitian ini dilihat dalam dua hal,
yakni kemampuan UNICEF dalam menangani faktor penyebab terjadinya
pernikahan anak dan adanya penurunan angka pada kasus pernikahan anak di
India. Dalam penanganan faktor penyebab terjadinya kasus pernikahan anak di
India, khususnya di sisi pendidikan, program sekolah rumah yang dibuat oleh
UNICEF dan adanya fasilitas sekolah gratis merupakan cara yang efektif dalam
menangani faktor penyebab terjadinya pernikahan anak di India. Di sisi budaya,
bekerja sama dengan pemimpin agama merupakan cara yang efektif bagi UNICEF
89
mengubah tradisi masyarakat India secara bertahap, sehingga UNICEF dapat
memberikan informasi mengenai larangan pernikahan anak pada aktivitas
keagamaan. Dalam hal kesehatan, adanya pendidikan reproduksi wanita dan
melakukan seminar rutin mengenai pencegahan dan perawatan HIV/AIDS
merupakan cara yang efektif dalam menangani faktor penyebab terjadinya
pernikahan anak. Kefektifitasan peran UNICEF lainnya dapat dilihat dari adanya
penurunan angka pernikahan anak di India.
UNICEF mendukung segala program yang bertujuan untuk
mempromosikan hak-hak anak dan perempuan di India. UNICEF juga
memperhatikan berbagai kebijakan sosial, perencanaan, monitoring dan evaluasi
program untuk memastikan kerjasama dan kolaborasi yang erat dengan
pemerintah India.
UNICEF membantu pemerintah India dalam mengembangkan setiap
program yang dibuat oleh pemerintah India, selain itu UNICEF juga memiliki
hubungan yang sangat baik dengan pemerintah India, sehingga kerjasama yang
dilakukan oleh UNICEF dan pemerintah India saling menguntungkan satu sama
lain. Dengan demikian UNICEF memiliki peran yang cukup penting dan berhasil
dalam menangani kasus pelanggaran anak dan perempuan khususnya dalam
pernikahan anak di India. Hal ini dibuktikan dengan adanya kemampuan UNICEF
dalam membantu mengurangi faktor penyebab terjadinya pernikahan anak dan
adanya penurunan pada angka pernikahan anak di India, selain itu UNICEF dan
pemerintah India juga menjadikan kasus pernikahan anak ini menjadi fokus utama
dalam program selanjutnya.
90
Namun dalam menjalankan perannya tersebut, kinerja UNICEF masih
menghadapi sejumlah tantangan dan peluang. Tantangan yang dihadapi oleh
UNICEF diantaranya: Program Child Protection merupakan program baru
dibandingkan dengan program lain, sehingga masih belum bisa dipahami bagi
masyarakat, dan perlu diperkenalkan lagi pada masyarakat. Tantangan kedua ialah
adanya latar belakang sosial dan budaya yang cukup kompleks dan bersifat
patriakal, dimana kedudukan laki-laki lebih tinggi di bandingkan perempuan.
Tantangan ketiga yakni tingginya angka buta huruf di India, mayoritas orang tua
lebih memilih untuk menikahkan anaknya daripada melanjutkan sekolah dengan
alasan terbatasnya akses menuju kesekolah.
Selain tantangan, UNICEF juga memiliki peluang dalam menangani kasus
pernikahan anak di India. Peluang tersebut meliputi: Pertama, adanya political
will, sehingga UNICEF dan pemerintah India memiliki kerjasama yang baik
dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Kedua, adanya dukungan dari
media massa, sehingga dapat mempermudah dalam menyebarkan informasi
kepada masyarakat, dan peluang terakhir, adanya minat dan semangat yang tinggi
dari anak-anak di India untuk bersekolah.
B. Saran
Saran yang dapat penulis berikan dalam skripsi ini antara lain perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut, baik dalam bentuk skripsi ataupun jurnal untuk
melihat kontribusi suatu Organisasi Internasional dalam menangani permasalahan
91
di suatu negara. Misalnya dalam konteks Indonesia, tidak jarang pernikahan anak
ini terjadi di Indonesia. Dengan melakukan penelitian lebih lanjut, maka bisa
diketahui bagaimana kontribusi UNICEF dalam menangani kasus pernikahan
anak di Indonesia.
Dalam studi ilmu Hubungan Internasional, negara merupakan pelaku
utama dalam melakukan interaksi hubungan internasional. Saat melakukan
interaksinya negara tersebut akan bekerjasama dengan negara-negara lain untuk
membentuk suatu kepentingan atau tujuan yang sama. Dalam melakukan
kerjasama tersebut pasti tidak hanya membutuhkan peran negara saja tetapi juga
membutuhkan peran dari aktor non-negara (non-state actor). Aktor non-negara
bertugas untuk melengkapi dan membantu kinerja dari negara itu sendiri. Dalam
actor non-negara terdapat 3 tipe pelaku, yakni “Intergovermental Organizations
(IGOs), Nongovernmental Organizations (NGOs), dan Multinational
Corporations (MNCs).1 Kaitannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini
dapat memberikan kontribusi dalam menganalisa mengenai seberapa efektif peran
IGO dalam menangani permasalahan di suatu negara. Melihat kasus pernikahan
anak di India, UNICEF memilki peran yang cukup efektif dalam menangani kasus
pernikahan anak di India, akan tetapi dalam melakukan perannya, tetapi UNICEF
sebagai organisasi Internasional tidak bisa melakukan perannya tanpa adanya
persetujuan dari pemerintah dan bantuan aktor-aktor lain di negara tersebut. Maka
UNICEF hendaknya melibatkan berbagai pihak untuk mendukung setiap
programnya, pihak–pihak tersebut diantaranya adalah political will dari
1 Minix, Dean A. & Hawley, Sandra M. “Global Politics”. West/Wadsworth, (1998). Chap 3-4
92
pemerintah India, media masa, pemuka agama, dan pihak lain, sehingga UNICEF
dapat menjalankan programnya dengan lebih baik.
xii
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Archer, Clive. “International Organization”. London, 1983
Arikunto, Suharsimi. “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik”. Jakarta:
Bina Aksara, 1989
Barkin, J. Samuel. “International Organization: Theories and Institutions”. New
York, 2006
Basham, A. L. “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture
of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”.
Macmillan Publishers. 3rd Edition, New Delhi, 2001
Dalmia, Sonia and Lawrence, Pareena. G. “The Institutions of Dowry in India :
Why it Continues to Prevail. The Jounal of Developing Areas”. Vol.38
No.2, 2005.
Minix, Dean A. & Hawley, Sandra M. “Global Politics”. West/Wadsworth,
(1998). Chap 3-4
Husaini Usman dan Akbar, Purnomo Setiady “Metode Penelitian Sosial”. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
Rudy, T. May, “Administrasi dan Organisasi Internasional”, Refika Aditama,
Bandung, 2005
Sadriman, Poernomo. “Pengantar Hukum Internasional”. Bandung: Mandar
Maju, 1990
Sagade, Jaya. “Child Marriage in India: Socio-legal and Human Rights
Dimensions”. New Delhi:. Oxford University Press, 2005
Sumaryo, Suryokusumo. “Pengantar Hukum Organisasi Internasional”. Jakarta:
Tatanusa, Juli 2007
Vogelstein, Rachel. “Ending Child Marriage, How Elevating the Status of Girls
Advances U.S. Foreign Policy Objectives”. Council on Foreign Relation,
New York:May, 2013.
JURNAL/ARTIKEL/REPORT
“Eleventh Five Years Plan 2007-2012”. Vol.2, Planning Commssion
Government of India. Chap: 6
Memoire, Aide. “SARVA SHIKSHA ABHIYAN: Tenth Joint Review Mission”. July
2009, hal: 5.
Augustine, Marly. Dasgupta, Malasree. Menon, Sudha. “The National Programme
for Education of Girls at Elementary Level (NPEGEL)”. Best Practices
Foundation, India, 2012. Hal: 6-16
Bidner, Chris and Eswaran, Mukesh. “A Gender-Based Theory of the Origin of
the Caste System of India”. New Delhi. 2 Des 2012. Hal: 5.
xiii
Davis, A., Postles, C. and Rosa, G,. “A girl’s Right to Say No to Marriage:
Working to end Child Marriage and Keep Girls in School”, Plan
International, 2013. Hal: 25-31
Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty. “Pernikahan Usia Dini dan
Permasalahannya”. Jurnal Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri,
Agustus 2009
HAQ: Centre for Child Rights, ”Child Marriage in India: Achievements, Gaps
and Challenges”, New Delhi, India. Hal: 10-14
Jurnal Manajemen Airlangga (JMA) (2013) . Bagong Suyanto, “Child Trafficking
dan Industri Seks Global Makin Marak”. Jurnal Akademik Universitas
Airlangga.
Kacker, Loveleen, “Study on Child Abuse India”. 2007. New Delhi. Hal: 15-18
Kumari, Ranjana. Dr, “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis
in Three States”, hal: 18-19.
Hersh, Marcy, Walia, Sunayana and Nanda, Priya. ”Solution Exchange for the
Gender Community Discussion Summary”. International Center for
Research on Women (ICRW). New Delhi. Januari 2010. Hal: 42-45
Wachenfeld, Margaret. “brief history of children’srights and the role of
UNICEF”. hal 11.
Ministry of Statistic and Programme Implementation, Government Of India.
“India Country Report 2013”. India. 2013. Hal: 11-17
Nualart, Barberillo, “The Mahila Samakhya Program: Empowering Education
For Women’s Equality in Indian Disadvantaged Communities and Rural
Areas”, Communications Papers, Media Literacy and Gender Studies,
2012. Hal: 7
Rawat, Sangeeta, ” Status and Functioning of Kasturba Gandhi Balika Vidyalayas
Uttarakhand”, Visual Soft Research Development, Vol.2, hal: 574-576.
Strickland, Pat. “Forced Marriage in Immigrant Communities in the United
States.”. House of Commons Library. Home Affairs Section. Tahirih
Justice Center. September 2011. Hal: 124-131
UNFPA India, “A Study to identify the occurrence of Obstetric Fistula in India
(Report)”. New Delhi. 2006. Hal: 5, 14
UNICEF (2007), Child National Report on “A World Fit for Children”.
29 September 2013. Hal: 10-17
UNICEF India Country Office Annual Report 2011, hal: 33.
UNICEF. “UNICEF Annual Repport for India 2012”. ROSA. Hal: 21-28
Vanini, Sakti. “Trafficking and HIV, Maharashtra” Trafficking Report. Rajastan.
2005. Hal 19
SKRIPSI
Noviyanti, Widia. “Analisis Data Sekunder Survei Demografi Kesehatan
Indonesia Tahun 2007: Tren dan Dampak Pernikahan Dini di
Indonesia”. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat, prodi Kesehatan
Masyarakat, Universitas Indonesia. Memenuhi gelar S1. 2013.
xiv
Octavia, Eka. “Peranan United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam
penanganan pekerja seks komersial anak di India”. Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, prodi Hubungan Internasional, Universitas
Komputer Indonesia. Memenuhi gelar S1. 2009.
INTERNET
“India’s Population in 2014”,
http://www.indiaonlinepages.com/population/india-current-
population.html, disunting pada: Jumat, 13 Juni 2014.
“Mahila Samakhya”, Conference Delhi, 2004, diakses pada:
http://siteresources.worldbank.org/INTINDIA/Resources/ms.pdf. Diakses
pada 12 Juli 2014. Diakses pada 12 Juli 2014
“UNICEF Inputs to Secretary-General’s Report in Response to HRC”, Februari
2014. www.ohchr.org, Diunduh pada: 14 Juli 2014.
CSR India. “A Study on” Child Marriage in India: Situational Analysis in Three
States”. http://www.csrindia.org/images/download/case-studies/Child-
Marriage-Report.pdf. Diunduh pada Jumat, 14 November 2014
Government of India, Press Information Bureau.
http://pib.nic.in/newsite/PrintRelease.aspx?relid=89785. Diakses pada 23
Desember 2014
ICRW and AUSAID, “Child Marriages in Southern Asia: Policy Action for
Action”, 2012. http://www.icrw.org/publications/child-marriage-southern-
asia. Diakses pada 21 Juni 2014
ICRW, Knot Ready: Lesson From India on Delaying Marriage for girl, 2013.
http://www.atriakennisinstituut.nl/epublications/2008/Knot_ready.pdf.
Diakses pada 15 Juni 2014
IPPF, “Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action”, 2006.
http://www.unfpa.org/webdav/site/global/shared/documents/publications/2
006/endchildmarriage.pdf. Diakses pada 25 Juni 2014
Malika Basu dan Dhivya David, “Good Practice Against Child Marriage,. New
Delhi, January 2010, http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-
public.pdf. Diakses pada 30 Juli 2014
Menon, Ramesh. “Devadasi in a role play performance on child marriage”. 26
April 2011.
http://www.wunrn.com/news/2011/05_07/05_07_07/051407_india.htm
Diunduh pada: 22 Desember 2014
Ministry of Health and Population Government of Nepal Kathmandu. “Population
Division: Nepal Demographic Health Survey”. Nepal. 2011.
http://dhsprogram.com/pubs/pdf/FR257/FR257%5B13April2012%5D.pdf.
Diakses pada 29 September 2013
Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and
Literacy, “Mahila Samakhya”, New Delhi, 2011.
http://mhrd.gov.in/sites/upload_files/mhrd/files/Engagement_of_Consultan
ts_for_Mahila_Samakhya_programme_0.pdf. Diakases pada 19 Juli 2014
xv
Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and
Literacy, Government of India, “The National Programme for Education
of Girls at Elementary Level (NPEGEL)”, http://ssa.nic.in/girls-
education/npegel/brief_NPEGEL_12Mar07.pdf/view, diunduh Pada: 30
Juli 2014.
Ministry of Law and Justice. “The Prohoibition of Child Marriage Act, 2006”.
http://wcd.nic.in/cma2006.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014
Ministry of Women and Child Development Government of Orissa, “State Plan of
Action of Children. 2009-2012”.
http://www.wcdorissa.gov.in/download/StatePlanAction.pdf. Diakses pada
17 Juni 2014
Ministry of Women and Child Development, “Child Protection and Welfare“,
New Delhi, Annual Report: 2009-2010, Chapter 4, hal: 49-50.
http://wcd.nic.in/publication/AR201213_english.pdf. Diakses pada 5 Juli
2014
Ministry Of Women and Child Development, “Implementation Guidelines: Rajiv
Gandhi Scheme for Empowerment of Adolescent Girls- SABALA”, 14
Desember 2010, hal: 8-11. http://wcd.nic.in/schemes/SABLA-
guidelines141210.pdf. Diakses pada 5 Juli 2014
Ministry Of Women and Child Development. ”National Strategy Document on
Prevention of Child Marriage”. 2013. Hal: 1.
http://wcd.nic.in/childwelfare/Strategychildmarrige.pdf. Diakses pada 15
Juni 2014
Ministry of Women and Child Development. ” Handbook on The Prohibition of
Child Marriage Act, 2006” New Delhi: 2007.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_handbook.pdf. Diakses pada
2 Juli 2014
National Crime Record Bureau, Govt of India, New Delhi. 2006,
http://ncrb.gov.in/. Diakses pada 26 Desember 2014
OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December
2013. Hal: 13.
http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/t
heredelephantfoundation.pdf. Diakses pada: 13 Juni 2014.
Report, The District Level Household and facility Survey (DLHS): (Reproductive
& Child Health Project). http://www.rchiips.org/pdf/rch3/report/AP.pdf.
Diakses pada: 23 Desember 2014
Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen
India’s demographic and health policies and programs.
http://www.rchiips.org/nfhs/raj_state_report.pdf. Diakses pada 23
Desember 2014
Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen
India’s demographic and health policies and programs.
http://www.rchiips.org/nfhs/NFHS-3%20Data/Bihar_report.pdf Diakses
pada 23 Desember 2014
Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen
India’s demographic and health policies and programs.
xvi
http://www.rchiips.org/nfhs/urban_health_report_for_website_18sep09
pdf.
Diakses pada 23 Desember 2014
Rohit Parihar, “Wedowed Children in India”, 31 Oktober 2008.
http://indiatoday.intoday.in/story/Widowed+children/1/18934.html.
Diakses pada 26Desember 2014
Shulman, Juliana, “Child Marriage In India”. [email protected]. Diakses
pada 27 Juni 2014
Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities,
Responses and The Way Forward”, 2013. hal: 5.
https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20S
outh%20Asia.2013.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014
Suswati Basu, “India’s City of Widow”. Rabu, 30 Juni 2010.
http://www.theguardian.com/commentisfree/2010/jun/30/india-city-
widows-discrimination. Diakses pada 26 Desember 2014
UNDP, The United Nations Development Programme, “Concern Worldwide and
the Millennium Development Goals: Working to keep the promise”,
September 2010.
http://www.un.org/en/mdg/summit2010/pdf/ZeroDraftOutcomeDocument
_31May2010rev2.pdf. Diakses pada 09 Juli 2014
UNESCO, “India still home to largest illiterate population”. 20 Januari 2010.
http://www.thehindu.com/features/education/issues/india-still-home-to-
largest-illiterate-population-unesco/article82886.ece. Diakses pada 14
November 2014
UNFPA, “Child Marriage Fact Sheet”, 2005.
http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.h
tm. Diakses pada 23 Juni 2014
UNFPA. “Child Mariage”. 2010. http://www.unfpa.org/child-marriage. Diakses
pada
26 September 2013
UNICEF (2006).” Early marriage: a harmful traditional practice, a statistical
exploration.”
http://www.unicef.org/earlychildhood/files/Guide_to_GC7.pdf. Diakses
pada tanggal 7 Oktober 2014Pukul 15.17 WIB
UNICEF India, “Briefing Paper Series: Innovations, Lessons and Good Practices.
Community Based Interventions on Child Marriage”, New Delhi, India,
2011, hal: 5.
http://www.unicef.org/india/9.__Child_Marriage_Community-
based_Intervention.pdf. Diakses pada 18 Juli 2014
UNICEF India, “Child Marriage: Fact Sheet”, November 2011. Hal 1.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.p
df. Diakses pada 26 Juni 2014
UNICEF India, “Child Protection”
http://www.unicef.org/india/child_protection.html Diakses pada 17 Juli
2014
xvii
UNICEF India, “Delaying Marriage for Girls in India: A Formative Research to
Design Interventions for Changing Norms”, New Delhi, March 2011, hal:
50. http://www.icrw.org/files/publications/Delaying-Marriage-for-Girls-in-
India-UNICEF-ICRW.pdf. Diakses pada 03 September 201
UNICEF India, “End Child Marriage: Change Perceptions and Beliefs”, 2013.
New Delhi, hal: 11. http://unicef.org.np/media-centre/press-
releases/2014/08/11/india-commits-to-end-child-marriage. Diakses pada
29 Juni 2014
UNICEF India, “Our Work: UNICEF’s India Program”
http://www.unicef.org/india/activities.html. Diakses pada 17 Juli 2014
UNICEF India, “Right to Education (RTE) India”, India, 2012.
http://www.unicef.org/india/education_6144.htm. Diakses pada 26 Juli
2014
UNICEF INDIA, “The Situation of Children in India (A Profile)”. New Delhi,
India. May 2011. Hal: 3.
http://www.unicef.org/india/The_Situation_of_Children_in_India_-
__A_profile_20110630_.pdf. Diakses pada 28 September 2013.
UNICEF India, “Understanding the Perceptions of UNICEF Partners in India:
Findings of a Study”, India, Maret 2011.
http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf.
diakses pada 17 Juli 2014
UNICEF India. “About Us: UNICEF in India”
http://www.unicef.org/india/overview.html. Diakses pada 16 Juli 2014
UNICEF India. “Child Marriage: Fact Sheet”. November 2011. Hal 2.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.p
df. diakses pada 17 Juni 2014
UNICEF, “Child Marriage and the Law: Legislative Reform Initiative”, Paper
Series. 2007.
http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law
%281%29.pdf Diakses pada 09 Juli 2014
UNICEF, “Child Marriage and the Law”, 2008. Hal: 23.
http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law
%281%29.pdf. Diakses pada 26 September 2013
UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.
http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_
Communities_for_Children_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 20 Juli
2014
UNICEF, Child Marriage in India – An analysis of available data, (2012), India.
http://www.unicef.in/documents/childmarriage.pdf. Diakses pada 16 Juni
2014
UNICEF, Statistics of India (2004),
http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html. Diakses pada
15 November 2014
UNICEF. (2011). Child Marriage – UNICEF Information Sheet.
http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.p
df. Diakses pada tanggal 29 September 2013 Pukul 20.38 WIB
xviii
UNICEF. “Child Protection” http://www.unicef.org/protection/. Diakses pada 15
Juli 2014
UNICEF. “In India, children’s vulnerabilities and exposure to violations of their
rights remain spread and multiple in nature”.
http://www.unicef.org/india/children_2360.htm. Diakses pada tanggal 29
September 2013 Pukul 21.13 WIB
UNICEF. “United for Children”, 2013. http://www.unicef.org/partners/. Diakses
pada 16 Juli 2014
UNICEF. “What We do”. http://www.unicef.org/about/. Diakses pada 15 Juli 2014
UNPFA (2005) . “Child marriage fact sheet.
http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.h
tm.. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2014
USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children:
the USAID Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.
http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_
Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014
USAID, “Preventing Child Marriage: Protecting Girls Health”, 2006.
http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pdaci387.pdf. Diakses pada 23 Juni 2014
World Bank, “World Development Report on Gender Equality and
Development”, 2012, hal: 154.
http://econ.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTRESEA
RCH/EXTWDRS/EXTWDR2012/0,,menuPK:7778074~pagePK:7778278
~piPK:7778320~theSitePK:7778063~contentMDK:22851055,00.html.
Diakses pada 24 Juni 2014