PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM ...

116
PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM MENANGANI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA PERIODE TAHUN 2010-2012 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S. Sos) Oleh: Nurhayati Inayatul Maula 1110114000023 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/1435 H

Transcript of PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM ...

PERAN UNITED NATIONS CHILDREN’S FUND (UNICEF)

DALAM MENANGANI KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA

PERIODE TAHUN 2010-2012

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S. Sos)

Oleh:

Nurhayati Inayatul Maula

1110114000023

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M/1435 H

v

ABSTRAK

Skripsi ini menganalisa mengenai peran United Nations Children’s

Fund (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India periode

tahun 2010-2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kerjasama

antara UNICEF dengan pemerintah India, menganalisa efektifitas peran

UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India serta melihat

tantangan dan peluang yang di hadapi oleh UNICEF dalam menangani

kasus pernikahan anak di India. Penelitian ini dilakukan melalui studi

pustaka dengan analisa data sekunder.

Peneliti menemukan bahwa pada tahun 2007, India merupakan

negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak nomor dua terbesar

didunia, oleh karena itu, Pemerintah India membuat kebijakan nasional

maupun internasional untuk menangani kasus pernikahan anak. Dalam

usaha menetapkan kebijakan tersebut, Pemerintah India bekerjasama

dengan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

Skripsi ini dianalisa dengan menggunakan kerangka teori

organisasi internasional dengan pendekatan rezim dan pendekatan

neofungsionalisme. Dari hasil analisa dengan menggunakan teori tersebut

dapat disimpulkan bahwa: 1). Kerjasama yang dilakukan antara UNICEF

dan pemerintah India mampu menangani faktor-faktor penyebab dari

kasus pernikahan anak di India, antara lain pendidikan, budaya, dan

persepsi masyarakat mengenai keselamatan anak. 2). UNICEF memiliki

peranan yang efektif dalam menangani kasus pernikahan anak di India

ditunjukan dengan adanya penurunan angka pernikahan anak di India

ditahun 2010 hingga 2012.

vi

KATA PENGANTAR

الرحيم الرحمن الله بسم

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang

karena berkah, rahmat, serta kehadirat-NYA skripsi ini dapat diselesaikan dengan

sebaik-baiknya. Penyusunan skripsi yang berjudul PERAN UNITED NATIONS

CHILDREN’S FUND (UNICEF) DALAM MENANGANI KASUS

PERNIKAHAN ANAK DI INDIA PERIODE TAHUN 2010-2012,

dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana

Sosial dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan dan penyelesaian skripsi ini, penulis ingin mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya atas segala bantuan, dukungan serta bimbingan

yang diberikan kepada :

1. Ibu Debbie Affianty, M.A, selaku Ketua Program Studi Hubungan

Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Ibu Athiqah Nur Alami, M.A, selaku pembimbing skripsi yang telah bersedia

meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan bimbingan serta

pengarahan yang sangat berharga dalam proses penyusunan skripsi sehingga

skripsi ini dapat diselesaikan.

3. Seluruh Dosen Hubungan Internasional (kelas Internasional) Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dan

vii

pengetahuan selama penulis kuliah sehingga mampu menyelesaikan skripsi

ini.

4. Kedua orang tua tercinta dan kaka tersayang yang tak pernah letih

memberikan bantuan moril maupun materil serta doa yang tidak pernah putus

hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Sahabat tersayang; Miranti Israni, Septian Maulana Yusuf, Safee Peters,

Aunty Sumaya Peters, Uncle Abduraghman Peters yang selalu memberikan

semangat dan support dalam proses penulisan skripsi.

6. Teman-teman kelas HI INTER 2010, yang selalu memberikan semangat

selama ini dan terimakasih atas kerjasamanya selama program perkuliahan

berlangsung.

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyusunan skripsi ini masih jauh dari

sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang

dimiliki penulis. Oleh karena itu penulis dengan segala kerendahan hati menerima

kritik dan saran yang dapat membangun guna menyempurnakan skripsi ini. Akhir

kata, skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu

pengetahuan khususnya di bidang perlindungan perempuan dan anak di Indonesia.

Ciputat, 27 November 2014

Penulis

viii

DAFTAR ISI

LEMBAR PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .............................. ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING SKIPSI ............................... iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ......................................................... iv

ABSTRAK ..................................................................................................... v

KATA PENGANTAR .................................................................................... vi

DAFTAR ISI .................................................................................................. viii

DAFTAR TABEL ......................................................................................... x

DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah ............................................................. 1

B. Pertanyaan Penelitian ........................................................... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 7

D. Tinjauan Pustaka ................................................................... 8

E. Kerangka Teoritis ................................................................. 13

F. Metode Penelitian.................................................................. 20

G. Sitematika Penulisan ............................................................. 22

BAB II PERNIKAHAN ANAK DI INDIA

A. Isu Pernikahan Anak di India ............................................... 24

B. Faktor Penyebab terjadinya Pernikahan Anak di India ....... 26

C. Dampak Pernikahan Anak di India ...................................... 36

D. Kebijakan Pemerintah India dalam menangani Kasus

Pernikahan Anak di India ...................................................... 43

ix

BAB III PERAN DAN TANTANGAN UNICEF DALAM MENANGANI

KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA (2010-2012)

A. Tinjauan Umum mengenai United Nations Children’s Fund

UNICEF ............................................................................... 55

B. Peran UNICEF di India ........................................................ 60

C. Efektifitas Peran UNICEF dalam menangani Kasus

Pernikahan Anak di India ..................................................... 74

D. Tantangan dan Peluang yang dihadapi UNICEF dalam

menangani Kasus Pernikahan Anak di India ....................... 82

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan .......................................................................... 87

B. Saran ..................................................................................... 90

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... xii

LAMPIRAN

x

DAFTAR TABEL

Tabel II.C.1. Kebijakan Nasional India dalam menangani kasus pernikahan

anak di India .............................................................................. 44

Tabel II.C.2. Kebijakan Internasional yang diratifikasi oleh India dalam

menangani kasus pernikahan anak di India ........................... 52

Tabel III.A.1. Program UNICEF tahun 2006-2013 ........................................ 59

Tabel III.C.2. Persentase (%) angka penurunan kasus pernikahan anak

di India .................................................................................... 81

xi

DAFTAR SINGKATAN

ANMs Auxiliary Nurse Midwifes

ASHA Accredited Social Health Activists

CEDAW Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination

against Women

CRC Convention on the Rights of the Child

DLHS District Level Household and facility Survey

ICESCR International Covenant on Economic, Social and Cultural

Rights

ICPS Integrated Child Protection Scheme

ICRW International Center for Research on Women

JRM Joint Review Missions

KGBV Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya

MDGs Millennium Development Goals

MS Mahila Samakhya

NCW National Commission for Women

NFHS National Family Health Survey

NPEGEL National Programme for Education of Girls at Elementary

Level

PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa

PCMA Prohibition of Child Marriage Act

RTE Right to Education Act

SOWC State of the World’s Children Report

SSA Sarva Shiksa Abhiyan

UEE Universal Elementary Education

UNFPA United Nations Population Fund

UNICEF United Nations Children’s Fund

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Pernyataan Masalah

Pernikahan anak (child marriage) merupakan salah satu fenomena

internasional yang perlu menjadi perhatian, karena dianggap sebagai bentuk

pelanggaran hak asasi anak. Anak dengan usia di bawah 18 tahun masih belum

pantas dinikahi dan belum dapat memenuhi persyaratan untuk menikah baik

secara fisik maupun moral. Umumnya, seorang anak yang memiliki usia kurang

dari 18 tahun masih dianggap belum mampu memberikan persetujuan secara sadar

terhadap berbagai hal yang dianggap penting untuk pilihannya. Di usia yang bisa

dibilang masih sangat dini yakni kurang dari 18 tahun, mereka seharusnya duduk

di bangku sekolah dengan gelar ‘pelajar’ bukan dengan gelar ‘istri’ atau ‘suami’. 1

Praktek pernikahan anak ini dapat ditemukan di sejumlah wilayah didunia.

Data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2007 menunjukkan bahwa

sebanyak 72.000.000 perempuan di dunia yang berusia 24 tahun menikah saat

mereka berusia di bawah 18 tahun.2 Berdasarkan data survey UNICEF tahun

2009, angka pernikahan anak berkisar 46,8% terjadi di Asia Selatan, 37,3%

terdapat di Sub-Sahara Afrika, 29% terdapat di Latin America dan Caribbean,

1 Sagade, Jaya, “Child Marriage in India: Socio-legal and Human Rights Dimensions”, Oxford

University Press, New Delhi:2005, Hal: 12 2 Statistics and Monitoring Section, Division of Policy and Strategy, UNICEF, January 2013.

2

17,6% terdapat di Asia Timur dan Pasifik, dan 17,4% terdapat di Timur Tengah

dan Afrika Utara.3

India merupakan negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak

nomor dua terbesar di dunia yakni berkisar 40%.4 Dalam hasil penelitian UNICEF

India pada tahun 2008, angka kejadian pernikahan anak berusia 15 tahun berkisar

43%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18 tahun sekitar 54%. Sekitar

13.000 anak perempuan di India menikah setiap harinya, sehingga tercatat total

anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun lebih dari 23.000.000.5

Kasus-kasus penikahan anak di India mayoritas dilatarbelakangi oleh

adanya anggapan bahwa mempunyai seorang anak perempuan dianggap berkah

yang tak ternilai harganya. Anak perempuan dinilai dapat mengangkat kondisi

perekonomian keluarga mereka, melalui pernikahan dengan saudagar kaya.

Mereka tidak peduli dengan konsekuensi yang harus diterima oleh anak mereka

yang masih di bawah umur. Bahkan, para orang tua di Bihar-India berfikir bahwa

pendidikan untuk anak perempuan tidak terlalu penting. Mereka percaya bahwa

setiap anak perempuan yang telah menikah di bawah umur akan memperbaiki

status ekonomi orang tua mereka.6

Secara tradisional di India, tanggung jawab perawatan dan perlindungan

anak berada pada keluarga dan masyarakat. Keluarga di India umumnya bersifat

patriakal dan memiliki ikatan keluarga yang kuat dalam menjaga anak-anak

3Statistics and Monitoring Section, Division of Policy and Strategy, UNICEF, January 2013. 4Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty, “Early marriage and its Issues”,

Jurnal Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri, Agustus 2009. Hal: 27 5UNICEF, Child Marriage in India – An analysis of available data, (2012), India,

http://www.unicef.in/documents/childmarriage.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014 6Ibid

3

dengan baik. Akan tetapi, mereka belum memiliki kesadaran bahwa anak adalah

individu yang memiliki hak-hak tersendiri. Sedangkan Konstitusi India menjamin

hak-hak dasar anak-anak. Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan di usia dini

ini juga beresiko bagi sang anak, baik dari sisi psikologi, kesehatan, pendidikan

bahkan menyebabkan kematian. Di India, dampak dari pernikahan anak ini

mengarah kepada kekerasan, pemaksaan, hingga menimbulkan kematian. Di

Bihar dan Jharkhand menemukan bahwa kasus penyiksaan anak lebih sering

terjadi pada anak yang menikah diusia kurang dari 18 tahun. Mereka juga sering

dipaksa untuk berhubungan seksual tanpa bernegosiasi terlebih dahulu, akibatnya

sang anak lebih rentan terjangkit HIV/AIDS dan penyakit seksual lainnya. Selain

itu anak perempuan yang menikah di bawah usia 18 tahun dua kali lebih beresiko

pada saat proses kehamilan dan persalinan dibandingkan dengan perempuan

diusia 20-25 tahun. Hasil dari penelitian UNFPA tahun 2010 menemukan angka

66.6% pada anak perempuan berusia kurang dari 18 tahun yang mengalami

komplikasi pada persalinan.7

Pernikahan anak ini juga tidak jarang terkait dengan perdagangan anak.

Pernikahan anak biasanya mendorong pada hal pemaksaan, kekerasan, penipuan,

perbudakan dan bahkan tidak menutup kemungkinan anak tersebut akan di

perdagangkan. Motif ini biasanya digunakan untuk mengambil keuntungan dari

anak (istri) untuk dijadikan pekerja seks anak (pelacuran anak) atau perburuhan.8

Di Iran, misalnya, tidak jarang orang tua yang menikahi anak mereka dengan laki-

7 ibid 8 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian

Sub-Continent before the coming of the Muslims”, Macmillan Publishers. 3rd Edition, New Delhi,

2001, Hal: 165-168

4

laki yang jauh lebih tua kemudian anak mereka “diperdagangkan” dan orang tua

mendapatkan imbalan dari hasil “perdagangan” anak mereka.9

Pemerintah India pun bekerja sama dengan UNICEF India untuk

mengatasi segala sesuatu yang melanggar hak asasi anak khususnya mengatasi

kasus pernikahan anak di bawah umur di India.10 UNICEF (United Nations

Children’s Fund) merupakan organisasi internasional di bawah naungan PBB

yang membantu masalah anak-anak diseluruh dunia, baik yang berkaitan dengan

masalah kesehatan, pendidikan, malnutrisi, dan masalah pelanggaran hak asasi

anak.

UNICEF telah bekerja di India sejak tahun 1949. UNICEF memiliki 15

kantor pembantu yang berpusat di New Delhi dan 14 kantor UNICEF India

lainnya terletak di daerah Assam, Andhra Pradesh, Bihar, Chhattisgarh, Gujarat,

Jharkhand, Karnataka, Madhya Pradesh, Maharashtra, Orissa, Rajasthan, Tamil

Nadu, Uttar Pradesh, West Bengal. UNICEF melakukan penelitian secara

langsung dan menggunakan data yang berkualitas untuk memahami permasalahan

yang terjadi pada anak di India. UNICEF menggunakan pengetahuannya di

tingkat masyarakat untuk menerapkan dan memastikan bahwa perempuan dan

anak dapat mengakses layanan dasar seperti air bersih, layanan kesehatan dan

fasilitas pendidikan. Pada saat yang sama UNICEF juga meninjau langsung ke

keluarga untuk membantu mereka dalam memahami apa yang harus mereka

9 USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID Vision

for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf.

Diakses pada 26 September 2013 10UNICEF. (2007), Child National Report on “A World Fit for Children”,

http://www.unicef.org/worldfitforchildren/files/India_WFFC5_Report.pdf, Diakses pada tanggal

29 September 2013

5

lakukan untuk memastikan anak-anak mereka berkembang. Dalam menangani

masalah pada anak, UNICEF menjalin kemitraan dengan badan-badan PBB yang

lain, organisasi sukarela yang aktif di tingkat masyarakat, kelompok perempuan

dan donor.

UNICEF bekerja sama dengan Pemerintah India untuk memastikan bahwa

setiap anak yang lahir di India mendapatkan awal yang terbaik dalam hidup,

berkembang dan untuk mengembangkan potensi penuhnya.11 UNICEF bekerja di

India untuk melindungi semua hak anak di India, ini berarti hak untuk setiap anak

yang tinggal di India. Program bantuan yang diberikan oleh UNICEF berkaitan

erat dengan hak anak seperti layanan kesehatan, layanan pendidikan, program

perlindungan anak. Program tersebut diberikan pada dasarnya disesuaikan dengan

program yang diberikan oleh pemerintah India. UNICEF memiliki beberapa

langkah dalam membahas kasus pernikahan anak di India diantaranya yang

berhubungan dengan perlindungan anak (child protection), dan mempertegas Hak

Asasi seorang anak (children rights).12

Oleh karena itu, Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran UNICEF

dalam menangani kasus pernikahan di bawah umur di India dan seberapa efektif

peran UNICEF tersebut. Data yang digunakan pada penelitian ini di ambil dari

tahun 2010 hinga 2012, hal ini dikarenakan adanya peningkatan peran maupun

program yang dibentuk oleh UNICEF. Kemudian, terjadi penurunan pada angka

pernikahan anak di India. Dengan diketahuinya hal-hal tersebut, diharapkan dapat

11UNICEF, “In India, children’s vulnerabilities and exposure to violations of their rights remain

spread and multiple in nature”,

http://www.unicef.org/india/children_2360.htm, diakses pada tanggal 29 September 2013 12 ibid

6

dirumuskan sebuah analisa yang efektif dan tepat sasaran dalam menganalisa

kasus pernikahan di bawah umur di India.

B.Pertanyaan Penelitian

Menikah di usia kurang dari 18 tahun merupakan realita yang harus

dihadapi sebagian anak di seluruh dunia, terutama di India. Meskipun Deklarasi

Hak Asasi Manusia secara eksplisit menentang pernikahan anak, namun

ironisnya, praktek pernikahan usia di bawah umur 18 tahun masih terus

berlangsung dan hal ini merefleksikan perlindungan hak asasi kelompok usia

muda yang terabaikan. Peraturan seperti The Prohibition of Child Marriage Act,

2006 (PCMA, 2006) seringkali tidak efektif dan terpatahkan oleh adat istiadat

serta tradisi yang mengatur norma sosial suatu kelompok masyarakat.13

Peningkatan yang terus terjadi pada kasus pernikahan di bawah umur 18 tahun di

India ini membuat kekhawatiran sendiri bagi masa depan anak di India.

Suatu studi literasi UNICEF menemukan bahwa interaksi berbagai faktor

menyebabkan anak berisiko menghadapi pernikahan di usia dini. Diketahui secara

luas bahwa pernikahan anak berkaitan dengan tradisi dan budaya, sehingga sulit

untuk dirubah.14

13UNPFA(2005) , “Child marriage fact sheet,

http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm, Diakses pada

tanggal 7 Oktober 2013 Pukul 15.02 WIB

14UNICEF (2006), ” Early marriage: a harmful traditional practice, a statistical exploration.”,

http://www.unicef.org/earlychildhood/files/Guide_to_GC7.pdf, diakses pada tanggal 7 Oktober

Pukul 15.17 WIB

7

Berangkat dari kasus tersebut, penelitian ini akan difokuskan untuk menjawab

pertanyaan: Bagaimana peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak

di India dan seberapa efektif peran tersebut dilakukan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini dibuat bertujuan untuk:

1. Mengkaji Peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

India.

2. Melihat efektifitas peran UNICEF dalam melawan kasus pernikahan anak

di India

3. Melihat tantangan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

India

4. Melihat peluang UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

India

Kasus pernikahan anak di bawah umur 18 tahun di India sudah menjadi

kasus pelanggaran hak asasi anak yang perlu diperhatikan. Oleh sebab itu,

penelitian ini diharapkan dapat lebih memaparkan tantangan yang dihadapi oleh

UNICEF dalam menangani kasus ini.

8

Adapun manfaat yang diberikan dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Manfaat Teoritis

Secara teoritis dapat menambah wawasan ilmu Hubungan Internasional

yang berkaitan dengan bahan yang diteliti, khususnya peran organisasi

Internasional (UNICEF) dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

b. Manfaat Praktis

1. Menambah pengetahuan dan wawasan mengenai peran UNICEF dalam

menangani kasus pernikahan anak di India

2. Dapat dijadikan informasi bagi phiak terkait dengan masalah yang diteliti

serta bagi masyarakat yang membutuhkan informasi mengenai peran

UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

D. Tinjauan Pustaka

Untuk membantu menambah informasi dan menghindari kesamaan pada

penulisan skipsi, penulis mengambil beberapa sumber untuk membantu proses

penelitian. Sumber pertama berasal dari skripsi yang ditulis oleh Widia Noviyanti,

mahasiswi Fakultas Kesehatan Masyarakat, prodi Kesehatan Masyarakat,

Universitas Indonesia. Untuk memenuhi gelar S1, Juli 2013 yang berjudul:

“Analisis Data Sekunder Survei Demografi Kesehatan Indonesia Tahun 2007:

Tren dan Dampak Pernikahan Dini di Indonesia”. Skripsi ini meneliti tentang

hasil studi UNICEF (2005) di semua negara, menunjukkan bahwa pernikahan

anak paling sering terjadi pada populasi dengan status ekonomi terendah.

9

Persentase pernikahan dini di Chad dan Republik Afrika Tengah berturut-turut

sebesar 71% dan 57%. Perbedaan angka lebih sedikit pada populasi terkaya yaitu

75% di Chad dan 55% di Republik Afrika Tengah, sedangkan populasi termiskin

sebanyak 66% di Chad dan 53% di Afrika Tengah (UNICEF, 2005). Berdasarkan

data UNICEF tahun 2012, kasus pernikahan dini yang terjadi di Indonesia antara

tahun 2000-2010, terdapat 4% dari perempuan berusia 20-24 tahun yang menikah

di bawah 15 tahun, sedangkan sebesar 22% perempuan pada kelompok umur

tersebut tersebut menikah di bawah 18 tahun. Tren pernikahan dini di Indonesia

mengalami penurunan pada tahun 1977-1992. Selanjutnya pada tahun 1992,

angka pernikahan dini meningkat hingga penelitian ini dilaksanakan.

Dampak pernikahan dini pada penelitian ini meliputi status perkawinan,

status ekonomi, fertilitas, mortalitas bayi, dan penggunaan kotrasepsi. Pernikahan

dini yang terjadi pada remaja, sering berujung pada ketidakstabilan rumah tangga

sehingga meningkatkan angka perceraian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa

terdapat hubungan antara status ekonomi dengan kejadian pernikahan dini. Hal ini

terjadi karena pada keluarga dengan status ekonomi rendah, orangtua mereka

menganggap bahwa anak perempuan merupakan beban ekonomi keluarga. Selain

itu, perempuan yang berasal dari keluarga dengan ekonomi rendah sebagian besar

memiliki pendidikan yang rendah. Tidak sedikit dari mereka putus sekolah atau

tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena tidak mampu

membayar sekolah atau ingin segera bekerja untuk membantu orang tua.

Sumber kedua berasal dari skripsi yang ditulis oleh Eka Octavia: Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, prodi Hubungan Internasional, Universitas

10

Komputer Indonesia, 2009. Untuk memenuhi gelar S1 yang berjudul: “Peranan

United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam penanganan pekerja seks

komersial anak di India”. Skripsi ini meneliti tentang UNICEF (United Nation

Children’s Fund) yang termasuk dalam IGO, terbentuk pada tanggal 11 Desember

1946 untuk melindungi jiwa anak-anak dan mengatur segala hal mengenai

kesejahteraan anak-anak di dunia dan bernaung di bawah PBB serta bermarkas

besar di New York, melihat kenyataan dan tindakan yang telah terjadi terhadap

anak-anak di India merupakan suatu bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia,

khususnya hak anak dan hal tersebut harus secepat mungkin ditekan agar

kelangsungan hidup anak-anak di India dapat berjalan sebagaimana mestinya

anak-anak di dunia. Peranan UNICEF terhadap pekerja seks anak di India sangat

membantu bagi pemerintah India dalam mengatasi pekerja seks anak, pengaruh

UNICEF secara nyata memberi dukungan kepada kebijakan yang dibuat oleh

pemerintah India terhadap kelangsungan hidup anak-anak.

Sumber ketiga berasal dari buku yang ditulis oleh A.L. Basham, Professor

of Asian Civilization in the Australia National Univercity, Canberra. 3rd Edition,

New Delhi, 2001, yang berjudul: “The Wonder that was India: A Survey of the

History and Culture of the Indian sub-continent before the coming of the

Muslims”. Buku ini membahas mengenai kedudukan perempuan di India.

Seorang perempuan berdasarkan segi kekuasaanya, selalu rendah dimata hukum.

Sebagai seorang gadis kecil dia berada dibawah aturan orang tuanya, sebagai

wanita dewasa, dia mengabdi pada suaminya, menjadi ibu dari anak-anaknya, dan

sebagai seorang janda. Seorang suami memiliki hak penuh terhadap hak istrinya,

11

dia bisa menjual istrinya dalam terhimpit, dan seorang suami bisa mengendalikan

isterinya untuk kepentingan pribadi, dan jika isterinya meninggal, suami dapat

melakukan hal yang sama kepada anak perempuannya bukan kepada anak laki-

lakinya. Pada umumnya wanita tidak dapat memilih tujuan hidup. Perempuan

hanya ditakdirkan untuk menikah, kemudian merawat suami dan anak. Seorang

istri harus memiliki inisiatif dalam rumah tangga. Tugas utamanya, adalah

menunggu suaminya pulang, kemudian melayani suaminya, memijat kaki

suaminya, bangun tidur sebelum suaminya terbangun, makan dan tidur setelah

suaminya melakukan hal tersebut.

Kevirginitasan perempuan sangatlah penting, karena jika seorang

perempuan tidak virgin sebelum menikah maka tidak ada laki-laki yang mau

menikahi perempuan itu. Orang tua perempuan memiliki suatu pilihan untuk

menghukum dan mengusir puteri mereka yang tidak virgin sebelum menikah,

bahkan orang tua dapat menghukumnya dengan menjadikan anaknya seorang

pekerja seks komersial.

Sumber keempat berasal dari buku yang dituliskan oleh Jaya Sagade, New

Delhi, 2005, yang berjudul “Child Marriage in India: Socio-legal and Human

Rights Dimensions”. Buku ini menempatkan pernikahan anak dalam konteks

pelanggarangan hak asasi manusia di tingkat internasional. Buku ini juga

menunjukkan bagaimana pernikahan anak melanggar hak asasi manusia

khususnya hak asasi anak, hak tersebut seperti: hak atas kesehatan, mendapatkan

pendidikan, kesetaraan, kebebasan dan keamanan pribadi dan tentu saja hak untuk

memilih pasangan. Buku ini terfokus pada dampak dari pernikahan anak seperti

12

pada kesehatan dan perkembangan anak-anak perempuan. Ini menunjukkan

bagaimana praktik pernikahan anak memperkuat masalah dasar rendahnya tingkat

kesehatan, dan pendidikan di kalangan wanita. Buku ini juga berisi kritik kuat dari

negara hukum, dan kurangnya kepekaan gender yang melekat dalam ketentuan

berbagai undang-undang yang berhubungan dengan usia perkawinan, usia

persetujuan, dan validitas pernikahan.

Dalam buku ini menjelaskan ada delapan tipe pernikahan di India

diantaranya: pertama, Brahma, merupakan pernikahan dimana seorang pria dan

seorang wanita memiliki kasta yang sama. Kedua, Daiva, adalah pernikahan

dimana orang tua memberikan puterinya untuk membayar hutangnya. Ketiga,

Arsa, merupakan pernikahan dimana pernikahan yang sesuai dengan dowry dan

ada harga pengantin yang diukur oleh harga seekor sapi atau banteng. Keempat,

Prajapatya, merupakan pernikahan dimana seorang memberikan puterinya tanpa

dowry dan tanpa harga banding. Kelima, Gandharva, merupakan pernikahan yang

harus diadakan dengan dua kali perayaan atas persetujuan kedua belah pihak.

Keenam, Ashura, pernikahan yang terjadi dengan adanya sistem pembelian.

Ketujuh, Raksasa, pernikahan yang terjadi karena penangkapan. Kedelapan,

Paisaca, pernikahan yang terjadi karena rayuan seorang dalam keadaan tidak

sadar atau mabuk.

Dari beberapa skripsi dan buku yang tercantum diatas, terdapat persamaan

dan perbedaan dengan skripsi yang akan ditulis. Dilihat dari persamaannya, dari

beberapa sumber diatas dengan skripsi yang saya tulis sama-sama menjelaskan

tentang UNICEF secara general, kedudukan anak perempuan di India, dan

13

membahas mengenai kasus pelanggaran hak asasi anak. Sedangkan apabila dilihat

dari perbedaan antara beberapa skripsi dan buku diatas dengan skripsi yang saya

tulis, yaitu: Skripsi yang saya tulis lebih fokus kepada peran UNICEF dalam

menangani kasus pernikahan anak di India (2010-2012), dan seberapa efektif

peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Selain itu

beberapa sumber diatas tidak fokus kepada peran UNICEF dalam menangani

kasus pernikahan anak di India dan sumber-sumber di atas lebih menjelaskan

mengenai kasus pernikahan anak saja.

E. Kerangka Teoritis

Penulisan skripsi menggunakan teori Organisasi Internasional dengan

pendekatan rezim dan neofungsionalisme.

1. Pernikahan Anak

Pernikahan Anak atau Child Marriage adalah pernikahan secara

formal maupun adat dimana salah satu atau kedua pasangannya berada di

bawah usia 18 tahun.15 Dilihat dari sejarahnya, pernikahan anak ini

bertujuan untuk meningkatkan kesuburan dan memperbanyak garis

15 UNFPA. “Child Mariage”. 2010. http://www.unfpa.org/child-marriage. Diakses pada 26

September 2013

14

keturunan dan pernikahan anak ini dapat membantu hubungan ekonomi,

politik dan sosial diantara keluarga mereka.16

Pernikahan anak ini juga terkait dengan perdangangan anak.

Pernikahan anak biasanya mendorong pada hal pemaksaan, kekerasan,

penipuan, perbudakan dan bahkan tidak menutup kemungkinan anak

tersebut akan di perdagangkan.17 Seorang anak umumnya dianggap belum

mampu memberikan persetujuan atau pilihan secara sadar terhadap

berbagai hal yang dianggap penting untuk pilihannya. Diusia yang masih

sangat dini, mereka seharusnya duduk dibangku sekolah dan masih terlalu

jauh untuk memikirkan masalah pernikahan. Praktek pernikahan anak ini

sifatnya memaksa dan telah terjadi diseluruh daerah, budaya dan agama.

2. Teori Organisasi Internasional

Organisasi Internasional merupakan organisasi yang dibentuk oleh

negara-negara dengan persetujuan antara anggotanya dan mempunyai

suatu sistem yang tetap yang tugasnya adalah untuk mencapai tujuan

bersama dengan cara mengadakan kerjasama antara negara anggotanya.18

Dalam arti luas organisasi internasional meliputi organisasi

internasional publik atau public international organization yang

16 UNICEF, “Child Marriage and the Law”, 2008. Hal: 23.

http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law%281%29.pdf. Diakses

pada 26 September 2013 17 USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID

Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf.

Diakses pada 26 September 2013 18 Virally, M, “Definition and Clasification of International Organization: A Legal Approach”,

London. 2007, hal: 58

15

beranggotakan negara karena itu disebut juga sebagai organisasi antar

pemerintahan atau inter-governmental organization dan organisasi

internasional privat atau private international organization beranggotakan

badan atau lembaga swasta diberbagai negara karena itu disebut sebagai

organisasi non-pemerintahan atau non-governmental organization.19

Menurut Clive Archer dalam bukunya berpendapat bahwa

organisasi internasional adalah sebuah organisasi yang memiliki struktur

berkesinambungan serta pembentukan organisasi tersebut berdasarkan

pada perjanjian yang telah dibuat oleh anggotanya.20

Organisasi Internasional merupakan salah satu aktor penting dalam

hubungan internasional. Banyaknya organisasi internasional yang muncul

cenderung sejalan dengan banyaknya tujuan yang hendak dicapai dari

organisasi internasional itu sendiri. Anggota organisasi internasional

terdiri dari dua atau lebih negara yang berdaulat. Hal ini dimaksudkan agar

organisasi tersebut dapat terbentuk untuk mencapai sebuah tujuan yang

telah disepakati bersama oleh anggotanya. Organisasi Internasional yang

dibentuk oleh negara-negara anggotanya melalui instrumen pokok yang

telah disetujui bersama pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme

untuk mengadakan kerjasama dalam semua kegiatan diberbagai sektor

kehidupan internasional yang menjadi kepentingan mereka bersama.21

19 Sumaryo, Suryokusumo, “Pengantar Hukum Organisasi Internasional”, Jakarta: Tatanusa, Juli

2007, hal: 3-5 20 Archer, Clive, “International Organization”, London: 1983. 21 Ibid

16

Menurut Archer peranan organisasi internasional dapat dibagi

kedalam tiga kategori, yakni: Kategori Pertama, sebagai instrumen dimana

organisasi internasional digunakan oleh negara-negara anggotanya untuk

mencapai tujuan tertentu berdasarkan tujuan politik luar negerinya. Kedua,

sebagai arena dimana organisasi internasional merupakan tempat bertemu

bagi anggota-anggotanya untuk membicarakan dan membahas masalah-

masalah yang dihadapi dan tidak jarang organisasi internasional digunakan

oleh beberapa negara untuk mengangkat masalah dalam wilayahnya,

ataupun masalah dalam wilayah negara lain dengan tujuan untuk mendapat

perhatian internasional. Kategori ketiga, organisasi internasional dapat

membuat keputusan-keputusan sendiri tanpa dipengaruhi oleh negara.22

Secara sederhana, dapat dirumuskan bahwa teori organisasi

internasional merupakan teori yang membahas mengenai suatu organisasi

yang pelakunya melintasi batas sebuah negara, berangkat dari kesepakatan

masing-masing anggota untuk bekerja sama, memiliki regulasi yang

mengikat anggota, dan untuk mewujudkan tujuan internasional tanpa

meleburkan tujuan nasional dari masing-masing anggota dari organisasi

internasional yang bersangkutan.23

22 Archer, Clive, “International Organization”, London: 1983. hal: 130-147 23 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York: 2006, hal:

54-56

17

3. Pendekatan Rezim dan Neofungsional dalam Teori Organisasi

Internasional

Dalam mempelajari teori organisasi internasional, terdapat dua

pendekatan utama yang berkaitan dengan teori organisasi internasional

yakni pendekatan rezim dan pendekatan institusional. Selain itu terdapat

dua turunan dari pendekatan institusional yakni pendekatan

neofungsionalisme dan pendekatan neoinstitusionalisme.24

Pendekatan rezim merupakan pendekatan yang muncul pada tahun

1950an dan mulai kuat kembali pada tahun 1980-1990an. Pendekatan

rezim ini menganalisa pengaruh tingkah laku organisasi internasional

terhadap aktor-aktor lain terutama negara sebagai sumber politik

internasional, melihat efektivitas atau aturan-aturan yang dibuat oleh

organisasi internasional dengan kata lain pendekatan ini mencoba

menganalisis seberapa efektif keberadaan suatu organisasi internasional

dalam menyelesaikan masalah yang menjadi bidangnya, selain itu

pendekatan rezim juga mengetahui apasaja hal-hal yang dihasilkan oleh

suatu organisasi internasional dan bagaimana pengaruhnya dalam

mengatasi suatu masalah.25

Pendekatan institutional muncul pada tahun 1950-1960an dan

disebut juga sebagai analisis institusi formal. Pendekatan institusional

24 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York: 2006, hal:

27-56 25 ibid

18

merupakan sebuah pendekatan yang melihat sebuah pendekatan yang

melihat suatu organisasi internasional secara internal atau apa yang terjadi

dalam organisasi tersebut, selain itu pendekatan institusionalisme ini lebih

melihat pada struktur formal, organisasi dan birokrasi hirarki organisasi

internasional. Titik awal munculnya pendekatan institusional ini adalah

munculnya piagam organisasi dan terjadinya perjanjian internasional.

Piagam tersebut akan menjadi dasar tentang kapan dan mengapa

organisasi dijalankan serta siapa saja yang bisa menjadi anggotanya.

Pendekatan ini juga mengatur struktur birokrasi, kekuatan, pembiayaan,

proses keluar-masuk anggota, dan mekanisme berakhirnya organisasi

internasional. Terdapat ketidak puasan pada pendekatan institusionalisme

sehingga berkembang menjadi dua cabang pendekatan yaitu pendekatan

neofungsionalisme dan pendekatan neoinstitusionalisme.26

Pendekatan Neofungsionalisme merupakan pendekatan yang

menjadi awal dari pendekatan rezim yang berkembang pada tahun 1960an.

Pendekatan neofungsionalisme ini tidak hanya melihat hanya pada isu-isu

yang ada didalam organisasi internasional tetapi juga agenda internasional

organisasi internasional itu sendiri. Pada pendekatan ini kerjasama dalam

organisasi internasional lebih mengutamakan aspek politik daripada

tuntutan teknis pada integrasi fungsi pemerintahan global. Pendekatan ini

membawa politik kembali ke dalam studi organisasi internasional,

pendekatan neofungsionalisme lebih fokus pada evolusi pola pemerintahan

26 Barkin, J. Samuel, International Organization: Theories and Institutions, New York, 2006, hal:

27-56

19

dalam suatu struktur kelembagaan dan organisasi yang ada, bukan pada

penciptaan bentuk-bentuk organisasi baru.

Pendekatan neoinstitusionalisme mucul pada tahun 1990an,

pendekatan ini lebih melihat aturan dan prosedur yang dibuat oleh

organisasi internasional untuk mencapai misi formal organisasi

internasional itu sendiri, selain itu melihat sejauh mana organisasi tersebut

menjaga aturan dan prosedur yang mereka buat dan memiliki perbedaan

dalam politik internasional. Pendekatan ini melihat bahwa negara sebagai

pelaku utama yang dapat mendorong organisasi internasional untuk

melakukan tugas tertentu untuk mereka.27

Melihat isu yang akan dibahas yakni peran UNICEF dalam kasus

pernikahan anak di India, maka penelitian ini menggunakan teori

Organisasi Internasional dengan asumsi-asumsi dari pendekatan rezim dan

pendekatan neofungsionalisme. Pendekatan rezim ini menganalisa

pengaruh tingkah laku organisasi internasional terhadap aktor lain

terutama negara dan menganalisa seberapa efektif keberadaan suatu

organisasi internasional dalam menyelesaikan masalah yang menjadi

bidangnya di suatu negara, serta mengetahui apa saja yang dihasilkan oleh

organisasi internasional tersebut. Dengan demikian pendekatan rezim

membantu dalam menganalisa pengaruh UNICEF terhadap pemerintah

India dalam menangani kasus pernikahan anak di India, menganalisa

efektifitas peran UNICEF dalam menangani faktor penyebab terjadinya

27 Ibid, hal: 54-56

20

pernikahan anak dan mengurangi angka pernikahan anak di India, dan

mengetahui apa saja yang dihasilkan oleh UNICEF dalam menangani

kasus pernikahan anak di India.

Sedangkan pendekatan neofungsionalisme, pendekatan yang

melihat kerja sama suatu organisasi internasional dengan suatu negara dan

dalam pendekatan ini organisasi internasional tidak melihat hanya pada isu

yang ada pada organisasi internasional, tetapi juga melihat agenda

internasional itu sendiri. Dengan demikian, Pendekatan neofungsionalisme

ini membantu dalam melihat agenda Internasional dari UNICEF pada

kasus pernikahan anak dan melihat relasi atau kerjasama antara UNICEF

dan pemerintah India.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian

kualitatif. Metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang memusatkan

perhatiannya pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan dari

satuan-satuan gejala yang ada dalam kehidupan manusia.28 Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif analisis, yaitu menggambarkan masalah

kemudian menganalisa permasalahan yang ada melalui data-data yang telah

dikumpulkan kemudian diolah serta disusun dengan berlandaskan pada teori-

teori dan konsep-konsep yang dipergunakan. Ini bertujuan untuk

28Suharsimi Arikunto, “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik” (Jakarta: Bina Aksara

1989), hal 11

21

memperdalam pengetahuan mengenai gejala itu dengan maksud untuk

merumuskan masalah secara terperinci atau mengembangkan hipotesis.29

Teknik pengumpulan data adalah cara yang digunakan untuk

menghimpun data, info, atau fakta yang berhubungan dan relevan dengan

masalah yang hendak diteliti. Karena adanya beberapa keterbatasan yang

dimiliki dalam melakukan penelitian ini, penulis tidak dapat meninjau

langsung ke negara India dan penulis kesulitan dalam mencari data per daerah

di India. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan analisa data sekunder

yaitu dengan penelusuran literatur atau data-data dan berbagai informasi

dengan berbagai macam materi melalui studi kepustakaan dan penelusuran

data melalui internet. Teknik pengumpulan data melalui studi dokumen atau

kepustakaan, yakni bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi

dengan bantuan macam- macam material yang terdapat di ruang

perpustakaan, misalnya berupa: buku-buku, majalah, naskah-naskah, catatan,

kisah sejarah, dokumen-dokumen, dan lain-lain.

Dalam proses penelitian, penulis juga mengirimkan email langsung

kepada Fanspage UNICEF India dan mengunjungi beberapa institusi seperti

Embassy of India in Indonesia, Jawaharlal Nehru Indian Cultural Centre di

Jakarta, Kantor UNICEF Indonesia yang membantu menghubungkan kepada

UNICEF India, dan Kemeterian Luar Negeri Republik Indonesia dan penulis

juga mengunjungi beberapa perpustakaan guna membantu jalannya penelitian,

perpustakaan tersebut diantaranya: perpustakaan Universitas Indonesia,

perpustakaan BPPK (Kementrian Luar negeri), perpustakaan FISIP

29 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, “Metode Penelitian Sosial”, PT. Bumi Aksara,

hal.4

22

Universitas Prof. DR. Moestopo Beragama (UPDMB), Freedom Library, dan

perpustakaan FISIP UIN Jakarta. Data-data kepustakaan yang telah

diperoleh dijadikan fondasi dasar dan alat utama bagi praktek penelitian di

tengah lapangan.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan terdiri dari empat bab, setiap bab terdiri dari sub bab yang

disesuaikan dengan pembahasan yang dilakukan. Sistematika penulisan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I: Pendahuluan

Pada bab I, penulis akan membahas mengenai pertanyaan masalah,

pertanyan penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka,

kerangka teoritis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II: Pernikahan Anak di India

Pada bab II ini terdiri dari empat sub bab. Sub bab pertama, penulis

akan membahas mengenai isu pernikahan anak di India. Sub bab kedua,

penulis akan membahan faktor-faktor penyebab terjadinya kasus

pernikahan anak di India. Sub bab ketiga, penulis akan membahas

mengenai dampak-dampak yang terjadi pada pernikahan anak di India.

Dan sub bab keempat, penulis akan membahas mengenai kebijakan

pemerintah India dalam menangani kasus pernikahan anak di India

23

BAB III: Peran dan Tantangan UNICEF dalam Menangani Kasus

Pernikahan di India (2010-2012)

Pada bab III merupakan bab analisa yang terdiri dari empat sub

bab. Sub bab pertama, penulis akan membahas mengenai tinjauan umum

UNICEF. Sub bab kedua, penulis menjelaskan peran UNICEF di India.

Sub ba ketiga, penulis menganalisa efektifitas peran UNICEF dalam

menangani kasus pernikahan anak di India. Kemudian Sub bab keempat,

penulis akan membahas mengenai tantangan dan peluang yang dihadapi

UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

BAB IV: Penutup

Pada bab IV merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan

dan saran.

24

BAB II

PERNIKAHAN ANAK DI INDIA

A. Isu Pernikahan Anak di India

India adalah negara dengan populasi penduduk terbesar kedua di dunia

dengan jumlah 1.270.272.105 jiwa.1 India muncul sebagai kekuatan ekonomi baru

di dunia pada tahun 1990-an.2 Semenjak diakui sebagai kekuatan ekonomi baru,

India terus berkembang sebagai negara demokratis dengan pertumbuhan ekonomi

yang dapat dikatakan tumbuh dengan cepat. Akan tetapi, dibalik kesuksesan India

di bidang ekonomi dan di dunia internasional, India menjadi negara yang

memiliki catatan panjang atas pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap anak dan

perempuan. Berdasarkan enam kategori pelanggaran hak-hak anak yaitu ancaman

kesehatan, kekerasan seksual dan non-seksual, praktek-praktek berbahaya dalam

budaya, tradisi atau agama seperti pernikahan anak, keterbatasan akses terhadap

sumber ekonomi dan perdagangan manusia, India menjadi negara nomor empat

yang paling berbahaya bagi anak perempuan dan wanita pada kategori praktek

budaya seperti pernikahan anak.3

Pernikahan anak didefinisikan sebagai pernikahan dimana usia pengantin

laki-laki masih di bawah 21 tahun dan usia pengantin perempuan di bawah 18

1 “India’s Population in 2014”. http://www.indiaonlinepages.com/population/india-current-

population.html, disunting pada: Jumat, 13 Juni 2014. 16.42 2 OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”. December 2013. Hal: 13.

http://www.ohchr.org/do

cuments/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundation.pdf. Diakses pada: 13

Juni 2014. 3 Ibid.

25

tahun.4 Pernikahan anak di India telah telah terjadi semenjak abad pertengahan

dan dipengaruhi dengan budaya kasta yang ada di India. Dengan berjalannya

waktu, pernikahan anak dianggap sebagai bentuk pelanggaran hak anak, karena

jika anak dinikahkan dibawa umur, maka beberapa hak anak akan terhambat atau

terbatasi, hak tersebut diantaranya adalah hak mendapatkan pendidikan, hak

mendapatkan pelayanan kesehatan, hak atas perlindungan hukum, dan hak untuk

tumbuh dan berkembang. Mayoritas yang menjadi korban dari pernikahan anak

ini adalah anak perempuan. Pengantin anak seringkali harus menghadapi putus

sekolah, resiko awal kehamilan dan mengalami kekerasan. Pada tahun 2007

hingga 2010, sekitar 23.000.000 anak perempuan di India menghadapi kenyataan

ini.5 Hal ini memiliki dampak cukup besar tidak hanya pada anak-anak sebagai

individu, tetapi juga pada keluarga, masyarakat dan bangsa secara keseluruhan.

Mayoritas anak perempuan yang menikah di usia dini tidak diperbolehkan untuk

menyelesaikan pendidikan dan mereka hanya memiliki sedikit keterampilan untuk

bekerja, hal ini dapat meningkatkan angka kemiskinan di India.

Data lain menyebutkan bahwa pada tahun 2007-2008 India merupakan

negara yang memiliki jumlah angka pernikahan anak nomor dua terbesar didunia

yakni 40% atau sekitar 23.000.000 kasus pernikahan anak. Penelitian UNICEF

India pada tahun 2008, menemukan bahwa angka kejadian pernikahan anak

berusia 15 tahun berkisar 29%, sedangkan yang menikah di saat usia tepat 18

4 Ministry of Law and Justice. “The Prohoibition of Child Marriage Act, 2006”.

http://wcd.nic.in/cma2006.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014 5 Ministry Of Women and Child Development, ”National Strategy Document on Prevention of

Child Marriage”, 2013, Hal: 1. http://wcd.nic.in/childwelfare/Strategychildmarrige.pdf. Diakses

pada 15 Juni

26

tahun sekitar 28% dan hampir setengah (43%) perempuan India berusia 20-24

tahun menikah saat mereka masih berusia di bawah 18 tahun. Adapun daerah-

daerah yang memiliki kasus pernikahan anak cukup tinggi di India adalah

Rajasthan, Madhya Pradesh Uttar Pradesh, Bihar, Jharkhand dan Bengal Barat

dengan kisaran angka 59% hingga 68 % atau sekitar 15.000.000 kasus pernikahan

anak. 6

Pernikahan anak di India merupakan masalah yang cukup kompleks

karena berkaitan dengan adat tradisional, agama, dan beberapa masalah sosial di

India. Selain itu, pernikahan anak ini menimbulkan dampak yang cukup parah

karena pernikahan anak ini merupakan kasus pelanggaran hak asasi anak bahkan

sampai menyebabkan kematian. Pernikahan anak ini juga merupakan masalah

sosial yang mengancam kehidupan masa depan pemuda India.

B. Faktor Penyebab Terjadinya Pernikahan Anak di India

Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kasus pernikahan

anak di India, diantaranya: Adat dan budaya tradisional India, persepsi masyarakat

mengenai keselamatan anak, faktor pendidikan dan faktor ekonomi. Jika dilihat

dari adat dan budaya tradisional India, pernikahan anak di India dilandasi

sejumlah motivasi diantaranya: pernikahan anak dipercaya mampu

mempromosikan kasta dalam kehidupan sehari-hari apabila kedua pasangan

menikah dengan kasta yang berbeda, dapat meningkatkan kesuburan dan

6 UNICEF, Child Marriage in India – An analysis of available data, (2012), India.

http://www.unicef.in/documents/childmarriage.pdf. Diakses pada 16 Juni 2014

27

memperbanyak garis keturunan dan pernikahan anak ini dapat membantu

hubungan ekonomi, politik dan sosial diantara keluarga mereka.7 Saat ini di India

khususnya di daerah yang memiliki kasus pernikahan anak cukup besar seperti

Bihar, Rajashtan, Jharkhand, Uttar Pardesh, dan Madya Pardesh, pernikahan anak

sudah menjadi tradisi dan telah disalahgunakan oleh sebagian besar penduduk

India karena tidak jarang dijadikan pekerja anak maupun diperdagangkan.

Pernikahan anak di bawah umur menjadikan, status perempuan di India dipandang

rendah oleh kaum laki-laki. Anak perempuan yang belum menikah dianggap

sebagai harga terpenting bagi kehormatan keluarga. Pernikahan anak dipercaya

sebagai cara untuk memastikan kesucian dan keperawanan pengantin wanita,

sehingga para orang tua menikahkan anak perempuannya untuk menjaga

kehormatan keluarganya.8

Selain itu, orang tua di India masih percaya bahwa jika mereka tidak

menikahkan anak mereka sebelum masa pubertas, maka mereka akan berdosa.

Jika anak perempuan mereka belum menikah hingga anak perempuan mereka

mendapat menstruasi maka dosa mereka sama seperti mereka membunuh orang.

Dengan adanya kepercayaan tersebut, maka orang tua memilih untuk menikahi

anak mereka sedini mungkin dengan tujuan menghindari dosa9

7 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian

Sub-Continent before the coming of the Muslims”, Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New

Delhi, hal:165 8 UNICEF India. “Child Marriage: Fact Sheet”. November 2011. Hal 2.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni

2014 9 Basham, A. L. “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian

Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition. New Delhi,

2001. Hal:159

28

Di Bihar dan Rajashtan, masih banyak orang tua yang berfikir bahwa anak

perempuan itu tidak diharuskan untuk bersekolah, karena anak perempuan akan

menjadi seorang istri dan mematuhi seorang suami dan memiliki anak perempuan

akan melindungi atau membawa berkah bagi keluarga, sehingga mereka

menganggap untuk menikahi anak perempuan mereka dengan cepat tanpa melihat

resiko yang ada.10

Saat ini masih ada praktek-praktek pelanggaran hak wanita yang masih

terjadi, terutama dikarenakan tradisi dan budaya masyarakat India yang sudah

berakar sejak lama dan yang masih berlangsung sampai sekarang. Salah satunya

adalah budaya “Bride Price” atau Dowry, yang menimbulkan efek negatif

terhadap kondisi kehidupan wanita India.11

Dowry adalah pemberian yang dilakukan oleh pihak pengantin wanita

kepada pihak pengantin laki-laki ketika menikahkan anaknya, dowry bisa berupa

uang tunai, barang-barang berharga seperti perhiasan, alat elektronik, furniture

dan lain sebagainya, tergantung permintaan dari pihak laki-laki.12 Terkadang

semakin tinggi status sosial dan pendidikan dari calon pengantin laki-laki, maka

akan semakin tinggi pula jumlah dowry yang diminta.

Menurut hasil studi yang dilakukan oleh Sonia Dalmia dan Pareena G.

Lawrence, Dowry merupakan hadiah dan tanda bukti kasih sayang dari orang tua

10 Ministry of Women and Child Development Government of Orissa, “State Plan of Action of

Childre,. 2009-2012”. http://www.wcdorissa.gov.in/download/StatePlanAction.pdf. Diakses pada

17 Juni 2014 11 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian

Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New

Delhi, hal: 165-168 12 Ibid.

29

terhadap anak perempuannya ketika memasuki pernikahan. Hadiah itu diberikan

kepada pihak laki-laki, sehingga anak perempuan mereka bisa sepenuhnya

menjadi anggota keluarga laki-laki dan menikmati kekayaan mereka sendiri

melalui dowry tersebut. Sehingga dowry ini dianggap sebagai kompensasi, karena

anak perempuan tidak mendapatkan hak waris seperti anak laki-laki.13 Akan

tetapi, pandangan tersebut berubah dengan didukung adanya hubungan yang kuat

antara status hirarki dan jumlah dowry dari keluarga wanita kepada pihak laki-

laki, pengantin laki-laki yang berasal dari kasta yang lebih tinggi akan menerima

jumlah dowry yang tinggi pula dibanding dowry bagi pengantin laki-laki dari

kasta yang lebih rendah.14 Seringkali permintaan keluarga pengantin laki-laki ini

tidak berhenti saat awal pernikahan, namun terus berlanjut ketika anak-anak

mereka sudah menikah. Pihak perempuan diharuskan memberikan apa yang

diminta oleh pihak keluarga laki-laki jika ingin anak mereka diperlakukan dengan

baik oleh keluarga pihak laki-laki.15

Budaya dowry ini telah menyebar hampir ke seluruh lapisan masyarakat

India. Jika pada empat abad yang lalu sistem dowry hanya dijalankan di kalangan

tertentu seperti umat Hindu yaitu pada kelompok kasta kelas atas. Saat ini, tradisi

dowry telah menyebar ke dalam kalangan kelas menengah dan bawah masyarakat

Hindu, Kristen dan Muslim di India. Di India bagian utara, masyarakat muslim

13 Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. “The Institutions of Dowry in India : Why it Continues

to Prevail. The Jounal of Developing Areas”. Vol.38 No.2. 2005.

14 Sonia Dalmia dan Pareena G. Lawrence. “The Institutions of Dowry in India : Why it Continues

to Prevai”l. The Jounal of Developing Areas. Vol.38 No.2. 2005.

15 Ibid

30

mulai mempraktekkan dowry sejak puluhan tahun yang lalu.16 Karena adanya

sistem dowry inilah anak perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga,

mereka akan membebani keluarga secara finansial di kemudian hari. Dengan

adanya sistem dowry ini para orang tua memilih untuk menikahkan putri mereka

sedini mungkin agar terbebas dari sistem dowry.17

Selain budaya dowry, sejak usia dini, anak-anak diajari tentang peran dan

kedudukan mereka dalam masyarakat, dimana kedudukan laki-laki lebih tinggi

dibandingkan perempuan dan peran perempuan hanya sebagai alat reproduksi atau

penghasil keturunan. Tradisi ini diperkuat dengan adanya sistem kasta dan

kepercayaan kepada dewa-dewa dan roh yang dianggap berperan penting dan tak

terpisahkan dari kehidupan mereka. Di India memiliki empat sistem kasta yaitu

Brahamana yang terdiri golongan tertinggi seperti para ulama atau pendeta-

pendeta, Kesatria yang terdiri dari golongan bangsawan dan tentara, Waisha yang

terdiri dari golongan pedagang dan petani dan Sudra yang terdiri golongan biasa

atau rakyat jelata.18

Setiap kasta di India mengajarkan bahwa hanya pria lah yang lebih

bernilai dan dominan di keluarga India. Mereka bertindak sebagai kepala rumah

tangga, pencari nafkah dan para pengambil keputusan.19 Selain mengajarkan

16 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian

Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New

Delhi, hal:165-168 17 ibid 18 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian

Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New

Delhi, hal:165-168 19 Bidner, Chris and Eswaran, Mukesh. “A Gender-Based Theory of the Origin of the Caste System

of India”. New Delhi. 2 Des 2012. Hal: 5.

31

mengenai kedudukan pria, sistem kasta juga memiliki aturan lain seperti

pendidikan hingga usia pasangan yang harus mereka nikahkan.

Dari keempat kasta hanya tiga yang masih memiliki peraturan yang masih

aktif hingga sekarang, yakni: Brahmana memiliki peraturan bahwa anak-anak

wajib mendapatkan pendidikan selama 8 tahun, Kesatria memiliki peraturan

bahwa anak-anak wajib mendapatkan pendidikan selama 11 tahun dan Waisha

memiliki peraturan bahwa anak-anak wajib mendapatkan pendidikan selama 12

tahun. Setelah mereka mendapatkan pendidikan sesuai dengan aturan kasta

mereka, mereka diwajibkan untuk melanjutkan pendidikan lebih dalam mengenai

kasta yang mereka anut selama 12 tahun. Setelah mereka menyelesaikan

pendidikan kasta kemudian mereka harus menikah dengan pasangan yang

memiliki kasta yang sama dan memiliki perbedaan usia 12 tahun lebih muda.20

Hal tersebut yang mendorong para orang tua menikahkan anak perempuan mereka

dengan seorang laki-laki yang usianya jauh lebih dewasa dan memiliki kesamaan

kasta dengan anak perempuan mereka. Kasta sendiri memiliki pengaruh pada

sistem dowry, karena semakin besar kelas kasta semakin tinggi pula jumlah dowry

yang harus diberikan.21

Persepsi masyarakat terhadap keselamatan anak merupakan faktor yang

dapat mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di bawah umur. Hasil studi

http://www.isid.ac.in/~pu/conference/dec_12_conf/Papers/MukeshEswaran.pdf. Diakses pada 19

November 204.

20 Basham, A. L, “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture of the Indian

Sub-Continent before the coming of the Muslims”.Macmillan Publishers. 3rd Edition, 2001, New

Delhi, hal:165-168 21 Ibid.

32

ICRW tahun 2011 menyatakan banyak orang tua di India sering merasa khawatir

tentang keselamatan dan keamanan anak perempuan mereka dari tindakan

pelecehan atau kekerasan seksual. Dengan menikahkan anak perempuan mereka

diusia dini mereka merasa dapat menjaga virginitas anak perempuan mereka.22

Pernikahan anak juga merupakan salah satu cara untuk melestarikan

kekayaan dalam keluarga antar kelas sosial-ekonomi yang lebih tinggi. Beberapa

keluarga yang sangat kaya, mempunyai kecenderungan dan juga terdorong oleh

kebutuhan untuk melindungi kehormatan anak perempuan mereka dan nama

keluarga mereka, dan dengan status kekayaan keluarga. Hal ini membuat mereka

menikahi anak perempuan mereka ke keluarga yang memiliki tingkat

perekenomian yang setara.23

Adanya anggapan bahwa perempuan hanya dianggap sebagai pekerja yang

sifatnya reproduktif sedangkan laki-laki merupakan pekerja yang sifatnya

produktif. Sehingga timbul pembagaian pekerjaan dimana perempuan sifatnya

lebih diam dirumah atau mengontrol kebutuhan rumah tangga, sedangkan laki-laki

sifatnya bekerja diluar dan mencari uang. Hal ini menjadi salah satu penyebab

timbulnya ketidaksetaraan gender di India.24 Karena ketidaksetaraan gender ini

maka perempuan tidak memiliki hak atau tidak bisa mengambil keputusan dan

22 USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID

Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf.

Diakses pada 19 Juni 2014 23 OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December 2013. hal: 13.

http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundatio

n.pdf. Diakses pada: 13 Juni 2014. 24 Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and

The Way Forward”, 2013. hal: 5.

https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20South%20Asia.2013.pdf.

Diakses pada 19 Juni 2014

33

tidak bisa bernegosiasi mengenai pendidikan, pekerjaan, masalah keluarga, dan

masalah seksualitas sehingga anak perempuan cenderung hanya menerima apa

yang diberikan kepadanya. Hal tersebut yang mendorong orang tua untuk

menikahkan anak perempuan mereka saat usia mereka masih sangat dini. Untuk

kasus pernikahan anak laki-laki tidak sebanyak pernikahan anak perempuan

dikarenakan anak laki-laki tidak terbebani oleh sistem dowry dan anak laki-laki

tidak memiliki resiko yang dimiliki oleh perempuan. Di India, memiliki anak

perempuan dianggap sebagai beban bagi keluarga, karena memiliki anak

perempuan akan menghabiskan dana yang cukup besar untuk kebutuhan hidupnya

termasuk membayar dowry, sehingga tanpa berfikir panjang mereka menikahkan

putrinya tanpa melihat status dan usia.25

Kurangnya pendidikan juga menjadi faktor yang melatar belakangi

pernikahan anak di India. Rata-rata, anak yang memiliki pendidikan yang cukup

tinggi biasanya menikah diusia lanjut atau diatas 18 tahun.26 Berdasarkan data

dari National Family Health Survey (NFHS India), 40% anak perempuan yang

memiliki pendidikan tinggi di India menikah diusia 20-24 tahun.27 Hal ini

25 Davis, A., Postles, C. and Rosa, G,. “A girl’s Right to Say No to Marriage: Working to end

Child Marriage and Keep Girls in School”, Plan International, 2013.

http://www.planbelgie.be/sites/default/files/user_uploads/a_girls_right_to_learn_without_fear._wo

rking_to_end_gender-based_violence_at_school_plan_international_-_engelstalig.pdf. Diakses

pada 21 Juni 2014 26 Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities, Responses and

The Way Forward”, 2013, hal: 5.

https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20South%20Asia.2013.pdf.

Diakses pada 19 Juni 2014 27 Marcy Hersh, Sunayana Walia and Priya Nanda, ”Solution Exchange for the Gender Community

Discussion Summary”, International Center for Research on Women (ICRW), New Delhi, Januari

2010. http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 21 Juni 2014

34

mengindikasikan bahwa seorang anak yang memiliki pendidikan yang lebih

tinggi, semakin kecil kemungkinan dia untuk menikah diusia dini.

Tingkat pendidikan yang rendah pada orang tua dan minimnya akses ke

sekolah dengan jarak yang cukup jauh yaitu 10 kilometer, khususnya di daerah

pedesaan, menjadi penghambat bagi pendidikan anak-anak dan berpotensi sebagai

pelaku pernikahan dini. Hasil studi dari ICRW tahun 2011 di India menemukan

tidak adanya infastruktur yang memadai, kurangnya akses menuju sekolah dan

jarak yang cukup jauh menjadi halangan bagi anak-anak untuk bersekolah.

Kebanyakan sekolah menengah didaerah pedesaan India memiliki jarak yang

cukup jauh dan sulitnya trasportasi menuju ke sekolah serta tingginya tingkat

kejahatan di desa membuat para orang tua semakin khawatir untuk mengirim anak

mereka kesekolah tersebut.28 Hal tersebut juga dirasakan di daerah Andra Pardesh,

berdasarkan DLHS-3 tahun 2010, terdapat hanya 31% anak yang tetap bersekolah

dan kebanyakan dari mereka adalah laki-laki, sehingga menimbulkan mereka

harus putus sekolah diusia 10 hingga 15 tahun.29 Di daerah Rajasthan,

berdasarkan NFHS-3, terdapat 23% anak yang hadir kesekolah.30 Di daerah Bihar,

berdasarkan NFHS-3, 24 % anak yang bersekolah dan kemudian harus berhenti

sekolah saat usi mereka 10 tahun dikarenakan kekhawatiran orang tua mereka.31

28 ICRW and AUSAID, “Child Marriages in Southern Asi: Policy Action for Action”, 2012.

http://www.icrw.org/publications/child-marriage-southern-asia. Diakses pada 21 Juni 2014 29 Report, The District Level Household and facility Survey (DLHS): (Reproductive & Child

Health Project). http://www.rchiips.org/pdf/rch3/report/AP.pdf. Diakses pada: 23 Desember 2014 30 Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen India’s

demographic and health policies and programs. http://www.rchiips.org/nfhs/raj_state_report.pdf.

Diakses pada 23 Desember 2014 31 Ibid. http://www.rchiips.org/nfhs/NFHS-3%20Data/Bihar_report.pdf Diakses pada 23 Desember

2014

35

Selain beberapa faktor diatas, faktor ekonomi merupakan faktor yang

memiliki pengaruh besar terhadap kasus pernikahan anak ini. Pertimbangan

ekonomi pada suatu keluarga sangat mempengaruhi terjadinya pernikahan anak di

bawah umur. Hasil penelitian UNICEF tahun 2011 menemukan sekitar 56%

pernikahan anak terjadi didaerah pedesaan India dan 29% pernikahan anak terjadi

didaerah perkotaan India.32 Praktek pernikahan anak pada umumnya terjadi di

pedesaan atau di daerah yang memiliki tingkat kemiskinan dengan rata-rata

penghasilan penduduknya sebesar 5 hingga 100 Rupe perbulan.33 Acara

pernikahan di India sedikitnya memerlukan biaya 8000 Rupee, dengan biaya

pernikahan yang mahal dan ekonomi yang sangat minim serta terbatas maka

setiap keluarga yang memiliki anak perempuan di bawah umur memilih untuk

menikahi anak mereka sebelum masa pubertas dalam acara pernikahan masal

guna meminimalisir dana pernikahan. Selain itu orang tua memiliki

ketergantungan yang tinggi kepada seorang laki-laki atau saudagar kaya untuk

menikahi anak perempuan mereka dengan tujuan memperbaiki ekonomi

keluarga.34

Dikarenakan anak perempuan mereka belum cukup umur dan dianggap

masih suci, maka dalam pernikahan tersebut pihak laki-laki akan memberikan mas

kawin atau mahar berupa uang atau barang mewah yang akan diberikan langsung

32 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni

2014 33 34 World Bank, “World Development Report on Gender Equality and Development”, 2012, hal:

154.

http://econ.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTRESEARCH/EXTWDRS/EXT

WDR2012/0,,menuPK:7778074~pagePK:7778278~piPK:7778320~theSitePK:7778063~contentM

DK:22851055,00.html. Diakses pada 24 Juni 2014

36

oleh keluarga anak perempuan dan menjadi hak milik keluarga.35 Pengantin anak

perempuan memiliki harga yang lebih tinggi, hal ini disebabkan usia yang sangat

muda dan dipercaya mampu memberikan kontribusi yang baik untuk suami dan

keluarganya. Disamping itu, anak perempuan di India dianggap sebagai “paraya

dhan” atau properti pernikahan, oleh karena itu anak perempuan dinikahkan

sedini mungkin guna menutup hutang atau mengurangi hutang keluarga.36

Pernikahan anak ini terjadi tidak hanya dikalangan ekonomi rendah tetapi

juga dikalangan ekonomi tinggi. Untuk keluarga kaya, banyak orang tua yang

menikahi anaknya kepada keluarga kaya juga demi menjaga garis warisan dan

kekayaan yang dimiliki oleh keluarganya.37

C. Dampak Pernikahan Anak di India

Pernikahan anak memiliki dampak yang negatif bagi sang anak sendiri,

baik dari sisi psikologi, kesehatan, dan pendidikan. Secara psikologis, anak yang

menikah di usia dini akan mengalami trauma berkepanjangan, selain itu akan

mengalami krisis percaya diri. Anak juga secara psikologis belum siap untuk

bertanggung jawab dan berperan sebagai isteri atau ibu, sehingga jelas bahwa

35 International Center for Research on Women, “Too Young to Wed”, 2003, hal: 6.

http://www.icrw.org/publications/too-young-wed-0. Diakses pada 22 Juni 2014 36 Ibid, hal: 6 37 OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December 2013, hal: 13.

http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/theredelephantfoundatio

n.pdf. Diakses pada: 20 Juni 2014.

37

pernikahan anak menyebabkan imbas negatif terhadap kondisi psikologis serta

perkembangan kepribadian mereka.38

Disisi kesehatan, Penting untuk diketahui bahwa kehamilan pada usia

kurang dari 17 tahun meningkatkan risiko komplikasi medis, baik pada ibu

maupun pada anak. Kehamilan di usia yang sangat muda ini ternyata berkorelasi

dengan angka kematian dan kesakitan ibu. Faktanya hampir setengah (45%) anak

perempuan di India meninggal di bawah usia 20 tahun dan 15% diantaranya

meninggal pada saat kehamilan dan proses persalinan di usia yang sangat muda.

Di India, anak perempuan berusia 10-14 tahun berisiko lima kali lipat meninggal

saat hamil maupun bersalin dibandingkan kelompok usia 20-24 tahun, sementara

risiko ini meningkat dua kali lipat pada kelompok usia 15-19 tahun. Anatomi

tubuh anak belum siap untuk proses mengandung maupun melahirkan, sehingga

dapat terjadi komplikasi berupa obstructed labour serta obstetric fistula.39

Data dari UNFPA India tahun 2006 menemukan bahwa dari 957 penderita

obstetric fistula di India 78% mengalami persalinan diusia 15-21 tahun atau

menikah di usia kurang dari 15 tahun dan penderita obstetric fistula sering

ditemukan di daerah Uttar Pradesh, Punjab, Assam, Orissa, Bihar, Jharkhand,

Madhya Pradesh dan Rajasthan.40 berdasarkan data NFHS-3, dari 50.000 hingga

38 UNFPA, “Child Marriage Fact Sheet”, 2005.

http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm. Diakses pada 23

Juni 2014 39 USAID, “Preventing Child Marriage: Protecting Girls Health”, 2006.

http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pdaci387.pdf. Diakses pada 23 Juni 2014 40 UNFPA India, “A Study to identify the occurrence of Obstetric Fistula in India (Report)”. New

Delhi. 2006.

http://www.endfistula.org/webdav/site/endfistula/shared/documents/needs%20assessments/India%

20OF%20Needs%20Assessment.pdf. Diakses pada Jum’at 14 November 2014

38

100.000 anak perempuan yang melahirkan per tahunnya tercatat 22% penderita

obstetric fistula terdapat di Rajasthan, Punjab, dan Uttar Pardesh, 20% terdapat di

Orrisa, Bihar dan Jharkhand, 18% terdapat di Orissa, 18% di Madhya Pradesh.41

Fistula merupakan kerusakan pada organ kewanitaan yang menyebabkan

kebocoran urin atau feses ke dalam vagina. Wanita berusia kurang dari 20 tahun

sangat rentan mengalami obstetric fistula. Obstetric fistula ini dapat terjadi pula

akibat hubungan seksual di usia dini. 42

Mudanya usia saat melakukan hubungan seksual pertamakali juga

meningkatkan risiko penyakit menular seksual dan penularan infeksi HIV. Banyak

anak perempuan yang menikah dini yang berhenti sekolah saat mereka terikat

dalam pernikahan, mereka seringkali tidak memahami dasar kesehatan reproduksi

dan tidak memiliki kemampuan untuk bernegosiasi dalam menggunakan alat

kontrasepsi, sehingga dengan mudah mereka terinfeksi HIV.43 Berdasarkan data

kementerian kesehatan India tahun 2009-2011, tercatat sekitar 116.000 perempuan

yang terjangkit HIV/AIDS, 14.500 diantaranya adalah anak-anak.44 Tidak hanya

itu, pernikahan anak ini juga berdampak pada bayi yang dilahirkan, berdasarkan

data dari The State of the Worlds Children Report (SOWC) India 2007, sekitar

41 Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen India’s

demographic and health policies and programs.

http://www.rchiips.org/nfhs/urban_health_report_for_website_18sep09.pdf. Diakses pada 23

Desember 2014 42 UNFPA India, “A Study to identify the occurrence of Obstetric Fistula in India (Report)”. New

Delhi. 2006.

http://www.endfistula.org/webdav/site/endfistula/shared/documents/needs%20assessments/India%

20OF%20Needs%20Assessment.pdf. Diakses pada Jum’at 14 November 2014

43 IPPF, “Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action”, 2006.

http://www.unfpa.org/webdav/site/global/shared/documents/publications/2006/endchildmarriage.p

df. Diakses pada 25 Juni 2014 44 Government of India, Press Information Bureau.

http://pib.nic.in/newsite/PrintRelease.aspx?relid=89785. Diakses pada 23 Desember 2014

39

1000 bayi yang lahir per tahunnya 19% bayi yang lahir dari ibu berusia di bawah

17 tahun adalah prematur.45

Jika dilihat dari sisi pendidikan, dengan adanya pernikahan anak ini maka

anak yang dinikahkan mau tidak mau harus putus sekolah dan mengurus

pekerjaan rumah, sehingga anak tidak memiliki kesempatan untuk mengenyam

pendidikan. Di daerah seperti Bihar, Mizoram, Rajasthan dan Uttar Pradesh

terdapat lebih dari 60% anak perempuan yang keluar dari sekolah sebelum

menyelesaikan pendidikan dasar mereka dan kemudian menikah diusia kurang

dari 18 tahun.46 Semakin dini anak perempuan menikah maka semakin rendah

pendidikannya, sehingga menimbulkan kemungkinan terjadinya kekerasan dalam

rumah tangga. pelecehan seksual, dan ketergantungan ekonomi. Akibatnya,

terjadilah ketidaksetaraan di rumah tangga serta menimbulkan diskriminasi dan

rendahnya status seorang perempuan.47

Biasanya anak yang menghadapi kekerasan dalam rumah tangga ini juga

cenderung tidak melakukan perlawanan dan mereka biasanya dikhususkan untuk

pekerjaan rumah tangga dengan pengetahuan yang terbatas. Hal itu yang

menyebabkan anak perempuan (istri) tidak memiliki kemampuan untuk

bernegosiasi dan pihak laki-laki (suami) cenderung mengontrol dan membatasi

akses perempuan terhadap kehidupannya. Dikarenakan wanita atau anak

45 CSR India. “A Study on” Child Marriage in India: Situational Analysis in Three States”.

http://www.csrindia.org/images/download/case-studies/Child-Marriage-Report.pdf. Diunduh pada

Jumat, 14 November 2014 46 UNICEF, Statistics of India (2004), http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html.

Diakses pada 15 November 2014 47 UNICEF India, “Child Marriage: Fact Sheet”, November 2011. Hal 1.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. Diakses pada 26

Juni 2014

40

perempuan tidak memiliki daya dan keterampilan untuk negosiasi, maka sering

sekali mereka dipaksa untuk menetap dirumah dan melakukan segala bentuk

pekerjaan rumah tangga dan mengurus anak (bagi yang memiliki anak), dan tidak

bisa bersosialisasi dengan baik sebagaimana biasanya seorang ibu rumah tangga.

Meskipun ada yang berbeda pendapat, tetapi pada kenyataannya pernikahan anak

ini juga termasuk dalam perdangangan anak.48 Tidak menutup kemungkinan

dengan adanya pernikahan anak maka akan menimbulkan sifat pemaksaan,

kekerasan, penipuan, perbudakan dan bahkan sampai anak tersebut akan di

perdagangkan dan digunakan dalam prostitusi.

Pada tahun 2006, tercatat 76% kasus perdagangan anak yang terjadi di

daerah Tamil Nadu, Karnataka, Andhra Pradesh dan Kerala karena dinikahkan secara

dini,49 Dengan menikahi seorang anak maka anak ini akan digunakan untuk

mengambil keuntungan dari anak (istri) untuk dijadikan tanaga seks anak

(pelacuran anak) atau perburuhan.50 Anak-anak perempuan di Bengal Barat, India

menjadi korban perdagangan anak yang terjadi akibat pernikahan anak, anak-anak

perempuan di Bengal dikirim ke daerah kecil seperti kashmir. Mereka dijadikan

pekerja seks dan dipaksa menikah dengan pria yang usianya jauh lebih tua.51

48 Shulman, Juliana, “Child Marriage In India”. [email protected]. Diakses pada 27 Juni

2014 49 2006, National Crime Record Bureau, Govt of India, New Delhi. http://ncrb.gov.in/. Diakses

pada 26 Desember 2014 50 USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children: the USAID

Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_Vision_Factsheet.pdf.

Diakses pada 27 Juni 2014 51 ibid

41

Di Selatan India Perdagangan dan pelacuran anak ini juga didukung

dengan adanya budaya “Devadasi”. Sebagian besar perempuan yang mengalami

devadasi ini mencari nafkah mereka dengan menyediakan layanan seksual kepada

anggota kuil dan masyarakat yang datang ke kuil.52 Pada tahun 2006 hingga 2010,

tercatat hampir 25.000 anak perempuan yang menjadi korban devadasi terdapat di

daerah Karnataka, Bengal, pada tahun 2007, terdapat 17.000 Jogini di Andhra

Pradesh, Maharashtra, dan Orissa.53 Sistem Devadasi adalah praktek keagamaan

yang masih dianut dibeberapa daerah di India selatan, dimana orang tua menikahi

anak perempuannya dengan Tuhan atau roh-roh leluhur mereka dikuil tempat

mereka berdoa untuk dipersembahkan kepada dewa atau roh leluhur mereka,

kemudian sang anak akan menetap di kuil tempat mereka menikah. Biasanya hal

ini terjadi sebelum anak perempuan mereka mencapai masa pubertas. Gadis yang

mengalami devadasi disebut sebagai Jogini dan Jogini dilarang melakukan

pernikahan yang sesungguhnya.54

Dampak terakhir dari kasus pernikahan anak di India ini adalah terjadinya

kasus perceraian dan timbulnya status janda pada anak. Pada tahun 2007, India

memiliki 7.000 kasus perceraian dari pernikahan anak yang tersebar di daerah

Rajasthan, Bengal Barat, Bihar, Jharkhand, Uttar Pardesh, dan Madhya Pardesh.

Biasanya kasus perceraian ini banyak terjadi di daerah pedesaan India

52 Vanini, Sakti. “Trafficking and HIV, Maharashtra” Trafficking Report. Rajastan 2005. Hal 19

http://shaktivahini.org/wp-content/uploads/2012/03/MharastraTAHA.pdf. Diunduh pada 18

November 2014. 53 Menon, Ramesh. “Devadasi in a role play performance on child marriage”. 26 April 2011

http://www.wunrn.com/news/2011/05_07/05_07_07/051407_india.htm Diunduh pada: 22

Desember 2014 54 Vanini, Sakti. “Trafficking and HIV, Maharashtra” Trafficking Report. Rajastan 2005. Hal 19

http://shaktivahini.org/wp-content/uploads/2012/03/MharastraTAHA.pdf. Diunduh pada 18

November 2014.

42

dibandingkan dengan daerah perkotaan.55 Daerah yang memiliki anak perempuan

berstatus janda terbanyak di India adalah Bengal Barat yakni 74%.56 Janda-janda

kecil ini biasanya mengalami diskriminasi yang menyebabkan timbulnya rasa

minder dan krisis kepercayaan diri sehingga membatasi ruang lingkup dirinya

sendiri.

Pernikahan semestinya dilakukan atas persetujuan penuh dari kedua

pasangan. Namun kenyataan yang dihadapi dalam pernikahan anak di India,

persetujuan menikah seringkali merupakan paksaan atau tekanan orang tua,

sehingga anak setuju untuk menikah dan seringkali merupakan bentuk bakti dan

hormat pada orang tua. Orang tua beranggapan bahwa menikahkan anak mereka

berarti suatu bentuk perlindungan terhadap sang anak, namun hal ini justru

menyebabkan hilangnya kesempatan anak untuk berkembang, tumbuh sehat, dan

kehilangan kebebasan dalam memilih.57

Berdasarkan berbagai dampak yang ditimbulkan dari pernikahan anak baik

dampak psikologis, kesehatan dan pendidikan yang telah dijelaskan sebelumnya,

maka praktek pernikahan anak seharusnya dihindari dan pemerintah perlu

melakukan tindakan untuk mengendalikan angka pernikahan anak di India.

55 Rohit Parihar, “Wedowed Children in India”, 31 Oktober 2008.

http://indiatoday.intoday.in/story/Widowed+children/1/18934.html. Diakses pada 26Desember

2014 56 Suswati Basu, “India’s City of Widow”. Rabu, 30 Juni 2010.

http://www.theguardian.com/commentisfree/2010/jun/30/india-city-widows-discrimination.

Diakses pada 26 Desember 2014 57 UNPFA, “Child marriage fact sheet”, 2005.

http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.htm. Diakses pada 29

Juni 2014

43

D. Kebijakan Pemerintah India dalam Menangani kasus Pernikahan Anak

di India

Pemerintah nasional dan masyarakat internasional semakin menyadari

bahwa pernikahan anak telah menjadi tantangan serius, baik sebagai pelanggaran

hak asasi manusia khususnya hak asasi anak dan menghambat perkembangan

masa depan anak. Kebudayaan tradisional India tepatnya pada masa perjuangan

kemerdekaan, tokoh nasional India, Mahatma Gandhi sudah menyerukan

persamaan hak bagi anak perempuan, bahwa tugas pertama pasca kemerdekaan

India adalah untuk menyusun konstitusi kepada masyarakat, tanpa ada perbedaan

atas dasar jenis kelamin. Seruan ini menjadi dasar bagi pemerintah India dalam

menangani kasus pernikahan anak, dimana memperhatikan juga mengenai

persamaan hak tanpa melihat jenis kelamin.58

Pemerintah India berusaha menangani kasus pernikahan anak dengan

berbagai cara. Secara Nasional Pemerintah India memiliki kebijakan dalam

menangani kasus pernikahan anak di India. Ada beberapa cara yang telah

digunakan oleh pemerintah untuk memberdayakan perempuan, mendorong anak-

anak india untuk lanjut sekolah, dan merubah mindset masyarakat India.59 Adapun

kebijakan nasional yang dilakukan oleh pemerintah India diantaranya, (Lihat

Tabel II.C.1)

58 UNICEF India, “End Child Marriage: Change Perceptions and Beliefs”, 2013. New Delhi, hal:

11. http://unicef.org.np/media-centre/press-releases/2014/08/11/india-commits-to-end-child-

marriage. Diakses pada 29 Juni 2014 59 UNICEF India, “End Child Marriage: Change Perceptions and Beliefs”, 2013. New Delhi, hal:

11. http://unicef.org.np/media-centre/press-releases/2014/08/11/india-commits-to-end-child-

marriage. Diakses pada 29 Juni 2014

44

Tabel. II.C.1. Kebijakan Nasional India dalam menangani kasus pernikahan anak di India

Kebijakan Nasional Ketentuan yang berkaitan tentang

pernikahan anak.

Bal Vivah Virodh Abhiyan Membuat aksi larangan program

pernikahan anak

The Compulsory Registration of

Marriages Act

Mewajibkan kepada seluruh warga

negara India untuk mendaftarkan

pernikahannya.

The Prohibition of Child Marriage Act,

2006

Ketentuan usia pernikahan di India

yakni perempuan 18 tahun dan laki-laki

21 tahun.

Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya

(KGBV)

Setiap anak di India berhak

mendapatkan pendidikan.

Dhanalakshmi Dana tunai yang digunakan untuk

asuransi anak di India

Child Protection Scheme (ICPS)

Memberikan perawatan dan

perlindungan terhadap peningkatan

kesejahteraan anak-anak dalam keadaan

sulit

Sarva Shiksa Abhiyan ( SSA ) Memberikan pendidikan dasar yang

dkhususkan untuk anak berusia 6-14

tahun.

Membantu menangani ketidaksetaraan

gender dan kesenjangan sosial terhadap

anak-anak.

Rajiv Gandhi Scheme for Empowerment

of Adolescent Girls-SABLA

Memberikan informasi mengenai nutrisi

dan kesehatan reproduksi.

Jika dilihat pada tabel diatas, pada tahun 2005, the National Commission

for Women (NCW) atau Komisi Perempuan Nasional India mengeluarkan Bal

Vivah Virodh Abhiyan atau larangan program pernikahan anak. Program ini

merupakan program kesadaran nasional india yang berfungsi untuk meningkatkan

kesadaran akan tingkat dan dampak dari pernikahan anak di India. program ini

difokuskan untuk daerah-daerah yang memiliki kasus pernikahan anak yang

45

cukup tinggi seperti; Rajasthan, Bihar, Chhattisgarh, Madhya Pradesh, Jharkhand,

dan Uttar Pradesh. Komisi perempuan India telah menerbitkan sebuah iklan di

media nasional untuk membangkitkan kesadaran didaerah-daerah yang

difokuskan. Progam ini juga dipercaya dapat membantu meningkatkan derajat

anak perempuan di India dan secara tidak langsung dapat meningkatkan target

usia pernikahan.60

Ditahun 2006, Mahkamah Agung di India memutuskan kepada seluruh

warga negara India untuk wajib melakukan pendaftaran bagi semua pernikahan.

Selain itu pemerintah India membuat The Compulsory Registration of Marriages

Act atau program aksi wajib daftar nikah. Dalam hal ini menyatakan bahwa setiap

warga negara India wajib mendaftarkan pernikahannya selambat-lambatnya dalam

waktu sepuluh hari sebelum hari pernikahan.61

Pernikahan tidak akan diakui secara resmi kecuali pasangan tersebut

memiliki sertifikat yang diperoleh setelah mendaftarkan ke pihak yang berwenang

dan pasangan yang telah mendaftarkan pernikahannya telah dipastikan bahwa

mereka telah cukup usia untuk menikah. Dalam proses pendaftaran pernikahan,

pemerintah juga melakukan pengecekan usia pada tiap pasangan, sehingga

pemerintah mengetahui dan dapat mencegah terjadinya praktek pernikahan anak

di India.62

60 Kumari, Ranjana. Dr, “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis in Three

States”, hal: 18-19. http://www.unodc.org/pdf/india/training_manual_police1.pdf. Diakses pada 28

Juni 2014 61 ibid 62 HAQ: Centre for Child Rights, ”Child Marriage in India: Achievements, Gaps and Challenges”,

New Delhi, India.

46

Pemerintah di Madhya Pradesh, Uttar Pradesh, Haryana dan Bihar dimana

pernikahan anak cukup besar terjadi di daerah tersebut masih belum mengambil

inisiatif untuk mewajibkan masyarakatnya dalam melakukan registrasi atau

mendaftarkan pernikahan, hal ini dikarenakan adanya kesenjangan undang-

undang antara pemerintah pusat dan pemerintah di daerah tersebut.63 Dengan

adanya program the Compulsory Registration of Marriages Act ini maka

pemerintah pusat sudah mewajibkan bagi semua warga negara India untuk

meregistrasikan atau mendaftarkan pernikahanan mereka dengan tujuan untuk

mengetahui struktur sosial dan kondisi lokal serta mencegah terjadinya

pernikahan anak di berbagai daerah di India.64

Ditahun yang sama, pemerintah India juga membuat The Prohibition of

Child Marriage Act, 2006 (PCMA, 2006) atau Aksi Larangan bagi pernikahan

anak di India. The Prohibition of Child Marriage Act, 2006 (PCMA, 2006) ini

deklarasikan pada 10 Januari 2007 dan mulai berlaku pada tanggal 1 november

2007. Program ini dibuat untuk mengatasi pernikahan anak di India yang semakin

marak.65

Sebelum dibuatnya The Prohibition of Child Marriage Act, 2006 (PCMA,

2006), pemerintah India sudah membuat The Child Marriage (Restraint) Act,

http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/haqcentreforchildrights1

.pdf. Diakses pada 01 Juli 204 63 Kumari, Ranjana. Dr, “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis in Three

States”, hal: 17-18. http://www.khubmarriage18.org/sites/default/files/55.pdf. Diunduh pada 02

Juli 2014 64 Ibid 65 Ministry of Women and Child Development. ” Handbook on The Prohibition of Child Marriage

Act, 2006” New Delhi: 2007. http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_handbook.pdf. Diakses

pada 2 Juli 2014

47

1929 dan The Prevention of Child Marriage Act, 2004. Kedua program tersebut

memiliki kesamaan pada tujuan yakni sama-sama bertujuan untuk melawan kasus

pernikahan anak di India hanya saja diperbaharui dan dibuat sesuai dengan

perkembangan kasus pernikahan anak disetiap tahunnya.66 The Prohibition of

Child Marriage Act, 2006 (PCMA, 2006) membuat beberapa undang-undang

yang diklasifikasikan menjadi tiga bagian yaitu: pencegahan, perlindungan dan

tuntutan bagi yang melanggar. Setelah diberlakukannya Child Marriage

Prohibition Act 2006 dan dibuatnya Child Marriage Officer, Pemerintah India dan

seluruh daerah di India wajib mengikuti dan mentaati peraturan yang ada, selain

itu Child Marriage Prohibition Act ini juga berlaku untuk semua warga India

terlepas dari agama dan diluar ikatan India, akan tetapi tidak berlaku untuk daerah

bagian Jammu dan Kashmir. Dalam penyelesaian kasus pernikahan anak terdapat

masalah dalam sulitnya penegakan hukum terhadap para pelanggar, hal ini

terbukti dengan ditahun 2010 terdapat 111 kasus dilaporkan pada PCMA dan

hanya 11 kasus yang dilanjutkan ke jalur hukum, (National Bureau Crime

Records).67

Pemerintah India telah mengambil langkah hukum yang positif dan

progresif untuk mencegah terjadinya perkawinan anak ini. Hukum pertama India

ialah menetapkan batas usia minimum untuk menikah yang dibuat oleh Child

Marriage Restraint Act dan telah diberlakukan sejak tahun 1929. Kemudian Child

66 Kumari, Ranjana. Dr. “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis in Three

States”. Hal: 16-17. http://www.khubmarriage18.org/sites/default/files/55.pdf. Diunduh pada 02

Juni 2014 67 Ministry of Women and Child Development, ” Handbook on The Prohibition of Child Marriage

Act, 2006”, New DelhI, 2007. . http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_handbook.pdf.

Diakses pada 02 Juli 2014

48

Marriage Prohibition Officers membuat sebuah undang-undang baru yang

disahkan pada bulan Desember 2006, yang melarang pernikahan anak dan

menetapkan usia sah untuk menikah pada 18 tahun untuk anak perempuan dan 21

tahun untuk anak laki-laki. Undang-undang baru tersebut mengamanatkan

langkah-langkah hukuman terhadap semua yang melakukan, mengizinkan ataupun

memperkenalkan pernikahan anak. Langkah-langkah ini termasuk hukuman

minimal dua tahun penjara dan denda hingga INR 100.000.68

Ditahun 2007, pemerintah India membuat Kasturba Gandhi Balika

Vidyalaya (KGBV). Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV) merupakan

komponen dari Department of Elementary Education Sarva Shiksha Abhiyan

(SSA), National Programme for Education of Girls at Elementary in India yang

mendirikan sekolah dasar dikomplek perumahan yang ditujukan anak perempuan

yang berusia 11-14 tahun hingga usia lanjut ataupun perempuan yang telah

berhenti dari pendidikannya dengan berbagai alasan. Kasturba Gandhi Balika

Vidyalaya (KGBV) ini dibuat untuk membantu mencegah pernikahan anak

melalui sistem pendidikan, tidak hanya itu dengan adanya Kasturba Gandhi

Balika Vidyalaya (KGBV) ini menyadari setiap anak berhak untuk mendapatkan

pendidikan.69

68 Ministry of Law and Justice, ”The Prohibition of Child Marriage Act, 2006”, New Delhi, 10

Januari 2007. http://wcd.nic.in/cma2006.pdf. Diakses pada 03 Juli 2014

69 Rawat, Sangeeta, ” Status and Functioning of Kasturba Gandhi Balika Vidyalayas

Uttarakhand”, Visual Soft Research Development, Vol.2, hal: 574-576.

http://www.vsrdjournals.com/vsrd/Issue/2011_11_Nov/Web/3_Sangeeta_Rawat_413_Research_C

ommunication_Nov_2011.pdf. Diakses pada 03 Juli 2014

49

Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV) ini telah dibuat pada tahun

2004, tetapi baru diresmikan oleh pemerintah India pada tanggal 01 April 2007.

Kasturba Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV) telah dilaksanakan di 24 daerah di

India yakni: Assam, Andhra Pradesh, Arunachal Pradesh, Bihar, Jharkhand,

Gujarat, Haryana, Himachal Pradesh, Karnataka, Jammu dan Kashmir, Madhya

Pradesh, Chattisgarh, Manipur, Maharashtra, Meghalaya, Mizoram, Orissa,

Punjab, Rajasthan, Tamil Nadu, Tripura, Uttar Pradesh, Uttarakhand dan Bengal

Barat, Dadar dan Nagar Haveli. Terdapat 2180 KGBV yang disahkan oleh

Pemerintah India sampai dengan bulan Maret 2007.70

Pada Maret 2009, pemerintah India melalui Kementerian Perempuan dan

Anak atau The Ministry of Women and Child Development mengeluarkan

Dhanalakshmi atau dana tunai yang digunakan untuk asuransi anak perempuan di

India. Cara ini dibuat untuk mendorong setiap keluarga khususnya yang memiliki

anak perempuan agar mendaftarkan kelahiran anak mereka, menjaga kondisi

kesehatan dengan cara membawa anak perempuan mereka untuk melakukan

imunisasi, dan mempertahankan pendidikan anak mereka sampai kelas VIII.

Selain itu Dhanalakshmi ini juga memberikan perlindungan asuransi untuk anak

perempuan mereka yang belum menikah ketika usia mereka diatas 18 tahun.

Dhanalakshmi ini juga dipercaya mampu mengubah pola pikir perempuan (ibu)

dan anak dengan memanfaatkan dana yang ada untuk kesejahteraan anaknya.

70 Ibid, hal: 574-576

50

Sehingga, transfer tunai atau asuransi ini dibuat untuk menjaga kesejahteraan anak

perempuan di India.71

Selama tahun 2009 hingga 2010, Kementerian Perempuan dan Anak India

atau The Ministry of Women and Child Development telah mengeluarkan program

Perlindungan Anak Terpadu atau Integrated Child Protection Scheme (ICPS)

dengan maksud untuk menciptakan lingkungan yang aman di negara India dengan

cara memberikan perawatan dan perlindungan terhadap anak-anak berusia 0-18

tahun, baik anak-anak yang berada dalam konflik, anak-anak dari keluarga

migran, anak-anak dari tahanan, anak-anak perempuan dalam prostitusi, pekerja

anak, anak-anak yang hidup di jalanan, anak-anak korban pernikahan, maupun

diperdagangkan atau anak-anak korban kejahatan seksual.72

Tujuan dari program ini adalah untuk memberikan kontribusi terhadap

peningkatan kesejahteraan anak-anak dalam keadaan sulit, serta mengurangi

kerentanan terhadap situasi dan tindakan yang mengarah pada penyalahgunaan,

penelantaran, eksploitasi, dan pemisahan anak. Program ini dicapai melalui:

Peningkatan akses dan kualitas layanan perlindungan anak, meningkatkan

kesadaran masyarakat tentang hak-hak anak, penanganan dan tanggung jawab

yang jelas bagi perlindungan anak, struktur pemerintahan yang telah didirikan

berfungsi untuk memberikan pelayanan hukum dan dukungan kepada anak-anak

71 Ministry of Women and Child Development, “Child Protection and Welfare“, New Delhi,

Annual Report: 2009-2010, Chapter 4, hal: 49-50.

http://wcd.nic.in/publication/AR201213_english.pdf. Diakses pada 5 Juli 2014 72 Ibid, hal: 45-46

51

yang berada dalam kesulitan, mendirikan sebuah sistem pemantauan berdasarkan

pada bukti dan hasil evaluasi.73

Sarva Shiksa Abhiyan ( SSA ) atau program pendidikan untuk semua ini

dibuat pada tahun 2010 oleh pemerintah India dalam mencapai Universal

Elementary Education (UEE) di India. Program ini juga merupakan program

unggulan pemerintah yang bertujuan memberikan pendidikan dasar yang

berkualitas dengan fokus yang dikhususkan pada pendidikan anak perempuan

berusia 6-14 tahun dan membantu memperkuat infrastruktur sekolah. Tidak hanya

itu SSA ini juga membantu menangani ketidaksetaraan gender dan kesenjangan

sosial terhadap anak-anak dan memastikan adanya perbedaan yang signifikan

terhadap tingkat pendidikan sang anak.74

Pada tahun 2011-2012 pemerintah India melalui Ministry Women and

Child Development membuat suatu progam Rajiv Gandhi Scheme for

Empowerment of Adolescent Girls-SABLA. Rajiv Gandhi Scheme for

Empowerment of Adolescent Girls-SABLA merupakan suatu program yang

mempromosikan pemberdayaan perempuan, nutrisi yang lebih baik dan kebiasaan

yang sehat melalui informasi kesehatan reproduksi, pendidikan dan keterampilan

hidup di kalangan remaja perempuan. SABLA ini sedang dilakukan di daerah

Odisha dengan tujuan untuk meningkatkan status gizi dan kesehatan anak

perempuan dalam kelompok usia 11-18 tahun dan memberdayakan mereka

dengan memberikan pendidikan keterampilan hidup, kesehatan dan pendidikan

73 Ibid, hal: 45-46 74 Aide Memoire, “SARVA SHIKSHA ABHIYAN: Tenth Joint Review Mission”, July 2009, hal: 5.

http://www.indabook.org/d/Introduction-SARVA.pdf. Diakses pada 5 Juli 2014

52

gizi dan lain sebagainya. Program ini difokuskan untuk anak-anak perempuan

yang telah berhenti sekolah.75 Selain itu, pemerintah India juga memiliki tanggung

jawab utama untuk memastikan bahwa semua kebutuhan anak-anak terpenuhi dan

melindungi hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi anak sepenuhnya.

Pada level internasional, India juga ikut serta dan menandatangani

beberapa kebijakan Internasional mengenai hak asasi manusia khususnya hak

asasi anak sesuai dengan peraturan pemerintah India. kebijakan tersebut

diantaranya; International Covenant on Civil and Political Rights, International

Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR). Convention on the

Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW),

Convention on the Rights of the Child (CRC). (Lihat tabel).76

Tabel II.C.2. Kebijakan Internasional yang diratifikasi oleh India dalam menangani kasus

pernikahan anak di India

Kebijakan Internasional

Ketentuan yang berkaitan dengan

pernikahan anak dan perlindungan

anak.

International Covenant on Civil and

Political Rights

Artikel 10:

Pernikahan hendaknya disetujui oleh

pihak laki-laki dan pihak perempuan.

International Covenant on Economic,

Social and Cultural Rights (ICESCR)

Artikel 23:

Laki-laki dan Perempuan memiliki

batasan usia untuk menikah dan

membentuk sebuah keluarga.

75 Ministry Of Women and Child Development, “Implementation Guidelines: Rajiv Gandhi

Scheme for Empowerment of Adolescent Girls- SABALA”, 14 Desember 2010, hal: 8-11.

http://wcd.nic.in/schemes/SABLA-guidelines141210.pdf. Diakses pada 5 Juli 2014 76 UNICEF, “Child Marriage and the Law: Legislative Reform Initiative”, Paper Series. 2007.

http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law%281%29.pdf Diakses

pada 09 Juli 2014

53

Pernikahan tidak akan terjadi jika tidak

ada persetujuan dari kedua belah pihak.

Tiap negara mengadakan perjanjian

untuk mengambil langkah yang tepat

dalam menjamin kesetaraan hak dan

tanggung jawab dari pasangan

pernikahan, termasuk ketentuan

perlindungan untuk anak korban

pernikahan apabila terjadi perceraian.

Convention on the Elimination of all

Forms of Discrimination against Women

(CEDAW)

Artikel 18 (2):

Tiap negara harus mengambil langkah

yang tepat untuk menghapus dikriminasi

terhadap perempuan dalam segala hal

yang berhubungan dengan pernikahan

dan hubungan keluarga dan khususnya

harus memastikan adanya kesetaraan

gender.

Pertunangan dan pernikahan seorang

anak tidak memiliki kekuatan hukum,

dengan demikian perlu ditetapkan

ketentuan mengenai usia pernikahan dan

registrasi pernikahan yang resmi.

Convention on the Rights of the Child

(CRC)

Pernikahan anak tidak dianggap secara

langsung oleh CRC, hal ini memberikan

kesempatan pada anak untuk

mengekspresikan pandangan mereka

secara bebas, melindungi anak dari

pelecehan dan praktek-praktek

tradisional yang berbahaya.

Pemerintah India juga telah menjadi bagian dalam Millennium

Development Goals (MDGs) yakni komitmen untuk memenuhi hak-hak anak

untuk kelangsungan hidup, kesehatan, mendapatkan pendidikan, dan mendapatkan

perlindungan yang dideklarasikan pada Konferensi Tingkat Tinggi Milenium oleh

189 negara anggota Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) di New York pada bulan

September 2000.77 Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut

77 UNDP, The United Nations Development Programme, “Concern Worldwide and the Millennium

Development Goals: Working to keep the promise”, September 2010.

54

berkomitment untuk mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program

pembangunan nasional dalam upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-

isu yang sangat mendasar tentang pemenuhan hak asasi dan kebebasan, MDGs

memiliki delapan sasaran diantaranya: Memberantas kemiskinan dan kelaparan,

mewujudkan pendidikan dasar bagi semua, mendorong kesetaraan gender dan

pemberdayaan perempuan, mengurangi angka kematian anak, meningkatkan

kesehatan Ibu, memerangi HIV/AIDS, malaria dan penyakit lainnya, menjamin

kelestarian fungsi lingkungan hidup dan mengembankan kemitraan global untuk

pembangunan.78

Dengan berbagai kebijakan nasional maupun internasional yang dilakukan

pemerintah India dalam menangani kasus pernikahan anak, Pemerintah India juga

menjalin kerja sama dengan berbagai pihak seperti: LSM, donor, petugas

keamanan, Gram Panchayat dan organisasi Internasional yakni UNICEF (United

Nations Children’s Fund) India untuk mengatasi segala sesuatu yang melanggar

Hak Asasi Anak khususnya mengatasi kasus pernikahan anak di India.79

http://www.un.org/en/mdg/summit2010/pdf/ZeroDraftOutcomeDocument_31May2010rev2.pdf.

Diakses pada 09 Juli 2014 78 ibid 79UNICEF (2007), Child National Report on “A World Fit for Children”. 29 September 2013.

http://www.unicef.org/worldfitforchildren/files/India_WFFC5_Report.pdf, diakses pada 09 Juli

2014

55

BAB III

PERAN DAN TANTANGAN UNICEF DALAM MENANGANI

KASUS PERNIKAHAN ANAK DI INDIA (2010-2012)

A. Tinjauan Umum United Nations Children’s Fund (UNICEF)

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membentuk United Nations Children’s

Fund (UNICEF) pada tahun 1946, setelah Perang Dunia II dalam rangka

menyediakan kebutuhan seperti makanan dan pakaian untuk anak-anak di Eropa.

Seiring berjalannya waktu, di tahun 1953 UNICEF menjadi bentuk badan tetap

dari PBB. Enam tahun kemudian, sidang umum PBB mengeluarkan Deklarasi

Hak Anak dan menetapkan perluasan bidang UNICEF untuk mengidentifikasi hak

anak meliputi kebutuhan anak seperti kesehatan dan gizi anak, pendidikan anak,

dan perlindungan anak. Pada bulan Desember 1950, majelis Umum PBB

memberikan mandat kepada UNICEF untuk membantu anak-anak yang hidup

dalam kekurangan, khususnya di negara-negara yang sedang berkembang hingga

akhirnya, pada bulan Oktober 1953, Majelis Umum PBB memutuskan bahwa

UNICEF ditetapkan menjadi suatu badan permanen dalam PBB yang menangani

masalah anak. UNICEF kemudian lebih dikenal sebagai United Nations

Children’s Fund.1

UNICEF tersebar di lebih dari 190 negara dan wilayah melalui program-

program negara dan Komite Nasional berdasarkan perjanjian atau kerjasama

1 Margaret wachenfeld, “brief history of children’srights and the role of UNICEF”, hal 11.

http://www.unicef.org/rightsite/files/standupfinal.pdf. Diakses pada 15 Juli 2014

56

dengan pemerintah negara setempat, salah satu negaranya ialah India.2 Salah satu

dari 6 kantor regional UNICEF yang mengkoordinasikan dukungan khusus untuk

program-programnya berada di New Delhi.

UNICEF menginginkan perencanaan program-program di suatu negara

atau country programming dan kemudian memberikan pendekatan pelayanan oleh

dan untuk masyarakat.3 UNICEF memiliki komitmen untuk menjamin

perlindungan anak yang kurang beruntung, seperti korban perang, bencana alam,

kemiskinan dan semua bentuk pelanggaran terhadap anak. Pemberian nobel

kepada UNICEF pada tahun 1965 merupakan salah satu bukti tindakan langsung

dari dunia internasional terhadap kepedulian dan pengakuan bahwa kesejahteraan

anak tidak dapat dipisahkan dari perdamaian dunia itu sendiri.4

UNICEF dibangun dengan tujuan untuk merawat anak-anak di seluruh

dunia dan menyelesaikan masalah-masalah pada anak serta membantu anak-anak

dan kaum perempuan diseluruh dunia yang membutuhkan pertolongan dalam

krisis kemanusiaan. Sebagai salah satu organisasi internasional yang secara

khusus memberikan perhatian terhadap anak-anak dan untuk menyediakan

kebutuhan hidup bagi jutaan anak-anak yang lahir dalam kemiskinan di daerah

termiskin di negara berkembang, UNICEF berjuang untuk perdamaian dan

keamanan khususnya pada anak. UNICEF melibatkan semua orang dalam

menciptakan lingkungan yang aman untuk anak-anak. UNICEF dibuat untuk

2 Ibid 3 Rudy, T. May, “Administrasi dan Organisasi Internasional”, Refika Aditama, Bandung, 2005.

H: 48 4 Ibid

57

meringankan penderitaan pada anak dalam keadaan darurat dan dimanapun anak

terancam.5

UNICEF ingin memberikan yang terbaik dalam kehidupan setiap anak,

memperhatikan pendidikan anak, memastikan bahwa semua anak di imunisasi

terhadap penyakit anak yang umum dan bergizi baik, mencegah penyebaran

HIV/AIDS di kalangan muda, melibatkan semua orang dalam menciptakan

lingkungan protektif bagi anak-anak, mencapai kesetaraan bagi mereka yang di

diskriminasi, pada anak perempuan dan wanita khususnya.6

UNICEF memiliki sejumlah fungsi antara lain sebagai penyediaan

infrastruktur pendidikan dasar untuk dunia, meningkatkan tingkat kehidupan anak

di negara berkembang, kesetaraan gender melalui pendidikan bagi anak

perempuan, perlindungan anak-anak dari segala bentuk kekerasan dan pelecehan,

melindungi dan advokasi hak anak, imunisasi bayi dari berbagai penyakit,

penyediaan gizi yang memadai dan air minum yang aman untuk anak-anak.

Pengembangan analisis situasi anak dan wanita adalah fungsi sentral dari mandat

UNICEF. Ini adalah output program yang sangat mendukung upaya nasional dan

lembaga ini adalah bagian dari upaya menyeluruh PBB untuk mendukung

kapasitas nasional untuk mempromosikan pembangunan manusia dan memenuhi

hak asasi warga negara.7

5 UNICEF. “What We do”. http://www.unicef.org/about/. Diakses pada 15 Juli 2014 6 Margaret wachenfeld, “brief history of children’srights and the role of UNICEF”, hal 11.

http://www.unicef.org/rightsite/files/standupfinal.pdf. Diakses pada 15 Juli 2014 7 UNICEF. “Child Protection” http://www.unicef.org/protection/. Diakses pada 15 Juli 2014

58

Melihat fungsi-fungsi tersebut, terlihat bahwa UNICEF sangat perduli

dengan anak-anak. UNICEF mengamati situasi anak-anak dari tiap negara dan

menyimpulkan bahwa kesejahteraan anak-anak di negara berkembang sangat

berbeda dengan kesejahteraan anak-anak di negara maju. Hal tersebut selalu

berkaitan baik dengan sistem pemerintahan dan sistem perekonomian negara

bersangkutan. Oleh karena itu, kesejahteraan anak-anak di negara berkembang

lebih mendapatkan perhatian khusus oleh UNICEF, maka UNICEF mengadakan

kerjasama dengan berbagai pihak untuk mendapatkan keseimbangan dalam

menangani masalah seputar anak.8

Peranan UNICEF untuk mengadvokasi hak-hak anak diseluruh dunia,

berkontribusi atas kesejahteraan dan perlindungan anak melalui program kerjanya

dan juga memberikan bantuan kesehatan, pendidikan bagi anak diseluruh dunia.

Program-program kerja yang dimiliki oleh UNICEF yaitu program perlindungan

anak dan inklusi sosial, program kelangsungan hidup anak, program pendidikan,

program dalam keadaan darurat dan aksi kemanusiaan. (lihat tabel III.A.1).9

Dalam menangani kasus pernikahan anak, UNICEF memasukan kasus

tersebut kedalam program perlindungan anak, sehingga program perlindungan

anak merupakan salah satu program yang menjadi perhatian UNICEF dan dalam

menjalankan program perlindungan anak ini UNICEF banyak aktif diberbagai

negara salah satunya India.

8 Margaret wachenfeld, “brief history of children’srights and the role of UNICEF”, hal 11.

http://www.unicef.org/rightsite/files/standupfinal.pdf. Diakses pada 15 Juli 2014 9 UNICEF. “What We do”. http://www.unicef.org/whatwedo/. Diakses pada 15 Juli 2014

59

TABEL. III.A.1. Program UNICEF tahun 2006-2013

Sumber: http://www.unicef.org/whatwedo/

Dalam melakukan program kerja tentu dibutuhkan anggaran yang tidak

sedikit. Mengenai pendanaan, UNICEF didanai oleh kontribusi sukarela, dimana

mayoritas berasal dari pemerintah, namun UNICEF juga menerima bantuan dana

yang cukup besar dari sektor swasta serta dari masyarakat yang mendukung

melalui Komite Nasional untuk UNICEF melalui sumbangan baik berupa materi

(dana) maupun non materi yang mendukung program-program kerja UNICEF.10

Berdasarkan tujuan, fungsi dan program diatas, UNICEF memiliki

kebijakan yaitu selalu bekerjasama dengan pemerintah di setiap negara atau pihak

lain dan mewujudkan program kerjanya. Kinerja yang dilakukan oleh UNICEF

merupakan hasil dari kemitraan atau kerjasama dengan pihak-pihak yang

10UNICEF. “United for Children”, 2013. http://www.unicef.org/partners/. Diakses pada 16 Juli

2014

Program

Perlindungan

anak dan inklusi

sosial

Program

kelangsungan

hidup anak

Program

Pendidikan

Program dalam

keadaan Darurat

dan aksi

kemanusiaan

Perkembangan

remaja

Pengembangan

anak usia dini

Pendidikan dasar

dan kesetaraan

gender

UNICEF dalam

keadaan darurat

Perlindungan

anak

Kesehatan Pendidikan anak

perempuan

Anak-anak

penyandang cacat

HIV/AIDS Inovasi untuk

pendidikan

Pemberantasan

kekerasan

terhadap anak

Imunisasi Belajar untuk

perdamaian dari

inisiatif sekolah

Inklusi inisiatif

sosial

Nutrisi

Air, sanitasi dan

hygiene

60

memiliki tujuan yang sama dengan UNICEF untuk membangun masa depan anak

di dunia menjadi lebih baik.

B. Peran UNICEF di India

UNICEF telah bekerja di India sejak tahun 1949. UNICEF berkomitmen

untuk bekerja sama dengan Pemerintah India untuk memastikan bahwa setiap

anak yang lahir mendapatkan awal yang terbaik dalam hidup, berkembang dan

mengembangkan potensi sepenuhnya.11 UNICEF India memiliki 15 kantor

pembantu yang berpusat di New Delhi dan 14 kantor UNICEF India lainnya

terletak di daerah Assam, Andhra Pradesh, Bihar, Chhattisgarh, Gujarat,

Jharkhand, Karnataka, Madhya Pradesh, Maharashtra, Orissa, Rajasthan, Tamil

Nadu, Uttar Pradesh, West Bengal.12 UNICEF melihat bahwa kasus pernikahan

anak di India merupakan kasus yang telah menjadi budaya dan harus ditangani

karena melanggar hak anak di India.13 UNICEF India bekerjasama dengan

pemerintah India untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di India dan

membantu anak-anak dalam mengatasi masalah yang terjadi pada anak, salah

satunya adalah masalah pernikahan pada anak. Kegiatan UNICEF India dilakukan

bersama dengan pemerintah negara yang bersangkutan, melaksanakan dan

bertanggung jawab atas program secara langsung ataupun melalui organisasi-

11 UNICEF India. “About Us: UNICEF in India” http://www.unicef.org/india/overview.html.

Diakses pada 16 Juli 2014 12 Ibid 13 UNICEF India, “Child Marriage: Fact Sheet”, November 2011. Hal 2.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. Diakses pada 17 Juli

61

organisasi yang ditugaskan pemerintah. Dukungan yang sangat besar di berikan

kepada program-program yang menangani permasalahan anak-anak di India.14

UNICEF India menggunakan pengetahuan di tingkat masyarakat untuk

mengembangkan intervensi yang inovatif untuk memastikan bahwa perempuan

dan anak-anak dapat mengakses layanan dasar seperti air bersih, kunjungan

kesehatan dan fasilitas pendidikan, dan layanan yang berkualitas tinggi lainnya.

UNICEF India menjangkau langsung ke keluarga untuk membantu mereka dalam

memahami apa yang harus mereka lakukan untuk memastikan perkembangan

anak-anak disetiap keluarga. Dalam melakukan programnya, UNICEF India tahu

bahwa kunci untuk mengatasi masalah anak di India harus didukung dengan

bantuan dari LSM, kelompok perempuan dan para donor yang ada. Secara umum

program-program UNICEF di India meliputi:

1. Kesehatan,

2. Gizi,

3. Air, lingkungan dan sanitasi,

4. HIV/AIDS,

5. Pendidikan,

6. Perlindungan anak.15

Program perlindungan anak atau child protection di India adalah suatu

program yang berfokus pada pekerja anak, perdagangan anak, pernikahan anak

14 UNICEF India, “Understanding the Perceptions of UNICEF Partners in India: Findings of a

Study”, India, Maret 2011. http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf.

diakses pada 17 Juli 2014 15 UNICEF India, “Our Work: UNICEF’s India Program”

http://www.unicef.org/india/activities.html. Diakses pada 17 Juli 2014

62

dan anak-anak dalam keadaan sulit lainnya. Di India, program ini dilaksanakan

dengan melakukan pendekatan baik secara sosial, fisik, mental, dan spiritual

sehingga anak-anak mendapatkan perhatian yang dibutuhkan, selain itu program

ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran terhadap perlindungan anak dan hak-

hak anak. Strategi yang dilakukan oleh program ini meliputi: Promosi pendidikan,

sebagai tindakan pencegahan dan komponen penting untuk rehabilitasi anak-anak,

mengatasi faktor yang berkaitan dengan kemiskinan melalui promosi self-help-

group, dan mobilisasi sosial untuk menangani kasus pernikahan anak.16

Pada Tahun 2008-2012, UNICEF ikut berpartisispasi dalam Eleventh Five

Years Plan yakni rencana kerja 5 tahun yang dibuat oleh pemerintah India,

dengan cara membuat beberapa program dan ikut serta dalam program

perlindungan anak yang telah dibuat oleh pemerintah India. Partisipasi UNICEF

ini untuk memastikan berjalannya program perlindungan hak anak dan perempuan

dalam rencana kerja 5 tahun tersebut. Rencana kerja tersebut meliputi:

1. Pengendalian dan Pemerataan pertumbuhan penduduk.

2. Pelayanan sektor sosial.

3. Peningkatan kualitas SDM melalui pendidikan dan pengembangan

keterampilan.

4. Mengurangi ketidaksetaraan gender.

5. Melestarikan lingkungan.

16 UNICEF India, “Child Protection” http://www.unicef.org/india/child_protection.html Diakses

pada 17 Juli 2014

63

6. Meningkatkan sektor pertanian, industri dan jasa17

Pernikahan anak di India sudah menjadi salah satu fokus UNICEF, dalam

menangani masalah pada anak khususnya kasus pernikahan anak di India ini,

pemerintah India dan UNICEF melalui Eleventh Five Years Plan memfokuskan

kembali rencana kerjanya untuk menangani kasus pernikahan anak di India, yaitu:

1. Pengelompokan usia pada anak, sehingga anak di bawah usia 18

tahun tidak boleh dinikahakan.

2. Setiap penduduk wajib meregistrasikan pernikahannya dan

memverifikasi usia saat mereka menikah.

3. Memperkuat mekanisme pelaksanaan dan implementasi Prohibition

Child Marriage Act, 2006.

4. Memperkenalkan Dhanalaksmi kepada masyarakat desa.18

Tidak hanya rencana kerja Eleventh Five Years Plan, UNICEF dan

pemerintah India juga telah memulai program-program lain dalam menangani

kasus pernikahan anak di India. UNICEF bekerjasama dengan pemerintah India

untuk menyadarkan masyarakat India untuk tidak menikahakan anaknya diusia

dini dan meningkatkan kemampuan masyarakat India khususnya perempuan

dalam menangani kasus pernikahan dini. Disamping itu, UNICEF juga membantu

mengembangkan program-program yang telah dilakukan oleh pemerintah India

berdasarkan pemahaman yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi dan

17“Eleventh Five Years Plan 2007-2012”, Vol.2, Planning Commssion Government of India,

http://www.unicef.org/india/search, diunduh pada: 12 Juli 2014. 18 Ibid

64

mengatasi norma-norma sosial serta realitas ekonomi yang mempengaruhi kasus

pernikahan anak.

Adapun kerjasama yang dilakukan oleh UNICEF dan Pemerintah India

diantaranya; UNICEF dan pemerintah India melalui kementerian pendidikan di

India bekerjasama untuk meningkatkan akses pendidikan yang lebih berkualitas

dan memastikan bahwa kesenjangan gender dapat dihilangkan dibidang

pendidikan, dengan membuat program the National Programme for Education of

Girls at Elementary Level (NPEGEL school) atau pendidikan nasional pada anak

perempuan di tingkat sekolah dasar (SD), program ini merupakan komponen dan

pengembangan dari program Sarva Shiksa Abhiyan (SSA) yang dibuat oleh

pemerintah India pada tahun 2010.19

Dalam program ini UNICEF menyediakan dukungan tambahan bagi rakyat

miskin atau anak perempuan yang tidak beruntung di sekolah dasarnya disamping

intervensi SSA sendiri. Dukungan tambahan tersebut yakni seperti menyediakan

alat dan sumber daya manusia dalam membangun NPEGEL. UNICEF juga

melatih anak perempuan dalam membuat keputusan dengan cara mempraktekan

apa yang mereka pelajari dalam suatu ilustrasi yang dibuat oleh UNICEF, dan

UNICEF juga sering mengadaknaan dialog khusus mengenai pentingnya

pendidikan dalam kasus pernikahan anak di India. 20

19 UNICEF India, “Briefing Paper Series: Innovations, Lessons and Good Practices. Community

Based Interventions on Child Marriage”, New Delhi, India, 2011, hal: 5.

http://www.unicef.org/india/9.__Child_Marriage_Community-based_Intervention.pdf. Diakses

pada 18 Juli 2014 20 Augustine, Marly. Dasgupta, Malasree. Menon, Sudha, “The National Programme for

Education of Girls at Elementary Level (NPEGEL)”, Best Practices Foundation, India, 2012.

http://www.bestpracticesfoundation.org/pdf/PDF14b2-NPEGEL.pdf. Diakses pada 18 Juli 2014

65

The National Programme for Education of Girls at Elementary Level

(NPEGEL school) ini dirancang untuk mendirikan sekolah-sekolah di perumahan

sekitar pedesaan dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat yang lebih

rutin dan proses pendaftaran pun lebih mudah terawasi. Selain itu program ini

dibuat dengan tujuan untuk mempermudah akses menuju kesekolah, mengurangi

ketidaksetaraan gender dalam sektor pendidikan, memastikan partisipasi

perempuan dan anak perempuan di bidang pendidikan, meningkatkan kualitas

pendidikan khususnya bagi perempuan dan anak perempuan untuk

memberdayakan kemampuan mereka.21

NPEGEL school ini telah didirikan di daerah-daerah di India seperti;

Assam, Haveli Andhra Pradesh, Arunachal Pradesh, Bihar, Chhattisgarh, Gujarat,

Jharkhand, Haryana, Himachal Pradesh, Karnataka, Jammu & Kashmir, Madhya

Pradesh, Maharashtra, Meghalaya, Mizoram, Orissa, Punjab, Rajasthan, Tamil

Nadu, Tripura, Uttaranchal Meghalaya, West Bengal dan Uttar Pardesh dan pada

tahun 2010-2012, tercatat 38.462 siswa yang tergabung dalam NPEGEL school.22

Selain The National Programme for Education of Girls at Elementary

Level (NPEGEL school), UNICEF bekerjasama dengan pemerintah India melalui

Kementerian Pengembangan Sumber Daya Manusia atau Ministry of Human

Resource Development India untuk mempromosikan hak-hak perempuan dan

memobilisasi masyarakat India khususnya anak perempuan untuk mengubah

norma-norma sosial yang merugikan mereka termasuk distkriminasi,

21 Ibid 22 Ibid

66

ketidaksetaraan gender dan rendahnya nilai anak perempuan dalam lingkungan

sosial dengan membuat suatu program Mahila Samakhya atau sekolah

perumahan. Program tersebut dikhususkan untuk perempuan, baik perempuan

yang telah menikah, perempuan yang putus sekolah atau perempuan yang

dipekerjakan.23

“Mahila” memiliki arti perempuan, “Samakhya” berasal dari bahasa

sansakerta yakni, “Sama” yang berati sama atau setara dan “Akhya” yang berarti

dihargai, dengan demikian Mahila Samakhya ini merupakan program

pemberdayaan perempuan dan pendidikan berbasis gender untuk perempuan

dikelompok marjinal di daerah pedasaan.24 Mahila Samakhya didirikan pada

tahun 2001 dengan tujuan untuk memberikan pengetahuan mengenai pentingnya

pemberdayaan perempuan sebagai prasyarat untuk memfasilitasi anak perempuan

mereka ke bidang pendidikan dan memberikan alternatif untuk mobilisasi

pemberdayaan perempuan serta untuk mengatasi diskriminasi gender

dilingkungan mereka.25

Selain itu visi dan misi Mahila Samakhya ialah meningkatkan harga diri

dan kepercayaan diri perempuan, membangun citra yang positif terhadap

perempuan dengan mengakui kontribusi mereka terhadap masyarakat,

23 Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and Literacy,

“Mahila Samakhya”, New Delhi, 2011.

http://mhrd.gov.in/sites/upload_files/mhrd/files/Engagement_of_Consultants_for_Mahila_Samakh

ya_programme_0.pdf. Diakases pada 19 Juli 2014 24 Nualart, Barberillo, “The Mahila Samakhya Program: Empowering Education For Women’s

Equality in Indian Disadvantaged Communities and Rural Areas”, Communications Papers,

Media Literacy and Gender Studies, 2012. Hal: 7.

http://girona.academia.edu/CommunicationPapers/Volumen-1---N%C3%BAmero-1. Diakses pada

19 Juli 20014 25 Ibid

67

pemerintahan dan ekonomi, mengembangkan kemampuan berpikir kritis,

mendorong pengambilan keputusan dan tindakan melalui proses kolektif,

memungkinkan perempuan untuk membuat pilihan informasi dalam bidang

seperti pendidikan, pekerjaan dan kesehatan (terutama kesehatan reproduksi),

memastikan partisipasi yang sama dalam proses perkembangan, menyediakan

informasi, pengetahuan dan keterampilan untuk kemandirian ekonomi,

meningkatkan kesadaran dan informasi mengenai hukum yang berkaitan dengan

hak-hak anak dan perempuam serta hak mereka dalam masyarakat dengan maksud

untuk meningkatkan partisipasi mereka di semua bidang.26

Mahila Samakhya ini dilaksanakan dibeberapa daerah seperti Andhra

Pradesh, Assam, Bihar, Chattisgarh, Gujarat, Jharkhand, Karnataka, Kerala,

Uttarkhand dan Uttar Pradesh, pada tahun 2009-2011 tercatat 14.582 perempuan

yang telah lulus dari sekolah perumahan ini.27

Selanjutnya ditahun 2010, UNICEF dan pemerintah India melalui

Kementerian Perempuan dan Anak atau Ministry of Women and Child

Development di India bekerja sama untuk menetapkan dan menegakkan undang-

undang yang tepat untuk meningkatkan usia minimum pernikahan untuk anak

perempuan yakni 18 tahun dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang

pernikahan anak sebagai pelanggaran hak asasi manusia khususnya perempuan

dengan membuat buku saku mengenai Prohibition of Child Marriage Act 2006.

26 “Mahila Samakhya”, Conference Delhi, 2004, diakses pada:

http://siteresources.worldbank.org/INTINDIA/Resources/ms.pdf. Diakses pada 12 Juli 2014. 27 Ibid

68

Buku saku ini menjelaskan mengenai ketentuan-ketentuan dari Prohibition

of Child Marriage Act 2006 dan tanggung jawab para pemangku pemerintah

seperti petugas Child Marriage Prohibition, polisi, pemerintah daerah, Panchayat

Members dan para guru dalam mengidentifikasi masalah kasus pernikahan anak di

India.28

Buku ini digunakan untuk membahas peluang, tindakan atau aksi dari

pihak lain seperti; pekerja anganwadi, Accredited Social Health Activists

(ASHA), Auxiliary Nurse Midwifes (ANMs), Komite kesejahteraan anak dan

petugas kesejahteraan daerah dalam menangani kasus pernikahan anak di India.29

Buku ini juga digunakan untuk membangun kesadaran Pemerintah dalam

bertanggung jawab untuk menerapkan hukum dalam menangani kasus pernikahan

anak di India. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan implementasi undang-

undang larangan pernikahan anak yakni Prohibition of Child Marriage Act, 2006

pada setiap kebijakan pemerintah dan lingkungan masyarakat untuk menunda usia

pernikahan.

Selain itu, UNICEF juga memberikan dukungan secara teknis kepada

Kementerian perempuan dan anak atau Ministry of Women and Child

Development di India dalam pelaksanaan Integrated Child Protection Scheme

28 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni

2014 29 UNICEF India and Ministry of Woman and Child Development, “Handbook:The Prohibition of

Child Marriage Act, 2006”, New Delhi.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_handbook.pdf. Diakses pada 17 Juli 2014

69

(ICPS) yang memberikan kesempatan baik untuk membangun dan memperkuat

sistem perkembangan anak di India.30

Salah satu dampak dari pernikahan anak di India adalah terjangkitnya

HIV/AIDS. UNICEF bekerja sama dengan pemerintah India dan masyarakat sipil,

khususnya dengan Ministry of Women and Child Development, Kementerian

Tenaga Kerja, pemberdayaan perempuan dan polisi untuk melindungi serta

memelihara hak-hak perempuan dan anak dalam menangani kasus pernikahan

anak dan menghindari penyebaran HIV/AIDS. Menurut UNICEF jika pernikahan

anak dapat dihindari maka secara otomatis HIV/AIDS juga dapat dihindari.31

Dalam menangani HIV/AIDS di India, UNICEF bekerjasama dengan

pemerintah India melalui Kementerian Kesehatan dalam membantu memperluas

dan meningkatkan kualitas program untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari

ibu dan anak-anak dengan berbagai cara seperti menyediakan pasokan obat-

obatan, meningkatkan kapasitas staff untuk membantu mengembangkan

komunikasi, meningkatkan pendekatan dan pantauan kepada masyarakat melalui

seminar dalam membahas mengenai pencegahan dan perawatan HIV/AIDS serta

pendidikan reproduksi bagi wanita. UNICEF juga mendukung upaya untuk

mengurangi diskriminasi terhadap anak-anak atau perempuan yang terjangkit

30 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 17 Juni

2014 31 Ibid

70

HIV/AIDS dan berkomitmen untuk memastikan pentingnya kesehatan,

kesejahteraan sosial dan layanan pendidikan bagi seluruh masyarakat India.32

Di Bihar, pada Desember 2010, UNICEF dan pemerintah pemerintah India

mengadakan sebuah workshop kerjasama untuk perdamaian khususnya bagi anak

dan perempuan atau “Promotion of interreligious and intercultural dialogue,

understanding and cooperation for peace” dengan para katha vachaks atau

pemimpin agama di India sekaligus meminta bantuan kepada para pemimpin

agama dalam membantu menangani kasus pernikahan anak di India.33 Dalam

kerjasamanya, tidak ada pembuatan program khusus akan tetapi UNICEF

membangun kapasitas katha vachaks atau pemimpin agama dalam membantu

menangani kasus pernikahan anak di India dengan beberapa cara seperti,

menggunakan ajaran dari teks-teks keagamaan yang menekankan perlindungan

anak dalam kebaktian, pendidikan agama atau dalam proses acara keagamaan

yang dibuat dihari libur dan upacara adat serta menafsirkan prinsip-prinsip

perlindungan anak sesuai dengan ajaran agama dan adat mereka sehingga

meningkatkan kesadaran yang lebih besar dari masalah perlindungan anak.34

Kedua, Pemimpin agama juga memanfaatkan media keagamaan, seperti

radio dan televisi jaringan yang dijalankan oleh organisasi keagamaan, untuk

menyebarluaskan pesan tentang pentingnya menangani kasus pernikahan anak

32 UNICEF. “UNICEF Annual Repport for India 2012”. ROSA.

http://www.unicef.org/about/annualreport/files/India_COAR_2012.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014 33 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. diakses pada 20 Juli

2014 34 UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.

http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_Communities_for_Chil

dren_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014

71

atau pelanggaran hak anak lainnya. Selain itu pemimpin agama menentang segala

bentuk kekerasan terhadap anak, termasuk hukuman fisik, pelecehan seksual

terhadap anak perempuan dan anak laki-laki, dalam komunitas agama dan adat,

kemudian memperjelas bahwa praktek-praktek budaya yang berbahaya bagi anak-

anak, seperti menikahkan anak yang berujung kekerasan dan perdagangan, bukan

bagian dari keyakinan dan praktek keagamaan.35

Pemimpin agama juga mulai mengembangkan dan menerapkan kode etik

mengenai interaksi yang sesuai dengan anak-anak dalam tempat-tempat ibadah,

organisasi adat dan keagamaan, lembaga (termasuk sekolah dan panti asuhan)

pada masyarakat, termasuk mekanisme pelaporan dan respon untuk pelecehan

anak. Selanjutnya, pemimpin agama membantu dalam mempromosikan

pendidikan dan pelatihan bagi keluarga, guru dan orang lain dalam masyarakat

pada penanggulangan segala bentuk kekerasan terhadap anak dengan mengundang

tenaga ahli seperti misalnya guru, dokter, atau pekerja sosial dari komunitas

agama untuk berbicara tentang hak-hak anak, perkembangan anak dan pentingnya

mengasuh secara positif dan disiplin tanpa kekerasan dengan anggota mereka

sendiri selama acara keagamaan.36

Pemimpin Agama juga melakukan kampanye mengenai isu-isu

perlindungan anak pada hari besar agama guna memperkuat sistem hukum dan

monitoring untuk melindungi hak anak. Komunitas-komunitas keagamaan juga

dapat memfasilitasi atau membantu dalam mekanisme pemantauan masyarakat,

35 UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.

http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_Communities_for_Chil

dren_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014 36 Ibid

72

memobilisasi masyarakat untuk mengambil tindakan untuk melindungi anak-anak

dan menilai kebutuhan mereka seperti, memastikan perawatan yang aman berbasis

keluarga bagi anak-anak yang rentan, seperti anak yatim piatu, anak yang pernah

dinikahkan akibat kasta, memberikan dukungan spiritual kepada keluarga yang

sedang kesulitan dan meningkatkan akses pelayanan sosial yang diperlukan

seperti dibuatnya kelas konseling.37

Melalui Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Keluarga atau Ministry

of Health and Family Welfare, UNICEF dan Pemerintah India juga menggunakan

media seperti televisi, radio, koran dan teater masyarakat sebagai cara untuk

menginformasikan larangan pernikahan anak. Dalam hal ini tidak ada program

khusus yang dibuat oleh UNICEF dan pemerintah India akan tetapi UNICEF dan

pemerintah India menjadikan media sebagai sarana alternatif dalam memobilisasi

dan menyebarkan informasi kepada masyarakat. UNICEF telah memiliki 8

televisi siaran dan 6 radio siaran dan lebih dari 10 iklan pada media cetak yang

membahas mengenai kasus pernikahan anak di India. 38

UNICEF bekerjasama dengan pemerintah India untuk

mengimplementasikan Right of Children to Free and Compulsory Education Act,

2010 (RTE) melalu sekolah-sekolah dasar maupun sekolah-sekolah rumah yang

dibentuk dari program UNICEF dan pemerintah. Right of Children to Free and

37 UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.

http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_Communities_for_Chil

dren_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 20 Juli 2014 38 UNICEF India, “Delaying Marriage for Girls in India: A Formative Research to Design

Interventions for Changing Norms”, New Delhi, March 2011, hal: 62-64.

http://www.icrw.org/files/publications/Delaying-Marriage-for-Girls-in-India-UNICEF-ICRW.pdf.

Diakses pada 24 Juli 2014

73

Compulsory Education Act, 2010 (RTE) berfokus pada penyediaan pendidikan

gratis dan diwajibkan bagi anak-anak diusia 6 hingga 14 tahun. Undang-undang

ini mengharuskan pemerintah untuk memberikan pendidikan dasar secara gratis

dan memastikan kehadiran anak dilingkungan sekolah dan penyelesaian

pendidikan dasar bagi setiap anak dikelompok usia 6 hingga 14 tahun.39

Undang-undang ini telah menetapkan untuk mempekerjakan guru-guru

terlatih dan melarang setiap pengajar untuk menggunaan hukuman fisik atau

pelecehan mental terhadap para siswa. Undang-undang ini juga mengharuskan

seluruh pemerintah daerah untuk memantau penerimaan, kehadiran, dan

penyelesaian pendidikan dasar bagi setiap anak yang berada dalam wilayah

mereka. Pemerintah daerah dan Panchayat members diwajibkan untuk

menyimpan laporan atau catatan masuk hingga sampai berakhirnya pendidikan

dasar bagi semua anak berusia diatas 6 tahun di daerah mereka, di samping

pemantauan untuk menjamin pendidikan yang berkualitas didaerah mereka.

UNICEF lah yang mendukung pemerintah untuk mendapatkan kemitraan baru,

sehingganya teciptanya Right of Children to Free and Compulsory Education Act,

2010 (RTE).40

Selain itu, pada tahun 2010, UNICEF dan pemerintah India melalui

Kementerian pendidikan di Rajasthan melakukan kampanye untuk meningkatkan

kesadaran terhadap pernikahan anak di India dengan memasukan pesan bergambar

di sampul belakang 40.000.000 buku paket atau modul pelajaran sekolah untuk

39 UNICEF. “UNICEF Annual Repport for India 2012”. ROSA.

http://www.unicef.org/about/annualreport/files/India_COAR_2012.pdf. Diakses pada 25 Juli 2014 40 Ibid

74

membantu menginformasikan dan menambah wawasan terhadap kasus

pernikahan anak di India.41

Dilihat dari program kerjasama yang dilakukan oleh UNICEF dan

pemerintah India yang telah dijelaskan diatas, perlu ditinjau kembali bagaimana

efektivitas peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India.

C. Efektivitas Peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di

India

Pada kasus ini, keefektifan peran UNICEF dalam menangani kasus

pernikahan anak dapat dilihat dari kemampuan UNICEF dalam mengatasi faktor-

faktor yang menjadi penyebab kasus pernikahan anak di India dan jumlah

penurunan angka pernikahan anak di India.

Pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab dari pernikahan anak di

India. Pendidikan juga merupakan hal terpenting dan wajib dimiliki oleh setiap

anak dan perempuan di India, selain itu pendidikan menjadi sorotan utama

pemerintah India dan UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India

hal ini dipertkuat dengan dibuatnya Right of Children to Free and Compulsory

Education Act, 2010 (RTE) oleh pemerintah India dengan dukungan dari

UNICEF. Kurangnya pendidikan akibat terbatasnya fasilitas dan sulitnya akses

menuju sekolah menjadi salah satu kendala yang dihadapi orang tua dalam

41 UNICEF India, “Child Marriage Fact Sheet”, November 2011. UNICEF India, “Child Marriage

Fact Sheet”, November 2011.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.pdf. Diakses pada 25 Juli

2014

75

menyekolahkan anaknya. Selain itu minimnya pendidikan pada orang tua juga

menyebabkan minimnya pendidikan pada anak mereka.42

Dengan demikian, dalam aspek pendidikan dengan dibuatnya Right of

Children to Free and Compulsory Education Act, 2010 (RTE) dan program

pendidikan Mahila Samakhya dan The National Programme for Education of

Girls at Elementary Level (NPEGEL school) ini dianggap efektif dalam

menangani kasus pernikahan anak di India, hal ini dibuktikan dengan adanya

jumlah peningkatan dari 68 Mahila Samakhya ditahun 2008-2010 menjadi sekitar

97 Mahila Samakhya yang dibangun di 10 daerah di India pada tahun 2011-2012.

Selain itu, tercatat lebih dari 20.000 perempuan dinyatakan lulus dari sekolah

Mahila Samakhya dan 76% melanjutkan kesekolah formal seperti Kasturba

Gandhi Balika Vidyalaya (KGBV).43

Berdasarkan laporan Joint Review Missions (JRM) India yang dikeluarkan

oleh Ministry of Human Resource Development, Department of School Education

and Literacy, di Karnataka, sekolah Mahila Samakhya telah membantu

perempuan dalam perubahan mindset dan kebiasaan mereka, sehingga setiap

perempuan khususnya orang tua yang memiliki anak perempuan memastikan

bahwa anak perempuan mereka harus mengutamakan pendidikan dibandingkan

42 UNICEF India, “Right to Education (RTE) India”, India, 2012.

http://www.unicef.org/india/education_6144.htm. Diakses pada 26 Juli 2014 43 Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and Literacy,

“Mahila Samakhya”, New Delhi, 2011.

http://mhrd.gov.in/sites/upload_files/mhrd/files/Engagement_of_Consultants_for_Mahila_Samakh

ya_programme_0.pdf. Diakases pada 26 Juli 2014

76

pernikahan diusia dini yang dapat berdampak buruk bagi masa depan anak

perempuan mereka.44

Sedangkan pencapaian program The National Programme for Education

of Girls at Elementary Level (NPEGEL school) sesuai dengan tujuannya yakni

menangani ketidaksetraan gender pada pendidikan di India, NPEGEL school telah

membuktikan keefektifan programnya dari adanya perubahan sikap dan perilaku

yang lebih baik dari setiap anak perempuan yang bersekolah di NPEGEL school,

perubahan sikap dan prilaku tersebut tercermin dari tingkat kepercayaan diri yang

semakin tinggi didukung pula dengan adanya pelatihan pertahanan diri, wisata

pendidikan, bimbingan konseling, perpustakaan keliling dan ujian pencarian

bakat.45

Selain itu, dengan mengikuti sekolah ini anak perempuan lebih memiliki

kesadaran diri terhadap diskriminasi gender, sifat patriarki dan kesadaran akan

hak mendapatkan pendidikan sehingga kesadaran ini telah menyebabkan banyak

perempuan untuk memprotes perlakuan yang tidak adil dan bahkan mereka siap

berdiri menentang praktek-praktek tradisional yang berbahaya, seperti pernikahan

anak, perdagangan anak ataupun pelanggaran anak lainnya.46

Berdasarkan laporan Briefing Paper Series: Innovations, Lessons and

Good Practices. Community Based Interventions on Child Marriage yang

dikeluarkan oleh UNICEF India, di daerah Assam, anak perempuan membentuk

44 Ibid 45 Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and Literacy,

Government of India, “The National Programme for Education of Girls at Elementary Level

(NPEGEL)”, http://ssa.nic.in/girls-education/npegel/brief_NPEGEL_12Mar07.pdf/view, diunduh

Pada: 30 Juli 2014. 46 Ibid

77

Kishori manchas (seperti kelompok anak remaja) untuk berbagi informasi dalam

mengambil tindakan dalam memecahkan masalah mengenai ketidaksetaraan

gender di masyarakat.47

Selain itu mereka juga ikut berpartisipasi pelatihan pertahanan diri dengan

mengikuti olahraga karate atau taekwondo, sehingga mereka telah mengubah

persepsi mereka dari kemampuan mereka sendiri dalam melawan ketidaksetaraan

gender. Mereka menganggap jika mereka dapat belajar karate, mereka akan

memiliki kemampuan yang terlatih dan tingkat keberanian yang lebih tinggi

sehingga anak laki-laki dapat lebih menghormati dan menghargai mereka.48

Program sekolah perumahan seperti The National Programme for

Education of Girls at Elementary Level (NPEGEL school) dan Mahila Samakhya

dibuat untuk membantu mencegah pernikahan anak melalui sistem pendidikan.

Selain itu Right of Children to Free and Compulsory Education Act, 2010 (RTE)

juga telah membantu meningkatkan 85% anak di India mendapatkan pendidikan

khususnya di tingkat dasar.49 UNICEF dan pemerintah India yakin bahwa

program ini dapat membantu meningkatkan kualitas pendidikan di India baik

pendidikan bagi anak maupun orang tua sehingga dapat membantu mengurangi

pernikahan anak di India.50

47 UNICEF, “Briefing Paper Series: Innovations, Lessons and Good Practices. Community Based

Interventions on Child Marriage”, New Delhi, 2011.

http://www.unicef.org/india/9.__Child_Marriage_Community-based_Intervention.pdf. Diakses

pada 30 Juli 2014 48 Ibid 49 UNICEF India, “Right to Education (RTE) India”, India, 2012.

http://www.unicef.org/india/education_6144.htm. Diakses pada 26 Juli 2014 50 Ibid

78

Dalam hal budaya, para pemimpin agama dipercaya memiliki peran

penting dalam masyarakat dalam membentuk nilai-nilai sosial dan

menginformasikan perilaku yang bertanggung jawab, menghormati martabat dan

kesucian dari setiap kehidupan, tidak jarang pemimpin agama menjadi

komunikator yang terampil dan berpengaruh serta dapat mencapai hati dan pikiran

masyarakat karena mereka memiliki lebih banyak akses untuk masuk ke

lingkungan pribadi daripada kebanyakan aktor luar lainnya, pemimpin agama juga

berfungsi memberikan tuntunan rohani sehingga dapat memperbaiki pribadi dan

sosial masyarakat. Para pemimpin agama juga dapat memainkan peran penting

dalam mediasi pada kembalinya anak-anak dengan keluarga atau masyarakat yang

mungkin tidak menerima mereka kembali dengan menawarkan bimbingan rohani,

dengan melakukan ritual keagamaan atau doa, sehingga anak-anak tersebut dapat

mengembalikan martabat mereka. Terutama untuk anak perempuan yang rentan

menjadi korban diskriminasi.51

UNICEF dan pemerintah India mengakui bahwa berkolaborasi dengan

para pemimpim agama merupakan cara yang cukup efektif dalam menangani

kasus pernikahan anak di India. Selain itu para pemimpin agama menganggap

UNICEF memiliki pengaruh dalam memberikan wewenang bagi para pemimpin

agama untuk berpartisipasi dalam melindungi hak anak karena selama ini banyak

pihak yang menganggap bahwa mereka tidak harus berpartisipasi dalam hal ini.

Dengan adanya kolaborasi yang dilakukan oleh UNICEF dan para

pemimpin agama, tantangan tradisi atau adat yang telah berakar sudah mulai

51 UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.

http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_Communities_for_Chil

dren_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 30 Juli 2014

79

dibenahi sedikit demi sedikit. Di Karnataka dan Andhra Pradesh dimana devadasi

atau Jogini telah menjadi budaya di daerah tersebut telah dipastikan bahwa tidak

ada lagi anak perempuan yang menerapkan kebudayaan tersebut. Salah satunya

dengan cara mengubah tradisi kebudayaan melalui festival budaya Nag Panchami

yakni festival dimana masyarakat harus membawa Gudiya Pitahee atau sebuah

boneka yang mewakili perempuan dan anak perempuan dan kemudian boneka

tersebut siap untuk disiksa seperti dipukuli, dicabik-cabik, dan dicambuk.52

Tradisi ini menjadikan simbolis dari kebiasaan memukul pengantin baru

dengan alat seperti tongkat saat ia memasuki rumah suaminya. Dengan adanya

konsekuensi tersebut maka para pemimpin agama di Karnataka dan Andhra

Pradesh memutuskan untuk mengubah tradisi Nag Panchami ini, dimana boneka

tersebut tidak dipukuli atau disiksa melainkan dirangkul yang melambangkan

perawatan dan cinta bagi perempuan dan anak perempuan, dan diangkat setinggi

mungkin yang melambangkan perempuan memiliki harga diri yang tinggi dan

menghargai pengantin baru saat ia memasuki rumah suaminya. Dengan adanya

perubahan tradisi tersebut pemuka agama telah meyakini masyarakat desa untuk

membuat perubahan yang mendasar dalam tradisi yang selama ini mereka ikuti.53

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penurunan angka pernikahan

anak di India seperti pendidikan dan budaya. Adanya tradisi budaya yang dimiliki

oleh orang tua dan anak-anak yang tidak bersekolah sehingga mereka mau tidak

mau masuk dalam pernikahan diusia yang masih dini. Oleh karena itu, UNICEF

berkontribusi dalam membuat program-program pendidikan dan berkolaborasi

52 Malika Basu dan Dhivya David, “Good Practice Against Child Marriage,. New Delhi, January

2010, http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 30 Juli 2014 53 Ibid

80

dengan para pemimpin agama. Walaupun program UNICEF ini tidak bisa secara

langsung dihubungkan dengan angka penurunan pernikahan anak. Tetapi upaya

yang dilakukan oleh UNICEF dan pemerintah India dalam aspek pendidikan dan

budaya bisa membantu dalam mengurangi faktor penyebab terjadinya pernikahan

anak di India.

Pihak lain yang mendukung efektivitas peran UNICEF adalah media.

UNICEF dan pemerintah India menjadi media sebagai sarana alternatif dalam

memobilisasi dan menyebarkan informasi kepasa masyarakat. Menurut

pemerintah India dan UNICEF pendekatan media ini dapat memainkan peran

penting dalam mengubah norma-norma sosial seperti yang terjadi di daerah

Rajasthan dan Bihar.54 Dengan demikian penggunanaan media ini dianggap cukup

efektif dalam membantu menangani kasus pernikahan anak di India. Teknik yang

dilakukan media dalam memberikan informasi mengenai pernikahan anak ini

cukup inovatif untuk menjangkau siapapun baik pria, wanita ataupun anak-anak.

Di daerah Rajasthan dan Bihar, pesan media tersebar melalui televisi,

radio, billboard, koran dan majalah, tidak hanya itu cara penyampainan pesan

media ini juga dibuat menarik seperti dibuatnya produksi teater masyarakat lokal

dan pertunjukan boneka serta video atau film pendek sehingga sangat menarik

minat masyarakat didaerah tersebut. Kebanyakan pesan yang disampaikan

membahas mengenai larangan pernikahan anak dan menginformasikan mengenai

program yang dibuat oleh pemerintah dalam menangani kasus pernikahan anak di

India. Koran dan Radio telah memiliki peran penting dalam memberi kesadaran

54 UNICEF India, “Understanding the Perceptions of UNICEF Partners in India: Findings of a

Study”, India, Maret 2011

81

kepada masyarakat Rajasthan dan Bihar akan dampak dari kasus pernikahan anak

yang terjadi di India.55

Program-program pendidikan, kesehatan dan kolaborasi dengan para

pemimpin agama yang dilakukan oleh UNICEF efektif dalam mengurangi faktor

penyebab terjadinya pernikahan anak, sehingga dapat membantu menurunkan

angka pernikahan anak di India. Hal Ini dibuktikan adanya penurunan angka pada

pernikahan anak di India. (lihat tabel III.C.2)

TABEL III.C.2. (%) Angka Penurunan kasus penikahan anak di India

Sumber: http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html

Seperti yang dilihat pada tabel III.C.2, Pada tahun 2002, India memiliki

sekitar lebih dari 44.000.000 atau 88% kasus pernikahan anak, kemudian

mengalami penurunan pada tahun 2007 menjadi 49% atau sekitar lebih dari

20.000.000 kasus pernikahan anak dan pada tahun 2012 tercatat hanya 19% atau

sekitar lebih dari 4000.000 anak yang menikah diusia kurang dari 18 tahun.56 Pada

November 2012, UNICEF dan Kementerian Kesehatan di India menyatakan,

55 Ibid 56 UNICEF Statistic, http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html, Diakses pada: 14

Juli 2014.

Tahun Persentase (%)

2002 88%

2007 49%

2012 19%

82

ditahun 2005 terdapat lebih dari 2.000.000 penderita HIV/AIDS diusia 15 hingga

49 tahun dan menunjukan penurunan yakni 0,33% atau sekitar 6600 pada tahun

2007 menjadi 0,27% atau sekitar 5400 pada tahun 2011.57

Data penurunan angka pada pernikahan anak tersebut merupakan indikasi

bahwa UNICEF memiliki kontribusi dalam menangani kasus pernikahan anak di

India. Meskipun demikian, selain beberapa program UNICEF yang dilakukan

dalam mengurangi kasus pernikahan anak di India, tidak menutup kemungkinan

ada faktor lain yang ikut membantu dalam menangani kasus pernikahan anak di

India.

D. Tantangan dan Peluang yang dihadapi UNICEF dalam menangani

pernikahan anak di India.

Didalam mengerjakan program di India, UNICEF menghadapi sejumlah

tantangan dalam menangani kasus pernikahan anak di India ini. Tidak jarang

tantangan ini menimbulkan kesuliatan bagi UNICEF dalam menangani kasus

permasalahan pada anak perempuan yang terjadi di India. Tantangan-tantangan

yang dihadapi oleh UNICEF diantaranya; Pertama, Jika dibandingkan dengan

program-program lain, program Child Protection ini merupakan program baru dan

belum dikenal dimasyarakat luas, sehingga masih belum bisa dipahami bagi

57Ministry of Statistic and Programme Implementation, Government Of India, “India Country

Report 2013”, India. 2013.

http://mospi.nic.in/mospi_new/upload/SAARC_Development_Goals_%20India_Country_Report_

29aug13.pdf. Diakses pada 14 Juli 2014

83

masyarakat India.58 Sehingga diperlukan penjelasan kembali mengenai pengertian

dan tujuan program ini guna meningkatkan akan pentingnya melindungi hak anak

di India. Selain itu perekrutan staff untuk program ini juga sering tertunda karena

adanya alasan politik seperti pemilu atau hambatan pemerintah yang prosedural

lainnya.59

Kedua, latar belakang sosial dan budaya yang cukup kompleks dan

bersifat patriakal dan masih memegang teguh kepercayaan terhadap asal-usul

kebudayaan mereka seperti salah satunya dengan masih mempertahankan budaya

kasta dan budaya dowry. Dalam hal ini UNICEF belum bisa menangani

permasalahan budaya yang ada di India, misalkan adanya pengaruh pada sistem

kasta yang diyakini oleh masyarakat India sebagai bagian dari kepercayaan agama

mereka sehingga menyulitkan pencapaian kerja UNICEF karena sebagian

masyarakat India percaya nasib manusia telah ditentukan oleh Tuhan.

Permasalahan lain terjadi pada sistem dowry yang dihadapkan pada tuntutan harga

pernikahan yang diajukan pada pihak pengantin perempuan.60

Selain itu alasan utama di balik pernikahan anak ini juga telah berubah

menjadi suatu kebiasaan dan memberi tekanan yang terkait pada nilai-nilai agama.

58 UNICEF, “Understanding the Perceptions of UNICEF Partners in India: Findings of a Study”,

New Delhi, 2009. http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf. diakses

pada 30 Juli 2014 59Ibid 60 Malika Basu dan Dhivya David, “Good Practice Against Child Marriage”, New Delhi, January

2010, http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 03 September

2014

84

Dan dengan adanya hubungan orang tua dan anak yang otoriter semakin

memperkuat nilai-nilai agama yang mendukung pernikahan anak tersebut.61

Para orang tua berfikir bahwa pendidikan bukan merupakan prioritas

utama bagi anak-anak di India, sehingga menimbulkan angka buta huruf yang

cukup banyak yakni sekitar 8.000.000 jiwa pada tahun 2009-2012.62 Hal tersebut

menjadi tantangan yang dihadapi oleh UNICEF dalam menerapkan sistem belajar

pada sekolah rumah yang didirikan oleh UNICEF. Seperti yang terjadi di Bihar,

siswa yang mengalami buta huruf sering mengalami diskriminasi pada pendidikan

yang mereka dapat, sehingga UNICEF harus lebih jeli dan lebih menseleksi

kembali siswa yang tergabung dalam program sekolah rumah tersebut.63

Tidak hanya tantangan akan tetapi UNICEF juga memiliki peluang dalam

menangani kasus pernikahan anak di India. Peluang-peluang tersebut seperti

adanya political will atau dukungan pemerintah India dalam menangani kasus

pernikahan anak di India, sehingga UNICEF dan pemerintah memiliki hubungan

kerja sama yang baik dan dapat berkolaborasi dalam menangani kasus pernikahan

anak di India.64

Beberapa kantor UNICEF di India menyatakan bahwa pemerintah

menunjukan respon yang baik dalam menangani kasus pernikahan anak. Penilaian

61 UNICEF India, “Delaying Marriage for Girls in India: A Formative Research to Design

Interventions for Changing Norms”, New Delhi, March 2011, hal: 50.

http://www.icrw.org/files/publications/Delaying-Marriage-for-Girls-in-India-UNICEF-ICRW.pdf.

Diakses pada 03 September 2014 62 UNESCO, “India still home to largest illiterate population”. 20 Januari 2010.

http://www.thehindu.com/features/education/issues/india-still-home-to-largest-illiterate-

population-unesco/article82886.ece. Diakses pada 14 November 2014 63 UNICEF India Country Office Annual Report 2011, hal: 33.

http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf. Diakses pada 03

September 2014 64 “UNICEF Inputs to Secretary-General’s Report in Response to HRC”, Februari 2014.

www.ohchr.org, Diunduh pada: 14 Juli 2014.

85

terhadap keterlibatan UNICEF tampaknya menghasilkan hasil yang cukup baik

seperti mulai adanya kesadaran masyarakat, orang tua, dan anak-anak dari bahaya

pernikahan anak.65

Selain itu mereka mulai menyadari akan keberadaan undang-undang yang

melarang praktik pernikahan anak dan ketersediaan pelayanan kesehatan,

pendidikan dan perlindungan sosial dalam rangka untuk membuat pilihan yang

lebih baik atau insentif perlindungan dan investasi pada anak perempuan, seperti

penurunan tekanan sosial yang dapat mengkondisikan anak perempuan serta

orang tua untuk terlibat dalam pernikahan anak, adanya peningkatan angka

kehadiran dan kelulusan sekolah, serta adanya peningkatan kebijakan mengenai

kualitas kerangka hukum dan tindakan oleh pemerintah India.66

Selain itu, delapan kantor UNICEF di India berkoordinasi untuk

menangani pernikahan anak di India, koordinasi dilakukan melalui media,

mengunjungi daerah-daerah yang memiliki jumlah pernikahan anak yang cukup

besar, dan peran serta komite perlindungan anak di pemerintah daerah dan

masyarakat sipil untuk mempromosikan hak-hak anak, termasuk upaya untuk

mengakhiri pernikahan anak di India.67

Dukungan dari media massa juga menjadi peluang bagi upaya UNICEF

dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Penyebaran informasi oleh

media dapat merangsang perubahan sosial yang positif didukung pula dengan

adanya keahlian dalam bidang komunikatif yang dimiliki oleh UNICEF sehingga

dapat lebih membangun komunikasi dan mempercepat penyampaian informasi

65 Ibid 66 Ibid 67 Ibid

86

pada masyarakat. Misalnya, UNICEF India memproduksi film-film yang memiliki

alur cerita untuk mengakhiri perkawinan anak-anak di masyarakat.68

Peluang selanjutnya adalah adanya minat dan semangat dari anak-anak di

India untuk bersekolah. Anak-anak di India merasa hak mereka untuk bersekolah

masih belum bisa diperjuangkan, hal tersebut juga didukung dengan adanya jarak

yang jauh, kurangnya alat transportasi dan lingkungan yang kurang aman

membuat orang tua mereka khawatir untuk menyekolahi anak mereka.69

Selain itu, terdapat dukungan dari 470 sekolah di 14 daerah di India

seperti: Andra Pardesh, Assam, Chhattisgard, Maharashtra, Bihar, Rajasthan,

Odisha, Uttar Pradesh, Gujarat, Jharkhand, Karnataka, West Bengal, Mumbai, dan

Madhya Pradesh untuk membantu program-program yang dilakukan oleh

UNICEF dan banyak relawan yang bersedia menjadi guru untuk menjadi tenaga

pengajar dalam program pendidikan yang dibuat oleh UNICEF dan pemerintah

India.70

Dengan adanya tantangan dan peluang yang dimiliki UNICEF dalam

menangani kasus pernikahan anak di India, UNICEF dapat memberikan

kontribusi dan dampak positif dalam penanganan kasus pernikahan anak di India.

Tidak hanya itu, peluang diatas memberikan kesempatan kepada UNICEF untuk

melanjutkan program-program yang telah dibuat dan tidak terhenti hingga tahun

2012 saja.

68 Malika Basu dan Dhivya David. “Good Practice Against Child Marriage”, New Delhi, January

2010, http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-public.pdf. Diakses pada 04 September

2014 69 UNICEF India Country Office Annual Report 2011.

http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf. Diakses pada 03

September 2014 70 Ibid

87

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pernikahan anak telah menjadi fenomena yang marak terjadi di India.

Terdapat sejumlah faktor yang menjadi penyebab terjadinya kasus pernikahan

anak di India, meliputi budaya tradisional India yang bersifat patriakal, kurangnya

pendidikan, faktor ekonomi, dan persepsi masyarakat terhadap keselamatan anak.

Sebagai upaya untuk merespon fenomena pernikahan anak, maka pemerintah

India membuat sejumlah kebijakan nasional maupun Internasional dalam

menangani kasus pernikahan anak. Dalam menangani kasus pernikahan anak,

pemerintah India bekerja sama dengan UNICEF dalam menangani kasus

pernikahan anak di India.

United Nations Children’s Fund (UNICEF) sebagai organisasi di bawah

naungan PBB berkomitmen untuk mengatasi masalah yang berhubungan dengan

anak. UNICEF memiliki tugas penting dalam memperhatikan pendidikan anak,

perlindungan anak, kesehatan dan gizi anak. Dalam upayanya UNICEF

menentang segala bentuk eksploitasi dan diskriminasi pada anak. UNICEF

memiliki peran dalam mengatasi kasus pelanggaran hak anak di India khususnya

pernikahan anak di India, dengan menciptakan berbagai program kerja yang

bertujuan untuk melindungi hak anak dari ancaman diskriminasi.

88

UNICEF dan pemerintah India bekerja sama dalam perencanan kerja lima

tahun atau Eleventh Five Years Plans (2007-2012) yang menjadikan kasus

pernikahan anak sebagi fokus utamanya. Kemudian, UNICEF memfokuskan

kasus pernikahan anak ini kedalam program Child Protection. Tidak hanya itu,

peran UNICEF dalam menangani kasus pernikahan anak di India juga terlihat dari

program dan kegiatan lain baik dalam aspek pendidikan, budaya dan kesehatan.

Dalam aspek pendidikan, peran UNICEF terlihat dengan dibuatnya program

NPEGEL School, Mahila Samakhya, dan UNICEF membantu pemerintah India

dalam mengimplementasikan RTE kepada masyarakat India. Dalam aspek

budaya, UNICEF dan pemerintah India berkolaborasi dengan pemimpin agama

dalam merubah tradisi yang menimbulkan efek negatif bagi anak perempuan.

Sedangkan dalam aspek kesehatan, UNICEF bekerja sama dengan

pemerintah India dalam memberikan pendidikan reproduksi wanita dan

pencegahan HIV/AIDS. Peran lainnya adalah UNICEF membantu

mengimplementasikan PCMA, 2006 dan ICPS kepada masyarakat India.

Efektifitas peran UNICEF dalam penelitian ini dilihat dalam dua hal,

yakni kemampuan UNICEF dalam menangani faktor penyebab terjadinya

pernikahan anak dan adanya penurunan angka pada kasus pernikahan anak di

India. Dalam penanganan faktor penyebab terjadinya kasus pernikahan anak di

India, khususnya di sisi pendidikan, program sekolah rumah yang dibuat oleh

UNICEF dan adanya fasilitas sekolah gratis merupakan cara yang efektif dalam

menangani faktor penyebab terjadinya pernikahan anak di India. Di sisi budaya,

bekerja sama dengan pemimpin agama merupakan cara yang efektif bagi UNICEF

89

mengubah tradisi masyarakat India secara bertahap, sehingga UNICEF dapat

memberikan informasi mengenai larangan pernikahan anak pada aktivitas

keagamaan. Dalam hal kesehatan, adanya pendidikan reproduksi wanita dan

melakukan seminar rutin mengenai pencegahan dan perawatan HIV/AIDS

merupakan cara yang efektif dalam menangani faktor penyebab terjadinya

pernikahan anak. Kefektifitasan peran UNICEF lainnya dapat dilihat dari adanya

penurunan angka pernikahan anak di India.

UNICEF mendukung segala program yang bertujuan untuk

mempromosikan hak-hak anak dan perempuan di India. UNICEF juga

memperhatikan berbagai kebijakan sosial, perencanaan, monitoring dan evaluasi

program untuk memastikan kerjasama dan kolaborasi yang erat dengan

pemerintah India.

UNICEF membantu pemerintah India dalam mengembangkan setiap

program yang dibuat oleh pemerintah India, selain itu UNICEF juga memiliki

hubungan yang sangat baik dengan pemerintah India, sehingga kerjasama yang

dilakukan oleh UNICEF dan pemerintah India saling menguntungkan satu sama

lain. Dengan demikian UNICEF memiliki peran yang cukup penting dan berhasil

dalam menangani kasus pelanggaran anak dan perempuan khususnya dalam

pernikahan anak di India. Hal ini dibuktikan dengan adanya kemampuan UNICEF

dalam membantu mengurangi faktor penyebab terjadinya pernikahan anak dan

adanya penurunan pada angka pernikahan anak di India, selain itu UNICEF dan

pemerintah India juga menjadikan kasus pernikahan anak ini menjadi fokus utama

dalam program selanjutnya.

90

Namun dalam menjalankan perannya tersebut, kinerja UNICEF masih

menghadapi sejumlah tantangan dan peluang. Tantangan yang dihadapi oleh

UNICEF diantaranya: Program Child Protection merupakan program baru

dibandingkan dengan program lain, sehingga masih belum bisa dipahami bagi

masyarakat, dan perlu diperkenalkan lagi pada masyarakat. Tantangan kedua ialah

adanya latar belakang sosial dan budaya yang cukup kompleks dan bersifat

patriakal, dimana kedudukan laki-laki lebih tinggi di bandingkan perempuan.

Tantangan ketiga yakni tingginya angka buta huruf di India, mayoritas orang tua

lebih memilih untuk menikahkan anaknya daripada melanjutkan sekolah dengan

alasan terbatasnya akses menuju kesekolah.

Selain tantangan, UNICEF juga memiliki peluang dalam menangani kasus

pernikahan anak di India. Peluang tersebut meliputi: Pertama, adanya political

will, sehingga UNICEF dan pemerintah India memiliki kerjasama yang baik

dalam menangani kasus pernikahan anak di India. Kedua, adanya dukungan dari

media massa, sehingga dapat mempermudah dalam menyebarkan informasi

kepada masyarakat, dan peluang terakhir, adanya minat dan semangat yang tinggi

dari anak-anak di India untuk bersekolah.

B. Saran

Saran yang dapat penulis berikan dalam skripsi ini antara lain perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut, baik dalam bentuk skripsi ataupun jurnal untuk

melihat kontribusi suatu Organisasi Internasional dalam menangani permasalahan

91

di suatu negara. Misalnya dalam konteks Indonesia, tidak jarang pernikahan anak

ini terjadi di Indonesia. Dengan melakukan penelitian lebih lanjut, maka bisa

diketahui bagaimana kontribusi UNICEF dalam menangani kasus pernikahan

anak di Indonesia.

Dalam studi ilmu Hubungan Internasional, negara merupakan pelaku

utama dalam melakukan interaksi hubungan internasional. Saat melakukan

interaksinya negara tersebut akan bekerjasama dengan negara-negara lain untuk

membentuk suatu kepentingan atau tujuan yang sama. Dalam melakukan

kerjasama tersebut pasti tidak hanya membutuhkan peran negara saja tetapi juga

membutuhkan peran dari aktor non-negara (non-state actor). Aktor non-negara

bertugas untuk melengkapi dan membantu kinerja dari negara itu sendiri. Dalam

actor non-negara terdapat 3 tipe pelaku, yakni “Intergovermental Organizations

(IGOs), Nongovernmental Organizations (NGOs), dan Multinational

Corporations (MNCs).1 Kaitannya dengan penelitian ini adalah penelitian ini

dapat memberikan kontribusi dalam menganalisa mengenai seberapa efektif peran

IGO dalam menangani permasalahan di suatu negara. Melihat kasus pernikahan

anak di India, UNICEF memilki peran yang cukup efektif dalam menangani kasus

pernikahan anak di India, akan tetapi dalam melakukan perannya, tetapi UNICEF

sebagai organisasi Internasional tidak bisa melakukan perannya tanpa adanya

persetujuan dari pemerintah dan bantuan aktor-aktor lain di negara tersebut. Maka

UNICEF hendaknya melibatkan berbagai pihak untuk mendukung setiap

programnya, pihak–pihak tersebut diantaranya adalah political will dari

1 Minix, Dean A. & Hawley, Sandra M. “Global Politics”. West/Wadsworth, (1998). Chap 3-4

92

pemerintah India, media masa, pemuka agama, dan pihak lain, sehingga UNICEF

dapat menjalankan programnya dengan lebih baik.

xii

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Archer, Clive. “International Organization”. London, 1983

Arikunto, Suharsimi. “Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik”. Jakarta:

Bina Aksara, 1989

Barkin, J. Samuel. “International Organization: Theories and Institutions”. New

York, 2006

Basham, A. L. “The Wonder That Was India: A Survey of the History and Culture

of the Indian Sub-Continent before the coming of the Muslims”.

Macmillan Publishers. 3rd Edition, New Delhi, 2001

Dalmia, Sonia and Lawrence, Pareena. G. “The Institutions of Dowry in India :

Why it Continues to Prevail. The Jounal of Developing Areas”. Vol.38

No.2, 2005.

Minix, Dean A. & Hawley, Sandra M. “Global Politics”. West/Wadsworth,

(1998). Chap 3-4

Husaini Usman dan Akbar, Purnomo Setiady “Metode Penelitian Sosial”. Jakarta:

PT Bumi Aksara.

Rudy, T. May, “Administrasi dan Organisasi Internasional”, Refika Aditama,

Bandung, 2005

Sadriman, Poernomo. “Pengantar Hukum Internasional”. Bandung: Mandar

Maju, 1990

Sagade, Jaya. “Child Marriage in India: Socio-legal and Human Rights

Dimensions”. New Delhi:. Oxford University Press, 2005

Sumaryo, Suryokusumo. “Pengantar Hukum Organisasi Internasional”. Jakarta:

Tatanusa, Juli 2007

Vogelstein, Rachel. “Ending Child Marriage, How Elevating the Status of Girls

Advances U.S. Foreign Policy Objectives”. Council on Foreign Relation,

New York:May, 2013.

JURNAL/ARTIKEL/REPORT

“Eleventh Five Years Plan 2007-2012”. Vol.2, Planning Commssion

Government of India. Chap: 6

Memoire, Aide. “SARVA SHIKSHA ABHIYAN: Tenth Joint Review Mission”. July

2009, hal: 5.

Augustine, Marly. Dasgupta, Malasree. Menon, Sudha. “The National Programme

for Education of Girls at Elementary Level (NPEGEL)”. Best Practices

Foundation, India, 2012. Hal: 6-16

Bidner, Chris and Eswaran, Mukesh. “A Gender-Based Theory of the Origin of

the Caste System of India”. New Delhi. 2 Des 2012. Hal: 5.

xiii

Davis, A., Postles, C. and Rosa, G,. “A girl’s Right to Say No to Marriage:

Working to end Child Marriage and Keep Girls in School”, Plan

International, 2013. Hal: 25-31

Eddy Fadlyana dan Shinta Larasaty. “Pernikahan Usia Dini dan

Permasalahannya”. Jurnal Luar Negeri, Kementerian Luar Negeri,

Agustus 2009

HAQ: Centre for Child Rights, ”Child Marriage in India: Achievements, Gaps

and Challenges”, New Delhi, India. Hal: 10-14

Jurnal Manajemen Airlangga (JMA) (2013) . Bagong Suyanto, “Child Trafficking

dan Industri Seks Global Makin Marak”. Jurnal Akademik Universitas

Airlangga.

Kacker, Loveleen, “Study on Child Abuse India”. 2007. New Delhi. Hal: 15-18

Kumari, Ranjana. Dr, “A Study on Child Marriage in India: Situational Analysis

in Three States”, hal: 18-19.

Hersh, Marcy, Walia, Sunayana and Nanda, Priya. ”Solution Exchange for the

Gender Community Discussion Summary”. International Center for

Research on Women (ICRW). New Delhi. Januari 2010. Hal: 42-45

Wachenfeld, Margaret. “brief history of children’srights and the role of

UNICEF”. hal 11.

Ministry of Statistic and Programme Implementation, Government Of India.

“India Country Report 2013”. India. 2013. Hal: 11-17

Nualart, Barberillo, “The Mahila Samakhya Program: Empowering Education

For Women’s Equality in Indian Disadvantaged Communities and Rural

Areas”, Communications Papers, Media Literacy and Gender Studies,

2012. Hal: 7

Rawat, Sangeeta, ” Status and Functioning of Kasturba Gandhi Balika Vidyalayas

Uttarakhand”, Visual Soft Research Development, Vol.2, hal: 574-576.

Strickland, Pat. “Forced Marriage in Immigrant Communities in the United

States.”. House of Commons Library. Home Affairs Section. Tahirih

Justice Center. September 2011. Hal: 124-131

UNFPA India, “A Study to identify the occurrence of Obstetric Fistula in India

(Report)”. New Delhi. 2006. Hal: 5, 14

UNICEF (2007), Child National Report on “A World Fit for Children”.

29 September 2013. Hal: 10-17

UNICEF India Country Office Annual Report 2011, hal: 33.

UNICEF. “UNICEF Annual Repport for India 2012”. ROSA. Hal: 21-28

Vanini, Sakti. “Trafficking and HIV, Maharashtra” Trafficking Report. Rajastan.

2005. Hal 19

SKRIPSI

Noviyanti, Widia. “Analisis Data Sekunder Survei Demografi Kesehatan

Indonesia Tahun 2007: Tren dan Dampak Pernikahan Dini di

Indonesia”. Jakarta : Fakultas Kesehatan Masyarakat, prodi Kesehatan

Masyarakat, Universitas Indonesia. Memenuhi gelar S1. 2013.

xiv

Octavia, Eka. “Peranan United Nations Children’s Fund (UNICEF) dalam

penanganan pekerja seks komersial anak di India”. Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, prodi Hubungan Internasional, Universitas

Komputer Indonesia. Memenuhi gelar S1. 2009.

INTERNET

“India’s Population in 2014”,

http://www.indiaonlinepages.com/population/india-current-

population.html, disunting pada: Jumat, 13 Juni 2014.

“Mahila Samakhya”, Conference Delhi, 2004, diakses pada:

http://siteresources.worldbank.org/INTINDIA/Resources/ms.pdf. Diakses

pada 12 Juli 2014. Diakses pada 12 Juli 2014

“UNICEF Inputs to Secretary-General’s Report in Response to HRC”, Februari

2014. www.ohchr.org, Diunduh pada: 14 Juli 2014.

CSR India. “A Study on” Child Marriage in India: Situational Analysis in Three

States”. http://www.csrindia.org/images/download/case-studies/Child-

Marriage-Report.pdf. Diunduh pada Jumat, 14 November 2014

Government of India, Press Information Bureau.

http://pib.nic.in/newsite/PrintRelease.aspx?relid=89785. Diakses pada 23

Desember 2014

ICRW and AUSAID, “Child Marriages in Southern Asia: Policy Action for

Action”, 2012. http://www.icrw.org/publications/child-marriage-southern-

asia. Diakses pada 21 Juni 2014

ICRW, Knot Ready: Lesson From India on Delaying Marriage for girl, 2013.

http://www.atriakennisinstituut.nl/epublications/2008/Knot_ready.pdf.

Diakses pada 15 Juni 2014

IPPF, “Ending Child Marriage: A Guide for Global Policy Action”, 2006.

http://www.unfpa.org/webdav/site/global/shared/documents/publications/2

006/endchildmarriage.pdf. Diakses pada 25 Juni 2014

Malika Basu dan Dhivya David, “Good Practice Against Child Marriage,. New

Delhi, January 2010, http://www.unicef.org/india/cr-se-gen-25110901-

public.pdf. Diakses pada 30 Juli 2014

Menon, Ramesh. “Devadasi in a role play performance on child marriage”. 26

April 2011.

http://www.wunrn.com/news/2011/05_07/05_07_07/051407_india.htm

Diunduh pada: 22 Desember 2014

Ministry of Health and Population Government of Nepal Kathmandu. “Population

Division: Nepal Demographic Health Survey”. Nepal. 2011.

http://dhsprogram.com/pubs/pdf/FR257/FR257%5B13April2012%5D.pdf.

Diakses pada 29 September 2013

Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and

Literacy, “Mahila Samakhya”, New Delhi, 2011.

http://mhrd.gov.in/sites/upload_files/mhrd/files/Engagement_of_Consultan

ts_for_Mahila_Samakhya_programme_0.pdf. Diakases pada 19 Juli 2014

xv

Ministry of Human Resource Development, Department of School Education and

Literacy, Government of India, “The National Programme for Education

of Girls at Elementary Level (NPEGEL)”, http://ssa.nic.in/girls-

education/npegel/brief_NPEGEL_12Mar07.pdf/view, diunduh Pada: 30

Juli 2014.

Ministry of Law and Justice. “The Prohoibition of Child Marriage Act, 2006”.

http://wcd.nic.in/cma2006.pdf. Diakses pada 15 Juni 2014

Ministry of Women and Child Development Government of Orissa, “State Plan of

Action of Children. 2009-2012”.

http://www.wcdorissa.gov.in/download/StatePlanAction.pdf. Diakses pada

17 Juni 2014

Ministry of Women and Child Development, “Child Protection and Welfare“,

New Delhi, Annual Report: 2009-2010, Chapter 4, hal: 49-50.

http://wcd.nic.in/publication/AR201213_english.pdf. Diakses pada 5 Juli

2014

Ministry Of Women and Child Development, “Implementation Guidelines: Rajiv

Gandhi Scheme for Empowerment of Adolescent Girls- SABALA”, 14

Desember 2010, hal: 8-11. http://wcd.nic.in/schemes/SABLA-

guidelines141210.pdf. Diakses pada 5 Juli 2014

Ministry Of Women and Child Development. ”National Strategy Document on

Prevention of Child Marriage”. 2013. Hal: 1.

http://wcd.nic.in/childwelfare/Strategychildmarrige.pdf. Diakses pada 15

Juni 2014

Ministry of Women and Child Development. ” Handbook on The Prohibition of

Child Marriage Act, 2006” New Delhi: 2007.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_handbook.pdf. Diakses pada

2 Juli 2014

National Crime Record Bureau, Govt of India, New Delhi. 2006,

http://ncrb.gov.in/. Diakses pada 26 Desember 2014

OHCHR, “Child Marriage in India: An insight into Law and Policy”, December

2013. Hal: 13.

http://www.ohchr.org/documents/issues/women/wrgs/forcedmarriage/ngo/t

heredelephantfoundation.pdf. Diakses pada: 13 Juni 2014.

Report, The District Level Household and facility Survey (DLHS): (Reproductive

& Child Health Project). http://www.rchiips.org/pdf/rch3/report/AP.pdf.

Diakses pada: 23 Desember 2014

Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen

India’s demographic and health policies and programs.

http://www.rchiips.org/nfhs/raj_state_report.pdf. Diakses pada 23

Desember 2014

Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen

India’s demographic and health policies and programs.

http://www.rchiips.org/nfhs/NFHS-3%20Data/Bihar_report.pdf Diakses

pada 23 Desember 2014

Report, The National Family Health Survey (NFHS): Database that strengthen

India’s demographic and health policies and programs.

xvi

http://www.rchiips.org/nfhs/urban_health_report_for_website_18sep09

pdf.

Diakses pada 23 Desember 2014

Rohit Parihar, “Wedowed Children in India”, 31 Oktober 2008.

http://indiatoday.intoday.in/story/Widowed+children/1/18934.html.

Diakses pada 26Desember 2014

Shulman, Juliana, “Child Marriage In India”. [email protected]. Diakses

pada 27 Juni 2014

Solidarity for the Children of SAARC, “Child Marriage in South Asia: Realities,

Responses and The Way Forward”, 2013. hal: 5.

https://www.icrw.org/files/publications/Child_marriage_paper%20in%20S

outh%20Asia.2013.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014

Suswati Basu, “India’s City of Widow”. Rabu, 30 Juni 2010.

http://www.theguardian.com/commentisfree/2010/jun/30/india-city-

widows-discrimination. Diakses pada 26 Desember 2014

UNDP, The United Nations Development Programme, “Concern Worldwide and

the Millennium Development Goals: Working to keep the promise”,

September 2010.

http://www.un.org/en/mdg/summit2010/pdf/ZeroDraftOutcomeDocument

_31May2010rev2.pdf. Diakses pada 09 Juli 2014

UNESCO, “India still home to largest illiterate population”. 20 Januari 2010.

http://www.thehindu.com/features/education/issues/india-still-home-to-

largest-illiterate-population-unesco/article82886.ece. Diakses pada 14

November 2014

UNFPA, “Child Marriage Fact Sheet”, 2005.

http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.h

tm. Diakses pada 23 Juni 2014

UNFPA. “Child Mariage”. 2010. http://www.unfpa.org/child-marriage. Diakses

pada

26 September 2013

UNICEF (2006).” Early marriage: a harmful traditional practice, a statistical

exploration.”

http://www.unicef.org/earlychildhood/files/Guide_to_GC7.pdf. Diakses

pada tanggal 7 Oktober 2014Pukul 15.17 WIB

UNICEF India, “Briefing Paper Series: Innovations, Lessons and Good Practices.

Community Based Interventions on Child Marriage”, New Delhi, India,

2011, hal: 5.

http://www.unicef.org/india/9.__Child_Marriage_Community-

based_Intervention.pdf. Diakses pada 18 Juli 2014

UNICEF India, “Child Marriage: Fact Sheet”, November 2011. Hal 1.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.p

df. Diakses pada 26 Juni 2014

UNICEF India, “Child Protection”

http://www.unicef.org/india/child_protection.html Diakses pada 17 Juli

2014

xvii

UNICEF India, “Delaying Marriage for Girls in India: A Formative Research to

Design Interventions for Changing Norms”, New Delhi, March 2011, hal:

50. http://www.icrw.org/files/publications/Delaying-Marriage-for-Girls-in-

India-UNICEF-ICRW.pdf. Diakses pada 03 September 201

UNICEF India, “End Child Marriage: Change Perceptions and Beliefs”, 2013.

New Delhi, hal: 11. http://unicef.org.np/media-centre/press-

releases/2014/08/11/india-commits-to-end-child-marriage. Diakses pada

29 Juni 2014

UNICEF India, “Our Work: UNICEF’s India Program”

http://www.unicef.org/india/activities.html. Diakses pada 17 Juli 2014

UNICEF India, “Right to Education (RTE) India”, India, 2012.

http://www.unicef.org/india/education_6144.htm. Diakses pada 26 Juli

2014

UNICEF INDIA, “The Situation of Children in India (A Profile)”. New Delhi,

India. May 2011. Hal: 3.

http://www.unicef.org/india/The_Situation_of_Children_in_India_-

__A_profile_20110630_.pdf. Diakses pada 28 September 2013.

UNICEF India, “Understanding the Perceptions of UNICEF Partners in India:

Findings of a Study”, India, Maret 2011.

http://www.unicef.org/india/ICO_COAR_2011_FINAL_REPORT.pdf.

diakses pada 17 Juli 2014

UNICEF India. “About Us: UNICEF in India”

http://www.unicef.org/india/overview.html. Diakses pada 16 Juli 2014

UNICEF India. “Child Marriage: Fact Sheet”. November 2011. Hal 2.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.p

df. diakses pada 17 Juni 2014

UNICEF, “Child Marriage and the Law: Legislative Reform Initiative”, Paper

Series. 2007.

http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law

%281%29.pdf Diakses pada 09 Juli 2014

UNICEF, “Child Marriage and the Law”, 2008. Hal: 23.

http://www.unicef.org/policyanalysis/files/Child_Marriage_and_the_Law

%281%29.pdf. Diakses pada 26 September 2013

UNICEF, “Partnering with Religious Communities for Children”, 2012.

http://www.unicef.org/about/partnerships/files/Partnering_with_Religious_

Communities_for_Children_%28UNICEF%29.pdf. Diakses pada 20 Juli

2014

UNICEF, Child Marriage in India – An analysis of available data, (2012), India.

http://www.unicef.in/documents/childmarriage.pdf. Diakses pada 16 Juni

2014

UNICEF, Statistics of India (2004),

http://www.unicef.org/infobycountry/india_statistics.html. Diakses pada

15 November 2014

UNICEF. (2011). Child Marriage – UNICEF Information Sheet.

http://www.unicef.org/india/Child_Marriage_Fact_Sheet_Nov2011_final.p

df. Diakses pada tanggal 29 September 2013 Pukul 20.38 WIB

xviii

UNICEF. “Child Protection” http://www.unicef.org/protection/. Diakses pada 15

Juli 2014

UNICEF. “In India, children’s vulnerabilities and exposure to violations of their

rights remain spread and multiple in nature”.

http://www.unicef.org/india/children_2360.htm. Diakses pada tanggal 29

September 2013 Pukul 21.13 WIB

UNICEF. “United for Children”, 2013. http://www.unicef.org/partners/. Diakses

pada 16 Juli 2014

UNICEF. “What We do”. http://www.unicef.org/about/. Diakses pada 15 Juli 2014

UNPFA (2005) . “Child marriage fact sheet.

http://www.unfpa.org/swp/2005/presskit/factsheets/facts_child_marriage.h

tm.. Diakses pada tanggal 7 Oktober 2014

USAID, “Ending Child Marriage and Meeting the Needs of Married Children:

the USAID Vision for Action”, Oktober 2012, hal: 3.

http://www.usaid.gov/sites/default/files/documents/2155/Child_Marriage_

Vision_Factsheet.pdf. Diakses pada 19 Juni 2014

USAID, “Preventing Child Marriage: Protecting Girls Health”, 2006.

http://pdf.usaid.gov/pdf_docs/Pdaci387.pdf. Diakses pada 23 Juni 2014

World Bank, “World Development Report on Gender Equality and

Development”, 2012, hal: 154.

http://econ.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/EXTDEC/EXTRESEA

RCH/EXTWDRS/EXTWDR2012/0,,menuPK:7778074~pagePK:7778278

~piPK:7778320~theSitePK:7778063~contentMDK:22851055,00.html.

Diakses pada 24 Juni 2014