PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

16
35 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015 PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU Mohammad Darwis Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini mencoba membahas secara kritis tentang peran ulama dalam perspektif Nahdlatul Ulama (NU). Kajian ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa NU memiliki pandangan tersendiri tentang konsep ulama, mulai dari pendefinisaiannya, posisi dan peran ulama khususnya dalam konteks NU sendiri. lebih dari itu NU cenderung dipersepsikan sebagai organisasi yang identik dengan ulama, sesuai dengan namanya. Nampaknya pengidentikan tersebut bukan tanpa landasan, karena memang secara historis NU lahir dari rahim para ulama, utamanya ulama pesantren. Dengan demikian tidak mengherankan jika selanjutnya dalam AD/ART-nya NU menempatkan posisi ulama dalam puncak kepengurusan yang memiliki otoritas khusus. Selanjutnya dalam rangka menjawab permasalahan keagamaan masyarakat, NU memiliki forum yang disebut Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Secara struktural LBM merupakan lembaga otonom NU yang berada di bawah koordinasi pengurus syuriah yang nota bene terdiri dari para ulama NU baik dari kalangan pesantren maupun non pesantren. Selanjutnya bahasan dalam kajian ini focus pada beberapa hal, antara lain; pengertian kiai dan ulama dalam perspektif NU dan problematika LBM. Pada focus pertama tulisan ini menelaah secara kritis perspektif NU tentang perbedaan kiai dan ulama serta posisi masing-masing dalam masyarakat. Sementara pada focus kedua tulisan ini mengkaji secara kritis terkait dengan profil LBM, kitab mu’tabarah sebagai refrensi sah dalam forum LBM serta metode pengambilan keputusan di LBM. Untuk bahasan metode pengambilan keputusan di LBM, tulisan ini cenderung secara spesifik mengkritisi mazhab yang dipakai di LBM. Sebagai penutup, dalam tulisan ini diakhiri dengan rekomendasi untuk lebih baiknya kajian serupa yang lebih baik di masa yang akan datang. Kata Kunci : Ulama, Pesantren, NU Pendahuluan Mulai sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyyah sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah menjadikan Ahlussunnah Wal jama’ah sebagai basis teologi (dasar berakidah). Sementara dalam permasalahan fiqih, NU menganut dari salah satu empat mazhab; Hanafi,

Transcript of PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

Page 1: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

35 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU

Mohammad Darwis Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini mencoba membahas secara kritis tentang peran ulama dalam perspektif Nahdlatul Ulama (NU). Kajian ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa NU memiliki pandangan tersendiri tentang konsep ulama, mulai dari pendefinisaiannya, posisi dan peran ulama khususnya dalam konteks NU sendiri. lebih dari itu NU cenderung dipersepsikan sebagai organisasi yang identik dengan ulama, sesuai dengan namanya. Nampaknya pengidentikan tersebut bukan tanpa landasan, karena memang secara historis NU lahir dari rahim para ulama, utamanya ulama pesantren. Dengan demikian tidak mengherankan jika selanjutnya dalam AD/ART-nya NU menempatkan posisi ulama dalam puncak kepengurusan yang memiliki otoritas khusus. Selanjutnya dalam rangka menjawab permasalahan keagamaan masyarakat, NU memiliki forum yang disebut Lembaga Bahtsul Masail (LBM). Secara struktural LBM merupakan lembaga otonom NU yang berada di bawah koordinasi pengurus syuriah yang nota bene terdiri dari para ulama NU baik dari kalangan pesantren maupun non pesantren. Selanjutnya bahasan dalam kajian ini focus pada beberapa hal, antara lain; pengertian kiai dan ulama dalam perspektif NU dan problematika LBM. Pada focus pertama tulisan ini menelaah secara kritis perspektif NU tentang perbedaan kiai dan ulama serta posisi masing-masing dalam masyarakat. Sementara pada focus kedua tulisan ini mengkaji secara kritis terkait dengan profil LBM, kitab mu’tabarah sebagai refrensi sah dalam forum LBM serta metode pengambilan keputusan di LBM. Untuk bahasan metode pengambilan keputusan di LBM, tulisan ini cenderung secara spesifik mengkritisi mazhab yang dipakai di LBM. Sebagai penutup, dalam tulisan ini diakhiri dengan rekomendasi untuk lebih baiknya kajian serupa yang lebih baik di masa yang akan datang.

Kata Kunci : Ulama, Pesantren, NU

Pendahuluan

Mulai sejak awal berdirinya, Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Jam’iyyah

sekaligus gerakan diniyah islamiyah dan ijtima’iyah menjadikan Ahlussunnah

Wal jama’ah sebagai basis teologi (dasar berakidah). Sementara dalam

permasalahan fiqih, NU menganut dari salah satu empat mazhab; Hanafi,

Page 2: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

36 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Maliki, Syafi’I dan Hambali. Dengan mengikuti empat mazhab ini, menunjukkan

elastisitas dan fleksibelitas sekaligus memungkinkan NU untuk beralih mazhab

secara total atau dalam beberapa hal yang dipandang sebagai kebutuhan

(hajah). Meskipun demikian dalam kesehariannya para ulama NU

menggunakan fiqh masyarakat indonesia yang bersumber dari mazhab Syafi’i.

hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan hukum yang

diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu bersumber dari

mazhab Syafi’I. hanya dalam keadaan tertentu- untuk idak terlalu melawan

budya konvensional- berpaling kepada mazhab lain.

Prinsip ajaran ahlussunnah wal jama’ah sebagaimana di atas

menimbulkan konsekwensi munculnya paham ke-ulamaan di kalangan NU.

Paham ke-ulamaan ini selanjutnya secara logis berimplikasi terhadap adanya

keharusan menghormati ulama dan mengakui kepemimpinan serta

otoritasnya.1Dalam NU paham keulamaan diejewantahkan dalam bentuk

formulasi yang sangat jelas. Penempatan lembaga Syuriah2 pada struktur

paling atas dalam kepengurusan NU merupakan bukti perwujudan paham ke-

ulamaan tersebut. Secara formal keharusan mengakui kedudukan dan otoritas

ulama itu tertulis dalam AD/ART NU, yang selanjutnya menimbulkan

konsekwensi psikologis bagi NU baik secara structural maupun kultural.3

Selanjutnya dalam memutuskan sebuah hukum, NU memiliki sebuah

forum yang dinamakan Bahtsul Masail. Forum ini dikoordinasi oleh Dewan

Syuriah NU dan bertugas mengambil keputusan tentang hukum-hukum islam

baik yang berkaitan dengan fiqih, tauhid maupun tasawwuf.Mengingat begitu

1Choirul Anam, Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama (Jakarta; PT. Duta Aksara

Mulia, 2010), hlm. 186. 2 Secara structural, NU memiliki dua lembaga kepengurusan yaitu lembaga Syuriah dan

Tanfidziyah. Lembaga Syuriah terdiri dari kalangan para ulama/kiai pesantren. Syuriah

merupakanpimpinan tertinggi NU yang berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan

mengawasi kegiatan NU. Sementara Tanfidziyah terdiri dari berbagai kalangan mulai dari

akademisi, pesantren dan masyarakat umum, dan mereka bertugas sebagai pelaksana harian dari

organisasi tersebut. 3 Bagi NU secara structural dan organisatoris dapat dilihat dari pola pemilihan ketua umum

tanfidziyah yang harus disetujui oleh ketua syuriah terpilih. Sementara secara kultural masyarakat

NU akan menolak calon tanfidziyah yang tidak dilegetimasi oleh syuriah tersebut. Baca Ibid, 188.

Mohammad Darwis

Page 3: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

37 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

pentingnya penyelesaian masalah umat utamanya yang terkait dengan hukum

agama maka forum Bahtsul Masail memiliki nilai urgensi yang segnifikan dalam

keorganisasian NU. Sehingga tidak heran, jika forum tersebut bukan hanya

dikoordinasikan oleh para ulama/kiai NU akan tetapi yang hadir dalam forum

tersebut mayoritas adalah para ulama itu sendiri baik yang berada pada

struktur kepengurusan syuriah maupun yang berada diluar kepengurusan

termasuk para pengasuh pesantren.4Adanya fenomina kehadiran para ulama

tersebut menjadi nilai tambah bagi legitimednya hasil keputusan yang

dihasilkan oleh forum Bahtsul Masail tersebut.

Mengingat perihal di atas, maka menjadi sangat penting adanya

standarisasi ulama atau adanya keriteria tokoh atau orang yang bisa

dikatagorikan ulama, agar menjadi tidak kabur dalam konteks pemahaman NU

itu sendiri.

Kiai Dan Ulama Dalam Persepektif NU; Persamaan dan Perbedaan Serta

Posisinnya

Kiai seringkali disamakan dengan ulama5, bahkan di Indonesia sebutan

kiai bagi seorang ulama lebih familier dan lebih umum. Istilah Kiai secara

normative-teologis selama ini masih belum didapatkan landasannya yang

kokoh. Selama ini istilah kiai lebih cenderung dipahami dari sudut pandang

sosiologis-antropologis yaitu merujuk kepada figur tertentu yang memiliki

kapasitas dan kapabilitas yang memadai dalam ilmu-ilmu agama islam.6

Secara spesifik kiai merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat

kepada seorang yang ahli dalam agama Islam, terutama yang memiliki

pesantren dan mengajar kitab kuning kepada para santrinya.7Namun

4 Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Actual Hukum Islam, Keputusan

Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), pengantar (Surabaya; Khalista,

2007), hlm. Vi. 5 WJS Purwodarminto, kamus Umum Bahasa Indonesia, hlm. 505.

6 Baca Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren Dalam Partai Politik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2007), hlm. 20. 7Pada hakikatnya dalam masyarakat jawa istilah kiai menrujuk pada tiga gelar; pertama, kiai

merupakan sebutan benda-benda pusaka atau barang terhormat, seperti kiai pleret sebagai sebutan

Peran Ulama Pesantren

Page 4: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

38 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

demikian, seiring dengan dinamika dan perubahan zaman, gelar kiai ternyata

tidak hanya ditujukan kepada mereka yang memilki pondok pesantren.

Sebagaimana Endang Turmudzi yang membagi tipologi kiai menjadi empat

tipologi, yaitu; kiai pesantren, kiai tarekat, kiai politik dan kiai

panggung.8Keempat tipologi tersebut bukanlah suatu yang mandiri secara

tegas antara satu dengan tang lain, karena sangat mungkin pada diri seorang

kiai melekat lebih dari satu tipologi.

Betapapun pesatnya perkembangan pendefinisian kiai dengan

dinamika tolak ukurnya, Abdurrahman Wahid tetap mensyaratkan bahwa

gelar kiai hanya tepat diberikan kepada seorang ahli ilmun agama islam yang

memiliki pesantren dan santri. Sehingga, seseorang bisa disebut kiai jika dia

menguasai ilmu agama islam, memiliki pesantren dan santri.9Lebih dari itu,

Deliar Noer mengakui bahwa konsep kiai di satu sisi mencitrakan sebagai

seorang ahli agama yang shalih, sementara di sisi yang lain merupakan

sebutan bagi orang yang memiliki ilmu mistik. Dengan demikian, dalam

struktur masyarakat Indonesia, terlebih masyarakat Jawa kiai merupakan

perpaduan keahlian keagamaan berikut keshalihan dengan keahlian ilmu

mistik, linuih dan semacamnya.10

Selanjutnya kiai sering rancu saat berhadapan dengan kata lain yang

sejenis seperti ulama. Dalam konteks ini menjadi penting ditelusuri apakah ada

perbedaan diantara keduanya baik dalam pengertian maupun tingkatan

hirarkis struktural keduanya.

gelar dari sebuah tombak dari kraton Surakarta, kiai slamet sebutan hewan peliharaan (kerbau) di

kraton Surakarta yang dikramatkan oleh masyarakat. Kedua, kiai ditujukan kepada orang tua atau

tokoh masyarakat dan disingkat ki, seperti ki ageng, ki buyut, ki temanggung dan lain-lain. Ketiga,

kiai adalah sebutan orang yang ahli dalam bidang ilmu agama islam, memiliki pesantren dan

mengajar kitab kuning. Bandingkan dengan Zamakhsari Dhofier, Tradidi Pesantren; Studi

Tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982)), hlm. 55. 8 Pembagian tipologi tersebut didasarkan pada hasil penelitian Endang Turmudzi terhadap kiai di

Jombang. Baca Endang Turmudzi, perselingkuhan Kiai dan kekuasaan (Yogyakarta: LKiS, 2004),

hlm. 32. 9 Abdurrahman Wahid, Bunga Rampain Pesantren (Jakarta: darma Bhakti, 1984) hlm. 10.

10Deliar Noer, Gerakan Modern islam di Indonesia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1980), hlm. 19.

Mohammad Darwis

Page 5: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

39 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Jika pengertian kiai telah dipaparkan sebagaimana di atas, maka

paparan berikut adalah terkait dengan pengertian ulama. Kata ulama adalah

bentuk jama’ dari kata al-aliim yang berarti yang memiliki pengetahuan.11

Adapun pengertian ulama secara terminologi selama ini berangkat dari

beberapa sudut pandang, antara lain; normatif-teologis, sosiologis-

antropologis. Dari sudut pandang normative-teologis, ulama didefinisikan

denagan mengacu kepada penegasan al-Qur’an, yaitu orang-orang yang

berilmu pengetahuan, karena selalu membaca alam yang berdampak pada

munculnya rasa takut kepada Allah dalam jiwanya. Dengan demikian ulama

adalah perpaduan antara kepentingan ilmu pengetahuan dan kepentingan

moral. Artinya, seorang ulama adalah mereka yang memiliki pengetahuan

sekaligus prilaku yang baik.12 Lebih dari itu, krakteristik yang harus dimiliki

ulama adalah karakteristik sebagaimana yang dimiliki para nabi, yaitu sebagai

pembawa risalah dan sebagai pelaksana ri’asah.13

Pengertian ulama dari sudut pandang normatif-teologis seperti di atas,

secara sosiologis-antropologis akan menghadapi persoalan simantis maupun

aplikatif. Hal tersebut disebabkan terjadinya pemahaman yang bias dan sering

over lapping dalam masyarakat tentang seorang yang bisa disebut ulama. Hal

tersebut karena dari sudut pandang sosiologis-antropologis ulama merupakan

gelar yang kadang-kadang diperoleh bukan karena kredibilitas pribadinya

(seperti halnya dalam perspektif normatif), namun karena tradisi “warisan”

dari generasi ke generasi dan didukung oleh keluarga ulama sebagaimana

yang terjadi di daerah pedesaaan.14dalam tradisi pesantren di Jawa, banyak

11

Louis Ma’luf, Qamus al-Munjid (Beirut: al-Mathba’ah al-Kathulikiyah, 1951),hlm. 551. 12

Bandingkan dengan Quraish Shihab, Dia dimana-mana, “Tangan” tuhan di balik setiap

Fenomena (Tangerang: Lentera hati, 2005), hlm. X. 13

Baca Wahbah al-Zuhaili, Tafsir al-Munir fi al-„Aqidah wa al-Syari‟ah wa al-Manhaj, Juz XXII

(Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asr, 1998), hlm. 261. 14

Bandingkan dengan Achmad Patoni, peran Kiai pesantren dalam partai politik, hlm. 34.

Peran Ulama Pesantren

Page 6: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

40 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

peluang dari keturunan kiai atau ulama untuk lebih cepat meraih status

sebagaimana status orang tuanya.15

Dalam rangka memberikan batasan yang jelas tentang ulama serta

meminimalisir terjadinya bias dalam penganugrahan ulama dalam persepektif

sosiologis sebagaimana di atas, NU berupaya memberikan batasan dan kriteria

ulama, sebagai berikut; pertama, norma pokok yang harus dimiliki oleh

seorang ulama adalah ketaqwaan kepada Allah SWT. Ini di dasarkan pada

firman Allah dalam surat Fathir 28, yang artinya “Sesungguhnya yang takut

kepada Allah di antara hamba-hambaNya hanyalah ualama..”. Kedua, seorang

ulama memiliki tugas utama mewarisi misi Rasulullah dalam segala ucapan,

ilmu, ajaran, perbuatan, tingkah laku, mental serta moralnya. Ini di dasarkan

pada hadits Nabi yang artinya “Ulama adalah pewaris para nabi”. Ketiga,

seorang bisa disebut ulama apabila memiliki ciri utama dalam kehidupan

sehari-hari seperti, tekun beribadah, Zuhud, memiliki kedalaman ilmu agama,

peka terhadap kemaslahatan umat, istikomah dan ihlas mengabdi kepada

Allah.16

Perbedaan Kiai dan Ulama

Jika didasarkan pada pembahasan tentang kiai dan ulama sebagaimana

di atas, membedakan keduanya bukanlah hal yang mudah. Paparan pengertian

tentang kiai dan ulama memiliki persamaan yang kuat meskipun sangat terasa

adanya peluang membedakan keduanya. Belum lagi dalam kenyataan sosial

kemasyarakatan, membedakan dua hal tersebut (baca: kiai dan ulama) yang

kadang-kadang melekat pada satu orang atau satu tokoh menjadi kesulitan

tersendiri dalam upaya mengklasifikasi keduanya. Di tambah kerancuan

penyebutan keduanya di masyarakat yang hampir dipersepsikan sama dan

15

Pendapat ini didasarkan pada tradisi yang berlaku di pesantren-pesantren di jawa Timur, bahwa

semenjak kecil, putra kiai/ulama sudah dipanggil dengan sebutan ‘Gus’ (singkatan dari gusti atau

Bagus) dangan maksud Gus itu yang nantinya akan menggantikan ayahnya. Baca Choirul anam,

pertumbuhan dan perkembangan Nahdlatul ulama, hlm. 186. 16

Ibid, 187.

Mohammad Darwis

Page 7: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

41 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

tidak memiliki perbedaan.17 Seseorang peneliti sekelas Cliffort Geertz pun

mengakui bahwa antara konsep kiai dan ulama memang cukup

membingungkan dan tidak mudah dibedakan.18

Namun demikian ada ungkapan yang cukup mudah dalam upaya

memahami keduanya, yaitu bahwa kiai dalam perspektif normatif

sebagaimana di atas bisa dikatagorikan ulama, tetapi tidak semua kiai dapat

disebut sebagai ulamadalam persepektif yang sama.

Upaya yang lebih spesifik dalam rangka membedakan dan

mengklasifikasikan antara kiai dan ulama datang dari seorang peneliti dan ahli

antropologi Jepang yang bernama Hiroko Horikoshi. Menurut Horikoshi,

dalam konteks Indonesia kiai berbeda dengan ulama ditinjau dari perspektif

pengaruh karismanya. Karisma yang dimiliki kiai lebih tinggi dan lebih unggul

dari ulama. Hal tersebut dikarenakan kiai disamping sosok orang yang alim

juga seorang yang berpengaruh, baik bagi kalangan masyarakat umum

(baca:pedesaan) maupun bagi kalangan pejabat dan elit politik. Sementara

ulama meskipun dia sosok orang yang alim, namun pengaruhnya hanya

dikalangan masyarakat desa yang khas, lokal serta lebih otonom. Dengan

demikian, Horikoshi memberikan pemahaman bahwa antara ulama dan kiai

merupakan tahapan hierakis dimana ulama lebih rendah dibandingkan dengan

kiai.19

Namun, pandangan Horikoshi di atas nampaknya perlu di kritisi karena

terdapat bias dan inkonsistensi dengan realitas yang berkembang dalam

kultur masyarakat islam Indonesia, khususnya Jawa. Ada dua hal yang bisa

17

Adanya persepsi yang sama dan sulit dibedakan antara kiai dan ulama dipertegas dengan adanya

patokan para peneliti seperti Zamakhsari Dhofir, Kareel Steenbrink, Hube de Jonge dan Bousma,

Deliar Noor bahwa antara kiai dan ulama merupakan satu kelompok masyarakat yang ahli dalam

masalah hukum agama, serta memilki kemampuan yang cermat dalam membaca pemikiran

masyarakat di sekitarnya. Di samping ituberbagai kelebihan yang mereka miliki, mereka juga

sangat dominan dan efektif dalam mempersatukan kelompok-kelompok masyarakat. Mereka dapat

memposisikan diri sebagai pemimpin local yang kharismatik yang dituntut oleh masyarakat dan

lingkungannya. Baca Achmad Patoni, Peran Kiai Pesantren dalam partai Politik, hlm. 38. 18

Cliffort Geertz, The Religion of Java (New York: The Free Press Glencae, 1960),hlm. 134. 19

Hiroko Horikoshi, Kiai dan Perubahan Sosial (Jakarta: P3M, 1987) hlm. 12.

Peran Ulama Pesantren

Page 8: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

42 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

dijadikan pertimbangan dalam mengkritisi pandangan Horikoshi di atas, yaitu;

pertama, anatara kiai dan ulama bukanlah dua entitas atau figure yang dapat

dibedakan secara tegas, karena sangat mungkin kedua gelar tersebut melekat

kepada satu orang. Kedua, dalam konteks sosiologis masyarakat islam

Indonesia, penjelasan Horikoshi tentang ulama justru berbeda secara

diametral dengan konsep ulama dalam pandangan masyarakat islam

Indonesia. Masyarakat menilai justru ulama yang memiliki pengaruh lebih luas

meskipun tidak sekekal yang dimiliki kiai. Karasteristik ulama melekat pada

seorang yang memiliki keluasan ilmu agama meskipun tidak disebut sebagai

kiai. Kapasitas keilmuannya itulah yang menjadi sumber pengaruh ulama

uatamanya bagi kalangan akademisi dan masyarakat perkotaan. Sementara

sebutan kiai tidak selalu dapat disebut dengan ulama karena gelar kiai bisa

melekat pada beragam karasteristik. Dengan demikian sebutan kiai dan ulama

memiliki relativitas makna, tergantung kepada konteks sosial, politik dan

budaya masyarakat.

Posisi dan Peran Ulama Dalam Perspektif NU

Dalam pembahasan ini, selanjutnya penyebutan ulama dan kiai tidak

lagi dikotomikan, akan tetapi diberikan makna yang sama dengan sebutan kiai.

Artinya ulama dipersepsikan sama dan tidak berbeda dengan kiai. Hal tersebut

didasarkan pada realitas yang terjadi dalam masyarakat Jawa utamanya

masyarakat NU dan disebabkan sulitnya membedakan keduanya baik dalam

perspektif normatif maupun sosiologis, sebagaimana dijelaskan di atas.

Sebagaimana diketahui, bahwa NU merupakan organisasi yang

dilahirkan oleh kiai-kiai pesantren. Nama Nahdlatul Ulama yang berarti

kebangkitan para ulama yang menjadi nama dari organisasi tersebut

mengisyaratkan akan posisi dan peran ulama yang begitu dominan dan

signifikan dalam organisasi kemasyarakatan tersebut. Paham keulamaan yang

pada mulanya hanya berlaku di kalangan pesantren dan masyarakat

sekelilingnya (semisal; tata hubungan santri dengan kiai dan anggota

Mohammad Darwis

Page 9: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

43 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

masyarakat dengan pesantren yang penuh kesopanan dan penghormatan

kepada otoritas ulama atau kiai) seakan-akan menemukan wadah untuk

diwujudkan dalam bentuk dan formulasi yang jelas dalam struktur NU. Peran

ulama pesantren yang sangat menonjol di NU menjadikan budaya pesantren

sebagai budaya dalam perjalanan roda organisasi tersebut.

Dalam NU Ulama ditempatkan dalam posisi tertinggi baik secara

structural maupun kultural. Penempatan Lembaga Syuriah pada struktur

paling atas dalam kepengurusan NU, merupakan bukti nyata perwujudan

paham keulamaan dan panetrasi budaya kepesantrenan dalam organisasi

NU.20

Penempatan posisi ulama atau yang begitu tinggi dalam NU telah

dikukuhkan dalam aturan organisasi yang memiliki kekuatan legal. Hal

tersebut tertulis dalam AD-ART NU yang berbunyi “kepengurusan NU terdiri

dari syuriah dan tanfidziyah. Syuriah merupakan pimpinan tertinggi NU yang

berfungsi membina, membimbing, mengarahkan dan mengawasi kegiatan

Nahdlatul Ulama. Sedangkan Tanfidziyah merupakan pelaksana sehari-hari”.

Lebih dari itu pengurus syuriah yang terdiri dari para ulama atau kiai memiliki

hak veto dalam tugasnya sebagai pengawas organisasi. Otoritas ini juga

dicantumkan dalam AD-ART NU, yaitu “dalam rangka pembinaan,

pembimbingan dan pengawasan, maka syuriah berkewajiban setiap saat

memberikan teguran, saran bimbingan kepada seluruh perangkat organisasi.

Apabila suatu keputusan atau kebjaksanaan suatu perangkat organisasi

dianggap tidak sesuai dengan ajaran islam, maka syuriah berhak membatalkan.

Dan pembatalan tersebut diambil dalam suatu rapat pengurus syuriah

lengkap”.21

Dengan demikian bisa dikatakan ulama atau kiai dalam struktur NU

memiliki posisi yang sangat tinggi dan peran yang dominan dan signifikan.

20

Baca Choirul Anam, Prtumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, hlm. 188. 21

Ibid.

Peran Ulama Pesantren

Page 10: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

44 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Peran ulama dalam struktur NU bukan hanya sekedar pimpinan tertinggi,

tetapi juga menjadi pengawas, pembimbing, Pembina dan penegur apabila

terjadi penyimpangan dalam pandangan mereka.

Sementara dalam tataran kultural, ulama atau kiai memiliki posisi yang tidak

kalah penting dalam kultur masyarakat NU. Keberadaan ulama atau kiai

ditengah-tengah santri dan masyarakat sekitarnya memiliki kesamaan dengan

posisi para raja di Jawa, dimana raja benar-benar memiliki peran penting dalam

rangka mengarahkan masyarakatnya. Hanya saja yang berbeda adalah;

pertama, keberadaan raja lebih sebagai pemimpin suatu komunitas plural

dengan sumber legetimasi social yang ascribed. Sedangkan kiai merupakan

komunitas yang homogenreligius yang legetimasinya bersifat socially achieved.

Kedua, titah raja berdasarkan aturan kerajaan yang bersifat sekuler,

sedangkan titah kiai selalu diatasnamakan dan di bawah panduan legitimasi

hukum-hukum Tuhan dan sunnah Nabi serta pendapat Ulama salaf.22

Problematika Lembaga Bahtsul Masail (LBM)

a. Mengenal LBM

NU dalam struktur organisasinya memiliki suatu lembaga Bahtsul

Masail (LBM). Lembaga ini berfungsi sebagai forum pengkajian hukum

yang membahas berbagai masalah keagamaan terutama masalah fiqih.

Tugas lembaga ini adalah menghimpun, membahas dan memecahkan

masalah-masalah yang menuntut kepastian hukum. Oleh karena itu

lembaga ini merupakan bagian terpenting dalam organisasi NU. Urgensitas

inilah yang kemudian secara logis menuntut peran signifikan dari figur

utama dalam NU yaitu ulama dalam forum tersebut. Sehingga Lembaga

Bahtsul Masail (LBM) tersebut langsung dikoordinatori oleh kepengurusan

syuriah yang nota bene terdiri dari para ulama NU.23 Dengan demikian,

LBM menjadi forum diskusi para alim ulama dalam menetapkan hukum

22

Laode Ida, NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 3. 23

Bandingkan dengan Soeleiman Fadeli, Antologi NU; sejarah-istilah-amaliah-uswah (Surabaya:

Khalista, 2007), hlm. 35.

Mohammad Darwis

Page 11: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

45 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

suatu masalah yang keputusannya merupakan fatwa dan berfungsi

sebagai bimbingan bagi warga NU dalam mengamalkan agama sesuai

dengan paham Ahlussunnah Waljama’ah.

Meskipun LBM dikoordinatori lembaga Syuriah, namun forum itu

juga biasa dihadiri oleh para ulama atau kiai pesantren yang berada diluar

kepengurusan syuriah. Masalah-masalah yang dibahas umumnya

merupakan kejadian (waqi’ah) yang dialami oleh anggota masyarakat yang

diajukan kepada syuriah oleh organisasi ataupun perorangan.

Adapun mekanisme kerjanya, semua masalah yang masuk ke

lembaga syuriah di inventarisir, kemudian ditentukan skala prioritas

pembahasannya. Setelah itu, masalah tersebut disebarkan kepada seluruh

ulama, anggota syuriah dan para pengasuh pesantren yang ada di bawah

naungan NU.Selanjutnya para ulama melakukan penelitian terhadap

masalah itu dan dicarikan rujukan dari pendapat ulama mazhab melalui

kitab kuning (klasik). Selanjutnya mereka bertemu dalam suatu forum

untuk mendiskusikan masalah tersebut dengan saling beradu argument

dan dalil rujukan, sehingga akhirnya ditemukan dasar yang paling kuat.

Barulah ketetapan hukum itu diambil bersama. Namun dalam membahas

masalah serius kotemporer yang di masa lalu belum pernah terjadi, LBM

selalu minta penjelasan terlebih dahulu kepada para ahlinya dengan

mengundang mereka dan orang yang terkait. Setelah kasusnya jelas

barulah dikaji lewat kitab kuning. Proses itu semua, dilakukan dari

organisasi tingkat bawah ke tingkat organisasi yang lebih tinggi; dari

Ranting ke Cabang, dari Cabang ke Wilayah, dari Wilayah ke Pengurus

Besar dan dari PB ke Munas dan pada akhirnya ke Muktamar.24

24

Baca Ibid, hlm. 36. Serta bandingkan dengan Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha; Solusi

Problematika Actual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama

(1926-2004 M), hlm. Vi.

Peran Ulama Pesantren

Page 12: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

46 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

b. Kitab Mu’tabarah; Refrensi Sah di LBM

Dalam pengambilan keputusan hukum dalam LBM terdapat

ketentuan khusus bagi kitab kuning yang dijadikan rujukan maslah

tersebut. Kitab rujukan yang dimaksud haruslah kitab-kitab mu’tabarah.

Kitab mu’tabarah inilah yang sah dan boleh dijadikan rujukan dan refrensi

hukum dalam LBM, sementara kitab yang tidak masuk kitab mu’tabarah

akan ditolak oleh forum tersebut sebagai refrensi dan rujukan hukum.

Para ulama NU dalam Musyawarah Nasional Ulama di Situbondo

tahun 1983 memberikan kategori kitab-kitab mu’tabarah tersebut.

Menurut Munas tersebut, kitab mu’tabarah haruslah dari kitab-kitab yang

ditulis ulama-ulama mazhab dengan mengacu pada mazhab empat yaitu,

Hanafi, Maliki, syafi’I dan Hambali. Jika keputusan diambil dari sumber

kitab selain itu maka ia dinyatakan tidak sah. Hal ini didasarkan pada

pendapat Ibn Shalah yang mengatakan bahwa menurut ijma’ tidak

diperbolehkan bertaklid atau mengikuti pendapat hulum selain empat

imam mazhab yang ada, walaupun untuk diamalkan sendiri, apalagi untuk

berfatwa. Hal itu karena tidak adanya kredibilitas yang bersangkutan

dibandingkan para imam mazhab tersebut.25Selain dari itu para ulama NU

beralasan bahwa adanya konsep mu’tabarah itu sebagai sikap syaddan li al-

dzari’ah (preventif) yaitu agar umat tidak terjerumus, maka kitab yang

tidak mu’tabarah sebaiknya dilarang saja.

Namun demikian, seiring dengan dinamika perkembangan

pemikiran hukum islam, konsep mu’tabarah tersebut mulai dikritisi secara

tajam baik dari kalangan eksternal NU maupun internal NU. Menurut Sahal

Mahfudh, keriteria mu’tabar yang sudah direduksi menjadi hanya melulu

kitab-kitab mazhab empat sebetulnya sudah tidak senafas lagi dengan

semangat fiqih sebagai produk ijtihad. Hal tersebut dikarenakan akan

2525

Baca Munawir Abdul Fattah, Tradisi Orang-orang NU (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006),

hlm. 20.

Mohammad Darwis

Page 13: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

47 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

menimbulkan diskriminasi hasil ijtihad dengan mengunggulkan pendapat

imam tertentu dan merendahkan pendapat imam yang lain. Hal tersebut

menyalahi kaidah “al-ijtihad la yunqadhu bi –al-ijtihad” yakni bahwa suatu

ijtihad tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad lain. Menurutnya, yang namanya

pendapat tentu bisa salah dan bisa benar sehingga tidak boleh

menggunakan pendekatan like and dislike, ini mu’tabar dan itu tidak. Maka

dari itu hendaknya prinsip yang digunakan adalah mana yang “reasonable”

dan “aplicable” bisa digunakan, dengan tetap mempertimbangkan latar

budaya masyarakat agar bisa diterima oleh masyarakat yang majmuk ini.26

c. Pengambilan Keputusan di LBM; Mengkritisi Sitem Mazhab Ulama NU

Dengat menganut salah satu salah satu dari empat mazhab dalam

fiqih, NU sejak berdirinya memang selalu mengambil sikap dasar untuk

bermazhab. Sikap ini secara konsekuen ditindaklanjuti dengan upaya

pengambilan hukum fiqih dari referensi (maraji’) berupa kitab-kitab fiqih

yang pada umumnya dikerangkakan secara sistematis dalam beberapa

komponen. Dalam hal ini para ulama NU dan forum Bahtsul Masail

mengarahkan orientasinya dalam pengambilan hukum kepada aqwal al-

mujtahidin (pendapat para mujtahid) yang muthlaq maupun

muntashib.bila ditemukan dalil atau qaul manshush (pendapat yang telah

aa nashnya), maka qaul itulah yang dipegangi. Kalau tidak ditemukan

maka akan beralih ke qaul mukharraj (pendapat hasil takhrij). Bila terjadi

khilaf (perbedaan pendapat)maka diambil yang paling kuat sesuai dengan

pentarjihan ahli tarjih. Mereka juga sering mengambil keputusan sepakat

dalam khilaf, akan tetapi juga mengambil sikap dalam menentukan pilihan

sesuai dengan situasi kebutuhan hajiyah tahsiniyah (kebutuhan sekunder)

maupun dharuriyah (kebutuhan primer). Dengan demikian bisa

disimpulkan bahwa para ulama NU dalam rangka proses pengambilan

26

Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Actual Hukum Islam, Keputusan

Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hlm. Xii.

Peran Ulama Pesantren

Page 14: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

48 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

hukum dalam forum bahtsul masail lebih cenderung menggunakan

mazhab secara qauly.27

Selain dari itu, sekalipun NU pada dasarnya mengakui empat

mazhab dalam fiqih, namun kenyataan keseharian ulama NU

menggunakan fiqih masyarakat Indonesia yang bersumber dari mazhab

Syafi’i. Hampir dapat dipastikan bahwa fatwa, petunjuk dan keputusan

hukum yang diberikan oleh ulama NU dan kalangan pesantren selalu

bersumber dari mazhab Syafi”I, tak terkecuali dalam forum Bahtsul

Masail. Hanya kadang-kadang dalam keadaan tertentu menggunakan

mazhab yang lain.28

Penggunaan mazhab yang hanya berorientasi pada qaul

(pernyataan verbal) ulama dan bukan manhaj (metodologi) dalam forum

Bahtsul Masail tersebut ditambah lagi dengan hanya Syafi’iyah sentris,

sering menjadi biang kritik terhadap Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU.

Padahal, bagaimanapun rumusan fiqih yang dikonstruksikan ratusan

tahun yang lalu jelas tidak memadai untuk menjawab semua persoalan

yang terjadi saat ini. Situasi social politik dan kebudayaan sudah berbeda,

sementara hukum sendiri harus berputar sesuai dengan ruang dan waktu

(al-hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman zamanan wa

makanan). Disinilah perlunya “fiqih baru” yang mengakomodir

permasalahan-permasalahan baru yang muncul dalam masyarakat. Hal

tersebut yang kemudian menuntut untuk kembali ke manhajyakni

mengambil metodologi yang dipakai ulama dulu dan ushul fiqh serta

qawa’id (kaidah-kaidah fiqh).

27

Bandingkan dengan As’ad Said Ali, Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati

(Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008), hlm. 34. Baca juga, Munawar Abdul Fattah, hlm. 26. 28

Sahal Mahfudh, Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Actual Hukum Islam, Keputusan

Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-200 4 M), hlm. V.

Mohammad Darwis

Page 15: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

49 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas bisa kita pahami bahwa ualama dalam

perspektif NU memiliki peran yang begitu signifikan dan sentral. LBM sebagai

forum yang memainkan peran penting dalam penyelesaian masalah keagaman

masyarakat ternyata juga dikoordinir langsung oleh ulama yang tergabung

dalam kepengurusan syuriah. Hal ini menegaskan urgensitas peran dan

otoritas yang dipegang ulama. Namun demikian, banyak hal yang perlu dikaji

lebih lanjut terkait dengan problematika LBM terutama terkait dengan masih

terkooptasinya LBM dengan kitab klasik yang di sebut mu’tabarah, serta

mazhab yang dipakai dalam pengambilan keputusan.

Referensi

Abdul Fattah, Munawir. Tradisi Orang-orang NU ,Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2006.

Ali, As’ad Said. Pergolakan di Jantung Tradisi: NU yang Saya Amati, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2008.

al-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj, Juz XXII. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’asr, 1998.

Anam, Choirul. Pertumbuhan dan Perkembangan Nahdlatul Ulama, Jakarta; PT. Duta Aksara Mulia, 2010.

Dhofier, Zamakhsari. Tradisi Pesantren; Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, Jakarta: LP3ES, 1982.

Fadeli, Soeleiman. Antologi NU; Sejarah-Istilah-Amaliah-Uswah, Surabaya: Khalista, 2007.

Geertz, Cliffort. The Religion of Java, New York: The Free Press Glencae, 1960.

Horikoshi, Hiroko. Kiai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987.

Ida, Laode.NU Muda: Kaum Progresif dan Sekularisme Baru, Jakarta: Erlangga, 2004.

Ma’luf, Louis.Qamus al-Munjid, Beirut: al-Mathba’ah al-Kathulikiyah, 1951

Mahfudh, Sahal. Ahkamul Fuqaha; Solusi Problematika Aktual Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas Dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), pengantar. Surabaya; Khalista, 2007.

Peran Ulama Pesantren

Page 16: PERAN ULAMA PESANTREN DALAM PERSPEKTIF NU …

50 Tarbiyatuna, Vol. 8 No. 1 Pebruari 2015

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1980.

Patoni, Achmad. Peran Kiai Pesantren Dalam Partai Politik,Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Purwodarminto, WJS. Kamus Umum Bahasa Indonesia.

Shihab, Quraish. Dia Dimana-mana, “Tangan” Tuhan di Balik Setiap Fenomena, Tangerang: Lentera hati, 2005.

Turmudzi, Endang. Perselingkuhan Kiai Dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004.

Wahid, Abdurrahman. Bunga Rampai Pesantren, Jakarta: Darma Bhakti, 1984.

Mohammad Darwis