PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM...

103
PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL (Telaah Kritis Pemikiran Muh ammad Baqîr al-Shadr) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) Oleh Mohalli NIM: 103033127754 JURUSAN AQIDAH FILSAFAT FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431/2010 M

Transcript of PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM...

Page 1: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM

SOSIAL IDEAL

(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh

Mohalli

NIM: 103033127754

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431/2010 M

Page 2: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM

SOSIAL IDEAL (TELAAH KRITIS PEMIKIRAN MUHAMMAD BAQÎR

AL-SHADR) telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta pada 15 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memeroleh gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada Program

Studi Aqidah Filsafat.

Jakarta, 15 Juni 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,

Drs. Agus Darmaji, M.Fils. Dra. Tien Rahmatin, M.Ag.

NIP:19610827199303031002 NIP: 196808031994032002

Anggota,

Prof. Dr. Rd. Mulyadhi Kartanegara, M.A. Drs. Nanang Tahqiq, M.A.

NIP: 195906111986031002 NIP: 196602011991031001

Page 3: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL

IDEAL

(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin

untuk Memenuhi Persyaratan Mencapai

Gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I)

Oleh:

MOHALLI

NIM: 103033127754

Di bawah Bimbingan

Drs. Nanang Tahqiq, MA.

NIP. 196602011991031001

JURUSAN AQIDAH FILSAFAT

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1431/2010 M

Page 4: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memeroleh gelar Strata Satu (S1) di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 31 Mei 2010

Mohalli

Page 5: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

ABSTRAKSI

Mohalli

Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal

(Telaah Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr)

Sejarah kehidupan masyarakat selalu dihadapkan pada persoalan

bagaimana menciptakan tatanan yang harmonis, adil, makmur, dan sejahtera?

Persoalan ini diupayakan sedemikian rupa oleh sistem sosial yang mengorganisasi

kehidupan bersama baik di bidang sosial budaya, ekonomi, politik, dan

sebagainya. Dalam sistem sosial, terdapat suprastruktur yang menjadi pandangan

dunia seseorang serta dijadikan landasan bagi setiap tindakan. Ketika

suprastruktur itu membeku sebagai sebuah keyakinan bersama disertai cita-cita

yang ditetapkan di dalamnya, maka terbentuklah ideologi. Tujuan sistem sosial

diperjuangkan dalam bingkai ideologi ini.

Di dunia modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai yaitu

liberalisme dan sosialisme. Akar liberalisme bisa dilacak dari pemikiran John

Locke yang mengumandangkan hak individu atas kebebasan dan kekayaan (hak

milik). Sistem sosial harus berlandaskan atas hak ini, menjaga dan melindunginya.

Dalam masalah ekonomi, liberalisme kemudian percaya kepada sistem

kapitalisme di mana individu bebas mengupayakan serta mengembangkan

usahanya. Semakin individu didorong untuk mengejar kepentingan dan

keuntungan pribadi, maka kesejahteraan masyarakat akan semakin terjamin.

Sedangkan sosialisme secara konseptual dapat ditelusuri dari pemikiran

Karl Marx yang mencita-citakan masyarakat komunis, yakni masyarakat tanpa

kelas. Komunisme menentang kepemilikan pribadi karena menjadi sumber dari

munculnya kelas. Kesenjangan sosial dan berbagai konflik yang terjadi di

dalamnya disebabkan oleh kepemilikan pribadi atas sarana-sarana produksi.

Karena itu, sarana produksi harus dipindahkan menjadi milik bersama, dikerjakan

dan dinikmati bersama sehingga tidak ada lagi pertentangan kelas.

Akan tetapi, baik liberalisme maupun sosialisme menurut Muhammad

Baqîr al-Shadr sama-sama menemui kegagalan. Dia mengeritik kebebasan dalam

liberalisme-kapitalisme karena membelenggu dan menutup peluang orang miskin

untuk mendapatkan kekayaan. Sementara para pemilik modal cukup dimanjakan

sehingga berlaku ungkapan “Yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Demikian pula dengan sosialisme-komunisme di mana cita-citanya hanya utopia

belaka karena bertentangan dengan kodrat manusia yang cenderung ingin

memiliki sesuatu, apalagi dalam masyarakat materialis.

Baqîr al-Shadr kemudian mengajukan sistem sosial yang berlandaskan atas

tauhid (pengesaan Tuhan). Penelitian ini ingin menelusuri bagaimana peran tauhid

dalam menciptakan sistem sosial ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr al-

Shadr. Melalui pembacaan kritis terhadap karyanya, dapat dikemukakan bahwa

peran tauhid cukup signifikan sekali. Dalam tauhid terkandung nilai-nilai seperti

kebebasan, keadilan dan persamaan yang akan mengantarkan masyarakat pada

cita-cita kehidupan. Bahkan dia meyakini bahwa tujuan kehidupan sosial tidak

akan pernah tercapai kecuali di bawah eksistensi Islam.

i

Page 6: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

ii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah yang telah

melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan

skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat

mendapatkan gelar Sarjana Filsafat Islam (S.Fil.I) pada jurusan Aqidah Filsafat

Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis

dengan judul “Peran Tauhid dalam Menciptakan Sistem Sosial Ideal )Telaah

Kritis Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr(”.

Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak

kekurangan di dalam penulisan sehingga penulis membutuhkan masukan, saran

atau kritik dari berbagai pihak. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi

pemikiran, gagasan serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi dapat

terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai

ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih

kepada:

1. Drs. Nanang Tahqiq, MA. selaku pembimbing skripsi yang dengan

sabar dan bijak terus membimbing, menasehati, dan mengarahkan

penulis untuk menghasilkan karya yang terbaik.

2. Bapak Prof. Dr. Zainun Kamaluddin F, MA. selaku Dekan Fakultas

Ushuluddin, Bapak Drs. Agus Darmaji, M. Fils. selaku ketua jurusan

Aqidah Filsafat, dan Dra. Tien Rahmatin, M.Ag. sebagai sekretaris

ii

Page 7: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

iii

jurusan Aqidah Filsafat beserta seluruh staf pengajar di jurusan

Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Ayahanda H. Ahmad dan Ibunda Hj. Rafi„ah, terima kasih atas kasih

sayang, bimbingan, dan motivasi yang tak kenal henti sehingga

penulis mampu mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal

masa depan. Sebagai wujud terima kasih, penulis persembahkan

skripsi ini untuk mereka berdua. Doa mereka senantiasa penulis

harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Terima kasih

pula untuk kak Fauzi dan kak As‟adi yang terus memberikan

semangat dan bantuan moril maupun materil bagi penulis.

4. Terima kasih kepada teman-teman seperjuangan Indonesian Culture

Academy (INCA) terutama Subairi, Fakhru, dan Rosi atas semangat,

bantuan, dan diskusinya yang menggelora. Terima kasih kepada

Mawardi atas “curhat” dan masukannya yang cukup berarti dalam

menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa terima kasih kepada sahabat

abadi Guno dan adik Wardi yang selalu ada untuk penulis. Ali

Chemal (ditunggu skripsinya), Ramfalak, Syafa‟at dan teman-teman

yang tak bisa penulis sebutkan satu-persatu, terima kasih atas

segalanya.

5. Terima kasih kepada kakanda dan teman-teman Madura terutama

kak Adi, kak Nabil, kak Idris, kak Fathur, kak Mahrus, bung Ozan,

dan kek Faisal yang telah memberikan motivasi, masukan, dan

Page 8: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

iv

bantuannya. Penulis selalu membutuhkan serta merindukan arti dari

pergulatan ini. Terima kasih pula kepada kawan-kawan FORMAD;

Jakfar, Anis, Muhdhari, Laili, Abdi, Wafa, Wasil, Rahmatun dan

teman-teman di Masjid Al-Husaini, Rusun, dan lainnya.

6. Terima kasih kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam

khususnya KOMFUF; Kak Asy‟ari, Su‟udi, Fikri, Fahmi, Guruh,

Andi, Akib, Arma, Ay Sumiyati, Syifa, dan Mona. Teman-teman

KOMTAR; Ikhwan, Irma dan Risfa, dan teman-teman komunitas

Aqidah Filsafat; Dedi, Ali Makmur, dan Eli (ditunggu skripsinya),

Bana (kuliah yang benar), Euis, Mu‟is, Anwar, Nanang, Riyan,

Reza, Dhani, Dita dan Uphie (terima kasih atas inspirasinya). Tak

lupa kepada Intan Latifah, Ibell dan semua teman-teman yang telah

mengisi dan menghiasi kisah perjalanan hidup penulis.

Kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan.

Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi

masyarakat pada umumnya. Akhirnya, penulis memohon kepada Allah semoga

senantiasa membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Âmîn!

Jakarta, 30 Mei 2010

Penulis

Page 9: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

v

DATAR ISI

ABSTRAK ………………………………………………………………………. i

KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. ii

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………. v

PEDOMAN TRANSLITERASI ..……………………………………………. vii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ………………………………….. 11

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………............................................. 11

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ………………………………. 12

E. Sistematika Penulisan …………………………………………………... 12

BAB II BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR …………………..14

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial …………………………….. 14

B. Karya Tulis ……………………………………………………………... 19

C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran ……………………………….. 26

BAB III SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA ……………….. 36

A. Teori Sistem Sosial …………………………………………………….. 36

B. Masalah Utama Sistem Sosial ………………………………………….. 38

C. Masalah Keadilan ………………………………………………………. 42

1. Liberalisme ……………………………………………………... 44

2. Sosialisme ……………………………………………………… 48

D. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme ………………………….. 51

BAB IV PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL

IDEAL …………………………………………………………………………. 56

A. Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr………………………………………. 56

1. Tauhid ………………………………………………………….. 57

v

Page 10: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

vi

2. Tuhan sebagai Pusat Realitas ………………………………….. 62

B. Tauhid dan Kebebasan ………………………………………………… 64

1. Kemerdekaan Pribadi …………………………………………... 66

2. Kemerdekaan Sosial ……………………………………………. 69

C. Tauhid dan Keadilan …………………………………………………… 73

D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial ………………………………………. 79

E. Catatan Kritis …………………………………………………………... 82

BAB V PENUTUP …………………………………………………………….. 87

A. Kesimpulan …………………………………………………………….. 87

B. Saran-saran ……………………………………………………………... 89

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………. 91

Page 11: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

PEDOMAN TRANSLITERASI

= a = f

= b = q

= t = k

= ts = l

= j = m

= h = n

= kh = w

= d = h

= dz = ’

= r = y

= z

= s Untuk Madd dan Diftong

= sy = â

= sh = î

= dh = û

= th = aw

= zh = ay

= ‘

= gh

vii

Page 12: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu karakteristik pengetahuan dalam Islam adalah meyakini bahwa

Tuhan merupakan Realitas Pertama yang menjadi sumber realitas, baik material

maupun imaterial atau fisik dan non-fisik, yang keberadaan-Nya tidak bergantung

kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya (wâjib al-wujûd). Ia niscaya dalam

Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain tidak dapat eksis tanpa

menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya tidak niscaya

melainkan hanyalah mungkin (mumkin al-wujûd).1 Oleh sebab itu, ontologi dalam

Islam mengambil bentuk metafisika2 di mana Tuhan menjadi Sebab Final atau

Sebab Pertama (Prima Causa) segala sesuatu.

Bagian pertama dari kesaksian iman Islam lâ ilâha illâ Allâh (Tiada Tuhan

Selain Allah) menjadi prinsip dasar bahwa Tuhan satu dan niscaya dalam esensi-

Nya, dalam nama-nama dan sifat-Nya, dan dalam perbuatan-Nya. Dengan

demikian, konsekuensi dari kesaksian tauhid ini adalah mengakui semua realitas

tidak ada, dan hanya ada karena Realitas Tuhan. Semua penyelidikan pengetahuan

dalam Islam harus berada dalam bingkai ini sebab semua realitas ketika

memanifestasikan diri tidak bisa mengingkari asal-usul metafisiknya, yaitu

1 Murtadhâ Muthahharî, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terj. Ibrahim Husain al-Habsyi dkk,

(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 351-377. 2 Dalam falsafat, penyelidikan tentang Tuhan disebut metafisika khusus yang dibedakan

dari metafisika umum yang membahas mengenai “ada” pada umumnya (ontologi). Lihat Louis

Leahy, Filsafat Ketuhanan Kontemporer, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 18.

1

Page 13: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

2

Tuhan.3 Hal ini ditegaskan al-Qur‟ân dalam QS. 21: 22 bahwa “Seandainya pada

keduanya (di langit dan di bumi) ada tuhan-tuhan selain Allah, tentu keduanya

telah binasa. Maha Suci Allah yang memiliki Arasy dari apa yang mereka

sifatkan. Karena itu, kesaksian tauhid menjadi pernyataan pengetahuan pertama

tentang realitas.

Walaupun demikian, bukan berarti pengetahuan dalam Islam

mengesampingkan sama sekali prosedur ilmiah dalam ilmu pengetahuan.

Penyelidikan ilmiah dengan metode eksperimentasi dan observasi dengan

menggunakan penalaran induktif sudah dikenal sebelum Roger Bacon

memerkenalkan metode eksperimentasi ke dunia sains Eropa. Para ilmuwan

Muslim semisal al-Râzî, Ibn Sînâ, al-Bîrûnî, Ibn Haytsâm, al-Zahrawî, dan lain

sebagainya dikenal dengan kekuatan observasi dan eksperimentasinya dalam

kajian ilmu alam termasuk kedokteran.4 Hal ini disebabkan karena realitas

material juga harus dikuasai dan dipahami oleh umat Islam selain realitas

metafisik. Tetapi umat Islam tidak mengandalkan penyelidikan itu pada

penyelidikan ilmiah saja.

Al-Qur‟ân, sebagai sumber pengetahuan, menghimbau kepada umat Islam

untuk mengamati tanda-tanda Tuhan yang termanifestasi di alam semesta, jiwa-

jiwa manusia, dan ruang-ruang lain yang tidak terdeteksi secara empiris. Ini

mengandung arti bahwa model penyelidikan berbeda-beda satu sama lain, yakni

tajrîbî (eksperimen) untuk objek fisik, burhânî (demonstratif atau rasional) untuk

3 Osman Bakar, Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains Islam, terj.

Yuliani Liputo, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), h. 12. 4 Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu dalam Perspektif Filsafat Islam, (Tangerang:

UIN Jakarta, 2003), h. 12-13.

Page 14: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

3

matematika dan objek metafisik, dan ‘irfânî (intuitif).5 Kenyataan ini sekaligus

berbeda dari epistemologi Barat modern, khususnya materialisme, yang

menganggap objek material sebagai satu-satunya realitas objektif yang absah

dalam penyelidikan pengetahuan seraya menafikan objek metafisik. Tidak hanya

itu, materialisme bahkan menganggap pemikiran metafisika sebagai takhayul

belaka serta tidak memunyai landasan dasar yang kokoh.

Di Barat, semangat ilmiah dengan penolakan terhadap berbagai bentuk

tradisi dan dogma mengejawantah dalam aliran positivisme pada abad 19 yang

diwakili oleh Saint-Simon dan Auguste Comte dalam bidang ilmu sosial.

Positivisme menunjuk pada pendekatan terhadap pengetahuan empiris disertai

penolakan atas wahyu sebagai sumber pengetahuan. Dalam menyelidiki objek

sosial, Comte menerapkan metode penelitian empiris yang meliputi pengamatan,

eksperimen, dan komparasi. Hasil penyelidikan empiris Comte tentang dinamika

kemajuan sosial dikenal sebagai hukum tiga tahap yang menyatakan bahwa

masyarakat berkembang dari tahap teologis, metafisik, dan terakhir positivis.6

Positivisme menjadi tahap terakhir perkembangan manusia di mana akal manusia

tidak lagi memercayai takhayul, pengertian absolut, asal dan tujuan alam semesta

melainkan pada data empiris dan hasil ilmu pengetahuan.

5 Pendekatan ‘irfânî digunakan untuk seluruh objek pengetahuan. Akan tetapi, secara

ontologis, kaum ‘irfân berbeda dari para failasuf dalam memandang realitas beserta

pendekatannya. Failasuf menganggap bahwa Tuhan maupun benda sama-sama objektif (absah

dijadikan objek penyelidikan pengetahuan) dengan perbedaan bahwa jika Tuhan adalah wâjib al-

wujûd dan ada dengan sendiri-Nya maka benda-benda selain Tuhan hanyalah ada karena sesuatu

yang lain atau akibat dari wâjib al-wujûd. Sementara kaum ‘irfân menganggap bahwa tidak ada

tempat bagi sesuatu selain Tuhan yang ada di sisi-Nya meski ia adalah akibat dari Tuhan. Jika alat

failasuf adalah akal, logika, dan deduksi maka alat seorang ‘ârif (sebutan subjek ‘irfân) adalah

hati, usaha hati, penyucian dan disiplin diri serta dinamisme batin. Lihat, Murtadhâ Muthahharî,

Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h.377-378. 6 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terj. M.Z. Lawang,

(Jakarta: Gramedia, 1994), h. 82-86.

Page 15: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

4

Kenyataan di atas menunjukkan bahwa mayoritas pergulatan pemikiran

Barat pasca Renaisans bermuara pada matinya metafisika sebagai objek dan bahan

penyelidikan. Serangan paling telak ditunjukkan oleh kalangan materialisme

dalam bidang falsafat yang menganggap realitas material sebagai satu-satunya

realitas objektif. Bahkan, sebagaimana materialisme dialektik dalam Marxisme,

akal atau pikiran manusia dianggap bagian dari materi.7 Dalam artian bahwa

pikiran merupakan bagian dari alam atau produk alam dan ekspresi tertinggi

tentangnya. Ini disebabkan manusia adalah produk alam, maka pikiran juga

bagian dan produk alam. Karena itu, akal tidak dapat merefleksikan pengetahuan

apapun di luar objek material seperti objek metafisik. Dalam falsafatnya,

Marxisme menerapkan metode dialektika terhadap objek material termasuk

manusia (materialisme dialektis) yang diklaim sebagai pendekatan objektif dalam

menemukan hukum-hukum perkembangan alam, manusia, dan objek material

lainnya. Dengan bersandar pada bangunan epistemologisnya, Marxisme berhasil

melahirkan sistem ekonomi politik sosialisme-komunisme.

Pandangan materialis ini menjalar ke aspek-aspek lain, seperti ke bidang

sosial, ekonomi, dan politik, tidak terkecuali materialisme Karl Marx. Untuk

bidang sosio-ekonomi, materialisme Karl Marx menjadi konsep sosialisme-

komunisme. Konsep ini berdiri dalam rangka penentangannya terhadap

liberalisme yang di dalamnya bercokol sistem ekonomi kapitalisme. Sistem

terakhir bisa dilacak secara konseptual dari pemikiran Bernard de Mandeville dan

Adam Smith pada abad ke-18. Keduanya adalah pendukung „masyarakat pasar‟

7 Frederick Engels, Anti-Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu

Pengetahuan, terj. Oey Hay Djoen, (Bandung: Hasta Mitra & Ultimus, 2005), h. 51.

Page 16: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

5

yang bercirikan pembagian kerja secara rasional dan terperinci, penghormatan hak

milik pribadi, dan pengutamaan kepentingan pribadi.8 Menurut Smith,

kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka panjang apabila individu

dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan pribadinya. Hal ini

dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan (invisible hand) di mana individu

secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik buat masyarakat dengan

memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya sendiri.9 Sebuah hukum

pasar yang didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton membawa implikasi

kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan seminimal mungkin kontrol

pemerintah atas pasar.

Baik sosialisme komunisme maupun liberalisme merupakan manifestasi

dari semangat zaman pasca Renaisans hingga Pencerahan yang dalam kerangka

epistemologisnya menolak keabsahan metafisika sebagai objek penyelidikan

ilmiah. Peradaban Barat modern disandarkan pada semangat ilmiah, empiris,

positivis, dan rasional. Tak dapat dipungkiri semangat ilmiah tersebut pada

dasarnya adalah sumbangan Islam. Peradaban Islam yang pada Abad Pertengahan

mencapai puncak keemasan juga karena sains. Akan tetapi, sistem kepercayaan

Islam tidak semata mengandalkan sains tetapi juga metafisika sebagaimana tertera

dalam kitab suci al-Qur‟ân dan telah diterangkan di muka tentang penyelidikan

digunakan Islam. Maka keliru bila kemunduran Islam dikarenakan metafisika.

Justru terbukti pada suatu masa bahwa puncak keemasan peradaban Islam telah

muncul dan berkembang maju di bawah nilai ajaran metafisika Islam.

8 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h.101-103.

9 Doyle Paul Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern, h. 25-26.

Page 17: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

6

Sejak lahir masa Renaisans di Italia pada abad ke-14 dengan semangat

penghargaan kembali kepada kebudayaan pra-Kristiani Yunani dan Romawi yang

membuka pandangan mereka tentang manusia, lahirlah humanisme dengan homo

universale (manusia universal) sebagai cita-citanya. Humanisme menempatkan

manusia ke dalam pusat dunia. Pandangan ini mereformasi total faham realitas

teosentris abad pertengahan menjadi antroposentris dengan memusatkan manusia

sebagai subjek yang berhadapan dengan ciptaan lain.10

Dengan kata lain, ciri khas

masa Renaisans adalah ditemukannya subjektivitas yang bertolak dari perubahan

perspektif manusia yang fundamental.

Kemudian, sebagai tanggapan terhadap humanisme yang sangat ekstrovert

dan dinilai sekular, muncullah penentangan dan penolakan dari para pangeran dan

kelas penguasa di kota-kota kaya seperti Firense, Genova, Vanesia dan juga

terlebih pemimpin rohani Gereja Katolik, para uskup, dan Paus Roma. Akibatnya,

hal ini malah melahirkan gerakan reformasi Kristen Protestan yang diprakarsai

Martin Luther melawan pimpinan Gereja dan para penguasa dunia yang berkroni

dengan Gereja, dengan memaklumatkan kebebasan orang Kristen.

Di satu sisi, Luther menentang keduniawian dan antroposentrisme

Renaisans yang bersifat Eropa Selatan dan sekularistik, mendikotomikan urusan

dunia dan agama. Namun pada sisi lain, sebenarnya ia justru memantapkan

antroposentrisme itu dengan menekankan kebebasan dan kesadaran hati religius

sebagai ukuran dan dasar kepercayaan seseorang. Dalam pandangannya, manusia

tidak dapat dipaksa untuk memercayai sesuatu. Hal ini terungkap dalam tuntutan

10

Franz Magnis Suseno, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis, (Yogyakarta: Kanisius, 1992), h.

61.

Page 18: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

7

bahwa setiap orang Kristiani berhak untuk membaca Kitab Suci, memahami serta

menafsirkannya sendiri, dan bukan lagi menjadi hak para pemimpin Gereja

semata.11

Ini adalah sebuah kebebasan untuk tidak memercayai sesuatu yang

bertentangan dengan suara hati. Kebebasan yang mendorong subjektivitas sekular

ke subjektivisme religius.

Pandangan sekularistik masyarakat Eropa menyebabkan tersisihnya peran

agama di wilayah publik dan sepenuhnya menjadi urusan pribadi (privat) belaka.

Bahkan, sejarah „sakit‟ terjadi ketika muncul pertentangan antara ilmu

pengetahuan objektif dan doktrin Gereja di mana para ilmuwan positivis

mendapat inkuisisi seperti Galileo Galilei akibat penemuannya bertentangan

dengan otoritas Gereja, akhirnya membuat masyarakat tidak memercayai doktrin

agama. Hingga pada taraf tertentu, peradaban Barat dengan humanisme

sekularnya menggilas kepercayaan teosentris seraya meyakini berpijarnya

peradaban baru yang didasarkan pada rasionalitas dan semangat ilmiah.

Peradaban tersebut mencapai puncaknya pada abad 18 dengan lahirnya

sebuah gerakan zaman yang memengaruhi kehidupan ilmu pengetahuan, sosial,

politik, dan budaya yang disebut zaman pencerahan atau (Jerman: Aufklärung,

Inggris: Enlighment). Dalam sebuah majalah Berlinische Monasschrift, Desember

1784, Immanuel Kant menulis artikel dengan judul “Beantwortung der Frage:

Was ist Aufklärung? (Menjawab Pertanyaan: Apa itu Pencerahan?) Tulisan itu

secara tegas menegaskan ciri dari masyarakat pencerahan sebagai keluarnya anak

dari kategori bawah umur ke kedewasaan. Kategori bawah umur berarti ketika

11

Ibid, h. 62.

Page 19: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

8

seseorang tidak bisa atau tidak berani menggunakan akal budinya secara mandiri

dan masih perlu bimbingan orang lain. Pencerahan ditandai oleh penggunaan akal

budi seluas-luasnya dengan semboyan sapere aude! (beranilah berpikir sendiri).12

Dirayakannya akal budi sekaligus menandai keterpisahan manusia modern dari

pandangan tradisional yang diliputi oleh kungkungan tradisi dan dogma. Sebagai

gantinya, individu menjadi subjek otonom yang dewasa yang tidak bergantung

lagi pada nilai dan norma apapun selain atas akal budinya.

Selain itu, Immanuel Kant dalam bukunya Kritik der reinen Vernunft

(Kritik atas Rasio Murni) berhasil melakukan penyelidikan transendental atas

asas-asas a priori dalam rasio yang berkaitan dengan objek dunia luar yang

disebut syarat-syarat kemungkinan bagi pengetahuan. Dalam penyelidikannya,

Kant menetapkan putusan sintetis apriori sebagai pengetahuan yang bersifat

ilmiah dan dapat dipertanggungjawabkan. Rumusan epistemologis Kant disebut

revolusi Kopernikan karena pengetahuan sebelumnya mengandaikan bahwa

subjek mengarahkan diri pada objek, padahal seharusnya, dengan forma apriori

yang melekat pada subjek, objek mengarahkan diri pada subjek. Akibatnya,

metafisika akan tercampakkan karena berada pada wilayah nomena atau das ding

an sich (ada pada dirinya sendiri) sedangkan pengetahuan manusia hanya mampu

menangkap wilayah fenomena (penampakan indrawi) saja.13

Dalam sejarah pemerintahan Islam, Nabi Muhammad telah berhasil

membangun suatu tatanan negara baru di Madînah sebagai penentangan pada

12

A. Setyo Wibowo, “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan di Mata Kant dan

Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF, Jakarta, 24 Septempber, 2007, h. 1-2. 13

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche, (Jakarta:

Gramedia, 2004), h. 133-145.

Page 20: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

9

tatanan kaum Quraysy yang tidak beradab. Islam membentuk suatu komunitas

yang berkuasa di Madînah dengan membina pemerintahan yang lebih berkembang

di mana kaum Muslim dan non-Muslim digolongkan atas dasar kehidupan sosial

yang umum.14

Karena dasar dibangun Rasulullah inilah, terutama dasar

metafisika, Islam menguasai dunia hingga delapan abad. Baru pada akhir abad 16,

pemerintahan dalam Islam mengalami kemunduran. Demikian pula pemikiran

Islam dan ilmu pengetahuan mulai ditinggalkan oleh orang Muslim.

Maka tidak mengherankan apabila para pemikir modern dalam Islam

seperti Jamâluddîn al-Afghânî dan sebagainya, mendiagnosis kemunduran Islam

untuk kemudian melakukan analisis konstruktif dalam upaya membangun kembali

peradaban yang telah rapuh bahkan hancur. Banyak tantangan mengemuka di

tengah melakukan upaya itu, terutama konteks zaman di mana para pemikir

pembaharu dihadapkan pada arus modernisasi yang menuntut pertemuan global

dengan peradaban dan ideologi Barat. Akibatnya, mereka „dipaksa‟ menjawab

tantangan tersebut tanpa tercerabut dari akar ideologisnya dengan cara menilainya

dari perspektif Islam.

Dalam bingkai inilah Muhammad Baqîr al-Shadr melakukan analisis

spesifik terhadap sistem sosial yang berlandaskan nilai-nilai Islam menjadi sistem

yang ideal. Menurutnya, persoalan paling mendesak untuk segera diselesaikan

adalah persoalan sistem sosial yang di dalamnya terdapat suprastruktur nilai yang

bisa membawa kesejahteraan bagi umat Islam dan manusia pada umumnya. Hal

14

Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia,

jil. I, terj. Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 256.

Page 21: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

10

ini disebabkan sistem sosial yang ada yang disandarkan pada pandangan dunia

(worldview) Barat gagal mewujudkan kesejahteraan.

Berbeda dari Barat, pandangan dunia Islam yang didasarkan pada tauhid

diyakini Muhammad Baqîr al-Shadr mampu menciptakan sistem sosial yang

membawa kesejahteraan. Tauhid di sini dalam pengertian keyakinan dan

kesaksian bahwa “tidak ada Tuhan selain Allah”. Pernyataan ini mengandung

makna paling agung dan kaya dalam seluruh khazanah Islam. Semua keragaman,

kebudayaan dan pengetahuan serta kebajikan dan peradaban dalam Islam

diringkas dalam kalimat pendek lâ ilâha illâ Allâh.15

Karena itu, tauhid bagi Muhammad Baqîr al-Shadr adalah dasar

pandangan hidup yang melihat segala sesuatu sebagai suatu keseluruhan yang

memanifestasikan keesaan Allah. Tidak ada dualitas dan kontradiksi dalam jagad

raya ini seperti manusia dan alam, ruh dan badan, kapitalis dan proletar apalagi

meletakkannya dalam jalinan hirarkis antara superior dan inferior. Semuanya

memunyai posisi sama dan setara di dalam sebuah sistem total yang terwujud dari

keesaan Allah.

Hanya Allah yang patut disembah, tempat segala sesuatu bergantung dan

berserah diri. Selain Allah tidak layak dipertuhankan karena keberadaannya tidak

mandiri. Oleh sebab itu, Islam tidak mengenal penyerahan kepada bentuk dan

corak apapun selain kepada-Nya.16

Penyerahan dan ketundukan terhadap berhala,

belenggu sosial, rezim yang korup, dan sebagainya dikatakan syirk

(menyekutukan Allah).

15

Ismâ„îl Râjî al-Fârûqî, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), h. 9. 16

Muhammad Baqîr al-Shadr, Problem Masa Kini dan Problem Sosial, terj. M. Hashem,

(Bandung: Pustaka), h. 128.

Page 22: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

11

Dengan demikian, di dalam keyakinan tauhid terkandung spirit

pembebasan yang akan mengangkat martabat manusia. Pembebasan dari berbagai

macam perbudakan, tirani, hegemoni, kemiskinan, dan sebagainya sehingga

tercipta kehidupan sosial yang merdeka, adil, dan sejahtera. Sebuah tatanan

kehidupan yang selama ini menjadi tujuan dari sistem sosial.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Demi menjaga efektifitas agar pembahasan tetap terfokus pada persoalan,

maka penulis membatasi pembahasan pada peran tauhid dalam menciptakan

sistem sosial yang ideal dalam pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr.

Dengan pembatasan seperti itu, maka permasalahan yang akan menjadi

objek dan fokus penulisan adalah: Bagaimana peran tauhid dalam menciptakan

sistem sosial yang ideal menurut Muhammad Baqîr al-Shadr?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memahami dan menguraikan

secara rinci pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam

menciptakan sistem sosial yang ideal serta melakukan analisis kritis terhadapnya.

Sedangkan kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai

berikut:

1. Mengetahui latar belakang Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat

peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal.

2. Mengetahuai faktor penyebab munculnya problem sistem sosial

Page 23: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

12

3. Mengetahui peran tauhid dalam menjawab problem dalam sistem sosial

4. Mengetahui peran tauhid bagi terbentuknya sistem sosial yang ideal

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode studi pustaka

(library research) terhadap karya-karya Muhammad Baqîr al-Shadr.

Pengumpulan data diambil dan dipilih dari karya Muhammad Baqîr al-Shadr dan

karya lain yang memiliki relevansi dengan uraian skripsi ini.

Secara teknis, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan

teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan pemikiran

Muhammad Baqîr al-Shadr dalam melihat peran tauhid dalam menciptakan sistem

sosial yang ideal. Teknik pengumpulan data dan pembahasan masalah dalam

skripsi ini disesuaikan dengan standar Pedoman Karya Ilmiah (Skripsi Tesis, dan

Desertasi) yang diterbitkan Center for Quality Development and Assurance

(CeQDa) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sementara, teknik penulisan dalam

skripsi ini berdasarkan pada panduan penulisan skripsi Fakultas Ushuluddin yang

termuat dalam Pedoman Akademik 2006/2007. Sedangkan penulisan transliterasi

menggunakan pedoman transliterasi penerbit buku Paramadina dengan perubahan

pada huruf ض, dari /dl/ menjadi /dh/ dalam skripsi ini.

E. Sistematika Penulisan

Setelah dalam Bab I penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-

pokok masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada BAB II penulis

Page 24: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

13

mencoba memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup Muhammad Baqîr al-

Shadr mulai dari latar belakang sosial, perjalanan intelektual hingga hasil karya

dan pengaruh pemikirannya.

Pada BAB III, penulis akan membahas konsep sistem sosial dan beberapa

persoalan terkait dengan sistem itu dalam masyarakat modern, baik yang terjadi

pada masyarakat kapitalis maupun masyarakat yang berada di dalam bingkai

sosialisme. Hal ini menjadi pijakan awal dari analisis selanjutnya di mana

Muhammad Baqîr al-Shadr mengembangkan analisisnya dalam rangka melihat

peran tauhid bagi terciptanya sistem sosial yang ideal. Sedangkan BAB IV yang

menjadi pokok inti tulisan ini, penulis sudah masuk pada pembahasan tentang

pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang peran tauhid dalam menjawab

problem sistem sosial masyarakat modern sekaligus dalam menciptakan sistem

sosial yang ideal.

Bab IV diawali dengan pandangan dunia (worldview) Islam. Pada sub

pokok selanjutnya, akan dipaparkan kedudukan tauhid dalam Islam sebagai

landasan hidup dan Tuhan sebagai pusat realitas.

Selain itu, di bab IV akan dijelaskan peran tauhid dalam kemerdekaan dan

keadilan. Dari kemerdekaan ini kemudian mengejawantah suatu pencapaian

tujuan dari sistem sosial yakni kesejahteraan dan kebahagiaan.

Sementara pada bab V penulis akan menyimpulkan dari seluruh bahasan

dan masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran

terkait peran tauhid dalam menciptakan sistem sosial yang ideal.

Page 25: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

BAB II

BIOGRAFI MUHAMMAD BAQÎR AL-SHADR

A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Sosial

Muhammad Baqîr al-Shadr al-Sayyid Haydar b. Ismâ„îl adalah seorang

ulama, sarjana, failasuf, dan salah satu tokoh politik revolusioner Irak. Dia lahir di

Kazmain, Baghdad, pada 25 Zhû al-Qâ„dah 1353 H./1 Maret 1935 M. dari

keluarga religius dan termasyhur. Ayahnya, Haydar al-Shadr, sangat dihormati

dan merupakan alim Syî„ah peringkat tinggi. Garis keturunannya kembali ke Nabi

Muhammad melalui imam Syî„ah yang ketujuh yaitu Mûsâ Kazhîm. Beberapa

tokoh kenamaan juga lahir dari keluarganya seperti Sayyid Shadr al-Dîn al-Shadr,

seorang marja‘1 di Qum, Iran; Muhammad al-Shadr, salah seorang pemimpin

religius yang memainkan peran penting dalam revolusi Irak melawan Inggris dan

mendirikan Haras al-Istiqlâl (Pengawal Kemerdekaan); dan Mûsâ al-Shadr,

seorang pemimpin Syî„ah di Lebanon.2

Pada usia empat tahun, Muhammad Baqîr al-Shadr kehilangan ayahnya

dan kemudian diasuh oleh ibu dan kakak laki-lakinya, Ismâ„îl, yang juga seorang

mujtahid3 kenamaan di Irak. Pada usia sepuluh tahun, dia mulai berceramah

tentang sejarah Islam dan beberapa aspek lain tentang kultur Islam. Dia sudah

mampu menangkap wacana teologis tanpa bantuan seorang guru pun. Ketika

berusia sebelas tahun, dia mengambil studi logika dan menulis buku yang

1 Ulama yang dijadikan otoritas rujukan tertinggi dalam madzhab Syî„ah.

2 Biografi Muhammad Baqîr al-Shadr ditulis dalam bukunya Falsafatunâ, terj. M. Nur

Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan, 1991), h. 11. 3 Orang alim yang telah mencapai tingkat tertinggi di kalangan teolog Muslim.

14

Page 26: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

15

mengeritik para failasuf. Pada usia tiga belas tahun, kakaknya mengajarkan Ushûl

‘Ilm al-Fiqh (Asas-asas Ilmu tentang Prinsip-prinsip Hukum Islam). Pada usia

enam belas tahun, ia pergi ke Najaf untuk menempuh pendidikan yang lebih baik

dalam berbagai cabang ilmu Islam di Universitas Najaf al-Asyraf, Irak. Sekitar

empat tahun kemudian, dia menulis sebuah eksiklopedia tentang Ushûl Ghâyah

al-Fikr fî al-Ushûl (Pemikiran Puncak dalam ushûl). Karya ini hanya berhasil

diterbitkan satu volume. Ketika usia dua puluh tahun, dia mulai mengajar bahts

al-kharîj (tahap akhir ushul) dan fiqh. Dan, pada usia tiga puluh tahun,

Muhammad Baqîr al-Shadr telah menjadi mujtahid. 4

Dunia karirnya tidak begitu gemilang kecuali sebagai pengajar,

penceramah, dan penulis. Karena tulisannya banyak bersinggungan dengan

masalah ekonomi, terutama Iqtishâdunâ yang banyak mengeritik Marxisme dan

kapitalisme dengan mengajukan prinsip ekonomi Islam, ia kemudian sering

dimintai konsultasi oleh berbagai organisasi Islam, seperti Bank Pembangunan

Islam. Ia juga ditugaskan oleh pemerintah Kuwait untuk menilai bagaimana

kekayaan minyak negara dikelola sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Selain itu,

ia juga diminta untuk membangun dan meletakkan dasar-dasar bagi pembentukan

bank-bank Islam modern.

Sebagai seorang pemikir kontemporer terkemuka, Muhammad Baqîr al-

Shadr melambungkan kebangkitan intelektual yang berlangsung di Najaf antara

tahun 1950-1980. Tulisannya sarat dengan makna dan muatan teologis-falsafatis

yang kerap menyerang konsepsi falsafat Barat seraya mengajukan konsep Islam

4 Ibid, h. 12.

Page 27: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

16

dalam membedakan antara kebenaran dan kesalahan.5 Hal ini dapat dimaklumi

karena kondisi Irak pasca terjadinya revolusi 1958, dalam rangka menentang

pemerintahan monarki, berada dalam ketidakpastian yang dihantui oleh

merebaknya berbagai pemikiran dengan tendensi ateisme. Pemikiran itu dianggap

telah berusaha memengaruhi akal, emosi, dan naluri sehingga akan terjadi

kehampaan pada Islam dan kaum Muslim. Kondisi itu pula yang menggugah

beberapa ulama di Najaf al-Asyraf untuk menerbitkan majalah al-Adwa’ al-

Islâmiyyah di mana Muhammad Baqîr al-Shadr menjadi pimpinan dan tokoh yang

paling menonjol. Kehadirannya diharapkan menjadi juru bicara Islam dalam

menghadapi pelbagai penyimpangan pemikiran dan gerakan.6 Hawzah

7 ilmiah di

Najaf al-Asyraf sadar bahwa keadaan itu memerlukan alat-alat baru di tengah

pergulatan mengisi kekosongan pemikiran dalam rangka restrukturisasi dan

reformulasi sistem yang lebih baik.

Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan tokoh paling produktif

menuangkan tulisannya di majalah tersebut sebagai suatu bentuk perjuangan

pemikiran dan gerakan ideologis. Namun, dia tidak dapat melanjutkan aktivitas

menulisnya di al-Adwa’ lantaran ada tekanan dari sentral kekuatan di hawzah

ilmiah. Alasannya karena mereka khawatir akan adanya dampak negatif yang

akan menimpa masa depannya di mana dia diharapkan menjadi pemangku jabatan

sebagai pusat rujukan keagamaan (al-marja‘iyyah al-islâmiyyah). Alasan itu tak

5 Karya yang secara khusus dan sistematis mengeritik bangunan konseptual falsafat Barat

bisa dilihat dalam Falsafatunâ. 6 Sayyid Muhammad Husayn Fadhlullah “Kata Pengantar” dalam Muhammad Baqîr al-

Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad Abdul Qadir Al-Caff,

(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 15-16. 7 Hawzah dalam pengertian bahasa berarti wilayah. Dalam konteks ini berarti wilayah

yang dijadikan pusat pendidikan agama Islam.

Page 28: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

17

berlebihan karena Muhammad Baqîr al-Shadr secara progresif seringkali

menganjurkan suatu gerakan Islam yang mengorganisasikan sebuah partai sentral

yang dapat bekerja dengan berbagai unit dalam naungan bangsa Islam untuk

perubahan sosial yang diinginkan. Sebagai akibatnya, dia kemudian mendirikan

partai Da‘wah al-Islâmiyyah (Partai Dakwah Islam) seraya menegaskan bahwa

politik adalah bagian dari Islam. Dia menyerukan kepada kaum Muslim supaya

mengenali kekayaan khazanah Islam dan melepaskan diri dari pengaruh eksternal

apapun, khususnya kapitalisme dan Marxisme.8

Melalui gerakannya, dia menyerukan kaum Muslim agar bangun dari tidur

panjang dan menyadari bahwa imperialis sedang berupaya membunuh ideologi

Islam dengan menyebarkan ideologi mereka. Kaum Muslim harus bersatu dalam

melawan pengaruh dan intervensi itu, baik dalam sistem sosial, ekonomi, dan

politik. Di samping itu, ajaran dan gerakan politik Muhammad Baqîr al-Shadr

secara langsung berhadapan dengan rezim Ba‟ats yang ditentangnya sebagai rezim

diktator yang melanggar hak asasi manusia dan Islam.9 Akibatnya, pada tahun

8 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 12.

9 Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam menolak monarki, pemerintahan diktator, dan

aristokrasi. Dia mengusulkan pemerintahan yang dikenal dengan wilâyah al-ummah yang terdiri

dari khulafâ’ al-insân (manusia sebagai ahli waris atau wali Allah) dan syahâdah al-anbiyâ’

(kesaksian para Nabi). Menurutnya, sepanjang sejarah manusia terdapat dua garis peran dan fungsi

pemerintahan yang saling berkaitan, yang pertama khalîfah sebagai wali yang mewarisi bumi

Allah, dan yang kedua syâhid atau saksi. Khalîfah adalah hak dan kewajiban yang diberikan oleh

Allah kepada setiap orang untuk mengurusi persoalan dunia dan karena itu, dalam konteks negara,

diidentifikasi sebagai hak rakyat di mana legitimasi pemerintahan berasal dari rakyat bukan ulama.

Sementara syâhid adalah orang yang berperan sebagai saksi atau melakukan pengawasan atas

pemerintahan di mana tanggung jawabnya diberikan kepada para nabi, imam sebagai pewaris nabi,

dan terakhir marja‘iyyah. Fungsi ke-khalîfah-an (pemerintahan) dan syahâdah (pengawasan) pada

zaman para nabi menyatu dalam diri mereka. Tetapi karena tidak ada nabi lagi pasca Nabi

Muhammad maka fungsi khalîfah diberikan kepada umat sedangkan syahâdah kepada para ulama

(marja‘). Karena itu, konsep politik Muhammad Baqîr al-Shadr mengandung prinsip-prinsip

demokrasi dengan menganjurkan agar setiap orang menggunakan haknya untuk memilih

pemimpin eksekutif, entah disebut presiden atau perdana menteri (setelah pencalonannya diakui

oleh walî al-faqîh), dan secara langsung dan bebas memilih dewan legislatif yang mewakili

Page 29: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

18

1977 dia ditahan dan dipindahkan dari Najaf ke Baghdad tetapi berhasil

dibebaskan karena popularitasnya. Dua tahun kemudian, dia ditahan lagi di Najaf

pada tahun 1979. Kondisi ini membuat saudara perempuannya, Bint al-Hudâ,

yang juga seorang sarjana teologi Islam, gusar dan mengorganisir suatu gerakan

yang menentang penahanan atas seorang marja‘. Protes juga dilakukan oleh

gerakan lain di dalam dan di luar Irak sehingga dia berhasil dibebaskan meski

tetap dikenai tahanan rumah selama delapan bulan.

Namun, keadaan itu tidak menyurutkan langkah Muhammad Baqîr al-

Shadr untuk tetap berjuang dalam bingkai gerakan ideologis yang diyakininya.

Bahkan, ketegangan antara partai Ba‟ats dan dia semakin menjadi kentara. Hal ini

dapat dilihat dari fatwanya yang mengharamkan seorang Muslim bergabung

dengan partai Ba‟ats dan dukungannya terhadap revolusi Islam. Akibatnya, pada 5

April 1980, dia ditahan lagi bersama dengan adiknya dan dipindahkan ke

Baghdad. Keduanya dipenjarakan dan dieksekusi mati tiga hari kemudian oleh

rezim Saddam Hussein. Diduga bahwa Muhammad Baqîr al-Shadr dibunuh

dengan cara dipaku tepat di kepalanya.10

Jasad mereka dibawa dan dimakamkan

di Najaf. Selain mereka, ribuan pelajar di Hawzah diusir ke luar Irak, sebagian

dipenjara, dan para ulama dihukum gantung tanpa proses pengadilan.

Tragedi pengeksekusian itu membuat reputasi Muhammad Baqîr al-Shadr

semakin diakui di berbagai kalangan masyarakat. Namanya melintas jauh ke

ummah. Lihat di www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr", diakses tanggal

10 Maret 2009. Penjelasan lebih spesifik dan rinci mengenai prinsip dan landasan pemerintahan

Islam bisa dilihat dalam buku Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah

Pengantar, terj. Arif Mulyadi, (Jakarta: Lentera, 2001), h. 101-113. 10

www. "http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr". Artikel diakses pada

tanggal 20 April 2010.

Page 30: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

19

Mediterania, Eropa hingga Amerika Serikat. Terbukti pada tahun 1981, Hanna

Batatu, dalam sebuah artikel di Middle East Journal, Washington, menunjukkan

betapa pentingnya Baqîr al-Shadr bagi gerakan bawah tanah Islam di Irak. Sebuah

peranan yang juga tak bisa diabaikan bagi kebangkitan berbagai gerakan politik

Islam di dunia.

B. Karya Tulis

Sebagai seorang intelektual, Muhammad Baqîr al-Shadr sangat produktif

membuat karya tulis, baik yang berbentuk buku maupun artikel. Mayoritas

karyanya ditulis dengan menggunakan bahasa Arab. Kurang lebih dua puluh tujuh

buku telah ditulisnya (beberapa diterjemahkan ke bahasa lain seperti bahasa

inggris dan bahasa Indonesia) dan tiga puluh satu artikel dipublikasikan di

berbagai majalah khususnya al-Adwa’ al-Islâmiyyah. Sebagian artikel itu,

diterbitkan secara berkesinambungan sesuai dengan tema dan judul tulisan

sehingga dibentuk dan diterbitkan menjadi buku. Karyanya berkonsentrasi pada

ilmu dan masalah-masalah keislaman yang cukup kompleks sehingga

pemikirannya menyebar dalam berbagai bidang seperti sosial, politik, ekonomi,

sejarah, teologi, falsafat, fiqh dan sebagainya.

Hal itu menunjukkan keluasan cakrawala pengetahuan dan keragaman

penguasaannya atas berbagai disiplin ilmu serta mencerminkan reputasi

intelektual yang tinggi. Ciri khas tulisannya sarat dengan nuansa kritik terhadap

berbagai pemikiran Barat seraya memberikan tanggapan dengan bersandar secara

otentik pada prinsip atau konsep Islam. Tulisan-tulisannya mengandung makna

Page 31: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

20

teologis dan falsafi, bukan retorika terkesan apologetik dengan tendensi ideologis

yang dipaksakan.

Karya falsafat yang secara khusus mengeritik bangunan falsafat Barat

tertuang dalam Falsafatunâ: Dirâsah al-Mawdhû‘iyyah fî al-Mu‘tarak al-Shirâ’

al-Fikrî al-Qâ’im bayna al-Mukhtalaf al-Thayarât al-Falsafiyyah wa al-Falsafah

al-Islâmiyyah wa al-Mâddiyah al-Diyaliktikiyyah (al-Marksiyyah). Dalam buku

ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyajikan kritik epistemologis terhadap

pandangan dunia Barat yang mengakhiri matinya metafisika khususnya

materialisme dialektis dalam Marxisme. Selanjutnya dia menjelaskan bagaimana

Islam mengajukan konsep mendasar tentang dunia beserta metode berfikirnya. Di

sini terlihat konfrontasi pemikiran yang sangat kentara antara Islam dan Barat

dengan argumen falsafi cukup mendalam dan menyeluruh.

Buku itu terdiri dari dua bagian pembahasan. Yang pertama adalah tentang

epistemologi di mana Muhammad Baqîr al-Shadr membedakan dua bentuk

pengetahuan: konsepsi dan tashdîqî (penilaian kebenaran pengetahuan atau

aksiologi ilmu). Dalam bahasan ini ia mengeritik epistemologi dalam masing-

masing tradisi atau aliran falsafat Barat. Yang kedua tentang metafisika dan

konsep falsafat tentang dunia. Di sini dia mencoba mematahkan kerangka berpikir

falsafat yang mengganggap metafisika sebagai takhayul dan kata-kata kosong

dengan prinsip prima causa (sebab pertama) sebagai sesuatu yang menyebabkan

adanya sesuatu yang lain. Menurutnya bahwa jika di alam semesta berlaku hukum

kausalitas, maka mustahil sebab itu tidak berhingga. Gerak mundur sebab itu akan

berhenti pada Sebab Pertama yang niscaya. Sedangkan Sebab Pertama itu tidak

Page 32: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

21

tunduk pada hukum kausalitas yang menyatakan bahwa setiap sesuatu merupakan

akibat dari sebab sebelumnya. Ini dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada

esensinya niscaya, mandiri, dan tidak membutuhkan sebab. Baru dari Sebab

Pertama kemudian muncul matarantai sebab yang berlaku umum bagi alam

semesta.

Selain karya itu, Muhammad Baqîr al-Shadr juga menulis masalah

keimanan Islam dalam buku Mujâz fî al-Ushûl al-Dîn: al-Mursil, al-Rasûl, al-

Risâlah.11

Dalam buku ini dia mengeksplorasi tiga hal penting dalam iman Islam

yaitu Allah, Rasul, dan Islam beserta pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.

Khususnya keimanan kepada Allah, dia mengajukan argumen falsafi dan

akademik dalam rangka membuktikan akan keberadaan-Nya serta sifat-sifat-Nya

seperti keadilan. Demikian pula hal sama ia lakukan ketika membahas tentang

Nabi Muhammad sebagai rasul penutup yang membawa pesan bagi seluruh umat

manusia.

Bagian terakhir buku itu menjelaskan tentang pesan Islam sebagaimana

tertera dalam al-Qur‟ân yang diyakini memunyai keistimewaan dan karakteristik

tersendiri dibanding pesan-pesan surgawi lainnya. Salah satu karakteristik itu

adalah terjaganya al-Qur‟ân dari perubahan-perubahan baik dalam bentuk huruf

maupun dalam bentuk keimanan sebagaimana telah terpatri dalam jiwa religius

seorang Muslim. Al-Qur‟ân juga mengandung pesan yang mencakup seluruh

aspek kehidupan yang membawahi dikotomi antara kehidupan material dan

spiritual, dan sebagainya. Melalui karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr

11

Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Mahmoud M. Ayoub menjadi The

Revealer, the Messenger, the Message, (Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986).

Page 33: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

22

menunjukkan bahwa keimanan dalam Islam memunyai landasan kebenaran yang

kokoh di mana pembuktiannya bisa dilakukan secara rasional dan ilmiah.

Setelah menghadirkan bukti-bukti rasional dan akademik, Muhammad

Baqîr al-Shadr berusaha membangkitkan kesadaran umat Islam akan kebenaran

keimanan tersebut beserta implikasinya bagi kehidupan dalam buku Risâlatunâ

(Misi Kami).12

Upaya ini dilakukan karena menurutnya keimanan bukan sekedar

taqlid saja melainkan suatu pemahaman dan pengakuan akan kebenarannya

sehingga memengaruhi kesadaran dan tindakan seseorang. Dia meyakini bahwa

seorang Muslim yang menyadari kebenaran iman Islam akan membawa kemajuan

bagi kehidupan, membawa rahmat bagi seluruh alam sebagaimana tugas dan

tanggung jawab khalifah yang diberikan Allah kepada manusia. Muslim yang

sadar akan keimanannya tidak akan tinggal diam ketika melihat kenyataan yang

bertentangan dengan tugas sejatinya, tidak pernah takut pada segala macam

penindasan dan ketidakadilan yang merugikan kehidupan.

Untuk menuju kesadaran dan kebangkitan Islam itu, ada tiga syarat yang

harus dimiliki oleh umat, yaitu adanya ajaran yang benar, adanya pemahaman

terhadap ajaran tersebut, dan terakhir, sebagai konsekuensi dari keduanya, adanya

keimanan. Tiga syarat ini tak boleh diabaikan karena bagaimana pun juga

kesadaran tidak lahir dari ruang yang kosong. Kesadaran muncul dari keimanan

seseorang yang memahami akan kebenaran ajarannya yang kemudian dijadikan

landasan dalam setiap tindakan. Tanpa itu, seseorang akan tercabik-cabik oleh

12

Dalam edisi Indonesia diterjemahkan dengan judul berbeda dari aslinya yaitu Syahadat

Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup. Menurut hemat penulis, judul ini lebih ditekankan pada

konten buku yang mengaitkan keimanan dan implikasinya bagi kebangkitan Umat.

Page 34: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

23

ketidakpastian keadaan sehingga langkahnya goyah dan gontai bahkan sama

sekali stagnan alias mati suri.

Sedangkan karya yang berkaitan dengan kehidupan sosial umat di zaman

modern, salah satunya termuat dalam bukunya Al-Insân al-Mu‘ashshir wa al-

Musykilah al-Ijtimâ‘iyyah (Manusia Masa Kini dan Problema Sosial). Ini

merupakan salah satu karya yang diterbitkan dalam bentuk seri aliran pemikiran

Islam. Dalam karya ini, Muhammad Baqîr al-Shadr berbicara tentang persoalan

kehidupan sosial modern dan solusinya yang dibenturkan dengan solusi yang

ditawarkan oleh pemikiran Barat khususnya sosialisme-komunisme dan

kapitalisme-liberalisme. Buku ini berpijak di atas landasan konseptual

sebagaimana terdapat dalam Falsafatunâ yang memberikan kritik epistemologis

terhadap pemikiran Barat. Hanya saja cakupannya lebih luas dan lebih menyentuh

pada persoalan praksis kehidupan, baik sosial maupun ekonomi.

Menurut pandangannya, masalah yang paling mendesak untuk segera

diselesaikan adalah masalah sistem sosial. Melalui sistem sosial, tujuan kehidupan

individu dan masyarakat diupayakan bersama sehingga bisa mencapai hasil yang

lebih baik dan maksimal. Karena itu, pencarian terhadap sistem yang sesuai

dengan tujuan manusia serta mampu mewujudkannya sangat diperlukan. Sejarah

telah menunjukkan bahwa dalam setiap zaman manusia selalu bergulat dalam

sebuah sistem untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Penerapan sistem itu

menjadi eksperimen tersendiri bagi kehidupan selanjutnya untuk membangun dan

menerapkan sistem baru yang dipandang lebih baik. Dalam konteks modern,

Page 35: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

24

sistem itu mengejawantah dalam sosialisme-komunisme dan kapitalisme-

liberalisme.

Dalam masing-masing sistem itu terdapat tujuan dan nilai-nilai yang

dipercayai dan menjadi pandangan hidup (way of life) masyarakat. Di samping itu,

terdapat pula seperangkat cara untuk mencapai tujuan tersebut sehingga

membentuk organisme padu antara elemen-elemen yang ada di dalamnya. Dan

sejauh ini, menurut penilaian Muhammad Baqîr al-Shadr, sistem-sistem itu gagal

mewujudkan tujuan dari kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun

sebagai makhluk sosial. Dia mengeritik sistem sosial yang selama ini saling

bertikai dalam kehidupan modern dan kemudian menawarkan sistem sosial yang

disandarkan atas Islam sebagai satu-satunya sistem yang ideal. Disebut ideal

karena sistem itu diyakini mampu mencapai tujuan sebagaimana yang diinginkan

bersama dalam kehidupan.

Karya lain berkenaan dengan masalah sosial khususnya tentang kehidupan

politik umat Islam adalah Manâbi’ al-Qudrah fî al-Dawlah al-Islâmiyyah

(Sumber-sumber Kekuasaan dalam Pemerintahan Islam). Dalam karya ini

Muhammad Baqîr al-Shadr menjelaskan tentang sumber kekuasaan di bawah

sistem keyakinan Islam, bentuk pemerintahan, peran fungsi serta tujuan yang akan

dicapai. Menurutnya, sumber pemerintahan Islam berasal dari Allah yang

memberikan tanggung jawab ke-khalîfah-an kepada manusia dan mendeklarasikan

Allah sebagai tujuan atau terminal akhir kafilah kemanusiaan. Sedangkan tugas

dan peran pemerintahan itu adalah mengakhiri segala bentuk eksploitasi dalam

Page 36: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

25

masyarakat dan membebaskan mereka dari ketertindasan baik ekonomi, politik,

dan intelektual.

Akan tetapi, walaupun sumber pemerintahan berasal dari Allah bukan

berarti secara gampangan seorang penguasa dapat menggunakannya sebagai

sentimen untuk melegitimasi kekuasaannya. Ini disebabkan tugas pemerintahan

(khalîfah) tidak hanya diberikan kepada satu orang saja melainkan kepada seluruh

manusia. Dengan demikian, dalam politik seorang penguasa tidak dapat

mengklaim kekuasaannya bersumber atau ditentukan langsung oleh Allah tetapi

harus mendapatkan legitimasi dari semua orang di dalamnya. Setiap orang

memiliki tanggung jawab untuk mengurusi dunia dan kehidupan sehingga dia

memunyai hak untuk menentukan pemimpin pemerintahan. Berangkat dari

pemikiran ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menuntut diadakannya pemilu serta

menyerukan agar masyarakat menggunakan haknya dengan memberikan suara

untuk memilih dewan perwakilan mereka. Konsep pemerintahannya adalah

wilâyah al-ummah yang terdiri dari khalîfah (pemerintahan eksekutif dan

legislatif) dan syahâdah (kesaksian atau pengawasan yang dilakukan oleh ulama

atau walî al-faqîh).

Selain politik, karya Muhammad Baqîr al-Shadr menyangkut kehidupan

sosial juga berkaitan dengan masalah ekonomi. Pemikirannya tentang ekonomi

termuat dalam buku Al-Madrasah al-Islâmiyyah13

(Sekolah Islam) dan

Iqtishâdunâ (Ekonomi Kami). Dalam karya ini, dia mengeritik sistem ekonomi

kapitalisme dan sosialisme yang dinilai gagal mengupayakan tercapainya tujuan

13

Dalam bahasa Inggris diterjemahkan dengan judul Islam and Schools of Economics.

Page 37: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

26

sistem sosial. Sebagai gantinya, dia mengajukan konsep ekonomi Islam dengan

mengurai prinsip-prinsip yang harus menjadi landasan dalam ekonomi. Kajiannya

sangat mendalam dan komprehensif, khususnya dalam buku Iqtishâduna,

sehingga mendapatkan nilai kesarjanaan yang cukup tinggi. Berbeda dari ekonomi

syari„ah yang hanya menekankan pada praktik atau transaksi tanpa ribâ (bunga),

ekonomi Islam perspektif Muhammad Baqîr al-Shadr berlandaskan pada nilai-

nilai keadilan yang membawahi seluruh aspek ekonomi. Pemikirannya dapat

menjadi alternatif baru di tengah runtuhnya komunisme dan gagalnya kapitalisme.

Karena sumbangannya yang begitu besar dan sangat berarti dalam ekonomi, dia

kemudian lebih dikenal sebagai ekonom Islam.

C. Perkembangan dan Pengaruh Pemikiran

Muhammad Baqîr al-Shadr merupakan seorang intelektual Muslim brilian

dan progresif yang memunyai kesadaran sejarah pada zamannya. Dia menekuni

dan menguasai ilmu-ilmu Islam serta menulis dalam berbagai bidang keilmuan.

Walaupun demikian, bukan berarti Muhammad Baqîr al-Shadr tidak memunyai

konsentrasi khusus berkenaan dengan spesialisasi pemikiran. Lebih tepat jika

dipahami bahwa semua masalah yang dijabarkan berkaitan dengan bidang-bidang

itu mengacu pada suatu proyek pemikiran keislaman dalam rangka menciptakan

sistem sosial yang ideal.

Tujuan itu dirasakan sangat penting karena konteks historis pasca Perang

Dunia II diwarnai oleh ketegangan ideologis mengenai persoalan kehidupan

sosial, ekonomi dan politik antara sosialisme-komunisme dan kapitalisme-

Page 38: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

27

liberalisme. Pengaruh ketegangan itu menjangkiti pemerintah dan masyarakat Irak

sehingga terjadi penyimpangan dalam bentuk orientasi ateisme. Kejadian tersebut

muncul setelah revolusi 14 Juli 1958 dalam rangka menentang pemerintahan

monarki yang dipimpin oleh jenderal Abdul Karim Kassem dan berhasil

mengubah sistem pemerintahan dari monarki menjadi republik. Kondisi inilah

yang menggerakkan Muhammad Baqîr al-Shadr untuk menemukan sistem sosial

yang didasarkan atas keyakinan Islam.

Dengan sendirinya, tujuan itu menuntut dia untuk menggali dan

mengembangkan lebih jauh khazanah pemikiran keislaman serta

menghadapkannya pada beberapa pemikiran dalam konteks kekinian. Dalam

pengertian ini, maka wajar apabila karyanya bertebaran dalam berbagai bidang

keilmuan. Semuanya dilakukan untuk mencari dasar pijakan dalam rangka

membangun konsep ideal tentang sistem sosial tanpa tercerabut dari akar

keyakinannya. Apalagi sistem sosial serta upaya mencapai tujuannya,

membutuhkan konsep dan prinsip-prinsip yang menyeluruh yang mampu

membawahi seluruh aspek kehidupan sosial, politik maupun ekonomi.

Pencarian dasar pijakan itu dilakukan Muhammad Baqîr al-Shadr secara

ekstensif dengan argumen-argumen yang bisa dipertanggungjawabkan secara

rasional. Dia menyadari betul bahwa landasan dari setiap pemikiran harus benar-

benar kokoh sehingga bangunan pemikiran yang dihasilkan tidak rapuh di depan

pengujian kebenaran. Oleh karena itu, dia masuk ke dalam ranah falsafat untuk

membuktikan kebenaran pandangan dunia Islam. Selanjutnya, dari pandangan

Page 39: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

28

dunia, dia membangun pemikirannya tentang sistem sosial Islam yang

dikonfrontasikan dengan sistem sosial lain.

Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan pengaruh signifikan

khususnya bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak dan pemikiran Islam

pada umumnya. Hal ini disebabkan, di samping pemikirannya dibangun di atas

landasan yang kokoh berhadapan dengan ideologi pemikiran Barat, ia juga

mengupayakan pemikirannya agar menjadi praksis dalam suatu perjuangan

ideologis melalui kajian dan gerakan kelompok akademis dan partai politik.

Gerakan ini berkonfrontasi langsung terhadap partai penguasa di mana tidak

jarang sikap serta kebijakannya ditentang oleh Muhammad Baqîr al-Shadr. Dalam

pemikiran Islam, pengaruhnya paling mencolok dapat dilihat dalam pemikiran

ekonomi lewat karyanya Iqtishâdunâ.

Secara ringkas sepak terjang Muhammad Baqîr al-Shadr memiliki dua

pengaruh, baik bagi negerinya maupun dunia internasional, dalam mana kedua

elemen tersebut terkait dengan eksistensi Syî„ah sebagai aliran agama ia anut.

Pertama, bagi dinamika kehidupan sosial masyarakat Irak, Muhammad Baqîr al-

Shadr menjadi ikon perlawanan terhadap rezim yang lalim dan menindas umat

Islam Syî„ah yang merupakan penduduk mayoritas Islam Irak, yaitu 57 persen

dari 25 juta penduduk Irak.14

Umat Islam Syî„ah di Irak dicurigai gerak-geriknya

sebagai kelompok yang dianggap membahayakan kekuasaan Sunnî dari partai

Ba‟ats, Saddam Hussein. Bahkan pihak penguasa waktu itu melakukan,

meminjam istilah Chibli Mallat, Sunnisasi serta Ba‟atsisasi terhadap masyarakat

14

M. Reza Sihbudi, Menyandera Timur Tengah, (Jakarta: Hikmah, 2007), h. 87.

Page 40: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

29

Irak sehingga menimbulkan ketegangan akibat pertentangan massif dari kelompok

Syî„ah.

Sunnisasi dan Ba‟atsisasi panggung politik Irak menjadi sebab utama

penentangan kaum Syî„ah terhadap rezim Saddam sehingga muncul dua

organisasi Syî„ah yaitu partai Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn. Kedua

organisasi itu sama-sama mengakui kepemimpinan imam Syî„ah Irak, Muhammad

Baqîr al-Shadr. Maka wajar apabila ia disebut oleh Hanna Batatu sebagai “the

most learned of Iraq’s Ayatullah” (sosok paling terpelajar dari komunitas

Ayatullah Irak) karena ia memang seorang alim yang sangat kharismatik baik

dilihat dari segi peranan politik maupun karya-karyanya. Dalam hal ini ia dapat

disejajarkan dengan Imam Khomeini di Iran atau Imam Mûsâ al-Shadr di

Libanon.15

Di bawah kepemimpinannya, kelompok Syî„ah mulai diperhitungkan

sebagai sebuah kekuatan politik yang sangat potensial.

Pada tahun 1974 dan 1977, ketika prosesi memeringati hari ‘Asyûrâ (hari

untuk mengenang kesyahidan Imam Husayn), kaum Syî„ah Irak melakukan

demonstrasi mengutuk pemuka partai Ba‟ats. Dan ketika Revolusi Republik Islam

Iran berhasil meruntuhkan dinasti Pahlevi, pada Juni 1979 Muhammad Baqîr al-

Shadr merencanakan memimpin long march dari Najaf ke Teheran untuk

memberi selamat kepada Imam Khomeini. Namun rezim Ba‟ats yang tidak

menghendaki rencana itu segera menangkap Muhammad Baqîr al-Shadr sehingga

menimbulkan kerusuhan anti Saddam dari kalangan Syî„ah selama hampir satu

15

Ibid, h. 89

Page 41: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

30

tahun. Kerusuhan itu memuncak pada dieksekusinya Muhammad Baqîr al-Shadr

dan saudara perempuannya Bint al-Hudâ.16

Sepeninggal Muhammad Baqîr al-Shadr, aksi represif rezim Saddam

menjadi hari-hari tersulit bagi kelompok Syî„ah Irak. Akan tetapi kondisi itu tidak

membuat kobaran semangat mereka padam. Hanya saja mereka kehilangan ikon

pemersatu yang ditandai dengan berdirinya berbagai organisasi Syî„ah seperti

Organisasi Aksi Islam, Dewan Ulama untuk Revolusi Islam Irak, Tentara

Revolusioner untuk Pembebasan Irak, Kelompok Ulama Pejuang Irak, dan Biro

Revolusi Islam Irak. Namun, organisasi itu tidak bertahan lama kecuali Organisasi

Aksi Islam (Munazhzhamât al-‘Amal al-Islâm). Hal ini disebabkan tidak adanya

pengakuan dari Imam Khomeini dan belum terpecahkannya masalah

kepemimpinan pasca wafatnya Muhammad Baqîr al-Shadr. Sementara organisasi

lama, Da‘wah al-Islâmiyyah dan Al-Mujâhidîn, dianggap tidak representatif lagi.

Keadaan tersebut membuat prihatin para aktivis Syî„ah di Iran sehingga

pada 17 November 1982, mereka sepakat membentuk Dewan Tertinggi Revolusi

Islam Irak atau The Supreme Assembly of the Islamic Revolution in Iraq (SAIRI)

di bawah kepemimpinan Sayyid Muhammad Baqîr al-Hakîm. Sejak saat itu, atas

restu Khomeini, dia diakui sebagai pemimpin Syî„ah Irak. Namun, al-Hakîm

belum bisa disejajarkan dengan Muhammad Baqîr al-Shadr karena karyanya tidak

ada yang mampu menandingi Iqtishâdunâ, Falsafatunâ atau karya lainnya. Ia

justru berada di bawah bayang-bayang kebesaran ayahnya, Ayatullah al-„Uzmâ

16

Ibid, h. 90-91.

Page 42: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

31

Muhsin al-Hakîm. Selain itu, selama menjabat sebagai pemimpin, ia belum

mampu menyatukan kelompok Syî„ah sampai ia meninggal dunia.17

Setelah itu, SAIRI dipimpin oleh saudaranya yaitu „Abdul „Azîz al-Hakîm.

Akan tetapi, ia dinilai kurang kharismatik terutama setelah ia menempuh jalan

kompromi dengan penguasa pendudukan Amerika di Irak. Maka saat itulah pamor

dinasti al-Shadr mulai naik kembali. Melalui tokoh muda Ayatullah Muhammad

Shadîq al-Shadr, ia menjadi ikon baru bagi perlawanan Syî„ah Irak terhadap rezim

Saddam Hussein dan pasukan pendudukan Amerika pasca Saddam Hussein.

Dalam salah satu khutbah Jum„at di kota suci Najaf tahun 1998, ia bersuara

lantang dengan mengatakan “Katakan tidak untuk Amerika, Israel dan tidak untuk

imperialisme”. Ayatullah Muhammad Shadîq al-Shadr bersama Imam Mûsâ al-

Shadr dan Ayatullah Husayn Fadhlullah (dari Libanon) serta Imam Khomeini

pada tahun 1970-an sering bertemu di Najaf. Mereka memunyai pandangan

keharusan kepemimpinan politik ulama atau yang disebut dengan wilâyah al-

faqîh.

Dia mengajak para ulama untuk masuk dalam perjuangan politik dan bagi

yang menolaknya sama dengan mendukung kezaliman rezim Saddam. Namun

lantaran semakin lantang melawan penguasa, Ayatullah Muhammad Shadîq al-

Shadr akhirnya dibunuh pada 18 Februari 1999 di kota Najaf. Kemudian

Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr, anak Muhammad Shadîq al-Shadr dan cucu

Muhammad Baqîr al-Shadr, menggantikan posisi ayahnya dan meneruskan

perlawanan terhadap rezim Saddam Hussein. Tetapi waktu itu, namanya belum

17

Ibid, h. 92.

Page 43: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

32

diperhitungkan di panggung politik nasional Irak. Baru ketika terjadi invasi

Amerika ke Irak namanya mulai populer dan melambung tinggi. Hal ini terbukti

pada 7 April tahun 2003, dua hari sebelum Irak jatuh ke tangan AS, para pengikut

setianya merebut kawasan Saddam di Baghdad dan segera mengganti namanya

menjadi kota Shadr.18

Selain itu, pada Agustus tahun 2003, Ayatullah Muqtadhâ al-Shadr

mendeklarasikan pembentukan tentara Mahdî yang diperkirakan memiliki 10.000

pasukan berani syahid. Pasukan ini mulai melancarkan perlawanan sengit

terhadap pasukan penjajah AS di sejumlah kota penting seperti Kûfah, Karbalâ‟,

Najaf, al-Kut, dan kota Shadr. Kemudian pada tahun 2004, Ayatullah Muqtadhâ

al-Shadr dan pasukannya bertempur habis-habisan melawan pasukan AS di

sejumlah kota di Irak terutama di Najaf.19

Meski dari segi persenjataan jauh lebih

sedikit dan kuno dibandingkan dengan milik AS, pasukan Mahdî tetap berani

syahid karena doktrin yang telah tertancap rapat dalam keimanan mereka

sebagaimana telah dikobarkan sebelumnya oleh Muhammad Baqîr al-Shadr.

Kedua, pengaruh Muhammad Baqîr al-Shadr bagi pemikiran Islam dalam

bidang ekonomi. Hal ini nampak dalam bukunya Iqtishâdunâ yang membahas

tentang masalah ekonomi. Melalui buku itu, Muhammad Baqîr al-Shadr

membedah ilmu ekonomi berikut pelbagai madzhab ekonomi, serta mengeritik

ekonomi konvensional beserta madzhab ekonomi yang berkembang seperti

kapitalisme dan sosialisme.

18

Ibid, h. 94. 19

Ibid, h. 94-96.

Page 44: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

33

Menurutnya, ada dua perbedaan penting antara ilmu ekonomi dan

madzhab atau doktrin ekonomi. Ilmu ekonomi merupakan ilmu yang berhubungan

dengan penjelasan terperinci perihal kehidupan ekonomi, peristiwa-peristiwa,

gejala atau fenomena lahiriahnya serta hubungan antara peristiwa atau gejala

tersebut dengan sebab-sebab dan faktor umum yang memengaruhinya. Jadi ilmu

ekonomi mengaji efek-efek peristiwa yang ada di masyarakat seperti ilmuwan

fisika mengaji hukum-hukum tentang panas dan efek-efeknya. Sedangkan

madzhab ekonomi adalah cara yang dipilih dan diakui oleh masyarakat dalam

memecahkan problem praktis ekonomi yang dihadapinya. Madzhab ekonomi

memerkenalkan dan mengembangkan suatu sistem pengaturan kehidupan

ekonomi yang didasarkan pada konsepsi keadilan.20

Melalui perbedaan ini, Muhammad Baqîr al-Shadr menyimpulkan bahwa

ekonomi Islam merupakan madzhab dan bukanlah ilmu pengetahuan karena ia

adalah cara yang ditawarkan Islam dalam mengejar kehidupan ekonomi. Ekonomi

Islam bukanlah suatu ilmu yang mengandung tafsiran terhadap peristiwa-peristiwa

yang terjadi dalam kehidupan ekonomi dan terhadap hukum-hukum yang berlaku

di dalamnya. Islam tidak menjelaskan ilmu ekonomi melainkan suatu penjelasan

tentang pengaturan kehidupan ekonomi seperti distribusi, kepemilikan, produksi,

jaminan sosial, keseimbangan sosial dan semacamnya.

Oleh sebab itu, Muhammad Baqîr al-Shadr menggunakan istilah

Iqtishâdunâ untuk menyebut ekonomi Islam. Iqtishâd bukan sekedar alih bahasa

istilah ekonomi ke dalam bahasa Arab. Arti asal kata itu adalah seimbang atau

20

Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi

Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terj. M. Hashem, (Jakarta: Pustaka

Zahra, 2002), h. 135-137.

Page 45: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

34

pertengahan. Istilah ekonomi sebagaimana pengertian ilmu ekonomi konvensional

ditolaknya karena berbeda dari Islam. Perbedaan paling mencolok adalah terletak

pada pandangan bahwa dalam ekonomi konvensional, masalah ekonomi muncul

karena keinginan manusia yang tak terbatas sementara sumber daya alam yang

tersedia sangat terbatas. Hal ini berbeda dari Islam yang menyatakan bahwa

Tuhan menciptakan segala sesuatu dalam ukuran yang setepat-tepatnya.

Konsekuensi pandangan tersebut dalam pemikiran ekonomi Islam

melahirkan apa yang disebut dengan madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr. Menurut

Adiwarman A. Karim, terdapat tiga madzhab ekonomi Islam kontemporer yaitu

madzhab ekonomi Baqîr al-Shadr, madzhab mainstream, dan madzhab alternatif

kritis. Para pendukung Madzhab Baqîr al-Shadr antara lain Abbas Mirakhor,

Baqîr al-Hasan, Qadîm al-Shadr, Iraj Taotounchian, dan Hedayati.

Madzhab mainstream kurang lebih sama dengan ekonomi konvensional

yang memandang bahwa titik pusat persoalan ekonomi adalah terletak pada

kelangkaan sumber daya alam. Tetapi untuk memerkuat argumentasi, mereka juga

menggunakan dalil al-Qur‟ân. Pendukung madzhab ini di antaranya adalah Umer

Chapra, MA Mannan, dan Najatullah Siddiqi.

Sedangkan madzhab alternatif kritis adalah kalangan yang mengeritik

kedua madzhab tersebut. Mereka mengeritik madzhab Baqîr al-Shadr karena

berusaha menemukan sesuatu yang baru padahal sebenarnya sudah ditemukan

oleh orang lain, sehingga merasa seakan-akan telah menghancurkan teori lama

dengan menggantinya dengan perspektif yang baru. Adapun madzhab mainstream

mereka katakan sekedar jiplakan saja dari ekonomi konvensional dan hanya

Page 46: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

35

menghilangkan unsur riba dan memasukkan unsur zakat dan niat. Madzhab ini

juga mengeritik ekonomi sosialisme dan kapitalisme. Mereka yakin bahwa Islam

itu benar, tetapi ekonomi Islam yang merupakan tafsiran manusia terhadap al-

Qur‟ân dan al-Sunnah harus selalu diuji kebenarannya. Pelopor madzhab ini salah

satunya adalah Timur Koran, Jomo, dan Muhammad Arif. 21

21

http://www.sescipb.co.cc/index.php?option=com, Artikel diakses pada tanggal 17 April

2010.

Page 47: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

36

BAB III

SISTEM SOSIAL DAN PERMASALAHANNYA

A. Teori Sistem Sosial

Sistem sosial seringkali menjadi pembincangan sengit dan kompleks

dalam membicarakan masyarakat. Kompleksitas ini disebabkan keluasan wilayah

cakupan sistem itu beserta berbagai persoalan yang terkandung di dalamnya.

Selama manusia hidup di dalam masyarakat, selama itu pula persoalan sistem

sosial tidak akan pernah terelakkan. Di sini akan dijelaskan upaya Muhammad

Baqîr al-Shadr dalam melihat sistem sosial dan permasalahannya beserta analisis

dan kritiknya terhadap sistem sosial modern.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa masyarakat merupakan

kumpulan individu yang saling berinteraksi satu sama lain. Tindakan individu

dalam masyarakat didasarkan pada orientasi subjektif masing-masing. Orientasi

subjektif yang terdapat dalam setiap individu berbeda-beda. Namun karena

orientasi itu tidak dapat terpenuhi tanpa adanya interaksi dalam ruang lingkup

sosial, maka orientasi subjektif individu menghasilkan tindakan yang saling

bergantung dan membentuk sistem sosial. Interaksi membutuhkan hubungan

timbal balik antara orientasi individu dengan individu lainnya sehingga tercipta

keseimbangan dan kesesuaian.

Sebelum terbentuk masyarakat, individu bertindak secara bebas sesuai

dengan keinginan dan kekuatannya. Tidak ada yang membatasi kebebasannya

kecuali keterbatasan kekuatan untuk mewujudkan keinginan itu. Batasan terhadap

36

Page 48: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

37

tindakan baru muncul ketika individu berinteraksi dengan individu lainnya. Hal

ini disebabkan penggunaan kebebasan dan kekuatan secara mutlak hanya akan

menimbulkan konflik antar-individu sehingga merugikan orang lain, sebagaimana

dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr:

Sejak awal manusia percaya bahwa kekuatan mutlak adalah tidak mungkin

bagi orang yang tinggal di tengah-tengah masyarakat, karena kekuatan

mutlak dari semua individu akan berefek pada hilangnya kebebasan bagi

semua orang dan akan berpuncak pada chaos serta kesemrawutan… Dari

awal kehidupan sosial manusia, persoalan penting yang dihadapinya

adalah peniadaan batasan kebebasan individu dalam masyarakat.1

Batasan tindakan individu dalam masyarakat mengejawantah dalam nilai-

nilai dan norma sosial seperti nilai budaya dan norma hukum. Nilai budaya

muncul dari pengetahuan individu terhadap diri dan lingkungannya yang

dieksternalisasi dan kemudian disepakati bersama. Menurut Muhammad Baqîr al-

Shadr, budaya menggambarkan karakter dan kecenderungan mental suatu

masyarakat.2 Sedangkan norma hukum dilahirkan dari kesepakatan individu

mengenai aturan-aturan yang harus dikuti oleh masyarakat. Hukum merupakan

salah satu institusi yang ada dalam sistem sosial. Hukum diperlukan untuk

mengatur hak-hak individu, menegakkan keadilan, dan menjamin stabilitas dan

keutuhan masyarakat.3

Karena sistem sosial terbentuk dari individu-individu, maka syarat umum

dari sistem itu harus mampu menjamin kebutuhan dasar para anggotanya,

mengorganisasi tindakan yang mengarah pada integrasi, stabilitas, dan harmoni

1 Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terj. Arif Mulyadi,

(Jakarta: Lentera, 2001), h. 138. 2 Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi

Barat dengan Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terj. M. Hashem, (Jakrta: Pustaka Zahra, 2002), h.

21. Lihat pula halaman 27. 3 Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, h. 95.

Page 49: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

38

serta menetapkan tujuan demi kesejahteraan bersama. Hal ini dinyatakan oleh

Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:

Entitas sosial manusia muncul dari ikatan-ikatan individu yang terjalin

satu sama lain oleh pertalian dan ikatan bersama. Pertalian ini tentu

memerlukan pengarahan-pengarahan umum dan organisasi. Pada derajat

keserasian antara sistem tersebut dengan realitas kemanusiaan yang ada

serta buah dari keserasian itu, bergantung stabilitas maupun kesejahteraan

masyarakat.4

Oleh sebab itu, selain budaya dan hukum, sistem sosial memerlukan sub-

sistem yang berfungsi mengupayakan semua hal tersebut seperti sistem politik,

ekonomi, dan institusi sosial lainnya. Politik berkaitan dengan upaya mewujudkan

cita-cita kehidupan sosial yang dilakukan melalui institusi pemerintah atau partai

politik dan sebagainya. Sedangkan ekonomi berhubungan dengan upaya

pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam hal keberlangsungan dan kesejahteraan

hidup. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keseluruhan total dari

masyarakat yang terdiri dari budaya, politik, hukum, ekonomi, dan institusi sosial

lainnya disebut sistem sosial.

B. Masalah Utama Sistem Sosial

Sebagai sistem yang bertujuan mewujudkan keadilan, kesejahteraan,

kemakmuran, dan keutuhan anggotanya, sistem sosial memunyai peran dan

tantangan yang tidak mudah. Upaya mewujudkan itu membutuhkan suatu konsep

utuh yang menjadikan sistem sosial beroperasi secara efektif sesuai dengan yang

diharapkan. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, konsep menjadi persoalan

4 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, terj. M. Hashem,

(Jakarta: Pustaka, 1984), h. 4.

Page 50: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

39

utama yang akan menentukan keberhasilan suatu upaya mencapai tujuan sistem

sosial. Konsepsi menyeluruh berkaitan dengan pandangan tentang masyarakat

yang menentukan prinsip-prinsip kebajikan untuk mencapai kesejahteraan

bersama merupakan konsepsi ideal yang tertuju pada ideal sosial. Kebutuhan

konsepsi semacam itu dirasakan betul oleh Muhammad Baqîr al-Shadr dengan

mengintroduksi pernyataan yang diawali pertanyaan:

Sistem apakah yang paling sesuai bagi umat manusia sehingga mereka

dapat mencapai kehidupan sosial yang bahagia? Sudah sifatnya masalah

sosial selalu menempati posisi yang menonjol dan membawa bahaya. Di

dalam kerumitan serta keanekaragaman penyelesaian yang disarankan

untuknya, ia bisa merupakan suatu sumber bahaya bagi umat manusia

sendiri, karena dalam penjabaran kehidupan manusia selalu terlibat suatu

sistem tertentu yang memengaruhi inti entitas sosialnya.5

Menurutnya, masalah sistem sosial sudah lama muncul sejak manusia

mulai mengenal kehidupan bersama. Dalam setiap zaman, manusia berjuang

mengatasi masalah tersebut sesuai kondisi yang dialaminya. Perjalanan

perjuangan itu digambarkan secara metaforis ibarat kapal yang berlayar melewati

berbagai rintangan menuju tempat berlabuh yang damai dan sejahtera, sebuah

kehidupan yang stabil, adil, dan tentram.6 Sejarah perjuangan itu kemudian secara

kontinyu mewariskan beberapa persoalan yang memberi pelajaran bagi epos

sejarah kehidupan selanjutnya.

Oleh karena itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, penting sekali

mengevaluasi perjalanan upaya manusia dalam mengatasi masalah sosialnya. Hal

ini bisa dilakukan dengan cara melihat ideologi yang diterapkan. Menurutnya,

masyarakat merupakan bentuk yang kongkrit dari ideologi tertentu yang

5 Ibid, h. 3.

6 Ibid, h. 5.

Page 51: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

40

mengarahkan kehidupan manusia. Dengan kata lain, upaya komprehensif

mencapai tujuan sistem sosial dilakukan dalam bingkai ideologis yang meliputi

pandangan dunia, doktrin politik, falsafat, agama, dan moral beserta mekanisme

perwujudannya. Dia menyatakan bahwa:

Manusia adalah makhluk yang memunyai ideologi. Manusia berjalan

berdasarkan panduannya dalam kehidupan di dunia. Di masa lampau dan

di masa akan datang tidak ada masyarakat yang menjalani kehidupannya

tanpa ideologi. Jika tidak ada suatu ideologi atau suatu sistem, masyarakat

pun tidak akan pernah ada. Ideologi manusia merupakan jendela yang

darinya manusia memandang dunia. Jendela itu yang menentukan cara-

cara hubungannya dengan lingkungan materi dan sosial yang

mengelilinginya.7

Dalam kehidupan modern, terdapat dua ideologi besar yang saling bertikai,

yakni liberalisme dan sosialisme. Liberalisme sebagai ideologi politik, ekonomi,

dan sosial berakar dari pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke pada abad ke-

17. Sementara sosialisme disandarkan atas sistem pemikiran falsafat Karl Marx

yang meliputi sejarah, kehidupan sosial, politik dan ekonomi. Liberalisme

mendapat legitimasinya ketika negara federasi Uni Soviet runtuh tahun 1991.

Peristiwa itu diintroduksi oleh Francis Fukuyama dalam The End of History and

7 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj.

Muhammad Abdul Qadir Alcaff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 101-102. Bandingkan dengan

pandangan Martin Slinger dalam John B. Thomson, Kritik Wacana Ideologi-ideologi Dunia, terj.

Haqqul Yaqin, (Yogyakarta: Ircisod, 2003), h. 129-133. Slinger melihat ideologi sebagai sistem

kepercayaan yang menjadi orientasi tindakan seseorang yang diorganisasi dalam satu sistem yang

koheren. Sistem itu terbuat dari sejumlah elemen yaitu deskripsi, analisis, preskripsi moral,

preskripsi teknis, implement, dan rejection. Seluruh ideologi mencampuradukkan secara bersama

antara deskripsi faktual dan analisis situasi dengan preskripsi moral tentang apa yang benar dan

baik serta pertimbangan teknis tentang kehati-hatian dan efisiensi. Selanjutnya, ideologi

membimbing tindakan seseorang yang diperlihatkan melalui elemen yang disebut implement

(aturan-aturan yang memberikan cara dan alat untuk mengimplimentasikan komitmen dan

menyesuaikannya dengan keperluan keadaan) dan rejection (penolakan terhadap prinsip dan

kepercayaan lain yang beroposisi terhadap ideologi bersangkutan). Elemen rejection juga

ditegaskan oleh Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa “Bila suatu ideologi benar, maka ia harus

menolak setiap pemikiran yang berhubungan dengan berbagai bidang kemanusiaan yang

berlawanan dengan ideologi tersebut. Pemikiran yang memiliki ideologi tunduk kepada tolok ukur

ideologi itu dan menjauhi kontradiksinya”. Lihat Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua:

Ketika Keimanan saja Tak Cukup, h 53.

Page 52: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

41

the Last Man sebagai akhir sejarah sosialisme dan menandakan kemenangan

ideologi liberalisme. Pasca itu, tak ada lagi perdebatan sengit dan aktual

bernuansa ideologis yang selama ini bertentangan. Sebaliknya, liberalisme

semakin menunjukkan taringnya dengan adanya globalisasi sehingga pengaruhnya

tak dapat dibendung.

Banyak yang menilai keruntuhan sosialisme-komunisme karena konsepsi

yang bermasalah tentang kehidupan manusia sehingga pada tingkat

operasionalnya menemui kegagalan. Misi emansipasi untuk menyelamatkan

manusia dari berbagai bentuk eksploitasi kapitalis berbalik arah menjadi sistem

totaliter yang menghisap darah dan merenggut nyawa manusia. Sosialisme gagal

memenuhi janji-janjinya dan sejarah kemudian dimulai dengan kemenangan

liberalisme. Akan tetapi, liberalisme bukan tanpa masalah. Sebagai ideologi yang

mengupayakan tercapainya tujuan sistem sosial dengan bertumpu pada kebebasan,

liberalisme justru melahirkan berbagai persoalan seperti ketimpangan sosial.

Ketimpangan itu terlihat dari kelas pemilik modal yang cukup dimanjakan.

Ketimpangan sosial secara eksplisit menunjukkan kegagalan liberalisme dalam

mewujudkan kesejahteraan.

Muhammad Baqîr al-Shadr memang secara ekstensif mengeritisi dua

ideologi itu terutama sosialisme-komunisme dalam karya-karyanya. Akan tetapi,

melacak sebab-sebab kegagalan ideologi tersebut dengan menguraikan akar dan

bangunan konseptualnya, cukup kompleks dan luas. Karena itu, butuh tempat

khusus untuk membahasnya. Di sini akan dibatasi pada upaya ideologi tersebut

dalam menjawab hal penting dalam sistem sosial, yakni masalah keadilan.

Page 53: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

42

Dikatakan penting karena sistem sosial tidak akan berhasil mencapai

kesejahteraan sosial dan ekonomi apabila keadilan tidak tercapai. Keadilan

merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan cita-cita sistem sosial.

C. Masalah Keadilan

Masalah keadilan sosial dan ekonomi yang erat kaitannya dengan hak dan

kewajiban individu seringkali menimbulkan konflik yang melahirkan disintegrasi

dan instabilitas yang mengancam kesejahteraan. Hal ini disebabkan dalam

masyarakat terdapat perbedaan dalam hal kenikmatan dan kepentingan serta tolok

ukur keduanya, sebagaimana dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:

Manusia dalam suatu masyarakat mengalami kontradiksi dalam

kenikmatan dan manfaat mereka. Masyarakat yang beragam juga

mengalami kontradiksi menyangkut tolok ukur ini di mana sesuatu yang

menjadi kepentingan individu atau masyarakat atau kenikmatan keduanya

terkadang membahayakan individu atau masyarakat lain. Kepercayaan

manusia terhadap tolok ukur moral yang kurang sempurna adalah

penyebab terjadinya bencana yang menyeret mereka pada konflik yang

terus menerus.8

Masyarakat sebagai kerja sama sosial yang menandai adanya identitas

kepentingan cukup potensial bagi munculnya konflik antar individu. Disebut

identitas kepentingan karena kerja sama sosial memungkinkan kehidupan yang

lebih baik daripada diupayakan sendiri. Sementara konflik terjadi karena

seseorang secara subjektif berbeda pendapat mengenai distribusi keuntungan dari

hasil kerja sama. Perbedaan ini dipicu oleh tujuan dan keinginan individu untuk

memilih bagian yang lebih besar ketimbang bagian yang sedikit. Hal ini

menunjukkan bahwa setiap individu dalam kerja sama sosial tetap memunyai

8 Ibid, h. 48.

Page 54: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

43

rencana dan tujuan hidup sendiri yang memunculkan klaim-klaim yang saling

bertentangan mengenai sumber daya alam dan sosial.9

Di sinilah kemudian diperlukan keadilan. Pandangan tentang keadilan

berbeda-beda antara liberalisme dan sosialisme. Gambaran tradisional biasanya

mendeskripsikan keadilan dalam liberalisme sebagai kebebasan (liberty)

sedangkan keadilan dalam sosialisme adalah persamaan (equality). Kedua posisi

ini kemudian melahirkan kategorisasi kanan dan kiri. Setuju dengan kebebasan

berarti memosisikan diri sebagai orang kanan. Sebaliknya, setuju dengan prinsip

persamaan berarti orang kiri.10

Namun gambaran demikian tidak cukup

memuaskan dan cenderung simplistis. Dalam keadilan selalu sudah terkandung

prinsip persamaan. Karena itu, liberalisme bukan berarti sama sekali tidak

mengenal persamaan. Bahkan teoritisi liberal kontemporer secara khusus berusaha

menyatukan dua prinsip tersebut dalam membahas keadilan distributif.11

Pada sisi lain, terdapat pengertian persamaan lebih fundamental daripada

kategorisasi dangkal di atas, yaitu memerlakukan orang secara sama. Melalui

pengertian ini, baik liberalisme maupun sosialisme sama-sama memunyai prinsip

persamaan. Kelompok kiri mengartikan persamaan pendapatan atau kekayaan

sebagai prakondisi memerlakukan orang tanpa pilih kasih. Sementara kelompok

9 John Rawls, Teori Keadilan: Dasar-Dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2006), h. 154-155. 10

Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua

Teori Filsafat Politik Modern, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 5. Lihat pula Will

Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas Teori-teori Keadilan,

terj. Agus Wahyudi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 2-3. 11

John Rawls (liberalisme egaliter) dan Robert Nozick (libertarianisme) memasukkan

prinsip persamaan kesempatan dan kebebasan dalam teori mereka walaupun mereka berbeda

dalam mengembangkan teori keadilan.

Page 55: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

44

kanan melihat hak-hak yang sama atas pekerjaan dan properti (kebebasan hak

milik) sebagai prakondisi memerlakukan orang secara sama.12

1. Liberalisme

Keadilan dalam liberalisme seringkali dikaitkan dengan hak individu.

Karena itu, definisi Aristoteles cukup tepat untuk menggambarkan keadilan dalam

tradisi liberal. Aristoteles memberi arti khusus pada keadilan sebagai berhenti dari

pleonexia, yaitu dari pencapaian keuntungan dengan merebut apa yang menjadi

hak milik orang lain, wilayahnya, kantornya, dan lain-lain atau menolak

pemenuhan janji, pembayaran hutang, dan sebagainya.13

Banyak formulasi

terkenal tentang keadilan dilahirkan dari pengertian ini. John Stuart Mill misalnya

memberikan rumusan dengan mengatakan bahwa “Keadilan sebagai sesuatu yang

bukan hanya benar bila dilakukan atau salah bila dinafikan, tetapi orang bisa

mengklaim dari kita sebagai hak moralnya”.14

Hak individu dapat ditelusuri dari pemikiran Hobbes dan khususnya Locke

yang sangat berpengaruh dalam pandangan liberal. John Locke dianggap sebagai

pendiri pandangan liberal modern mengenai hak individu manusia. Ia mengatakan

bahwa setiap orang, karena hukum alam, memunyai hak alamiah atas kehidupan,

kebebasan, dan harta milik agar dapat bertahan hidup dan berkembang biak.15

Hak

alamiah ini sudah ada dalam kondisi alamiah manusia sebelum munculnya

12

Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, h. 5. 13

John Rowls, Teori Keadilan, h. 11-12. 14

Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, Dua

Teori Filsafat Politik Modern, h.15. 15

Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terj. Masri Maris, (Jakarta: Yayasan

Obor Indonesia, 2006), h. 85.

Page 56: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

45

masyarakat sipil melalui kontrak sosial. Namun berbeda dari gambaran kondisi

alamiah dan kontrak sosial a la Hobbes,16

Locke menggambarkan manusia dalam

kondisi alamiah itu baik. Dalam artian, manusia memunyai kecenderungan baik

untuk memelihara hidupnya dengan mengikuti hukum kodrat atau hukum alam.

Hukum ini dapat ditemukan manusia melalui tiga cara dan bentuk,17

yaitu prinsip

rasionalitas, ide kreasionis Tuhan, dan keharusan alamiah. Ketiga bentuk hukum

itu kemudian dijadikan argumen untuk membuktikan bahwa setiap orang

memunyai hak alamiah yang sama dan berlaku universal.

Prinsip rasionalitas atau argumen nalar berangkat dari kepercayaan Locke

bahwa setiap manusia memiliki kemampuan rasional yang sama untuk memeroleh

pengetahuan sejati. Tak peduli apakah seseorang belajar rumus-rumus sains atau

tidak, semua manusia memiliki potensi untuk mengetahui hukum-hukum alam

dengan menggunakan nalarnya. Menurutnya, Tuhan tidak begitu kikir dalam

menciptakan manusia sebagai makhluk berkaki dua, sebab Dia tidak menyerahkan

mandat hanya kepada Aristoteles untuk menjadi satu-satunya manusia rasional

dengan terlebih dahulu belajar sillogisme.18

Sebab itu, tanpa ada hukum sipil

sekali pun manusia tetap mengikuti hukum yang diturunkan oleh nalar melalui

refleksi terhadap kehidupan di alam semesta.

16

Hobbes menggambarkan kondisi alamiah manusia sebagai keadaan dengan penuh

ketidakpastian, kacau balau, dan perang. Hal ini diakibatkan oleh: terpesonanya manusia terhadap

kenikmatan sehingga tergugah untuk mendapatkannya dengan berbagai cara; ketidakpercayaan

terhadap orang lain sehingga menganggapnya sebagai ancaman; dan berkurangnya sumberdaya

alam sehingga muncul persaingan tak terkendali antar satu sama lain. Akibatnya, yang kuat berarti

kekalahan bagi pihak yang lemah. Kondisi ini membawa manusia ke dalam sebuah kontrak yang

melahirkan teori hukum kekuasaan dengan terbentuknya negara leviathan (negara yang memiliki

otoritas untuk memerintahkan serta menghukum warga warganya). 17

Disebut cara karena melalui ketiga hal itu dapat ditemukan hukum kodrat atau hukum

alam. Dikatakan bentuk karena Locke kadang menyebut ketiga hal itu sebagai hukum itu sendiri. 18

Ibid, h. 89-90.

Page 57: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

46

Argumen kreasionis mengatakan bahwa Tuhan-lah yang menciptakan

manusia dan semua manusia diciptakan sama sebagai anak-anak Tuhan.19

Sebagai

Pencipta, Tuhan tidak membedakan hak atas ciptaan-Nya termasuk untuk species

manusia. Konsekuensi pandangan kreasionis ini adalah semua orang akan

dipandang memiliki hak yang sama atas hidup mereka masing-masing. Kemudian,

karena manusia juga memiliki kemampuan mencipta sebagaimana Tuhan, maka ia

berhak pula atas hasil ciptaannya.

Sedangkan argumen alam menunjuk pada tuntutan alamiah seperti tatanan

yang harmonis dalam kehidupan atau upaya memertahankan hidup. Sebagaimana

dikatakan Locke bahwa “Dari pembawaan yang sama, ketika umat manusia

ditindas sudah sewajarnya berusaha melepaskan diri dari kekangan yang

mencekik leher mereka”.20

Artinya sudah menjadi bawaan manusia untuk tetap

hidup serta keluar dari berbagai belenggu dan tirani. Karena itu, semua orang

memunyai hak alamiah yang sama untuk memertahankan kehidupannya.

Dengan demikian, menurut Locke, setiap orang dilahirkan dengan dua hak

sekaligus, yaitu hak kebebasan bagi dirinya sendiri dan hak mewarisi harta

ayahnya. Tak ada seorang pun yang berhak menguasai kehidupan orang lain.21

Seseorang bebas menjalankan dan menentukan kehidupannya sendiri. Karena

seseorang berhak atas kehidupan, maka berarti dia bebas menjalankan dan

menentukan hidupnya. Ia juga berhak mewarisi harta orang tuanya. Sementara,

harta yang merupakan hasil kerja manusia juga menjadi haknya untuk kemudian

diwariskan pada anaknya.

19

Ibid, h. 91. 20

Ibid, h. 82. 21

Ibid, h. 87.

Page 58: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

47

Namun, meskipun manusia memunyai hak atas kebebasan, bukan berarti ia

bebas berbuat sesuka hati dan sewenang-wenang (tidak semena-mena). Manusia

dibatasi oleh hukum alam yang melingkupinya di mana melalui hukum tersebut

orang lain harus diperlakukan sama sebagaimana hak alamiahnya. Tetapi selama

manusia tidak melanggar hukum alam, tindakannya adalah milik dan urusan

pribadinya.22

Di sinilah perbedaan hak dan kewajiban yang, walaupun sama-sama

muncul dari hukum alam, salah satu dari keduanya membatasi keberadaan yang

lain. Menurut Locke, hukum kodrat harus dibedakan dari hak alamiah karena hak

dilandaskan pada kenyataan bahwa kita bisa memanfaatkan sesuatu dengan bebas.

Sedangkan hukum adalah perintah atau larangan melakukan sesuatu.23

Meskipun manusia pada kondisi alamiah dilingkupi oleh hukum alam,

bukan berarti tidak ada hambatan sama sekali dalam merealisiasikan hak

alamiahnya. Pelanggaran terhadap hukum alam menjadikan perilaku manusia

seperti binatang buas yang melumat kehidupan orang lain. Pelanggaran itu rentan

terjadi sehingga manusia terdorong untuk membuat kesepakatan kontraktual

dengan manusia lainnya. Di sinilah awal mula munculnya kontrak yang

melibatkan seseorang dalam ikatan sosial (masyarakat). Locke menggarisbawahi

bahwa “Karena keculasan manusia sedemikian rupa sehingga lebih suka

merampas hak milik orang lain ketimbang berusaha sendiri, mendorong manusia

masuk ke dalam anggota masyarakat”.24

22

Ibid, h. 101. 23

Ian Shapiro, Asas Moral dalam Politik, terj. Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto,

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), h. 9. 24

Ian Shapiro, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, h. 125.

Page 59: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

48

Kontrak sosial diperlukan untuk menetapkan kategori hukum secara

harfiah beserta konsekuensi yang diakibatkannya. Akan tetapi, hukum dalam

masyarakat (hukum sipil) tidak boleh bertentangan dengan hak-hak alamiah

seseorang. Sebab itu, individu dalam masyarakat tetap bebas dan tidak dikatakan

berada di bawah kekuasaan apa pun kecuali kekuasaaan itu dibentuk berdasarkan

kesepakatan.25

Kekuasaan politik tidak lain dari hak untuk membuat hukum

dengan sangsi-sangsinya yang bertujuan melindungi hak individu.

Dalam pemikiran Locke, individu merupakan makhluk otonom dan dapat

melakukan apa saja dalam batas-batas yang ditentukan hukum alam. Akibatnya,

dalam kehidupan masyarakat, individu harus menghormati otonomi masing-

masing sehingga tidak seorang pun boleh mencederai kehidupan, kebebasan, dan

kekayaan orang lain. Di sinilah letak keadilan mendapatkan maknanya. Berbagai

gangguan dan pelanggaran terhadap hak individu, baik yang dilakukan seseorang

maupun oleh penguasa, dikatakan tidak adil.26

Keadilan disandarkan kepada yang

hak (the right) yang lebih prioritas daripada yang baik (the good) di mana setiap

orang diperlakukan memunyai hak alamiah yang sama atas kehidupan, kebebasan,

dan harta milik.

2. Sosialisme

Menelusuri keadilan dalam sosialisme diperlukan kecermatan tersendiri

karena berkaitan dengan seluruh proyek falsafat yang dibangun oleh pendahulu

mereka, yaitu Karl Marx. Di sini keadilan tidak mendapat prioritas utama

25

Ibid, h. 112. 26

Ibid, h. 101-102.

Page 60: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

49

ketimbang cita-cita utopis yang dituju, yakni terbentuknya masyarakat komunis

tanpa antagonisme kelas. Menurut Marx, sejarah masyarakat yang ada hingga saat

ini adalah sejarah perjuangan kelas; pemilik tanah dan petani, bangsawan dan

budak, kapitalis dan proletar dalam suatu hubungan antara penindas dan tertindas.

Perjuangan itu pada akhirnya, sebagaimana dalam pembukaan The Communist

Manifesto, menggerakkan kesadaran manusia untuk mewujudkan suatu kehidupan

masyarakat tanpa kelas, yaitu masyarakat komunis.27

Karena itu, keadilan tidaklah cukup menentukan untuk menghilangkan

konflik kelas dalam masyarakat, apalagi keadilan yang disandarkan pada hak yang

sama dalam masing-masing individu. Keadilan hanya menjembatani konflik antar

individu, sementara komunisme mampu menghilangkannya. Bahkan Marx

menyerang gagasan “hak yang sama” seperti dalam liberalisme sebagai kata-kata

usang. Menurutnya, hak yang sama secara diam-diam mengakui karunia individu

yang timpang. Hak yang sama tidak mungkin diterapkan karena manusia sejak

lahir sudah berbeda-beda, baik kecerdasannya, kelas sosial keluarganya,

kemampuannya, dan sebagainya. Perbedaan ini memberikan pengaruh tersendiri

bagi manusia dalam memergunakan haknya sehingga akan terjadi ketimpangan.

Marx melanjutkan, hak yang sama hanya mungkin diterapkan sejauh individu-

individu yang timpang dan berbeda-beda dibawa ke dalam sudut pandang yang

sama dari satu sisi yang pasti. Misalkan semua individu dianggap sebagai kaum

buruh saja dan mengabaikan semua hal lainnya.28

Jelas ini tidak mungkin.

27

Karl Marx dan Freidrich Engels, The Communist Manifesto, (London: Penguin Book,

1967), h. 1. 28

Will Kymlicka, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer, h. 217-218.

Page 61: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

50

Walaupun Marx secara eksplisit menentang hak yang sama tetapi bukan

berarti menghilangkan persamaan moral yang selama ini menjadi landasan

keadilan. Marx tidak menolak pandangan bahwa komunitas harus memerlakukan

anggotanya secara sama. Yang ditolaknya ialah bila komunitas memerlakukan

anggotanya secara sama melalui penerapan teori persamaan yuridis kaum liberal,

yaitu teori persamaan yang mengartikulasikan klaim individu pada kondisi-

kondisi tertentu seperti hak yang sama atas kebebasan dan kekayaan. Hak yang

sama model ini dianggap timpang karena hanya menetapkan pendirian moral yang

terbatas. Hak ini hanya akan melahirkan “ketidaksamaan” dan karena itu gagal

mencapai cita-cita persamaan itu sendiri.29

Di samping menolak hak yang sama, komunisme juga menolak keadilan

yang terlalu memusatkan pada persoalan distribusi ketimbang masalah produksi.

Sosialisme menganggap munculnya konsep keadilan distributif diakibatkan oleh

perbedaan kelas yang apabila dapat diatasi konsep itu akan menjadi usang. Oleh

karena itu, yang perlu dilakukan bukan bagaimana distribusi yang adil melainkan

memindahkan pemilikan sarana produksi yang selama ini menjadi sumber bagi

munculnya pertentangan kelas antara borjuis dan proletar. Kepemilikan sarana

produksi tidak hanya memberikan seseorang kesempatan untuk menambah

pendapatan yang lebih besar, tetapi juga mengatur kehidupan orang lain.30

Di

sinilah eksploitasi itu masih terjadi.

Persamaan dalam pandangan sosialisme hanya mungkin tercapai dalam

masyarakat komunis yang menghapus hak milik pribadi. Sebagai gantinya,

29

Ibid, h. 219. 30

Ibid, h. 220.

Page 62: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

51

sosialisasi sarana-sarana produksi harus dilakukan sehingga setiap orang

memunyai akses yang sama terhadap sumber kekayaan dan berperan serta dalam

keputusan kolektif di sekitar penyebaran aset-aset produktif. Sarana-sarana

produksi dikerjakan oleh kolektifitas manusia sehingga menghasilkan kekayaan

yang melimpah. Ketika ini terwujud, prinsip distribusi yang adil menurut Marx

adalah “Dari setiap orang sesuai dengan kemampuannya, bagi setiap orang sesuai

dengan kebutuhannya”. Inilah rumusan prinsip keadilan yang amat terkenal dalam

sosialisme.31

Meski rumusan tersebut berkaitan dengan prinsip keadilan, tetapi

sebagaimana dikatakan sebelumnya, sosialisme lebih mengutamakan cita-cita

masyarakat komunis. Setelah cita-cita itu tercapai, baru keadilan dapat

diwujudkan. Di luar itu, keadilan dalam perspektif komunisme tidak terlalu

penting. Konflik di dalam masyarakat terjadi bukan karena tidak adanya keadilan

sebagaimana dalam liberalisme, tetapi lebih dari itu, karena kepemilikan sarana-

sarana produksi oleh individu yang melahirkan kelas-kelas sosial.

3. Persoalan dalam Liberalisme dan Sosialisme

Penekanan liberalisme pada hak individu atas kehidupan, kebebasan, dan

harta milik menimbulkan beberapa konsekuensi yang tak dapat dielakkan

terutama dalam masalah sosial dan ekonomi. Hak tersebut bersifat ekslusif dan

otonom dalam diri individu. Di antara konsekuensi itu yang paling mencolok

adalah munculnya ekonomi kapitalisme. Bahkan antara liberalisme dengan

31

Bur Rasuanto, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas, h. 15-

16.

Page 63: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

52

kapitalisme tak dapat dipisahkan satu satu sama lain.32

Akar kapitalisme dapat

ditemukan dalam pandangan Bernard de Mandeville dan Adam Smith pada abad

ke-18 yang mendukung masyarakat pasar yang bercirikan pembagian kerja secara

rasional dan terperinci, penghormatan hak milik pribadi, dan pengutamaan

kepentingan pribadi.33

Menurut Smith, kesejahteraan masyarakat akan terjamin dalam jangka

panjang apabila individu dibiarkan untuk mengejar kepentingan dan keuntungan

pribadinya. Hal ini dikarenakan adanya tangan yang tidak kelihatan (invisible

hand) di mana individu secara tidak sadar akan menyumbangkan yang terbaik

buat masyarakat dengan memenuhi kebutuhan orang lain demi kepentingannya

sendiri.34

Maka hukum pasar haruslah didasarkan pada mekanisme ilmiah Newton

sehingga membawa implikasi kebijakan ekonomi laissez fair yakni, pembatasan

seminimal mungkin kontrol pemerintah atas pasar.

Akan tetapi, kebebasan akan hak milik pribadi yang melahirkan kompetisi

di pasar mulai bermasalah ketika sarana-sarana produksi dikuasai oleh para

pemilik modal. Mereka memiliki kekuatan lebih dengan cara memekerjakan para

buruh sehingga menghasilkan produk yang berlipat ganda. Sementara, kaum

buruh (proletar) hanya mendapatkan upah minimum dari hasil kerja mereka,

karena para pemilik modal (borjuis) mengejar keuntungan maksimum. Keadaan

ini digambarkan Marx sebagai bentuk eksploitasi di mana kaum proletar terasing

dari diri dan hasil kerjanya. Kelompok borjuis mendapat nilai lebih (surplus)

32

Calton Clymer Rodee dkk, Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid, (Jakarta: PT

Raja Grafindo Persada, 2006), h. 134. 33

F. Budi Hardiman, Filsafat Modern, h. 101-103. 34

Doyle Paul Johnson, Sosiologi Klasik dan Modern, h. 25-26.

Page 64: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

53

dengan menambahkan jam kerja buruh sehingga memeroleh keuntungan, tetapi

kerugian bagi buruh karena tenaganya melebihi upah yang dikeluarkan. Selain

kerugian jam kerja, kaum buruh juga tidak dapat menikmati hasilnya meski itu

merupakan buah dari jerih payah dan kecakapan kerjanya.

Lain dari itu, kompetisi yang bebas ternyata mendorong kapitalis untuk

mendominasi pasar sehingga terjadi sentralisasi modal yang menyebabkan

terjadinya ketimpangan. Pemilik modal makin leluasa melebarkan sayapnya,

sementara kaum proletar terjerat dan tersungkur dalam kemiskinan. Di sini

berlaku ungkapan seperti didendangkan H. Rhoma Irama “Yang kaya makin kaya,

yang miskin makin miskin”. Akibatnya, kesenjangan sosial semakin melebar dan

kemudian disusul dengan instabilitas dan disentegrasi sosial yang akan mengubur

kesejahteraan. Tidak hanya itu, kepemilikan diri yang merupakan kebebasan

fundamental dalam diri manusia hancur seketika karena kaum proletar terasing

dari dirinya sendiri. Mereka kehilangan kesempatan untuk mendapatkan hak sama

atas kekayaan akibat dominasi dan hegemoni kaum borjuis. Dengan demikian,

menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, kebebasan yang diusung dalam liberalisme

dengan menerapkan sistem ekonomi kapitalisme hanyalah khayalan belaka. Dia

mengatakan bahwa:

Dalam banyak hal, para pekerja pabrik hanya memeroleh upah sedikit

yang tidak lebih dari kebutuhan dasarnya yang minimal. Mengejar

keuntungan sebesar-besarnya adalah sistem ini. Ia membagi manusia

menjadi dua kelompok, yaitu manusia yang sangat kaya dan bersuka ria di

atas kemewahan besar, dan kelompok yang hidup dalam kemelaratan yang

paling sengsara… Kebebasan ini hanyalah khayal belaka di tengah

kehadiran kebebasan pribadi dan kebebasan ekonomi.35

35

Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 70.

Page 65: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

54

Menurutnya, kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme hanya menarik dari

kulit luarnya saja tetapi sebenarnya tidaklah benar-benar bebas.36

Kebebasan yang

diberikan sepenuhnya kepada individu justru mengekang kebebasan orang lain.

Persamaan hak individu atas kebebasan dan kekayaan justru menutup kesempatan

orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Bahkan kebebasan itu hilang sama

sekali karena individu yang miskin dan tertindas dan ditentukan hidupnya oleh

kaum borjuis.

Sementara itu, sosialisme yang berupaya mewujudkan masyarakat

komunis dengan cara menghapus hak properti dihadapkan pada berbagai

persoalan mendasar yang cukup pelik dan kompleks. Meskipun berhasil, dalam

klaim mereka, menelusuri sebab-sebab terjadinya konflik antar individu dalam

masyarakat, tetapi mereka gagal dalam mencapai cita-citanya. Alih-alih mengatasi

konflik tersebut, komunisme berubah menjadi raksasa totaliter yang melumat dan

menghancurkan kemanusiaan. Runtuhnya negara federasi Uni Soviet pada tahun

1991 menjadi ujian empiris tak terbantahkan mengenai kesalahan tesis yang

dibangun dalam menangkap hukum-hukum sosial. Kesalahan tesis itu secara

general ditunjukkan oleh ketiadaan korespondensi antara pernyataan pemikiran

dengan kenyataan.

Cita-cita komunisme hanyalah utopia yang melintasi dunia imajiner para

pejuang kelas karena setiap upaya mewujudkannya selalu bertentangan dengan

kodrat alamiah mereka. Sudah sejak dulu, ketika hasrat alamiah manusia

mengenal kenikmatan, dorongan untuk memiliki sesuatu itu muncul. Apalagi

36

Ibid, h. 129.

Page 66: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

55

dalam masyarakat yang memunyai pandangan hidup dan meyakini falsafat hidup

materialisme. Maka setiap upaya untuk menghapuskannya akan mendapat

perlawanan dalam diri manusia sendiri. Muhammad Baqîr al-Shadr memandang

bahwa:

Pemecahan yang diajukan oleh komunisme menyebabkan terlalu banyak

kompilasi. Komunisme hendak merebut kemerdekaan individu dan

mengganti kepemilikan pribadi dengan pemilikan kolektif, akan tetapi

pada umumnya, perubahan yang besar ini terbukti bertentangan dengan

tabiat manusia. Karena orang materialis selalu berpandangan materialistis

dan memandang kepentingannya dari sudut pribadi yang terbatas.37

Pemecahan yang diajukan dalam sosialisme-komunisme menurut

Muhammad Baqîr al-Shadr mengalami banyak kompilasi. Komunisme hendak

merebut kemerdekaan individu dengan cara mengganti kepemilikan pribadi

dengan kepemilikan kolektif. Padahal, kemerdekaan pribadi dan kemerdekaan

ekonomi merupakan fondasi dari semua kebebasan.38

Jelas ini bertentangan

dengan tabiat manusia sehingga wajar apabila kekuasaan Lenin menggunakan

cara-cara otoriter dalam rangka menghantam perlawanan itu. Oleh sebab itu,

persamaan ideal beserta falsafat hidup yang dibangun dalam sosialisme tak dapat

dipertahankan meski tetap menancapkan pengaruh konseptual di luar ideologi

bersangkutan.

37

Ibid, h. 81. 38

Ibid, h. 81-82.

Page 67: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

56

BAB IV

PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM SOSIAL IDEAL

A. Tesis Muhammad Baqîr al-Shadr

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, upaya manusia mencapai

tujuan sistem sosial dilakukan dalam bingkai ideologis yang meliputi pandangan

dunia, doktrin politik, moral, dan sebagainya. Ideologi merupakan jendela dalam

memandang dunia yang menentukan cara-cara manusia dalam berhadapan dengan

lingkungan material dan sosialnya. Di dalam ideologi terdapat nilai, norma serta

tata cara yang diikuti manusia dan diyakini mampu mewujudkan cita-cita

kehidupan. Dalam konteks ini, Muhammad Baqîr al-Shadr juga melihat Islam

sebagai ideologi yang berbeda dari ideologi Barat. Islam adalah ideologi agama

yang harus dikuti dan ditegakkan oleh umat Muslim. Ia mengatakan:

Kewajiban kaum Muslim yang sadar adalah hendaklah mereka menjadikan

Islam sebagai kaidah pemikiran dan ruang lingkup umum dari setiap apa

yang mereka bangun dari berbagai pemikiran peradaban dan konsepsi

alam, kehidupan, manusia, dan masyarakat. Tak diragukan lagi bahwa

ideologi agama memerhatikan sisi ini dan mengharuskannya eksis

(mawjûd) pada orang yang beragama.1

Islam merupakan sistem kepercayaan yang mengandung nilai-nilai guna

menopang kehidupan umatnya. Seluruh aspek tindakan umat Islam didasarkan

pada nilai-nilai kepercayaan itu, sebab secara epistemologis, setiap tindakan

diandaikan selalu sudah siap (always ready) diawali oleh suatu putusan atau

kepercayaan. Keraguan tidak dapat dijadikan landasan utuh bagi tindakan pun

1 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj.

Muhammad Abdul Qadir Alcaff, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 55. Lihat pula halaman 104.

56

Page 68: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

57

kepercayaan. Keragu-raguan berarti tidak adanya suatu putusan dalam proses

berpikir sehingga tidak akan menghasilkan apapun kecuali keraguan itu sendiri.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa setiap tindakan didasarkan pada nilai-

nilai dan nilai itu dilahirkan dari kepercayaan.

Nilai-nilai yang dilahirkan dari kepercayaan tersebut ketika diinternalisasi

pada gilirannya akan membentuk pandangan dunia (worldview) umat Islam.

Segala hal yang berkaitan dengan kehidupan umat Islam meliputi tindakan, asal-

usul beserta tujuan hidup dan sebagainya dipengaruhi oleh pandangan dunianya.

Karena itu, setiap tindakan orang Islam yang bertentangan dengan pandangan

dunianya berarti melanggar atau bahkan mengingkari kepercayaannya.

Bagaimanapun, orang Islam harus mengikuti nilai-nilai kepercayaannya selama

menyejarah di belantara kehidupan ini.

1. Tauhid

Pandangan dunia Islam didasarkan atas tauhid yang meyakini keberadaan

Tuhan dan mengesakan-Nya. Tauhid berasal dari bahasa Arab yang merupakan

bentuk ketiga dari asal kata wahhada yuwahhidu tawhîdan yang berarti pengesaan

atau penunggalan. Dalam hal ini tauhid berarti meyakini bahwa Tuhan itu Esa dan

tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Tuhan. Kepercayaan ini menjadi syarat

utama dan paling utama seseorang disebut Muslim. Tuhan diyakini sebagai

kebenaran mutlak yang menjadi asal-usul keberadaan segala sesuatu. Sebab itu,

hanya Tuhan yang patut disembah karena keberadaan-Nya mandiri dan menjadi

Page 69: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

58

tempat bergantung keberadaan yang lain. Kepercayaan ini diekspresikan dalam

kalimat tauhid lâ ilâh illâ Allâh (Tiada tuhan Selain Allah).

Mengatakan bahwa Tuhan ada dan keberadaan-Nya mandiri bukan tanpa

alasan. Di sini Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan penjelasan rasional

dengan argumen kausalitas. Dalam kausalitas berlaku hukum bahwa setiap

sesuatu merupakan akibat dari sebab sebelumnya, dan setiap sesuatu

membutuhkan sebab agar menjadi ada. Akan tetapi menurutnya, jika di alam

semesta berlaku hukum kausalitas, mustahil sebab itu tidak terhingga. Gerak

mundur sebab itu akan berhenti pada Sebab Pertama (prima causa) yang niscaya.

Sedangkan Sebab Pertama itu tidak tunduk pada hukum kausalitas. Hal ini

dikarenakan keberadaan Sebab Pertama pada esensinya niscaya, mandiri, dan

tidak membutuhkan sebab. Tuhan tidak membutuhkan sebab karena Ia adalah

Sebab Pertama. Sebab sebagai sebab tidak menuntut sebab sebelumnya tetapi ia

menuntut akibat. Baru dari Sebab Pertama kemudian muncul matarantai sebab di

mana hukum kausalitas berlaku umum bagi alam semesta.2

Dengan demikian, hanya Allah yang pantas dipertuhankan karena

keberadaan-Nya sebagai Sebab Pertama menjadi sebab keberadaan yang lain.

Keberadaan Allah tidak bergantung kepada hal eksternal apapun di luar diri-Nya

(wâjib al-wujûd). Ia niscaya dalam Zat dan Esensi-Nya. Sementara, realitas lain

tidak dapat eksis tanpa menggantungkan diri pada Tuhan sehingga keberadaannya

hanyalah mungkin (mumkin al-wujûd). Yang lain membutuhkan Allah agar

menjadi eksis. Kebutuhan itu menggambarkan hubungan eksistensial yang tak

2 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, terj. M. Nur Mufid bin Ali, (Bandung: Mizan,

1991), h. 226-228.

Page 70: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

59

dapat dipisahkan antara keberadaan yang lain dengan Allah, antara akibat dengan

sebabnya. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa segala sesuatu menuju pada-Nya

karena ikatan eksistensial di mana tanpa Tuhan sesuatu itu tidak mungkin eksis.

Inilah tujuan hakiki paling fundamental yang mengatasi segala tujuan dari setiap

keberadaan.

Dari keyakinan tauhid tersebut, terdapat dua hal yang bisa digarisbawahi.

Pertama, karena Allah niscaya dan mandiri sementara keberadaan yang lain

sepenuhnya bergantung kepada Allah, maka yang lain tidak memiliki kekuatan

apa-apa kecuali kepasrahan dan ketundukan total kepada-Nya. Bagi Muhammad

Baqîr al-Shadr, orang Islam harus mengakui ini serta mewujudkan eksistensi

“Islam” pada seluruh ranah kehidupan. Dia merujuk pada ayat al-Qur‟ân surat al-

Baqarah 208 yang berbunyi: “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah dalam

Islam secara sempurna dan janganlah kalian mengikuti langkah-langkah syaitan.

Sesungguhnya ia adalah musuh yang nyata”.

Menurutnya, kata “Islam” atau “al-silm” pada ayat di atas memunyai

banyak kemungkinan pengertian. Ia bisa diartikan perdamaian (al-salâm) yang

merupakan lawan atau antonim dari kata perang (al-harb). Al-salâm juga berarti

al-islâm sebagai akidah, yaitu keimanan kepada Allah. Selain itu, al-salâm bisa

berarti al-istislâm, yaitu penyerahan secara mutlak kepada Allah dan ketundukan

sempurna dalam segala urusan kehidupan. Tetapi bagi Muhammad Baqîr al-

Shadr, di antara berbagai pengertian tersebut, yang paling benar adalah yang

terakhir.3 Sebab secara bahasa, al-silm tidak berarti al-salâm karena ia bisa juga

3 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua, h. 121.

Page 71: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

60

berarti al-istislâm yaitu penyerahan, ridha, dan penerimaan. Lagi pula Islam

memiliki hukum yang berbeda-beda berkenaan dengan hukum syari„at sesuai

dengan kondisi dan posisi umat Islam ketika atau di tengah jihad. Kadang damai

dibolehkan tetapi kadang dilarang seperti ayat “Janganlah kamu lemah dan

meminta damai padahal kamulah yang di atas” (QS. Muhammad: 35).

Dia melanjutkan, pengertian al-silm dengan al-islâm sebagai keimanan

kepada Allah juga bermasalah. Seandainya kata itu berarti keimanan kepada

Allah, maka tidak mungkin ditujukan kepada orang-orang yang beriman secara

khusus, sebab apa perlunya mengajak orang-orang Mukmin masuk dalam Islam?

Dengan demikian, bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, ayat itu menunjukkan makna

yang lebih luas di mana al-silm bermakna eksistensi yang istimewa di mana

orang-orang Islam dituntut untuk masuk ke dalamnya. Eksistensi itu bukan sifat

psikologis pribadi individu semata yang terpisah dari orang-orang Muslim yang

lain. Eksistensi itu bersifat kolektif yang menjadi tanda bagi suatu kehidupan

sosial di mana mereka menyerahkan seluruh kehidupan mereka kepada Allah serta

tunduk dan patuh kepada perintah-Nya. Tafsiran ini sebagaimana dinyatakan oleh

Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:

Ayat tersebut menyeru pada pendirian suatu eksistensi yang konkrit, yang

memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta,

dan menyerahkan kepemimpinan praktis kepada-Nya serta memberikan

kekuasaan-kekuasaan di mana masyarakat berdiri di atas fondasinya. Di

tangan-Nyalah eksistensi ini, yang dapat diungkapkan dengan ungkapan

yang hakiki dan jelas yaitu, eksistensi Islam di mana Nabi Muhammad

diutus untuk mendirikannya dan mengajak manusia dalam kehidupan di

bawah naungannya.4

4 Ibid, h. 122-123.

Page 72: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

61

Kedua, karena manusia memunyai ikatan dan hubungan eksistensial

dengan Allah, maka Allah harus menjadi tujuan dari kehidupan manusia. Tidak

ada tujuan lain yang lebih hakiki daripada tujuan ini, sebab tanpa Allah manusia

tidak akan mungkin ada. Keberadaan manusia tidak niscaya dengan sendirinya

dan karena itu keberadaannya dikatakan mungkin, bukan wajib. Sebagai akibat

dari ciptaan Allah, manusia tidak memunyai hak apa-apa terhadap-Nya kecuali

kewajiban, yaitu kewajiban mengikuti segala perintah dan kehendak-Nya seperti

yang telah diturunkan kepada para nabi. Sedangkan Allah memunyai hak penuh

atau absolut atas ciptaan-Nya, memilikinya, dan memerlakukannya.

Umat Islam wajib mengikuti perintah Allah sebagaimana disampaikan

oleh Nabi Muhammad dalam bentuk risâlah, yaitu pesan Islam dalam kitab suci.

Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, yang pertama dan terpenting dari pesan

Islam itu adalah pembentukan hubungan antara manusia dengan Tuhan.

Hubungan itu bersifat penghambaan yang menekankan akan keesaan Allah dalam

kalimat syahadat (lâ ilâh illâ Allâh) sehingga menghapus segala bentuk

penuhanan lain. Selain itu, pesan terpenting lain hubungannya dengan Allah

adalah penekanan akan kembalinya (ma„âd) manusia kepada-Nya di kehidupan

akhirat. Di sini manusia akan diminta pertanggungjawabannya selama menyejarah

di muka bumi dan menjadi tempat ditegakkan keadilan yang sebenarnya.5

Oleh sebab itu, semua tindakan umat Islam harus sesuai dengan yang

diperintahkan dan dikehendaki oleh Allah karena setiap tindakannya akan

dimintai pertanggungjawaban dan diberi ganjaran dan hukuman di akhirat. Hal ini

5 Muhammad Baqîr al-Shadr, The Revieler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed

M Ayoub, (Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986), h. 137-138.

Page 73: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

62

menunjukkan dengan tegas bahwa tujuan sejati dari kehidupan umat Islam tidak

lain adalah Allah dengan cara mencapai Ridha-Nya. Umat Islam tidak dibenarkan

menjadikan yang lain sebagai tujuan hidupnya.

2. Tuhan sebagai Pusat Realitas

Keyakinan tauhid di atas menjadi pijakan dasar bagi umat Islam dalam

memandang realitas alam semesta. Meski bersifat material dan fisik, bukan berarti

itu merupakan satu-satunya realitas. Justru realitas yang paling hakiki adalah

realitas Tuhan, karena realitas alam semesta tidak mungkin ada jika tidak

menggantungkan diri pada Tuhan.

Dengan demikian, keberadaan alam semesta harus dilihat dan dimaknai

dalam satu kesatuan dengan realitas Tuhan. Kesatuan ini besifat eksistensial dan

esensial. Kesatuan eksistensial berarti bahwa alam semesta merupakan realitas

yang tak dapat dipisahkan dari Tuhan, sehingga keberadaannya memanifestasikan

keberadaan Tuhan. Seluruh benda di alam semesta menandakan adanya kesatuan

sebab yang niscaya dengan Esensi-Nya yang sekaligus menjadi akhir dari mata

rantai sebab.6 Sekalipun ada perbedaan, maka perbedaan alam semesta dan Tuhan,

profan dan absolut, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr hal itu justru untuk kian

meneguhkan Tuhan sebagai satu-satu-Nya realitas, dan bukan malah

mengunggulkan realitas Alam di atas Tuhan. Perbedaan tersebut dimaksudkan

supaya manusia tahu “Eksistensi paling Sejati” di alam semesta ini.

6 Muhammad Baqîr al-Shadr, Falsafatunâ, h. 229.

Page 74: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

63

Kesatuan esensial merupakan akibat dari kesatuan eksistensial yang harus

dijadikan pandangan oleh umat Islam dalam memandang kehidupan dan alam

secara umum. Walaupun manusia hidup di dunia materi bukan berarti ia

cenderung materialistis dan hanya mencurahkan hidupnya pada hal-hal materi.

Kecenderungan ini jelas bertentangan dengan keimanan Islam sendiri. Sebaliknya,

umat Islam harus menjadikan Tuhan sebagai telos (tujuan) dalam segala sendi

kehidupanya. Segala sesuatu berasal dari Allah dan akan menuju kepada-Nya

sebagai terminal akhir serta tujuan yang paling hakiki. Oleh sebab itu, di tengah

kehidupan yang dilingkupi oleh kondisi dan reaksi material, umat Islam

selayaknya berpandangan spiritual tanpa mengingkari arti keberadaan materi di

alam. Hal ini dijelaskan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:

Spiritualitas di sini tidak berarti mengingkari makna-makna materi di alam

atau hanya semata-mata membatasi ruang lingkup keberadaan hanya pada

rohani semata sebagaimana banyak penulis Barat menafsirkan pandangan

spiritual dengan cara demikian. Islam mengakui hakikat rohani dan

jasmani, namun ia mengikat semua hakikat tersebut dengan Penyebab

Pertama (Sabab al-Musytarak) yang lebih dalam yaitu Allah. Jadi, pada

hakikatnya pandangan spiritual merupakan pengetahuan akan hubungan

kehidupan dan alam dengan Allah serta pancaran dari kekuasaan-Nya dan

ketentuan-Nya. Dengan makna yang demikian maka kita dapat

menganggap alam secara umum sebagai sesuatu yang bersifat spiritual.7

Menganggap realitas alam semesta bersifat spiritual, sebagaimana

dinyatakan di atas, bukan berarti mengingkari realitas materi. Tetapi hal ini

berkaitan erat dengan pemahaman manusia terhadap Tuhan terhubung dengan

keberadaan diri maupun alam. Pemahaman itu kemudian memengaruhi seseorang

dalam menentukan sikap terhadap alam dan kehidupan. Dari pemahaman itu

manusia menetapkan orientasi umum yang menjadi landasan dan tujuan dalam

7 Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua, h. 43.

Page 75: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

64

setiap tindakannya, yaitu Allah. Inilah karakter pandangan dunia Islam yang

Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr berbeda dari pandangan dunia Barat

khususnya falsafat materialisme. Dalam pandangan mereka, satu-satunya realitas

adalah realitas material sedangkan metafisika hanyalah takhayul belaka.

B. Tauhid dan Kebebasan

Konsekuensi dari pandangan tauhid di atas adalah munculnya kebebasan

dalam diri manusia. Dalam tauhid terkandung semangat revolusioner untuk

membebaskan manusia dari berbagai bentuk dominasi dan belenggu kekuatan

lain. Islam tidak menghendaki ketundukan dan kepasrahan terhadap apapun atau

siapa pun selain kepada Allah. Dengan demikian, kebebasan di sini bukan dalam

arti kebebasan yang seluas-luasnya yang dimiliki sepenuhnya oleh manusia

sehingga bisa berbuat apapun sesuai dengan keinginannya. Kebebasan yang

dimaksud adalah kemerdekaan seseorang dari penentuan dan penguasaan orang

lain sehingga sisi negatif kebebasan benar-benar dihilangkan.

Dasar kebebasan dalam Islam adalah tauhid di mana seseorang tunduk dan

pasrah kepada Allah. Dari ketundukan dan kepasrahan itu kemudian muncul

persamaan dalam diri manusia, yaitu sama-sama hamba Allah. Umat Islam berdiri

di atas pijakan yang sama dengan mahluk lain sebagai hamba Allah. Hal ini

ditegaskan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:

Dasar yang hakiki dari kebebasan dalam Islam adalah suatu kesatuan dan

kepercayaan dalam penyerahan yang ikhlas kepada Allah, yang di

hadapan-Nya segala kekuasaan keberhalaan dihancurkan, kekuasaan yang

menginjak martabat manusia sepanjang sejarah… Karena itu, di atas

segalanya manusia adalah hamba Allah yang tidak mengakui penyerahan

kepada apapun dan siapa pun selain kepada-Nya, atau penyerahan kepada

Page 76: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

65

hubungan keberhalaan yang bagaimanapun corak dan bentuknya.

Sebaliknya, manusia berkedudukan sama tinggi dengan segala mahluk lain

dalam penyerahannya yang ikhlas kepada Allah.8

Umat Islam yang tunduk kepada selain Allah, baik dalam bentuk

perbudakan, hegemoni, tirani dan sebagainya, berarti mengingkari keimanannya

dan karena itu dikatakan syirk. Sebab itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr,

ketika keimanan tauhid seseorang mendalam, tertancap rapat dalam hati dan

kesadarannya, maka semakin mendalam pula perasaannya akan martabat dan

kehormatannya. Ia akan semakin keras dalam menentang berbagai bentuk

eksploitasi, perbudakan, korupsi, dan semacamnya.9 Kobaran spirit pembebasan

yang terpancar dari keimanan tauhid menusuk langsung pada jantung orang Islam

yang menempatkan Tuhan sebagai sentral kehidupan, sebagai asal sekaligus

tujuan yang mengatasi segala tujuan.

Namun, Islam tidak hanya memberikan spirit pembebasan dari belenggu

orang lain saja tanpa mengeliminasi sebab-sebab terjadinya belenggu tersebut.

Dalam pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, konsep kebebasan dalam Islam

bersifat menyeluruh dan mendalam sehingga tidak terjadi kontradiksi dalam

penerapannya. Hal ini berbeda dari kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme yang

pada satu sisi mendukung kebebasan individu tetapi berakibat pada perbudakan,

eksploitasi, dominasi bahkan menghilangkan kebebasan itu sendiri.

Kondisi itu terjadi karena kebebasan dalam pandangan liberalisme-

kapitalisme diperoleh dari hasil kekuasaan diri manusia atas dirinya sendiri di

mana manusia bebas menjalankan hidupnya sesuai dengan yang diinginkan

8 Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 128.

9 Ibid, h. 129.

Page 77: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

66

(kebebasan eksklusif). Penerapan ekonomi kapitalisme hanya memanjakan para

pemilik modal saja dan menutup kesempatan kaum proletar untuk mendapatkan

hak yang sama atas kekayaan. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr jelas

kebebasan model ini bertentangan dengan kebebasan dalam Islam. Apabila

kebebasan dalam liberalisme-kapitalisme diawali oleh kekuasaan penuh manusia

atas dirinya sendiri, maka kebebasan dalam Islam diawali oleh dan didasarkan

atas kepatuhan total kepada Allah.10

Dengan demikian, agar kebebasan tidak

menjadi kata-kata kosong belaka, maka Islam dalam konsep kebebasannya

melenyapkan sebab-sebab yang menghalanginya.

1. Kemerdekaan Pribadi

Tak dapat dipungkiri bahwa kecenderungan manusia terhadap materi

merupakan akibat langsung dari hasrat, naluri atau dorongan hawa nafsunya.

Manusia terdiri dari badan dan jiwa atau tubuh dan ruh. Sebagai makhluk

biologis, manusia memunyai kebutuhan-kebutuhan sebagaimana makhluk

biologis lain seperti makan, minum, dan sebagainya. Namun, menurut

Muhammad Baqîr al-Shadr, meski manusia maupun binatang berbuat menurut

kehendaknya, garis demarkasi yang paling mendasar yang membedakan keduanya

adalah perbuatan binatang hanya didorong dan ditentukan oleh gerak naluri saja,

sementara manusia mampu menggunakan akal dan mengontrol nafsunya.11

Manusia yang hanya mengikuti hawa nafsunya akan berusaha keras dan

membabi buta untuk mendapatkan apa yang diinginkan, apapun taruhannya.

10

Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi

Barat dengan Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, h. 118. 11

Ibid, h. 119.

Page 78: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

67

Sedangkan hasrat manusia tidak terbatas dan tidak akan pernah terpuaskan.

Manusia memunyai keinginan dan kebutuhan tak terhingga karena ketika

keinginan tercapai akan muncul keinginan lagi melebihi apa yang didapatkan.

Apabila manusia hanya mengikuti hasratnya saja, maka pada posisi ini, dia

kehilangan martabat dan kehormatannya sebagai manusia dan statusnya sama

dengan binatang. Tidak hanya itu, kebebasan dalam arti kemerdekaan pun akan

terancam oleh kebebasan orang lain yang membabi buta sebagaimana terjadi

dalam hukum rimba.

Dalam kondisi itu, kebebasan tidak akan terwujud sampai kapan pun.

Maka kebebasan yang pertama kali harus ditekankan adalah kebebasan internal

manusia dari cengkraman hawa nafsunya. Manusia harus benar-benar merdeka

dari penguasaan hawa nafsunya dengan kendali kekuatan akal sehingga mampu

mengarahkan pada hal-hal yang positif. Akal mampu mengendalikan hawa nafsu

manusia menjadi suatu alat yang mengenalkan dia pada kebutuhan-kebutuhan

yang lebih bermanfaat dan bermakna. Jika tidak demikian, menurut Muhammad

Baqîr al-Shadr, sejak awal manusia sudah kehilangan kebebasannya.12

Manusia

akan diperbudak oleh hawa nafsunya yang berakibat pada perampasan kebebasan

orang lain.

Oleh sebab itu, langkah pertama yang ditempuh Islam adalah

membebaskan manusia dari perbudakan hawa nafsu dengan membangun landasan

yang kokoh, yaitu tauhid. Dengan tauhid, orang Islam tidak akan mengikuti

dorongan hawa nafsunya karena ia memandang bahwa tujuan hakiki dari

12

Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h, 134-135.

Page 79: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

68

kehidupan adalah Allah. Meski ia berada di tengah alam yang dilingkupi oleh hal-

hal material, ia tetap memunyai pandangan spiritual di mana alam dan dirinya

berada dalam satu kesatuan dengan realitas Tuhan. Hal ini dikemukakan

Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:

Ketika Islam membebaskan manusia dari perbudakan duniawi dan

kesenangan sementara, ia menghubungkannya dengan keilahian dan

keridhaan Allah. Dalam pandangan Islam, mengakui keesaan Ilahi adalah

jaminan kebebasan manusia dari semua jenis perbudakan hawa nafsu yang

pada gilirannya menjamin kebebasan dalam semua bidang lainnya.13

Langkah Islam itu dimaksudkan untuk mengantarkan manusia pada

kebebasan yang sebenarnya sehingga kebebasan benar-benar dapat terwujud.

Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, kebebasan yang memancar dari sumber lain

adalah kamuflase dan khayalan belaka yang akhirnya akan berubah menjadi

belenggu yang melumat kebebasan itu sendiri. Kebebasan dalam arti seluas-

luasnya tidak akan pernah mencapai kebebasan atau kemerdekaan meski sepintas

lalu orang dibuat terpesona dengannya. Kebebasan model ini menjanjikan

kenikmatan tetapi sekaligus menyimpan badai yang akan menghancurkan

kemerdekaan manusia.

Selanjutnya, kebebasan pribadi atau internal dari hawa nafsu pada

gilirannya akan membuat manusia mencapai kemerdekaan rohani atau konsistensi

jiwa. Kemerdekaan rohani ini merupakan infrastruktur masyarakat merdeka.

Menurutnya, orang tidak mungkin merasakan kebebasan dalam bidang sosial

apabila ia tidak menguasai kemauan dan mengontrol hawa nafsunya.14

Seseorang

yang hanya mengikuti hawa nafsunya akan melahirkan prilaku yang merugikan

13

Ibid, h. 120. 14

Ibid, h. 121-122.

Page 80: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

69

terhadap kehidupan bersama. Akibatnya, kehidupan sosial tidak akan stabil dan

tidak akan terjamin integritasnya.

2. Kemerdekaan Sosial

Setelah membebaskan manusia dari dalam, Islam kemudian membebaskan

manusia dalam bidang sosial. Kebebasan ini sebenarnya konsekuensi lebih lanjut

dari kemerdekaan pribadi di mana dasarnya adalah tauhid. Jika dengan keyakinan

tauhid manusia dapat membebaskan diri dari cengkraman hawa nafsu, maka

dalam bidang sosial, keyakinan tauhid dapat menghapus segala bentuk

penaklukan dan penindasan oleh manusia. Keyakinan tauhid menempatkan

manusia pada posisi yang sama dengan manusia lain di hadapan Allah. Menurut

Muhammad Baqîr al-Shadr, tidak ada hak yang diberikan Allah kepada suatu

bangsa untuk menaklukkan bangsa lain, eksploitasi kelompok atas kelompok lain

atau melanggar kebebasannya. Tak seorang pun diperbolehkan menjadi yang

dipertuan oleh orang lain.15

Islam tidak memberikan tempat bagi imperialisme, eksploitasi, tirani,

hegemoni, perbudakan dan sebagainya. Sebaliknya, Islam mengutuk perbuatan

tersebut dan memasukkan setiap ketundukan dan kepasrahan terhadapnya dalam

kategori syirk. Ketundukan dan kepasrahan terhadapnya sama dengan menjadikan

Tuhan selain Allah. Di sini peran sentral tauhid sangat signifikan dalam

membebaskan manusia di bidang sosial sebagaimana dalam semua dakwah Islam

lainnya. Hal ini dinyatakan Muhammad Baqîr al-Shadr bahwa:

15

Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 142-143.

Page 81: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

70

Islam dalam semua dakwahnya menggunakan tauhid sebagai senjatanya.

Ketika manusia menjadi hamba Allah maka dia membuang semua tuhan

palsu. Dengan demikian, dia tidak merasa rendah atau hina di hadapan

suatu kekuatan atau penguasa duniawi… Islam tidak saja membebaskan

manusia dari perbudakan nafsu, tetapi juga menghapus takhayul-takhayul

syirk.16

Melalui keyakinan tauhid, Islam membebaskan manusia sepenuhnya

sehingga ia benar-benar bebas dan merdeka dalam hubungannya dengan yang

lain. Pembebasan manusia dari penyembahan berhala dalam bidang sosial, baik

berhala bangsa, kelompok atau individu pada akhirnya akan semakin meneguhkan

hubungan manusia dengan Allah di atas pijakan yang kokoh. Sebuah kebebasan

yang diraih dari kepatuhan dan kepasrahan kepada Allah dan digunakan untuk

menuju kepada-Nya sebagai orientasi hidup yang paling hakiki. Kebebasan dalam

Islam tidak digunakan untuk mengikuti hawa nafsu sehingga penggunaannya

tidak terkendali. Di atas segalanya, Allah menjadi pusat segala tindakan manusia

sehingga kebebasan pun harus beroperasi dari dan dalam bingkai ini, baik dalam

bidang politik, ekonomi, sosial dan sebagainya.

Dalam bidang politik, kebebasan didasarkan pada keimanan kepada Allah

sebagaimana kebebasan yang lain. Karena itu, kekuasaan dan kedaulatan hanya

milik Allah. Dialah yang berhak untuk mengatur kehidupan manusia. Semua

anggota masyarakat memiliki tanggung jawab yang sama untuk melaksanakan

perintah-Nya. Hasil kesamaan ini adalah manusia merdeka dari dominasi orang

lain, semua jenis eksploitasi politik, kekuasaan despotik, dan kekuasaan kelas.

Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam tidak mengakui suatu bentuk politik yang

membolehkan seorang individu atau kelompok mendominasi dan menguasai

16

Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 123.

Page 82: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

71

individu atau kelompok lain. Karena menurutnya, hal itu menyangkal kesamaan

semua anggota masyarakat dalam memegang amanah Allah. Muhammad Baqîr al-

Shadr mengungkapkan:

Landasan pemerintahan Islam pertama adalah kekuasaan mutlak (absolut)

milik Allah. Penjelasan atas kebenaran ini merupakan revolusi besar yang

dirintis oleh para nabi yang berjuang demi pembebasan manusia dari

perbudakan manusia lain. Kedaulatan Allah berarti bahwa manusia itu

merdeka. Manusia secara individual maupun kelas atau kelompok tidaklah

memiliki kekuasaan dan otoritas yang utama terhadap dirinya. Kekuasaan

dan kedaulatan mutlak dan eksklusif adalah milik Allah.17

Dalam bidang ekonomi, manusia memiliki hak untuk memiliki sesuatu dan

mengupayakan keinginan dan kebutuhannya. Akan tetapi, kebebasan di sini

bukanlah kebebasan yang seluas-luasnya sehingga kebebasan seseorang

berpotensi mengancam dan menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan

hak yang sama. Di sini, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam

menyelaraskan kebebasan ekonomi dengan keamanan ekonomi, memadukannya

dalam suatu struktur yang terpadu. Manusia memiliki kebebasan ekonomi tetapi

dalam batas-batas tertentu. Batasan itu adalah keamanan ekonomi individu

lainnya dan kesejahteraan umumnya.18

Kebebasan ekonomi dibolehkan selama

tidak mengancam kebebasan dan kesejahteraan orang lain. Kebebasan ekonomi,

sebagaimana dalam politik, juga berlandaskan pada tauhid sehingga tidak ada hak

kepemilikan penuh atau eksklusif dalam Islam. Sebaliknya, Islam memberikan

jaminan atau keamanan bagi individu yang kurang beruntung untuk mendapatkan

hak yang sama dengan lainnya.

17

Muhammad Baqîr al-Shadr, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, h. 101-102. 18

Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, h. 151.

Page 83: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

72

Jaminan keamanan itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, adalah

menjadi tanggung jawab pemerintah agar semua penduduk hidup layak dan

terhormat. Untuk tujuan ini, dana dapat dikumpulkan dari kekayaan negara,

sumber pendapatan umum, dan anggaran belanja negara.19

Negara dapat

mengambil pajak atau zakat dari pendapatan individu sebagai pendapatan umum.

Pajak dan zakat itu didistribusikan secara adil kepada orang-orang yang kurang

beruntung untuk memberikan jaminan keamanan ekonomi pada mereka. Zakat

merupakan bentuk solidaritas sosial antar sesama di mana orang Islam yang satu

dengan Islam lainnya diikat oleh tali persaudaraan keimanan sebagaimana

diperintahkan oleh agama.

Dalam kehidupan sosial, khususnya berkaitan dengan kebebasan

berpendapat, juga ditekankan dalam Islam. Kebebasan berpendapat menunjukkan

adanya kebebasan berpikir. Namun, karena berlandaskan kepada tauhid,

kebebasan berpikir dibolehkan selama tidak bertentangan dengan keyakinan

tauhid. Selain itu, menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam tidak menghendaki

pendapat yang berasal dari prasangka yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Setiap pendapat harus memunyai argumentasi rasional dan bersifat akademik

sehingga bisa diuji dan dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal ini penting

dilakukan agar manusia tidak jatuh dalam fanatisme buta, takhayul serta

melindungi manusia dari penyalahgunaannya.20

Penyalahgunaan kebebasan

berpikir seringkali terjadi ketika manusia mengikuti dorongan hawa nafsu dan

kepentingannya dengan melakukan pembenaran atas tindakannya.

19

Ibid, h. 157. 20

Ibid, h. 153.

Page 84: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

73

C. Tauhid dan Keadilan

Konsekuensi lain dari pandangan Tauhid di atas adalah adanya dorongan

atau keharusan berbuat keadilan dalam diri manusia dalam berhubungan dengan

sesama. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, manusia sebagai mahluk Allah

memunyai kewajiban untuk menjalankan perintah-Nya seperti diajarkan risâlah

Nabi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah dan kembalinya manusia

kepada-Nya di akhirat. Kehidupan akhirat menjadi tempat ditegakkannya keadilan

oleh Hakim Maha Adil yang akan mengakhiri segala konflik dan persoalan di

dunia. Oleh karena itu, manusia harus berbuat adil di dunia karena setiap perilaku

dan tindakannya akan dimintai pertanggungjawaban dan akan diberikan ganjaran

atau balasan. Inilah jaminan keadilan, kebaikan, dan kebenaran dalam Islam.

Banyak definisi tentang keadilan seperti yang telah dikemukakan oleh para

pemikir dalam kajian falsafat moral. Bahkan diskursus mutakhir falsafat politik

bermuara pada masalah ini sesuai dengan kecenderungan dasar pemikir

bersangkutan. Namun setiap definisi tentang keadilan selalu terjebak pada

persoalan yang sama, yaitu pembatasan atau penyempitan keadilan itu sendiri.

Sementara, keadilan merupakan wilayah yang sangat luas, kompleks bahkan

tersembunyi --karena berkenaan dengan nilai-- sehingga nyaris tak dapat

didefinisikan. Pada posisi ini, menentukan atau menunjuk ketidakadilan relatif

lebih mudah daripada mendefinisikan keadilan. Oleh sebab itu, kebanyakan para

pemikir lebih berkonsentrasi pada prinsip-prinsip yang menentukan terwujudnya

keadilan ketimbang mendefinisikannya.

Page 85: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

74

Dalam al-Qur‟ân, tidak ada definisi yang komprehensif mengenai keadilan

kecuali hanya disebutkan kata adil („adl) saja. Hal ini menuntut penelusuran lebih

jauh untuk mengetahui keadilan dan penerapannya dalam konteks kehidupan

bermasyarakat. Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, intuisi dan pikiran dapat

mengetahui nilai-nilai umum yang akan memerintah setiap tindakan seseorang.

Melalui itu, perilaku benar dan salah, baik dan buruk dapat ditemukan, demikian

pula dengan keadilan. Ia menyatakan:

Ini (nilai-nilai umum yang diperoleh dari intuisi dan pikiran) adalah nilai-

nilai yang menegaskan bahwa keadilan adalah kebenaran dan kebaikan,

dan perbuatan salah (ketidakadilan) adalah batil dan jahat. Kami juga

percaya bahwa barang siapa yang berurusan secara adil dengan orang lain

layak dihormati dan dipuji dan barang siapa yang berbuat kesalahan dan

pengkhianatan layak mendapat sebaliknya.21

Menurutnya, intuisi dan pikiran sangat penting dalam mengarahkan

perilaku manusia dengan benar. Selama manusia mengikutinya maka selama itu

pula perilakunya akan benar, kecuali ada rintangan seperti ketidaktahuan atau

sengaja melanggar nilai itu demi keuntungan pribadi. Selama tidak ada rintangan

itu, ketika manusia dihadapkan pada pilihan antara kebenaran dan kesalahan,

kebaikan dan keburukan, maka intuisi dan pikiran dia akan memilih kebenaran

dan kebaikan.22

Dengan kata lain, seseorang akan berbuat adil bila tidak ada motif

pribadi yang membuatnya melanggar nilai-nilai keadilan itu.

Namun, meski secara intuitif seseorang memunyai kecenderungan untuk

berbuat adil serta mampu merasakan dan menilai perilaku mana yang adil dan

tidak, untuk mewujudkan keadilan bukanlah perkara mudah. Di sinilah

21

Muhammad Baqîr al-Shadr, The Revieler, the Messanger, the Message, h. 98. 22

Ibid, h. 99.

Page 86: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

75

dibutuhkan prinsip yang menjadi syarat bagi keadilan, yaitu prinsip persamaan.

Prinsip ini harus menjadi landasan dalam kehidupan sosial baik dalam bidang

politik, ekonomi, dan sebagainya. Tanpa persamaan, tidak mungkin keadilan akan

terwujud, karena dalam keadilan terkandung nilai-nilai persamaan. Nilai ini

menyatakan bahwa setiap orang adalah sama dalam hak dan kewajibannya.

Menurut Muhammad Baqîr al-Shadr, Islam sangat menjunjung tinggi

persamaan. Islam tidak mengenal adanya diskriminasi dalam memandang dan

memerlakukan umatnya. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari pandangan

tauhid di mana di hadapan Allah semuanya adalah sama, yaitu sebagai hamba

Allah.23

Tidak ada individu, kelompok, atau bangsa yang lebih tinggi derajat dan

kelasnya sehingga dapat mengeksploitasi, menjajah, dan menundukkan yang lain.

Bahkan Islam mengutuk tindakan tersebut serta menegaskan bahwa kepatuhan

terhadap perbuatan itu adalah syirk. Di hadapan Allah, sistem kelas seperti

proletar dan borjuis, budak dan bangsawan, rakyat dan pemimpin, dan sebagainya

adalah sama. Dengan demikian, semua orang memiliki hak yang sama yaitu hak

untuk hidup, hak atas kebebasan, dan hak atas kekayaan.

Hak untuk hidup berarti setiap orang berhak untuk menjalankan

kehidupan. Tak ada seorang pun yang dibolehkan mengganggu, menentukan atau

bahkan merenggut kehidupan orang lain kecuali Allah. Sebagaimana dijelaskan di

atas, Allah adalah Pencipta yang memunyai hak penuh atas ciptaan-Nya

sedangkan manusia tidak memiliki hak apa-apa kecuali kewajiban terhadap

Pencipta. Oleh karena itu, seseorang berhak menjalankan kehidupan sesuai

23

Muhammad Baqîr al-Shadr, Keunggulan Ekonomi Islam, h. 114.

Page 87: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

76

dengan yang telah dikehendaki dan diperintahkan oleh Allah. Inilah yang

membedakan Islam dari liberalisme yang berpandangan bahwa seseorang berhak

menjalankan kehidupan sesuai dengan yang diinginkan. Hak dalam liberalisme

adalah hak eksklusif di mana manusia secara otonom memiliki dan menguasai

hidupnya. Sedangkan dalam Islam, tidak ada hak penuh atau eksklusif yang

dimiliki oleh seseorang karena pemilik dan penguasa absolut atas segala sesuatu

hanyalah Allah.

Demikian pula dengan hak atas kebebasan. Setiap orang memiliki hak atas

kebebasan selama kebebasan itu tidak bertentangan dengan keyakinan tauhid.

Selama seseorang beroperasi dalam bingkai ini, maka tidak ada seorang pun yang

diperkenankan mengekang kebebasan orang lain. Sementara hak kebebasan atas

kekayaan menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk memiliki sesuatu

berkaitan dengan harta kekayaan, sebab sudah menjadi kodrat manusia untuk

cenderung memiliki sesuatu atas hasil kerja dan usahanya. Namun kepemilikan di

sini, sebagaimana hak lainnya, tidak bersifat eksklusif dan absolut.

Dari hak-hak tersebut, keadilan harus ditegakkan dengan cara tidak

membeda-bedakan hak orang yang satu dengan yang lainnya sehingga tidak ada

yang merasa dizhalimi. Setiap orang dijaga dan dilindungi haknya dan setiap

orang berkewajiban menjaga dan menghormati hak orang lain. Walaupun

demikian, dalam praktiknya, prinsip persamaan ini tidak serta merta terwujud

tanpa persoalan. Persoalan paling mencolok terjadi dalam hak atas kekayaan

dalam bidang ekonomi. Tidak mungkin menerapkan prinsip persamaan bagi

seseorang yang tidak beruntung secara alamiah seperti cacat sejak lahir yang

Page 88: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

77

membuatnya tidak mampu memaksimalkan haknya. Demikian juga tidak

mungkin menerapkan prinsip itu bagi orang-orang yang lahir dalam keadaan

miskin dengan membiarkannya terlantar begitu saja. Maka dari itu, menurut

Muhammad Baqîr al-Shadr, hak dan kebebasan ekonomi harus dibarengi dengan

keamanan ekonomi.24

Keamanan ekonomi masuk dalam masalah jaminan sosial yang dijelaskan

Muhammad Baqîr al-Shadr dalam perbedaannya dari sosialisme atau Marxisme.

Pertama, jaminan dalam Islam adalah salah satu hak manusia yang diperoleh dari

dan diwajibkan oleh Allah. Karena itu, tidak ada perbedaan menurut keadaan atau

kedudukan warga negara. Sementara jaminan sosial menurut Marxisme lebih

menyerupai hak mesin daripada hak manusia. Apabila mesin produksi telah

mencapai titik tertentu maka jaminan sosial menjadi syarat esensial untuk

pertumbuhannya dan peningkatan produksinya. Bila kekuatan-kekuatan produksi

belum mencapai ini maka ide tentang jaminan sosial tidak berarti apa-apa.

Kedua, konsep jaminan sosial erat kaitannya dengan persaudaraan dalam

Islam. Menurutnya, persaudaraan dalam Islam merupakan suatu kerangka yang

melaksanakan peranan jaminan sosial dalam masyarakat. Islam menggambarkan

bahwa Muslim yang satu adalah saudara bagi Muslim lainnya. Dia tidak boleh

menyakiti saudaranya, merampas haknya, dan tidak menolak memberikan

pertolongan kepadanya. Persaudaraan Islam mengimbau agar umat Islam saling

bekerja sama dan saling membantu orang-orang yang kurang beruntung.

Sementara, Marxisme memandang jaminan sosial hanya dapat dicapai melalui

24

Ibid, h. 129.

Page 89: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

78

perjuangan kelas dengan cara menghasut kebencian dan memertentangkan kelas,

yaitu proletar dan borjuis. Ketika perjuangan itu berhasil dengan terwujudnya

masyarakat komunis, baru jaminan sosial dapat diterapkan.25

Ketiga, jaminan sosial, sebagai hak asasi manusia, tidak memberikan

perbedaan antara kelompok atau kelas tertentu dari yang lainnya. Ia bahkan

menekankan pada orang-orang yang sama sekali tidak mampu untuk mengambil

bagian dalam hal produksi. Orang-orang itu dijamin dalam naungan masyarakat

Islam. Dalam hal ini, negara harus memberikan sarana untuk mencapai nafkah

bagi mereka. Sementara itu, Marxisme tidak menyinggung masalah jaminan itu

bagi orang-orang yang tidak mampu yang hidup di luar perjuangan kelas. Bahkan,

dalam konsep keadilannya, Marxisme tidak mendistribusikan sarana dan hasil

produksi bagi orang-orang yang tidak mampu.

Keempat, jaminan sosial dalam Islam merupakan tanggung jawab individu

dan negara. Sementara dalam Marxisme, jaminan sosial hanya menjadi tanggung

jawab negara saja. Oleh karena itu, Islam meletakkan dua prinsip yaitu prinsip

kerja sama dan prinsip jaminan sosial. Prinsip kerja sama berarti bahwa setiap

orang Muslim bertanggung jawab untuk memberikan nafkah kepada orang lain

sesuai dengan kemampuannya. Kaum Muslim harus menerapkan prinsip ini

bahkan dalam keadaan tidak ada negara sekalipun yang melaksanakan perintah

legislatif itu. Sedangkan prinsip jaminan sosial menjadi tanggung jawab negara

25

Muhammad Baqîr al-Shadr, Manusia dan Problema Masa Kini, h. 155-156.

Page 90: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

79

yang harus menjamin kemakmuran semua warga negara. Untuk tujuan ini, dana

dapat dikumpulkan dari kekayaan negara, sumber pendapatan umum, dan pajak.26

Jadi, persamaan hak atas kekayaan dipadukan dengan jaminan sosial.

Seseorang bebas mengupayakan kekayaan selama tidak mengganggu dan

menutup kesempatan orang lain untuk mendapatkan hak yang sama. Terhadap

orang-orang yang kurang beruntung, Islam memberikan kompensasi agar haknya

tetap terjaga sehingga bisa mengupayakan dan menikmati kekayaan. Jaminan itu

menggambarkan tidak adanya kepemilikan eksklusif atas kekayaan karena segala

sesuatu hanya milik Allah semata. Islam tidak mengenal persaingan yang

mengarah kepada eksploitasi atau merugikan orang lain. Persaingan hanya

dibolehkan untuk tujuan mencapai ridha Allah semata.

D. Tauhid dan Tujuan Sistem Sosial

Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, tujuan sistem sosial adalah

tercapainya kehidupan yang sejahtera, adil, makmur, dan bahagia. Untuk tujuan

ini, tauhid memunyai peranan signifikan sebagai landasan hidup yang

mengarahkan prilaku manusia. Keyakinan tauhid membentuk pandangan dunia

seseorang sehingga setiap tindakannya mencerminkan nilai-nilai keyakinan ini.

Bagi Muhammad Baqîr al-Shadr, tauhid adalah jendela untuk melihat dunia.

Nilai-nilai tauhid harus mewarnai seluruh ranah kehidupan sehingga eksistensi

Islam dapat berdiri tegak dan kokoh.

26

Ibid, 157.

Page 91: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

80

Menurutnya, Allah tidak menginginkan seorang Muslim hanya

menunjukkan ketundukan pribadi kepada-Nya. Tetapi lebih dari itu, ia

menginginkan orang Muslim menjadi satu faktor berdirinya eksistensi Islam yang

memiliki karakter penyerahan dan ketundukan terhadap Sang Pencipta.

Kemudian, Umat Islam dituntut untuk bersatu di bawah eksistensi itu. Tauhid

menjadi kaidah utama yang paling pokok dan esensial dari eksistensi Islam untuk

mewujudkan tujuan dari sistem sosial. Dia menyatakan:

Kaidah utama adalah sesuatu yang pokok dan esensial dari setiap

masyarakat yang menginginkan dari keberadaannya suatu komitmen dan

kekekalan serta bertujuan untuk mencapai kesejahteraan, kebahagiaan, dan

kemuliaan. Karena kaidah utama adalah penggerak yang bersumber dari

hati dan akan mengembangkan masyarakat menuju kehidupan. Kaidah

inilah yang menjaga kesatuan masyarakat dan kesolidannya. Ia menjadi

titik tolak dari setiap perbuatan. Ia merupakan unsur yang menempati

sentral penjagaan dari penyimpangan dan kemunduran masyarakat.27

Dalam pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, eksistensi Islam yang

berdiri di atas keimanan dan keyakinan kepada Allah, penyerahan dan ketundukan

kepada-Nya serta penyerahan kepemimpinan praktis di tangan-Nya adalah

eksistensi satu-satunya yang dapat melaksanakan peranan kemanusiaan, menjamin

kebahagiaan, kemuliaan, dan kesejahteraan sosial. Hal ini disebabkan dalam

eksistensi Islam tidak ada nilai-nilai yang bertentangan dengan fitrah dan naluri

manusia. Islam adalah agama kemanusiaan yang mampu mengakui dan

mengafirmasi fitrah manusia. Islam tidak mengubah fitrah tersebut dan tidak

mengingkarinya. Islam sangat memuliakan kemanusiaan dalam segenap

dimensinya.28

27

Muhammad Baqîr al-Shadr, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, h.

123-124. 28

Ibid, h. 76.

Page 92: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

81

Islam juga merupakan agama yang tidak menentang kecenderungan naluri

manusia. Sebaliknya, ia menyediakan ruang untuk mengekspresikannya. Sikap

Islam terhadap naluri sangatlah positif karena ia merupakan kekuatan hewani

yang tanpanya suatu aktivitas atau gerakan akan musnah. Naluri mendorong dan

menyempurnakan gerakan menjadi syarat internal dari prilaku manusia.29

Namun

demikian, Islam juga menekankan pentingnya memenuhi kebutuhan spiritual

dalam diri manusia. Spiritualitas pasti cenderung kepada kebahagiaan dan

ketenangan sehingga manusia tidak merasa miskin di tengah keberlimpahan

materi. Dengan spiritualitas, manusia memiliki nilai dan tujuan dalam hidupnya

serta mampu memberi makna pada kekayaan yang dimilikinya.

Dalam eksistensi Islam, terpancar prinsip-prinsip kebebasan, keadilan dan

persamaan yang menjadi landasan etis prilaku manusia dalam kehidupan sosial.

Demikian pula dengan struktur dan institusi sosial. Setiap keputusan dan

kebijakan yang dilahirkan baik dalam bidang hukum, ekonomi, politik, dan

sebagainya berlandaskan pada prinsip-prinsip itu. Sistem sosial Islam (eksistensi

Islam) mengatur masyarakat secara adil sehingga tercipta stabilitas dan integritas

serta tatanan kehidupan yang harmonis, makmur, dan sejahtera. Di sini peran

negara sangat besar sekali dalam mengupayakan cita-cita sistem sosial. Negara

bukan sekedar penjaga malam yang hanya melindungi kebebasan individu

sebagaimana dalam liberalisme-kapitalisme. Negara juga bukanlah monster

menakutkan yang mengawasi dan melumat kebebasan individu seperti dalam

sosialisme-komunisme.

29

Ibid, h. 80.

Page 93: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

82

Sistem sosial Islam tidak menentang kebebasan individu tetapi juga tidak

menghapus kepemilikan pribadi. Sistem sosial Islam meletakkan kebebasan itu

serta hal-hal lainnya dalam bingkai tauhid. Karena itu, sistem sosial Islam disebut

Muhammad Baqîr al-Shadr sebagai sistem langit yang akan mewujudkan cita-cita

kehidupan manusia.

Islam bukanlah undang-undang positif yang terbatas bidangnya dalam

zaman dan tempat, juga bukan buatan manusia yang memiliki wawasan

dan tujuan yang terbatas. Namun, Islam adalah sistem langit yang

diwahyukan dari sisi Allah, pencipta manusia dan dunia dengan segala hal

yang membawa manfaat bagi manusia… Manusia tidak akan mampu

memerbaiki kehidupan kecuali dengan Islam, dengan sistem dan undang-

undangnya.30

Menurutnya, tidak ada nilai-nilai yang lebih tinggi yang sesuai dengan

seluruh aspek kehidupan manusia serta menjamin kebahagiaan dan stabilitasnya

selain eksistensi Islam. Dalam eksistensi itu terdapat nilai-nilai luhur yang

mengarahkan manusia pada cita-cita hidup, baik di dunia maupun di akhirat.

Tercapainya tujuan kehidupan inilah yang diupayakan dari sistem sosial Islam.

Bila eksistensi Islam berhasil tegak dalam kehidupan umat, maka cita-cita sistem

sosial akan terwujud.

E. Catatan Kritis

Pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr memberikan harapan besar bagi

terwujudnya tujuan sistem sosial. Sebuah tujuan yang selama ini diupayakan

dalam perjalanan panjang sejarah kehidupan manusia, yaitu kehidupan yang adil,

makmur, sejahtera, dan bahagia. Ideal-ideal sosial itu akan tercapai bila suatu

30

Ibid, h. 73.

Page 94: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

83

sistem dibangun di atas fondasi yang kokoh yang di dalamnya berdiri eksistensi

Islam. Di bawah naungan eksistensi itu, ketimpangan sosial, kemiskinan, patologi

dan krisis sosial lain akan terhapuskan. Pemikirannya yang konstruktif, kritis dan

mendalam membuat dia layak ditempatkan sebagai pemikir modern Islam

terkemuka.

Namun demikian, sebagaimana layaknya pemikir lain, pemikirannya

bukan berarti tanpa kelemahan. Setidaknya, ada dua hal yang menjadi catatan

kritis penulis dari pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr berkenaan dengan peran

tauhid dalam menciptakan sistem sosial ideal. Pertama, mengenai akseptabilitas

sistem sosial Islam. Menempatkan tauhid sebagai landasan bagi sistem sosial

berarti mengkhususkan sistem sosial itu pada masyarakat Islam saja. Sedangkan

dalam masyarakat atau negara plural seperti Indonesia, sistem sosial itu tidak

dapat diterapkan. Eksistensi Islam, sebagaimana dikemukakan dengan tegas oleh

Muhammad Baqîr al-Shadr, tidak dapat terwujud bila dalam suatu masyarakat

masih ada yang tidak mengakui kaidah tauhid.

Di samping itu, masyarakat non-Muslim akan merasa keberatan bila tauhid

dijadikan landasan bagi sistem sosial. Hal ini disebabkan mereka memunyai

keyakinan dan nilai-nilai kepercayaan tersendiri yang berbeda dari umat Islam.

Walaupun Islam memiliki misi global dan universal sebagai rahmat bagi seluruh

alam, Islam tetap dipandang berdiri di tengah perbedaannya terhadap agama lain.

Oleh karena itu, sistem sosial Islam hanya terbatas pada masyarakat Islam saja

dan tidak dapat diterapkan kepada masyarakat secara global.

Page 95: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

84

Kedua, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr terkesan ambisius dengan

nuansa ideologis untuk menegakkan eksistensi Islam pada masyarakat Muslim.

Padahal umat Islam sendiri berbeda-beda pandangan dalam melihat nilai ajaran

Islam. Meski berkeyakinan sama, pandangan dunia mereka bisa berbeda-beda

antara satu sama lainnya. Muhammad Baqîr al-Shadr menempatkan Islam sebagai

pandangan dunia yang kemudian diletakkan dan diperjuangkan dalam bingkai

ideologis. Sementara, terdapat kalangan Muslim lain yang melihat Islam sebagai

agama saja, bukan ideologi politik, ekonomi, dan sosial. Munculnya berbagai

aliran pemikiran dan kepercayaan dalam Islam menjadi potret perbedaan ini.

Selain perbedaan pandangan, hal lain yang menjadi kendala dari

pemikirannya adalah realitas umat Islam yang tidak sepenuhnya memahami peran

sentral tauhid dalam kehidupan. Berdirinya eksistensi Islam tidak hanya menuntut

negara dan institusi sosial berlandaskan atas tauhid. Lebih dari itu, semua elemen

masyarakat harus menegakkan nilai Islam (tauhid) dalam diri dan seluruh dimensi

hidupnya. Budaya masyarakat harus mencerminkan nilai itu. Sementara, orang

Islam belum tentu memahaminya apalagi menginternalisasi nilai-nilai itu dalam

kesadarannya. Tidak adanya kesatuan pandangan dunia serta pemahaman dan

kesadaran terhadap nilai itu menjadi kendala bagi eksistensi Islam. Di sinilah

pandangan Muhammad Baqîr al-Shadr, menurut penulis, terkesan ambisius.

Akan tetapi, sekalipun mengandung kelemahan, pemikiran Muhammad

Baqîr al-Shadr sangat bermanfaat dan patut ditulis serta dibaca oleh khalayak.

Pandangannya yang kritis dan konstruktif dapat menyentakkan kesadaran manusia

pada umumnya dan umat Islam khususnya, akan sistem sosial yang ada serta

Page 96: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

85

kebutuhan suatu sistem yang dapat mengantarkan manusia pada cita-cita

kehidupan. Sistem sosial yang ada selama ini tidaklah cukup sempurna dan

mampu menjamin manusia mewujudkan tujuannya. Terdapat banyak persoalan

dalam sistem itu, baik dalam liberalisme maupun sosialisme. Persoalan itu

menjadi batu sandungan tersendiri yang menggagalkan tujuan dari sistem tersebut.

Oleh sebab itu, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr tentang kebebasan, keadilan

dan persamaan menjadi terobosan baru sekaligus solusi brilian bagi persoalan

yang dihadapi sistem sosial.

Bagi umat Islam, pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr dapat membuka

cakrawala pengetahuan dan kesadaran terhadap keimanan. Pemikirannya yang

mendalam tentang tauhid menunjukkan dengan tegas bahwa keimanan tidak

sebatas percaya saja tanpa memahami dan mengimplementasikannya dalam

kehidupan. Sebaliknya, tauhid harus benar-benar terpatri dalam keyakinan umat

Islam sebagai landasan tindakan sehingga eksistensi Islam dapat berdiri tegak di

jagad raya ini. Tanpa itu, apapun yang dilakukan oleh umat Islam seperti

penerapan syari„ah Islam secara legal formal dalam konteks negara, hanya akan

sia-sia belaka.

Melalui pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr, kita dapat mengetahui

bahwa Islam bukanlah agama yang dipaksakan. Tegaknya eksistensi Islam bukan

karena aturan formal negara melainkan melalui proses simultan antara keyakinan

dan implimentasi keyakinan itu dalam seluruh ranah kehidupan sosial, budaya,

politik, hukum, ekonomi, dan sebagainya. Selama hal ini belum tercapai, maka di

negara Islam sekalipun eksistensi Islam tidak akan pernah berdiri tegak serta tidak

Page 97: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

86

akan berhasil mewujudkan tujuan sistem sosial. Membangun eksistensi Islam

bukan dari struktur politik dan kekuatan pemerintahan, tetapi pertama kali harus

dimulai dari manusia yang ada di dalamnya.

Page 98: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

87

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah menelusuri secara singkat dan padat pemikiran Muhammad Baqîr

al-Shadr di bab-bab terdahulu, pada bagian ini sudah saatnya penulis menarik

kesimpulan dari gagasannya mengenai peran tauhid dalam menciptakan sistem

sosial ideal. Dari eksplorasi itu, dapat disimpulkan bahwa tauhid sangat besar

sekali peranannya sebagai landasan sistem sosial yang akan mengarahkan

masyarakat mencapai tujuan hidupnya. Di dalam tauhid, terdapat nilai-nilai yang

menjadi prinsip tindakan bagi individu dan masyarakat beserta institusi sosial

dalam mengambil keputusan dan kebijakan. Nilai-nilai itu meliputi kebebasan,

keadilan dan persamaan. Ketika keyakinan tauhid beserta nila-nilai itu

diinternalisasi dan diaktualisasikan secara total dalam seluruh kehidupan, maka di

sanalah akan berdiri eksistensi Islam. Bila hal ini berhasil ditegakkan, maka

sistem sosial akan mencapai tujuannya, yaitu kehidupan yang adil, makmur,

sejahtera, dan bahagia baik di dunia maupun di akhirat.

Dalam seluruh tulisannya, Muhammad Baqîr al-Shadr menekankan

pentingnya tauhid dalam seluruh ranah kehidupan. Tauhid menjadi titik sentral

pemikiranya ketika berbicara masalah politik, ekonomi, dan sebagainya. Dia

yakin bahwa dengan tauhid sistem sosial akan mencapai tujuan yang

diperjuangkan selama ini. Hanya sistem sosial yang berlandaskan pada tauhid

(sistem sosial Islam) yang mampu mewujudkan tujuan itu. Sedangkan sistem

sosial lain seperti liberalisme-kapitalisme dan sosialisme-komunisme tidak akan

87

Page 99: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

88

pernah mencapainya karena mengandung banyak persoalan dan kelemahan.

Kompilasi persoalan itu terletak pada pandangan yang diusung oleh kedua sistem

bersangkutan seperti kebebasan dan masyarakat komunis. Dalam kedua sistem itu

tidak akan terwujud keadilan sebagai salah satu prinsip yang akan mengantarkan

manusia pada cita-cita kehidupan.

Keyakinan Muhammad Baqîr al-Shadr cukup kuat dan mendalam yang

kemudian ia perjuangkan dalam sebuah gerakan sosial politik Syî‘ah di Irak.

Keyakinan itu menyatu dalam aliran darahnya bersamaan dengan keyakinannya

kepada Allah. Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Muhammad Baqîr al-

Shadr melihat sistem sosial Islam sebagai sistem langit di mana manusia

berkewajiban untuk menegakkannya. Sebuah sistem yang tidak bertentangan

dengan fitrah dan kodrat manusia kapan pun dan di mana pun. Sistem yang

mengafirmasi kepentingan individu dan menciptakan kesejahteraan bagi

kehidupan bersama.

Sistem sosial yang mampu mewujudkan cita-cita kehidupan, individu

maupun masyarakat, adalah sistem ideal yang selama ini diupayakan dalam

sejarah panjang kehidupan manusia. Dinamika sosial menunjukkan upaya ini

dengan pergulatan yang masing-masing berbeda dari setiap zaman, tempat dan

waktu. Pergulatan yang mengurai darah dan air mata, tangis dan tawa bahkan tak

jarang nyawa manusia menjadi taruhannya. Seluruh energi manusia terkuras oleh

upaya itu demi kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera. Menurut Muhammad

Baqîr al-Shadr, sistem yang dapat mewujudkan itu adalah sistem sosial Islam di

mana tauhid menjadi landasan dasarnya.

Page 100: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

89

Terlepas dari kelemahannya, bagi penulis, pemikiran Muhammad Baqîr al-

Shadr cukup konstruktif dalam membangun sistem sosial ideal. Pandangannya

tentang kebebasan, keadilan dan persamaan yang lahir dari keyakinan tauhid

merupakan terobosan baru yang menjadi solusi segar bagi persoalan sistem sosial.

Pandangan itu dapat dijadikan prinsip-prinsip nilai bagi tindakan individu maupun

struktur dan institusi sosial dalam mengambil kebijakan. Sedangkan eksistensi

Islam sebagai kerangka dan bentuk ideal sistem sosial Islam, menurut penulis,

akan menemui beberapa hambatan terutama di negara plural dengan pandangan

dan keyakinan yang berbeda-beda. Hambatan itu muncul karena kerangka dan

bentuk sistem sosial Islam menuntut keyakinan serta pandangan yang sama dari

seluruh individu dalam masyarakat.

B. Saran-saran

Di penghujung studi ini, perlu kiranya penulis memberikan saran-saran

berkenaan dengan pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr khususnya tentang

tauhid dan perannya dalam menciptakan sistem sosial Islam. Saran yang utama

adalah tauhid merupakan keyakinan pokok umat Islam terhadap Allah yang Maha

Esa di mana segala sesuatu bergantung pada-Nya. Terhadap-Nya segala sesuatu

bergantung dan berserah diri. Dari keyakinan tauhid ini kemudian lahir nilai-nilai

yang dijadikan pandangan dunia umat Islam. Meski demikian, sistem sosial

adalah wilayah yang sangat luas yang meliputi kehidupan politik, ekonomi,

budaya, dan sebagainya.

Page 101: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

90

Oleh karena itu, untuk melihat peranan tauhid dalam menciptakan sistem

sosial ideal memerlukan kajian komprehensif, mendalam, dan kritis. Kajian itu

menuntut penelusuran lebih jauh terhadap pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr.

Apalagi, tidak ada karya yang secara spesifik dan utuh dalam bentuk buku

tersendiri dari Muhammad Baqîr al-Shadr yang membahas peranan tauhid bagi

terciptanya sistem sosial ideal. Butuh ketelitian dan konsistensi dari peneliti yang

berkonsentrasi pada tema kajian pemikiran bersangkutan. Maka, penulis

mengharapkan ada peneliti yang mengaji lebih komprehensif dan lebih baik lagi

terhadap pemikiran Muhammad Baqîr al-Shadr.

Allah a‘lam bi al-shawâb

Page 102: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

91

DAFTAR PUSTAKA

Bakar, Osman, Tauhid & Sains: Esai-esai tentang Sejarah dan Filsafat Sains

Islam, terjemahan Yuliani Liputo. Bandung: Pustaka Hidayah, 1994.

Engels, Frederick, Anti-Duhring: Revolusi Herr Eugen Duhring Dalam Ilmu

Pengetahuan, terjemahan Oey Hay Djoen. Bandung: Hasta Mitra &

Ultimus, 2005.

Departemen Agama RI, Al-Qur’ân al-Karîm. Semarang: PT. Karya Thaha Putra,

1999.

Fâruqî, Ismâ„il Râji, Tauhid, terjemahan Rahmani Astuti. Bandung: Pustaka,

1988.

Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta:

Gramedia, 2004.

Hodgson, Marshall, The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban

Dunia, jilid I, terjemahan Mulyadhi Kartanegara. Jakarta: Paramadina,

2002.

Johnson, Doyle Paul, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, Jilid I, terjemahan M.Z.

Lawang. Jakarta: Gramedia, 1994.

Kartanegara, Mulyadhi, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam.

Tangerang: UIN Jakarta, 2003.

Kymlicka, Will, Pengantar Filsafat Politik Kontemporer: Kajian Khusus atas

Teori-teori Keadilan, terj. Agus Wahyudi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2004.

Leahy, Louis, Filsafat Ketuhanan Kontemporer. Yogyakarta: Kanisius, 1993.

Marx, Karl, dan Freidrich Engels, The Communist Manifesto. London: Penguin

Book, 1967.

Muthahharî, Murtadhâ, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, terjemahan Ibrahim Husain

al- Habsyi dkk. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.

Shadr, Muhammad Baqîr, Falsafatunâ, terjemahan M. Nur Mufid bin Ali.

Bandung: Mizan, 1991.

-------, Manusia Masa Kini dan Problema Sosial, terjemahan M. Hashem.

Bandung: Pustaka, 1984.

91

Page 103: PERAN TAUHID DALAM MENCIPTAKAN SISTEM …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/3842/1/MOHALLI... · tauhid (pengesaan Tuhan). ... akan pernah tercapai kecuali di bawah

92

-------, Sistem Politik Islam: Sebuah Pengantar, terjemahan Arif Mulyadi. Jakarta:

Lentera, 2001.

-------, Keunggulan Ekonomi Islam: Mengkaji Sistem Ekonomi Barat dengan

Kerangka Pemikiran Sistem Ekonomi Islam, terjemahan M. Hashem.

Jakarta: Pustaka Zahra, 2002.

-------, Syahadat Kedua: Ketika Keimanan saja Tak Cukup, terj. Muhammad

Abdul Qadir Alcaff. Jakarta: Pustaka Zahra, 2003.

-------, The Revieler, the Messanger, the Message, terj. Mahmoed M Ayoub.

Tehran: Word Organization for Islamic Services, 1986.

Sihbudi, M. Reza, Menyandera Timur Tengah. Jakarta: Hikmah, 2007.

Soseno, Franz Magnis, Filsafat Sebagai Ilmu Kritis. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Shapiro, Ian, Evolusi Hak dalam Teori Liberal, terj. Masri Maris. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2006.

-------, Asas Moral dalam Politik, terj. Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto.

Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006.

Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial: Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas,

Dua Teori Filsafat Politik Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

2004.

Rodee, Calton Clymer. dkk, Pengantar Ilmu Politik, terj. Zulkifly Hamid. Jakarta:

PT Raja Grafindo Persada, 2006.

Rowls, John, Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan

Kesejahteraan Sosial dalam Negara, terj. Uzair Fauzan dan Heru

Prasetyo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Wibowo, A. Setyo “Menjadi Dewasa dan Resikonya: Pencerahan Di Mata Kant

dan Nietzsche” dalam makalah diskusi LSAF. Jakarta, 24 September,

2007.

Hambali, Muhammad, “ Relevansi Pemikiran Ekonomi Muhammad Baqîr al-

Shadr Dalam Konteks Kekinian”. Artikel diakses pada tanggal 17 April

2010 dari http://marx83.wordpress.com/2009/01/31/relevansi-pemikiran-

ekonomi-muhammad-baqir-ash-sadr-dalam-konteks-kekinian/

Muhammad Baqîr al-Shadr. Artikel diakses pada tanggal 20 April 2010

http://en.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Baqir_al-Sadr".