PERAN PONDOK PESANTREN DALAM PEMBERDAYAAN …
Transcript of PERAN PONDOK PESANTREN DALAM PEMBERDAYAAN …
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 37 ~
PERAN PONDOK PESANTREN
DALAM PEMBERDAYAAN MASYARAKAT
Oleh:
Yuzarion Zubir
DosenTetap STKIP PGRI Sumatera Barat
ABSTRAK
Lembaga pondok pesantren oleh sebagian kalangan dipandang sebelah
mata, karena mereka masih menganggap pondok itu tertinggal,
tradisional, dan hanya berkutat dibidang keilmuan agama saja. Mereka
tidak melihat terlalu mendalam tentang apa saja peran-peran pondok
pesantren, bagaimana kiprah pesantren di masyarakat dan apa saja
sumbangsih pondok pesantren terhadap negara ini. Jika membaca hasil
reset seperti Zamakhsyari Dhafeir dan yang lain barulah kita
memahami eksistensi pondok pesantren itu. Dalam tulisan ini akan
mengurai peran pondok pesantren dalam pemberdayaan masyarakat,
sebagai catatan bahwa tulisan yang membahas hal tersebut bukan
sesuatu yang baru, karena dalam sejarahnya sejak pesantren ada di
negeri ini secara bersamaan pondok pesantren memiliki tugas dan misi
untuk memberi manfaat kepada masyarakat.
Kata Kunci: Peran Pondok Pesantren, pemberdayaan Masyarakat.
PENDAHULUAN
Pondok Pesantren
Pengertian Pondok Pesantren
Sudah banyak sekali para tokoh menulis tentang pesantren
dari berbagai sudut pandang yang beraneka ragam, termasuk
berbicara tentang peran pesantren di tengah-tengah masyarakat,
mengingat ke komplitannya lembaga ini (pesantren) ikut
menyumbangkan generasinya (alumninya) berkiprah pada bangsa
dan masyarakat.
Pesantren sering disebut juga sebagai “Pondok Pesantren”
Yuzarion Zubir
~ 38 ~
yang berasal dari kata “santri”.1 Senada dengan pernyataan tersebut
Dhofier (1982) menegaskan bahwa kata santri mendapatkan awalan
“pe”-di depan dan akhiran-“an”, berarti tempat tinggal para santri.2
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) pengertian
pesantren adalah asrama dan tempat murid-murid belajar mengaji.3
Mengenai asal dari kata santri itu sendiri menurut para ahli,
satu dengan yang lain berbeda. Manfred Ziemek menyebutkan
bahwa asal etimologi dari pesantren adalah pe-santri-an, “tempat
santri”, 4 santri atau murid (umumnya sangat berbeda-beda)
mendapat pelajaran dari pemimpin pesantren (kyai) dan oleh para
guru (ulama atau ustadz) pelajarannya mencakup berbagai bidang
tentang pengetahuan Islam.
Kemudian dalam tulisan Ismail SM, mengutip pendapat
Abdurrahman wahid dan Abdurrahman Mas’ud yang
mendefinisikan pesantren sebagai berikut :
Pengertian atau ta’rif pondok pesantren tidak dapat diberikan
dengan batasan yang tegas, melainkan terkandung fleksibilitas
pengertian yang memenuhi ciri-ciri yang memberikan pengertian
Pondok Pesantren, setidaknya ada 5 (lima) ciri yang terdapat pada
suatu lembaga pondok pesantren, yakni : kyai, santri, pengajian,
asrama dan masjid dengan aktivitasnya.5
Dengan demikian bila orang menulis tentang pengertian
pesantren maka topik-topik yang harus ditulis sekurang-kurangnya
adalah;6 1) Kyai pesantren, mungkin mencakup ideal nya kyai untuk
1Sindu Galba, Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, (Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 1995), hlm. 1 2 Zamakhsari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, 1994), hlm. 18 3W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : PT.
Balai Pustaka, 1999), hlm. 746. 4 Manfred Ziemek, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta :
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), 1986, hlm. 16
5 Tim Departemen Agama RI,”Pola Pengembangan Pondok Pesantren”, (Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 40
6 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 191
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 39 ~
zaman kini dan nanti. 2) Pondok, akan mencakup syarat-syarat fisik
dan non fisik, pembiayaan tempat, penjagaan, dan lain-lain. 3)
Masjid, cakupannya akan sama dengan pondok. 4) Santri,
melingkupi masalah syarat, sifat dan tugas santri. 5) Kitab kuning,
bila diluaskan akan mencakup kurikulum pesantren dalam arti yang
luas.
Saat sekarang pengertian yang populer dari pesantren adalah :
Suatu lembaga pendidikan Islam Indonesia yang bertujuan untuk mendalami ilmu agama Islam, dan mengamalkannya sebagai pedoman hidup keseharian (tafaqquh fiddin) dengan menekankan pentingnya moral dalam hidup bermasyarakat.7
Pendapat lain mengatakan bahwa pesantren adalah lembaga
pendidikan Islam untuk memahami, menghayati dan mengamalkan
ajaran agama Islam (Tafaqquh Fiddin) dengan menekankan
pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup
bermasyarakat sehari-hari, penyelenggaraan lembaga pendidikan
pesantren berbentuk asrama yang merupakan komunitas tersendiri
di bawah pimpinan kyai atau ulama dibantu oleh seorang atau
beberapa orang ulama dan atau para ustadz yang hidup bersama
ditengah-tengah para santri dengan masjid atau musholla sebagai
pusat kegiatan peribadatan keagamaan, gedung-gedung sekolah
atau ruang-ruang belajar sebagai pusat kegiatan belajar mengajar,
serta pondok-pondok sebagai tempat tinggal para santri selama 24
jam dari masa kemasa mereka hidup kolektif antara kyai, ustadz,
santri dan para pengasuh pesantren lainnya, sebagai satu keluarga
besar.8
Sehingga bila dirangkum semua unsur-unsur tersebut dapatlah
dibuat suatu pengertian pondok pesantren yang bebas. Adapun
yang dimaksud dengan pesantren ialah suatu lembaga pendidikan
Islam yang dijadikan tempat tinggal para santri untuk mendalami,
7 Haidar Putra Daulay, Historitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan
Madrasah, (Yogyakarta : PT. Tiara wacana, 2001), hlm. 8 8 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Bagian
Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hlm. 6
Yuzarion Zubir
~ 40 ~
memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam
(Tafaqquh Fiddin) dengan menekankan pentingnya moral agama
Islam sebagai pedoman hidup bermasyarakat sehari-hari, yang
diselenggarakan dengan lima elemen penting, meliputi, kyai,
pondok / asrama, masjid, santri, dan pengajian kitab kuning.
Sejarah Perkembangan Pesantren
a. Asal-usul pesantren
Pesantren menurut sejarah akar berdirinya di Indonesia,
ditemukan dua versi pendapat :
Pertama, pendapat yang menyebutkan bahwa Pondok Pesantren berakar pada tradisi Islam sendiri, Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa Pondok Pesantren yang kita kenal sekarang ini pada mulanya merupakan pengambil alihan dari sistem Pondok Pesantren yang diadakan orang-orang Hindu di nusantara.9 Dari segi historis pesantren tidak hanya identik dengan makna
ke-Islaman tetapi juga mengandung makna keaslian Indonesia
(indigenous), sebab lembaga yang berupa pesantren ini sebenarnya
sudah ada sejak pada masa kekuasaan Hindu-Budha sehingga di sini
Islam tinggal meneruskan dan mengislamkan lembaga pendidikan
yang sudah ada, tentunya hal ini tidak berarti mengecilkan peranan
Islam dalam mempelopori pendidikan di Indonesia.10
Asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah
pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa 11 , yang telah berhasil
mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam
memperkenalkan Islam pada masyarakat.
Senada dengan berbagai uraian di atas menurut Abdurrahman
Mas’ud, bahwa :
Tradisi pesantren sudah ada sejak Walisongo, tetapi Walisongo
9 Tim Departemen Agama RI, op cit., hlm. 10 10 Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan, (Jakarta
: Paramadina, 1997), Cet I, hlm. 3 11 Abdurrahman Mas’ud, “ Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam Ismail
SM (ed), Dinamika pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 3
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 41 ~
sendiri sebenarnya mengikuti jejak langkah Nabi Muhammad,
karena itu ada dua contoh yang diambil sebagai model dalam dunia
pesantren, model pertama Nabi Muhammad, dan model kedua
Walisongo. Sehingga pengaruh dunia pesantren demikian kuat.12
Kedudukan dan fungsi pesantren saat itu belum sebesar dan
sekomplek sekarang, pada masa awal pesantren hanya berfungsi
sebagai alat Islamisasi dan sekaligus memadukan tiga unsur
pendidikan yakni: ibadah untuk menanamkan iman, tabligh untuk
menyebarkan ilmu dan amal untuk mewujudkan kegiatan
kemasyarakatan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Masa Sultan Agung .
Satu abad setelah masa walisongo, abad 17 pengaruh
Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram
dari tahun 1613-1645.13
Pada zaman Sultan Agung telah diadakan pembagian
tingkatan-tingkatan pesantren sebagai berikut : tingkat pengajian Al-
qur’an, tingkat pengajian kitab, tingkat pesantren besar, pondok
pesantren tingkat keahlian (takhassus).14
c. Dari Abad 19 Sampai Kini
Seperti yang telah diungkapkan terdahulu lahirnya pesantren
tidak terlepas dari proses islamisasi di Indonesia. Jika sebelum abad
19, kehidupan kaum santri tampak terwakili dalam
hubunganWalisongo dengan kerajaan Demak, serta Sultan Agung.
Pada abad 19 aspirasi dan simpati kaum santri tampak jelas
tertumpu pada tokoh pengeran Diponegoro (1785-1855). 15
Diponegoro adalah simbol mujahidin Jawa yang menjadi
contohterbaik bagi kaum santri, karena perlawanan agungnya
terhadappenjajah Belanda. Anti kolonialisme Diponegoro
tampaknya didasariatas panggilan dan sentimen keagamaan hingga
12 Neti Farida, Santri Alumni Amerika, EDUKASI 27/th X/11/2003, hlm.
80 13 Abdurrahman Mas’ud, op cit., hlm. 10. 14 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : Mutiara
Sumber Widya, 1979), hlm. 223-225. 15 Abdurrahman Mas’ud, op. cit., hlm. 13.
Yuzarion Zubir
~ 42 ~
pengaruh agama telahmemainkan peran dalam memotivasi
perlawanan rakyat.
Kebencian dan penentangan kalangan Pesantren
terhadapBelanda dimanifestasikan dalam tiga bentuk aksi :16
Pertama Uzlah atau pengasingan diri mereka menyingkir ke
desa-desa atau tempat-tempat sepi yang jauh dari jangkauan
kolonial. Kedua, bersikap non kooperatif, dan mengadakan
perlawanan secara diam-diam, Ketiga, berontak dan mengadakan
perlawanan fisik terhadap Belanda.
Hal ini terbukti telah terjadi empat kali pemberontakan besar
kaum santri di Indonesia yaitu : Pemberontakan kaum Paderi di
Sumatera Barat (1821-1828), pemberontakan Pangeran Diponegoro di
Jawa Tengah (1828-1830), pemberontakan di Banten yang
merupakan respon umat Islam di daerah itu untuk melepaskan diri
dari penindasan dalam wujud memberlakukan tanam paksa,
peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan petani yang meletus
pada tahun 1836-1842 dan 1849, kemudian pecah kembali pada
tahun 1880 dan 1888, pemberontakan di Aceh (1873-1903) yang
dipimpin antara lain oleh Teuku Umar, Panglima Polim, dan Teuku
Cik Ditiro.17
Kemudian pada zaman revolusi kemerdekaan, periode 1959-
1965, pesantren disebut sebagai “alat revolusi” dan sesudah itu
hingga kini pemerintah menganggapnya sebagai “potensi
pembangunan”.18Maka sekarang ini pondok pesantren tidak luput
dari proses perubahan yang terjadi secara menyeluruh dan global
itu. Pesantren yang dulunya diidentikkan dengan sifat tradisonal
kolot, dan resistant terhadap perubahan, akan tetapi sekarang ini
dapat kita lihat bahwa dalam lingkungan pesantren telah terjadi
perubahan yang luar biasa, berbeda dengan pandangan yang
16 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren : Penddikan Alternatif Masa
Depan, (Jakarta : Gema Insani Press, 1997), hlm. 79 17 Ibid.hlm, 86 18 M. Dawam Rahardjo, “Dunia Pesantren Dalam Peta Pembaharuan”
dalam M. Dawam Rahardjo (ed) Pesantren dan Pembaharuan (Jakarta: LP3Es, 1974) hlm. 10
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 43 ~
seringkali dilontarkan orang selama ini.
Pesantren tidak mempunyai sikap menolak terhadap
perubahan, tentunya perubahan dalam pengertian yang positif yaitu
progres atau kemajuan.19
Ada berbagai cara untuk melihat ciri-ciri kondisional pesantern
saat ini. Salah satu cara yang dapat digunakan ialah dengan melihat
ciri-ciri kontekstual, ciri relasional dan ciri analitisnya.20
Meskipun demikian ciri-ciri tersebut di atas baik kontekstual,
resional maupun yang analitis adalah ciri-ciri global sehingga dalam
kenyataannya ada variasi dalam hal kuat/tidaknya ciri-ciri itu
tertanam dalam pesantren tertentu, deferensiasi dan spesialisasi
sudah mulai berkembang meskipun belum cukup tajam.
Disamping itu mulai ada pesantren yang menyerap teknologi
baru, baik yang bersifat hardware maupun software, mulai dari
menarapkan manajemen yang tidak lagi murni tradisional,
meskipun belum pula bisa disebut modern. Bahkan adapula
pesantren yang sangat terbuka dengan mengundang atau malahan
menggantungkan pada bantuan dari luar, baik dari pemerintah
maupun lembaga swasta.
Dari berbagai uraian mengenai kondisi pesantren dewasa ini
jelaslah bahwa pesantren sedang menghadapi masalah-masalah
yang sangat dilematis, pilihan-pilihan yang saling bertentangan dan
setiap pilihan yang diambil mendatangkan resiko yang harus
dibayar mahal, tentu saja pesantren mempunyai cara sendiri-sendiri,
dan sebagian tampak mengadakan skala prioritas tentang program
yang dikembangkan.
Pesantren yang sangat banyak jumlah dan variasinya ini
memiliki skala prioritas yang berbeda-beda sesuai dengan masalah
yang dianggap mendesak dipecahkan, sedang tekadnya sama, yakni
turut berkiprah dalam proses pembangunan menuju hari depan
19 Zamakhsyari Dhofier, “Kultur Pesantren dalam Perspektif Masyrarakat Modern”, dalam A. Rifai Hasan (eds), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, (Yogyakarta : PLP2M, 1997), hlm. 388
20 MM Billah, “pikiran awal pengembangan pesantren” dalam M Dawam Raharjo (ed) Pergulatan Pesantren : Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985), hlm. 291
Yuzarion Zubir
~ 44 ~
umat dan bangsa Indonesia yang lebih cerah.21
Dari berbagai uraian di atas, secara historis pesantren memiliki
karakter utama yaitu ;22 1) Pesantren didirikan sebagai bagian dan
atas dukungan masyarakat sendiri. 2) Pesantren dalam menyeleng-
garakan pendidikannya menerapkan kesetaraan santrinya tidak
membedakan status dan tingkat kekayaan orang tuanya. 3)
Pesantren mengemban misi “menghilangkan kebodohan”,
khususnya tafaqquh fi al-din dan “mensiarkan agama Islam”
1. Dasar dan Tujuan Pondok Pesantren
Yang dimaksud dengan dasar pendidikan adalah “pandangan
yang mendasari seluruh aktivitas pendidikan baik dalam rangka
penyusunanteori, perencanaan maupun pelaksanaan pendidikan”.23
Dalam konteks ini dasar dari pada pondok pesantren yang
juga termasuk lembaga pendidikan islam adalah pararel dengan
dasar pendidikan Islam. Yaitu Al-qur’an dan Al-Hadits Nabi
Muhammad SAW. kalau pendidikan diibaratkan bangunan maka isi
al-qur’an dan haditslah yang menjadi fundamennya.24
a) Dasar Al-qur’an. “Serulah (manusia) kepada jalan TuhanMu
dengan hikmah dan pelajaran yang baik ”, (Qs. An-Nahl : 125).25
b) Dasar Al-Hadits. “Dari Abi Hurarah r.a., bahwasannya ia
telah berkata Rasulullah SAW telah bersabda : tidak ada seorang
anak itu kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah (suci), maka kedua
orang tua-nyalah yang menjadikan yahudi, nasrani atau majuzi”.
(H.R. Muslim).26
21 Sudirman Tebba, “Diploma Pesantren : Belenggu Politik dan
Pembaharuan Sosial”, dalam, M. Dawam Raharjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah, (Jakarta : P3M, 1985), hlm. 288
22 Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, (Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 7
23 Ahmadi, Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, (Yogyakarta : Aditya Media, 1992), hlm. 55.
24 Ahmad D Marimba, Pengantar Fislasfat Pendidikan Islam, ( Bandung : PT. Al-MA’arif, 1980), hlm. 41.
25 A. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang : Toha Putra, 1971), hlm421.
26 Imam Abi Husain Muslim Ibnu Al-Hujjaj al-Gusyary an-Naisabury,
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 45 ~
Secara garis besar tujuan pendidikan pesantren adalah
menciptakan dan mengembangkan kepribadian muslim, yaitu
kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Allah, berakhlak
mulia,bermanfaat bagi masyarakat, dengan jalan memberikan
pengabdian pada masyarakat, yaitu dengan memposisikan diri
menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi
Muhammad SAW, mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam
kepribadian menyebarkan agama atau menegakkan Islam, dalam
upaya mewujudkan kejayaan umat Islam di tengah-tengah
masyarakat (izzu al islam wa al muslimin) dan mencintai ilmu dalam
rangka mengembangkan kepribadiannya, yaitu berkepribadian
muhsin, bukan sekedar berkepribadian muslim.27
Dari tujuan tersebut dapat disimpulkan bahwa tujuan
pesantren adalah membentuk manusia yang berkepribadian dan
berakhlak serta memiliki pengetahuan yang Islami serta dapat
mengamalkannya pada kehidupan bermasyarakat setelah mereka
kembali ke lingkungannya masing-masing.
2. Tipologi Pondok Pesantren
Adapun variasi bentuk atau model suatu pesantren yang
berkembang sekarang ini. Secara garis besar dapat di kelompokkan
pada tiga macam tipe pesantren berikut :28
a. Pesantren tipe A, memiliki ciri-ciri :
1) Para santri belajar dan menetap di pesantren
2) Kurikulum tidak tertulis secara exsplisit, tetapi berupa
hidden kurikulum (kurikulum tersembunyi yang ada
pada benak kyai).
3) Pola pembelajaran menggunakan metode
pembelajaran asli milik pesantren (sorogan,
bandongan dan lainnya).
4) Tidak menyelenggarakan pendidikan dengan sistem
madrasah
Shahih Muslim,
27 Mastuhu, op. cit., hlm., 55-56. 28Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, op.cit., hlm.
18
Yuzarion Zubir
~ 46 ~
b. Pesantren tipe B, memiliki ciri-ciri :
1) Para santri tinggal dalam pondok atau asrama
2) Pemaduan antara pola pembelajaran asli pesantren
dengan sistem madrasah atau sistem sekolah
3) Terdapatnya kurikulum yang jelas
4) Memiliki tempat khusus yang berfungsi sebagai
sekolah atau madrasah
c. Pesantren tipe C memiliki ciri-ciri :
1) Pesantren hanya semata-mata tempat tinggal
(asrama) bagi para santri
2) Para santri belajar di madrasah atau sekolah yang
letaknya diluar dan bukan milik pesantren
3) Waktu belajar di pesantren bisaanya malam atau
siang hari pada saat santri tidak belajar di sekolah
atau madrasah (ketika mereka berada di pondok
atau asrama)
4) Pada umumnya tidak terprogram dalam kurikulum
yang jelas dan baku
Hampir serupa dengan tipologi pesantren yang telah diuraikan
di atas, disini pemerintah mencoba memberikan batasan atau
pemahaman yang lebih mengarah pada bentuk pondok pesantren,
sebagai berikut :29
a. Pondok pesantren tipe A, yaitu pondok pesantren di
mana para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama
lingkungan pondok pesantren dengan pengajarannya
yang berlansung secara tradisional (wetonan atau
sorogan).
b. Pondok pesantren tipe B, yaitu pondok pesantren yang
menyelenggarakan pengajaran secara klasikal (madrasy)
dan pengajaran oleh kyai bersifat aplikasi dan diberikan
pada waktu-waktu tertentu, para santri tinggal di asrama
lingkungan pondok pesantren.
29 Tim Departemen Agama RI, Pola Pengemabangan Pondok Pesantren,
(Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2003), hlm. 25
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 47 ~
c. Pondok pesantren tipe C, yaitu pondok pesantren yang
hanya merupakan asrama, sedangkan para santrinya
belajar di luar (madrasah atau sekolah umum) dan kyai
hanya merupakan pengawas dan pembina mental para
santri tersebut.
d. Pondok pesantren tipe D, yaitu pondok pesantren yang
menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan
sekaligus sistem sekolah atau madrasah.
Bentuk pondok pesantren seperti yang di ungkapkan di atas
merupakan upaya pemerintah dalam memberikan batasan atau
pemahaman yang lebih mengarah kepada bentuk pondok pesantren,
walaupun demikian sesungguhnya perkembangan pondok
pesantren tidak terbatas pada empat bentuk tadi, namun dapat lebih
beragam banyaknya, bahkan dari tipe yang sampai terdapat
perbedaan tertentu yang menjadikan satu sama lainnya tidak sama.
Apabila dilihat dari sarana fisik yang dimiliki sebuah pesantren
sekarang ini, maka dapat dikelompokkan kedalam lima macam,
yaitu:30
a. Tipe pertama
Pesantren tipe ini hanya terdiri dari masjid dan rumah kyai,
pesantren seperti ini masih bersifat sederhana sekali karena untuk
kegiatan pengajian ini masih menjadikan masjid atau rumahnya
sendiri sebagai tempat diselenggarakannya kegiatan pembelajaran
kepada para santri, para santri sendiri tidak menetap di lingkungan
itu melainkan tinggal di rumah masing-masing, sehingga ada yang
menyebut bahwa tipe ini tidak dapat diketagorikan sebagai
pesantren tetapi sebagai kegiatan pengajian bisa.
b. Tipe kedua
Pada tipe ini selain adanya masjid dan rumah kyai, di
dalamnya telah tersedia pada bangunan berupa pondok atau asrama
bagi para santri yang datang dari tempat jauh. Pada tipe ini unsur
dasar peantren telah terpenuhi sehingga dapat dikategorikan sebagai
sebuah pesantren.
30 Tim Departemen Agama RI, Pola Pembelajaran di Pesantren, op.cit.,
hlm. 19
Yuzarion Zubir
~ 48 ~
c. Tipe ketiga
Pesantren tipe ini telah memiliki masjid, rumah kyai serta
pondok di dalamnya diselenggarakan pengajian dnegan metode
sorogan, bandongan dan sejenisnya disamping itu tersedia sarana
lain berupa madrasah atau sekolah yang berfungsi sebagai tempat
untuk belajarnya para santri, baik untuk ilmu-ilmu agama maupun
ilmu-ilmu umum.
d. Tipe keempat
Pesantren tipe ini selain telah memiliki masjid, rumah kyai
serta pondok, juga telah memiliki masjid, rumah kyai serta pondok,
juga telah memiliki tempat untuk pendidikan ketrampilan, seperti
lahan untuk pertanian dan peternakan, tempat untuk membuat
kerajinan, koperasi, laboratorium dan lain sebagainya.
e. Tipe kelima
Pada tipe ini pesantren telah berkembang sehingga disebut
pula sebagai pesantren modern, disamping adanya masjid, rumah
kyai dan ustadz, pondok, madrasah, terdapat pula bangunan-
bangunan fisik lain seperti : perpustakaan, kantor, toko, rumah
penginapan untuk tamu, tempat olah raga, dapur umum, ruang
makan, aula dan seterusnya.
Adapun bentuk pondok pesantren yang muncul sekarang ini
diantaranya, sebagai berikut :31
a. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran
kitab-kitab klasik (Salafiyah), sebagaimana pengertian
umum yang telah diungkap di atas para santri dapat
diasramakan, kadangkala tidak diasramakan, mereka
yang tidak diasramakan tinggal di masjid dan dirumah-
rumah pendidikan yang berada disekitar masjid atau
rumah kyai.
b. Pondok pesantren yang telah diungkapkan pada poin
a, namun memberikan tambahan latihan ketrampilan
atau kegiatan pada para santri pada bidang-bidang
31 Tim Departemen Agama RI, Pola Pengembangan Pondok Pesantren,
op.cit., hlm. 26
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 49 ~
tertentu dalam upaya penguasaan ketrampilan
individu atau kelompok, termasuk dalam kategori ini
adalah pondok pesantren yang menyelenggarakan
kegiatan pemberdayaan potensi umat.
c. Pondok pesantren yang menyelenggarakan kegiatan
pengajian kitab, namun lebih mengarah kepada upaya
pengembangan tarekat atau sufisme namun para
santrinya kadang-kadsang ada yang diasrmakan, ada
kalanya pula tidak diasramakan.
d. Pondok pesantren yang hanya menyelenggarakan
kegiatan ketrampilan khusus agam Islam, kegiatan
keagmaan seperti tahfidz (hafalan) Al- Qur’an dan
majelis taklim, seperti halnya yang tersebut
sebelumnya, adakalanya santri diasramakan,
adakalanya tidak.
e. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajian
kitab klasik, namun juga menyelenggarakan kegiatan
pendidikan formal kedalam lingkungan Pondok
pesantren. Siswa pada lembaga pendidikan formal ada
yang tidak tinggal di asrama tidak termasuk kategori
santri (tidak ikut pengajian) kadang-kadang ada santri
yang hanya ikut pengajian saja dan tidak tinggal
diasrama.
f. Pondok pesantren yang menyelenggarakan pengajaran
pada orang-orang yang menyandang masalah sosial.
Patut dicatat bahwa dalam rangka pemerataan
pemenuhan hak warga negara untuk memperoleh
pengajaran yang layak, maka diupayakan adanya
penyelenggraan. Pondok pesantren yang memberikan
bentuk pengajaran khusus mereka yang memiliki cacat
tubuh atau keterbelakangan mental dalam sebuah
penyelenggaraan madrasah luar baisa di Pondok
pesantren dan juga bagi mereka yang yatim atau anak
jalanan dalam sebuah panti asuhan yang dikelola
sebagai Pondok pesantren.
Yuzarion Zubir
~ 50 ~
g. Pondok pesantren yang merupakan kombinasi dari
beberapa poin atau seluruh poin yang tersebut diatas
(konvergersi)
Perlu dijelaskan disini bahwa apapun bentuk dan tipe sebuah
pondokpesantren, ia dapat dikatakan sebagai pondok pesantren jika
terpenuhinmya sekurang-kurangnya ciri-ciri yang telah disebut
diatas.
Kondisi pesantren di Indonesia sekarang ini setidak-tidaknya
apabila dilihat dari aspek materi dan metode pendidikan yang
diterapkan bisa dikelompokkan menjadi tiga bentuk :32
Pertama, bentuk salaf murni, dengan karakter dan ciri-ciri
tertentu, yaitu pesantren yang semata-mata hanya mengajarkan atau
menyelenggarakan pengajian Kitab Kuning (KK) yang dikategorikan
Mu’tabaroh, dan sistem yang diterapkan adalah sistem sorogan atau
bandongan.
Kedua, bentuk salaf yang dikombinasikan dengan sistem lain
(tidak murni) yaitu pesantren yang selain menyelenggarakan
pengajian kitab kuning juga membuka pendidikan dengan sistem
madrasi (klasikal).
Ketiga, bentuk pesantren non-salaf, yaitu pesantren yang
seluruh program pendidikannya disampaikan dengan sistem
klasikal dan tidak membuka pengajian kitab kuning sebagai materi
pelajaran utama.
Dalam pelaksanannya sekarang ini, secara garis besar pondok
pesantren dapat digolongkan kedalam dua bentuk yang penting :33
a. Pondok pesantren salafiyah
Pondok pesantren salafiyah adalah pondok pesantren yang
menyelenggarakan pengajaran Al-Qur’an dan ilmu-ilmu agama
Islam yang kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana
yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya. Pembelajaran
(pendidikan dan pengajaran) yang ada pada pondok pesantren ini
32 Tim Departemen Agama RI, Pola Manajemen Penyelenggaraan Pondok
Pesantren, op.cit., hlm.17 33 Tim Departemen Agama RI., Pola Pengembangan Pondok Pesantren,
op.cit.,hlm. 42
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 51 ~
dapat diselenggarakan dengan cara non-klasikal atau dengan
klasikal. Jenis pondok pesantren dapat meningkat dengan membuat
kurikulum sendiri, dalam arti kurikulum ala pondok pesantren yang
bersangkutan yang disusun sendiri berdasarkan cri khas yang
dimiliki oleh pondok pesantren. Penjenjangan dilakukan dengan
cara memberikan kitab pegangan yang lebih tinggi dengan Funun
(tema kitab) yang sama setelah tamatnya suatu kitab. Para santri
dapat tinggal dalam asrama yang disediakan dalam lingkungan
pondok pesantren dapat juga mereka tinggal diluar lingkungan
pondok pesantren (santri kalong).
b. Pondok pesantren khalafiyah
Pondok pesantren khalafiyah adalah pondok pesantren yang
selain menyelenggarakan kegiatan kepesantrenan, juga
menyelenggarakan kegiatan pendidikan formal (jalur sekolah), baik
itu jalur sekolah umum (SD, SMP, SMU, SMK) maupun jalur sekolah
berciri khas agama Islam (MI, MTs, MA atau MAPK) bisaanya
kegiatan pembelajaran kepesantrenan pada pondok pesantren ini
memiliki kurikulum pondok pesantren yang klasikal dan berjenjang
dan bahkan pada sebagian kecil pondok pesantren, pendidikan
formal yang diselenggarakannya berdasarkan pada kurikulum
mandiri, pondok pesantren ini mungkin dapat pula dikatakan
sebagai pondok pesantren Salafiyah Plus (pondok pesantren salafiyah
yang menambah lembaga pendidikan formal dalam pendidikan dan
pengajarannya).
Dua bentuk di atas adalah yang paling popular meski terdapat
pembetukan lain seperti pondok pesantren tipe A, B, dan C dan
lainnya. Dalam kedua bentuk atau tipe pondok pesantren ini, bentuk
pengembangan lain atau ketrampilan serta kegiatan keagamaan dan
sosial dapat diselenggarakan, mislanya dalam pembentukan unit
usaha, penyelenggaraan agrobisnis, penyelenggaraan program
ketrampilan atau program pengembangan potensi lainnya.34
Seluruh tipologis di atas mencermikan bahwa kondisi
pesantren sekarang ini memiliki keragaman dan perbedaan orientasi
34 Ibid. hlm.46
Yuzarion Zubir
~ 52 ~
yang bisa jadi mencolok akan tetapi, pada pokoknya pondok
pesantren dengan berbagai bentuk atau tipe atau pola
penyelenggaraan tetapi sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh
dsan berkembang ditengah-tengah masyarakat yang memadukan
tiga unsur pendidikan yang amat penting, yaitu peningkatan
keimanan dengan ibadah serta penjabaran ilmu ajaran Islam dengan
tabligh dan memberdayakan potensi umat dan merupakan nilai-
nilai kemasyarakatan yang baik dengan amal sholeh.35
Dewasa ini dengan adanya otonomi daerah, dimana
pendidikan dasar hingga menengah dikembalikan kepada masing-
masing daerah, pesantren sejatinya ikut memperoleh kembali
otonominya yang sempat hilang. Hal pendidikan yang kaitannya
dengan otonom daerah adalah prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, bertanggung jawab dan sesuai dengan potensi
keanekaragaman daerah, artinya pendidikan harus benar-
benarmampu mempelajari kontribusi baik aspek sosial, budaya,
ekonomi, politik dan lapangan kerja.36
Dunia pesantren sekarang ini dihadapkan pada kondisi
mendapatkannya kembali kebebasan berkreasi, akan tetapi sekaligus
memikul tanggung jawab yang besar untuk menciptakan
sumberdaya manusia dan man capital yang bersaing, ini sungguh
berat akan tetapi sangat utopis rasanya jika kita mengharapkan
pesantren mampu melahirkan ulama’ yang intelek dan intelek yang
ulama’ tersebut sekaligus. Perkembangan dunia yang cepat dan
mengarah pada profesionalisme menghendaki adanya spesialis-
spesialis yang tidak mungkin dapat dipenuhi seluruhnya oleh
pesantren.37
35 Tim Departemen Agama RI., op.cit.,hlm. 43 36 Abi Manyu Adzin, ”Diploma II Tarbiyah, Kebutuhan atau Tuntutan”,
(Edukasi, XXIX, th. XIV, 2004), hlm, 43 37 Zakaria Anshori, “Mencari Peran Ideal Pondok Pesantren dalam Era
Globalisasi : Sebuah Pengamatan Mata Burung, (Birds Ege View)” dalam Rijal Rokian S.Ag. MA, (ed), Kapita Selekta Pondok Pesantren (Jakarta : Depag RI, 2002), hlm. 155
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 53 ~
Pemberdayaan Masyarakat Oleh Pesantren
1. Pengertian Pemberdayaan Masyarakat
Pemberdayaan ialah kekuatan, tenaga.38 Dalam makna yang
lain pemberdayaan diartikan sebagai proses, cara perbuatan
memberdayakan.39
Sedangkan masyarakat ialah sejumlah manusia dalam arti
seluas-luasnya dan terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka
anggap sama. 40 Dalam makna yang lain masyarakat diartikan
sebagai pergaulan hidup manusia (sekumpulan orang yang hidup)
bersama disuatu tempat dengan ikatan-ikatan aturan yang tertentu.41
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pemberdayaan
masyarakat ialah suatu tindakan membangkitkan kemauan,
kemampuan, dan kepercayaan pada diri sendiri, agar mereka dapat
terlibat secara aktif dalam pembangunan. Juga, agar mereka
bergerak secara metodis, efisien dan terorganisir.42
Sedangkan dalam konteks peranan pesantren, pemberdayaan
disini dimaksudkan sebagai suatu tindakan yang dilakukan oleh
pesantren sebagai proses, cara, perbuatan memberdayakan serta
membangkitkan kemauan, kemampuan, dan kepercayaan pada diri
sendiri, agar mereka dapat terlibat secara aktif dalam suatu gerakan
masyarakat yang terlaksana secara metodis, efisien dan terorganisir
dalam suatu program yang dilakukan oleh pesantren bersama
masyarakat.
2. Peranan Pesantren
Sebagaimana telah diuraikan di atas, pondok pesantren
merupakan komunitas paling signifikan yang dapat diharapkan
38 W. J. S. Poerwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1999), hlm. 233. 39 Tim Penyusun Kamus Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, edisi ke-3 (Jakarta : Balai Pustaka, 2003), hlm. 242. 40 Ibid., hlm. 721. 41 W. J. S. Poerwodarminto, op. cit., hlm. 636. 42 Wiryanto Yomo-Gunter Wehner, Membangun Masyarakat: Buku
Pegangan Bagi Pekerja Pembangunan Masyarakat, (Bandung : Alumni, 1973), hlm. 27.
Yuzarion Zubir
~ 54 ~
memainkan peranan pemberdayaan (empowerment) masyarakat
secara efektif, kemudian dalam buku Pola Pengembangan Pondok
Pesantren terbitan Departemen Agama RI, mengutip pendapat KH.
Said Agil Siradj yang mendeskripsikan beberapa peranan pesantren
dalam pemberdayaan masyarakat yaitu: Peranan instrumental dan
fasilitator, peranan mobilisasi, peranan sumber daya manusia, peran
sebagai agent of development, dan peranan sebagai center of excellence.43
a. Peranan instrumental dan fasilitator pondok
pesantren yang mana selain sebagai sebuah lembaga
pendidikan dan keagamaan namun juga sebagai
lembaga pemberdayaan masyarakat. Sehingga pondok
pesantren dapat menjadi sarana pengembangan potensi
pemberdayaan masyarakat, Selain dengan adanya alat
atau instrumen tersebut, pondok pesantren juga telah
memberikan pelatihan atau pendidikan (workshop)
yang diperlukan. Sehingga kini pondok pesantren tidak
hanya sekedar berperan sebagai sarana saja namun juga
sebagai fasilitator.
b. Selanjutnya peranan sosial dalam pemberdayaan
masyarakat yang dimiliki oleh pondok pesantren
sebagai sebuah lembaga yang dapat memobilisasi
masyarakat dalam perkembangan mereka. Peranan ini
dibangun atas dasar kepercayaan masyarakat. Sebagai
lembaga yang dipercaya dan dihormati oleh masyarakat
serta adanya kharisma dari kyai sendiri, peranan
pondok pesantren tentu menjadi sangat strategis dalam
memberikan contoh atau mengajak untuk melakukan
pengembangan yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh
masyarakat sekitar, artinya dengan posisi seperti itu
pondok pesantren dapat dengan mudah menggalang
semangat kebersamaan masyarakat untuk ikut serta
dalam menyelenggarakan kegiatan pemberdayaan
43 Tim Departemen Agama RI, Pola Pengembagan Pondok Pesantren, op.cit.,
hlm. 9194.
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 55 ~
masyarakat yang dimotori oleh pondok pesantren.
c. Kemudian pondok pesantren juga mempunyai
peranan yang cukup besar dalam sumber daya manusia,
seperti dalam sistem pendidikan yang dikembangkan
oleh pondok pesantren sebagai upaya mengoptimalkan
potensi yang dimilikinya, pondok pesantren
memberikan pelatihan khusus atau diberikan tugas
magang di beberapa tempat, lembaga atau instansi yang
sesuai dengan pengembangan yang akan dilakukan oleh
pondok pesantren. Hal ini sangat membantu tugas
pemerintah dalam upaya pemerataan kegiatan
pengembangan, khusunya ekonomi di daerah agar
setiap daerah memiliki potensi sumber daya manusia
yang kompeten.
d. Sedangkan peranan yang tak kalah besarnya yang
dimiliki oleh pesantren adalah peranan sebagai agent of
development, dimana pondok pesantren dilahirkan untuk
memberikan respon terhadap situasi dan kondisi sosial
suatu masyarakat yang tengah dihadapkan pada
runtuhnya sendi-sendi moral melalui transformasi nilai
yang ditawarkan pondok pesantren. Kehadirannya bisa
disebut sebagai agen perubahan sosial (agent of social
change) yang selalu melakukan pembebasan pada
masyarakat dari segala keburukan moral, penindasan
politik, pemiskinan ilmu pengetahuan dan bahkan dari
kemiskinan ekonomi. Instutusi pondok pesantren
dengan begitu mengesankan telah berhasil
mentransformasikan masyarakat di sekitarnya menuju
kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Pada tataran
ini, pondok pesantren telah berfungsi sebagai pelaku
pemberdayaan masyarakat (social empowerment), dan
menjadi agen bagi pembangunan nasional, dalam
lingkup yang menjadi tanggung jawabnya.
e. Selanjutnya pondok pesantren juga mempunyai peranan
sebagai center of excellence, hal ini dikarenakan salah satu misi
Yuzarion Zubir
~ 56 ~
awal didiriakannya pondok pesantren adalah menyebarluaskan
informasi ajaran dan pengetahuan agama Islam ke seluruh
pelosok nusantara yang berwatak pluraris, baik dalam dimensi
kepercayaan, budaya maupun kondisi sosial masyarakat.
Melalui medium pendidikan yang dikembangkan dalam
bentuk pondok pesantren. Sebagai upaya untuk menjawab
tantangan zaman, pondok pesantren kemudian
mengembangkan peranannya dari sekedar lembaga keagamaan
dan pendidikan menjadi lembaga pemberdayaan masyarakat.
Sehingga pada tataran ini pondok pesantren telah berfungsi
sebagai pusat keagamaan, pendidikan dan pemberdayaan
masyarakat.
3. Pondok Pesantren dan Pengembangan Masyarakat
Pesantren sebagai subkultur, lahir dan berkembang seiring
dengan derap langkah perubahan-perubahan yang ada dalam
masyarakat global. Perubahan-perubahan yang terus bergulir itu,
cepat atau lambat pasti akan mengimbas pada komunitas pesantren
sebagai bagian dari masyarakat dunia, meskipun tidak dikehendaki.
Karenanya tidaklah berlebihan jika Sahal Mahfudz
menyebutkan bahwa ada dua potensi besar yang dimiliki pesantren,
yakni potensi pendidikan dan potensi pengembangan masyarakat.44
Sehingga bisa diharapkan melahirkan ulama’ yang tidak saja dalam
ilmu pengetahuan keagamaannya, luas wawasan pengetahuan dan
cakrawala pemikirannya, tetapi juga mampu memenuhi tuntutan
zamannya dalam rangka pemecahan persoalan kemayarakatan.
Pesantren pada umumnya bergerak dalam pendidikan Islam,
Pesantren kerap kali diidentifikasi memiliki peran penting dalam
masyarakat Indonesia, yaitu :45
1. Sebagai pusat berlangsungnya transmisi ilmu-ilmu Islam
tradisional (transmission of Islamic knowledge).
44 Sahal Mahfudz, Nuanssa Fiqih Sosial (Yogyakarta : LkiS, 1994) hlm. 356 45 Husni Rahim, Arah Baru Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Logos Wacana
Ilmu, 2001), hlm. 147
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 57 ~
2. Sebagai penjaga dan pemelihara keberlangsungan Islam
tradisional (maintenance of Islamic tradition).
3. Sebagai pusat reproduksi ulama’ (reproduction of ulama’)
Dari paparan di atas dapat dipahami bahwa pesantren pada
dasarnya adalah lembaga tafaqquh fiddin, yakni lembaga untuk
mengkaji dan mengembangkan ilmu-ilmu keislaman (al-‘ulum al-
syari ’ah)46 Akan tetapi, akhir-akhir ini terdapat suatu kecenderungan
memperluas fungsi pesantren bukan cuma dalam tataran sebagai
lembaga agama (pendidikan).
Sekarang ini pesantren juga bertugas sebagai lembaga sosial,
tugas-tugas yang digarapnya bukan saja soal-soal agama, tetapi juga
menanggapi soal-soal kemasyarakatan yang hidup.47
Dewasa ini, kiranya belum terlalu banyak orang yang
mengetahui atau memahami seluk beluk dunia pesantren secara
keseluruhan, yang secara umum diketahui atau didengar adalah
bahwa lembaga pondok pesantren, memang mempunyai peranan
tertentu.
Hal ini tercermin pada zaman revolusi kemerdekaan, periode
1959-1965, pesantren disebut sebagai “alat revolusi” dan sesudah itu
hingga kini pemerintah menganggapnya sebagai “potensi
pembangunan”.
Apabila kita meletakkan kasus pesantren dalam kerangka dan
rel perubahan sosial dalam masyarakat Indonesia, maka setidak-
tidaknya dapat disebutkan bahwa pesantren merupakan salah satu
bentuk lembaga komunikasi yang efektif dalam masyarakat,
disamping lembaga pesantren ini secara tetap dan pokok merupakan
lembaga-lembaga pendidikan agama dan kemasyarakatan, yang bisa
mempengaruhi perubahan-perubahan sosial dari berbagai segi.
Manfaat sosial yang disumbangkan pesantren, setidaknya
tercermin dalam dua hal, yaitu : manfaat langsung dan manfaat tidak
46 Ali Yafie, Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan,
(Yogyakarta: LKPSM, 1997) hlm. 25 47 Suyata, “Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Yang Hidup" dalam
M.Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren: Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985) hlm. 17
Yuzarion Zubir
~ 58 ~
langsung. 48
a. Manfaat langsung
Manfaat langsung, berupa manfaat yang ditimbulkan
pesantren kepada masyarakat disekitar pesantren dalam hal
ekonomi dan sosial budaya.
b. Manfaat Tidak Langsung
Manfaat tidak langsung adalah peranannya dalam
manghasilkan lulusan-lulusan santri yang mampu berperan secara
strategis dalam pembinaan dan pengembangan masyarakat.
Dari potensi dan kompetensi tersebut diatas, maka tidaklah
mengherankan apabila peranan pesantren dalam menghasilkan
lulusan- lulusan (santri) dapat berperan secara strategis dalam
pembinaan dan pengembangan masyarakat serta diharapkan
mampu berperan sebagai agen perubahan sosial (agen of social change)
yang selalu melakukan kerja-kerja pembebasan dari segala
keburukan moral dan penindasan yang dihadapi oleh masyarakat
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bermula dari banyaknya peristiwa yang melibatkan peran
sosial pesantren, dapat dikatakan bahwa pesantren hingga sekarang
sesungguhnya mempunyai interaksi yang dinamis dengan
masyarakat. Pesantren adalah kekuatan masyarakat dan sangat
diperhitungkan oleh negara. Pesantren masih berwibawa dan di
percaya masyarakat, walaupun bukanlah ujung tombak satu-
satunya.
Karena itu dalam kondisi sosial politik yang serba bernegara
dan dihegemoni oleh wacana kemodernan, pesantren yang konsisten
dengan ciri tradisonalitasnya mempunyai ruang publik (public
sphere) 49 Agar dapat melakukan pemberdayaan masyarakat,
48 Akbar Zaenuddin., “Pesantren dan Pengembangan Civil Society” dalam
Rijal Roihan, S.Ag., MA.(ed.), Kapita Selekta Pondok Pesantren.(Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan Agama Islam, 2002), hlm. 113
49 Marzuki Wahid., “Pesantren di lautan Pembangunanisme : Mencari Kinerja Pemberdayaan", dalam Marzuki Wahid dan Suwendi (eds), Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), hlm. 149.
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 59 ~
terutama kepada kaum tertindas, terpinggirkan dan selalu tidak
diuntungkan dalam konstelasi sistem ini.
Pesantren merupakan modal dan potensi yang signifikan bagi
pemberdayaan masyarakat. Disamping itu, perkembangan
pesantren di masa depan akan sangat ditentukan oleh
kemampuannya dalam melakukan inovasi dan perkembangan
masyarakat.
Bila demikian, pesantren akan semakin eksis dalam merespon
perubahan sosial dan bahkan berperan mengarahkan perubahan
yang terjadi seiring dengan modernisasi dan globalisasi. Karena kita
dapat menciptakan tenaga-tenaga pengembangan masyarakat
(change agents) dari pesantren.50
Adapun cara yang digunakan adalah dengan meletakkan
fungsi kemasyarakatan pesantren dalam konteks/kerangka
menumbuhkan. Ismail SM., “Signifikansi Peran Pesantren dalam
Pengembangan Masyarakat Madani",, dalam Ismail SM dan Abdul
Mukti (eds.), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 184.
Lembaga-lembaga non-pemerintah yang matang, atau yang
lebih kita kenal dengan L.N.P., sebagai ganti N.G.O. yang menjadi
kependekan dari Non-Govermental Organizations, Sehingga mampu
menjadi partner yang sesungguhnya bagi pemerintah dalam kerja-
kerja pembangunan.51
Dalam segmen masyarakat yang terakhir ini sesungguhnya
terletak wilayah pesantren untuk berkhidmat, pesantren dituntut
untuk mampu melakukan pemberdayaan. Secara sosial-ekonomi-
politik-budaya, secara sosiologis, pesantren mempunyai keunggulan
dan kedekatan strategis untuk memberdayakan masyarakat. Ikatan
50 Ismail SM., “Sinifikansi Peran Pesantren dalam Pengembangan
Masyarakat Madani",, dalam Ismail SM dan Abdul Mukti (eds.), Pendidikan Islam, Demokratisasi dan Masyarakat Madani, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 184
51 Abdurrahman Wahid., “Pesantren dan Pengembangannya”, dalam Kumpulan Tulisan dan Karangan Abdurrahman Wahid, Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Bunga Rampai Pesantren, (Jakarta : CV. Dharma Bhakti, 1978), hlm., 162.
Yuzarion Zubir
~ 60 ~
(emosional, rasional, nilai) keagamaan dan kharisma sosial kyai-
ulama’ bagi masyarakat, dewasa ini masih cukup penting
diperhatikan dan karena itu, cukup signifikan dijadikan sarana
pemberdayaan. Disinilah barangkali posisi startegis pesantren untuk
melakukan kerja-kerja pemberdayaan dan transformasi masyarakat.
Melihat esensi problem yang dihadapi, tampaknya yang perlu
dilakukan adalah perjuangan untuk merebut hak-hak masyarakat
melalui proses transformasi sosial, yaitu sebuah proses perubahan
fundamental dari struktur ekonomi yang eksploitatif menuju hubungan
ekonomi yang adil. Dari struktur politik yang represif menuju kondisi
politik yang demokratis, dan dari struktur budaya yang hegemoni
menuju kebudayaan yang pluralistic, egaliter dan damai, dengan
membuka diri melalui pagelaran wacana baru diluar wacana yang
selama ini digeluti.
Disinilah memang diakui atau tidak, kelemahan pesantren
sejak awal, selama ini pesantren terlalu asyik masuk dengan wacana
fiqhnya, yang terkadang malah dipahami secara beku atau rigid.
Sudah saatnya, pesantren membangun sejarahnya yang baru dengan
polesan pemberdayaan masyarakat, yang sebetulnya merupakan
mutiara miliknya yang hilang.
Perkembangan masyarakat dewasa ini menghendaki adanya
pembinaan anak didik yang dilaksankan secara seimbang, antara
nilai dan sikap, pengetahuan, kecerdasan dan ketrampilan,
kemampuan berkomunikasi dengan masyarakat secara luas serta
meningkatkan kesadaran terhadap alam lingkungannya.52
Dalam hal ini, pesantren adalah lembaga pendidikan yang
mampu secara aktif membangun sistem pendidikan komprehensif,
sehingga menghasilkan santri-santri dan lulusan yang relatif
mandiri.
Disamping itu, dengan kemampuan keilmuan keagamaan
yang cukup luas, para santri juga disiapkan untuk menjadi
pemimpin masyarakat dikemudian hari, sesudah berguru di
52 Tim Departemen Agama RI , Pola Pengembangan Pondok Pesantren ,
op.cit., hlm. 90.
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 61 ~
pesantren tersebut.53
Selanjutnya, berikut ini akan dideskripsikan eksistensi
pesantren lebih secara kelembagaan berdasarkan data statistik,
sebagai berikut :54
Pada tahun 1942, jumlah pesantren dan madrasah di Indonesia
sebanyak 1.871 dengan siswa sebanyak 139.415 orang. Pada tahun
1977 jumlah itu berkembang menjadi 4.195 dengan jumlah siswa
677.384. Kemudian pada tahun 1997, jumlah pesantren di seluruh
Indonesia mencapai lebih dari 9.415 buah dengan santri lebih kurang
1.631.727 orang.
Dengan kondisi semacam ini, pesantren sebenarnya
mempunyai potensi yang cukup besar untuk bisa manjadi basis bagi
pengembangan masyarakat sekaligus diharapkan mampu
menumbuhkan kelas sosial menengah muslim yang bisa menjadi
salah satu pilar pemberdayaan masyarakat, sebagai mana sabdanya
Rasul yang artinya Islam itu bisa kuat bila dipenuhi dua kebutuhan
yaitu; Harta dan Ilmu.
Namun demikian, dengan kenyataan yang ada sekarang,
untuk mampu menjadi basis pengembangan, setidaknya ada
beberapa prakondisi yang dibutuhkan pesantren untuk mampu
menumbuhkan santri- santri mandiri, yakni :55
1. Pesantren harus mampu mempertahankan sistem
pendidikan terpadu yang menggunakan aspek kehidupan
jasmani, pengetahuan dan mental spiritual santri.
2. Pesantren harus mampu mengembangkan sistem pendidikan
yang secara aktif mengajarkan santri untuk menghargai hak-
hak kemanusiaannya yang universal, terutama dalam
hubungannya dengan bermasyarakat dan bernegara.
3. Pesantren harus mampu menumbuhkan sikap kritis reflektis
pada santri yang menjadi salah satu pilar pemberdayaan
53 Akbar Zainuddin, op. cit., hlm. 114. 54 Ismail SM., “Pengembangan Pesantren Tradisonal”, Sebuah Hipotesis
Mengantisipasi Perubahan Sosial, dalam Ismail SM dan Nurul Huda (eds.), Dinamika Pesantren dan Madrasah, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 56.
55 Akbar Zainuddin, op. cit.
Yuzarion Zubir
~ 62 ~
masyafakat.
Sebagai gambaran, kondisi pesantren sendiri masih
menyisakan berbagai kelemahan yang menjadi persolan, sebagai
berikut : Pertama, kultur pendidikan pesantren lebih banyak bersifat
paternalistik dengan kyai atau pengasuh pesantren sebagai sumber
otoritas utama. Dengan demikian kultur ini akan menginternal
dalam mentalitas santri ataupun lulusannya ketika terjun ke
masyarakat. Kedua, pola pendidikan pesantren masih bersifat
pedagogik dengan santri sebagai objek pendidikan. Ketiga,
partisipasi santri dalam pembentukan format sosial pesantren masih
sangat minim akibat sentralisasi kekuasaan yang masih ada pada
tangan pengasuh/kyai.56
Sesuai dengan paparan diatas, ada dua point penting yang
sudah bisa dicatat ketika ingin membuka wacana pesantren dalam
hubungannya dengan pemberdayaan masyarakat, yakni : Pertama,
pesantren pada hakekatnya mempunyai potensi besar untuk ikut
dalam gelombang pengembangan masyarakat yang selama ini
bergulir, karena dipesantren terdapat daya tarik dalam gerakannya
sebagai pusat gerakan. Kedua, pesantren masih memilki cukup
banyak persolan sehingga potensi tersebut kurang bisa muncul dan
menjelma manjadi basis pengembangan masyarakat.
Karena itu upaya pemberian stimulus untuk pengembangan
potensi pesantren ini setidaknya dapat didekati malalui dua
pendekatan, yakni : pendekatan sistem dan pendekatan personal.57
Pertama, pendekatan sistem melalui proses perubahan pada
struktur dan kultur pesantren secara keseluruhan. Oleh karena itu,
apabila kita mencoba melakukan pendekatan sistem melalui proses
perubahan pada struktur dan kultur pesantren secara keseluruhan,
maka kita akan dihadapkan pada resiko dan konsekuensi dalam
proses pendekatannya nanti. Pada pendekatan sistem ini,
kemungkinan terjadi resistensi dan selfdefense dari pihak pengasuh
pesantren cukup besar.
56 Ibid., hlm. 115. 57 Akbar Zainuddin, Op. cit.
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 63 ~
Karena seperti sebuah sistem yang mapan pada umumnya.
Munculnya pemikiran baru diluar konstruksi pemikiran yang ada
dapat dipastikan akan menimbulkan resistensi internal. Walaupun
dengan tanpa menafikan adanya respon para pengasuh pesantren
yang sangat beragam.58
Kedua, melalui pendekatan personal kepada santri ataupun
lulusan pesantren yang diharapkan bisa menjadi aktor bagi
pengembangan masyarakat secara lebih luas.
Hal itu disebabkan santri ataupun alumni pesantren telah
menerima suatu jenis pendidikan yang bersifat spirituil dan moral
sedemikian rupa yang dapat dijadikan dasar/basis bagi hidupnya
dalam masyarakat.
Pendidikan di pesantren memungkinkan mereka, pertama,
bersikap bebas dan kedua, siap menjadi anggota masyarakat dalam
masyarakatnya. 59 Sehingga harapan untuk menjadi aktor bagi
pengembangan masyarakat secara lebih luas dapat terealisir.
Adapun pada pendekatan yang kedua ini, seperti halnya pada
pendekatan yang pertama, juga mempunyai resiko dan konsekuensi
berupa resistensi internal.60 Akan tetapi munculnya resistensi ini bisa
diminimalisir, namun membutuhkan potensi yang lebih jelas dari
santri mengingat banyaknya pesantren dan santri di Indonesia.
Pemetaan potensi santri pada hakekatnya juga merupakan
perkara mudah, dibutuhkan semacam need assessment untuk melihat
apa sebenarnya kebutuhan santri, akan lebih mudah memetakan
potensi- potensi tersebar yang diharapkan menjadi basis bagi
pemberdayaan masyarakat. Selanjutnya, dengan kejelasan peta
potensi dan kebutuhan santri diharapkan bisa menjadi acuan untuk
pemberian stimulus-stimulus yang diperlukan agar potensi tersebut
bisa dimunculkan.
Alasan lain fokus pemberian stimulus pada santri adalah
58 Akbar Zainuddin, op. cit. 59 Kafrawi, Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren : Sebagai Usaha
Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan Kesatuan Bangsa, (Jakarta : Cemara Indah, 1978) hlm. 64.
60 Akbar Zainuddin, op. cit., hlm. 116.
Yuzarion Zubir
~ 64 ~
karena di masa depan santri diharapkan bisa menjadi acuan
perubahan (agent of change) dan motor bagi pemberdayaan setelah
mereka terjun di masyarakat, dengan penguatan pada tingkat “calon
pemimpin”, yang diharapkan kualitas kepemimpinannya akan
mampu menumbuhkan kemandirian dan partisipasi masyrakat yang
lebih luas.
Alasan ketiga adalah, agar dapat menimbulkan sifat natural
pada proses perubahan pesantren yang diharapkan dapat
meminimalisir terjadinya efek resistensi internal dari pesantren itu
sendiri.61
Maka dari itu pemberdayaan masyarakat dapat kita ketahui
melalui pengembangan “kemandiran”, ciri kesukarelaan,
“keswadayaan” dan “keswasembadaan”, serta “keterkaitan dengan
norma atau nilai”.62
Pengembangan “kemandirian”, misalnya nampak pada
penyadaran kelompok sasaran untuk memetakan masalah/
kebutuhan mereka, menentukan prioritas program pemecahan/
pemenuhannya dan pelaksanaan program oleh mereka sendiri,
kelompok sasaran menjadi tidak lagi bergantung pada negara. Ciri
“kesukarelaan” nampak pada peran serta aktif semua anggota
kelompok sasaran dalam seluruh proses kegiatan. Kemudian, ciri
“keswadayaan” dan “keswasembadaan” nampak pada
pendayagunaan sumber daya material dan ketrampilan sumber
daya lokal.
Sementara ciri “keterkaitan dengan norma atau nilai”, seperti :
persamaan, keterbukaan, partisipasi, toleransi dan lain sebagainya,
nampak baik dalam diskusi-diskusi anggota kelompok sasaran
tentang pemetaan masalah atau kebutuhan mereka dan penentuan
prioritas program aksi maupun dalam pelaksanaan program itu
sendiri.
Gagasan mengenai peranan pesantren dalam pemberdayaan
masyarakat, bukanlah sesuatu yang final. Ia tidak lebih sebagai suatu
61 Ibid hlm, 117 62 Ismail SM., op. cit., hlm. 196.
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 65 ~
hipotesis dalam kerangka mengantisipasi perubahan masyarakat,
yang merupakan proses yang tidak pernah berakhir-menyertai
pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan dan sosial Islam khas
Indonesia yang unik.
PENUTUP
Terlepas dari macam dan jenis karakter pesantren, bahwa
hampir seluruh pesantren di Indonesia ini memiliki peran untuk
memberikan perlindungan, pengembangan kemajuan di masyarakat
sekitar, manfaat langsung, berupa manfaat yang ditimbulkan
pesantren kepada masyarakat disekitar pesantren dalam hal
ekonomi dan sosial budaya dan mampu berperan sebagai agen
perubahan sosial (agen of social change) yang selalu melakukan kerja-
kerja pembebasan dari segala keburukan moral dan penindasan,
pengusiran dan sejenisnya yang dihadapi oleh masyarakat dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Yuzarion Zubir
~ 66 ~
DAFTAR PUSTAKA
Adzin, Abi Manyu, 2004 Diploma II Tarbiyah Kebutuhan atau Tuntutan,
(Edukasi, XXIX, th. XIV
Ahmadi, 1992 Islam Sebagai Paradigma Ilmu Pendidikan, Yogyakarta :
Aditya Media
An-naisabury, Imam Abi Husain Muslim Ibnu Al-Hujjaj al-Gusyary,
Shahih Muslim, Juz IV, (Beirut Libanon : Darul Kutub Al-
Ilmiyah, 260-261 H)
Azra, Azyumardi, 1997 “Pesantren: Kontinuitas dan Perubahan”
dalam Pengantar Buku Dr. Nurcholis Madjid Bilik-Bilik
Pesantren: Sebuah Potret Perjalanan Jakarta: Paramadina
Billah, M M. 1986 “Pikiran Awal Pengembangan Pesantren” dalam
M. Dawam Rahardjo (ed) Pergulatan Dunia Pesantren Jakarta:
P3M
Daulay, Haidar Putra, 2001 Historitas dan Eksistensi Pesantren Sekolah
dan Madrasah, Yogyakarta : PT. Tiara wacana
Dhofier, Zamakhsari, 1994 Tradisi Pesantren, Jakarta : LP3ES
“Kultur Pesantren dalam Perspektif Masyrarakat Modern”, dalam A.
Rifai Hasan 1997 (eds), Perspektif Islam dalam Pembangunan
Bangsa, Yogyakarta : PLP2M
Faisal, Sanapiah, 1992 Format-format Penelitian Sosial : Dasar-
dasar dan Aplikasi, Jakarta : CV. Rajawali
Farida, Neti, 2003 Santri Alumni Amerika, EDUKASI 27/th X/11/.
Galba, Sindu, 1995 Pesantren Sebagai Wadah Komunikasi, Jakarta : PT.
Rineka Cipta
Haidar, Putra Daulay, 2001 Historitas Dan Eksistensi Pesantren, Sekolah
dan Madrasah Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Hidayat, Komaruddin, 1985 “ Pesantren dan Elit Desa” dalam M.
Dawam Raharjo (ed.) Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun
Dari Bawah, Jakarta : P3M
Kafrawi, 1978. Pembaharuan Sistem Pendidikan Pondok Pesantren :
Sebagai Usaha Peningkatan Prestasi Kerja dan Pembinaan
Kesatuan Bangsa, Jakarta : Cemara Indah
Kunto, Suharsimi Ari, 1996 Prosedur Penelitian3 Yogyakarta : Rineka
Al-Tatwir, Vol. 3 No. 1 Oktober 2016
~ 67 ~
Cipta
Madjid, Nurcholis, 1997 Bilik-bilik Pesantren : Sebuah Potret Perjalanan,
Jakarta : Paramadina, Cet I
Mahfudz, Sahal, 1994 Nuansa Fiqih Sosial Yogyakarta : LkiS, cet. I .
Marimba, Ahmad D, 1980 Pengantar Fislasfat Pendidikan Islam,
Bandung : PT. Al- MA’arif
Mas’ud, Abdurrahman, “ Sejarah dan Budaya Pesantren”, dalam
Ismail SM (ed), Dinamika pesantren dan Madrasah, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2002)
Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren : Suatu kajian
Tentang Unsur Dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren,(
Jakarta; INIS, 1994)
Poerwodarminto, W. J. S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta :
Balai Pustaka, 1999)
Rahardjo, M. Dawam, 1974 “Dunia Pesantren Dalam Peta
Pembaharuan” dalam M. Dawam Rahardjo (ed), Pesantren dan
Pembaharuan Jakarta: LP3ES
, “Kehidupan Pemuda Santri : Penglihatan dari Jendela
Pesantren di Pabelan” dalam Taufik Abdullah, (ed.), Pemuda dan
Perubahan Sosial, (Jakarta : LP3ES, 1982)
Rahim, Husni, 2001. Arah Baru Pendidikan Islam Jakarta: PT. Logos
Wacana Ilmu
Soenarjo, 1971 A, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : Toha Putra
Suyata, “Pesantren Sebagai Lembaga Sosial Yang Hidup” dalam
M.Dawam Rahardjo (ed), Pergulatan Dunia Pesantren:
Membangun dari Bawah, (Jakarta: P3M, 1985)
Tafsir, Ahmad, 2004 Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung :
PT. Remaja Rosdakarya
Tebba, Sudirman, 1985 “Diploma Pesantren : Belenggu Politik dan
Pembaharuan Sosial”, dalam, M. Dawam Raharjo (ed),
Pergulatan Dunia Pesantren : Membangun dari Bawah, Jakarta :
P3M
Tim Departemen Agama RI, 2003. Pola Pembelajaran di Pesantren,
Jakarta : Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam
Wahib, Abdul, 1999 Pengumpulan dan Analisis Data, Makalah
Yuzarion Zubir
~ 68 ~
Disampaikan Pada Pelatihan Metodologi Penelitian Agama
Dan Sosial IAIN Walisongo Semarang
Wahid, Abdurrahman., 1978 “Pesantren dan Pengembangannya”, dalam
Kumpulan Tulisan dan Karangan Abdurrahman Wahid, Pesantren
Tebu Ireng, Jombang, Bunga Rampai Pesantren, Jakarta : CV.
Dharma Bhakti
Wahid, Marzuki., 1999 “Pesantren di lautan Pembangunanisme :
Mencari Kinerja Pemberdayaan”, dalam Marzuki Wahid dan
Suwendi (eds), Pesantren Masa Depan : Wacana Pemberdayaan dan
Transformasi Pesantren, Bandung : Pustaka Hidayah
Wahjoetomo, 1997 Perguruan Tinggi Pesantren : Penddikan Alternatif
Masa Depan, Jakarta : Gema Insani Press
Walgito, Bimo, 2002 Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), Yogyakarta:
Andi Offset, Ed. Revisi
Yafie, Ali, 1997 Teologi Sosial: Telaah Kritis Persoalan Agama dan
Kemanusiaan, Yogyakarta: LKPSM
Yomo, Wiryanto -Wehner, Gunter, 1973 Membangun Masyarakat : Buku
Pegangan Bagi Pekerja Pembangunan Masyarakat, Bandung :
Alumni
Yunus, Mahmud, 1979 Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta :
Mutiara Sumber Widya
Zaenuddin, Akbar., 2002 “Pesantren dan Pengembangan Civil
Society” dalam Rijal Roihan, S.Ag., M.A.(ed.), Kapita Selekta
Pondok Pesantren. Jakarta : Direktorat Jendral Kelembagaan
Agama Islam
Zakaria, Anshori, 2002 “Mencari Peran Ideal Pondok Pesantren
dalam Era Globalisasi : Sebuah Pengamatan Mata Burung,
(Birds Ege View)” dalam Rijal Rokian S.Ag. MA, (ed), Kapita
Selekta Pondok Pesantren Jakarta : Depag RI
Ziemek, 1986 Manfred, Pesantren dalam Perubahan Sosial, (Jakarta :
Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat
(P3M),