Peran Politik Haji Agus Salim dari Masa Pergerakan ...
Transcript of Peran Politik Haji Agus Salim dari Masa Pergerakan ...
1
Peran Politik Haji Agus Salim dari Masa Pergerakan Nasional hingga Revolusi Kemerdekaan (1908-1949)
M. Najmuddin, Linda Sunarti
Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok
Abstrak
Penelitian ini membahas tentang peran politik Haji Agus Salim dari masa Pergerakan Nasional hingga Revolusi Kemerdekaan. Metode yang digunakan pada penelitian ini yaitu metode sejarah yang terdiri dari tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia yang hidup di tiga masa, Haji Agus Salim telah banyak melakukan kegiatan politik sepanjang hidupnya. Pada masa Pergerakan Nasional (1908-1942), Haji Agus Salim terlibat dalam berbagai organisasi termasuk Sarekat Islam. Ketika memasuki masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949), Haji Agus Salim juga aktif dalam dunia diplomasi untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan cara berusaha mendapatkan pengakuan kedaulatan dari negara lain. Hingga meninggalnya pada November 1954, Haji Agus Salim telah banyak berperan dalam perjalanan politik bangsa Indonesia.
Kata Kunci: Haji Agus Salim, Pergerakan Nasional, Revolusi Kemerdekaan, Sejarah Politik.
Haji Agus Salim’s Political Role from Periode of The National Movement until The
Revolution of Independence (1908-1949)
Abstract
This study will discusses about Haji Agus Salim’s Political Role from the era of National Movement until Revolution of Independence. The method used in this research is the historical method comprising the steps of heuristics, criticism, interpretation and historiography. As one of the most important figure in the history of this country who lived in three Indonesian historical priodes, Haji Agus Salim had many political activities throughout his life. During National Movement periode (1908-1942), Haji Agus Salim had involved in various organizations, including Sarekat Islam. When the periode of Revolution of Independence started (1945-1949), Haji Agus Salim also involved in the diplomatic mission abroad to gain foreign support. Haji Agus Salim died in November 1954. He left many legacy of political struggle for Indonesian people.
Keywords: Haji Agus Salim, National Movement, Revolution of Independence, Political History.
Pendahuluan
Haji Agus Salim merupakan salah satu tokoh yang turut berperan dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia. Haji Agus Salim telah hidup dalam tiga masa, yakni zaman
kolonial Belanda, pendudukan Jepang, hingga masa kemerdekaan. Dalam tiga masa tersebut,
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
2
Haji Agus Salim terlibat dalam gerakan politik di organisasi maupun pemerintahan dengan
posisi yang berbeda-beda.
Lahir pada 8 Oktober 1884 di Kota Gadang, Bukittinggi, Sumatra Barat, Haji Agus
Salim pertama kali meniti karirnya sebagai anggota Konsulat Belanda di Jeddah, Hijaz pada
tahun 1906 hingga 1911. Pengalaman langsung bersentuhan dengan masyarakat Arab dan
umat muslim di tanah suci ini menjadi titik balik penting dalam kehidupan Haji Agus Salim,
karena dimasa itulah Haji Agus Salim menemukan agamanya kembali1. Selama menjadi staf
konsulat Belanda di Jeddah, Agus Salim banyak berkunjung ke Mekah untuk menunaikan
ibadah Haji dan berguru kepada beberapa ulama terkemuka disana, salah satunya yaitu Syeikh
Ahmad Khatib yang merupakan ulama asal Sumatra yang diangkat menjadi salah satu Imam
besar Masjid al-Haram2.
Setelah lima tahun berada di Timur Tengah, Haji Agus Salim kemudian pulang ke
tanah air dan pertama kali terjun dalam dunia Pergerakan Nasional melalui organisasi Sarekat
Islam (SI). Sarekat Islam merupakan salah satu organisasi pertama sekaligus terbesar pada
masa Pergerakan Nasional3. Selama menjadi pengurus Sarekat Islam, Haji Agus Salim terjun
dalam masa-masa penuh pergolakan, yakni pada saat disiplin partai. Oleh karena itu,
pengalaman menjadi pengurus Sarekat Islam merupakan bentuk peranan politik terbesar yang
dijalani oleh Haji Agus Salim selama masa Pergerakan Nasional.
Memasuki masa Revolusi Kemerdekaan, terutama pasca dibentuknya kabinet yang
dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir, Haji Agus Salim dipercaya untuk menduduki
posisi Menteri Muda Luar Negeri sejak Maret 1946. Pada waktu menjabat sebagai Menteri
Muda Luar Negeri inilah, Haji Agus Salim mendapatkan salah satu tugas terpenting yang
pernah dijalaninya selama Revolusi Kemerdekaan.
Pada tanggal April 1947, Haji Agus Salim diangkat sebagai ketua delegasi RI di
Mesir, dengan dibantu oleh pelajar Indonesia yang ada disana, mereka berjumpa dengan
berbagai macam tokoh Mesir beserta tokoh-tokoh Arab lainnya. Haji Agus Salim berusaha
memperkenalkan Indonesia kepada masyarakat Mesir untuk mendapatkan simpati bagi
1 Meskipun Haji Agus Salim sekarang lebih dikenal sebagai tokoh Islam, namun sebenarnya dalam pengakuannya sendiri, Haji Agus Salim merasa baru menemukan Islam ketika berada di tanah suci. Pendidikan Barat yang dia tekuni sewaktu belajar di Hindia Belanda sebelumnya telah membentuk karakter yang cenderung menjauhkan dia dari agamanya. Lihat: Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996). Hal: 43-45. 2 Selengkapnya tentang Syaikh Ahmad Khatib, Lihat juga: Jajat Burhanuddin, Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam Sejarah Indonesia, (Bandung: Mizan, 2012), Hal: 241-251. 3 Drs. Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam sarekat Islam, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997), Hal: 35.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
3
perjuangannya guna mendapatkan pengakuan kedaulatan. Akhirnya, pada tanggal 10 Juni
1947, pemerintah Mesir yang diwakili oleh PM Nokrasy Pasha dan pemerintah Indonesia
yang diwakili oleh Haji Agus Salim, menandatangani Perjanjian Persahabatan RI-Mesir yang
sekaligus menandai pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de jure dari pemerintah
Mesir.4
Setelah misi diplomatik Republik Indonesia di Mesir, Haji Agus Salim kemudian
melanjutkan perjalanan mengunjungi sejumlah negara Arab lainnya hingga Juli 1947, ketika
Belanda melancarkan agresi militernya ke wilayah Republik Indonesia. Haji Agus Salim
kemudian segera ditugaskan untuk meninggalkan Timur Tengah guna menemani Sutan
Sjahrir ke Amerika Serikat untuk menghadiri sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 12
Agustus 1947.5
Pada bulan Desember 1948, disaat terjadi agresi militer Belanda yang kedua, Haji
Agus Salim turut ditangkap bersama dengan sejumlah pimpinan RI hingga dibebaskan pada
pada awal tahun 1949, Setelah diakuinya kedaulatan Indonesia pada sidang KMB (Konferensi
Meja Bundar) dan berdirinya RIS (Republik Indonesia Sarekat) pada 27 Desember 1949, Haji
Agus Salim mulai mengurangi aktifitas politiknya dan kemudian meninggal pada 4 November
1954.6
Dengan latar belakang perjalanan politik yang begitu panjang, Haji Agus Salim telah
menjadi bagian dari sejarah bangsa Indonesia. Sebagai seorang politisi yang pernah
mendapatkan pendidikan Belanda, sikap Haji Agus Salim yang teguh menentang
kolonialisme Belanda di Indonesia menjadikan dia tokoh yang istimewa bagi penulis. Selain
itu, status Haji Agus Salim sebagai cendekiawan muslim yang turut mewarnai perjalanan
ploitiknya juga sekaligus memberikan sumbangsih bagi sejarah pemikiran politik Islam di
Indonesia. Oleh karena itu, penulis memiliki ketertarikan untuk meneliti Haji Agus Salim.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, permasalahan yang akan menjadi fokus
kajian dalam penelitian ini adalah “Bagaimana peran politik Haji Agus Salim dari masa
Pergerakan Nasional hingga Revolusi Kemerdekaan (1908-1949)”. Adapun pertanyaan-
pertanyaan penelitian yang diajukan untuk menjawab permasalahan tersebut antara lain:
4 AR. Baswedan, “Catatan dan Kenangan”, dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1996). Hal:147-148. 5 Muhammad Zein Hassan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980). Hal: 227-230 6 Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 93
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
4
1. Faktor-faktor apa yang melatarbelakangi kiprah politik Haji Agus Salim di
Indonesia?
2. Bagaimana situasi dan kondisi politik Indonesia pada masa Pergerakan
Nasional dan Revolusi Kemerdekaan?
Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
Metode Sejarah yang terdiri dari Heuristik, kritik, interpretasi dan Historiografi. Dengan
demikian, Metode Sejarah yang penulis gunakan dapat di jelaskan sebagai berikut:
Heuristik. Tahap ini merupakan langkah pertama dalam setiap Metode Sejarah.
Heuristik adalah proses pengumpulan sumber informasi yang berkenaan dengan penelitian
yang sedang dijalankan oleh penulis. Sumber Sejarah dapat di bagi menjadi dua yakni sumber
Primer dan sumber Sekunder. Sumber Primer merupakan data-data yang berasal dari pihak
pertama baik itu lisan, maupun tulisan sehingga dapat berupa naskah, arsip, berita koran,
wawancara dan sebagainya. Untuk penelitian yang sedang penulis jalankan, penulis
mendapatkan sumber primer dari Arsip Nasional berupa surat-surat dari Panitia Pembela
Kemerdekaan Indonesia (PKI) di Kairo yang semuanya disimpan dalam koleksi almarhum
Muhammad Bondan, ketua Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PKI) cabang Australia
pada tahun 1947-1948. Semua data berupa surat dan dokumen-dokumen yang berasal dari
komunitas-komunitas pembela kemerdekaan Indonesia di negara lain tersimpan rapi dalam
koleksi Muhammad Bondan karena PKI Australia waktu itu merupakan pusat informasi bagi
Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia yang tersebar di luar negeri. Surat-surat dan dokumen
ini sangat penting untuk menjelaskan peran politik terpenting Haji Agus Salim selama masa
Revolusi Kemerdekaan, yakni menjadi ketua delegasi RI di Mesir dan Timur Tengah (1947-
1948). Surat-surat ini juga menjelaskan kondisi sosial-politik yang terjadi di Mesir dan Timur
Tengah secara umum pada waktu itu. Sedangkan untuk biografi umum Haji Agus Salim serta
peran politiknya di masa Pergerakan Nasional dan pasca misi diplomatik RI di Timur Tengah,
penulis mendapatkan informasinya melalui sumber sekunder. Penulis mendapatkan berbagai
macam buku dan tesis dari perpustakaan UI, Perpustakaan Nasional, Freedom Institute, dan
Perpustakaan PBNU serta jurnal elektronik dari Jstor.
Kritik. Setelah sumber-sumber penelitian berhasil di kumpulkan, maka penulis pun
melakukan tahapan kritik yang terbagi menjadi dua, yaitu kritik internal dan eksternal. Kritik
internal adalah kritik terhadap isi materi dari sumber sejarah, baik yang didapat dari koran
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
5
sezaman, artikel, buku, rekaman video, maupun hasil dari wawancara, sedangkan kritik
eksternal adalah kritik terhadap kondisi fisik dari sumber tersebut. Untuk melaksanakan kritik
tersebut, penulis membagi antara sumber Primer dan Sekunder serta melihat kandungan dari
sumber-sumber yang didapat apakah masih berhubungan dengan topik yang penulis bahas
atau tidak. Untuk sumber Primer, penulis melihat dari isi surat maupun naskah termasuk
tanggal surat itu di keluarkan. Sedangkan untuk sumber sekunder, penulis melakukan kritik
dengan cara melihat biografi pengarang dari buku-buku yang didapat sekaligus melihat
sumber-sumber yang di pakai dalam buku tersebut.
Interpretasi, Tahap ini adalah tahap di mana penulis berusaha untuk menafsirkan
kembali sumber-sumber yang sudah penulis dapatkan setelah proses kritik selesai. sumber-
sumber yang sudah dievaluasi kemudian penulis analisis secara objektif untuk mendapatkan
gambaran yang jelas tentang kaitan antara sumber yang penulis dapatkan dan penelitian yang
sedang penulis jalankan
Terakhir adalah historiografi, Hasil dari interpretasi di atas selanjutnya akan disusun
dan ditulis secara sistematis dalam penulisan sejarah untuk menghasilkan karya ilmiah. Tahap
ini merupakan tahap penyelesaian dalam penelitian.
Hasil Penelitian
Haji Agus Salim lahir pada tanggal 08 Oktober 1884 dengan nama lahir Masyudul
Haq di kota Gadang, Bukit Tinggi. Haji Agus Salim merupakan putra dari Angku Sutan
Muhammad Salim dan Siti Zaenab. Keluarganya merupakan keluarga kelas menengah karena
ayah Haji Agus Salim merupakan Hoofd Jaksa atau kepala Jaksa Hindia Belanda di wilayah
Riau. Nama Agus Salim sejatinya berasal dari panggilan yang diberikan kepada Agus Salim
oleh pengasuhnya.
Haji Agus Salim pertama kali mengenyam pendidikan formalnya di ELS (Europeese
Lagere School) Riau pada tahun 18917 serta di HBS (Hogere Burgerschool) Batavia pada
tahun 1899. Setelah lulus dari HBS, awalnya Haji Agus Salim berencana untuk melanjutan
pendidikan di sekolah kedokteran di negeri Belanda, namun karena Agus Salim merupakan
kaum pribumi, maka dia pun tidak mendapatkan beasiswa. Atas saran dari Dr. Snouck
7 Kustiniyati Mochtar. “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 36-37.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
6
Hurgronje8 yang pada waktu itu merupakan salah satu guru utamanya, Haji Agus Salim
direkomendasikan untuk bekerja di konsulat Kerajaan Belanda di Jeddah.9.
Haji Agus Salim kemudian bertugas di Jeddah10 dari tahun 1906-1911 di bawah
Konsul N. Scheltema. Pada awalnya, Haji Agus Salim bekerja sebagai leerling drogman
(magang penerjemah) sesuai surat keputusan Ratu Wilhelmina tanggal 27 Agustus 1906.11
Surat keputusan tersebut didapatkan atas usulan dari Snouck Horgronje yang merasa bahwa
Haji Agus Salim, sebagai alumni HBS yang muda yang sangat brilian sekaligus salah satu
orang pribumi yang sangat layak untuk diangkat menjadi diplomat di Jeddah.12
Perlu diketahui di sini bahwa tujuan lain dari Haji Agus Salim datang ke tanah Hijaz
adalah untuk bertemu dengan seorang ulama Jawi (Muslim Nusantara yang tinggal di Timur
Tengah) paling terkemuka pada waktu itu yang bernama Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabauwi, Imam Mazhab Syafii di Masjid al-Haram13.
Haji Agus Salim bertemu dengan Syaikh Ahmad Khatib selain untuk bersilaturahmi
(karena Syaikh Ahmad Khatib masih terhitung saudara sepupunya sendiri), juga sekaligus
ingin memperdalam pemahamannya tentang Islam. Sebagai salah seorang Imam Besar Masjid
al-Haram, pengetahuan luas yang dimiliki oleh Syaikh Ahmad Khatib oleh Haji Agus Salim
diharapkan mampu menjawab segala macam pertanyaan-pertanyaan yang meragukan pikiran
Haji Agus Salim tentang agama Islam. Haji Agus Salim belum pernah mendapatkan
pendidikan agama Islam secara formal. Sejak remaja, dia sudah sangat akrab dengan pola
pendidikan barat yang dia dapat di bangku sekolah sehingga Haji Agus Salim merasa bahwa
keislamannya hanyalah bawaan dari kebangsaan saja14.
Selama lima tahun belajar kepada Syaikh Ahmad Khatib, Haji Agus Salim kemudian
berubah menjadi cendekiawan muslim yang terkemuka. Pola pendidikan barat yang telah dia
tempuh semenjak dia masih anak-anak mulai bergeser dan tidak lagi mempengaruhi
pemikiran Haji Agus Salim. Melalui perantara Syaikh Ahmad Khatib, Haji Agus Salim
semakin memperkokoh iman Islamnya. Pengetahuan Islam yang dimiliki oleh Haji Agus
8 Selengkapnya tentang peran Christian Snouck Horgronje dalam kebijakan pemerintahan Hindia-Belanda, terutama yang berkaitan dengan Islam, bisa dilihat: Jajat Burhanuddin, Op Cit, hal: 151-165. 9 Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 42. 10 Selengkapnya tentang Jeddah pada awal abad XX. Lihat: Dr. M. Shaleh Putuhena. Historiografi Haji Indonesia. (Yogyakarta: LKIS. 2007) Hal: 222-247. 11 Ibid, Hal: 237 12 Ibid., Hal: 237. 13 Kusniyati Mochtar, “Haji Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit, Hal: 44. 14 Ibid, Hal: 45.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
7
Salim akan menjadi salah satu faktor terpenting yang mendukung karir politiknya dalam masa
Pergerakan Nasional serta masa Revolusi Kemerdekaan.15.
Sedangkan di tanah air, pada dekade-dekade awal abad XX, Hindia Belanda sedang
mengalami masa-masa Pergerakan Nasional. Selain ditandai dengan munculnya organisasi
berhaluan kebangsaan seperti Budi Utomo (1908), beberapa diantaranya juga terinspirasi oleh
semangat keagamaan yang baru. Ketika Timur Tengah dilanda oleh semangat pembaharuan
Islam dalam bentuk Ijtihad 16 yang dipimpin oleh Muhammad Abduh dan Jamaluddin
Afghani17, semangat ini juga menular dikalangan cendikiawan muslim Hindia Belanda.
Semangat Islam ini membentuk beberapa organisasi yang bergerak dibidang politik, ekonomi,
sosial, budaya dan pendidikan. Beberapa organisasi pun berdiri seperti Sarekat Islam pada
tahun 1912, Muhammadiyah pada tahun 1912, dan Nahdlatul Ulama pada tahun 192618.
Sepulangnya dari Jeddah Haji Agus Salim menikah dengan wanita yang masih
terhitung sepupunya sendiri yang benama Zainatun Nahar dan dikarunia sepuluh orang
anak.19 Kemudian pada tahun 1915, Haji Agus Salim bergabung dengan SI (Sarekat Islam).
Organisasi ini merupakan salah satu organisasi Pergerakan Nasional terbesar pada waktu itu.
Sarekat Islam merupakan organisasi yang berdiri di Solo pada 11 November 1912 sebagai
kelanjutan dari organisasi sebelumnya yakni Sarekat Dagang Islam20.
Haji Agus Salim sangat kagum dengan pemimpin SI pada waktu itu, Haji Omar Said
(HOS) Cokroaminoto.21 Ketika Haji Agus Salim bergabung dengan SI, sudah tejadi beberapa
permasalahan dalam organisasi. Sarekat Islam yang memiliki banyak anggota dan cabang
pada akhirnya dapat dimasuki oleh banyak kalangan. Ideologi-ideologi yang berbeda pun
mewarnai organisasi ini. Salah satu ideologi yang sedang berusaha untuk memperluas
pengaruhnya adalah Marxisme yang nantinya menjadi alasan perpecahan dalam SI.22
15 Suhatno Dkk. Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muhammad Husni Thamrin. 1995. Depdikbud: Jakarta. Hal: 21. 16 Ijtihad merupakan istilah yang mengacu kepada segala daya upaya yang dapat menghasilkan penafsiran baru terhadap ajaran Islam yang dilakukan oleh ulama-ulama khusus yang sudah diakui dan memiliki kredibelitas keilmuan yang layak (Mujtahid). Selengkapnya tentang Ijtihad, lihat: Prof. Dr. Umar Shihab, Kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir, dan Isu-isu Kontemporer, (Bandung: Mizan, 2014). Hal:119-135 17 Selengkapnya tentang Jamaluddin Afghani (1839-1897) dan Muhammad Abduh (1849-1905) lihat: Jajat Burhanuddin, Op Cit. Hal: 252-263 18 Mukayat, Haji Agus Salim, Karya dan Pengabdiannya (Jakarta: Dedikbud, 1985). Hal: 55 19 Kustiniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 45-46. 20 Vishal Singh, “The Rise of Indonesian Political Parties”, Journal of Sautheast Asian History Volume 2 No. 2, (Cambridge University Press, 1961). Hal: 51 21 A.P.E. Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, (Jakarta: Grafitipers, 1985), Hal:195. 22 Drs. Suradi, Op Cit, Hal: 41.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
8
Masuknya ideologi Marxisme kedalam Sarekat Islam pada dasarnya tidak bisa
dilepaskan dari keberadaan ISDV (Indische Social Democratische Vereniging). Pada tahun
1914, H.J.V. Sneevlet, tokoh Komunis asal Belanda mendirikan ISDV dengan tujuan untuk
mempromosikan ide-ide sosialisme di wilayah Hindia Belanda. Pada awalnya kebanyakan
anggota dari ISDV terdiri dari orang-orang Eropa yang sedikit sekali mengetahui
permasalahan sosial-politik orang-orang pribumi di Hindia Belanda. Namun karena ISDV dan
SI sama-sama menentang Imperealisme dan kapitalisme, maka ide-ide ISDV pun berkembang
pesat dalam SI.23 Dengan adanya pengaruh kuat dari marxisme ini, maka agama Islam yang
semula menjadi ideologi utama dalam SI semakin tergeser. Untuk mencegah pengaruh
marxisme yang semakin meluas dalam tubuh SI, maka pada kongres SI di Surabaya pada
Oktober 1921, Haji Agus Salim dan salah satu pimpinan SI, yakni Abdul Muis memutuskan
untuk mendisiplinkan organisasi dengan menolak ideologi Marxisme dalam organisasi serta
mengeluarkan anggota-anggota SI yang mendukung Marxisme.
Selain terjun sebagai pengurus Sarekat Islam, Haji Agus Salim juga terlibat dalam
dunia jurnalistik. Untuk menyebarkan pemikirannya, beberapa surat kabar pernah dikelola
oleh Haji Agus Salim seperti Neratja, Hindia Baroe, Bendera Islam, Fadjar Asia. Surat
kabar-surat kabar tersebut tidak hanya menjadi media utama Haji Agus Salim dalam
menyuarakan ide-ide Haji Agus Salim tentang Islam dan dunia Pergerakan Nasional, tapi juga
sebagai media propaganda anti pemerintah kolonial. Seringkali beberapa surat kabar yang
dikelola oleh Haji Agus Salim mendapatkan pertentangan dari pemerintah Kolonial sehingga
Haji Agus Salim pun dikeluarkan dari kepengurusan surat kabar tersebut.24
Ketika Jepang menduduki Indonesia (1942-1945), Haji Agus Salim sempat bekerja
kepada pemerintah pendudukan Jepang dengan menciptakan kamus istilah militer Jepang-
Indonesia. serta menjadi anggota BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia).
Setelah pendudukan Jepang berakhir, Indonesia memproklamasikan kemerdekannya
pada 17 Agustus 1945. Indonesia memproklamasikan kemerdekaan dengan kondisi dimana
tidak ada satu pun negara yang mengakui kedaulatannya secara de jure. Hal ini menjadi
penghalang yang sangat serius bagi Indonesia dalam menghadapi Belanda yang ingin
menjajah Indonesia kembali. Oleh karena itu, politik indonesia pada masa ini adalah
mempertahankan kemerdekaan yang sudah diproklamirkan. Salah satu caranya adalah dengan
23 Erni Hayati Kahfi, Op Cit, hal. 92 24 Kustiniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 71-72.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
9
menjalankan politik diplomasi. Tujuan diplomasi Indonesia pada masa awal Revolusi
Kemerdekaan salah satunya adalah mendapatkan pengakuan dari negara lain. Hal ini
ditegaskan oleh Ide Anak Agung Gede Agung dalam bukunya Twenty Years of Indonesian
Foreign Policy: 1945-1965. Dalam bukunya, dijelaskan bahwa diplomasi Indonesia pada
masa awal kemerdekaan memiliki tiga tujuan:
1. To seek international recognition of Indonesia’s independence as procalaimed
by Soekarno and Hatta on the eventful day of August 17, 1945;
2. To defend Indonesia’s freedom against the encroachment of the Dutch
government, wich was trying even by the use of military force, to impose a
new style of colonial rule in Indonesia based on the “Queen Wilhelmina
Declaration” of December 7, 1942;
3. To concieve a course of diplomacy for settlement of the Dutch-Indonesian
dispute by negotiation and accomodation, by applying to a third power to
render her good offices as mediator, or by submitting the dispute to the
jurisdiction of the United Nations for its assistence in reachinga solution.25
Untuk mendukung misi tersebut, maka pada 12 Maret 1946, Haji Agus Salim diangkat
sebagai Menteri Muda Luar Negeri26. Salah satu peran utama Haji Agus Salim dalam
kapasitasnya sebagai Menteri Muda Luar Negeri adalah sebagai ketua delegasi Indonesia
untuk Timur Tengah.
Timur Tengah menjadi salah satu tujuan utama diplomasi bangsa Indonesia karena
memiliki kedekatan agama yang sangat kuat. Sebagaimana di Timur Tengah, Indonesia juga
mayoritas penduduknya beragama Islam. Masyarakat keturunan Arab juga sudah berada di
Nusantara sejak berabad-abad lamanya. Kebanyakan merupakan keturuanan dari wilayah
Hadramaut, Yaman27.
Berita proklamasi kemerdekaan Indonesia juga mendapatkan sambutan yang hangat
dan meriah dari masyarakat di Timur Tengah khususnya Mesir. Media masa setempat
menyambut proklamasi tersebut dengan sangat antusias. Warga Indonesia di sana pun
mendirikan Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia (PKI) cabang Kairo. Bahkan masyarakat
Mesir sendiri juga ikut mendirikan organisasi serupa guna menyokong perjuangan
25 Ide Anak Agung Gede Agung, Ide Anak Agung Gede Agung, Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965, (Belanda: Mouton & Co, 1973, Hal: 20. 26 Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas”, dalam Op Cit. Hal: 21 27 Huub de Jonge, “Discord and Solidarity Among The Arabs in Netherlands East Indies 1900-1942”, Indonesia No. 55, (Cornel University: Southeast Asia Program Publications, 1993). Hal: 75.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
10
Indonesia28. Dukungan juga datang Ikhwanul Muslimin, organisasi sosial keagamaan terbesar
di Mesir29.
Pada tanggal 31 Oktober 1946, Sekjen Liga Arab, Abdur Rahman Azzam Pasha
mengusulkan agar masalah Indonesia diagendakan dalam sidang Liga Arab pada bulan
November30. Atas izin dari Kepala Negara Mesir, Raja Farouk, maka diutuslah Muhammad
Abdul Mounim, Konsul Mesir di Bombay, India, ke Jogjakarta untuk menyampaikan
dukungan Mesir dan Liga Arab kepada Republik Indonesia serta mengundang perwakilan RI
ke Mesir.31 Raja Farouk yang menjabat sebagai Raja Mesir sejak tahun 1937 pada saat
usianya baru menginjak 16 tahun32 tersebut menurut Azzam Pasha sedang “bermimpi” untuk
menjadi Khalifah umat muslim seluruh dunia sehingga dia merasa perlu untuk mendukung
penuh perjuangan kemerdekaan Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam.33
Pada pagi hari tanggal 13 Maret 1947, mendaratlah Konsul Abdul Mounim di
Maguwo Jogja34 dan langsung bertemu dengan Presiden Sukarno di hari itu juga.35 Selain
menyampaikan pesan dari Raja Farouk, Abdul Mounim juga menyampaikan pesan dari Liga
Arab bahwa lembaga tersebut telah menganjurkan anggotanya agar mengakui kemerdekaan
Indonesia dan meminta pemerintah RI agar mengirim delegasi ke Timur Tengah. Pemerintah
RI segera merespon permintaan utusan Liga Arab dan Mesir tersebut dengan berjanji akan
mengirimkan delegasi ke ke Mesir untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan RI secara de
jure dari pemerintah Mesir. Maka pada tanggal 19 April 1947 mendaratlah delegasi RI di
lapangan udara Kairo36.
28 ANRI, Koleksi Mohammad Bondan No. 537, “Surat PKI pusat di Kairo kepada Cenkim Australia pada tanggal 8 September 1946 Tentang Propaganda” 29 M Arif Ramadhan, Peran Mahasiswa dan Alumni Al-Azhar dalam Hubungan Indonesia-Mesir (Tesis), (Jakarta: Program Pascasarjana UI, 2011), hal: 91 30 Selengkapnya tentang uraian langkah-langkah Panitia PKI Kairo, Lihat: ANRI, Koleksi Mohammad Bondan No. 541 “Surat dari PKI pusat di Kairo kepada Cenkim Australia pada tanggal 8 November 1946 tentang sidang Liga Arab pada 15 November 1946” 31. Abdul Rahman Azzam Pasha, “Masalah Indonesia: Penggalang kerjasama Arab-Asia” diterjemahkan oleh Ismail Albandjar, dalam Sekitar Perjanjian Persahabatan indonesia-Mesir tahun 1947, (Jakarta: Panita Peringatan HUT ke-32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir, 1978). Hal: 79. 32 Laila Morsy, Farouk in British Policy, Middle Eastern Studies Volume 20 No. 4, (Tylor & Francis, Ltd., 1984), Hal: 193. 33 Abdul Rahman Azzam Pasha, “Masalah Indonesia: Penggalang kerjasama Arab-Asia” diterjemahkan oleh Ismail Albandjar, dalam Op Cit, Hal: 74-75. 34 K’tut Tantri, Revolusi di Nusa Damai, (Jakarta: Gunung Agung, 1965). Hal:394-405. 35 H.M. Sudjono, “Cerita Laksamana Madya H.M. Sudjono tentang Kedatangan Utusan Liga Arab, Abdul Mounim”, Sekitar Perjanjian Persahabatan indonesia-Mesir tahun 1947, (Jakarta: Panita Peringatan HUT ke-32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir, 1978). Hal: 89. 36 Muhammad Zein Hassan, Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri, (Jakarta: Bulan Bintang, 1980). Hal: 197.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
11
Delegasi RI tersebut diketuai oleh Haji Agus Salim. Setelah mengalami permasalahan
dibagian imigrasi bandara37, anggota delegasi RI di bandara Kairo yang terdiri dari Haji Agus
Salim (Menteri Muda Luar Negeri), A.R. Baswedan (Menteri Muda Penerangan), dan Dr. Mr.
Nazir St. Pamuncak (Pegawai Tinggi Kemenlu) ini disambut oleh dua anggota delegasi lain
yakni H.M. Rasyidi (Sekjen Kementerian Agama) dan Mayor Jendral Abdul Kadir yang
terlebih dahulu tiba di Mesir pada tanggal 5 April. Rombongan delegasi ini kemudian menuju
ke markas Liga Arab, tepatnya di ruang tunggu Sekjen Liga Arab untuk bertemu dengan
pantia pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia.38
Kegiatan pertama yang dilakukan oleh delegasi RI adalah bertemu dan berdiskusi
dengan panitia pusat Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia. Panitia menjelaskan tentang
langkah-langkah yang dilakukan oleh Perkumpulan Kemerdekaan Indonesia dalam membantu
pemerintah Indonesia39. Haji Agus Salim selaku ketua delegasi menyatakan rasa terima
kasihnya kepada para pemuda Indonesia yang dengan gigih telah turut serta memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia melalui caranya masing-masing. Pemerintah Indonesia mengerti dan
sangat mendukung upaya yang dilakukan oleh panitia dalam memperjuangkan pengakuan
kedaulatan Republik Indonesia.40
Agenda berikutnya setelah bertemu dengan panitia pusat serta para pelajar di Mesir
adalah memulai kunjungan-kunjungan kehormatan yang memakan waktu selama kurang lebih
tiga bulan. Puncaknya, setelah bertemu dengan Raja Farouk dan tokoh-tokoh Arab lainnya,
Pada tanggal 10 Juni 1947 bertepatan dengan 21 Rajab 1366 H, Haji Agus Salim bertemu
dengan Mahmud Fahmy Nokrasyi, Perdana Menteri Mesir untuk menandatangani naskah
perjanjian persahabatan RI-Mesir. Naskah perjanjian persahabatan inilah yang menjadi bukti
pengakuan pertama secara de jure atas kedaulatan RI oleh negara berdaulat lainnya.41
Pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan agresi militernya yang pertama.
Belanda menyebut agresi tersebut dengan “aksi polisionil”. Pemerintah RI yang pada waktu
itu dipimpin oleh Amir Syarifuddin segera mengutus Sutan Sjahrir ke New York untuk
mengadukan permasalahan ini ke PBB. Haji Agus Salim yang menjabat sebagai ketua
37 Masalah ini berkenaan dengan petugas imigrasi yang bingung karena tidak mengenal negara Indonesia. Tapi setelah dijelaskan bahwa rombongan delegasi ini semuanya beragama Islam, maka petugas imigrasi tersebut tanpa banyak bertanya langsung menyambut dan mempersilahkan mereka untuk lewat. Selengkapnya lihat: AR. Baswedan, “Catatan dan Kenangan”, Op Cit. Hal: 140. 38 Muhammad Zein Hassan, Op Cit. Hal: 197. 39 ANRI, Koleksi Mohammad Bondan No. 548, “Surat dari Pegurus PKI Pusat Cairo di Cenkim Brisbane Tanggal 12 maret 1947 Tentang Uraian langkah-langkah PKI Tahun 1947”. 40 Muhammad Zein Hassan, Op Cit. Hal: 202. 41 AR. Baswedan, “Catatan dan Kenangan”, dalam Op Cit. Hal:147-148.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
12
delegasi RI di Timur Tengah pun telah diangkat menjadi Menteri Luar Negeri sejak tanggal 3
Juli 1947 dan diminta untuk menemani Sjahrir ke Amerika Serikat.
Dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada tanggal 31 Juli 1947, Australia
mengajukan permasalahan Indonesia agar masuk dalam agenda sidang. Australia meminta
kepada Dewan Keamanan untuk mengehentikan permusuhan yang berlangsung antara tentara
Belanda dengan pejuang Indonesia semenjak aksi militer Belanda tanggal 21 Juli.42 Belanda
dan India yang bukan anggota dewan juga diundang menghadiri sidang tersebut namun tidak
memiliki suara dalam menentukan keputusan Dewan Keamanan. Wakil Australia, Kolonel
Hudgson kemudian mengusulkan untuk turut serta mengundang wakil dari RI namun
mendapatkan penolakan dari wakil Belanda.43 Faris el-Khouri44, Duta Besar Suriah untuk
PBB yang pada waktu itu terpilih sebagai salah satu anggota Dewan Keamanan setuju agar
perwakilan RI diundang dalam sidang PBB45.
Sidang tentang masalah Indonesia ini dilanjutkan kembali pada tanggal 12 Agustus
1947. Kali ini Suriah bertindak sebagai ketua sidang dan perwakilan dari Indonesia pun secara
resmi diizinkan untuk hadir dalam sidang. Dukungan dari Suriah ini diberikan setelah Suriah
mengakui kedaulatan RI pada bulan Juni. Keputusan Suriah untuk turut mengakui kedaulatan
RI juga karena Mesir telah mengakuinya terlebih dahulu.46 Dalam sidang tersebut, Sutan
Sjahrir menegaskan perlunya mediasi dari pihak ketiga untuk mengakhiri perselisihan antara
RI dengan Belanda. Pidato Sjahrir ini kemudian meghasilkan dibentuknya KTN (Komisi Tiga
Negara) sebagai mediator yang terdiri dari Australia, Belgia, dan Amerika Serikat47.
Pasca menghadiri sidang PBB tersebut, Haji Agus Salim kemudian kembali ke
Indonesia. Sebagai Menteri Luar Negeri dibawah kabinet Amir Sjarifuddin (3 Juli 1947-29
Januari 1948) dan kabinet Hatta (29 Januari 1948-4 Agustus 1948).
42 Digital Archive of Repertoire of The General Assembly of The United Nations, Chapter VII: Maintenace of International Peace and Security, “The Indonesian Question (II)”, Hal: 315. http://www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/46-51_08.pdf (Diakses pada tanggal 29 November 2015, pukul 23.00) 43 Muhammad Roem, “Debat Tentang Status Republik Indonesia di Dewan Keamanan”, dalam Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir tahun 1947, (Jakarta: Panita Peringatan HUT ke-32 Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir, 1978). Hal:62-63. 44 Faris el-Khouri adalah negarawan Suriah yang berama Kristen, fakta ini menunjukkan bahwa hubungan Indonesia dengan negara-negara Arab di Timur Tengah tengah melewati batas-batas keagamaan. Selengkapnya lihat: Sami Moubayed, Good Christian, and Orientalists to the Bone, http://newsweek.washingtonpost.com/postglobal/sami_moubayed/2007/12/good_christians_and_orientalis.html (Diakses pada 29 November 2015, Pukul: 22.30) 45 Muhammad Roem, “Debat Tentang Status Republik Indonesia di Dewan Keamanan”, dalam Op Cit, Hal: 69. 46 Ibid., Hal: 70-73. 47 Rudolf Mrazek, Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Obor, 1996), Hal:624.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
13
Pada tanggal 18 Desember 1948, Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua.
Setelah Yogyakarta diduduki pada 19 Desember, para pimpinan RI sepakat untuk
membiarkan diri mereka ditangkap, dengan harapan bahwa opini masyarakat internasional
akan berbalik mendukung Indonesia serta untuk menjaga kontak dengan perwakilan KTN.
Pada tanggal 6 Juli 1949, Haji Agus Salim beserta para pimpinan RI lainnya dibebaskan dan
dikembalikan ke Yogyakarta. Haji Agus Salim diangkat kembali menjadi Menteri Luar
Negeri hingga berdirinya RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tanggal 27 Desember 1949.48
Pasca pengakuan kedaulatan oleh Belanda, Haji Agus Salim kemudian mulai
mengurangi aktifitas politiknya. Haji Agus Salim sempat menjadi penasehat Menteri Luar
Negeri RIS dari Februari hingga April 1950, namun setelah itu, Haji Agus Salim tidak lagi
menjabat dalam pemerintahan. Kehidupan Haji Agus Salim kemudian dijalani dengan
berbagai kegiatan seperti menjadi dosen tamu di Cornell University (Januari-Juni 1953),
menghadiri upacara penobatan Ratu Elizabeth II di Inggris (Juni 1953), hingga menjadi
peserta pada Colloqoium on Islamic Culture di Princeton University (Agustus 1953). Pada
tanggal 4 November 1954, Haji Agus Salim meninggal dunia pada usia 70 tahun. Jasadnya
kemudian disemayamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata.49
Penutup
Sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah politik Indonesia, Haji Agus Salim
telah banyak memberikan sumbangan bagi sejarah perjalanan bangsa. Lahir dari keluarga
menengah pribumi, Haji Agus Salim kemudian menempuh pendidikan di sekolah Belanda,
yakni ELS dan HBS. Apa yang dilihat dan dirasakan Haji Agus Salim selama menempuh
pendidikan di sekolah Belanda pada akhirnya membuat Haji Agus Salim sadar bahwa
pendidikan kolonial pada dasarnya hanya ditujukan untuk kepentingan penjajah.
Pada tahun 1909-1911, Haji Agus Salim bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah, Hijaz.
Selama lima tahun di Hijaz, Haji Agus Salim juga belajar agama secara lebih mendalam
dengan Syaikh Ahmad Khatib. Dia yang dulunya sangat skeptis dengan agama, kemudian
berubah menjadi orang yang sangat mencintai agamanya. Proses pembelajaran dengan syaikh
Ahmad Khatib juga turut berperan dalam membentuk sikap politiknya ketika pulang ke tanah
air.
48 Mukayat, Op Cit, Hal: 82. 49 Kusniyati Mochtar, “Agus Salim Manusia Bebas” dalam Op Cit. Hal: 93
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
14
Pada tahun 1915, Haji Agus Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI). Melalui
organisasi Sarekat Islam, Haji Agus Salim pertama kali terjun dalam dunia politik di tanah air.
Haji Agus Salim turut berperan dalam perjuangan organisasi untuk mendapatkan
kemerdekaan politik bagi bangsa Indonesia. Selain itu, Haji Agus Salim juga terlibat dalam
konflik internal yang terjadi dalam tubuh organisasi, yakni konflik antara golongan yang pro
dan anti Marxisme yang pada akhirnya mengakibatkan keputusan berupa disiplin partai yang
menolak unsur-unsur Komunisme dalam organisasi. Penolakan terhadap Komunisme ini
dilandasi kepada keyakinan teguh Haji Agus Salim akan ideologi Islam yang menurutnya
tidak perlu dicampuradukkan dengan ideologi-ideologi lain semacam Marxisme.
Pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Sukarno memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia dan dimulailah masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1949). Salah satu peristiwa
terpenting yang dijalani oleh Haji Agus Salim di masa Revolusi Kemerdekaan adalah
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia secara de jure oleh Mesir. Haji Agus Salim yang
pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri didaulat sebagai ketua delegasi
Indonesia di Mesir. Hal ini karena Haji Agus Salim dianggap paling berpengalaman dengan
dunia politik di Timur Tengah serta posisinya sebagai cendekiawan muslim yang dapat
menunjang kelancaran proses diplomasi di sana. Maka pada 19 Apil 1947, Haji Agus Salim
dan rombongan delegasi tiba di Kairo, Mesir. Setelah menunggu hampir tiga bulan, akhirnya
kedaulatan RI pun diakui oleh pemerintah RI secara de jure dengan ditandatanganinya naskah
Perjanjian persahabatan RI-Mesir pada tanggal 10 Juni 1947.
Pasca menjadi ketua misi diplomatik RI di Mesir, Haji Agus Salim kemudian
menjabat sebagai Menteri Luar Negeri pada kabinet Amir Sjarifuddin lalu kemudian
dilanjutkan pada kabinet Hatta. Pada saat agresi militer Belanda yang kedua terjadi (1948),
Haji Agus Salim juga turut ditangkap bersama dengan tokoh-tokoh politik RI lainnya. Dia
ditahan di Brastagi dan Prapat, Sumatra. Pada tanggal 6 Juli 1949, Haji Agus Salim kemudian
dibebaskan. Setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada Desember 1949, Haji
Agus tidak lagi terlibat dalam aktifitas politik dan meninggal pada 4 November 1954.
Perjalanan politik yang begitu panjang telah dialami oleh Haji Agus Salim baik
dimasa Pergerakan Nasional maupun di masa Revolusi Kemerdekaan. Jika dimasa Pergerakan
Nasional perjuangan politik Haji Agus Salim terfokus kepada usaha untuk kemerdekaan
Indonesia, maka dimasa Revolusi Kemerdekaan maka fokus utamanya adalah
mempertahankan kemeredekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
15
Meski memiliki fokus utama yang berbeda, namun keduanya masih tetap terbingkai dalam
keyakinan teguh Haji Agus Salim akan Islam sebagai landasan politiknya.
Daftar Referensi
Arsip
Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI). No. 537, Surat PKI pusat di Cairo kepada Cenkim Australia pada tanggal 8 September 1946 Tentang Propaganda
___________________________________ No. 541, Surat dari PKI pusat di Cairo kepada Cenkim Australia pada tanggal 8 November 1946 tentang sidang liga arab pada 15 November 1946
___________________________________ No. 548, Surat dari Pegurus PKI Pusat Cairo di Cenkim Brisbane Tanggal 12 maret 1947 Tentang Uraian langkah-langkah PKI Tahun 1947
Arsip Digital
Digital Archive of Repertoire of The General Assembly of The United Nations. Chapter VII: Maintenace of International Peace and Security, The Indonesian Question (II). Diakses pada 29 November 2015.
http://www.un.org/en/sc/repertoire/46-51/46-51_08.pdf
Buku:.
Burhanuddin, J. (2012). Ulama dan Kekuasaan: Pergumulan Elit Muslim dalam sejarah Indonesia. Bandung: Mizan.
Gede Agung, I. A. (1973). Twenty Years Indonesian Foreign Policy 1945-1965. Amsterdam: Mouton & Co.
Hassan, M. Z. (1980). Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri. Jakarta: Bulan Bintang.
Kahfi, E. H. (1996). Haji Agus Salim: His Role In Nationalist Movements In Indonesia During The Early Twentieth Century. Montreal: Institute of Islamic Studies, McGill University
Korver, A. (1985) Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?. Jakarta: Grafitipers.
Mrazek, R. (1996). Sjahrir, Politik dan Pengasingan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor.
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017
16
Mukayat. (1985). Haji Agus Salim, Karya dan Pengabdiannya. Jakarta: Depdikbud.
Putuhena, M. S. (2007). Historiografi Haji Indonesia. Yogyakarta: LKIS.
Sekitar Perjanjian Persahabatan Indonesia-Mesir Tahun 1947. (1978). Jakarta: Panitia Peringatan HUT ke-32 Pejanjian Persahabatan Indonesia-Mesir.
Seratus tahun Haji Agus Salim. (1996). Jakarta: Sinar Harapan.
Shihab, P. D. (2014). kapita Selekta Mozaik Islam: Ijtihad, Tafsir, dan Isu-Isu Kontemporer. Bandung: Mizan.
Suhatno. (1995). Tokoh-Tokoh Pemikir Paham Kebangsaan: Haji Agus Salim dan Muhammad Husni Thamrin. Jakarta: Depdikbud.
Suradi. (1997). Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Tantri, K. (1965). Revolusi di Nusa Damai. Jakarta: Gunung Agung.
Artikel Jurnal:
Jonge, H. d. (1993). Discord and Solidarity Among The Arabs in Netherlands East Indies 1900-1942. Indonesia No. 55 .
Morsy, L. (1984). Farouk in British Plolicy. Middle Eastern Studies Volume 20 No. 4.
Singh, V. (1961) The Rise of Indonesian Political Parties. Journal of Sautheast Asian History Volume 2 No. 2.
Tesis
Ramadhan, M. A. (2011). Peran Mahasiswa dan Alumni Al-Azhar dalam Hubungan Indonesia-Mesir. Jakarta: Tesis Program Pascasarjana UI.
Sumber Internet
Sami Moubayed, “Good Christian, and Orientalists to the Bone”. Diakses pada 29 November 2015. http://newsweek.washingtonpost.com/postglobal/sami_moubayed/2007/12/good_christians_and_orientalis.html
Peran Politik ..., M. Najmuddin, FIB UI, 2017