Biografi Haji Agus Salim
-
Upload
helmonadam -
Category
Documents
-
view
83 -
download
6
description
Transcript of Biografi Haji Agus Salim
Biografi Haji Agus Salim
Haji Agus Salim lahir dengan nama Mashudul Haq yang berarti "pembela kebenaran". Dia
Lahir di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884. Dia menjadi
anak keempat Sultan Moehammad Salim, seorang jaksa di sebuah pengadilan negeri. Karena
kedudukan ayahnya Agus Salim bisa belajar di sekolah-sekolah Belanda dengan lancar,
selain karena dia anak yang cerdas. Dalam usia muda, dia telah menguasai sedikitnya tujuh
bahasa asing; Belanda, Inggris, Arab, Turki, Perancis, Jepang, dan Jerman. Pada 1903 dia
lulus HBS (Hogere Burger School) atau sekolah menengah atas 5 tahun pada usia 19 tahun
dengan predikat lulusan terbaik di tiga kota, yakni Surabaya, Semarang, dan Jakarta.
Karena itu, Agus Salim berharap pemerintah mau mengabulkan permohonan beasiswanya
untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Belanda. Tapi, permohonan itu ternyata ditolak. Dia
patah arang. Tapi, kecerdasannya menarik perhatian Kartini, anak Bupati Jepara. Sebuah
cuplikan dari surat Kartini ke Ny. Abendanon, istri pejabat yang menentukan pemberian
beasiswa pemerintah pada Kartini: “Kami tertarik sekali kepada seorang anak muda, kami
ingin melihat dia dikarunia bahagia. Anak muda itu namanya Salim, dia anak Sumatera asal
Riau, yang dalam tahun ini, mengikuti ujian penghabisan sekolah menengah HBS, dan ia
keluar sebagai juara. Juara pertama dari ketiga-tiga HBS! Anak muda itu ingin sekali pergi ke
Negeri Belanda untuk belajar menjadi dokter. Sayang sekali, keadaan keuangannya tidak
memungkinkan.”
Lalu, Kartini merekomendasikan Agus Salim untuk menggantikan dirinya berangkat ke
Belanda, karena pernikahannya dan adat Jawa yang tak memungkinkan seorang puteri
bersekolah tinggi. Caranya dengan mengalihkan beasiswa sebesar 4.800 gulden dari
pemerintah ke Agus Salim. Pemerintah akhirnya setuju. Tapi, Agus Salim menolak. Dia
beranggapan pemberian itu karena usul orang lain, bukan karena penghargaan atas
kecerdasan dan jerih payahnya. Salim tersinggung dengan sikap pemerintah yang
diskriminatif. Apakah karena Kartini berasal dari keluarga bangsawan Jawa yang memiliki
hubungan baik dan erat dengan pejabat dan tokoh pemerintah sehingga Kartini mudah
memperoleh beasiswa?
Belakangan, Agus Salim memilih berangkat ke Jedah, Arab Saudi, untuk bekerja sebagai
penerjemah di konsulat Belanda di kota itu antara 1906-1911. Di sana, dia memperdalam
ilmu agama Islam pada Syech Ahmad Khatib, imam Masjidil Haram yang juga pamannya,
serta mempelajari diplomasi. Sepulang dari Jedah, dia mendirikan sekolah HIS (Hollandsche
Inlandsche School), dan kemudian masuk dunia pergerakan nasional. Karir politik Agus
Salim berawal di SI, bergabung dengan HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis pada 915.
Ketika kedua tokoh itu mengundurkan diri dari Volksraad sebagai wakil SI akibat
kekecewaan mereka terhadap pemerintah Belanda, Agus Salim menggantikan mereka selama
empat tahun (1921-1924) di lembaga itu. Tapi, sebagaimana pendahulunya, dia merasa
perjuangan “dari dalam” tak membawa manfaat. Dia keluar dari Volksraad dan
berkonsentrasi di SI.
Pada 1923, benih perpecahan mulai timbul di SI. Semaun dan kawan-kawan menghendaki SI
menjadi organisasi yang condong ke kiri, sedangkan Agus Salim dan Tjokroaminoto
menolaknya. Buntutnya SI terbelah dua: Semaun membentuk Sarekat Rakyat yang kemudian
berubah menjadi PKI, sedangkan Agus Salim tetap bertahan di SI. Karier politiknya
sebenarnya
tidak begitu mulus. Dia pernah dicurigai rekan-rekannya sebagai mata-mata karena pernah
bekerja pada pemerintah. Apalagi, dia tak pernah ditangkap dan dipenjara seperti
Tjokroaminoto. Tapi, beberapa tulisan dan pidato Agus Salim yang menyinggung pemerintah
mematahkan tuduhan-tuduhan itu. Bahkan dia berhasil menggantikan posisi Tjokroaminoto
sebagai ketua setelah pendiri SI itu meninggal dunia pada 1934.
Selain menjadi tokoh SI, Agus Salim juga merupakan salah satu pendiri Jong Islamieten
Bond. Di sini dia membuat gebrakan untuk meluluhkan doktrin keagamaan yang kaku.
Dalam kongres Jong Islamieten Bond ke-2 di Yogyakarta pada 1927, Agus Salim dengan
persetujuan pengurus Jong Islamieten Bond menyatukan tempat duduk perempuan dan laki-
laki. Ini berbeda dari kongres dua tahun sebelumnya yang dipisahkan tabir; perempuan di
belakang, laki-laki di depan. ”Ajaran dan semangat Islam memelopori emansipasi
perempuan,” ujarnya. Agus Salim pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) pada akhir kekuasaan Jepang. Ketika Indonesia merdeka, dia diangkat
menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kepiawaiannya berdiplomasi membuat dia
dipercaya sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Syahrir I dan II serta menjadi
Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Sesudah pengakuan kedaulatan Agus Salim
ditunjuk sebagai penasehat Menteri Luar Negeri.
Dengan badannya yang kecil, di kalangan diplomatik Agus Salim dikenal dengan julukan
The Grand Old Man, sebagai bentuk pengakuan atas prestasinya di bidang diplomasi.
Sebagai pribadi yang dikenal berjiwa bebas. Dia tak pernah mau dikekang oleh batasan-
batasan, bahkan dia berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Tegas sebagai politisi, tapi
sederhana dalam sikap dan keseharian. Dia berpindah-pindah rumah kontrakan ketika di
Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta. Di rumah sederhana itulah dia menjadi pendidik bagi
anak-anaknya, kecuali si bungsu, bukan memasukkannya ke pendidikan formal. Alasannya,
selama hidupnya Agus Salim mendapat segalanya dari luar sekolah. ”Saya telah melalui jalan
berlumpur akibat pendidikan kolonial,” ujarnya tentang penolakannya terhadap pendidikan
formal kolonial yang juga sebagai bentuk pembangkangannya terhadap kekuasaan Belanda.
Agus Salim wafat pada 4 November 1954 dalam usia 70 tahun.
Dalam teori komunikasi, pola berpikir seseorang dipengaruhi oleh latar belakang hidup di
lingkungannya. Seorang tokoh yang berperan dalam gerakan moderen Islam di Indonesia,
Agus Salim, memiliki pola berpikir yang dipengaruhi oleh lingkungannya dalam hal sosial-
intelektual. Dia adalah anak dari pejabat pemerintah yang juga berasal dari kalangan
bangsawan dan agama. Jadi, sejak kecil ia hidup di lingkungan yang penuh dengan nuansa-
nuansa keagamaan. Setelah menyelesaikan studi sekolah pertengahannya di Jakarta, dia
bekerja untuk konsulat Belanda di Jeddah (1906-1909). Di sini dia mempelajari kembali lebih
dalam tentang Islam, kendatipun dia memberi pengakuan: “meskipun saya terlahir dalam
sebuah keluarga Muslim yang taat dan mendapatkan pendidikan agama sejak dari masa
kanak-kanak, [setelah masuk sekolah Belanda] saya mulai merasa kehilangan iman.”
Walaupun demikian, tidak berarti bahwa Agus Salim adalah seorang yang anti-nasionalisme.
Perjuangannya dalam mempersiapkan kemerdekaan bangsa kita adalah bukti bahwa dia
adalah seorang yang berjiwa nasionalisme. Perjuangan Agus salim dalam meraih
kemakmuran bagi rakyat Indonesia patut kita apresiasi bersama sebagai rasa syukur kita
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, kenikmatan hidup saat ini yang kita rasakan di
Indonesia tak lain dan tak bukan adalah hasil jerih payah dari para pejuang kemerdekan dan
alangkah lebih baik apabila perjuangan mereka di masa lalu dapat kita hayati untuk
merevitalisasi semangat dalam diri menggali secara konsisten khazanah-khazanah keislaman,
kemoderenan, dan keindonesiaan.
Referensi :
- http://www.pkesinteraktif.com/edukasi/sosok/854-biografi-dan-pemikiran-agus-salim-1884-
1954.html
- http://id.wikipedia.org/wiki/Agus_Salim
Haji Agus Salim: Diplomat Hidup Sederhana Rabu, 29 April 2009 03:17:49 WIB
Sosok
”...Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius. Ia mampu bicara dan
menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya hanya satu: ia hidup
melarat.” (Prof. Schermerhon dalam Het dagboek van Schermerhon).
Hindia Belanda 1915. Terbetik sebuah isu, Syarikat Islam (SI) lewat Tjokroaminito,
menerima uang 150.000 gulden dari Jerman. Dana sebesar itu, konon sengaja digelontorkan
salah satu negara adi kuasa era tersebut, sebagai upaya untuk membeayai sebuah
pemberontakan besar di tanah Jawa.
Demi menerima isu panas itu, pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam. Mereka lantas
menugaskan salah satu agen intel muda di PID (Politiek Inlichtingen Dien) untuk menyelidiki
kebenaran isu tersebut. Namun, alih-alih mendapat informasi yang berharga, sang agen malah
mengirim berita “mengejutkan” dari Surabaya. Isinya, ia menyatakan keluar dari PID.
“Rupanya, pesona kharisma Tjokro, telah menyihir sang anak muda untuk membelot ke SI,”
ujar sejarawan Ridwan Saidi dalam sebuah diskusi sejarah di Republika beberapa waktu yang
lalu. Siapakah anak muda itu? Ia tak lain adalah Agus Salim.
Lahir di Koto Gadang, Bukittinggi, 8 Oktober 1884, sedari kecil Agus Salim menikmati
pendidikan eksklusif gaya Eropa. Itu terjadi, selain karena ia putera seorang jaksa, ia pun
memiliki otak yang encer. Begitu cerdasnya Agus Salim, hingga saat duduk di Europese
Lagere School (ELS, sekolah eropa setingkat lanjutan pertama) di Riau, sang kepala sekolah
tertarik untuk langsung mendidiknya dengan etika dan bahasa Belanda.
Selulus dari HBS (sekolah Belanda setingkat lanjutan atas), Agus bekerja di Konsulat
Belanda di Jeddah, Saudi Arabia. Bekerja di lingkungan asal datangnya Islam itu, membuat
Agus belajar banyak soal Islam dan bahasa Arab. Bisa jadi, karena keahliannya di dua bidang
tersebut, membuat PID tertarik untuk merekrutnya. Maka, pada sekitar 1913, ia kembali ke
Batavia dan resmi bekerja sebagai agen PID.
Seperti sudah disebutkan di atas, PID lantas menugaskan Agus untuk menyelidiki
Tjokroaminoto di Surabaya. Penyelidikan itu ternyata berakhir dengan masuknya Agus ke SI.
Sejarah menyatat, Agus tidak hanya menjadi anggota SI. Sampai meninggalnya Tjokro pada
1934, ia bahkan selalu disebut-sebut sebagai orang kedua di SI. “Tjokro dan Agus adalah
dwitunggal Syarikat Islam,” tulis Mohamad Roem dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah.
Hingga 1921, Agus Salim masih memperlihatkan sikap kooperatif terhadap pemerintah
Hindia Belanda. Itu dibuktikan dengan kesediannya menjadi anggota Volksraad atau Dewan
Rakyat (1921-1924) mewakili SI. Justru di Dewan Rakyat itu sikap radikal Agus mulai
terpupuk. Tak jarang ia bicara terbuka, keras, dan menantang. Salah satu bentuk
keradikalannya adalah saat ia ngotot menggunakan bahasa Melayu dalam rapat-rapat di
Dewan Rakyat. Sebuah sikap yang berani dari seorang bumiputera saat itu.
“Ia pernah mengeritik Dewan Rakyat sebagai „komidi ngomong‟,” tutur Mohamad Roem.
Seiring bergesernya gaya perjuangan SI ke arah nonkooperatif, Agus dan kawan-kawan SI-
nya lantas menyatakan mundur dari Dewan Rakyat. Ia kemudian aktif di JIB (Jong Islamieten
Bond) dan sehari-hari bekerja sebagai seorang jurnalis. Tulisannya yang sangat keras
bertaburan di beberapa koran dan majalah Hindia Belanda, seperti Hindia Baru, Fadjar Asia
dan Het Linch.
Sebagai seorang jurnalis, Agus meliput berbagai peristiwa di pedalaman Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan ketidakadilan berbagai aturan
Pemerintah Hindia Belanda. Ia juga menjadi saksi berbagai sisitem yang memeras rakyat
untuk kepentingan penjajah, mulai praktik kuli kontrak dengan pembayaran minim (poenale
sanctie) hingga penyewaan tanah rakyat kepada pengusaha Eropa dalam jangka panjang
(erfpacht).
Berbagai pengalaman itu berpengaruh terhadap cara pandangnya di kemudian hari. Termasuk
saat ia bersama-sama tokoh pendiri bangsa lainnya menyusun UUD 1945. Konon,
Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang di antaranya berbunyi, “Sesungguhnya
kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia
harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan,”
mengandung ide-ide pemikiran Agus Salim.
Agus Salim memang memiliki sumbangan yang tidak kecil dalam pembangunan bangsa baru
bernama Indonesia. Bukan hanya sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI), ia bahkan termasuk dalam tim kecil perumus Pembukaan UUD RI. Mungkin karena
keahliannya dalam tata bahasa Melayu, ia bersama Djajadiningrat dan Soepomo, menjadi
penghalus bahasa dalam penyusunan batang tubuh UUD 1945.
“Jauh sebelum dunia Barat bicara tentang hak asasi manusia, Haji Agus Salim sudah
menyinggung dalam perjuangannya menuntut kemerdekaan sebagai hak manusia, bahkan hak
segala bangsa!” demikian Emil Salim dalam Seratus Tahun Haji Agus Salim.
Kiprah perjuangan “the grand old man” –julukan Soekarno terhadap Agus Salim– tidak
hanya sebatas pendirian Indonesia. Pada beberapa kabinet, Agus Salim selalu menduduki
peran sebagai menteri luar negeri. Posisinya itu menjadikan ia sering bertemu dan terlibat
perdebatan alot dengan para diplomat Kerajaan Belanda. Salah satu diplomat itu adalah Prof.
Schermerhon.
Sebagai seorang “musuh” Schermerhon memiliki kesan yang mendalam terhadap Agus
Salim. Dalam Het dagboek van Schermerhoon (Buku Harian dari Schermerhoon), ia
menggambarkan Agus Salim: “Orang tua yang sangat pandai ini adalah seorang yang jenius.
Ia mampu bicara dan menulis secara sempurna sedikitnya dalam 9 bahasa. Kelemahannya
hanya satu: ia hidup melarat.”
Berdamai dengan kemelaratan seolah telah menjadi pilihan hidupnya. Itu dibuktikannya pada
4 November 1954, saat bapak pendiri bangsa tertua itu menutup mata selamanya. Tak ada
warisan harta dan kemilau materi yang diwariskan kepada anak-anaknya. Ya, hidup
sederhana seolah telah “dihitung” sang diplomat tua sejak jauh hari. Sejak ia memutuskan ke
luar dari pekerjaannya yang bergaji besar di PID. HAZKALAH
Anekdot-anekdot H Agus Salim
Tuesday, February 5, 2008 8:43:04 AM
mrtaufik, Taufik, Agus Salim, anekdot
Asap Kretek di Isana Buckingham
Suatu hari pada 1953, Agus Salim -- mewakili Pemerintah Indonesia -- menghadiri penobatan
Elizabeth II sebagai Ratu Inggris. Acara penobatan diselenggarakan di Istana Buckingham.
Dalam acara itu, Agus Salim melihat Pangeran Philip -- yang masih muda
-- agak canggung menghadapi khalayak ramai yang hadir. Ia tampaknya belum terbiasa
menempatkan diri sekadar sebagai pasangan (suami) ratu. Begitu canggungnya, sehingga ia lalai
meladeni tamu-tamu asing yang datang dari jauh menghormati peristiwa penobatan isterinya.
Untuk sekadar melepas ketegangan Pangeran Philip, Agus Salim menghampirinya seraya mengayun-
ayunkan rokok kreteknya sekitar hidung sang pangeran. Kata Agus Salim kemudian, "Paduka (Your
Highness), adakah Paduka mengenali aroma rokok ini?"
Setelah mencoba menghirup-hirup bau asap rokok kretek itu, sang pangeran lalu mengakui tidak
mengenal aroma rokok tersebut. Sambil tersenyum Agus Salim lalu mengatakan, "Inilah sebabnya
300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi (menjajah) negeri
kami."
Sang pangeran pun tersenyum dan dengan lebih luwes bergerak dan meladeni tamu-tamunya yang
datang dari jauh.
Bergmeyer pun tidak Berkutik
Suatu kali, ketika menjadi anggota Volksraad, H Agus Salim berpidato dalam bahasa Indonesia --
yang ketika itu juga masih disebut bahasa Melayu. Ketua Volksraad langsung menegurnya dan
memintanya berpidato dalam bahasa Belanda.
Salim menjawab, "saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda, tapi menurut peraturan
Dewan saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia."
Salim terus berpidato dalam bahasa Indonesia, dan ketika ia mengucapkan kata 'ekonomi', seorang
Belanda -- Bergmeyer -- dengan maksud mengejek betanya, "Apa kata ekonomi itu dalam bahasa
Melayu?"
Dengan tangkas Agus Salim berkilah, "Coba tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu dalam
bahasa Belanda, nanti saya sebutkan Indonesianya?"
Bergmeyer hanya bisa melongo, tidak dapat berkata-kata lagi. Dan, para peserta sidang pun tertawa.
Memang, kata 'ekonomi' tidak ada salinannya yang tepat dalam bahasa Belanda.
Disambut dengan Upacara
Pada 1927, Agus Salim mendapat undangan mengikuti kongres Islam di Mekah. Waktu itu
pemerintah kolonial Belanda mempersulitnya untuk memperoleh paspor. Setelah berupaya keras,
akhirnya ia berhasil memperoleh paspor itu di Surabaya.
Sayangnya, ketika itu kapal yang akan ke Arab Saudi, kapal Kongsi Tiga, sudah akan berangkat dari
Jakarta. Agus Salim tidak akan dapat mengejar kapal itu, karena perjalanan dari Surabaya ke Jakarta
memakan waktu cukup lama.
Mengetahui hal itu, HOS Cokroaminoto mengirim telegram kepada perwakilan Kongsi Tiga di Jakarta.
Isinya: Jika kapal itu berangkat tanpa Agus Salim, tahun depan tidak akan ada seorang pun jamaah
haji yang akan berangkat dengan kapal Kongsi Tiga. Kapten kapal pun terpaksa menunda
keberangkatan selama 2x24 jam.
Ketika Agus Salim tiba, ia disambut dengan upacara kehormatan oleh awak kapal. Mereka berbaris
rapi di sepanjang jalan menuju pintu masuk. Ketika Agus Saling lewat, mereka memberinya hormat.
Setelah di kapal, Agus Salim bertanya kepada sang kapten, "Mengapa saya disambut dengan cara
seperti itu? Bukankah saya hanya orang biasa?"
Dengan agak jengkel si kapten menjawab, "Kapal ini tidak akan menunda keberangkatannya selama
2x24 jam hanya untuk menunggu orang biasa!"
Paling Pintar
Antara tahun 1906-1911, Agus Salim bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah. Waktu itu ia sering
'bertengkar' dengan atasannya, Konsul Belanda.
Meskipun begitu pekerjaannya selalu beres, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakannya
sebagai pemalas. Ia tidak dapat dicap sebagai ongeschikt, tidak terpakai. Bahkan ia sering
mengerjakan pekerjaan yang banyak meringankan beban atasannya, dan ia pun dihargai sebagai
pembantu yang berjasa.
Dalam kesempatan bertukar-pikiran yang tajam dengan atasannya, Konsul Belanda itu menyindir
Agus Salim dengan berkata, "Salim, apakah engkau kira bahwa engkau ini seorang yang paling pintar
di dunia ini?"
Dengan tangkas Haji Agus Salim menjawab, "Itu sama sekali tidak. Banyak orang yang lebih pintar
dari saya, cuma saya belum bertemu dengan seorang pun di antara mereka."
Jawaban Agus Salim terasa sebagai pukulan bagi sang Konsul. Tetapi apa akan dikata? Karena itu,
alangkah girang hati Konsul Belanda itu ketika tahu bahwa Agus Salim pulang ke Indonesia pada
1911.
Anekdot Cerdas Haji Agus Salim Siapa yang tidak kenal dengan beliau? Tokoh besar bangsa Indonesia, Haji Agus Salim (lahir
dengan nama Mashudul Haq (berarti "pembela kebenaran"); lahir di Koto Gadang, Agam,
Sumatera Barat, Hindia Belanda, 8 Oktober 1884 – meninggal di Jakarta, Indonesia, 4
November 1954 pada umur 70 tahun) adalah seorang pejuang kemerdekaan Indonesia.
Tentang Haji Agus Salim Agus Salim lahir dari pasangan Angku Sutan Mohammad Salim dan Siti Zainab. Ayahnya
adalah seorang kepala jaksa di Pengadilan Tinggi Riau.
Pendidikan dasar ditempuh di Europeesche Lagere School (ELS), sekolah khusus anak-anak
Eropa, kemudian dilanjutkan ke Hoogere Burgerschool (HBS) di Batavia. Ketika lulus, ia
berhasil menjadi lulusan terbaik di HBS se-Hindia Belanda.
Setelah lulus, Salim bekerja sebagai penerjemah dan pembantu notaris pada sebuah kongsi
pertambangan di Indragiri. Pada tahun 1906, Salim berangkat ke Jeddah, Arab Saudi untuk
bekerja di Konsulat Belanda di sana. Pada periode inilah Salim berguru pada Syeh Ahmad
Khatib, yang masih merupakan pamannya.
Salim kemudian terjun ke dunia jurnalistik sejak tahun 1915 di Harian Neratja sebagai
Redaktur II. Setelah itu diangkat menjadi Ketua Redaksi. Menikah dengan Zaenatun Nahar
dan dikaruniai 8 orang anak. Kegiatannya dalam bidang jurnalistik terus berlangsung hingga
akhirnya menjadi Pemimpin Harian Hindia Baroe di Jakarta. Kemudian mendirikan Surat
kabar Fadjar Asia. Dan selanjutnya sebagai Redaktur Harian Moestika di Yogyakarta dan
membuka kantor Advies en Informatie Bureau Penerangan Oemoem (AIPO). Bersamaan
dengan itu Agus Salim terjun dalam dunia politik sebagai pemimpin Sarekat Islam.
Karier Politik Pada tahun 1915, Salim bergabung dengan Sarekat Islam (SI), dan menjadi pemimpin kedua
di SI setelah H.O.S. Tjokroaminoto.
Peran Agus Salim pada masa perjuangan kemerdekaan RI antara lain:
* anggota Volksraad (1921-1924)
* anggota panitia 9 BPUPKI yang mempersiapkan UUD 1945
* Menteri Muda Luar Negeri Kabinet Sjahrir II 1946 dan Kabinet III 1947
* pembukaan hubungan diplomatik Indonesia dengan negara-negara Arab, terutama Mesir
pada tahun 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Amir Sjarifuddin 1947
* Menteri Luar Negeri Kabinet Hatta 1948-1949
Di antara tahun 1946-1950 ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik Indonesia,
sehingga kerap kali digelari "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man). Ia pun pernah
menjabat Menteri Luar Negeri RI pada kabinet Presidentil dan di tahun 1950 sampai akhir
hayatnya dipercaya sebagai Penasehat Menteri Luar Negeri.
Pada tahun 1952, ia menjabat Ketua di Dewan Kehormatan PWI. Biarpun penanya tajam dan
kritikannya pedas namun Haji Agus Salim dikenal masih menghormati batas-batas dan
menjunjung tinggi Kode Etik Jurnalistik.
Setelah mengundurkan diri dari dunia politik, pada tahun 1953 ia mengarang buku dengan
judul Bagaimana Takdir, Tawakal dan Tauchid harus dipahamkan? yang lalu diperbaiki
menjadi Keterangan Filsafat Tentang Tauchid, Takdir dan Tawakal.
Ia meninggal dunia pada 4 November 1954 di RSU Jakarta dan dimakamkan di TMP
Kalibata, Jakarta.
Dibalik Ketokohan Haji Agus Salim
Siapa yang menyangka dibalik ketokohannya yang turut mengubah arah bangsa ini, Haji
Agus Salim ternyata suka sekali melontarkan humor cerdasnya yang terkadang membuat
lawan bicaranya tak berkutik. berikut sedikit dari beberapa anekdot beliau, diberbagai
kesempatan.
Asap Kretek di Istana Buckingham
Suatu hari pada 1953, Agus Salim -- mewakili Pemerintah Indonesia -- menghadiri penobatan
Elizabeth II sebagai Ratu Inggris. Acara penobatan diselenggarakan di Istana Buckingham.
Dalam acara itu, Agus Salim melihat Pangeran Philip -- yang masih muda -- agak canggung
menghadapi khalayak ramai yang hadir. Ia tampaknya belum terbiasa menempatkan diri
sekadar sebagai pasangan (suami) ratu. Begitu canggungnya, sehingga ia lalai meladeni
tamu-tamu asing yang datang dari jauh menghormati peristiwa penobatan isterinya.
Untuk sekadar melepas ketegangan Pangeran Philip, Agus Salim menghampirinya seraya
mengayun-ayunkan rokok kreteknya sekitar hidung sang pangeran. Kata Agus Salim
kemudian, "Paduka (Your Highness), adakah Paduka mengenali aroma rokok ini?"
Setelah mencoba menghirup-hirup bau asap rokok kretek itu, sang pangeran lalu mengakui
tidak mengenal aroma rokok tersebut. Sambil tersenyum Agus Salim lalu mengatakan,
"Inilah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi
(menjajah) negeri kami."
Sang pangeran pun tersenyum dan dengan lebih luwes bergerak dan meladeni tamu-tamunya
yang datang dari jauh.
Bergmeyer pun tidak Berkutik
Suatu kali, ketika menjadi anggota Volksraad, H Agus Salim berpidato dalam bahasa
Indonesia -- yang ketika itu juga masih disebut bahasa Melayu. Ketua Volksraad langsung
menegurnya dan memintanya berpidato dalam bahasa Belanda.
Salim menjawab, "saya memang pandai berpidato dalam bahasa Belanda, tapi menurut
peraturan Dewan saya punya hak untuk mengeluarkan pendapat dalam bahasa Indonesia."
Salim terus berpidato dalam bahasa Indonesia, dan ketika ia mengucapkan kata 'ekonomi',
seorang Belanda Bergmeyer dengan maksud mengejek bertanya, "Apa kata ekonomi itu
dalam bahasa Melayu?"
Dengan tangkas Agus Salim berkilah, "Coba tuan sebutkan dahulu apa kata ekonomi itu
dalam bahasa Belanda, nanti saya sebutkan Indonesianya?"
Bergmeyer hanya bisa melongo, tidak dapat berkata-kata lagi. Dan, para peserta sidang pun
tertawa. Memang, kata 'ekonomi' tidak ada salinannya yang tepat dalam bahasa Belanda.
Disambut dengan Upacara
Pada 1927, Agus Salim mendapat undangan mengikuti kongres Islam di Mekah. Waktu itu
pemerintah kolonial Belanda mempersulitnya untuk memperoleh paspor. Setelah berupaya
keras, akhirnya ia berhasil memperoleh paspor itu di Surabaya.
Sayangnya, ketika itu kapal yang akan ke Arab Saudi, kapal Kongsi Tiga, sudah akan
berangkat dari Jakarta. Agus Salim tidak akan dapat mengejar kapal itu, karena perjalanan
dari Surabaya ke Jakarta memakan waktu cukup lama.
Mengetahui hal itu, HOS Cokroaminoto mengirim telegram kepada perwakilan Kongsi Tiga
di Jakarta. Isinya: Jika kapal itu berangkat tanpa Agus Salim, tahun depan tidak akan ada
seorang pun jamaah haji yang akan berangkat dengan kapal Kongsi Tiga. Kapten kapal pun
terpaksa menunda keberangkatan selama 2x24 jam.
Ketika Agus Salim tiba, ia disambut dengan upacara kehormatan oleh awak kapal. Mereka
berbaris rapi di sepanjang jalan menuju pintu masuk. Ketika Agus Saling lewat, mereka
memberinya hormat.
Setelah di kapal, Agus Salim bertanya kepada sang kapten, "Mengapa saya disambut dengan
cara seperti itu? Bukankah saya hanya orang biasa?"
Dengan agak jengkel si kapten menjawab, "Kapal ini tidak akan menunda keberangkatannya
selama 2x24 jam hanya untuk menunggu orang biasa!"
Paling Pintar
Antara tahun 1906-1911, Agus Salim bekerja di Konsulat Belanda di Jeddah. Waktu itu ia
sering 'bertengkar' dengan atasannya, Konsul Belanda.
Meskipun begitu pekerjaannya selalu beres, sehingga tidak ada alasan untuk mengatakannya
sebagai pemalas. Ia tidak dapat dicap sebagai ongeschikt, tidak terpakai. Bahkan ia sering
mengerjakan pekerjaan yang banyak meringankan beban atasannya, dan ia pun dihargai
sebagai pembantu yang berjasa.
Dalam kesempatan bertukar-pikiran yang tajam dengan atasannya, Konsul Belanda itu
menyindir Agus Salim dengan berkata, "Salim, apakah engkau kira bahwa engkau ini seorang
yang paling pintar di dunia ini?"
Dengan tangkas Haji Agus Salim menjawab, "Itu sama sekali tidak. Banyak orang yang lebih
pintar dari saya, cuma saya belum bertemu dengan seorang pun di antara mereka."
Jawaban Agus Salim terasa sebagai pukulan bagi sang Konsul. Tetapi apa akan dikata?
Karena itu, alangkah girang hati Konsul Belanda saat itu ketika tahu bahwa Agus Salim
pulang ke Indonesia pada tahun 1911