Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

67
PERAN PENGAJARAN FORMAL PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA PERAN PENGAJARAN FORMAL PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA by. Marlia, S.Pd., M.Hum. Pendahuluan Bab ini meneliti pemerolehan bahasa kedua dalam pengaturan kelas. Hal itu mempertimbangkan apakah pengajaran formal dibedakan dengan pemerolehan bahasa kedua. Hal ini merupakan persoalan yang penting, karena itu menunjuk pada pertanyaan mengenai peran yang dimainkan oleh faktor lingkungan dalam pemerolehan bahasa kedua. Hal ini juga merupakan persoalan pendidikan yang penting, sebab pedagogi (ilmu mendidik) bahasa telah memiliki tradisi menjalankan asumsi bahwa tatabahasa dapat diajarkan. Dua jenis yang luas dari pemerolehan bahasa kedua dapat diidentifikasi berdasarkan pengaturan pemerolehan: (1) pemerolehan bahasa kedua alamiah, dan (2) kelas pemerolehan bahasa kedua (lihat bab 1). Dalam bab 6 beberapa perbedaan pada jenis pemakaian/interaksi dihubungkan dengan dua pengaturan yang telah dipertimbangkan ini. Hal itu menunjukkan bahwa bercakap-cakap di kelas dapat berubah, dalam perbandingan dengan secara alami terjadinya percakapan. Suatu pertanyaan penting, oleh karena itu, dengan cara apakah perubahan ini, yang mana sebagian besar disempurnakan oleh usaha untuk mengajar daripada untuk berbicara, mempengaruhi jalan dan tingkat pemerolehan bahasa kedua di dalam kelas. Dengan mempertimbangkan bagaimana pengajaran formal mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua, hal

Transcript of Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

Page 1: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

PERAN PENGAJARAN FORMAL PADA PEMEROLEHAN BAHASA

KEDUA

PERAN PENGAJARAN FORMAL

PADA PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA

by. Marlia, S.Pd., M.Hum.

 

PendahuluanBab ini meneliti pemerolehan bahasa kedua dalam pengaturan kelas. Hal itu mempertimbangkan apakah pengajaran formal dibedakan dengan pemerolehan bahasa kedua. Hal ini merupakan persoalan yang penting, karena itu menunjuk pada pertanyaan mengenai peran yang dimainkan oleh faktor lingkungan dalam pemerolehan bahasa kedua. Hal ini juga merupakan persoalan pendidikan yang penting, sebab pedagogi (ilmu mendidik) bahasa telah memiliki tradisi menjalankan asumsi bahwa tatabahasa dapat diajarkan.Dua jenis yang luas dari pemerolehan bahasa kedua dapat diidentifikasi berdasarkan pengaturan pemerolehan: (1) pemerolehan bahasa kedua alamiah, dan (2) kelas pemerolehan bahasa kedua (lihat bab 1). Dalam bab 6 beberapa perbedaan pada jenis pemakaian/interaksi dihubungkan dengan dua pengaturan yang telah dipertimbangkan ini. Hal itu menunjukkan bahwa bercakap-cakap di kelas dapat berubah, dalam perbandingan dengan secara alami terjadinya percakapan. Suatu pertanyaan penting, oleh karena itu, dengan cara apakah perubahan ini, yang mana sebagian besar disempurnakan oleh usaha untuk mengajar daripada untuk berbicara, mempengaruhi jalan dan tingkat pemerolehan bahasa kedua di dalam kelas. Dengan mempertimbangkan bagaimana pengajaran formal mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua, hal ini mungkin menunjuk pada persoalan yang lebih luas mengenai peran dari faktor lingkungan.Pengajaran bahasa mempunyai banyak tujuan. Salah satunya memiliki tradisi untuk mengajar pelajar dengan sistem formal pada bahasa kedua (L2), khususnya tatabahasa, walaupun fonologi dan kosa kata juga mungkin untuk menerima perhatian. Bab ini semata-mata akan dikaitkan dengan peran pengajaran dalam pemerolehan tatabahasa bahasa kedua (L2). Hal itu mempertimbangkan pengajaran formal.Dalam banyak metode pengajaran, suatu asumsi dibuat bahwa memusatkan pada bentuk linguistik membantu pemerolehan dari pengetahuan tatabahasa, atau, untuk meletakkannya dengan cara lainnya, bahwa peningkatan kesadaran pelajar mengenai peran target bahasa yang alami membantu pelajar untuk menginternalisasikan mereka. Dalam kasus tentang metode deduktif ini adalah kasus dirinya dengan jelas. Tetapi, hal ini juga benar dalam metode ‘habit forming’ seperti audio-lingualisme, sebagai tujuan

Page 2: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

dari penyajian praktik adalah untuk memusatkan pada bentuk spesifik linguistik, yang mana pelajar dianjurkan untuk mempengaruhi dan yang mana pada akhirnya ia akan membentuk kurang lebih penyajian mental yang disengaja/sadar. Tentunya, pemerolehan yang diakibatkan oleh pengajaran tidak mungkin dengan serta merta. Kebanyakan metode membedakan ‘skill getting’ (mendapatkan kecakapan), dengan ‘skill using’ (penggunaan kecakapan) (Rivers dan Temperley, 1978). Pemerolehan memerlukan praktik satu sesama atau yang lainnya.Asumsi lainnya tentang pengajaran formal adalah bahwa pada saat dimana fitur gramatikal diajarkan akan berpengaruh pada saat mereka mempelajarinya. Silabus bahasa disusun sedemikian cara untuk memudahkan hubungan antara pengajaran dan pembelajaran. Namun, kedua asumsi ini dapat dipertanyakan, dipandang dari sudut apa mengetahui pemerolehan bahasa kedua yang natural, dimana pelajar menuruti pemerohan alami yang mengarahkan sebagai hasil dari mempelajari bagaimana berkomunikasi dalam bahasa kedua (lihat bab 3). Tetapi, walaupun bukti-bukti dari pemerolehan bahasa kedua yang alami menyarankan untuk tidak berasumsi tentang pedagogi bahasa tradisional, hal ini tidak menyangkal mereka. Apa yang diperlukan untuk suatu penilaian seksama merupakan bukti tentang kelas pemerolehan bahasa kedua itu sendiri. Penelitian tentang peranan pengajaran formal dapat dilakukan dalam dua cara : pertama, jawaban dari sebuah pertanyaan ‘apakah pengajaran formal membantu pemerolehan bahasa kedua?’ dapat ditemukan. Kedua, pertanyaan ‘pengajaran formal bagaimana yang sebagian besar membantu pemerolehan bahasa kedua, dapat terjawab. Pada pertanyaan pertama terdapat anggapan bahwa seluruh jenis pengajaran formal berbagi pendapat dasar tertentu dan oleh karena itu, bahwa, dimungkinkan untuk berbicara secara umum mengenai ‘pengajaran formal’. Dalam pertanyaan kedua terdapat anggapan bahwa pengajaran formal secara umum adalah upaya memudahkan dan bahwa persoalan pentingnya adalah apa yang menjadi ciri lebih sukses dari beberapa jenis pengajaran. Ada sedikit keraguan bahwa pengajaran formal dapat sangat bervariasi. Ellis (1984a) mempertimbangkan beberapa dimensi utama ini. Peningkatan kesadaran dapat bervariasi, tergantung tingkat kejelasan yang merupakan aturan penyajian dan juga tingkat perluasan keterlibatan (Sharwood-Smith 1981). Pelatihan pola tatabahasa dapat juga bervariasi berdasarkan intensitas latihan dan teknik khusus yang digunakan. Sifat alami aturan target juga merupakan faktor potensial yang penting – beberapa aturan mungkin lebih mudah daripada mengajar dan belajar2. Tujuan instruksional dapat menjadi aturan internal atau suatu rumus penghafalan, belajar dikemudian hari lebih terasa sebagai beban dibanding belajar terdahulu. Namun yang lebih penting adalah dari sudut pandang orang yang belajar ; apakah merupakan permaksudan sebagai sebuah usaha untuk berlatih aturan tatabahasa oleh guru, dan  mungkin terlihat sebagai teka-teki bagi orang yang belajar, menuntut tidak hanya strategi pembelajaran bahasa, tapi prosedur untuk mendapatkan jawaban yang benar (lihat Hosenfeld 1976).3 Variasi tersebut dapat diberikan pada pengajaran formal, mungkin tidak mengherankan bahwa penyelidikan mengenai efek tersebut pada pembelajaran berisi studi komparatif , mengarahkan pada pembentukan beberapa jenis cara yang lebih efektif. Namun, seperti yang tercantum pada bab 6, studi komparatif ini tidak sesukses dalam menunjukkan satu metode pengajaran yang lebih efektif dari cara lain. Sebagai akibat, perhatian telah terangkat pada satu dari dua pertanyaan – apakah pengajaran formal dengan sendirinya membantu pemerolehan bahasa kedua. Apa yang menjadi perbedaan metoda pengajaran

Page 3: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

telah bersama-sama  merupakan fokus pada bentuk, manisfestasi, sebagai misal, dalam ketentuan umpan balik oleh guru untuk mengoreksi kesalahan formal (Krashen dan Seliger 1975). Jadi, hal itu telah menjadi alasan bahwa mungkin tidak hanya berbicara tentang peran pengajaran secara umum saja, melainkan topik ini secara logis mengutamakan pertimbangan perbedaan jenis pengajaran yang menyebabkan perbedaan hasil. Studi komparatif telah memberikan jalan pada pertimbangan mengenai apa peran pengajaran formal, pandangan umum, permainan dalam kelas pemerolehan bahasa kedua.Dengan demikian apa yang menjadi kriteria kelengkapan pengajaran formal?  Penulis mengusulkan dua hal (meskipun terdapat kemungkinan ada yang lain). (1) corak khusus tatabahasa yang dipilih untuk menarik perhatian pelajar, dan (2) atensi ini jelas mempusatkan karakteristik corak khusus tatabahasa. Dalam kaitan dengan dua hal ini, pengajaran formal diambil untuk menyertakan pengajaran yang merupakan hasil dari metode deduktif seperti kode kognitif, metode induktif seperti audiolingualisme, dan, juga pengajaran yang didasari material fungsional dimana bahasa khusus berarti untuk merealisasikan beragam cara berbicara atau kategori tatabahasa-semantik diperkenalkan dan digunakan.  Hal itu bukan berarti menyertakan pengajaran dimana pelajar didorong untuk menggunakan komunikasi alami dengan sumber bahasa apapun yang dia miliki. (umpamanya seperti yang digambarkan dalam Proyek Bangalore-Lihat Johnson 1982).Dalam upaya mempelajari efek dari suatu pengajaran, sangat penting untuk membedakan perbedaan aspek pemerolehan bahasa kedua. Peran pengajaran dalam pemerolehan bahasa kedua harus secara terpisah mempertimbangkan dalam hal efek pengajaran yang berakibat mengarah kepada perkembangan (antara lain urutan umum atau perintah tambahan khusus. Dan efek pengajaran berakibat pada tingkat pengembangan (antara lain kecakapan tingkat pencapaian akhir). Perbedaan ini pada satu pihak dan penilaian dipihak lain juga dipertimbangkan dalam bab 5. Hal ini merupakan perbedaan yang sangat penting saat mempertimbangkan pengajaran formal karena hal itu mungkin bahwa pengajaran dapat menentukan kedua jalan dan penilaian/kesuksesan, atau hanya salah satunya saja. Singkatnya, mempelajari peran pengajaran formal dalam pemerolehan bahasa kedua adalah penting dalam hal membangun pemahaman teoritis tentang pemerolehan bahasa kedua dan untuk ilmu mendidik tentang bahasa. Dalam kasus terdahulu, hal itu dapat menerangkan bagaimana perbedaan dalam kondisi lingkungan mempengaruhi pemerolehan bahasa kedua. Dalam kasus terakhir, hal itu dapat membantu menguji asumsi pendidikan dasar seperti apakah urutan pola tatabahasa yang diperkenalkan sesuai dengan urutan yang telah diajarkan pada mereka.  Pengajaran dapat diambil dari beberapa bentuk berbeda, tapi untuk penggunaan pada bab ini, isu yang dipertimbangkan bukan jenis pengajaran yang paling efektif, tapi apakah pengajaran formal memiliki pengaruh pada dirinya. Sampai saat ini,  pengajaran diambil untuk menyiratkan beberapa bentuk peningkatan kesadaran, dengan target ciri-ciri pokok ilmu bahasa. Pengaruh tersebut mungkin dengan jelas mengarah pada pemerolehan bahasa kedua dan/juga untuk penilaian/keberhasilan pemerolehan bahasa kedua. Bab ini memiliki empat sub bab. Pertama, menguji efek pengajaran pada pemerolehan bahasa kedua. Kedua, menguji efek penilaian/kesuksesan yang mengarah pada pemerolehan bahasa kedua. Sub bab ketiga, menjelaskan hasil laporan yang diterima pada kedua sub bab terdahulu. Akhirnya, kesimpulan singkat tentang implikasi teori pemerolehan bahasa kedua dan pengajaran bahasa.

Page 4: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

   Efek pengajaran formal yang mengarah pada pemerolehan bahasa kedua Pada bab 3 pengarahan pemerolehan bahasa kedua betul-betul dipertimbangkan dalam hubungan rangkaian umum pengembangan  dan tata tertib dalam ciri-ciri pokok tatabahasa yang diperoleh. Bukti untuk dilaporkan secara menyeluruh tentang tata urutan dan perbedaan kecil dalam urutan yang datang dari : (1) pelajaran morfem dan (2) pelajaran longitudinal. Pembahasan ini merupakan bentuk asli pemerolehan bahasa kedua secara alami dan juga secara campuran (antara lain jika terdapat ekspose alami dan pengajaran. Bab ini kini akan mempertimbangkan pelajaran yang serupa mengenai kelas pemerolehan bahasa kedua. Namun, karena terdapat pandangan relatif mengenai pelajaran, kesimpulan yang dapat digambarkan tentunya akan tentatif. Pelajaran morfem dan longitudinal akan dibahas secara terpisah.

 

Studi morfem dari kelas pemerolehan bahasa kedua 

Studi morfem dapat digolongkan dalam dua kelompok. Pertama adalah lima studi

yang menyelidiki pelajar bahasa kedua. Kelompok yang lain adalah empat studi yang

menyelidiki pelajar bahasa asing.

Tiga studi mengenai pelajar bahasa kedua menemukan morfem yang sama dalam

kelas pemerolehan bahasa kedua seperti dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami.

Fathman (1975) menggunakan uji produksi lisan untuk menilai pengetahuan tatabahasa

dari dua ratus anak usia 6 hingga 15 tahun dari latar belakang yang berbeda-beda.

Beberapa anak yang menerima pengajaran bahasa, sementara yang lainnya dalam kelas.

Fathman menemukan korelasi yang sangat signifikan antara morfem dari dua kelompok

pelajar dan menyimpulkan bahwa pesan yang didapatnya adalah konstan, tanpa

tergantung dengan pengajaran. Perkin dan Larsen Freeman (1975) menyelidiki pesan

morfem dari duabelas mahasiswa Universitas Venezuela setelah mereka menjalani dua

bulan pengajaran bahasa setelah tiba di Amerika Serikat. Mereka menggunakan dua buah

tugas dalam mengumpulkan data : (1) test terjemahan, dan (2) tugas deskripsi

berdasarkan film non-dialog. Pada (1) pesan morfem sebelum dan setelah pengajaran

berbeda secara signifikan, namun pada (2) tidak ada perbedaan signifikan. Peneliti

menyimpulkan bahwa dimana spontanitas berujar terlibat, pengajaran formal tidak

mempengaruhi perkembangan. Turner (1978) menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua dan

Page 5: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

menemukan bahwa pesan pengajaran dari suatu set tatabahasa morfem tidak berkorelasi

tinggi dengan pesan yang mereka dapatkan. Dengan kata lain, pesan pengajaran dan

pembelajaran ternyata berbeda. Diambil secara bersama, pelajaran ini memberi kesan tapi

tidak membuktikan pengajaran formal tidak mengubah pesan kemahiran morfem

tatabahasa saat pelajar sibuk dalam menggunakan bahasa terfokus pada arti dari bahasa

tersebut

Kedua studi lain mengenai pelajar bahasa kedua memberi kesan bahwa

pengajaran dapat memiliki efek pada pesan morfem, meskipun efek itu relatif kecil dan

tidak kekal. Lightbown dkk. (1980) menyelidiki performan dari 175 mahasiswa Perancis

penutur bahasa Inggris berdasarkan (1) test penilaian secara tatabahasa, dan (2)

pertanyaan komunikasi melibatkan deskripsi gambar. Mereka menemukan bahwa nilai

pada (1) hasilnya meningkat sesuai hasil pengajaran, tapi dari nilai secara umum

kemudian menurun (antara lain, setelah mahasiswa tidak lagi menerima pengajaran pada

bagian tatabahasa yang diujikan). Pada (2) mereka menemukan bahwa pesan dari

berbagai morfem kata benda dan kata kerja berbeda dari pesan ‘secara alami’. Hal ini

terjadi karena mahasiswa jelek dalam hal bentuk jamak dibanding morfem kata kerja,

kemungkinan karena efek dari bahasa pertamanya (antara lain, dalam bahasa Perancis

bentuk akhir jamak ‘-s’ terjadi hanya pada tulisan). Bagaimanapun, saat morfem kata

kerja dan kata benda betul-betul dipertimbangkan secara terpisah, pesan yang sesuai

terjadi secara alamiah. Pada studi berikutnya, Lighbown (1983)  menemukan bahwa pada

kelompok mahasiswa yang sama pada studi pertama ‘overlearnt’ pada penempatan ‘-ing’

kata kerja pada tahap tingkat pengembangan mereka. Lighbown memberi kesan bahwa

hal ini sebagai hasil dari latihan formal secara intensif mengenai morfem ini pada tahap

terlalu awal dan latihan yang terkonsentrasi tinggi dapat menunda efek. Meskipun,

mahasiswa tidak menggunakan ‘-ing’ secara tepat, namun mengulur-ngulur penggunaan

pada kontek yang membutuhkan morfem orang ketiga ‘-s’. kemudian, frekwensi ‘-ing’

menurun sejalan dengan mahasiswa yang menyortir masing-masing penggunaan ‘-s’ dam

‘=ing’. Sekali lagi, karenanya, kekacauan pada pesan alami membuktikan hanya bersifat

sementara.

Salah satu masalah dari keseluruhan lima kelas studi morfem tentang pelajar

bahasa kedua adalah bahwa pelajar yang telah menerima pengajaran lingkungan dimana

Page 6: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

hal itu memungkinkan bagi mereka untuk mengekpose bahasa kedua diluar kelas.

Dengan kata lain, studi mungkin tidak menyentuh efek pembelajaran kelas.  Pica (1983)

menyebutkan sejumlah studi seperti halnya ekspose tersebut mungkin lebih sedikit telah

mengacaukan variabel. Fathman (1978) membandingkan apa yang ia sebut sebagai

‘pesan sukar’ dari pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing di kelas di Jerman dimana

bahasa Inggris sebagai bahasa kedua untuk sekolah di Amerika Serikat. Pada kasus

terdahulu, pengajaran telah memberikan kecocokan pada dua kriteria yang telah

disebutkan : yaitu, yang terstruktur dan yang membutuhkan pemusatan pada bentuk. Pada

kasus kemudian, pengajaran formal mini telah diperkenalkan. Meskipun demikian,

Fathman melaporkan hubungan positif dalam pesan yang dihasilkan oleh dua kelompok

pelajar, meskipun ia tidak mengidentifikasi jumlah perbedaan minornya.

Studi kedua kelas murni yang mempelajari pandangan Pica tersebut adalah

sebagaimana menurut Makino (1979). Makino menyelidiki sembilan morfem yang

dihasilkan dalam ujian tulis 777 subjek pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing

di sekolah sekunder Jepang. Hasilnya menunjukkan bahwa pesan morfem yang

dihasilkan berkorelasi signifikan dengan pesan yang dilaporkan oleh Dulay dan Burt dan

oleh peneliti morfem lainnya (Hakuta 1974 adalah pengecualian).

Studi ketiga yang meneliti pandangan Pica adalah Sajavaara (1981a). ia

mengumpulkan cara berujar secara spontan dari pelajar berbahasa Finlandia yang belajar

bahasa Inggris dan menemukan suatu gangguan pesan.. satu dari perbedaan utama adalah

didakam memposisikan rangking suatu tulisan. Pica mencatat bahwa sisten tulisan bahasa

Finlandia dan bahasa Jepang berbeda dari bahasa Inggris, tapi hanya pelajar bahasa

Finlandia dalam studi Sajaavara berbeda seara alami.

Pica melaksanakan studinya mengenai efek pengajaran terhadap pesan morfem. Ia

membandingkan enam pelajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing yang menerima

pengajaran formal di Mexico City baik pada kelompok pelajar alami, maupun pelajar

campuran (sebagai contoh, seseorang menerima ekspose dan juga pengajaran) di

Philadelphia. Pica memandang pada delapan morfem dan menemukan korelasi signifikan

diantara tiga kelompok dan dengan pesan alami Krashen.

Pembahasan sembilan morfem tersebut diringkas dalam tabel 9.1. Kesimpulan

apa yang dapat digambarkan?  Secara umum pengajaran formal tidak tampak memiliki

Page 7: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

efek terhadap pesan morfem yang dilaporkan untuk alami atau campuran pemerolehan

bahasa kedua. Hanya saat data yang digunakan untuk menghitung pesan morfem secara

ketat dimonitor (seperti dalam melakukan studi oleh Perkin dan Larsen-Freeman,

misalnya) muncul berbeda-beda. Saat data dikumpulkan mencerminkan penggunaan yang

komunikatif tentang bahasa kedua (sebagaimana dalam studi Pica, misalnya), pesan

morfem adalah sama halnya dengan pesan alami atau berbeda hanya dalam istilah dan

hanya dalam satu atau dua segi yang mungkin terlalu ‘overlearnt’. Kesimpulan umum ini

membenarkan tanpa bergantung apakah pelajar adalah anak-anak atau dewasa dan yang

paling menarik tanpa bergantung dari apakah pelajar orang asing ataukah lingkungan

bahasa kedua. Satu-satunya pengecualian adalah studi Sajavaara.

Pengajaran formal muncul, lalu, hanya memiliki efek kurang berarti pada pesan

order merujuk kepada bahasa yang digunakan secara spontan. Namun, sebagaimana yang

telah tergambar pada bab 3, pesan morfem mengukur secara akurat lebih baik daripada

pengetahuan yang didapatnya. Dalam upaya untuk memperoleh gambaran yang dapat

dipercaya, mengenai pengaruh pengajaran pada pengembangan bahasa kedua, penting

untuk berbalik ke arah studi longitudinal mengenai struktur transisi.

 

Studi longitudinal tentang kelas pemerolehan bahasa keduaAllwright (1980 : 165) mengamati :

Secara aneh, pendekatan studi kasus sangat berperan pada metodologi bahasa

kesatu dan kedua yang didapatkan para peneliti, tidak secara khusus, masuk akal untuk

pelajar yang berada dalam kelas.

Terdapat sedikit studi longitudinal kelas pemerolehan bahasa kedua. Tiga

diantaranya yang akan dibahas disini adalah Felix (1981), Ellis (1984a) dan Schumann

(1978b). Bukti studi longitudinal yang tersedia oleh karenanya lebih sedikit dibandingkan

apa yang disajikan studi morfem.

Studi Felix menarik perhatian tertentu karena subjeknya adalah pelajar kelas asli,

contohnya mereka seluruhnya bergantung pada pengajaran formal untuk input bahasa

kedua. Terdapat tiga puluh empat murid Jerman usia sepuluh hingga delapan tahun,

mempelajari bahasa Inggris pada tahun pertamanya di Sekolah Menengah Atas Jerman.

Page 8: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

Para murid menerima 45 menit pelajaran bahasa Inggris selama lima hari seminggu.

Studi keseluruhan mencapai delapan bulan.

Struktur tatabahasa yang Felix laporkan yaitu pada negasi, interogasi, tipe

kalimat, dan kata ganti. Untuk setiap pola, kesamaan telah ditemukan antara hasil tutor

dan pemerolehan bahasa kedua secara alami. Sebagai contoh, walaupun pelatihan sehari-

hari dalam kalimat bulat negatif (misalnya ‘it isn’t) selama minggu pertama, murid tidak

dapat menghasilkan kalimat yang benar dalam menggunakan ‘not’ atau ‘n’t’, sementara

ucapan negatif secara spontan dari minoritas selama periode ini memuat penghubung ‘no’

(misalnya, ‘it’s no my comb’). Saat kata kerja utama kalimat negasi diperkenalkan

(misalnya penggunaan ‘don’t’/doesn’t’), banyak ungkapan negatif anak-anak

mengandung pelengkap kalimat negatif diluar (misalnya, ‘doesn’t she eat apples’ = she

doesn’t eat apples). Dengan kata lain, anak-anak banyak menggunakan ‘don’t/doesn’t’

dalam cara khusus bagi pelajar alami yang menggunakan ‘no’. Contoh serupa mengenai

bentuk yang diamati dalam pemerolehan bahasa kedua secara alami telah dilaporkan

untuk pola lain yang diselidiki oleh Felix.

Felix berkesimpulan bahwa hasil tutor dan hasil alami pemerolehan bahasa kedua

melibatkan proses pembelajaran yang sama dan bahwa

…..kemungkinan manipulasi dan kontrol kebiasaan verbal pelajar dalam kelas

dalam faktanya terbatas. (Felix 1981:109)

Dalam kelas dimana pengajaran merupakan hal yang sangat formal, pelajar secara

konstan dipaksa untuk menghasilkan pola yang mereka belum siap. Felix menduga upaya

memecahkan masalah ini merupakan satu dari dua jalan yang ada. Apakah mereka

memilih secara acak dari pola repertoir, ketidakbergantungan sintaksis atau kelayakan

semantik, ataukah mereka mengikuti aturan yang sama bahwa itu merupakan

karakteristik tahapan awal pemerolehan bahasa secara alami.

Ellis menyelidiki tiga pelajar bahasa kedua usia sepuluh hingga tiga belas tahun.

Mereka menerima pengajaran penuh (misal, tanpa adanya penutur asli anak-anak). Hal

itu selayaknya menunjukkan, bagaimanapun, bahwa bahasa Inggris – bahasa kedua –

telah digunakan sebagai media umum komunikasi baik antara guru dan murid dan

diantara murid itu sendiri. Jadi, baik kelas dan lingkungan sekolah memberikan

kesempatan bagi pengguna bahasa Inggris. Pengajaran bahasa itu sendiri bervariasi,

Page 9: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

namun secara utama mengenai jenis audio-lingual. Studi mencangkup periode sembilan

bulan. Pada saat awal, dua anak merupakan benar-benar pemula, sementara yang lain

hampir dikatakan demikian (misal, ia hanya memiliki sedikit perbendaharaan kata bahasa

Inggris saja).

Ellis menguji negatif, interogatif dan sejumlah frase morfem kata kerja. Kesemua

pola ini secara formal diajarkan pada satu waktu atau saat yang lain selama sembilan

bulan pembelajaran – beberapa orang pada kesempatan yang lain. Saat ucapan

komunikasi dihasilkan oleh pelajar di kelas setelah dianalisa, ternyata menunjukkan pola

pengembangan kurang lebih identik pada penelitian dalam pemerolehan bahasa kedua

secara alami. Hasil ini adalah benar untuk semua pola yang diselidiki. Sebagai contoh,

ungkapan penyangkalan anak-anak yang terdiri dari anaforik (misal, ‘no’ oleh dirinya

sendiri atau ‘no’+ pernyataan terpisah). Negasi eksternal mengikuti, pertama dalam

ungkapan ketiadaan kata kerja dan kemudian dalam ungkapan berisikan kata kerja.

Penggantian negasi eksternal secara berangsur-angsur oleh negasi internal terjadi.

Bersamaan dengan ‘not’ digantikan ‘no’ sebagai negasi pokok. Ellis, seperti halnya Felix,

berkesimpulan bahwa proses yang sama ditemukan dalam pemerolehan bahasa kedua

secara alami ditempat kerja. Satu-satunya perbedaan antara pemerolehan bahasa secara

alami dan di kelas bahwa dapat diamati beberapa pola transisi yang berubah lebih lama

(misal, penggunaan interogatif yes/no yang tidak dibalikan) dan beberapa susunan lambat

muncul.  Ellis mengemukakan hal ini sebagai hasil pola penyimpangan komunikasi yang

terjadi di kelas. Fakta lebih lanjut untuk penjelasan ini berasal dari Long dan Sato (1983),

yang menemukan, sebagai misal, bahwa karakteristik input kelas mendominasi acuan

sementara.

Dalam studi Schumann percobaan dengan sengaja dibuat untuk mengajar pelajar

bahasa kedua dewasa tentang bagaimana untuk ber-negasi. Ini terjadi dalam konteks studi

longitudinal dari cara lainnya yaitu pemerolehan bahasa kedua secara alami. Lebih

dahulu pada eksperimen pengajaran, ungkapan kalimat negatif pelajar secara pokok

adalah tipe ‘no + V’. Pengajaran meliputi periode selama sembilan bulan, dan selama itu

perolehan dan spontanitas ungkapan kalimat negatif diperoleh. Pemerolehan ungkapan

telah ditunjukkan oleh nilai perkembangan (64 persen benar berlawanan dengan sebelum

pengajaran yang hanya mencapai 22 persen). Tetapi, ungkapan secara spontan tidak

Page 10: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

menunjukkan perubahan signifikan.(20 persen benar sebagaimana 22 persen benar

sebelum pengajaran). Schumann berkesimpulan bahwa pengajaran mempengaruhi hasil

belajar hanya dalam ujian seperti situasi saat komunikasi normal yang tidak dibuat-buat.

Dari kesemua studi ini (yang diringkas pada tabel 9.1), dapat diambil suatu

hipotesa :

1.      pengajaran bukan proses berbelit-belit yang berperan dalam urutan pengembangan

yang jelas dalam transisi pola seperti kalimat negatif, interogatif dalam

pemerolehan bahasa kedua secara alami.

2.      ketika pelajar di kelas diperlukan untuk menghasilkan pola melebihi kompetensi

mereka, bentuk yang aneh yang biasanya dihasilkan.

3.      simpangan input dapat memperpanjang tahap tertentu dari perkembangan dan

melambatkan timbulnya beberapa fitur gramatikal.

4.      pelajar kelas dapat menggunakan pengetahuan yang diperoleh melalui pengajaran

formal ketika mereka terfokus pada bentuk (yaitu, dalam suatu ujian terpisah).

Bagaimanapun, banyak penelitian dibutuhkan untuk memperkuat hipotesis ini.

 

Jenis StudiJenis

KelasSubjek

Tingkat

KemahiranData Hasil

Morfem Fathman

(1975)ESL

USA

260 anak usia 6-15 thn-

berlatar campuran bahasa

pertama

Dasar dan

menengah

Tes oral Pesan morfem yang didapat

peserta pengajaran signifikan

Morfem Perkin dan

Larsen-

Freeman

(1975)

ESL

USA

12 mahasiswa-pendatang

baru-bahasa pertama Spanyol

Menengah 1. Tes

terjemah

2. ucapan

spontan

 

Pesan morfem sebelum dan

setelah pengajaran berbeda

Morfem Turner

(1978)ESL

USA

3 pelajar bahasa inggris

sebagai bahasa kedua

Dasar 1. sampel

ucapan

spontan

2. tes

tatabahasa

Pesan pengajaran berbeda dari

pesan morfem dalam hal

spontanitas tapi relatif sama dalam

tes

Morfem Lightbown,

dkk.

(1980)ESL

Canada

175 tingkat 6, 7 dan 8-bahasa

pertama Perancis

Campuran

tingkat

kemampuan-

utamanya

menengah

ucapan

spontan

Berbeda pesan, kecuali untuk kata

kerja dan kata benda

Morfem Lightbown

(1983)

ESL

Canada

75  tingkat  6 (juga 36 tingkat

7 dan 8)

Utamanya

dibawah

ucapan

spontan

Berbeda pesan untuk sejumlah

morfem (mis. –ing)

Page 11: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

menengah

Morfem Fathman

(1978)EFL

Jerman

Remaja menerima pelajaran

tatabahasa, latihan, dan

kontrol dialog

Campuran

tingkat

kemampuan

Tes oral Signifikan berkorelasi (tidak

menerima pengajaran)

Morfem Makino

(1979)EFL

Jepang

777 remaja dan anak

menerima pengajaran formal

kelas

Campuran

tingkat

kemampuan

Tulisan

pendek-tes

menjawab

Tidak ada perbedaan signifikan

antara pesan morfem dan pesan

alamiah

Morfem Sajavaara

(1981)

EFL

Finlandia

Remaja menerima pengajaran

formal kelas

? Tes spontan Pesan alamiah menjadi terganggu

Morfem Pica (1983)

EFL

Mexico

6 dewasa penutur bahasa

Spanyol (18-50 thn)

menerima pengajaran

tatabahasa dan latihan bahasa

komunikatif

Campuran

tingkat

kemampuan

Percakapan

panjang

dengan para

peneliti-

rekaman

Pesan morfem berkorelasi dengan

grup itu

Longitu-

dinal

Felix

(1981)EFL

Jerman

34 anak usia 10-11 thn-

bahasa pertama Jerman

Pemula Percakapan

kelas-rekaman

Menghasilkan ungkapan yang

sesuai aturan sebagaimana halnya

alamiah

Longitu-

dinal

Ellis

(1984a)ESL

Inggris

3 anak usia 10-13 thn-bahasa

pertama Punjabi dan Portugis

Pemula Percakapan

kelas-rekaman

Menghasilkan ungkapan yang

sesuai aturan sebagaimana halnya

alamiah

Longitu-

dinal

Schumann

(1978)

ESL

USA

1 dewasa-bahasa pertama

Spanyol

Faham kolot

di usia senja

Ucapan

alamiah

Peningkatan substansial ketepatan

keseluruhan

 

Tabel 9.1   Studi empiris tentang efek pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 12: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ringkasan

Studi morfem dan longitudinal mengenai pemerolehan bahasa kedua mengindikasikan

bahwa meskipun pengajaran formal  mungkin mengembangkan pengetahuan bahasa

kedua, pengetahuan ini manifestasi dirinya sendiri dalam penggunaan bahasa hanya

dimana pelajar mengikuti prosesnya. Itu tidak terjadi, oleh karena itu, terkecuali dalam

cara yang relatif sedikit, mempengaruhi jalan alami pemerolehan bahasa kedua yang

secara jelas terlihat dalam bertutur komunikasi. Untuk menggunakan perbedaan antara

rangkaian dan pesan pengembangan yang dibuat dalam bab 3, kita dapat mengatakan

bahwa keseluruhan rangkaian pengembangan tidak dipengaruhi oleh pengajaran formal,

sementara pesan pengembangan sangat dipengaruhi. Pengajaran formal mempengaruhi

pengetahuan hanya pada bentuk kehati-hatian dalam gaya bahasa, bukan pada bentuk

Page 13: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

logat bahasa (lihat bab 4). Kesimpulan ini, merupakan hal yang tentatif, seperti yang

terlihat pada studi pemerolehan bahasa kedua di kelas, terutama longitudinal.

 

Pengaruh pengajaran formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa kedua.

 

Studi tentang pengaruh pengajaran formal pada kesuksesan pemerolehan bahasa

kedua telah semakin banyak. Long (1984d), dalam tinjauan seksama riset yang relevan

membuat daftar sebelas studi. Namun, kesemua studi ini telah menguji ‘kegunaan relatif’

suatu pengajaran. Bahwa, kesemuanya menyangkut dengan keseluruhan efek pengajaran

pada kecakapan bahasa kedua dalam hubungannya pada efek ekspose ringan bahasa

kedua secara alamiah. Jadi, tidak ada satupun studi yang menguji ‘efek absolut’

pengajaran formal, yaitu, apakah pengajaran dapat mempercepat pemerolehan pola

gramatikal khusus. Juga, seperti halnya studi yang telah menguji campuran pelajar bahasa

kedua (antara lain, mereka yang menerima ekspose dan pengajaran), studi tersebut tidak

dapat menjawab apakah pengajaran formal yang didalam dirinya lebih efektif daripada

ekspose dalam dirinya, tapi hanya, apakah pengajaran ditambah ekspose lebih baik

daripada tidak ada pengajaran dan ekspose. Hal ini tidak sepenuhnya memuaskan, dengan

alasan, yang akan dipertimbangkan kemudian. Terlebih dahulu, studi, akan dibagi pada

dua grup. Grup pertama berisi sebelas studi hasil pemikiran Long ; hal ini, seperti yang

dicatat dibawah, merujuk pada kegunaan relatif. Grup berikutnya berisi satu studi oleh

Ellis (1984a) yang merujuk pada efek absolut. Keseluruhan studi hanya memikirkan efek

perkembangan gramatikal.

 

Kegunaan relatif pengajaran formalMempelajari tipe studi ini dapat lebih lanjut dibagi sebagaimana berikut : (1) studi

bagi mereka yang menunjukkan pengaruh pengajaran secara positif, (2) studi bagi mereka

yang ambigu, dan (3) studi bagi mereka yang tidak menunjukkan pengaruh dari

pengajaran.

Long (1983d) mendiskusikan enam studi yang menunjukkan pengaruh positif

pengajaran formal. Dua diantaranya membandingkan pengaruh perbedaan jumlah

pengajaran pada pelajar yang menerima jumlah yang sama dari ekpose. Empat studi

Page 14: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

lainnya menyelidiki hubungan antara perbedaan jumlah pengajaran, ekspose dan tingkat

kemahiran pelajar. Kesemua studi mencakup anak-anak dan dewasa, suatu cakupan

tingkat kemahiran, dan perbedaan target bahasa. Juga, pengujian biasa mengukur tingkat

kemahiran poin diskrit (misal, pilihan berganda) dan tipe integratif.

Prosedur diadopsi oleh Krashen dan Seliger (1976) dan Krashen, Seliger dan

Hartnett (1974) untuk mencocokan pasangan siswa yang memiliki jumah ekspose yang

sama namun berbeda periode pengajaran formal (contohnya, untuk menahan faktor

ekspose yang konstan dalam upaya mengukur pengaruh faktor pengajaran).  Kedua studi

menemukan bahwa pelajar tersebut dengan pengajaran yang lebih memiliki skor tinggi

dalam test kemahiran dibandingkan pelajar yang kurang dalam pengajaran. Namun,

seperti yang digambarkan oleh Long, tidaklah mungkin untuk memastikan bahwa

pengajaran dalam diri yang memiliki pengaruh, sebagaimana kiranya, pelajar yang lebih

berpengalaman dalam hal pengajaran lebih banyak berhubungan dengan bahasa kedua.

Jadi, hasil yang diperoleh dapat dijelaskan dalam hubungan jumlah keseluruhan

hubungan (contohnya, total waktu pengajaran ditambah total waktu ekspose). Dalam

upaya untuk menegaskan pengaruh nyata pengajaran formal, penting untuk

memperlihatkan bahwa saat pelajar cocok dalam pengajaran namun berbeda dalam

ekspose (contohnya faktor pengajaran dipengang konstan dalam upaya  menginfestigasi

faktor ekspose), tidak terdapat kesesuaian pengaruh nyata untuk ekspose. Dalam kedua

studi ini pada kenyataannya ditemukan sebagai kasus, memberi kesan bahwa pengamatan

pengaruh nyata pengajaran bukan sekedar hasil dari keseluruhan waktu kontak yang lebih

banyak. Bagaimanapun, studi oleh Martin (1980) menemukan pengaruh nyata untuk

ekspose saat pengajaran merupakan untuk pengendali. Dalam suatu kesimpulan, lebih

lanjut, studi oleh Krashen dan Seliger (1976) dan oleh Krashen, Seliger dan Hartnett

(1974) menilai bahwa pengajaran adalah membantu, namun dengan bukti-bukti yang tak

pasti.

Prosedur yang digunakan oleh keempat studi lainnya (Krashen dkk. 1978 ; Briere

1978 ; Carroll 1967 ; Chihara dan Oller 1978) juga bahwa menunjukkan pengaruh nyata

pengajaran untuk mengukur secara statistik derajat kesesuaian antara jumlah pengajaran

dan ekspose yang berpengalaman dengan siswa yang berbeda pada satu sisi dan nilai

kemahiran pada sisi lainnya. Keempat studi menemukan hubungan antara ekspose dan

Page 15: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

kemahiran, tapi hanya tiga studi yang menemukan hubungan yang sama antara ekspose

dan kemahiran. Juga kekuatan hubungan dengan pengajaran lebih kuat dalam dua studi,

dan yang terlemah hanya pada satu studi.

Pada umumnya, pengajaran merupakan prediktor yang lebih baik dalam hal

tingkat kemahiran daripada ekspose. Namun, sekali lahi, hal tersebut sangat sulit untuk

memisahkan efek pengajaran dan ekspose dalam studi ini.

Long mendiskusikan dua studi dengan hasil ambigu (Hale dan Budar 1970, dan

Fathman 1976). Pada kedua kasus studi itu sendiri membuahkan hasil yang

mengindikasikan pengajaran tidaklah membantu. Hale dan Budar, sebagai contoh,

menulis :

Terlihat bahwa mereka (pelajar) yang menghabiskan waktu dua hingga tiga hari dari enam haridalam kelas khusus TESOL menjadi lebih merugikan daripada membantu. (Hale dan Budar 1970:297)

Mereka berpendapat bahwa pelajar yang mencapai kemahiran tertinggi dalam

waktu sesingkat mungkin merupakan mereka yang mengalami interaksi total dalam

bahasa Inggris dan kebudayaannya. Long, menyebutkan bahwa karena rancangan studi

Hale dan Budar, variabel seperti pengajaran, latar belakang ekonomi-sosial, jumlah

ekspose, dan sikap orang tua apakah bertentangan sehingga tidaklah mungkin untuk

menentukan yang bertanggungjawab atas perbedaan dalam tingkat kemahiran yang

diamati. Long, juga menunjukkan bahwa permasalahan secara metodologi membuat ragu

apa yang dihasilkan Fathman.

Tiga studi (Upshur 1968 ; Mason 1971 ; Fathman 1975) menunjukkan tidak ada

keuntungan tentang pengajaran. Dalam setiap kasus, perbandingan dibuat antara

pengajaran dan ekspose serta ekspose saja, dengan total aktu kontak yang dijaga tetap

sama. Long menentang bahwa meskipun hasilnya negatif, terdapat beberapa indikasi

baha pengajaran tetap berperan, meskipun secara hasil statistik tidak mencapai signifikan.

Pengambilan semua studi ini secara bersama (digambarkan pada tabel 9.2), Long

menyatakan bahwa ‘sungguh terdapat fakta mengindikasikan bahwa pengajaran bahasa

kedua telah membuat perbedaan’ (1983d: 374). Ia membantah bahwa pengaruhnya (1)

pada anak sebaik pada dewasa, (2) pada pelajar tingkat menengah dan tingkat lanjut

sebaik pada pemula, (3) pada keutuhan sebagaimana halnya pada poin test terpisah, dan

(4) dalam perolehan si kaya sebagaimana halnya perolehan si miskin. (3) merupakan

Page 16: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

signifikan, karena memberi kesan bahwa pengajaran membantu performan komunikatif,

dimana  test integratif diharapkan untuk mengukur seperti halnya performan yang

dimonitor dalam pengamatan yang sejenis dalam poin test terpisah. (4) merupakan

pertentangan mengenai hipotesa yang dikemukakan Krashen tentang hal pengajaran yang

akan bernilai dalam  pemerolehan di lingkungan miskin, saat pelajar mungkin tidak dapat

memperoleh input memadai melalui ekspose, tapi tidak signifikan dalam pemerolehan di

lingkungan kaya, dimana disana terdapat banyak input yang dapat dimengerti. Dalam

pernyataan Long tentang penelitian yang didapat, pengaruh pengajaran formal adalah

dapat dimengerti.

 

Pengaruh nyata pengajaran formalStudi sejenis yang dilaporkan diatas tidak memberi keterangan pada apa yang

benar-benar terjadi saat pengajaran formal berlangsung. Jika demikian membantu

pemerolehan bahasa kedua, siapakah yang melakukannya? Ellis (1984e)

memperkenalkan untuk menguji ini. Ia mengukur pengaruh tiga jam pengajaran pada

bentuk dan arti dari pertanyaan WH pada kelompok tiga belas pelajar bahasa kedua

tingkat dasar berusia antara sepuluh sampai lima belas tahun. Dua subjek pelajar

diselidiki dalam studi longitudinal yang telah dibahas lalu. Ini menunjukkan bahwa pada

saat pengajaran, WH interogatif mulai muncul dalam bertutur komunikasi. Seperti ketika

anak-anak ini dinilai sedikit dibawah rata-rata kelompok keseluruhan, hal itu diduga

bahwa WH interogatif lebih kecil dari subjek ‘daerah perkembangan terdekat’ (Vygotsky

1962) ; bahwa, pelajar secara perkembangannya ‘siap’ untuk pertanyaan WH. Namun,

hasil yang ditunjukkan bahwa untuk keseluruhan kelompok meningkat tidak signifikan

dalam kemampuan anak-anak menggunakan secara tepat dan secara gramatikal dibentuk

dengan baik pertanyaan WH sebagaimana hasil pengajaran. Beberapa anak, menunjukkan

tanda peningkatan individual. Untuk menetapkan apakah hal ini dapat diturunkan pada

pengajaran yang mereka terima, Ellis mengukur partisipasi setiap murid dalam perubahan

pengajaran dalam satu pelajaran. Ia menemukan bahwa itu adalah interaktor rendah yang

lebih baik daripada interaktor tinggi yang berkembang dalam kemampuan untuk

menggunakan pertanyaan WH dimana merupakan target pelajaran ini. Kemudian

Page 17: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

keterlibatan aktif dalam pengajaran formal bahasa tidak muncul untuk memfasilitasi

pemerolehan bahasa kedua.

Studi ini tidak dapat dikatakan untuk menunjukkan bahwa pengajaran formal

tidak memiliki pengaruh nyata – lebih banyak lagi konfirmasi studi yang dibutuhkan

untuk meraih kesimpulan tersebut – tapi hal itu mengindikasikan bahwa kegunaan relatif

pengajaran mungkin tidak dihasilkan dari pemerolehan pola yang mengangkat target n

atau pelajara. Poin ini akan dibahas kemudian.

 

DiskusiTerdapat sejumlah permasalahan dengan studi yang dilaporkan pada bab ini, yang

membuat keraguan pada kesimpulan dari Long terkait pengaruh positif dari pengajaran

formal. Seperti yang telah dicatat dalam enam studi yang dilaporkan bahwa pengajaran

adalah membantu, terdapat permasalahan mengenai memutuskan apakah pengaruh hal

yang diteliti merupakan hasil dari pengajaran itu sendiri, atau lebih merupakan hubungan

kesempatan. Juga terdapat permasalahan mengenai motivasi pelajar. Hal ini dapat

mempengaruhi hasil dalam beberapa segi. Sebagai misal, pelajar yang termotivasi tinggi

lebih menyukai mencari pengajaran (atau pengajaran lebih) daripada pelajar yang kurang

motivasi. Jadi pengaruh motivasi akan luar biasa bersama dengan pengajaran. Dalam

beberapa studi (misalnya, Hale dan Budar 1970) pelajar tidak diberikan pilihan tentang

apakah mereka harus menerima pengajaran. Dalam beberapa contoh mereka mungkin

benci membenci pengajaran (Hale dan Budar melaporkan hanya sebatas ini), dengan hasil

bahwa mungkin mereka lebih sedikit menerima manfaat darinya. Akhirnya, tidaklah jelas

dalam cara apakah pengajaran formal seharusnya membantu pemerolehan bahasa kedua.

Dengan pengecualian studi Ellis, tidak terdapat catatan mengenai kesempatan apa yang

ada dalam kelas itu sendiri.

Namun, untuk menyanggah bahwa pengajaran dapat membantu pelajar untuk

mendapatkan bahasa kedua tidak hanya intuisi bandingan, namun berlawanan pada

pengalaman pribadi guru dan murid yang tak terbilang. Dalam istilah luas. Pandangan

Long tentang penelitian hanya memperkuat asumsi akal sehat. Apa yang menjadi

perhatian, bagaimanapun, bukan apakah pengajaran formal memudahkan penilaian /

kesuksesan pemerolehan bahasa kedua, akan tetapi bagaimana. Pada skor ini,

Page 18: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

pembelajaran tidaklah membantu. Sebagai hasilnya, hal yang penting untuk diusahakan

untuk mencari teori yang lebih baik dari jaaban empiris. Hal ini yang menjadi tujuan bab

ini.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Page 19: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

Jenis Studi Jenis Kelas Subjek Tingkat Kemahiran Data

Kegunaan

relatif

Carroll

(1967)

Pembelajaran bahasa

asing di USA

Dewasa-bahasa pertama Inggris Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pengajaran dan eksposur mambantu, tapi eksposur lebih

membantu

Kegunaan

relatif

Chihara dan Oller

(1878)

EFL di Jepang Dewasa-bahasa pertama Jepang Semua tingkat kemahiran - Tes diskret poin

- Tes integratif

Pengajaran membantu, tapi eksposur tidak

Kegunaan

relatif

Krashen, Seliger

dan Hartnett

(1974)

ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes diskret poin Pengajaran membantu, tapi eksposur tidak

Kegunaan

relatif

Briere

(1978)

Bahasa Spanyol

sebagai bahasa kedua

di Meksiko

Anak-bahasa Indian lokal bahasa

pertama

Pemula Tes diskret poin Pengajaran dan eksposur mambantu, tapi pengajaran lebih

membantu

Kegunaan

relatif

Krashen dan

Seliger

(1976)

ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir Tes integratif Pengajaran membantu, tapi eksposur tidak

Kegunaan

relatif

Krashen et all

(1978)

ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pengajaran dan eksposur mambantu, tapi pengajaran lebih

membantu

Kegunaan

relatif

Hale dan Budar

(1970)

ESL di USA Remaja-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran - Tes diskret poin

- Tes integratif

Eksposur membantu tapi pengajaran tidak

Kegunaan

relatif

Fathman

(1976)

ESL di USA Anak-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Eksposur membantu tapi pengajaran tidak

Kegunaan

relatif

Upshur

(1968)

ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir Tes diskret poin Pengajaran tidak membantu

Kegunaan

relatif

Mason

(1971)

ESL di USA Dewasa-campuran bahasa pertama Menengah dan mahir - Tes diskret poin

- Tes integratif

Pengajaran tidak membantu

Kegunaan

relatif

Fathman

(1975)

ESL di USA Anak-campuran bahasa pertama Semua tingkat kemahiran Tes integratif Pengajaran tidak membantu

Pengaruh

nyata

Ellis

(1984e)

ESL di Inggris Anak-campuran bahasa pertama Setelah tingkat pemula Ucapan spontan dari

tes gambar

Pengajaran tidak memiliki pengaruh

 

 

Tabel 9.2 studi empiris pengaruh pengajaran pada penilaian/kesuksesan Pemerolehan

Bahasa Kedua

Page 20: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

 

SimpulanStudi tentang kegunaan relatif mengenai pengajaran formal menghasilkan

campuran hasil, namin secara umum mendukung hipotesis bahwa pengajaran menolong

penilaian/kesuksesan pemerolehan bahasa kedua. Hal itu tidaklah jelas, namun, apakah

hal itu adalah pengajaran yang ada dalam dirinya atau beberapa faktor yang berhubungan

seperti motivasi dimana yang bertanggungjawab mempengaruhi pengamatan – baik

positif atau negatif. Tidak juga jelas bagaimana pengajaran memimpin kearah

perkembangan yang cepat, terutama sekali seperti adanya bukti untuk  menyatakan

bahwa pengajaran formal mungkin tidak memiliki pengaruh nyata.

 

Menjelaskan peran dari pengajaranPandangan tentang penelitian empiris kedalam pengaruh pengajaran formal pada

pemerolehan bahasa kedua telah mengindikasikan bahwa meskipun pengajaran tidak

memiliki pengaruh nyata pada rangkaian perkembangan dan sangat sedikit pada urutan

perkembangan, ia memiliki pandangan relatif dimana penilaian/kesuksesan mengenai

pemerolehan bahasa kedua adalah hal yang penting. Penjelasan mengenai peran

pengajaran dalam pemerolehan bahasa kedua akan meliputi hasil ini. Bab ini akan

mempertimbangkan tiga kemungkinan penjelasan dipandang dari sudut penelitian empiris

yang dilaporkan dalam bab sebelumnya. Hal itu adalah (1) posisi non-interface, (2) posisi

interface, dan (3) posisi variabilitas.

1)                  Posisi non-interface

Posisi non-interface telah dimajukan sebelumnya oleh Krashen (1982). Krashen, akan

disebut kembali, memperkenalkan dua jenis pengetahuan linguistik dalam pemerolehan

bahasa kedua. ‘Acquisition’ terjadi secara otomatis ketika pembelajar menggunakan

dalam komunikasi alami dimana memusatkan pada maksud/makna dan dimana terdapat

masukan yang dapat dipahami. ‘Learning’ terjadi sebagai hasil dari pembelajaran formal

dimana pembelajar difokuskan pada sifat  yang formal dari bahasa kedua. Pengetahuan

‘acquired’ terdiri dari mengenai peran bahasa kedua yang mana pembelajar dapat 

menyerukan secara otomatis; Pengetahuan ‘learnt’ terdiri dari pengetahuan metalingual

Page 21: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

yang mana hanya dapat digunakan untuk memonitor keluaran yang dihasilkan dari

pengetahuan yang diperoleh. Krashen membantah bahwa dua jenis pengetahuan

keseluruhannya terpisah dan tidak berhubungan. Khususnya bantahan pandangan bahwa

pengetahuan ‘learnt’ yang diubah ke dalam pengetahuan ‘acquired’. Dia menuliskan:

Hal yang sangat penting yang juga dibutuhkan untuk dinyatakan adalah bahwa pembelajaran tidak ‘berubah menjadi’ tambahan.  Pemikiran bahwa kita pertamakali belajar suatu aturan, dan akhirnya, melalui latihan, mendapatkannya, menyebarluas dan mungkin terlihat pada beberapa orang tanpa sadar menjadi jelas….pemerolehan bahasa….terjadi dalam satu jalan, saat pemahaman input berisi struktur yang penerima ‘tiba’ untuk memahami, suatu struktur padanya ‘I + 1’. (1982:83-4)

 

Hal ini merupakan posisi yang tidak berhubungan .

Krashen mempergunakan sejumlah alasan untuk keterpisahan ‘pemerolehan’ dan

‘belajar’ pengetahuan :

1. terdapat banyak kasus ‘pemerolehan’ dimana tidak terjadi ‘pembelajaran’. Hal ini

secara luas dilaporkan dalam studi naturalistik pemerolehan bahasa kedua.

2. terdapat kasus dimana ‘belajar’ telah dilakukan tetapi gagal menjadi

‘pemerolehan’. Krashen mengacu pada kasus ‘P’ (Krashen dan Pon 1975), yang

‘belajar’ peraturan seperti orang ketiga tunggal ‘-s’, tapi tidak dapat

menggunakannya dalam percakapan umum karena ia belum ‘memperoleh’ nya.

3. bahkan pelajar yang terbaik dapat menguasai hanya suatu sub satuan kecil yang

bersifat kaidah gramatika tentang bahasa yang kedua. Hal ini dikarenakan

kebanyakan dari kaidah tersebut terlalu sulit untuk diikuti pelajar. Krashen

menunjukkan bahwa hal ini sering memerlukan seorang linguis sepanjang

tahunnya untuk menjelaskan kaidah tersebut, yang mudah diperoleh.

Krashen mengakui adanya bahwa kadang-kadang kaidah dapat diajarkan sebelum

hal itu diperoleh. Bagaimanapun, dia membantah bahwa hal ini tidak menetapkan bahwa

pelajaran adalah suatu prasyarat dari pemerolehan. Dalam pandangan Krashen, setelah

diajarkan, suatu kaidah tidak menghalangi untuk memperolehnya selanjutnya.

Bukti yang menunjukkan bahwa pelajar dapat sering mengartikulasikan (pandai

berbicara) kaidah formal tatabahasa, tetapi tidak dapat digunakan mereka dengan benar

dalam komunikasi secara spontan memberi beberapa dukungan pada posisi non-interface.

Seliger (1979) membawakan suatu studi yang menarik untuk menyelidiki apakah hal ini

Page 22: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

merupakan kasus dalam kenyataannya. Beliau ditanya sejumlah pelajar kelas orang

dewasa untuk menjelaskan beberapa gambaran dan kemudian meneliti penggunaan a/an

mereka di dalam ujaran yang mereka produksi. Beliau juga ditanya oleh pembelajar

untuk menyatakan kaidah yang relevan. Hasilnya ditunjukkan dengan jelas bahwa tidak

terdapat hubungan antara hasil sebenarnya dengan pengetahuan yang sadar akan kaidah.

Hal ini terjadi, di samping fakta banyak pelajar percaya bahwa pengetahuan mereka

mengenai kaidahlah yang telah memandu hasil mereka. satu penafsiran dari studi

Selinger adalah bahwa pembelajaran dan pemerolehan tentu saja bagian yang terpisah,

walaupun penjelasan lainnya juga mungkin, yang akan memperjelas selanjutnya.

Bagaimana cara posisi non-interface meliputi hasil riset yang empiris? Hal itu

memberikan suatu penjelasan yang jelas mengenai mengapa pengajaran formal gagal

untuk mempunyai efek yang substansial (penting) pada rute pemerolehan bahasa kedua.

Rute ini merupakan pemikiran dari ‘pemerolehan’ dan akan menjadi penting hanya dalam

data yang diambil dari ujaran secara spontan. Pengajaran formal diarahkan pada

peningkatan kesadaran dan demikian, kiranya, hanya mempengaruhi pembelajaran. Jadi,

walaupun kelas pembelajar boleh mempelajari kaidah, mereka tidak menunjukkannya

dalam percakapan alami sampai mereka sudah memperolehnya. Dengan mengusulkan

sebagai fakta bahwa pembelajaran dan pemerolehan itu sepenuhnya terpisah, Krashen

dapat menjelaskan mengapa pengajaran formal kelihatannya tidak berdaya untuk

menumbangkan urutan pengembangan yang alami. Silabus pengajar merupakan suatu

pembelajaran silabus; kepunyaan pelajar dalam pembuatan silabus merupakan suatu

silabus pemerolehan.

Bagaimanapun, hal ini bukanlah dengan seketika jelas terlihat bagaimana posisi

non-interface dapat menjelaskan efek positif yang berakibat pada nilai/suksesnya

pengajaran formal pada pemerolehan bahasa kedua. Hal itu bisa diharapkan bahwa

lingkungan kelas akan menunjukkan pemerolehan bahasa kedua menurun dibandingkan

mempercepatnya, diberikan pengajaran formal hanya untuk membantu pembelajaran.

Bagaimanapun,, Krashen mengembangkan argumentasi untuk menjaga teorinya terhadap

kritik seperti itu.

Krashen (1982), sesungguhnya, mangakui bahwa kelas dapat melakukan lebih

baik daripada lingkungan informal, sama halnya dengan yang ditunjukkan penelitian

Page 23: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

empiris. Dia membantah ini, terutama sekali dalam kasus pemula orang dewasa, para

pemula mungkin akan mengalami kesukaran dalam memperoleh masukan yang dapat

dimengerti (sumber pemerolehan) dalam keadaan alami, tetapi jauh lebih mungkin untuk

memperolehnya di dalam kelas. Dengan begitu, walaupun dunia luar boleh menyediakan

lebih masukan kepada pelajar, kelas lebih baik diperlengkapi untuk memastikan bahwa

jenis masukan kualitatif yang benar diperlukan untuk pemerolehan yang tersedia.

Argumen-argumen ini merupakan suatu pengembangan Krashen (1976), dimana suatu

pembedaan dibuat antara lingkungan exposure-type dengan intake-type. Banyak orang

dewasa mungkin hanya mengalami lingkungan exposure-type di dalam suatu pengaturan

alami dan dengan begitu tidak akan memperoleh masukan yang diperlukan; yang

disesuaikan untuk memastikan pengertian. Di dalam kontras, kelas jauh lebih mungkin

untuk memastikan bahwa lingkungan intake-type terjadi dan demikian bertemu dengan

kondisi-kondisi itu yang mana pemerolehan dapat berlangsung. Bagaimanapun,

kontribusi (sumbangan) pengaturan kelas tidak banyak dihasilkan dari pengajaran formal

mulai dari masukan ketetapan yang dapat dimengerti sebagai hasil berlangsungnya

komunikasi yang sukses. Krashen (1982) meringkas posisinya mengenai peran di dalam

kelas.

Nilai dari kelas bahasa kedua, selanjutnya, berada tidak hanya dalam pengajaran

tatabahasa, tetapi dalam pembicaraan pengajar, masukan yang dapat dimengerti. Hal itu

dapat merupakan suatu tempat efisien untuk mencapai sedikitnya tingkatan intermediate

dengan cepat, sepanjang kelas memusatkan pada masukan penyediaan untuk

pemerolehan (1982: 59).

Bukti apa yang terdapat pada pemerolehan, yang dapat berlangsung dalam kelas?

Terrel et al. (1980) membawakan suatu studi untuk menyelidiki apakah kelas pembelajar

dapat mengambil struktur yang mana bukan bagian dari silabus pengajaran secara

eksplisit. Mereka menemukan bahwa siswa SMP Spanyol sebagai bahasa kedua yang

dengan sukses, pertanyaan yang diperoleh membentuk tanpa pengajaran langsung. Terrel

et al. menunjukkan bahwa hasil ini dapat dijelaskan hanya oleh siswa yang memiliki

sintaksis internal dari pertanyaan bahasa Spanyol sebagai hasil menjawab sejumlah besar

pertanyaan pengajar yang digunakan untuk latihan struktur lainnya. Di sisi lain, studi

Terrel et al. menunjukkan bahwa ‘pemerolehan’ tentang suatu kaidah linguistik dapat

Page 24: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

terjadi ketika pengajaran diarahkan pada ‘pembelajaran’ kaidah linguistik lainnya. Studi

mereka memberikan suatu alasan mengapa pengajaran formal mungkin hanya memiliki

secara relatif dan bukan suatu efek secara mutlak. Krashen membantah bahwa ketika

pengajaran adalah tidak formal (yakni menghubungkan komunikasi), ‘pemerolehan’

bahkan lebih mungkin di dalam kelas.

Untuk meringkas, posisi non-interface menjelaskan hasil dari studi empiris yang

menyelidiki efek pengajaran formal pada pemerolehan bahasa kedua dengan

mengusulkan sebagai fakta bahwa ada dua jenis pengetahuan linguistik yang seluruhnya

tidak bertalian. Pengajaran formal tidak mempengaruhi rute pengembangan, karena hasil

pembelajaran tidak berdaya untuk mengubah urutan pengembangan yang terjadi melalui

pemerolehan. Bagaimanapun, kelas membantu perkembangan lebih cepat sebab mereka

merupakan ‘intake environment’, mengingat untuk banyak pelajar, khususnya orang

dewasa, pengaturan alami hanya memberikan ‘exposure environment’ dan dengan begitu

tidak memungkinkan pemerolehan berlangsung. Hal itu bukan, bagaimanapun,

pengajaran formal yang di dalam dirinya itu meningkatkan pengembangan.

Dengan dangkal, Posisi non-interface Krashen nampak untuk meliputi hasil riset

empiris. Bagaimanapun, terdapat sejumlah masalah:

1. masalah pertama bertalian dengan fakta bahwa penelitian empiris membahas

bagian yang sebelumnya telah kiranya menguji efek kelas dimana bagian terbesar

pengajaran adalah formal dibandingkan komunikasi. Maka, Krashen berada dalam

posisi membantah bahwa efek positif kesuksesan pemerolehan bahasa kedua yang

telah ditunjukkan muncul tidak berkaitan dengan pengajaran formal itu sendiri,

tapi, seperti yang digambarkan dalam studi oleh Terrell dkk., bahwa hasil secara

kebetulan mengambil struktur dari input kelas yang terjadi dalam proses

pengajaran. Krashen mengklaim bahwa pengajaran yang lebih komunikatif

daripada keformalan akan menuju pada perkembangan yang cepat. Namun, hal ini

dapat didemonstrasikan hanya oleh studi comparatif dan metoda. Krashen

melakukan tinjauan sejumlah metoda berbeda untuk menentukan pada tingkat apa

hal tersebut mungkin untuk menyediakan input yang dapat difahami, dan

menggunakan hasil riset empiris yang tersedia dari efek komparatip metoda yang

berbeda (seperti audio lingualisme, kode teori, respon total fisik dan metoda yang

Page 25: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

alami) untuk mendukung argumentasinya bahwa hal itu merupakan input yang

dapat difahami, dibanding pengajaran formal, yang membantu pengembangan.

Namun, Krashen tidak mengarah pada studi yang memiliki metoda perbandingan

langsung berdasarkan pengajaran tatabahasa formal sejenis atau berlainan dan

metoda yang didasarkan atas menyediakan kesempatan untuk kamonukasi asli.

Tentu, satu studi yang tersebut dalam catatan Krashen (1981a) – Palmer (1978) –

menghasilkan hasil yang tidak mendukung pernyataan Krashen. Hingga lebih

seperti halnya studi itu telah dilaksanakan, posisi Krashen harus diperlakukan

sebagai tindakan spekulatif. Untuk beberapa pengajar-dan peneliti-dengan tidak

sengaja memuaskan penjelasan efek positif yang ditemukan untuk pengajaran

formal akan menjadi fokus pada bentuk dibandingkan hanya ‘masukan

lingkungan’, bahwa hal itu dapat dipertanggungjawabkan.

2. Long (1983d) telah menunjukkan bahwa sebagai anak tidak seharusnya untuk

‘belajar’ tapi hanya untuk ‘mendapatkan’, mereka hendaknya lebih sedikit

bermanfaat dari pengajaran formal dibandingkan orang dewasa. Sekali lagi, hal

itu mungkin terjadi untuk ‘mengebalkan’ posisi non-interface dengan mengakui

(seperti yang dilakukan Krashen) bahwa keuntungan lingkungan kelas terdiri dari

ketetapan peluang yang didapatnya dibandingkan ‘belajar’. Namun, sebagai anak

mempertimbangkan memiliki lebih sedikit masalah daripada orang dewasa dalam

memperoleh input yang dapat dipahami diluar kelas, mereka seharusnya lebih

sedikit terpercaya pada kelas untuk ‘pemerolehan’ jadi peneliti harus

menunjukkan efek yang lebih besar untuk pengajaran pada orang dewasa daripada

pengajaran pada anak. Prediksi ini, bagaimanapun, tidaklah membuktikan.

Dengan begitu, sehingga Krashen mengantisipasi bahwa pengajaran akan

memiliki efek berbeda-beda pada orang dewasa dan anak-anak, ini tidak

sesungguhnya terjadi.

3. Long (1983d) juga mencatat bahwa pengajaran hendaknya menunjukkan efek

yang lebih besar pada pemula daripada pelajar telah lanjut, seperti klaim Krahen

bahwa suatu hal yang mungkin untuk ‘belajar’ hanya aturan tatabahasa yang

mudah. Bagaimanapun juga, peneliti tidak mendukung sepertihalnya klaim ;

pelajar lanjutan merupakan keuntungan dari adanya pengajaran formal. Jika

Page 26: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

kemahiran merupakan hal yang terkait, Krashen juga menambahkan bahwa kelas

tersebut membantu para pemula lebih dari para pelajar lanjutan, seperti yang

belakangan adalah dalam posisi lebih baik untuk memperoleh input yang dapat

dimengerti diluar kelas. Namun penemuan pelajar lanjutan itu juga keuntungan

dari pengajaran, bahkan saat banyak pemerolehan dari linkungan tersedia dalam

keadaan alami, berlawanan menuju prediksi Krashen.

4. Poin lainnya di munculkan oleh Long merupakan efek pembelajaran kelas

hendaknya ditinjau hanya pada tes point tersendiri, tapi riset itu menunjukkan

bahwa pengajaran juga mengarah pada peningkatan skor pada tes integratif,

dimana dalam istilah krashen hendaknya untuk membuka ‘pemerolehan’

pengetahuan.

 

Berikut ini merupakan kupasan serius tentang posisi Interface. Ini dapat menjadi

suatu pemecahan tanpa mengabaikan posisi dasar, jika, seperti pandangan Long, beban

terbesar ditunjukan pada ‘pembelajaran’ dengan mendefinsikan kembali hal tersebut

sebagai hal yang menyertai lebih dari pengetahuan aturan ‘sederhana’ dan menerima hal

itu dapat membantu penampilan pada tes integratif sebaik pada tes poin tersendiri. Solusi

lain, bagaimanapun, berada dalam proses penolakan ‘pemerolehan/pembelajaran’

pemisah dan mengadopsi posisi Interface.

 

Posisi Interface  

Pernyataan posisi Interface yang meski pelajar menguasai berbagai macam

pengetahuan mengenai bahasa kedua, hal ini bukanlah seluruhnya terpisah, dengan hasil

bahwa ‘rembesan’ dari satu tipe pengetahuan pada tipe lain yang terjadi. Hal itu mungkin

untuk membedakan posisi Interface yang lemah dan yang kuat.

Posisi Interface yang lemah telah dikemukakan Seliger (1979). Seliger memberikan

argumentasi bahwa aturan secara sadar dimana pelajar ‘belajar’ sebagai hasil dari

pengajaran formal merupakan keganjilan, dimana pelajar berbeda tersebut menyajikan

hasil berbeda dari aturan yang mereka ajarkan. Aturan ‘yang diajarkan’ tidak

menguraikan pengetahuan internal yang diserukan komunikasi alami, maka, tidaklah

Page 27: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

heran, mereka tidak dapat bertanggungjawab untuk perilaku bahasa aktual.

Bagaimanapun, aturan yang berkaitan dengan pendidikan melayani sesuai kebutuhan. Ia

berperan sebagai ‘fasilitator pemerolehan’ dengan memfokuskan pada perhatian pelajar

pada ‘atribut kritikal konsep bahasa sebenarnya yang harus dibujuk’ (Seliger 1979: 368).

Kemudian ia membantu membuat proses testing hipotesis induktif lebih efisien. Seliger

juga menyarankan bahwa aturan pendidikan dapat melayani sebagai hal yang dapat

membantu dalam mengingat untuk menerima fitur aturan internal dimana jarang

digunakan oleh pelajar. Dengan kata lain, Seliger menerima bahwa internalisasi aturan

merupakan proses berbeda dari keterlibatan itu dalam mempelajari aturan tentang

pendidikan, tapi percaya bahwa pengetahuan aturan pendidikan (1) mungkin saja

membuat lebih mudah internalisasi aturan saat pelajar ‘siap’ menjalankannya, dan (2)

mungkin memfasilitasi penggunaan fitur, dimana meskipun ‘pemerolehan’ masih

merupakan hal yang ‘dangkal’. Namun, Selger tidak mengemukakan bahwa pengetahuan

‘belajar’ (atau aturan pedagogi) dirubah kedalam pengetahuan ‘pemerolehan’ (atau

internalisasi).

Dalam perbandingan, Stevick (1980) membangun sebuah model Pemerolehan

Bahasa Kedua (yang dia sebut mesin Levertov) dimana memenuhi arus pengetahuan dari

‘pembeajaran’ hingga ‘pemerolehan’ dan sebaliknya. Ia menggambarkan bahwa

‘pembelajaran’ mungkin berkaitan pada memori sekunder (dimana mampu menahan

ingatan material lebih dari dua menit, namun hilang secara berkala terkecuali apabila

dipraktekan), dan ‘pemerolehan’ tersebut mungin berkaitan dengan memori tersier

(dimana berisi material yang tidak pernah hilang, walau jika tidak digunakan). Stevick,

seperti halnya Krashen, melihat ‘pemerolehan’ sebagai produk pengalaman komunikasi,

tapi membantah bahwa hal itu dapat membuat penggunaan material baru ini telah

terekam dan merupakan bagian dari memori sekunder. Jika hal ini terjadi, terdapat

kemungkinan bahwa transfer material kedalam memori tersier, contohnya,

‘pembelajaran’ menjadi ‘pemerolehan’.

Bialystok (lihat, Bialystok dan FrÖhlich 1977 ; Bialystok 1979 dan 1981) juga

membangun sebuah model Pemerolehan Bahasa Kedua yang didasari dua jenis

pengetahuan yang dapat saling berinteraksi. Ia menamakan pengetahuan ini ‘implisit’ dan

‘eksplisit’, tapi jelas dalam deskripsinya bahwa hal itu berkesesuaian agak baik dengan

Page 28: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

tipe ‘pemerolehan/pembelajaran’ Krashen. Bialystok mengemukakan bahwa ‘berlatih’

adalah seperti hal mekanis dengan pengetahuan ekplisit berubah kedalam pengetahuan

implisit. Lalu pengetahuan implisit dapat dibangun kedalam dua cara : (1) maksud utama

adalah ‘pemerolehan dibawah sadar’, dan (2) maksud kedua adalah melalui otomatisasi

pengetahuan eksplisit dengan cara berlatih.

Searah kemudian, dalam ‘pemerolehan’ dan ‘belajar’ mungkin terhubung dalam

istilah otomatisnya. Hal ini merupakan pandangan yang dikembangkan oleh McLaughlin

(1978b) dalam serangannya pada posisi non antarmuka. McLaughlin merujuk pada

perbedaan Schneider dan Shriffin (1977) antara proses ‘pengawasan dan ‘otomatis’.

Proses pengawasan membutuhkan perhatian aktif, jadi hanya sejumlah fitur dapat diawasi

pada satu waktu tanpa interfensi pada hal yang sedang terjadi. ‘otomatis’ tidak

membutuhkan pengawasan aktif atau perhatian. Poin penting adalah ‘proses otomatis

dipelajari mengikuti penggunaan yang lebih awal dari proses pengawasan’ (McLaughlin

1978b: 319). Kemudian, Pemerolehan Bahasa Kedua membawakan dari pengawasan

menuju mode operasi otomatis. Hal itu, kemudian, tidak perlu untuk menysaratkan dua

tipe pengetahuan tak berkait seperti pada perbedaan ‘pemerolehan/belajar’.

Sharwood-Smith (1981) berdasar pada pekerjaan Bialystok dan McLaughlin dan

membangun model permukaan penuh untuk menghitung peran pengajaran formal dalam

Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia berpendapat bahwa pengajaran tersebut bertindak sebagai

hal yang pada umumnya yang mana peningkatan pemahaman dapat terjadi, dan

menghasilkan pengetahuan eksplisit dilatih hingga teroomatisasi. Ia menulis :

“Apapun pandangan tentang proses yang mendasari dalam pembelajaran bahasa kedua …..jelas dan non-kontroversial untuk dikatakan bahwa kebanyakan penampilan spontan dicapai melalui latihan. Selama benar-benar melakukan penargetan bahasa, pelajar mendapatkan kendali yang penting lebih dari struktur tersebut, seperti he atau she dapat menggunakannya dengan cepat tanpa refleksi (pemikiran)”. (1981: 166)

 

Gambar 9.1 menggambarkan reproduksi modelnya Sharwood-Smith. Pembelajar

dapat menghasilkan keluaran bahasa kedua dalam tiga cara yang berbeda: (1) hanya

menggunakan pengetahuan implisit (yang terkandung), (2) hanya menggunakan

pengetahuan eksplisit, dan (3) menggunakan keduanya, yakni pengetahuan ekspisit dan

pengetahuan implisit. Ungkapan pelajar mendasari bagian dari masukan bagi bahasa

pelajar yang belajar mekanisme. Pada bagian lain dari masukan disusun oleh ucapan

Page 29: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

pembicara lainnya. Total masukan menyediakan informasi yang dapat memimpin pelajar

untuk mengubah komposisi baik  pengetahuan yang implisit maupun  pengetahuan

eksplisit, atau pun kedua-duanya. Hal ini berdasarkan dari model ini bahwa performa

yang direncanakan seluruhnya atau sebagian pada dasar pengetahuan eksplisit yang

kurang dalam proses otomatisasi dapat memberikan umpan balik kedalam pengetahuan

implisit; jika hal ini cukup serng terjadi (contohnya melalui latihan), pengetahuan

eksplisit dapat menjadi otomatis sepenuhnya sebagai bagian dari pengetahuan implisit.

 

Pengetahuan eksplisitPengetahuan implisit

Ungkapan pembicara lainOutputInput

   

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 9.1  Input linguistik dan output : tiga sumber feedback

potensial (Sharwood-Smith 1981 : 166)

 

 

Seberapa baikkah kelemahan dan kekuatan posisi Interface meliputi hasil riset

empiris kedalam efek pengajaran formal? Posisi lemah dapat dengan nyaman meliputi

kedua kegagalan untuk menemukan efek positif pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua

dan untuk menemukan bahwa pengajaran formal mempengaruhi penemuan

Page 30: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

penilaian/keberhasilan pengembangan. Posisi kuat dapat meliputi penemuan

penilaian/keberhasilan, namun kurang nyaman dengan penemuan jalur.

Posisi lemah, seperti yang dikemukakan lebih lanjut oleh Selinger, menyatakan

bahwa aturan pedagogi tidak akan merubah urutan yang dalam aturan bahasa kedua

secara alami ‘diperoleh’, seperti halnya efek itu hanya akan dirasakan ketika pembelajar

siap untuk memperoleh aturan tersebut. Bagaimanapun, aturan pedagogi akan

meningkatan kecepatan pengembangan, karena aturan-aturan pedagogi tersebut membuat

proses ‘pemerolehan’ lebih singkat. Dikarenakan pembelajar dilengkapi oleh

pengetahuannya tentang aturan pedagogi, maka ia memerlukan waktu yang lebih sedikit

untuk merasakan dan menginternalisasikan fitur yang menonjol dari aturan tersebut.

Posisi yang kuat, didukung oleh Stevick, McLaughlin, dan Sharwood-Smith,

memberikan penjelasan yang meyakinkan mengenai mengapa pelajar kelas melampaui

pelajar alami, bahkan saat pengujian kecakapan merupakan satu yang hendaknya

mendukung ‘pemerolehan’ (sebagai contoh tes integratif). Pelajar kelas memiliki

keuntungan dimana mereka dapat menambah implisit mereka atau’pemerolehan’

pengetahuan dalam dua cara : (1) langsung, atas pertolongan ‘masukan lingkungan’ yang

disediakan oleh kelas, dan (2) tidak langsung, dengan otomatisasi pengetahuan eksplisit

melalui latihan. Dalam proses alami yang jelas, pelajar akan hampir secara keseluruhan

tepercaya pada (1). Tidaklah jelas, namun, bagaimana kekuatan posisi dapat menjelaskan

ketiadaan efek mayor untuk pengajaran pada jalur Pemerolehan Bahasa Kedua. Jika,

seperti yang disarankan, pengetahuan dapat berubah kedalam pengetahuan implisit saat

proses otomatisasi, pelajar yang menerima pengajaran formal yang berlatih bentuk

linguistik spesifik hendaknya menunjukkan hal ini dalam urutan pemerolehan, bahkan

bila mereka tidak secara alami terjadi hingga dikemudian. Dengan kata lain, mengajarkan

tatabahasa hendaknya menumbangkan urutan alam. Terdapat beberapa fakta untuk

menyarankan bahwa hal ini sebenarnya berlangsung (mengingat kembali pengamatan

Lightbown (1983) bahwa bentuk ‘overlearnt’ dapat memaksakan kedalam urutan alami),

namun hanya pada tingkat terbatas, tidak sebanyak model Sherwood-Smith yang daat

diprediksi. Jalur dari pengetahuan eksplisit hingga implisit merupakan satu yang cukup

terbatas.

Page 31: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

Satu masalah posisi Interface adalah masih diasumsikan bahwa pengetahuan

bahasa kedua dapat menjadi dikotomi sebagai ‘pemerolehan/belajar’, atau

implisit/eksplisit. Hal itu juga menerima pandangan Krashen bahwa pengetahuan

‘pemerolehan’ dalam beberapa jalur primer dan pengetahuan ‘belajar’ sekunder.

Pandangan alternatifnya adalah untuk memperlakukan pengetahuan pelajar sebagai

variabel. Macam pengetahuan macam pegetahuan yang pelajar interalisasikan tergantung

pada interaksi konteks alami. Juga penampilan bahasa kedua juga cukup tersedia.

Pengetahuan yang dipakai oleh pelajar tergantung pada sifat alami dari tugas yang ada.

Dapat disangkal, pandangan ini bagian dari posisi antarmuka, tapi tidak sepenuhnya

diucapkan. Untuk alasan itu, baik sekali untuk memertimbangkan posisi ketiga-posisi

variabilitas-sebagai alternatif pada posisi non-antarmuka dan antarmuka.

 

Posisi variabilitas

Posis varibilitas telah dijelasan pada bab 4. untuk merekapitulasi secara singkat,

pelajar interlanguage terdiri dari variabilitas non sistimatik dan sistimatik. Variabilitas

sistematik merupakan hasil dari konteks linguistik dan situasional. Pelajar percaya

dengan sejumlah gaya berbeda disusun dari kehati-hatian hingga logat asli. Gaya mana

yang ia pergunakan merupakan fungsi jumlah perhatian yang dia mampu untuk

menghargai pada ujarannya (Tarone 1983).

 Posisi variabilitas dengan tegas menghubungkan antara penggunaan dan

pemerolehan. Macam bahasa yang digunakan pelajar dalam menentukan macam

pengetahuan yang ia dapatkan. Dengan cara yang sama, pengetahuan yang berbeda

digunakan dalam tipe berbeda dari performan bahasa. jadi, memperoleh pengetahuan

linguistik yag dirasakan perlu untuk membentuk semacam aktivitas tidak menjamin

kemampuan untuk membentuk aktifitas yang berbeda. Sebagai contoh, pengaruh latihan

mungkin khusus untuk aktivitas yang didalamnya dilakukan latihan.

Bialystok (1982, 1984) mencari untuk mengitung variabel pelajar mengawasi

sistem bahasa kedua dengan melakukan pengujian batasan yang dikaitkan dengan

berbagai situasi bahasa. Untuk melakukannya, ia membedakan dua hal yang terlibat

secara terus menerus, faktor teranalisa dan kontrol faktor. Faktor teranalisa berkenaan

pada tingkat mana pelajar mampu untuk Pra-menyajikan struktur pengetahuan bersamaan

Page 32: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

dengan isinya (Bialystok 1984). Pelajar yang telah memperoleh pengetahuan yang diteliti

mampu untuk mengoperasikan hal itu, mentransformasikan, membandingkan, dan

menggunakannya untuk memecahkan permasalahan. Secara kasar, faktor teranalisa

bersesuaian pada perbedaan eksplisit/implisit. Kontrol faktor berkenaan pada relatif

memudahkan akses bahwa pelajar harus berbeda materi pengetahuan ilmu bahasa ; hal ini

berkaitan dengan otomatisasi. Bialystok menegaskan bahwa faktor-faktor ini bukanlah

dikotomi (bercabang dalam dua bagian) melainkan continua (terus

menerus/berkelanjutan), bahwasanya terdapat tingkatan analisasi dan otomatisasi. Hal ini

tepat sekali walaupun untuk mengidentifikasi 4 jenis dasar dari pengetahuan, seperti yang

ditunjukkan pada gambar 9.2. Menggunakan kerangka ini, Bialystok membuat dua poin

dasar, (1) tugas yang berbeda memerlukan jenis pengetahuan yang berbeda. Tugas yang

paling sulit adalah mereka yang memperoleh pengetahuan yang ditandai atas kedua

faktor tersebut (yakni C pada gambar 9.2), sedangkan yang paling sedikit sulitnya adalah

yang tidak ditandai atas kedua faktor tersebut (yakni B), sedangkan tugas yang

memperoleh pengetahuan dengan ditandai hanya oleh satu faktor saja tetapi yang lainnya

tidak ditandai (yakni A atau D) merupakan tingkat intermediate, (2) jenis pelajar yang

berbeda dapat dikenali berdasarkan jenis pengetahuan yang mereka kuasai. Untuk

contohnya, pembelajar anak-anak dan pembelajar informal orang dewasa akan secara

khas ditandai oleh jenis pengetahuan B pada langkah-langkah awal, dan oleh jenis A pada

langkah-langkah berikutnya. Pembelajar formal bahasa kedua akan secara khas ditandai

oleh jenis pengetahuan D dalam langkah-langkah awal dan jenis C dalam langkah

berikutnya. Bialystok dengan seksama menyatakan bahwa ‘perbedaan kualitatif tidak

menyiratkan nilai sebuah keputusan’ (Bialystok, 1982: 205).

 

-   dianalisa+  otomatis 

A +   dianalisa+   otomatis

C-   dianalisa-   otomatis 

Page 33: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

B +   dianalisa-    otomatis

C

+                  otomatis                      - 

 

 

 

 

 

 

 

 

Gambar 9.2   Jenis pengetahuan dalam sistem variabel bahasa kedua (berdasar

pada Bialystok 1982)

 

 

Bagaimana posisi variabel seperti halnya yang digambarkan oleh Bialystok

(1982) atau pun Tarone (1983) melaporan hasil dari studi empiris mengenai efek

pengajaran formal. Dikarenakan rangkaian natural dari perkembangan merupakan

refleksi (pantulan/cerminan) dari satu jenis bahasa tertentu yang digunakan – komunikasi

secara spontan – hal tidak akan pernak berubah. Pada model Tarone yang disebut rute

alami adalah produk pelajar vernacular style (gaya bahasa daerah); dalam model

Bialystok itu adalah produk jenis pengetahuan A. Suatu perbedaan lainnya akan muncul

Page 34: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

hanya ketika pelajar dihadapkan dengan semacam tugas yang memerlukan suatu jenis

pengetahuan yang berbeda. Dengan begitu pengajaran formal, yang mengembangkan

careful style (gaya ketelitian) pelajar (atau jenis pengetahuan C pada gambar 9.2), akan

menjadi tidak berdaya untuk mempengaruhi rute dari pemerolehan bahasa kedua

sepanjang ini diukur dengan menggunakan tugas yang menyerukan vernacular style

(gaya bahasa daerah). Apakah pengajaran formal akan mampu mencapai untuk

meningkatkan kendali atas pengetahuan yang diteliti, yang telah ia pelajari; hal itu, untuk

otomatisasi melalui praktik. Dari pandangan tentang posisi variabilitas, pertanyaan dari

alternatif lainnya tentang pengembangan tidak muncul, seperti yang disebut

‘pemerolehan’ yang hanya merupakan suatu refleksi (cerminan/pemantulan) dari jenis

performa tertentu. 

Posisi variabilitas dapat juga menjelaskan mengapa pelajar kelas outperform

pelajar naturalistik diuji secara terpisah. Pengajaran formal kiranya mengembangkan

jenis pengetahuan tersebut (jenis C dalam kerangka Bialystok), hal itu diperlukan untuk

melakukan jenis tugas yang diajukan tes ini. Kiranya pengaturan natural tidak

mengembangkan jenis pengetahuan ini. Hal itu kurang jelas, bagaimana posisi

variabilitas dapat menjelaskan mengapa pelajar kelas juga outperform pelajar naturalistik

pada tes integratif. Terdapat sejumlah kemungkinan. Pertama, tes integratif boleh

memerlukan analisis dibandingkan pengetahuan  yang tidak dianalisis; di sisi lain,

mereka menyerukan kurang lebih, jenis pengetahuan yang sama sebagai poin terpisah

menguji sejauh faktor yang diteliti berkaitan, berbeda halnya dengan faktor otomatis.

Kedua, hal ini mungkin, bahwa terdapat bergeraknya pengetahuan sepanjang rangkaian

gaya penulisan dari waktu ke waktu, seperti yang diusulkan oleh Tarone (1983).

Dickerson (mengutip dalam Tarone 1982) mengusulkan bahwa kemajuan yang

dilanjutkan dalam gaya formal mungkin memiliki pengaruh pada gaya casual (peristiwa

secara kebetulan). Suatu masalah dengan penjelasan ini adalah bahwa jika ini merupakan

kasus, suatu rangkaian alami yang berbeda hendaknya dihasilkan dari pengajaran formal,

kecuali jika pengaruh dilihat hanya dari kepekaan pelajar pada format vernacular (bahasa

daerah) yang telah siap untuk muncul (seperti yang diusulkan oleh Selinger 1979).

Ketiga, hal itu dapat dihipotesiskan bahwa pengajaran formal itu melakukan lebih dari

mengembangkan pengetahuan yang diteliti untuk digunakan dalam gaya careful (gaya

Page 35: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

ketelitian); hal ini juga memungkinkan pengetahuan  yang tidak diteliti untuk

menginternalisasikan bagi digunakan dalam gaya vernacular  (bahasa daerah). Poin ini

menuntut eksplikasi dengan seksama.

Hal itu tidak dapat diasumsikan bahwa pengajaran formal hanya menyokong pada

gaya careful (ketelitian) pelajar. Interaksi kelas yang mana membentuk acuan dari

pengajaran formal yang juga boleh bertindak sebagai input pada gaya pelajar vernacular

(bahasa daerah).  Bukti untuk ini telah dikutip dalam studi Terrel, dkk. (1980). Dalam bab

6 hal itu juga menunjukkan bahwa bahkan dalam suatu kelas formal mungkin berisi

berbagai macam interaksi yang berbeda, suatu poin membuat setengah memaksa oleh

Bialystok (1981: 65):

“…..suatu situasi pembelajaran formal meliputi lebih banyak fitur dibandingkan dengan yang secara tegas ditunjuk sebagai tujuan pelajaran, seperti percakapan asing, konteks sosial di mana pelajaran terjadi, dan seterusnya, dan banyak lagi dari fitur ini yang mungkin secara bersamaan berasimilasi ke dalam pengetahuan linguistik secara implisit”.  

Ellis (1984e), dalam studinya yang ditunjukkan lebih awal, juga mengusulkan

bahwa kesempatan untuk interaksi komunikasi mungkin terjadi dalam konteks

pengajaran formal. Hal itu akan diserukan kembali bahwa Ellis tidak mampu untuk

menjelaskan mengapa beberapa siswa memanfaatkan dari pengajaran dalam penggunaan

HW question selagi yang lainnya tidak digunakan, dalam kaitannya dengan bagaimana

kerapkali mereka mengambil bagian pengajaran pertukaran onal. Bagaimanapun, dia

menawarkan bukti kualitatif untuk mengusulkan bahwa siswa yang maju adalah mereka

yang terlibat dalam interaksi di mana negosiasi beberapa maksud diambil alih, yang mana

kelas sendiri atau dalam sesi pemerolehan di mana data untuk studi telah dikumpulkan.

Tetapi, bukan hanya interaksi komunikatif saja yang membantu ke arah pengembangan

gaya pelajar vernacular (bahasa daerah) itu. Suatu argumen dapat diberikan bahwa

interaksi di mana memusatkan pada bentuk dapat juga membantu, walaupun bukan dalam

cara yang para guru pertimbangkan. Pertimbangan, sebagai contohnya, suatu pelajaran

yang mana diperoleh siswa untuk memproduksi kalimat seperti “This is a pencil” dan

“These are pencils” dalam rangka berlatih membuat penanda kalimat jamak. Hal ini

benar, bahwa seperti kalimat model informasi tersebut, yang bersifat tatabahasa, yang

mana merupakan terget pelajaran, tetapi mereka juga memuat informasi gramatika yang

Page 36: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

mana tidak ditandai untuk perhatian yang sadar. Siswa memproduksi dan mendengarkan

untuk seperti kalimat mungkin memusatkan pada penanda kalimat jamak, tetapi pada

waktu yang sama mereka juga mengekspose bagaimana kopula digunakan dalam kalimat

yang sama. Berlatih memproduksi kalimat seperti itu dapat memudahkan pengembangan

pengetahuan yang diteliti di mana tanda kalimat jamak berkaitan, tetapi dapat juga secara

kebetulan memudahkan pengembangan pengetahuan  yang tidak diteliti di mana

penggunaan kopula berkaitan (seperti membantu pelajar untuk menginternalisasikan

rumusan kalimat “This is a……”). Dengan begitu, sungguhpun pengajaran formal

diarahkan pada penguasaan bentuk bahasa kedua secara spesifik, hal itu mungkin, untuk

alasan tersebut di atas, juga memimpin untuk penguasaan bentuk bahasa kedua lainnya,

tidak ditunjuk dari pandangan pengajar  sebagai tujuan dari pelajaran.

Bagaimanapun, hal itu diterima bahwa pengajaran formal bertindak sebagai input

bagi berbagai gaya antarbahasa dengan pengembangan pengetahuan bahasa kedua dalam

jenis tingkatan analisis, itu masih tetap untuk menjelaskan mengapa input ini

memungkinkan pembelajar di kelas lebih mengembangkan dengan cepat dbandingkan

dengan pembelajar secara natural. Suatu kemungkinan yang kuat bahwa input kelas lebih

kaya, dalam pengertian bahwa hal itu merangsang pertumbuhan berbagai jenis

pengetahuan, sedangkan masukan naturalistik melayani hanya untuk merangsang

pengetahuan  yang tidak diteliti secara keseluruhan. Pembelajar yang memiliki akses

berbagai gaya lebih baik diperlengkapi untuk pelaksanaan dengan sukses pada kedua

poin yang terpisah dan tes integratif yang mana berarti kecakapan terukur. Dalam banyak

kasus, pelajar akan memanfaatkan dari akses untuk kedua pengetahuan yang tidak diteliti

dan pengetahuan yang diteliti, karena hal ini akan memungkinkan mereka untuk

melakukan suatu bidang dari tugas yang berbeda.

 

Ringkasan 

Bab ini telah menguji tiga teori posisi yang menunjukkan penjelasan tentang

bagaimana pengajaran formal tidak mempengaruhi rangkaian alami Pemerolehan Bahasa

Kedua tetapi memfasilitasi perkembangan yang lebih cepat. Posisi non-interface

dikemukakan Krashen yang menyatakan bahwa ‘pemerolehan’ dan ‘pembelajaran’

Page 37: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

merupakan hal terpisah. Karena ‘pemerolehan’ bertanggungjawab untuk rangkaian alami,

‘pembelajaran’ hasil dari pengajaran formal tidak dapat mempengaruhinya. Namun, kelas

yang memberikan peluang bagi input yang dapat dimengerti akan mempercepat

‘pemerolehan’. Posisi interface juga memberikan usulan sebagai fakta mengenai dua

jenis pengetahuan bahasa kedua, namun berargumen bahwa mereka berhubungan, maka,

‘pembelajaran’ itu (atau pengetahuan eksplisit) dapat menjadi ‘pemerolehan’ (atau

pengetahuan implisist) saat hal itu dilatih secukupnya. Versi yang lebih lemah dari posisi

ini, bagaimanapun, menyatakan bahwa ‘pembelajaran’ tidak banyak berubah kedalam

‘pemerolehan’ semudah hal tadi, saat pelajar ‘siap’. Keragaman posisi berbeda dari kedua

posisi lainnya yakni mengenal keragaman ’gaya’ berbeda, masing-masing memohon tipe

pengetahuan yang bervariasi dalam istilah analisasi dan otomatisasi. Gugusan berbeda

membutuhkan kegunaan dari jenis pengetahuan berbeda. Pengajaran formal memberikan

kontribusi langsung atau tidak langsung pada internalisasi  jenis pengetahuan berbeda ini

dan karenanya memungkinkan pelajar kelas untuk melaksanakan cangkupan yang lebih

luas dalam hal gugus tugas linguistik daripada pelajar alami.

Ketiga posisi memperlengkapi argumen untuk mencatat hasil riset empiris

kedalam efek pengajaran formal. Hal ini telah dipertimbangkan dalam beberapa bahasan.

Terdapat fakta-fakta yang cukup jelas untuk membuat pilihan antara ketiganya. Bukti

akan tetap seperti itu dimasa depan hingga ada studi kualitatif percakapan kelas yang

diakibatkan oleh pengajaran formal dan tentang pengembangan ilmu bahasa yang

mempengaruhi percakapan seperti itu.

 

 

 

SimpulanBab ini dimulai dengan penegasan bahwa investigasi peran pengajaran dalam

Pemerolehan Bahasa Kedua adalah signifikan untuk kedua teori Pemerolehan Bahasa

Kedua dan pedagogy bahasa. Dalam simpulan ini saya harus meringkas dengan

mempertimbangkan beberapa implikasi.

 

Teori Pemerolehan Bahasa Kedua

Page 38: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

Studi peran pengajaran dapat menerangkan kontribusi faktor lingkungan dalam

Pemerolehan Bahasa Kedua. Lingkungan kelas memberikan jenis input berbeda dari

keadaan alami. Jika faktor lingkungan merupakan hal penting bagi Pemerolehan Bahasa

Kedua, mungkin dapat diprediksi bahwa (1) jalan kemahiran dalam dua keadaan akan

berbeda, dan (2) penilaian/kesuksesan Pemerolehan Bahasa Kedua dalam dua keadaan

juga akan berbeda. Peneliti telah mengulas dalam bab yang lalu menunjukkan bahwa (1)

sementara tidak muncul, (2) mungkin saja. Kesalahan keadaan kelas untuk

mempengaruhi jalan Pemerolehan Bahasa Kedua dapat dijelaskan dalam dua cara.

Pertama, mungkin diambil untuk menunjukkan bahwa determinan sebenarnya dari

Pemerolehan Bahasa Kedua adalah internal pelajar lebih daripada faktor lingkungan.

Maka, disamping perbedaan dalam input, pelajar bahasa kedua akan mengikuti jalan yang

sama karena ia diprogram untuk hal yang sama. Penjelasan kedua membolehkan peran

lebih sentral untuk input/interaksi untuk dipertahankan. Kelas Pemerolehan Bahasa

Kedua dan Pemerolehan Bahasa Kedua alami mengikuti garis perkembangan yang sama,

karena, meskipun terdapat perbedaan dalam jenis input yang ditemukan dalam setiap

keadaan, juga terdapat kesamaan. Rangkaian alami merupakan produk satu jenis

penggunaan bahasa-komunikasi spontan-yang, meskipun terbatas dalam konteks kelas,

tetapi terjadi. Penjelasan pertama mengikuti interpretasi penutur asli dari Pemerolehan

Bahasa Kedua, penjelasan kedua mengikuti interpretasi interaksi (lihat bab 6). Jelas,

apapun interpretasi yang diadopsi, hal itu bahwa Pemerolehan Bahasa Kedua menguasai

sifat struktural yang bebas pada perbedaan inhern lingkungan dalam kelas dan keadaan

alami. Pengaruh faktor lingkungan nampak membatasi sebagian besar untuk sejauh apa

dan berapa banyak perolehan bahasa kedua bagi pelajar.

 

 

 

Pedagogy BahasaMelihat pengajaran dari sudit pandang pelajar lebih daripada pengajar adalah

bermanfaat. Hal itu melihat kedalam perspektif secara luas yang memandang bahwa

pengajaran berdasar pada bunyi silabus dan melibatkan teknik motivasi, hasil berupa

Page 39: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

pemerolehan. Kecuali jika laporan yang diambil tentang sifat struktural Pemerolehan

Bahasa Kedua, kesuksesan bukanlah hal yang pasti.

Namun, tidaklah mudah untuk sampai pada rekomendasi kuat berdasar pada hasil

riset Pemerolehan Bahasa Kedua. Seperti yang ditulis Hughes (1983: 1-2) :

Harus dikatakan pada permulaan bahwa pada saat kini terdapat beberapa implikasi yang

jelas untuk menggambarkan perihal mengajarkan bahasa dari studi pengajaran bahasa

kedua.

Sikap berdiam diri dilakukan untuk dua alasan. Pertama, harus dikenal bahwa

mengajarkan tidaklah sama seperti mempelajari. Dalam pemikiran program mengajarkan

jelas bermaksud pada pemahaman bagaimana pelajar belajar, tapi itu juga perlu untuk

diambil kedalam faktor non-pelajar. Brumfit (1984), misalnya, menunjuk bahwa

walaupun jika pelajar mengikuti jalur tetap, guru mungkin tidak merasa berkeawjiban

meyakinklan bahwa pengajarannya juga mengikutinya, sepertinya jauh lebih penting

bahaw guru bekerja dari silabus yang secara logis dia terima. Brumfit berargumen bahaw

pengajaran bahasa akan paling berhasil saat mengikuti rencana yang terpecahkan dengan

baik yang mengarah dan mengorganisir apa yang guru kerjakan. Alasan kedua untuk

berdiam diri adalah, meskipun terdapat tingkat persetujuan antara peneliti Pemerolehan

Bahasa Kedua menyangkut apa yang terjadi dalam Pemerolehan Bahasa Kedua. Terdapat

jauh lebih sedikit persetujuan tentang bagaimana hal itu terjadi dalam cara tersebut. Hal

ini menjadi jelas dalam perbedaan posisi yang telah diadopsi untuk menjelaskan hasil

riset kedalam efek pengajaran formal. Namun, walaupun bijaksana untuk bersifat

sementara dalam mencari implikasi pedagogi bahasa dari riset Pemerolehan Bahasa

Kedua, tetapi cukup bodoh untuk mengabaikan secara keseluruhan riset ini. Seperti

catatan Corder (1980: 1), ‘kita selalu memiliki kewajiban untuk berusaha menjawab

pertanyaan praktis dalam menerangkan pengetahuan umum terbaik’.

Hanya satu isu yang dipertimbangkan disini – apa yang dikemukakan Stern

(1983) sebagai dilema kode-komunikasi  dalam pedagogi bahasa. pertanyaan kunci

adalah seperti : pada tingkat apa seharusnya pengajaran diarahkan untuk meningkatkan

kesadaran pelajar tentang sifat formal bahasa kedua, sebagai lawan untuk menyediakan

peluang bagi mereka untuk terlibat dalam komunikasi alami? Ini merupakan isu

kontroversial. Satu sisi terdapat pendukung apa yang Widdowson (1984: 23) sebut

Page 40: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

‘pendidikan murni……dan ia dihubungkan dengan serba membolehkan non-intervensi’.

Disisi lain terdapat mereka yang berargumen bahwa mengajar pelajar menjadi analitis

memperbesar perkembangan. Saya harus menyingkat sikap apa pada diema kode

komunikasi yang dipegang pendukung masing-masing ketiga posisi mempertimbangkan

dalam bab sebelumnya.

 1. Posisi non-interface

Krashen (1982) memberikan penekanan pada peran pengajaran tatabahasa dalam kelas

Pemerolehan Bahasa Kedua. Ia melihat hanya dua penggunaan. Pertama,

memfungsikan monitor untuk menyediakan ‘pembelajaran’. Namun, penggunaan

monitor terbatas pada saat pelajar ‘belajar’ mengakses pengetahuannya, dan juga

terbatas dengan fakta bahwa hanya sebagian kecil sub-bab dari total aturan bahasa

kedua ‘dapat dipelajari’. Kedua, penggunaan pelajaran tatabahasa untuk memuaskan

keingintahuan pelajar tentang sistem tatabahasa bahasa kedua-‘apresiasi tatabahasa’,

sebagaimana yang disebut Krashen. Krashen (1982) menyimpulkan :

Penggunaan tatabahasa secara sadar adalah terbatas. Tidak semua orang  memonitor. Mereka hanya memonitor sebagian dari waktunya dan menggunakan monitor hanya untuk sub-bagian tatabahasa…efek koreksi pribadi pada ketepatan merupakan hal yang sederhana. Pelaku bahasa kedua secara khas mengoreksi diri hanya dalam persentase kecil kesalahannya, bahkan saat dengan sengaja terfokus pada bentuk…….dan bahkan saat kita hanya memikirkan aspek termudah dari tatabahasa. (1982: 112)

 Krashen, lebih lanjut, percaya bahwa peran pengajaran adalah membuka kesempatan

untuk berkomunikasi, lebih baik dari menggambarkan perhatian melalui kode bahasa

kedua. Krashen (1981b) merinci penjelasan karakteristik tentang apa yang

dipertimbangkan tentang program efektif pedagogikal : (1) input kelas harus dapat

dimengerti; (2) program harus terdiri dari ‘aktifitas komunikatif’, untuk menjamin

bahwa input menarik dan relevan; (3) selayaknya tidak mencoba mengikuti rentetan

program tatabahasa; dan (4) input harus cukup banyak (karenanya penting untuk

membaca secara luas). Krashen dan Terrell (1983) menguraikan secara singkat sebuah

program yang sesuai untuk prinip ini, yang disebut ‘pendekatan alamiah’

 

2. Posisi Interface

Page 41: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

Sedangkan posisi non interface menegaskan arti penting komunikasi dan memperkecil

arti penting kode, posisi interface menyatakan kontribusi tentang kode. Sharwood-

Smith (1981) melihat pengajaran tatabahasa sebagai jalan pintas pada kemampuan

komunikasi. Maka, pelajar dewasa yang memiliki perhatian menarik menuju fitur kode

dapat berlatih disini, diluar ataupun didalam kelas, sampai dapat menggunakannya

tanpa sadar didalam bertutur komunikasi. Sharwood-Smith menegaskan bahwa

pengajaran tatabahasa (atau ‘peningkatan kesadaran’) dapat bermacam-macam bentuk.

Ia membedakan dua dimensi dasar : ketelitian (contohnya apakah pengajaran hanya

menawarkan uraan ringkas atau penjelasan yang sangat terstruktur.

 

3. Posisi Variabilitas

Posisi variabilitas menekankan arti penting kesesuaian proses belajar dengan jenis

pengajaran. Bialystok (1982: 2005) berkomentar :

“……pengajaran harus mempertimbangkan tujuan khusus pelajar dan mencoba untuk

menyediakan bentuk pengetahuan yang sesuai untuk mencapai tujuan itu”.

Tujuan tersebut mengacu pada jenis bahasa yang digunakan bahwa pembelajar

membutuhkan (atau menginginkan) untuk terlibat di dalamnya. Jika tujuan

mengikutsertakan percakapan natural, maka pembelajar harus mengembangkan gaya

vernacular (bahasa daerah) nya dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua yang

otomatis tetapi  tidak diteliti. Hal ini dapat dicapai secara langsung atas pertolongan

pengajaran yang menekankan komunikasi di dalam kelas. Hal ini juga mungkin dicapai

secara tidak langsung oleh pengajaran yang memfokuskan pada kode, jika terdapat

peluang praktis yang memadai untuk memacu jalan pengetahuan dari kehati-hatian

menuju gaya sehari-hari. Jika tujuan pelajar adalah untuk berpartisipasi dalam

percakapan yang membutuhkan kehati-hatian, perencanaan secara sadar, ia akan butuh

mengembangkan gaya secara hati-hati dengan memperoleh pengetahuan bahasa kedua

yang otomatis dan teranalisis. Hal ini dapat secara terbaik terpenuhi dengan pengajaran

formal yang memusatkan pada kode bahasa kedua.

 

Sama halnya, itu bukanlah mungkin untuk membuat pilihan terbatas seperti posisi mana

yang ditawarkan penjelasan terbaik dari hasil riset empiris kedalam kelas Pemerolehan

Page 42: Peran Pengajaran Formal Pada Pemerolehan Bahasa Kedua

Bahasa Kedua, jadi itu akan prematur untuk menempatkan solusi pada dilema kode-

komunikasi dalam pedagogi bahasa. Namun, satu efek studi secara umum telah memberi

kesan bahwa mengajarkan kode mungkin memainkan bagian kecil daripada pemikiran

sebelumnya. Seperti ang ditunjukkan Coder (1980), kesan seperti ini berada dalam

kesesuaian dengan arah pengajaran saat ini. Riset Pemerolehan Bahasa Kedua, kemudian,

mungkin terlihat sebagai penguatan trend yang telah ada, lebih daripada bantahan-

bantahan pendekatan baru.