PERAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI DI...
Transcript of PERAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI DI...
PERAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI DI
SURAKARTA (1893-1939)
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
sebagai Persyaratan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh :
Siti Nur Azizah
NIM: 1111022000026
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016M/1437H
KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI(UIN)SYARIF TIIDAYATULLAH JAKARTAF'AKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
ll. lr. H. Juanda No. 95, Ciputat 15412, Jakarta, lndonesia
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama Mahasiswa : SITI NUR AZIZAH
relp . (027) 7 443329, Fax. lO27) 7 493364
NIM
Program Studi
:1111022000026
: Sejarah dan Kebudayaan Islam
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri yang
merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya sendiri serta bukan
merupakanreplikasi maupun saduran dari hasil karya atau hasil penelitian orang
lain.
Apabiia terbukti skipsi ini merupakan plagiat atau replikasi maka skipsi
dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skipsi
baru dan kelulusan serta gelamya dibatalkan.
Demikian pemyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul dikemudiar hari
menj adi tanggungj awab saya.
13 Januari 2016
PERAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG KRISTENISASI
DI SURAKARTA (1893-1939)
Skipsi
Diaiukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarj ana Humaniora (S.Hum)
Oleh:
SITINURAZIZAHNIM: 111102200026
Pembimbing
f/"Dr. Parlindungan Sireear. M.Ae
NIP: 19590115 199403 I 002
JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 Ht20t6l.rl
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudut PERAN PAKU BUWONO X DALAMMEMBENDUNG KRISTENISASI DI SURAKARTA (1893-1939) telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN SyarifHidayatullah Jaka.ta pada 20 Januari 2016. Skripsi ini telah diterima sebagai salah
satu syarat ntentperoleh gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada program stuili
Sejarah dan Kebudayaan Islam.
Jakarta. 20 Januari 2016
SIDANG MUNAQASYAH
NIP: 19690724 199703 100t
Anggota
Penguji I.----.-t&,.q d-'d/
IDr. Jaiat Burhanuddin. MANIP: 19670119 199403 I 00I
Pembimbing
(r{,/,Dr. Parlindunqan Siregar, M.Aq,NIP: 19590115 199403 1 002
Sekertaris Merangkap Arrggota
9750417 2005012 007
Penguji II
Drs Azhlar Saleh. M.ANIP: 19581012 199203
i
ABSTRAK
Studi ini ingin membahas tentang upaya Paku Buwono X dalam
membendung kristenisasi di Surakarta. Penelitian ini menggunakan metode dan
pendekatan historis yang meliputi heuristik, verifikasi, interpretasi, dan
historiografi. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Dalam
studi pustaka yang dilakukan, penulis berusaha menemukan sumber-sumber yang
relevan dengan topik yang dibahas. Kemudian data-data tersebut dikaji dan
dianalisa sehingga menjadi sebuah tulisan. Sumber data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah sumber tertulis.
Paku Buwono X adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah pada
tahun 1893 sampai 1939. Beliau merupakan putra dari Sinuhun Paku Buwono IX.
Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak menciptakan kemajuan di
lingkungan keraton Surakarta. Beliau mudah menerima masuknya pengaruh
budaya asing sebagai salah satu unsur modernisasi di lingkungan keraton. Sunan
banyak meminjam unsur-unsur Barat yang bersifat lahiriah yang disesuaikan
menurut seleranya. Meskipun begitu Paku Buwono X sebagai kepala pengatur
agama menaruh perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama
Islam. beliau sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan dengan syariat
agama Islam
Kasunanan Surakarta merupakan bagian yang tidak luput dari wilayah
jajahan Belanda. Kedatangan Belanda tersebut bertujuan untuk mengekploitasi
kekayaan alam Nusantara, yang diberengi dengan kegiatan misi kristenisasi yang
dilakukan oleh para zending untuk mengubah agama masyarakat Indonesia yang
mayoritas memeluk Islam, menjadi penganut agam Kristen. Kegitan yang
dilakukan oleh Zending tersebut antara lain membangun gereja, rumah sakit, dan
sekolah-sekolah. Hal tersebut menjadi momok yang meresahkan bagi umat Islam.
di Surakarta sendiri terdapat rumah sakit dan sekolah-sekolah yang dibangun dan
dikelola oleh zending. Berangkat dari keadaan seperti itu kemudian Sunan Paku
Buwono X tergerak hatinya untuk melakukan pembaharuan. Sunan mendirikan
madrasah dengan memasukkan ajaran Islam dan pemeliharaan budaya Jawa
sebagai identitas, dan mendorong berdirinya organisasi sosial dan politik di
Surakarta. Hal tersebut secara simbolik dapat dijadikan tempat perlawanan
terhadap pemerintah kolonial Belanda.
Kata Kunci: Keraton Surakarta, Paku Buono X, Kristenisasi, Mamba’ul Ulum.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya kepada penulis. Shalawat serta salam tak lupa pula
tercurahkan kepada nabi Muhammad saw, sebagai suri tauladan sepanjang masa
beserta keluarga dan para Sahabatnya. Semoga kita mendapatkan syafaat di
akhirat kelak, amin.
Dengan mengucapkan Alhamdulillahirabbil’alamin penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini untuk diajukan sebagai syarat memperoleh
gelar Sarjana Humaniora (S.Hum) pada Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta. Terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari dukungan
berbagai pihak yang telah memberikan arahan dan motivasi kepada penulis.
Seiring dengan penulisan skripsi ini, penulis pengucapkan banyak terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu, baik moral maupun material, demi
terselesaikannya penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih penulis sampikan
terutama kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Sukron Kamil, M.A Dekan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak H. Nurhasan, MA., selaku ketua jurusan fakultas Sejarah dan
Peradaban Islam dan Sholikatus Sa’diyah, M.Pd. selaku sekertaris
terima kasih telah membantu mengurusi urusan birokrasi perkuliahan.
iii
3. Bapak Dr. Parlindungan Siregar, M.Ag. selaku dosen pembimbing
yang telah memberikan masukan dan arahan sehingga penulisan
skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Bapak Dr. Jajat Burhanuddin, MA dan bapak Drs Azhar Saleh, M.Ag
atas kesediaannya menjadi Penguji Sidang Skripsi penulis.
5. Kepada segenap Dosen pengajar di Jurusan Sejarah dan Kebudayaan
Islam Universitas Islam Negeri Jakarta yang telah memberikan bekal
ilmu pengetahuan kepada penulis.
6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora, dan juga pimpinan dan seluruh staf Perpustakan Utama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas dan
kemudahan bagi penulis untuk mendapatkan buku-buku yang
digunakan sebagai referensi dalam penulisan skripsi.
7. Kepada kedua orang tuaku yang selalu mendidik, mengasuh,
menyayangi, menasehati, memarahi, mengingatkan, mendo’akan,
mengorbankan seluruh jiwa raganya untuk kesuksesan penulis. Dan
untuk adik-ku, raih mimpimu agar engkau menjadi orang yang
menikkan keluarga kita.
8. Kepada lik Muhaimin, lik Fatimah, terima kasih atas nasihat dan
bantuannya. penulis hanya bisa mendo’akan semoga Allah membalas
semua kebaikan yang telah diberikan kepada penulis.
9. Untuk sahabat-sahabatku Eva Khofifah, Hammatun Ahlazzikriyah,
Khoirunnisa dan Wira Kurnia, terima kasih atas waktu kebersamaanya
iv
yang telah memberi warna pada kehidupan penulis selama kita
bersamasemoga semua waktu dan pengalaman yang telah kita lalui
bersama akan menjadi kisah terindah dalam mencari identitas.
10. Kepada teman-teman seperjuangan SKI angkatan 2011 yang tidak bisa
penulis sebutkan namanya satu-persatu.
Akhirnya dengan keterbatasan ini, penulis mengucapka terima kasih
banyak kepada pihak-pihak yang telah membantu dan memberi semangat. Penulis
menyadari, bahwa penulisan skripsi ini dari kekurangan dan kekeliruan. Oleh
karena itu, penulis sangat menghargai adanya saran dan kritik yang membangun,
guna menyemprnakan tulisan-tulisan yang serupa dimasa yaang akan datang.
Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pembaca semua.
Jakarta, 12 Januari 2016
Penulis
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................. i
KATA PENGANTAR ........................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... v
DAFTAR ISTILAH .............................................................................. vii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ................................................. 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................. 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................... 9
D. Tinjauan Pustaka. ........................................................... 9
E. Kerangka Teori. .............................................................. 11
F. Metode Penelitian ........................................................... 13
G. Sistematika Penulisan ..................................................... 14
BAB II KERATON SURAKARTA PADA MASA SUNAN PAKU
BUWONO X
A. Letak Geografi Keraton Surakarta ................................. 16
B. Sejarah Berdirinya Kraton Surakarta ............................. 21
C. Biografi Paku Buwono X .............................................. 25
D. Keraton Surakarta pada masa Paku Buwono X
(1893-1938) ................................................................... 31
BAB III KRISTENISASI DI SURAKARTA
A. Keberagamaan Masyarakat Surakarta ............................ 42
B. Pemerintah Kolonial dan Misi Kristensasi ..................... 48
C. Zending dan Kristenisasi di Surakarta ........................... 57
BAB IV UPAYA SUSUHANAN PAKU BUWANA X DALAM
MEMBENDUNG KRISTENISASI
A. Paku Buwono X dan Sarekat Islam ................................ 69
B. Mendirikan Sekolah Islam (Madrasah) .......................... 80
vi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ..................................................................... 96
B. Saran ................................................................................ 100
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 101
LAMPIRAN ............................................................................................... 107
vii
DAFTAR ISTILAH
Abdi Dalem : Pegawai Kerajaan
Aristokrat : Orang dari golongan bangsawan; ningrat.
Gubernemen : Pemerintah (masa penjajahan Belanda)
Kadipaten : Daerah yang dikuasaiolehadipati, yang lebih
Rendahdaripadakesultanan.
Kaum Abangan : Kelompok yang menganut Islam kejawen
Kaum putihan : kelompok yang menganut Islam murni.
Keraton : Tempatkediaman raja atauratu, istana raja.
Kristening politiek : Politik Kristenisasi
Madrasah : Sebutan bagi sekolah Agama Islam, tempat proses
belajar mengajar ajaran Islam secara formal yang
mempunyai kelas dan kurikulm dalam bentuk
klasikal.
Misionaris : Pengemban misi penyebaran agama Kristen
Pangreh praja : penguasa lokal pada masa pemerintahan kolonial
Belanda untuk menangani daerah jajahannya.
Residen : Provinsi
Sunan : Sebutan raja keraton Surakarta atau penyebutan
nama untuk para wali.
Susuhanan : Sebutan raja Kasunanan
Staatsblad : Lembar berita pemerintah
Tapsir Anom : Penghulu tertinggi
Vorstenlanden : Wilayah kerajaan yang memiliki status istimewa di
Jawa pada masa kolonial (Surakarta dan
Yogyakarta.
Zending : Penyebar agama Kristen
Zending Gereformeerd : Organisasi Pengkabaran Injil
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keraton Surakarta dengan ibukotanya Sala atau Solo merupakan
penerus Kerajaan Mataram yang didirikan oleh Susuhanan Paku Buwana II
pada tahun 1746. Berdirinya Keraton Surakarta ini sebagai pengganti Keraton
Kartasura yang telah hancur akibat dari adanya gerakan bersenjata orang-
orang Cina yang berhasil memberontak dan merebut Kerajaan
Mataram.1
Keraton Surakarta merupakan kesinambungan dari Kerajaan
Mataram. Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan
tempat. Mula-mula di kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, ke Kartasura,
dan terakhir di Surakarta.
Pada awalnya untuk penempatan Keraton Kartasura terdapat tiga
pilihan tempat, yaitu Talawangi yang biasa disebut Kadipolo, Sonosewu,
kemudian desa Sala. Atas tiga pilihan tempat tersebut akhirnya dipilihlah
Desa Sala untuk didirikan Keraton yang baru yang kemudian diberi nama
Surakarta Hadiningrat.2
Sunan Paku Buwono X adalah raja Keraton Surakarta yang memerintah
pada tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin
Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur
agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Paku Buwono X dianggap
1
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta:
Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hal 7 2 Sayid, Babad Sala, (Surakarta: Reksopustoko, 1984), hal 6
2
sebagai raja yang istimewa karena masa pengabdiannya yang cukup lama
yaitu 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai keteladanan,
kebijakan, dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal yang berkaitan
dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan diteladani seluruh
rakyat. Sifat yang paling menonjol yang dimiliki Sunan yaitu
kedermawanannya, ia senang membantu dan menyenangkan hati orang. Dan
salah satu kekurangannya adalah ia tidak mengenali nilai mata uang, sehingga
Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikitpun tentang kondisi
keuangannya.3
Sri Susuhanan Paku Buwono X (1893-1939) adalah Putra dari Sinuhun
Pakubuwono IX (1861-1893), sedangkan Sinuhun Paku Buwono IX adalah
putra dari Sinuhun Paku Buwono VI (1823-1830) yang dibuang ke Ambon
karena melawan Belanda, jadi Paku Buwono X adalah cucu dari Paku
Buwono VI. Saat usianya tiga tahun beliau dinobatkan sebagai Pangeran
Adipati Anom atau Putera Mahkota. Beliau naik tahta menjadi seorang raja
pada tanggal 30 Maret 1893 karena menggantikan tahta kerajaan ayahnya
yang telah wafat yaitu Susuhanan Paku Buwono IX. Dan mendapat gelar
setelah naik tahta yaitu: Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Paku Buwono
Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin Panatagama Hingkang
Kaping X.
3George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Poitik di Surakarta
1912-1945, (Yogyakarta: Gajah Mada Uniersity Press, 1989),hal 44
3
Menurut catatan sejarah, agama Kristen datang ke Indonesia dibawa
oleh orang Portugis dengan armada dagangnya pada abad ke 16 M.4Sedangkan
agama Islam datang ke Nusantara dibawa oleh pedagang Muslim dari Arab,
pada abad 7-8 M. Sekalipun mereka dari Gujarat, Malabar atau Persia, tetapi
mereka adalah orang Arab.5
Masuknya agama Kristen tidak lepas dari kegiatan penjajahan Belanda
yang disebut dengan 3G yaitu: Glory, Gold dan Gospel.6Maksud dari “3G” itu
adalah, Glory (menang) yaitu suatu motif penjajahan dan meguasai negeri
yang sedang dijajahnya untuk dapat dikuasai, motif yang kedua yaitu ekonomi
atau Gold (emas, kekayaan) motif ini yaitu untuk mengeksploitasi, memeras
dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahannya, dan motif ketiga yaitu
Gospel yaitu motif untuk menyebar luaskan agama Kristen kepada anak-anak
negeri jajahannya atau motif untuk mengubah agama yang dipeluk penduduk.7
Karena menurut pemikiran mereka dengan mempunyai kepercayaan agama
yang sama maka akan lebih muda bagi mereka untuk dapat menguasai semua
dari negeri jajahannya.
Oleh karena itu meraka memberikan pelayanan pendidikan dan sosial,
serta kolonial Belanda juga merekrut orang-orang Indonesia untuk
memperoleh pendidikan Barat. Politik etis yang dianut dan dijalankan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan sekolah-
4
Lukman Fathullah Rais, Muhammad Nasir Pemandu Umat, (Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1989), hal 18 5 Ibid, hal 4
6 Musthafa Kamal Pasha dan Chusnan Jusuf, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam,
(Yogyakarta: Persatuan, 1989), hal 20 7 Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005), hal 103
4
sekolah menurut sistem barat di wilayah Hindia Belanda. Pembukaan sekolah-
sekolah ala Barat sampai diperluas untuk segenap kalangan masyarakat.
Munculnya politik asosiasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda,
memperkenalkan pengetahuan dan kebudayaan barat di sekolah-sekolah
secara luas. Politik asosiasi ini merupakan kebijakan yang menghendaki
rakyat bumi putera dibina agar terpengaruh dengan kebudayaan Barat.8
Kasunanan Surakarta termasuk bagian dari wilayah jajahan Belanda.
Dalam bidang pendidikan pemerintah Belanda ikut campur tangan yaitu
dengan menetapkan sistem konkoordinasi.9
Yang nantinya dalam campur
tangan ini pemerintah Belanda banyak mendirikan sekolah-sekolah yang
didalamnya mengajarkan agama Kristen untuk anak-anak pribumi. Pada
kenyataanya daerah Vorstenlandeninimenjadi wilayah kekuasaan kolonial dan
berada dibawah pengawasan pemerintah koloial Belanda. Termasuk dibidang
pendidikan yang tidak luput dari campur tangan pemerintah Belanda.
Belanda membawa Hindia Belanda ke suatu jenis pendidikan baru yang
berbeda dari lembaga-lembaga pendidikan pribumi pada umumnya. Salah satu
perbedaan pokoknya yaitu: pendidikan yang dibiayai oleh Belanda di sekolah-
sekolah umum netral terhadap agama, diajarkan tidak terlalu memikirkan
bagaimana caranya hidup secara harmoni dalam dunia, tetapi lebih
menekankan tentang bagaimana memperoleh penghidupan.10
Di Kasunanan
8 Depdikbud, Searah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, tth), hal 7
9Sistem koonkordinasi adalah sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda bahwa
pendidikan didaerah jajahan sama dengan sistem pendidikan yang ada di Belanda, lihat Resink,
G,J, Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, (Jakarta: Djambatan, 1987), hal 4. 10
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University perss, 1986). hal 278.
5
sendiri pendidikan barat merupakan pendidikan yang bisa dibilang paling
diminati dan berkembang di Kasunanan. Pendidikan model barat ini
diselenggarakan oleh pemerintah.
Perkembangan terjadi pada sekolah dengan sistem pendidikan
Barat.Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda ini memiliki mutu yang
baik khususnya yang diperuntukan golongan Bumi putera di Surakarta.
Sekolah-sekolah ini yaitu: HIS Jongenshool di Mangkubumen, HIS
Meisjesschool di Slompretan dan Schakelschool (sekolah peralihan) di
Penumping. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh missionaris atau sekolah
Katolik yang berada di Surakarta antara lain adalah sekolah MULO (1 buah),
sekolah ELS (1 buah), HIS (2 buah), dan Meisjesschool (2 buah). Sekolah-
sekolah tersebut tersebar di Purbayan, Pasar Kliwon, Kemlayan, Jebres.
Awal munculnya pendidikan Barat hanya untuk anak-anak bangsawan
atau priyayi dan anak-anak terpandang saja. Keadaan tersebut selain
disebabkan oleh kebijakan pendidikan sendiri yang mengkhususkan
pendidikan barat hanya untuk kalangan tertentu saja. Terhadap munculnya
pendidikan Barat sebagian penduduk pribumi beranggapan bahwa pendidikan
seperti itu tidak perlu dan kemungkinan besar justru membahayakan, karena
pendidikan membawa resiko menjadi terasing dari kebudayaan sendiri dan
kemungkinan terseret menjadi Kristen.11
11
Heather Sutherlend, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi,(Jakarta:Sinar Harapan, 1983),
hal 99.
6
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah
Surakarta tahun 1930, terdapat macam-macam sekolah model barat yang
diantaranya yaitu: sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zending, sekolah-
sekolah yang dikelola oleh Missi, sekolah-sekolah yang dikelola oleh
Muhammadiyah, dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan. Sekolah-
sekolah yang dikelola oleh Zending dan Missi inilah yang mempunyai tujuan
agar masyarakat pribumi masuk kedalam agama Kristen.
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending didalamnya diajarkan
agama Kristen, juga memperkenalkan kebudayaan Barat seperti cara
berpakaian, cara makan, belajar dan lainnya. Tujuan pendirian sekolah
Zending sejalan dengan tujuan pemerintah Kolonial yaitu menyebarkan agama
Kristen. Oleh sebab itu sekolah Zending ini banyak menerima bantuan dan
kemudahan dari pemerintah Kolonial, sehingga dalam waktu singkat sekolah
model Barat tersebut dapat berkembang dengan pesat.
Selain itu ada juga sekolah Missi yang dikelola pertama kali oleh Pastor
Keyser dari Semarang pada tahun 1890. Pada tahun 1930, sekolah Missi yang
berada di Surakarta jumlanya telah mencapi 17 buah yaitu: sekolah MULO, 1
sekolah ELS(Europe Lagere School), 3 buah HIS (salah satunya khusus putri,
10 buah Standartschool, 1 sekolah HSC (Hollands Chinese School) dan 1
sekolah Meisjes Vervolg School.Sekolah-sekolah tersebut berada di
Margoyudan, Manahan, Gajahan dan Pasar Legi.12
12
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial
Di Vorstenlanden”, (Yogyakarta: UNY, 2012), hal 42-44
7
Pengaruh Missionaris Kristen ini menjadikan tantangan bagi pemimpin-
pemimpin muslim untuk melakukan perubahan. Begitupun yang dilakukan
oleh Sunan Paku Buwono X, ia tidak senang terhadap kegiatan misionaris
yang telah banyak mendirikan sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending
diwilayah Surakarta. Sunan bisa menerima masuknya pengaruh kebudayaan
Barat ke Kasunanan, bisa dilihat dari acara perjamuan atau pesta yang
mengadopsi cara-cara barat juga dalam sistem pendidikan sangat mendukung
sistem pendidikan barat, namun Sunan tidak menyukai agama yang dibawa
dari barat yaitu agama Kristen yang dibawa zending. Menurut Sunan hal ini
tidak boleh dibiarkan, oleh karena itulah Sunan ingin mendirikan sekolah
berdasarkan agama Islam untuk mengantisipati berkembangnya agama
Kristen, maka dibangunlah pondok pesantren Mambaul „Ulum sebagai salah
satu upaya yang dilakukan Sunan agar tidak berkembangnya agama Kristen
diwilayah Kasunanan.
Pendirian sekolah Mambaul’Ulum ini adalah hasil dari pemikiran
Sunan Paku Buwono X sendiri. latar belakang berdirinya Mambaul’Ulum
disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satu faktornya yaitu untuk
mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilyah Kasunanan.13
Secara
nyata sekolah ini merupkan pelopor berdirinya sekolah Islam pertama di
Surakarta yang dapat membawa perubahan bagi pendidikan Islam yang
semula dari lingkup pesantren beralih ke madrasah dan perkembangannya
sebagai sekolah Islam. Berdirinya sekolah Mambaul’ulum tersebut sangat
13
Kuntowidjoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak,
2004), hal 38-39.
8
berperan penting dalam mencetak kelompok Ulama di Surakarta khususnya di
lingkungan Surakarta.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka penulis
mengangkatnya dalam sebuah skripsi dengan judul “Peran Paku Buwono X
Dalam Membendung Kristenisasi di Surakarta 1893-1939”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Agar menghindari meluasnya pembahasan dalam tulisan ini, maka
penulis memberikan batasan masalah pada tulisan ini yaitu Sultan
Pakubuwono X dalam upaya membendung kristenisasi di Surakarta. Karena di
masa Pakubuwono X inilah sunan mendirikan Pondok Pesantren yang mana
didirikannya pondok pesantren itu karena untuk mengantisipasi terjadinya
perkembangan agama Kristen di wilayah Kasunanan.
Dari uraian pembatasan masalah tersebut maka penulis ingin
merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana perkembangan Kasunanan Surakarta pada masa Pakubuwono
X ?
2. Bagaimana para Zending dalam menyebarkan agama Kristen ?
3. Apa yang dilakukan Pakubuwono X dalam membendung kristenisasi
Surakarta ?
9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penelitian ini tujuan yang ingin penulis capai sebagai berikut :
1. Menjelaskan Kondisi Keberagamaan di Keraton Surakarta
2. Mengetahui kegiatan misionaris mengenal bentuk dan cara yang di pakai
oleh misionaris, dengan demikian diharapkan tidak mudah terjerat dan
selalu berhati-hati setiap kali menghadapi kegiatan misionaris ini.
3. Menjelaskan usaha-usaha yang dilakukan para misionaris dalam
menyebarkan agama Kristen di Surakarta.
4. Menjelaskan upaya yang dilakukan PB X dalam membendung Kristenisai
di Surakarta.
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi penulis khususnya
dan pembaca pada umumnya.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian
pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama sejarah kerajaan di Indonesia,
serta diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pendidikan
dan penelitian selanjutnya.
D. Tinjauan Pustaka
Untuk mendapatkan hasil yang dikehendaki sesuai dengan topik
permasalahan, penulis tidak melepaskan diri dari hasil penelitian terdahulu
sebagai bahan rujukan dan pendukung data yang absah, setahu penulis belum
ada seara khusus yang menulis mengenai upaya sulnan pakubuwana X dalam
10
membendung kristenisasi di Surakarta ini. beberapa karya yang penulis
jadikan survey pustaka di antaranya:
Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, ditulis oleh Nur Dwi Ratna
Nurhajarini yang diterbitkan oleh Depdikdub pada tahun 1998. Pembahasan
dimulai dari keadaan daerah Surakarta secara umum kemudian sejarah
berdirinya Kasunanan Surakarta mulai dari Kerajaan Mataram dan Perjanjian
Giyanti yang membagi Mataram kedalam dua Kerajaan, Kasunanan Surakarta
dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam buku ini membahas tentang gambaran
umum keadaan Keraton Surakrta dari awal mula berdirinya sampai batas
periode abad XV sampai awal abad XX yang membahas tentang cikal bakal
Kerajaan Surakarta dan Pengaruh islam sampai masuk ke dalam kekuasaan
Belanda. Buku ini sangat membantu penulis untuk mengetahui informasi
mengenai sejarah Keraton Surkarta.
Raja, Priyayi dan Kaula: Surakarta Tahun 1900-1915, buku dari
Kuntowidjoyo tahun 2004. Dalam buku ini menguraikan latar belakang
didirikan madrasah Mambaul’ulum oleh Sunan Pakubuwana X yang mana
tujuan dari didirikannya madrasah ini untuk mengantisipasi pengaruh Zending
di Kasunanan Surakarta. Beliau mendirikan sekolah dengan ajaran Islam ini
untuk menampung anak-anak, abdi dalem, pamutihan, khatib, ulama, juru
kunci, dan sebagainya. Karena Pakubuwana sebagai pemimpin agama tidak
ingin jika rakyatnya memeluk agama selain agama Islam.
Buku dari George .D. Larson yang berjudul Masa Menjelang Revolusi
Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta Pada Tahun 1912-1942. Buku
11
ini penting untuk dimasukan dalam penulisan yang dapat memberikan
gambaran tentang kegiatan politik di Surakarta dari tahun 1912 sampai 1942
adalah ketidaksukaan sebagian besar kalangan masyarakat Jawa terhadap
usaha Belanda yang hendak mengubah masyarakat Jawa. Dan dalam sejarah
sesudah 1912 bahwa Surakarta adalah upaya Belanda untuk mengadakan
perubahan dan sekaligus mengekang respons politik terhadap perubahan itu.
Lalu Disertasinya Darsiti Soeratman, yang berjudul Kehidupan Dunia
Kraton Surakarta tahun 1830-1939 ini sangat membantu bagi penulis untuk
menambah sumber literatur penulisan. Didalamnya dijelaskan sedikit tentang
Mambaul‟ulum karena pada masa Paku Buwono X, beliau menaruh perhatian
yang begitu besar terhadap pendidikan agama Islam diwilayah Kasunanan.
dan dijelaskan bahwa Sunan mendirikan sekolah itu untuk mendidik para Kyai
atau ulama di Keraton Kasunanan.
E. Kerangka Teori
Menurut Ahmad Mubarok dalam bukunya yang berjudul Psikologi
Dakwah, kata misionaris atau dakwah diartikan sebagai undangan, ajakan, dan
seruan yang semuanya menunjukan adanya komunikasi antara dua pihak dan
adanya upaya untuk mempengaruhi pihak lain. Selain itu Ahmad Mubarok
juga menjelaskan agama Islam sendiri mewajibkan kepada umatnya untuk
menyebarkan ajaran agama kepada seluruh umat manusia.14
Oleh karena itu,
umat Islam dan orang Kristen merasa terpanggil untuk mensiarkan
14
Achmad Mubarok, Psikologi Dakwah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1999), hal. 19
12
agamaya.menurut mereka menyebarkan agama adalah kewajiban umat, hanya
saja cara dan metode yang dipakai oleh orang Kristen di Indonesia dianggap
telah melampaui batas kewajaran dalam penyebaran agama.
Susuhanan Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh
perhatian besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam.
kedudukan Sunan Paku Buwono X sebagai pimpinan tertinggi agama Islam, ia
berkeberatan kalau rakyatnya memeluk agama selain Islam, ia tidak senang
terhadap kegiatan penginjilan yang dilakukan zending dan misi yang terjadi di
kerajaannya. Paku Buwono X mempunyai peran dalam mengatasi kegiatan
misionaris di Surakarta yang dianggap telah melampaui batas.
Dalam penulisan suatu karya sejarah sangat membutuhkan bantuan
konsep maupun teori-teori dari ilmu-ilmu sosial lainnya untuk mempertajam
serta memperjelas penulisan. Dalam studi ini penulis menggunakan
pendekatan sosial, budaya dan politik. Pendekatan sosiologi merupakan
pendakatan yang sangat berpengaruh dalam mengkaji penelitian ini.
Pendekatan sosial yang dipakai dalam penelitian ini cenderung pada peranan
tokoh sejarah.
Pendekatan budaya dipakai oleh penulis untuk mengetahui nilai-nilai
kepercayaan yang berkembang di masyarakat pada waktu itu. Lalu pendekatan
politik, menurut Deliar Noer adalah aktivitas atau sikap yang berhubungan
dengan kekuasaan yang bermaksud mempengaruhi dengan jalan mengubah
atau mempertahankan suatu macam bentuk susunan masyarakat.15
15
Deliar Noer, Pengantar ke Pemikiran Politik I, (Medan: Dwipa, 1995), hal. 6
13
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memerlukan sebuah metode.
Dengan metode tersebut diha16
rapkan pembahasan yang dikaji menjadi lebih
terarah dan dapat mencapai tujuan yang di harapkan. metode yang digunakan
untuk penelitian-penelitian sejarah adalah metode deskriptif analitik dengan
pendekatan sejarah sosial. Adapun langkah-langkahnya:
1. Heuristik
Heurustik yaitu pengumpulan data. Dalam langkah ini penulis mengumpulkan
dan menggali sumber-sumber sejarah yang berkaitan dengan masalah yang
sedang penulis kaji. Dimana sumber-sumber mengenai masalah terkait banyak
penulis temukan di Perpustakaan-perpustakaan seperti: Perpustakan Utama
UIN Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab, Perpustakaan Universitas
Indonesia, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional. Metode penelitian yang
lain yaitu metode penelitian Kritik, Interperestai dan Historiografi.
2. Kritik Sumber
Setelah melakukan heuristik atau pengumpulan sumber-sumber maka tahap
selanjutnya yang harus dilakukan adalah kritik sumber. Kritik sumber adalah
sebuah usaha untuk mendapatkan sumber-sumber yang relevan dengan cerita
sejarah yang ingin disusun sesuai dengan judul. Hal yang harus diuji adalah
keabsahan. Dan setelah mencari sumber-sumber penulis penulis akan
verifikasi terhadap sumber-sumber tersebut.
16
Sartono Kartodirdjo, Pendakatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 3
14
3. Interpertasi
Interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut pula analisi sejarah,
interpretasi adalah pemahaman yang mendalam mengenai teks-teks yang telah
dilalui fase kritik, dimana penulis sudah menemukan korelasi dan pemahaman
yang baru mengenai tema yang dibahas.
4. Historiografi
Historiografi adalah penulisan sejarah. Metode ini adalah metode terakhir
dalam metode sejarah. Adalah historiografi, yaitu penyusunan yang didahului
oleh penelitian analisis terhadap peristiwa-peristiwa masa lampau.
Penyusunan ini selalu memperhatian aspek kronologis dan kebenaran sejarah
dari setiap fakta. Dalam langkah ini penulis memaparkan hasil penelitian
yang dilakukan mengenai “Upaya Pakubuwana X dalam membendung
Kristenissi di Surakarta”.
G. Sistematika Penulisan
Secara Keseluruhan skripsi ini terbagi menjadi lima bab, adapun
susunan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Bab IMerupakan Pendahuluan yang meliputi penjabaran singkat
permasalahan yang menjadi fokus kajian, permasalahan, batasan dan rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, survei pustaka,
dan sistematika penulisan.
BAB II membahas sejarah berdirinya Keraton Surakarta, biografi Paku
Buwono X, dan Surakarta pada masa Paku Buwono X.
15
Bab III berisikan tentang Keberagamaan Masyarakat Surakarta, Pemerintah
Kolonial dan Misi Kristenisasi, Zending dan Kristenisasi di Surakarta.
BAB IVmenguraikan tentang upaya Paku Buwono X dalam membendung
kristenisasi di Surakarta. Upaya yang dilakan oleh Paku Buwono X yaitu:
mendukung dan bekerjasama dengan Sarekat Islam, Mendirikan Sekolah
Islam (Madrasah) Mamba’ul Ulum.
BAB V merupakan penutup yang berisi kesimpulan. Bab ini menjawab
rumusan masalah penelitian.
16
BAB II
KERATON SURAKARTA DAN BIOGRAFI SUNAN PAKU BUWONO X
A. Letak Geografi Kasunanan Surakarta
Karesidenan Surakarta masuk dalam wilayah Vorstenlanden1 (wilayah
raja-raja), merupakan tempat kedudukan kerajaan yang berdiri sendiri dibawah
kekuasaan Hindia Belanda. Secara geografis Karesidenan Surakarta adalah
dataran rendah yang berada diantara pertemuan kali atau sungai Pepe, Jenes
dan Bengawan Sala, serta berada pada ketinggian 92 m di atas permukaan
laut.2
Secara administrasi, Karesidenan Surakarta di sebelah barat berbatasan
dengan Karesidenan Yogyakarta, Kedu, Semarang dan Madiun. Di sebelah
utara berbatasan dengan Gunung Merapi (2.875 m) dan Gunung Merbabu
(3.145 m). di sebelah timur berbatasan dengan Gunung Kendeng dan Gunung
Lawu (326 m). Antara Gunung Merapi, Gunung Merbabu dengan Gunung
Lawu membentuk dataran rendah yang luas, meliputi daerah Klaten, Boyolali,
dan Kartasura yang kaya sedimen vulkanis. Dari lereng Gunung Merapi
1 Sejak tahun 1799 digunakan istilah “Vorstenlanden” untuk menyebut daerah kerajaan
Yogyakarta dan Surakarta, lihat: Suhartono, 1991, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di
Pedesaan Surakarta 1830-1920,Yogyakarta: PT Tiara Wacana, hal 23. Istilah Vorstenlanden pada
awalnya mencakup pengertian sebagai wilayah pemerintahan sendiri bagi wilayah kerajaan-
kerajaan lokal pribumi yang ada di bawah pengaruh kekuasaan kompeni Belanda. Sejak
Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda menggantikan pemerintahan VOC, istilah Vorstenlanden
memiliki pengertian yang lebih spesifik yaitu menjadi nama wilayah pemerintahan kerajaan Jawa,
atau dalam perspektif Jawa disebut wilayah pemerintahan Kerajaan Kejawen atau Praja Kejawen,
yang mencakup wilayah Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta, Kadipaten
Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Lihat: Djoko Suryo, Dari Vorstenlanden ke DIY,
Kesinambungan dan Perubahan, Koferensi Nasional Sejarah IX, Jakarta, 5-7 Juli 2011, hal 3 2 Pemda Kodia Tingkat II Surakarta, Kenangan Emas 50 Tahun Surakarta, (Surakarta:
Murni Grafika dan STSI, 1997), hal 21.
17
megalir sungai Opak ke Selatan yang menjadi batas antara Karesidenan
Surakarta dan Yogyakarta.3
Adapun luas wilayah Kerajaan Surakarta seluruhnya adalah 6.215
kilometer persegi. Separuh dari daerah itu adalah milik kasunanan, sedang
daerah lainnya masuk daerah Mangkunegaran. Pada tahun 1838 penduduk
Surakarta berjumlah 358.230 orang, dan pada tahun 1920 naik menjadi
2.049.547 orang. Penduduk Surakarta dapat dikatakan homogen,artinya
masing-masing etnik berkumpul dan mendiami daerah-daerah tertentu secara
terpisah dengan etnik lainnya. Ada beberapa etnik yang berada di sekitar
wilayah ibukota kerajaan yaitu: Jawa (jumlah paling besar), kemudian Cina,
Arab, dan Eropa.
Penduduk karesidenan Surakarta pada tahun 1930 adalah: pribumi
2.535.594 orang, Eropa 6.555 orang, dan Timur Asing 2.600 orang, dan
jumlahnya 2.564.594 orang. Untuk kota Surakarta sendiri: penduduk pribumi
149.585 orang, Eropa 3.225 orang, Cina 11.286 orang dan Timur Asing 1.388
orang, dan jumlahnya 165.484 orang. Golongan Eropa yang terdiri 3.225
orang, 95% adalah orang-orang Belanda, dengan periniaan terdiri dari Belanda
Totok (londo totok), Belanda Indo (londo indo) dan londo Ambon panggilan
untuk orang-orang Ambon yang bekerja menjadi tentara orang-orang Belanda.
Tempat berkumpulnya orang-orang Belanda di Lojiwaten dan sekitarnya,
yaitu daerah yang letaknya berada di sebelah selatan kali-pepe, kali yang
membelah kota terbagi menjadi dua. Meraka bertempat tinggal disekitar
3 Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di Pedesaan Surakarta 1830-1920,
(Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991), hal 24-25.
18
benteng Belanda, benteng Vastenberg, mungkin karena merasa lebih aman.
Mereka memiliki gereja sendiri berada di depan benteng yang letaknya di
Gladak. 4
Untuk golongan Timur asing terdiri dari orang Arab, India dan
Pakistan. Orang-orang India dan Pakistan biasanya mereka memiliki toko-
toko yang menjual bahan pakaian. Dan tinggal ditoko-tokonya sendiri. Orang-
orang Arab berkumpul di pasar kliwon dan sekitarnya yaitu diseberang
sebelah selatan rel kereta api yang membelah Surakarta. Usaha yang biasanya
di industri kain batik yang biasanya dibuatnya dirumahnya sendiri. Mereka ini
adalah golongan orang yang tertutup, tidak suka bergaul dengan golongan
lain. Rumah-rumah mereka pun di kelilingi pagar yang tinggi dan tertutup
rapat. Mereka juga memiliki Masjid sendiri untuk beribadah di pasar kliwon.
Sedangkan orang-orang Cina mereka berkumpul diseberang sebelah utara kali
Pepe. Yaitu Balong, Warungmiri,dan didaerah-daerah pasar Gedhe. Pada
mula-mula mereka hanyalah pendatang, dan hanya pedagang kecil-kecilan
saja.5
Perkampungan orang-orang Eropa terpisah dari etnik lain karena
berdasarkan diskriminasi ras, dan pemukian orang-orang Cina disebut
“pecinan” maksudnya agar gerak-gerik mereka mudah diawasi. Pecinan
terletak disekitar pasar Gedhe, dikepalai oleh seorang berpangkat mayor yang
diambil dari kalangan mereka. di kalangan penduduk, kepala etnik ini dikenal
4 R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono
X 1893-1939, (Jakarta: 1990), hlm: 115-116. 5 R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono
X 1893-1939, hal: 116-118.
19
dengan sebutan Babah Mayor. Sedangkan pemukiman orang-orang Arab yang
berada di Pasar Kliwon pemimpinnya mendapat pangkat kapten.
Perkampungan untuk penduduk Bumi Putera terpencar di seluruh kota di
Surakarta.6
Penduduk pribumi, hampir seluruhnya orang Jawa, terdapat dalam
berbagai kelompok dan kampung yang tidak teratur diseluh kota, kebanyakan
dari mereka bekerja dari industri batik dan berbagai macam kerajinan tangan.
Tempat kediaman para pangeran dan pegawai puri yang terkemuka juga
tersebar diseluruh kota.7
Disebelah Utara Keraton terletak kepatihan, tempat kediaman pepatih
dalem, sekaligus berfungsi sebagai pusat administrasi pemerintahan. Istana
Mangkunegaran terletak di sebelah selatan sungai Pepe, demikian pula
perkampungan orang-orang Eropa yang meliputi rumah residen, kantor-
kantor, gereja, gedung pertunjukan, gedung-gedung sekolah, toko-toko, dan
benteng Vestenburg sebagai pusatnya. Perkampungan orang-orang diluar
benteng itu disebut Loji Wetan,
Letak Keraton Surakarta, Istana Mangkunegaran, rumah residen, dan
kepatihan letaknya tidak berjauhan. Benteng Vastenburg dibangun berada
didekat keraton dan rumah residen. Jarak antara keraton dan Istana
Mangkunegaran yang menghadap ke selatan tidak berjauhan, keduanya
dipisahkan oleh jalan besar. Selain itu juga bisa dilihat jarak dari kepatihan ke
6
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 24. 7 George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjah Mada Unviersity Press, 1989), hal 23.
20
rumah residen lebih dekat daripada jarak dari kepatihan dengan keraton.
Untuk menuju keraton, pepatih dalem harus melewati rumah residen.
Pengaturan tempat-tempat itu adalah untuk kepentingan dan keamanan
pemerintahan kolonial Belanda di Surakarta.8
Di Surakarta terdapat tiga pemerintahan yang berbeda yaitu Kasunanan
Surakarta, Kadipaten Mangkunegaran dan Residen Belanda. Kasunanan
Surakarta menguasi enam kabubapaten, yaitu: Surakarta, Kartasura, Klaten,
Boyolali, Ampel dan Sragen serta satu Kawedanan, yaitu Larangan. Kadipaten
Mangkunegaran menguasai tiga Kawedanan, yaitu: Ibukota, Karanganyar dan
Wonogiri. Serta Belanda menguasai lima bagian yang berada di Kasunanan
dan Mangunegaran. Surakarta yang luasnya 24 km², sebagiannya adalah milik
Kasunanan, seperlimanya milik Mangkunegaran, sisanya merupakan wilayah
administrasi Belanda, yaitu disekitar kantor Residen, Benteng dan Tangsi
Militer.9 Batas wilayah antara Kasunanan dan Mangkunegaran didalam kota
adalah jalan memanjang Timur-Barat yang membelah kota.10
Sampai abad 20
di Kasunanan terdiri 23 distrik dan 101 onderdistrik, yang terbagi menjadi
1.240 kelurahan, sedangkan Mangkunegaran dibagi 7 distrik dan 32
onderdistrik yang terbagi 750 kelurahan.
8
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, (Jakarta:
Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999), hal 10 9 Nurhadiatmoko, “Konflik-konflik Sosial Pri-Nopri dan Hukum Keadilan Sosial”, dalam
Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan Jawa Di Surakarta, 1898-1998,
(Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan Nabil, 2007), hal: 16-18. 10
Soedarmono, Surakarta Kota Kolonial, Laporan Penelitian (Surakarta: LPPM UNS,
2004), hal 17
21
B. Sejarah Berdirinya Keraton Surakarta
Keraton Surakarta didirikan pada masa Sunan Paku Buwono II (1725-
1749) pada tahun 1746, setelah Keraton sebelumnya di Kartasura mengalami
kehancuran akibat perang perebutan tahta. Keraton Surakarta ini disebut
sebagai pengganti Keraton Kartasura yang telah hancur akibat dari peristiwa
Geger Pecinan, yaitu pemberontakan bersenjata yang dilancarkan oleh orang-
orang Cina sebagai bentuk protes pada VOC yang telah membantai orang-
orang Cina yang ada di Batavia. Atas dasar itulah sehingga Paku Buwono II
memutuskan untuk meninggalkan istana Kartasura yang sudah kacau dan
hancur. Sekitar 12 kilometer ke arah timur, di tepi Sungai Sala, dia mendirikan
sebuah istana baru, yaitu Surakarta Hadiningrat, yang nantinya akan tetap
didiami oleh keturunannya. Bangunan baru ini selesai pada tahun 1745, dan
kepindahan resminya terjadi pada Februari 1746. Walaupun istana sudah
berpindah ke Surakarta akan tetapi kondisinya sama tidak stabilnya seperti
pada waktu berada di istana lama.11
Keraton Surakarta merupakan kesinambungan dari kerajaan Mataram.
Pusat kerajaan Mataram telah mengalami beberapa kali perpindahan tempat.
Mula-mula di kota Gedhe kemudian pindah ke Plered, ke Kartasura, dan
terakhir di Surakarta. Kerajaan Mataram sendiri terbagi menadi dua kerajaan
yang memiliki kedaulatan tersendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Vincent
J.H Houben: The Javaness principalities of Surakarta (Solo) and Yogyakarta
(Yogya) were born in 1755 from the division of Mataram, the realm which in
11
M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, (Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2005), hal 217
22
the 17th
century had exercised hegemony over nearly all of Java. kerajaan di
Jawa yaitu Surakarta dan Yogyakarta berdiri tahun 1755 sebagai bentuk
perpecahan dari kerajaan Mataram, di mana pada abad ke 17 memiliki
kekuasaan dihampir seluruh wilayah Pulau Jawa.12
Campur tangan Belanda dalam urusan dalam negeri Mataram mulai
terjadi pada masa akhir pemerintahan Amangkurat I (1645-1677), ketika
kerajaan ini sedang memasuki masa-masa kehancurannya. Dinasti Mataram
ditegakkan kembali setelah VOC melakukan campur tangan dengan berbagai
konsesi, khususnya dibidang ekonomi dan teritorial. Dan sejak saat itu
Mataram memasuki era peperangan, pemberontakan dan peperangan
memperebutkan tahta. Pada tanggal 11 Desember 1749, Susuhanan
menandatangani akta penyerahan, yang didalamnya mengatakan bahwa
seluruh kerajaan Mataram diserahkan kepada Belanda. Melalui akta itu, Von
Hohendorff menyiapkan pengganti raja atau calon raja baru, ketika Paku
Buwono II berusaha bertahan hidup. Akhirnya, gubernur jenderal dan Dewan
Hindia di Batavialah yang menobatkan Susuhanan yang baru.13
Pada masa pemerintahan Paku Buwono II terjadi peristiwa Geger
Pecinan. Beliau memindahkan keratonnya karena keraton Kartasura rusak
parah akibat pemberontakan orang Cina itu. Cina memberontak karena ditekan
pajak tinggi oleh Belanda. Selain pajak tinggi, orang Cina yang tidak punya
izin tempat tinggal disuruh kembali ke negara asal. Pegawai kompeni berbuat
12
Vincent J.H Houben, Keraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta 1830-1870,
(Leiden: KITLV Press, t.th), hal: 405 13
M.C Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah
Pembagian Jawa, (Yogyakarta: Matabangsa, 2002), hal 77-79.
23
curang dengan memeras orang-orang Cina.14
Pemberontakan ini dimulai sejak
tahun 1740 ketika VOC memberlakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah
orang-orang Cina di Batavia, sehingga banyak orang Cina yang mengungsi ke
wilayah Jawa Tengah dan membentuk laskar-laskar perlawanan. Pelarian
laskar-laskar Cina tersebut ternyata mendapat dukungan dari para bupati di
wilayah pesisir serta secara diam-diam Paku Buwono II juga mendukung
gerakan perlawanan laskar Cina terhadap VOC ini melalui Adipati
Natakusuma selaku seorang patih dari Kerajan Kartasura dengan tujuan untuk
memukul mundur kekuasan VOC di wilayah kekuasaan Mataram Kartasura.
Melihat Kota Semarang yang menjadi pusat VOC di Timur Batavia
tidak jatuh ke tangan orang-orang Cina, Paku Buwono II menarik
dukungannya dan kembali berpihak kepada VOC untuk memerangi
perlawanan laskar Cina. Langkah yang ditempuh untuk menutupi kecurigaan
VOC, Paku Buwono II menangkap Adipati Natakusuma yang akhirnya
dihukum buang ke Sailon (Srilanka). Ternyata kekuatan pasukan Cina tidak
berangsur surut melainkan semakin kuat dengan adanya dukungan dari Bupati
Pati, Grobogan dan beberapa kerabat Raja. Bahkan laskar Cina ini mampu
mengangkat Mas Garendi sebagai penguasa yang baru atas kerajaan Mataram
Kartasura dengan gelar Sunan Kuning.
Pada tahun 1742 pihak kerajaan semakin terdesak, sehingga membuat
raja, kerabat, dan pengikutnya yang masih setia harus mengikuti untuk
mengungsi ke Ponorogo. Para pemberontak berhasil menduduki dan merusak
14
KRT. Kastoyo Ramelan, Sinuhun Paku Buwono X: Pejuang dari Surakarta
Hadiningrat, (Bandung: Jeihan Institute, 2004), hal 39.
24
bangunan Keraton Kartasura. Pemberontakan baru dapat dipadamkan setelah
Paku Buwono II dibantu pasukan VOC menyerbu laskar Cina. Paku Buwono
II berhasil merebut kembali Kerajaan Kartasura yang sebelumnya berhasil
diduduki oleh laskar Cina.
Meskipun kembali bertahta, Paku Buwono II merasa Keraton
Kartasura sudah tidak layak untuk menjadi pusat kerajaan, sebab menurut
kepercayaan Jawa, keraton yang sudah rusak telah kehilangan wahyu. Setelah
melalui berbagai macam pertimbangan, maka desa Solo dipilih untuk menjadi
tempat pengganti Keraton Kartasura yang sudah rusak, Paku Buwono II
memberi nama Keraton di Solo dengan nama Keraton Surakarta. Secara resmi
Keraton Surakarta berdiri pada 17 Februari 1745.15
Setelah pindah dari Kartasura ke desa Sala, nama Sala-pun di ubah
menjadi Surakarta Hadiningrat. Paku Buwono II membangun Keraton secara
tergesa-gesa dan perpindahan ke Keraton Surakarta dilakukan ketika Keraton
baru tersebut belum sepenuhnya selesai dibangun. Hanya berselang tiga tahun
setelah menemapati keraton baru tersebut, Paku Buwono II wafat, sehingga
penyelesaian pembangunan Keraton Surakarta ditangani oleh raja-raja
selanjutnya. Hingga masa pemerintahan Paku Buwono X keraton Surakarta
telah berusia hampir 1,5 abad. bangunan keraton mengalami perkembangan
secara terus-menerus, namun pembagian pelataran atau halaman tidak
mengalami perubahan.16
Setelah Paku Buwono II memindahkan Keraton dari Kartasura ke
15
Sri Winarti, Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, (Surakarta: Cendrawasih, 2004), hal
16. 16
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, hal 13.
25
Surakarta, Paku Buwono II harus menyerahkan seluruh daerah pesisir Jawa
kepada VOC. Inilah awal terbentuknya keraton Kasunanan Surakarta, dan
sekaligus menandai awal penetrasi kolonial Belanda ke dalam wilayah inti
Kerajaan Mataram Surakarta. Karena patih yang seharusnya mengurus
wilayah kerajaan mulai saat itu juga bekerja untuk kepentingan VOC. 17
Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta, tetapi peperangan antara
Mataram dengan VOC belum berakhir sampai Sunan Paku Buwono II wafat
dan digantikan oleh Paku Buwono III.
C. Biografi Paku Buwono X
Sri Susuhanan Paku Buwono X adalah putra dari Sinuhun Paku
Buwono IX dari permaisuri Raden Ayu Kustijah atau Kanjeng Ratu Paku
Buwono IX. Paku Buwono X dilahirkan pada hari Kamis Legi tanggal 22
Rajab 1795 Jawi atau 29 November 1866 M jam 7 pagi. Nama kecilnya
adalah Raden Mas Gusti Sayidin Malikul Kusna.18
Beliau dilahirkan sebagai
putra ke 30 dari putra-putra Sunan Paku Buwono IX. Kraton menyambut
kelahirannya dengan perasaan bahagia dan penuh kemegahan, karena selama
pemerintahan Paku Buwono V sampai dengan Paku Buwono VII, permaisuri
raja tidak melahirkan putra laki-laki. Untuk mengumumkan kelahiran agung
ini dibunyikan segala macam bunyian, seperti dibunyikannya meriam di
Panggung Songgobuwono, para abdi dalem niyogo diperintahkan memainkan
17
Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial
“Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta). Surakarta: Lembaga Pengembangan
Teknologi Pedesaan, 1999, hal 20. 18
S. Puspaningrat, Mengenal Sri Susuhanan Paku Buwono X, (Surakarta: Cendrawasih,
1996), hal 12.
26
gamelan kodok ngorek di Siti Hinggil.19
Saat usianya tiga tahun, pada 4
Oktober 1869 beliau dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom (Putra
Mahkota). Setelah dinobatkan sebagai Pangeran Adipati Anom, sang Adipati
diberi gelar Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Hamengkunegoro
Sudibjo Rojo Putro Narendra Mataram Ingkang Kaping V, untuk Kerajaan
Surakarta Hadiningrat.
Beliau adalah cucu dari Sinuhun Paku Buwono VI (yang membantu
Pangeran Dipongoro melawan Belanda). Sunan PB X naik tahta pada 30 maret
1893, Lalu gelarnya setelah naik tahta yaitu: Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuhun Paku Buwono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrahman Sayyidin
Panatagama Ingkang Kaping X. sebutan gelar “Sayyidin Panatagama” bukan
sebutan tempelan biasa saja tetapi terdapat makna, punya tugas serius bagi
seorang raja yang menerima gelar itu. Hal ini berlangsung setelah zaman
kerajaan Demak.20
Dalam mendidik putranya Sunan Paku Buwono IX sangat keras
kepada sang putra digembleng dalam segala ilmu seperti, ilmu kebatinan, ilmu
menuntun ajaran-ajaran Jawa peninggalan leluhur, agar kelak putranya
diharapkan tumbuh menjadi manusia yang berbudi luhur, berwatak adil dan
bijaksana, hal penting yang merupakan syarat menjadi seorang Raja.
Pendidikan ilmu barat juga diberikan, dengan mendatangkan guru-guru di
19
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya
untuk Nusa Bangsa, (Jakarta: Bangun Bangsa, 2009), hal 3. 20
KRT. Kastoyo Ramelan, Sinuhun Paku Buwono X: Pejuang dari Surakarta
Hadiningrat, hal 1-3.
27
Keraton, karena semua pendidikan diberikan didalam keraton.21
Pendidikan
yang diikuti Pangeran Adipati Anom diberikan secara Jawa, meliputi berbagai
bidang, antara lain: 1) pengetahuan mengenai kesusutraan, 2) kesenian, 3)
keterampilan menggunakan senjata seperti keris, pedang, dan tombak secara
timur, pencak silat dan bermain pedang secar Barat, 4) olahraga seperti
berenang dan menunggang kuda, 5) pendidikan dari buku-buku lama dan
ajaran dari ayahnya yang terkumpul dalam serat-serat piwulang Jawa, 6)
pengetahuan psikologi, 7) pelajaran bahasa Arab, Melayu, Belanda. 22
Setiap putra-putri raja Mataram, diharuskan menjalani bimbingan dan
pendidikan yang keras sejak belia, baik dari orang tua maupun para guru
terpilih yang didatangkan ke keraton. tradisi seperti itu telah terbentuk sejak
dahulu, karena para putra raja adalah benteng penjaga kedaulatan kerajaan.23
Demikian pula dengan Pangeran Adipati Anom. Pendidikan untuk putra
mahkota itu dikerahkan kepadanya agar kelak ia dapat memanggku jabatannya
sebagai raja utama.
Sunan Paku Buwono X menyadari bahwa syarat untuk menjadi
seorang Raja dituntut untuk menguasai segala ilmu, yang nantinya perlu untuk
bekal dalam mengatur kerajaan yang dipimpinnya, baik itu ilmu kebatinan dan
ajaran-ajaran Jawa lainnya sebagai warisan dari leluhur. Segala ilmu-ilmu itu
diajarkan didalam Keraton. Dan para guru baik guru yang mengajarkan ilmu
21
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono
X 1893-1939, hal 24-27. 22
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya
untuk Nusa Bangsa, hal 5. 23
Darsiti Soeratman, Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini, (Yogyakarta:
Pidato pengukuhan Guru Besar UGM, hal 7.
28
Barat maupun ilmu ketimuran datang ke Keraton. Orang-orang yang dianggap
sebagai guru yang menuntun hidupnya pertama-tama adalah ayahandanya
sendiri Sinuhun Paku Buwono IX. Jika ayahandanya Paku Buwono IX,
digambarkan sebagai Prabu Balodewo, sakti mendroguno, teteg, teguh
pribadinya, maka Paku Buwono X digambarkan sebagai Prabu Yudhistira,
asih paramarta lahir batin, wicaksono narendrotomo sang Jayen Katon.
Karena itu setelah Adipati Anom (Paku Buwono X) naik tahta menadi Raja,
beliau menjadi raja yang arif, adil dan bijaksana, seorang Raja yang wicaksono
dan waskito. 24
Ayahanda Sunan Paku Buwono X yaitu Sunan Paku Buwono IX wafat
pada hari Jum’at Legi 28 Ruwah Je 1822 atau 16 Maret 1893 M. Setelah
wafatnya Sunan Paku Buwono IX, maka pada hari Kamis Wage tanggal 30
Maret 1893 beliau menggantikan tahta kerajaan, dengan gelar Sinuwum
Kanjeng Susuhanan Paku Buwono X Senapati Ingalaga Abdul Rahman
Sayidin Panatagama. Pada tahun 1924, Sunan Paku Buwono X naik pangkat
sebagai Mayor Jenderal oleh pemerintah Hindia-Belanda. Pemberian pangkat
militer diberiakan oleh Belanda kepada raja-raja Jawa telah diberikan sejak
masa pemerintahan Paku Buwono VII, raja pertama kerajaan Surakarta yang
memerintah tanpa daerah mancanegara.25
Paku Buwono X merupakan seorang yang elusif (sukar difahami),
membingungkan, dan dianggap enteng oleh serangkaian residen dan gubernur
24
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono
X 1893-1939, hal 35-42. 25
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya
untuk Nusa Bangsa, hal 7.
29
yang ditempatkan di Surakarta selama masa pemerintahannya. Dan beberapa
di antara pejabat itu memberikan penilaian tentang sunan. Pihak residen dan
gubernur mengeluhkan bahwa Susuhanan tidak memahami barang secuil pun
tentang urusan-urusan penting di kerajaannya. Dari pihak Belanda
memberikan laporan mengenai Susuhanan menggambarkannya sebagai
seorang pesolek, lemah dan agak bodoh, tetapi ia setia kepada keluarga
Belanda dan pemerintah Hindia-Belanda. dan hal ini dibuktikan dengan Sunan
memamerkan tanda-tanda kehormatannya secara berlebihan dan senang
mengenakan pakaian resmi. Salah satu kekurangannya adalah bahwa ia tidak
mengenal nilai mata uang. Susuhanan tidak mempunyai pengetahuan sedikit
pun tentang keuangannya, oleh karenanya wazir dan saudaranya, yaitu
pegawai menyimpan sejumlah uang jauh dari hadapannya untuk menjaga
jangan sampai ia menghambur-hamburkannya.26
Kebesaran seorang raja juga tampak dari banyaknya jumlah selir dan
juga anak. Residen Van Der Wijk mengatakan bahwa Sunan mempunyai isteri
resmi empat dan selir yang tidak terbatas jumlahnya. Kalau salah satu selir itu
mengandung, salah seorang isteri akan diceraikan untuk memberi tempat
kepada selir itu. Sesudah selir itu melahirkan, selir itu akan diceraikan lagi.
Pada tahun 1910 Javaanshe Almanak menulis bahwa raja mempunyai dua
belas putra dan tiga belas putri. Pada akhir hayatnya, PB X mempunyai 63
putra-putri, yaitu 24 pria, 28 wanita, dan 11 orang meninggal diusia muda.27
26
George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942, hal 43-46. 27
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2006), hal 34-35.
30
Pada dasarnya Sunan Paku Buwono X memiliki sifat-sifat yang patut
ditiru seperti salah satu sifat yang paling menonjol yaitu sifatnya yang
dermawan, ia selalu mau membantu atau menyenangkan hati orang, Ia juga
sopan dan juga suka melayani.28
Beliau memiliki kepribadian yang kuat dalam
arti bahwa beliau memiliki disiplin diri yang kuat, ia juga memiliki
kemampuan menganalisa yang tajam hingga dapat menyadari apa yang paling
penting untuk masa depan, beliau memiliki perasaan yang halus dan tidak
suka menyakiti orang lain, hingga memberi kesan yang keliru bahwa seolah-
olah beliau tidak memiliki keberanian, beliau juga orang yang terbuka dengan
hal-hal baru yang apabila itu bermanfaat bagi rakyat dan negaranya, dan
Sunan juga memiliki rasa keadilan yang tinggi.29
Sunan Paku Buwono X hidup sampai pada usia tujuh puluh dua tahun,
meski orang Belanda pada tahun 1899 sudah mulai risau dengan kesehatannya
dan beranggapan tidak akan hidup lama karena menerita batu aginjal, suka
minum-minum dan tidak bisa menegendalikan dirinya sendiri.30
Namun lama
Sunan dapat bertahan dalam dunia yang seperti itu, wibawanya sebagai
seorang raja semakin terlihat dimata beberapa generasi rakyat Surakarta yang
telah menjadi dewasa selama kekuasaannya. Yang seakan-akan semakin
menimbulkan wibawanya itu adalah kebesaran tubuh Kanjeng Sunan. Paku
Buwono X dikenang sebagai raja Surakarta terakhir yang memiliki
kewibawaan yang terlihat sebagai seorang raja. Lamanya bertahta
28
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 44. 29
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan Pakubuwono
X 1893-1939, hal 42. 30
George Larson, Masa Menjelang Revolusi Keraton Dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942, hal 45
31
menyebabkan Paku Buwono X mengalami perubahan besar dalam
perpolitikan Hindia Timur dan dalam kehidupan Surakarta sehari-hari.31
Pada Senin 20 Februari 1939 pukul 07.30 pagi, suasana duka
menyelimuti seluruh kawulo kerajaan. Pada hari itu, Susuhanan Paku Buwono
X menghembuskan nafas terakhirnya pada usia 72 tahun, dan mengakhiri
masa tahtanya selama 48 tahun di Keraton Surakarta Hadiningrat.32
Ia disebut
oleh rakyatnya sebagai sunan penutup atau raja besar Surakarta yang terakhir.
Pemerintahannya lalu digantikan oleh putranya yang bergelar Paku Buwono
XI.
D. Keraton Surakarta Pada Masa Paku Buwono X
Pengertian Keraton adalah bahwa keraton adalah pusat kebudayaan
Jawa yang patut dipelihara sehingga apabila keraton melakukan upacara
tradisi Jawa, masyarakat umum tertarik untuk melihat karena ingin tahu
bagaimana kebudayaan Jawa itu sesungguhnya. Secara internal, eksistensi
Keraton dalam pandangan spiritual masih tetap terjaga dan organisasi
tradisinya masih hidup dan berjalan. Selanjutnya, dijelaskan pula, bahwa
Keraton memang merupakan “a living heritage”, tonggak sejarah dan budaya.
Dengan demikinlah hal utama yang perlu dilakukan adalah pemeliharaan,
pelestarian dan pengembangan warisan yang sudah dikembangkan sejak
ratusan tahun lalu itulah yang sangat penting, demi menjamin kelanjutan
31
John Pemberton, “Jawa” On The Subject Of Java, terjemahan Hartono Hadikusumo,
(Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003), hal 155. 32
Lihat: https://plezierku.wordpress.com/2014/05/10/sosok-paku-buwono-x-raja-
surakarta-yang-penuh-kharisma/ diakses pada 08 juni 2015 jam 15.00.
32
eksistensi Keraton Solo untuk masa depan.33
Keraton Surakarta merupakan lambang pelestarian kebudayaan Jawa,
sebagai pusat pelestarian adat-istiadat yang diwariskan secara turun temurun
dan masih berlangsung hingga kini, dan komunitas yang mempunyai
kebudayaan sendiri. Dan Keraton Kasunanan Surakarta merupakan tempat
yang subur bagi pertumbuhan organisai-organisasi sosial politik. Keadaan ini
dikarenakan Keraton Kasunanan Surakarta sebagai tempat administrasi
pemerintahan, maka bagi pengamat politik dan tokoh politik, Surakarta
merupakan kota yang strategis untuk dijadikan tempat bagi tumbuh
kembangnya organisasi-organisaisi sosial politik.
Kasunanan merupakan kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang
bergelar Sunan. Kerajaan Surakarta Hadiningrat dipimpin oleh seorang raja
yang bergelar Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhanan Paku
Buwana Senapati Ingalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama
Khalifatullah,34
Dengan gelar itu menempatkan raja pada kedudukan yang
tinggi. Dalam struktur birokrasi tradisional raja mempunyai kekuasaan sentral
dalam wilayah kerajaan. Kedudukan dan kekuasaan raja diperoleh berdasarkan
warisan atas tradisi pengangkatan raja baru berdasarkan keturunan. untuk
menjadi sorang raja ia harus berasal dari keluarga yang agung. Trahing
kusuma rembesing madu wijining atapa, tedaking andana warih. Artinya,
33
Anom Muhammad Hadisiswaya, Pergolakan Raja Mataram, (Interprebook, 2001), hal
28. 34
C. Lekkerkerker, Land en Volk Van Java (Groningen: 1983), hal 339
33
turunan bunga, titisan madu, benih pertapa, turunan mulia.35
Sunan Paku Buwono X, raja Keraton Surakarta yang memerintah pada
tahun 1893 sampai 1939 mempunyai gelar keagamaan sebagai Sayyidin
Panatagama Khalifatullah yaitu raja merupakan kepala, pemimpin, pengatur
agama dan kepala pengatur pemerintah atau negara. Pakubuwono X
mempunyai tempat yang sangat istimewa karena masa pengabdiannya yang
cukup lama yakni 46 tahun. Beliau adalah pribadi yang penuh dengan nilai
keteladanan, kebijakan dan keagungan. Sebagai panutan dalam segala hal
yang berkaitan dengan syariat agama Islam, maka Raja patut ditiru dan
diteladani bagi seluruh rakyat.
Sekalipun ia menjadi raja, berkuasa di keraton dan di wilayahnya.
Akan tetapi beliau tidak merdeka sepenuhnya. Surat-surat dari dan ke luar
harus lewat residen, meskipun itu hanya urusan keluarga. Raja memang
dipandang tinggi oleh rakyatnya, meskupun begitu sebenarnya ia tidak pernah
menjadi orang yang bebas. Ia terikat dengan semacam bentuk aturan, sehingga
untuk keluar dari keratonnya saja ia perlu izin dari residen. Ia adalah tawanan
di keratonnya sendiri. Tidak aneh kalau kemudian ia lebih banyak
mengembangkan politik simbolis daripada politik substantif. Dengan kata
lain, karena ia tidak bebas dalam mengurus kerajaan, kemudian sangat pandai
mengurus dirinya sendiri. Sehingga dalam urusan kerajaan, pikiran beliau
sangat sederhana. Seperti pertanyaannya kepada Patih Sasradiningrat, beliau
menanyakan: “sekarang musim apa?” “para petani sedang apa?” serta “
35
Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau.
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985), hal 62.
34
bagaimana air sungai?”.36
Keraton Surakarta pada waktu diperintah oleh Sunan Paku Buwono X
merupakan pusat kebudayaan Jawa yang telah memberi kontribusi besar
terhadap perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Oleh sebab itu raja sangat
berkuasa dalam sumber hukum, pengatur kehidupan bermasyarakat dan
bernegara, bahkan raja di anggap sebagai “wakil Tuhan” dimuka bumi.
Berbagai pergumulan politik, ideologi, sosial, budaya dan keagamaan sangat
dipengaruhi oleh kebijakan raja yang berkuasa pada masanya.37
Kota
Surakarta seakan-akan menjadi tempat yang sangat berpengaruh dan menjadi
pusat kebudayaan bagi masyarakat Jawa, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta
dan Istana Mangkunegaran. Sedangkan di Yogyakarta terdapat Keraton
Kasultanan dan Istana Pakualaman. Pengaruh kekuatan dari kedua kota
tersebut dalam pergerakan nasional sangat terlihat, bahkan menjadi pusat
pergerakan.
Bangkitnya gerakan-gerakan nasionalis Indonesia dan partai-partai
politik yang menentang pemerintah kolonial Belanda dan raja-raja Jawa yang
didukung oleh pemerintah ini, kemajuan-kemajuan alat transportasi,
komunikasi dan perekonomian yang dengan cepat memberi kesadaran
Surakarta atas adanya suatu dunia internasional yang tentunya bukan berpusat
di Surakarta, apalagi yang diwakili oleh sumbu semesta yang tinggal dalam
keraton.
36
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal 20-21. 37
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya
untuk Nusa Bangsa, hal 1-2.
35
Semasa Sunan Paku Buwono X bertahta, keadaan Praja Surakarta
Hadiningrat sudah memasuku zaman baru. Keraton sendiri juga sudah
mengalami perubahan pembangunan dan penambahan beberapa kali, sehingga
membuat Keraton terlihat semakin indah lagi secara fisik. Struktur
pemerintahan pada masa Sunan Paku Buwono X masih sama seperti pada
masa raja-raja sebelumnya, dimana raja yang memiliki jabatan dan kedudukan
yang tertinggi. Untuk menjalankan roda pemerintahan Sunan dibantu oleh
para sentana dan abdi dalem, mereka berkedudukan sebagai wakil raja. Tugas
dari sentana dan abdi dalem sebagai wakil raja ialah menjalankan tugas dan
tanggung jawab yang diperintahkan oleh Sunan. Jalannya roda pemerintahan
di Keraton Kasunanan tetap raja yang mempunyai wewenang. Dibawah raja
terdapat Dewan Menteri (Kabinet), adanya dewan tersebut befungsi sebagai
pembantu raja. Adapun tugas yang biasa dilakukannya adalah mengurus surat
dari raja dan untuk raja.38
Sunan Paku Buwono X membawa masyarakat Jawa memasuki zaman
baru. Masuknya zaman modernisasi yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa
dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya di sebagian
tanah Jawa dengan melakukan modernisasi, dengan Surakarta sebagai
ibukotanya. Dukungannya Sunan terhadap gerakan kaum republik dapat
membuahkan hasil. Putra-putri dan para bangsawan keraton disekolahkannya
ke berbagai tempat di luar negeri, telah menjadi kader-kader perjuangan yang
tangguh. Banyak sekali bukti yang bisa dilihat, dibaca dan didengar langsung
38
Dwi Ratna Nurhajarini, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, hal 156-157.
36
dari para kerabat dan keturunannya, apa saja jasa dan perjuangannya yang
telah dilakukannya selama beliau menjadi Raja.39
Reformasi melahirkan ide baru, dengan pelaksanaan yang rapi,
dilakukan oleh para pegawai pembesar di keraton. Berbeda dengan raja
sebelumnya, Sinuhun PB X memasukkan unsur-unsur budaya Barat,
khususnya dalam bidang seni dan media massa. Hingga lahir surat kabar dan
majalah di Surakarta. Bahkan, Sunan atau keraton berlangganan surat kabar
dan majalah yang berbahasa Jawa, Melayu dan Belanda. Berdasarkan
informasi dari majalah dan surat kabar itulah, beliau mengetahui apa yang
terjadi di luar keraton maupun mancanegara. Abdi dalem keraton secara
bergiliran membacakan isi surat kabar dan majalah itu kepada Sunan.
Sunan Paku Buwono X seorang raja yang banyak membawa
perubahan yang bersifat progresif, banyak menciptakan kemajuan di
lingkungan keraton Surakarta. Sunan PB X adalah penguasa Jawa yang mudah
menerima masuknya pengaruh budaya asing sebagai salah satu unsur
modernisasi di lingkungan keraton. Sunan juga banyak meminjam unsur-unsur
Barat yang bersifat lahiriah yang disesuaikan menurut seleranya. Seperti menu
makanan, pakaian, arsitektur rumah yang mirip loji di puncak Argapura yang
mendapat pengaruh dari Belanda, tetapi atapnya tetap bergaya bangunan Jawa.
Selain itu juga terdapat patung-patung Eropa yang diletakkan sebagi hiasan di
sekeliling pandapa Sasana Sewaka dan Sasana Handrawia. Administrasi
pemerintahan juga diatur mengikuti contoh Barat dan dipusatka di Kepatihan.
39
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya
untuk Nusa Bangsa, hal 16.
37
Akan tetapi Sunan sebagai penguasa juga melindungi kebudayaan Jawa dan
mempertahankannya.40
Meskipun pengaruh Barat telah masuk kedalam
kehidupan keraton, namun hal ini tidak mengubah sistem hierarki tradisional
yang sudah ada sejak zaman Kerajaan Mataram yang masih berlaku untuk
generasi penerusnya dan mencoba untuk tetap dipertahankan yaitu Keraton
Surakarta.
Orang yang menganggap keraton adalah tempat untuk makan enak dan
tempat bersenang-senang saja itu adalah salah. Keraton oleh Paku Buwono X
dijadikan untuk mendidik dan menggembleng para putera, sentana, dan
kerabat keraton. Seluruh penghuni diwajibkan untuk menuntut ilmu. Sri
Susuhanan Paku Buwono X dalam kehidupan sehari-hari tidak pernah
mengeluh, tingkah lakunya yang tidak pernah berubah, sangat disiplin dan
mempunyai rasa tanggung jawab yang besar, terhadap putra-putrinya beliau
selalu bersikap keras akan tetapi penuh akan rasa kasih sayang.41
Menjelang pergantian abad ke-20 di Belanda terjadi perubahan politik
terhadap Indonesia yaitu menjadi Politik Etis yang digagas oleh Van Deventer.
Pemikiran ini berdasarkan bahwa Belanda mempunyai hutang budi kepada
Indonesia yang harus dibayar Belanda kepada jajahannya sebagai pengganti
harta kekayaan yang pernah diambilnya. Politik Etis pada intinya adalah
memperluas dan memperbaiki program-program yang sudah ada, seperti:
perluasan pendidikan model Barat, irigasi, peningkatan pelayanan kesehatan,
40
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan Pengabdiannya
untuk Nusa Bangsa , hal 180. 41
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan
Pakubuwono X 1893-1939, hal 97.
38
dan meningkatkan pertumbuhan industrialisasi. Banyak usaha yang dijalankan
pada bidang pendidikan, dan hasilnya sering kali membuat bangga para
pejabat Belanda. Semua pendukung politik etis menyetujui ditingkatkannya
pendidikan bagi rakyat Indonesia.42
Politik Etis atau politik balas budi merupakan sebuah haluan politik
yang dijalankan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1900-1942.
Politik ini didasarkan pada pertimbangan bahwa negeri Belanda telah banyak
berhutang budi kepada rakyat Indonesia selama berabad-abad. Hal ini
dikarenkan sejak zaman VOC hingga masa Kolonial Liberal sebagian besar
kekayaan yang dipunyai bangsa Indonesia dikeruk dan dibawa ke Belanda.
Walaupun tujuan politik etis sangat mulia, tetapi dalam pelaksanaannya tidak
demikian. Dengan segala kelemahan politik etis telah mendorong perubahan
sosial di kalangan penduduk pribumi. Hal itu dikarenakan banyak penduduk
bumi putera yang mengenyam pendidikan Barat, sebagai suatu cara untuk
mengubah pemikiran yang tradisional. Walaupun dari sudut pandang Kolonial
kebijakan pendidikan Barat diarahkan untuk kepentingan Pemerintah
Kolonial, tetapi dari sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia
pendidikan Barat melahirkan Elit Baru yaitu dengan munculnya nasionalisme
yang terwujud dalam Pergerakan Nasional Indonesia untuk kemerdekaan
Indonesia.43
Munculnya nasionalisme yang terwujud dalam pergerakan Nasional
Indonesia kearah kemerdekaan Indonesia menyebar luas keseluruh bagian
42
M.C Riklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gama Press, 1991), hal 236. 43
Cahya Budi Utomo, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia, (IKIP Semarang
Press, 1995), hal 40-43.
39
wilayah Indonesia. Begitu juga di Surakarta yang merupakan titik penting
sebagai salah satu pelopor gerakan nasional yang diwadahi dan mendapat
perhatian penting dari Sri Susuhanan Paku Buwono X sebagai raja di keraton
Kasunanan Surakarta.
Politik Etis yang dijalankan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda
mengakibatkan pembukaan sekolah-sekolah dengan sistem Barat diwilayah
Hindia Belanda. Pembukaan sekolah-sekolah ala Barat itu diperluas sampai
untuk kalangan masyarakat. Munculnya politik asosiasi yang dijalankan oleh
pemerintah Hindia Belanda menimbulkan kebudayaan dan pengetahuan Barat
diperkenakan lebih luas disekolah-sekolah. Politik asosisasi merupakan
kebijakan yang menghendaki rakyat Bumi Putera dibina agar terpengaruh
terhadap kebudayaan Barat.44
Diwilayah kerajaan sendiri perkembangan pendidikan mengalami
kemajuan, karena Sunan sebagai penguasa kerajaan sangat perduli terhadap
pendidikan dan mengerti akan pentingnya sebuah pendidikan, hal tersebut
dikarenakan beliau berkuasa pada zaman dimana pendidikan merupakan hal
penting yang dimiliki oleh semua orang. Maka dari itu Sunan Paku Buwono
X menyekolahkan putra-putrinya ke sekolah-sekolah Belanda. Di lingkungan
Kasunanan sendiri Sunan Paku Buwono X memelopori dunia pendidikan
menjadi tiga kelompok,45
yaitu: 1) Pendidkan dan Pengajaran Model Barat, 2)
Pendidikan dan Pengajaran Bedasarkan Islam, 3) pendidikan dan Pengajaran
Menurut pola Tradisional.
44
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud, 1984), hal 7. 45
Radjiman , Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat, (Surakarta:
Krida Surakarta. 1984), hal 224.
40
Keraton Kasunanan sebagai pusat pemerintahan bagi keraton, berawal
dari dalam keraton rakyat dapat mengikuti peraturan dan kegiatan keagamaan.
Penghulu Keraton mengajarkan kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan
oleh orang Islam, seperti: sholat, puasa, serta menjalankan rukun Islam,
kewajiban untuk mengIslamkan anak laki-laki dan mendidiknya dengan
pendidikan agama. Kondisi keagamaan pada masa Paku Buwono X dapat
berkembang dan maju. Dengan Al-Qur’an dan Hadist sebagai pijakan, para
ulama menyusun syari’at yang merupakan hukum Islam. Suatu perpaduan
perundang-undangan yang rumit meliputi hampir setiap bidang kehidupan
sosial, tetapi dengan titik dan khususnya pada urusan-urusan agama.46
Paku Buwono X sebagai kepala pengatur agama menaruh perhatian
besar terhadap perkembangan dan penyebaran agama Islam. Hal ini terbukti
pada waktu itu telah diadakan penyuluhan tentang agama Islam, Sekaten47
,
Grebeg Siyam, dan Grebek Maulud 48
merupakan bukti bahwa keraton
46
Cliffort Geertz, Santri Dan Abangan Di Jawa, (Jakarta: Pustaka Raya, 1983), hal 166 47
Sekaten berasal dari kata “Syahadatain” yang artinya dua kata persaksianuntuk
meyakini kebenaran yaitu: Syahadat Tauhid (keyakinan ke-Esaan Tuhan) dan Sholawat Rasul
(Keyakinan bahwa Nabi Muhammad adalah Utusan Allah. Lihat, A. Basid Adnan (ed), Mutiara
Hikmah: Kapita Selekta Tulisan K.H.R Muhammad Adnan, (Surakarta: Yayasan
Mardikintoko,1977), hal 125. Perayaan Sekaten intinya untuk memperingati kelahiran Nabi
Muhammad SAW. Dilaksanakan di serambi Masjid Agung Surakarta setiap malam hari diadakan
pengajian oleh para ulama yang pada dasarnya mengajak agar kita dapat mencontoh suri tauladan
Nabi baik akhlak, tindakan dan tutur bahasanya. Pengajian tersebut diiringi dengan bunyi alunan
gamelan. Upacara Sekaten dilaksanakan setiap tanggal 5-12 Rabiul Awal (mulud). Lihat, A. Basid
Adnan, Mutiara Hikmah: Kapita Selekta Tulisan K.H.R Muhammad Adnan, hal 38 48
Grebeg adalah upacara keagamaan yang ada di Keraton, yang diadakan sebanyak tiga
kali dalam satu tahun, yaitu bertepatan dengan hari lahirnya Nabi Muhammad saw (Grebeg
Maulud), pada saat Hari Raya Idul Fitri (Grebeg Syawal) dan pada saat Hari Raya Idul Adha
(Grebeg Besar). Grebek bisa diartikan sebagai ritual politik yang partisipasi didalamnya memiliki
arti lebih dalam daripada sekedar perayaan. Lihat: Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula:
Surakarta 1900-1915, hal 59.
41
menaruh perhatian besar terhadap agama, khususnya agama Islam.49
Atas
perhatiannya yang besar itulah maka agam Islam menjadi berkembang di
Kasunanan.
Pada masa Paku Buwono X agama Islam mengalami perkembangan,
perkembangan tersebut dibuktikan dengan adanya perubahan arah dakwah dan
khutbah. Misalnya dalam Khotbah Jum’at yang tadinya hanya menggunkan
bahasa Arab kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Jawa juga adanya
penterjemah Al-Qur’an kedalam bahasa Jawa oleh Bagoes Arfah. 50
cara ini
sangat efektif bagi masyarakat karena mudah diterima dan lebih mudah
dipahami dalam mempelajari agama Islam.
Selama Susuhanan Paku Buwono X menjadi seorang raja, keadaan
negara nyaris tanpa kendala, karena begitu bagusnya pemerintahan yang
membuat kesejahteraan. Paku Buwono X tergolong mampu dalam mengurus
negara. Ia banyak memberikan dana untuk kesejahteraan umum dalam hal
pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Semenjak Susuhanan
Paku Buwono X bertahta banyak perubahan dan mampu menciptakan
kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat dan negaranya.
49
Andi Haris Prabawa, Atika Sabardila, “Peran Abdi Dalem Ngulama Keraton
Kasunanan Surakarta”, Surakarta: Lembaga Penelitian UMS, Jurnal Penelitian Humaniora
Vol.2.No 1 Februari 2001, hal 3-4. 50
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi, dan Kawula: Surakarta 1900-1915, hal IX.
42
BAB III
KRISTENISASI DI SURAKARTA
A. Keberagamaan Masyarakat Surakarta
Agama Islam merupakan agama yang di anut oleh sebagian besar
masyarakat Jawa. Diantara mereka masih banyak yang menganut agama dari
nenek moyangnya yang terdahulu, yaitu agama Hindu-Budha, dan sebagian
yang lain menganut agama Kristen. Untuk yang beragama Islam, masyarakat
Jawa terdapat dua golongan, yaitu Islam Santri,1 dan Islam Kejawen (sering di
sebut Agami Jawi).2 Masyarakat Jawa golongan Islam santri banyak berada di
daerah pesisir, seperti Surabaya, Gresik dan lain-lain, sedangkan golongan
Islam Kejawen berada di Yogyakarta, Surakarta, dan Bagelan.3
Menurut Cliffort Geertz, yang dikutip oleh Mark R. Woodwark, Geertz
menyebutkan bahwa masyarakat Jawa dibagi menjadi tiga golongan, yaitu:
santri, yang merupakan kalangan muslim ortodoks, priyayi adalah kalangan
1 Islam Santri Dalam kamus besar bahasa Indonesia, santri berarti: 1. Orang yang
mendalami agama Islam, 2. Orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh; orang Sholeh. Lihat:
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 783. Sedangkan menurut Koentjaraningrat,
sebagaimana yang dikutup oleh Zaini Muchtarom, menyebutkan bahwa istilah santri yang mula-
mula dan biasanya dipakai untuk menyebut murid yang mengikuti pendidikan Islam, merupakan
perubahan bentuk dari kata India shastri yang berarti orang yang mengerti kitab-kitab suci
(Hindu), seorang ahli kitab suci. Adapun kata shasri diturunkan dari kata shastra yang berarti
kitab suci, atau karya keagamaan atau karya ilmiah. Lihat: Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam
Perspektif Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba Ilmiah, 2002), edisi I, hal 12 2 Kejawen lebih tertuju pada kebudayaan dan lambat laun mengalami percampuran
dengan kepercayaan yang dianut oleh orang Jawa itu sendiri dengan kehadiran agama Hindu-
Budha. Hal ini masih berlangsung ketika Islam datang ke Pulau Jawa dimana Walisanga dalam
meyebarluaskan ajaran Islam tidak mengganggu keberadaan budayaan lokal, yaitu budaya Jawa.
Kejawen adalah segala yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan orang Jawa. Lihat: Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 1988), hal 405. Golongan Kejawen ini terdiri dari kaum ningrat, golongan
priyayi, dan kebanyakan terdiri dari kaum tani. 3 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hal 211
43
bangsawan yang dipengaruhi oleh unsur-unsur Hindu dan Jawa, abangan
yaitu masyarakat desa yang percaya kepada animisme.4 Hal ini menyimpulkan
bahwa ada ciri khusus tentang keberagamaan pada masyarakat Jawa,
khususnya pada masyarakat muslimnya.
Dalam catatan para ahli sejarah, ajaran Islam masuk ke pulau Jawa
sekitar abad XI masehi. Ajaran Islam ini dibawa oleh para mubaligh dari Pasai
(Aceh Utara) dan para pedagang dari Gujarat. Selain itu, ada pula yang
diajarkan langsung oleh para pedagang Islam dari Arab, yang sedang
berdagang di berbagai Kerajaan di pesisir Nusantara pada waktu itu.5
Perlu diketahu bahwa dominasi agama Hindu-Budha di tanah Jawa sudah
ada sejak abad ke-6 yang hingga kini masih bisa dirasakan. Berbagai
bangunan bersejarah pun masih kental dengan pengaruh dari kedua agama
tersebut. Di samping itu, ritual keagamaan dan kepercayaan orang Jawa juga
tak luput dari pengaruh Hindu-Budha.
Masyarakat Jawa banyak yang menganut agama Islam Sinkretik. Hingga
sekarang Masyarakat Jawa yang menganut Islam sinkretis masih banyak
ditemukan, terutama di daerah Yogkarta dan Surakarta. Secara formal mereka
tetap mengakui bahwa Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan
ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti Sholat lima waktu, puasa wajib bulan
Ramadhan, zakat dan haji.6 Itu karena mereka belum memahami betul ajaran
4 Mark R. Woodwark, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan, (Yogyakarta:
LKis, 2006), hal 2 5 Uka Tjandrasasmita, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia:
Dari Abad XIII XVIII Masehi, (Kudus: Menara Kudus, 2000), hal 21 6 Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal 313
44
Islam dan kewajiban-kewajiban yang harus dilakukan sebagai seorang
muslim.
Sejak keraton Surakarta masih sebuah kerajaan Mataram Islam, pada
masa Sunan Amangkurat II menduduki tahta kerajaan, ia besengketa dengan
adiknya, yaitu Pangeran Puger untuk memperebutkan kekuasaan. Dan
akhirnya Pangeran Puger dapat merebut kekuasaan setelah Sunan Amangkurat
III menjadi raja. Peristiwa perebutan kekuasaan tersebut terjadi pada tahun
1709, Pangeran Puger kemudian di kenal dengan Paku Buwono I. Pada masa
Paku Buwono I kehidupan keagamaan belum terlihat mengalami kemajuan,
karena pada masa itu di dalam keraton terjadi pergantian kekuasaan serta
kondisi keraton yang belum stabil. Masa Paku Buwono I kepercayaan bersifat
sinkretisme yang sudah ada sejak kerajaan Mataram Islam berpengaruh
terhadap kondisi keIslaman di keraton Kasunanan. Wujud Islamisasi Jawa di
keraton terlihat dari adanya karya-karya berupa sastra dan tradisi-tradisi yang
ada sejak masa kerajaaan Jawa Islam (Demak, Pajang, Mataram Islam), seperti
upacara Grebeg, Tembang Macapat. Oleh karena itu dapat dilihat bahwasanya
karakteristik kebudayaan Jawa-Islam adalah tetap mempertahankan tradisi
agama Hindu-Budha termasuk juga animisme-dinamisme yang diperkaya dan
di sesuaikan dengan ajaran Islam.7
Masyarakat yang berada di sekitar Keraton Surakarta Hadiningrat,
memeluk agama yang beragam. Sebagai kelanjutan dari kerajaan Mataram
7 Kusniatun, Dinamika Keraton Dalam Pengembangan Budaya Islam Dan Kebudayaan
Jawa, Makalah Suplemen Seminar Nasional, “Peran Keraton Dalam Pengembangan Islam,
(Surakarta: UMS, 2007), hal 5
45
Islam, agama Islam menjadi agama resmi yang berlaku di Kasunanan
Surakarta. Meskipun agama Islam sudah menjadi agama resmi kerajaan, tetapi
tradisi nenek moyang masih dijalankan dan dipertahankan. Antara tradisi
leluhur dengan ajaran Islam berjalan beriringan inilah yang disebut dengan
“Islam-Kejawen”. Perpaduan ini muncul karena biasanya rakyat hanya
mengikuti sang Raja yang beragama Islam, karena raja mereka beragama
Islam maka merekapun mengikuti agama yang dipeluk oleh sang raja, akan
tetapi belum sadar untuk menjalankan syari’at-syari’at Islam.
Terjadi proses akulturasi kebudayaan istana yang bercorak Hindu-Jawa
dengan kebudayaan pesantren yang bercorak Islam-Jawa. Unsur-unsur Islam
pesantren ditransfer dan diadopsi untuk memperkaya warisan budaya leluhur
yang selama ini dianut. Oleh karena itu, di Jawa pada umumnya dan di
Surakarta khusunya, muncul dua varian dikalangan umat Islam, yaitu kaum
santri dan kaum Abangan. Kaum santri adalah mereka yang melaksankan
rukun-rukun Islam, sedangkan kaum abangan adalah mereka yang belum
menjalankan syariat Islam meski telah memeluk Islam. Dengan demikian
membuat dinamika dan kekuasaan keagamaan di Kasunanan Surakarta
menekankan pada dua aspek, yaitu budaya dan syariat.8
Agama yang dianut oleh sebagian besar anggota komunitas keraton
adalah agama Islam yang besifat sinkretik yang disebut dengan istilah Agami
Jawi atau Kejawen. Agama Islam sinkretik ini merupakan agama Islam yang
bercampur dengan keyakinan dan konsep-konsep Hindu-Budha yang cendrung
8 http://www.kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/sosial-budaya-agama,
diakses: rabu, 23 September 2015 jam 15.00
46
kearah mistik, serta unsur-unsur yang berasal dari zaman pra-Hindu. Dalam
agama Islam santri atau kaum santri, dianut oleh sebagian penduduk di pantai
utara Pulau Jawa. Walupun mereka ini adalah penganut agama Islam puritan
yang taat menjalankan syariat Islam, tetapi tidak sepenuhnya mereka bebas
dari unsur-unsur animisme dan unsur-unsur Hindu-Budha.9
Agama Islam yang bersifat sinkretik yang berada di Kasunanan Surakarta
telah mewarnai simbol-simbol budaya di keraton, begitupun pada
masyarakatnya yang menampakkan sifat Islam sinkretik. Berbagai
kepercayaan sebelum Islam, seperti kultus pusaka, kultus nenek moyang,
kepercayaan pada makhluk halus, dan upacara-upacara pra Islam lainnya
merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keagamaan
masyarakat keraton. Akhirnya, semua itu menjadi ciri keagamaan masyarakat
keraton yang oleh para peneliti kemudian disebut dengan istilah Agami Jawi.10
Sifat sinkretisme agama yang dianut oleh masyarkat keraton sebenarnya
tidak dapat dilepaskan dari proses Islamisasi di pedalaman Jawa itu sendiri.
Sebab agama Islam yang masuk ke pedalaman masyarakat Jawa tidaklah
dalam bentuk murni yang mementingkan hukum syariah, namun lebih kearah
sufisme atau mistik Islam.11
Di Kasunanan sendiri sejak awal pemerintahan
sudah bercorak Islam. Hal tersebut dilihat karena adanya jabatan Penghulu
dan Abdi Dalem Ulama dalam birokrasi di Kasunanan. Berlakunya peradilan
Islam dengan hukum dan ajaran Islam, penggunaan gelar Sayyidin
9 Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 462 10
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, hal: 310 11
H.J de Graaf dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Peralihan
Majapahit ke Mataram, (Jakarta: Grafitipers, 1985), hal: 256 – 275.
47
Panatagama yang dipakai Sunan, dan berdirinya Masjid Agung dilingkungan
Kasunanan. Keberadaan Islam yang berada didalam keraton Kasunanan selalu
dikaitkan dengan tradisi dan budaya Jawa. Dan upacara-upacara yang
diselengarakan oleh keraton juga bersifat Islami.
Dalam kehidupan keagamaan didalam keraton Kasunanan, Ulama Abdi
Dalem atau Penghulu Keraton tidak hanya bertugas sebagai pemangku urusan
Agama tapi juga sebagai penasehat Agama. Perannya adalah memutuskan
kebijakan yang berkaitan dengan keagamaan, dimana ia berperan memberikan
masukan tentang keagamaan. Berkembangnya agama Islam ini justru berawal
dari dalam keraton sendiri, karena rakyat percaya dan yakin dengan agama
yang dianut, jika raja juga menganut keyakinan yang sama.12
Masa Paku Buwono X upacara-upacara keagamaan yang bersifat mistik
masih terus berlangsung, seperti upacara Mahesalawung, dalam upacara
tersebut mereka memberikan suatu sesaji yang berupa daging dari segala
macam binatang, seperti ikan, buaya, monyet, lutung, harimau, dan
sebagainya. Sesaji itu dipersembahkan untuk bangsa lelembut. Dan masih
banyak upacara-upacara yang berbau mistik lainnya dengan berbagai aturan
pada setiap ritualnya yang rutin dilakukan pada masa itu.13
Paku Buwono X adalah simbol tradisi Islam dan Jawa. Tradisi Islam
tetap di pelihara. Seperti tradisi Islam yang dilakukan setiap bulan Maulud,
Sunan akan memberikan hadiah kepada orang Arab, Benggal, dan para haji
yang berdzikir di masjid yang datang dari berbagai daerah, Dari setiap
12
Subhan S.D, Ulama-ulama Oposan, (Bandung: Pustaka Hidayah, t.th), hal 7 13
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Penerbit
Ombak, 2004), hal 36
48
orangnya mendapatkan dua gulden. Pada hari itu juga orang-orang miskin di
berikan beras. Pada bulan Maulud juga dilaksanakannya perayaan Sekaten.
Karena PB X adalah simbol tradisi Islam Dan Jawa, jadi tidak hanya tradisi
Islam yang menjadi perhatian Sunan, tradisi Jawa-pun di hidupkan olehnya.14
Jadi jika disimpulkan tentang keberagamaan di keraton yaitu meskipun
mereka mengakui dasar agama mereka adalah Islam akan tetapi masih percaya
terhadap hal-hal ghaib dan hal-hal yang berbau mistik lainnya. Di samping
mereka shalat, puasa dan menjalankan syariat Islam, tetapi masih suka
menyimpan berbagai benda-benda pusaka, seperti keris dan lain sebagainya.
Mereka percaya benda-benda pusaka tersebut didalamnya menyimpan
kekuatan.
B. Pemerintah Kolonial dan Misi Kristensasi
Dalam membicarakan awal Kristenisasi di Indonesia, menurut catatan
sejarah mengatakan bahwa agama Kristen datang ke Indonesia dibawa oleh
Portugis dengan armada dagangnya pada abad ke-16 M.15
Sejarah kegiatan
Kristenisasi di Indonesia berawal dari kedatangan bangsa Portugis yang
menemukan rute ke Asia lewat Afrika Selatan menandai era baru kegitan misi
Kristenisasi di kepulauan Indonesia.16
Pada abad yang sama orang-orang
Portugis berhasil mendarat di Maluku, setelah itu melebarkan ekspansinya ke
Goa dan Malaka yang dijadikan sebagai pusat kegiatan misi Kristen. Usaha
misi Kristenisasi yang digencarkan oleh orang-orang Portugis meraih
14
Kuntowijoyo, Raja, Priyayi dan Kawula Surakarta 1900-1915, hal 36. 15
Lukman Fatahullah Rais, Mohammad Natsir Pemandu Umat, (Jakarta: PT Bulan
Bintang 1989), hal 18. 16
Komaruddin Hidayat, (Ed) Passing Over, Melintas Batas Agama, (Jakarta: Gramedia
dan Paramadina, 1998), hal 11.
49
kesukseskan terutama di wilayah Maluku sebagai kepulauan yang kaya akan
rempah-rempah.17
Sebelum membicarakan lebih jauh tentang misi kristenisasi yang
disebarkan oleh kolonial Belanda penulis akan menjelaskan arti dari
Kristenisasi terlebih dahulu, Kristenisasi ialah Pengkristenan (orang-orang)
atau gerakan untuk mengkristenkan umat manusia.18
Kristenisasi dalam
pengertian yang lain adalah upaya meng “Kristen” kan semua manusia, baik
anak keturunan Bani Israil yang sesat, maupun manusia lainnya di bumi ini.
Adapun istilah “Kristenisasi” sama dengan istilah Zending dan Evangelisasi,
Zending merupakan istilah kosakata bahasa Belanda, yang berarti pengutus
Injil (Misi yang dibawakan oleh Krisen Protestan), sedangkan Evangelisasi
yang berarti penginjilan (Misi yang dibawakan oleh Kristen Katolik), hanya
saja memiliki perbedaan dalam segi bahasanya, bahwa Zending dan
Evangelisasi adalah bahasa ramah dan halusnya dalam menyebarkan Misinya.
Akan tetapi kata Kristenisasi lebih bersifat kepada melakukan dengan segala
cara melalui segala pemanfaatan, seperti: kemiskinan, kebodohan masyarakat,
pengangguran, dan lain sebagainya.
Kedatangan Belanda ke Indonesia yaitu pada tahun 1602 melalui
perusahaan dagangnya yang bernama VOC (Vereenigde Oost-Indische
Compagnie)19
dengan tujuan membantu mengurusi masalah pertanian di
17
Syamsud Dhuha, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di Indonesia,
(Surabaya: Usaha Nasional, 1987), cet. Ke 2, hal 56. 18
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), hal. 335 19
VOC adalah perkumpulan perdagangan Belanda yang didirikan pada tahun 1602 dan
dibubarkan tahun 1799. Perkumpulan ini bertujuan mencari laba sebanyak-banyaknya dan
sekaligus menggalang kekuatan untuk melawan Portugis dan Spanyol. Lihat; Aqib Suminto,
Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1985), hal 17.
50
Indonesia.20
Didirikannya VOC juga awal dari misi Kristenisasi masa
Kolonial Belanda. Pada awal kedatangan bangsa Belanda ke Indonesia
mendapat respon yang baik dari masyarakat Indonesia. Karena pada waktu itu
orang-orang Belanda datang dengan sikap yang baik pula, dan tidak
menampakkan tanda-tanda permusuhan dengan masyarakat pribumi.
Masuknya agama Kristen tidak lepas dari kegiatan penjajahan Belanda
yang disebut dengan 3G yaitu: Glory, Gold dan Gospel.21
Maksud dari “3G”
itu adalah, Glory (menang) yaitu suatu motif penjajahan dan meguasai negeri
yang sedang dijajahnya untuk dapat dikuasai, motif yang kedua yaitu ekonomi
atau Gold (emas, kekayaan) motif ini yaitu untuk mengeksploitasi, memeras
dan mengeruk harta kekayaan negeri jajahannya, dan motif ketiga yaitu
Gospel yaitu motif untuk menyebar luaskan agama Kristen kepada anak-anak
negeri jajahannya atau motif untuk mengubah agama yang dipeluk
penduduk.22
Karena dengan cara mengkristenkan penduduk merupakan jalan
untuk mengekalkan penjajahannya, adanya kesamaan keyakinan beragama
antara si penjajah dengan yang terjajah maka semangat untuk memberontak
akan padam dengan sendirinya.
Gerakan kristenisasi di Indonesia sudah dilakukan oleh misionaris kristen
sejak zaman penjajahan Belanda. Oleh karena itu, sejarah kristenisasi tidak
bisa dipisahkan dari misi penjajahan, karena salah satu misi penjajahan
Belanda di Indonesia adalah menyebarkan agama Kristen. VOC sebagai
20
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, (Jakarta: INIS,
1998), hal 29 21
Musthafa Kamal Pasha dan Chusnan Jusuf, Muhammadiyah Sebagai Gerakan Islam,
(Yogyakarta: Persatuan, 1989), hal 20 22
Musthafa Kamal Pasha dan Ahmad Adaby Darban, Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Islam, (Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005), hal 103
51
perkumpulan perdagangan Belanda yang bertujuan mencari keuntungan yang
sebesar-besarnya ini pada tahun 1602 diwajibkan untuk menyebarkan agama
Kristen, VOC tidak memakai cara lain selain meniru Portugis dan Spanyol,
yaitu dengan cara paksa.
Hadirnya pemerintah Belanda pada abad ke-17 tidak memberikan
pengaruh yang besar terhadap tatanan kehidupan masyarakat Indonesia,
karena pada waktu itu pemerintah Belanda belum ikut campur tangan dalam
segala urusan agama Islam. Tidak ikut campurnya Belanda pada waktu itu
karena belum memiliki pengetahuan yang jelas tentang Islam, selain itu juga
mereka belum mengetahui tentang sistem Sosial agama Islam. Namun ketidak
ikut campuran perintah Belanda terhadap urusan Islam tidak berlangsung
lama, karena pada tahun-tahun berikutnya Belanda mulai membuat
kebijaksanaan-kebijaksanaan baru.
Pemerintah Belanda membuat kebijakan terhadap masyarakat Indonesia
yang beragama Islam untuk bebas dalam menjalankan ajaran agamanya.
Kebijakan pemerintah Belanda menyatakan netral terhadap urusan agama, hal
tersebut bisa dilihat dengan tercantumnya undang-undang Belanda untuk
negeri jajahan, yaitu pada RR (Regeering Regliment) no. 78 ayat 117 tahun
1855, yaitu mengakui kemerdekaan beragama dan menyatakan netral dalam
masalah agama, kecuali apabila aktivitas agama tersebut dinilai mengganggu
ketertiban keamanan.23
Maksud dari netral adalah tidak memihak dan tidak ikut campur tangan
terhadap segala sesuatu yang menyangkut urusan agama, atau bisa juga
23
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal 26
52
membantu dalam urusan apa saja secara seimbang tanpa mencampuri urusan
intern agama tersebut. Tetapi pernyataan netral yang telah ditetapkan oleh
kolonial Belanda terhadap urusan agama berbeda antara teori dan praktiknya.
Pada kenyataanya kebijakan pemerintah Belanda terhadap Islam lebih tepat
dikatakan selalu ikut campur tangan daripada netral. Selain selalu ikut campur
tangan dalam urusan agama Islam, pernyataan netral tersebut juga tidak
terealisasikan dalam memperlakukan agama Islam jika dibandingkan dengan
agama Kristen. Dan pada kenyataannya sering terjadi diskriminasi dalam
kebijakan yang berhubungan dengan agama.
Perlakuan Pemerintah Belanda kepada Islam berbeda jika dibandingkan
perlakuan mereka terhadap Kristen, diskriminatif mereka lakukan sangat
terlihat sekali dalam segala bidang. Misalnya dalam memberikan bantuan
yang berupa sumbangan dana yang diberikannya sangat tidak seimbang
kepada kedua agama tersebut. Seperti yang terjadi pada tahun 1917,
sumbangan pemerintah Belanda kepada Islam berjumlah sebesar f. 127.029;,
sedangkan sumbangan yang diberikan kepada pihak Kristen pada tahun yang
sama yaitu berjumlah f. 1.235.500; dapat dilihat bahwa sumbangan yang
dikeluarkan oleh pihak Pemerintah kolonial jumlahnya tidak sama dan jauh
berbeda. Islam tidak menerima bantuan dana dari pemerintah Belanda seperti
agama Kristen. Pemerintah Belanda melakukan diskriminasif tersebut karena
faktor kepentingan politik. Hal itu telah membuktikan bahwa Belanda tidaklah
bersikap netral terhadap agama.24
24
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal 32
53
Campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dalam
membantu Kristen yang demikin mencolok itu menimbulkan kesan bahwa
urusan gereja merupakan tanggung jawab negara. Bantuan-bantuan yang
berupa dana kepada Kristen tersebut belum termasuk dana bantuan bagi
pemelihara gereja, sekolah dan rumah sakit yang juga tidak sedikit
jumlahnya. Karena atas hal itulah timbul suara dari pihak Islam, agar
pemerintah Hindia-Belanda menghentikan semua bantuannya kepada sekolah-
sekolah agama, baik Islam maupun Kristen.25
Pihak Belanda mendukung kegiatan Kristenisasi di indonesia yang
bertujuan untuk menukar agama masyarakat Indonesia yang mayoritas
memeluk Islam, menjadi penganut agam Kristen. Kristenisasi yang dijalankan
oleh Zending didukung oleh pemerintah Belanda dengan memberikan subsidi
berupa dana dalam setiap bentuk pembangunan gereja, rumah sakit, dan
sekolah-sekolah. Pembangunan-pembangunan tersebut untuk menarik
perhatian umat Islam agar terpengaruh untuk pindah ke agama Kristen. Usaha-
usaha kristenisasi itu bukan saja mendapat dukungan orang-orang Belanda
yang ada di Indonesia, tetapi juga mendapat dukungann orang-orang Belanda
yang ada di Negaranya.
Sebagai bangsa Kristen, Belanda berkewajiban untuk meningkatkan
kondisi kehidupan orang-orang Kristen pribumi, untuk memberi bantuan lebih
banyak lagi kepada kegiatan-kegiatan misi Kristenisasi di Indonesia. Gubernur
Jenderal Idenburg yang menjabat dari tahun 1906 hingga 1916, terang-
25
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal 37
54
terangan menyatakannya dukungannya terhadap kegiatan misi di Indonesia.
Dan kebijakan netralis terhadap agama yang seperti dikatakan oleh pemerintah
Belanda nyatanya hanyalah ilusi belaka.26
Semenjak Idenburg diangkat
menjadi Gubernur Jendral Hindia-Belanda, dia dianggap melancarkan
kersteningspolitiek, yaitu kebijaksanaan yang menunjang kristenisasi di
Indonesia.
Pada awalnya, dalam menghadapi Islam di Indonesia, pemerintah
Belanda belum mempunyai kebijaksanaan yang jelas mengenai urusan yang
berhubungan dengan Islam. Kebijaksanaan untuk tidak mencampuri urusan
agama Islam tersebut, pada kenyataannya tidak memiliki garis kerja yang
jelas. Dalam masalah haji misalnya, pemerintah kolonial tidak bisa menahan
diri untuk tidak ikut campur tangan, malahan para haji sering dicurigai,
dianggap fanatik dan suka memberontak. Oleh karena itu pada tahun 1825-
1859 dikeluarkan berbagai peraturan tentang masalah haji yang bertujuan
untuk membatasi jumlah yang akan pergi berhaji dan mempersulit ibadah haji
ke Makkah.27
Ikut campurnya Belanda dalam urusan intern masyarakat Indonesia
menimbulkan perlawanan dari masyarkat pribumi, terlebih dilakukan oleh
masyarakat Islamnya. Masyarakat Indonesia menolak masuknya pengaruh
Belanda ke Indonesia, karena itu akan mengubah tatanan kehidupan
masyarakat Indonesia yang dijalankan berdasarkan aturan Islam. Perlawanan
26
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi
Misi Kristenisasi di Indonesia, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998), hal 44 27
Alwi Shihab, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap penetrasi
Misi Kristenisasi di Indonesia, hal 10
55
yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia kepada Belanda dilakukan dari
berbagai macam golongan masyarakat, baik dari golongan masyarakat
bangsawan dan birokrat pemerintahan, para ulama, masyarakat petani, dan
lain-lain. yang mana semua golongan masyarakat itu mempunyai tujuan yang
sama yaitu membela dan mempertahankan sistem pemerintahan Islam dan
menolak masuknya pengaruh Barat.
Pada tahun 1859, Gubernur Jendral dibenarkan untuk mencampuri urusan
agama Islam, bahkan harus mengawasi setiap gerak-gerik ulama, karena
dianggap perlu untuk kepentingan ketertiban dan keamanan.28
Dalam
menghadapi Islam Belanda merasa takut karena pada kenyataanya Islam
seringkali melakukan perlawanan terhadap Belanda yang dapat menimbulkan
bahaya terhadap kekuasaan pemerintah Belanda di Indonesia. Islam dilihat
memiliki fungsi sebagai titik pusat identitas yang melambangkan perlawanan
terhadap pemerintah asing dan beragama Kristen, yang ingin menguasai
Indonesia. Pemerintah Kristen tersebut adalah orang kafir yang harus dilawan,
karena berusaha untuk mengambil alih wilayah kekuasaan yang mayoritas
penduduknya beragama Islam.
Pemerintah Hindia-Belanda menjalankan sebuah politik, politik yang
dijalankan oleh pemerintah Hindia-Belanda terhadap masyarakat Indonesia
yang mayoritas beragama Islam sebenarnya didasarkan atas rasa ketakutan,
rasa panggilan agamanya yaitu Kristen dan rasa kolonialismenya sehingga
28
Keputusan Raja tanggal 4 Februari 1859 no. 78, yang berbunyi: “Gubernur Jendral
memegang prinsip bahwa pemerintah tidak boleh ikut campur dalam urusan agama, boleh ikut
campur bila dipandang perlu untuk memelihara ketenangan dan ketertiban umum”. Baca Aqib
Suminto, Ibid
56
mereka menetapkan ketentuan dan peraturan menyangkut pendidikan agama
Islam. Karena hadirnya lembaga pendidikan Islam telah memberikan andil
yang sangat besar bagi pengembangan ajaran Islam sehingga. Peraturan yang
telah dibuat oleh kolonial menyangkut pendidikan Islam adalah sebagai
berikut:
1. Pada tahun 1882 pemerintah Hindia-Belanda membentuk suatu badan
khusus yang bertugas untuk mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan Islam yang mereka sebut Priesterraden. Dari penasihat badan
inilah pemerintah Hindia-Belanda mengeluarkan peraturan baru yang
berisi bahwa orang-orang yang memberi pengajaran atau pengajian agama
Islam harus meminta izin terlebih dahulu kepada pemerintah Belanda.
2. Tahun 1885 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan
Islam, yasitu bahwa tidak semua orang (kyai) boleh mengadakan pelajaran
mengaji kecuali telah mendapatkan semacam rekomendasi atau
persetujuan dari pemerintah Belanda.
3. Dan pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa kewenangan
untuk memberantas dan menutup madrasah atau sekolah yang tidak ada
izinnya atau memberikan pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah
Belanda yang disebut Ordonasi Sekolah Liar (Wilde School Ordinatie).29
Pada tahun 1882 Lembaga Peradilan Agama diresmikan oleh pemerintah,
sehingga dengan demikian politik tidak mencampuri masalah agama. Sejak
saat itulah pemerintah Belanda semakin mencampuri agama Islam, terutama
29
Abudin Nata, ed, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), Hal 74-75.
57
pada bidang pendidikan.30
Oleh karena itu Belanda banyak mendirikan
lembaga-lembaga pendidikan dengan pengajaran Barat. Dalam pendidikan
Barat tersebut murid-murid didik agar bersifat netral terhadap urusan agama,
bahkan sampai membuat murid-murid menjadi tidak peduli terhadap agama.
Hal itu dikarenakan sistem pendidikannya yang sekuler, tidak memasukkan
pendidikan agama Islam didalam kurikulum. Pendidikan Barat diformulasikan
sebagai faktor yang akan menghancurkan kekuatan Islam di Indonesia.
Dari segala permasalahan diatas jelas terlihat bahwa bagaimanapun
caranya Islam harus dihadapi, karena sebagian besar pribumi beragama Islam,
maka persaingan menghadapi Islam juga akan menyangkut sebagian besar
penduduk Indonesia. Itulah sebabnya maka demi mengekalkan penjajahannya
di Indonesia, Belanda menyadari bahwa yang harus dilakukan adalah
penguasaan terhadap masalah Islam karena itu merupakan kunci pemecahan.
Dalam hal ini diakui bahwa kristenisasi merupakan faktor penting dalam
proses penjajahan.
C. Zending dan Kristenisasi di Surakarta
Kegiatan Zending mempunyai dua tugas utama di Indonesia, yaitu
dibidang pendidikan dan bidang kesehatan. Dalam kedua bidang tersebut pada
awalnya dimulai dengan adanya semacam utusan dari negeri Belanda yang
disebut dengan Zendeling leerar (utusan pekabaran Injil) lalu berikutnya
Zendeling onderwijs (utusan pengajaran) dan pada tahap selanjutnya oleh
Zendeling Diacoon (utusan mantri perawat) serta Zendeling Arts (utusann
30
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal 29
58
dokter).31
Pemerintah Belanda memberikan layanan yang menjanjikan bagi rakyat
miskin pribumi, yaitu ketika mereka memperkenalkan “Politik Etis” atau
Poitik Balas Budi, mereka bekerja dalam bidang pendidikan dan layanan
kesehatan. Dalam bidang pendidikan masyarakat diperkenalkan dengan
pendidikan Barat yang lebih modern, dalam bidang kesehatan mereka
memberikan layanan kesehatan yang lebih terjangkau biayanya bagi
masyarakat miskin. Dua hal tersebut yaitu pendidikan dan kesehatan yang
menjadi fokus utama pemerintah Belanda dan Zending untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat pribumi.
Sejak awal, penyebaran agam Kristen ke Indonesia yaitu melalui
lembaga pendidikan dengan mendirikan sekolah-sekolah yang didukung oleh
pemerintah Belanda. Sistem pendidikan pemerintah Belanda dimulai sekitar
pertengahan abad ke 19. Beberapa anak-anak Indonesia yang kalangan
menengah ke atas mendapat kesempatan untuk belajar di sekolah-sekolah
Eropa yang sudah berdiri sejak tahun 1816. Pemerintah Belanda juga
membuka sekolah guru untuk ditempatkan di sekolah-sekolah jawa dan
sekolah STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, sekolah untuk
pelatihan dokter-dokter pribumi) untuk melayani kesehatan masyarakat
pribumi. Pada tahun 1879 pemerintah kolonial membuka Hofdenschoolen
(sekolah para kepala) untuk mendidik anak-anak Bupati dalam bidang
administrasi. Pendirian lembaga pendidikan terus berlanjut sampai dengan
31
Bahaudin, “Kebijakan Subsidi Kesehatan Kolonial di Jawa Pada Awal Abad ke-20”
dalam Lembar Sejarah Vol. 8. no 2, hal 151
59
pembukaan lembaga pendidikan dasar atau yang disebut dengan sekolah kelas
satu dan sekolah kelas dua.32
Dalam mendirikan sekolah-sekolah pemerintah Belanda bekerjasama
dengan para missionaris dengan tujuan untuk “membelandakan” anak-anak
pribumi dengan harapan agar anak-anak pribumi masuk kepada agama
Kristen. Oleh karena itu meraka memberikan pelayanan pendidikan dan sosial,
kolonial Belanda juga merekrut orang-orang Indonesia untuk memperoleh
pendidikan Barat. Politik etis yang dianut dan dijalankan oleh pemerintah
kolonial Hindia Belanda mengakibatkan pembukaan sekolah-sekolah menurut
sistem barat di wilayah Hindia Belanda. Pembukaan sekolah-sekolah ala Barat
sampai diperluas untuk segenap kalangan masyarakat. Munculnya politik
asosiasi yang dilaksanakan pemerintah Hindia-Belanda, memperkenalkan
pengetahuan dan kebudayaan barat di sekolah-sekolah secara luas. Politik
asosiasi ini merupakan kebijakan yang menghendaki rakyat Bumi Putera
dibina agar terpengaruh dengan kebudayaan Barat.33
Sekolah model Barat ini bersifat sekuler dapat mengancam batin para
pemuda pribumi, karena dijauhkan dari agama dan budaya Indonesia. Sekolah
model Barat hanya memberikan pelajaran umum atau pengetahuan bersifat
Barat tidak ada pelajaran agama Islam. Para pelajar hanya pandai dalam ilmu-
ilmu keduniawian tanpa mempunyai pedoman hidup yang kuat. Pendidikan
Barat menghasilkan lulusan-lulusan yang berintelek tinggi namun lemah
imannya, karena tidak faham agama. Pendidikan Belanda hanya memberikan
32
Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20, Pergumulan antara
Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: LPJM UIN Jakarta press, 2009), hal 86. 33
Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Jawa Barat, (Jakarta: Depdikbud), hal 7
60
pendidikan umum dan buku-buku yang diberikan berasal dari Belanda.
Sekolah hanya untuk mendidik rakyat saja, bukan untuk mempertinggi taraf
penghidupan rakyat.34
Bentuk pendidikan ala Barat sebagai realitas dari Politik Etis juga
dirasakan di Surakarta. Kasunanan Surakarta termasuk bagian dari wilayah
jajahan Belanda. Dalam bidang pendidikan pemerintah Belanda ikut campur
tangan yaitu dengan menetapkan sistem konkoordinasi.35
Yang nantinya
dalam campur tangan ini pemerintah Belanda banyak mendirikan sekolah-
sekolah yang didalamnya mengajarkan agama Kristen untuk anak-anak
pribumi. Pada kenyataanya daerah Vorstenlanden ini menjadi wilayah
kekuasaan kolonial dan berada dibawah pengawasan pemerintah koloial
Belanda. Termasuk pada bidang pendidikan yang tidak luput dari campur
tangan pemerintah Belanda.
Terjadi perkembangan pada sekolah dengan sistem pendidikan Barat.
Sekolah-sekolah Neutral berbahasa Belanda yang diperuntukkan golongan
Bumi putera di Surakarta memiliki mutu yang baik. Sekolah-sekolah ini
yaitu: HIS Jongenshool di Mangkubumen, HIS Meisjessschool di Slompretan
dan Schakelschool (sekolah peralihan) di Penumping. Sekolah-sekolah yang
dikelola oleh missionaris atau sekolah Katolik yang berada di Surakarta antara
lain adalah: sekkolah MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) 1 buah,
sekolah ELS (1 buah), HIS (2 buah), dan Meisjesschool (2 buah), sekolah-
34
Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, (Bandung: CV. Ilmu, 1976), hal 123 35
Sistem koonkordinasi adalah sistem pendidikan yang diterapkan oleh Belanda bahwa
pendidikan didaerah jajahan sama dengan sistem pendidikan yang ada di Belanda, lihat Resink,
G,J, Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, (Jakarta: Djambatan, 1987), hal 4.
61
sekolah tersebut tersebar di Purbayan, Pasar Kliwon, Kemlayan, Jebres.
Berdasar data yang dikeluarkan oleh lembaga pendidikan di wilayah
Surakarta pada tahun 1930, terdapat bermacam-macam sekolah model Barat,
yaitu: sekolah-sekolah yang didirikan oleh Zending, sekolah-sekolah yang
dikelola oleh Missi, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Muhammdiyah, dan
sekolah-sekolah yang dikelola oleh Kerajaan. Dan sekolah-sekolah yang
mempunyai tujuan agar masyarakat pribumi masuk kedalam agama Kristen
yaitu sekolah yang dikelola oleh Zending dan Missi, berikut keterangannya:
1. Sekolah Zending
Sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending ini berorientasi pada
pengetahuan dan dikenalkan kebudayaan Barat seperti cara berpakaian,
cara makan, belajar dan lainnya. Bahasa Belanda menjadi kurikulum
pelajaran yang penting, bahasa ini juga digunakan sebagai bahasa
pergaulan. Untuk mendukung pogram tersebut maka siswa ataupun guru-
guru yang mengajar diharuskan tinggal di asrama yang telah disediakan
dan sehari-harinya di haruskan menggunakan bahasa Belanda sebagai
bahasa pengantar. Aturan-aturan itu menyebabkan orang-orang yang
belajar di sekolah Zending tersebut jauh dari budaya Jawa. Tujuan
pendirian sekolah Zending sejalan dengan tujuan pemerintah Kolonial
yaitu menyebarkan agama Kristen. Sehingga sekolah Zending ini banyak
menerima bantuan dan kemudahan dari pemerintah Kolonial, maka dalam
waktu singkat sekolah tersebut dapat berkembang dengan pesat. Pada
tahun 1932 telah banyak sekali sekolah-sekolah Zending yang berada di
62
Surakarta. Terdapat 20 buah sekolah jenis ini yang telah tersebar di
beberapa daerah seperti di daerah Margoyudan, Villapark (dekat Pasar
Legi), Sidokare, Jebres, Kerten, Gemblengan, Danukusuman, Kawatan,
Gilingan dan Manahan. Kegiatan Zending dubuka oleh perkumpulan
Zending yang terdiri dari: C. Van Proodij, Van Ansel, C.J. de Zomer,
G.C.E. de Man, dan Pendeta Bakker.36
2. Sekolah Missi
Ada juga sekolah Missi yang dikelola pertama kali oleh Pastor
Keyser dari Semarang pada tahun 1890. Pastor Keyser telah berhasil
mendirikan sekolah Katolik di daerah Yogyakarta dan Klaten pada tahun
1892. Pada awalnya sekolah jenis ini bercorak Europees yang netral, yang
memberikan kebebasan kepada murid-muridnya untuk mengikuti pelajaran
agama Katolik atau tidak. Semula para missionaris dalam menjalankan
tugasnya banyak mengalami hambatan, dikarenakan adanya dua konsepsi
dalam kehidupan keagamaan di Jawa yang sudah berakar kuat, yaitu
Hindu dan Islam. Maka dari itu usaha yang dilakukan yaitu dengan
memberikan pengaruh atas pola kehidupan orang Jawa, usaha tersebut
rasanya cukup berhasil karena dapat diterima dengan baik oleh
masyarakat. Ajaran-ajaran para missionaris meluas hingga ke daerah
Surakarta. Perkembangan yang terjadi tersebut tidak lepas dari bantuan
serta fasilitas yang telah diberikan oleh pemerintah Belanda. Sehingga
sekolah-sekolah Missi yang didirikan di Surakarta semakin banyak. Dan
36
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial
Di Vorstenlanden”, (Yogyakarta: UNY, 2012), hal 42-43
63
pada tahun 1930, sekolah Missi yang berada di Surakarta jumlanya telah
mencapi 17 buah yaitu: sekolah MULO, 1 sekolah ELS (Europe Lagere
School), 3 buah HIS (salah satunya khusus putri, 10 buah Standartschool, 1
sekolah HSC (Hollands Chinese School) dan 1 sekolah Meisjes Vervolg
School. Sekolah-sekolah tersebut berada di Margoyudan, Manahan,
Gajahan dan Pasar Legi.37
Pada tahun 1910 Pendeta D. Bekker mendirikan sebuah sekolah Kristen
pribumi di Surakarta, tetapi Residen Van Wijk melarang adanya pendidikan
agama disekolah ini dan bagi murid non-kristen tidak diperbolehkan untuk
mengikuti kegiatan agama ekstrakurikurel. Bekker berkeberatan dan
membawa masalah tersebut kepada Gubernur Jendral AWF Idenberg (1906-
1916) yang kemudian justru mengizinkan kegiatan penginjilan di Surakarta.
Keberadaan para penginjil ini tentu saja menimbulkan reaksi dari kalangan
umat muslim.38
Salah satu bentuk dari reaksi tesebut yaitu dengan
bermunculannya sekolah-sekolah Islam.
Selain banyak mendirikan lembaga-lembaga sekolah juga banyak
bermunculan berbagai Rumah Sakit di Hindia Belanda. Pada awal abad ke-20
dengan adanya politik etis yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda,
membuat beberapa program perbaikan kesejahteraan masyarakat, salah satu
diantaranya ialah perbaikan mutu pelayanan kesehatan. Munculnya berbagai
rumah sakit di Hindia Belanda terjadi karena ada kebijakan politik etis dan
subsidi kesehatan yang diberikan oleh pemerintah Belanda. Hal ini sebetulnya
37
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial
Di Vorstenlanden”, hal 44 38
Hari Mulyadi, dkk, hal 140
64
sudah ada sejak pertengahan abad 19 namun baru berkembang pesat pada abad
20 setelah politik etis diberlakukan dan aktivis Zending mendirikan banyak
Rumah Sakit sebagai perantara penyebaran agama Kisten.
Rumah Sakit swasta di Jawa yang memberikan pelayanan kesehatan
sebagian besar dilakukan oleh Zending. Munculnya para pekabar Injil di
Hindia Belanda pada awalnya hanya untuk memberikan pelayanan kepada
orang-orang Belanda sendiri. Namun lambat laut dengan adanya semangat
keagamaan mereka yang tinggi kemudian muncullah keinginan dari para
penginjil tersebut untuk menyebarkan agama Kristen kepada penduduk
pribumi. Kegiatan zendeling atau penyebaran agama Kristen di Hindia-
Belanda ini sudah berlangsung sejak abad ke-17.39
Pemerintah Belanda memberikan kebijakan kepada rumah sakit dan
lembaga kesehatan yang ada di Hindia-Belanda yaitu dengan memberikan
subsidi kesehatan. Kebijakan tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan
bagi perbaikan layanan kesehatan. Secara umum subsidi kesehatan yang
diberikan oleh pemerintah Belanda berupa dana uang kas, obat-obatan yang
cukup baik kualitasnya, peralatan rumah sakit, gaji dokter yang dibesarkan
jumlahnya dan gaji para medis dinaikkan ketika bekerja di rumah sakit milik
swasta. Dijelaskan dalam Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 276 tahun
1906 bahwa rumah sakit swasta yang berhak menerima subsidi kesehatan
adalah rumah sakit swasta pribumi dan rumah sakit swasta pembantu.40
Peraturan pemerintah mengenai subsidi kesehatan itu juga sebagai
39
Bahaudin, “Kebijakan Subsidi Kesehatan Kolonial di Jawa Pada Awal Abad ke-20”
dalam Lembar Sejarah Vol. 8. no 2, hal 151 40
Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 276 tahun 1906, koleksi ANRI Jakarta
65
pemicu munculnya lembaga-lembaga kesehatan yang dikelola oleh Zending
atau pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda sangat mendukung adanya
pelayanan kesahatan yang dilakukan oleh Zending karena mempunyai misi
yang sama. Oleh karena itu pemerintah Belanda mendukung penuh dengan
memberikan bantuan dana, obat-obatan, bangunan, dokter dan lain-lain yang
berhubungan dengan pelayanan kesehatan. Rumah Sakit Zending Jebres
Surakarta merupakana salah satu Rumah Sakit Zending yang banyak diberikan
dana berlimpah tersebut.
Rumah sakit yang dikelola oleh Zending mempunyai tujuan utama
sebagai tempat penyebaran agama, tetapi rumah sakit yang dikelola oleh
Zending juga terkenal mempunyai kebijakan dalam penanganan pasien yang
tidak mampu membayar, artinya pasien yang dalam kategori miskin tidak
diwajibkan untuk membayar perawatan di Rumah Sakit Zending atau jika
harus membayar maka membayar dengan tarif yang sangat rendah.41
Di Surakarta rumah sakit yang dikelola oleh Zending yaitu Rumah Sakit
Jebres Surakarta. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 1912 oleh Gereja
Gereformeerd Delft dan Gereja-gereja Zuid Holland ten Noorden, Gereja-
gereja itulah yang mendirikan Rumah Sakit Zending pertama di Surakarta,
yaitu Rumah Sakit Zending Jebres di Surakarta.42
yaitu Geraja yang
pengaruhnya dibawah organisasi Zending Gereformeerd (organisasi
pengabarab Injil) difokuskan untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat Surakarta dan sekitarnya yang pada waktu itu dikuasai oleh
41
Sugiarti Siswadi, Rumah Sakit Bathesda: Dari Masa ke Masa, (Yogyakarta: Andi
Offset, 1989), hal 86 42
http://rsmoewardi.com/profile. Diakses: 30 Oktober 2015.
66
Kasunanan dan Mangkunegaran. Rumah sakit Zending ini sejak awal
didirikan telah mempunyai perhatian pelayanan kesehatan terhadap orang
miskin dan terlantar. Selain untuk pelayanan kesehatan rumah sakit ini juga
bertujuan untuk menyebarkan ajaran Kristen.
Awal dari pendirian Rumah Sakit Zending di Surakarta yaitu ketika
wilayah kerja Zending Gereformeerd (organisasi pengabaran Injil) diperluas
dan para dokter utusan mulai bergerak untuk datang ke wilayah jawa tengah
bagian selatan yaitu daerah Kedu dan Surakarta pada tahun 1910-1913.
Wilayah kerja Zending Gereformeed di perluas lagi meliputi daerah
Kasunanan Surakarta dan Mangkunegaran. Pada awalnya sulit untuk
mendirikan rumah sakit di Surakarta dan membutuhkan waktu yang lama,
karena terdapat larangan bagi para pekabar Injil untuk masuk, dan pemerintah
Belanda takut bila hal tersebut dapat menimbulkan pertikaian dengan Sunan
Paku Buwono X dan Sri Mangkunegoro yang beragama Islam.43
Raja Kasunanan Surakarta, yaitu Paku Buwono X melarang adanya
pendirian Rumah Sakit Zending, tetapi kemudian Belanda meminta kepada
Mangkunegoro untuk mendirikan rumah sakit tersebut yang kemudian
mendapatkan izin, lalu Mangkunegoro VII memberikan sebidang tanah di
daerah Jebres. Dan pada tahun 1912-1919 didirikanlah Rumah Sakit Zending
di Surakarta yang cukup besar yang terdapat tempat tidur berjumlah 240 buah,
dengan 2 dokter orang Belanda dan beberapa pembantu medis lokal seperti
mantri, juru rawat, zuster. Direktur Rumah Sakit Zending pada waktu itu ialah
43
J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
1995), hal 197
67
Dr. K.P Groot tetapi kemudian ia pindah ke Rumah Sakit Zending di
Yogyakarta lalu digantikan oleh Dr. D. Verhagen.44
Semejak diberlakukannya politik etis dan subsidi kesehatan yang
diberikan oleh kolonial, kehidupan masyarakat Jawa, khususnya Surakarta
memperoleh kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Pada akhir abad ke-
19 di Surakarta banyak yang mengindap penyakit yang menular yang
berbahaya seperti pes45
, korela46
dan lain-lain. Sehingga banyak masyarakat
Surakarta yang mendatangi Rumah Sakit Zending Surakarta untuk
memeriksakannya, hal ini dikarenakan di Rumah Sakit Zending Surakarta
mereka mendapatkan pelayanan gratis tanpa dipungut biaya, yang tentu dapat
meringankan beban ekonomi masyarakat Surakarta yang pada waktu itu masih
dalam masa penjajahan Belanda.
Selain medapatkan pelayanan kesehatan, Rumah Sakit Zending ini juga
mempunyai Missi keagamaan, yaitu menyebarkan agama Kristen dan
mempengaruhi Masyarakat agar menjadi Kristen. masyarakat Surakarta yang
dirawat di Rumah Sakit Zending tersebut mendapat pencerahan tentang agama
Kristen yang dilakukan oleh dokter yang mana dokter itu juga merangkap
sebagai seorang pendeta. Dokter yang bertugas merawat orang sakit bertugas
juga untuk memberi pencerahan tentang agama Kristen. Semakin lama
masyarakat Surakarta banyak yang memeluk agama Kristen, ini juga
44
J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, hal: 201 45
Penyakit pes adalah penyakit menular yang disebabkan oleh basil pes, yang ditularkan
dari kutu-kutu tikus jenis (xenopsylla cheopsis) kepada manusia. lihat: Tim Penyusun Kamus
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), hal 677 46
Penyakit korela adalah penyakit perut, disertai dengan buang-buang air dan muntah-
muntah, penyakit ini dapat menular karena disebabkan oleh basil, kuman.
68
disebabkan gencarnya misi pekabaran Injil yang dilakukan oleh Zending
Gerefoormeerd di Surakarta yang mendapatkan perlindungan dari pemerintah
kolonial Belanda.
Berikut adalah tabel jumlah warga Surakarta yang beragama Kristen
pada tahun 1913-1938
Sumber: J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, hal 217.
Awalnya jumlah warga Kristen di Surakarta hanya sedikit, tetapi semakin
lama jumlahnya semakin besar, hal itu dikarenakan munculnya berbagai
sekolah Kristen, rumah sakit Zending yang semakin banyak merawat warga
Surakarta yang sakit disana. Di daerah Surakarta diketahui bahwa daerah itu
merupakan lahan yang subur dan paling baik di seluruh tanah Jawa untuk
melakukan kegitan penginjilan.
Tahun Jumlah
1913 74 orang
1918 297 orang
1922 508 orang
1925 945 orang
1930 2.208 orang
1933 3.148 orang
1936 4.173 orang
1938 5.515 orang
69
BAB IV
UPAYA SUSUHANAN PAKU BUWONO X DALAM MEMBENDUNG
KRISTENISASI
A. Paku Buwono X dan Sarekat Islam
Didalam sejarah gerakan Islam di Indonesia, Surakarta merupakan salah
satu kota terpenting. Karena di Surakartalah Sarekat Islam (SI) yang dulunya
bernama Sarekat Dagang Islam (SDI) lahir. Gerakan ini merupakan gerakan
Islam terorganisir pertama dalam sejarah Indonesia.1 Sarekat Dagang Islam
sendiri awalnya hanya sebuah perkumpulan dagang yang berdasarkan koperasi
dengan tujuan memajukan perdagangan Indonesia dibawah panji-panji Islam,
agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk Indonesia.2 Karena semakin
berkembang, SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) pada tanggal 10
September 1912, dengan tujuan untuk memperluas anggota sehingga tidak
hanya terbatas pada pedagang saja. Selama masa-masa awal kemunculan, SI
selalu mengedepankan semangat nasionalisme Islam Jawa dan mencari
dukungan dari kalangan rakyat. Akibatnya SI sering terlibat dalam gerakan
protes baik terhadap pemerintah kolonial maupun pihak Keraton Surakarta.3
Terjadinya gerakan protes yang dilakukan SI kepada Keraton Surakarta
karena sifat Surakarta yang mempunyai ikatan kuat terhadap tradisi kehidupan
Jawa. Selain itu juga karena bertambahnya aktivitas misi Kristen. Aktivitas
1 www.muhamsmadiyah.co.id, diakses pada tanggal 4 November 2015
2 A.K. Pringgodigdo, sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,
1994), hal: 4 3 www.muhammadiyah.co.id, diakses pada tanggal 4 November 2015
70
misionaris ini menimbulkan reaksi dari kalangan masyarakat Islam, tidak
terkecuali SI. Penyebab lainnya terjadinya gerakan protes karena terdesaknya
dengan pengusaha-pengusaha Cina. Karena para pedagang Cina banyak
mengambil keuntungan dengan menerobos kehidupan ekonomi pribumi,
akibatnya rakyat pribumi merasa dirugikan. Oleh karena itu SI terpaksa keluar
dari tujuan organisasi yang awalnya hanya bersifat dagang, pada akhirnya SI
memasuki kegiatan politik.4
R. M Karno dalam bukunya menyebutkan bahwa faktor yang
mendorong berdirinya Sarekat Islam pada awalnya bermula pada persaingan
antara pedagang Cina dan pedagang batik Jawa yang berada di Laweyan,
tempat berkumpulnya para pedagang batik Jawa.5 Meningkatnya kegiatan
perekonomian Cina berakibat terjadinya konflik antara Orang Jawa dan Cina.
Ketegangan ini berpangkal dari persaingan antara pedagang Jawa dan
pedagang Cina, semula dibidang industri batik. Yang pada waktu itu terjadi
penggantian kain lokal dengan bahan impor, lalu sejak abad ke-20 mulai
menggunakan bahan celupan kimia yang menggantikan bahan celupan nila.
Pergantian dari dua jenis bahan tersebut dibeli dan didatangkan dengan cara
impor dan distribusinya ditangani oleh para pedagang Cina. Akibatnya
pedagang Cina semakin mempunyai posisi yang kuat dalam menguasai bahan
baku industri batik, karena dapat mengendalikan barang-barang impor yang
4 Retna Ariyanti, Pendidikan Muhammadiyah Sebagai Strategi Pembaharuan Sosial di
Surakarta 1930-1970, (Skripsi: Universitas Sebelas Maret, 2011), hal 38 5 R.M Karno, hal 172
71
sangat diperlukan bagi industri pembuatan batik.6
Orang-orang Cina pada waktu itu tidak hanya berdagang bahan batik
tetapi juga mempunyai perusahaan-perusahaan pembatikan, tidak heran jika
mereka dapat menjual batik dengan bahan yang murah, karena bahan-
bahannya dibeli langsung dari importir bangsa Eropa. Sebaliknya, harga batik
yang dibeli dari orang pribumi menjadi lebih tinggi, sebab orang-orang
pribumi mendapatkan bahan baku batik melalui perantara.7
Pedagang-
pedagang Cina tersebut sudah berbuat curang terhadap pedagang Jawa karena
telah menjual bahan suplainya dengan harga yang lebih murah daripada
saingannya (orang Jawa), hal tersebut menimbulkan kemarahan dan
kekecewaan di kalangan pedagang Jawa. Maka di bawah pimpinan pedagang
besar orang Jawa diadakanlah suatu boikot terhadap perusahaan Cina yang
telah melukai perasaan pedagang Jawa.
Untuk melawan dominasi pedagang Cina tersebut Haji Samanhudi
seorang saudagar batik dari desa Laweyan.8 mendirikan Sarekat Dagang Islam
pada tanggal 16 oktober 1905, dengan tujuan awalnya untuk menghimpun
para pedagang pribumi agar dapat bersaing dengan pedagang-pedagang besar
Cina. Pada saat itu, pedagang-pedagang Cina tersebut telah lebih maju
usahanya dan memiliki status yang lebih tinggi dari pada penduduk Hindia
6 M. Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial
“Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta). Surakarta: Lembaga Pengembangan
Teknologi Pedesaan, 1999 hal 565-566 7 M. Mansyur Amin, Sarekat Islam Obor Kebangkitan Nasional 1905-1942, (Komplek
IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996), hal 27 8 Laweyan adalah salah satu kota terpenting karena salah satu kota yang menghasilkan
kerajinan batik Indonesia, suatu industri yang pada abad ke-19 berhasil menyaingi kerajinan tekstil
Eropa.
72
Belanda lainnya. Pendirian SDI ini merupakan respon terhadap kondisi sosial
ekonomi yang menyengsarakan rakyat. Jadi latar belakang berdirinya Sarekat
Dagang Islam adalah dikarenakan perebutan pemasaran antara orang-orang
Cina dengan pedagang Jawa. Terlebih lagi sikap sombong dan demonstratif
dari orang-orang Cina setelah berhasilnya Revolusi Cina pada tahun 1911,
mengakibatkan terjadinya konflik yang memuncak antara keduanya.9
Haji Samanhudi sebagai saudagar batik, memiliki jiwa sosial yang besar
dan hubungan dagang yang luas, merasa terpanggil untuk membantu dan
menyelamatkan nasib sesama umat. Pada saat itu Sarekat Dagang Islam
mendirikan toko-toko koperasi, menghimpun para pedagang batik, menolong
orang-orang yang sedang mengalami kesulitan dan mendirikan masjid-
masjid.10
Dibawah pimpinan H. Samanhudi ini, Sarekat Islam berkembang
semakin pesat menjadi perkumpulan yang berpengaruh hingga tersebarlah
pengaruh SI di berbagai kota di Hindia Belanda dan terbentuklah cabang-
cabang SI diberbagai daerah. Raja Kasunanan Surakarta Paku Buwono X, ikut
mengembangkan organisasi Sarekat Islam. beliau adalah sosok yang jelas
mempunyai jiwa nasionalisme yang tinggi.
Gerakan langkah perjuangan Sarekat Islam membuat penjajah gempar,
bahkan mereka sangat khawatir jika Sarekat Islam menjadi semakin kuat,
karena dapat menjatuhkan kedudukan kekuasaan mereka. Kepanikan penjajah
Belanda dengan adanya sarekat Islam bukannya tidak beralasan, alasan
9 Saefullah Wiradiparja, Satu Abad Dinamika Perjuangan Sarekat Islam, (Jakarta: Dewan
Pimpinan Wilayah Sarekat Islam Jawa Barat, 2005), hal 7 10
Saefullah Wiradiparja, Satu Abad Dinamika Perjuangan Sarekat Islam, hal 29
73
mendasar mengapa Belanda panik karena mereka memperkirakan kekuatan
Sarekat Islam dapat mengusir keberadaan mereka. Fanatisme Islam yang
menjadi semangat perjuangan dapat menambah energi yang besar untuk
mencapai tujuannya, sehingga Belanda menilai negatif dengan munculnya
Sarekat Islam ini. 11
Sarekat Islam memilih agama sebagai pengikat sosial yang efektif.
Sebab Belanda berusaha untuk melemahkan kekuatan Islam disatu sisi,
sementara disisi lain Belanda berusaha menjalankan usaha Kristensasi. Usaha-
usaha tersebut merupakan politik pemerintah Belanda dalam bidang agama,
karena Belanda memandang Islam sebagai suatu kekuatan dan momok
menakutkan bagi kelanggengan kekuasaan kolonialisme mereka di Indonesia.
Hal tersebutlah yang akhirnya membuat organisasi Islam yang pertama di
Indonesia yaitu Sarekat Islam menjadi pergerakan bernuansa politik dengan
menggunakan ideologi Islam.
Munculnya gerakan politik Islam merupakan gejala bahwa kekuatan
Islam dapat dibangkitkan untuk menghadapi kolonialisme Belanda sehingga
menciptakan reaksi kuat untuk melenyapkannya. Gerakan ini merupakan
indikator dan wujud protes masyarakat yang sudah merata di pedasaan. Hal ini
membuktikan bahwa dominasi kekuasaan kolonial sudah mengganggu
kesejahteraan dan ketentraman kehidupan masyarakat. Sama halnya dengan
sunan Paku Buwono X yang memanfaatkan Islam sebagai kekuatan politik
atau alat politik untuk menghadapi hegemoni poitik kolonial yang menekan
11
A.P.E Korver, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, (Jakarta: Grafiti Press, 1985), hal 25
74
rakyat bawah.
Munculnya gerakan politik Islam tidak lepas atas dukungan yang
didapat dari seorang pemimpin yang mempunyai kharismatik, yang berasal
dari elit keraton. Sebab pemimpin kharismatik mampu menjadi daya tarik
untuk mencari massa dalam suatu gerakan sehingga menjadi sebuah gerakan
yang besar. Dalam konteks ini seperti Paku Buwono X yang mendukung
adanya gerakan Sarekat Islam.
Kehidupan beragama di Surakarta yang pada waktu itu sedang di
penuhi dengan gejolak-gejolak terlebih pada tahun 1909, partai Kristen
berhaluan konservatif menang di Belanda.12
Salah satu tokoh partai tersebut
adalah Idenbrug, yang kemudian menjadi Jendral di Hindia-Belanda. Sejak
saat itu, kegiatan misionaris Kristen meningkat khususnya Protestan. Misi ini
mendapatkan dukungan dari pemerintah karena mengusahakan kesejahteraan
dan kemajuan ekonomi. Mereka mengajarkan agama Kristen di sekolah-
sekolah yang mereka bangun dan disubsidi oleh pemerintah Belanda. Atas
kegiatan misionaris yang kian meningkat tersebut awalnya Sunan mengambil
sikap netral, tidak melarangnya, tetapi juga tidak memberikan izin. Itu karena
Sunan tidak ingin adanya pertentangan dengan pemerintah Belanda. Akan
tetapi sikap Sunan ini berubah sejak adanya Sarekat Islam yang menentang
pendirian sekolah Kristen di Surakarta.
Atas berdirinya Sarekat Islam rupanya Sunan menyadari adanya
gerakan nasionalisme yang tengah terjadi di Surakarta. Oleh sebab itu Sunan
12
Paraktiri T Simbolon, Menjadi Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kompas, 2006), hal 258
75
memanfaatkan gerakan nasionalisme tersebut dengan baik. Dengan
terbentuknya Sarekat Islam, pihak Belanda pun merasa takut akan adanya
pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Oleh karena itulah Belanda
mengambil tindakan dengan cara Kristenisasi kepada pribumi. Kemudian, atas
kegiatan para penginjil Kristen tersebut, Sunan melakukan kerjasama dengan
Sarekat Islam untuk melawan mereka. Hal ini membuat pemerintah Belanda
merasa cemas karena peran Sunan sebagai kepala agama Islam di Surakarta
turut mendukung dan bekerjasama dengan Sarekat Islam. Keduanya
melakukan perlawanan bersama terhadap kegiatan para penginjil Kristen.13
Bersama Sarekat Islam Sunan kemudian melakukan perlawanan secara
simbolis terhadap aktifitas kristenisasi yang menyebarkan agamanya di Hindia
Belanda, khususnya di Surakarta. Disamping itu paham Pan-Islamisme14
juga
tengah berkembang diberbegai tempat. Peranan Paku Buwono X sebagai
kepala agama Islam di Surakarta merupakan suatu peranan yang membuat
hubungannya dengan Sarekat Islam sebagai sesuatu yang wajar. Hubungan
demikian diperkuat lagi dengan perlawanan terhadap kegiatan para penginjil
Kristen.15
Sebagai kepala Agama Islam Susuhanan tidak senang dengan adanya
kegiatan penginjilan di kerajaannya. Di Surakarta para penginjil mendapat
kesusahan untuk memperoleh tanah, bereda dengan di Yogyakarta mereka
13
George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942, (Yogyakarta: Gadjag Mada University Press, 1990), hal 50 14
Paham Islamisme adalah paham yang berusaha menyatukan seluruh umt Islam di Dunia
dibawah satu kekuasaan politik dan agama yang dipimpin oleh seorang khalifah 15
George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942, hal 50
76
bersikap lebih toleran dan lebih suka membri bantuan terhadap agama Kristen.
Ketika para penginjil bermaksud untuk mendirikan Rumah Sakit Susuhanan
paling keras menolak untuk memberi tanah kepada para penginjil yang ingin
mendirikan rumah sakit.16
Pemerintah Belanda yang pada waktu itu ingin mendirikan Rumah
Sakit Zending di Surakarta tidak diizinkan oleh sunan Paku Buwono X,
walaupun pada mulanya Paku Buwono hampir saja memberikan tanah untuk
bangunan rumah sakit, tetapi karena pengaruh dari Sarekat Islam yang begitu
kuat akhirnya Paku Buwono X melarang pendirian Rumah Sakit Zending
tersebut. Karena Susuhanan pada waktu itu memang telah mempuyai
hubungan yang dekat dengan Sarekat Islam. Paku Buwono X yang telah
melarang pendirian Rumah Sakit Zending, tetapi kemudian Belanda meminta
izin kepada penguasa Mangkunegaran, Sri Mangkunegoro VII untuk
mendirikan rumah sakit tersebut dan kemudian mendapatkan izin, lalu
Mangkunegaran VII bersedia memberikan sebidang tanah di daerah Jebres.17
Dengan diizinkannya kegiatan penginjilan beroperasi di Surakarta
merupakan taktik Belanda menerapkan Politik Verdeel En Heers, terlebih izin
penginjilan tersebut datangnya dari Gubernur Jendral langsung. Jadi orang
Jawa akan dipecah lagi dari segi agama, Sinuhun mencium akal busuk dari
Belanda ini, maka Paku Buwono X mencegahnya dengan menolak
16
George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942, hal 51 17
J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen,
1995), hal 197
77
memberikan tanah untuk mendirikan Rumah Sakit.18
Kerjasama antara Sarekat Islam dan istana Paku Buwono X telah
dimulai sejak September 1912 ketika dari sebelas orang pimpinan SI
Surakarta, empat orang diantaranya adalah pegawai Susuhanan. Puncaknya
terjadi pada setahun kemudian pada kongres SI yang kedua pada tanggal 23
Maret 1913 yang diselengarakan di Sriwedari, Solo, taman hiburan dan pusat
pertemuan yang termasuk ke dalam wilayah Susuhanan.19
Paku Buwono X
memiliki sifat yang tegas dan kuat tekadnya untuk menunjukan peranannya
sebagai raja Jawa yang berideologi Islam, serta memiliki hubungan dengan
Sarekat Islam. Dilihat dalam konteks tradisional, keraton memegang
perananan sentral dalam kehidupan masyarakat, jadi sangat tidak mungkin jika
Sarekat Islam berdiri tanpa campur tangan keraton.
Salah satu bentuk dukungan Sunan kepada SI yaitu, para pejabat di
keraton dianjurkan dan diperintahkan untuk terlibat dan menjadi pengurus
organisasi tersebut, bahkan Sunan memerintahkan putranya yang bernama
Pangeran Hangabeni untuk ikut masuk dalam kepengurusan SI. Ketika sehari
sebelum diadakan kongres Pangeran Hangabeni terpilih sebagai anggota
pelindung SI. Ketika tiba-tiba Pangeran Hangabeni ditawarkan sebagai salah
satu anggota pelindung SI, ia secara implusif menerimanya tanpa memikirkan
untuk berkonsultasi terlebih dahulu dengan Susuhanan atau dengan wazir.20
Sunan Paku Buwono X sering mengadakan kunjungan-kunjungan ke
18
R.M Karno, Riwayat dan Falsafah Hidup Ingkang Sinuhun Si Susuhanan Paku
Buwono X 1893-1939, (Jakarta: 1990), hal 172-173 19
J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, hal 66 20
J. Wolterbeek, Babad Zending di Pulau Jawa, hal. 66
78
daerah-daerah diluar wilayah kerajaan. kunjungan Sunan tersebut bertujuan
untuk menggalang dukungan terhadap Sarekat Islam. Dalam setiap
kunjungannya sunan selalu disertai pengiring dari Abdi Dalem dan Pejabat
keraton dengan jumlah besar. Ternyata atas kunjungan Sunan tersebut dapat
menarik perhatian dan simpati dari masyarakat. Hal tesebut membuat Belanda
merasa khawatir, sehingga Belanda membatasi para pengiring dari pejabat dan
Abdi Dalem Sunan. Pada setiap kunjungan yang dilakukan ia manfaatkan
dengan baik untuk menggalang dukungan terhadap Sarekat Islam. Atas agenda
Sunan yang senang berkunjung tersebut maka ia berhasil menarik simpati
rakyat dan para bupati.21
Menurut para ahli sejarah yang membuat Belanda
khawatir adalah karena kunjungan raja ini ternyata sangat efektif menggalang
persatuan dan kesatuan serta membangun rasa nasionalisme. Oleh karenanya
Surakarta kemudian dikenal sebagai kota yang turut melopori nasionalisme.22
Dukungan Sunan ini untuk mengenyahkan Belanda dari Indonesia,
Sunan merangkul kaum nasionalis, karena merasa jengkel atas campur tangan
Belanda dalam pemerintahannya di Surakarta. Kaum nasionalis mendekati
keraton untuk mendapatkan massa, oleh karena itu untuk menarik rakyat
menjadi anggota suatu gerakan, rakyat harus diyakinkan dulu bahwa ada orang
dikalangan keraton yang duduk dalam pimpinan organisasi. Memang seperti
itulah keadaan pada saat itu, kepercayaan masyarakat terhadap keraton
memang masih sangat kuat. Kaum nasionalis dalam gerakannya untuk
21
Gunawan Sumodiningrat dan Ari Wulandari, Paku Buwono X, (Yogyakarta: Narasi,
2014), hal 83 22
http://jurnalpatrolinews.com/2015/03/11/sinuwun-paku-buwana-x-raja-yang-merakyat-
motivator-pergerakan-nasional-dan-pahlawan-nasional/ , diakses pada: Selasa, 25 Desember 2015
79
melawan kekuasaan Belanda, dimulai dengan membangkitkan dan menanam
jiwa nasionalis pada rakyat. Ini dapat dilakukan oleh Sarekat Islam.23
Hubungan antara Sarekat Islam dan Paku Buwono X digambarkan
sebagai suatu dukungan yang sangat dekat, atas kedekatannya tersebut maka
sempat tersiar sebutan “SI-nya Sunan”. Macam-macam cerita beredar
mengenai Sarekat Islam dalam kaitannya dengan keraton Surakarta, dengan
Paku Buwono X baik yang berasal dari laporan-laporan residen maupun
bupati pesisiran. Laporan yang masuk dari para pegawai gubernamen seluruh
Jawa dan Madura tentang hubungan Sarekat Islam dengan Paku Buwono X
menyebabkan penduduk dibawah pemerintah Belanda mulai gelisah, sehingga
membuat kerisauan para bupati. Residen Madiun beranggapan bahwa perlu
diberi perhatian serius mengenai desas-desus, bahwa Paku Buwono X adalah
anggota Sarekat Islam, di Surakarta sendiri orang beranggapan bahwa Sarekat
Islam didirikan atas perintah Sunan Paku Buwono X.
Sarekat Islam dengan latar belakang ekonomi dan agama Islam
pembentukan organisasi ini sebagai reaksi atas monopoli dagang oleh orang-
orang Cina dan aktifitas Kristenisasi yang keduanya mendapat perlindungan
dari pemerintah Kolonial Belanda. Dalam anggaran dasarnya Sarekat Islam
tidak menyatakan sebagai organisasi politik melainkan bergerak dalam bidang
ekonomi, sosial, pendidikan dan agama. Tetapi dalam praktiknya Sarekat
Islam melakuan kegitan yang bersifat politik. Dan dalam waktu yang relatif
singkat Sarekat Islam berhasil menarik anggotanya dari segala lapisan
23 M. Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial
“Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta), hal 37-39
80
masyarakat dan dari segala etnis di Indonesia.24
Sarekat Islam meluas hingga
pada kalangan bangsawan dan pada rakyat kebanyakan. Pada tahun 1913
anggota SI cabang Surakarta berjumlah 35.000 orang.25
Usaha yang mendasar dari lahirnya Sarekat Islam adalah untuk
mencegah kehancuran ekonomi rakyat dan menumbuhkan jiwa nasionalisme
sesuai dengan identitas ke-Islamannya. dan hubungan Paku Buwono X dengan
Sarekat Islam, ia berperan sebagai tokoh di belakang layar, artinya Susuhanan
Paku Buwono X tidak terlibat langsung seperti menjadi anggota. Namun
dengan kekuasaan yang dimilikinya serta kepeduliannya terhadap keberadaan
Sarekat Islam, Paku Buwono X memberikan kemudahan bagi SI untuk dapat
berkembang di Surakarta seperti memberikan tempat bagi SI untuk
mengadakan kongres yang bertempat di Taman Sriwedari, Solo. Peranan lain
adalah Sunan mempromosikan SI pada setiap kunjungan-kunjungannya di
setiap daerah di luar Solo. Sebagai raja yang yang sedang berkuasa beliau di
cintai oleh rakyatnya, cara tersebut efektif untuk menggalang massa dan
memperkokoh keberadaan SI pada era pergerakan nasional.
B. Mendirikan (Sekolah Islam) Madrasah
Salah satu motif kedatangan bangsa Belanda di Hindia-Belanda adalah
motif theokratis, yaitu penyebaran Injil. Pada awalnya sasaran dalam
penyebarannya dilakukan secara langsung di gereja-gereja, melalui buku
dengan menerbitkan buku-buku kristen dan lain-lain. Untuk mendapatkan
24
Safrizal Rambe, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia 1905-
1942, (Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008), hal 45 25
M. Hari Mulyadi, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi Sosial
“Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta), hal 24
81
hasil yang memuaskan usaha tersebut berkembang dengan pendirian sekolah-
sekolah dan rumah sakit. Pendirian sekolah dan rumah sakit tersebut yang
bertujuan untuk menyebarkan agama Kristen, mendapat banyak bantuan dan
kemudahan dari pemerintah kolonial.26
Di Kasunanan Surakarta
perkembangan pendidikan tidak lepas dari peran Sunan Paku Buwono X, sejak
Paku Buwono X memegang pemerintahan di kasunanan, pendidikan mulai
mendapat perhatian besar. Perhatian yang besar tersebut ditunjukkan oleh
Sunan dengan mengirimkan putra-putrinya serta para sentono dalem untuk
bersekolah ke sekolah-sekolah Belanda.27
Sekolah-sekolah Kristen seperti Neutral, Zending dan Missi
mengalami perkembangan yang pesat, hal tersebut mengakibatkan munculnya
reaksi negatif terhadap dominasi kultur Barat dalam bidang pendidikan pada
awal abad 20. Dengan adanya sekolah-sekolah model Barat membuat para
pemuda pribumi lebih memilih pengajaran Barat, karena dianggap sebagai
pintu gerbang ke arah penyerapan ilmu pengetahuan dan lembaga-lembaga
baru yang diperkenalkan oleh administrasi kolonial. Di Surakarta reaksi
terhadap penginjilan dan munculnya sekolah-sekolah Kristen, paling keras
terjadi di daerah Laweyan yaitu daerah yang banyak didiami oleh para
pedagang Islam.28
Politik zending dan missi merupakan kepanjangan tangan dari
26
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial
Di Vorstenlanden”, (Yogyakarta: UNY, 2012), hal 42 27
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial
Di Vorstenlanden”, hal: 48 28
George D. Larson, Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di
Surakarta 1912-1942, hal 52
82
pemerintah Hindia-Belanda. Dalam kebijakannya pemerintah Belanda lebih
mengutamakan anak-anak priyayi. Sekolah Dasar Eropa sudah berdiri di kota-
kota Jawa sejak tahun1850-an yang diperuntukkan anak-anak pangreh praja
dan aristokrat Jawa, dan bukan untuk anak-anak masyarakat umum. Kehadiran
Sekolah Dasar Eropa di Surakarta menimbulkan polemik, karena adanya
faktor diskriminasi. Landasan diskriminasi di Sekolah Dasar Eropa mengikuti
besar kecilnya pendapatan dan status sosial orang tua murid. Pertumbuhan
pendidikan yang disertai dengan diskriminasi menimbulkan polemik antara
pihak pengelola (zending dan missi) dengan aristokrat, ulama maupun
pujangga. Inti dari polemiknya adalah:
1. Sistem pendidikan Barat mempraktikan nilai-nilai sekularisme
2. Menciptakan diskriminasi sosial karena yang dapat belajar di sekolah
tersebut adalah anak-anak pangreh praja dan aristokrat Jawa. Sementara
itu anak-anak lainnya yang bukan dari kalangan tersebut, walaupun dari
kalangan yang status ekonominya tinggi diabaikan oleh sistem pendidikan
kolonial.
3. Di lembaga pendidikan zending dan missi tidak diajarkan pendidikan
agama Islam dan kebudayaan Jawa. Hal terakhir ini yang dipandang dapat
merusak kepribadian anak pangreh praja dan aristokrat Jawa.29
Bahkan tidak adanya pengajaran agama Islam dan kebudayaan Jawa
dalam sistem pendidikan di Surakarta dan Yogyakarta merupakan sesuatu
yang sengaja diciptakan. Menurut pemikiran aristokrat, ulama dan pujangga
29
Hermanu Joebagio, “B.R.M.G. Sayyidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan
Masyarakat”, (Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, Cakrawala Pendidikan, Februari 2009,
Tahun XXVIII, No 1), hal: 96-98
83
bahwa agama Islam maupun kebudayaan merupakan sesuatu yang sengaja
diciptakan. Jawa adalah pendidikan moral dan etika untuk seluruh anak
pribumi. Karena agama Islam merupakan sistem keyakinan, sedangkan
budaya Jawa adalah ajaran-ajaran tentang falsafah kehidupan yang diyaikini
oleh masyarakat Jawa.30
Belanda yang banyak mendirikan sekolah-sekolah yang didalamnya
diajarkan agama Kristen di Surakarta dan melarang diajarkannya agama Islam
di sekolah-sekolah formal membuat pihak keraton khawatir. Hal itu
mengakibatkan munculnya reaksi dari kasunanan Surakarta yang ingin
mendirikan sekolah Islam sebagai bentuk kepedulian Sunan terhadap Islam.
Dan untuk mendirikan sekolah Islam tersebut terlebih dahulu harus
mengajukan izin dari pemerintah Belanda karena terdapat aturan bahwa siapa
saja yang akan memberikan pengajaran agama Islam diwajibkan untuk
memiliki izin tertulis dari bupati atau patih dengan mencantumkan sifat
pengajaran tersebut, hal ini terdapat Staatblad van Nederlandsch-Indie.31
Barulah setelah memperoleh izin didirikanlah sekolah berdasarkan ajaran
Islam yang diberi nama Mamba’ul Ulum yang didirikan pada tahun 1905 yang
bertempat di halaman Masjid Agung Surakarta. Mamba’ul ulum adalah
sekolah bercirikan Islam, sekolah ini didirikan atas inisiatif Paku Buwono X
dari kerajaan kasunanan Surakarta.
Mamba’ul ulum adalah lembaga pendidikan Islam formal yang tertua
di lingkungan Kasunanan Surakarta, semua lembaga pendidikan di surakarta
30
Hermanu Joebagio, “B.R.M.G. Sayyidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan
Masyarakat”, Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, Cakrawala Pendidikan, Februari 2009,
Tahun XXVIII, No 1), hal: 96-98. 31
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1905, No. 550, pasal 1. Koloksi ANRI Jakarta
84
pada waktu itu mengambil bentuk pesantren.32
Mamba’ul ulum mempunyai
arti “sumber ilmu pengetahuan” yang merupakan harapan bagi pendirinya.
Siapa yang haus akan ilmu pengetahuan maka hendaklah minum air sumber
ilmu pengetahuan dalam Mamba’ul ulum.33
Pada tahap awal pembentukannya
Mamba’ul ulum belum cukup mantap, belum teratur, belum mempunyai
gedung sendiri dan belum banyak peralatan dan sarana sehingga banyak
mengalami kesulitan dan tantangan.
Berdirinya Mamba’ul Ulum di Surakarta tahun 1905 pada dasarnya
tidak bisa dipisahkan dari peran Sunan Paku Buwono X. Sistem pendidikan
berdasarkan agama Islam yang dikenal dengan madrasah. Mamba’ul Ulum ini
berdiri pada hari ahad tanggal Jumadil awal tahun alip 1835 (tahun Jawa) atau
tanggal 20 Juli 1905. Pendirian sekolah Mambaul’Ulum ini adalah hasil dari
pemikiran Sunan Paku Buwono X sendiri. latar belakang berdirinya
Mambaul’Ulum disebabkan oleh beberapa faktor, yang salah satu faktornya
yaitu untuk mengantisipasi perkembangan agama Kristen di wilyah
Kasunanan. Sunan selain sebagai raja di Kasunanan Surakarta juga sebagai
Panatagama yaitu pemimpin tertinggi agama, kurang senang terhadap
pendirian sekolah-sekolah yang dikelola oleh Zending yang berada di wilayah
Surakarta. Sunan bisa menerima masuknya pengaruh kebudayaan Barat ke
kasunanan, tetapi tidak dengan agama yang dibawa oleh orang-orang Barat
yaitu Kristen yang dibawakan Zending, Sunan kurang menyukainya. Karena
32
Kareel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1986), hal
45-46 33
A. Basit Adnan, Sejarah Masjid Agung daan Gamelan Sekaten di Surakarta,
(Surakarta: Yayasan Mardikintoko), hal 17
85
sunan tidak ingin rakyatnya memeluk agama lain selain agama Islam.34
Madrasah dan pelajaran agama Islam muncul pada awal abad ke-20.
Madrasah adalah sebuah sekolah yang berasal dari Arab, tetapi terpengaruh
dengan model sekolah Barat. Didalam Madrasah tidak hanya diberikan
pelajaran agama saja, tetapi diberi pelajaran seperti berhitung, membaca,
menulis, belajar bahasa daerah, bahasa Arab dan sejarah Islam yang semua
materi pelajaran telah disampaikan dengan metode modern.35
Dengan adanya
madrasah merupakan wujud nyata dari perubahan pendidikan Islam yang
terjadi pada awal abad ke-20 dari lingkup pesantren berubah menjadi sekolah
Islam. Di Kasunanan Surakarta kemajuan pendidikan Islam tidak bisa lepas
dari peran Sunan Paku Buwono X.
Paku Buwono X mendirikan madrasah dengan memasukkan ajaran
Islam dan pemeliharaan budaya Jawa sebagai identitas, dan mendorong
berdirinya organisasi sosial dan politik di Surakarta. Hal tersebut secara
simblolik dapat dijadikan tempat perlawanan masyarakat muslim terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Politik simbol tersebut disebut sebagai gerakan
poitik Islam, karena inti dari gerakan politik adalah mengokohkan nilai-nilai
keagamaan melalui pendidikan Islam. Sunan memberikan dorongan untuk
melakukan gerakan perlawanan terhadap kolonial Belanda.36
Berdirinya madrasah Mamba’ul Ulum dimaksudkan untuk menampung
anak-anak abdi dalem pemutihan, suranata, khatib, ulama, perdikan, juru
34
Kuntowidjoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak,
2004), hal 38-41. 35
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1990), hal: 79 36
Hermanu Joebagio, Merajut Nusantara: Paku Buwono X dalam Gerakan Islam dan
Kebangsaan, (Surakarta: Cakrabooks, 2010), hal 75
86
kunci dan lain sebagainya.37
Berdirinya madrasah ini membuktikan bahwa raja
tidak lagi bersifat netral terhadap urusan agama dan menaruh perhatian besar
terhadap pendidikan agama, hal ini disebabkan hadirnya Zending. Selain itu
berdirinya madrasah ini dikarenakan adanya pengaruh dari gerakan Pan
Islamisme. Dan diharapkan dengan berdirinya sekolah Islam (madrasah)
bernama Mamba’ul ulum ini dapat mencetak ulama-ulama yang nantinya
terjun ke lapangan dan berusaha membendung upaya pihak zending.38
Pendirian madrasah Mambaul’Ulum merupakan kebijakan politik yang
cukup berani, karena dalam Staatsblad van nederlandsch-Indie tahun 1893 no
125 pasal 5, dikemukakan adanya larangan adanya pelajaran agama Islam di
sekolah-sekolah yang diselengarakan pemerintah atau swasta. Baik di dalam
maupun di luar kelas.39
Karena atas dasar kebijakan tersebut maka muncul
pemikiran-pemikiran dari para elit politik keraton (ulama dan pembesar
keraton), yaitu:
1. Dengan tidak diajarkannya pelajaran Islam di Sekolah-sekolah dapat
mempengaruhi akhlak anak-anak pribumi. Sebab pengajaran agama
merupakan aspek penting yang diharapkan dapat membangun sikap
akhlakul karimah untuk kehidupan masa depan.
37
Kuntowijoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, hal 39 38
Pendidikan madrasah pada konteks ke-Indonesiaan pada mulanya dilaksanakan untuk
menjembatani antara sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan Barat yang
diperkenalkan oleh Belanda. Sebelum mengadopsi sistem pendidikan Barat dengan pola yang
terstruktur dan berjenjang, pendidikan Islam berjalan dengan sistem pondok pesantren salafiyah
yang dilaksanakan secara terbuka dan tidak berjenjang. Namun kemudian timbullah persoalan
yaitu munculnya ide formalitas pendidikan Islam sehingga didirikanlah madrasah sebagai salah
satu lembaga pendidikan yang melaksanakan pendidikan secara berjenjang seperti Madrasah
Mamba’ul ulum di Surakarta, bahkan menurut Moh. Hisyam menyebutkan bahwa gagasan
pendidikan madrasah yang pertama kali muncul adalah terdapat pada madrasah Mamba’ul ulum
tersebut. Lihat: http://www.academia.edu/10196208/ARTIKEL_3, diakses pada 10 november
2015 39
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1893, No. 125, pasal 5, Koleksi ANRI Jakarta
87
2. Sejak dua dekade akhir abad ke-19, gerakan Zending atau pengabar injil
meluas di kota-kota Vorstenlanden. Sunan Paku Buwono X yang pada
waktu itu baru naik tahta pada tahun 1893 menolak adanya gerakan
Zending tersebut. Pendeta Bakker yang ingin mendirikan sekolah dan
rumah sakit Kristen pada tahun 1910 ditolak oleh Sunan. Namun berbeda
dengan Sri Mangkunegoro, keinginan pendeta Bakker untuk mendirikan
sekolah dan rumah sakit kristen ditanggap positif oleh beliau dan
kemudian diizinkan. Setelah mendapat izin tersebut Bakker mendirikan
sekolah Kristen di wilayah kelurahan Banjarsari, sedangkan rumah sakit di
izinkan berdiri di wilayah kelurahan Jebres.40
Secara nyata sekolah ini merupkan pelopor berdirinya sekolah Islam
pertama di Surakarta yang dapat membawa perubahan bagi pendidikan Islam
yang semula dari lingkup pesantren beralih ke madrasah dan
perkembangannya sebagai sekolah Islam. karena pendidikan pesantren pada
waktu itu hanya memberikan pelajaran agama saja, akibatnya pendidikan
model itu memiliki kelemahan, karena tidak adanya pelajaran umum.
Mamba’ul ulum di katakan sebagai pelopor dalam pembaharuan pendidikan
karena memasukkan unsur pendidikan barat ke dalam kurikulum pendidikan
Islam di Indonesia. Berdirinya sekolah Mambaul’ulum tersebut sangat
berperan penting dalam mencetak kelompok Ulama di Surakarta khususnya di
lingkungan Surakarta.
Paku Buwono X menaruh perhatian besar terhadap pendidikan agama.
40
MT. Arifin, dkk, 2005, hal 102
88
Pimpinan sekolah dipegang oleh penghulu Tafsir Anom.41
Baru pada tahun
1914 gedung sekolah Mamba’ul Ulum ini telah selesai dibangun, yang
letaknya berada di dekat Masjid Agung Surakarta. Kurikulum yang diajarkan
di madrasah itu tidak hanya diberi pelajaran tentang agama Islam saja,
melainkan juga diajarkan bahasa Jawa, bahasa Melayu, berhitung, ilmu kodrat,
dan lainnya. Tamatan dari sekolah ini nantinya dapat menjadi guru agama.
Untuk biaya sekolah anak-anak dipungut biaya sebesar F 0,50 perbulan, uang
pembayaran sekolah dari anak-anak ini dipakai untuk biaya sekolah yang
dibuka sore hari, sedangkan biaya sekolah pada pagi hari ditanggung oleh kas
Negeri.42
Sistem yang diterapkan di Mamba’ul Ulum adalah sistem pendidikan
yang berdasarkan Islam, kurikulum yang diajarkan lebih mementingkan
pelajaran agama Islam dengan membekali siswanya untuk mempelajari ilmu
dari sumber aslinya dengan bahasa Arab. Mata pelajaran yang pokok yaitu:
membaca Al-Qur’an, tafsir, hadist muslim, fiqh, tauhid serta akhlaq.
Sementara ilmu bantu meliputi bahasa Arab, ilmu mantiq, ilmu falaq, tarikh
bahasa Jawa, ilmu pendidikan serta aljabar. Kurikulum dipelajari untuk
membekali para murid dalam keperluan dunia akhirat dan lulusannya
diharapkan dapat berdikari.43
Kurikulum yang digunakan pada sekolah ini masih mencontoh pola
41
Nama Tabsir Anom diambil dari bahasa arab yang berarti kabar gembira, orang Jawa
menyebutnya “Tabsir Anom”, ada juga yang menyebutnya “Tafsir Anom”. Lihat : Ma’Mun
Pusponegoro, Muhammad Soim, Kauman, Religi, Tradisi dan Seni, (Surakarta: Paguyuban
Kampung Wisata Batik Kauman, 2007), hal 35 42
Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1989), hal 471 43
http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf, diakses pada: Rabu, 29
Desember 2015
89
pendidikan pondok pesantren yaitu dengan mengajarkan kitab-kitab berbahasa
arab. Dalam perkembangannya kemudian dimasukkan budaya Jawa sebagai
muatan lokal kurikulum, kebijakan memasukkan muatan lokal budaya Jawa
ini merupakan pemikiran Sunan yang ingin melindungi dan mempertahankan
tradisi budaya Jawa yang masih berlaku di masyrakat, baik nilai-nilai religius,
nilai-nilai yang berhubungan dalam pandangan hidup seperti yang terdapat
pada serat, suluk dan primbon, maupun nilai-nilai yang berhubungan dengan
kemegahan, kekuasaan dan kebesaran keraton Kasunanan Surakarta.
Menurut pemikiran Paku Buwono X untuk meraih kemajuan dalam
pendidikan tidak harus dengan meninggalkan tradisi dan budaya sendiri. Oleh
karena itu dalam pendidikan di Madrasah Mambau’ul Ulum diajarkan
pelajaran kebudayaan Jawa dan agama Islam. Hal ini merupakan usaha untuk
mempertahankan tradisi dan kebudayaan Jawa yang sudah sejak lama
berlangsung, dan tidak menutupi kemungkinan memanfaatkan kebudayaan
Barat secara selektif untuk mengembangkan tradisi dan kebudayaan Jawa.44
Berdirinya Mamba’ul ulum ini telah menimbulkan reaksi dikalangan
pegawai keraton maupun para ulama ada yang bersifat pro ada juga yang
kontra. Yang mempunyai sifat pro memandang bahwa ide tersebut baik sekali
dalam merelisasikan kewajiban menuntut ilmu dan sekaligus mendidik tenaga
yang ahli dalam tugas keagamaan. Sedangkan yang bersikap kontra
berkeberatan dengan sistem pendidikan yang memasukkan unsur pendidikan
44
Hermanu Joebagio, hal: 102
90
Barat didalamnya karena itu dipandang haram. Untuk mengatasi ketegangan
itu maka diadakanlah musyawarah yang dihadiri oleh para ulama dan pejabat
di lingkungan keraton. Berkat Kyai Bagus Arfah yang dapat mengorganisir
masalah tersebut dan keingininan-keinginan yang beraneka ragam lalu
disepakatilah Mamba’ul Ulum dengan sistem pendidikan Belanda.45
Gagasan
berdirinya Mamba’ul ulum juga banyak menarik perhatian dan tanggapan dari
kalangan pers Belanda.
Dalam perjalanannya, madrasah Mamba’ul ulum cukup diminati oleh
kalangan masyarakat, sehingga untuk jenjang Madrasah Ibtidaiyah
pembangunannya diperluas hingga di tujuh kabupaten, yaitu: Klaten, Boyolali,
Kartosuro, Sukoharjo, Sragen, Wonogiri dan Surakarta. Kebijakan perluasan
pembangunan di kabupaten-kabupaten tersebut untuk memberi kesempatan
kepada anak-anak usia sekolah agar dapat menikmati pendidikan formal
keagamaan. Dan untuk jenjang Tsanawiyah dan Aliyah letaknya tetap
dipusatkan di Masjid Agung Surakarta.46
Pada awalnya yang diterima di madrasah tersebut hanyalah anak-anak
abdi dalem pamethakan (golongan agama),47
namun seiring berjalannya waktu
45
Kuntowijoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, (Yogyakarta: Ombak,
2004), hal 39 46
Ma’mun Pusponegro, Dkk, Kauman: Religi, Tradisi dan Seni, (Surakarta: Paguyuban
Kampung Wisata Batik Kauman, 2007) hal 105 47
Istilah Abdi dalem Pamethakan kaum Putihan yang digunakan oleh Jawa ialah putihan
yang berasal dari kata putih. Istilah ini dipakai karena pakaian mereka yang berwarna putih yang
mereka kenakan sewaktu shalat. Para putihan biasanya memakai kopyah yang terbuat dari beludru
hitam serupa fez, sehelai kemeja putih dan sarung putih (terutam jika mereka ikut shalat didalam
Masjid). Pengertan putihan di desa-desa di sekitar Surakarta disebut “desa keputiha atau desa
mutihan” yang berarti desa putih. Para penghuninya sebagian besar taat beragama dalam keraton,
para santri priyai disebut Abdi dalem Pamethakan atau pegawai putih, abdi Dalem pamethakan
secara harfiah berarti “abdi putih” dalam kediaman keluarga bangsawan, kata abdi (abdi, budak),
91
anak-anak kawula dalem (masyarakat umum) dapat diterima di madrasah ini.
Dalam kurikulum yang diberikan oleh madrasah Mamba’ul ulum dapat
ditafsirkan adanya upaya untuk memadukan antara pengetahuan agama dan
pengetahuan umum. Penambahan pelajaran umum seperti bahasa asing,
berhitung dan ilmu kodrat (ilmu pengetahuan alam) menunjukkan adanya
perbedaan dengan pendidikan di pondok pesantren yang lebih mengutamakan
mempelajari kitab-kitab agama Islam. Madrasah Mamba’ul ulum ini dapat
dikatakan sebagai bentuk transisional menuju pendidikan Islam modern.48
Segenap murid-murid Mamba’ul ulum selalu berusaha menyebarkan dan
mengajarkan ilmu agama Islam yang mereka dapatkan kepada masyarakat.
Alumni Mamba’ul ulum dapat meyebarkan ajaran Islam di kauman dengan
baik. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kegiatan-kegiatan keagamaan
seperti dibukanya pengajian-pengajian, sekolah Islam dan mengadakan acara-
acara besar Islam di kauman. Kegitan pengajian yang diselengarakan alumni
Mamba’ul ulum di kauman banyak dihadiri oleh jamaah baik dari dalam
maupun luar daerah Surakarta. Atas berlangsungnya kegiatan-kegiatan
keagamaan yang diselenggarakan oleh para alumni Mamba’ul ulum tersebut
menyebabkan agama Islam mengalami perkembangan yang pesat mengikuti
kemajuan zaman.49
Mamba’ul ulum, sebuah madrasah yang telah mengalami kemajuan pada
kata dalem berarti kediaman bangsawan feodal, sedankan kata pamethakan dibentuk dari kata
pethak (putih). Untuk lebih jelasnya lihat Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif
Santri dan Abangan, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2002), hal 13-14. 48
Hermanu Joebagio, Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal: Paku Buwono X,
Meniti Kebesaran Berteraskan Wahyu, (Surakarta: UNS Press, 2005), hal 106 49
http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf , diakses pada: Rabu, 29
Desember 2015
92
saat itu mendatangkan pelajar tidak hanya dari Solo, tetapi juga banyak pelajar
dari daerah lain di Pulau Jawa yang datang, diantaranya Tegal, Semarang,
Banten, Jombang dan Mojokerto. Sebagai tempat pendidikan, Mamba’ul ulum
meluluskan alumni dan ilmuwan yang mumpuni dalam bidang agama Islam,
dan banyak melahirkan tokoh-tokoh besar yang sebelumnya pernah belajar di
sekolah ini, antara lain yaitu: Kyai Mansyur (pendiri Ponpes Al-Mansyur
Klaten), Kyai Dimyati (pendiri Ponpes Teremas, Pacitan), Syeikh Ahmad Al-
Hadi (tokoh Islam yang berasal dari Bali), Kyai Abdul Hadi Zahid (pengasuh
Ponpes Langitan), Amien Rais (mantan ketua MPR), KH, Zarkasyi (pendiri
Ponpes Gontor), KH. Hasan Ubaidah (pendiri dan pemimpin LDII), Miftah
Farid (ketua MUI Jabar).50
Lamanya mengeyam pendidikan di sekolah ini
adalah 11 tahun, dan dibagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Bagian I kelas I sampai kelas 4 untuk golongan Ibtidaiyah
2. Bagian II kelas 5 sampai kelas 8 untuk golongan Wustho
3. Bagian III kelas 9 sampai kelas 11 untuk golongan Ngulya51
Lembaga pendidikan yag bercorak Islam yang terdapat Di Kasunanan
Surakarta tidak hanya madrasah Mamba’ul Ulum, ada juga sekolah yang
didirikan oleh Muhammadiyah yang ada di Surakarta,52
sekolah Al-Islam,53
50
http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf , diakses pada: Rabu, 29
Desember 2015. 51
Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian:“Pendidikan dan Perubahan Sosial
Di Vorstenlanden”, hal 51 52
Muhammadiyah membentuk majelis pendidikan dan pengajaran pada tahun 1920.
Adanya majelis pendidikan tersebut menyebabakan meluasnya perkembangan sekolah
Muhammadiyah di berbagai daerah termasuk di Surakarta. Pada tahun 1930 tercatat terdapat 10
buah sekolah Muhammadiyah di Surakarta yan sebagian besar terdiri atas sekolah standart school.
Sekolah-sekolah Muhammadiyah ini terletak di Mangkunegaran, Notokusuman, Kleco, Kampung
Sewu, Kauman, Serengan dan Pasar Legi. Lihat Prof. Dr. Husain Haikal, dkk, Laporan Penelitian:
“Pendidikan dan Perubahan Sosial Di Vorstenlanden”, hal 46
93
dan berdiri juga sekolah yang didirikan oleh masyarakat keturunan Arab yang
ada di Surakarta, masyarakat keturunan Arab di Surakarta telah mendirikan
dua lembaga pendidikan untuk anak-anak mereka. Lembaga pendidikan itu
adalah Arrabitah Al-alawiyah dan Al-Irsyad Al-Islamiyah. Kedua lembaga
pendidikan tersebut tidak hanya diperuntukkan untuk anak-anak keturunan
etnis Arab saja tetapi terbuka juga untuk anak-anak dari etnis Jawa dan etnis
lain.
Tujuan lain dari pendirian madrasah Mamba’ul Ulum ini adalah untuk
membentuk kader-kader ulama sebagai corong dakwah rakyat dengan ajaran
Islam sebagai ajaran yang baik oleh masyarakat. Selain itu juga untuk
mendidik calon pejabat agama yang ahli dan cakap dalam menjalankan
tugasnya, seperti halnya tugas sebagai naib pernikahan dan ahli dalam bidang
hukum-hukum agama. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut maka Sunan
mendirikan lembaga pendidikan resmi agama Islam. terlebih pada masa Paku
Buwono X agama Islam di Surakarta terus mengalami kemajuan, sehingga
menuntut tersedianya sumber daya manusia yang mahir dan handal dalam
bidang agama Islam.
Dalam perkembangannya madrasah Mamba’ul Ulum mengalami arus
kencang, pergolakan-pergolakan nasional melawan kekuasaan kolonialisme
53
Sekolah Al-Islam bertujuan untuk mempersatukan aliran-aliran dalam Islam yang tidak
mengakui adanya madzhab, yang menjadikan Islam sebagai agama modern yang mampu
mengikuti perkembangan zaman. Kelahiran Al-Islam bermula dari kelompok pengajian di
kampung Jamsaren, Surakarta pada tahun 1926, muncul akibat ketidakpuasan terdadap sistem
pendidikan kolonial yang dualistisa dan mempunyai sifat sekuler. Selai itu Al-Islam ingin
menjembatanisistem pendidikan tradisonal dan modern yang telah memicu perpecahan di kalangan
umat Islam. lihat: Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1915, (Jakarta: LP3ES
1982), hal 71
94
Belanda dan missi Kristenisasi di Surakarta. Madrasah Mamba’ul Ulum tetap
teguh peranannya dalam melahirkan ulama-ulama yang tangguh dalam
menghadapi tantangan. Mamba’ul ulum bisa disebut sebagai institusi
pelindung di Surakarta, karena dapat mencetak intelektual Islam yang
dipandang mampu membangun dan memperkuat ajaran dan daya tahan Islam
dalam tekanan pemerintah Belanda.
Maka jika disimpulkan, latar belakang berdirinya Mamba’ul ulum yaitu,
1) mengantisipasi perkembangan agama Kristen yang telah mendirikan
sekolah-sekolah yang dikelola oleh zending di Sukarta, 2) karena adanya
modernisasi terhadap sistem pendidikan Islam yang berpengaruh terhadap
perubahan sistem pendidikan, sekolah ini merupakan pelopor berdirinya
sekolah Islam pertama di Surakarta yang membawa perubahan pendidikan
Islam yang semula lingkup pesantren beralih ke madrasah dan
perkembangannnya menjadi sekolah Islam, 3) karena tersadar akan sumber
daya manusia yang berdasarkan nilai Islam menuntut tersedianya pejabat
agama dan ulama yang mampu dan ahli dibidangnya. Di Madrasah Mamba’ul
ulum ini dapat terlahir akan pejabat agama dan ulama. Pemenuhan akan
pejabat keagamaan merupakan kebutuhan jangka pendek sedangkan
kebutuhan jangka panjangnya adalah mencetak kader-kader ulama yang
mumpuni dibidangnya.54
Demikianlah maka Mamba’ul ulum ini adalah bentuk simbol perlawanan
jihad Susuhanan Paku Buwono X terhadap Belanda untuk menekan laju
54
Andi Haris Prabawa, Atika Sabardila, “Peran Abdi Dalem Ngulama Keraton
Kasunanan Surakarta”, (Surakarta: Lembaga Pendidikan UMS, Jurnal Penelitian Humaniora Vol.
2 No. 1, Februari 2001), hal 4
95
pendidikan model Barat yang didalamnya diajarkan agama Kristen.
Disamping itu madrasah Mamba’ul Ulum ini merupakan usaha serius elit
poitik mengarungi jalan kemajuan kebangsaan dan wawasan agama Islam.
untuk meningkatkan semangat belajar agama Islam dan memelihara
kebudayaan Jawa oleh masyarakat berhasil dicapai.
96
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka hasil kesimpulan
yang didapat yaitu:
1. Sunan Paku Buwono X merupakan raja Keraton Surakarta yang
memerintah pada tahun 1893 sampai 1939. Keraton Surakarta pada waktu
diperintah oleh Sunan Paku Buwono X merupakan pusat kebudayaan Jawa
yang telah memberi kontribusi besar terhadap perjalanan sejarah bangsa
Indonesia. Semasa Sunan Paku Buwono X bertahta, keadaan Praja
Surakarta Hadiningrat sudah memasuki zaman baru. Sunan Paku Buwono
X seorang raja yang banyak membawa perubahan yang bersifat progresif,
banyak menciptakan kemajuan di lingkungan keraton Surakarta. Sunan PB
X adalah penguasa Jawa yang mudah menerima masuknya pengaruh
budaya asing sebagai salah satu unsur modernisasi di lingkungan keraton.
Masuknya zaman modernisasi yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa
dimanfaatkan oleh Sunan untuk meningkatkan kesejahteraannya di
sebagian tanah Jawa dengan melakukan modernisasi. Selama Susuhanan
Paku Buwono X menjadi seorang raja, keadaan negara nyaris tanpa
kendala, karena begitu bagusnya pemerintahan yang membuat
kesejahteraan. Ia banyak memberikan dana untuk kesejahteraan umum
dalam hal pembangunan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain. Semenjak
Susuhanan Paku Buwono X bertahta banyak perubahan dan mampu
97
menciptakan kehidupan yang lebih sejahtera bagi rakyat dan negaranya.
Pada masa Paku Buwono X agama Islam juga mengalami perkembangan
yang pesat.
2. Gerakan kristenisasi di Indonesia sudah dilakukan oleh misionaris kristen
sejak zaman pejajahan Belanda. Oleh karena itu, sejarah kristenisasi tidak
bisa dipisahkan dari misi penjajahan, karena salah satu misi penjajahan
Belanda di Indonesia adalah menyebarkan agama Kristen. Kegiatan
Zending mempunyai dua tugas utama di Indonesia, yaitu dibidang
pendidikan dan bidang kesehatan. Pemerintah Belanda memberikan
layanan yang menjanjikan bagi rakyat miskin pribumi, yaitu ketika mereka
memperkenalkan “Politik Etis” atau Poitik Balas Budi, mereka bekerja
dalam bidang pendidikan dan layanan kesehatan. Dalam bidang
pendidikan masyarakat diperkenalkan dengan pendidikan Barat yang lebih
modern, dengan didirikannya sekolah-sekolah oleh pemerintah Belanda.
Dalam mendirikan sekolah-sekolah pemerintah Belanda bekerjasama
dengan para missionaris dengan tujuan untuk “membelandakan” anak-
anak pribumi dengan harapan agar anak-anak pribumi masuk kepada
agama Kristen. Bentuk pendidikan ala Barat sebagai realitas dari Politik
Etis juga dirasakan di Surakarta. terdapat bermacam-macam sekolah
model Barat di Surakata, yaitu: sekolah-sekolah yang didirikan oleh
Zending, sekolah-sekolah yang dikelola oleh Missi, sekolah-sekolah yang
dikelola oleh Muhammdiyah, dan sekolah-sekolah yang dikelola oleh
Kerajaan. Dan sekolah-sekolah yang mempunyai tujuan agar masyarakat
98
pribumi masuk kedalam agama Kristen yaitu sekolah yang dikelola oleh
Zending dan Missi. Sekolah-sekolah yang dikelola oleh missionaris atau
sekolah Katolik yang berada di Surakarta antara lain adalah: sekkolah
MULO (Meer Uitgebreid Lagere Onderwijs) 1 buah, sekolah ELS (1
buah), HIS (2 buah), dan Meisjesschool (2 buah), sekolah-sekolah tersebut
tersebar di Purbayan, Pasar Kliwon, Kemlayan, Jebres.
Selain banyak mendirikan lembaga-lembaga sekolah juga banyak
bermunculan berbagai Rumah Sakit. Pada awal abad ke-20 dengan adanya
politik etis yang dicetuskan oleh pemerintah Belanda, membuat beberapa
program perbaikan kesejahteraan masyarakat, salah satu diantaranya ialah
perbaikan mutu pelayanan kesehatan. Rumah sakit yang dikelola oleh
Zending mempunyai tujuan utama yaitu sebagai tempat penyebaran
agama. Di Surakarta rumah sakit yang dikelola oleh Zending yaitu Rumah
Sakit Jebres Surakarta. Rumah sakit Zending ini sejak awal didirikan telah
mempunyai perhatian pelayanan kesehatan terhadap orang miskin dan
terlantar. Selain untuk pelayanan kesehatan rumah sakit ini juga bertujuan
untuk menyebarkan ajaran Kristen. Dokter yang bertugas merawat orang
sakit bertugas juga untuk memberi pencerahan tentang agama Kristen.
3. Bersama Sarekat Islam Sunan melakukan perlawanan secara simbolis
terhadap aktifitas kristenisasi yang menyebarkan agamanya di Hindia
Belanda, khususnya di Surakarta. Peranan Paku Buwono sebagai kepala
agama Islam di Surakarta merupakan suatu peranan yang membuat
hubungannya dengan Sarekat Islam sebagai sesuatu yang wajar. Hubungan
99
demikian diperkuat lagi dengan perlawanan terhadap kegiatan para
penginjil Kristen. Pada saat ketika pemerintah Belanda ingin mendirikan
Rumah Sakit Zending di surakarta, Paku Buwono menolak karena
pengaruh dari Sarekat Islam. karena Paku Buwono X dan Sarekat Islam
mempunyai hubungan yang dekat pada waktu itu. Atas berdirinya Sarekat
Islam rupanya Sunan menyadari adanya gerakan nasionalisme yang tengah
terjadi di Surakarta. Sunan merangkul kaum nasionalis untuk melawan
kekuasaan Belanda dan mengenyahkannya dari Indonesia.
Paku Buwono X merasa resah dengan kegiatan-kegiatan penginjilan
yang terjadi diSurakarta. Karena telah banyak mendirikan sekolah-sekolah
yang didalamnya diajarkan agama Kristen dan melarang diajarkannya
agama Islam. Hal itu mengakibatkan munculnya reaksi dari kasunanan
Surakarta yang ingin mendirikan sekolah Islam sebagai bentuk kepedulian
Sunan terhadap Islam. oleh karena itu didirikanlah Mamba’ul ulum
sekolah yang bercirikan Islam. Berdirinya madrasah ini membuktikan
bahwa raja tidak lagi bersifat netral terhadap urusan agama dan menaruh
perhatian besar terhadap pendidikan agama Islams, hal ini disebabkan
hadirnya Zending. dan Mamba’ul ulum ini adalah bentuk simbol
perlawanan jihad Susuhanan Paku Buwono X terhadap Belanda untuk
menekan laju pendidikan model Barat yang didalamnya diajarkan agama
Kristen.
100
B. Saran-saran
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa
untaian kata demi katanya tidak terlepas dari kealfaan dan kekhilafan. Jika
isinya sesuai dengan pandangan pembaca maka semua itu sepenuhnya atas
petunjuk Allah SWT dan jika tidak relevan dilihat dari berbagai sudut
pandang maka semua itu adalah dari keterbatasan penulis sebagai manusia
biasa. Untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat membantu
penulis dalam peyempurnaan skripsi ini. Karena dalam tulisan ini masih jauh
dari kesempurnaan dan masih banyak kekurangan-kekurangan penulis
menyarankan agar ada lagi yang menggali lebih dalam masalah yang terjadi di
Indonesia, khusunya Surakarta. Karena masih banyak sekali kajian yang
masih belum terulaskan secara menyeluruh.
101
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Taufik dan Suripmiharjo, Abdurrahman Ilmu Sejarah dan Historiografi
arah dan Perspektif, Jakarta: Gramedia, 1958
Adnan, Basid (ed), Mutiara Hikmah: Kapita Selekta Tulisan K.H.R Muhammad
Adnan, Surakarta: Yayasan Mardikintoko,1977
Amin, M. Mansyur, Sarekat Islam Obor Kebangkitan Nasional 1905-1942,
Komplek IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta: Al-Amin Press, 1996
Adnan, A. Basit, Sejarah Masjid Agung daan Gamelan Sekaten di Surakarta,
Surakarta: Yayasan Mardikintoko
Depdikbud, Searah Pendidikan Daerah Jawa Barat, Jakarta: Depdikbud
de Graaf, H.J, dan Th. G. Th. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa,
Peralihan Majapahit ke Mataram, Jakarta: Grafitipers, 1985
Djumhur dan Danasuparta, Sejarah Pendidikan, Bandung: CV. Ilmu, 1976
Dhuha, Syamsud, Penyebaran dan Perkembangan Islam-Katolik-Protestan di
Indonesia, Surabaya: Usaha Nasional, 1987
Geertz, Cliffort, Santri Dan Abangan Di Jawa, Jakarta: Pustaka Raya, 1983
G.J, Resink, Raja dan Kerajaan Yang Merdeka di Indonesia 1850-1910, Jakarta:
Djambatan, 1987
Hadisiswaya, Anom Muhammad, Pergolakan Raja Mataram, Interprebook, 2001
Haikal, Husain, dkk, Laporan Penelitian: “Pendidikan dan Perubahan Sosial Di
Vorstenlanden”, Yogyakarta: UNY, 2012
Hidayat, Komaruddin, (Ed) Passing Over, Melintas Batas Agama, Jakarta:
Gramedia dan Paramadina, 1998
Houben, Vincent J.H, Keraton and Kumpeni: Surakarta and Yogyakarta 1830-
1870, Leiden: KITLV Press, t.th
Joebagio, Hermanu, Kajian Sejarah Mikro Sebagai Muatan Lokal: Paku Buwono
X, Meniti Kebesaran Berteraskan Wahyu, Surakarta: UNS Press, 2005
-------------------------, Merajut Nusantara: Paku Buwono X dalam Gerakan Islam
dan Kebangsaan, Surakarta: Cakrabooks, 2010
102
Karno, R.M, Riwayat dan Falsafah Hidup ingkang Sinuhun Sri Susuhanan
Pakubuwono X 1893- 1939, Jakarta: 1990
Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka, 1994
Korver, A.P.E, Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil, Jakarta: Grafiti Press, 1985
Kuntowidjoyo, Raja, Priyai dan Kawula Surakarta 1900-1915, Yogyakarta:
Ombak, 2004
Kusniatun, Dinamika Keraton Dalam Pengembangan Budaya Islam Dan
Kebudayaan Jawa, Makalah Suplemen Seminar Nasional, “Peran
Keraton Dalam Pengembangan Islam, Surakarta: UMS, 2007
Larson, George, Masa Menjelang Revolusi Keraton dan Kehidupan Poitik di
Surakarta 1912-1945, Yogyakarta: Gajah Mada Uniersity Press, 1989
Lekkerkerker, C, Land en Volk Van Java, Groningen: 1983
Lukito, Ratno, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Jakarta:
INIS, 1998
Maksum, Madrasah, Sejarah dan Perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu, 1990
Moertono, Soemarsaid, Negara dan Usaha Bina Negara di Jawa Masa Lampau.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985
Mulyadi, Hari, dkk, Runtuhnya Kekuasaan “Keraton Alit”(Studi Radikalisasi
Sosial “Wong Sala”dan Kerusuhan Mei 1998 di Surakarta). Surakarta:
Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan, 1999
Nata, Abudin, ed, Sejarah pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-lembaga
Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia, 2001
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1915, Jakarta: LP3ES
1982
Nurhadiatmoko, “Konflik-konflik Sosial Pri-Nopri dan Hukum Keadilan Sosial”,
dalam Rustopo, Menjadi Jawa: Orang-orang Tionghoa dan Kebudayaan
Jawa Di Surakarta, 1898-1998, Yogyakarta-Jakarta: Ombak-Yayasan
Nabil, 2007
Nurhajarini, Dwi Ratna, dkk, Sejarah Kerajaan Tradisional Surakarta, Jakarta:
Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1999
103
Pasha, Musthafa Kamal dan Darban, Ahmad Adaby, Muhammadiyah Sebagai
Gerakan Islam, Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri, 2005
Pasha, Musthafa Kamal dan Jusuf, Chusnan, Muhammadiyah Sebagai Gerakan
Islam, Yogyakarta: Persatuan, 1989
Pemberton, John, “Jawa” On The Subject Of Java, terjemahan Hartono
Hadikusumo, Yogyakarta: Mata Bangsa, 2003
Pemda Kodia Tingkat II Surakarta, Kenangan Emas 50 Tahun Surakarta,
Surakarta: Murni Grafika dan STSI, 1997
Purwadi, dkk, Sri Susuhanan Pakubuwono X Perjuangan, Jasa dan
Pengabdiannya untuk Nusa Bangsa, Jakarta: Bangun Bangsa, 2009
Puspaningrat, S, Mengenal Sri Susuhanan Paku Buwono X, Surakarta:
Cendrawasih, 1996
Pusponegoro, Ma’mum, dan Soim, Muhammad, Kauman, Religi, Tradisi dan
Seni, Surakarta: Paguyuban Kampung Wisata Batik Kauman, 2007
Radjiman , Sejarah Mataram Kartasura Sampai Surakarta Hadiningrat,
Surakarta: Krida Surakarta. 1984
Rais, Lukman Fathullah, Muhammad Nasir Pemandu Umat, Jakarta: PT. Bulan
Bintang, 1989
Rajasa, Sutan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002
Rambe, Safrizal, Sarekat Islam Pelopor Bangkitnya Nasionalisme Indonesia
1905-1942, Jakarta: Yayasan Kebangkitan Insan Cendekia, 2008
Ramelan, KRT. Kastoyo, Sinuhun Paku Buwono X Pejuang dari Surakarta
Hadiningrat, Bandung: Jeihan Institute, 2004
Ricklefs, M.C, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta: PT Serambi Ilmu
Semesta, 2005
Ricklefs, M.C, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792: Sejarah
Pembagian Jawa, Yogyakarta: Matabangsa, 2002
Sayid, Babad Sala, Surakarta: Reksopustoko, 1984
S.D, Subhan, Ulama-ulama Oposan, Bandung: Pustaka Hidayah, t.th
104
Shihab, Alwi, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah terhadap
penetrasi Misi Kristenisasi di Indonesia, Bandung: Penerbit Mizan, 1998
Siswadi, Sugiarti, Rumah Sakit Bathesda: Dari Masa ke Masa, Yogyakarta: Andi
Offset, 1989
Simbolon, Paraktiri T, Menjadi Indonesia, Jakarta: Penerbit Kompas, 2006
Soedarmono, Surakarta Kota Kolonial, Laporan Penelitian, Surakarta: LPPM
UNS, 2004
Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Yogyakarta: Gadjah Mada
University perss, 1986
Soeratman, Darsiti, Istana Sebagai Pusat Kebudayaan Lampau dan Kini,
Yogyakarta: Pidato pengukuhan Guru Besar UGM
Soeratman, Darsiti, Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Yogyakarta:
Universitas Gadjah Mada, 1989
Steenbrink, Karel A, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1986
Subhan, Arief, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke 20, Pergumulan
antara Modernisasi dan Identitas, Jakarta: LPJM UIN Jakarta press, 2009
Suhartono, Apanage dan Bekel, Perubahan sosial di Pedesaan Surakarta 1830-
1920, Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 1991
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985
Sumodiningrat, Gunawan dan Ari Wulandari, Paku Buwono X, Yogyakarta:
Narasi, 2014
Sutherlend, Heather, Terbentuknya Sebuah Elit Birokrasi, Jakarta: Sinar Harapan,
1983
Tjandrasasmita, Uka, Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di
Indonesia: Dari Abad XIII XVIII Masehi, Kudus: Menara Kudus, 2000
Utomo, Cahya Budi, Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia, IKIP
Semarang Press, 1995
Winarti, Sri, Sekilas Sejarah Keraton Surakarta, Surakarta: Cendrawasih, 2004
Wiradiparja, Saefullah, Satu Abad Dinamika Perjuangan Sarekat Islam, Jakarta:
Dewan Pimpinan Wilayah Sarekat Islam Jawa Barat, 2005
105
Wolterbeek, J, Babad Zending di Pulau Jawa, Yogyakarta: Taman Pustaka
Kristen, 1995
Woodwark, Mark. R, Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan,
Yogyakarta: LKis, 2006
Yatim, Badri, Historiografi Islam, Jakarta: Logos, 1995
Muchtarom, Zaini, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002
Sumber Artikel/Jurnal:
Bahaudin, “Kebijakan Subsidi Kesehatan Kolonial di Jawa Pada Awal Abad ke-
20” dalam Lembar Sejarah Vol. 8. no 2
Haikal, Husein dkk, Laporan Penelitian:“Pendidikan dan Perubahan Sosial Di
Vorstenlanden, Yogyakarta: UNY, 2012
Joebagio, Hermanu “B.R.M.G. Sayyidin Malikul Kusno: Pelopor Pendidikan
Masyarakat”, Surakarta: FKIP Universitas Sebelas Maret, Cakrawala
Pendidikan, Februari 2009, Tahun XXVIII, No 1
Prabawa, Andi Haris, Atika Sabardila, “Peran Abdi Dalem Ngulama Keraton
Kasunanan Surakarta”, Surakarta: Lembaga Penelitian UMS, Jurnal
Penelitian Humaniora Vol.2.No 1 Februari 2001
Sumber Arsip:
Staatsblad van Nederlandsch-Indie No. 276 tahun 1906, koleksi ANRI Jakarta
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1905, No. 550, pasal 1. Koloksi ANRI Jakarta
Staatsblad van Nederlandsch-Indie 1893, No. 125, pasal 5, Koleksi ANRI Jakarta
Dari Skripsi:
Ariyanti, Retna, Pendidikan Muhammadiyah Sebagai Strategi Pembaharuan
Sosial di Surakarta 1930-1970, Skripsi: Universitas Sebelas Maret,
2011
106
Sumber Internet:
www.muhammadiyah.co.id
https://plezierku.wordpress.com/2014/05/10/sosok-paku-buwono-x-raja-surakarta-
yang-penuh- kharisma/
http://www.kerajaannusantara.com/id/surakarta-hadiningrat/sosial-budaya-agama
http://rsmoewardi.com/profile
http://www.academia.edu/10196208/ARTIKEL_3
http://jurnalpatrolinews.com/2015/03/11/sinuwun-paku-buwana-x-raja-yang-
merakyat- motivator-pergerakan-nasional-dan-pahlawan-nasional/
http://eprints.uns.ac.id/521/5/170101811201012185.pdf
107
LAMPIRAN
108
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Peta Lokasi Keraton Surakarta Hadiningrat
https://history1978.wordpress.com/2009/12/12/keraton-surakarta-hadiningrat/
Keraton Surakarta Hadiningrat
Keraton Surakarta merupakan bangunan yang eksotis dizamannya. Keraton
Surakarta seperti yang dilihat sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada tahun 1744-
1745, namun dibagun secara bertahap. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran
terakhir dilakukan oleh Susuhanan Paku Buwono X (1893-1939). Sebagian besar keraton
ini bernuansa warna putih dan biru dengan arsitektur gaya campuran Jawa-Eropa.
http://www.disolo.com/keraton-kasunanan-surakarta-hadiningrat/
109
Pintu masuk ke singgasana Keraton Surakarta, foto dibuat tahun 1920
http://fotoindonesiatempodoeloe.blogspot.co.id/2012/07/solo-tempo-dulu.html
Susuhanan Paku Buwono X Raja Keraton Kasunanan Surakarta
(1893-1939)
110
Susuhanan Paku Buwono X beserta isteri Kanjeng Ratu Mas, pada tanggal 15 Januari
1921
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_va
n_Pakoe_Boewono_X_Susuhunan_van_Solo_met_echtgenote_in_het_residentiehuis_te_
Semarang_TMnr_60020676.jpg
111
Paku Buwono X bersama Gubernur Jendral Idenburg
http://archive.kaskus.co.id/thread/9903360/0/foto-foto-wilayah-solo-raya-saat-jaman-
kolonial-belanda-no-sotoshop
112
Para prajurit Keraton Surakarta, pada tahun 1910 – 1930
https://commons.wikimedia.org/wiki/File:COLLECTIE_TROPENMUSEUM_Portret_va
n_een_corps_prajurits_aan_het_hof_van_de_Susuhunan_van_Solo_Soerakarta_TMnr_60
001451.jpg
113
Madrasah Mamba’ul Ulum
http://www.solopos.com/2015/02/20/man-2-solo-miliki-museum-pendidikan-islam-
578383
Syahadah atau ijazah madrasah Mamba’ul ulum
114
Kereta jenazah untuk membawa jasad almarhum Susuhanan Paku Buwono X ke
Yogyakarta disiapkan di stasiun NIS, Solo Balapan
http://luk.staff.ugm.ac.id/itd/Sala/01.html
115
Suasana pemakaman Susuhanan Paku Buwono X
https://commons.wikimedia.org/wiki/Category:Pakubuwono_X