PERAN LEMBAGA BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA …
Transcript of PERAN LEMBAGA BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA …
PERAN LEMBAGA BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA DALAM
PEMBINAAN PANCASILA DITINJAU DARIMAQASHID AL-SYARI’AH
Skripsi
Diajukan sebagai Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
pada Program Studi Hukum Tata Negara (Siyasah) Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh
AHMAD ADIN NUGROHO
NIM: 11160453000026
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021 M/1442 H
ii
iii
iv
iv
v
ABSTRAK
Ahmad Adin Nugroho, NIM. 111604530000026, ‘’PERAN LEMBAGA
BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA DALAM PEMBINAAN
PANCASILA DITINJAU DARI MAQASHID AL-SYARI’AH”, Program Studi
Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta 1442 H/2021 M. Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui
peran BPIP yang cukup penting dalam pembinaan ideologi pancasila di Indonesia, dan
bagaimana analisi maqashid syariah terhadap peran BPIP. Adapun, penelitian ini
menggunakan metode analisis kualitatif. Sedangkan sumber data yang diperoleh
berupa sumber hukum primer, hukum sekunder.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa BPIP sebagai lembaga yang
berperan membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi
pancasila, melakukan koordisani, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi
Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan yang memiliki kewenangan untuk
menentukan arah kebijakan presiden yang harus sesuai dengan nilai-nilai pancasila.
Peran BPIP sangat dibutuhkan oleh Negara mengingat bahwa Pancasila merupakan
Ideologi Negara yang harus dijaga dan ditanamkan di setiap aspek berNegara. Tidak
hanya itu, BPIP juga memiliki peran untuk meluruskan dan menanamkan nilai-nilai
pancasila ke dalam seluruh elemen masyrakat, agar sejarah kelam tentang
pemberontakan pancasila tidak akan terulang lagi. Adapun dalam tinjauan maqashid
syariah, peran (BPIP) yang memiliki andil untuk menciptakan masyarakat yang adil,
makmur dan sejahtera selaras dengan substandi dari maqashud syariah. Adapun, nilai-
nilai yang terkandung dalam pancasila sebenarnya merupakan perwujudan dari
substansi yang terdapat dalam maqashid syariah.
.
Kata Kunci :BPIP, Maqashid Al-Syari’ah, Pancasila
Pembimbing : Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.A.,
Daftar Pustaka : Dari tahun 1958 sampai 2019
v
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur tak hentinya terucap kepada Allah SWT,
berkat nikmat, anugerah, dan nikmat-Nya penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan judul “’PERAN LEMBAGA BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA DALAM PEMBINAAN PANCASILA
DITINJAU DARI MAQASHID AL-SYARI’AH ’’
Shalawat serta salam penulis limpahkan kepada Nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa umat Islam dari zaman yang gelap gulita ke
zaman yang terang benderang dan menuju jalan yang diridhoi oleh Allah
SWT.
Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga dalam
kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih yang amat besar
kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.A., M.H., Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Para Wakil
Dekan.
2. Sri Hidayati, M.Ag., Ketua Program Studi Hukum Tata Negara dan
juga kepada Dr. Hj. Masyrofah, S.Ag., M.Si., Sekertaris Program
Studi Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H., M.A., Dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu, tenaga, pikiran serta kesabaran yang luar
biasa dalam membimbing penulis, sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan tepat waktu.
4. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
vi
vii
Hidayatullah Jakarta khususnya Dosen Program Studi Hukum Tata
Negara yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus dan
ikhlas.
5. Teman-teman Hukum Tata Negara 2016 yang telah menemani selama
kurang lebih 4 tahun ini.
6. Sahabat penulis, Choirunisa terima kasih atas dukungannya
7. Kedua orang tua penulis, Bapak Kuntoro dan Ibu Chodijah yang
selalu memberikan support dan fasilitas untuk bisa menyelesaikan
skripsi ini.
8. Dan seluruh pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu nama
nya yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan karya ilmiah
ini, akan tetapi tidak mengurangi rasa terima kasih penulis.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi
penulis dan umumnya bagi pembaca.
Jakarta, 18 Februari 2021 M/ 1442 H
Ahmad Adin Nugroho
11160453000026
vii
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………...….… ii
LEMBAR PERNYATAAN …………………………………………….…... iv
ABSTRAK …………………………………………………………..……..… v
KATA PENGANTAR ………………………………………………….........vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. viii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………....... 1
A. Latar Belakang Masalah ………………………………….............. 1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ……….............. 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………………….... 5
D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu …………………………….. 6
E. Teknik Pengolahan dan Metodologi Penelitian …………………... 8
F. Sistematika Penelitian ……………...……………………………. 10
BAB II LANDASAN TEORI MAQASHID AL-SYARI’AH ……….…...... 12
A. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah ………………………………. 12
B. Sejarah Lahirnya Maqashid Al-Syari’ah …………………........... 15
C. Dasar Hukum Maqashid Al-Syari’ah …………………………… 21
D. Klasifikasi Maqashid Al-Syari’ah ………………………………. 23
BAB III PERAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN LEMBAGA
BADAN PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA (BPIP)
TERHADAP IDEOLOGI PANCASILA ………….........….…... 31
A. Sejarah Lembaga Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) ……………………………………………….. 31
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ...........................................................iii
viii
ix
B. Dasar Hukum Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) ………………..……………………………….. 33
C. Kedudukan Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) dalam Struktural Kelembagaan Indonesia ………………. 42
D. Tugas dan Fungsi Lembaga Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2018 .……...… 47
E. Pertanggungjawaban Lembaga Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) dalam Pembinaan Ideologi Pancasila... 54
BAB IV PERAN LEMBAGA BADAN IDEOLOGI PANCASILA
(BPIP) DALAM PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARI’AH ….. 58
A. Definisi dan Sejarah Pancasila ………………………………….. 58
B. Argumentasi Eksistensi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila .... 66
C. Peran Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
dalam Pembinaan Ideologi Pancasila …………........................... 69
D. Peran Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
dalam Perspektif Maqashid Syari’ah …….…………………...…73
BAB V PENUTUP …………………………………………………...….... 76
A. Kesimpulan …………………………………………...…..…..…76
B. Saran ……………………………………………………..…...…77
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..….…... 77
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan ideologi (dalam pengertian: ide-ide
dasar tentang sistem yang akan diwujudkan atau a system of ideas) dalam
menyelenggarakan pemerintahan Negara sehingga berkedudukan sebagai ideologi
Negara, merupakan rujukan yang paling dasar atau fundamen atas semua aturan
hukum yang akan dibuat untuk mengatur seluruh kehidupan negara dan bangsa
sehingga berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum (Staats
fundamentalnorm).1
Penempatan Pancasila sebagai sumber hukum dari segala sumber hukum Negara
adalah sesuai pembukaan UUD NRI 1945 yang menempatkan pancasila sebagai
ideologi dan dasar serta filosofis bangsa dan Negara Indonesia. Pancasila sebagai
petunjuk hidup berbangsa dan bernegara merupakan pedoman bagi setiap arah dan
kegiatan bangsa Indonesia di segala bidang. Dengan demikian, setiap warga negara
Republik Indonesia wajib bersumber dan bernaung di bawah kaidah fundamendal
negara tersebut2.
Pancasila merupakan akar budaya bangsa, oleh karena Pancasila ialah cita-cita
luhur bangsa Indonesia yang digali dari akar budaya bangsa (the Nation’s culture).3
Pancasila sebagai ideologi nasional mengatasi faham perseorangan, golongan, suku
bangsa, dan agama. Sehingga semboyan “Bhineka Tunggal Ika” diterapkan bagi
1 Fakultas Hukum, Universitas Negeri Semarang, Pemantapan Nilai-Nilai Ideologi Bangsa Dalam
Rangka Penguatan Ketahanan Nasional Dalam Aras Global, Seminar Nasional Hukum, Volume 3 No.
1, tahun 2016.
2 Muhammad Chairul Huda, Meneguhkan Pancasila Sebagai ideologi Bernegara: Implementasi
Nilai-Nilai keseimbangan Dalam Upaya Pembangunan Hukum Di Indonesia, Resolusi Vol. 1No. 1 Juni
2018
3 Backy krisnayuda, Pancasila Dan Undang-Undang: Relasi dan Transformasi Keduanya dalam
Sistem Ketatanegaraan di Indonesia, (Jakarta: Prenamedia Group, 2016), h. v.
1
2
segala masyarakat Indonesia dalam kesatuan utuh, Pancasila sebagai ideologi nasional
berpaya meletakan kepentingan bangsa dan negara Indonesia ditempatkan dalam
kedudukan utama diatas kepentingan lainnya.
Seiring berkembangya zaman, nilai-nilai Pancasila mulai meredup baik di dalam
tata kelola pemerintahan maupun di kalangan masyarakat, dikarenakan belum adanya
konsep revitalisasi yang pasti, Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra bicara
pentingnya revitalisasi Pancasila. Menurutnya, saat ini menghadapi ancaman laten
yakni radikalisme. Azyumardi Azra mengatakan “Pancasila itu kalau nggak hati-hati
berhadapan dengan ideolog lain itu bisa kalah. Karena itu ancamannya riil. Kemaren
ada dosen yang simpan bom Molotov di rumahnya,”dalam acara Dialog Kebangsaan
di Hotel Bidakara Jakarta Selatan, minggu (6/10/2019)4.
Untuk menjaga keutuhan dari Nilai-Nilai Pancasila, Presiden mengeluarkan
Prepres Nomor 7 tahun 2018 untuk membentuk Badan pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) untuk membantu presiden dalam hal pembinaan idelogi Pancasila
Kelembagaan di Indonesia dibentuk dan dibuat untuk membantu pemerintahan
dalam menjalani tugas kenegaraan. Tugas dalam membantu pemerintahan tak hanya
dalam bidang ekonomi, sosial politik, pembangunan, dan pendidikan. Akan tetapi, bisa
juga dalam hal lainnya yang dapat menopang sasaran tujuan dari pemerintahan. BPIP
sendiri memiliki tugas khusus untuk membantu pemerintahan dalam pembinaan
ideologi Pancasila pada masyarakat.
Sesuai pasal Perpres Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Badan pembinaan Ideologi
Pancasila, BPIP memiliki tugas untuk membantu Presiden dalam merumuskan arah
kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan
pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan
melaksanakan penyusunan standarisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian
terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan pancasila kepada lembaga
4 https://www.m.detik.com, diakses pada Selasa 18 Februari 2020, pukul 13: 58 WIB.
3
tinggi negara, Kementrian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik dan
komponen masyarakat lainnya5
Pancasila sebagai petuntuk hidup berbagsa dan bernegara disemakin
diperlukan untuk menghadapi tantangan dan persoalan bangsa ini, semenjak
kemerdekaan Indonesia, Pancasila berhasil mempertahankan kebhinekaan dan
pluralitas bangsa indonesia, maka dari itu BPIP perlu dibentuk untuk menjaga nilai-
nilai pancasila di bangsa ini.
Terbentuknya Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) diharapkan dapat
membantu presiden dalam menjaga dan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila
kepada bangsa ini dari ideologi-ideologi lain yang bisa menghancurkan bangsa ini,
baik secara langsung ataupun secara tidak langsung.
Pembentukan Badan Pembinaan ideologi Pancasila (BPIP) sendiri masih
menyisihkan permasalahan, dengan anggaran yang lumayan besar, peran BPIP itu
sendiri yang sampai saat ini masih belum terlihat perkembangannya dalam Pembinaan
Pancasila, salah satu contohnya ialah prihal menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan
atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada Lembaga Tinggi Negara,
kemnetrian/Lembaga, Pemerintahan Daerah, Organisasi sosial Politik,dan komponen
masyaraat lainnya.
Nilai-nilai Pancasila sangatlah dibutuhkan dalam menghadapi berbagai
persoalan bangsa ini, maka dari itu peran BPIP sebagai tangan kanan presiden dalam
mengurusi Pembinaan ideologi Pancasila Peran pancasila sangatlah diperlukan sebagai
upaya menyelesaikan berbagai masalah-masalah di negara seperti pemahaman
radikalisme, kasus korupsi, tauran pelajar,banyaknya anak lahir di luar nikah, dll.
Dengan cara revitalisasi nilai-nilai pancasila. Dalam sejarah bangsa ini telah terlaksana
5 Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 2018 tentang badan Pembinaaan ideologI
Pancasila
4
berbagai upaya revitalilasi nilai-nilai pancasila dengan sangat mempertimbangkan
situasi dan kondisi sosial politik yang sedang berkembang6
Hingga saat ini jika ditinjau dari Maqashid Syari’ah peran BPIP tentu sangat
dibutuhkan dalam mewujudkan Maqashid Syari’ah dimana pengertian Maqashid al-
Syari’ah menurut Abu Zahra menegaskan bahwa tujuan hakiki hukum islam adalah
mashlahat7 tujuan dari syari’at Islam adalah untuk mewujudkan kemashlahatan dan
menolah kemudharatan bagi umat manusia, maka dari itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul “Peran Lembaga Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila dalam Pembinaan Pancasila Ditinjau Dari Maqashid
al-Syari’ah”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang dipaparkan di atas, maka terapat
beberapa identifikasi masalah yang akan dibahas lebih lanjut dalam skripsi
ini, yaitu :
a. Peran Lembaga Badan pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam
melakukan pembinaan Ideologi Pancasila.
b. Tinjauan dari Maqashid al-Syari’ah terhadap Lembaga Badan pembinaan
Ideologi Pancasila dalam melaksanakan tugasnya.
c. Urgensi didirikannya Badan Pembinaaan Ideologi pancasila dalam
pembinaan ideologi Pancasila.
d. Kedudukan Lembaga Badan Pembinaan ideologi Pancasila (BPIP) dalam
struktural ketatanegaraan Indonesia
6 Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya, (Yogyakarta: Paradigma, 2013), h. 32
7 Muhammad Abu Zahra, Ushul al-Fiqh, (Mesir : Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 366
5
e. Penerapan tugas dan wewenang Lembaga Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila dalam Perpres Nomor 7 tahun 2018 tentang Badan Pembinaan
ideologi Pancasila..
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam melakukan penelitian, maka
penulis membatasi masalah yang akan dibahas, sehingga pembahasannya
akan lebih jelas dan terarah sesuai dengan yang diharapkan penulis. Maka
dari itu, penulis akan memfokuskan skripsi ini dengan pembahasan peran
Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila ditinjau dari Maqashid al-
Syari’ah.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan atas latar belakang dan identifikasi masalah yang
disebutkan, maka yang menjadi rumusan masalah, yaitu :
a. Bagaimana peran Lembaga Badan Pembinan Ideologi pancasila (BPIP)
dalam Pembinaan Ideologi Pancasila?
b. Bagimana tinjauan Maqashid al-Syari’ah terhadap peran Lembaga Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam pembinaan ideologi Pancasila?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui peran Lembaga Badan Pembinaan Idiologi pancasila
(BPIP) dalam melakukan Pembinan ideologi Pancasila.
b. Untuk mengetahui peran Lembaga Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
ditinjau dari Maqashid al-Syari’ah.
6
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat Akademik
Hasil Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan penelitian lebih
lanjut guna untuk menambahkan wawasan dan pengetahuan di bidang
hukum tata negara dan kelembagaan.negara khususnya.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
sumbangsih ilmu pengetahuan terhadap perkembangan Hukum Tata
Negara, khususnya tentang:
1) Peran Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
dalam pembinaan Ideologi Pancasila menurut Perpres Nomor 7
tahun 2018.
2) Peran Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
dalam pembinaan Ideologi Pancasila menurut Perpres Nomor 7
tahun 2018 prespektif Maqashid al-Syari’ah
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Dalam rangka mendukung penelitian ini, peneliti telah berusaha melakukan
penelusuran terhadap berbagai karya-karya ilmiah baik yang berbentuk buku, artikel,
dan sebagainya yang mempunyai relevansi dengan penelitian ini. Adapun hasil
penelusuran yang didaparkan, antara lain:
“Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Dalam Prespektif Lembaga Non
Struktural Dan Sistem Ketatanegaraan Di Indonesia (Studi Perubahan Kelembagaan
Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila Menjadi Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila)”.9 Tesis ini ditulis oleh Labib Muttaqin Pada Universitas Gadjah
Mada Tahun 2018. Tesis ini membahas tentang mengetahui serta menganalisis
konsekuensi yuridis perubahan kelembagaan UKP-PIP menjadi BPIP serta
menganalisis kedudukan BPIP dalam perspektif lembaga non struktural dan struktur
lembaga negara di Indonesia. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini
7
terlebih dahulu menganalisis pengaturan dan kedudukan lembaga non struktural dalam
sistem ketatanegaraan di Indonesia. Berbeda dengan yang akan dibahas oleh prnulis
kali ini. Penulis akan membahas tinjauan konsep Maqashid al-Syari’ah terhadap peran
Lembaga Badan Pembinaan ideologi Pancasila.
“Kedudukan Kelembagaan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Dalam Sistem
Pemerintahan Indonesia (Analisis Yuridis undang-Undang nomor 39 dan Peraturan
Presiden Nomor 7 tahun 2018)” yang ditulis oleh Nur Wasiah Adiwiyono Program
Studi Ilmu Hukum tahun 2018. Dalam skripsi ini menjelaskan kedudukan
kelembagaan negara yang dibentuk melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dibawah kekuasaan eksekutif. Sebagai lembaga
pencegahan pelanggaran atau masalah yang berkaitan dengan ideologi Pancasila.
Suatu lembaga yang memiliki kewenangan luas dan cukup besar dalam sistem tata
negara di Indonesia Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara status Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila merupakan lembaga independen atau lebih disebut
sebagai state auxiliaries atau derivative organ dengan tugas dan wewenang secara
khusus dibentuk oleh Presiden untuk membantu Pemerintah mencapai tujuan Negara
yaitu menanamkan nilai-niai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Tanggung jawab
terhadap Presiden secara administratif dan kepada masyarakat secara luas.. Sedangkan
pada skripsi ini, penulis akan membahas peran Lembaga Badan Pembinaan ideologi
Pancasila (BPIP) dalam melakukan pembinaan Ideologi Pancasila yang ditinjau dari
Maqashid al-Syari’ah
“Problematika Dalam Mewujudkan Pancasila Sebagai Ideologi Yang Beernilai
Substantif” Jurnal ini ditulis oleh Aditya Nurahmani dan Muhammad Robi
Rismansyah Pada Universitas Padjajaran Tahun 2018. Dalam jurnal ini menjelaskan
tentang permasalahan apa saja yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia dalam
mewujudkan Pancasila sebagai ideologi yang bernilai substantif, dan menyandingkan
dua gagasan yang dipandang tepat menurut para ahli dalam menjadikan Pancasila
sebagai ideologi yang bernilai substantif. Sedangkan skripsi saya terfokus pada peran
BPIP dalam pembinaan Ideologi Pancasila.
8
E. Teknik Pengolahan dan Metodologi Penelitian
Untuk membantu memudahkan dalam penyusunan skripsi ini, maka disusun
metode8 penelitan sebagai jalan petunjuk yang akan mengarahkan jalannya penelitian
ini, atau dengan kata lain sebagai jalan atau cara dalam rangka usaha mencari data
yang akan digunakan untuk memecahkan suatu masalah yang ada dalam skripsi ini,
yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif
yuridis. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian hukum yang mengkaji
hukum tertulis dari berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi,
perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup materi, dan konsistensi.9 Dalam
literatur lain disebutkan bahwa penelitian hukum normatif terdiri dari:
penelitian terhadap asas-asas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum,
penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, sejarah hukum, dan penelitian
perbandingan hukum.10 Penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari
berbagai aspek, yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan
komposisi, lingkup materi, konsistensi, dan realitas kejadian yang ada di
masyarakat.
Penelitian hukum yuridis ini dilakukan dengan mengkaji Peran Lembaga
badan pembinaan ideolog pancasila (BPIP) yang dibentuk oleh Perpres Nomor
7 tahun 2018 tentang badan Pembinaan ideologi Pancasila tinjauan dari
Maqashid al-Syari’ah
8 Metode adalah suatu cara atau jalan sehubungan dengan usaha ilmiah, metode menyangkut
masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang
bersangkutan dalam Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 2015), h.
5 9 Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta: UI Press, 1990), h. 15
10 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003),
h. 41
9
2. Pendekatan Penelitian11.
a. Pendekatan Kasus (Case Aprroach)
Pendekatan ini dilakukan dengan melakukan telaah terhadap kasus-kasus
atau problematika yang berkaitan dengan Peran Lembaga Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila dalam menjalankan tugasnya, sesuai dengan Perpres Nomor
7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
b. Pendekatan Historis
Pendekatan ini dilakukan untuk peneliti membuat rekonstruksi masa
lampau dengan mengumpulkan, memverifikasi, dan menganalisis serta
menyintesiskan bukti atau fakta yang ada dengan teliti sehingga mendapatkan
gambaran yang tepat pada masa lampau.12
3. Sifat Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif, yaitu
penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pemaparan (deskripsi) secara
lengkap, rinci, jelas, dan sistematis tentang peran Lembaga Badan Pembinaan
ideologi Pancasila (BPIP)
4. Sumber Data dan Teknik Pengumpulan Data
a. Data Primer
Data primer adalah data yang paling utama yang akan digunakan
penulis untuk menjawab permaslahan dalam penelitiannya.13 Data primer
yang penulis gunakan adalah Peraturan Presiden nomor 7 tahun 2018
tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
b. Data Sekunder
11 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2014), h. 133-177
12A.Muri Yusuf, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian
Gabungan,(Kencana,2014), h.328.
13 Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 89
10
Data sekunder adalah data kedua setelah terpenuhnya data primer. data
sekunder guna pelengkap dari data primer.14 Data sekunder dalam
penelitian ini yaitu berupa data yang diperoleh dari buku-buku, jurnal,
artikel, karya ilmiah, dan peraturan menteri yang terkait dengan
pembahasan penelitian ini.
5. Teknik Pengolahan Data
Teknik pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data
ringkasan berupa kata-kata dengan tujuan mengolah data mentah menjadi data
yang tersusun agar memberi arahan untuk kajian selanjutnya.
F. Sistematika Penulisan
Supaya mudah dipahami, maka penulis membagi bahasan ini menjadi lima bab,
setiap bab terdiri dari sub-sub bab yaitu sebagai berikut:
Bab I ; PENDAHULUAN. Pada bab ini disajikan pendahuluan yang memuat
latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II ; LANDASAN TEORI MAQASHID AL-SYARI’AH. Pada bab ini
disajikan penjelasan terkait definisi, sejarah, dasar hukum, dan klasifikasi Maqashid
al-Syari’ah sehingga memberikan pandangan yang fokus terhadap objek penelitian.
Bab III ; PERAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN LEMBAGA BADAN
PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA (BPIP) TERHADAP IDEOLOGI
PANCASILA. Pada bab ini disajikan penjelasan mengenai dasar hukum
pembentukan, kedudukan, tugas fungsi, dan pertanggungjawaban dri Lembaga Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
Bab IV ; PERAN LEMBAGA BADAN IDEOLOGI PANCASILA (BPIP)
DALAM PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARI’AH. Pada bab ini disajikan hasil
14 Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula,
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2012), h. 90.
11
analisis dari penilitian, berupa argumentasi eksistensi keberadaan BPIP dan Peran
Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam perspektif hukum positif
dan maqashid al-syari’ah.
Bab V ; PENUTUP. Pada bab ini disajikan kesimpulan dan saran dari penelitian.
12
BAB II
LANDASAN TEORI MAQASHID AL-SYARI’AH
A. Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Kata Maqashid al-Syariah merupakan kata majmuk (tarkib idhafi) yang terdiri
dari dua kata, yaitu Maqashid dan al-Syari’ah. Secara etimologis, Maqashid
merupakan bentuk jamak (plural) dari kata Maqshud.1 Maqshud merupakan isim
maf’ul dari kata qashada, yang berarti kesengajaan atau tujuan. Sedangkan kata al-
Syari’ah secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari tashrifan kata syara’a,
yasyra’u syar’an, syari’atan yang berarti tempat memancarkan air/mata air yang dapat
dikonsumsi sebagai air minum, jalan menuju air, jalan/cara/metode/sistem dalam
agama yang jika ditempuh atau diikuti akan dapat mendatangkan keselamatan dunia
dan akhirat. Dengan kata lain, air dan agama sama-sama merupakan sumber
kehidupan bagi manusia. Bedanya, air merupakan sumber kehidupan fisik, sementara
agama sumber kehidupan jiwa.2
Pengertian syari’ah pada periode-periode awal Islam merupakan al-nushush
al-muqaddasah dari Alquran dan Sunah yang secara mutawattir sama sekali belum
dicampuri oleh pemikiran manusia. Dalam wujud seperti ini syariah disebut al-tariqah
al-mustaqimah. Muatan Syari’ah dalam arti ini mencangkup aqidah, ‘amaliyah, dan
khuluqiyyah.
Dalam perkembangannya pada masa sekarang ini, telah terjadi reduksi muatan
arti syari’ah. Misalnya adalah akidah. Akidah tidak masuk dalam pengertian syari’ah.
Syekh al-Azhar, Mahmoud Syaltout memberikan pengertian bahwa syari’ah adalah
aturan-aturan yang diciptakan oleh Allah untuk dipedomani oleh manusia dalam
mengatur hubungan dengan Tuhan, dengan manusia, baik sesama muslim atau non-
1 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum, Kanun Jurnal Ilmu & Hukum, Vol. 19, no.3, Agustus 2017.
2 Ahmad Sukardja dan Mujar Ibnu Syarif, Tiga Kategori Hukum: Syariat, Fikih, dan Kanun,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2012). h. 52-53.
13
muslim, alam dan seluruh kehidupan. Bisa dikatakan bahwa syari’ah adalah undang-
undang bagi umat Islam.
Syari’ah pada prinsipnya berisi muatan etik, seperti keadilan (justice), kasih
sayang (mercy), kebijakan (wisdom), dan kebajikan (goodness) yang membawa
manusia pada kesejahteraan hidup. Apabila kebahagiaan hidup sebagai orientasi dari
syari’ah tereduksi berarti telah mereduksi syari’ah itu sendiri3 maka tidak ada satupun
syari’ah yang memberikan kemudharatan dan kemafsadatan kepada yang
menjalankannya.
Para ulama memberikan pendapatnya mengenai istilah Maqashid Syari’ah,
menurut Ibn Taimiyah:
“Syari’ah adalah aturan hukum dari segala yang disyari’atkan oleh Allah
kepada hamba-Nya dari persoalan akidah dan perbuatan (amaliyah).”
Sedangkan Yususf Qardhawi mengugkapkan opnininya, yaitu syari’ah adalah
apa yang disyari’atkan oleh Allah ta’ala kepada hamba- Nya yang dari urusan agama,
atau apa yang disunnahkan dari urusan agama, dan hamba-Nya itu diperintah dengan
urusan agama tersebut, seperti puasa, shalat, haji, zakat, dan sekalian perbuatan dalam
bentuk kebaikan. Pada dimensi lain, Imam al-Syathibi65 tidak menjelaskan secara rinci
tentang pengertian syari’ah seperti ulama lain diatas. Akan tetapi beliau mengatakan
bahwa syari’ah merupakan wasilah (perantara) untuk beribadah kepada Allah SWT.
Dilihat dari persoalan di atas, ketika ulama menyebutkan kata syari’at, secara
umum kata tersebut mengandung dua arti, yaitu:
1. Seluruh agama yang mencangkup akidah, ibadah, adab, akhlak, hukum dan
muamalah. Dengan kata lain, syari’ah mencangkup ashl dan furu’. Akidah dan amal,
serta teori dan aplikasi. Ia mencangkup seluruh sisi keimanan dan akidah kepada
Tuhan, Nabi, dan Samm’iyyat. Sebagamanapun ia mencangup sisi lain seperti ibadah,
mu’amalah, dan akhlak yang dibawa.
3 Maulidi, Maqashid al-Syari’ah Sebagai Filsafat Hukum Islam:Sebuah Pendekatan Sistem
Menurut Jasser Auda, (Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press, 2015) h. 34.
14
2. Sisi hukum amal di dalam beragama seperti ibadah, dan mu’amalah yang
mencangkup hubungan dan ibadah kepada Allah, serta juga mencangkup urusan
keluarga (ahwal al-syakhsiyyah), masyarakat, umat, Negara hukum, dan hubungan
luar negeri. Namun demikian, sebagian ulama memakai kata syari’ah untuk hukum
amaliyyah, yaitu hukum yang berhubungan dengan cara beramal terhadap apa yang
dikandung dalam al-Kitab dan al-Sunnah.
Seperti halnya para fuqaha mutaakhirin yang hidup di zaman syeikh Islam Ibnu
Taimiyyah yang mengkhususkan syari’ah dengan hukum-hukum syari’ah yang
berbentuk amaliah. Berarti bahwa kata syari’at dalam pandang1an ulama mutaakhirin
hanya berhubungan dengan prsoalan hukum yang akan diterapkan kepada manusia
muslim.
Adapun, maqashid dan al-syari’ah secara secara terminologi adalah tujuan
Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum–hukum Islam. Tujuan itu dapat
ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah sebagai alasan logis bagi
rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemashlahatan umat manusia.4 Para
ulama ushul fiqh sepakat bahwa maqashid al-syari’ah adalah tujuan-tujuan akhir yang
harus terealisasikan dengan diaplikasinya syari’at. pengaplikasian syari’at pada
kehidupan nyata (dunia) adalah untuk menciptakan kemashlahatan atau kebaikan para
makhluk di muka bumi, yang kemudian berimbas kepada kemashlahatan atau
kebaikan di akhirat.155
4 Satria Effendi M. zein, Ushul Fiqh, (Jakarta, Kencana, 2017), h.213 5 Ali Mutakin, Teori Maqashid al-Syari’ah dan Hubungannya dengan Metode Istinbath
Hukum, (Aceh: UIN Sunan Kalijaga, 2017), h. 56.
15
B. Sejarah Lahirnya Maqashid Al-Syari’ah
Lahirnya sebuah pemikiran tidak lepas dari adanya proses saling
mempengaruhi antara pemikiran yang satu dengan yang lainnya yang sudah ada,
sehingga suatu teori akan terus berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang
menyesuaikan dengan zamannya. Dan tidak akan ada titik final sebagai batasannya.
Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban bagi para pemikir untuk berinteraksi dengan
lingkungan dan memecahkan persoalan, menimbulkan suatu solusi, baik dengan
mengembangkan teori lama sehingga melahirkan gagasan baru, atau dengan
melahirkan teori baru dengan meruntuhkan teori lama sesuai dengan paradigma yang
ada.
Sejarah maqashid dapat diklsifikasikan menjadi tiga periode. Pertama: periode
permulaan Islam atau periode kenabian Muhammad SAW. Periode ini merupakan
periode pengenalan maqashid al-syari'ah yang terdapat dalam Alquran dan Sunah
dalam bentuk isyarat-isyarat dilalah yang belum tercairkan, atau hanya dalam bentuk
pandangan-pandangan tersirat yang belum diteorikan. Kedua: periode shahabat dan
tabi'in. Pada masa ini mulai diketahui batu pertama perkembangan pesat sejarah
maqashid. Terakhir pada periode ketiga atau masa pasca sahabat dan tabiin, sehingga
menjadi disiplin kajian ilmu tersendiri oleh para ulama ushuliyyin dan fuqaha'.
1. Maqashid al-syari'ah Pada Masa Permulaan Islam
Dalam periode awal, syari'ah merupakan al-nushush al-muqaddasah dan al-
Qur’an dan al-Sunnah yang mutawatir yang sama sekali belum dicampuri oleh
pemikiran manusia. Dalam wujud seperti ini syari’ah disebut al-thariqah al-
mustaqimah.6 Muatan syari’ah dalam arti ini mencakup antara lain bidang aqidah,
ibadah, mu'amalah, hukum keluarga, berkaitan dengan sanksi hukum, etika dan lain-
lain, maka dapat dilihat bahwa syari’ah Islam tidak bergeser dari prinsip-prinsip
dharuriyyah, hajiyyah dan tahsiniyyah.
Syari’ah Islam pada prinsipnya senantiasa mementingkan keselamatan agama,
6 Ali Al-Sayis, Nasy’ah Al-Fiqh Al-Ijtihadi Wa Athwaruha, (Kairo: Majma’ Al- Buhuts Al-
Islamiy, 1970), h. 8
16
jiwa, akal, keturunan dan harta. Pada saat Rasulullah hidup dalam menyampaikan
ajaran Islam dan proses pembentukan hukum, perhatian terhadap maqashid al-
syari’ah sudah muncul. Salah satu contoh adalah pada saat Rasulullah SAW
memberikan arahan kepada sahabat agar dalam menyikapi suatu hal, maka
realisasikan kemudahan bukan kesulitan. Salah satu peristiwa yang terjadi adalah
ketika seorang Arab badui buang air kecil di dalam masjid, karena ketidak
mengertiannya. Namun, Rasulullah SAW tidak memarahinya dan melarang para
sahabat ketika itu memarahinya. Apa yang dilakukan Rasulullah SAW merupakn
langkah yang bijaksana. Selain itu, contoh lainnya adalah keika Nabi pernah melarang
kaum muslimin menyimpan daging kurban kecuali dalam batas tertentu untuk bekal
tiga hari. Namun selang beberapa tahun, ketentuan yang diberikan Nabi dilanggar oleh
beberapa sahabat. Permasalahan ini dikemukakan oleh Nabi, pada waktu itu Nabi
membenarkan tindakan para sahabat sembari menjelaskan bahwa hukum pelarangan
menyimpan daging kurban itu didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang
terdiri dari orang miskin yang datang dari perkampungan Badawi ke Kota Madinah).
Dari ketetapan tersebut terlihat bahwa sejak masa Nabi saw, prinsip- prinsip
maqashid al-syari'ah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam menetapkan
hukum. Maqashid al-syari’ah yang terdapat dalam sunah larangan menyimpan daging
qurban pada awalnya yakni memberi kelapangan kaum miskin yang berdatangan dari
dusun ke kota Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka
larangan itu sendiri tidak diberlakukan lagi oleh Nabi SAW.
Hal ini, sebenarnya berkaitan dengan keadaan darurat (dharuri) yakni keadaan
yang sulit yang sangat menentukan eksistensi manusia karena jika ia tidak
diselesaikan maka akan dapat mengancam eksistensi agama, jiwa, akal, kehormatan
dan harta.
Dalam satu qaidah fiqhiyah misalnya dikatakan bahwa: Karena pada dasarnya
kemudharatan mesti dihilangkan dengan sesuatu yang tidak mengandung
kemudharatan, tidak mungkin kemudharatan dihilangkan dengan kemudharatan
17
lainnya.7
Namun, jika kata kemudharatan itu harus dihilangkan dengan kemudharatan
juga, maka mesti seimbang dan sesuai dengan maqshid al- syariah, bahwa sesuatu
yang digunakan untuk menghilangkan kemudharatan itu apabila harus (juga) dengan
kemudharatan lain, kemudharatannya harus lebih ringan dari kemudharatan asal
(yang akan dihilangkan), Ini berkaitan dengan bahwa segala sesuatu yang dapat
membahayakan harus dihilangkan (dilenyapkan).
Dengan adanya kondisi darurat ini maka ketentuan yang pada mulanya adalah
terlarang menjadi dibolehkan seukuran terpenuhinya kebutuhan dharurat tadi
(hilangnya kondisi kritis).
2. Maqashid al-Syari'ah Pada Periode Shahabat dan Tabi’in
Para shahabat dalam menyikapi hukum-hukurn Islam (berijtihad)
secara ideal tidak terlepas dari konteks sosial, tetapi dimensi sosial itu telah
menyadarkan mereka untuk mencari jawaban-jawaban ideal Islam terhadap berbagai
persoalan yang berkembang. Interpretasi sahabat terhadap syari’ah adalah dengan
memahami maqashid al-syari'ah (tujuan-tujuan syar’ah).
Dalam ijtihadnya, tipologi penalaran para sahabat cukup variatif, ada yang
berijtihad dengan metode analogi (qiyas), pertimbangan kemaslahatan (mashlahah),
istihsan, tindakan preventif (sadd al-dzariah) dan pertimbangan adat-istiadat (al-'urf)
Bersamaan dengan itu juga para sahabat sadar bahwa teks-teks keagamaan
(Alquran dan Sunah) sangat terbatas ketika harus berhadapan dengan kompleksitas
permasalahan (al-nushush mutanahiyyah, wa al-waqai' ghayr mutanahiyyah).
Sehingga, peran ijtihad guna menggali makna tersirat dari teks (wahyu) tersurat
merupakan solusi yang harus ditempuh, namun tetap mengacu pada al-Qur'an dan al-
Sunnah.
Upaya mempertimbangkan hukum dengan cara mengkaji sisi maqashid al-
syari'ah seterusnya dilakukan pula oleh para sahabat. Mereka merupakan orang yang
7 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, (Kairo: Dar Al-Hadits, 2005), h.
126
18
paling mengerti maqashid al-syari'ah (tujuan serta sasaran kandungan al-Qur'an dan
Sunnah), karena mereka menyaksikan dan terlibat langsung dalam proses
pembentukan dasar-dasar syari'ah karena mereka hidup satu masa dengan Rasulullah
SAW.
Satu contoh pada masa sahabat dalam beberapa ketetapan hukum, misalnya
yang dilakukan oleh Umar bin Khatab antara lain: Umar tidak memberikan bagian
zakat untuk kelompok non muslim, karena semula pemberian zakat kepada mereka
adalah agar mereka memeluk Islam. Akan tetapi setelah Islam kuat dan keadaan telah
berubah, maka Umar tidak memberikan bagian zakat untuk mereka.
Kasus ini bermula ketika Uyainah Bin Hushain Al-Fazzariy dan Al- Aqra'
Bin Habis dari kalangan muallaf (yang semula mendapat pembagian zakat),
mendatangi Abu Bakar dan meminta bagian harta (lahan garapan), karena di masa
Rasulullah SAW mereka dapat bagian dipandang sebagai muallafat qulubuhum
(orang yang dijinakkan hatinya). Maka Abu Bakar menulis surat (nota) kepada Umar
agar memberi mereka bagian dari zakat. Tetapi Umar marah dan merobek surat Abu
Bakar tersebut, sembari berkata: “Kalian dulu diberi harta zakat karena waktu itu hati
kalian sedang dijinakkan. Sekarang kalian tidak lagi diizinkan dan umat Islam sudah
kuat. Jika kalian masih menginginkan Islam, tetapi kalau tidak, maka antara kami dan
kalian ada pedang (perang)". Mendengar jawaban Umar demikian, keduanya pulang
mendatangi Abu Bakar dan berkata: “Apakah Anda yang khalifah atau Umar?,
engkau memberi kami peluang lewat surat, Haman Umar merobeknya”. Abu Bakar
menjawab, "Itulah Umar bin Khatab".8
Di antara contoh pandangan atau pemikiran yang terjadi pada masa tabi'in
berkenaan dengan teori melestarikan nilai kemaslahatan dan menghindari
kemafsadatan (fi maqashid al-syari’ah) dalam menetapkan hukum adalah:
a. Sai’id Bin Musayyab, membolehkan pematokan harga barang apabila
dibutuhkan demi kepentingan kemaslahatan bersama. Alasannya, karena
8 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Relevansinya bagi Pembahuruan Hukum Islam di
Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), h. 42
19
pemimpin (imam) wajib memelihara kemaslahatan seluruh umat Islam, dan
memelihara kemaslahatan bersama lebih utama dari pada mementingkan
kemaslahatan pribadi. Hal ini berdasarkan pada peristiwa ketika ada
sekelompok orang mengadu kepada Rasulullah perihal mahalnya suatu
harga.
b. Bilal Bin Abdullah Bin Umar Bin Al-Khatab pernah bersumpah bahwa ia
tidak akan memberikan izin kepada wanita untuk pergi ke masjid dengan
alasan adanya unsur mafsadah, pertimbangannya adalah karena perubahan
zaman, hal ini bertujuan untuk melindungi wanita dari para musuh dan
penggnggu.
3. Maqashid al-Syari'ah Pasca Sahabat dan Tabi'in
Dalam perkembangan pemikiran hukum Islam lebih lanjut, walau pada
mulanya masih tidak menyebut istilah maqashid al-syari'ah, dapat dikatakan bahwa
teori maqashid al-syari'ah sebenarnya merupakan pengembangan dari penerapan
konsep qiyas yakni dalam kaitan masalik al- 'illah dan teori mashlahah.
Pertimbangan pemikiran di atas, dapat dilihat pada masing-masing karya para
ulama secara terperinci, berikut ini penulis paparkan secara berurutan:
a. Diawali pada masa Imam al-Syafi'i (150-204 H). Imam al-Syafi’i terkenal
dan diakui sebagai ulama yang pertama kali menyusun ilmu ushul al-fiqh,
dan secara otomatis juga ia merupakan pendiri dasar dari ilmu maqashid al-
syari'ah. Di antara karyanya yang terkenal adalah al-Risalah, al-Um, dan
lain-lain.
b. Setelah al-Syafi’i, muncul Imam al-Juwaini (419-478 H). Imam al-Juwaini
terkenal dengan julukan Imam Haramain memiliki karya yang terkenal di
antaranya adalah al-Syamil Fi Ushul al-Diin, Al-Burhan Fi Ushul Al-Fiqh,
al-Waraqat Fi Ushul Al-Fiqh, Al-Ghiyatsiy, Mughits Al-Khuluq dan Al-
Aqidah Al-Nizhamiyah,
c. Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ulama ushul al-fiqh
pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al- syari’ah
20
dalam menetapkan hukum Islam. la secara tegas mengatakan bahwa
seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam,
sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah-
perintah dan larangan larangan-Nya.9
d. Kemudian al-Juwaini mengelaborasi lebih jauh maqasid al- syari’ah itu
dalam hubungannya dengan 'illat dan dibedakan menjadi lima bagian, yaitu:
yang masuk kategori dharuriyyat (primer), al-hajat al-ammah (sekunder),
makramat (tersier), sesuatu yang tidak masuk kelompok dharuriyyat dan
hajiyyat, dan sesuatu yang tidak termasuk ketiga kelompok sebelumnya.
Dengan demikian pada prinsipnya al-Juwaini membagi tujuan tasyri' itu
menjadi tiga macam, yaitu dharuriyyat, hajiyyat dan makramat
(tahsiniyyah).
e. Selanjutnya Imam al-Ghazali (450-505 H). Imam al-Ghazali adalah seorang
yang terkenal faqih, ahli di bidang ushul fiqh dan ilmu kalam. la termasuk
ulama yang banyak menghasilkan karya tulisan di antaranya kitab al-
Mustashfa, al-Wajiz, lhya Ulum al-Diin dan masih banyak bagi yang
lainnya.
f. Selanjutnya muncul al-Razi (544-606 H), al-Amidi (w. 631 H), setelah itu
ada AL-'Iz Bin Abd al-Salam (577-660 H) beserta muridnya AI-Qarrafi
(626 H-684 H). Al-'lz ibn Abd al-Salam lebih banyak menekankan dan
mengelaborasi Konsep maslahat secara hakiki dalam bentuk menolak
mafsadat dan menarik manfaat. Menurutnya, maslahat keduniaan tidak dapat
dilepaskan dari tiga tingkat urutan Skala prioritas, yaitu daruriyat, hajiyat,
dan takmilat atau tatimmat. Lebih jauh lagi ia menjelaskan, bahwa taklif
harus bermuara pada terwujudnya maslahat manusia, baik di dunia
maupun di akhirat.
g. Setelah itu muncul Ibnu Taimiyah (661-728 H), Ibnu Qayyim (w 751 H) dan
9 Al-Juwaini, Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Anshar, 1400 H), h. 295.
21
At-Thufi.
h. Selanjutnya muncul Imam AI-Syathibi (720-790 H). Nama lengkapnya
adalah Abu Ishaq Ibrahim Bin Musa Bin Muhammad Al-Lakhmi Al-
Syathibi. Hasil karyanya yang terkenal adalah kitab al-Muwafaqat dan al-
I'tisham. Pada abad ke 8 H maqashid al-syariah dikembangkan oleh al-
Syathibi melalui karya monumentalnya al-Muwafaqat fi Ushul al-Syariah.
Kajian Sejak itu, kajian maqashid al-syari’ah mencapai titik puncaknya dan
berhasil membahasnya secara sistematis dan sejak itu pulalah al-Syatibi
dikenal dan diakui sebagai Bapak maqashid syari'ah.
i. Setelah al-Syathibi, ada beberapa ulama kontemporer lain yang fokus
mengkaji ilmu maqashid al-Syari'ah, di antaranya ada Al-Thahir bin 'Asyur
(w 1393 H), ia adalah ulama yang pertama kali yang mencoba merumuskan
defenisi dan mengklasifikasikan maqashid. Sehingga ia membagi maqashid
menjadi maqashid al-am dan maqashid al-khash. Kemudian 'llal Al-Fasiy
(w 1394 H)10 yang kemudian menggabungkan makna maqashid al-am dan
maqashid al-khas menjadi satu.
j. Setelah itu ada Wahba Al-Zuhaili dan Yusuf Al-Qaradhawi yang keduanya
juga membahas teori maqashid al-syari’ah ini yang secara substansial
sebenarnya masih dalam wacana menghindar dari segala yang dapat
merusak dan merealisasikan nilai kemaslahatan atau kebaikan baik di
dunia.
C. Dasar Hukum Maqashid Syrai’ah
Kajian teori maqashid al-syari'ah dalam hukum Islam adalah sangat penting.
Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut. Pertama,
hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu Tuhan dan diperuntukkan
bagi umat manusia. Oleh karena itu, akan selalu berhadapan dengan perubahan sosial.
Dalam posisi seperti itu, apakah hukum Islam yang sumber utamanya (Alquran dan
10 ‘Ala Al-Din Husain Rahhal, a’alim Wa Dhawabith Al-Ijtihad ‘Inda Syaikh AlIslami Ibn
Taimiyyah, (Yordan: Dar Al-Nafais, 2000), h. 121-122
22
Sunah) turun pada beberapa abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan
sosial. Jawaban terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian
terhadap berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah
teori maqashid al-syari'ah. Kedua, dilihat dari aspek historis, sesungguhnya perhatian
terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat, dan generasi
mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan
kunci keberhasilan mujtahid dalam ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan
hukum itulah setiap persoalan dalam bermu'amalah antar sesama manusia dapat
dikembalikan. seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash syari'ah itu
tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang mengetahui maqashid
al-syari'ah (tujuan hukum). Pendapat ini sejalan dengan pandangan pakar fiqh lainnya
yang mengatakan bahwa pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan
persoalan dharuri (urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan membuat
istinbath hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui rahasia-rahasia
syari'ah.11
Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam Al- Qur'an,
begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang terumuskan
dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan tertentu dan tidak
ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai
rahmat bagi umat manusia.
Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan
umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai sesuatu yang
baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal mengandung pengertian
bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami motif di balik penetapan suatu
hukum, yaitu karena mengandung kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan
11 Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam, (Semarang: Universitas
Islam Sultan Agung Press, 2009), h. 124.
23
sendiri alasannya oleh Allah atau dengan jalan rasionalisasi.12 Perintah Allah untuk
berzikir dan shalat dijelaskan sendiri oleh Allah.
Memang ada beberapa aturan hukum yang tidak dijelaskan secara langsung
oleh syari' (pembuat syari'at) dan akalpun sulit untuk membuat rasionalisasinya,
seperti penetapan waktu shalat zhuhur yang dimulai setelah tergelincirnya matahari.
Meskipun begitu tidaklah berarti penetapan hukum tersebut tanpa tujuan, hanya saja
barangkali rasionalisasinya belum dapat dijangkau oleh akal manusia.
Kandungan maqashid al-syari'ah dapat diketahui dengan merujuk ungkapan al-
Syathibi, seorang tokoh pembaru ushul fiqh yang hidup pada abad ke-8 Hijriah, dalam
kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Di situ beliau mengatakan bahwa
sesungguhnya syari'at itu ditetapkan tidak lain untuk kemaslahatan manusia di dunia
dan di akhirat. Jadi, pada dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan
individu dan jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan segenap
sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjang- jenjang kesempurnaan,
kebaikan, budaya, dan peradaban yang mulia, karena dakwah Islam merupakan rahmat
bagi semua manusia.13
D. Klasifikasi Maqshid Syari’ah
Secara umum, tujuan-tujuan hukum dapat dikelompokkan ke dalam dua
kategori yang luas. Yaitu, tujuan-tujuan hukum yang kembali kepada tujuan yang
dimaksud oleh Syari’ (Tuhan), dan tujuan-tujuan hukum yang berkenaan dengan
tujuan para mukallaf,1614 yaitu orang-orang muslim yang telah memiliki kewenangan
hukum dan memiliki kewajiban untuk menjalankan hukum tersebut. Kategori
pertama (yang menjadi bahasan dalam tulisan ini), yaitu maqashid syari'ah dengan
makna maqashid syari'ah mengandung empat aspek dalam penetapan hukum, yaitu:
12 Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam, (Semarang: Universitas
Islam Sultan Agung Press, 2009), h. 120. 13 Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam, (Semarang: Universitas
Islam Sultan Agung Press, 2009), h. 122. 14 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995),
h. 39
24
1. Tujuan awal syari' dalam menetapkan hukum, yaitu untuk kemaslahatan
untuk manusia sebagai hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat.
2. Tujuan syari' dalam menetapkan hukum untuk dipahami, yang berkaitan
erat dengan segi kebahasaan.
3. Tujuan Syari' dalam menetapkan hukum sebagai pembebanan hukum
(taklif) yang harus dilakukan.
4. Tujuan Syari' dalam menetapkan hukum supaya mukallaf (manusia yang
cakap hukum) dapat masuk di bawah naungan hukum, yang berkaitan
dengan kepatuhan manusia sebagai mukallaf di bawah dan terhadap
hukum- hukum Allah SWT.
Maka, yang menjadi poin utama dalam pembahasan maqashid syari'ah
dalam hal pembagiannya terhadap pemeliharaan maslahah adalah aspek
pertama yang berhubungan dengan tujuan awal Syari' dalam menetapkan
hukum. Yaitu dalam mewujudkan kemaslahatan bagi manusia di dunia dan
akhirat.
Allah SWT mensyariatkan hukum-hukumNya dengan tujuan untuk
memelihara kemaslahatan manusia, untuk menghindari mafsadat, ataupun
gabungan keduanya sekaligus,15 baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan
tersebut hendak dicapai melalui taklif yang pelaksanaannya sangat
tergantung pada pemahaman sumber hukum yang utama, alquran dan hadis.
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan di akhirat,
berdasarkan penelitian para ahli ushul fiqh, ada lima unsur pokok yang
harus di pelihara dan diwujudkan. Kelima pokok tersebut adalah agama,
jiwa, akal, keturunan, dan harta. Seorang mukallaf akan memperoleh
kemaslahatan, manakala ia dapat memelihara kelima aspek pokok itu,
15 Saifuddin Abi al-Hasan Ali ibn Ali ibn Muhammad al-Amidi, al-ihkan fi Ushul al-Ahkam,
(Beirut: Dar al-kitab al-Ilmiyah, 2005), h. 237.
25
sebaliknya ia akan merasakan adanya mafsadat, manakala ia tidak dapat
memeliharanya dengan baik.16
Maslahah yang menjadi prinsip dalam maqashid syari'ah dengan
memandang hubungannya dengan kelompok atau perorangan terbagi pada
dua pembagian. Yaitu:
1. Maslahat kulliyah, yaitu maslahat yang kembali kepada seluruh umat
atau jemaah yang besar berupa kebaikan dan manfaat, seperti menjaga
Negara dari musuh, menjaga umat dari perpecahan, menjaga agama dari
kerusakan.
2. Maslahat al-juz'iyyah al-khashshah, yaitu maslahah perseorangan atau
perseorangan yang sedikit, seperti pensyari’atan dalam bidang
mu’amalah17, yaitu hubungan antara individu dengan individu yang lain.
Kemudian, apabila maslahah tersebut dipandang dari segi kekuatan
yang timbul dari dirinya dan bekas yang dihasilkan, terbagi kepada tiga
tingkatan, yaitu:
1. Dharuriyyat
Maslahat dharuriyyat adalah sesuatu yang harus ada dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan. Dengan kata lain dharuriyyat adalah
kemaslahatan yang terhadapnya terdapat kemaslahat dalam kehidupan
manusia di dunia dan akhirat. Jika maslahat dharuriyyat tidak terpenuhin,
maka kemaslahatan dunia tidak akan terlaksana dan menjadi rusak dan
binasa, dan di akhirat tidak mendapat kebahagiaan bahkan akan
mendapatkan siksa.
Dalam bentuk dharuriyyat ini, ada lima prinsip yang harus
dipelihara, yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan dan harta17.
16 Ghofar Shidiq, Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam, (Semarang: Universitas
Islam Sultan Agung Press, 2009), h. 122. 17 Wahabah al- Zuhaili, Ushul al-Fiqh al- Islami, (Damsyiq: Dar al-Fikri, 2006), h. 317 17 Wahabah al- Zuhaili, Ushul al-Fiqh al- Islami, (Damsyiq: Dar al-Fikri, 2006), h. 310
26
Namun, tidak mustahil kelima bentuk dharuriyyah ini terjadi
benturan antara yang satu dengan yang lainnya. Umpamanya, pada saat
yang sama manusia dilarang meminum khamar karena memelihara akal,
dan ia juga berkewajiban untuk memelihara jiwanya pada saat yang
terpaksa, maka ia boleh minum khamar untuk bertahan hidup.18
Perbenturan antara dua kemaslahatan yang bersifat dharuriyyat ini,
para ahli ushul fiqh menetapkan kaidah yang dapat menjawab persoalan
seperti pada contoh di atas:
"Kemudharatan yang besar dapat dihilangkan dengan kemudharatan yang
kecil"
Sehingga dengan adanya kaidah ini, syari'at tidak bersifat kaku
dalam menghadapi persoalan yang mungkin terjadi perbenturan dalam
maslahat kulliyyah al-khamsah, di mana hal itu merupakan maslahat yang
harus dijaga.
2. Hajiyat
Hajiyat adalah maslahah yang dikehendaki untuk memberi
kelapangan dan memudahkan kehidupan manusia. Jika maslahah hajiyat ini
tidak dapat dipenuhi, maka kehidupan manusia menjadi sulit, namun tidak
sampai pada tingkat kerusakan, seperti pensyari'atan rukhsah yang
meringankan taklif dalam beribadah bagi mukallaf yang mendapat kesulitan
seperti sakit dan dalam perjalanan (musafir).
Mengenai hal ini, terdapat kaidah fiqh yang dapat dipakai sebagai
penguat bagi kemaslahatan yang bersifat hajiyat ini, yaitu:
"Kebutuhan (hajat) menduduki posisi dharurat, baik yang bersifat umum
maupun yang bersifat khusus.”
Dalam hal ini, sesuatu yang bersifat hajiyat, dapat berposisi seperti
18 Ahmad Wira, Metode Ijtihad Yusuf Qardhawi, (Jakarta: Nuansa Madani, 2001), h. 377
27
kemaslahatan yang bersifat dharurat. Namun, kemaslahatan tersebut tidak
sampai seperti keadaan dharurat. Adapun, hal yang dapat ditimbulkan
adalah kesulitan, tidak sampai pada kerusakan apabila hal tersebut tidak
terpenuhi. Hal tersebut dapat dilihat antara lain seperti disyari'atkannya
kebolehan bagi seseorang untuk melakukan ijarah (sewa-menyewa) dalam
muamalah, di mana transaksi sewa menyewa tersebut memberikan suatu
kemaslahatan bagi para pihak yang membutuhkan adanya transaksi tersebut.
Contoh lain adalah adanya kebolehan mengqasar shalat bagi orang yang
melakukan perjalanan jauh, dengan tujuan menghilangkan kesulitan bagi
orang yang sedang dalam perjalanan.
3. Tahsiniyyat
Tahsiniyyat adalah kemaslahatan dengan adanya hal ini maka,
kenyamanan dan keindahan dalam kehidupan manusia. Seperti memakai
perhiasan dan melaksanakan ibadah-ibadah sunnah dalam mendekatkan diri
kepada Allah, dan lain sebagainya.19 Pelaksanaan maqashid syari'ah yang
bersifat tahsiniyyah ini dimaksudkan agar manusia dapat melakukan sesuatu
yang terbaik untuk penyempurnaan terhadap pemeliharaan dari lima prinsip
yang harus dipelihara, yaitu; agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Salah
satu kaidah fiqh yang dapat dipakai untuk pelaksanaan kemaslahatan ini,
adalah kaidah yang berbunyi:
"Dianjurkan untuk keluar dari perselisihan (sesuatu yang tidak sesuai
dengan yang seharusnya).”
Yaitu, menjauhi diri dari melakukan perbuatan yang berbeda atau bahkan
bertentangan dengan syari'at atau yang berdasarkan kebiasaan yang sesuai dengan
akal sehat, dan hal itu juga berhubungan dengan persoalan etika dan akhlak.
Di antara contohnya adalah menggosok-gosok ketika bersuci (mandi atau
berwudhu'), tertib dalam mengqada shalat (yaitu mendahulukan dalam mengqada
19 Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Sayuti, al-Asybah waal- Nazha’ir fi al-
Furu’, (Semarang. Maktabah waMathba’ah Thaha Putra, 2000), h. 62
28
shalat sesuai dengan urutan waktu shalat), menjauhi menghadap qiblat atau
membelakanginya ketika buang hajat (yang berkaitan dengan etika ketika buang
hajat), dan lain sebagainya.20
Dilihat dari ketiga maslahah di atas, pada hakikatnya, baik kelompok
dharuriyyat, hajiyat, maupun tahsiniyyat dimaksudkan untuk memelihara atau
mewujudkan kelima pokok (tujuan hukum Islam yang asasi) Adapun, kelima hal
tersebut secara urutan peringkatnya adalah:
a). Hifzhud din (menjaga agama).
b). Hifzhudn nafs (menjaga jiwa).
c). Hifzhul ‘aql (menjaga akal).
d). Hifzhun nasl (menjaga keturunan).
e). Hifzhul mal (menjaga harta benda).
Kebutuhan kelompok pertama dapat dikatakan sebagai kebutuhan
primer, yang kalau kelima pokok itu diabaikan maka akan berakibat
terancamnya esensi kelima pokok itu. Kebutuhan dalam kelompok kedua
dapat dikatakan sebagai kebutuhan sekunder. Artinya, kalau kelima pokok
dalam kelompok ini diabaikan, maka tidak mengancam esensinya,
melainkan akan mempersulit dan mempersempit kehidupan manusia.
Sedangkan kebutuhan dalam kelompok ketiga erat kaitannya dengan upaya
untuk menjaga etiket sesuai dengan kepatutan, dan tidak akan mempersulit,
apalagi mengancam esensi kelima pokok itu. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa kebutuhan dalam kelompok ketiga lebih bersifat
komplementer, pelengkap.21
Berdasarkan hal itu, maslahat bertingkat-tingkat seperti
bertingkatnya kebutuhan. Dalam mempengaruhi maslahat, kemaslahatan
dharuriyat didahulukan dari pada maslahat hajiyat, dan hajiyat didahulukan
20 Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman ibn Abi Bakar al-Sayuti, al-Asybah waal- Nazha’ir fi al-
Furu’, (Semarang: Maktabah waMathba’ah Thaha Putra, 1956), h. 68-69 21 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995),
h. 41
29
dari pada tahsiniyyat. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa
kemaslahatan yang lebih besar didahulukan dari kemaslahatan yang kecil.
Namun, dalam banyak hal tidak ada maslahat yang sama sekali terlepas
dari buruk (mafsadat) dan sebaliknya, tidak ada mafsadat yang sedikitpun
tidak mengandung maslahat. Karena itu, dalam menilai apakah sesuatu itu
maslahat, haruslah berhati-hati.22 Sedikit berbeda dengan hal di atas Izz al-
Din 'Abd al-'Az iz ibn 'Abd al-Salam nembagi masalahat kepada dua
bagian, yaitu:23
1. Maslahat yang diwajibkan oleh Allah SWT karena memandang diri
hambanya. Maslahah ini terbagi kepada yang baik, terbaik dan
pertengahan antara keduanya. Maslahah yang terbaik adalah sesuatu
yang bersifat mulia dengan bentuk menolak terhadap mafsadat yang
paling buruk dan mengambil masalahat yang paling kuat. Kemasalahatan
pada tingkat pertama ini terbagi kepada dua bagian, yaitu:
a. Bersifat segera (duniawi), yaitu melaksanakan hukum-hukum
Islam, seperti menjaga diri, harta, kehormatan dan anak-anak.
b. Bersifat tidak dalam bentuk segera atau untuk kehidupan yang akan
datang (ukhrawi), yaitu persoalan yang berhubungan dengan
keyakinan, seperti kekal di surga, mendapatkan ridha Allah, dan
lainnya.
2. Maslahah yang disunatkan oleh Allah untuk hambanya, yang dipandang
sebagai suatu kebaikan bagi mereka. Tingkatan paling tinggi dari
masalahat yang disunatkan ini adalah sama dengan maslahat yang paling
rendah dari masalahat yang diwajibkan oleh Allah.
Dilihat dari bentuk maslahat menurut Izz al-Din 'Abd al-'Az lz ibn 'Abd al
Salam ini, terlihat bahwa maksud dan tujuannya hampir sama dengan
22 Nourouzzaman Shiddiqi, Fiqh Indonesia Penggagas dangagasannya, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1997), h.68. 23 Muhammad 'Izz al-Din 'Abd al-'Az iz ibn 'Abd al-Salam al-Salami, Qawa’id al- Ahkam Fi
Mashalih al-Anam, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, 1999), h. 40-41
30
pembagian yang dikemukakan sebelumnya. Di mana pembagian di atas
yang menyatakan kepada masalahah yang diwajibkan dan yang disunatkan
hampir sama dengan pandangan Imam al-Syathibi yang membaginya
kepada tiga tingkatan, yaitu dharuriyyat, hajiyat, dan tahsiniyyat. Karena,
kedua pendapat itu terlihat bahwa maslahat itu bertingkat sesuai dengan
tingkat keadaan yang terjadi
31
BAB III
PERAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN LEMBAGA BADAN PEMBINAAN
IDEOLOGI PANCASILA (BPIP) TERHADAP IDEOLOGI PANCASILA
A. Sejarah Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Pembangunan karakter bangsa dicanangkan sebagai tujuan utama
pendidikan saat itu. Terlihat dari Undang Undang Nomor 4 Tahun 1950
tentang Dasar Dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah (UUPP) Pasal 3
yang menegaskan tujuan pendidikan dan pengajaran adalah membentuk
manusia susila yang cakap dan warga negara yang demokratis serta
bertanggungjawab tentang kesejahteraan masyarakat dan tanah air, merupakan
salah satu upaya negara Indonesia terhadap pembangunan karakter bangsa
Indonesia.
Pembangunan karakter bangsa secara eksplisit dimuat dalam produk
politik tertinggi lembaga negara, MPR, berupa Garis Besar Haluan Negara atau
GBHN. Pendidikan karakter bangsa pada masa orde baru ini direalisasikan
melalui TAP MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan
Pengalaman Pancasila (Ekraprasetia Pancakarsa) disingkat P4. Untuk
melaksanakan dan menindak lanjuti TAP MPR No. II/MPR/1978 diterbitkan
Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 1978 tentang Penataran Pegawai republik
Indonesia mengenai hasil sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia Tahun 1978. Langkah selanjutnya adalah penataran
penyelenggaraan P4 bagi masyarakat pada umumnya, serta pegawai negeri di
instansi masing-masing. Pemerintah kemudian membentuk Lembaga
Pemerintah Non Departemen yang disebut Badan Pembinaan Pendiidkan
Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila disingkat BP-7
dengan surat Keputusan Presiden No. 10 tahun 1979 sebagai pentuk realisasi
dari penyelenggaraan P4 di masyarakat. Proses indroktrinasi terjadi dalam
penerapan penataran P4 yang di lakukan di sekolah-sekolah sejak dari sekolah
32
dasar hingga perguruan tinggi yang berisi tentang butir-butir pancasila.
Penataran P4 menjadi unsur yang sangat penting dan menentukan bagi masa
depan siswa pada masa Orde Baru.
Indoktrinasi melahirkan keberhasilan semu dalam waktu yang singkat,
sekaligus dipastikan menumpuk antipati, kegersangan, kebohongan,
ketidakpedulian, kebencian, dan terutama perlawanan terhaapnya.3 Pendekatan
di indoktrinasi seperti itulah yang sempat melumpuhkan pancasila hampir
sepanjang usianya. Tetapi dari sejarah itu pula kita menemukan sebuah hikmah
bahwa ambisi politik penguasa di masa lalu telah menjadi blessing in disguise:
ambisi kekuasaan di masa lalu, ternyata bukan saja tidak berhasil mengubah
hakikat pancasila, tetapi juga melahirkan kekuatan penghancuran diri.
Lebih lanjut, ketika era reformasi dimulai dengan lahirnya TAP MPR
Nomor XVIII/MPR/1998 tentang Pencabutan Ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1978 tentag
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa)
dan Penetapan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Selanjutnya, ditetapkan
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1999 tentang
Pencabutan Keputusan Presiden Nomor 10 Tahun 1979 tentang Badan
Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila.
Pasca pencabutan TAP tentan P4 dan BP-7 menjelaskan belum jelasnya
strategi pelembagaan pancasila dan nilai-nilai luhur kebangsaan lainnya. Hal
ini diakibatkan karna tidak terdapat aturan pengganti yang menjelaskan
mengenai pola pendiidkan karakter bangsa yang akan dilakukan. Meskipun era
reformasi tetap mengakui komitmen terhadap pancasila sebagai dasar negara,
tetapi tidak ada pedoman. Dengan demikian, segenap komponen bangsa dapat
memaknai pancasila sesuai dengan instuisi dan seleranya masing-masing.
Reflesi dari era sebelumnya, pengenalan dan pendidikan tentang penghayatan
pancasila tidak lagi dijadikan satu mata pelajaran atau kurikulum khusus.
33
Melainkan pendidikan karakter terjadi lebih alamiah ketika dilaksanakan
secara informal dan natural. Sehinnga terjadi perubahan sistem pembelajaran
tentang penanaman nilai-nilai pancasila yang semula lebih rigid menjadi lebih
fleksible. Namun, metode ini juga memiliki kelemahan, misalnya pendekatan
ini memerlukan waktu yang lama. Selain itu, jika tidak dibimbing dengan baik
dapat memilih nilai yang tidak sesuai dengan standar nilai masyarakat. Setelah
pembubaran BP7 upaya pemerintah untuk tetap mempertahankan ideologi
pancasila kepada seluruh masyarakat adalah dengan mengeluarkan Instruksi
Presiden Nomor 6 Tahun 2005 tentang Dukungan Kelancaran Pelaksanaan
Sosialisasi Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang dilakukan oleh MPR.
B. Dasar Hukum Pembentukan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Seperti yang telah pembaca ketahui bahwa landasan ideologis dari
Negara Indonesia adalah Pancasila. Adapun, value yang tertanam pada masyarakat
Indonesia dituangkan ke dalam Pancasila. Maksudnya adalah nilai-nilai ketuhanan,
kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan diwujudkan dalam sikap, mental,
dan tingkah laku serta amal perbuatan. Kepribadian pada setiap individu mengacu
pada sesuatu yang unik dan khas karena tidak ada pribadi yang benar-benar sama.
Setiap pribadi mencerminkan keadaan atau halnya sendiri, demikian pula halnya
dengan Ideologi bangsa.1
Founding father bangsa Indonesia telah bersepakat untuk menjadikan
Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia seperti yang tercantum dalam
pembukaan UUD Negara Republik Indonesia alinea ke 4 yang berbunyi:242
1 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 4.
2 Paristiyanti Nurwardani, Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi, Direktoral Jendral
Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Press, (Jakarta:
2016), h. 63.
34
"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara
Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan
Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan
berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."
Pancasila sebagai dasar negara dan landasan ideologis bangsa menjadi
sumber dari segala sumber hukum peraturan perundang-undangan yang ada di
Indonesia. Adapun, sebagai lembaga yang memiliki fungsi, tugas, dan wewenang
untuk membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan Pembinaan Ideologi
Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian Pembinaan
Ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan
penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap
kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi
negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan
komponen masyarakat lainnya.3
3 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 4.
35
Mengenai hal ini, Guru besar Universitas Diponegoro, Suteki
menyatakan dengan hadirnya BPIP ini seolah-olah Pancasila mengalami reduksi
hanya dari sisi Ideologi. Padahal ada 4 fungsi Pancasila yaitu:4
a. Fungsi Pancasila dibidang kehidupan bermasyarakat sebagai “way
of life” atau pandangan hidup.
b. Fungsi Pancasila dibidang kehidupan berbangsa sebagai Ideologi
negara.
c. Fungsi Pancasila dibidang kehidupan bernegara sebagai dasar
negara.
d. Fungsi Pancasila dibidang kehidupan internasional sebagai “margin
of appreciation”.
Hadirnya BPIP apakah akan menjadi lembaga yang efektif mengingat
tugas BPIP ini bisa diintegrasikan dengan fungsi-fungsi kementrian lain.
Adanya reduksi dalam hal pemahaman nilai nilai Pancasila Presiden
melalui kebijakannya seakan-akan menghidupkan kembali keperkasaan Pancasila
dicurigai dianggap sebagai upaya pemerintah untuk memaksakan tafsir tentang
Pancasila dan pada akhirnya BPIP ditengarai akan dijadikan sebagai alat pemukul
kepada mereka yang berseberangan yang nantinya akan membawa ketidakadilan
dalam masyarakat untuk berpendapat, menyatakan sikap sesuai hati nuraninya dan
membentuk organisasi atau serikat.5
Selain itu, berbicara mengenai pengamalan Pancasila, Refly Harun
menuturkan pendapatnya mengenai pengimplementasian Pancasila ini. Beliau
mengingatkan Pemerintah bahwa kehidupan berbangsa tak hanya soal Pancasila
yang memang sudah kokoh sebagai dasar negara. Sebab, agama, adat istiadat dalam
4 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 5. 5 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 12.
36
tingkatan masyarakat juga harus mendapat perhatian. Tidak boleh benturkan
Pancasila dengan adat atau agama. Orang yang beragama dengan baik pasti
Pancasilais. Jadi Pancasila jangan dibajak, dan meminta pemerintah tidak terjebak
cara-cara rezim Orde Lama maupun Orde Baru, yang memanfaatkan Pancasila
sebagai alat penggebuk saat berkuasa,fakta kelompok-kelompok intoleran atau anti
kebhinekaan memang ada. Dan seharusnya, Pancasila itu digunakan merangkul
mereka, bukan malah memisahkannya. Untuk itu agar pemahaman Pancasila
dititipkan ke lembaga-lembaga pendidikan yang sudah ada. Pemerintah cukup
membuat kurikulum dan silabusnya. Pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga
pendidikan yang ada di bawah Kementerian terkait. Refly Harun juga berpendapat
bahwa untuk mengukur kinerja lembaga ini sangat susah karena penilaian itu harus
mengacu kinerja yang dihasilkan misalnya kinerja selama setahun ini, harus ada
input, output, outcome.6
Implementasi nilai Pancasila ini secara sosial kultural dalam tatanan
kehidupan berbangsa dan bernegara juga telah tersistem dengan baik, hal ini terlihat
dalam perumusan setiap norma regulasi baik undang undang maupun Peraturan
perundang undangan lain yang selalu menjadikan Pancasila sebagai asas utama
yang harus dicantumkan. Secara simbolis hal ini terbukti dengan diadakannya
kegiatan upacara bendera setiap hari senin di sekolah-sekolah dari tingkat Sekolah
Dasar hingga Sekolat tingat Menengah Atas. Bahkan pada hari- hari tertentu
perguruan tinggi juga mengadakan upacara pengibaran bendera demikian halnya
dengan para pegawai Negeri Sipil di instansinya masing-masing. Di dalam upacara
tersebut selalu terdapat pembacaan Teks Pancasila yang wajib dihayati oleh seluruh
peserta upacara.
Selain landasan ideologis, pembentukan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila ini dilindungi oleh payung hukum dengan landasan yuridisnya. Adapun,
6 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 13.
37
UUD 1945 merupakan sumber hukum dari peraturan perundang-undangan di
Indonesia. Sebagai sumber hukum Negara Republik Indonesia, semua peraturan di
Indonesia adalah turunan dari pasal-pasal yang termaktub dalam UUD 1945.
Berdasarkan Pasal 7 UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan perundang-
undangan di Indonesia adalah sebagai berikut:7
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
4. Peraturan Pemerintah;
5. Peraturan Presiden;
6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Landasan yuridis pada setiap dasar hukum mengenai suatu hal sudah pasti
bersumber dari UUD 1945, dalam hal ini keberadaan dan kedudukan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila di bentuk berdasarkan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembinaan Pancasila Pembentukan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Lebih lanjut, penulis menjelaskan bahwa
Peraturan Presiden yang lazim disingkat dengan Perpres, ialah salah satu jenis
peraturan perundang-undangan yang terapat dalam hierarki Peraturan Perundang-
Undangan Negara Republik Indonesia yang kedudukannya berada di bawah Peraturan
Pemerintah (PP) dan di atas Peraturan Daerah tingkat Provinsi (Perda Provinsi) dan
dibuat oleh Presiden. Jenis peraturan ini sangat sentral kedudukannya dalam sistem
pemerintahan presidensil. Dengan kata lain para pembantunya, yakni menteri, harus
menjalankan visi presiden.Visi presiden itu dapat dilihat antara lain dari isi Perpres
yang dikeluarkan. Masing-masing Presiden dalam sejarah Indonesia pernah
7 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Diakses
melalui https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/39188/uu-no-12-tahun-2011 pada 29 Agustus 2020.
Pukul 19.36 WIB
38
mengeluarkan peraturan, meskipun pada masa Orde Lama dan Orde Baru sering
disebut Keputusan Presiden (Keppres).
Pembentukan lembaga negara di Indonesia dibentuk berdasarkan Undang-
Undang Dasar, Undang-Undang, dan oleh Peraturan yang lebih rendah. Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) adalah lembaga yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembinaan
Ideologi Pancasila dan adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.
Sebelum adanya Badan Ideologi Pancasila sudah terbentuk Badan yang
bernama Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang selama ini memiliki
tugas untuk membina ideologi Pancasila. Namun, lembaga ini masih perlu
disempurnakan dan direvitalisasi tugas dan fungsinya sehingga menjadi Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila yang dapat efektif menjalankan tugas dan fungsinya.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2077 tentang Unit Keda Presiden Pembinaan
Ideologi Pancasila perlu diganti dalam rangka penguatan Pembinaan Ideologi
Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.258
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dibentuk sebagai lembaga baru yang
memiliki kewenangan untuk menegakan dan mengimplementasikan nilai-nilai
Pancasila sehingga menjadi pedoman bagi seluruh komponen bangsa dan seluruh
warga negara Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembinaan
Ideologi Pancasila adalah bentuk tindak lanjut dari Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2017 tentang unit kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang selama ini
melakukan tugas Pembinaan Ideologi Pancasila yang mana perlu direvitalisasi
organisasi, tugas, dan fungsinya.
Salah satu upaya dari pemerintah untuk dapat menanamkan dan mengawal
nilai-nilai Pancasila di masyarakat adalah dengan dibentuknya Badan Pembinaan
8 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 8.
39
Ideologi Pancasila. Pada dasarnya, BPIP memiliki tanggung jawab yang besar dalam
menanamkan dan mengawal nilai nilai Pancasila karena hal ini dilakukan terhadap
lembaga tinggi negara, kementrian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial
politik dan komponen masyarakat lainnya. Sehingga BPIP mempunyai wilayah tugas
yang sangat luas untuk menyelenggarakan fungsinya yang tercantum dalam Pasal 4
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembinaan
Ideologi Pancasila.269
Selain Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Pembinaan Ideologi Pancasila, landasan yuridis eksistensi Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) adalah:2710
1. Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
Keputusan yang ditetapkan pada tanggal 1 Juni 2016 ini berisi tentang
penetapan hari lahir Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni dan
dirayakan oleh pemrintah, seluruh komponen bangsa, dan masyarakat. Tanggal
1 Juni juga menjadi hari libur nasional.
2. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila. Peraturan yang diundangkan pada tanggal 19 April 2018 ini berisi
mengenai struktural, tugas, fungsi, dan wewenang Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila.
3. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2018 tentang Kelompok Ahli di Lingkungan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila. Peraturan yang diundangkan pada tanggal 22 Mei 2018 ini berisi
tentang kedudukan, jumlah,struktural, fungsi, dan wewenag dari Kelompok
9 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 9. 10 https://jdih.bpip.go.id/pencarian, diakses pada 29 Agustus, pukul 19.52 WIB.
40
Ahli yang dibentuk oleh Kepala dan Wakil Kepala untuk membantu tugas dan
fungsi BPIP dengan persetujuan Ketua Dewan Pengarah.
4. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 3
Tahun 2018 tentang Rencana Strategis Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
tahun 2018-2023. Peraturan yang diundangkan pada tanggal 8 Juni 2018 ini
berisi tentang rencana strategis, analisa SWOT, nilai,visi, misi, tujuan, sasaran,
dan hasil yang diharapkan Badn Pembinaan Ideologi Pancasila dalam jangka
waktu tahun 2018-2023.
5. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2018 tentang Rencana Strategis Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
tahun 2018-2023. Peraturan yang diundangkan pada tanggal 7 September 2018
ini mencabut peraturan sebelumnya (Peraturan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Rencana Strategis
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila tahun 2018-2023) adapun isinya sama
dengan Peraturan yang dicabut namun ada yang ditambahkan, yaitu mengenai
arah kebijakan, strategi, kerangka regulasi, dan kelembagaan.
6. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2019 tentang Pedoman Tata Naskah Dinas di Lingkungan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila. Peraturan yang diundangkan pada tanggal 20
Februari 2019 ini berisi tentang jenis dan format naskah dinas, pembuatan
naskah dinas, kewenangan penandatanganan, dan pengendalian naskah dinas.
7. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2019 tentang Hari Kerja, Jam Kerja, dan Cuti Pegawai. Peraturan yang
diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2019 ini berisi tentang ketentuan umum,
penetapan hari kerja, jam kerja, waktu istirahat, kerja lembur, presensi manual,
dan rekapitulasi kehadiran pegawai.
8. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 2019 tentang Kelas Jabatan di Lingkungan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2019 ini berisi hal-hal
41
yang berkaitan dengan kelas-kelas jabatan yang ada di lingkungan Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila.
9. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2019 tentang Pemberian dan Pemotongan Kinerja Pegawai di
Lingkungan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Peraturan yang
diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2019 ini berisi tentang ketentuan umum
dan pemberian serta pemotongan tunjangan kinerja dalam Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila.
10. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 6
Tahun 2019 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Lainnya Bagi Dewan Pakar,
Kelompok Ahli, dan Satuan Tugas Khusus di Lingkungan Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila. Peraturan yang diundangkan pada tanggal 29 Oktober 2019
ini berisi hal-hal yang berkaitan dengan hak keuangan dan fasilitas bagi dewan
pakar, kelompok ahli, dan satuan tugas khusus yang berada di lingkungan
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
11. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
Tahun 2020-2024. Peraturan yang diundangkan pada tanggal 10 Juni 2020 ini
mencabut Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia
Nomor 5 Tahun 2018 tentang Rencana Strategis Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila tahun 2018-2023. Adapun isinya adalah sama dengan peraturan yang
telah dicabut namun ditambahkan dengan target kinerja dan kerangka
pendanaan.
12. Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia Nomor 2
Tahun 2020 tentang Pendidikan dan Pelatihan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila. Peraturan yang diundangkan pada tanggal 13 Agustus 2020 ini
berisi mengenai ketentuan umum, penyelenggaraan diklat Pendidikan dan
42
Pelatihan Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP), sertifikat dan akreditasi serta
pendanaannya.11
C. Kedudukan Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam
Struktural Kelembagaan Indonesia
Sebelum mengetahui kedudukan Badan Pembinaan Ideologi Negara, penulis
akan jelaskan secara singkat mengenai struktur kelembagaan di Indonesia, sehingga
pembaca tidak akan kesulitan memahami kedudukan dan posisi Badan Pembinaan
Ideologi Negara di Indonesia.
Penyebutan lembaga negara terkadang dapat diganti dengan istilah lain, yaitu
lembaga pemerintahan, lembaga pemerintahan non-departemen, atau lembaga negara
saja. Ada yang dibentuk berdasarkan atau karena diberi kekuasaan oleh UUD, ada
pula yang dibentuk dan mendapatkan kekuasaannya dari UU, dan bahkan ada pula
yang hanya dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden. Hirarki kedudukannya tentu
saja berbeda, tergantung pada derajat pengaturannya menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.12
Lembaga negara yang diatur dan dibentuk oleh UUD merupakan organ
konstitusi, sedangkan yang dibentuk berdasarkan Undang-undang adalah organ UU,
sementara yang hanya dibentuk karena keputusan presiden tentunya lebih rendah lagi
tingkatan dan derajat perlakuan hukum terhadap pejabat yang duduk didalamnya.
Demikian pula jika lembaga dimaksud dibentuk dan diberi kekuasaan berdasarkan
Peraturan Daerah, tentu lebih rendah lagi tingkatannya.13
Kelembagaan negara berdasarkan UUD 1945 dapat dikelompokkan menjadi
beberapa kategori. Pertama, lembaga-lembaga utama yang melaksanakan cabang
11 Diakses melalui laman resmi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila,
https://jdih.bpip.go.id/pencarian pada 29 Agustus, pukul 19.57 WIB 12 Zaki Ulya, Hukum Kelembagaan Negara: Kajian Teoritis Kedudukan Lembga Negara
Pasca Reformasi, (Aceh: Universitas Samudra Press, 2017), h. 14. 13 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van hoeve, 1994), h. 13.
43
kekuasaan tertentu. Kedua, lembaga-lembaga negara yang bukan pelaksana salah satu
cabang kekuasaan, tetapi keberadaannya diperlukan untuk mendukung salah satu
lembaga pelaksana cabang kekuasaan tertentu. Ketiga, lembaga-lembaga yang
ditentukan untuk melaksanakan kekuasaan tertentu tanpa mengatur nama dan
pembentukan lembaganya. Keempat, lembaga yang ditentukan secara umum dan
menyerahkan pengaturan lebih lanjut kepada undang-undang. Kelima, lembaga-
lembaga yang berada di bawah presiden untuk melaksanakan fungsi-fungsi tertentu.
Keenam, lembaga-lembaga di tingkat daerah. Adapun, berdasarkan pembagian fungsi
kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945, maka dapat diketahui
bahwa terdapat lembaga-lembaga negara yang melaksanakan setiap kekuasaan
tersebut berdasarkan fungsinya.
Jika penataan lembaga negara melalui ketentuan peraturan perundang
undangan telah dilakukan, setiap lembaga negara dapat menjalankan wewenang sesuai
dengan kedudukan masing-masing. Hal itu akan mewujudkan kerja sama dan
hubungan yang harmonis demi pencapaian tujuan nasional dengan tetap saling
mengawasi dan mengimbangi agar tidak terjadi penyalahgunaan dan konsentrasi
kekuasaan.
Jika berbicara mengenai organisasi negara, maka ada dua unsur pokok yang
saling berkaitan, yaitu organ dan functie. Dalam UUD Tahun 1945, lembaga-lembaga
yang dimaksud, ada yang namanya disebut secara eksplisit dan ada pula hanya
fungsinya yang disebutkan eksplisit. Menurut Jimly Asshiddiqie, lembaga-lembaga
tersebut dapat dibedakan dari dua segi, yaitu segi fungsi dan segi hierarkinya. Untuk
itu ada dua kriteria yang dapat dipakai, yaitu (i) kriteria hierarki bentuk sumber
normatif ysng menetukan kewenangannya, dan (ii) kualitas fungsinya yang bersifat
utama atau penunjang dalam sistem kekuasaan.14
Berdasarkan teori tersebut, lembaga-lembaga negara dapat dibedakan ke dalam
3 lapis lembaga negara, yaitu lembaga lapis pertama yang disebut dengan “lembaga
14 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van hoeve, 1994), h. 90.
44
tinggi negara” merupakan lembaga-lembaga negara yang bersifat utama (primer) dan
dibentuk berdasarkan kewenangan dari Undang-Undang Dasar; lembaga lapis kedua
yang disebut dengan “lembaga negara”. Lembaga negara ini ada yang mendapat
kewenangannya secara eksplisit dari Undang- Undang Dasar namun ada pula yang
mendapat kewenangan dari Undang- Undang; dan lembaga lapis ketiga yang disebut
“lembaga daerah”. Selain lembaga-lembaga negara tersebut, ada pula beberapa
lembaga negara lain yang dibentuk berdasarkan amanat undang-undang atau peraturan
yang lebih rendah, seperti peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Keputusan
Presiden, seperti komisi-komisi independen. Keberadaan badan atau komisi- komisi
ini sudah ditentukan dalam undang-undang, akan tetapi pembentukannya biasanya
diserahkan sepenuhnya kepasa presiden atau kepada menteri atau pejabat yang
bertanggung jawab mengenai hal itu.2815
Pasca amandemen konstitusi, Indonesia membagi lembaga-lembaga negara ke
dalam tiga kelompok. Pertama, lembaga negara yang dibentuk berdasar atas perintah
UUD Negara RI Tahun 1945 (constitutionally entrusted power). Kedua, lembaga
negara yang dibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted
power) dan ketiga, lembaga negara yang dibentuk atas dasar perintah keputusan
presiden.
Lembaga negara pada kelompok pertama adalah lembaga-lembaga negara
yang kewenangannya diberikan secara langsung oleh UUD Negara RI Tahun 1945,
yaitu Presiden dan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY. Selain
delapan lembaga tersebut, masih terdapat beberapa lembaga yang juga disebut dalam
UUD Negara RI Tahun 1945 namun kewenangannya tidak disebutkan secara eksplisit
oleh konstitusi. Lembaga-lembaga yang dimaksud adalah Kementerian Negara,
Pemerintah Daerah, komisi pemilihan umum, bank sentral, Tentara Nasional
Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dan dewan
15 Jimly Asshiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di
Indonesia, (Jakarta: Ichtiar Baru-van hoeve, 1994), h. 217.
45
pertimbangan presiden. Kedelapan lembaga negara tersebut yang sumber
kewenangannya disebutkan langsung dari konstitusi, merupakan pelaksana kedaulatan
rakyat dan berada dalam kedudukan yang setara, seimbang, serta independen satu
sama lain.16
Berikutnya adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan peraturan di
bawah UUD 1945. Setidaknya, terdapat sepuluh lembaga negara yang dibentuk atas
dasar perintah undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut adalah Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi
Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR), Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia
(Komnas Perlindungan Anak), Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Kejaksaan,
Dewan Pers, dan Dewan Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapat bertambah atau
berkurang mengingat lembaga negara dalam kelompok ini tidak bersifat permanen
melainkan bergantung pada kebutuhan negara. Misalnya, KPK dibentuk karena
dorongan kenyataan bahwa fungsi lembaga-lembaga yang sudah ada sebelumnya,
seperti kepolisian dan kejaksaan, dianggap tidak maksimal atau tidak efektif dalam
melakukan pemberantasan korupsi. Apabila kelak, korupsi dapat diberantas dengan
efektif oleh kepolisian dan kejaksaan, maka keberadaan KPK dapat ditinjau
kembali.2917
Sementara itu, lembaga negara pada kelompok terakhir atau yang dibentuk
berdasarkan perintah dan kewenangannya diberikan oleh keputusan presiden,
peraturan pemerintah, dan peraturan presiden. Adapun, contoh lembaga yang
dimaksud antara lain adalah Komisi Ombudsman Nasional (KON), Komisi Hukum
Nasional (KHN), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan), Dewan Maritim Nasional (DMN), Dewan Ekonomi Nasional (DEN),
Dewan Pengembangan Usaha Nasional (DPUN), Dewan Riset Nasional (DRN),
16 Zaki Ulya, Hukum Kelembagaan Negara: Kajian Teoritis Kedudukan Lembga Negara
Pasca Reformasi, (Aceh: Universitas Samudra Press, 2017), h.25. 17 Zaki Ulya, Hukum Kelembagaan Negara: Kajian Teoritis Kedudukan Lembga Negara
Pasca Reformasi, (Aceh: Universitas Samudra Press, 2017), h.25-26.
46
Dewan Pembina Industri Strategis (DPIS), Dewan Buku Nasional (DBN), Komite
Kebijakan Industri Pertahanan, Dewan Ketahanan Pangan, Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional dan lembaga negara lainnya. Sejalan dengan lembaga-lembaga negara
pada kelompok kedua, lembaga-lembaga negara dalam kelompok yang terakhir ini
pun bersifat sementara bergantung pada kebutuhan negara.
Dalam hal ini, BPIP adalah sebuah lembaga independen yang dibentuk
berdasarkan Peraturan Presiden, maka kedudukan Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) adalah lembaga resmi yang tergolong sebagai lembaga pemerintahan
untuk membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan Pembinaan Ideologi
Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan dan melaksankan penyusunan
standarisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan,
serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau
regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara,
kementrian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial poltik, dan komponen
masyarakat lainnya.18
Seperti yang tercantum, dalam BAB V Pasal 45 sampai dengan Pasal 50
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Pancasila
tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Jabatan, secara struktural di dalam
Organisasi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila terdapat Dewan Pengarah, Kepala,
dan Wakil Kepala diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Sekretaris Utama dan
Deputi diangkat dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Kepala dan/atau Wakil
Kepala setelah mendapat persetujuan Ketua Dewan Pengarah. Pengangkatan
Sekretaris Utama dan Deputi dilakukan setelah melalui proses seleksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan. Staf Khusus Dewan Pengarah diangkat dan
diberhentikan oleh Ketua Dewan Pengarah. Dewan Pengarah, Kepala, Wakil Kepala,
18 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 9.
47
Deputi, dan Staf Khusus Dewan Pengarah dapat berasal dari pegawai negeri sipil atau
bukan pegawai negeri sipil.19
Pegawai negeri sipil yang diangkat menjadi pegawai di lingkungan BPIP
diberhentikan dari jabatan organiknya tanpa kehilangan statusnya sebagai pegawai
negeri sipil. Pegawai negeri sipil yang berhenti atau telah berakhir masa baktinya
sebagai pegawai di lingkungan BPIP, diaktifkan kembali dalam jabatan organik sesuai
formasi yang tersedia berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pegawai
negeri sipil yang diangkat menjadi pegawai di lingkungan BPIP diberhentikan dengan
hormat sebagai pegawai negeri sipil apabila telah mencapai batas usia pensiun dan
diberikan hak kepegawaiannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan. Kepala Biro, Direktur, Kepala Pusat, Kepala Bagian, Kepala Subdirektorat,
Kepala Bidang, Kepala Subbagian, dan Kepala Seksi di lingkungan BPIP diangkat dan
diberhentikan oleh Sekretaris Utama setelah mendapat persetujuan dari Ketua Dewan
Pengarah dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan.
D. Tugas dan Fungsi Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam
Perpres Nomor 7 Tahun 2018.
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memiliki tugas dan fungsi yang
diatur dalam Pasal 3 dan Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Pembinaan Ideologi Pancasila menyatakan bahwa:
“BPIP mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah
kebijakan Pembinaan Ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan dan
melaksankan penyusunan standarisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian
terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga
19 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 11.
48
tinggi negara, kementrian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial poltik, dan
komponen masyarakat lainnya.”
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, BPIP
menyelenggarakan fungsi:20
a. Perumusan arah kebijakan Pembinaan Ideologi Pancasila
b. Penyusunan garis-garis besar haluan Ideologi Pancasila dan peta jalan
Pembinaan Ideologi Pancasila
c. Penyusunan dan pelaksanaan rencana kerja dan program Pembinaan Ideologi
Pancasila
d. Koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pelaksanaan Pembinaan Ideologi
Pancasila
e. Pengaturan Pembinaan Ideologi Pancasila
f. Pelaksanaan pemantauan, evaluasi, dan pengusulan langkah dan strategi
untuk memperlancar pelaksanaan Pembinaan Ideologi Pancasila
g. Pelaksanaan sosialisasi dan kerja sama serta hubungan dengan lembaga
tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi
sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya dalam pelaksanaan
Pembinaan Ideologi Pancasila
h. Pengkajian materi dan metodologi pembelajaran Pancasila
i. Advokasi penerapan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam pembentukan dan
pelaksanaan regulasi
j. Penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan Pancasila serta
menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan dan
k. Perumusan dan penyampaian rekomendasi kebijakan atau regulasi yang
bertentangan dengan Pancasila.
20 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 10.
49
Dalam Pasal 2 Peraturan Presiden Nomor 7 Nomor Tahun 2018 dinyatakan
bahwa:21
(1) Dengan Peraturan Presiden dibentuk BPIP yang merupakan revitalisasi dari
unit kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila.
(2) BPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada dibawah dan
bertanggung jawab kepada Presiden.
(3) BPIP dipimpin oleh kepala dan dibantu oleh wakil kepala
Atas dasar hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa BPIP merupakan
lembaga yang lahir dari penyempurnaan dan revitalisasi organisasi dan memiliki tugas
serta fungsinya sebagai unit kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila yang
dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang unit kerja
Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
merupakan lembaga negara yang berada dan bertanggung jawab kepada Presiden dan
lini juga dipimpin oleh kepala dan dibantun oleh wakil kepala dalam tugas dan
fungsinya.22
BPIP yang dibentuk oleh Presiden berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 7
Tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi Pancasila mempunyai konsekuensi hukum
dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Dalam pelaksanaannya BPIP mempunyai
susunan organisasi berdasarkan Pasal 5 Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018
tentang Pembinaan Ideologi Pancasila. Adapun, susunan organisasi BPIP terdiri
atas:3023
a. Dewan Pengarah, yang terdiri atas:
1. Ketua; dan
21 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 10. 22 Rido Azhari, Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila (BPIP)
menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018 tentang Pembinaan Ideologi
Pancasila, (Padang: Universitas Bung Hatta Press, 2019), h. 10. 23 Diakses melalui https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/73570/perpres-no-7-tahun-2018
pada 30 Agustus 2020.Pukul 10.02 WIB.
50
2. Anggota.
b. Pelaksana, yang terdiri atas:
1. Kepala;
2. Wakil Kepala;
3. Sekretariat Utama;
4. Deputi Bidang Hubungan Antar Lembaga, Sosialisasi, Komunikasi,
dan Jaringan;
5. Deputi Bidang Hukum, Advokasi, dan Pengawasan Regulasi;
6. Deputi Bidang Pengkajian dan Materi;
7. Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan; dan
8. Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi
Masing-masing dari dewan tersbut memiliki tugas dan kewenangan yang
berbeda. Dalam hal ini, penulis akan menjelaskan lebih lanjut mengenai tugas dan
fungsi Sekretariat Utama karena berhubungan dengan poin selanjutnya mengenai
pertanggungjawaban Lembaga Badan Ideologi Pancasila (BPIP).
Dalam hal pertanggungjawaban, yang memiliki wewenang dan tanggungjawab
adalah Sekretariat Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Sekretaris Utama
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila mempunyai tugas menyelenggarakan koordinasi
pelaksanaan tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan administratif dan teknis
kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPIP. Sebagai bagian dari Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila yang memiliki kedudukan sebagai unsur pendukung
dan koordinator seluruh kegiatan di lingkungan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila,
Sekretariat Utama melaporkan kinerjanya sebagai pertanggungjawaban atas
pelaksanaan kinerja selama Tahun Anggaran (TA) 2019. Laporan Kinerja merupakan
pemenuhan amanat Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2014 tentang Akuntabilitas
Kinerja Instansi Pemerintah. Laporan Kinerja disusun sebagai salah satu bentuk
pertanggungjawaban Sekretariat Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila dalam
melaksanakan tugas dan fungsi selama Tahun 2019 dan sekaligus sebagai alat kendali
dan pemacu peningkatan kinerja setiap biro/pusat di lingkungan Sekretariat Utama
51
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, serta sebagai salah satu alat untuk mendapatkan
masukan bagi stakeholders demi perbaikan kinerja Sekretariat Utama Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila.
Tugas Pokok Menyelenggarakan koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan,
dan pemberian dukungan administratif dan teknis kepada seluruh unit.
Fungsi
a. Koordinasi kegiatan di lingkungan BPIP;
b. Koordinasi penyusunan rencana, program, kegiatan, dan anggaran di
lingkungan BPIP;
c. Pembinaan dan pemberian dukungan administratif yang meliputi
ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, kerumahtanggaan, kerjasama, hubungan
masyarakat, arsip, dan dokumentasi;
d. Pembinaan dan penataan organisasi dan tata laksana;
e. Koordinasi dan penyusunan peraturan perundangundangan serta
pelaksanaan advokasi hukum;
f. Penyelenggaraan pengelolaan barang milik/kekayaan negara dan layanan
pengadaan barang/jasa;
g. Pelaksanaan pengawasan internal di lingkungan BPIP; dan h. Pelaksanaan
fungsi lain yang diberikan oleh Pimpinan.
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, Sekretariat Utama Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila terdiri atas:
(a) Biro Perencanaan dan Keuangan, mempunyai tugas melaksanakan
koordinasi perencanaan, penyusunan anggaran, pengelolaan keuangan, pemantauan,
evaluasi, dan analisis, serta pelaporan akuntabilitas kinerja.
(b) Biro Hukum dan Organisasi, mempunyai tugas melaksanakan koordinasi
dan penyusunan produk hukum, dokomentasi dan informasi hukum, dan pembinaan
penataan organisasi dan tata laksana serta reformasi birokrasi.
(c) Biro Umum dan Sumber Daya Manusia, mempunyai tugas melaksanakan
koordinasi pengelolaan barang milik negara, pembinaan mental sumber daya manusia,
52
pengelolaan karier dan kinerja sumber daya manusia, kerumahtanggaan, pembinaan
dan layanan ketatausahaan, urusan persuratan, dan kearsipan.
(d) Biro Fasilitasi Dewan Pengarah dan Ketenagaahlian, mempunyai tugas
memberikan dukungan teknis dan administrasi bagi Dewan Pengarah, Staf Khusus
Dewan Pengarah, Dewan Pakar, dan Kelompok Ahli.
(e) Biro Pengawasan Internal, mempunyai tugas melaksanakan pengawasan
intern di lingkungan BPIP.
(f) Pusat Data dan Informasi, mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan
data dan informasi dan pengembangan sistem informasi berbasis kemajuan teknologi
dalam penyelenggaraan pembinaan ideologi Pancasila.
Lebih lanjut, dilansir dari berita harian daring Tempo menyatakan bahwa,
RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) secara resmi ditarik dan diganti dengan
RUU Badan Ideologi Pembinaan Pancasila (RUU BPIP). Kesamaan dua RUU ini
hanya terletak pada substansi soal penguatan BPIP. Namun jika ditelisik ada
perbedaan per pasal.
Di RUU HIP misalnya, terdapat pasal tentang tugas dan wewenang BPIP. Sementara
di RUU BPIP, hanya terdapat tugas dan fungsi, tidak ada wewenang.
Berikut tugas dan wewenang BPIP yang tercantum dalam draf terakhir RUU
HIP yang diunggah di laman dpr.go.id:
Dalam RUU HIP, BPIP bertugas:
a. Membantu Presiden dalam menyelenggarakan kekuasaan dengan
mengarahkan, membina, dan mengoordinasikan pelaksanaan Haluan Ideologi
Pancasila di lembaga-lembaga negara, kementerian/lembaga, lembaga
pemerintahan non-kementerian, lembaga nonstruktural, dan Pemerintahan
Daerah;
b. Membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan Pembinaan Haluan
Ideologi Pancasila;
c. Mengarahkan, monitoring, dan evaluasi kebijakan Pembinaan Haluan
Ideologi Pancasila sebagai masukan kepada Presiden;
53
d. Mengarahkan, monitoring, dan evaluasi kebijakan Pembinaan Haluan
Ideologi Pancasila.
e. Memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau
peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Haluan Ideologi
Pancasila kepada Presiden.
Selanjutnya, BPIP berwenang:
a. Mengarahkan pembangunan dan pembinaan politik nasional yang
berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila;
b. Mengarahkan riset dan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai
landasan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pembangunan nasional di
segala bidang kehidupan, berpedoman pada Haluan Ideologi Pancasila; dan
c. Mengarahkan pelaksanaan kebijakan pembangunan di lembagalembaga
negara, kementerian/lembaga, lembaga pemerintahan nonkementerian,
lembaga nonstruktural dan Pemerintahan Daerah berpedoman pada Haluan
Ideologi Pancasila.
Sedangkan, pada RUU BPIP berdasarkan Pasal 7 draf RUU BPIP menyatakan:
a. BPIP mempunyai tugas membantu Presiden:
b. Merumuskan arah kebijakan Pembinaan Ideologi Pancasila
c. Melaksanakan koordinasi dan sinkronisasi;
d. Mengintegrasikan fungsi Pembinaan Ideologi Pancasila secara menyeluruh
dan berkelanjutan;
e. Melembagakan nilai-nilai Pancasila dalam sistem pendidikan nasional, ilmu
pengetahuan dan teknologi, kegiatan riset dan inovasi;
f. Melembagakan nilai-nilai Pancasila dalam sistem pembangunan nasional;
g. Melembagakan nilai-nilai Pancasila dalam sistem politik yang demokratis;
h. Melembagakan nilai-nilai Pancasila dalam pembentukan, pelaksanaan, dan
penegakan hukum, serta politik luar negeri;
i. Menyusun materi dan metodologi, monitoring dan evaluasi pelaksanaan
Pembinaan Ideologi Pancasila;
54
j. Menyusun dan menetapkan standardisasi pendidikan dan pelatihan;
k. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan; dan
l. Memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap pembentukan,
pelaksanaan, dan penegakan hukum serta kebijakan kepada lembaga negara,
kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan
elemen masyarakat lainnya agar berpedoman dan sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila.
Berdasarkan tugas, fungsi, dan wewenang yang telah penulis jabarkan di atas,
jika dibandingkan dengan Perpres Nomor 7 Tahun 2018, RUU HIP, dan RUU BPIP
dapat disimpulkan bahwa kehadiran BPIP ini adalah sebagai langkah preventif dari
pemerintah terhadap perilaku-perilaku anti-sosial, antipati, SARA, dan penguatan budi
pekerti melalui nilai-nilai dari kearifan lokal. Secara historis pun, upaya-upaya untuk
mengganti ideologi Pancasila banyak dilakukan, untuk itu adanya lembaga ini sebagai
salah satu solusi agar kejadian tersebut tidak akan terulang.
E. Pertanggungjawaban Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) dalam Pembinaan Ideologi Pancasila
Pertanggungjawaban dari Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) dilakukan oleh Sekretariat Utama Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dalam
bentuk laporan tahunan. Laporan Kinerja Sekretariat Utama Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila, merupakan perwujudan akuntabilitas dari pelaksanaan tugas dan
fungsi beserta penggunaan anggarannya. Selain itu, Laporan Kinerja ini merupakan
wujud dari pemotretan kinerja dalam pencapaian rencana kerja, sebagaimana yang
dijabarkan dalam Dokumen perencanaan dan anggaran. Terdapat beberapa isu
strategis dalam mencapai Sasaran Program Sekretariat Utama BPIP, antara lain:
- Ekspektasi tingkat kepuasan pelayanan yang tinggi. - Pemenuhan teknologi
informasi berbasis nirkabel.
- Pengelolaan keuangan memperoleh predikat “WTP” (Wajar Tanpa
Pengecualian).
55
- Peningkatan kapasitas SDM (Sumber Daya Manusia) dalam menjalankan
tugas dan fungsi.
- Menyelesaikan tugas-tugas mendadak dari unsur Pimpinan BPIP yang
waktunya tidak dapat diprediksi.
- Implementasi Reformasi Birokrasi dan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi
Pemerintah.24
Untuk menjawab tantangan tersebut, Sekretariat Utama BPIP melalui program
Dukungan Manajemen Dan Pelaksanaan Tugas Teknis Lainnya menetapkan Indikator
Kinerja, yaitu : (i) tingkat kepuasan terhadap Dukungan Manajemen Dan Pelaksanaan
Tugas Lainnya (100%); (2) Kualitas laporan keuangan BPIP berdasarkan opini BPK
(1 laporan).
Laporan Kinerja juga merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 8
Tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah, dan
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor
53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan
Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah. Dalam laporan
tahunannya, pada tahun 2019 BPIP menjabarkan sasaran dan indikator kinerjanya.
Penulis lampirkan dalam bentuk gambar 1.13125
Dalam laporan tahunan ini juga terdapat perencanaan kinerja untuk 5 (lima)
tahun ke depan, adapun perencanaan kinerja dibagi ke dalam 3 (tiga) bagian, yaitu:
a. Rencana Strategis. Rencana Strategis BPIP disusun berdasarkan analisis situasi
kebangsaan dan kenegaraan menurut perspektif BPIP. Indikator keberhasilan
atau kinerja, keluaran (output), hasil (outcome), dan dampak (impact) BPIP
menjadi perhatian utama hadirnya lembaga ini dalam tata kelola
penyelenggaraan negara di Indonesia. Rencana Strategis BPIP merupakan
24 Sekretariat Utama BPIP, Laporan Kinerja Sekterariat Utama Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP 2019), (Jakarta: Settama BPIP Press, 2019), h.5.
25 Sekretariat Utama BPIP, Laporan Kinerja Sekterariat Utama Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP 2019), (Jakarta: Settama BPIP Press, 2019), h. 8.
56
penjabaran dari Visi, Misi, Tugas, dan Fungsi BPIP sebagaimana yang
diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila yang kemudian disintesakan dengan hasil
analisa situasi tentang kekuatan dan kelemahan internal berdasarkan hasil
evaluasi yang akurat, serta hasil analisis peluang dan ancaman yang ada dalam
lingkungan strategik eksternal. Rencana strategis BPIP Rencana Strategis BPIP
merupakan penjabaran dari Visi, Misi, Tugas, dan Fungsi BPIP sebagaimana
yang diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila yang kemudian disintesakan dengan hasil
analisa situasi tentang kekuatan dan kelemahan internal berdasarkan hasil
evaluasi yang akurat, serta hasil analisis peluang dan ancaman yang ada dalam
lingkungan strategik eksternal. Rencana strategis BPIP 2020-2024 dituangkan
ke dalam Peraturan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Republik Indonesia
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Rencana Strategis Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila tahun 2020 – 2024.
b. Rencana Kerja. Rencana Kerja berisi program kerja beserta anggarannya
c. Perjanjian Kinerja. Perjanjian Kinerja adalah dokumen yang berisikan
penugasan dari pimpinan instansi yang lebih tinggi kepada pimpinan instansi
yang lebih rendah untuk melaksanakan program/kegiatan yang disertai dengan
indikator kinerja
d. Tahap awal implementasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
(SAKIP) di BPIP terkait pengukuran kinerja menggunakan aplikasi. Penulis
akan lampirkan gambar dari nama aplikasi tersebut pada gambar 1.2.26
Selain menuliskan laporan pertanggungjawaban yang ditulis secara tahunan, pada
tanggal 4-6 November 2019, BPIP juga telah merancang Garis Besar Haluan Ideologi
Pncasila (GBHIP).
26 Sekretariat Utama BPIP, Laporan Kinerja Sekterariat Utama Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP 2019), (Jakarta: Settama BPIP Press, 2019), h. 14.
57
Garis Besar Haluan Ideologi Pancasila (GBHIP) merupakan rumusan Pedoman
Pancasila untuk seluruh elemen masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Selain itu, sebagai rumusan pedoman dalam menyusun, menjalankan, dan
mengawasi kebijakan-kebijakan nasional dalam segala aspek kehidupan masyarakat
Indonesia dan diimplementasikan ke dalam kehidupannya.27
Rancangan tersebut telah diterima dan ditandatangani oleh Ketua Dewan Pengarah
BPIP Dr. (HC) Hj. Megawati Soekarnoputri dan anggota Dewan Pengarah: Jenderal
TNI (Purn) Try Sutrisno, Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD, S.H., S.U., Prof. Dr.
Ahmad Syafii Maarif, Prof. Dr. K. H. Said Aqil Siroj, MA, Dr. (HC) Sudhamek AWS,
S.E., S.H., Pdt., Dr. Andreas Anangguru Yewangoe, Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa
Tenaya, dan Rikhard Bagun. GBHIP merupakan rumusan Pedoman untuk seluruh
elemen masyarakat Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu,
menjadi pedoman dalam menyusun, menjalankan, dan mengawasi kebijakan
pembangunan nasional di segala bidang kehidupan sebagai implementasi dari
pembumian nilai-nilai Pancasila oleh kementerian dan lembaga. GBHIP menjadi
rambu-rambu pembatas yang menuntun pemahaman tentang kedudukan Pancasila
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sekaligus bagaimana mewujudkan nilai-
nilai Pancasila dalam pembangunan nasional. Penyelesaian konsep GBHIP
inimelewati beberapa tahapan, mulai dari diskusi hingga kegiatan akseptasi oleh para
pakar dan akademisi.28
27 Diakses melalui https://bphn.go.id/ pada 3 September 2020.Pukul12.04 WIB 28 Sekretariat Utama BPIP, Laporan Kinerja Sekterariat Utama Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP 2019), (Jakarta: Settama BPIP Press, 2019), h. 20.
58
Gambar 1.1. Sasaran dan Indikator Kinerja Tahun 2019
Gambar 1.2. Penggunaan aplikasi terhadap Tahap awal implementasi Sistem
Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP) di BPIP terkait pengukuran
kinerja
59
58
BAB IV
PERAN LEMBAGA BADAN IDEOLOGI PANCASILA (BPIP) DALAM
PERSPEKTIF MAQASHID AL- SYARI’AH
A. Definisi dan Sejarah Pancasila
Secara etimologi dalam bahasa Sansekerta (Bahasa Brahmana India),
Pancasila berasal dari kata ‘Panca’ dan ‘Sila’. Panca artinya lima, sila atau
syila yang berarti batu sendi atau dasar. Kata sila bisa juga berasal dari kata
susila, yang berarti tingkah laku yang baik. Jadi secara kebahasaan dapat
disimpulkan bahwa Pancasila dapat berarti lima batu sendi atau dasar atau
dapat diartikan menjadi lima tingkah laku yang baik.
Secara terminologi, Pancasila digunakan oleh Bung Karno sejak sidang
BPUPKI pada 1 Juni 1945 untuk memberi nama pada lima prinsip dasar
negara.1 Keberadaan Pancasila tidak dapat dipisahkan dari situasi menjelang
lahirnya negara Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Setelah mengalami
pergulatan pemikiran, para pendiri bangsa ini akhirnya sepakat dengan lima
pasal yang kemudian dijadikan sebagai landasan hidup dalam berbangsa dan
bernegara.
Pancasila dirumuskan berbeda-beda oleh para perumusnya di masa lalu
dan sempat mengalami beberapa perubahan dari waktu ke waktu. Hingga
kemudian disepakati rumusan yang sah secara konstitusional dan dipakai
sampai saat ini.
Menurut Mr. Mohammad. Yamin sebagaimana yang disampaikan
dalam sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945, isinya sebagai berikut:
(1) Prikebangsaan,
(2) Prikemanusiaan,
1 Kumawi Basyir dkk, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press
2013), h. 10.
59
(3) Priketuhanan,
(4) Prikerakyatan,
(5) Kesejahteraan rakyat.
Sedangkan menurut Soekarno yang disampaikan pada 1 Juni 1945 di
depan sidang BPUPKI, Pancasila memuat hal sebagai berikut:
(1) Nasionalisme atau kebangsaan Indonesia,
(2) Internasionalisme atau prikemanusiaan,
(3) Mufakat atau demokrasi,
(4) Kesejahteraan sosial dan,
(5) Ketuhanan yang berkebudayaan.
Adapun, Pancasila dalam piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni
1945 adalah sebagai berikut:
(1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk
pemeluknya,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab,
(3) Persatuan Indonesia,
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan,
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Rumusan piagam Jakarta tersebut kemudian mengalami perubahan,
dan perubahan ini yang kemudian dianggap sah secara konstitusional
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945, yaitu:
(1) Ketuhanan yang Maha Esa,
(2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
(3) Persatuan Indonesia
(4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan
60
(5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.2
Indonesia memiliki sejarah perjuangan yang berbeda dengan negara
lainnya. Perjuangan melawan kolonialisme selama 3,5 abad ini melahirkan
budaya atau local wisdom tersendiri bagi negara Indonesia. Untuk itu,
pengalaman sejarah ini memberikan warna sendiri terhadap Indonesia dalam
merumuskan negara modern yang demokratis yang berbeda dengan negara-
negara lain.
Cikal bakal negara Indonesia lahir sejak diikrarkannya sumpah
pemuda 28 Oktober 1928. Sebuah ikrar perjanjian luhur (mu’ah> adah)
pemuda-pemudi Indonesia yang bertekad untuk satu bangsa, satu tanah air
dan menjunjung tinggi bahasa persatuan, bahasa Indoensia. Peristiwa tersebut
merupakan eskalasi tekad bangsa Indonesia untuk bersama-sama merebut
kemerdekaan dari cengkraman penjajah, sehingga kemerdekaan berhasil
diwujudkan beberapa tahun kemudian.
Perjanjian luhur yang diikrarkan bangsa Indonesia, tidak semata
dibangun atas kesamaan perangai, melainkan lebih pada kesadaran geo-
politik, cita-cita, dan nilai-nilai luhur hidup dan mengakar dalam kepribadian
bangsa Indonesia. Menurut Bung Karno, bangsa Indonesia melewati
perjuangan panjang dengan mempersembahkan segenap pengorbanan dan
penderitaan. Bangsa Indonesia lahir menurut cara, dan jalan yang
ditempuhnya sendiri, yang merupakan hasil antara proses sejarah, tantangan
perjuangan, dan cita-cita masa depan, yang secara keseluruhan membentuk
karakter kepribadiannya. Karakter kepribadian bangsa Indonesia inilah yang
selanjutnya ditetapkan sebagai pandangan hidup dan dasar negara yakni
pancasila. Karena itu, pancasila tidak lahir secara tiba-tiba pada 1 juni 1945.
Pancasila merupakan penjelmaan dari jiwa dan kepribadian bangsa Indonesia
2 Kumawi Basyir dkk, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press
2013), h. 10-11.
61
yang telah hidup sejak dahulu hingga sekarang. Pancasila adalah filsafat dan
pandangan hidup yang digali melalui pemikiran sedalam-dalamnya dari
budaya, sifat dan cita-cita bangsa yang di yakini sebagai kenyataan norma-
norma dan nilai-nilai yang paling benar, paling adil, paling baik, dan paling
sesuai bagi bangsa Indonesia. Pancasila merupak titik temu dari pluralitas
bagi bangsa Indonesia NKRI yang menjadi perjanjian luhur bangsa, dan
pancasila menjadi payung kebinekaannya.3
Menjaga perjanjian luhur anak bangsa merupakan tugas bagi generasi
bangsa. Oleh karena itu, ormas-ormas Islam di Indonesia termasuk NU sejak
awal hingga era-kemerdekaan, era ordelama, era ordebaru, dan era reformasi,
senantiasa menunjukkan kesetiaan dan komitmen dan NKRI sebagai negara
bangsa dan pancasila sebagai lambang dasarnya. Kesetiaan dan komitmen
NU, ini bisa dilihat dalam lintasan sejarah Indonesia:
1. Tahun 1936 dalam muktamar di Banjarmasin, NU mengukuhkan
piagam Indonesia sebagai negara bangsa.
2. Tahun 1945-1946, NU mendeklarasikan resolusi jihad untuk
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
3. Tahun 1954 dalam munas se-Indonesia di Cipanas Bogor, NU
menetapkan piagam waliy al-amri al-do} ruri> bi al-Shaukah untuk
legitimasi kekuasaan Soekarno sebagai presiden RI yang sah.
4. Tahun 1967 dalam muktamar di Bandung, NU mengeluarkan deklarasi
pancasila.
5. Tahun 1983 dalam munas alim ulama NU di Situbondo, NU membuat
piagam hububangan agama dan pancasila.
6. Tahun 2006 dalam munas dan konbes NU di Surabaya ditetapkan
maklumat NU yang meneguhkan kembali komitmen kebangsaan untuk
3 Tim Forza Pesantren, Ijitihad Politik Islam Nusantara, Membumikan Fiqih Siyasah Melalui
Pendekatan Maqashid Syariah (Kediri: Lirboyo Press, 2015), h.205.
62
mempertahankan dan mengembangkan pancasila dan UUD 45 dalam
wadah NKRI.
7. Tahun 2011 dalam harlah NU ke-85 NU mengeluarkan maklumat untuk
menyelamatkan NKRI dan pancasila dari fundamentalime agama
(radikalisme) dan fundamentalime pasar (liberalisme).4
Sikap NU dan juga ormas-ormas lain di Indonesia yang mendukung
Pancasila bukan tanpa alasan. Mereka berfikir, bahwa selama ini ideologi
ini dianggap mampu mewujudkan kemaslahatan umat dan menjaga
stabilitas kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila dianggap mampu
mewadahi kebinekaan yang ada di Indonesia. Sejarah membuktikan bahwa
wacana-wacana untuk mengganti Pancasila dengan ideologi lain hanya
membawa dampak keburukan dan kekisruhan politik, ini seperti terlihat
dari adanya upaya DI/TII, PKI, dan belakangan ini, yakni wacana khilafah
yang diusung oleh HTI.
Menurut Kaelan, Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia
sebelum disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI, nilai-nilainya
telah ada pada bangsa Indonesia sejak zaman dahulu kala sebelum bangsa
Indonesia mendirikan negara, yang berupa nilai adat istiadat, kebudayaan
serta nilai-nilai religius. Nilai- nilai tersebut telah ada dan melekat serta
teramalkan dalam kehidupan sehari-hari sebagai pandangan hidup, sehingga
matari Pancasila yang berupa nilai-nilai tersebut tidak lain adalah bangsa
Indonesia sendiri, sehingga bangsa Indonesia sebagai kausa materialis
Pancasila. Nilai-nilai tersebut kemudian diangkat dan dirumuskan secara
formal oleh para pendiri negara untuk dijadikan sebagai dasar filsafat
4 Tim Forza Pesantren, Ijitihad Politik Islam Nusantara, Membumikan Fiqih Siyasah Melalui
Pendekatan Maqashid Syariah (Kediri: Lirboyo Press, 2015), h.205-206.
63
Negara Indonesia.5
Dalam perspektif historis, kelahiran, perumusan dan pengesahan
Pancasila melewati perdebatan, pembahasan dan kajian yang cukup lama
yang melibatkan berbagai pihak dan kelembagaan yakni Badan Penyidik
Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Panitia Sembilan dan terakhir
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
1. Sidang BPUPKI Pertama (28 mei-1 juni 1945)
Dalam sidang pertama ini diisi dengan beberapa tokoh yang berpidato
mengemukakan gagasannya masing masing tentang konsep negara. Sesuai
kesepakatan, tokoh yang berpidato pertama adalah Mr. Mohammad Yamin.
Yamin mengusulkan usulan (lisan) rumusan dasar negara Indonesia sebagai
berikut: (1) Prikebangsaan, (2) Prikemanusiaan (3) Priketuhanan (4)
Prikerakyatan dan (5) Kesejahtraan rakyat. Selain usulan lisan tersebut
Mohammad Yamin kemudian mengusulkan usulan tertulis mengenai dasar
negara kebangsaan dengan rumusan sebagai berikut: (1) Ketuhanan yang
maha Esa (2) Kebangsaan persatuan Indonesia (3) Rasa kemanusiaan yang
adil dan beradab (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusywaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.6
Di hari selanjutnya (31 Mei) yang mendapat giliran menyampaikan
pidato adalah Prof. Dr. Soepomo. Berbeda dengan Yamin, Soepomo
mengemukakan gagasan sebagai berikut: (1) Teori negara perseorangan
(Individualis) sebagaimana diajarkan oleh Thomas Hobbes (Abad 17) dan
5 Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya, (Yogyakarta: Paradigma 2013), h.5.
6 Kumawi Basyir dkk, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press
2013), h. 10-11.
64
Jean Jacques Rousseau (Abad 18) Herbert Spencer (Abad 19), HJ. Laski
(Abad 20). Menurut paham tersebut, negara adalah masyarakat hukum (legal
society) yang disusun atas kontrak seluruh individu (contract social). Selain
teori negara perseorangan tersebut, Soepomo juga mengajukan teori
perbandingan, (2) Paham negara kelas (Class Theory) yang merupakan
gagasan Marx, Engels dan Lenin, dan (3) Paham negara integralistik yang
diajarkan Spinoza, Ada, Muller, Hegel (Abad 18 dan 19). Pada tahap
selanjutnya Soepomo mengusulkan usulan rumusan lima besar dasar Negara
sebagai berikut (1) Persatuan (2) Kekeluargaan (3) Keseimbangan lahir batin
(4) Keadilan rakyat.7
Pada tanggal 1 Juni, Soekarno yang menyampaikan pidato yang
disampaikan tanpa teks. Soekarno mengusulkan adanya dasar negara yang
terdiri atas lima prinsip yang rumusannya adalah (1) Kebangsaan
(Nasionalisme), (2) Perikemanusiaan (Internasionalisme) (3) Mufakat
(Demokrasi) (4) Keadilan sosial (5) Ketuhanan yang Maha Esa. Setelah
usulan-usulan tersebut ditampung maka kemudian dibentuk panitia kecil yang
berjumlah delapan orang yang kemudian dikenal dengan ‘panitia 8’ yang
bertugas untuk menyusun dan mengelompokkan semua usulan tertulis.
Anggota panitia delapan tersebut terdiri dari: (1) Ir. Soekarno (Ketua) (2) Drs
Moh. Hatta (3) M. Soetardjo Kartohadikoesomo (4) KH. Wahid Hasyim (5)
Ki Bagus Hadikusumo (6) Rd. Otto Iskandardinata (7) Mohammad. Yamin
(8) Mr. Alfred Andre Maramis. Setelah panitia kecil tersebut bekerja meneliti,
dan berusaha merumuskan, maka kemudian diketahui terjadi perbedaan
pendapat diantara para anggota. Anggota yang beragama Islam menghendaki
bahwa negara berdasarkan syariat Islam, sedangkan yang berhaluan
nasionalis menghendaki bahwa negara tidak berdasarkan hukum agama
7 Kumawi Basyir dkk, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press
2013), h. 13-14.
65
tertentu. Maka untuk mengatasi hal tersebut maka dibentuklah panitia yang
terdiri dari sembilan orang yang kemudian dikenal dengan ‘panitia 9’ yaitu:
(1) Ir. Soekarno (Ketua) (2) Mr. Yamin (3) KH. Wahid Hasyim (4) Drs.
Moh. Hatta (5) KH. Abdul Kahar Moezakir (6) Mr. Maramis (7) Mr.
Soetardjo Kartohadikoesoemo (8) Abi Kusno Tjokrosoejoso (9) H. Agus
Salim.8
Pantia sembilan bersidang pada tanggal 22 Juni 1945 menghasilkan
kesepakatan akan lima pasal/konsep dasar negara yang kemudian dipopulerkan
oleh Mohammad. Yamin dengan sebutan Piagam Jakarta. Lima pasal tersebut
adalah: (1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya. (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab (3) Persatuan
Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.329
2. Sidang BPUPKI Ke dua (10-16 juli 1945)
Sidang kedua ini berisi diantaranya penjelasan Soekarno terhadap rumusan
Piagam Jakarta yang telah disepakati. Semua menerima dengan bulat, baik
golongan Islamis maupun Nasionalis. Sidang BPUPKI kedua ini lebih
menekankan pembicaraan rumusan Undang-undang dasar, dan susunan
pemerintahan Negara yang terdapat dalam penjelasan UUD.10
3. Sidang PPKI Pertama (18 Agustus 1945)
Salah satu perubahan terjadi dalam Pancasila adalah pada sidang pertama
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang dilaksanakan 18 Agustus 1945.
8 Kumawi Basyir dkk, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press
2013), h. 16.
9 Kumawi Basyir dkk, Pancasila Dan Kewarganegaraan, (Surabaya: Sunan Ampel Press
2013), h. 17.
66
Dalam rapat tersebut, 20 menit sebelum rapat dimulai diadakan pertemuan
yang membahas beberapa perubahan terhadap Piagam Jakarta terutama pada
sila pertama. Pertama ini kemudian menghasilkan rumusan dan kesepakatan
dengan mengurangi beberapa redaksi kalimat pada sila pertama, menjadi
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ sebagaimana yang kita lihat sekarang ini.11
Sidang PPKI dilaksanakan hingga empat kali. Namun bangun rumusan final
Pancasila mencapai kesepakatan pada sidang yang pertama ini. Pada sidang-
sidang selanjutnya lebih menitikberatkan membentuk konsep pemerintahan,
pembagian wilayah dan membentuk komite Nasional.
B. Argumentasi Eksistensi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
Sebelumnya, penulis telah memaparkan mengenai dasar hukum dan
latarbelakang eksistensi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) di
Indonesia. Sebagai falsafah dan pandangan hidup Indonesia, Pancasila menjadi
alasan kokohnya suatu komunitas masyarakat. Ideologi berfungsi sebagai
doktrin terhadap masyarakat tersebut yang menyebabkan adanya kesadaran
untuk mewujudkan kemaslahatan bersama tanpa membedakan satu dengan
yang lain. Hal ini tak terkecuali dengan Bangsa Indonesia. Sejak pertama kali
negara ini berdiri, para perumus Pancasila berkeinginan menjadikan Pancasila
sebagai dasar ideologi dalam berbangsa dan bernegara. Sehingga substansi dari
nilai-nilai yang terdapat dalam lima pasal benar-benar dapat dirasakan
manfaatnya oleh semua masyarakat Indonesia.
Dalam hal ini penulis berpendapat bahwa ideologi Pancasila merupakan
ideologi terbuka dan yang paling sesuai dengan masyarakat Indonesia. Sejarah
membuktikan walaupun banyak gerakan separatis dan pemberontakan, namun
ideologi tetap berdiri kokoh menjadi pedoman bangsa Indonesia. Sebagai
sebuah ideologi, Pancasila mempunyai sifat yang aktual, dinamis, antisipatif
dan senantiasa mampu menyesuaikan perkembangan zaman.15 Sebagai suatu
ideologi yang bersifat terbuka, Pancasila mempunyai beberapa dimensi.
67
Diantaranya dimensi idealistis, yakni nilai-nilai dasar yang terkandung dalam
Pancasila bersiat sistematis dan rasional yaitu hakikat nilai- nilai yang
terkandung dalam lima sila Pancasila yaitu, ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan dan keadilan. Yang kedua adalah dimensi normatif, yang
artinya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila perlu dijabarkan dalam
suatu sistem norma, sebagaimana terkandung dalam pembukaan UUD 1945
yang memiliki kedudukan tertinggi dalam dalam tertib hukum Indonesia.
Ketiga adalah dimensi realistis, yang artinya, sebagai suatu sistem ideologi,
Pancasila harus mampu mencerminkan realitas yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat.
Sebagai lembaga negara yang memiliki fungsi dan tanggungjawab untuk
membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan Pembinaan Ideologi
Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan dan melaksankan penyusunan
standarisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap
kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga
tinggi negara, kementrian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial
poltik, dan komponen masyarakat lainnya.
Pada dimensi lain, para ahli berpendapat mengenai eksistensi BPIP ini.
Refly Harun menuturkan pendapatnya mengenai pengimplementasian
Pancasila ini. Beliau mengingatkan Pemerintah bahwa kehidupan berbangsa tak
hanya soal Pancasila yang memang sudah kokoh sebagai dasar negara. Sebab,
agama, adat istiadat dalam tingkatan masyarakat juga harus mendapat
perhatian. Tidak boleh benturkan Pancasila dengan adat atau agama. Orang
yang beragama dengan baik pasti Pancasilais. Jadi Pancasila jangan dibajak,
dan meminta pemerintah tidak terjebak cara-cara rezim Orde Lama maupun
Orde Baru, yang memanfaatkan Pancasila sebagai alat penggebuk saat
berkuasa, fakta kelompok-kelompok intoleran atau anti kebhinekaan memang
ada. Dan seharusnya, Pancasila itu digunakan merangkul mereka, bukan malah
68
memisahkannya. Untuk itu agar pemahaman Pancasila dititipkan ke lembaga-
lembaga pendidikan yang sudah ada. Pemerintah cukup membuat kurikulum
dan silabusnya. Pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga pendidikan yang ada
di bawah Kementerian terkait. Refly Harun juga berpendapat bahwa untuk
mengukur kinerja lembaga ini sangat susah karena penilaian itu harus mengacu
kinerja yang dihasilkan misalnya kinerja selama setahun ini, harus ada input,
output, outcome.
Dalam hal ini, mengutip dari pendapat Refly Harun menyatakan bahwa
eksistensi BPIP bukanlah hal yang urgen. Justru, eksistensi BPIP malah tidak
efektif dan efisien dalam perlembagaan negara di Indonesia. Sebab, beliau
berpendapat bahwa pendidikan dan pengajaran pancasila cukup melalui
instansi pendidikan. Karena, dalam berbangsa dan bernegara, tidak hanya ada
pancasila, namun juga ada nilai-nilai agama dan adat istiadat yang pasti sudah
sejalan dan sepaham dengan nilai-nilai pencasila.
Mengenai hal ini, Guru besar Universitas Diponegoro, Suteki menyatakan
dengan hadirnya BPIP ini seolah-olah Pancasila mengalami reduksi hanya dari
sisi Ideologi. Adanya reduksi dalam hal pemahaman nilai nilai Pancasila
Presiden melalui kebijakannya seakan-akan menghidupkan kembali
keperkasaan Pancasila dicurigai dianggap sebagai upaya pemerintah untuk
memaksakan tafsir tentang Pancasila dan pada akhirnya BPIP ditengarai akan
dijadikan sebagai alat pemukul kepada mereka yang berseberangan yang
nantinya akan membawa ketidakadilan dalam masyarakat untuk berpendapat,
menyatakan sikap sesuai hati nuraninya dan membentuk organisasi atau serikat.
Pada dimensi ini, Suteki berpendapat eksistensi BPIP malah akan
mengurangi nilai-nilai pancasila itu sendiri. Pancasila telah disepakati menjadi
ideologi bangsa yang bersifat terbuka dan dinamis oleh masyarakat. Untuk itu,
sebagai sebuah ideologi yang perkasa tidak perlu ada lembaga khusus. Justru
dengan adanya lembaga khusus ini seakan memaksakan tafsir pancasila kepada
masyarakat. Padahal, sampai sekarang negara ini berdiri, pancasila masih
69
berdiri kokoh menjadi ideologi bangsa Indonesia.
Berdasarkan pemaparan di atas, lebih lanjut, penulis berpendapat bahwa
nilai-nilai yang terkandung dalam Pacasila memanhg harus diimplementasikan
dalam kehidupan bernegara dan berbangsa. Untuk itu diperlukan sebuah
lembaga yang mengontrol dapat membantu presiden untuk merumuskan
kebijakan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila. Selain
itu, pengawasan pengimplementasian masyarakat akan isu-isu hoax terkait
pemberontakan ideologi juga harus dicegah, karena dikhawatirkan akan
menimbulkan konflik di masyarakat. BPIP hadir sebagai penengah dan
pendidik pancasila di masyarakat. Hanya saja, agar fungsi dari lembaga ini
dapat efektif dan efisien ada baiknya jika diintegrasikan dengan instansi
pendidikan dan kementrian. Mengingat, fungsi dari lembaga BPIP harus
menjangkau masyarakat sekaligus menjadi jembatan bagi pemerintah dan
masyarakat mengenai pancasila.
C. Peran Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam
Pembinaan Ideologi Pancasila
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) adalah lembaga yang
dibentuk oleh Presiden berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7
Tahun 2018. Alasan yang melatar belakangi pembentukan BPIP adalah
banyaknya gerakan radikal maupun separatis yang jika dibiarkan akan
mengancam ideologi Pancasila. Sebenarnya, presiden sudah pernah membentuk
lembaga yang sama dan hanya beda nama, yakni Unit Kerja Presiden Pembinaan
Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang lahir berdasarkan Peraturan Presiden
(Perpres)Nomor 54 Tahun 2017. Jadi dapat dikatakan bahwa Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) ini merupakan revitalisasi Unit Kerja Presiden
Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP).
Pertimbangan revitalisasi dan penyempurnaan Unit Kerja Presiden
Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) adalah dalam rangka penguatan
70
pembinaan ideologi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Atas dasar pertimbangan tersebut, presiden Joko Widodo akhirnya
menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. Dengan revitalisasi dari bentuk unit kerja
menjadi bentuk badan, diharapkan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
akan tetap ada walaupun pemerintahannya akan terus berganti. Dengan adanya
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018, maka Peraturan Presiden
Nomor 54 Tahun 2017 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pembentukan BPIP oleh presiden ini diharapkan mampu
mempertahankan nilai-nilai luhur bangsa yang terkandung dalam Pancasila.
Trauma akan sejarah pemberontakan dan separatis menjadi salah satu dasar
mengapa Pancasila seakan masih terancam keberadaannya bahkan setelah 75
tahun merdeka. Karena itu, revitalisasi diperlukan sebagai langkah preventif
gerakan separatis dan pemberontakan terhadap Pancasila. Terlebih, isu-isu
komunisme dan perangkuman pancasila dewasa ini sering terjadi. Untuk itu,
diperlukan sebuah lembaga yang juga menjadi penengah dalam mengatasi isu-
isu hoax tentang Pancasila dan meredam mencegah konflik yang dikhawatirkan
timbul dari masyarakat, serta menanamkan nilai-nilai Pancacila ke dalam
masyarakat dan pemerintahan
Dalam perjalanan bangsa ini, berbagai upaya revitalisasi nilai-nilai
pancasila telah dilakukan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi sosial
politik yang sedang berkembang. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
memiliki tugas yang dimuat dalam Perpres Nomor 7 Tahun 2018, yakni
membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi
Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan
ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan juga melaksanakan
penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan
pendidikan dan pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil
kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila
71
kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah,
organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.
Mahfud MD menyatakan pendapatnya tentang alasan terbentuknya
BPIP ini. Adpun, latar belakang terbentuknya lembaga Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) ini dikarenakan banyaknya gerakan-gerakan radikal
yang jika dibiarkan atau tidak ditanggulangi maka akan menjadi sebuah
ancaman terhadap ideologi Pancasila. Maka dari itu jika BPIP kurang efektif
dalan menjalankan perannya maka itu juga akan menjadi ancaman bagi ideologi
Pancasila itu juga. Dalam menjalankan tugasnya, Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) harus memiliki program-program kerja yang mampu
menunjang dan merealisasikan tugas-tugas dari Badan Pembinaan Ideologi
Pancasila (BPIP) itu sendiri. Ada beberapa program dari Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila (BPIP) yang telah dilaksanakan, diantaranya ialah dengan
menanamkan Pancasila hingga ke pelosok desa, jadi tidak hanya melalui instansi
pendidikan, tapi penanaman pancasila juga langsung menjangkau penduduk desa
yang memiliki kesulitan mendapat akses pendidikan, sehingga pemahaman dan
penanaman nilai-nilai Pancasila bisa dirasakan oleh seluruh elemen masyarakat,
tidak hanya kaum terpelajar. Dalam hal ini Badan Pembinaan Ideologi Pancasila
(BPIP) bekerjasama dengan TNI, yang diharapkan dengan bekerja sama ini akan
memudahkan jalannya program kerja tersebut.
Selain itu program kerja yang digagas dengan cara melalui instansi
pendidikan, terutama perguruan tinggi. Dengan demikian, (BPIP) diharapkan
mampu meluruskan dan mengarahkan pemikiran para mahasiswa agar tidak
salah tafsir mengenai Pancasila yang dikhawatirkan timbulnya pemahaman anti
Pancasila. Dua program kerja di atas, merupakan bukti bahwa BPIP
menjalankan tugasnya dengan baik. Walaupun memang belum maksimal,
dikarenakan tidak semua desa dan perguruan tinggi dapat dijangkau oleh BPIP.
Dengan demikian, peran lembaga BPIP memang dibutuhkan, mengingat dewasa
ini nilai-nilai pancasila mulai tergerus karena globalisasi dan gerakan-gerakan
72
yang mengancam eksistensi Pancasila.
Ideologi pancasila itu sendiri adalah pedoman atau tata cara
berkehidupan yang dijadikan sebuah prinsip atau keyakinan dan dipegang teguh
dalam sebuah negara. Ideologi pancasila juga termasuk groundnorm di mana
semua lembaga negara Indonesia diharapkan mampu menjalankan tugas dan
fungsi tanpa harus keluar dari batas Ideologi bangsa, dimana inti dari ideologi
bangsa tidak lain demi kemakmuran bagi masyarakatnya sendiri. Ideologi
pancasila juga merupakan cita-cita yang menentukan keyakinan dan cara
berpikir untuk mewujudkan suatu tujuan dengan berlandaskan pada lima sila
dalam pancasila. Poin penting yang perlu digaris bawahi di sini ialah,
berlandaskan pada lima sila atau pancasila.
Adapun, kelima sila dalam pancasila tersebut dapat dikatakan sebagai
gambaran cita-cita dan nilai-nilai bangsa Indonesia. Di mana, pada Sila pertama,
Indonesia adalah negara yang berkeTuhanan dan mengakui keberadaan Tuhan,
Sila kedua adalah negara tidak menyetujui kolonialisme dan perbudakan apapun
alasannya, karena bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Sila yang ketiga
adalah walaupun Indonesia terdiri dari berbagai suku, agama, dan keberagaman
namun Indonesia tetap harus bersatu tidak bisa dikotak-kotakan. Sila yang
keempat, kemufakatan dan musyawarah. Jika ada permasalahan yang terjadi,
amka diutamakan musyawarah bersama untuk mencari solusinya, selain itu jika
Indonesia dipimpin oleh pemimpin yang bijaksana maka tercapailah cita-cita
bangsa, yaitu keadilan dan kesajahteraan bagi masyarakatnya yang tercantum
dalam sila kelima.
Cita-cita yang mulia dan nilai-nilai yang telah terkandung dalam
Pancasila tersebut, nampaknya diharapkan dapat terwujud apabila lembaga BPIP
ini dapat berjalan sesuai dengan tugas dan fungsinya serta bertanggungjawab
atas perannya. Karena, BPIP mengemban amanah yang mulia, yaitu
mengimplementasikan ideologi bangsa, Pancasila.
73
D. Peran Lembaga Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam
Perspektif Maqashid Syari’ah
Peran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dalam pembinaan
ideologi pancasila yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang adil
makmur dan sejahtera. Prinsip ini sejalan dengan tujuan dan substansi dari
Maqashid Syariah. Sebelumnya, penulis ingin menjabarkan terlebih dahulu
keselarasan nilai-nilai Pancasila dengan prinsip-prinsip maqashid syari’ah.
Sila pertama dalam Pancasila yaitu, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Hal ini jelas membuktikan bahwasannya jika dilihat dari perspektif maqashid
syari’ah, pancasila menginstruksikan seluruh warga negaranya untuk memeluk
agama dan menjalankan agama sesuai dengan kepercayaannya. Senada dengan
prinsip pertama maqashid syari’ah, yaitu memelihara agama (hifd al-din).
Bahkan, dapat ditafsirkan sila pertama dalam Pancasila merupakan sila yang
sesuai dengan nilai Ketauhidan dalam Islam, karena Maha Esa adalah Maha
Tunggal (Ahad) yang berarti hanya dapat ditujukan kepada Allah. Adapun,
bentuk implementasinya adalah pemerintah menjamin warga negaranya untuk
dapat menjalankan perintah agamanya dengan tenang dan damai. Jikalau ada
yang bersikap intoleransi maka pelaku tersebut sudah tentu mendapatkan
hukuman.
Sedangkan dalam sila kedua, yaitu kemanusiaan yang adil dan beradab.
Nilai yang terkandung dalam sila kedua ini adalah ketidaksetujuan atas
penindasan, perbudakan, kolonialisme, dan mendukung hak asasi manusia. Nilai
ini senada dengan prinsip maqashid syari’ah yaitu pemeliharaan jiwa daa akal
(hifd al-nafs dan hifds al-aql). Bentuk implementasinya adalah Indonesia
mengirimkan pasukan perdamaian terhadap negara-negara yang berkonflik.
Adapun, dalam Indonesia sendiri, pemerintah seringkali mengupayakan
diplomasi dan perundingan jika ada konflik yang terjadi dalam masyarakat
sebelum menempuh jalur hukum. Indonesia juga memfasilitasi warganya agar
dapat bersekolah dengan mengeluarkan kebijakan pendidikan gratis dan
74
beasiswa sampai dengan jenjang sekolah menengah atas.
Sila ketiga pancasila berupa persatuan Indonesia dan sila keempat
pancasila, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, juga mencerminkan prinsip maqashid syari’ah
berupa pemeliharaan jiwa dan akal. Adapun, sila kelima, yakni keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia merupakan cerminan dari pemeliharaan harta
benda (hifd al-mal).
Lebih lanjut, penulis berpendapat bahwa peran BPIP untuk membantu
presiden merumuskan kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan pancasila
merupakan kebutukan dharuriyyat. Karena, kebijakan akan memengaruhi
seluruh aspek dalam kehidupan. Jika kebijakan yang dirumuskan bertentangan
dengan pancasila, bisa jadi kebijakan tersebut bertentangan juga dengan prinsip-
prinsip maqashid syariah, sebab nilai-nilai pancasila selaras dengan prinsip-
prinsip maqashid syari’ah. Jadi, peran BPIP dalam menentukan arah kebijakan
presiden merupakan salah satu upaya pemerintah untuk memenuhi kebutuhan
primer masyarakat.
Selain kebutuhan dharuriyyat, manunisa memiliki kebutuhan sekunder
atau kebutuhan hajiyyah. Dalam tingkatan ini, apabila kebutuhan sekundernya
tidak dapat terpenuhi, tidak akan mengancam keselamatannya, namun akan
mengalami hambatan dan kesulitan. Contohnya, peran BPIP dalam
mensosialisasikan pancasila terhadap masyarakat. Memang, tidak akan
mengancam keberadaan pancasila, namun sebagai ideology bangsa, sudah
sepatutnya pancasila dipahami oleh seluruh elemen masyarakat. Terlebih,
sejarah bangsa Indonesia membuktikan bahwa pemberontakan terhadap
pancasila bukan hanya dari golongan masyarakat terpelajar, namun juga elemen
masyarakat lainnya. Melalui sosialisasi ini, masyarakat tidak akan mudah
terprovokasi oleh isu hoax, selain itu, masyarakat juga akan menghargai
perjuangan bangsa dalam mempertahankan ideologi bangsa. Memang, jika
sosialisasi ini tidak dilakukan tidak akan mengancam keutuhan dan kehidupan
75
bangsa Indonesia, namun akan menyulitkan jika masyarakat dengan mudah
terprovokasi dan menimbulkan konflik-konflik walaupun dalam skala yang
sedikit.
Kemudian, manusia juga memiliki kebutuhan primer atau kebutuhan
tahsiniyyah, ialah tingkatan kebutuhan yang apabila tidak dipenuhi maka tidak
akan mengancam eksistensi salah satu dari lima hal pokok tadi dan tidak
menimbulkan kesulitan. Tingkatan kebutuhan ini berupa kebutuhan pelengkap
atau tersier.
Menurut Imam as-Syatibi, pada tingkatan ini yang menjadi ukuran
adalah hal-hal yang merupakan kepatutan menurut adat istiadat. Sebagai contoh
untuk menunjang sosialisasi tersebut, maka diperlukan perlengkapan yang
dibuthkan, seperti konsep acara harus dirancang dengan menarik dan sesuai
dengan kebutuhan masyarakat. Selain itu, penyampaian yang jelas akan nilai-
nilai pancasila juga harus diperhatikan agar masyarakat memahami betul apa
yang disampaikan oleh BPIP.
Pada hakikatnya kandungan Pancasila yang bermuatan religius,
sehingga Pancasila adalah bagian dari ajaran agama-agama, dan merupakan
pengamalan agama dalam konteks bernegara dan bermasyarakat di Indonesia.
Sebaliknya, mengamalkan nilai universal agama dalam konteks kehidupan
berbangsa, bernegara dan bermasyarakat secara keindonesiaan berarti telah
mengamalkan cara hidup ber-Pancasila. Maka, untuk mengamalkan Pancasila
secara utuh dan konsekuen, mustahil tanpa memandangnya sebagai bagian dari
nilai luhur agama yang dianut bangsa Indonesia.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) memiliki peran yang cukup
penting dalam pembinaan ideologi pancasila di Indonesia, khususnya dalam
masyarakat. Sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk
menentukan arah kebijakan presiden yang harus sesuai dengan nilai-nilai
pancasila. Tidak hanya itu, BPIP juga memiliki peran untuk meluruskan dan
menanamkan nilai-nilai pancasila ke dalam seluruh elemen masyrakat, agar
sejarah kelam tentang pemberontakan pancasila tidak akan terulang lagi.
2. Dalam tinjauan maqashid syariah, peran (BPIP) yang memiliki andil untuk
menciptakan masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera selaras dengan
substansi dari maqashud syariah. Adapun, nilai-nilai yang terkandung
dalam pancasila sebenarnya merupakan perwujudan dari substansi yang
terdapat dalam maqashid syariah.
B. Saran
1. Kepada BPIP disarankan agar kinerja lebih baik lagi serta lebih banyak
memiliki program yang terkait dengan masyarakat agar masyarakat lebih
mengenal Pancasila dan peran BPIP sebagai Lembaga pembinaan Ideologi
Pancasila.
2. Kepada Pemerintah lebih memperhatikan kinerja BPIP, karena BPIP
merupakan Lembaga yang krusial bagi Lembag-lembaga pemerintahan
lainnya, dan juga agar pemerintah bekerjasama dengan organisasi
masyarakat untuk mensosialisasi peran dan tanggung jawab BPIP lebih
dipublikasikan agar masyarakat teredukasi dan membiasakan nilai-nilai
pancasila mengingat bahwa Pancasila merupakan Ideologi Negara.
3. Kepada masyakat diharapkan lebih peka terhadap lingkungan, dan turut
serta dalam pengamalan dan pengenalan nilai-nilai Pancasila.
DAFTAR PUSTAKA
77
Buku
Al-Qur’an al-Karim
‘Ala Al-Din Husain Rahhal. a’alim Wa Dhawabith Al-Ijtihad ‘Inda Syaikh AlIslami
Ibn Taimiyyah. Yordan: Dar Al-Nafais. 2000.
Abdul Aziz Muhammad Azzam. Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah. Kairo: Dar Al-Hadits.
2005.
Ahmad Sukarja dan Mujar Ibnu Syarif. Tiga Kategori Hukum: Syariat, Fikih, dan kanun.
Jakarta: Sinar Grafika. 2012.
Al-Juwaini. Al-Burhan fi Ushul al-Fiqh. Kairo: Dar al-Anshar. 1400 H.
Ali Al-Sayis, Nasy’ah Al-Fiqh Al-Ijtihadi Wa Athwaruha. Kairo: Majma’ Al- Buhuts
Al-Islamiy, 1970.
Asshiddiqie, Jimly. Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru-van hoeve. 1994.
Azhari, Rido. Kajian Yuridis Keberadaan Badan Pembinaan Ideologi Panasila
(BPIP) menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2018
tentang Pembinaan Ideologi Pancasila. Padang: Universitas Bung Hatta Press.
2019.
Bakri, Asafri Jaya. Konsep Maqashid Syari’ah Menurut Al-Syatibi. Jakarta:
RajaGrafindo. 1996.
Bambang Sunggono. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
2003.
Djamil, Faturrahman. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos.
1995.
Fakultas Hukum. Universitas Negeri Semarang. Pemantapan Nilai-Nilai Ideologi
Bangsa Dalam Rangka Penguatan Ketahanan Nasional Dalam Aras Global,
Semarang: Universitas Negeri Semarang Press. 2016.
Huda. Muhammad Chairul, Meneguhkan Pancasila Sebagai ideologi Bernegara:
Implementasi Nilai-Nilai keseimbangan Dalam Upaya Pembangunan Hukum
Di Indonesia. Salatiga: IAIN Salatiga Press. 2018.
78
Ibn Abi Bakar al-Sayuti Imam Jalal al-Din Abd al-Rahman, al-Asybah waal-
Nazha’ir fi al-Furu’. Semarang: Maktabah waMathba’ah Thaha Putra. 2000.
Kaelan, Negara Kebangsaan Pancasila: Kultural, Historis, Filosofis, Yuridis, dan
Aktualisasinya. Yogyakarta: Paradigma. 2013.
Krisnayuda, Backy, Pancasila dan Undang-Undang: Relasi dan Transformasi
Keduanya dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia. Jakarta: Prenamedia
Group. 2016.
Kumawi Basyir dkk. Pancasila Dan Kewarganegaraan. Surabaya: Sunan Ampel
Press 2013.
Maulidi, Maqashid al-Syari’ah Sebagai Filsafat Hukum Islam: Sebuah Pendekatan
Sistem Menurut Jasser Auda. Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Press. 2015.
MD, Moh. Mahfud. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi.
Jakarta: Rajawali Press. 2010.
Mutakin, Ali. Teori Maqashid al-Syari’ah dan Hubungannya dengan Metode
Istinbath Hukum. Aceh: Universitas Syiah Kuala Press. 2017.
Nurwardani, Paristiyanti. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Direktoral
Jendral Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementrian Riset Teknologi dan
Pendidikan Tinggi Press. Jakarta: 2016.
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2014.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani, Relevansinya bagi Pembahuruan Hukum
Islam di Indonesia. Jakarta: Logos. 1999.
Saifuddin Abi al-Hasan Ali ibn Ali ibn Muhammad al-Amidi, al-ihkan fi Ushul al-
Ahkam. Beirut: Dar al-kitab al-Ilmiyah. 2005.
Sekretariat Utama BPIP. Laporan Kinerja Sekterariat Utama Badan Pembinaan
Ideologi Pancasila( BPIP 2019. Jakarta: Settama BPIP Press. 2019.
Shiddiqi, Nourouzzaman. Fiqh Indonesia Penggagas dan Gagasannya. Yogyakarta:
ustaka Pelajar. 1997.
79
Shidiq, Ghofar. Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam. Semarang:
Universitas Islam Sultan Agung Press. 2009.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat. Jakarta: UI Press. 1990.
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti Pemula.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2012.
Tim Forza Pesantren, Ijitihad Politik Islam Nusantara, Membumikan Fiqih Siyasah
Melalui Pendekatan Maqashid Syariah. Kediri: Lirboyo Press. 2015.
Ulya, Zaki. Hukum Kelembagaan Negara: Kajian Teoritis Kedudukan Lembga
Negara Pasca Reformasi. Aceh: Universitas Samudra Press. 2017.
Wahabah al- Zuhaili. Ushul al-Fiqh al- Islami. Damsyiq: Dar al-Fikri, 2006.
Wira, Ahmad. Metode Ijtihad Yusuf Qardhawi. Jakarta: Nuansa Madani. 2001.
Yusuf, A.Muri. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif & Penelitian Gabungan.
Jakarta: Kencana Press. 2014.
Zahra, Muhammad Abu, Ushul al-Fiqh. Mesir : Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1958.
Zein, Satria Effendi M. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana. 2017.
Regulasi
Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaaan
Ideologi Pancasila.
Sumber : Website
www.detik.com, diakses pada Selasa 18 Februari 2020, pukul 13: 58 WIB.
https://jdih.bpip.go.id/pencarian, diakses pada 29 Agustus, pukul 19.52 WIB.
https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/73570/perpres-no-7-tahun-2018, diakses
pada 30 Agustus 2020.Pukul 10.02 WIB.