Peran Komunikasi Politik dan media Massa dalam Pemilihan Umum
-
Upload
zetta-alvema-novita-sari -
Category
Documents
-
view
147 -
download
12
description
Transcript of Peran Komunikasi Politik dan media Massa dalam Pemilihan Umum
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Komunikasi politik (political communication) merupakan komunikasi yang
melibatkan pesan-pesan politik dan aktor-aktor politik, atau berkaitan dengan kekuasaan,
pemerintahan, dan kebijakan pemerintah. Dengan pengertian ini, sebagai sebuah ilmu
terapan, komunikasi politik bukanlah hal yang baru. Komunikasi politik juga bisa
dipahami sebagai komunikasi antara yang “di perintah” dan “yang memerintah”.
Komunikasi politik sebagai disiplin ilmu telah lama tercantum dalam kurikulum ilmu
sosial, baik dalam kajian ilmu komunikasi maupun dalam kajian ilmu politik. Bukan
hanya mahasiswa yang tertarik dengan komunikasi politik, para komunikator politik pun
juga telah lama terlibat dalam kegiatan komunikasi politik seperti anggota DPR, para
pengamat politik dan para aktivis politik. Mereka telah lama terlibat dalam fenomena
komunikasi politik tersebut.
Di Indonesia pada saat ini momen-momen politik begitu banyak terjadi dan
melibatkan masyarakat secara luas seperti melalui pemilihan umum secara langsung
anggota parlemen (Pemilu), pemilihan langsung Presiden (Pilpres) dan pemilihan
langsung kepala daerah (Pilkada). Momen-momen politik tersebut meniscayakan lahirnya
berbagai bentuk komunikasi politik. Oleh karenanya kajian komunikasi politik ini akan
terus berkembang seiring dengan berjalannya proses politik di Indonesia. Komunikasi
politik secara keseluruhan tidak bisa dipahami tanpa menghubungkannya dengan
dimensi-dimensi politik serta dengan segala aspek dan problematikanya. Kesulitan dalam
mendefinisikan komunikasi politik terutama dipengaruhi oleh keragaman sudut pandang
terhadap kompleksitas realitas sehari-hari.
Banyak hal yang dapat digunakan sebagai Alat Komunikasi Politik salah satunya
yaitu Media. Media merupakan salah satu alat komunikasi yang sangat efektif untuk
digunakan di era globalisai saat ini karena media sangat berperan penting dalam
berpolitik contohnya pada saat kampanye atau kegiatan berpolitik lainnya. Kebebasan
pers termasuk media massa merupakan keunggulan dalam rezim demokrasi. Media massa
memiliki fungsi kontrol, Karena melalui transformasi informasi, media massa mampu
mengerem laju kebijakan peremintah yang tidak memihak kepada kepentingan rakyat.
Kampanye merupakan proses penyampaian pesan yang bertujuan untuk mengubah
sikap, pendapat dan tingkah laku pemilih. Perubahan ini ingin dicapai melalui himbauan,
ajakan, dan janji sehingga membuat warga atau kelompok masyarakat tertarik untuk
menjatuhkan pilihan politiknya pada partai atau kandidat tertentu. Partai politik atau
seorang kandidat pemilihan kepala daerah, dalam upaya untuk menarik simpati dari
masyarakat harus melakukan kampanye. Pengertian kampanye dalam buku Komunikasi
Politik oleh Dan Nimmo adalah “upaya untuk mempropagandakan pemberi suara yang
potensial” (Nimmo, 2006:195) Pengertian kampanye menurut Dan Nimmo tidak jauh
berbeda dengan yang di kemukakan oleh Rogers dan Storey (1987) yang dikutip oleh
Antar Venus dalam buku Manajemen Kampanye yaitu: “serangkaian tindakan
komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar
khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu” (Venus,
2004:7).
Satu fenomena yang menonjol dalam Pemilu 2009 adalah semakin kuatnya
peranan media Massa. Misalnya terlibat dalam proses mengkonstruksi citra para kandidat.
Baik perseorangan (caleg, capres dan cawapres) maupun organisasi partai politik.
Pemanfaatan media untuk mendongkrak popularitas sebenarnya telah mulai marak dan
bebas. Dimulai sejak Pemilu 1999 dan semakin menguat di Pemilu 2004. bahkan hingga
Pemilu saat itu. Bisa kita katakan, kemenangan SBY pada pemilihan presiden secara
langsung (tahun 2004) merupakan keberhasilan marketing politiknya. Karena partainya
sendiri (baca: demokrat) bukanlah partai pemenang Pemilu. Pada Pamilu 2009 masa
kampanye diperpanjang menjadi 9 bulan. Dimulai 12 Juli 2008-April 2009. Dengan 38
partai peserta Pemilu. dan banyaknya tokoh yang menyatakan diri siap menjadi kandidat
Presiden dan Wakil Presiden pada pilpres kemarin. Tentunya kian meramaikan
"pertarungan citra" dalam merebut hati para pemilih. Kandidat yang menguasai industri
citra tentunya akan memperbesar peluangnya memenangkan pertarungan tersebut.
Dalam hal kampanye, media massa baik cetak maupun elektronik merupakan
sebuah salauran kampanye terhadap konstituen. Apalagi dengan arus teknologi ini,
rasanya media elektronik menjadi salauran utama bagi jalan untuk mempengaruhi
pandangan masyarakat khususnya dalam masa kampanye Pemilu. Medium ini telah
berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi. Hal itu salah satunya
disebabkan sudah banyaknya masyarakat yang memiliki televisi maupun radio, bahkan
sebagian lagi sudah mampu menggunakan internet. Oleh karena itu banyak Partai maupun
calon yang akan berkompetisi di Pemilu menggunakan sarana atau saluran kampanye
melalui media elektronik khususnya televisi.
Contoh kasus bisa kita lihat pada Pemilu tahun 2004 saat itu khususnya Pemilu
pemilihan presiden. Siapa yang sering terlihat di layar TV dari setiap stasiun televisi,
dialah yang berhasil menarik simpati masyarakat. Saya teringat pada masa Pemilu
legislatif di TPS ada seorang nenek yang bertanya pada petugas TPS untuk
menunjukkan mana yang berlambang moncong putih yang akan dia coblos. Dengan
enteng nenek tersebut berargumen bahwa bukannya gambar moncong putih yang
harus dicoblos menurut iklan televisi dan yang sering diingatnya. Juga atusias kaum
ibu-ibu yang riuh dalam mencoblos foto SBY sebagai idolanya bukan karena
kesadaran politik. Dari ilustrasi ini menggambarkan begitu kuatnya pengaruh media
massa (televisi) untuk mempengaruhi orang awam sekalipun seperti mereka. Dengan
televisi, kampanye mampu menjangkau orang-orang yang cacat sekalipun seperti tuna
netra dan tuna rungu. Kita coba ingat kembali berita dalam surat kabar pada waktu
menjelang Pemilu 2004. Siapakah calon, tokoh, atau partai yang sering ‘berpose’ di
halaman utama. Tentunya kita sering melihat berita tentang tokoh baru tersebut,
tentunya seorang figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nama dan partainya
begitu sering muncul, ditambah dengan berita yang membuat simpati pada tokoh
tersebut akibat disia-siakan oleh pemerintah sewaktu menjabat menteri. Dari berbagai
macam kasus diatas maka penulis akan membahas tentang “ Konsep Kampanye
Dalam Perspektif Komunikasi Politik dan Penggunaan Media Massa (Studi Kasus
Pada PILKADA Jakarta Pasangan Jokowi-Ahok)”.
1.2 RUMUSAN MASALAH
- Apa saja prinsip dasar desain strategi kampanye?
- Bagaimana strategi komunikasi politik pasangan Jokowi-Ahok?
1.3 TUJUAN PENULISAN
- Untuk mengetahui prinsip dasar desain strategi kampanye.
- Unutk mengetahui strategi komunikasi politik pasangan Jokowi-Ahok.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENGERTIAN KOMUNIKASI POLITIK
Politik berasal dari kata “polis” yang berarti negara, kota, yaitu secara totalitas
merupakan kesatuan antara negara (kota) dan masyarakatnya. Kata “polis” ini berkembang
menjadi “politicos” yang artinya kewarganegaraan. Dari kata “politicos” menjadi ”politera”
yang berarti hak-hak kewarganegaraan (Sumarno, 1989:8).
Secara definitif, ada beberapa pendapat sarjana politik, diantaranya Nimmo (2000:8)
mengartikan politik sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka
di dalam kondisi konflik sosial. Dalam berbagai hal orang berbeda satu sama lain – jasmani,
bakat, emosi, kebutuhan, cita-cita, inisiatif , perilaku, dan sebagainya. Lebih lanjut Nimmo
menjelaskan, kadang-kadang perbedaan ini merangsang argumen, perselisihan, dan
percekcokan. Jika mereka menganggap perselisihan itu serius, perhatian mereka dengan
memperkenalkan masalah yang bertentangan itu, dan selesaikan; inilah kegiatan politik.
Bagi Lasswell (dalam Varma, 1995:258), ilmu politik adalah ilmu tentang kekuasaan.
Berbeda dengan David Easton dalam Sumarno (1989:8), mendefinisikan politik sebagai
berikut:
“Political as a process those developmental processes through which person acquire
political orientation and patterns of behavior”
Dalam definisi ini David Easton menitikberatkan bahwa politik itu sebagai suatu
proses di mana dalam perkembangan proses tersebut seseorang menerima orientasi politik
tertentu dan pola tingkah laku.
Apabila definisi komunikasi dan definisi politik itu kita kaitkan dengan komunikasi
politik, maka akan terdapat suatu rumusan sebagai berikut: Komunikasi politik adalah
komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga
masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya
melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik (Astrid, S.
Soesanto, 1980:2).
Mengenai komunikasi politik ini (political communication) Kantaprawira (1983:25)
memfokuskan pada kegunaanya, yaitu untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup
dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institusi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan
politik masyarakat dengan sektor kehidupan politik pemerintah.
Dengan demikian segala pola pemikiran, ide atau upaya untuk mencapai pengaruh,
hanya dengan komunikasi dapat tercapainya segala sesuatu yang diharapkan, karena pada
hakikatnya segala pikiran atau ide dan kebijakan (policy) harus ada yang menyampaikan dan
ada yang menerimanya, proses tersebut adalah proses komunikasi.
Dilihat dari tujuan politik “an sich”, maka hakikat komunikasi politik adalah upaya
kelompok manusia yang mempunyai orientasi pemikiran politik atau ideology tertentu dalam
rangka menguasai dan atau memperoleh kekuasaan, dengan kekuatan mana tujuan pemikiran
politik dan ideology tersebut dapat diwujudkan.
Lasswell (dalam Varma, 1995:258) memandang orientasi komunikasi politik telah
menjadikan dua hal sangat jelas: pertama, bahwa komunikasi politik selalu berorientasi pada
nilai atau berusaha mencapai tujuan; nilai-nilai dan tujuan itu sendiri dibentuk di dalam dan
oleh proses perilaku yang sesungguhnya merupakan suatu bagian; dan kedua, bahwa
komunikai politik bertujuan menjangkau masa depan dan bersifat mengantisipasi serta
berhubungan dengan masa lampau dan senantiasa memperhatikan kejadian masa lalu.
Dalam hal ini, R.S. Sigel (dalam Sumarno, 1989:10) memberikan pandangan sebagai
berikut:
“Political socialization refers to the learning process, by which the political norms
and behavior acceptable to an ongoing political system are transmitted from
generation to generation.”
Dari batasan Sigel ini menunjukkan bahwa sosialisasi politik bukan hanya
menitikberatkan pada penerimaan norma-norma politik dan tingkah laku pada sistem politik
yang sedang berlangsung, tapi juga bagaimana merwariskan atau mengalihkan nilai-nilai dari
suatu generasi kenegaraan berikutnya.
a. Komunikator politik
Menurut Nimmo, salah satu ciri komunikasi ialah bahwa orang jarang dapat
menghindari dan keturutsertaan. Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain pun
memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua adalah komunikator, begitu
pula siapa pun yang dalam setting politik adalah komunikator politik (2000:28). Meskipun
mengakui bahwa setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa
relatif sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya serta tetap dan
sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya bertukar pesan politik; mereka adalah
pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga
negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka berbicara
dan berbuat.
Sebagai pendukung pengertian yang lebih besar terhadap peran komunikator politik
dalam proses opini, Leonard W. Dood dalam Nimmo (2000:30) menyarankan jenis-jenis hal
yang patut diketahui mengenai mereka: ”Komunikator dapat dianalisis sebagai dirinya
sendiri. Sikapnya terhadap khalayak potensialnya, martabat yang diberikannya kepada
mereka sebagai manusia, dapat mempengaruhi komunikasi yang dihasilkannya; jadi jika ia
mengira mereka itu bodoh, ia akan menyesuaikan nada pesannya dengan tingkat yang sama
rendahnya. Ia sendiri memiki kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dikonseptualkan
sesuai dengan kemampuan akalnya, pengalamannya sebagai komunikator dengan khalayak
yang serupa atau yang tak serupa, dan peran yang dimainkan di dalam kepribadiannya oleh
motif untuk berkomukasi.
Berdasar pada anjuran Doob, jelas bahwa komukator atau para komunikator harus
diidentifikasi dan kedudukan mereka di dalam masyarakat harus ditetapkan. Untuk keperluan
ini Nimmo (2000:30) mengidentifikasi tiga kategori politikus, yaitu yang bertindak sebagai
komunikator pilitik, komunikator profesional dalam politik, dan aktivis atau komunikator
paruh waktu (part time)
b. Politikus sebagai komunikator Politik
Kelompok pertama ini adalah orang yang bercita-cita untuk memegang jabatan
pemerintah dan memegang pemerintah yang harus berkomunikasi tentang politik dan disebut
dengan politikus, tak peduli apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau jabatan karier, baik jabatan
eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Pekerjaan mereka adalah aspek aspek utama dalam
kegiatan ini. Meskipun politikus melayani beraneka tujuan dengan berkomunkasi, ada dua hal
yang menonjol. Daniel katz (dalam Nimmo,2000:30) menunjukkan bahwa pemimpin politik
mengarahkan pengaruhnya ke dua arah, yaitu mempengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah
struktur sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian.
Dalam kewenangannya yang pertama politikus itu berkomunikasi sebagai wakil suatu
kelompok; pesan-pesan politikus itu mengajukan dan melindungi tujuan kepentingan politik,
artinya komunikator politik mewakili kepentingan kelompoknya. Sebaliknya, politikus yang
bertindak sebagai ideologi tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan
kelompoknya, ia lebih menyibukkan diri untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas,
mengusahakan reformasi dan bahkan mendukung perubahan revolusioner.
Termasuk dalam kelompok ini, politikus yang tidak memegang jabatan dalam
pemerintah, mereka juga komunikator politik mengenai masalah yang lingkupnya nasional
dan internasional, masalah yang jangkauannya berganda dan sempit.
Jadi banyak jenis politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, namun untuk
mudahnya kita klasifikasikan mereka sebagai politikus (1) berada di dalam atau di luar
jabatan pemerintah, (2) berpandangan nasional atau sub nasional, dan (3) berurusan dengan
masalah berganda atau masalah tunggal.
a. Profesional sebagai komunikator politik
Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan
dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media
massa yang melintasi batas-batas rasial, etnis, pekerjaan, wilayah, dan kelas untuk
meningkatkan kesadaran identitas nasional; dan perkembangan serta-merta media khusus
yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan (Nimmo,
2002:33).
Seorang komunikator profesional, menurut James Carey (dalam Nimmo, 2000:33)
adalah seorang makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat
suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain dan berbeda
tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional menghubungkan golongan
elit dalam organisasi atau kominitas mana pun dengan khalayak umum; secara horizontal ia
menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada tingkat struktur sosial yang
sama.
Bagaimanapun, karena menjadi komunikator profesional, bukan politikus, profesional
yang berkomunikasi menempatkan dirinya terpisah dari tipe-tipe komunikator politik yang
lain, terutama aktivis politik.
2.2 PENGERTIAN KAMPANYE
Pengertian kampanye yang diungkapkan menurut Pfau dan Parot (Venus, 2004:8)
memberikan definisi sebagai berikut:
“a campaign is conscious, sustained and incremental process designed to be implemented
over a specified periode of time for the purpose of influencing a specified audience”
(kampanye adalah suatu proses yang dirancang secara sadar, bertahap dan berkelanjutan yang
dilaksanakan pada rentang waktu dengan tujuan mempengaruhi khalayak sasaran yang telah
ditetapkan). Berdasarkan definisi di atas, kampanye pada dasarnya adalah kegiatan yang
dilakukan untuk mempengaruhi khalayak. Kegiatan ini dilakukan dengan terlebih dulu
menentukan khalayak sasaran yang telah disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan kampanye.
Sementara itu pengertian kampanye yang dikemukakan oleh Kotler dan Roberto
(1989) dalam Cangara (2009:284) adalah sebagai berikut:
“campaign is an organized effort conducted by one group (the change agent) which intends
to persuade others (the target adopters), to accept, modify, or abandon certain ideas,
attitudes, practices and behavior.” (Kampanye ialah sebuah upaya yang dikelola oleh satu
kelompok, (agen perubahan) yang ditujukan untuk mempersuasi target sasaran agar bisa
menerima, memodifikasi atau membuang ide, sikap dan perilaku tertentu).
Merujuk kepada definisi-definisi yang telah diungkapkan oleh para pakar maka setiap
aktifitas kampanye setidaknya harus mengandung empat hal yakni:
1. Tindakan kampanye yang ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak
tertentu,
2. Jumlah khalayak sasaran yang besar,
3. Biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu, dan
4. Melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi.
Di samping keempat ciri pokok di atas, kampanye juga memiliki karakteristik lain,
yaitu sumber yang jelas, yang menjadi penggagas, perancang, penyampai sekaligus
penanggung jawab suatu produk kampanye (campaign makers), sehingga setiap individu
yang menerima pesan kampanye dapat mengidentifikasi bahkan mengevaluasi kredibilitas
sumber pesan tersebut setiap saat.
2.3 PENGERTIAN MEDIA MASSA
Media adalah alat atau sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari
komunikator kepada khalayak. Ada beberapa pakar psikologis memandang bahwa dalam
komunikasi antar manusia, maka media yang paling dominan adalah pancaindera selanjutnya
diproses dalam pikiran manusia untuk mengontrol dan menentukan sikapnya terhadap
sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan.
Menurut Cangara (2004:119) bahwa media komunikasi dapat dibedakan atas empat
macam, yaitu media antarpribadi, media kelompok, media publik, dan media massa.
a. Media antarpribadi
Untuk hubungan perorangan (antarpribadi), maka media yang tepat digunakan ialah
kurir (utusan), surat dan telepon. Kurir banyak digunakan oleh orang-orang dahulu kala untuk
menyampaikan pesan. Di daerah-daerah pedalaman pemakaian kurir sebagai saluran
komunikasi masih bisa ditemukan, misalnya melalui orang yangn berkunjung ke pasar pada
hari-hari tertentu.
Surat adalah media komunikasi antarpribadi yang makin banyak digunakan, terutama
dengan makin meningkatnya sarana pos serta makin banyaknya penduduk yang dapat
menulis dan membaca.
b. Media Kelompok
Dalam aktivitas komunikasi yang melibatkan khalayak lebih dari 15 orang, maka media
komunikasi yang banyak digunakan adalah media kelompok, misalnya, rapat, seminar dan
komperensi. Rapat biasanya digunakan untuk membicarakan hal-hal penting yang dihadapi
oleh suatu organisasi.
Seminar adalah media komunikasi kelompok yang biasa dihadiri oleh khalayak tidak
lebih dari 150 orang. Tujuannya adalah membicarakan suatu masalah dengan menampilkan
pembicara, kemudian meminta pendapat atau tanggapan dari peserta seminar yang biasanya
dari kalangan pakar sebagai nara sumber dan pemerhati dalam bidang itu. Seminar biasanya
membicarakan topik-topik tertentu yang hangat dipermasalahkan oleh masyarakat.
Media kelompok masih banyak ditemukan dalam masyarakat pedesaan dengan
memakai banyak nama, antara lain tudang sipulung di Sulawesi Selatan, banjar di Bali, rebuk
dea di Jawa dan sebagainya. Sementara bagi masyarakat kota, media kelompok banyak
digunakan dalam bentuk organisasi profesi, organisasi olahraga, pengajian, dan organiasi
lainnya.
c. Media Publik
Media publik digunakan jika khalayak lebih dari 200-an, misalnya rapat akbar, rapat
raksasa dan semacamnya. Dalam rapat akbar, khalayak berasal dari berbagai macam bentuk,
tetapi masih mempunyai homogenitas, misalnya kesamaan partai, kesamaan agama,
kesamaan daerah dan lain-lain. Dalam rapat akbar (Public Media) khalayak melihat langsung
pembicara yang tampil di atas podium, bahkan biasanya sesudah mereka berbicara, mereka
turun berjabat tangan dengan para pendengar sehingga terjalin keakraban di antara mereka
meskipun pembicara tidak dapat mengidentifikasikan satu persatu pendengarnya.
d. Media Massa
Jika khalayak tersebar diketahui di mana mereka berada, maka biasanya digunakan
media massa. Media massa adalah alat yang digunakan dalam penyampaian pesan dari
sumber kepada khalayak (penerima) dengan menggunakan alat-alat komunikasi mekanis
seperti surat kabar, film, radio, dan televisi.
Menurut Cangara (2004:122) bahwa media massa mempunyai karakteristik sebagai
berikut :
1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari
banyak orang, yakni mulai dari pengumpulan, pengelolaan sampai pada
penyajian informasi.
2. Besifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang
memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dan memungkinkan terjadinya dialog
antara pengirim dan penerima.
3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan
jarak, karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan, di mana
informasi yang diampaikan ditrima oleh banyak orang pada aat yang sama
4. Memakai peralatan teknis atau mekanis, seperti radio, televisi, surat
kabar, dan semacamnya.
5. Bersifat terbuka, artinya pesannya dapat diterima oleh siapa saja dan
di mana saja tanpa menenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.
Media massa memiliki kekuatan untuk membentuk opini dan perilaku politik, baik
yang bersifat tradisional, maupun perilaku kritis yang dinamis dalam sistem demokrasi.
Pembentukan perilaku politik tersebut sebagai bagian dari ciri masyarakat modern yang
sangat membutuhkan informasi dalam berinteraksi, sebagai bagian dari perilaku kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Perilaku kehidupan masyarakat seperti di atas, dapat diketahui melalui pembahasan
mengenai realitas media massa, baik media cetak mapun media elektronik. Kehidupan
tersebut, termasuk berhubungan dengan masalah politik. Media massa merupakan media
yang sangat efektif untuk melakukan komunikasi politik dalam suatu sistem demokrasi.
Media massa itu sendiri ada 2 (dua), yaitu media massa dan media nirmassa. Media
artinya alat komunikasi, sedangkan massa kependekan dari kata masyarakat (orang banyak).
Media massa berarti alat komunikasi yang boleh dimanfaatkan untuk semua orang.
Sedangkan media nirmassa adalah alat komunikasi yang tidak boleh digunakan untuk semua
orang. Jelasnya, alat komunikasi tersebut bersifat individu.
Media massa (mass media) adalah media komunikasi yang mampu menimbulkan
keserempakan, dalam arti kata khalayak dalam jumlah yang relatif sangat banyak secara
bersama-sama pada saat yang sama memperhatikan pesan yang dikomunikasikan melalui
media tersebut; misalnya surat kabar, radio siaran, televisi siaran, dan film teatrikal yang
ditayangkan di gedung bioskop.
Disamping sebagai pengantar informasi secara serempak, media massa juga
merupakan kontrol sosial, menurut Rivers (2003:38), kontrol sosial oleh media massa begitu
ekstensif dan efektif, sehingga sebagian pengamat menganggap kekuatan utama media
memang di situ. Sebagai contoh, Joseph Klapper (dalam Rivers: 2003) melihat adanya
kemampuan “rekayasa kesadaran” oleh media, dan ini dinyatakannya sebagai kekuatan
terpenting media, yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan apa pun. Rekayasa kesadaran sudah
ada sejak lama, namun media-lah yang memungkinkan hal itu dilaksanakan secara cepat dan
besar-besaran.
Ada hubungan yang sangat erat antara media massa dengan kehidupan sosial
(McQuail, 1989:51), dengan asumsi, pertama institusi media menyelenggarakan produksi,
reproduksi, dan distribusi pengetahuan dalam pengertian serangkaian simbol yang
mengandung acuan bermakna tentang pengalaman dalam kehidupan sosial. Pengetahuan
tersebut membuat kita mampu untuk memetik pelajaran dari pengalaman, membentuk
persepsi kita terhadap pengalaman itu, dan memperkaya khasanah pengetahuan masa lalu,
serta menjamin kelangsungan perkembangan pengetahuan kita.
Manusia adalah makhluk yang tahu bagaimana harus bereaksi tidak hanya terhadap
lingkungan fisiknya, namun juga pada simbol-simbol yang dibuatnya sendiri (Rivers, 2003:
28) Menurut asumsi dasar di atas, lingkungan simbolik di sekitar (informasi, gagasan,
kepercayaan, dan lain-lain) sering kita ketahui melalui media massa, dan media pulalah yang
dapat mengaitkan semua unsur lingkungan simbolik yang berbeda.
Asumsi dasar kedua ialah media massa memiliki peran mediasi
(penengah/penghubung) antara realitas sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi.
Peran mediasi ini ada hubungannya dengan salah satu arti konotatif kata “media massa” itu
sendiri. Media massa berperan sebagai penengah dan penghubung dalam pengertian bahwa:
media massa seringkali berada di antara kita (sebagai penerima) dengan bagian pengalaman
lain yang berada di luar persepsi dan kontak langsung kita; media massa dapat saja berada di
antara kita dengan institusi lainnya yang ada kaitannya dengan kegiatan kita.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Prinsip Dasar Desain Strategi Kampanye
Indonesia sebagai negara demokrasi memiliki pemilihan umum sebagai perwujudan
dalam menampung suara masyarakat. Suara tersebut yang akhirnya menjadikan seseorang
sebagai pemimpin dari masyarakat tingkat desa, tingkat kota bahkan sampai tingkat Negara.
Namun, dengan kemajemukan suku, agama, ras, dan golongan, masyarakat Indonesia tentu
tidak selalu mengenal siapa saja calon yang akan memimpinnya, sehingga sosialisasi dan
pengenalan setiap calon kepada masyarakat sangat perlu dilakukan.
Berdasarkan hal tersebut maka dilakukanlah strategi–strategi komunikasi oleh setiap
kandidat guna mengenalkan, menarik simpati, bahkan meningkatkan citra. Hal tersebut
dibenarkan oleh Juria Ambar Haruni, “sama sih kayak strategi kalau kita juga lagi build
brand, karena sebenarnya kandidat dan brand itu ada kesamaannya. Tapi yang harus kita
lihat itu sebetulnya adalah strateginya. Kalau dalam brand yang kita bangun adalah image,
nah kalau dalam tokoh atau kandidat yang kita bangun adalah citra,” ujar wanita yang
menjadi tim sukses atau humas dari salah satu calon Gubernur DKI Jakarta 2012.
Penggunaan tim sukses yang didalamnya terdapat ahli humas dan periklanan kian marak
dalam setiap pemilu. Hal tersebut dilakukan karena humas atau pegiat iklan dianggap mampu
membuat suatu strategi komunikasi yang dapat mengenalkan, menarik simpati, menjalin
hubungan harmonis, dan meningkatkan citra.
Menurut buku Humas, Membangun Citra dengan Komunikasi, karya H.Frazier Moore,
humas merupakan komunikasi dua arah yang menunjang kearah penciptaan kebijaksanaan
kemudian menjelaskan, mengumumkan, mempertahankan, atau mempromosikannya kepada
publik sehingga memperoleh saling pengertian dan itikad baik. Sehingga hal tersebut menjadi
alasan mengapa strategi komunikasi humas dan periklanan sangat berpengaruh dalam
kampanye politik suatu calon dalam pemilu
Dengan strategi tersebut, masyarakat dibentuk opini dan persepsinya sehingga tertarik
dan mau memilih seorang kandidat dalam pemilu. Strategi komunikasi politik yang dilakukan
cukup beragam, mulai dengan penggunaan promosi secara tidak langsung atau disebut bellow
the line seperti banner, flyer, pamflet, brosur, katalog, serta pameran. Kemudian promosi
secara langsung dengan menggunakan media iklan atau above the line seperti penggunaan
televisi, radio, surat kabar, internet (sosial media).
Dalam konteks pemilihan umum Gubernur Daerah Khusus Ibu kota (DKI) Jakarta tahun
2012, kemunculan Jokowi-Ahok dengan kemeja kotak-kotaknya, Fauzi Bowo dengan
kumisnya, Faisal Basri dengan konsep independennya, semua hal tersebut adalah suatu
bentuk strategi yang direpresentasikan dengan sebuah simbol untuk kemudian dapat menarik
perhatian atau awareness masyarakat Jakarta.
Berdasarkan buku Teori Komunikasi, Theories of Human Communication, Stephen W
LitlleJohn dan Karena Foss, simbol menurut Sussane Langer adalah konseptualisasi manusia
tentang suatu hal, ada untuk sesuatu dan bekerja dengan menghubungkan sebuah konsep, ide
umum, pola, atau bentuk. Sehingga dapat diartikan bahwa kemeja kotak-kotak, kumis, dan
independen adalah salah satu dari banyak simbol yang kemudian memiliki suatu ide dan
konsep di dalam rencana calon Gubernur DKI Jakarta. Drs. Muminto Arief sebagai dosen
Komunikasi Politik, di Fakultas Ilmu komunikasi, Universitas Prof.Dr.Moestopo (Beragama)
setuju, menurutnya dalam suatu strategi kampanye, penggunaan ikon, atau simbol merupakan
suatu hal yang penting.
Hal yang paling penting dalam melakukan kampanye politik dalam pemilu adalah tujuan
atau objektif daripada strategi tersebut. Karena tujuan atau objektif menentukan bagaimana
strategi yang akan dibuat serta siapa target audience dan target market nya. Sehingga dapat
diketahui berapa dana yang dibutuhkan untuk melakukan strategi tersebut. “Yang pertama
kita harus tau objektifnya Itu apa? kemudian target marketnya Itu siapa, setelah itu kita bisa
tahu berapa dananya, jadi ketiga hal ini memang penting di dalam strategi komunikasi,”
tambah Runi.
Selain daripada tiga faktor tersebut, hal lain yang menunjang keberhasilan suatu strategi
komunikasi dalam kampanye adalah waktu. Dimana dibutuhkan waktu yang cukup panjang
untuk memenuhi beberapa proses atau tahapan hingga akhirnya persepsi atau opini publik
terbentuk dan memilih kandidat dalam pemilu.
Menurut Philip Kotler dalam bukunya Marketing Management, an Asia Perspective,
1996, ada tiga proses seleksi atau tahapan ketika seseorang mempersepsikan sesuatu, yang
pertama adalah Selective Attention, dimana seseorang akan mempersepsikan sesuatu
berdasarkan perhatiannya. Kedua, Selective Distortion, dimana seseorang memilih informasi
berdasarkan kepentingan pribadi dan menerjemahkan informasi berdasarkan pola pikir
sebelumnya yang berkaitan dengan informasi tersebut. Ketiga, Selective Retention, dimana
seseorang akan mudah mengingat informasi yang dilakukan secara berulang-ulang.
Tentunya tiga tahapan seseorang mempersepsikan sesuatu memerlukan waktu yang cukup
panjang, dan apabila tidak, strategi komunikasi yang dilakukan dalam kampanye tidak akan
berjalan dengan maksimal dan menarik perhatian publik. Mengenai strategi komunikasi
dalam pemilu yang ideal, wanita yang akrab disapa Runi ini memberikan tipsnya.
Menurutnya, strategi komunikasi yang ideal haruslah memperhatikan target market dan
audience dengan fokus, kemudian tentukan tujuan atau objective, setelah itu barulah buat
strateginya dengan fokus pada tujuan dan target.
3.2 STRATEGI KOMUNIKASI POLITIK PASANGAN JOKOWI-AHOK
Strategi komunikasi politik tersebut diantaranya meliputi (1) pembicaraan politik
pasangan dalam mempengaruhi rakyat Jakarta, (2) kelembagaan yang diusung, dan (3)
mengenai bagaimana pasangan tersebut memilah dan memilih media yang digunakan dalam
kampanyenya.
1. Pembicaraan Politik Pasangan Jokowi dan Ahok
Berpolitik sama halnya dengan berkomunikasi, yang dalam hal ini adalah mengenai
suatu proses penyampaian pesan kepada khalayak atau “melibatkan pembicaraan”. Ilmuwan
politik Mark Roelofs (Dan Nimmo, 1993: 8), mengatakan dengan sederhana bahwa “Politik
adalah pembicaraan atau lebih tepatnya berpolitik adalah berbicara. Dalam bukunya
Cholisin, dkk (2007: 114) mengatakan bahwa komunikasi politik ialah proses penyampaian
informasi politik dari pemerintah kepada masyarakat dan sebaliknya. Kemudian David V.J.
Bell menjelaskan tiga jenis pembicaraan politik, diantaranya adalah pembicaran kekuasaan,
pembicaraan pengaruh, dan pembicaraan autoritas (Dan Nimmo, 1993: 75).
a. Pembicaraan kekuasaan
Menurut David V.J. Bell pembicaraan kekuasaan berarti mempengaruhi orang lain
dengan ancaman atau janji. Terkait mengenai kasus Jokowi dan Ahok dalam Pilkda
Jakarta, pasangan ini memberikan dukungan janji berupa suatu upaya untuk mengatasi
kemacetan dan menanggulangi banjir (www.suarapembaharuan.com, diakses tanggal
30/10/13 pukul 09.04 WIB). Selain itu, pasangan ini juga akan membuat Satpol PP DKI
Jakarta menjadi santun (http://megapolitan.kompas.com, diakses tanggal 30/10/13 pukul
09.10 WIB) dan akan bertugas di lapangan untuk mengawasi pembangunan dari pada
duduk di kantor (www.centroone.com, diakses tanggal 30/10/13 pukul 09.36 WIB).
Janji-janji pasangan ini dilakukan guna mempengaruhi orang lain (masyarakat) agar
masyarakat mengira kedua pasangan ini nantinya akan melakukan hal tersebut jika
terpilih nanti menjadi Kepala Daerah Jakarta.
b. Pembicaraan Pengaruh
Sama halnya dengan pembicaraan kekuasaan, yaitu mempengaruhi orang lain untuk
mencapai suatu kepentingan tertentu. Namun, terdapat perbedaan dalam alat yang
digunakan untuk mencapai tujuannya. Dalam pembicaraan pengaruh, alat-alat yang
digunakan untuk mencapai tujuan adalah dengan nasihat, dorongan, permintaan, dan
peringatan. Pasangan Jokowi dan Ahok dalam melakukan pembicaraan pengaruh, akan
melakukan kunjungan ke kediaman Sutiyoso, guna berkonsultasi dengannya. Ini mereka
lakukan agar mereka mendapatkan citra yang baik di mata masyarakat Jakarta, karena
masyarakat akan menilai bahwa apa yang dilakukan oleh calon peserta ini tidak gegabah
untuk menjadi kepala daerah nantinya, dan menyebabkan kemungkinan adanya suatu
dorongan dari masyarakat untuk memilih pasangan ini di Pilkada yang akan berlangsung
11 Juli 2012 nanti.
c. Pembicaraan Autoritas
Pembicaraan autoritas lebih merupakan bentuk perintah daripada bentuk bersyarat
(contingen) yang merupakan ciri khas kekuasaan dan pengaruh. Penulis akan mencoba
mengungkapkan mengenai pembicaraan autoritas yang dilakukan oleh pasangan Jokowi dan
Ahok ini. Pembicaraan yang dilakukan oleh pasangan ini, kemungkinan tidak dilakukan
pada saat proses kampanye berlangsung, melainkan dilakukan jika pasangan ini terpilih
nantinya. Direalisasikan atau tidaknya janji-janji yang mereka lakukan pada saat kampanye
tergantung pada mereka.
2. PDI-P dan GERINDRA sebagai Lembaga
Ketokohan seorang politikus, aktivis atau profesional akan meningkat, jika didukung
oleh lembaga yang ternama, atau berkiprah dalam lembaga tersebut. Jadi lembaga
merupakan sebuah kekuatan yang besar dalam membantu proses komunikasi politik yang
efektif. Lembaga adalah wadah kerjasama beberapa orang untuk mencapai tujuan bersama.
Dalam dunia politik, lembaga itu berupa partai politik parlemen dan pemerintahan, atau
birokrasi. Lembaga-lembaga non-politik, pada dasarnya memiliki juga kekuatan politik,
meskipun kecil dan tentu tidak sama dengan lembaga politik (Anwar Arifin, 2006).
Citra diri partai politik sesuatu yang dipercaya dan diharapkan oleh rakyat tentang apa
yang dilakukan oleh partai politik tersebut. Partai Demokrasi Pembangunan Perjuangan
(PDI-P) dan Partai GERINDRA merupakan partai-partai politik yang sudah mempunyai
kenamaan di Indonesia. Citra diri mereka sudah dibuktikan oleh rakyat, sehingga mereka
pada waktu Pemilu tahun lalu menempati posisi lima besar dalam dunia perpolitikan
Indonesia. Pasangan Jokowi dan Ahok dalam hal ini berharap dengan mengusung partai-
partai besar itu menjadikan mereka menang dalam Pilkada 11 Juli 2012 nanti.
3. Pemilihan Media dalam Komunikasi Politik
Penggunaan media dalam komunikasi politik, perlu dipilah dan dipilih dengan cermat
untuk mentesuaikan dengan kondisi dan situasi khalayak. Menurut McLuhan (Anwar Arifin,
2006: 86) eksistensi media adalah sebagai perpanjangan indera manusia. Satu tipe saluran
utama yang menekankan komunikasi satu kepada banyak orang, yaitu komunikasi massa.
Berdasarkan tingkat langsungnya komunikasi, komunikasi massa dibagi menjadi dua, yaitu
komunikasi tatap muka dan komunikasi yang membutuhkan perantara atau komunikasi jarak
jauh (Dan Nimmo, 1993: 168). Untuk komuniksi tatap muka, tidak diperlukan media karena
cukup hanya berbicara di depan khalayak. Sedangkan untuk komunikasi jarak jauh
diperlukan perantara untuk berkomunikasi dengan khalayak, seperti diperlukan penggunaan
media massa, media interaktif (internet, telpon misalnya).
Saluran komunikasi pada kasus pasangan Jokowi dan Ahok dalam Pilkada Jakarta,
mereka menggunakan dua tipe penggunaan komunikasi massa, yaitu komunikasi tatap muka
dan komunikasi jarak jauh. Pertama, dalam penggunaan komunikasi tatap muka, mereka
akan mendatangi masyarakat (www.centroone.com, diakses tanggal 30/10/13 pukul 09.30
WIB). Kedua, dalam penggunaan komunikasi jarak jauh, mereka akan menggunakan media
interaktif internet seperti memanfaatkan jejaring sosial Facebook dan Twitter dan
memberikan nomor telepon mereka kepada masyarakat (www.centroone.com, diakses
tanggal 30/10/13 pukul 09.30 WIB). Hal ini mereka lakukan guna menghemat dana dan agar
masyarakat juga bisa langsung berinteraksi dengan mereka, dengan memberikan masukkan
mengenai keadaan Jakarta. Sementara, Isteri dari Jokowi, Iriana Joko Widodo, juga
membantu dalam kampanye mereka, seperti memanfaatkan jaringan komunikasi antar
alumni untuk mendukung suaminya dalam pemilihan gubernur DKI Jakarta (dilansir pada
www.antaranews.com, diakses tanggal 30/10/13 pukul 09.07 WIB).
BAB IV
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Usaha pemenangan yang dilakukan oleh pasangan Jokowi dan Ahok adalah (1)
memberikan dukungan janji untuk mengatasi kemacetan, menanggulangi banjir, dan berjanji
akan membuat Satpol PP di Jakarta bersikap santun kepada masyarakat, serta akan bertugas
di lapangan untuk mengawasi jalannya pembangunan. (2) Dalam memberikan pengaruh,
pasangan Jokowi dan Ahok melakukan kunjungan kepada mantan Gubernur DKI Jakarta
Sutiyoso untuk berkonsultasi mengenai keadaan Jakarta. Hal ini dilakukan untuk
mempengaruhi pola pikir warga agar mereka berpikir bahwa apa yang dilakukan oleh
Jokowi dan Ahok tidak gegabah, sehingga mendorong masyarakat untuk memilih mereka
dalam pemilihan gubernur nantinya.
(3) Untuk memudahkan mereka dalam melakukan komunikasi politik, mereka
menggunakan PDI-P dan GERINDRA sebagai dasar lembaga mereka. (4) Dalam pemilihan
media komunikasi politik, pasangan ini menggunakan dua pendekatan. Pendekatan yang
pertama dengan melakukan pendekatan tatap muka, yaitu dengan mendatangi setiap warga
masyarakat. Kemudian, pendekatan yang kedua adalah dengan melakukan pendekatan
perantara, yaitu menggunakan media seperti membuat akun jejaring sosial internet
(Facebook dan Twitter) dan memberikan nomor telepon mereka kepada masyarakat. Hal ini
mereka lakukan guna menghemat biaya kampanye dan memudahkan masyarakat untuk
bekomunikasi dengan mereka.
Setelah penulis menjelaskan dengan panjang lebar mengenai langkah-langkah yang
dilakukan Jokowi dan Ahok untuk memenangkan Pilkada DKI Jakarta tanggal 11 Juli 2012
mendatang. Penulis melihat langkah-langkah yang dilakukan oleh pasangan Jokowi dan
Ahok ini bisa dibilang sangat berani karena mereka tidak mengetahui kondisi yang
sebenarnya mengenai tempat dimana mereka akan menjadi seorang pemimpin nantinya.
Namun, penulis juga kagum atas usaha mereka dalam memenangkan pemilihan guburnur
tersebut. Penulis berharap kepada pasangan Jokowi dan Ahok untuk merealisasikan janji-
janji mereka, jangan hanya karena ingin mendapatkan simapati dari rakyat sehingga mereka
membuat janji-janji manis seperti yang telah dijelaskan di muka.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Arifin. 2006. Pencitraan dalam Politik (Strategi Pemenangan Pemilu dalam Perspektif Politik). Jakarta: Pustaka Indonesia.
Cholisin, dkk. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Yogyakarta: UNY Press.
Cangara, Hafied. 2004. Pengantar Ilmu Komunikasi. Cetakan IV, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Nimmo, Dan. 2000. Komunikasi Politik (Komunikator, Pesan, dan Media). Terjemahan: Tjun
Surjaman. Cetakan III, Remadja Rosdakarya, Bandung.
http://megapolitan.kompas.com/read/2012/03/28/13410248/Jokowi.Akan.Buat.Satpol.PP.DKI.Lebih.Santun. diakses pada tanggal 30/10/2013 pukul 09.10 WIB.
http://www.antaranews.com/berita/303739/istri-jokowi-galang-dukungan-dari-jaringan-alumni diakses pada tanggal 30/10/2013 pukul 09.07 WIB.
http://www.centroone.com/news/2012/03/4s/kampanye-jokowi-ahok-bukan-dengan-kaos/ diakses pada tanggal 30/10/2013 pukul 09.30 WIB.
http://www.centroone.com/news/2012/03/4s/jokowi-mau-jadi-gubernur-jalanan/ diakses pada tanggal 30/10/2013 pukul 09.36 WIB.
http://www.centroone.com/news/2012/03/4s/jokowi-ahok-ogah-ngoceh-janji-surga/ diakses pada pukul 09.43 WIB.
http://www.suarapembaruan.com/home/megawati-dengan-jokowi-jakarta-bakal-membaik/18542 diakses pada tanggal 30/10/2013 pukul 09.04 WIB.
http://mediapublica.co/2013/02/11/strategi-komunikasi-dalam-kampanye-pemilihan-umum/
diakses pada tanggal 30/10/2013 pukul 10.20 WIB.