POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAHrepository.fisip-untirta.ac.id/969/1/POLITIK... ·...
Transcript of POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAHrepository.fisip-untirta.ac.id/969/1/POLITIK... ·...
POLITIK IDENTITAS DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH
Studi Kasus Pada Pemilihan Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022
SKRIPSI
Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Ilmu Pemerintahan, (S.IP.)
Disusun oleh:
ANDY PRIMA SAHALATUA
NIM. 6670143289
ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2018
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang
selalu mencurahkan kasih dan anugerah-Nya kepada setiap orang.
Rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis berikan untuk kedua
orang tua penulis, Bapak St.Petrus M. Sianipar, S.E. dan Ibu Rosmenderiana
Panggabean, S.E. yang tak pernah lelah mendoakan dan memotivasi penulis
selama ini dan seterusnya yang selalu sabar merawat dan membimbing penulis,
semoga Tuhan Yang Maha Kuasa selalu menurunkan segala rahmat, ampunan dan
surga-Nya untuk mereka di sini (dunia) dan di sana nanti (akhirat). Saudara
penulis Revronika Hermina Kristin Sianipar, S.E. dan Daniel Parmonangan
Sianipar yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis dalam
melaksanakan kewajiban menuntut ilmu.
Secara khusus penulis ucapkan terimakasih kepada:
1. Rektor UNTIRTA Bapak Prof. Dr. Sholeh Hidayat. M.Pd.
2. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNTIRTA Bapak Dr. Agus
Sjafari, M. Si.
3. Bapak. Abdul Hamid, Ph.D selaku Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan
UNTIRTA
4. Dosen Pembimbing Bapak Abdul Hamid, Ph.D dan Bapak M.Dian
Hikmawan, M.A atas bimbingannya dalam penyelesaian proposal skripsi
ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Ilmu Pemerintahan UNTIRTA yang telah
memberikan bekal ilmu kepada penulis.
6. Seluruh teman-teman yang tak pernah lelah untuk membantu dan
memotivasi dalam menyelesaikan skrpisi (Martin Pakpahan, Raju
Panggabean, Daniel Sirait, Veronica Purba, Fanny Rosye, Janiero
Manuhua, Richi Simamora,Bonifancius Mario,Gabriela dll yang tak bisa
disebutkan satu per satu)
Semoga segala bentuk bantuan dan kontribusi yang diberikan dapat di balas oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Serang, 13 Juli 2018
Andy Prima Sahalatua
iii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................. i
KATA PENGANTAR .......................................................................... ii
DAFTAR ISI .......................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ................................................................................. v
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ vi
ABSTRAK ............................................................................................. vii
ABSTRACT ............................................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................... 1
A. Latar Belakang........................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah................................................................... 15
C. Rumusan Masalah...................................................................... 15
D. Tujuan Penelitian....................................................................... 16
E. Manfaat Penelitian...................................................................... 16
F. Sistematika Penelitian................................................................. 17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 18
A. Kajian Teori................................................................................. 18
1. Politik Identitas ..................................................................... 18
2. Partisipasi Politik .................................................................. 23
3. Multikulturalisme ................................................................. 27
B. Penelitian Terdahulu................................................................... 34
C. Kerangka Pemikiran.................................................................... 37
BAB III PENDEKATAN PENELITIAN............................................... 40
A. Pendekatan Penelitian................................................................. 40
B. Fokus Penelitian........................................................................... 41
C. Teknik Pengumpulan Data......................................................... 42
iv
D. Instrumen Penelitian.................................................................... 45
E. Lokasi dan Jadwal Penelitian...................................................... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN .............................................................. 48
A. Hasil Penelitian .............................................................................. 48
1. Sejarah Provinsi DKI Jakarta .................................................... 48
2. Kondisi Geografis Dan Demografis DKI Jakarta ..................... 49
3. Aspek Budaya Di DKI Jakarta ................................................. 52
4. Dinamika Kekuasaan Politik Di DKI Jakarta .......................... 54
5. Kondisi Sosial Politik DKI Jakarta Menjelang Pilkada ........... 59
6. Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2017 ........................... 64
B. Pembahasan .................................................................................. 75
1. Pembentukan Politik Identitas Dalam Pilkada DKI Jakarta .... 75
2. Penggunaan Politik Identitas Dalam Pilkada DKI Jakarta ...... 80
a. Sentimen Etnis Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ............. 82
1) FPI Dan Politisasi Etnis Dalam Pilkada DKI Jakarta.. 85
b. Sentimen Agama Dalam Pilkada DKI Jakarta 2017 ........... 90
1) Masjid : Politisasi Agama dalam Pilkada DKI Jakarta. 93
2) Gereja : Politisasi Agama dalam Pilgub DKI Jakarta... 99
3. Politik Identitas Ancaman Bagi Multikulturalisme DKI Jakarta. 102
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN .................................................. 109
A. Kesimpulan ................................................................................... 109
B. Saran ............................................................................................. 111
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... 113
BIODATA MAHASISWA........................................................................ 117
LAMPIRAN............................................................................................... 119
v
DAFTAR TABEL
Halaman
TABEL 1 Jumlah Penduduk Menurut Agama Dan Kepercayaan ............. 5
Di DKI Jakarta Tahun 2014
TABEL 2 Jumlah Penduduk Menurut Etnis Di DKI Jakarta ..................... 6
Tahun 2010
TABEL 3 Perbandingan Penelitian Ini Dengan Penelitian Terdahulu......... 32
TABEL 4 Informan Penelitian ................................................................... 40
TABEL 5 Jadwal Penelitian ....................................................................... 43
TABEL 6 Nama Ketua DPRD DKI Jakarta Semenjak Pemilihan ............. 53
Legislatif Secara langsung tahun 2004
TABEL 7 Daftar Nama dan Pengusung Gubernur DKI Jakarta ................. 55
Dari Tahun 1945 Sampai Dengan Tahun 2017
TABEL 8 Aksi penolakan Ahok Menjelang Pilkada DKI Jakarta 2017..... 61
TABEL 9 Aksi Penolakan Ahok Yang Bersamaan Dengan Proses ............ 69
Pilkada DKI Jakarta 2017
TABEL 10 Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran ............... 71
Pertama Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 (15 Febuari 2017)
TABEL 11 Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran ............... 72
Kedua Pilkada DKI Jakarta Tahun 2017 (19 April 2017)
TABEL 12 Perbandingan Perolehan Suara Putaran Satu Dan .................... 72
Putara Dua Di Tingkat Kota Dan Kabupaten
TABEL 13 Nama Pasangan Calon Beserta Suku Atau Etnis Nya .............. 83
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
GAMBAR 1 Kerangka Pemikiran ................................................................ 39
GAMBAR 2 Spanduk Ganyang China dalam Aksi Damai 212 ................... 85
GAMBAR 3 Ajakan Memilih Gubernur Muslim ......................................... 93
GAMBAR 4 Foto Ahok dan Djarot Dalam Ibadah GBI Di ........................ 99
Kemayoran Jakarta Barat
vii
ABSTRAK
Andy Prima Sahalatua (6670143289)
Politik Identitas Dalam Pemilihan Kepala Daerah (Studi Kasus Pada Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta Periode 2017-2022)
Abdul Hamid, Ph.D , M.Dian Hikmawan. M.A
Ilmu Pemerintahan,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
2018
Indonesia merupakan negara yang memiliki berbagai macam kebudayaan dan agama
sehingga identitas dalam diri masyarakat nya begitu sangat penting, pasca reformasi
sentimen antar golongan semakin menguat baik golongan agama maupun golongan etnis,
sentimen antar golongan tersebut kemudian diakomodir dan dipergunakan para elite
politik sebagai senjata dalam pemilihan umum di daerah, termasuk di Jakarta yang
merupakan barometer perpolitikan negara, sentimen antar golongan sendiri dalam
pemilihan gubernur di DKI Jakarta pertama kali mulai menguat pada pagelaran Pilgub
2012 dan semakin menguat pasca kasus penistaan Agama ang dibuat oleh Basuki selaku
Gubernur Petahana pada masa itu. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode
Kualitatif dengan pendekatan studi kasus, dalam mencari dan mengumpulkan data
peneliti menggunakan cara wawancara,dokumentasi, dan Audio Visual, dalam
menentukan Informan peneliti menggunakan teknik sampling Snow Ball yakni memulai
dari beberapa narasumber semakin lama semakin banyak sampai pada pengulangan
informasi yang didapat . Teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah politik identitas,
multikulturalisme dan partisipasi politik. Dari hasil analisa menggunakan teori tersebut
dapat disimpulkan bahwa para elite politik dan calon kepala daerah, seolah sengaja
memelihara atau memainkan politik identitas itu, untuk kepentingan politik dan hegemoni
kekuasaan. Hal ini berdampak pada realitas politik di Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
tahun 2017 lalu. Dengan identitas tertentu, calon kandidat bisa melakukan posisi tawar,
ini menunjukkan faktor etnis dan agama cukup signifikan untuk mendapatkan dukungan
dan mempengaruhi pilihan masyarakat dalam Pemilihan Gubernur Jakarta tahun 2017.
Kata Kunci : Jakarta, Pemilihan Umum, Politik Identitas
viii
ABSTRACT
Andy Prima Sahalatua (6670143289)
Political Identity in the Election of Head of Region (Case Study on Elections
Governor of Jakarta Capital City Period 2017-2022)
Abdul Hamid, Ph.D, M.Dian Hikmawan. M.A
Government Science
Faculty of Social and Political Science
University of Sultan Ageng Tirtayasa
2018
Indonesia is a country that has a variety of cultures and religions so that the identity in
his community is so very important, post-reform sentiment between groups strengthened
both religious and ethnic groups, sentiment among groups is then accommodated and
used by political elites as a weapon in the election in the region, including in Jakarta
which is a barometer of state politics, the sentiment among the groups themselves in the
election of governors in Jakarta first began to strengthen in the performance of 2012
governor elections and strengthened after the blasphemy case of religion made by Basuki
as Governor at that time. In this research, the researcher uses qualitative method with
case study approach, in searching and collecting data of the researcher using interview,
documentation, and audio visual, in determining informant of researcher using Snow Ball
sampling technique that start from some resource more and more until repetition
information obtained . Theories used in this thesis are identity politics, multiculturalism
and political participation. From the analysis using the theory can be concluded that the
political elite and candidate head of the region, as deliberately maintain or play the
identity politics, for political interests and hegemony of power. This has an impact on the
political reality in the election of Governor of DKI Jakarta in 2017. With a certain
identity, candidates can bargain position, this shows significant ethnic and religious
factors to gain support and influence the people's choice in the 2017 Governor Election
Jakarta.
Keywords: Jakarta, General Election, Political Identity
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai isu dalam tatanan kehidupan negara dan masyarakat Indonesia
kini dikaitkan dengan demokrasi. Demokrasi menurut Schumpeter merupakan
kehendak rakyat dan kebaikan bersama. Mayo (dalam Budiarjo, Miriam 2008)
berpendapat bahwa demokrasi adalah ketika kebijakan umum ditentukan atas
dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang dipilih oleh rakyat dalam pemilihan,
sementara Huntington (dalam Hamid, 2017) mengidentikkan demokrasi
dengan pemilu. Pemilu menurut Huntington merupakan alat serta tujuan
demokrasi. Kebanyakan orang kemudian mengidentikkan demokrasi dengan
pemilu meskipun menurut sebagian kalangan, musyawarah mufakat masih
dianggap sebagai bentuk budaya demokrasi asli masyarakat Indonesia yang
tumbuh sejak lama.
Sejalan dengan teori budaya politik Almond dan Verba (dalam Budiarjo,
Miriam 2008) ada 3 tipe budaya politik. Pertama, adalah budaya politik
parokial, yaitu rendahnya pengharapan dan kepedulian individu-individu
terhadap pemerintah. Kedua, budaya politik subjek di mana individu-individu
peduli dengan keluaran yang dicapai pemerintah namun tidak berpartisipasi
dalam proses. Ketiga, adalah budaya politik partisipan di mana individu -
individu bersikap aktif dan terlibat dengan sistem secara utuh yang
menunjukkan tingkatan tertinggi yang dicapai dalam masyarakat modern.
Masyarakat Indonesia masih berada pada tahap lebih mengutamakan
2
formalitas atau prosedur semata. Seperti halnya disampaikan Haynes,
demokrasi di kebanyakan negara dunia ketiga lebih memperlihatkan sisi
formalitas, yang terpusat pada prosedur dan tata kelembagaan, dan lebih
khusus lagi terfokus pada pemilihan umum. Survei Lembaga Survei Indonesia
(2011) menunjukkan bahwa sebagian besar orang Indonesia (77,3%) percaya
demokrasi adalah sistem terbaik untuk Indonesia, dan mampu menyelesaikan
masalah (67,9%). Lebih lanjut Marcus Mietzner mencatat bahwa
demokratisasi di Indonesia lebih menampilkan wajah popularitas figur di
hadapan rakyat. Pemaknaan demokrasi jauh dari persoalan kinerja politik,
namun mengarah pada performa individu.
Survei yang dilakukan oleh Sharma, et al (2010) yang difasilitasi IFES
(International Foundation for Electoral Systems) mengenai pemilu terhadap
masyarakat Indonesia menghasilkan beberapa temuan penting. Terkait dengan
pengaruh nilai-nilai dan norma terhadap demokrasi, 62% orang Indonesia
mengatakan bahwa agama memiliki pengaruh penting terhadap politik, yang
mempengaruhi keputusan sampai batas tertentu (44%) atau terhadap sebagian
besar keputusan mereka (18%), dan sisanya 38% mengatakan agama tidak
berpengaruh, dari data diatas dapat kita lihat bahwa Identitas sangat
berpengaruh di dalam perpolitikan Indonesia, sehingga ada isitilah menarik
yang tumbuh subur di Indonesia yaitu Politik Identitas.
Istilah Politik Identitas telah menarik perhatian bagi para akademisi
maupun pemerhati masalah sosial politik di Indonesia, bahkan mendapat
tempat yang istimewa beberapa tahun terakhir. Merujuk tulisan Muhtar
3
Haboddin (2012), berjudul “Menguatnya Politik Identitas Di Ranah Lokal”
menyebutkan bahwa “menguatnya politik identitas di tingkat lokal terjadi
bersamaan dengan politik desentralisasi. Pasca penetapan UU No. 22/1999,
gerakan politik identitas semakin jelas. Faktanya, banyak aktor baik lokal dan
politik nasional menggunakan isu ini secara intens untuk pembagian
kekuasaan”. Dalam tulisan Muhtar Haboddin yang juga mengutip beberapa
literatur ilmu politik, bahwa politik identitas dibedakan secara tajam antara
identitas politik (political identity) dengan politik identitas (political of
identity). Political identity merupakan konstruksi yang menentukan posisi
kepentingan subjek di dalam ikatan suatu komunitas politik sedangkan
political of identity mengacu pada mekanisme politik pengorganisasian
identitas (baik identitas politik maupun identitas sosial) sebagai sumber dan
sarana politik. Beberapa ilmuan juga membedakan antara politik identitas
dengan politik etnisitas, meskipun memiliki persamaan yang cenderung
menjadikan “perbedaan” sebagai instrumen politik
Dalam konteks politik lokal, politisasi identitas yang dilakukan oleh para
elit lokal di berbagai daerah di Indonesia telah dikreasi sedemikian rupa dan
diekspresikan dalam bentuk yang bervariasi. Politik identitas dijadikan basis
perjuangan elit lokal dalam rangka pemekaran wilayah dan penguatan
identitas elit di daerah dengan sebutan Putra Daerah. Politik identitas
ditransformasikan ke dalam entitas politik dengan harapan bisa menguasai
pemerintahan daerah sampai pergantian pimpinan puncak, dalam istilah Gerry
4
Van Klinken (dalam, Haboddin 2012) disebut elit lokal yang mengambilalih
seluruh bangunan institusi politik lokal.
Tentu saja, cara kerja dari politik identitas di daerah-daerah di Indonesia di
ekspresikan dalam bentuk yang berkreasi salah satunya adalah Politik
Identitas dipergunakan untuk dipersoalkan antara kami dan mereka , saya dan
kamu , sampai pada bentuk nya yang ekstrim pribumi dan non-pribumi, serta
Islam dan Kristen. Dikotomi oposisional semacam ini sengaja dibangun oleh
elit politik lokal untuk menghantam musuh ataupun rival politiknya yang
notabene kaum pendatang
Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta adalah salah satu daerah strategis di
kancah perpolitikan di Indonesia. Realitas bahwa daerah tersebut adalah pusat
pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan juga pusat kegiatan
ekonomi di Indonesia semakin menguatkan posisi Jakarta. Dalam
kenyataannya, 70% perputaran uang di Indonesia berada di Jakarta seperti
yang dikatan oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Suryo Bambang
Sulisto. Dari segi politis, kunci pemenangan Presiden Republik Indonesia
selanjutnya juga terletak di daerah ini. Tak dapat dipungkiri lagi Jakarta
menjadi idaman bagi banyak orang, mulai dari warga di daerah lain yang ingin
merubah nasib, hingga para pejabat publik untuk mendapatkan kursi
kekuasaan di Jakarta, termasuk yang paling strategis kursi DKI Jakarta 1.
Sehingga pergantian pemimpin di Jakarta sebagai apresiasi rakyat untuk
menyerahkan mandat untuk memimpin suatu daerah sangatlah penting untuk
dicermati. Karena itu masyarakat perlu pembelajaran politik dan hal tersebut
5
akan berjalan jika kontestan pemilukada memiliki kedewasaan politik yang
mapan, karena demokrasi sangat menghormati perbedaan dan sangat melarang
pemaksaan dan intimidasi.
Sejatinya pemilihan kepala daerah adalah sarana pendidikan politik bagi
masyarakat agar dapat mengetahui bagaimana memilih pemimpin. Pemimpin
diharapkan selain kharismatik juga harus mempunyai kecakapan, kemampuan,
integritas, pengetahuan kepemimpinan, moralitas yang tinggi dan bertanggung
jawab. Daerah Khusus Ibukota Jakarta merupakan salah kota yang memiliki
masyarakat terbanyak di Asia, namun selayaknya daerah megapolitan lainnya
DKI Jakarta masih memilik banyak masalah yang mana penduduk DKI
Jakarta mencapai kurang lebih 10 juta orang.
Jakarta sebagai Ibu Kota Negara dan salah satu kota terbesar di Asia tentu
memiliki berbagai macam Etnis dan Agama yang dimiliki masyrakat nya,
karena mengingat DKI Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat
perekonomian Negara, berikut adalah tabel jumlah penduduk di DKI Jakarta
berdasarkan Agama dan Etnis yang dimiliki nya :
Tabel. 1 Jumlah Penduduk menurut Agama dan Kepercayaan,Provinsi DKI
Jakarta , Tahun 2014
Agama dan
Kepercayaan
Jumlah Penganut %
Islam 8.496.350 83,30
Kristen Protestam 877.174 8,60
Katolik 412.068 4,04
6
Budha 387.589 3,80
Hindu 21.419 0,21
Khonghucu 4.898 0,05
Kepercayaan 202 0,00
Total 10.199.700 100,00
Sumber : Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta
Tabel.2 Jumlah Penduduk menurut Etnis,Provinsi DKI Jakarta ,
Tahun 2010
Etnis Jumlah Masyarakat %
Jawa 3.453.448 36,17
Betawi 2.700.722 28,29
Sunda 1.395.025 14,61
Cina 632.372 6,62
Batak 326.645 3,42
Minangkabau 272.018 2,85
Melayu 179.222 1,88
Total 8.959.452 100,00
Sumber : Bada Pusat Statistik (BPS)
Dengan hitungan penduduk diatas sudah menunjukan begitu ragamnya
etnis dan agama yang tumbuh di DKI Jakarta, Provinsi yang menjadi ibu kota
Negara Indonesia ini memanglah selalu menjadi tempat tujuan utama bagi
seluruh rakyat Indonesia yang begitu ragam guna mengadu nasib untuk
memperbaiki hidupnya,sehingga urbanisasi tak dapat terbendung lagi,
sehingga situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya di DKI Jakarta terus
7
bersifat berubah-ubah,namun dibalik keberagaman penduduk di DKI Jakarta
seringkali dipergunakan oleh para elit politik tertentu untuk mempolitisasi
identitas masyarakat guna kepentingan politik,seperti yang sudah di jelaskan
di atas bahwasanya kurang lebih 62% penduduk di Indonesia meyakini bahwa
identitas memiliki peran yang besar dalam konstalasi pemilihan umum.
Politik Identitas di Pilgub di DKI Jakarta mulai gencar digunakan
semenjak tahun 2012 beberapa gambaran isu sentimen etnis dalam pemilihan
Gubernur Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tahun 2012 ini dalam
menjaring pemilih telah diukur dalam berbagai lembaga survei.
Salah satunya exit poll yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and
Cosulting (SMRC) berdasarkan suku, ras, survei yang digelar Saiful Mujani
Research and Consulting pada 20 September 2012 menemukan hanya etnis
Betawi yang mayoritas memilih pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (75,1
persen), namun etnis-etnis lain sebagian besar memilih pasangan Joko Widodo-
Basuki Tjahaja Purnama dan Etnis Jawa, 63,3 persen memilih Jokowi- Ahok.
Kemudian 50,5 persen etnis Sunda juga memilih pasangan yang diusung Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya ini.
Paling tinggi, 92,5 persen etnis China dan 93,1 persen etnis Batak memilih
Jokowi-Ahok kemudian 74,1 persen etnis Minang juga pilih Jokowi-Ahok,
sementara mayoritas etnis-etnis lain (76,3 persen) juga memilih pasangan Joko
Wi-Ahok., dan juga masyarakat jakarta yang masih sentimen dengan budaya
China (tiongkok) yang belum pernah redam. Kita ketahui diskriminasi terhadap
orang keturunan Tionghoa atau China di Indonesia sangatlah besar seperti yang
8
ditulis oleh Susan Balckburn (2013) dalam bukunya “Jakarta: Sejarah 400
Tahun”, diskriminasi terhadap orang China (Tionghoa) pertama kali tercermin
pada tahun 1740, yang mana pada saat itu pemerintahan kolonial Hindia –
Belanda membunuh warga keturunan Tionghoa atau Cina sebanyak 10.000
jiwa dalam peristiwa geger pacinan. Kejadian terburuk terjadi pada tahun 1998
ketika terjadi kerusuhan pada bulan mei tahun itu,banyak sekali warga
keturunan Tionghoa di bunuh, dirampas harta bendanya, dan bahkan terjadi
pemerkosaan terhadap warga perempuan keturunan Tionghoa .
Salah satu yang harus diperhatikan adalah kekuasaan beberapa orang
keturunan Tionghoa yang menguasai bidang ekonomi yang berpengaruh
terhadap politik dan masa depan Indonesia khusus nya di ibu kota DKI Jakarta,
sebagian besar warga Cina memang tak peduli urusan politik tapi ketidak
pedulian nya justru menjadikan mereka leluasa menjadi cukong dan investor
politik dari sini lah kekuasaan nya makin menggurita dan membuat segan
banyak pihak dan hal itu menjadi sorotan tajam pada pagelaran pilgub DKI
Jakarta 2012 dan 2017.
Pada pagelaran Pilgub 2012 di DKI Jakarta ada fakta yang sangat menarik
yakni kemenangan Gubernur Jokowi dan Wakil Gubernur Basuki yang
berlatarbelakang bukan dari kalangan militer, sementara jika dilihat dari
sejarahnya gubernur pertama yang memimpin DKI Jakarta sampai ke pasangan
gubernur tahun 2007 terus diisi dengan komposisi berlatar belakang militer,
fakta-fakta menarik lain nya yang ditulis oleh Abdul Hamid (2014) dalam
penelitian nya yang berjudul “Jokowi’s Populism in the 2012 Jakarta
9
Gubernatorial Election “ yang di terbitkan oleh German Institute of Global an
Area Studies (GIGA),menjelaskan pengaruh yang sangat kuat di bawa oleh
Jokowi ketika pertama kali datang kejakarta dengan segudang prestasi nya
ketika menjabat sebagai Walikota Solo , beberapa prestasi diantara nya adalah
Bung Hatta Anti-Corruption Award tahun 2010 dan menadapat peringkat
ketiga sedunia dalam predikat Walikota terbaik yang di keluarkan oleh World
Mayor Foundation, dan dalam survey yang dilakukan oleh Cyrus Network
Jokowi mendapat hasil paling tinggi untuk menjadi Gubernur DKI Jakarta yang
baru tahun 2012 sementara Fauzi Bowo yang merupakan calon petahana pada
masa itu jauh tertinggal di bandingkan oleh Jokowi.
Sebelum meledaknya isu kampanye identitas di putaran pertama pasangan
Fauzi Bowo dan Nacrowi Ramli sangat percaya diri dapat memenangkan
pilkada DKI Jakarta dengan satu putaran hal ini dikarenakan banyak nya partai
politik yang mengusung pasangan calon tersebut yakni Partai Demokrat, Partai
Amanat Nasional, Partai Hanura, dan Partai PKB yang memilik total 41 kursi
keterwakilan di legislatif dibandingkan dengan Jokowi dan Basuki yang hanya
diusung oleh dua parpol yakni PDIP dan Gerindra yang memiliki 17 kursi
keterwakilan di legislatif tentu hal ini sangat berbanding jauh,kedua pasangan
ini lah yang bertarung hingga putaran kedua, didalam putaran kedua pilgub
DKI Jakarta 2012 parpol yang tidak lolos pasangan yang di usung nya tersebut
berbondong-bondong mendukung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi, tidak
hanya menggandeng parpol Fauzi Bowo juga menggandeng organisasi massa
yang besar dari masyrakat DKI Jakarta seperti Forum Betawi Rampug (FBR),
10
Forum Anak Betawi (FORKABI) dan Front Pembela Islam (FPI) untuk
bergabung bersama tim yang dia usung, tak mau kalah dengan tim Fauzi,para
relawan Jokowi – Ahok juga membuat lingkaran timsukses berdasarkan etnis
dengan menggandeng Forum Masyarakat Tionghoa (FORMAT) agar bisa
menjadi roda kemenangan di Pilgub DKI Jakarta tahun 2012,.
Dalam menggaet dukungan Fauzi Bowo banyak menggandeng organisasi
masyarakat Etnis Betawi untuk menunjukan dirinya merupakan representatif
etnis betawi di DKI Jakarta, etnis Betawi yang ia bawa adalah etnisitas dari
sang ibu,posisi ini tentu akan menyulitkan pasangan Jokowi – Basuki yang
mana mulai bisa mendapatkan simpati masyrakat akibat dampak populisme
Jokowi yang menggambarkan mewakili rakyat kecil dengan cara blusukan nya,
selain dengan menggandeng ormas Etnis, Fauzi juga menggandeng ormas
keagamaan seperti FPI untuk bergabung dalam tim nya hal ini di buat untuk
menarik penduduk DKI Jakarta yang mayoritas berAgama Islam untuk dapat
memilhnya,
Ken Miichi (2014) dalam penelitian nya “The Role of Religion and
Ethnicity in Jakarta’s 2012 Gubernatorial Election” juga menjelaskan bahwa
diputaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012 isu Etnisitas dan Agama mulai
sangat bergejolak, penguatan isu identits di putara kedua Pilgub DKI Jakarta
tidak lepas dari keterlibatan media dan aktor penggerak, salah satu contohnya
adalah Rhoma Irama yang mengisi ceramah tarawih di masjid Al-Isra Tanjung
Duren,Jakarta Barat ,dalam ceramah tujuh menit tersebut ada indikasi
penggunaan isu Agama dan Etnis untuk menyerang pasangan Jokowi-Basuki ,
11
mediapun menjadi alat alternatif guna membumikan isu SARA di pilada DKI
Jakarata 2012 ini sebagai alat menyerang antar timses.
Sentimen Agama maupun Etnis merupakan perilaku manusia khusus nya
umat beragama dan sangat menjunjung Etnis pribadi (yang diwujudkan dalam
kata,tindakan dan kebijakan) yang merendahan membatasi dan meremehkan,
agar orang yang berbeda etnis maupun agama tidak mendapatkan hak-haknya
serta mampu mengaktualisasi dirinya secara utuh. Hal-hal seperti berikut
pastilah akan membuahkan perpecahan diantara warga DKI Jakarta yang
begitu majemuk dan multikultur dan efek dari Pilkada 2012 ini menjadi tambah
panas di Pilgub DKI Jakarta tahun 2017. Konflik-konflik serta isu SARA pada
Pilgub 2012 telah menjadi penyebab menguatnya isu identitas di Pilgub DKI
Jakarta pada putaran selanjutnya yang mana basuki kembali mencalonkan diri
menjadi gubernur DKI Jakarta,
Pada transisi kepemimpinan Jokowi ke Basuki memang banyak
menimbulkan polemik di antara nya kepemimpinan yang semakin keras dan
ketat sampai ketidak setujuan beberapa golongan atas pelantikan Basuki yang
menduduki kursi DKI 1 menggantikan Jokowi yang berhasil naik menjadi
presiden Republik Indonesia pada tahun 2014, beberapa golongan yang tidak
setuju tersebut di latar belakangi oleh identitas agama dan identitas etnis yang
dimilik oleh Basuki yakni beragama Kristen dan beretnis Cina (Tionghoa)
golongan ini yakni Front Pembela Islam (FPI) dan Gerakan Masyarakat Jakarta
(GMJ) kedua organisasi tersebut merasa Gubernur yang beragama muslim
dibutuhkan oleh DKI Jakarta pada saat itu, dengan alasan mayoritas penduduk
12
DKI Jakarta beragama Islam, rekomendasi yang di tawarkan oleh kedua
organisasi itu adalah dengan menyuruh PDIP untuk menempatkan kader partai
yang beragama Islam untuk menggantikan Basuki sebagai Gubernur,namun
usulan ini di tolak oleh Partai, sehingga muncul reaksi oleh FPI dengan
melantik Fakhrurozi Ishak sebagai Gubernur tandingan DKI Jakarta hal ini
ditujukan sebagai bentuk mosi tidak percaya kepada Basuki selaku Gubernur
DKI Jakarta.
Fenomena Gubernur tandingan yang dibentuk oleh golongan tersebut tidak
banyak mempengaruhi penduduk DKI Jakarta terhadap kepercayaan nya
kepada Basuki sebagai Gubernur pengganti, namun pada akhir tahun 2016
terjadi gerakan baru yang sangat luar biasa yakni serangkaian aksi massa yang
di pusatkan di DKI Jakarta yang menuntut di penjarakannya gubernur aktif
pada saat itu yakni Basuki Tjahja Purnama.
Gerakan massa itu terjadi atas reaksi dari kasus penistaan agama oleh
Basuki pada pidato nya di kepulauan seribu pada tanggal 27 September 2016,
gerakan massa yang begitu masif di media sosial, spanduk di jalan umum
sampai aksi demonstrasi pada 2 dember 2016 atau lebih dikenal dengan aksi
212 untuk menuntut pemerintah memenjarakan Basuki akibat kasus nya
tersebut. Serangkaian aksi massa tersebut kembali menimbulkan penguatan
identitas di masyarakat DKI Jakarta hal ini dapat dilihat dari hasil Survei dari
Lingkar Survei Indonesia (LSI) yang menyatakan pasca aksi 212 tersebut
sentimen Agama di masyarakat DKI Jakarta meningkat menjadi 70,1% yang
pada sebelumnya di bulan maret dan oktober LSI mencatat masing-masing
13
40% dan 51% , sehingga dalam penyelengaraan Pilgub DKI Jakarta sentimen
identitas sangat berpengaruh, para elit politik,para simpatisan pendukung
,organisasi masa serta tim sukses pendukung berlomba menggunakan isu
tersebut untuk meraih suara di pilkada DKI Jakarta.
Dalam upaya menetraslisir isu tersebut sekelompok massa juga membuat
aksi Parade Bhineka Tunggal Ika pada tanggal 4 Desember 2016 dua hari
setelah aksi damai 212 berlangsung, aksi parade Bhineka Tunggal Ika ini
sendiri memiliki tujuan untuk lebih meeratkan ikatan identitas kolektif
dibandingkan primordial, agar masyarakat di DKI Jakarta tidak terpengaruh
terhadap sentimen identitas tertentu dalm lebih mengutamakan persatuan dan
kesatuan antar golongan.
Tidak dapat dipungkiri identitas adalah sesuatu yang sangat melekat dalam
diri manusia, seperti halnya identitas agama yang begitu melekat dan sangat
sensitif di masyarakat, sehingga politisasi identitas agama dapat begitu laris di
tengah masyarakat, seperti contoh beberapa rumah ibadah di DKI Jakarta
dalam ibadah nya seringkali menyinggung dan mengarahkan jemaat atau umat
nya untuk memilih berdasarkan identitasnya seperti yang di lakukan oleh
Rhoma Irama, pada dasar nya rumah ibadah harus steril dari proses kampanye
seperti yang tertulis dalam UU No 8 Tahun 2015 pasal 69 tentang pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang berisi larangan kampanye di setiap
rumah ibadah dalam ceramah ataupun khotbah dalam ibadah.
Berbagai kasus dan peristiwa yang terjadi di tahun 2012 sampai akhir
tahun 2016 menjadi serangkaian proses menguatnya identitas di masyarakat
14
DKI Jakarta, dan pada tahun 2017 Identititas sudah menjadi salah satu alat
politik utama yang digunakan oleh para elit untuk kepentingan Pilgub yang
menyebabkan terjadinya gesekan di masyarakat seperti contohnya adalah,
terjadi gesekan di masyarakat DKI Jakarta karena mendukung pasangan calon
yang tidak sama identitas nya dengan dirinya, kasus ini dialami oleh Alm.
Nenek Hindun binti W.Raisman di Setia Budi,Jakarta Selatan yang di tolak di
sholat kan oleh pihak musholla karena mendukung pasangan calon yang
berbeda identitas (http://news.liputan6.com/read/2882270/jenazah-nenek-
hindun-ditelantarkan-warga-setelah-pilih-ahok, diakses tanggal 23 maret
2018).
Identitas Agama begitu banyak disoroti dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 ini
berbeda dengan Pilkada 2012 dimana isu Etnis menjadi perbincangan yang tak
kalah penting, hal ini disebabkan baik Basuki- Djarot dan Anies – Sandi tidak
ada yang beretnis betawi tapi isu yang di angkat di Pilgub DKI Jakarta adalah
isu pribumi dan non pribumi yang mana pribumi dikategorikan sebagai orang
asli Indonesia dan non pribumi adalah keturunan asing yang tinggal di
Indonesia, dalam posisi ini tentu pasangan Basuki - Djarot mepergunakan isu
tersebut untuk mempersatukan masyarakat Etnis Tionghoa, seperti survei yang
dilakukan oleh Lembaga Survei dan Poling Indonesia (SPIN) yang menyatakan
hampir 90 persen masyarakat keturunan Etnis Chin (Tionghoa) mendukung
Basuki dalam putaran kesatu dan kedua.
Etnisitas dan Agama menjadi isu yang hangat dalam pemilihan gubernur
Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017 karena ada keyakinan di benak
15
para kandidat atau tim suksesnya bahwa cara termudah dan paling efektif
menarik hati orang untuk memilih seorang kandidat adalah dengan cara
membangkitkan ikatan emosional pemilih pada calon. Ikatan emosional mana
yang bisa melebihi kecintaan seseorang pada identitas primordialnya seperti
suku, agama, ras, dan golongan atau komunitas.
Diantara semua identitas ini suku-agama dan ras menjadi identitas yang
paling kuat sehingga mudah menyulut emosi dan dapat dimobilisasi. Dalam
ras, agama dan etnisitas ada stigmatisasi dan pelabelan yang pada akhirnya
akan berujung pada kebencian, kecurigaan, kecemburuan sosial, inklusi dan
eksklusi. Oleh karena itu partisipasi pemilih pada pemilihan gubernur Daerah
Khusus Ibukota (DKI) Jakarta 2017 sangat erat kaitannya dengan identitas
agama dan etnis.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pengamatan dan penilitian masalah yang teridentifikasi adalah:
1. Terdapat sentimen antar Etnis maupun Agama di DKI Jakarta
2. Semenjak tahun 2012 dan 2017 Politik Identitas dipergunakan dalam
pemilihan Gubernur
3. Terjadinya Pembelahan Sosial di masyarakat DKI Jakarta akibat terbentuk
nya poilitik identitas dalam Pilgub DKI Jakarta
4. Aksi Diskriminasi dan Intimidasi dalam Pilgub DKI Jakarta
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan Identifikasi masalah di atas, yang menjadi rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah. Bagaimana Politisasi Identitas digunakan sebagai
16
alat politik terhadap para pemilih untuk dapat meraih simpati publik dalam
pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai
berikut :
Untuk mengetahui Politik Identitas di dalam partisipasi politik di pilgub DKI
Jakarta tahun 2017-2022
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak.
Penilitian ini dapat bermanfaat untuk:
1. Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi pemikiran dan
penambahan wawasan dalam kajian ilmu Pemerintahan, serta referensi dalam
penelitian politik identitas tekhusus nya dalam studi kasus partisipasi politik di
dalam pemilihan umum (Pemilu)
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan mengenai politik identitas
terkhusus nya dalam studi kasus partisipasi politik di dalam pemilihan umum
(Pemilu),agar masyarakat dapat lebih memahami apa itu politik identitas yan
sering kali di pergunakan dalam studi kasus pemilihan umum.
17
F.Sitematika Penelitian
Untuk memudahkan penulis dalam menyusun skripsi ini, maka penulis
akan menguraikan secara singkat dari sistematika penelitian dalam susunan
penulisan skripsi ini. Sistematika penelitian skripsi ini sebagai berikut :
BAB I Penulisan skripsi ini terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Identifikasi Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, dan Sistematika Penelitian
BAB II Penulisan skripsi ini menggunakan kajian teori Politik Identitas
dan Multikulturalisme untuk menganalisa Politik Identitas yang ada di dalam
pilgub DKI Jakarta 2017 dan dampaknya pada partisipasi politik masyarakat
yang ada di DKI Jakarta
BAB III Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan penelitian
kualitatif dengan tujuan agar dapat lebih mengetahui lebih dalam isu politik
identitasa yang terjadi di pilgub DKI Jakarta 2017 dengan menggunakan
metode penelitian berupa dokumentasi,studi pustaka dan wawancara
BAB IV Membahas sentimen etnis dan agama di dalam pilgub DKI
Jakarta yang menjadi identitas terkuat dalam mencapai kemenangan
BAB V Membahasa kesimpulan dan saran yang dibutuhkan dalam
penulisan karya ilmiah.
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Politik Identitas
Dalam dinamika politik di negeri ini, masalah identitas kerap dijadikan
salah satu cara untuk menjatuhkan lawan politiknya. Identitas muncul ketika
kita lahir. Seorang anak dari bapak Jawa dan Ibu Jawa, maka ia akan
menyandang identitas sebagai suku Jawa. Ketika ia lahir dari seorang ayah
Tionghoa dan ibu Tionghoa, secara otomatis ia akan mendapatkan identitas
sebagai etnis Tionghoa dan ketika seseorang lahir dari ayah dan ibu seorang
pemeluk agama Islam, seorang anak akan langsung mendapat identitas sebagai
pemeluk agama Islam. Sama juga ketika dia lahir dari pasangan Kristen, secara
identitas ia akan menjadi seorang penganut agama Kristen. Dengan kata lain
secara sederhana, yang dimaksud identitas adalah karakteristik esensial yang
menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Ini adalah definisi umum yang
sederhana mengenai identitas.
Politik identitas merupakan konsep baru dalam kajian ilmu politik. Politik
identitas adalah nama lain dari biopolitik dan politik perbedaan. Biopolitik
mendasarkan diri pada perbedaan-perbedaan yang timbul dari perbedaan tubuh.
Dalam filsafat sebenarnya wacana ini sudah lama muncul, namun
penerapannya dalam kajian ilmu politik mengemuka setelah disimposiumkan
pada suatu pertemuan internasional Asosiasi Ilmuwan Politik Internasional di
Wina pada 1994 (Abdilah, 2002).
19
Identitas menurut Jeffrey Week adalah berkaitan dengan belonging
mengenai persamaan dengan sejumlah orang dan apa yang membedakan
seseorang dengan yang lain. Pendapat Jeffrey Week tersebut menekankan
pentingnya identitas bagi tiap individu maupun bagi suatu kelompok atau
komunitas (Widayanti, 2009).
Identitas dalam sosiologi maupun politik biasanya dikategorikan menjadi
dua kategori utama, yakni identitas sosial (kelas, ras, etnis, gender, dan
seksualitas) dan identitas politik (nasionalitas dan kewarganegaraan
(citizenship). Identitas sosial menentukan posisi subjek di dalam relasi atau
interaksi sosialnya, sedangkan identitas politik menentukan posisi subjek di
dalam suatu komunitas melalui suatu rasa kepemilikan (sense of bellonging)
dan sekaligus menandai posisi subjek yang lain di dalam suatu pembedaan
(sense of otherness) (Setyaningrum, 2005).
Identitas politik (political identity) secara konseptual berbeda dengan
“politik identitas” (politica of identity). Identitas politik merupakan konstruksi
yang menentukan posisi kepentingan subjek di dalam suatu ikatan komunitas
politik, sedangkan pengertian politik identitas mengacu pada mekanisme
politik pengorganisasian identitas (baik identitas politik maupun identitas
sosial) sebagai sumberdaya dan sarana politik (Setyaningrum, 2005).
Secara sederhana, apa yang dimaksud identitas didefinisikan sebagai
karakteristik esensial yang menjadi basis pengenalan dari sesuatu hal. Identitas
merupakan karakteristik khusus setiap orang atau komunitas yang menjadi titik
masuk bagi orang lain atau komunitas lain untuk mengenalkan mereka
20
(Widayanti, 2009). Ini adalah definisi umum yang sederhana mengenai
identitas dan akan kita pakai dalam pembahasan berikutnya mengenai politik
identitas.
Menurut Stuart Hall, identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari „sense
(rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas‟ . Dari pernyataan tersebut, maka
ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang
memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang
bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (keberbedaan) atau
sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik
identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh
kategori-kategori pembeda (categories of difference) (Setyaningrum, 2005).
Identitas selalu melekat pada setiap individu dan komunitas. Identitas
merupakan karekteristik yang membedakan antara orang yang satu dengan
orang yang lain supaya orang tersebut dapat dibedakan dengan yang lain.
Identitas adalah pembeda antara suatu komunitas dengan komunitas lain.
Identitas mencitrakan kepribadian seseorang, serta bisa menentukan posisi
seseorang.
Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu:
1. Primodialisme. Identitas diperoleh secara alamiah, turun temurun.
2. Konstruktivisme. Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil dari
proses sosial yang kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui ikatan-ikatan
kultural dalam masyarakat.
21
3. Instrumentalisme. Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk
kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan (Widayanti,
2009).
Sementara Klaus Von Beyme menganalisis karakter gerakan politik
identitas dalam beberapa tahap perkembangannya mulai dari tahap:
A. Pramodern: dimana gerakan politik mengalami perpecahan
fundamental, kelompok kelompok kesukuandan kebangsaan
dan memunculkan gerakan politik yang menyeluruh. Dalam
hal ini mobilisasi secara ideologis dipelopori oleh para
pemimpin.
B. B. Modern: gerakan muncul dengan adanya pendekatan
kondisional, keterpecahan membutuhkan sumber sumber
untuk dimobilisasi. Terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas
dan partisipasi bawah,peran pemimpin tak lagi dominan dan
tujuan akhirnya adalah pembagian kekuasaan.
C. Post modern: gerakan muncul dari dinamika gerakan itu
sendiri, protes lahir dari atas berbagai macam kesempatan
individual tidak ada satu kelompok yang dominan.
Ketimbang pengorganisasian secara mandiri dalam ruang lingkup ideologi
atau afilisasi kepartaian, politik identitas berkepentingan dengan pembebasan
dari situasi keterpinggiran yang secara spesifik mencakup konstituensi
(keanggotaan) dari kelompok dalam konteks yang lebih luas. Dalam hal ini
Cressida Heyes beranggapan jika politik identitas lebih mengarah kepada
22
kepentingan terhadap individu atau kelompok yang terpinggirkan dari pada
pengorganisasian.
Agnes Heller mengambil definisi politik identitas sebagai konsep dan
gerakan politik yang fokus perhatiannya adalah perbedaan (difference) sebagai
suatu kategori politik yang utama (Abdilah S, 2002). Di dalam setiap
komunitas, walaupun mereka berideologi dan memiliki tujuan bersama, tidak
bisa dipungkiri bahwa di dalamya terdapat berbagai macam individu yang
memiliki kepribadian dan identitas masing-masing.
Hal ini dikarenakan kepribadian dan identitas individu yang berbeda dan
unik, sangat mungkin terjadi dominasi antar individu yang sama-sama
memiliki ego dan tujuan pribadi. Sehingga menyebabkan pergeseran
kepentingan terkait dengan perebutan kekuasaan dan persaingan untuk
mendapatkan posisi strategis bagi tiap individu di dalam komunitas tersebut.
Selanjutnya Politik Identitas dapat dimaknai sebagai tindakan politis untuk
mengedepankan kepentingan-kepentingan dari anggota-anggota suatu
kelompok karena memiliki kesamaan identitas atau karakteristik, yang berdasar
ras, etnisitas, jender, atau keagamaan. Bahasan utama politik identitas adalah
ide perbedaan, misal tentang ideologi, ras, agama, kepercayaan, bahasa, dll.
Studi ini mulai diwacanakan pada simposium di Wina, Swiss, 1994.16 Berikut
ini dua jenis aliran politik identitas:
Anglophone fokus pada masalah hak dan klaim penduduk asli, pribumi
(indigenous people), penganutnya antara lain negara Australia, New Zealand,
Kanada.
23
Anglo-american fokus pada masalah pembangunan seperti gelombang
imigrasi, keberadaan kelompok-kelompok religius di masyarakat, pengaruh
budaya, sosial akibat munculnya gerakan perempuan, gay perdebatan tentang
kemerosotan civic culture dan bangkitnya anti-politik.
Yang mesti dipahami bahwa politik identitas bukanlah politik dalam
makna tradisional saja. Politik identitas fokus perhatiannya ialah perbedaan
identitas yang meliputi etnik, agama, dan hal lain yang dipakai untuk
menghimpun orang atas dasar kesamaan yang dimiliki.
Politik identitas juga dibangun dalam proses pemilihan kepala daerah yang
dilakukan secara intens dalam bentuk interaksi simbolik untuk memobilisasi
dukungan massa. Penguatan identitas diri dari seorang pasangan calon
dilakukan dengan membangun identitas diri secara intens di masyarakat.
Politik identitas yang berangkat dari base on identity (identitas) dan base on
interest (kelompok kepentingan) dijadikan instrumen untuk memperoleh
simpati dari masyarakat. Selanjutnya perkembangnan politik identitas saat ini
telah mengalami pergeseran makna identitas sesungguhnya karena identitas
digunakan bukan untuk kepentingan identitas itu sendiri tetapi lebih untuk
kepentingan elite itu sendiri. Ini terlihat jelas dalam ajang pemilihan Gubernur
DKI Jakarta tahun 2017.
2. Partisipasi Politik
Huntington dan Nelson dalam Hamid (2017) mendefinisikan Partai
Politik sebagai kegiatan yang dilakukan warga negara preman (private citizen)
atau biasa disebut sebagai masyarakat biasa (sipil) dengan tujuan
24
mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah. Partisipasi itu dapat secara
spontan, secara sinambung atau sporadic, seacara damai ataua kekerasan, legal
atau illegal efektif atau tidak efektif.
Ada beberapa ciri partisipasi politik:
1. Kegiatan yang dapat diamati bukan hanya sekedar sikap
2. Merupakan aktivitas perorangan dalam peranan sebagai warga negara
preman, bukan sebagai aktivitas professional bidang politik.
3. Diarahkan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan pemerintah
baik itu kegiatan legal maupun ilegal.
4. Kegiatan efektif maupun gagal terkategori partisipasi politik.
Dalam menganalisa tingkat – tingkat partisipasi, Huntington dan Nelson
membedakan dua sub dimensi:
a. Lingkup
Seberapa besar partisipasi yang dilakukan atau seberapa banyak pihak
yang terlibat dalam partisipasi.
b. Intensitas
Seberapa lama dan seberapa penting partisipasi.
Partisipasi Politik dapat terwujud dalam berbagai bentuk:
1. Pemilihan Umum
Partisipasi dalam pemilihan umum mungkin merupakan bentuk
partisipasi politik yang paling popular. Namun dalam pemilihan umum
partisipasi politik tak hanya sekedar memilih, namun juga menjadi
25
kandidat, menyumbang untuk kandidat, terlibat dalam kampanye dan
segala bentuk tindakan yang bertujuab mempengaruhi hasil pemilihan.
2. Lobbying (Lobi)
Lobi adalah upaya-upaya perorangan atau kelompok untuk
menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin- pemimpin
poltik dengan maksud mempengaruhi keputusan-keputusan mengenai
persoalan-persoalan yang menyangkut sejumlah besar orang.
3. Kegiatan Organisasi
Partisipasi sebagai anggota atau pejabat dalam suatu organisasi yang
tujuan utamanya dan eksplisit adalah mempengaruhi pengambilan
keputusan pemerintah.
4. Mencari Koneksi (contacting)
Merupakan tindakan perorangan yang di tujukan terhadap pejabat-
pejabat pemerintah dan biasanya dengan maksud memperoleh manfaat
bagi hanya satu atau segelintir orang.
5. Merupakan upaya untuk mempengaruhi pengambilan keputusan
pemerintah dengan jalan menimbulakn kerugian fisik terhadap orang-
orang atau harta benda.
Partisipasi Politik dapat dikategorikan
a. Berdasarkan kesadaran politik (Huntington dan Nelson dalam Hamid
(2017)):
1. Otonom
Partisipasi dilakukan atas dasar keasadaran sendiri
2. Mobilisasi
26
Partisipasi dilakukan berdasarkan anjuran, ajakan atau paksaan pihak
lain
Namun harus disadari bahwa partisipasi politik otonom maupun di
mobilisasi bukanlah sesuatu yang dikotomis, tapi merupakan sebuah spektrum.
Karena banyak sekali bentuk partisipasi yang bersifat arbitter, berada diantara
partisipasi politik otonom atau di mobilisasi. Sebagai contoh,sulit untuk
mengatakan bahwa peserta kampanye partai politik dalam sebuah pemilu betul-
betul otonom atau betul-betul di mobilisasi. Bisa jadi ia ikut berkampanye
karena kesadaran namun menerima berbagai atribut dan fasilitas bahkan uang
dari partai pelaksana kampanye.
Partisipasi Politik dalam pemilu (Voter turnout) di Indonesia amatlah
tinggi, namun menurun ketika reformasi terjadi. Tingginya partisipasi politik
dalam pemilu-pemilu orde baru bisa dipahami sebagai kuatnya mobilisasi
pemerintah orde baru mendorong partisipasi politik (yang dimobilisasi) dengan
memaknai memilih sebagai kewajiban. Namun ketika kebebasan dilindungi
dan memilih dipandang sebagai hak, maka banyak warga yang tidak
menggunakannya.
b. Berdasarkan Saluran Politik
Berdasarkan bentuk dan aturan politik, Almond (dalam, hamid 2017)
membagi partisipasi politik kedalam partisipasi konvensional dan partisipasi
non konvensioanl.
1. Partisipasi Konvensional
Partisipasi ini dilakukan dengan saluran resmi dan dalam bentuk yang
normal dalam demokrasi modern.
27
2. Non Konvensioanl
Partisipasi ini dilakukan memaluli sarana tidak resmi dan dalam
bentuk yang tidak normal.
3. Multikulturalisme
Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis,
multikulturalisme dibentuk dari kata multi yang artinya banyak atau beragam,
kultural yang berarti budaya atau kebudayaan dan isme yang berarti aliran atau
paham. Singkatnya, multikulturalisme adalah sebuah ideologi (pandangan)
yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan atas
perbedaan kebudayaan. Multikulturalisme bertujuan untuk kerjasama,
kesederajatan, dan mengapresiasi dalam dunia yang kian kompleks dan tidak
monokultur lagi (Ardhana, 2011).
Pandangan Will Kymlicka atas multikulturalisme bisa kita lihat pada buku
karangannya, Multicultural Citizenship (2002). Dalam tulisannya ia mencoba
memaparkan bahwa pendekatan lama dalam melihat multikulturalisme sudah
tidak begitu relevan dalam menjawab masalah dalam isu kontemporer. Itu
disebabkan karena solusi dari masalah-masalah multikultural kerap kali
berujung pada sudut pandang pihak mayoritas semata.
Will Kymlicka cenderung tidak ingin menggunakan kata
multikulturalisme dalam menjelaskan fenomena yang terjadi di dunia saat ini.
Ia cenderung lebih suka menggunakan konsep multination dan polyethnic.
Konsep bangsa (nation) yang digunakannya lebih disamaartikan sebagai
sebuah masyarakat atau pun kebudayaan tertentu yang sudah memiliki sejarah
28
dan teritorial tempat mereka tinggal. Bangsa tadi didasarkan pada kesamaan
historis serta adat istiadat yang sama. Di dunia banyak sekali negara yang
memiliki banyak bangsa yang menghasilkan bentuk negara multination. Ia
cenderung tidak menggunakan konsep culture dalam pembahasan negara
karena konsep ini dianggap masih cenderung abstrak dan biasa digunakan
hanya untuk membedakan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat.
Dengan demikian culture lingkupnya lebih luas.
Ia mencontohkan dengan melihat pada bangsa Eropa. Kita bisa saja
mengatakan bahwa negara Eropa berasal dari culture yang sama karena
memiliki kesamaan-kesamaan dalam masyarakatnya, meskipun sebenarnya
dalam tiap negara berasal dari bangsa yang berbeda. Ia juga mencontohkan
pada orang-orang homoseksual yang memiliki culture yang sama. Sehingga ia
melihat konsep nation atau bangsa dalam hal ini bisa lebih spesifik dalam
menjelaskan fenomena dalam suatu negara karena ada unsur historis serta
teritorinya. Dalam keadaan dimana tiap-tiap bangsa yang ada di dalam suatu
negara menerima dengan sukarela persatuan sebagai sebuah kebutuhan
bersama, terbentuklah multination state. Selain bangsa yang memang telah
berada di teritorial negara tersebut dari awal, ada juga imigran yang datang
sebagai penduduk di sebuah negara. Mereka datang tanpa adanya basis tempat
dan keturunan dari bangsa di negara tersebut. Negara yang memiliki kelompok
imigran inilah yang disebut Will Kymlicka sebagai Polyethnic.
Akhir abad 20 adalah masa yang disebutnya sebagai „the age of
migration‟. Pada masa ini banyak sekali negara-negara yang kedatangan
29
migran-migran. Ini menyebabkan tantangan baru pada tiap negara yang
menghadapinya karena akan semakin banyak permasalahan etnik yang muncul.
Pembahasan terhadap hak-hak kaum migran dan etnik minoritas juga semakin
gencar setelah Cold War berakhir. Pembelahan antara multination dan
polyethnic dari Willkymlicka ini dengan demikian bisa membantu kita
menganalisa kelompok imigran tersebut.
Will Kymlicka menggunakan apa yang terjadi di Canada sebagai contoh
bagaimana kita melihat bahwa sebuah negara sebenarnya bisa menjadi
multination sekaligus polyethnic. Sebelum imigran datang, Canada telah
memiliki keberagaman bangsa, baik itu orang-orang lokal, Inggris maupun
Prancis. Namun kondisi itu ditambah dengan kehadiran banyak migran asing
yang menetap disana. Yang menarik adalah bahwa pemerintah Canada
memberikan perhatian kepada kedua kelompok tersebut. Tidak hanya hak-hak
bangsa yang telah berada lebih dahulu di negara tersebut, namun pemerintah
juga memberikan akomodasi kebijakan kepada para migran-migran.
Sering terjadi para migran yang datang ke suatu negara dipaksa untuk
melakukan asimilasi. Mereka dipaksa untuk bisa mempergunakan budaya yang
telah ada di negara tersebut dari unsur mayoritas. Kebanyakan migran-migran
di berbagai negara tidak mempersoalkan itu dan turut belajar kebudayaan,
termasuk paling penting bahasa, dari negara yang mereka datangi dan tinggali
untuk seterusnya. Tetapi ada pula migran yang menolak untuk melakukan
asimilasi dan tetap mempergunakan kebudayaan aslinya. Bahkan ada yang
menolak untuk mengganti bahasa mereka.
30
Dalam pandangan Will Kymlicka para migran ini tidak masuk dalam
kategori bangsa di negara yang mereka datangi. Bahkan mereka itu berbeda
dengan kelompok minoritas. Minoritas diartikan sebagai kelompok bangsa
yang telah terpinggirkan karena adanya bangsa lain yang lebih mendominasi.
Mereka bukan pendatang namun merupakan penduduk asli di tanah mereka.
Contoh paling mudah adalah suku Indian yang justru menjadi kelompok
minoritas di tanah Amerika. Kelompok ini kebanyakan akan tetap diakomodir
kepentingannya oleh pemerintah. Para imigran yang datang ke sebuah negara
bisa berkembang menjadi sebuah kelompok minoritas. Itu bisa berubah ketika
ada keadaan dimana mereka telah memiliki kekuatan untuk berpolitik dan
mengatur hidup mereka sendiri (self-governing), atau setidaknya ada tuntutan
untuk hal-hal tersebut.
Baik unsur minoritas maupun kelompok migran menjadi fokus dalam
membahas keberagaman di negara modern. Salah satu hal pentingnya adalah
bagaimana Will Kymlicka ingin memberikan perspektif baru bagaimana
memperjuangkan hak mereka, dalam sebuah sistem demokrasi liberal,
bercermin dari apa yang telah dilakukan di Canada. Ada tiga hal pokok yang
menurutnya penting untuk diperjuangkan dalam budaya demokrasi terhadap
kelompok-kelompok di atas. Pertama, self–government rights. Masyarakat
minoritas bisa memperjuangkan haknya untuk bisa mengatur diri mereka
sendiri. Kymlicka melihat bahwa sistem federal bisa menjadi salah satu solusi
karena kelompok minoritas dapat mengatur diri mereka tanpa dipengaruhi oleh
kelompok yang lebih besar. Kedua, polyethnic rights. Disini fokusnya adalah
31
bagaimana pemerintah memberikan kebebasan kepada para migran untuk
menggunakan kebudayaan mereka yang berbeda dengan kebudayaan lokal atau
pun mayoritas. Termasuk didalamnya adalah menggunakan atribut agama yang
menjadi minoritas di negara tersebut serta simbol-simbol lainnya tanpa
mempengaruhi hak ekonomi dan sosial-politik mereka di masyarakat. Yang
terakhir adalah special representation rights. Dimana pada akhirnya kelompok
minoritas, baik secara budaya, gender, keterbatasan fisik, agama, memerlukan
hak untuk mengikutsertakan representasi dari kelompoknya dalam parlemen.
Dengan demikian kelompok tersebut bisa secara langsung memperjuangkan
hak mereka secara politik.
Hal menarik lainnya dari pandangan Will Kymlicka adalah penilaiannya
bahwa perjuangannya terhadap kaum minoritas bisa berhasil hanya ketika
masyarakatnya mengerti nilai dari liberalisme. Karena menurutnya perjuangan
akan kebebasan hak dari kaum minoritas ini adalah buah dari pemikiran liberal.
Kemudian kita bisa melihat apakah masyarakat Indonesia sendiri sudah siap
dengan konsep „liberal‟ itu sendiri. Seperti kita ketahui banyak negara ,
termasuk Indonesia, yang masih cenderung anti terhadap isu yang berkaitan
dengan liberalisme karena takut dan tidak mau menjadi Barat. Padahal nilai-
nilai kebebasan yang bisa diperjuangkan tersebut ada pada paham liberal.
Menurut Will Kymlicka yang harus dilakukan adalah sosialisasi nilai tersebut
secara halus ke masyarakat.
Yang harus melakukannya adalah kelompok-kelompok dalam negara
tersebut yang memang telah sadar akan kepentingan minoritas dan nilai
32
kebebasan tadi. Tidak bisa dengan intervensi dari negara Barat yang serta
merta langsung ingin memasukkan liberalisme pada negara lain. Bila kita
mengutip dari tokoh liberal seperti John Locke, masyarakat demokratis bisa
tercapai hanya ketika masyarakat tersebut telah mengetahui hak-hak mereka
sebagai warga negara. Dalam akhir buku Multicultural Citizenship Will
Kymlicka berargumen bahwa liberalisme harus bisa memastikan adanya
keadilan antar kelompok , serta kebebasan dan keadilan di dalam kelompok.
Sedangkan Bagi Charles Taylor (2012) filsafat politik Hegel adalah dasar
bagi seluruh wacana politik pengakuan dan multikulturalisme, terutama
pandangan Hegel soal dialektika tuan dan budak (dialectic of master and
slave). Di samping itu wacana tentang identitas dan pengakuan juga muncul,
karena disebabkan oleh faktor-faktor historis politis tertentu. Taylor
menuliskan satu hal yang kiranya sangat penting, yakni hancurnya tatanan
hirarki sosial yang lama, yang bersifat feodalistik. Dahulu di Eropa maupun di
Indonesia, orang yang lahir dari keluarga bangsawan memiliki kedudukan yang
terhormat di dalam masyarakat. Dasar dari kedudukan tersebut adalah darah
bangsawan, atau yang banyak disebut orang Indonesia sebagai keturunan darah
biru.
Di dalam masyarakat semacam itu, ketidaksetaraan adalah fakta dunia
yang diterima begitu saja. Orang yang berasal dari keluarga biasa memiliki
status yang lebih rendah dari pada orang yang berasal dari keluarga bangsawan.
Tentu saja pandangan tersebut sudah menghilang. Di dalam masyarakat
modern, kehormatan bukanlah sesuatu yang didapat melaluidarah keturunan
33
bangsawan, melainkan sesuatu melekat di dalam kemanusiaan setiap orang.
“Sebagai lawan dari konsep kehormatan yang lama,” demikian tulis Taylor,
“kita memiliki konsep modern seperti harkat dan martabat manusia, yang
digunakan dalam arti yang egaliter dan universal, di mana kita berbicara
tentang martabat manusia yang bersifat inheren, atau martabat warga negara.”
Karena bersifat inheren, egaliter,dan universal, maka setiap manusia, lepas dari
suku, ras, ataupun agama,memilikinya.Pandangan terakhir ini hanya bisa hidup
dan berkembang di dalam masyarakat demokratis. Setiap orang memiliki
harkat dan martabat yang bersifat inheren di dalam dirinya, lepas dari suku, ras,
agama, ataupun kelas sosial-ekonomi. Inilah pandangan tentang manusia yang
menempati peran sangat penting di dalam masyarakat demokratis.
“Demokrasi,” demikian Taylor, “telah mengantarkan kita memasuki politik
pengakuan, yang telah mengambil bermacam-macam bentuk sekarang ini, dan
sekarang kembali dalam bentuk tuntutan untuk status yang setara dalam bidang
budaya dan gender.”Dengan kata lain inti terdalam dari demokrasi dan politik
pengakuan sebenarnya sama, yakni tuntutan untuk kesetaraan kultur dan
gender.
Menurut Taylor esensi atau inti terdalam dari wacana multikulturalisme
adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (struggle for recognition).
Perjuangan inilah yang menjadi dorongan dasar dari begitu banyak gerakan
politik yang muncul pada pertengahan sampai akhir abad ke-20, seperti
feminisme, gerakan kaum gay, dan sebagainya. Tidak hanya itu gerakan
tersebut juga muncul di dalam perjuangan kelompok minoritas untuk
34
mempertahankan identitas mereka dari penjajahan kelompok mayoritas, baik
dalam hal agama maupun etnis.
Di dalam politik pengakuan, orang-orang yang berasal dari budaya yang
berbeda dari budaya minoritas ingin mempertahankan identitasnya yang unik.
Mereka tidak hanya ingin supaya identitasnya ada, tetapi supaya identitas
tersebut bisa berkembang secara dinamis dengan identitas-identitas lainnya di
dalam masyarakat. Dalam arti ini identitas diri seseorang adalah sesuatu yang
sangat penting, karena di dalamnya terdapat pemahaman tentang siapa dan dari
mana mereka. Dapat juga dikatakan bahwa identitas adalah hakikat
fundamental dari manusia itu sendiri sehingga Identitas tidak dapat dipisahkan
dari manusia namun bila berbicara pada konteks Pemilihan umum seperti yang
terjadi DKI Jakarta konteks pengakuan Identitas kelompok tertentu sangat
menguat dan tentu akan mengganggu iklim demokrasi yang di bangun
sehingga Identitas yang tidak memiliki jumlah yang besar dikhawatirkan tidak
dapat terwakilkan.
B. Penelitian Terdahulu
Untuk menelaah yang lebih komprehensif, maka penyusun berusaha untuk
melakukan kajian-kajian terhadap penelitian terdahulu yang mempunyai
relevan terhadap topik yang diteliti oleh peneliti, dan juga menggunakan
sumber yang relevan termasuk menggunakan literatur guna memperkuat
penelitian.
35
Tabel.3 Perbandingan Penelitian ini dengan Penelitian Terdahulu
No. Peneliti Judul Penelitian Pembahasan
1. Fikri Adrian
(Skripsi S-1, UIN
Jakarta)
Identitas Etnis Dalam Pemilihan
Kepala Daerah (Studi Pemilihan
Gubernur DKI Jakarta Tahun 2012
Menjelaskan mengenai
isu identitas etnis yang
menguat di pilkada DKI
Jakarta kepada salah satu
pasangan calon Gubernur
dan Wakil Gubernur DKI
Jakarta.
2. Arif Sofianto
(Peneliti Balai Litbang
Semarang, Jawa
Tengah)
Peran Agama Terhadap Perilaku
Pemilih Dalam Pemilu Legislatif
2014 Di Jawa Tengah
Dalam jurnal penelitian
nya, banyak membahas
tentang bagaimana politik
identitas dibentuk dan
bagaimana politik
identitas digunakan dan
punya pengaruh kuat
serta menjadi salah satu
strategi pemilu legislatif
di jawa tengah pada
tahun 2014.
3. Andy Sianipar
(mahasiswa Ilmu
Politik Identitas Dalam Pemilihan
Kepala Daerah (Studi Kasus Pada
Dalam penelitian ini
penulis membahas
36
Pemerintahan Unirtra) Pemilihan Gubernur DKI Jakarta
Periode 2017-2022)
tentang politik identitas
yang dibentuk dan
digunakan dalam pilgub
DKI Jakarta tahun 2017
yang mana pada tahun
sebelumnya politik
Identitas kian menguat, di
tandai dengan fenomena
unjuk rasa yang mengatas
nama kan agama pada
akhir tahun 2016 inilah
yang menjadi salah satu
pemicu menguatnya
politik identitas dalam
pilgub DKI Jakarta 2017
dan identitas digunakan
sebagai senjata
menyerang antar
pasangan calon baik
identitas agama maupun
identitas etnis.
37
C. Kerangka Pemikiran
Pemilihan kepala daerah selalu menyajikan pertunjukan yang menarik
mulai dari strategi politik sampai pembasisan masa,dalam hal ini peneliti
tertarik dengan iklim politik di pilgub DKI Jakarta,kita ketahui Jakarta
merupakan kota megapolitan sekaligus ibu kota negara Indonesia sehingga
berbagai macam kepentingan politik ada di dalam nya, dan yang menambah
dinamika arus politik pilgub DKI Jakarta antara lain adalah keberagaman
masyarakat nya mulai dari perbedaan suku hingga perbedaan agama, jadi tidak
lah heran agama maupun suku di jadikan bahan kampanye atapun strategi
politik guna kemenangan pasangan calon Gubenur DKI Jakarta,dalam
penelitian ini penulis lebih terfokuskan pada pengaruh agama,karena banyak
sekali kasus yang bersangkutan tentang agama yang di jadikan salah satu faktor
penting dalam pilgub DKI Jakarta.
Isu tentang penggunaan faktor agama ini sebenar nya bukan lah hal yang
baru lagi,akan tetapi masih sangat menarik untuk di bahas khusus nya dalam
kasus pilgub DKI Jakarta yang merupakan barometer daerah lain nya,agama di
jadikan senjata paling strategis kepada masyarakat DKI Jakarta di karenakan
adanya kesamaan agama maupun kurang nya pemahaman masyarakat akan
multikulturalisme , sehingga sangat gampang untuk mempropaganda kan nya
kepada masyarakat DKI Jakarta,menurut teori politik identitas individu akan
cenderung mempertahankan sesuatu yang melekat padanya sehingga
masyarakat dapat dengan mudah di giring opini nya untuk memilih salah satu
pasang calon dengan faktor agama tadi.
38
Untuk mengetahui bagaimana pengaruh faktor agama di dalam perilaku
pemilih di pilgub DKI Jakarta. Dari paparan di atas dapat digambarkan suatu
bagan guna mempermudah pemahaman kerangka pemikiran dalam penulisan
ini, yaitu sebagai berikut:
39
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Pilkada DKI Jakarta 2017
1. Terdapat sentimen antar Etnis maupun Agama di DKI
Jakarta
2. Semenjak tahun 2012 dan 2017 Politik Identitas
dipergunakan dalam pemilihan kepala daerah
3. Terjadinya Pembelahan Sosial di masyarakat DKI
Jakarta
4. Aksi Diskriminasi dan Intimidasi dalam Pilkada DKI
Jakarta
Terbentuknya Poltik Identitas
(Stuart Hall)
1. Primordialisme
2. Konstruktivisme
3. Instrumentalisme
Realitas Politik masyarakat Jakarta di
dalam Pilgub DKI Jakarta 2017
Partisipasi Politik
(Huntington dan Nelson)
1. Partisipasi Otonom
2. Partisipasi Mobilisasi
Partisipasi Politik
(Almond)
1. Partisipasi Konvensional
2. Partisipasi Non Konvensional
40
BAB III
PENDEKATAN PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan kualitatif (qualitative research). Bogdan dan Taylor
(Moleong,2011) mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini
diarahkan pada latar dari individu tersebut secara holistik (utuh). Jadi dalam hal
ini tidak boleh mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau
hipotesis, tapi perlu memandangnya sebagai bagian dari suatu keutuhan.
Menurut Nasution (2003) penelitian kualitatif adalah mengamati orang
dalam lingkungan, berinteraksi dengan mereka dan menafsirkan pendapat
mereka tentang dunia sekitar, kemudian Nana Syaodih Sukmadinata (2005)
menyatakan bahwa penelitian kualitatif (qualitative research) adalah suatu
penelitian yang ditujukan untuk mendiskripsikan danmenganalisis fenomena,
peristiwa, aktifitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi, pemikiran orang secara
individu maupun kelompok.
Penelitian kualitatif ini secara spesifik lebih diarahkan pada penggunaan
metode studi kasus. Sebagaimana pendapat Lincoln dan Guba (Sayekti
Pujosuwarno, 1992) yang menyebutkan bahwa pendekatan kualitatif dapat juga
disebut dengan case study ataupun qualitative, yaitu penelitian yang mendalam
dan mendetail tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan subjek
penelitian. Lebih lanjut Sayekti Pujosuwarno mengemukakan pendapat dari
41
Moh. Surya dan Djumhur yang menyatakan bahwa studi kasus dapat diartikan
sebagai suatu teknik mempelajari seseorang individu secara mendalam untuk
membantunya memperoleh penyesuaian diri yang baik.
Menururt Lincoln dan Guba ( dalam Mulyana, 2004) penggunaan studi kasus
sebagai suatu metode penelitian kualitatif memiliki beberapa keuntungan,
yaitu:
1. Studi kasus dapat menyajikan pandangan dari subjek yang diteliti.
2. Studi kasus menyajikan uraian yang menyeluruh yang mirip dengan apa
yang dialami pembaca kehidupan sehari-hari.
3. Studi kasus merupakan sarana efektif untuk menunjukkan hubungan
antara peneliti dan responden.
4. Studi kasus dapat memberikan uraian yang mendalam yang diperlukan
bagi penilaian atau transferabilitas.
Pada dasarnya penelitian dengan jenis studi kasus bertujuan untuk
mengetahui tentang sesuatu hal secara mendalam. Maka dalam penelitian ini,
peneliti akan menggunakan metode studi kasus untuk mengungkap tentang
konsep dan faktor yang melatarbelakangi menguatnya Politik Identitas didalam
Pilkada DKI Jakarta 2017,. Pemilihan metode ini didasari pada fakta bahwa
tema dalam penelitian ini termasuk unik.
B. Fokus Penelitian
Menurut (Moleong, 2011) menyatakan bahwa focus penelitian merupakan
masalah pokok yang bersumber dari pengalaman peneliti atau melalui
pengetahuan yang diperolehnya melalui kepustakaan ilmiah ataupun
42
kepustakaan lainnya. Dari pengertian diatas dapat diartikan bahwa penelitian
kualitatif tidak dimulai dari sesuatu yang kosong melainkan dimulai
berdasarkan persepsi individu terhadap suatu masalah. Dalam penelitian ini,
peneliti mempunyai fokus dalam penelitian yaitu Partisipasi Politik masyarakat
dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
C. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang benar dan akurat, sehingga mampu
menjawab permasalahan dalam penelitian, maka diperlukan teknik
pengumpulan data. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:
1.Dokumentasi
Pengumpulan data dengan teknik dokumentasi dilakukan dengan cara
mencari dan mengumpulkan dokumen-dokumen tertulis yang berkaitan dengan
masalah penelitian. Dokumen yang digunakan pada penelitian ini adalah:
1. Data kependudukan yang dirilis oleh Bada Pusat Statistik DKI Jakarta
2. Dokumen – dokumen KPUD DKI Jakarta
3. Dokumen – dokumen BAWASLU DKI Jakarta
2.Audio Visual
Teknik pengumpulan data dengan cara memperoleh atau mengumpulkan
data dari berbagai referensi. Dalam penelitian ini Audio Visual meliputi
kumpulan rekaman video yang berhubungan dengan Politik Identitas di dalam
Pilkada DKI Jakarta 2017 , dimana data yang diperoleh dari Audio Visual
berasal dari kumpulan video-video mengenai kampanye atau ceramah yang
berunsur kebencian kepada etnis atau agama tertentu , yang merupakan salah
43
satu faktor menguatnya Politik Identitas di DKI Jakarta pada tahun 2017 di
berbagai media sosial.
3. Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengambilan data menggunakan format
pertanyaan yang terencana dan diajukan secara lisan kepada responden dengan
tujuan-tujuan tertentu. Wawancara bisa dilakukan secara tatap muka di antara
peneliti dengan responden dan bisa juga melalui telepon,pada Wawancara ini
peneliti mewawancarai para perwakilan Tim sukses para pasangan calon dan
juga perwakilan alumni aksi damai 212 yang memiliki pengaruh menguatnya
politik identitas menjelang pilkada DKI Jakarta 2017,serta mewawancarai
KPUD DKI Jakarta dan Bawaslu DKI Jakarta sebagai penyelenggara dan
pengawa pilkada DKI Jakarta
4.Informan Penelitian
Informan penelitian adalah orang yang dimanfaatkan untuk memberikan
informasi tentang situasi dan kondisi latar belakang penelitian (Moleong 2011).
Informan merupakan orang yang benar-benar mengetahui permasalahan yang
akan diteliti. Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik sampling Snow
Ball yakni proses penentuan informan berdasarkan informan sebelumnya tanpa
menentukan jumlahnya secara pasti dengan menggali informasi terkait topik
penelitian yang diperlukan. Pencarian informan akan dihentikan setelah
informasi penelitian dianggap sudah memadai. Dalam penelitian ini menjadi
informan penelitian adalah orang- orang pilihan peneliti yang dianggap terbaik
44
dalam memberikan informasi yang dibutukan kepada peneliti. (Moleong, 2011)
terdapat beberapa informan kunci dan pendukung, sebagai berikut :
Tabel.4 Informan Penelitian
No. Nama Status Keterangan
Informan
1. Richad Fernando
Simanjuntak
Tim Sukses Pasangan Calon
Basuki – Djarot
Informan Kunci
2. Ichwan Ridwan Tim Sukses Pasangan Calon
Agus – Sylvi
Informan Kunci
3. Angga Pradipta Tim Sukses Pasangan Calon
Agus – Sylvi
Infroman
Pendukung
4. Suriyadi Alif Tim Sukses Pasangan Calon
Anies – Sandi
Informan Kunci
5. Rizqi Aprila Tim Sukses Pasangan Calon
Anies – Sandi
Infroman
Pendukung
6. Muhammad Rizaldi Alumni Aksi Damai 212 Informan Kunci
7. Januardi Aditya Alumni Aksi Damai 212 Infroman
Pendukung
8. Herman Wicaksono Alumni Aksi Damai 212 Infroman
Pendukung
9. Muhammad
Douglas
KPUD DKI Jakarta Informan Kunci
10. Binsar Siagian KPUD DKI Jakarta Informan
45
Pendukung
11. Muhammad Jufri Bawaslu DKI Jakarta Informan Kunci
D. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian menurut Arikunto (2006) merupakan alat bantu bagi
peneliti dalam mengumpulkan data. Sedangkan menurut Suharsimi Arikunto
dalam edisi sebelumnya adalah alat atau fasilitas yang digunakan oleh peneliti
dalam mengumpulkan data agar pekerjaannya lebih mudah dan hasilnya lebih
baik, dalam arti lebih cermat, lengkap dan sistematis, sehingga mudah diolah.
Instrumen yang digunakan oleh peneliti dalam hal ini adalah instrumen
pokok dan instrumen penunjang. Instrumen pokok adalah manusia itu sendiri
sedangkan instrumen penunjang adalah studi kepustakaan , dokumentasi dan
juga wawancara. Instrumen pokok dalam penelitian ini adalah peneliti sendiri.
Peneliti sebagai instrumen dapat memahami serta menilai berbagai bentuk dari
interaksi di lapangan. Menurut Moleong (2011) Kedudukan peneliti dalam
penelitian kualitatif adalah ia sekaligus merupakan perencana, pelaksana,
pengumpulan data, analisis, penafsir data, pada akhirnya ia menjadi pelapor
hasil penelitiannya.
E. Lokasi Penelitian dan Jadwal Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian adalah tempat dimana peneliti melakukan penelitian
dalam melihat fenomena atau pristiwa yang sebenarnya terjadi dari obejek
46
yang diteliti dalam rangka mendapatkan data-data penelitian yang akurat.
Lokasi penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah DKI Jakarta.
Pemilihan lokasi penelitian didasarkan atas pertimbangan dalam proses
penelitian. Karena DKI Jakarta merupakan Ibu kota Negara Indonesia yang
pastinya menjadi barometer ataupun pusat perhatian daerah lain nya sebagai
pedoman perilaku dalam konteks disini adalah partisipasi politik dalam
pemilihan kepala daerah.
2. Jadwal Penelitian
Dibuat jadwal kegiatan penelitian yang meliputi kegiatan persiapan,
pelaksanaan, dan penyusunan laporan penelitian Hal ini memberikan rincian
kegiatan dan jadwal pelaksanaan kegiatan tersebut. Jadwal pelaksanaan
mengacu pada Metode Penelitian.
47
Tabel.5 Jadwal Penelitian
Kegiatan Bulan
Agustus September Oktober November Januari Febuari Maret April Mei Juni Juli
Pengajuan
Judul
Pembuatan
Proposal
Seminar
Proposal
Perbaikan
Proposal
Pengumpulan
Data
Analisis Data
Penyusunan
Laporan
Sidang
Skripsi
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A.Hasil Penelitian
1. Sejarah Provinsi DKI Jakarta
Sejarah Jakarta dimulai sekitar 500 tahun yang lalu, berawal dari sebuah
bandar kecil di daerah sungai Ciliwung. Kota ini belum bernama Jakarta saat itu,
namun sudah dikenal selama berabad-abad sebagai pusat perdagangan lokal dan
internasional yang sangat ramai. Menurut laporan penulis Eropa, pada abad-16
ketika orang eropa (Portugis) datang ke nusantara ini menyebutkan, ada sebuah
kota bernama Kalapa, yang menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu
bernama Sunda, yang beribukota Padjajaran dan terletak sekitar 40 kilometer di
kota Bogor sekarang ini. (http://www.jakarta.go.id/web/news/1970/01/Sejarah-
Jakarta, Diakses pada 25 Juni 2018) Ketika pertama kali datang ke kota kalapa ini,
rombongan besar orang-orang eropa (Portugis) diserang oleh seorang pemuda
yang bernama Fatahillah. Pemuda ini berasal dari kerajaan yang berkuasa
didaerah Kalapa kemudian merubah sebutan Sunda dan Kalapa (Sunda Kelapa)
menjadi Jayakarta yang mempunyai arti, “Kemenangan yang tercapai” pada
tanggal 22 Juni 1527. Peristiwa tersebut yang pada akhirnya menjadi sejarah
kelahiran kota jakarta setiap tahunnya.
Sehingga nama Jayakarta diubah menjadi Batavia. Pemberian nama
Batavia oleh orang belanda didasari dengan adanya kemiripan di negeri Belanda
yang pada masa itu masih terdapat banyak rawa-rawa. Orang belanda mulai
membangun kanal - kanal, bendungan dan pengairan untuk melindungi Batavia
49
dari bencana banjir. Mereka juga membangun balai kota sebagai pusat kota
mereka saat itu.
Ketika Jepang masuk ke Indonesia dan menduduki nusantara pada tahun
1942 – 1945, nama Batavia diubah oleh orang Jepang menjadi Jakarta. Kota ini
akhirnya menjadi tempat pertama dibacakan proklamasi kemerdekaan RI dengan
pengibaran bendera merah putih oleh Ir. Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1945
setelah Jepang menyerah tanpa syarat, karena kota Hiroshima dan Nagasaki di
bom oleh sekutu dan Indonesia mendapatkan kedaulatan secara resmi pada tahun
1949 sekaligus menjadi anggota Perserikatan Bangsa – Bangsa (PBB) pada tahun
1966 dengan memasukkan Jakarta sebagai ibukota resmi.
2. Kondisi Geografis dan Demografis DKI Jakarta
Letak DKI Jakarta adalah di bagian barat laut dari Pulau Jawa. Sebagai
Ibukota Negara Indonesia, Jakarta merupakan Kota Metropolitan terbesar di
Indonesia dan menjadi kota metropolitan ke-6 di dunia. DKI Jakarta secara
geografis terletak di dataran rendah dengan ketinggian rata-rata 8 meter diatas
permukaan laut (dpl). Dimana, dengan ketinggian ini Jakarta sering dilanda banjir.
Provinsi DKI Jakarta terbagi menjadi 5 wilayah Kota administrasi dan satu
Kabupaten administratif, 44 kecamatan, 267 kelurahan. Kota administrasi Jakarta
Pusat dengan luas 47,90 km2, Jakarta Utara dengan luas 142,20 km2, Jakarta
Barat dengan luas 126,15 km2, Jakarta Selatan dengan luas 145,73 km2, dan Kota
administrasi Jakarta Timur dengan luas 187,73 km2, serta Kabupaten
Administratif Kepulauan Seribu dengan luas 11,81 km2
50
(https://jakarta.go.id/artikel/konten/55/geografis-jakarta diakses pada 25 Juni
2018).
Jakarta berbatasan dengan beberapa wilayah-wilayah disekitarnya, adapun
batas-batas wilayah meliputi, sebelah utara membentang pantai sepanjang 35 km,
yang menjadi tempat bermuaranya 13 buah sungai dan 2 buah kanal. di sebelah
selatan dan timur berbatasan dengan Kota Depok, Kabupaten Bogor, Kota Bekasi
dan Kabupaten Bekasi, sebelah barat dengan Kota Tangerang dan Kabupaten
Tangerang, serta di sebelah utara DKI Jakarta berbatasan dengan Laut Jawa
(https://jakarta.go.id/artikel/konten/55/geografis-jakarta diakses pada 25 Juni
2018).
Demografi atau komposisi penduduk warga DKI Jakarta yang terdiri dari
multi etnik bisa dianggap mewakili suku-suku bangsa Indonesia. Dengan
demikian, dapat dikatakan DKI Jakarta sebagai miniatur Indonesia. Dalam
Peraturan Daerah (Perda) Rencana Tata Ruang Wilayah(RT/RW) 2030,
ditetapkan penduduk DKI Jakarta hanya mencapai 12,5 juta orang. Sensus
penduduk 2014 menunjukkan angka pertumbuhan penduduk DKI Jakarta
meningkat dari 0,78 persen pada tahun 2009 menjadi 1,4 persen pada tahun 2010.
Sehingga jumlah total penduduk Jakarta tahun 2014 mencapai 10.199.700 jiwa.
Dan ditambah warga luar yang beraktivitas di Jakarta pada siang hari sebanyak
2,5 juta.(Dokumen Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI
Jakarta)
Komposisi etnis penduduk Jakarta tahun 2010, tercatat setidaknya terdapat
tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta, terdiri dari orang Jawa sebanyak 36,17
51
%, Betawi (28,29 %), Sunda (14,61 %), Cina (6,62 %), Batak (3,42 %),
Minangkabau (2,85 %) dan Melayu (1,88 %). Dari data tersebut, tampak terjadi
peningkatan prosentase pada suku Jawa, Betawi, Cina dan Melayu. Namun terjadi
penurunan prosentase pada suku Sunda, Batak dan Minangkabau (Dokumen
Badan Pusat Statistik DKI Jakarta).
Dari sisi kepercayaan, Agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta
beragam. Menurut data pemerintah DKI pada tahun 2005, komposisi penganut
agama di kota ini adalah Islam (84,4%), Kristen Protestan (6,2 %), Katolik (5,7
%), Hindu (1,2 %), dan Buddha (3,5 %).5 Jumlah umat Buddha terlihat lebih
banyak karena umat Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Angka ini tidak
jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1980, dimana umat Islam berjumlah
84,4%; diikuti oleh Protestan (6,3%), Katolik (2,9%), Hindu dan Buddha (5,7%),
serta Tidak beragama (0,3%) (Dokumen Dinas Kependudukan dan Pencatatan
Sipil Provinsi DKI Jakarta),.
Dan menurut data pemerintah DKI pada tahun 2014, komposisi penganut
agama di kota ini adalah Islam (82,93 %), Kristen Protestan (8,74 %), Katolik
(4,13 %), Hindu (0,20 %), dan Buddha (3,99 %) dan Konghucu (0,01 %). Angka
ini tidak jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 2005, dimana umat Islam
berjumlah 84,4%; diikuti oleh Protestan (6,2 %), Katolik (5,7 %), Hindu (1,2 %)
dan Buddha (3,5 %), Jumlah umat Buddha terlihat lebih sedikit meski ummat
Konghucu juga ikut tercakup di dalamnya. Sejak tahun 1980 (Dokumen Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Provinsi DKI Jakarta), sensus penduduk tidak
mencatat agama yang dianut selain keenam agama yang diakui pemerintah.
52
3. Aspek Budaya Di DKI Jakarta
Abdul Chaer (2012) Menjelaskan di dalam bukunya “Folklor Betawi:
Kebudayaan dan Kehidupan Orang Betawi” Keragaman penduduk Ibu Kota
membuat Pemprov DKI Jakarta memberikan ruang bagi seluruh masyarakatnya
untuk mengembangkan kesenian tradisional. Kesenian tradisional menjadi daya
tarik Jakarta untuk mengundang para wisatawan. Dalam kehidupan sehari-harinya
penduduk asli DKI Jakarta (orang betawi) berada dalam anekaragam lingkungan
sosial dengan berbagai latar belakang budaya yang beranekaragam dari berbagai
penjuru nusantara.
Jakarta merupakan provinsi yang terbuka untuk seluruh masyarakat
Indonesia. Maka dari itu pemerintah DKI Jakarta merawat dan memberikan
kesempatan seluas-luasnya kepada penggiat seni tradisional untuk beraktivitas.
Jakarta memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengembangkan kesenian
tradisional daerah masing-masing. Hal itu dibuktikan dengan banyaknya sanggar
seni yang membina generasi muda untuk mengembangkan budaya tradisional. Di
antaranya di bidang seni tari, vokal, dan seni pertunjukan. Dari sanggar itu,
penggiat seni ini mengembangkan bakat anak muda mengenali kesenian
tradisional. Peserta yang mempelajari kesenian tradisional ini tidak hanya dari
orang satu daerah tapi dari daerah lain.
Sebagai suatu daerah yang berawal dari sebuah bandar maka wajar bila
masyarakat Jakarta berasal dari kumpulan berbagai etnis dan bahkan berbagai
bangsa, dengan latar belakang yang berbeda-beda pula, namun pergaulan dan
53
pembauran antar mereka akhirnya berhasil membentuk masyarakat baru, yang
berkebudayaan baru pula. Masyarakat ini dikenal sebagai Masyarakat Betawi
yang yang anggotanya adalah Orang Betawi. Karena itulah dalam Budaya
Betawi tersirat juga unsur budaya lain. Dari segi bahasa, sekilas seperti bahasa
Indonesia dengan dialek khusus. Mungkin bahasa Melayu pernah berperan
sebagai lingua franca yang kata- katanya kemudian diperkaya dengan unsur-unsur
kata kata bahasa dari berbagai etnis yang ada waktu itu.
Dalam kehidupan sehari-hari penduduk asli DKI Jakarta (orang betawi)
berada dalam lingkungan sosial dengan latar belakang budaya yang
beranekaragam dari berbagai penjuru nusantara. Dalam kaitannya dengan sistem
kekerabatan, misalnya dalam penarikan garis keturunan, mereka mengikuti prinsip
bilineal yaitu menarik garis keturunan dari pihak ayah dan pihak ibu. Orang
betawi mengenal bermacam-macam upacara adat, mulai sejak bayi dalam
kandungan sampai kepada kematian dan sesudah kematian itu sendiri seperti
selamatan nuju bulanin atau kekeba, upacara kerik tangan dalam rangka
kelahiran, khitanan (pengantin sunat), khatam Qur‟ an (pengantin tamat),
adat berpacaran bagi kaum remaja (ngelancong), upacara perkawinan dan lain
sebagainya.
Sesuai dengan latar belakang suku betawi ini, maka DKI Jakarta menjadi
tempat bercampurnya berbagai budaya, akan tetapi kemudian muncul budaya
yang bisa disebut sebagai sesuatu yang khas seperti tarian betawi yang memiliki
ciri khas kebudayaan Melayu.
54
4. Dinamika Kekuasaan Politik Di DKI Jakarta
DKI Jakarta sebagai Ibu Kota Negara pastilah menjadi tolak ukur
keberhasilan di berbagai bidang baik bidang ekonomi, pendidikan, tata pelayanan
publik, maupn sampai kegiatan sosial politik, dalam hal ini tentu pula dapat
disadari bahwasannya pemimipin yang menjabat di Ibu Kota pasti selalu menjadi
perhatian tersendiri apalagi dinamika yang terjadi dalam perebutan kursi nomor
satu di Provinsi DKI Jakarta baik kursi DPRD maupun kursi Gubernur DKI
Jakarta.
Untuk kursi di Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta dari tahun 1926 –
1950 anggota DPRD dominan diisi oleh kalangan militer sampai pada akhirnya
pada maret 1950 mulailah peran partai politik dipergunakan di dalam keanggotaan
dewan DPRD DKI Jakarta (http://dprd-dkijakartaprov.go.id/sejarah, diakses pada
1 Juli 2018), pemilihan umum legislatif di Indonesia digelar pertama kali pasca
reformasi pada tahun 1999 untuk memilih anggota dewan daerah maupun pusat
secara langsung,berikut adalah tabel ketua DPRD DKI Jakarta setelah dilakukan
nya pemilihan umum secara langsung.
Tabel 6. Nama Ketua DPRD DKI Jakarta Semenjak Pemilihan
Legislatif Secara langsung tahun 2004
Nama Mulai menjabat Jabatan berakhir
Partai
Ade Surapriatna 4 Oktober 2004 25 Agustus 2009
Partai Golongan Karya
Ferrial Sofyan 11 September 2009
25 Agustus 2014
Partai Demokrat
55
Prasetyo Edi Marsudi
26 September 2014
Petahana Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
Sumber: dprd-dkijakartaprov.go.id
Pada pemilu legislatif pertama ini pada tahun 2004 Golkar sukses
mendominasi keanggotaan DPRD DKI Jakarta dan menunjuk Ade Surapriatna
sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta tahun 2004-2009,pada pemilihan selanjutnya
periode 2009-2014 Demokrat berhasil merebut suara terbanyak dengan
memasukan kadernya sebanyak 32 orang menjadi anggota dewan daerah dan
menunjuk Ferrial Sofyan sebagai Ketua DPRD DKI Jakarta periode 2009-
2014,dan pemilu legilatif terakhir di DKI Jakarta dimenangkan oleh Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan memperoleh 28 suara dan
menunjuk Prasetyo Edi Marsudi sebagai ketua DPRD DKI Jakarta periode 2014-
2019(https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah_Provinsi_
Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta, diakses pada 1 Juli 2018).
Sedangkan untuk Gubernur DKI Jakarta sendiri dari Tahun 1945 sampai
dengan Tahun 2017 DKI Jakarta Sudah memiliki 17 Gubernur dengan latar yang
beraneka ragam baik dari kalangan militer, tokoh agama, sampai tentu saja dari
kalangan partai politik pengusung shingga proses perebutan kekuasaan yang
terjadi dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta berlangsung dengan sengit berikut
daftar nya .
56
Tabel 7. Daftar Nama dan Pengusung Gubernur DKI Jakarta Dari
Tahun 1945 Sampai Dengan Tahun 2017
No Gubernur Mulai jabatan Akhir jabatan Pengusung
1 Soewirjo 23 September 1945 November 1947 PNI
2 Daan Jahja (Gubernur Militer Jakarta)
1948 1950 Militer
(1) Soewirjo 17 Februari 1950 2 Mei 1951 PNI
3 Sjamsuridjal 2 Mei 1951 9 November
1953 Masyumi
4 Sudiro 9 November 1953 29 Januari 1960
Non Partai maupun non militer,
diangkat oleh pemerintah
5 Soemarno Sosroatmodjo
29 Januari 1960 26 Agustus 1964 Militer
6 Henk Ngantung 26 Agustus 1964 15 Juli 1965
Non Partai maupun non militer,
diangkat oleh pemerintah
(5) Soemarno Sosroatmodjo
15 Juli 1965 28 April 1966 Militer
7 Ali Sadikin
28 April 1966 28 April 1971 Militer
28 April 1971 Juli 1977 Militer
57
Sumber : Wikipedia.com dan damniloveindonesia.com
8 Tjokropranolo 1977 1982 Militer
9 Soeprapto 1982 1987 Militer
10 Wiyogo Atmodarminto
1987 1992 Militer
11 Soerjadi Soedirdja
1992 1997 Militer
12 Sutiyoso
6 Oktober 1997 6 Oktober 2002 Militer
6 Oktober 2002 7 Oktober 2007 Militer
13 Fauzi Bowo 7 Oktober 2007 7 Oktober 2012 Demokrat
14 Joko Widodo 15 Oktober 2012 16 Oktober 2014 PDIP
—
Basuki Tjahaja Purnama
16 Oktober 2014 19 November
2014
Menggantikan posisi Jokowi
(PDIP) 15 19 November 2014 9 Mei 2017
—
Djarot Saiful Hidayat
9 Mei 2017 15 Juni 2017 Menggantikan posisi Basuki
(PDIP)
16 15 Juni 2017 15 Oktober 2017
17 Anies Rasyid Baswedan
16 Oktober 2017 Petahana
Calon yang diusung oleh PKS
58
Gubernur pertama kali yang juga sebagai kerabat dekat Presiden Ir
Soekarno adalah Raden Suwiryo (1945-1947 dan 1950-1951) yang merupakan
kader Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan juga pernah menjabat sebagai ketua
umum PNI namun kepemimpinan pada saat awal menjabat tidak berlangsung
lama karena Suwiryo diasingkan oleh NICA mulai dari tahun 1948 sampai 1950
dengan begitu posisi Gubernur atau Walikota Jakarta pada saat itu disi oleh Daan
Jahja yang berlatar belakang militer, setelah Daan Jahja (1948-1950) Gubernur
DKI Jakarta lebih banyak di dominasi oleh kalangan militer diantar nya Soemarno
Sosroatmodjo (1960-1964 dan 1965-1966), Ali Sadikin (1966-1971 dan 1971-
1977), Tjokropranolo (1977-1982), Soeprapto (1982-1987), Wiyogo
Admindarminto (1987-1992), Soerdaji Soerdidja (1992-1997), dan terakhir
Sutiyoso (1997-2002 dan 2002-2007).
Dari kalangan non militer dan partai politik, DKI Jakarta pernah juga di
pimpin oleh seorang guru yaitu Sudiro (1953-1960) dan seorang seniman Henk
Ngantung (1964-1965) unik nya Henk Ngantung atau yang bernama asli Hendrik
Hermanus Joel Ngantung adalah Gubernur non muslim pertama di DKI Jakarta
memang pada tahun tersebut isu politisasi Identitas tidak lah kuat dan tidak terlalu
laris di masyarakat yang sedang berjuang bertumbuh dari pasca penjajahan dan
sedang membangun jati diri bangsa sehingga kemejemukan di DKI Jakarta dapat
berjalan dengan baik tanpa adanya singgungan atau sentimen terhadap etnis
maupun agama.
Sedangkan Dari kalangan Partai Politik tercatat ada 5 partai pemenang
beserta koalisi nya yang berhasil mennduduki kursi Gubernur DKI Jakarta yaitu,
59
Raden Suwiryo dari Partai Nasionalis Indonesia (PNI), Sjamsuridjal (1951-1953)
dari Majelis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI), Fauzi Bowo (2007-2012)
dari Partai Demokrat, Jokowidodo (2012-2017) dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDI-P), dan Anies Baswedan (2017-2022) dari Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) (http://www.damniloveindonesia.com/explore/2-culture-
heritage/detail/1204/gubernur-jakarta-dari-masa-ke-masa, diakses pada 25 juni
2018),
Baik pemilihan Guberbur maupun pemilihan legislatif daerah tidak ada
satupun partai politik yang dapat mendominasi DKI Jakarta, ini menandakan DKI
Jakarta selaku Ibu Kota Negara begitu dinamis dan selalu berubah-ubah, yang
menyebabkan perebutan kursi kekuasaan di DKI Jakarta sangatlah sulit dan rawan
potensi konflik sehingga politisasi SARA pun menjadi salah satu alat guna
memenangkan kursi terebut.
5. Kondisi Sosial Politik DKI Jakarta Menjelang Pilgub 2017
Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah
Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia, mempunyai karakteristik tersendiri
dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kompleksitas Jakarta selalu berkaitan erat
dengan keberadaan sebagai pusat pemerintahan, faktor luas wilayah yang terbatas
dan kepadatan penduduk yang tinggi.
Krisis multi dimensi yang begitu rumit sekarang ini, membawa
konsekuensi pada kondisi masyarakat Jakarta yang rentan terhadap munculnya
gejolak sosial yang disertai dengan kekerasan, sehingga masyarakat cenderung
60
mencari jalan pintas dalam menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapi,
kondisi sosial tersebut seringkali terjadi tindak pelanggaran diluar koridor hukum
yang ada, baik yang dilakukan oleh perorangan maupun kelompok masyarakat.
Oleh karena itu, upaya menanggulangi masalah tersebut diperlukan penanganan
melalui kelembagaan secara tepat dan terencana dengan baik.
Provinsi DKI Jakarta sebagai daerah otonom tidak hanya dihadapkan pada
permasalahan sosial di Jakarta, tetapi lebih banyak muncul permasalahan yang
berskala nasional yang dilakukan oleh para elit politik, individu, golongan, atau
kelompok yang tentunya mempengaruhi dinamika kehidupan masyarakat Jakarta,
sehingga diperlukan fasilitasi untuk mencapai keharmonisan dalam mewujudkan
persatuan dan kesatuan masyarakat Jakarta.
Suhu politik di Jakarta semakin meningkat. Karena Febuari tahun lalu,
Jakarta melaksanakan Pilkada langsung untuk yang ketiga kalinya. Jika
menggunakan pendekatan teori survei yang hanya mengambil sampel dari
sejumlah populasi tertentu, maka sikap dan pilihan warga DKI dalam pemilihan
gubernur DKI Jakarta juga dapat menjadi sampel secara nasional atas
kecenderungan sikap pemilih pada pemilihan Presiden tahun 2019. Ada beberapa
daerah di Pulau Jawa yang merepresentasikan pemilih di Indonesia. Namun, DKI
Jakarta merupakan daerah yang paling merepresentasikan pemilih di Indonesia.
Jakarta sangat mendekati profil Indonesia. Dilihat dari berbagai segi dan jumlah
suku yang ada di Indonesia, Jakarta memang terdiri dari banyak suku sehingga
Jakarta bisa merepresentasikan pemilih Pemilu di Indonesia.
61
Sehingga isu Identitas menjadi salah satu senjata yang paling ampuh di
pergunakan pasangan calon maupun tim sukses pasangan calon guna menarik
simpati masyarakat DKI Jakarta yang begitu beragam, berkembang nya isu
identitas di DKI Jakarta pertama kali digunakan pada pemilihan Gubernur DKI
Jakarta pada periode 2012-2017 yang mempertemukan dua kandidat terkuat yakni
Jokowi-Basuki dan Fauzi Bowo-Ramli. Politik Identitas di Pilkada di DKI Jakarta
tahun 2012 memilika beberapa gambaran isu seperti isu sentimen agama dalam
pemilihan kepala daerah Daerah sampai isu sentimen etnis, dalam menjaring
pemilih telah diukur dalam berbagai lembaga survei.
Salah satunya exit poll yang dilakukan oleh Saiful Mujani Research and
Cosulting (SMRC) berdasarkan suku, ras, survei yang digelar Saiful Mujani
Research and Consulting pada 20 September 2012 menemukan hanya etnis
Betawi yang mayoritas memilih pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli (75,1
persen), namun etnis-etnis lain sebagian besar memilih pasangan Joko Widodo-
Basuki Tjahaja Purnama dan Etnis Jawa, 63,3 persen memilih Jokowi- Ahok.
Kemudian 50,5 persen etnis Sunda juga memilih pasangan yang diusung Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya ini. Paling
tinggi, 92,5 persen etnis China dan 93,1 persen etnis Batak memilih Jokowi-Ahok
kemudian 74,1 persen etnis Minang juga pilih Jokowi-Ahok, sementara mayoritas
etnis-etnis lain (76,3 persen) juga memilih pasangan Joko Wi-Ahok., dan juga
masyarakat jakarta yang masih sentimen dengan budaya China (tiongkok) yang
belum pernah redam (https://www.viva.co.id/berita/metro/353712-exit-poll-
pemilih-foke-dan-jokowi-berdasar-etnis diakses pada tanggal 9 Juli 2018).
62
Namun pada pilgub DKI Jakarta 2012 tahun lalu tersebut hasilnya
dimenangkan oleh pasangan Jokowi-Basuki, walaupun dalam proses
kampanyenya Jokowi-Basuki selalu mendapatkan isu identitas, baik sentimen
etnis maupun sentimen agama pasangan tersebut berhasil menepis dan
memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2012. Tidak sampai disitu saja isu sentimen
antar golongan justru tetap menguat pasca menangnya pasangan Jokowi-Basuki,
terjadi beberapa gelombang aksi protes terhadap Basuki yang beragama non-
muslim diantara nya.
Tabel 8. Aksi penolakan Ahok Menjelang Pilgub DKI Jakarta 2017
NO Tanggal Penggerak Aksi Tuntutan Aksi
1 9 Oktober 2012 FPI dan GMJ Menuntut pencabutan status Wakil Gubernur DKI Jakarta (Ahok) jika tidak masa aksi menuntut agar wakil Gubernur DKI Jakarta mau pindah agama menjadi Islam.
2 3 Oktober 2014 FPI Menolak pelantikan Gubernur DKI Jakarta yakni Basuki Tjahja Purnama yang menggantikan Joko Widodo karena tidak beragama Islam dan beretnis Tionghoa.
3 10 November 2014
FPI dan GMJ Menolak pelantikan Gubernur baru jakarta (ahok) karena alasan berbeda agama dan melantik gubernur baru tandingan untuk melawan ahok.
Sumber: kompas.com, cnnindonesia.com, tempo.com
Ada dua organisasi masyarakat yang begitu masive melaksanakan aksi
penolakan terhadap Basuki Tjahja Purnama yakni FPI dan GMJ, Front Pembela
Islam (FPI) sendiri dideklarasikan pada 17 Agustus 1998 (atau 24 Rabiuts Tsani
1419 H) di halaman Pondok Pesantren Al Um, Kampung Utan, Ciputat, di Selatan
Jakarta oleh sejumlah Habaib, Ulama, Mubaligh dan Aktivis Muslim dan
63
disaksikan ratusan santri yang berasal dari daerah Jabotabek. Pendirian organisasi
ini hanya empat bulan setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya, karena
pada saat pemerintahan orde baru presiden tidak mentoleransi tindakan ekstrimis
dalam bentuk apapun. FPI pun berdiri dengan tujuan untuk menegakkan hukum
Islam di negara sekuler.
Dan selanjutnya Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ) adalah sebuah
organisasi masa yang memiliki tujuan untuk menegakan hukum Islam di DKI
Jakarta gerakan ini pertama kali muncul kepermukaan pada saat tahun 2012
dimana pada saat itu GMJ menolak calon wakil gubernur yang tidak beragama
islam.
Aksi penolakan Ahok oleh ormas GMJ dan FPI selain didasari oleh
perbedaan identitas yang ada pada diri Ahok, didasari pula oleh serangkaian
kebijakan yang Ahok buat yang kemudian dituding menyalahi aturan agama
diantara nya kebijakan Ahok berupa memperbolehkan minuman beralkohol untuk
dijual bebas di supermarket sampai melegalisasi lokalisasi tempat prostitusi,
perbedaan identitas dan kebijakan yang Ahok buat menuai kontroversi sehingga
GMJ dan FPI sepakat untuk melantik anggota FPI yakni Fahrurrozi Ishaq dengan
maksud memberikan alternatif pemimpin muslim kepada umat muslim di DKI
Jakarta. Aksi penolakan GMJ maupun FPI tidak hanya berlangsung dari tahun
2012-2014 justru semakin menguat ketika menjelang waktu Pilkada DKI Jakarta
2017.
Sentimen Agama maupun Etnis merupakan perilaku manusia khusus nya
umat beragama dan sangat menjunjung Etnis pribadi (yang diwujudkan dalam
64
kata,tindakan dan kebijakan) yang merendahkan membatasi dan meremehkan,
agar orang yang berbeda etnis maupun agama tidak mendapatkan hak-haknya
serta mampu mengaktualisasi dirinya secara utuh. Hal-hal seperti berikut pastilah
akan membuahkan perpecahan diantara warga DKI Jakarta yang begitu majemuk
dan multikultur dan efek dari Pilkada 2012 ini menjadi tambah panas di Pilkada
DKI Jakarta tahun 2017. Konflik-konflik serta isu SARA pada Pilkada 2012 telah
menjadi penyebab menguatnya isu identitas di pilkada DKI Jakarta pada putaran
selanjutnya yang mana basuki kembali mencalonkan diri menjadi gubernur DKI
Jakarta,
Momentum pemilihan kepala daerah ini tidak hanya penting bagi proses
demokrasi, tetapi juga proses pemerintahan yaitu bagaimana masing- masing
komponen pemerintahan bersinergi mencapai tujuan bersama. Salah satu tugas
pemerintah dalam proses politik adalah menciptakan ruang yang kondusif dan
fasilitatif bagi warganya agar dapat menyalurkan aspirasi dan kepentingannya
secara aman, damai dan toleran. Di sisi lain masyarakat bertindak proaktif dengan
melakukan pengawasan dan memberikan masukan terhadap proses tersebut agar
tidak terjadinya gesekan di masyarakat.
6. Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017
Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta kali ini mempunyai kedudukan
strategis secara nasional, baik dari sisi sosial, budaya dan politik. Jakarta adalah
pusat pemerintahan, memiliki bentuk otonomi yang khusus, jumlah penduduk
yang besar, stratifikasi sosial dan prularitas yang tinggi, tingkat pertumbuhan
ekonomi juga sangat tinggi dan berbagai masalah kompleks lainnya. Kedudukan
65
strategis ini bukan semata karena Pilkada 2017, karena setiap event politik besar
yang terjadi di Jakarta selalu bersifat strategis secara nasional dan internasional.
Pilkada DKI merupakan barometer demokrasi nasional dan diamati
banyak pihak, tidak saja masyarakat Indonesia, tetapi juga dunia internasional.
Karena itu, diharapkan pesta rakyat ini dapat berjalan dengan lancar, aman, tertib,
jujur, adil, dan demokratis. Tentu jumlah kelas menengah yang besar di DKI akan
memberikan dampak positif bagi terselenggaranya pilkada yang lancar. Pemilih
Jakarta merupakan pemilih dengan tingkat sadar media yang lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Karena itu dari berbagai hasil survei,
kecenderungan pilihan warga Jakarta lebih digerakkan faktor figur: integritas,
moralitas, komitmen, konsistensi, rekam jejak, keberpihakannya kepada rakyat,
dan kemampuan komunikasi politik. Warga di harapkan dapat menggunakan hak
pilihnya dengan baik agar Pilkada DKI dapat menjadi contoh bagi daerah-daerah
lain. Para elite yang bertarung maupun tim sukses di belakangnya juga harus
mempunyai kesadaran politik yang tinggi agar kompetisi ini dapat berlangsung
elegan dan demokratis tanpa adanya penyimpangan- penyimpangan. Karena, masa
depan demokrasi Indonesia ditentukan di Jakarta. Pasalnya Jakarta adalah pusat
dinamika politik, pusat aktivitas ekonomi, dan pusat gerakan sosial dan budaya.
Pilkada DKI Jakarta secara sosiologis politik dapat juga berpotensi
menjadi barometer pemilihan Presiden tahun 2019 hal ini terbukti dengan
berhasilnya Joko Widodo memenangkan kursi Presiden Indonesia pada tahun
2014 yang lalu. Pertimbangannya, sebagai ibu kota negara, DKI Jakarta adalah
barometer politik nasional karena posisinya sebagai pusat pemerintahan dan pusat
66
bisnis. Secara umum pemilihan kepala daerah ( Pilkada ) secara langsung
merupakan babak baru dalam tatanan politik dan sekaligus tatanan ketatanegaraan
di Indonesia. Mekanisme politik demokratis ini merupakan terobosan besar
setelah sekian lama, sejak zaman kemerdekaan pemilihan kepala daerah dilakukan
dengan sistem perwakilan yang dinilai manipulatif terhadap prinsip-prinsip
demokrasi.
Melalui Pilkada langsung ini diharapkan prosesnya semakin partisipatif
yang sekaligus diharapkan dapat menjadi acuan resolusi konflik. Secara yuridis,
Pilkada langsung diatur dalam pasal 24 ayat (5) UU No. 32 Tahun 2004.13
Pilkada langsung ini merupakan kelanjutan proses reformasi politik dan
kelembagaan pemerintahan yang bergulir kencang sejak lengsernya Soeharto.
Sejak itu terjadi berbagai reformasi di berbagai bidang, misalnya lahirnya UU
No22/1999 kemudian diubah menjadi UU No32/2004, yang disusul oleh PP
No6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (selanjutnya PP No6/2005) dan
beberapa pasal diubah melalui Peraturan Pemerintah No17/2005 (selanjutnya PP
No17/2005) dan juga peraturan khusus DKI Jakarta yang tertuang dalamUndang-
Undang Nomor 29 Tahun 2007 yang didalamnya berisi tentang mekanisme
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernu DKI Jakarta, salah satu pasal yang
menarik dari peraturan khusus tersebut yakni Pasal 11 yang mengatur bahwa
hanya pasangan dengan suara lebih dari 50% yang bisa langsung ditetapkan
sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih. Kalau tidak ada yang mencapai
50%, pasangan dengan suara terbanyak pertama dan kedua harus bertarung lagi di
67
putaran kedua, aturan inilah yang dituduh sebagai biang lama dan mahalnya
Pilkada Ibu Kota DKI Jakarta..
Dan jika terjadi konflik Pilkada, maka Mahkamah Agung diberikan hak
untuk memberikan putusan. Sebagaimana dalam Pasal 106 UU Pemerintah
Daerah disebutkan Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk menerima,
memeriksa, dan memutus sengketa hasil penetapan perhitungan suara Pilkada &
Pilwakada dan KPUD.
Pada Tanggal 21 September 2016 KPUD DKI Jakarta resmi membuka
pendaftaran bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-
2022, warga DKI Jakarta akan memilih gubernur dan wakil gubernur yang
memimpin Ibu Kota selama lima tahun ke depan. Berdasarkan daftar pemilih tetap
terakhir, tercatat 7.108.589 orang berhak memberikan suara. Pemberian suara
akan dilakukan di tempat pemungutan suara yang tersebar di 267 kelurahan, mulai
dari pukul 07.00 hingga 13.00. Ada tiga pasang calon gubernur-wakil gubernur
DKI Jakarta yang akan dipilih. Mereka adalah :
1. Pasangan nomor urut satu Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana
Murni adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta
yang diusung oleh Partai Demokrat; Partai Kebangkitan Bangsa (PKB);
Partai Persatuan Pembangunan (PPP); dan Partai Amanat Nasional (PAN).
Agus sebelumnya merupakan anggota TNI AD berpangkat mayor,
sebelum memutuskan menjadi calon gubernur DKI Jakarta. Lahir pada 10
Agustus 1978, ia adalah putra pertama dari Susilo Bambang Yudhoyono
(SBY), Presiden ke–6 Republik Indonesia.
68
Sementara Sylviana adalah seorang birokrat yang lama berkarier di
lingkungan pemerintahan DKI Jakarta. Lahir di Jakarta pada 11 Oktober
1958, Sylviana merupakan None Jakarta 1981. Ia juga pernah pernah
menjadi Wali Kota Jakarta Pusat periode 2008–2010.
2. Pasangan nomor urut dua Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful
Hidayat adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta
petahana. Pasangan ini diusung oleh koalisi empat partai, yaitu: Partai
Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP); Partai Golongan Karya
(Golkar); Partai Nasional Demokrat (Nasdem); dan Partai Hati Nurani
Rakyat (Hanura).
Basuki merupakan calon gubernur petahana. Pada 14 November 2014, ia
diumumkan secara resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan
Joko Widodo yang terpilih menjadi presiden. Ia sebelumnya maju sebagai
calon wakil gubernur DKI Jakarta mendampingi Jokowi dalam Pilkada
2012. Lahir pada 29 Juni 1966 di Belitung Timur, Basuki merupakan
sulung dari empat bersaudara. Ia merupakan sarjana teknik geologi dari
Fakultas Teknik Universitas Trisakti, dan memperoleh gelar master
manajemen di Sekolah Tinggi Manajemen Prasetiya Mulya.
Sementara Djarot Saiful Hidayat adalah politisi Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) yang menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI
Jakarta sejak 17 Desember 2014. Lahir di Magelang pada 06 Juli 1962, ia
sebelumnya adalah anggota DPR RI periode 2014–2019 dan Wali Kota
Blitar periode 2000 hingga 2010.
69
3. Dan yang terakhir pasangan nomor urut tiga Anies Baswedan dan
Sandiaga Uno adalah pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI
Jakarta yang diusung oleh koalisi dua partai, yaitu: Partai Gerakan
Indonesia Raya (Gerindra); dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Anies adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ke–
26 di Kabinet Kerja yang menjabat sejak 26 Oktober 2014 sampai 27 Juli
2016. Lahir di Kuningan, Jawa Barat, pada 7 Mei 1969, Anies merupakan
cucu dari pejuang kemerdekaan Abdurrahman Baswedan. Ia menginisiasi
gerakan Indonesia Mengajar dan menjadi rektor termuda yang pernah
dilantik oleh sebuah perguruan tinggi di Indonesia pada 2007. Saat
menjadi Rektor Universitas Paramadina usianya baru 38 tahun.
Sementara Sandiaga adalah seorang pengusaha muda lulusan Wichita State
University, Amerika Serikat, dengan predikat summa cum laude. Lahir di
Rumbai, Pekanbaru, 28 Juni 1969, Sandiaga merupakan Ketua Umum
Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) periode 2005-2008.
(Sumber Dokumen KPUD DKI Jakarta).
Dalam pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta tahun 2017 isu identitas
menjadi sangat hangat di perbincangkan hal ini bermula dari pidato Basuki
(Ahok) dalam kunjungan kerja nya di pulau pramuka, kepulauan seribu pada
tanggal 27 september 2016 pidato Ahok yang berbunyi :
“Kan bisa saja dalam hati kecil Bapak Ibu, nggak pilih saya karena dibohongi (orang)
pakai Surat Al Maidah 51 macam-macam itu. Itu hak Bapak Ibu. Kalau Bapak Ibu
merasa nggak bisa pilih karena takut masuk neraka, dibodohin, begitu, oh nggak apa-
apa, karena ini panggilan pribadi Bapak Ibu," (bbc.com/indonesia)
70
Pidato tersebut ramai di perbincangkan masyarakat ketika pada tanggal 6
oktober 2016 buni yani mengupload ulang video pidato Ahok kejejaring sosial
Facebook dengan memberi tulisan :
“Penistaan terhadap agama? Bapak-ibu (pemilih muslim)...dibohongi Surat Al
Maidah...(dan) masuk neraka (juga bapak-ibu) dibodohi, Kelihatannya akan terjadi
sesuatu yang kurang baik dengan video ini."(cnn.com/indonesia)
Sebenarnya video pidato Ahok di pulau pramuka sudah terlebih dahulu di
upload oleh laman akun youtube resmi Pemprov DKI Jakarta dan tidak ada
masalah apapun dengan video tersebut, barulah ketika Buni Yani mengupload
ulang penggalan video tersebut dengan kata-kata provokatif menimbulkan
perdebatan di masyarakat DKI Jakarta dan beberap hari selanjutnya setalah video
tersebut menjadi sangat viral di media sosial beberapa ormas islam seperti FPI
dan MUI mulai melaporkan ahok ke polisi dengan tuntutan penistaan Agama,
dalam proses hukum yang sedang berlangsung ada beberapa aksi yang dilakukan
oleh ormas islam seperti FPI,GMJ,dan FUI guna mempercepat tuntutan mereka
terlaksana aksi tersebut diantara nya adalah :
Tabel. 9 Aksi Penolakan Ahok Yang Bersamaan Dengan Proses Pilgub DKI
Jakarta 2017
NO Tanggal Penggerak Aksi Tuntutan Aksi
1 4 November 2016
FPI,FORKABI,FBB,HTI, dan GMJ
Menuntut dipenjarakan nya Gubernur Aktif DKI Jakarta (Ahok) karena dugaan penistaan agama yang ahok perbuat dalam pidatonya di kepulauan seribu.
2 2 Desember 2016
FPI,HTI,FUI,FORKABI,FBB,HMI MPO,KAMMI, dan GMJ
Aksi yang disebut sebagai aksi 212 bela agam dan bela ulama menuntut dipenjarakan nya ahok dan juga menyuarakan untuk memilih pemimpin berdasarkan Agama nya aksi ini
71
adalah aksi terbesar dalam tuntutan penolakan ahok.
3 21 Febuari 2017
FUI Mendesak Kemendagri untuk mencabut status Gubernur Ahok dan menuntut pembebasan mahasiswa yang tertangkap dalam aksi sebelum nya.
4 31 Maret 2017 FPI,FUI,dan HTI Menuntut untuk segera dipenjarakan nya saudara Basuki karena menurut nya kasus penistaan Agama oleh basuki terkesan begitu lama,dalam aksi ini juga terdapat dugaan makar dan berujung pada penangkapan 5 orang yang diantaranya adalah sekjen FUI.
Sumber: cnnindonesia.com kompas.com bbc.com/indonesia
Aksi yang berlangsung guna menekan aparat dan pemerintah untuk segera
memenjarakan Ahok terkait kasus penistaan Agama berbau sangan politis, karena
bersamaan dengan proses pencalonan dan proses kampanye calon Gubernur dan
Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022 hal ini semakin kuat dengan
fatwa MUI yang kembali disuarakan ormas Islam mengenai larangan seorang
muslim untuk memilih pemimpin kafir (non-muslim) karena dianggap haram
hukumnya (https://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-politic/14/03/21/n2siql-
mui-muslim-jangan-memilih-pemimpin-nonmuslim diakses pada 7 Juli 2018),
aksi tersebut pada akhirnya melahirkan suatu opini bahwa DKI Jakarta
membutuhkan Gubernur yang dapat membela dan mengayomi umat Islam secara
menyeluruh nuansa Identitas menjelang pencalonan dan kampanye menjadi sangat
menengangkan banyak aktor politik yang mencoba memanfaatkan situasi tersebut.
72
Putaran pertama Pilkada DKI Jakarta 2017 diselenggarakan pada tanggal
15 Febuari 2017 dan menghasilkan perolehan suara pada tabel dibawah berikut:
Tabel 10. Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran Pertama Pilgub DKI Jakarta Tahun 2017 (15 Febuari 2017)
No Kandidat dan Partai pengusung Perolehan Suara
1 Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviani Murni
(Partai Demokrat, PPP,PAN, dan PKB)
17,05%
2 Basuki Tjahja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat
(PDI-P,Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai
Nasdem)
42.99%
3 Anies Basweda – Sandiaga Uno (PKS dan Partai
Gerindra)
39,95%
Sumber : Dokumen KPUD DKI Jakarta
Pada putaran pertama pasangan Basuki – Djarot berhasil unggul dengan
perolehan suara 42,99% namum merujuk pada regulasi peraturan khusus DKI
Jakarta yang tertuang dalamUndang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 yang
didalamnya berisi tentang mekanisme pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
DKI Jakarta, pada Pasal 11 mengatur bahwa hanya pasangan dengan suara lebih
dari 50% yang bisa langsung ditetapkan sebagai gubernur dan wakil gubernur
terpilih. Kalau tidak ada yang mencapai 50%, pasangan dengan suara terbanyak
pertama dan kedua harus bertarung lagi di putaran kedua, dengan begitu pasangan
Basuki – Djarot harus menghadapi Anies – Sandi pada putaran kedua sedangkan
Agus – Sylvi tereleminasi.
Hasil dari perolehan suara putaran kedua Pilkada DKI Jakarta adalah
sebagai berikut:
73
Tabel 11. Tabel Nama Kandidat dan Perolehan Suara Putaran Kedua
Pilgub DKI Jakarta Tahun 2017 (19 April 2017)
No Kandidat dan Partai pengusung Perolehan Suara
1 Basuki Tjahja Purnama – Djarot Syaiful Hidayat
(PDI-P,Partai Golkar, Partai Hanura, dan Partai
Nasdem)
42.04%
2 Anies Basweda – Sandiaga Uno (PKS dan Partai
Gerindra)
57,96%
Sumber : Dokumen KPUD DKI Jakarta
Putaran kedua pilkada DKI Jakarta dimenangkan oleh pasangan Anies –
Sandi, pada putaran kedua ini pasangan Basuki – Djarot tidak mengalami
penambahan suara berbanding sebalik nya dengan Anies-Sandi yang berhasil
menggandeng pendukung Agus – Sylvi seperti pada tabel berikut:
Tabel 12. Perbandingan Perolehan Suara Putaran Satu Dan Putara Dua Di
Tingkat Kota Dan Kabupaten
Kepulauan Seribu
NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2
1 Agus - Sylvi 3.891 (27,8%) -
2 Basuki – Djarot 5.532 (38,8%) 5.391 (38%)
3 Anies – Sandi 4.851 (34%) 8.796 (62%)
Jakarta Utara
NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2
1 Agus - Sylvi 142.142 (15,5%) -
2 Basuki – Djarot 416.720 (48.4%) 418.096 (47.3%)
3 Anies – Sandi 301.256 (35,1%) 466.568 (52.7%)
Jakarta Barat
NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2
1 Agus - Sylvi 203.107 (16,1%) -
74
2 Basuki – Djarot 613.194 (48,6) 611.180 (47,2%)
3 Anies – Sandi 444.743 (35,3%) 685.079 (52.8%)
Jakarta Pusat
NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2
1 Agus - Sylvi 101.744 (17,8%) -
2 Basuki – Djarot 244.727 (43%) 243.574 (42,3%)
3 Anies – Sandi 222.814 (39,2%) 332.803 (57,7%)
Jakarta Selatan
NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2
1 Agus - Sylvi 177.363 (14,8%) -
2 Basuki – Djarot 465.524 (38.7%) 459.753 (37,9%)
3 Anies – Sandi 557.767 (46,5%) 754.140 (62,1%)
Jakarta Timur
NO Kandidat Putaran 1 Putaran 2
1 Agus - Sylvi 309.708 (19,4%) -
2 Basuki – Djarot 618.880 (38,8%) 612.630 (38,2%)
3 Anies – Sandi 665.902 (41,8%) 992.946 (61,6%)
Sumber : Dokumen KPUD DKI Jakarta
Pada data diatas dapat dilihat bahwa pada putaran ke dua pasangan Ahok-
Djarot tidak mendapatkan peningkatan suara sama sekali cenderung terjadi
penurunan suara di beberapa daerah, berbanding terbalik dengan perolehan suara
Anies – Sandi di putaran dua sukses naik dengan pesat bila di jumlahkan pada
putaran kedua para pemilih Agus-Sylvi cenderung memberikan suaran nya kepada
Anies – Sandi.
Kekalahan Ahok-Djarot di semua daerah DKI Jakarta membuktikan
adanya sentimen identitas baik etnis maupun agama yang ikut mempengaruhi
pilihan masyarakat DKI Jakarta seperti hasil exitpoll yang dilakukan oleh Lingkar
75
Survei Indonesia (LSI) yang merilis peningkatan sentimen Agama pada pesta
demokrasi di DKI Jakarta tahun 2017, dari data yang ada LSI mencatat sentimen
agama warga DKI Jakarta meningkat mencapai 71,4 persen. Angka itu melonjak
dari hasil survei maret dan oktober 2016, yang masing-masing menyatakan 40 dan
55 persen responden menganggap sentimen agama sangat penting. Hal ini
disebabkan oleh 65,7 persen warga muslim DKI Jakarta percaya Ahok menista
agama. Adapun jumlah pemilih muslim di Jakarta mencapai 85 persen dari total
pemilih ini menyebabkan merosotnya dukungan kepada Ahok dari 49,1 persen
pada maret 2016 menjadi 27,1 persen pada desember 2016 dan berujung pada
kekalahan ahok di segala kota dan kabupaten DKI Jakarta, angka ini menjadi
menarik karena survei kepuasan terhadap kinerja Ahok yang dilakukan oleh LSI
mencatat mencapai angka 73 persen namun orientasi identitas Agama nampaknya
lebih subur dibandingkan adu gagasan sehingga sentimen terhadap golongan
tertentu dapat tumbuh subur di DKI Jakarta sebagai kunci kemenangan Pemilihan
Umum.(https://fokus.tempo.co/read/1001145/survei-pilkada-sentimen-agama-
meningkat-di-jakarta diakses pada tanggal 9 Juli 2018).
B. Pembahasan
1. Pembentukan Politik Identitas Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017
Menurut Stuart Hall, pembentukan identitas seseorang tidak dapat
dilepaskan dari, sense (rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas‟ . Dari
pernyataan tersebut, maka ketika identitas diformulasikan sebagai sesuatu yang
membuat seseorang memiliki berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada
saat yang bersamaan juga identitas memformulasikan otherness (keberbedaan)
76
atau sesuatu yang diluar persamaan-persamaan tersebut. Sehingga karakteristik
identitas bukan hanya dibentuk oleh ikatan kolektif, melainkan juga oleh kategori-
kategori pembeda (categories of difference) (Setyaningrum, 2005).
Ada 3 pendekatan pembentukan identitas, yaitu:
1. Primordialisme : Identitas diperoleh secara turun temurun seperti
halnya agama maupun etnis dengan pendekatan ini aspek
primordialisme dijadikan sumber utama dalam pendekatan kepada
seseorang untuk menentukan pilihan nya apakah orang tersebut
memiliki Agama yang sama atau Etnis yang sama dengan dirinya.
2. Konstruktivisme : Identitas sebagai sesuatu yang dibentuk dan hasil
dari proses sosial yang kompleks. Identitas dapat terbentuk melalui
ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat seperti pembentukan identitas
bangsa yang lahir dari proses sosial yang begitu kompleks, sehingga
melahirkan identitas kolektif di dalam masyarakat, dalam
penbemtukan ini Identitas lahir dari penggalian dan penanaman nilai
sosial di masyrakat itu sendiri seperti halnya Bhineka Tunggal Ika
yang merupakan identitas kolektif bangsa dengan upaya untuk
mempersatukan golongan –golongan yang ada di Indonesia baik
Agama maupun Etnis nya.
3. Instrumentalisme. : Identitas merupakan sesuatu yang dikonstruksikan
untuk kepentingan elit dan lebih menekankan pada aspek kekuasaan
pembentukan identitas, biasa nya pembentukan identitas ini digunakan
dalam pemilihan umum untuk memposisikan calon sebagai orang yang
77
sama dengan masyarakat luas, seperti contoh kasus penistaan agama
yang terjadi oleh Basuki menjadi momentum bagi para elit parpol atau
tim sukses calon untuk menyatukan persepsi masyarakat muslim di
Jakarta , bahwa mereka pun ikut ternistakan dan turut ingin membela
agama nya, yang pada akhirnya hanya untuk mengambil simpati publik
dan memobilisasi nya.
Dari tiga pembentukan Identitas yang ada penulis menggunakan
pendekatan Instrumentalisme karena pada pendekatan ini menjelaskan bahwa
identitas dapat digunakan sebagai salah satu kekuatan dalam meraih kursi
kekuasaan, penggunaan pendekatan ini dengan cara memanfaatkan kondisi yang
sedang terjadi kemudian mengkreasikan nya dalam berbagai bentuk, sehingga
dapat menjadi instrumen kekuatan dalam merebut kursi kekuasaan, dalam konteks
Pilkada DKI Jakarta aksi bela islam dan penolakan kepada Ahok menjadi kondisi
yang sangat menguntungkan bagi para elit politk untuk membentuk instrumen
kekuatan masyarakat muslim yang kemudian di salurkan dalam bentuk politik
praktis.
Politik identitas menjadi sangat subur dibangun dalam proses pemilihan
kepala daerah yang dilakukan secara intens dalam bentuk interaksi simbolik untuk
memobilisasi dukungan massa. Penguatan identitas diri dari seorang pasangan
calon dilakukan dengan membangun identitas diri secara intens di masyarakat.
Politik identitas yang berangkat dari base on identity (identitas) dan base on
interest (kelompok kepentingan) dijadikan instrumen untuk memperoleh simpati
dari masyarakat. Selanjutnya perkembangnan politik identitas saat ini telah
78
mengalami pergeseran makna identitas sesungguhnya, karena identitas digunakan
bukan untuk kepentingan pengenal atau ciri khas dari individu itu sendiri tetapi
lebih untuk kepentingan elite politik. Ini terlihat jelas dalam ajang pemilihan
kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017.
Gerakan pembentukan Politik Identitas di DKI Jakarta muncul dengan
adanya pendekatan kondisional, keterpecahan membutuhkan sumber sumber
untuk dimobilisasi, sebelum terselenggaranya pilgub DKI Jakarta 2017 beberapa
kelompok Islam seperti FPI dan GMJ memanfaatkan kondisi dari remuknya
kepercayaan masyarakat muslim Jakarta terhadap Ahok karena diduga menistakan
Agama islam, kelompok lawan kemudian mencoba mecari sumber sumber
golongan yang mudah dimobilisasi untuk kemudian membuat perpecahan dan
meraup suara pemilih yang telah di mobilisasi oleh sumber sumber tersebut.
Terjadi keseimbangan mobilisasi dari atas dan partisipasi bawah membuat
gerakan ini kian lama kian menguat sehingga dapat memecah suara dari Ahok-
Djarot.
Adapun pembentukan politik Identitas di Pilgub DKI Jakarta 2017 sebagai
berikut:
1. Media Sosial : peran media sosial sangat berarti dalam proses
pembentukan politik identitas di masyarakat DKI Jakarta, terutama
masyarakat muslim yang merupakan kelompok dominan di Jakarta, hal ini
didasari banyak nya konten konten yang bernuansa SARA yang terus giat
di publish untuk mempengaruhi orientasi politik masyarakat DKI Jakarta.
79
2. Aksi Massa : Salah satu aksi massa yang memiliki pengaruh yang luar
biasa adalah aksi bela Islam yang dilakukan secara berkala, tujuan aksi ini
mencoba menyatukan persepsi masyarakat muslim Jakarta bahwa Ahok
adalah musuh Islam dan haram mendukung nya.
3. Penggunaan Tempat Ibadah : penggunaan tempat Ibadah sebagai sarana
kampanye tentu sangat dilarang, tempat ibadah seharusnya netral dalam
urusan perpolitikan, namun disalah satu sisi tempat ibadah adalah ladang
yang sangat subur untuk menanamkan buah pikir kepada masyarakat
karena ceramah yang dilakukan ditempat ibadah akan bersifat dogma
sehingga mengikat jemaat atau umat nya.
4. Intimidasi : kuatnya pengaruh sosial media disertai dengan dogma dalam
tempat ibadah yang bernuansa sentimen terhadap golongan tertentu
membuat beberapa masyarakat muslim di DKI Jakarta menganggap Pilgub
DKI Jakarta 2017 adalah peperangan terhadap penista Agama Islam
sehingga siapapun Gubernur DKI Jakarta yang akan datang harus
beragama Islam tidak boleh diluar daripada itu, hal ini membuat para
pendukung pasangan Ahok yang beragama muslim di beri label sebagai
pendukung dan pelindung penista Agama, mereka mengalami tekanan dan
intimidasi dari masyarakat muslim di daerah nya seperti contoh jenazah
nenek hindun yang tidak dapat di sholatkan karena keluarga mendukung
pasangan Ahok – Djarot.
80
2. Penggunaan Politik Identitas Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017
Politik Identitas adalah suatu kajian untuk menjelaskan situasi yang
ditandai dengan kebangkitan kelompok-kelompok identitas sebagai tanggapan
untuk represi yang memarjinalisasikan mereka di masa lalu. Identitas berubah
menjadi politik identitas ketika menjadi basis perjuangan aspirasi kelompok
(Bagir, 2011).
Identitas bukan hanya persoalan sosio-psikologis, tetapi juga politis. Ada
politisasi atas identitas. Identitas yang dalam konteks kebangsaan seharusnya
digunakan untuk merangkum kebinekaan bangsa ini, justru mulai tampak
pengunaan identitas-identitas sektarian, baik dalam agama suku, daerah, dan lain-
lain.
Identitas yang menjadi salah satu dasar konsep kewarganegaraan
(citizenship) adalah kesadaran atas kesetaraan manusia sebagai warganegara.
Identitas sebagai warganegara ini menjadi bingkai politik untuk semua orang,
terlepas dari identitas lain apapun yang dimilikinya seperti identitas agama, etnis,
daerah dan lain-lain (Bagir, 2011)
Politik identitas bisa bersifat positif maupun negatif. Bersifat positif berarti
menjadi dorongan untuk mengakui dan mengakomodasi adanya perbedaan,
bahkan sampai pada tingkat mengakui predikat keistimewaan suatu daerah
terhadap daerah lain karena alasan yang dapat dipahami secara historis dan logis.
Bersifat negatif ketika terjadi diskriminasi antar kelompok satu dengan yang lain,
misalnya dominasi mayoritas atas minoritas. Dominasi bisa lahir dari perjuangan
kelompok tersebut, dan lebih berbahaya apabila dilegitimasi oleh negara. Negara
81
bersifat mengatasi setiap kelompok dengan segala kebutuhan dan kepentingannya
serta mengatur dan membuat regulasi untuk menciptakan suatu harmoni (Bagir,
2011).
Dalam konteks Pilgub DKI Jakarta, tidak dapat dipungkiri kasus penistaan
agama dan penggunaan politik identitas membuat elektabilitas Ahok terjun bebas.
Berawal dari pernyataan Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok di Kepulauan seribu
yang mengutip surat Al Maidah 51 yang kemudian potongan pernyataan itu
diunggah ke Facebook oleh Buni Yani dan menjadi bola panas di media sosial,
penggunaan media sosial sebagai media baru yang tidak memiliki batasan
memang menjadi tidak terkendali manakala dijadikan sebagai sarana untuk
kepentingan politik dan kampanye.
Unggahan di Facebook itupun menjadi ramai dan dijadikan entry point
bagi lawan lawan politik Ahok untuk melancarkan serangan terhadap Ahok yang
popularitasnya tidak terbendung. Pascapernyataan Ahok itu, berbagai elemen
masyarakat yang didominasi oleh ormas-ormas Islam termasuk FPI yang sejak
awal anti-Ahok mulai bergerak dan melakukan aksi berjilid secara sistematis yang
tujuannya adalah memenjarakan Basuki karena dianggap sebagai penista agama.
Lebih dari itu, kelompok massa juga meneriakkan pemilih muslim wajib
memilih pemimpin muslim hal ini didukung pula oleh Fatwa MUI yang
menyuarakan haram memilih pemimpin Kafir (non-muslim), isu identitas tersebut
ditujukan untuk menyerang Ahok, Ahok yang notabene keturunan Tionghoa dan
beragama Kristen kemudian dipersepsikan sebagai pemimpin yang tidak layak
dipilih oleh umat muslim di ibu kota. Isu SARA dan politik Identitas terus
82
dimainkan, dunia maya dipenuhi dengan cyber army yang membentuk opini dan
ditambah dengan masuknya mesin politik kelompok Islam yang menjadi lawan
Ahok ke masjid dan mushala dengan khotbah bahwa haram hukumnya memilih
pemimpin nonmuslim.
Masyarakat ibu kota pun terpolarisasi dan terpecah menjadi dua kubu yang
berlawanan dan rawan terjadi nya konflik, hal ini terjadi oleh alm. nenek hindun
di Jakarta Selatan yang tidak bisa di sholatkan di masjid dekat rumahnya karena
beliau dan keluarga nya mendukung pasangan Ahoh-Djarot yang tidak sesuai
dengan ajaran atau ajakan dari masyarakat sekitar nya untuk tidak memilih
pemimpin non-muslim.
Penggunaan Identitas sebagi senjata dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 sudah
terbukti lumayan ampuh dalam menggoyang pasangan calon lain yang tidak
memiliki persamaan Identitas dengan masyarakat dominan Jakarta dan mobilisasi
masa yang begitu sangat kuat dilakukan oleh aktor politik dan tim sukses
kemenangan calon yang mengarahkan partisipasi politik individu untuk
berorientasi terhadap identitas calon yang akan dipilih dibandingakan program
dan gagasan yang ditawarkan, penggunaan dua isu sentimen identitas tersbut
adalah sebagai berikut.
a. Sentimen Etnis Dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017
Sentimen etnis seringkali dinilai sebagai salah satu kekuatan sekaligus
problematika dalam arena demokrasi. Tak terkecuali pada kontestasi Pemilu dan
Pilkada di Indonesia. Etnisitas sebagai salah satu kategori dalam sosiologi politik
berkembang seiring dengan perubahan pola politik identitas. Dalam tatanan rezim
83
politik yang bersifat tertutup, etnisitas secara sengaja dicoba untuk dieliminasi
dari panggung arena politik. Kendati demikian, etnisitas dalam kadar tertentu
terus bermain dalam politik identitas dalam panggung kekuasaan secara laten.
Sementara itu, dalam tatanan rezim politik yang bersifat terbuka, etnisitas justru
nampak terus mengalami penguatan, mendapatkan ruang ekspresi yang semakin
luas. Bahkan etnisitas seringkali menjadi dasar legitimasi sejarah sosial politik
struktur politik pada level lokal atau daerah (Marzuki, 2010).
Identifikasi identitas etnis sebagaimana lazim terjadi pada masyarakat
yang multietnis senantiasa tergantung pada situasi dan konteks dimana seseorang
berada. Dalam konteks politik di wilayah yang multietnis, terutama pada daerah
DKI Jakarta, identifikasi identitas etnis menjadi kemestian. Mengidentifikasi
seseorang berdasarkan etnik adalah bagian dari perilaku dan tindakan komunikasi
baik dalam aktifitas dan peran politik maupun dalam kehidupan sosial secara
umum, terutama dalam rangka menarik simpati calon pemilih, meningkatkan
popularitas dan tujuan politik lainnya. Keadaan ini jika dicermati relevan dengan
asumsi Fredrik Barth (dalam Mulyana, 2001) yang menyebutnya sebagai
“situational ethnicity”.
Sentimen Etnis menjadi salah satu faktor penting di dalam pemilihan
umum maupun pemilihan kepala daerah di Indonesia terutama pemilihan
Gubernur di DKI Jakarta yang menjadi barometer politik Indonesia, didalam
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta sentimen etnis bukan lah hal yang baru,
sentimen etnis pada pilgub DKI Jakarta pertama kali terjadi di tahun 2012, pada
pilgub DKI Jakarta tahun 2012 sentimen etnis menjadi salah satu kekuatan untuk
84
menyerang salah satu pasangan calon yakni Jokowi – Ahok, karena Ahok yang
memiliki etnis keturunan China (Tionghoa), faktor ini menjadi keuntungan
tersendiri bagi Fauzi Bowo yang memiliki Etnis keturunan Betawi sebagai etnis
asli Jakarta yang didapatkan dari ibunya (Hamid,2014). Dalam Pilgub DKI
Jakarta 2017 terdapat tiga pasangan calon yang memiliki etnis yang berbeda-beda
seperti pada tabel di bawah ini :
Tabel 13. Nama Pasangan Calon Beserta Suku / Etnis Nya
No Nama Pasangan Calon Suku / Etnis
1 Agus Harimurti Yudhoyono – Sylviana
Murni
Jawa - Betawi
2 Basuki Tjahja Purnama – Djarot Syaiful
Hidayat
Tionghoa (China) - Jawa
3 Anies Baswedan – Sandiaga Uno Jawa - Padang
Sumber : bbc.com
Dari ketiga pasangan calon diatas terdapat salah satu pasangan calon yang
beretnis betawi yakni Slviana yang menjadi calon wakil gubernur bersama Agus
Harimurti Yudhoyono, walaupun Slyviana merupakan Etnis Betawi nyatanya
etnis betawi yang dimiliki Slyviana tidak terlalu kuat untuk mengambil simpati
pemilih di DKI Jakarta, ini dibuktikan bahwa Agus-Slyvi hanya mengantongi
suara sebanyak 17,05 persen (KPUD DKI Jakarta) yang membuatnya menduduki
peringkat terakhir dalam putaran pertama Pilgub DKI Jakarta.
85
Yang menjadi perhatian utama dalam sentimen etnis di pilgub Dki jakarta
2017 adalah sentimen pribumi dan non-pribumi (orang keturunan bangsa asing),
pembentukan identitas pribumi dapat dilihat melalui teori pembentukan identitas
oleh Stuart Hall (dalam Widayanti, 2009) melalui pendekatan Konstruktivisme
yang memandang identitas sebagai suatu hasil dari proses sosial yang komples
yang terbentuk dari ikatan-ikatan kultural dalam masyarakat yang dibangun
berdasarkan pengalaman masa lampau melalui pendekatan ini para elite politik di
DKI Jakarta mencoba memobilisasi nya menjadi kekuatan politik dalam pilgub.
1) FPI Dan Politisasi Etnis Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017
Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi massa yang muncul
ketika rezim soeharto tumbang, FPI berdiri dengan tujuan menegakan hukum
islam di Indonesia, dalam buku Susan Blackburn (2013) yang berjudul Jakarta :
sejarah 400 tahun dituliskan FPI menjadi salah satu motor penggerak massa pada
saat penjarahan dan intimidasi terhadap etnis china (tionghoa) karena dianggap
sebagi orang kafir dan berlawan dengan ajaran Islam. Sentimen terhadap
masyarakat keturunan China bukan pertama kali terjadi di massa orde baru
menuju reformasi namun sejarah mencatat pada tahun 1740 terjadi pembunuhan
masal terhadap masyarakat etnis china yang dikenal dengan nama geger pacinan
atau dalam bahasa belanda Chinezenmoord peristiwa ini terjadi karena dipicu oleh
represi pemerintah kolonial belanda dan kurang nya pendapatan akibat jatuhnya
harga gula, peristiwa ini membunuh kurang lebih 10.000 masyarakat etnis china.
86
Gambar .2
Spanduk Ganyang China dalam Aksi Damai 212
Sumber : www.medium.com
Fornt Pembela Islam (FPI) menjadi salah satu aktor penting dalam Pilgub
DKI Jakarta 2017, FPI selalu aktif menyuarakan mengenai penolakan terahadap
Basuki dari tahun 2012, pada tahun tersebut FPI belum mampu memobilisasi
masa yang sangat besar karena masyarakat muslim Jakarta tidak menganggap
Basuki sebagai musuh umat Islam, FPI baru mampu memasifkan massa ketika
basuki teridinkasi kasus penistaan agama, pada saat momentum tersebut FPI
mengambil peran penting untuk menyatukan persepsi masyarakat muslim Jakarta
bahwa Basuki adalah musuh bersama umat islam (common enemy) dengan
memanfaatkan kondisi yang sedang kacau akibat pidato Basuki tersebut.
Pasca pidato ahok tersebut sentimen terhadap etnis golongan keturunan
China meningkat dan masuk dalam 5 besar golongan yang tidak disukai warga
DKI Jakarta seperti yang dirilis oleh Saiful Mujani Research and Consulting
87
(SMRC) pada November 2016. Sehingga aksi penolakan Ahok yang dimotori
oleh Front Pembela Islam dapat memobilisasi massa aksi yang sangat besar pada
2 desember 2016, slogan “ganyang cina” menjadi bukti belum memudarnya
sentimen antar etnis di DKI Jakarta.
Hal ini terjadi karena Identitas seseorang tidak dapat dilepaskan dari sense
(rasa/kesadaran) terhadap ikatan kolektivitas, dari pernyataan tersebut maka ketika
identitas di formulasikan sebagai sesuatu yang membuat seseorang memiliki
berbagai persamaan dengan orang lain, maka pada saat yang bersamaan juga
identitas memformulasikan otherness (Keberbedaan) (widayanti, 2009) pada
contoh ini FPI berhasil membuat kesadaran kolektif akan bahaya nya etnis China
di Jakarta sehingga masyrakat muslim DKI Jakarta membenci dan menjauhi
golongan etnis Cina.
Aksi penolakan ahok yang berlangsung bertepatan dengan agenda
pemilahan kepala daerah DKI Jakarta 2017 dimanfaatkan oleh elite politik sebagai
instrumen kekuatan, banyak slogan provokatif yang bermunculan di DKI Jakarta
sebagai upaya penolakan terhadap non-pribumi menjadi Gubernur DKI Jakarta,
keberadaan sentimen etnis dalam kontestasi politik ini disebut sebagai retorika
etnosentrisme. Yakni retorika yang paling mudah mengaduk emosi publik
meskipun tidak sekuat dulu, tetapi tetap penting dan menjadi salah satu hal yang
harus disoroti. Hal ini terbukti dengan beberapa aktivitas sejumlah pasangan calon
yang berupaya mendekatkan sentimen etnosentrik tersebut.
88
Dalam konteks Pilkada DKI Jakarta 2017 para elite politik memanfaatkan
kondisi sentimen etnis yang sangat berkembang, dalam geraka pembentukan nya
menurut Stuart hall (dalam Widayanti, 2009) hal tersebut dapat di kategorikan
sebagai Instrumentalisme yakni memanfaatkan kondisi yang terjadi di akar
rumput untuk dipergunakan sebagai senjata kekuatan elite politik dalam pemilihan
umum untuk merebut kekuasaan, dalam hal ini memanfaatkan kondisi masyarakat
Jakarta yang masih menaruh sentimen terhadap etnis China dengan ditambah lagi
oleh organisasi massa yang terus aktif menjaga sentimen itu agar tidak pudar di
masyarakat jakarta, bila dilihat dari gambar yang ada diatas dapat dilihat bentuk
upaya memobilisasi massa untuk tidak mimilih pemimpin yang bertenis China
atau di kategorikan sebagai non-pribumi.
Bila dilihat dari serangkaian kampanye dan aksi tersebut tim sukses
ataupun golongan tertentu mencoba memobilisasi masa dengan melempar
keresahan ke masyarakat dengan ancaman Keturunan etnis China (tionghoa) yang
bukan asli pribumi Indonesia dapat menguasai Indonesia dengan cara merebut
DKI Jakarta terlebih dahulu yang nanti akan menyengsarakan penduduk asli
Indonesia yang ada di DKI Jakarta, Huntington dan Nelson (dalam Hamid, 2017)
mengartikan pola seperti ini sebagai partisipasi politik mobilisasi yang yang
melempar argumentasi guna mengajak, menganjurkan atau bahkan memaksa masa
untuk mengikuti arah politiknya dan bisa jadi kesadaran kolektif yang timbul
akibat termobiliasi tersebut , dapat pula menjadikan indiviu menjadi partisipan
otonom yang sudah yakin dengan isu tersebut.
89
Kuatnya mobilisasi massa yang dilakukan oleh para tim sukses maupun
kampanye penolakan terhadap Etnis Cina oleh Front Pembela Islam (FPI)
membuat suara Basuki di Pilgub DKI Jakarta 2017 tidak ada peningkatan sama
sekali dari putaran satu ke putaran kedua.
“ isu etnis cina memang terasa sekali ya, apalagi di daerah ciracas ini,
banyak banget selebaran yang hasut orang buat jangan milih Ahok
karena dia Cina lah, antek pki lah, kafir lah pokok nya segala yang jelek
pasti Ahok kena ( wawancara dengan Richad Fernando salah satu tim
sukses Basuki – Djarot pada tanggal 20 Juni 2018)”
Namun disisi lain Ahok juga memanfaatkan kondisi sentimen Etnis yang
berkembang untuk menyatukan dukungan masyrakat keturunan China (tionghoa).
Seperti survei yang dilansir oleh Lembaga Survei dan Poling Indonesia (SPIN)
Ahok berhasil menggaet 90 persen suara masyarakat keturunan China di Jakarta
yang menjadi kekuatan alternatif Ahok dalam Pilgub DKI Jakarta 2017, pola ini
sempat di pakai Ahok juga pada saat Pilgub DKI Jakarta tahun 2012 bersama
Joko widodo, dengan memanfaatkan tekanan dan sentimen etnis kedaerahan yang
kuat pasangan ini menarik simpati masyarakat keturunan China dengan
membentuk Forum Masyarakat Tionghoa (FORMAT) sebagai kekuatan tambahan
dalam Pilgub DKI Jakarta.
Sentimen etnis acap kali menjadi komoditas politik dan dipakai saat
memilih para calon gubernur. Isu etnis untuk sementara diperlukan untuk
mendulang suara, bila ini dilakukan, justru akan memberikan pendidikan politik
buruk bagi masyarakat. Isu etnis yang digulirkan ini sebetulnya bukan secara
90
langsung dari publik, tapi digulirkan oleh elit-elit politik. Konstruksi elit ini
kemudian diartikan oleh konsultan-konsultan politik di belakang para cagub ini.
Melalui penelitian berkala yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen
(AJI) Jakarta terkait pilkada DKI Jakarta, diketahui setelah putaran pertama
pilkada DKI, pemberitaan yang menyangkut suku, agama, ras, antargolongan
(SARA) mendominasi. Dengan kata lain isu SARA itu digunakan untuk
mengkondisikan pilihan masyarakat pemilih terhadap kandidat yang sedang
bertarung.
Pemberitaan yang cukup dominan pada periode ini adalah menyangkut
SARA, yaitu pemberitaan yang menggambarkan serangan atas identitas dari
calon Gubernur Basuki. Perkembangan isu SARA memang tak bisa dilepaskan
dari tanggung jawab media, media berpotensi ikut dalam upaya mengedepankan
salah satu kandidat dan hal tersebut tidak memberikan informasi yang baik bagi
publik. Hal tersebut, sering digunakan oleh kandidat agar mendapat suara dari
kelompok dominan.
b. Sentimen Agama Dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017
Sentimen agama merupakan perilaku manusia, khususnya umat beragama
(yang diwujudkan melalui kata, tindakan, kebijakan, keputusan) yang
merendahkan, membatasi, dan meremehkan golongan agama lain yang tidak
sejalan dengan nilai-nilai agama yang dianut nya, agar orang yang berbeda agama
tersebut tidak mendapatkan hak-haknya serta tidak mampu mengaktualisasi
dirinya secara utuh (Munir, 2018).
91
Pada umumnya, faktor utama yang menunjang sentimen Agama adalah
dorongan dorongan dari pihak luar kepada seseorang. Pihak luar yang dimaksud
antara lain, para tokoh-tokoh atau pemimpin Agama, politik, penguasa,
pengusaha, pemerintah, kepala suku. Mereka adalah orang-orang yang ingin
meraih keuntungan dari suatu perbedaan. Bagi mereka, perbedaan merupakan
suatu kesalahan dan ketimpangan sosial, sehingga perlu diperbaiki melalui
pemurnian dengan cara menghilangkan atau menghancurkan semua hal yang
berbeda.
Sentimen negatif yang berkaitan dengan Agama bisa terjadi akibat
kemunculan aliran-aliran yang bersifat sekterian pada agama-agama. Pada
umumnya, sekte atau mazhab tersebut mempunyai karakteristik yang hampir
sama. Yaitu, bersifat sempalan atau skismatik dari arus utama agama; adanya
tokoh kharismatik yang menguasai bagian-bagian tertentu dari ajaran agamanya,
kemudian mengklaim diri sebagai pemegang ajaran yang benar, sang tokoh
mewariskan ajaran-ajaran kepada para pengikutnya, sangat menekankan satu atau
dua ajaran agama, sambil mengkesampingkan yang lain jika mendapat nasehat
atau masukan untuk perbaikan, maka dianggap sebagai perlawan terhadap ajaran
agama, dan oleh sebab itu patut dilawan, bila perlu dengan kekerasan. Dengan
situasi seperti itu, maka biasanya, umat beragama yang mempunyai sifat
sentimen keagamaan, muncul dari sekte-sekte atau mazhab-mazhab keagamaan.
Dan hampir semua agama di dunia, mempunyai sekte atau mazhab seperti itu.
Mereka biasanya mempunyai corak keberagamaan yang tertutup dan mempunyai
militansi keagamaan sangat tinggi. Peran elite elite agama di sana sangat jelas
92
menempatkan agama sebagai salah satu pendorong munculnya konflik.
(https://www.kompasiana.com/opajappy/552914c06ea8343a3c8b45d6/sentimen-
sara diakses pada 10 Juli 2018).
Sentimen Agama di DKI jakarta sendiri mulai menguat pada pilgub DKI
Jakarta di tahun 2012, pada saat itu Front Pembela Islam dan Gerakan Masyrakat
Jakarta menolak kehadiran Basuki untuk memimpin DKI Jakarta, penolakan ini
didasari oleh perbedaan identitas Agama yang dimiliki oleh Basuki, Stuart Hall
(dalam Widayanti, 2009), menjelaskan pembentukan identitas seperti pada kasus
basuki dapat di jawab melalui pendekatan primordialisme pendekatan ini melihat
fenomena tersebut dalam sosio-biologis. Pendekatan ini umumnya beranggapan
bahwa kelompok-kelompok sosial dikarakteristikan oleh gambaran seperti etnis
maupun agama yang disadari merupakan pemberian sejak lahir dan tidak bisa
terbantahkan. Pendekatan ini terbukti memberikan pengaruh yang besar terhadap
masyarakat, seperti yang dialami Basuki ditolak karena beragama kristen yang
tidak sesuai dengan apa yang dianut oleh FPI maupun GMJ.
Menjelang pilgub DKI Jakarta 2017 sentimen Agama meningkat cukup
tajam, seperti survei yang dilakukan oleh Lingkar Survei Indonesia (LSI) pada
saat sebelum dan sesudah aksi 212 terhadap pengaruh agama dalam pilgub DKI
Jakarta 2017, hasil nya pada bulan maret dan oktober tahun 2016, yang masing-
masing 40 dan 55 persen responden menganggap sentimen agama sangat penting,
dan pasca aksi 212 LSI mencatat sentimen agama warga Jakarta meningkat
mencapai 71,4 persen.
93
Meningkatnya isu sentimen Agama di Pilgub DKI Jakarta tak lepas dari
pengaruh pidato ahok di kepualaun seribu yang menjadi alasan umat muslim
untuk bergerak menjatuhkan Ahok, sebelum aksi 212 maupun aksi sebelumnya
411, surat Al-Maidah ayat 51 tidak terlalu berpengaruh dalam popularitas Ahok di
DKI Jakarta hal ini terlihat dari berbagai aksi penolakan dirinya dari tahun 2012-
2014 tidak menimbulkan dampak yang signifikan, barulah ketika Ahok
mempergunakan surat Al-Maidah ayat 51 di pulau pramuka dampak yang besar
terjadi dan menurunkan kepercayaan umat muslim terhadap Ahok.
Tidak bisa dibantah oleh siapapun, bahwa sentimen Agama adalah hal
yang menakutkan pada situasi dan lingkungan pergaulan sosial, hubungan antar
umat agama, pengangkatan dan pemilihan pemimpin, khususnya dalam pemilihan
Gubernur di DKI Jakarta tahun 2017.
1) Masjid : Politisasi Agama Dalam Pilgub DKI Jakarta 2017
Politisasi Agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan
pengetahuan keagamaan atau kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda,
Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik
dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan
dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan,
kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus
keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam
sebuah agenda politik, menurut Agnes Heller gerakan politik identitas baik
didalam nya politisasi etnis maupun politisasi agama semua nya di dasari oleh
94
satu fokus perhatian utama yaitu difference (perbedaan) (dalam Ubed,Abdillah
2002).
Dengan memanfaatkan kondisi sentimen Agama yang sedang menguat
pada akhir tahun 2016 para elite partai politik maupun tim sukses para pasangan
calon berlomba menggunakan nya menjadi sebuah instrumen kekuatan seperti
yang dikatan oleh Stuart Hall (dalam Widayanti, 2009) dengan pendekatan
instumentalisme dalam gerakan politik identitas bahwa Identitas dipergunakan
dan dikonstruksikan untuk kepentingan elite guna meraih kekuasaan.
Gambar.3 Ajakan Memilih Gubernur Muslim
Penggunaan Sentimen Agama sebagai kekuatan politik dilakukan melalui
beberapa cara seperti pemasangan poster, spanduk bahkan sampai ceramah di
tempat ibadah, tempat ibadah seperti masjid dinilai menjadi bangunan gerakan
politik yang ampuh karena sifat dogma yang terkandung dalam setiap ceramah di
Sumber : eramuslim.com
95
masjid dapat mempermudah memobilisasi massa sehingga para elite politik tidak
harus bersusah payah untuk membentuk instrumen kekuatan dalam pemilihan
umum, cara ini lebih praktis dan ampuh dibandingkan dengan melakukan
mobilisasi massa dengan menggunakan proses kampanye konvensional berupa
kampanye di media sosial, spanduk ataupun orasi politik.
Masjid digunakan sebagai bangunan politik sudah pernah diterapkan oleh
partai FIS di Aljazair menggunakan masjid sebagai tempat menggaungkan seruan
politik untuk meraih suara dalam pemilihan umum, di Indonesia sendiri Masjid
juga menjadi bangunan politik yang sangat berpengaruh seperti tulisan
Muhhamad Afdillah (2016) dalam bukunya yang berjudul “Dari Masjid Ke
Panggung Politik” menjelaskan bagaimana Kyai Tajul mampu membangun basis
kelompok Syiah di Sampang, Jawa Timur dengan sangat pesat, Kyai Tajul
menggunakan masjid sebagai media dakwah sosial nya untuk meyakini masyrakat
sampang bahwa ajaran Syiah yang diajarkan olehnya adalah ajaran yang benar,
hal ini berdampak pada sepi nya masjid-masjid kelompok Sunni akibat para Santri
nya pergi untuk ibdaha ke masjid-masid yang dipimpin Kyai Tajul, konflik Syiah
dan Sunni di Sampang menunjukan mobilisasi yang dilakukan di dalam masjid
sangatlah ampuh dan memiliki dampak yang besar.
Dalam Pilgub DKI Jakarta Masjid menjadi tempat yang subur untuk
menanamkan sentimen agama sebagai alat pemersatu jemaat atau umat nya, dapat
dilihat beberapa pasangan calon dan tim sukseknya mencoba meraup suara dari
dalam masjid diantaranya seperti Amien Rais, Prabowo dan Anies yang
menggunakan masjid Al-Azhar sebagai bangunan politik untuk meraih simpati
96
masyarakat muslim DKI Jakarta, para elite politik dan calon Gubernur tersebut
mengadakan acara gerakan shalat subuh berjamaah di masjid Al-Azhar pada
tanggal 15 januari 2017 Tema yang diangkat pada acara ini adalah “Tabaligh
Akbar Politik Islam: Berbeda dalam Mazhab Bersatu Dalam Politik” secara
keseluruhan acara dalam kegiatan tersebut mencoba menyatukan umat islam
untuk tidak memilih pemimipin non-muslim, acara inipun mendapat sanksi dari
Bawaslu DKI Jakarta berdasarkan nomor registrasi 026/LP/Prov-
DKI/I/2017.(Dokumen Bawaslu DKI Jakarta) karena diduga melakukan
kampanya bernuansa SARA dalam lingkungan tempat ibadah yang seharusnya
bersih dari kampanye politik seperti yang tertera dalam PKPU 12 Tahun 2016
yang merupakan perubahan PKPU 7 Tahun 2015 Pasal 66 ayat 1 huruf j yang
berisi tentang larangan kampanye di tempat ibadah dan institusi pendidikan.
Selain Masjid Al-Azhar Anies juga melakukan aksi kampanye di
lingkungan Masjid Agung Al-Furqon pada 9 maret 2017, dalam acaranya ini anies
menghadiri deklarasi dukungan dan meminta doa restu dari Forum Ustazah Bela
Negeri untuk memimpin DKI Jakarta dan Anies juga menghimbau umat muslim
harus bersatu dalam Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2017
(http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/09/dianggap-lingkungan-
masjid-panitia-pengawas-kecamatan-senen-minta-kampanye-anies-dihentikan
diakses pada tanggal 13 Juli 2018),.
Kampanye dilingkungan masjid juga dilakukan oleh pasangan Agus –
Slyvi, pasangan tersebut melakukan peresmian dan ceramah yang bernuansa
politik di Masjid Nurul Ikhsan Grogol, Jakarta Barat di tanggal 15 Januari 2017
97
dalam kedatangannya dimasjid tersbut agus menjanjikan kepada warga jakarta
untuk memberikan dana 1 miliyar untuk satu RW agar pertumbuhan ekonomi
masyarakat DKI Jakarta bisa cepat bertumbuh, Agus juga menghimbau agar
masyarakat muslim bersatu. (https://kumparan.com/@kumparannews/agus-
resmikan-masjid-di-jelambar-sambil-kampanye diakses pada tanggal 13 Juli
2018).
Berbeda dengan dua pasangan tersebut posisi yang tidak menguntungkan
dialami oleh pasangan Basuki – Djarot, pasangan ini juga ingin mengambil
simpati publik dari dalam masjid namun sentimen Agama akibat kasus penistaan
yang dilakukan oleh basuki menjadikan pasangan tersebut mendapatkan
penolakan dari berbagai masjid yang ada seperti Masjid Al-Inayah Kali Deres,
Jakarta Barat, Masjid Nurul Falah Tanjung Duren, Jakarta Barat, dan Masjid AT-
Taqwa Kapuk Muara, Jakarta Utara. (https://www.nahimunkar.org/usai-kalideres-
dan-grogol-kedatangan-ahok-penjaringan-ditolak-warga-dki/ diakses pada 13 Juli
2018)
Masjid merupakan tempat mobilisasi massa yang penting di dalam Pilgub
DKI Jakarta 2018 mengingat 83,30 persen penduduk DKI Jakarta beragama islam
(Dinas kependudukan dan pencatata sipil DKI Jakarta tahun 2014) peran masjid
menjadi sangat disoroti karena memberikan efek yang luar biasa apalagi pada
momentum Pilgub 2017 sentimen Agama menjadi isu yang laris, hampir disemua
masjid di Jakarta selalu membicarakan nya.
“....Maaf ini ya,saya rasa masyarakat Jakarta tidak pintar,hemm, ya karena
gampang termakan hasutan orang untuk miih berdasarkan agama nya, ini
98
seperti yang dilakukan oleh masjid di UI sana depan pas gedung kita,
engga tau sengaja atau apa selalu saja tiap shalat jumat, cermahin nya
soal haram memilih pemipin kafir melulu... Wawancara dengan
Muhhamad Douglas selaku kasubag teknis pemilu KPUD DKI Jakarta
pada tanggal 12 Juni 2018 “
Huntington dan Nelson (dalam Hamid,2017) menilai pola seperti tersebut
dapat dikatakan sebagai partisipasi politik mobilisasi yaitu dengan dilakukan
berdasarkan anjuran, ajakan atau bahkan pemaksaan dengan bentuk non-
konvensional dilakukan melalui saluran tidak resmi, tekanan yang dimaksudkan
dalam proses mobilisasi tersebut dapat dilihat dari bentuk Intimidasi di Jakarta
selatan terjadi penolakan untuk menyolatkan jenazah nenek hindun pada maret
2016 dikarenakan keluarga nenek hindun mendukung pasangan Ahok-Djarot yang
memiliki Identitas berbeda, keluarga nenek hindun dipaksa untuk mendukung
pasangan yang seiman dengan nya baru jenazah akan di Sholatkan.
“Ya saya juga dengar persoalan mengenai nenek hindun itu,hemm
menurut saya masyarakat Jakarta harus bisa menghargai pilihan orang
lain tanpa harus mengintimidasi sejauh itu, itu sih sudah keterlaluan.. (
wawancara oleh Muhammad Jufri Komisioner Bawaslu DKI Jakarta
pada 5 Juni 2018)”
Masjid terbukti menjadi bangunan politik yang paling ampuh dalam
menggaet pemilih di DKI Jakarta ketiga pasangan calon Gubernur DKI Jakarta
memanfaatkan Masjid sebagai sarana mobilisasi massa.
99
2.) Gereja: Politisasi Agama dalam Pilgub DKI Jakarta
Selain Masjid Gereja menjadi bangunan politik yang cukup ampuh untuk
menggaet simpati masyarakat terutama masyarakat Kristen di DKI Jakarta yang
menempati urutan kedua masyarakat terbanyak di Jakarta yang berjumlah kurang
lebih 800.000 jiwa.
Gambar.4
Foto Ahok dan Djarot Dalam Ibadah GBI Di Kemayoran Jakarta Barat
Sumber : tirto.id
Politik dan kekuasaan bukanlah barang baru di dalam gereja. Dalam
sejarahnya, gereja selalu dekat dengan kekuasaan dan politik. Pada abad ketiga,
Kaisar Konstantinus I menetapkan Kristen sebagai agama resmi kerajaan
Romawi. Sejak itu, gereja menjadi alat legitimasi politik bagi para raja penerus.
Bahkan setelah kekaisaran Romawi jatuh, kerajaan-kerajaan di Eropa masih
melanggengkan tradisi itu.
Seperti yang terlihat pada gambar diatas terdapat foto pasangan Ahok-
Djarot dalam ibadah Gereja Bethel Indonesia (GBI) di kemayoran pada tanggal 26
100
febuari 2017, dalam sesi ibadah tersebut Pendeta mengajak jemaat untuk berdoa
bersama agar Ahok-Djarot sukses memenangkan Pilgub DKI Jakarta 2017, tidak
hanya GBI, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) juga melakukan
hal yang sama dalam ibadah nya pada tanggal 10 Febuari 2017 mendoakan Ahok
agar sukses dalam Pilgub Jakarta 2017 (https://tirto.id/pesan-politik-terselubung-
di-gereja-dalam-pilkada-dki-ckVl diakses pada 22 Juli 2017), Ahok
memanfaatkan identitas nya sebagai seorang Kristen untuk meraup suara
masyarakat Kristen sebagai kekuatan alternatif dalam Pilkada DKI Jakarta 2017.
Tak hanya Ahok yang memanfaatkan Gereja sebagai bangunan politik
alternatif di samping Masjid, tetapi Anies dan Agus pun menggunakan nya
sebagai bentuk simbolik bahwa kedua pasangan tersebut adalah seorang yang
mencintai keberagaman, Sandiaga didoakan pendeta saat menghadiri undangan
dari Hashim Djojohadikusumo, adik Prabowo Subiato, untuk bertemu dengan
warga Gereja pada akhir Desember 2016 di salah satu gereja di Rawamangun.
Sandi menuturkan, saat itu pendeta mendoakan agar ia sukses dalam pertarungan
Pilgub Jakarta. Sementara foto Agus bersama pendeta tidak diketahui di mana dan
kapan foto itu diambil. (https://tirto.id/pesan-politik-terselubung-di-gereja-dalam-
pilkada-dki-ckVl diakses pada 22 Juli 2017).
Legitimasi itu pula yang kini diperebutkan di Pilkada Jakarta.
Dokumentasi foto atau video saat para kandidat didoakan oleh gereja menjadi alat
untuk menunjukkan ada kedekatan si calon dengan gereja. Sehingga warga gereja
diharapkan mendukung salah satu calon yang dekat dengan gereja.
101
Sama seperti Masjid pembentukan dan penggunaan politisasi identitas di
Gereja dapat dilihat melalui teori Stuart Hall (dalam Widayanti, 2009) melalui
pendekatan Instrumentalisme yakni memanfaatkan kondisi sentimen antar Agama
yang berkembang pada saat kasus penistaan Ahok, kemudian para elite politik
menggunakan kesempatan itu untuk menempatkan pasangan calon nya untuk
berada dekat dengan Gereja sebagai simbolik ketiga pasangan calon ini pun
mencintai keberagaman dan terutama jemaat Kristen, Ahok memiliki keuntungan
yang lebih besar dibandingkan Anies maupun Agus, karena Ahok satu-satunya
calon yang beragama Kristen, gereja menjadi kekuatan alternatif bagi ahok dalam
memobilisasi suara untuk mengembalikan suara yang tergerus akibat penolakan
nya di berbagai masjid.
Agama merupakan sesuatu yang fundamental dalam masyarakat. Agama
selalu adaa di dalam tubuh masyarakat. Kekuatan di dalam agama itu
mengalahkan kekuatan yang lainnya. Bayangkan saja, banyak perang yang
membunuh orang serta kejahatan-kejahatan lainnya atas dasar agama. Agama
tidak dapat di pisahkan dari kehidupan manusia. Seperti apa yang diungkapkan
Geertz (dalam Puspitasari, Elis,2010) bahwa adanya pengaruh agama dalam setiap
pojok kehidupan masyarakat Indonesia. Pendapat ini membuktikan bahwa agama
tidak dapat terpisahkan dari kehidupan manusia. Oleh karena itu, agama sering
kali dibawa oleh para aktor politik untuk melegitimasi kekuasaannya sehingga
terkesan mempolitisir agama.
Model kerja politisasi (identitas) agama dalam praktik politik adalah
tindakan yang mencederai demokrasi sebuah mekanisme yang seharusnya bekerja
102
pada arena rasional. Indonesia dengan demokrasinya memperlakukan siapa pun
warga secara setara di muka hukum dan pemerintahan. Dengan demokrasi pula,
siapa pun, tanpa melihat agama, etnis, dan ras, memiliki kesempatan sama untuk
menduduki jabatan apa pun dalam sistem politik dan pemerintahan.
Sifat buruk yang melekat dalam praktik politisasi agama adalah stigma
berdasar cara pandang dan sikap diskriminatif terhadap personal maupun
golongan, yang nantinya terjadi penghapusan hak-haknya untuk diperlakukan
setara.
3. Politik Identitas Ancaman Bagi Multikutralisme DKI Jakarta
Maraknya penggunaan Politisasi etnis maupun agama yang memanfaatkan
faktor sentimen yang timbul di masyarakat merupakan ancaman yang serius bagi
Multikulturalisme di DKI Jakarta, Will Kymlicka (2002) menjelaskan bahwa
Multikulturalisme adalah sebuah gagasan atau pandangan yang menekankan
pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan untuk menjamin keadilan antar
kelompok. Namun dalam praktek Pilgub DKI Jakarta 2017 sentimen etnis dan
agama terbukti berhasil di pakai sebagai senjata ampuh memenangkan pilkada
DKI Jakarta.
Salah satu bukti pemakaian sentimen etnis berhasil di Pilgub DKI Jakarta
dapat dilihat dari isi pidato kemenangan Anies – Sandi yang berisi :
"Di tempat lain mungkin penjajahan terasa jauh tapi di Jakarta bagi orang Jakarta
yang namanya kolonialisme itu di depan mata. Dirasakan sehari hari. Karena itu
bila kita merdeka maka janji janji itu harus terlunaskan bagi warga Jakarta,"
103
“Dulu semua kita pribumi dan dikalahkan, kini telah merdeka, kini saatnya kita
jadi tuan rumah di negeri sendiri. Jangan sampai Jakarta ini seperti yang
dituliskan pepatah Madura. 'etek se atellor ajam se ngeremme', itik yang bertelur
ayam yang mengerami, kita yang bekerja keras untuk merebut kemerdekaan. Kita
yang bekerja keras untuk mengusir kolonialisme. Kita semua harus merasakan
manfaat kemerdekaan di ibu kota ini” (Detik.com)
Dalam pidatonya tersebut Anies mengungkapkan dua kata penting yakni
Kolonialisme dan Pribumi penggunaan dua kata tersebut dapat disebutkan sebagai
penggunaan “dog-whistle politics”, ketika sebuah pesan politik menggunakan
bahasa berkode yang tampaknya berarti satu hal bagi satu kelompok masyarakat,
namun memiliki makna berbeda dan lebih spesifik pada kelompok tertentu dalam
hal ini dapat dilihat Anies berpendapat bahwa dirinya berhasi merebut Jakarta dari
tangan asing, isi pidato tersebut yang menganologikan etnis keturunan China
(tionghoa) adalah penjajah (kolonialisme) dan bukan warga asli negara Indonesia
(pribumi) dapat mengancam multikuturalisme Indonesia, karena menggap ketidak
bolehan warga negara keturunan asing untuk memimpin di kursi pemerintahan,
Will Kymlica (2002) berpendapat multikulturalisme dapat berjalan dengan baik
jika negara dapat menjamin hak minoritas untuk menjadi bagian dari kursi
pemerintahan untuk mengikutsertakan representasi dari kelompoknya (Special
Representation Rights) sebab negara harus menjamin keadilan antar kelompok.
Representasi kelompok seperti yang disebutkan oleh Kymlica menjadi
sangat penting di Indonesia karena dengan begitu negara memberikan
penghargaan kepada masyarakatnya minoritas dan menghargai hak nya untuk
104
meperjuangkan kepentingan kelompoknya di ranah politik, namun yang terjadi di
dalam Pilgub DKI Jakarta sebaliknya terdapat penyekatan atau pembatasan hak
minoritas dalam perpolitikan daerah, dengan mengatakan bahwa kaum muslim
hanya wajib memilih pemimpin muslim, maka secara tidak langsung masyarakat
non-muslim merasa telah dilucuti hak politik nya untuk menjadi seorang
pemimpin karena masyarakat DKI Jakarta mayoritas adalah muslim, jika
mayoritas masyarakat muslim jakarta menyuarakan "haram" untuk memilih
pemimpin non-muslim, maka otomatis masyarakat non- muslim tidak akan pernah
mendapatkan posisi sebagai pemimpin.
Charles Taylor (dalam madung, 2012) mengatakan, dalam
multikulturalisme pembentukan identitas individu maupun kelompok separuhnya
terbentuk dari rekognisi (pengakuan) atau tidak adanya rekognisi, bahkan sering
juga lewat pengakuan yang keliru dari sesama, sehingga menimbulkan kerugian
bagi individu maupun kelompok, tidak adanya pengakuan dan memberikan
gambaran yang salah terhadap individu maupun kelompok dapat menyebabkan
pelecehan, pengekangan bahkan penindaasan terhadap individu maupun
kelompok tersebut.
Pelecehan, pengekangan, dan penindasan terhadap individu atau kelompok
tertentu dapat dipandang sebagai bentuk represi dari budaya mayoritas, pelecehan
pengekangan dan penindasan yang dilakukan menyebabkan subjek yang
bersangkutan menginternalisasi perasaan rendah diri serta mengungkapkan
kembali lewat perilaku nya.
105
Bila melihat dari keadaan Indonesia saat ini dimensi rekognisi tidak
bertumbuh dengan baik karena masih adanya penggambaran yang salah akan
individu atau kelompok tertentu, mengingat Indonesia sendiri terdiri dari begitu
banyak golongan etnis maupun agama, sehingga menyebabkan adanya
ketegangan antara hak-hak kolektif yang menimbulkan konflik di masyarakat,
seperti kasus kerusuhan Agama di Ambon,Sulawesi Utara antara golongan Islam
dan Kristen yang terjadi kesalah pahaman yang menyebabkan kerusakan dan
korban yang begitu besar, kasus pembakaran Gereja di Singkil, Aceh terjadi
karena penduduk Islam di Singkil menaruh rasa curiga kepada golongan Kristen,
kelompok golongan Kristen diduga akan melakukan kristenisasi di Aceh, dan
juga kasus tragedi Sampit di Kalimantan Tengah antara Etnis dayak dengan Etnis
Madura terjadi karena ketidaksukaan etnis asli kalimantan yaitu Dayak atas
kesuksesan etnis pendatang Madura yang berakhir pada konflik pembunuhan.
Kasus-kasus tersebut menandakan upaya rekognisi terhadap etnis dan
agama di Indonesia masih sangat jauh untuk berkembang karakteristik
kewarganegaraan yang memiliki salah satu tujuan yaitu memberikan rasa hormat
dan tanggung jawab terhadap sesama warganegara yang pluralistik baik suku,
agama, ras, bahasa, ideologi politik (Ananda, 2012) gagal untuk di praktekkan di
Indonesia sehingga kelompok minoritas yang mendapatkan represi dari golongan
mayoritas cenderung akan merendahkan diri nya dan tidak berani
mengaktualisasikan diri nya sebagai representatif kelompok nya, sehingga proses
perjuangan untuk pengakuan dianggap membahayakan.
106
Begitu juga yang terjadi dalam kasus Pilgub DKI Jakarta 2017 ketegangan
antar etnis maupun agama membuat dimensi rekognisi di Jakarta tidak
berkembang dengan baik sepeti contoh kasus penjarahan, pemerkosaan dan
pembunuhan terhadap Etnis keturunan China yang dianggap sebagai penjajah
menandakan ada kekeliruan dalam penggambaran subjek. Situasi tidak
berkembang nya rekognisi di Jakarta membuat masyarakat muslim Jakarta mudah
untuk di mobilisasi dengan contoh aksi 4 november 2016 dan 2 desember 2016
yang menyuarakan anti cina dan anti kafir (kelompok non-muslim) sehingga dapat
disimpulkan kurang bertumbuhnya dimensi rekognisi di Jakarta membuat
Politisasi Identitas di Pilgub DKI Jakarta dapat di pergunakan dengan baik, hal ini
dikarenakan kurangnya pengakuan dan penggambaran yang salah akan kelompok
tertentu yang memudahkan para elite politik untuk langsung memobilisasi nya
dengan melempar isu semtimen identitas sebagai insturmen kekuatan dalam
Pilkada DKI Jakarta.
Charles Taylor (dalam, madung 2012) menjelaskan wacana inti dari
multikulturalisme adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (Strugle For
Recognition) teori ini muncul atas analisa gerakan kelompok minoritas pada abad
ke 20 baik dalam hal agama maupun etnis, Strugle For Recognition dapat juga
diartikan sebagai perjuangan untuk melindungi dan mempertahankan identitas
kelompok atau individu yang memiliki keunikan tersendiri baik ajaran maupun
perbuatan, dalam penjelasan diatas kaum mayoritas merasa terancam dengan
kehadiran minoritas karena dianggap bisa melunturkan atau menggantikan posisi
107
kelompok mayoritas, timbulnya persepsi buruk tersebut membuat mayoritas
melakukan tindak kan represi yang bisa berujung pada konflik.
Ketegangan antar Etnis maupun Agama di Indonesia sesungguhnya dapat
teratasi bila setiap Etnis maupun Agama mau membangun dimensi rekognisi antar
golongan yang berbeda, hal ini diupayakan sebagai salah satu contoh bentuk
penyelesaian ketegangan antar masyarakat multikultur dengan mengedepankan
pengakuan dan dialog antar golongan, rekognisi penting dalam relasi
kewarganegaraan dalam memenuhi haknya karena jika rekognisi dapat berjalan
dengan baik tidak ada hambatan bagi golongan minoritas yang juga merupakan
warga negara untuk memenuhi haknya seperti hak politik maupun hak ekonomi.
Namun dalam Pilgub DKI Jakarta 2017 proses rekognisi yang seharusnya berjalan
dengan baik guna sebagai salah satu syarat untuk mencapai pemenuhan hak warga
negara tidak berjalan dengan mulus, karena tidak ada pengakuan kelompok
mayoritas terhadap kelompok minoritas di tambah lagi dengan politisasi identitas
yang tumbuh subur dalam Pilkada menyulitkan golongan minoritas untuk
mendapatkan hak nya terutama hak politik.
Sehingga realitas yang tumbuh di masyarakat DKI Jakarta lebih
mengedepankan faktor Identitas pasangan calon dibandingkan dengan adu
gagasan para pasangan calon, orientasi pemilih di DKI Jakarta akan lebih tertuju
pada kecenderungan memilih pemimpin sesuai identitas yang dimilikinya baik
identitas etnis maupun identitas agama, faktor tersebut lahir karena kegagalan
dalam proses rekognisi golongan di Jakarta, sehingga prasangka buruk selalu
muncul kepada setiap golongan yang ada, terlebih dalam pertarungan antara Agus,
108
Anies dan Basuki. Banyak umat muslim di Jakarta cenderung menggangp Basuki
adalah ancaman bagi islam, walaupun tingkat kepuasan publik terhadap pelayanan
Basuki selama memimpin Jakarta besar yakni 72,2 persen (survei litbang Kompas
tahun 2017) nyatanya hal tersebut tidak berpengaruh terhadap peningkatan suara
Basuki, banyak masyarakat muslim yang sudah terlanjur menganggap Basuki
adalah ancaman dan lebih memilih pasangan agus ataupun anies karena memiliki
identitas golongan yang sama.
Jika elite politik di Jakarta menggunakan isu sentimen Agama dan Etnis
sebagai senjata dalam meraih suara, maka bukannya tidak mungkin daerah lain
akan mengikuti cara tersebut, yang mana hal tersebut sangat berbahaya bagi
kedamaian dan keutuhan negara . Model mobilisasi politik yang mengeksploitasi
agama dan etnis akan merambat dengan sangat cepat, apalagi di daerah-daerah
yang sentimen keagamaann dan etnisnya masih sangat kuat seperti Ambon,
Maluku, Aceh, Papua dan lain sebagainya. Agama dan Etnis hanyalah sebuah
atribut, dia bukan substansi.
109
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kemenangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno dalam Pemilihan Kepala
Daerah DKI Jakarta 2017 menjadi bukti berhasilnya Identitas menjadi basis
kekuatan penting. Politik identitas menjadi sangat subur dibangun dalam proses
pemilihan kepala daerah karena dilakukan secara intens dalam bentuk interaksi
simbolik untuk memobilisasi dukungan massa. Politik identitas berangkat dari
base on identity (identitas) dan base on interest (kelompok kepentingan) dua
faktor ini dijadikan instrumen untuk memperoleh simpati dari masyarakat.
Pembentukan dan Penggunaan Politik Identitas dalam Pilkada DKI Jakarta
2017 muncul dengan adanya pendekatan Instrumentalisme yang memanfaatkan
kondisi yang terjadi di akar rumput untuk kemudian dipergunakan sebagai
instrumen kekuatan dalam merebut kekuasaan, pemebentukan ini diawali dengan
serangkaian aksi atas reaksi penistaan Agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahja
Purnama selaku Gubernur DKI Jakarta menjelang Pilkada, mulai dari aksi
demonstrasi massa pada tanggal 4 november 2016 dan 2 desember 2016 sampai
pada bentuk intimidasi terhadap golongan yang mendukung pasangan Basuki –
Djarot yang di label kan sebagai Kafir dan Haram jika memilih pasangan tersebut.
Merebaknya sentimen politik identitas di ranah publik dalam perhelatan
demokrasi seperti pilkada DKI Jakarta merupakan ulah dari sekelompok elite.
Baik itu elite partai politik yang haus akan kekuasaan maupun pemimpin
organisasi massa yang selama ini merasa terpinggirkan, mereka saling
110
berkepentingan lalu memanfaatkan sentimen tersebut untuk melempengkan jalan
masing-masing.
Elite politik menjadi penting dalam pemilihan umum karena elite politik
merupakan individu yang menduduki posisi komando pada pranata-pranata utama
dalam masyarakat. Dengan kedudukan tersebut para elite politik bisa mengambil
keputusan keputusan yang membawa akibat yang dirasakan oleh seluruh lapisan
masyarakat, dengan mengandalkan posisinya tersebut para elite politik bisa sangat
mudah untuk menggunakan sentimen identitas dalam pemilihan umum termasuk
Pilkada DKI Jakarta, tumbuh subur nya sentimen tersebut di masyarakat Jakarta,
menjadi bukti masyrakat Jakarta masih mudah termakan isu-isu seputar sentimen
Agama maupun Etnis dibandingkan melihat adu gagasan atau prospek kinerja
calon pemimpin nya.
Kajian ini menjadi menarik mengingat Jakarta merupakan Ibu Kota
Negara yang menjadi barometer bagi daerah lain nya di Indonesia, Politisasi
identitas sebagai agenda politik utama dalam pemilihan umum daerah yang terjadi
dijakarta bisa saja akan ditiru oleh elite politik daerah lain nya yang daerahnya
masih sangat kuat sentimen identitasnya seperti Aceh, Ambon, maupun Papua.
Hal ini berdampak akan mundurnya demokrasi di Indonesia karena orientasi
pemilih akan beralih kepada kesamaan Identitas, dan bukan tak mungkin jika hal
ini berlanjut akan terjadi konflik di sekala daerah maupun nasional karena
kelompok minoritas yang juga warganegara terlucuti hak politik nya karena tidak
dapat merepresentasikan kelompok nya dalam lingkup pemerintahan maupun
111
tidak adanya kesempatan untuk menjadi pemimpin selama sentimen identitas di
jadikan agenda politik utama dalam pemilihan umum.
Selain peran besar elite politik maupun organisasi massa dalam
menumbuhkan Sentimen Identitas di masyarakat, kemungkinan ada juga
keterlibatan Lembaga Agama yang menjadi salah satu aktor politik penggerak
suara masyarakat, mengingat dalam meraih simpati publik pasangan calon banyak
mengunjungi tempat ibadah ataupun Lembaga Agama untuk menggaet suara
pemilih hal ini lah yang belum bisa peneliti bongkar lebih lanjut di dalam
penelitian ini,
Dimensi rekognisi yang tidak mengalami pertumbuhan merupakan alasan
mengapa politik identitas menjadi sangat tumbuh pesat dalam pemilihan umum,
selama tidak adanya rekognisi antar golongan politisasi identitas menjadi bahaya
laten yang dapat merusak multikuturalisme Indonesia. Inilah yang menjadi
tantangan kedepan bagi pemerintah, partai politik maupun masyrakat untuk dapat
mengembangkan dimensi rekognisi melalui dialog antar golongan, agar politisasi
identitas tidak dapat tumbuh di masyarakat dan menjaga keutuhan perstuan
bangsa.
B. Saran
Adapun saran dalam penelitian ini adalah untuk bisa menjadi masukan
terhadap pemerintah, partai politik dan masyrakat jakarta, agar lebih bisa
memperhatikan lagi bahaya penggunaan politik identitas yang mengancam
multikulturalisme di Indonesia pada umum nya dan Jakarta terkhususnya:
112
1. Riset tentang multikulturalisme politik menarik untuk dilakukan karena
keberagaman di Indonesia, maka harus dikembangkan serta harus adanya
kebijkan-kebijakan yang mengakomodasi multikulturalisme di masyarakat.
2. Politisasi Identitas di dalam Pemilihan umum harus dihentikan karena
menunjukan adanya kemunduran dalam iklim demokrasi di Indonesia,
politisasi identitas membuat masyrakat tidak perduli lagi dengan adu
gagasan calon pemimipin nya tetapi lebih kepada kesamaan identitas calon
pemimpin nya.
3. Partai Politik dan Pemerintah harus membangun kerjasama strategis guna
memberikan pendidikan politik kepada masyarakat agar isu sentimen dan
politisasi identitas tidak lagi menjadi kekhawatiran dalam kontestasi
Pemilihan Umum ditingkat nasional atu daerah.
113
Daftar Pustaka
Buku
Abdillah, Ubed. 2002. Politik Identitas Etnis. Pergulatan Tanda Tanpa
Identitas. Magelang: Indonesia Tera.
Afillah, Muhammad. 2016. Dari Masjid Ke Panggung Politik : Melacak
Akar-akar Kekerasan Agama Antara Komunitas Sunni dan Syiah di
Sampang, Jawa Timur, Penerbit CRCS (Center for Religious and
Cross-cultural Studies) Progam Studi Agama dan Lintas Budaya
Sekolah Pascasarjana Lintas Disiplin, Universitas Gadjah Mada
Ardhana, Ketut. 2011. “Etnisitas dan Identitas: Integrasi Etnis dan
Identitas dalam Terwujudnya Masyarakat Multibudaya di Bali”, dalam
Masyarakat Multikultursl Bali: Tinjauan Sejarah, Migrasi, dan
Integrasi. Denpasar: Larasan dan Faksas.
Arikunto , S. 2006. Prosedur Penelitian Suatau Pendekatan Praktik .
Bandung Rineka Cipta
Bagir, Zainal Abidin. 2011. Pluralisme Kewarganegaraan, Arah Baru
Politik Keragaman Di Indonesia. Bandung-Yogyakarta : Mizan dan
CRCS
Blackburn, Susan. 2013. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Komunitas Bambu
Budiarjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama
Chaer, Abdul. 2012. Folklor Betawi: Kebudayaan dan Kehidupan Orang
Betawi. Jakarta: Masup Jakarta.
Hamid, Abdul 2017. Studi Ilmu Politik. Sebuah Pengantar. Serang: Untirta
Press
Kymlicka, Will. 2002. Kewargaan Multikulural: Teori Liberal Mengenai
Hak-hak Minoritas.LP3ES
Moleong, Lexy.J. 2011. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Mulyana, Deddy 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif : Paradigma Baru
Ilmu. Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung : Remaja
Rosdakarya.
------------------------2001. Mengapa dan Untuk Apa Kita Mempelajari
Komunikasi Antar Budaya, Dalam: Komunikasi Antar Budaya,
Panduan Berkomunikasi Dengan Orang-Oang Berbeda Budaya,
Editor: Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Nasution S. 2003. Metode penelitian naturalistik – kualitatif. Bandung:
Tarsito.
114
Sayekti Pujosuwarno. 1992. Penulisan Usulan dan Laporan Penelitian
Kualitatif. Yogyakarta: Lemlit IKIP Yogyakarta
Syaodih Sukmadinata, Nana, 2005, Metode Penelitian Pendidikan, Badung
: Remaja Rosda Karya
Widayanti, Titik. 2009. Politik Subalter: Pergulatan Identitas Waria.
UGM. Yogyakarta
Sumber Lain
Data KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) DKI Jakarta
Data BPS (Badan Pusat Statistik) DKI Jakarta
Data BAWASLU (Badan Pengawas Pemilu) DKI Jakarta
Jurnal/ Tesis:
Fikri, Adrian. 2013 Identitas etnis dalam pemilihan kepala daerah 2012.
UIN Jakarta
Haboddin, Muhtar. 2012 “Menguatnya Politik Identitas Diranah Lokal”
Jurnal Studi Ilmu Pemerintahan UMY
Hamid, Abdul. 2014. “Jokowi’s Populism in the 2012 Jakarta
Gubernatorial Election” in: Journal of Current Southeast Asian
Affairs, 33, 1, 85–109.
Kaliwarang, Harry. 1998 Peranan Agama Dalam Percaturan Politik
Madung, Otto. 2012 “Politik Diferensasi : Memahami Konsep
Multikulturalisme Charles Taylor” Sekolah Tinggi Filsafat Katolik
Ledalero
Marzuki, Muhammad. 2010 “Perspektif Etnik Situasional Dalam
Komunikasi Politik Anggota Dprd Pada Wilayah Multi Etnik” Jurnal
Academica Fisip Untad Vol.2 No.2
Miichi, Ken. 2014. “ The Role of Religion and Ethnicity in Jakarta’s 2012
Gubernatorial Election”, in: Journal of Current Southeast Asian
Affairs, 33, 1, 55 – 83.
Munir, Asep. 2018 “Agama, Politik Dan Fundamentalisme” Jurnal For
Islamic Studies vol.1
Puspitasari, Elis. 2010 “Politisasi Agama: Kajian Tentang Politisasi
Agama oleh Para Caleg pada Pemilu Legislatif 2009 di Banyumas”
Setyaningrum, Arie. 2005. “Memetakan Lokasi bagi „Politik Identitas‟
dalam Wacana Politik Poskolonial”. Jurnal Mandatory Politik
Perlawanan. Edisi 2/ Tahun 2/ 2005 hal 19
115
Sofianto, Arif. 2007 Stanford Encyclopedia of Philosophy, The Role of
Religion in Voters’ Preference During General Election 2014 in
Central Java.
Internet
Muslim (2017) “Jenazah Nenek Hindun Ditelantarkan warga setelah
memilih Ahok” Diakses melalui
http://news.liputan6.com/read/2882270/jenazah-nenek-hindun-
ditelantarkan-warga-setelah-pilih-ahok, pada hari Jumat 23 maret
2018 pukul 17:00 WIB.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta “ Geografis Jakarta” Diakses melalui
https://jakarta.go.id/artikel/konten/55/geografis-jakarta pada hari
Senin, 25 Juni 2018 Pukul 10:00 WIB
DPRD DKI Jakarta “Sejarah DPRD DKI Jakarta “ Diakses melalui
http://dprd-dkijakartaprov.go.id/sejarah pada hari Minggu, 1 Juli 2018
pukul 13:00 WIB
Wikipedia “DPRD DKI Jakarta” Diakses melalui
https://id.wikipedia.org/wiki/Dewan_Perwakilan_Rakyat_Daerah_Pro
vinsi_Daerah_Khusus_Ibukota_Jakarta pada hari Minggu, 1 Juli 2018
Pukul 13:05 WIB
Wijaya, Natalya (2017). “Gubernur Jakarta Dari Masa Ke Masa” Diakses
melalui http://www.damniloveindonesia.com/explore/2-culture-
heritage/detail/1204/gubernur-jakarta-dari-masa-ke-masa Senin, 25
Juni 2018 pukul 14:00 WIB
Amri, Arfi (2012). “Exit Poll Pemilih Foke Dan Jokowi Berdasarkan
Etnis” Diakses melalui http://metro.news.viva.co.id-exit-poll–pemilih-
foke-dan-jokowi-berdasar-etnis pada hari Senin, 9 Juli 2018 Pikul
15:20 WIB
Republika (2015). “MUI : Muslim Jangan Pilih Pemimpin Non-Muslim”
Diakses melalui https://www.republika.co.id/berita/pemilu/hot-
politic/14/03/21/n2siql-mui-muslim-jangan-memilih-pemimpin-
nonmuslim pada hari Sabtu, 7 Juli 2018 Pukul 19:00 WIB
Tempo (2017). “Survei Pilkada, Sentimen Agama Meningkat di Jakarta”
Diakses melalui https://fokus.tempo.co/read/1001145/survei-pilkada-
sentimen-agama-meningkat-di-jakarta pada hari Senin, 9 Juli 2018
Pukul 16:00 WIB
BBC Indonesia (2017) “Anies-Sandi 'gunakan masjid' untuk kalahkan
Ahok-Djarot?” Diakses melalui
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39494240 pada hari
Minggu, 8 Juli 2018 Pukul 12:20 WIB
116
CNN Indonesia (2017) “Menyimak Isis Khotbah Jumat Di Masjid Tamsya
Al-Maidah” Diakses melalui
https://www.cnnindonesia.com/kursipanasdki1/20170421163211-516-
209318/menyimak-isi-khotbah-jumat-di-masjid-tamasya-al-maidah/
pada hari Minggu, 8 Juli 2018 Pukul 13:40 WIB
Jappy (2013) “Sentimen SARA” Diakses melalui
https://www.kompasiana.com/opajappy/552914c06ea8343a3c8b45d6/
sentimen-sara pada hari Selasa, 10 Juli 2018 pukul 13:00 WIB
Ismail, Taufik (2017) “Dianggap Lingkungan Masjid, Panitia Pengawas
Kecamatan Senen Minta Kampanye Anies Dihentikan” Diakses
melalui
http://www.tribunnews.com/metropolitan/2017/03/09/dianggap-
lingkungan-masjid-panitia-pengawas-kecamatan-senen-minta-
kampanye-anies-dihentikan pada hari Jumat, 13 Juli 2018 pukul 09:00
WIB
Kumpara (2017) “Agus Resmikan Masjid di Jelambar Sambil Kampanye”
Diakses melalui https://kumparan.com/@kumparannews/agus-
resmikan-masjid-di-jelambar-sambil-kampanye pada hari Jumat, 13
Juli 2018 Pukul 09:10 WIB
Nahimunkar (2016) “Usai di Kalideres dan Grogol, Kedatangan Ahok ke
Penjaringan Juga Ditolak Warga DKI” Diakses melalui
https://www.nahimunkar.org/usai-kalideres-dan-grogol-kedatangan-
ahok-penjaringan-ditolak-warga-dki/ pada hari Jumat, 13 Juli 2018
Pukul 09:30 WIB
Pendidikan Formal
Pendidikan Tertinggi
Sekolah Menegah Atas
Sekolah Menengah Pertama
: SMA.N 105 – Jakarta 2014
: SMP.N 106 – Jakarta 2011
Sekolah Dasar : SD.K Ignatius Slamet Riyadi – Jakarta 2002-2008
Taman Kanak-Kanak : TK Marsudi Luhur – Jakarta 2000-2001
: S1 Ilmu Pemerintahan Universitas Sultan Ageng Tirtayasa - Banten
Identitas Personal
Nama
Jenis Kelamin
: Andy Prima Sahalatua
: Laki-laki
Kewarganegaraan
Agama
: Indonesia
: Kristen Protestan
Status : Single
Tempat Lahir
Tanggal Lahir
Berat / Tinggi Badan
: Jakarta
: 14 Agustus 1996
: 68 kg / 178 cm
Alamat
No. Hp.
: Jl. H. Baping Gg. Asam No. 95, Ciracas, Jakarta Timur
: 0821-2033-7301
Alamat Email : [email protected]
Pendidikan Non Formal
2013 : Petrof Piano House
2009 - 2012 :Wadokai Karatedo Indonesia
+62 821 2033 7301
Penghargaan
2012 : Siswa Berprestasi DKI Jakarta
2016 :Youth Governance Ambassador OJK RI
Pengalaman Organisasi
• OSIS SMP.N 106 Jakarta
• OSIS SMA.N 105 Jakarta
• Kepala Departemen Minat Dan Bakat HIMA IP FISP UNTIRTA
• Kepala Departemen Kajian Strategis Dan Advokasi BEM FISIP UNTIRTA
• Languages Skill (Bahasa, English, Korea Basic)
• Sekretaris Fungsi Perguruan Tinggi GMKI Cabang Serang
• Ikatan Lemabaga Mahasiswa Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Seluruh Indonesia
+62 821 2033 7301
1
Lampiran
Sistematika Bab Jenis
Data
Sumber Data Pedoman Wawancara
A. Menguatnya
identitas di
masyarakat
pasca aksi
damai 212
menjelang
Pilkada DKI
Jakarta tahun
2017
Data
Primer
- Tim sukses
pasangan
calon
- Alumni
aksi damai
212
- Menurut
Saudara
adakah
pengaruh
kasus
penistaan
Agama salah
satu calon
Gubernur DKI
Jakarta
terhadap
perilaku
pemilih?
- Apakah aksi
damai 212
pada akhir
tahun 2016
ada kaitan nya
dengan
pilkada DKI
2
Jakarta 2017?
- Menurut
saudara
adakah
indikasi
politisasi
Identitas
dalam aksi
damai 212
tersebut?
B. Penggunaan isu
Agama dan
Etnis dalam
pilkada 2017
Data
Primer
dan
Sekunder
- Tim sukses
pasangan
calon
- Apakah ada
penggunaan
isu Agama
maupun etnis
yang
menyerang
pasangan yang
saudara
dukung?
- Adakah
saudara
3
- Alumni
aksi damai
212
beserta timses
lain nya
menggunakan
isu Agama
atau Etnis
unutk
menggaet
simpati
pemilih?
- Bagaimana
cara saudara
mengatasi Isu
Identitas yang
menyerang
pasangan
calon yang
saudara
dukung?
- Bagaimana
tanggapan
saudara
mengenai
menguatnya
4
C. Kampanye
politik yang
mengandung isu
Data
Primer
dan
- Bawaslu
DKI
Jakarta dan
KPUD
DKI
Jakarta
- Tim sukses
pasangan
isu identitas
Agama dan
Etnis dalam
pilkada DKI
Jakarta?
- Apa Pendapat
saudara
mengenai
menguatnya
isu identitas
Agama dan
Etnis dalam
pilkada DKI
Jakarta?
- Apa
tanggapan
saudara
mengenai
adanya
kampanye
yang berunsur
SARA baik
dalam bentuk
5
SARA
Sekunder
calon
- Bawaslu
DKI
Jakarta
- KPUD
DKI
Jakarta
media cetak
maupun di
media elektro
nik?
- Adakah
pelanggaran
kampanye
politik yang
dilakukan
timses atau
simpatisan
pasangan
calon yang
mengandung
isu SARA?
- Bagaimana
cara Bawaslu
mengatasi
Kampanye
politik yang
mengandung
unsur SARA?
- Bagaimana
6
D. Pembelahan
Sosial di
masyarakat
akibat
menguatnya
politik Identitas
di Pilkada DKI
Data
Primer
- Tim sukses
pasangan
calon
- Alumni
Aksi damai
212
- Bawaslu
DKI
Jakarta
- KPUD
DKI
Jakarta
cara KPUD
DKI Jakarta
dalam
mensosialisasi
kan pemilu
yang bebas
dari isu
SARA?
- Apa pendapat
saudara
mengenai
fenomena
kasus yang
terjadi di
Setiabudi
Jakarta
Selatan yang
dialami oleh
alm.nenek
Hindun yang
tidak boleh di
shallat kan di
salah satu
7
Jakarta masjid karena
mendukung
pasangan
calon yang
berbeda
agama?