PERAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN …
Transcript of PERAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN …
20
PERAN HUKUM INTERNASIONAL DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PERBATASAN1
Jawahir Thontowi2
Fakultas Hukum universitas Islam Indonesia
Jl. Tamansiswa No/158 Yogyakarta
Abstrak
Penguasaan kepemilikan atas suatu wilayah merupakan salah satu tujuan suatu
negara. Permasalahan terkait wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia kerap terjadi
semenjak kemerdekaan masing-masing negara. Persengketaaan wilayah perbatasan
umumnya timbul karena perbedaan pandangan tentang garis batas antara suatu
Negara atas garis batas yang terletak dalam gambar.
Hukum internasional telah sejak lama mengatur dengan jelas dan memberikan
kepastian hukum tentang wilayah perbatasan suatu negara. Penentuan batas-batas
suatu negara tersebut ditentukan oleh proses-proses hukum internasional, baik
mempergunakan konsep self determination, asas uti possidetis, dan perjanjian batas
negara. Sehingga penentuan batas-batas suatu negara diharapkan tidak lagi
menimbulkan konflik. Perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda pada masa
sebelum kemerdekaan Indonesia dan Malaysia, telah memberikan kepastian hukum
tentang batas-batas antara kedua negara. Sehingga, dasar hukum pemerintahan
kolonial tersebut sudah sepantasnya dijadikan bahan acuan bagi Indonesia dan
Malaysia untuk menentukan luas wilayahnya masing-masing.
Kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan antara Indonesia dan Malaysia perlu
untuk semakin ditingkatkan. Hal ini tentu saja memandang bahwa wilayah perbatasan
di Pulau Kalimantan sungguh mengalami ketimpangan, baik sarana dan prasarana
diantara kedua negara.Peningkatan kualitas sumber daya masyarakat lokal melalui
1 Disampaikan dalam Seminar Nasional bertema: “Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Warga
Negara di Wilayah Perbatasan Provinsi Kalimantan Utara”. Diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Borneo Tarakan pada Selasa, 17 Mei 2016 di Lantai 4 Rektorat Universitas Borneo Tarakan, Tarakan, Kalimantan Utara.
2 Penulis adalah Guru Besar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, dan Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Lokal (Centre for Local Law Development Studies - CLDS) FH UII Yogyakarta.
21
capacity building programe, diharapkan dapat meningkatkan peran penegakan hukum
yang berasaskan pada kearifan lokal masyarakat wilayah perbatasan.
Abstract
Ownership of a territory is one of the goals of a country. Issues related to Indonesia-
Malaysia border region often occur since independence of each country. Border area
disputes generally arise because of differences in views about the boundary line between a
State over the boundary line that lies in the map.
International law has long regulated clearly and provided legal certainty about the
border region of a country. The determination of the boundaries of a country is
determined by the processes of international law, both using the concept of self-
determination, the principle of uti possidetis, and the boundary agreement of the state. So
the determination of the boundaries a country is expected no more cause conflict. A
bilateral agreement between Britain and the Netherlands in the pre-independence period
of Indonesia and Malaysia, has provided legal certainty about the boundaries between the
two countries the legal basis of the colonial government should be used as a reference for
Indonesia and Malaysia to determine the area of their respective territories.
Cooperation of border area management between Indonesia and Malaysia needs to
be improved. This, of course, considers that the border areas on the island of Borneo are
indeed inequalities,for both facilities and infrastructure between the two
countries.Improving the quality of local community resources through capacity building
programe, is expected to increase the role of law enforcement based on local wisdom of
border areas community.
1. Pendahuluan
Penguasaan kepemilikan atas suatu wilayah merupakan salah satu tujuan suatu
negara. Akuisisi dan pemanfaatan wilayah tidak saja sebagai bukti adanya kedaulatan
suatu negara, namun juga untuk memperebutkan sumber daya alam yang terkandung
baik didalam maupun diatas wilayah tersebut. Dalam perkembangannya di dunia
modern saat ini, konflik atau persengketaan suatu wilayah masih saja terjadi,
khususnya pada daerah yang menjadi wilayah perbatasan antar-negara. Secara umum,
22
terdapat 9 (sembilan) faktor-faktor suatu negara melakukan klaim wilayah terhadap
negara lain (negara tetangganya), yaitu: perjanjian (treaties), geografi (geography),
ekonomi (economy), budaya (culture), penguasaan secara efektif (effective control),
sejarah (history), uti possidetis juris, elitism, dan ideologi (ideology).3
Wilayah perbatasan negara memiliki peran sangat strategis bagi suatu negara.
Selain merupakan batas kedaulatan juga merupakan wilayah yang merefleksikan
halaman depan suatu negara yang bersinggungan langsung dengan negara tetangga,
oleh sebabnya wilayah ini cenderung menjadi isu sensitif jika terjadi ketegangan antar
negara.4 Makna kawasan perbatasan dapat dipandang dari dua hal yang berbeda yakni
secara geografis maupun politis. Menurut Oppenheim, wilayah perbatasan secara
geografis dapat dimaknai sebagai garis imajiner pada permukaan bumi yang
memisahkan wilayah negara yang satu dengan yang lainnya.5 Disini terdapat indikator
secara fisik dan dapat dibuktikan melalui perjanjian atau melalui sebuah peta.6
Sedangkan menurut Victor Prescott, wilayah perbatasan dapat juga dimaknai secara
politis: batas negara memberikan peluang bagi negara untuk menerapkan prinsip
kedaulatannya secara eksklusif.7
Wilayah perbatasan merupakan suatu kawasan strategis, karena secara geografis
kawasan perbatasan memiliki potensi sumber daya alam dan peluang pasar.
Kedudukannya yang bersinggungan langsung dengan negara tetangga, menunjukan
bahwa wilayah perbatasan merupakan area vital, karena secara geo-politik kawasan
perbatasan berkaitan dengan aspek kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan, rasa
kebangsaan, ideologi, sosial, ekonomi, dan politik.8
Permasalahan terkait wilayah perbatasan Indonesia – Malaysia kerap terjadi
semenjak kemerdekaan masing-masing negara. Persengketaaan wilayah perbatasan
umumnya timbul karena perbedaan pandangan tentang garis batas antara suatu Negara
atas garis batas yang terletak dalam gambar. Menurut Merrils, setiap sengketa adalah
3 Brian Taylor Sumner, Territorial Disputes At The International Court of Justice, Duke Law
Journal, Vol. 53, No. 1779, 2004, hlm. 1779. 4 Juni Suburi, 2010, hlm: 123. 5 Hans Lauterpach Oppenheim, 1992, hlm: 61. 6 Brownlie, 1973, hlm: 3. 7 Victor Prescott dan Gillian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries, Leiden –
Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008, hlm. 139. 8 Irwan Lahnisafitra, Kajian Pengembangan Wilayah Pada Kawasan Perbatasan Kalimantan
Barat - Sarawak, Thesis Master-S2 Pada Program Pasca Sarjana Institute Teknologi Bandung, 2005, hlm. 3.
23
konflik, tidak semua konflik dapat dikategorikan sebagai sengketa tetapi tergantung
kepada kompleksitas permasalahan antara para pihak, dan dalam situasi tersebut
terdapat banyak perselisihan yang spesifik. Sengketa internasional adalah sengketa
yang secara eksklusif bukan merupakan urusan dalam negeri suatu negara. Sengketa
internasional juga tidak hanya eksklusif menyangkut hubungan antar negara saja
mengingat subjek-subjek hukum internasional saat ini, melainkan sudah mengalami
perluasan sedemikian rupa melibatkan banyak aktor non negara.9
Dalam hukum internasional, dikenal dua macam sengketa internasional, yaitu
sengketa hukum (legal or judicial disputes) dan sengketa politik (political or
nonjusticable disputes). Tidak ada kriteria yang jelas dan diterima secara umum
mengenai pengertian kedua istilah tersebut. Suatu sengketa yang kerap kali dipakai
menjadi ukuran sebagai sengketa hukum internasional, menakala sengketa tersebut
bisa atau dapat diserahkan dan diselesaikan oleh Pengadilan Internasional.10 Suatu
sengketa hukum, bisa berupa penetapan garis batas wilayah, pelanggaran hak-hak
istimewa diplomatik, sengketa hak-hak dan kewajiban dalam perdagangan, dan lain-
lain.
Sebagai contoh sengketa antara Indonesia dengan Malaysia adalah mengenai hak
kepemilikan atas Pulau Sipadan dan Ligitan tahun 1998 dibawa ke ICJ, kemudian pada
17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa melalui
lembaga voting. Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang
berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim, 15 merupakan hakim tetap dari Mahkamah
Internasional, sementara satu hakim pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh
Indonesia. Kemenangan Malaysia berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa
memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu
pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara
nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak
terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an.
Malaysia juga membangun resort dan cottage di Sipadan dan Ligitan, pulau Sipadan
yang hanya luasnya 4 km2 itu, kini siap menanti wisatawan.11
9 Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010, hlm. 322. 10 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004,
hlm. 3. 11Lihat Sengketa Sipadan Ligitan, dalam
id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan , diakses 14 Mei 2016.
24
Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai ini dijelaskan lebih lanjut oleh
Pasal 33 Piagam PBB. Selengkapnya, pasal ini menyatakan:
Para pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan
membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus pertama-tama
mencari penyelesaian dengan cara negoisasi (perundingan), penyelidikan, mediasi,
konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-organisasi
atau badan-badan regional, atau cara penyelesaian damai lainnya yang mereka
pilih.
Klaim suatu negara atas wilayah yang menjorok ke kedaulatan negara lain, seringkali
menjadi penyebab terjadinya sengketa. Prinsip penerapan uti posidetis, perbedaan
pemahaman penetapan batas (delimitation) dan penentuan tanda-tanda perbatasan
(demarcation), faktor geografis dan politis lainnya, merupakan faktor penyebab
persengketaan12. Terkadang, pergeseran patok-patok di wilayah perbatasan juga bisa
terjadi disebabkan karena faktor bersifat alamiah.
Selain konflik perbatasan, tidak kalah pentingnya perhatian Pemerintah Pusat
terhadap masyarakat di wilayah perbatasan Indonesia yang masih tetap termarjinalkan,
(1) mereka hidupnya terisolasi, tingkat aksesibilitasnya rendah; (2) tingkat pendidikan
dan kesehatan memprihatinkan; (3) rendahnya kesejahteraan sosial ekonomi; (4)
terbatasnya sarana prasarana; (5) terbatasnya kemampuan SDM Pemerintahan. Selain
ancaman kemiskinan tidak kalah pentingnya ancaman memudarnya ideologi dan nilai-
nilai kebangsaan.13
Situasi masyarakat perbatasan yang termarjinalkan tersebut tidak lain karena
kesalahan paradigma pembangunan Indonesia yang hanya sebatas janji. Ketimpangan
pembangunan sebagai akibat keterpurukan pembangunan yang tidak berkeadilan14. Hal
ini telah menyebabkan terjadinya berbagai permasalahan seperti perubahan batas-
batas wilayah, penyelundupan barang dan jasa, kemiskinan di wilayah tersebut, serta
pelanggaran dan kejahatan lintas negara (transnational crimes). Fenomena tersebut,
bukan tidak diketahui oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Namun political will
dan keberpihakan terhadap kesejahteraan penduduk di wilayah perbatasan sangat
12 Malcolm Shaw, 1986, hlm. 225. 13 Sunaryadi, 2010, hlm: 56. 14 Mahendra Putra Karunia, Kawasan Perbatasan RI: Kesabaran Tak Berbatas, Menanti Janji
Sebatas Janji, 2012.
25
rendah, khususnya di wilayah Kalimantan. Pembangunan memang ada, tetapi bersifat
parsial dan tidak terintegrasi, sehingga tidak ada perubahan yang signifikan, dan
karenanya kondisi wilayah perbatasan Indonesia stagnan, sementara pembangunan di
perbatasan Malaysia semakin maju.15
Adapun makalah ini menempatkan permasalahan sebagai berikut: Pertama,
bagaimanakah pengaturan wilayah perbatasan dalam Hukum Internasional? Kedua,
adakah Perjanjian Internasional antara Belanda dengan Inggris tentang batas wilayah
Indonesia dan Malaysia? Ketiga, bagaimana upaya peningkatan pengelolaan wilayah
perbatasan melalui kerjasama antar negara? Dan keempat, bagaimana pemenuhan hak-
hak konstitusional bagi warga negara di wilayah perbatasan?
2. Pembahasan
Pengaturan Wilayah Perbatasan dalam Hukum Internasional
Hukum internasional telah mengalami perkembangan mengenai pengaturan
wilayah perbatasan negara. Pada zaman klasik atau masa kolonialisme, penentuan batas
wilayah suatu negara lebih banyak dipengaruhi melalui tindakan okupasi, preskripsi,
cessi, akresi, penaklukan, dan akuisisi.16 Sedangkan dalam perkembangan di era
moderen, penentuan batas wilayah lebih ditentukan melalui proses-proses hukum
internasional, seperti self determination, asas uti possidetis, dan perjanjian-perjanjian
terkait batas negara.17 Ketiga model terakhir ini telah diakui oleh masyarakat
internasional sebagai suatu cara dalam penentuan wilayah, utamanya terkait self
determination bagi negara-negara yang baru merdeka atau melepaskan diri dari negara
induknya. Sebagai contoh, Timor-Leste, Kosovo, dan negara-negara pecahan Uni Sovyet
di belahan bumi Eropa.
Mekanisme penentuan batas wilayah negara antara Indonesia dengan Malaysia,
sebelum masing-masing memerdekakan diri ditentukan dengan asas uti possidetis.
Secara terminologi, hal ini berarti bahwa wilayah dan kekayaan yang berada
didalamnya mengikuti pemilik asal (predecessor) atau negara penjajah kepada negara
baru (jajahan). Wilayah negara Indonesia di Kalimantan merupakan hasil dari
15 Harian Kompas Edisi 4 April 2008 16 Saru Arifin, Hukum Perbatasan Darat Antarnegara, Jakarta: Sinar Grafika, 2014, hlm. 60. 17 Templeman, L, Public International Law, London: Old Bailey Press, 1997, dalam Benny
Setiono, Prinsip-prinsip Modern tentang Kedaulatan Wilayah, dalam Saru Arifin, Ibid, Hukum Perbatasan Darat..., hlm. 60.
26
penguasaan wilayah oleh Belanda, sedangkan wilayah negara Malaysia berasal dari
wilayah yang dikuasai oleh Inggris.
Penggunaan prinsip Uti Possidetis menurut sebagian ahli hukum internasional,
seperti Paul R. Hensel, Michael E. Allison, dan Ahmed Khanani dirasakan dapat lebih
menciptakan stabilitas di perbatasan dibandingkan perbatasan negara-negara yang
tidak merupakan hasil warisan dari negara penjajah. Alasannya adalah bahwa para
penguasa kolonial (predecessor) telah meletakkan dasar-dasar batas negara secara jelas
dalam sebuah perjanjian, sehingga negara-negara yang baru merdeka dari penjajah
(successor) hanya tinggal meneruskan saja warisan perbatasan yang ditinggalkan
penjajah.18
Meskipun prinsip uti possidetis telah mendasarkan bahwa batas-batas wilayah
suatu negara telah ditentukan atas perjanjian yang dibuat oleh negara sebelumnya,
namun dalam realitanya batas-batas wilayah tersebut dapat mengalami perubahan.
Sebagaimana penentuan batas wilayah antara Indonesia dengan Malaysia, telah
didasarkan pada penentuan batas (delimitation), penegasan patok-patok perbatasan
(demarcation), menyepakati adanya pengaturan administrasi (administration) antara
Pemerintah Belanda dan Inggris di masa lalu. Hal ini terutama didasarkan pada
penggunaan peta dari perjanjian bilateral 1891.
Saru Arifin menyimpulkan bahwa konsep uti posidetis, dilakukan dalam
pengukuran batas-batas kawasan perbatasan dengan menggunakan beberapa langkah
dan prosedur tertentu. Akibat terjadinya kesepakatan penentuan batas wilayah,
masyarakat kedua negara yang tinggal di wilayah perbatasan menjadi lebih terbatas.
Mengingat patok-patok yang ada selama ini sudah mengalami persegeran, yang
berakibat timbulnya ketidakpastian hukum, maka kesepakatan penentuan patok-patok
sangat diperlukan.
Salah satu sumber peta yang pernah dibuat adalah pada tahun 1974, dengan
menetapkan garis batas yang belum memperoleh kesepakatan antara kedua negara. Hal
inilah yang kemudian menimbulkan sengketa (lihat kasus Pulau Sipadan dan Ligitan),
sehingga penyelesaiannya diserahkan pada Mahkamah Internasional untuk
memutuskan sengketa batas wilayah kedua negara tersebut.
18 Saru Arifin, Op.Cit, Hukum Perbatasan Darat,... ,hlm. 67.
27
Selain asas uti possidetis, hukum internasional juga mengenal adanya Perjanjian
Perbatasan. Dalam hal ini dikenal 2 (dua) macam perjanjian,19 yaitu personal treaties,
dimana perjanjian ini lebih bersifat politis dan berbentuk bilateral atau multilateral,
misalnya adalah perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia dan
Malaysia terkait penentuan batas wilayah kedua negara. Sedangkan impersonal treaties
atau dispositive treaties, diterapkan pada pergantian negara dalam hukum internasional
klasik, dengan ketentuan bahwa yang diartikan dengan perjanjian dispositive adalah
perjanjian yang melibatkan tanah atau wilayah dengan status hukum seperti pangkalan
militer.
Berdasarkan konsep-konsep dalam hukum internasional diatas, maka penetapan
wilayah Indonesia dan Malaysia mengikuti doktrin self determination semenjak
proklamasi kemerdekaannya, dan mengikuti asas uti possidetis dalam penetapan
wilayah daratnya, yaitu mencakup seluruh wilayah bekas jajahan Belanda yang
mempergunakan Bilateral Treaties antara Inggris – Belanda. Sementara mengenai batas
wilayah laut, Indonesia menggunakan UNCLOS 1982 sebagai panduan hukum
internasionalnya.
Perjanjian Internasional tentang Batas Wilayah Indonesia – Malaysia
Jika memperhatikan asas Uti Posidetis, kedudukan batas wilayah darat dan laut
antara Indonesian dengan Malaysia tampaknya sudah selesai. Tidak saja dalam aspek
delimitasi atau pembatasan yang memisahkan antara kedua negara tersebut, melainkan
juga dalam arti batas imajinatif melalui titik-titik kordinat yang telah disepakati.
Ada dua situasi lintas hukum wilayah perbatasan (transboundary law) yang
tampak saling kontradiktif. Pertama, penentuan batas yang didasarkan kepada prinsip
Uti Posidetis, dengan mengacu pada penggunaan perjanjian internasional yang dibuat
Belanda dan Inggris. Kedua, suatu pakta kesepahaman (Memorandum of Understanding)
yang disepakati oleh kedua Negara Indonesia dengan Malaysia setelah kedua negara
masing menyatakan kemerdekaannya. Namun, kedua sumber tersebut justru telah
menimbulkan ketidakpastian hukum batas negara antara Indonesia dengan Malaysia.
Secara umum batas wilayah kedaulatan kedua negara, Indonesia dengan
Malaysia telah memperoleh kepastian ketika merunut pada sejarah, data dan fakta serta
19 Saru Arifin, Op.Cit, Hukum Perbatasan Darat ..., hlm. 70.
28
kesepakatan pemerintahan penjajahan yaitu Inggris dan Belanda. Bahwa kedua negara
menerima warisan (successor) wilayah kedaulatan sebagaimana pemerintahan
sebelumnya (predecessor) telah menentukan batas, patok dan titik kordinatnya, baik di
daratan maupun di lautan. Dasar yang pertama dijadikan rujukan adalah Perjanjian
antara Inggris dengan Belanda tentang Penetapan Batas Negara di pulau Kalimantan
(Borneo). Namun, sejak kedua negara telah melepaskan dirinya dari penjajahan masing-
masing, maka timbullah berbagai pandangan dan penafsiran yang justru telah
menimbulkan persoalan baru bagi kedua negara.
Setidaknya, hal tersebut menegaskan bahwa wilayah perbatasan antara
Indonesia dengan Malaysia telah memperoleh kepastian hukum. Kepastian hukum ini
didasarkan kepada asas uti posidetis, suatu penetapan batas wilayah negara yang
didasarkan pada lampiran peta, baik yang terdapat dalam Bilateral Treaties antara
Inggris dengan Belanda Tahun 1892. Suatu batas yang ditarik dari bukan saja
didasarkan kepada pengukuran dan penetapan didasarkan kepada batas-batas alamiah,
tetapi juga didukung teknologi pengukuran dengan menggunakan titik kordinat antara
titik batas yang sati dengan yang lainnya. Penentuan tersebut, ternyata tidak hanya
didasarkan pada satu kali perjajian melainkan telah dilakukan berulang kali. Karena itu,
dasar hukum uti posidetis juga harus mengacu pada beberapa Perjanjian Bilateral yang
dibuat. Dalam penentuan batas tersebut, pulau Borneo atau Kalimantan telah terbagi
menjadi kedaulatan Wilayah Indonesia, Malaysia dan juga Brunei Darussalam.
Penggunaan prinsip Uti Possidetis secara umum telah didasarkan pada Perjanjian
Bilateral antar Pemerintah Kolonial Inggris dengan Belanda. Hal tersebut dituangkan
dalam Perjanjian antara Ratu Inggris dan wakil Ratu Belanda, Ratu Dowager dalam
menentukan wilayah perbatasan Island of Borneo / Pulau Kalimantan dengan wilayah
pulau yang berada dibawah kekuasaan Inggris yang saat ini menjadi bagian wilayah
Malaysia.
Beberapa perjanjian bilateral tersebut antara lain sebagai berikut: Pertama,
Perjanjian dilakukan pada tanggal 20 Juni 1891 dan diratifikasi pada tanggal 11 Mei
1892. Perjanjian ini membahas batas wilayah milik kedua negara, dan juga mengatur
mengenai hak pemanfaatan hutan dan arus navigasi di sekitar pulau yang dimanfaatkan
oleh masyarakat. Dari perjanjian tersebut, maka kepastian hukum batas wilayah antara
Malaysia dengan Indonesia sudah cukup jelas. Bahkan penduduk di kedua negara yang
29
tinggal di wilayah perbatasan dapat melakukan aktifitas bersifat tradisonal untuk
memperlancar komunikasi
Kedua, Perjanjian MoU 1915, merupakan tindak lanjut Pasal 5 Convention
Between Great Britain and The Netherlands Defining Boundaries In Borneo 1892
mengenai kesepakatan penentuan batas perbatasan yang lebih terperinci mengenai
wilayah Inggris dan Belanda di pulau Kalimantan. Perjanjian ini dibuat pada tanggal 17
Februari 1913 dan mencantumkan peta didalamnya dan efektif diberlakukan bagi
kedua negara, Belanda dan Inggris sebelum Indonesia dan Malaysia mendeklarasikan
kemerdekaannya.
Ketiga, MoU 1925, merupakan penjabaran Pasal 3 perjanjian mengenai batas
wilayah tahun 1892. Perjanjian ini membahas secara lebih rinci mengenai perbatsan
wilayah Kalimantan dibawah kekuasaan Belanda dan Inggris. Perjanjian ini berlaku tiga
bulan semenjak diratifikasi yang dilakukan pada tanggal 6 Agustus 1930. Jika
pemerintah kedua negara konsisten untuk menggunakan lampiran peta hasil perjanjian
bilateral 1905, maka Pemerintah Indonesia dan Malaysia dapat menindaklanjuti
perjanjian berikutnya atas dasar Uti Possidetis Juris.
Dari ketiga perjanjian bilateral yang pernah mengatur perbatasan wilayah di
seputar pulau Kalimantan yang kini berada dibawah kedaulatan Indonesia telah
menjelaskan dengan terperinci mengenai letak titik perbatasan baik di daratan, sekitar
sungai dan juga di wilayah pegunungan yang membentang disepanjang perbatasan
wilayah. Penentuan titik perbatasan juga diperjelas dengan penggunaan titik koordinat
lokasi yang memberikan kepastian lokasi perbatasan kedua negara. Di samping itu,
dalam pembuatan ketiga perjanjian tersebut juga masih dalam satu rangkaian
pembahasan yang saling berkaitan. Kekurangan yang terdapat pada perjanjian pertama
disempurnakan dalam perjanjian bilateral yang kedua dan begitu pula dengan
perjanjian bilateral yang ketiga dibentuk sebagai pelengkap kekurangan yang ada pada
perjanjian bilateral sebelumnya. Pembuatan perjanjian bilateral seperti yang dijelaskan
diatas akan berlaku efektif karena membahas permasalahan perbatasan secara holistik
dan memberi kejelasan batas wilayah secara terperinci.
30
Kerjasama Luar Negeri dalam Pengelolaan Wilayah Perbatasan oleh Provinsi
Kalimantan Utara
Kerjasama bilateral antara Indonesia-Malaysia mengenai masalah perbatasan
selama ini lebih banyak dilakukan dalam kerangka Sosek Malindo (Kelompok Kerja
Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia). Sosek Malindo adalah kerjasama di bidang sosial-
ekonomi yang dilatarbelakangi oleh persoalan politis mengenai kawasan perbatasan
Indonesia (Kalimantan) dan Malaysia (Serawak dan Sabah). Forum Sosek Malindo
mengadakan pertemuan setahun sekali dengan tempat saling bergantian antara
Indonesia dan Malaysia.
Pada awalnya Sosek Malindo ini diketuai oleh masing-masing GBC (General
Border Committee), dan untuk Indonesia diketuai oleh Panglima TNI. Namun perubahan
struktur baru sejak tahun 2000, Kelompok kerja sosio-ekonomi ditempatkan menjadi
sub komite di bawah GBC, dan diketuai oleh Mendagri. Forum kerjasama Sosek Malindo
dinilai cukup berhasil dalam mempererat hubungan kerjasama dalam bidang
pariwisata, kesehatan, sosial ekonomi dan pendidikan. Forum lain seperti Joint
Indonesia Malaysia, Joint Commission Meeting, annual consultations dan lain sebagainya,
menjadi jalan bagi kedua negara untuk menyelesaikan persoalan melalui meja
perundingan.
Selain kerjasama kedua negara, Pemerintah Indonesia juga membentuk suatu
lembaga yang secara khusus menangani urusan perbatasan, yaitu Badan Nasional
Pengelolaan Perbatasan (BNPP) yang awalnya diusung melalui UU No 43 Tahun 2008
tentang Wilayah Negara. Pasal 14 ayat (1) menyatakan bahwa: “untuk mengelola batas
wilayah negara dan kawasan perbatasan di tingkat pusat dan daerah, pemerintah dan
pemerintah daerah membentuk Badan Pengelola Nasional dan Badan Pengelola
Daerah.”
Selanjutnya kedudukan BNPP semakin diperkuat melalui payung hukum Perpres
No 12 Tahun 2010, dan sekaligus mengatasi permasalahan lemahnya koordinasi antar-
sektor teknis terkait dalam pengelolaan kawasan perbatasan. Meskipun pada awalnya
lembaga ini diharapkan mampu mengurusi pengelolaan perbatasan secara
komprehensif, namun karena terlalu birokratis dengan melibatkan begitu banyak
kementerian sehingga menghilangkan fungsi utamanya yaitu kemandirian. BNPP
merupakan lembaga khusus, terkait persoalan wilayah perbatasan. Namun ketika
31
memutuskan suatu kebijakan harus mendapatkan persetujuan banyak pihak, maka
lembaga luar biasa berubah menjadi lembaga biasa.
Peran pengelolaan kawasan perbatasan juga dijalankan oleh Pemerintah Daerah
setempat dan Kementerian Pemberdayaan Daerah Tertinggal (PDT). Hal ini mengingat
terjadinya tumpang tindih sebagaimana zaman Orde Baru. Pemerintah kala itu
mengeluarkan Keppres No 44 Tahun 1994 tentang Badan Pengendali Pelaksanaan
Pembangunan Wilayah Perbatasan di Kalimantan. Namun dalam perjalanannya,
lembaga tersebut tidak menghasilkan sesuatu apapun. Pembangunan kawasan
perbatasan tidak menjadi lebih baik, eksistensi lembaga tersebut tidak memberikan
pengaruh signifikan terhadap pembangunan kawasan perbatasan. Di masa
Pemerintahan B. J. Habibie, diterbitkanlah Keppres No 63 Tahun 1999 untuk mencabut
Keppres 44 Tahun 1994, sehingga fungsi pengelolaan kawasan perbatasan
dikembalikan kepada institusi yang lebih kompeten.
Upaya mengelola kawasan perbatasan negara menjadi lebih baik, kemudian
mendapatkan momentum seiring bergulirnya kebijakan otonomi daerah. Pengelolaan
kawasan perbatasan menjadi semakin kompleks bersamaan dengan diterbitkannya UU
No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-undang tersebut
menegaskan pengembangan wilayah perbatasan dari inward looking menjadi outward
looking sebagai pintu gerbang ekonomi dan perdagangan, termasuk pendekatan
kesejahteraan.
Pengembangan kawasan perbatasan sebagai halaman depan NKRI, berikutnya
dituangkan melalui Perpres No 7 Tahun 2005 tentang RJPMN 2004-2009. Tujuannya
adalah meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, meningkatkan
kapasitas pengelolaan potensi kawasan perbatasan, serta memantapkan ketertiban dan
keamanan kawasan perbatasan.20
Perkembangan global dewasa ini tidak lagi hanya menghubungkan satu negara
dengan negara lain sebagaimana konsep ‘kedaulatan negara’ dalam aliran Westphalian
yang menekankan kekuasaan negara untuk mengatur permasalahan internal dan
menjaganya secara eksternal. Namun dalam model post-Westphalian, konsep ini
berubah dengan mengaitkan hubungan antara subyek-subyek hukum internasional
20 Jawahir Thontowi, Rohidin, dan Dodik Setiawan, Penyelesaian Sengketa Damai dan Model
Pemberdayaan Diplomasi Lokal di Wilayah Perbatasan Berbasis Keadilan, Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, 2013, Hlm. 86
32
non-negara. Sehingga, konsep kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah
dengan negara lain ataupun pemerintahan lokal di negara lain dapat diwujudkan
dengan istilah ‘Paradiplomacy’.21
Lacours mengkategorikan 3 (tiga) kelompok praktek paradiplomasi. Pertama,
hubungan dan kerjasama pemerintah daerah yang berorientasi untuk tujuan ekonomi
semata. Kedua, paradiplomasi yang melibatkan berbagai bidang antara lain ekonomi,
kebudayaan, pendidikan, kesehatan, alih teknologi, dan sebagainya. Dan ketiga,
paradiplomasi yang memfokuskan pada motif-motif politik.22
Jika mengacu pada pandangan Lacours tersebut, praktek kerjasama luar negeri
di Indonesia oleh Pemerintah Daerah, baik Provinsi atau Kabupaten/Kota lebih
mengarah pada kategori kedua, dimana Pemda dalam menjalin hubungan dan
kerjasama dengan pihak asing hampir selalu menggunakan ‘memorandum of
understanding’ seperti halnya kerjasama ekonomi, pendidikan, kebudayaan/kesenian,
pertanian, kesehatan, alih teknologi, bantuan tenaga ahli, bantuan tekniss, dan
sebagainya.23 Dalam tataran tingkatan internasional, praktek paradiplomasi diatas telah
banyak diterapkan berbagai pemerintahan daerah. Seperti Flander-Belgia, Catalonia-
Spanyol, Bavaria-Jerman, Geongsangbuk-Do – Korea Selatan, dan Shaanxi-Tiongkok.
Praktek kerjasama luar negeri sebagaimana diterapkan pada berbagai daerah-
daerah diatas, tidak mustahil untuk diterapkan pula pada Provinsi Kalimantan Utara.
Sebagai Provinsi yang memiliki batas wilayah yang bersinggungan langsung dengan
negara tetangga, diperlukan kerjasama dalam penguatan berbagai aspek demi
mensejahterakan masyarakat di Provinsi Kalimantan Utara. Pandangan pertama, salah
satu konsepnya adalah menerapkan sistem Kota Kembar (twin towns atau sister cities),
sebagaimana telah diterapkan oleh Kota Tarakan dengan Tawau dan Kota Kinabalu,
Malaysia.
Pandangan kedua, adalah menempatkan Provinsi Kalimantan Utara sebagai
daerah khusus. Hal ini mengingat bahwa selain UU No 20 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara sebagai payung hukum yang lejitimit, juga
menjadi landasan dalam upaya pengelolaan wilayah perbatasan dan pemenuhan hak-
hak konstitusional warga negara di wilayah perbatasan. Salah satunya adalah menata
21 Takdir Ali Mukti, Paradiplomacy. Kerjasama Luar Negeri oleh Pemda di Indonesia,
Yogyakarta: The Phinisi Press, 2013, hlm. 22-23. 22 Takdir Ali Mukti, Ibid, hlm. 42. 23 Takdir Ali Mukti, Ibid, hlm. 43.
33
daerah merupakan solusi dalam rangka mengoptimalkan pelayanan publik karena
dapat memperpendek rentang kendali (span of control) pemerintahan, sehingga lebih
efisien dan efektif sejalan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik
(good governance) guna mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Selain
itu, memperkuat daya saing daerah dan memperkokoh keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesai (NKRI) di wilayah perbatasan dengan negara lain/tetangga.24
Pandangan ketiga, mengelola wilayah perbatasan tidak dapat dilepaskan dari
keberadaan Masyarakat Hukum Adat setempat, dalam hal ini terkait peran Tokoh-
tokoh/Kepala-kepala adat dalam penyelesaian sengketa. Peran ketua-ketua adat telah
banyak dibuktikan dalam kasus-kasus keperdataan, seperti perkawinan,
kemasyarakatan, dan perdagangan. Dalam kasus pidana seperti pencurian,
pembunuhan, dan sebagainya umumnya penyelesaian melibatkan Bupati, Camat,
Kepala Desa, hingga Kapolres. Namun, kepala-kepala ada juga dimungkinkan terlibat.
Fakta bahwa peran MHA sangat efektif dipergunakan telah membuktikan bahwa
peran diplomasi lokal lebih efektif diterapkan mengingat bila harus memenuhi syarat
hukum nasional Indonesia penyelesaiannya akan sangat sulit. Tidak dapat dipungkiri
bahwa dengan lebih berperannya MHA, merupakan bukti masyarakat wilayah
perbatasan berada dalam wilayah hukum kedua negara, baik Indonesia ataupun
Malaysia. Tetapi lebih memberikan fungsinya secara efektif berdasarkan hukum adat
setempat. Sehingga tidaklah aneh jika salah satu kekhususan wilayah perbatasan
dengan menggunakan hukum abu-abu (grey area of law).
Pemenuhan Hak-hak Konstitusional Warga Negara di Wilayah Perbatasan
Salah satu isu strategis yang timbul bagi masyarakat yang mendiami wilayah
perbatasan, adalah terkait dengan pemenuhan hak-hak konstitusional sebagai warga
negara Indonesia. Yahya A. Zein dalam Disertasi Doktoralnya menekankan bahwa
persoalan utama pemenuhan hak-hak konstitusional warga negara di wilayah
perbatasan terbagi menjadi 2 (dua).
Pertama, rendahnya kualitas sumber daya manusia yang merupakan
konsekuensi dari keterbatasan kualitas, serta minimnya sarana dan prasarana
pendidikan. Fasilitas secara umum memang sudah ada, namun keberadaannya belum
24 Lihat penjelasan UU No 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan Utara.
34
merata dan hanya terdapat di ibukota pemerintahan saja, berbanding terbalik dengan
persebaran penduduk di wilayah perbatasan. Kedua, buruknya kondisi kesehatan dan
pelayanan kesehatan di wilayah perbatasan.
Oleh sebabnya, konsep yang diusung dalam pemenuhan hak-hak konstitusional
warga negara adalah perubahan paradigma pengelolaan perbatasan. Dimana semula
menekankan pada aspek keamanan dan pertahanan (security and defence), diganti
dengan pendekatan pembangunan kemakmuran dan kesejahteraan (prosperity and
welfare). Melalui pendekatan HAM, khususnya pemenuhan atas hak ekonomi, sosial dan
budaya merupakan salah satu alternatif mempercepat pembangunan di wilayah
perbatasan negara.25
Jika melihat realita yang terjadi, sungguh sangat disayangkan akibat pemerintah
tidak memiliki komitmen kuat dalam pemenuhan hak-hak konstitusional bagi
masyarakat di wilayah perbatasan. Sejatinya sebagaimana amanah dari instrumen HAM
internasional (DUHAM 1948, ICCPR 1966, dan ICESCR 1966) dan HAM nasional dalam
UUD 1945, UU No 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi ICESCR, dan UU No 12 Tahun 2005
tentang Ratifikasi ICCPR, sejatinya menempatkan hak-hak konstitusional bagi warga
negara secara merata.
Bila menilik pemenuhannya bagi masyarakat di wilayah perbatasan,
kecenderungan Pemerintah mengabaikan sangatlah terlihat. Ketidakberpihaka
Pemerintah telah menciptakan lunturnya rasa nasionalisme dan rendahnya kesadaran
politik, rendahnya kesadaran hukum yang berdampak pada menurunnya kualitas
kehidupan warga negara di wilayah perbatasan.
Mahendra Putra Kurnia dalam penelitiannya mempertajam pentingnya
perubahan kebijakan Pemerintah Pusat terkait pembangunan di kawasan perbatasan.
Mengkaji kawasan perbatasan secara normatif khususnya dalam menjawab faktor
faktor mengapa kawasan perbatasan RI belum layak disebut sebagai “pagar depan”
wilayah Indonesia. Pentingnya perubahan paradigma pembangunan dari land base
oriented menjadi archipelagic base oriented, harmonisasi hukum berupa konsep
pembaharuan hukum yang dikonkritkan dengan ide satu aturan satu lembaga yang
disertai dengan penekanan agar segera dilakukan percepatan pembangunan kawasan
25 Yahya M. Zein, Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dan Kesehatan Sebagai Hak
Konstitusional Warga Negara Di Wilayah Perbatasan Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara,Yogyakarta: Disertasi Program Doktor, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2014, hlm. 422.
35
perbatasan RI merupakan upaya-upaya yang harus segera dilakukan agar kawasan
perbatasan RI layak menjadi “pagar depan” wilayah Indonesia.26
Penelitian dari CLDS berkerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Sambas,
dipimpin oleh Jawahir Thontowi di tahun 2008, mengidentifikasi ciri-ciri masyarakat di
wilayah perbatasan dari segi persoalan budaya dan hukum. Penelitian tersebut
dilakukan untuk mempersiapkan konsep pembangunan di wilayah Border Development
Centre (BDC). Hasilnya adalah kebijakan Pemerintah Pusat di wilayah perbatasan tidak
akan pernah sinergis jika tidak memahami nilai-nilai budaya lokal yang hidup di
kawasan perbatasan. Nilai-nilai budaya lokal tersebut, perlunya penghormatan
terhadap adat istiadat masyarakat Dayak sebelum pembangunan direalisasikan.
Pentingnya pengecekan akan adanya tumpang tindih pemilikan dan penguasaan tanah
adat atas tanah perkebunan sebelumnya dikuasai oleh Pemerintah. Pentingnya
peningkatan SDM lokal agar mereka dapat mengisi pekerjaan yang tersedia di berbagai
pembangunan yang menggunakan investor asing atau pribumi.
3. Penutup
Berdasarkan pemaparan dari pembahasan diatas, makalah ini memberikan
kesimpulan sebagai berikut: Pertama, bahwa hukum internasional telah sejak lama
mengatur dengan jelas dan memberikan kepastian hukum tentang wilayah perbatasan
suatu negara. Penentuan batas-batas suatu negara tersebut ditentukan oleh proses-
proses hukum internasional, baik mempergunakan konsep self determination, asas uti
possidetis, dan perjanjian batas negara. Sehingga penentuan batas-batas suatu negara
diharapkan tidak lagi menimbulkan konflik, meskipun secara hukum internasional
diperkenankan penyelesaian melalui Mahkamah Internasional.
Kedua, perjanjian bilateral antara Inggris dan Belanda pada masa sebelum
kemerdekaan Indonesia dan Malaysia, telah memberikan kepastian hukum tentang
batas-batas antara kedua negara. Sehingga, dasar hukum pemerintahan kolonial
tersebut sudah sepantasnya dijadikan bahan acuan bagi Indonesia dan Malaysia untuk
menentukan luas wilayahnya masing-masing. Perbedaan persepsi bagi kedua negara
terkait kandungan isi dalam perjanjian Bilateral Inggris dan Belanda, sepatutnya
26 Mahendra Putra Kurnia, 2012, Op.Cit,
36
disikapi dengan adanya pembahasan antara kedua negara untuk mencari jalan keluar
tnpa melalui kekerasan dan kecurangan.
Ketiga, kerjasama pengelolaan wilayah perbatasan antara Indonesia dan
Malaysia perlu untuk semakin ditingkatkan. Hal ini tentu saja memandang bahwa
wilayah perbatasan di Pulau Kalimantan sungguh mengalami ketimpangan, baik sarana
dan prasarana diantara kedua negara. Tidak lupa bahwa wilayah perbatasan negara
merupakan salah satu pintu vital tumbuh suburnya pelanggaran dan kejahatan lintas
negara (trans-national crimes). Jika kedua negara tidak menangani kejahatan lintas
negara secara khusus, maka tidak mustahil dapat menciptakan wilayah perbatasan
sebagai daerah yang rentan untuk menciptakan konflik.
Keempat, kondisi timpang dan termarjinalkannya warga negara di wilayah
perbatasan hendaknya mendapatkan perhatian serius dari Pemerintah Pusat.
Pemenuhan hak-hak konstitusional bagi warga negara di wilayah perbatasan, tidak saja
dalam upaya perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia. Tetapi juga, hal tersebut
diperlukan mengingat kondisi masyarakat di wilayah perbatasan sungguh jauh berbeda
dengan masyarakat di Pulau Jawa. Minimnya infrastruktur bukan saja menghambat
perkembangan kualitas sumber daya manusia, melainkan juga membiarkan warga
negara di wilayah perbatasan lebih memilih untuk menyebrang ke negara tetangga.
Ketimpangan tersebut tentu saja dapat melunturkan semangat nasionalisme warga
negara.
Kelima, peran kepala-kepala adat tidak dapat dipinggirkan. Sebab, selain
memberikan pengaruh dalam kehidupan masyarakat di wilayah perbatasan, mereka
juga dapat berfungsi menjadi media penyelesaian sengketa, baik dalam kasus-kasus
keperdataan maupun kasus-kasus pidana. Peningkatan kualitas sumber daya
masyarakat lokal melalui capacity building programe, diharapkan dapat meningkatkan
peran penegakan hukum yang berasaskan pada kearifan lokal masyarakat wilayah
perbatasan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Benny Setiono, Prinsip-prinsip Modern tentang Kedaulatan Wilayah.
Brian Taylor Sumner, Territorial Disputes At The International Court of Justice, Duke
Law Journal, Vol. 53, No. 1779, 2004.
Ian Brownlie, 1973.
Hans Lauterpach Oppenheim, 1992.
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Irwan Lahnisafitra, Kajian Pengembangan Wilayah Pada Kawasan Perbatasan
Kalimantan Barat - Sarawak, Thesis Master-S2 Pada Program Pasca Sarjana
Institute Teknologi Bandung, 2005.
Jawahir Thontowi, Rohidin, dan Dodik Setiawan, Penyelesaian Sengketa Damai dan
Model Pemberdayaan Diplomasi Lokal di Wilayah Perbatasan Berbasis Keadilan,
Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi, Fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia Yogyakarta, 2013.
Juni Suburi, 2010.
Mahendra Putra Karunia, Kawasan Perbatasan RI: Kesabaran Tak Berbatas, Menanti
Janji Sebatas Janji, 2012.
Malcolm Shaw, International Law, 1986.
Saru Arifin, Hukum Perbatasan Darat Antarnegara, Jakarta: Sinar Grafika, 2014.
Sefriani, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo, 2010.
Sunaryadi, 2010.
Takdir Ali Mukti, Paradiplomacy. Kerjasama Luar Negeri oleh Pemda di Indonesia,
Yogyakarta: The Phinisi Press, 2013.
Templeman, L, Public International Law, London: Old Bailey Press, 1997
Victor Prescott dan Gillian D. Triggs, International Frontiers and Boundaries, Leiden –
Boston: Martinus Nijhoff Publishers, 2008.
Yahya M. Zein, Pemenuhan Hak Atas Pendidikan Dan Kesehatan Sebagai Hak
Konstitusional Warga Negara Di Wilayah Perbatasan Kabupaten Nunukan
Kalimantan Utara,Yogyakarta: Disertasi Program Doktor, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, 2014.
38
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2012 tentang Pembentukan Provinsi Kalimantan
Utara
Kompas 4 April 2008
id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_ igitan