PERAN GURU PAI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER...
Transcript of PERAN GURU PAI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER...
-
PERAN GURU PAI DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
RELIGIUS ANAK TUNADAKSA
DI SLB D-D1 YAYASAN PEMBINAAN ANAK CACAT
JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Rahmi Fathiyas Syah
NIM. 11150110000061
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1441 H
-
i
ABSTRAK
Rahmi Fathiyas Syah (NIM. 11150110000061). Peran Guru PAI dalam
Pendidikan Karakter Religius Anak Tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan
Pembinaan Anak Cacat Jakarta.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran guru PAI dalam
pendidikan karakter religius anak tunadaksa dan faktor pendukung serta faktor
penghambat yang dihadapi guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak
tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat Jakarta. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan September sampai Oktober 2019.
Jenis penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif.
Prosedur pengumpulan data yang digunakan menggunakan observasi, wawancara,
dan dokumentasi. Pengecekan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi
data, triangulasi data terbagi menjadi tiga tahap yaitu triangulasi teknik, waktu,
dan sumber. Analisis data dilakukan dengan tiga tahapan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan verifikasi kesimpulan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran guru PAI dalam pendidikan
karakter religius anak tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat
Jakarta, yaitu: pendidik, pengajar, pembimbing, model dan teladan, dan evaluator.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi guru PAI dalam pendidikan karakter
religius anak tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat Jakarta, di
antaranya yaitu: a. Faktor pendukung: 1) Faktor keluarga; 2) Faktor lingkungan
sekolah; 3) Faktor sarana dan prasarana sekolah; 4) Faktor pendekatan guru
kepada anak tunadaksa dengan menggunakan beberapa metode dalam pendidikan
karakter religius, di antaranya metode hiwar atau percakapan, metode qishash
atau cerita, metode uswah atau keteladanan, metode ceramah, metode pendidikan
dengan nasihat, dan metode pembiasaan. b, Faktor penghambat: 1) Faktor
keterbatasan waktu; 2) Faktor lingkungan yang tidak mendukung; 3) Faktor
kondisi fisik mereka yang sulit bergerak, mudah merasa lelah, dan sulit untuk
menerima materi pembelajaran; 4) faktor sosial/emosional yang menimbulkan
problem emosi.
Kata Kunci: Peran Guru PAI, Pendidikan Karakter Religius, Anak Tunadaksa
-
ii
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الّر حمن الّر حيم
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala yang dengan memuji-Nya
terbuka pintu segala ilmu, dengan mengingat-Nya keluar segala perkataan yang
baik, dengan mensyukuri-Nya semua orang beriman merasakan nikmat-Nya di
dunia dan akhirat serta dengan izin-Nya pula lah penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “Peran Guru PAI Dalam Pendidikan Karakter
Religius Anak Tunadaksa di SLB D-D1 Yayasan Pembinaan Anak Cacat
Jakarta”. Skripsi ini penulis ajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai salah satu syarat mendapatkan
gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd).
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan
bantuan dari berbagai pihak, baik moril maupun materiil. Oleh karena itu, penulis
mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Lubis, Lc, MA., selaku Rektor Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag, selaku ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Drs. Rusdi Jamil, MA., selaku dosen pembimbing akademik dan sekretaris
Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Dr. Siti Khadijah, MA., selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan
waktu dan dengan penuh kesabaran memberikan bimbingan serta arahan yang
sangat bermanfaat sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
-
iii
6. Ayahanda Moh. Syahri dan Ibunda Asniah, Kakanda Adi Okta Muafiq
Rahman Syah, Siti Munawaroh dan Dwiyana Syah Fitri, serta kedua
Keponakan Dicka Ryan Irhamsyah dan Alikha Laila Musyarofah yang telah
memberikan dukungan dan doa yang tidak pernah berhenti, motivasi yang
tidak pernah terkira, dan kasih sayang yang begitu besar.
7. Bapak Heru Heriawan, M.Pd., selaku Kepala Sekolah SLB D-D1 YPAC
Jakarta, yang telah mengizinkan saya dan membantu dalam penelitian ini,
sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
8. Bapak M. Mudlofir, S.Pd.I., selaku guru mata pelajaran Pendidikan Agama
Islam di SLB D-D1 YPAC Jakarta yang telah bersedia membantu peneliti
dalam memperoleh data, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
9. Teman-teman siswa di SLB D-D1 YPAC Jakarta, terima kasih atas sambutan,
keramahan, kehangatan, dan penerimaan kalian. Semangat kalian menuntut
ilmu menjadi sumber inspirasi bagi peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga Allah selalu menjaga kalian dimanapun kalian berada.
10. Kamalia Istifadati, Vica Tanzia Farsyam, Dina Aryani, tiga sahabat yang
selalu menemani, membantu, dan memberikan semangat sejak semester awal
hingga kini. Terima kasih telah menemani dan mewarnai hari-hari di UIN
Jakarta selama ini.
11. Nurafifah Astria (Aci), Eva Dianidah (Eva), Septian Hadi (Mas Hadi), Asep
Kurniawan (Kaksep), Zezen Sukrillah (Abang Zen), dan Ibrahim Hanafi
(Ibam), terima kasih karena telah membantu dalam perjalanan panjang
penelitian ini. Semoga Allah selalu memudahkan segala urusan kalian.
12. Elmiani Rahmah Hayati (Kak El), Indini Rahmawati (Teh Indin), Tunjung
Magenta (Unjung), Husnul Khatimah (Unul), Farhatul Maftuhah (Atul),
terima kasih selaku senior selalu mau membantu dan menjadi teman
berdiskusi yang baik. Semoga Allah jaga silaturrahim kita sampai akhir hayat.
13. Teman-teman PHP, Agie Anditia Felangi, Rintan Puspita Reynaldi, Tiara
Nofiana, dan Siti Maslan Ritonga, sahabat sejak masa SMA yang selalu
menjadi tempat keluh kesah dan tempat untuk mencari hiburan. Terima kasih
-
iv
telah menemani sampai sejauh ini. Semoga Allah jaga tali persahabatan kita
sampai jannah-Nya.
14. Teman-teman AKSARA RT 003 RW 03 yang setia membantu,
menyemangati, memotivasi dan menemani penulis dalam penyusunan skripsi
ini.
15. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Agama Islam kelas C (APACHE)
2015 yang telah menemani saya dari awal perkuliahan hingga saat ini dan
selalu memberikan dukungan kepada saya. Terima kasih untuk semua kisah
yang kita lalui selama ini.
16. Teman-teman Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta angkatan 2015.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, peneliti
ucapkan terima kasih atas dukungan, doa, dan bantuannya. Semoga semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan skripsi ini mendapat balasan kebaikan
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Harapan penulis, semoga skripsi ini dapat
bermanfaat bagi civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan seluruh
tenaga pendidik khususnya, serta masyarakat pada umumnya agar dapat lebih
memahami dalam mendidik anak berkebutuhan khusus.
Jakarta, 06 November 2019
Penulis
Rahmi Fathiyas Syah
-
v
DAFTAR ISI
ABSTRAK ............................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
DAFTAR TABEL ................................................................................................. vii
DAFTAR GAMBAR viii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah .................................................................................. 9
C. Pembatasan Masalah ................................................................................. 9
D. Rumusan Masalah ................................................................................... 10
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ............................................................ 10
BAB II KAJIAN TEORI ....................................................................................... 12
A. Guru Pendidikan Agama Islam ............................................................... 12
a. Pengertian Guru dalam Pandangan Agama Islam ........................... 12
b. Syarat-syarat Guru dalam Pendidikan Islam ................................... 13
c. Kompetensi Guru dalam Pendidikan Islam..................................... 14
d. Sifat Guru Pendidikan Agama Islam .............................................. 16
e. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam ......... 17
B. Pendidikan Karakter Religius ................................................................. 19
1. Pendidikan Karakter .........................................................................19
a. Pengertian Pendidikan Karakter................................................19
b. Faktor-faktor Pembentukan Karakter.......................................24
c. Strategi Pendidikan Karakter....................................................27
d. Metode Pendidikan Karakter....................................................30
e. Nilai-nilai Pendidikan Karakter................................................33
2. Karakter Religius..............................................................................37
a. Pengertian Karakter Religius....................................................37
-
vi
b. Aspek Karakter Religius...........................................................37
c. Komponen Karakter Religius....................................................38
d. Dimensi Karakter Religius........................................................38
e. Domain Karakter Religius.........................................................39
f. Prinsip Pendidikan Karakter Religius........................................42
C. Anak Tunadaksa...................................................................................... 43
a. Pengertian Anak Tunadaksa.............................................................43
b. Faktor Penyebab Ketunadaksaan.....................................................44
c. Klasifikasi Anak Tunadaksa.............................................................45
d. Karakteristik Anak Tunadaksa.........................................................49
D. Peran Guru PAI dalam Pendidikan Karakter..........................................52
E. Penelitian yang Relevan..........................................................................61
BAB III METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 64
A. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................. 64
B. Metode Penelitian ................................................................................... 64
C. Sumber Data............................................................................................ 65
D. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................... 66
E. Pemeriksaan Keabsahan Data ................................................................. 67
F. Analisis Data.............................................................................................68
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...................................... 69
A. Deskripsi Data ......................................................................................... 69
B. Pembahasan 98
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN .............................................................. 107
A. Kesimpulan ........................................................................................... 107
B. Saran ..................................................................................................... 109
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 110
LAMPIRAN.........................................................................................................114
-
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1: Nilai-nilai dan deskripsi nilai pendidikan karakter............................34
Tabel 2.2: Domain Budi Pekerti Islami menurut al-Quran dan Hadis...............39
Tabel 4.1: Daftar YPAC di seluruh Indonesia.......................................................71
Tabel 4.2: Guru PAI di SLB D-D1 YPAC Jakarta................................................73
-
viii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1: Guru melakukan kegiatan pembelajaran anak tunadaksa.................84
Gambar 4.2: Guru melakukan kegiatan mengajar anak tunadaksa........................87
Gambar 4.3: Guru membimbing anak tunadaksa dalam membaca al-Quran........89
Gambar 4.4: Guru dan anak tunadaksa berdoa sebelum memulai pelajaran.........91
Gambar 4.5: Guru melakukan kegiatan refleksi kepada anak tunadaksa..............93
-
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Kisi-Kisi Wawancara dan Observasi
Lampiran 2: Instrumen Wawancara
Lampiran 3: Lembar Observasi
Lampiran 4: Hasil Wawancara
Lampiran 5: Hasil Observasi
Lampiran 6: Rencana Pelaksanaan Pembelajaran
Lampiran 7: Uji Referensi
Lampiran 8: Biodata Penulis
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.1 Dari
definisi tersebut terlihat bahwa pendidikan merupakan suatu proses bimbingan
yang dilakukan secara sengaja dengan tujuan untuk mengembangkan segala
potensi yang ada di dalam diri seseorang.
Proses pendidikan merupakan pewarisan nilai-nilai luhur suatu
bangsa yang bertujuan melahirkan generasi unggul secara intelektual dengan
tetap memelihara kepribadian dan identitasnya sebagai bangsa. Pendidikan
memiliki dua misi utama, yaitu “transfer of values” dan “transfer of
knowledge”.2 Oleh karena itu, pendidikan dikatakan sebagai agent of change
yang dapat membawa perubahan untuk menciptakan manusia yang cerdas dan
memiliki karakter.
Karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku
(behaviors), motivasi (motivations), dan keterampilan (skills). Karakter
meliputi sikap seperti keinginan untuk melakukan yang terbaik, kapasitas
intelektual, seperti berpikir kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan
bertanggung jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi
penuh ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai keadaan,
dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan masyarakatnya.
1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019 2 Sumarno, Peranan Guru Pendidikan Islam dalam Membangun Karakter Peserta Didik,
Jurnal Al Lubab Vo.1, 2016, h.123
http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/
-
2
Adapun landasan filosofis dalam pengembangan karakter di sini harus jelas,
yaitu nilai-nilai agama, etika, dan moral.3
Dalam pembentukan karakter diperlukan proses yang terus-menerus
tiada henti. Sebagai proses yang tiada berhenti, pembentukan karakter dibagi
menjadi empat tahap. Pertama, pada usia dini disebut tahap pembentukan
karakter. Kedua, pada usia remaja disebut tahap pengembangan. Ketiga, pada
usia dewasa disebut tahap pemantapan. Keempat, pada usia tua disebut tahap
pembijaksanaan.4 Proses pembentukan karakter yang berlangsung terus-
menerus sepanjang hidup manusia melibatkan semua pihak baik rumah tangga
dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah dan masyarakat luas. Oleh
karena itu perlu dibangun jaringan educational networks (jejaring kerja
pendidikan). Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama
antar lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan.5
Orientasi pendidikan karakter yang dilembagakan melalui kurikulum
2013 diharapkan untuk melahirkan manusia yang berkepribadian utuh, bukan
kepribadian terbelah, kepribadian ganda atau yang dalam bahasa agama
disebut munafik. Kepribadian utuh merupakan orang yang bersatunya ucapan,
sikap dan perbuatan.6
Pendidikan agama Islam merupakan sebuah proses pembentukan
manusia seutuhnya, baik dari segi jasmani maupun rohaninya. Sejalan dengan
itu, pendidikan Islam memiliki tujuan, yaitu kepribadian seseorang yang
membuatnya menjadi insan kamil dengan pola takwa. Insan kamil artinya
manusia utuh rohani dan jasmani, dapat hidup dan berkembang secara wajar
dan normal karena takwanya kepada Allah Swt. Ini mengandung arti bahwa
pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang berguna bagi
dirinya dan masyarakatnya serta senang dan gemar mengamalkan dan
3 Ngainun Naim, Character Building: Optimalisasi Peran Pendidikan dalam
Pengembangan Ilmu dan Pembentukan Karakter Bangsa, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media. 2012), h.55 4 Ibid,.h.57
5 Hamka Abdul Aziz, Pendidikan Karakter Berpusat pada Hati, (Jakarta: Al-Mawardi
Prima. 2012), h.198 6 Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A. Salam, Membumikan Pendidikan
Karakter, (Jakarta: CV Suri Tatu’uw. 2015), h.8
-
3
mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan
sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam
semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia kini dan di akhirat nanti.7
Dalam Sistem Pendidikan Nasional disebutkan bahwa tujuan
pendidikan adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab.8 Rumusan tujuan
pendidikan nasional tersebut, walaupun secara eksplisit tidak menyebutkan
kata-kata Islam, namun substansinya memuat ajaran Islam. Dalam rumusan
tujuan pendidikan nasional tersebut mengandung nilai-nilai ajaran Islam yang
telah mentransformasi ke dalam nilai-nilai yang telah disepakati dalam
kehidupan nasional.9
Pendidikan Islam wajib diberikan kepada seluruh umat manusia
tanpa memandang adanya kesempurnaan fisik. Anak-anak yang memiliki
kelainan dan kekurangan fisik atau mental tetap mempunyai hak yang sama
dalam mendapatkan pendidikan. Sebagaimana firman Allah dalam QS. An-
Nur ayat 61,
لَّْيَس َعَلى ْاأَلْعَمى َحرٌَج َواَلَعَلى ْاأَلْعرَِج َحرٌَج َواَلَعَلى اْلَمرِيِض َحرٌَج َواَلَعَلى أَنُفِسُكْم َأن تَْأُكُلوا ِمن بُ ُيوِتُكمْ
“Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak (pula) bagi orang
pincang, tidak (pula) bagi orang sakit, dan tidak (pula) bagi dirimu
sendiri, makan (bersama-sama mereka) di rumah kamu sendiri.”
Dalam UUD 1945 pasal 31 ayat 1 disampaikan bahwa setiap warga
negara tanpa terkecuali apakah dia mengalami kelainan atau tidak memiliki
hak yang sama untuk memperoleh pendidikan.10
Selain itu, dalam Undang-
Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
7 Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia. 1997), h.41
8 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019 9 Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), h.64
10 Undang-Undang Dasar 1945 pasal 31 ayat 1
http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/
-
4
bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu dan bagi warga negara yang memiliki kelainan fisik,
emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan
khusus.11
Dengan kata lain, anak-anak yang memiliki kelainan dalam hal fisik
maupun mental tetap mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak untuk
mengembangkan potensi dirinya.
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang memerlukan
pendidikan yang sesuai karena mereka memiliki hambatan perkembangan dan
hambatan belajar termasuk di dalamnya anak-anak penyandang cacat yang
memerlukan layanan yang bersifat khusus dalam pendidikannya, agar
hambatan belajarnya dapat berkurang bahkan dihilangkan. Adapun yang
termasuk ke dalam klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) adalah
tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, anak
hiperaktif (ADHD), anak berbakat, tunaganda, dan autisme.12
Tunadaksa merupakan salah satu yang termasuk dalam klasifikasi
anak berkebutuhan khusus. Anak yang mengalami tunadaksa adalah anak
yang memiliki anggota tubuh yang tidak sempurna, dalam artian mereka
mengalami kelainan pada fisik dan bukan inderanya. Kelainan fisik ini
disebabkan dari luka, penyakit, atau pertumbuhan anggota tubuh yang tidak
sempurna sehingga menyebabkan ketidakmampuan anggota tubuh untuk
melaksanakan fungsinya dengan seharusnya. Anak tunadaksa memiliki
kelainan fisik pada tulang, sendi, dan otot. Mereka mengalami gangguan
gerakan akibat kelayuhan pada fungsi syaraf otak yang disebut cerebral palsy
(CP). Anak yang mengalami tunadaksa memiliki kesulitan dalam menjalankan
aktivitasnya sehari-hari. Selain itu, bagi anak-anak yang megalami kelainan
cerebral, mereka mengalami kelainan persepsi, kognisi, dan simbolisasi
sehingga menyebabkan kesulitan dalam memahami sesuatu.13
11
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id) dipublikasikan pada 22 Februari 2019 12
Asep Karyana dan Sri Widati, Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Tunadaksa:
Peserta Didik Berkebutuhan Khusus dengan Hambatan Gerak, (Jakarta: Luxima, 2013), h.7-8 13
Ibid., h.38
http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/
-
5
Di Indonesia berdasarkan data hasil Susenas (Survei Sosial Ekonomi
Nasional) tahun 2009 menyatakan bahwa jumlah penduduk penyandang
tunadaksa sebesar 33,75% dari 2,13 juta jiwa penyandang disabilitas.
Penyandang tunadaksa yang disebabkan oleh bawaan sejak lahir sebanyak
32,75%, kecelakaan 29,04%, kusta 0,91%, penyakit lainnya 36,23%, dan
kurang gizi sebanyak 1,08%.14
Angka tersebut menunjukkan tingginya tingkat
penyandang tunadaksa dengan berbagai sebab, baik dari faktor bawaan lahir,
kecelakaan, ataupun penyakit.
Penyandang disabilitas di Indonesia masih dipandang kurang
terfasilitasi bahkan mendapatkan perlakuan diskriminatif dan dianggap
merepotkan. Kondisi disabilitas seseorang berdampak pada kemampuan untuk
berpartisipasi di tengah masyarakat. Penyandang disabilitas mengalami
hambatan dalam mengakses layanan umum, seperti akses dalam layanan
pendidikan, kesehatan, maupun dalam hal ketenagakerjaan.15
Menjadi manusia yang berbeda tentu membuat seseorang memiliki
perasaan tertentu terhadap lingkungan, perasaan tersebut sering kali
menjadikan ABK tidak memiliki kepercayaan diri ketika berada di lingkungan
sekolah dan lingkungan masyarakat. Perbedaan perlakuan, cara berbicara,
kepedulian terhadap anak-anak difabel, diakui atau tidak, ada rasa yang
berbeda jika dibanding dengan manusia normal lainnya. Perlakuan berbeda
inilah yang kemudian mendorong seseorang melakukan sesuatu yang dapat
melukai anak difabel, baik secara fisik maupun psikis. Perlakuan melukai
secara psikis ini dapat terwujud dalam bentuk ujaran kebencian atau hate
speech dan bullying.16
Penyandang tunadaksa memiliki resiko yang tinggi mendapatkan
stres, karena mereka sangat peduli pada body image, penerimaan dari teman-
temannya, kebebasan dari orang tua, penerimaan diri sendiri dan pencapaian
14
Nurul Qomariyah dan Desi Nurwidawati, Perbedaan Resiliensi pada Tunadaksa
ditinjau dari Perbedaan Usia, Jurnal Psikologi Teori dan Terapan, Vol.7, 2017, h.131 15
Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PBNU, Fiqh Penguatan Penyandang Disabilitas,
(Jakarta: Lembaga Bahtsul Masail, 2018), h.3 16
Muhammad Arfan Mu’ammar, Hate Speech dan Bullying pada Anak Berkebutuhan
Khusus, Jurnal Pendidikan Islam, Vol.8, 2017, h.20
-
6
prestasi. Penyandang tunadaksa tidak jarang mengalami gangguan psikologis
terkait perasaan tidak berguna, tidak mampu, malu, minder, kecemasan dan
permasalahan psikologis lainnya.17
Dalam konteks pendidikan, pendidik merupakan faktor penting dari
sistem pendidikan yang sedang berlangsung. Pendidik merupakan orang
terdepan dalam peningkatan sumber daya manusia, sebab pendidik adalah
ujung tombak bagi keunggulan manusia.18
Sehingga, dapat dikatakan bahwa
pendidik memiliki peranan yang penting dalam pendidikan karakter dan
peningkatan sumber daya manusia.
Guru sebagai orang yang digugu dan ditiru memiliki peran
menanamkan, menumbuhkan, dan mendidik nilai-nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat. Guru sebagai raw model menjadi teladan dalam
bersikap dan berperilaku. Guru memiliki peran yang penting dalam
mengembangkan potensi siswa. Pengembangan potensi siswa tersebut dalam
bahasa sosio-religius sebagai upaya untuk melahirkan siswa yang bermoral
dan berakhlak mulia. Oleh karena itu, dalam pendidikan modern peran guru
sebagai pelopor yang menampilkan contoh teladan dan pemimpin informal
untuk menciptakan suasana pembelajaran yang berorientasi pada materi yang
berisikan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik.19
Dalam upaya mencapai pendidikan agama Islam berkualitas, harus
dimulai dengan guru pendidikan agama Islam yang berkualitas. Peranan guru
pendidikan agama Islam sangatlah penting untuk menanamkan pendidikan
karakter terutama karakter religius pada siswa. Guru sebagai suri tauladan atau
panutan bagi siswa-siswanya dengan memberikan contoh perilaku yang baik
sehingga bisa mencetak dan membentuk generasi yang memiliki kepribadian
yang baik pula. Oleh sebab itu di tangan gurulah akan dihasilkan peserta didik
yang berkualitas baik secara akademik, keahlian, kematangan emosional,
mental dan spiritual.
17
Nurul Qomariyah dan Desi Nurwidawati, Op.Cit, h.131 18
Anas Shalahudin dan Irwanto Alkrienciehie, Pendidikan Karakter: Pendidikan
Berbasis Agama dan Budaya Bangsa, (Bandung: Pustaka Setia, 2013), h.123 19
Muhammad Jafar Anwar dan Muhammad A. Salam, Op.Cit., h.84
-
7
Guru dalam Islam menurut Ahmad Tafsir adalah siapa saja yag
bertanggung jawab terhadap perkembangan peserta didik. Mereka harus dapat
mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik kognitif,
afektif, maupun psikomotorik. Potensi-potensi ini sedemikian rupa
dikembangkan secara seimbang sampai mencapai tingkat yang optimal
berdasarkan ajaran Islam.20
Dalam konsepsi Islam, Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallam
merupakan al-mu‟allim al-awwal (pendidik pertama dan utama), yang telah
dididik oleh Rabb al-„Alamin. Pendidik teladan dan percontohan ada dalam
pribadi Rasulullah yang telah mencapai tingkatan pengetahuan yang tinggi,
akhlak yang luhur dan menggunakan metode dan alat yang tepat. Dalam QS.
Al-Qalam ayat 4 bahkan disebutkan bahwa Rasulullah memiliki akhlak yang
agung.21
Hal ini menunjukkan bahwa Rasulullah merupakan sebaik-baiknya
teladan sebagai seorang pendidik. Oleh karena itu, seorang pendidik dalam
konsepsi Islam harus memilki kompetensi personal-religius (kepribadian
berdasarkan Islam), kompetensi sosial-religius (kepedulian terhadap masalah-
masalah sosial yang selaras dengan Islam), dan kompetensi profesional-
religius (kemampuan menjalankan tuggasnya secara profesional yang
didasarkan atas ajaran Islam).22
Mengingat guru sebagai orang yang harus
menjadi teladan bagi peserta didiknya dalam bersikap dan berperilaku, maka
kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial merupakan pendukung penting
agar tugas yang dilaksanakan dapat mencapai hasil yang baik.
Dapat dikatakan bahwa guru agama mempunyai tugas yang cukup
berat, yaitu ikut membina pribadi anak disamping mengajarkan pengetahuan
agama kepada anak. Guru agama harus memperbaiki pribadi anak dan
membawa anak didik kepada arah pembinaan pribadi yang sehat dan baik.
Guru agama harus menyadari bahwa segala sesuatu pada dirinya merupakan
unsur pembinaan bagi anak didik. Di samping pendidikan dan pengajaran
yang dilaksanakan dengan sengaja oleh guru agama dalam pembinaan anak
20 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.114
21 Ibid., h.114
22Ibid., h.117
-
8
didik, yang sangat penting dan menentukan pula adalah kepribadian, sikap dan
cara hidup guru itu sendiri, bahkan cara berpakaian, cara bergaul, berbicara
dan menghadapi setiap masalah, yang secara langsung tidak tampak
hubungannya dengan pengajaran, namun dalam pendidikan atau pembinaan
pribadi si anak, hal-hal itu sangat berpengaruh.23
Salah satu sekolah luar biasa khusus yang menyelenggarakan
pendidikan bagi anak tunadaksa adalah Yayasan Pembinaan Anak Cacat
(YPAC) Jakarta. YPAC memberikan perhatian kepada anak-anak yang
memiliki cacat tubuh (tunadaksa). Anak-anak yang memiliki cacat tubuh
ketika pertama kali masuk ke yayasan ini tidak memiliki kemampuan untuk
melakukan ibadah, seperti salat, mengaji, dan berpuasa dikarenakan mereka
memiliki rasa rendah diri yang tinggi, rasa tidak percaya diri, rasa minder,
merasa dikucilkan dan dibedakan dari lingkungan sekitar, serta rendahnya
kemampuan orang tua dalam membimbing anak tunadaksa untuk melakukan
kegiatan ibadah. Hal ini tentu akan berdampak pada kondisi kejiwaan anak
tunadaksa tersebut.
Di YPAC Jakarta terdapat berbagai jenjang pendidikan bagi anak
tunadaksa, mulai dari pendidikan TKLB, SDLB, SMPLB sampai pada
SMALB. Adapun penelitian ini lebih difokuskan pada anak tunadaksa tingkat
SMPLB. Di dalam satu kelas anak tunadaksa terdiri dari 5 – 6 orang siswa.
Ketika proses pembelajaran PAI berlangsung, anak tunadaksa kadang
mengalami kesulitan dalam memahami materi yang guru sampaikan. Hal ini
dikarenakan anak tunadaksa terutama yang mengalami Cerebral Palsy (CP)
memiliki gangguan kognisi, persepsi, dan simbolisasi.
Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) memiliki peranan yang penting
untuk membentuk karakter religius pada anak tunadaksa. Adapun kegiatan
yang dapat membentuk karakter religius anak tunadaksa dengan melakukan
kegiatan seperti berdoa sebelum melaksanakan kegiatan pembelajaran,
menghapal surat-surat pendek, kegiatan solat berjamaah, melaksanakan puasa,
dan belajar untuk saling berbagi. Hal ini melatarbelakangi penulis untuk
23
Zakiah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010), h.68
-
9
mengetahui lebih jauh mengenai bagaimana peran guru PAI dalam
membentuk karakter anak tunadaksa, sehingga para siswa memilki kemauan
dan kemampuan untuk menjalankan ibadah keagamaan yang telah diajarkan.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, peneliti tertarik
membahas hal tersebut dalam penelitian yang berjudul, “PERAN GURU
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM PENDIDIKAN KARAKTER
ANAK TUNADAKSA DI SLB D-D1 YAYASAN PEMBINAAN ANAK
CACAT JAKARTA.”
B. Identifikasi Masalah
Dari realita yang ada dan berdasarkan latar belakang masalah di atas,
maka diperoleh masalah yang teridentifikasi sebagai beikut.
1. Keterhambatan gerak membuat anak tunadaksa sulit melakukan kegiatan
secara mandiri
2. Rendahnya kemampuan dan pemahaman anak tunadaksa dalam
menjalankan kegiatan keagamaan
3. Rendahnya kepercayaan diri anak tunadaksa di YPAC Jakarta
4. Rendahnya penerimaan masyarakat terhadap anak tunadaksa
5. Rendahnya pemahaman orang tua dalam membangun karakter religius
anak tunadaksa
C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan dalam penelitian ini tidak terlalu luas, maka
peneliti membatasi masalah sebagai berikut.
1. Anak berkebutuhan khusus yang akan diteliti adalah anak dengan
gangguan tunadaksa tingkat SMPLB.
2. Pembelajaran yang akan diteliti adalah peran guru pendidikan agama
Islam sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, model dan teladan, dan
evaluator dalam pendidikan karakter religius pada anak tunadaksa.
3. Faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi guru PAI dalam
pendidikan karakter religius anak tunadaksa.
-
10
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka masalah penelitian
ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana peran guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak
tunadaksa di YPAC Jakarta?
2. Apa saja faktor pendukung dan penghambat yang dihadapi guru PAI
dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa di YPAC Jakarta?
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
a. Tujuan Penelitian
Mengacu pada perumusan masalah di atas, maka tujuan dalam
penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan peran guru PAI dalam pendidikan karakter
religius anak tunadaksa di YPAC Jakarta
2. Untuk mendeskripsikan faktor pendukung dan faktor penghambat yang
dihadapi guru PAI dalam pendidikan karakter religius anak tunadaksa
di YPAC Jakarta
b. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini, di antaranya yaitu:
1. Kegunaan Teoritis
Hasil peneltian ini diharapkan dapat memberikan khazanah
keilmuan khususnya mengenai peranan Guru PAI dalam pendidikan
karakter religius pada anak tunadaksa di lembaga formal, nonformal,
maupun informal.
2. Kegunaan Praktis
a) Bagi Peneliti
Dengan penelitian ini diharapkan memberikan ilmu
pengetahuan yang baru kepada peneliti, serta dapat memberikan
pengalaman dan pembelajaran mengenai peranan guru PAI dalam
pendidikan karakter religius siswa bagi anak tunadaksa kepada
peneliti untuk masa yang akan datang.
-
11
b) Bagi Lembaga Pendidikan
Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi
dan sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan khususnya
lembaga pendidikan agama Islam agar dapat mengembangkan dan
memperkaya khazanah keilmuan dalam rangka peningkatan mutu
dan kualitas pendidikan agama Islam.
c) Bagi Peneliti Lain
Diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan rujukan dalam
penelitian yang dilakukan.
-
12
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Guru Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian Guru dalam Pandangan Agama Islam
Dalam Undang-Undang No.14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
disebutkan bahwa guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama
mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.1
Dalam konteks pendidikan Islam pendidik atau guru sering disebut
dengan ustaz, murabbi, mu’allim, mu’addib, mudarris, dan mursyid.
Setiap sebutan tersebut memiliki karakteristik tugas pendidik yang
berbeda, seperti ustaz merupakan seorang guru yang dituntut untuk
komitmen terhadap profesionalisme dalam mengemban tugasnya; Murabbi
merupakan orang yang mendidik dan menyiapkan peserta didik agar
mampu berkreasi serta mampu mengatur, dan memelihara hasil kreasinya
untuk tidak menimbulkan malapetaka bagi dirinya, masyarakat dan alam
sekitar; Mu’allim yaitu orang yang menguasai ilmu dan mampu
mengembangkannya serta menjelaskan fungsinya dalam kehidupan,
sekaligus melakukan transfer ilmu pengetahuan, internalisasi serta
implementasi; Mu’addib yaitu orang yang mampu menyiapkan peserta
didik untuk bertanggungjawab dalam membangun peradaban yang
berkualitas di masa depan; Mudarris yaitu orang yang memiliki kepekaan
intelektual dan informasi serta memperbaharui pengetahuan dan
keahliannya secara berkelanjutan, dan berusaha mencerdaskan peserra
didiknya, memberantas kebodohan mereka, serta melatih keterampilan
sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; Mursyid adalah orang
1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen,
(www.jdih.kemenkeu.go.id), dipublikasikan pada 30 Desember 2005
http://www.jdih.kemenkeu.go.id/
-
13
yang mampu menjadi model atau sentral identifikasi diri atau menjadi
pusat panutan, teladan dan konsultan bagi peserta didiknya.
Ahmad Tafsir yang dikutip Sukring mengatakan bahwa pendidik
dalam Islam adalah orang-orang yang bertanggung jawab terhadap
perkembangan peserta didiknya dengan upaya mengembangkan seluruh
potensi peserta didik, baik ptensi afektif (rasa), kognitif (cipta), maupun
psikomotorik (karsa). Pendidik juga memiliki arti orang dewasa yang
bertanggung jawab memberi pertolongan pada peserta didiknya dalam
perkembangan jasmani dan rohaninya, agar mencapai tingkat kedewasaan,
mampu berdiri sendiri dan memenuhi tingkat kedewasaannya, mampu
mandiri dalam memenuhi tugasnya sebagai hamba dan khalifah Allah
SWT., mampu melaksanakan tugas sebagai makhluk sosial dan sebagai
makhluk individu yang mandiri.2
b. Syarat-Syarat Guru dalam Pendidikan Islam
Syarat-syarat guru menurut Zakiyah Drajat yang dikutip Novan Ardy
Wahana dan Barnawi antara lain:
1. Syarat Kepribadian, yakni memiliki kepribadian yang terpadu
sehingga dapat menghadapi segala persoalan dengan wajar dan sehat.
Pengertian terpadu adalah segala unsur dalam pribadinya (pikiran,
perasaan, dan tingkah laku) bekerja secara seimbang dan serasi.
2. Syarat Profesional, yakni guru memilki pengetahuan yang cukup
memadai khususnya ilmu yang diajarkan.
3. Syarat teknis, yakni guru harus memilki kemampuan memilih dan
menggunakan metode mengajar yang tepat guna, artinya sesuai
dengan tujuan materi, anak didik yang dihadapi, situasi, dan alat-alat
yang tersedia.3
2 Sukring, Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2013), h.80-81 3 Novan Ardy Wiyani dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2016), h.109
-
14
Sedangkan, menurut Ahmad Tafsir menyebutkan bahwa syarat guru
dalam pendidikan Islam, yaitu:
1. Tentang umur, harus sudah dewasa
2. Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani
3. Tentang kemampuan mengajar, harus ahli dalam bidangnya
4. Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi.4
c. Kompetensi Guru dalam Pendidikan Islam
Kompetensi menurut KBBI adalah kewenangan (kekuasaan) untuk
menentukan (memutuskan sesuatu).5 Sedangkan menurut Zakiah Daradjat
dikutip Sukring mengemukakan bahwa kompetensi adalah kewenangan
untuk menentukan pendidikan agama yang akan diajarkan pada jenjang
tertentu di sekolah di tempat guru itu mengajar.6
Berdasarkan pengertian kompetensi di atas, dapat dipahami bahwa
calon pendidik perlu mempersiapkan diri untuk menguasai ilmu
pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang terkait dengan
profesinya. Berikut kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru
yaitu:
1. Kompetensi Pedagogik, adalah kemampuan mengelola pembelajaran
peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik,
perancangan, dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar
dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai
potensi yang dimilikinya. Artinya, guru harus mampu mengelola
kegiatan pembelajaran, mulai dari merencanakan, melaksanakan, dan
mengevaluasi kegiatan pembelajaran. Guru harus menguasai
manajemen kurikulum, mulai dari merencanakan perangkat
kurikulum, melaksanakan kurikulum, dan mengevaluasi kurikulum,
4 Heri Gunawan, Pendidikan Islam: Kajian Teoritis dan Pemikiran Tokoh, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya, 2014), h. 172 5 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 15 Januari 2019
6 Sukring, Op.Cit., h. 88
http://www.kbbi..web.id/
-
15
serta memiliki pemahaman tentang psikologi pendidikan, terutama
terhadap kebutuhan dan perkembangan peserta didik agar kegiatan
pembelajaran lebih bermakna.
2. Kompetensi Personal, adalah kemampuan kepribadian yang mantap,
stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik,
dan berakhlak mulia. Artinya, guru memiliki sikap kepribadian yang
mantap, sehingga mampu menjadi sumber inspirasi bagi siswa.
Dengan kata lain, guru harus memiliki kepribadian yang patut
diteladani, sehingga mampu melaksanakan tri-pusat yang
dikemukakan oleh Ki Hajar Dewantoro, yaitu Ing Ngarso Sung
Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani (di depan
guru memberi teladan/contoh, di tengah memberikan karsa, dan di
belakang memberikan dorongan/motivasi).
3. Kompetensi Sosial, adalah kemampuan guru sebagai bagian dari
masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan
peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orangtua/wali
peserta didik, dan masyarakat sekitar. Artinya, ia menunjukkan
kemampuan berkomunikasi sosial, baik dengan murid-muridnya
maupun dengan sesama teman guru, dengan kepala sekolah, bahkan
dengan masyarakat luas.
4. Kompetensi Profesional, adalah kemampuan penguasaan materi
pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang
ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Artinya, guru harus
memiliki pengetahuan yang luas berkenaan dengan bidang studi atau
subjek matter yang akan diajarkan serta penguasaan didaktik metodik
dalam arti memiliki pengetahuan konsep teoritis, mampu memilih
model, strategi, dan metode yang tepat serta mampu menerapkannya
dalam kegiatan pembelajaran.7
7 Rusma, Model-Model Pembelajaran: Mengembangkan Profesionalitas Guru, (Jakarta:
PT RajaGrafindo Persada, 2011), h.22-23
-
16
d. Sifat Guru Pendidikan Agama Islam
Menurut Abdurrahman al-Nahlawi, ada sepuluh sifat yang harus
dimiliki oleh guru Pendidikan Agama Islam dalam mengajarkan ilmu
kepada muridnya, di antaranya:
1. Tujuan hidup, tingkah laku, dan pola pikir pendidik hendaknya bersifat
rabbani, yakni bersandar kepada Allah, menaati Allah, mengabdi
kepada Allah, mengikuti syariat-Nya, dan mengenal sifat-sifat-Nya.
2. Menjalankan aktivitas pendidikan dengan penuh keikhlasan.
Pendidikan dengan keluasan ilmunya hendaknya menjalankan
profesinya hanya bermaksud mendapatkan keridhaan Allah dan
menegakkan kebenaran.
3. Menjalankan aktivitas pendidikan dengan penuh kesabaran, karena
tujuan pendidikan tidak akan tercapai dengan tergesa-gesa. Pendidik
tidak boleh menuruti hawa nafusnya, seperti ingin segera melihat hasil
kerjanya sebelum pengajaran itu terserap dalam jiwa anak.
4. Menyampaikan apa yang diserukan dengan penuh kejujuran. Apa yang
disampaikan terlebih dahulu sudah diamalkan pendidik, baik perkataan
maupun perbuatan, agar anak didik mudah mengikuti dan menirunya.
5. Senantiasi membekali diri dengan ilmu pengetahuan dan terus-
menerus membiasakan diri untuk mempelajari dan mengkajinya.
Pendidik tidak boleh puas dengan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
6. Memiliki kemampuan pengelolaan belajar yang baik, tegas dalam
bertindak dan mampu meletakkan berbagai perkara secara
proporsionnal.
7. Memilki kemampuan untuk menggunakan berbagai metode mengajar
secara bervariasi, menguasainya dengan baik, dan pandai menentukan
pilihan metode yang digunakan sesuai suasana mengajar yang
dihadapinya.
8. Mampu memahami kondisi kejiawaan peserta didik yang selaras
dengan tahapan perkembangannya, agar dapat memperlakukan peserta
didik sesuai kemampuan akal dan perkembangan psikologisnya.
-
17
9. Memilki sikap yang tanggap dan responsif terhadap berbagai kondisi
dan perkembangan dunia, yang dapat mempengaruhi jiwa, keyakinan,
dan pola pikir peserta didik.
10. Memperlakukan peserta didik dengan adil, tidak cenderung kepada
salah satu dari mereka, dan tidak melebihkan seseorang atas yang lain,
kecuali sesuai dengan kemampuan dan prestasinya.8
e. Tugas dan Tanggung Jawab Guru Pendidikan Agama Islam
Al-Qur‟an telah mengisyaratkan peran para nabi dalam pendidikan
dan fungsi fundamental mereka dalam mengikuti pengkajian ilmu-ilmu
ilahi serta implikasinya. Isyarat tersebut terdapat dalam firman Allah
dalam QS. al-Baqarah: 129
ُلواََعَلْيِهْمََءايَاِتَكََويُ َعلُِّمُهُمَاْلِكَتاَبََواْلِحْكَمَةَرَب َّنََ ُهْمَيَ ت ْ مِّن ْ اََوابْ َعْثَِفيِهْمََرُسوالًَ
يِهْمَِإنََّكََأنَتَاْلَعزِيُزَاْلَحِكيمَُ َويُ زَكِّ
Artinya:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan
mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau,
dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al
Hikmah (as-Sunnah) serta menyucikan mereka. Sesungguhnya
Engkaulah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Pada ayat di atas, Allah mengisyaratkan bahwa tugas terpenting yang
diemban oleh Rasulullah adalah mengajarkan al-Qur‟an, hikmah, dan
penyucian diri. Keutamaan profesi pendidik sangatlah besar, sehingga
Allah menjadikannya sebagai tugas yang diemban Rasulullah. Demikian
juga tugas pendidik yang mewarisi tugas yang diemban Rasulullah.
Tugas pokok pendidik adalah mendidik dan mengajar. Selain itu,
tugas pendidik yang utama adalah menyempurnakan, membersihkan,
meyucikan hati manusia untuk bertaqarrub kepada Allah. Menurut al-
Ghazali ada empat tugas pendidik/pengajar, yaitu:
8 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2016), h.92-93
-
18
1. Menunjukkan kasih sayang kepada peserta didik dan menganggapnya
seperti anak sendiri.
2. Mengikuti teladan Rasulullah SAW.
3. Tidak menunda memberi nasihat dan ilmu yang diperlukan oleh para
peserta didik.
4. Menasihati peserta didik dan melarang dari akhlak tercela.
Sedangkan, dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005
tentang Guru dan Dosen, Pasal 1, ayat 2 menyebutkan bahwa
“Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,
mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan
mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.”
Uraian tersebut menggaris bawahi bahwa, tugas pendidik adalah
membimbing dan mengarahkan serta menyiapkan generasi penerus yang
akan hidup pada zamannya di masa depan, maka tanggung jawab pendidik
seperti yang dijelaskan Abdurrahman al-Nahlawi yakni mendidik individu
supaya beriman kepada Allah dan melaksanakan syariat-Nya, mendidik
diri supaya beramal salah dan mendidik masyarakat untuk saling berpesan-
pesan dalam melaksanakan kebenaran dan berpesan-pesan dalam
kesabaran ketika menghadapi kesusahan, beribadah kepada Allah, serta
menegakkan kebenaran. Jadi tanggung jawab pendidik bukan hanya
terhadap moril peserta didik dan masyarakat, akan tetapi lebih besar adalah
mempertanggungjawabkan segala aktivitas kependidikan kepada Allah.9
9 Sukring, Loc.Cit., h. 83-85
-
19
B. Pendidikan Karakter Religius
1. Pendidikan Karakter
a. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan berasal dari kata “didik”, yang selanjutnya
ditambahkan imbuhan menjadi pendidikan yang artinya proses
pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam
usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan
pelatihan. Sedangkan dalam bahasa Inggris, education (pendidikan)
berasal dari kata educate (mendidik) yang berarti memberi
peningkatan dan mengembangkan. Dalam pengertian yang sempit,
education atau pendidikan berarti perbuatan atau proses perbuatan
untuk memperoleh pengetahuan.10
Berdasarakan UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas,
pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat,
bangsa dan negara.11
Secara bahasa karakter berasal dari bahasa Latin, yaitu
kharakter, kharassaein, dan kharax. Sedangkan, dalam bahasa Yunani
karakter berasal dari kata charassein, yang berarti membuat tajam dan
membuat dalam.12
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter
adalah sifat-sifat kejiwaan, akhlak, atau budi pekerti yang
membedakan seseorang dari yang lain. Karakter mengacu pada
10
Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan, (Bandung:PT Remaja Rosdakarya. 2013), h.10 11
Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,
(http://kelembagaan.ristekdikti.go.id), dipublikasikan pada 22 Februari 2019 12
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, (Bandung: Alfabeta,
2012), h. 1
http://kelembagaan.ristekdikti.go.id/
-
20
serangkaian sikap (attitude), perilaku (behaviors), motivasi
(motivations), dan keterampilan (skills).13
Karakter secara istilah menurut Zubaedi meliputi sikap seperti
keinginan untuk melakukan hal yang terbaik, kapasitas intelektual
seperti kritis dan alasan moral, perilaku seperti jujur dan bertanggung
jawab, mempertahankan prinsip-prinsip moral dalam situasi penuh
ketidakadilan, kecakapan interpersonal dan emosional yang
memungkinkan seseorang berinteraksi secara efektif dalam berbagai
keadaan, dan komitmen untuk berkontribusi dengan komunitas dan
masyarakatnya.
Suyanto mendefinisikan karakter, yaitu
“Karakter merupakan cara berpikir dan berperilaku yang
menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama,
baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa, dan
negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang
bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan
setiap akibat dari keputusan yang ia buat.”
Sedangkan, Griek merumuskan definisi karakter sebagai
panduan dari segala tabiat manusia yang bersifat tetap sehingga
menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu
dengan yang lain. Batasan ini menunjukkan bahwa karakter sebagai
identitas yang dimiliki seseorang yang bersifat menetap sehingga
seseorang atau sesuatu itu berbeda dengan yang lain.14
Di pihak lain, Thomas Lickona yang dikenal sebagai “Bapak
Pendidikan Karakter” menjelaskan bahwa makna karakter adalah “A
reliable inner deposition to respond to situations in a morally good
way”. Selanjutnya dia menambahkkan, “Character so conceived has
three interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and morang
behavior”. Menurut Thomas Lickona, karakter mulia (good character)
13
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 15 Januari 2019 14
Syamsul Kurniawan, Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Implementasinya Secara
Terpadu di Lingkungan Keluarga, Sekolah, Perguruan Tinggi, dan Masyarakat, (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2016), h.28-29
http://www.kbbi..web.id/
-
21
meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen
(niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan
kebaikan. Dengan kata lain, karakter mengacu kepada serangkaian
pengetahuan (cognitives), sikap (attitudes), dan motivasi
(motivations), serta perilaku (behaviors) dan keterampilan (skills).
Menurut Thomas Lickona, karakter berkaitan dengan konsep
moral (moral knonwing), sikap moral (moral felling), dan perilaku
moral (moral behavior). Berdasarkan ketiga komponen ini dapat
dinyatakan bahwa karakter yang baik didukung oleh pengetahuan
tentang kebaikan, keinginan untuk berbuat baik, dan melakukan
perbuatan kebaikan.15
Dikutip dari Muchlis Samani dan Hariyanto, Thomas Lickona
mendefinisikan pendidikan karakter sebagai upaya sungguh-sungguh
untuk membantu seseorang memahami, peduli, dan bertindak dengan
landasan nilai-nilai etis.16
Secara sederhana, Lickona mendefinisikan
pendidikan karakter merupakan usaha secara sengaja untuk mengolah
kebaikan pada seseorang. 17
Dalam pendidikan terdapat dua tujuan utama, yaitu untuk
membantu siswa menjadi pintar dan baik. Para siswa memerlukan
karakter bagi kedua hal tersebut. Para siswa ini memerlukan kekuatan
dalam karakter, seperti etos kerja yang kuat, disiplin diri, dan
ketekunan untuk sukses di sekolah dan kehidupannya. Mereka
memerlukan kekuatan karakter seperti rasa hormat dan tanggung
jawab untuk memiliki hubungan dan kehidupan antarpribadi yang
positif dalam masyarakat.18
15
Dalmeri, Pendidikan untuk Pengembangan Karakter (Telaah terhadap Gagasan Thomas
Lickona dalam Educating for Character), Jurnal Al-Ulum, Vol.14, 2014, h.271-272 16
Thomas Lickona, Character Matters: Persoalan Karakter Bagaimana Membantu Anak
Mengembangkan Penilaian yang Baik, Integritas, dan Kebajikan Penting Lainnya, terjemah dari
Character Matters: How to Help Our Children Develop Good Judgment, Integrity, and Other
Essensial Virtues, (Jakarta: PTBumi Aksara. 2012), h.6 17
Muchlas Samani dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011), h.44
18 Thomas Lickona, Op.Cit., h.5
-
22
Thomas Lickona menyebutkan setidaknya ada tujuh unsur-
unsur karakter esensial dan utama yang harus ditanamkan kepada
peserta didik, yaitu ketulusan hati atau kejujuran; belas kasih;
kegagahberanian; kasih sayang; kontrol diri; kerja sama; dan kerja
keras. Tujuh karakter inilah yang paling penting dan mendasar untuk
dikembangkan pada peserta didik.19
Adapun pendapat menurut Siswanto pendidikan karakter
adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga
sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik
terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama,
lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil.20
Di dalam Islam karakter dikenal dengan “akhlak”. Akhlak
berasal dari bahasa Arab bentuk jamak dari kata khuluq atau al-khulq,
yang secara etimologis berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku,
atau tabi‟at. Sedangkan secara istilah akhlak diartikan sebagai sikap
yang melahirkan perbuatan (perilaku, tingkah laku) mungkin baik,
mungkin buruk.21
Imam Al-Ghozali berpendapat bahwa akhlak ialah sifat yang
tertanam dalam hati yang dapat menimbulkan perbuatan-perbuatan
yang baik, dengan mudah dan tanpa menimbulkan pertimbangan-
pertimbangan dan pemikiran-pemikiran22
. Sedangkan, Ibn Miskawaih
dalam bukunya Tahdzib al-Akhlaq, beliau mendefinisikan akhlak
adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
19
Dalmeri, Op.Cit., h.273 20
Siswanto, Pendidikan Karakter Berbasis Nilai-Nilai Religius, Jurnal Tadris, Vol. 8,
2013, h. 97 21
Muhammad Daud Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2005), h. 346
22
Maswardi Muhammad Amin, Pendidikan Karakter Anak Bangsa, (Jakarta: Baduesa
Media Jakarta, 2011), h. 7
-
23
perbuatan tanpa terlebih dahulu melalui pemikiran dan pertimbangan
terlebih dahulu.23
Menurut Abuddin Nata secara garis besar akhlak itu dibagi
menjadi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al akhlaq al-karimah)
atau (al akhlaq mahmudah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al
mazmumah).24
Yang dimaksud dengan akhlak mahmudah adalah
segala macam sikap dan tingkah laku yang baik (terpuji), sedangkan
akhlak mazmumah adalah segala macam sikap dan tingkah laku yang
buruk (tercela). Adapun yang termasuk dalam kategori akhlak
mahmudah jumlahnya cukup banyak, di antaranya adalah ikhlas
(berbuat sesuatu semata-mata karena Allah); syukur (berterima kasih
atas nikmat Allah); amanah (dapat dipercaya); „adl (adil); afw
(pemaaf); wafa (menepati janji); Sidq (benar/jujur); tawakkal
(berserah diri pada Allah); rahmah (kasih sayang); sakha (murah
hati); ta’awun (penolong). Adapun sifat-sifat yang termasuk dalam
kategori akhlak mazmumah diantaranya ananiyah (egoisme); bukhil
(kikir); gadab (pemarah); takabur (sombong); kufr (ingkar terhadap
nikmat Allah); tabdzir (boros); ghisysy (curang/culas); riya’ (ingin
dipuji); kasal (malas); hasad (dengki); zulm (zalim/berbuat aniaya),
dan lain sebagainya.25
Penggunaan istilah karakter pada pembahasan kali ini didasari
pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 tahun 2017 tentang
Penguatan Pendidikan Karakter. Penguatan Pendidikan Karakter yang
selanjutnya disingkat PPK adalah gerakan pendidikan di bawah
tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta
didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah
raga dengan pelibayan dan kerja sama antara satuan pendidikan,
23
Muhammad Alim, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), h.151
24
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia, (Jakarta: PT. Raja Gradindo, 2015),
h.37 25
Didiek Ahmad Suoadie dan Sarjuni, Pengantar Studi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2012), h.204-205
-
24
keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional
Revolusi Mental (GNRM).26
Dapat disimpulkan bahwa pengertian pendidikan karakter
merupakan cara yang dilakukan untuk merubah nilai-nilai perilaku
manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama
manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran,
sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma
agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.
b. Faktor-Faktor Pembentukan Karakter
Adapun faktor-faktor pembentukan karakter secara umum
digolongkan ke dalam dua bagian, yaitu faktor intern dan faktor
ekstern.
1) Faktor Intern
a. Insting atau Naluri
Insting adalah suatu sifat yang dapat menumbuhkan
perbuatan yang menyampaikan pada tujuan dengan berpikir lebih
dahulu ke arah tujuan itu dan tidak didahului latihan perbuatan itu.
Naluri merupakan tabiat yang dibawa sejak lahir yang merupakan
suatu pembawaan yang asli.27
Naluri berfungsi sebagai motivator penggerak yang
mendorong lahirnya tingkah laku, seperti naluri makan, naluri
berjodoh, naluri keibu-bapakan, naluri berjuang, naluri ber-Tuhan.
Selain itu, terdapat insting lain yang dikemukakan oleh para ahli
Psikologi, misalnya insting ingin tahu dan memberi tahu, insting
takut, insting suka bergaul, dan insting meniru. Naluri dan insting
manusia tersebut sudah menjadi fitrah manusia sejak lahir dan akan
26
Perpres No.87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, diakses dari
(https://www.jogloabang.com/pendidikan/perpres-no-87-tahun-2017-tentang-penguatan-
pendidikan-karakter), dipublikasikan pada 27 Februari 2018 27
Heri Gunawan, Op.Cit., h. 20
https://www.jogloabang.com/pendidikan/perpres-no-87-tahun-2017-tentang-penguatan-pendidikan-karakterhttps://www.jogloabang.com/pendidikan/perpres-no-87-tahun-2017-tentang-penguatan-pendidikan-karakter
-
25
memproduksi berbagai corak perilaku sesuai dengan corak
instingnya.
b. Adat atau Kebiasaan
Adat / kebiasaan adalah setiap tindakan dan perbuatan
seseorang yang dilakukan secara berulang-ulang dalam bentuk
yang sama sehingga menjadi kebiasaan, seperti berpakaian, makan,
tidur, dan olahraga. Faktor kebiasaan ini memegang peranan yang
sangat penting dalam membentuk dan membina karakter.
Sehubungan kebiasaan merupakan kegiatan yang diulang-ulang
sehingga mudah dikerjakan maka hendaknya manusia memaksakan
diri untuk mengulang-ulang perbuatan yang baik sehingga menjadi
kebiasaan dan akan terbentuk karakter yang baik pula28
.
c. Kehendak / Kemauan (Iradah)
Salah satu kekuatan yang berlindung di balik tingkah laku
adalah kehendak atau kemauan keras.Itulah yang menggerakkan
dan merupakan kekuatan yang mendorong manusia dengan
sungguh-sungguh untuk berperilaku.
d. Suara Batin atau Suara Hati
Suara batin berfungsi memperingatkan bahayanya
perbuatan buruk dan berusaha untuk mencegahnya, di samping
dorongan untuk melakukan perbuatan baik. Suara hati dapat terus
didik dan dituntun akan menaiki jenjang kekuatan rohani.
e. Keturunan
Keturunan merupakan suatu faktor yang dapat
mempengaruhi perbuatan manusia. Sifat yang diturunkan pada garis
besarnya ada dua macam, yaitu sifat jasmaniyah dan sifat ruhaniyah.
Sifat jasmaniyah adalah kekuatan dan kelemahan otot-otot dan urat-
urat saraf orang tua yang dapat diwariskan kepada anaknya.
Sedangkan sifat ruhaniyah adalah lemah dan kuatnya suatu naluri
28
Zubaedi, Desain Pendidikan Karakter: Konsepsi dan Aplikasinya dalam Lembaga
Pendidikan, (Jakarta: Kencana: 2012), h.178-179
-
26
dapat diturunkan pula oleh orang tua yang kelak mempengaruhi
perilaku anak cucunya.29
2) Faktor Ekstern
a. Pendidikan
Menurut Ahmad Tafsir, pendidikan adalah usaha
meningkatkan diri dalam segala aspeknya. Pendidikan mempunyai
pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan karakter, sehingga
baik dan buruknya karakter seseorang sangat tergantung pada
pendidikan. Pendidikan akan mematangkan kepribadian manusia
sehingga tingkah lakunya sesuai dengan pendidikan yang telah
diterima oleh seseorang baik pendidikan formal, informal, maupun
non formal.
b. Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang menjadi bagian dari
kehidupan, seperti tumbuh-tumbuhan, keadaan tanah, udara, dan
pergaulan manusia. Manusia hidup selalu berhubungan dengan
manusia lainnya atau dengan alam sekitar. Itulah sebabnya manusia
harus bergaul dan dalam pergaulan itu saling mempengaruhi
pikiran, sifat dan tingkah laku.30
BagiPeter L Berger dan Luckmann , masyarakat merupakan
kenyataan objektif dan sekaligus kenyataan subjektif. Sebagai
kenyataan objektif, individu berada di luar diri manusia dan
berhadap-hadapan dengannya; sedangkan sebagai kenyataan
subjektif, individu berada di dalam masyarakat sebagai bagian yang
tidak terpisahkan. Individu adalah pembentuk masyarakat; dan
masyarakat adalah pembentuk individu. Maka itu, kenyataan sosial
bersifat ganda dan bukan tunggal, yaitu kenyataan objektif dan
sekaligus subjektif.
29
Heri Gunawan, Loc.Cit., .h. 20-21 30
Ibid., .h. 21-22
-
27
Adapun Berger dan Luckmann menyatakan bahwa
hubungan antara manusia dengan lingkungannya bercirikan
keterbukaan dunia sehingga memungkinkan manusia melakukan
berbagai aktivitas. Adanya keterhubungan manusia dengan
llingkungannya seperti itu, membuat ia mengembangkan dirinya
bukan berdasarkan naluri tetapi melalui banyak macam kegiatan
terus-menerus penuh variasi. Maka dari itu, dalam
mengembangkan dirinya manusia tidak hanya berhubungan secara
timbal-balik dengan lingkungan alam tertentu tetapi juga dengan
bantuan sosial dan budaya yang spesifik, yang dihubungkan
melalui perantaraan orang-orang yang berpengaruh. Perkembangan
manusia sejak kecil hingga dewasa memang sangat ditentukan
secara sosial.31
Dalam hal ini Berger dan Luckmann merumuskan teori
konstruksi sosial yang berpijak pada sosiologi pengetahuan.
Sosiologi pengetahuan, yang dikembangkan Berger dan Luckmann,
mendasarkan pengetahuannya dalam dunia kehidupan sehari-hari
masyarakat sebagai kenyataan. Dalam teori ini terkandung pemahaman
bahwa kenyataan dibangun secara sosial, serta kenyataan dan
pengetahuan merupakan dua istilah kunci untuk memahaminya.
Kenyataan adalah suatu kualitas yang terdapat dalam fenomena-
fenomena yang diakui memiliki keberadaan (being)-nya sendiri sehingga
tidak tergantung kepada kehendak manusia; sedangkan pengetahuan
adalah kepastian bahwa fenomen-fenomen itu nyata (real) dan memiliki
karakteristik yang spesifik.32
c. Strategi Pendidikan Karakter
Menurut Thomas Lickona, karakter terbentuk dari tiga macam
bagian yang saling berkaitan, yaitu pengetahuan moral, perasaan
moral, dan perilaku moral. Karakter yang baik terdiri atas mengetahui
31
I. B. Putera Manuaba, Memahami Teori Konstruksi Sosial, Jurnal: Masyarakat
Kebudayaan dan Politik, Vol. 21, 2008, h. 224 32
Ibid., h. 221
-
28
kebaikan, menginginkan kebaikan, dan melakukan kebaikan.
Ketiganya penting untuk menjalankan hidup yang bermoral; ketiganya
adalah faktor pembentuk kematangan moral.33
Dalam dinamikanya, pendidikan karakter tentu tidak dapat
mengabaikan kondisi peserta didik sebagai sasaran dari pendidikan
tersebut. Berbagai aspek psikis yang berpotensi memiliki peran dalam
memberi warna pada diri peserta didik tentu akan menjadi kontributor
yang sangat berpengaruh dalam pencapaian tujuan dalam
pembentukan karakter mereka. Salah satunya adalah aspek
perkembangan moral peserta didik, dimana dengan memahami aspek
moral tersebut mampu memberi support dalam pencapaian target dari
proses pendidikan karakter. Dalam pendidikan karakter memiliki tiga
komponen yang penting, yaitu moral knowing, moral feelings, dan
moral action/moral behaviour. Ketiga komponen dasar ini merupakan
satu kesatuan yang kontinyu dalam perkembangan moral anak.
Dengan demikian mempelajari perkembangan moral anak akan
bermanfaat juga sebagai dasar pengetahuan untuk melaksanakan
pendidikan karakter.34
Dalam pendidikan karakter menuju terbentuknya akhlak mulia
dalam diri setiap siswa ada tiga tahapan strategi yang harus dilalui,
diantaranya:
1. Moral Knowing / Learning to know
Tahapan ini merupakan langkah pertama dalam pendidikan
karakter.Dalam tahapan ini tujuan dorientasikan pada penguasaan
pengetahuan tentang nilai-nilai. Di antaranya siswa harus mampu
memiliki kemampuan: a) membedakan nilai-nilai akhlak mulia dan
akhlak tercela serta nilai-nilai universal; b) memahami secara logis
33
Thomas Lickona, Pendidikan Karakter: Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi
Pintar dan Baik, Diterjemahkan dari Educating for Character, (Bandung: Nusa Media. 2013), h.
72 34
Fatma Laili Khoirun Nida, Intervensi Teori Perkembangan Moral Lawrence Kohlberg
dalam Dinamika Pendidikan Karakter, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 8,
2013, h. 274
-
29
dan rasioal (bukan secara dogmatis dan doktriner) pentingnya
akhlak mulia dan bahaya akhlak tercela dalam kehidupan; c)
mengenal sosok Nabi Muhammad Saw. sebagai figur teladan
akhlak mulia melalui hadits-hadits dan sunahnya.
2. Moral Loving / Moral Feeling
Belajar mencintai dengan melayani orang lain. Belajar
mencintai dengan cinta tanpa syarat. Tahapan ini dimaksudkan
untuk menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai
akhlak mulia. Dalam tahapan ini yang menjadi sasaran guru
adalah dimensi emosional siswa, hati, atau jiwa, bukan lagi akal,
rasio dan logika. Untuk mencapai tahapan ini guru bisa
memasukinya dengan kisah-kisah yang menyentuh hati,
modelling, atau kontempelasi. Melalui tahap ini pun siswa
diharapkan mampu menilai dirinya sendiri (muhasabah), semakin
tahu kekurangan-kekurangannya.35
3. Moral Doing / Learning to do
Inilah puncak keberhasilan mata pelajaran akhlak, siswa
mempraktikan nilai-nilai akhlak mulia itu dalam perilakunya
sehari-hari. Siswa menjadi semakin sopan, ramah, hormat,
penyayang, jujur, disiplin, cinta, kasih dan sayang, adil serta
murah hati dan seterusnya. Selama perubahan akhlak belum
terlihat dalam perilaku anak walaupun sedikit, selama itu pula
kita memiliki setumpuk pertanyaan yang harus selalu dicari
jawabannya. Contoh atau teladan adalah guru yang paling baik
dalam menanamkan nilai. Siapa kita dan apa yang kita berikan.
Tindakan selanjutnya adalah pembiasaan dan permotivasian.36
35 Nuraida dan Rihlah Nur Aulia, Pendidikan Karakter untuk Guru, (Ciputat: Islamic
Research Publishing, 2010), h. 26 36
Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif Islam, (Bandung: PT
Remaja Rosdakarya. 2011), h.112-113
-
30
Sedangkan menurut Indonesian Heritage Foundation (IHF)
menyebutkan beberapa strategi yang dapat digunakan dalam
pembentukan karakter, di antaranya yaitu:
1) Menerapkan metode belajar yang melibatkan partisipasi aktif
murid, yaitu metode yang dapat meningkatkan motivasi murid.
Karena seluruh dimensi manusia terlibat secara aktif dengan
diberikan materi pelajaran yang kongkrit, bermakna, serta
relevan dengan konteks kehidupanya.
2) Menciptakan lingkungan belajar yang kondusif sehingga anak
bisa belajar dengan efektif di dalam suasana yang memberikan
rasa aman, penghargaan, tanpa ancaman, dan memberi
semangat.
3) Memberikan pendidikan karakter secara eksplisit, sistematis dan
berkesinambungan, dengan melibatkan aspek knowing the good,
loving the good, and acting the good.
4) Metode pengajaran yang memperhatikan keunikan masing-
masing anak, yaitu menerapkan kurikulum yang melibatkan juga
9 aspek kecerdasan manusia.37
d. Metode Pendidikan Karakter
Dalam proses pembentukan karakter diperlukan metode-
metode pendidikan yang mampu menanamkan nilai-nilai karakter baik
kepada siswa, sehingga siswa bukan hanya tahu tentang moral (moral
knowing), tetapi juga mereka mampu melaksanakan moral (moral
action). Berikut metode-metode pembentukan karakter menurut
Abdurrahman An-Nahlawi dalam karyanya yang berjudul “Ushuul Al
Tarbiyah Al Islamiyyah Wa Salibuha” atau yang diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, yaitu “Prinsip-Prinsip dan Metode
Pendidikan Islam Dalam Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat”, di
antaranya adalah:
37
Nuraida dan Rihlah Nur Aulia, Op.Cit., h.27
-
31
1) Metode Hiwar atau Percakapan
Metode hiwar (dialog) adalah percakapan silih berganti
antara dua pihak atau lebih melalui tanya jawab mengenai satu
topik dengan satu tujuan tertentu. Dalam proses pendidikan metode
hiwar mempunyai dampak yang sangat mendalam terhadap jiwa
pendengar atau pembaca yang mengikuti topik percakapan secara
seksama, karena permasalahan yang disajikan sangat dinamis,
pembaca atau pendengar tertarik untuk terus mengikuti jalannya
percakapan untuk mengetahui kesimpulan, dapat membangkitkan
berbagai perasaan dan kesan seseorang, serta sikap orang yang
yang terlibat akan mempengaruhi peserta sehingga akan
menimbulkan berbagai pengaruh yang baik.
2) Metode Qashash atau Cerita
Menurut kamus Ibn Manzur dikutip dari Heri Gunawan,
kisah berasal dari kata qashsha-yaqushshu-qishshatan yang berarti
potongan berita yang diikuti dan pelacak jejak. Menurut al-Razzi
kisah merupakan penelusuran terhadap kejadian masa lalu. Dalam
pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah, kisah sebagai metode
pendukung pelaksanaan pendidikan memiliki peranan yang sangat
penting, karena dalam kisah terdapat berbagai keteladanan dan
edukasi.38
3) Metode Amtsal atau Perumpamaan
Dalam mendidik umat manusia, Allah banyak
menggunakan perumpamaan. Metode perumpaan ini juga baik
untuk digunakan oleh para guru dalam memberikan pendidikan
kepada peserta didiknya dalam menanamkan karakter kepada
mereka. Metode perumpamaan ini menurut An-Nahlawi memiliki
tujuan pedagogis, di antaranya mendekatkan makna pada
pemahaman, merangsang kesan dan pesan yang berkaitan dengan
makana yang tersirat, mendidik akal supaya berpikir logis, dan
38
Heri Gunawan, Op.Cit., .h. 88-90
-
32
menggerakkan perasaan dan menghidupkan naluri untuk
melakukan amal yang baik dan menjauhi segala yang buruk.
4) Metode Uswah atau Keteladanan
Dalam penanaman karakter kepada peserta didik,
keteladanan merupakan metode yang lebih efektif dan efisien. Hal
ini karena peserta didik pada umumnya cenderung meneladani
(meniru) guru atau pendidiknya. Oleh karena itu, pendidik maupun
tenaga kependidikan perlu memberikan keteladanan yang baik
kepada para peserta didiknya, agar penanaman karakter baik
sehingga dapat menjadi panutan dan dapat diteladani.39
5) Metode Pembiasaan
Pembiasaan adalah sesuatu yang sengaja dilakukan secara
berulang-ulang agar sesuatu itu dapat menjadi kebiasaan. Metode
pembiasaan ini berintikan pengalaman. Karena yang dibiasakan
adalah sesuatu yang diamalkan dan inti kebiasaan adalah
pengulangan. Pembiasaan menempatkan manusia sebagai sesuatu
yang istimewa, yang dapat menghemat kekuatan, karena akan
menjadi kebiasaan yang melekat dan spontan, agar kegiatan itu
dapat dilakukan setiap saat. `Metode pembiasaan ini perlu
dilakukan oleh guru dalam rangka pembentukan karakter untuk
membiasakan peserta didik melakukan perilaku terpuji.
6) Metode „Ibrah dan Mau’idhoh
„Ibrah berarti suatu kondisi psikir yang menyampaikan
manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, dihadapkan
dengan menggunakan nalar yang menyebabkan hati mengakuinya.
Adapun mau’idhoh adalah nasihat yang lembut yang diterima oleh
hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya.
7) Metode Targhib dan Tarhib (Janji dan Ancaman)
Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan
akhirat yang disertai dengan bujukan. Tarhib adalah ancaman
39
Ibid., h. 91-94
-
33
karena dosa yang dilakukan. Targhib bertujuan agar manusia
melakukan kebaikan yang diperintahkan Allah, sedangkan tarhib
bertujuan agar manusia menjauhi perbuatan yang dilarang Allah.40
e. Nilai-Nilai Pendidikan Karakter
Nilai-nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter di
Indonesia diidentifikasi berasal dari empat sumber. Pertama, agama.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat beragama. Oleh karena
itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada
ajaran agama dan kepercayaan. Karenanya, nilai-nilai pendidikan
karakter juga harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang
berasal dari agama.
Kedua, Pancasila. Negara Kesatuan Republik Indonesia
ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan
yang disebut pancasila. Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam
Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik,
hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya dan seni.
Ketiga, budaya. Posisi budaya yang sedemikian penting dalam
kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai
dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
Keempat, tujuan Pendidikan Nasioal UU RI Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional merumuskan fungsi dan
tujuan pendidikan nasional yang harus digunakan dalam
mengembangkan upaya pendidikan di Indonesia. Tujuan pendidikan
nsional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah
sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan
budaya dan karakter bangsa.
40
Ibid., .h. 95-96
-
34
Tabel 2.1: Nilai-nilai dan deskripsi nilai pendidikan
karakter berdasarkan Kementerian Pendidikan Nasional tahun
201041
No Nilai Deskripsi
1 Religius Sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya,
toleran terhadap pelaksanan ibadah agama lain,
dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2 Jujur Perilaku yang didasarkan pada upaya
menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu
dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan.
3 Toleransi Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan
agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan
tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya.
4 Disiplin Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib
dan patuh pada berbagai ketentuan dan
peraturan.
5 Kerja Keras Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-
sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas
dengan sebaik-baiknya.
6 Kreatif Berpikir dan melakukan sesuatu untuk
menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu
yang telah dimiliki.
7 Mandiri Sikap dan perilaku yang tidak mudah
tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugas.
8 Demokratis Cara berpikir, bersikap, dan bertindak yang
41
Syamsul Kurniawan, Op.Cit., h. 39-42
-
35
menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan
orang lain.
9 Rasa Ingin Tahu Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk
mengetahui lebih mendalam dan meluas dari
sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, atau
didengar.
10 Semangat Kebangsaan Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11 Cinta Tanah Air Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang
menempatkan kepentingan bangsa dan negara
di atas diri dan kelompoknya.
12 Menghargai Prestasi Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya
untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi
masyarakat dan mengauki serta menghormati
keberhasilan orang lain.
13 Bersahabat/Komunikatif Tindakan yang memperlihatkan rasa senang
berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan
orang lain.
14 Cinta Damai Sikap, perkataan, dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang dan
aman atas kehadirannya.
15 Gemar Membaca Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca
berbagai bacaan yang memberikan kebajikan
bagi dirinya.
16 Peduli Lingkungan Sikap dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan alam di
sekitarnya dan mengembangkan upaya-upaya
untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah
terjadi.
-
36
17 Peduli Sosial Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat yang
membutuhkan.
18 Tanggung Jawab Sikap dan perilaku seseorang untuk
melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang
seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri,
masyarakat, dan lingkungan (alam, sosial, dan
budaya), negara, dan Tuhan YME.
2. Karakter Religius
a. Pengertian Karakter Religius
Religi berasal dari bahasa latin, yakni religere yang
mengandung arti mengumpulkan, membaca. Adapula pendapat lain
yang mengatakan bahwa religi berasal dari kata religare yang berarti
mengikat.42
Sedangkan, kata religius menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah bersifat religi; bersifat keagamaan; yang bersangkut-
paut dengan religi.43
Sedangkan, karakter religius berarti sikap dan
perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang
dianutnya, toleran terhadap pelaksanan ibadah agama lain, dan hidup
rukun dengan pemeluk agama lain.44
Situasi dan kondisi tempat model serta penerapan nilai yang
menjadi dasar penanaman religius, yaitu: 1) Menciptakan budaya
religius (karakter religius) yang bersifat vertikal dapat diterapkan
melalui kegiatan peningkatkan hubungan dengan Allah SWT baik
secara kualitas atau kuantitasnya. Pelaksanaan kegiatan religius di
sekolah yang bersifat ibadah, diantaranya sholat berjamaah, membaca
ayat suci Al-Qur‟an, berdoa bersama dan lain sebagainya. 2)
42
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, (Jakarta: UI-press.
1985), h.2 43
Kamus Besar Bahasa Indonesia, (www.kbbi..web.id) diakses pada 8 Oktober 2019 44
Syamsul Kurniawan, Loc.Cit., h. 39
http://www.kbbi..web.id/
-
37
Menciptakan budaya religius (karakter religius) yang bersifat
horizontal yaitu lebih menempatkan sekolah sebagai institusi sosial
yang berbasis religius dengan menciptakan hubungan antar sosial
yang baik. Jenis hubungan sosial antar manusia dapat dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu: (a) hubungan antara atasan dan bawahan, (b)
hubungan profesional, (c) hubungan sederajat atau sukarela
berdasarkan nilai-nilai religius, seperti persaudaraan, kedermawanan,
kejujuran, saling menghormati dan sebagainya.45
b. Aspek Karakter Religius
Aspek religius menurut kementerian dan lingkungan hidup RI
tahun 1987 religius agama Islam terdiri dari:
a. Aspek iman, yakni yang mengyangkut dan hubungan manusia
dengan Tuhan, malaikat, par