PERAN DINAS TATA RUANG DAN TATA BANGUNAN …balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/5. Siti...
Transcript of PERAN DINAS TATA RUANG DAN TATA BANGUNAN …balitbang.pemkomedan.go.id/tinymcpuk/gambar/file/5. Siti...
PERAN DINAS TATA RUANG DAN TATA
BANGUNAN DALAM MENGAWASI
PENYALAHGUNAAN RUANG TERBUKA HIJAU DI
KOTA MEDAN (Studi Pada Dinas Tata Ruang Dan Tata Bangunan Kota Medan)
PROPOSAL
Oleh:
SITI ANNISA AULIA SARI
NPM. 1306200397
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SUMATERA UTARA
MEDAN
2016
1
A. Judul : Peran Dinas Tata Ruang Dan Tata Bangunan Dalam
Mengawasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kota
Medan (Studi Dinas Tata Ruang Dan Tata Bangunan Kota
Medan)
B. Latar Belakang
Kota merupakan pusat dari berbagai kegiatan sosial ekonomi
masyarakat seperti pemerintahan, perindustrian, perdagangan, transportasi,
pendidikan, dan lain - lain. Pemusatan kegiatan di perkotaan membuat tingkat
kepadatan penduduk terus bertambah, keadaan tersebut kemudian sejalan dengan
semakin meningkatnya laju pembangunan sebagai upaya pemenuhan sarana
infrastruktur yang harapannya dapat mampu meningkatkan kesejateraan
masyarakat diperkotaan.1
Pembangunan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia
untuk mencapai kehidupan yang lebih baik. Hakikat pembangunan adalah
bagaimana agar kehidupan hari depan lebih baik dari hari ini.2 Dalam
melaksanakan pembangunan itu dilakukan upaya pemanfaatan sumber daya alam,
yang pada hakikatnya juga berarti melakukan perubahan terhadap ekosistem.
Dengan demikian upaya pembangunan itu pada gilirannya akan menimbulkan
masalah lingkungan pula. 3
Pesatnya laju pembangunan seolah menjadi penghalang bagi
keberlanjutan ekosistem lingkungan hidup diperkotaan. Kondisi tersebut
1 Nopitasari Suparjo. 2016. Aspek Hukum Penyediaan Ruang Terbuka Hijau Dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar, Skripsi, Program Sarjana, Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar, halaman 1
2 Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, halaman
38
3 Niniek Suparni. 1992. Pelestarian, Pengelolaan, dan Penegakan Hukum
Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika, halaman 26
2
menyebabkan lingkungan hidup mendapat tekanan yang cukup berat sehingga
lahan kritis cenderung meningkat, penyusutan keanekaragaman hayati, kondisi
pesisir mencemaskan, pencemaran tanah, air dan udara bertambah. Kenyataan
tersebut berdampak kepada sulitnya masyarakat di perkotaan mendapatkan
lingkungan hidup yang bersih dan nyaman.4 Padahal kehidupan manusia sangat
bergantung kepada organisme hidup lain. Tumbuhan dapat hidup tanpa manusia
tapi manusia tidak dapat hidup tanpa tumbuhan. Karena tumbuhanlah
menyediakan makanan dan energi untuk manusia.5
Kebutuhan akan lingkungan yang sehat telah diatur dalam Pasal 28H
angka 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(selanjutnya disingkat UUD 1945), yang menyebutkan bahwa “setiap orang
berhak hidup sejaterah lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta memperoleh pelayanan kesehatan”.
Namun kenyataannya saat ini hampir seluruh perkotaaan di Indonesia sulit untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang bersih dan nyaman.
Pertumbuhan masyarakat diperkotaan mengakibatkan peningkatan
kebutuhan ruang kota dan tekanan pemanfaatan ruang kota yang mengakibatkan
banyaknya alih fungsi lahan untuk kegiatan komersil dan permukiman sehingga
kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan ruang publik sebagai tempat yang
bersih dan nyaman sulit untuk ditemukan. Padahal di dalam UUD 1945 Pasal 33
ayat 3 jelas mengamanatkan bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasi oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya
4 Nopitasari Suparjo, Loc.Cit.
5 Marhaeni Ria Siombo. 2012. Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, halaman 8
3
untuk kemakmuran rakyat”. Dengan kata lain, ketentuan ini bermakna bahwa
negara dengan berbagai cara dan tanpa alasan apapun dituntut untuk dapat
mensejahterakan rakyatnya.
Melihat hal ini maka pemerintah mengeluarkan suatu produk hukum
yang mengatur tentang batas, fungsi, dan pengelolaan ruang dalam suatu kawasan
yaitu salah satunya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 yang kemudian
diganti dengan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
(selanjutnya disingkat UU No. 26 Tahun 2007). Undang-undang ini memiliki
tujuan untuk mengatur bagaimana pelaksanaan pembangunan yang terarah yang
tetap memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup sehingga tercapailah
pembangunan yang berkelanjutan dan tanah-tanah yang ada digunakan
sebagaimana fungsinya.
Perkembangan penataan ruang di berbagai wilayah di Indonesia
semakin berkembang sejak muncul kebijakan terkait dengan otonomi daerah.
Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah
menjadi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah
(selanjutnya disingkat UU No. 23 Tahun 2014), memberikan kewenangan kepada
daerah untuk penyelenggaraan penataan ruang mencakup kegiatan pengaturan,
pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan, yang didasarkan pada pendekatan
wilayah administratif dan tingkat pemanfaatan ruang yang berbeda. Dengan
kewenangan sebagai implementasi kebijakan otonomi daerah tersebut, daerah juga
memiliki kewenangan untuk mengelola sumber daya yang tersedia di wilayahnya
dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan. Implikasinya
4
diperlukan kebijakan pengendalian lingkungan hidup yang mengupayakan adanya
Ruang Terbuka Hijau (RTH).6
Sebagaimana Pasal 29 ayat 2 UU No. 26 Tahun 2007 mengamanatkan
bahwa proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota.
Sehingga konsekuensinya adalah pendistribusian penyediaan dan pemanfaatan
ruang terbuka harus melalui beberapa kajian yang diatur oleh pemerintah. RTH
sebagai ruang guna menampung kegiatan konservasi lingkungan hidup kota harus
dikaitkan dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota, sampai ke Rencana
Bagian Wilayah Kota (RBWK) sampai ke kawasan-kawasan kelurahan atau
dusun.
Ketentuan penyediaan RTH kemudian lebih lanjut ditegaskan dalam
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Terbuka Hijau Kawasan Perkotaan (selanjutnya disingkat PERMENDAGRI No. 1
Tahun 2007), yang menyatakan tujuan pembentukan RTH antara lain
meningkatkan mutu lingkungan perkotaan yang nyaman, segar, indah dan bersih
serta menciptakan keserasian lingkungan dan lingkungan binaan yang berguna
untuk kepentingan masyarakat.
Namun hingga saat ini, penataan ruang kota dan rencana pembangunan
khususnya di kota Medan mengenai ketentuan pemenuhan proporsi lahan RTH
baik dalam bentuk publik maupun privat belum dapat terealisasi dengan
sempurna. Hal tersebut terjadi dikarenakan perubahan fungsi yang semula berupa
6 Sulistyo Wibowo. 2009. Implementasi Ketentuan Penyediaan Ruang Terbuka Hijau
Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang Di Kota
Surakarta, Skripsi, Program Sarjana, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret,
Surakarta, halaman 3
5
lahan terbuka berubah menjadi hutan beton, dimana terbangun berbagai keperluan
seperti perumahan, industri, pertokoan, kantor dan fasilitas umum lainnya hampir
tersebar di seluruh wilayah Kota Medan. Tata ruang yang diharapkan dapat
mengakomodasi seakan tidak berdaya menahan mekanisme pasar.
Menurunnya kuantitas dan kualitas ruang terbuka hijau mengakibatkan
menurun kualitas lingkungan perkotaan seperti sering terjadinya banjir di
perkotaan, tingginya polusi udara, dan meningkatnya kerawanan sosial
(kriminalitas dan krisis sosial), serta menurunnya produktivitas masyarakat akibat
stress karena terbatasnya ruang publik yang tersedia untuk interaksi sosial.
Sesuai dengan uraian latar belakang yang singkat diatas, Penulis merasa
tertarik untuk mengadakan penelitian terkait pengawasan pemerintah daerah kota
Medan terhadap pemanfaatan RTH, yang dalam hal ini merupakan tugas Dinas
Tata Ruang dan Tata Bangunan untuk meningkatkan fungsi lahan terbuka menjadi
RTH, mengisi, dan melakukan penertiban terhadap RTH yang disalahgunakan
fungsinya. Sehingga, berdasarkan uraian diatas, maka judul penelitian ini adalah
“Peran Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Dalam Mengawasi
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Medan (Studi Pada Dinas Tata
Ruang dan Tata Bangunann Kota Medan)”.
1. Rumusan Masalah
a. Bagaimana penetapan pemenuhan ruang terbuka hijau di kota medan ?
b. Bagaimana peran dinas tata ruang dan tata bangunan dalam mengawasi
pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota medan ?
6
c. Bagaimana kendala yang di hadapi dinas tata ruang dan tata bangunan
dalam mengawasi pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota medan ?
2. Faedah Penelitian
Manfaat penelitian di dalam pembahasan ini ditujukan kepada berbagai
pihak terutama:
a. Secara teoritis untuk dapat memberikan manfaat pada pengembangan
ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan bidang
Hukum Administrasi Negara pada khususnya dan didiharapkan dapat
memperkaya referensi literatur dalam dunia kepustakaan tentang kajian
mengenai peran pemerintah dalam mengawasi pemanfaatan ruang terbuka
hijau.
b. Secara praktis sebagai sumbangan pemikiran bagi kepentingan Negara,
Bangsa, Masyarakat dan Pembangunan.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui penetapan pemenuhan ruang terbuka hijau di kota medan.
2. Untuk mengetahui peran dinas tata ruang dan tata bangunan dalam mengawasi
pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota medan.
3. Untuk mengetahui kendala yang di hadapi dinas tata ruang dan tata bangunan
dalam mengawasi pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota medan.
D. Definisi Operasional
Definisi operasional adalah kerangka yang menggambarkan hubungan
antara definisi-definisi khusus yang akan diteliti. Sesuai dengan judul penelitian
7
yaitu “Peran Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Dalam Mengawasi
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kota Medan (Studi Pada Dinas Tata Ruang
dan Tata Bangunan Kota Medan)”, maka dapat diterangkan definisi operasional
penelitian ini adalah:
1. Peran adalah suatu sikap atau perilaku yang diharapkan oleh banyak orang
atau sekelompok orang terhadap seseorang yang memiliki status atau
kedudukan tertentu. Sehingga yang dimaksud dengan peran tidak berarti
sebagai hak dan kewajiban individu, melainkan merupakan tugas dan
wewenang.
2. Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan adalah unsur pelaksana Pemerintah
Kota Medan dalam bidang tata ruang dan tata bangunan yang dipimpin oleh
seorang Kepala Dinas yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Kepala Daerah melalui Sekretaris daerah.
3. Mengawasi adalah tindakan hukum administrasi yang dilakukan pemerintah
atau pemerintah daerah untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran.
4. Pemanfaatan adalah proses, cara, perbuatan memanfaatkan.
5. Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang atau jalur dan/ atau
mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh
tanaman, baik tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja di tanam.
E. Tinjauan Pustaka
1. Hukum tata ruang
a. Pengertian dan ruang lingkup hukum tata ruang
8
Tata ruang dengan penekanan pada “tata” adalah pengaturan susunan
ruang wilayah/daerah (kawasan) sehingga tercipta persyaratan yang bermanfaat
secara ekonomi, sosial dan budaya dan politik serta menguntungkan bagi
perkembangan masyarakat wilayah tersebut. Dengan penekanan tersebut
diharapkan dapat mengembangkan fungsi negara yang diamanatkan Pasal 2 ayat
(2) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria
(selanjutnya disingkat UU No. 5 Tahun 1960), yang mencakup: 1) Mengatur
penyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan ruang
(dalam arti tiga dimensi: bumi, air dan udara), dan kekayaan yang terkandung di
dalamnya; 2) Mengatur dan menentukan hubungan antara orang-orang dengan
ruang,; dan 3) Menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan hukum mengenai ruang.
Tata ruang dan penekanan pada “ruang” adalah wadah yang meliputi
ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai
satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan
kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya, sehingga peruntukan,
pemanfaatan, dan pengelolaannya mencapai taraf yang optimal bagi kesejahteraan
masyarakat indonesia.7
Dalam hubungan tersebut, UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 butir 2
menegaskan bahwa “tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang”.8
Adapun yang dimaksud dengan wujud struktural pemanfaatan ruang adalah
susunan unsur-unsur pembentuk rona lingkungan alam, lingkungan sosial,
7 A.M. Yunus Wahid. 2014. Pengantar Hukum Tata Ruang. Jakarta: Kencana,
halaman 6
8 Ibid., halaman 7
9
lingkungan buatan yang secara hirarkis berhubungan satu dengan yang lainnya.
Sedangkan yang dimaksud pola pemanfaatan ruang meliputi pola lokasi, sebaran
permukiman, tempat kerja, industri, pertanian, serta pola penggunaan tanah
perkotaan dan pedesaan, di mana tata ruang tersebut adalah tata ruang yang
direncanakan, sedangkan tata ruang yang tidak direncanakan adalah tata ruang
yang terbentuk secara alami, seperti aliran sungai, gua, gunung, dan lain-lain.
Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 Pasal 1 butir 5 yang dimaksud
dengan penataan ruang adalah “suatu sistem proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang”.9 Penataan ruang
sebagai suatu sistem tersebut mengandung makna bahwa perencanaan,
pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukan yang
di tetapkan dalam RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) nasional, provinsi,
maupun kabupaten/kota harus dipahami sebagai satu kesatuan yang tidak
terpisahkan. Dengan demikian, diharapkan penataan ruang ini dapat berperan
untuk: (a) mewujudkan pemanfaatan ruang yang berdaya guna dan berhasil guna
serta mampu mendukung perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH)
secara berkelanjutan; (b) mencegah atau menghindari pemborosan pemanfaatan
ruang; dan (c) mencegah terjadinya penurunan kualitas ruang.10
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa tata ruang atau lengkapnya
rencana tata ruang (RTR) atau (RTRW) merupakan salah satu instrumen dalam
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH), terutama dalam upaya
mencegah timbulnya perusakan lingkungan hidup. Atas dasar tersebut, dapat
9 Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik. 2013. Hukum Tata Ruang. Bandung: Nuansa,
halaman 24
10
A.M. Yunus Wahid, Op.Cit., halaman 8
10
dipahami, bahwa penataan ruang dan tata ruang merupakan objek pengaturan
hukum tata ruang, yang secara substansial merupakan salah satu bagian dari
materi hukum lingkungan dalam arti luas. 11
Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa “ hukum tata ruang adalah
keseluruhan peraturan hukum yang mengatur tentang proses perencanaan,
peruntukan, pemanfaatan, serta pengendalian dan pengawasan pemanfaatan
ruang”.12
b. Konsep dasar hukum tata ruang
Konsep dasar hukum penataan ruang, tertuang di dalam pembukaan
UUD 1945 alinea ke-4 yang berbunyi:
“Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejaterahan umum dan
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan
ketertiban dunia...”
Selanjutnya dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 amandemen ke empat,
berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan diperuntukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.” Untuk dapat mewujudkan tujuan negara tersebut, khususnya untuk
meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti
negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam
tercapainya tujuan tadi dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah. 13
Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka
peraturan-peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak
11 Ibid., halaman 78
12
Ibid., halaman 79
13
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik, Op.Cit., halaman 28
11
pemerintah, di mana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur
penataan ruang adalah UU No. 26 Tahun 2007.
UU No. 26 Tahun 2007 merupakan undang-undang pokok yang
mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang. Keberadaan undang-undang
tersebut diharapkan selain sebagai konsep dasar hukum dalam melaksanakan
perencanaan tata ruang, juga diharapkan dapat digunakan sebagai bahan acuan
pemerintah dalam penataan dan pelestarian lingkungan hidup.14
c. Kewenangan dalam penataan ruang
Sejalan dengan otonomi daerah, wewenang penyelenggaraan penataan
ruang (PR) oleh pemerintah dan pemerintah daerah mencakup: 1) kegiatan
pengaturan; 2) pembinaan; 3) pelaksanaan dan pengawasan penataan ruang
“didasarkan pada pendekatan wilayah” dengan batas wilayah administratif.
Dengan pendekatan ini, penataan ruang seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) terdiri atas: (a) penataan ruang nasional; (b)
penataan ruang wilayah provinsi; (c) penataan ruang wilayah kabupaten; dan (d)
penataan ruang wilayah kota, yang setiap wilayah ini merupakan subsistem ini
terdapat SDM dengan berbagai macam kegiatan/aktivitas penggunaan SDA dan
SDB (sumber daya buatan), dengan tingkat pemanfaatan ruang berbeda-beda.
Apabila tidak ditata dengan baik, dapat mendorong ke arah timbulnya
ketimpangan pembangunan antar wilayah dan ketidaksinambungan pemanfaatan
ruang. Oleh karena ada beberapa subjek (pemerintah dan pemerintah daerah) yang
harus terlibat dalam penataan ruang tersebut (nasional, provinsi dan
14 Ibid., halaman 29
12
kabupaten/kota), maka perlu adanya kejelasan tentang kewenangan dalam
penataaan ruang.15
Dalam Pasal 7 ayat (1), (2), (3) UU No. 26 Tahun 2007 yang mengatur
tentang “Tugas Negara-Pemerintah” dalam penataan ruang, ditegaskan sebagai
berikut:
(1) Negara menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), negara memberikan “kewenangan” penyelenggaraan
penataan ruang kepada Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
(3) Penyelenggaraan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dilakukan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki
orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2007 tersebut meletakkan dan
menegaskan “Kewajiban Negara” dan “Tugas Pemerintah” untuk
menyelenggarakan penataan ruang bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Untuk
dapat melaksanakan tugas tersebut, UU No. 26 Tahun 2007 (negara) memberikan
“kewenangan” penyelenggaraan penataan ruang kepada pemerintah dan
pemerintah daerah secara hierarkis, nasional, provinsi, kabupaten/kota. Dengan
demikian, secara institusional (kelembagaan), masing-masing pemerintah dan
pemerintah daerah memiliki kewenangan “atribusi” (asli dan penuh) dengan
beberapa wewenang (eskplisit dan/atau implisit) di dalamnya. Dalam UU No. 26
15 A.M. Yunus Wahid, Op.Cit., halaman 111
13
Tahun 2007, kewenangan masing-masing pemerintah ini telah diperinci dengan
tegas, yakni wewenang pemerintah (pusat) tertuang dalam Pasal 8 dan Pasal 9.
Wewenang pemerintah daerah provinsi tertuang dalam Pasal 10, sedangkan
wewenang pemerintah kabupaten/kota tertuang dalam Pasal 11 UU No. 26 Tahun
2007. Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2007 tersebut menyatakan “kewenangan”
pemerintah dalam penataan ruang sebagai genus dari “wewenang-wewenang”
yang diberikan kepada masing-masing pemerintah dan pemerintah daerah yang
diperinci dalam Pasal 8 sampai Pasal 11.16
Berkaitan dengan penataan ruang (PR) wilayah kota, UU No. 26 Tahun
2007 menetapkan persyaratan khusus sebagai tambahan dari persyaratan umum
penetapan RTRW kabupaten/kota, yakni secara khusus mengamanatkan perlunya
penyediaan dan pemanfaaatan ruang terbuka hijau,yang “proporsi luasanya”
ditetapkan paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, yang diisi oleh tanaman,
baik tumbuh secara alami maupun yang sengaja ditanam. 17
2. Ruang terbuka hijau
a. Pengertian ruang terbuka hijau
Berbagai peraturan perangkat hukum yang mendukung terwujudnya
Ruang Terbuka Hijau, mengartikan ruang terbuka hijau antara lain sebagai
berikut:
Berdasarkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 dan Peraturan
Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, dan Peraturan Daerah
16 Ibid., halaman 112
17
Ibid., halaman 129
14
Kota Medan Nomor 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota
Medan Tahun 2011-2031 (selanjutnya disingkat PERDA No. 13 Tahun 2011),
disebutkan bahwa pengertian Ruang Terbuka Hijau adalah area memanjang/jalur
dan atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara alamiah maupun yang
sengaja ditanam.
PERMENDAGRI No. 1 Tahun 2007 mengartikan ruang terbuka hijau
dalam pengelompokkan ruang terbuka hijau perkotaan sebagai bagian dari ruang
terbuka suatu kawasan perkotaan yang diisi oleh tumbuhan dan tanaman guna
mendukung manfaat ekologi, sosial, budaya, ekonomi, dan estetika.
Secara definitif, Ruang Terbuka Hijau (Green Openspaces) adalah
kawasan atau areal permukaan tanah yang didominasi oleh tumbuhan yang dibina
untuk fungsi perlindungan habitat tertentu, dan atau sarana lingkungan/kota, dan
atau pengamanan jaringan prasarana dan atau budidaya pertanian. Selain untuk
meningkatkan kualitas atmosfer, menunjang kualitas air dan tanah, Ruang
Terbuka Hijau (Green Openspaces) di tengah-tengah ekosistem perkotaan juga
berfungsi untuk meningkatkan kualitas lanskep kota.18
Secara sistem, Ruang Terbuka Hijau pada dasarnya adalah bagian dari
kota yang merupakan totalitas kesatuan yang memiliki keterkaitan dan tidak
terbangun, yang berfungsi menunjang kenyamanan, kesejahteraan, peningkatan
kualitas lingkungan, dan pelestarian alam.19
18 Agus Suparman, dkk. “Ruang Terbuka Kota”, melalui
http://veronika.staff.gunadarma.ac.id, diakses 20 November 2016, Pukul 21.00 wib.
19
Aca Sugandhy dan Rustam Hakim. 2009. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara, halaman 103
15
Jadi, ruang terbuka hijau merupakan suatu lahan/kawasan yang
mengandung unsur dan struktur alami yang dapat menjalankan proses-proses
ekologis, seperti pengendali pencemaran udara, ameliorasi iklim, pengendali tata
air, dan sebagainya. Unsur alami inilah yang menjadi ciri ruang terbuka hijau di
wilayah perkotaan, baik unsur alami berupa tumbuh-tumbuhan atau vegetasi,
badan, air, maupun unsur alami lainnya.20
b. Dasar hukum ruang terbuka hijau
Berdasarkan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi di Rio de Jeneiro,
Brazil (1992) dan dipertegas lagi pada KTT Johannesburg, Afrika Selatan 10
tahun kemudian, disepakati bersama bahwa sebuah kota idealnya memiliki luas
RTH minimal 30% dari total luas kota. 21
Adapun peraturan yang mengatur mengenai keberadaan dan
pengelolaan ruang terbuka hijau sebagai wujud dari kesepakatan KTT tersebut
diatas antara lain tertuang dalam:
1) Undang-undang No. 6 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Pasal 1 (31),
Pasal 28, Pasal 28 – Pasal 31)
2) Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional
3) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 2007 tetang Penataan
Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan (Pasal 1 (2), (19), (20), Pasal
2 (a), (b), (c), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 6)
20 Nirwono Joga dan Iwan Ismaun. 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, halaman 52
21
Ibid., halaman 92
16
4) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang
Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan (Pasal 1- 4).
c. Jenis dan penggolongan ruang terbuka hijau
Berdasarkan PERMENDAGRI No. 1 Tahun 2007, jenis-jenis ruang
terbuka hijau meliputi taman kota; taman wisata alam; taman rekreasi; taman
lingkungan perumahan dan permukiman; taman lingkungan perkantoran dan
gedung komersial; taman hutan raya; hutan kota; hutan lindung; bentang alam
seperti gunung, bukit, lereng dan lembah; cagar alam; kebun raya; kebun
binatang; pemakaman umum; lapangan olah raga; lapangan upacara; parkir
terbuka; lahan pertanian perkotaan; jalur dibawah tegangan tinggi (SUTT dan
SUTET); sempadan sungai, pantai, bangunan, situ dan rawa; jalur pengaman
jalan, median jalan, rel kereta api, pipa gas dan pedestrian; kawasan dan jalur
hijau; daerah penyangga (buffer zone) lapangan udara; dan taman atap (roof
garden).
Adapun klasifikasi RTH berdasarkan tipologi22
antara lain sebagai
berikut:
1) Berdasarkan fisik terdiri dari :
a) RTH alami, yaitu berupa habitat liar alami, kawasan lindung, dan
taman-taman nasional;
b) RTH Non Alami/Binaan,yang terdiri dari taman, lapangan olahraga,
makam dan jalur-jalur hijau jalan.
22 Direktorat Jendral Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum, Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kawasan Perkotaan, halaman 6
17
2) Berdasarkan struktur ruang terdiri dari:
a) RTH dengan pola ekologis, yaitu merupakan RTH yang memiliki pola
mengelompok, memanjang, tersebar;
b) RTH dengan pola planologis, merupakan RTH yang memiliki pola
mengikuti hirarki dan struktur ruang perkotaan.
3) Berdasarkan Kepemilikan terdiri dari:
a) RTH publik, yaitu RTH yang penyediaan dan pemeliharaannya
menjadi tanggung jawab Pemerintah Kabupaten/Kota, seperti taman
kota, taman pemakaman umum dan jalur hijau sepanjang jalan,
sungai, dan pantai;
b) RTH private, yaitu RTH yang penyediaan dan pemeliharaanya
menjadi tanggung jawab pihak/lembaga swasta, perseorangan dan
masyarakat yang dikendalikan melalui izin pemanfaatan ruang oleh
Pemerintah Kabupaten/Kota, seperti kebun atau halaman rumah atau
gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.
d. Tujuan, fungsi, dan manfaat ruang terbuka hijau
1) Tujuan penyelenggaraan RTH
Adapun tujuan penyelenggaraan RTH23
adalah:
a) Menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air;
b) Menciptakan aspek planologis perkotaan melalui keseimbangan
antara lingkungan alam dan lingkungan binaan yang berguna
untuk kepentingan masyarakat;
23 Ibid., halaman 5
18
c) Meningkatkan keserasian lingkungan perkotaan sebagai sarana
pengaman lingkungan perkotaan yang aman, nyaman, segar,
indah, dan bersih
2) Fungsi RTH
RTH memiliki fungsi 24
sebagai berikut:
a) Fungsi utama (intrinsik) yaitu fungsi ekologis:
(4) memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari sistem
sirkulasi udara (paru-paru kota);
(5) pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air secara
alami dapat berlangsung lancar;
(6) sebagai peneduh;
(7) produsen oksigen;
(8) penyerap air hujan;
(9) penyedia habitat satwa;
(10) penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta;
(11) penahan angin.
b) Fungsi tambahan (ekstrinsik) yaitu:
(1) Fungsi sosial dan budaya:
(a) menggambarkan ekspresi budaya lokal;
(b) merupakan media komunikasi warga kota;
(c) tempat rekreasi;
24 Ibid., halaman 6
19
(d) wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan
dalam mempelajari alam.
(2) Fungsi ekonomi:
(a) sumber produk yang bisa dijual, seperti tanaman bunga,
buah, daun, sayur mayur;
(b) bisa menjadi bagian dari usaha pertanian, perkebunan,
kehutanan dan lainlain.
(3) Fungsi estetika:
(a) meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan
kota baik dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan
permukimam, maupun makro: lansekap kota secara
keseluruhan;
(b) menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota;
(c) pembentuk faktor keindahan arsitektural;
(d) menciptakan suasana serasi dan seimbang antara area
terbangun dan tidak terbangun.
3) Manfaat RTH
Manfaat RTH berdasarkan fungsinya dibagi atas:
a) Manfaat langsung (dalam pengertian cepat dan bersifat tangible),
yaitu membentuk keindahan dan kenyamanan (teduh, segar,
sejuk) dan mendapatkan bahan-bahan untuk dijual (kayu, daun,
bunga, buah);
20
b) Manfaat tidak langsung (berjangka panjang dan bersifat
intangible), yaitu pembersih udara yang sangat efektif,
pemeliharaan akan kelangsungan persediaan air tanah,
pelestarian fungsi lingkungan beserta segala isi flora dan fauna
yang ada (konservasi hayati atau keanekaragaman hayati).25
Menurut PERMENDAGRI No. 1 Tahun 2007, manfaat RTH adalah
sebagai berikut:
a) sarana untuk mencerminkan identitas daerah;
b) sarana penelitian, pendidikan dan penyuluhan;
c) sarana rekreasi aktif dan pasif serta interkasi sosial;
d) meningkatkan nilai ekonomi lahan perkotaan;
e) menumbuhkan rasa bangga dan meningkatkan prestise daerah;
f) sarana aktivitas sosial bagi anak-anak, remaja, dewasa dan
manula;
g) sarana ruang evakuasi untuk keadaan darurat;
h) memperbaiki iklim mikro; dan
i) meningkatkan cadangan oksigen di perkotaan.
3. Pengawasan
a. Pengertian pengawasan
Secara terminoligis, istilah pengawasan disebut dengan istilah
controlling, evaluating, appraising, correcting, maupun kontrol. Kata “
Pengawasan” berasal dari kata “awas”, berarti antara lain “penjagaan”. George R.
25 Ibid.
21
Terry mendefinisikan istilah pengawasan adalah “Control is to determine what is
accomplished, evaluate it, and apply corrective measures, if needed to ensure
result in keeping with the plan,” (Pengawasan adalah menentukan apa yang telah
dicapai, mengevaluasi dan menerapkan tindakan korektif, jika perlu, memastikan
hasil yang sesuai dengan rencana).26
Pengertian tentang pengawasan sangat beragam dan banyak sekali
pendapat para ahli yang mengemukakannya, namun demikian pada prinsipnya
kesemua pendapat yang dikemukakan para ahli adalah sama, yaitu merupakan
tindakan membandingkan antara hasil dalam kenyataan (das sein) dengan hasil
yang diinginkan (das sollen), yang dilakukan dalam rangka melakukan koreksi
atas penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam kegiatan manajemen. 27
Sementara Lembaga Administrasi Negara (1996) mengungkapkan
bahwa:28
Pengawasan adalah salah satu fungsi organik manajemen, yang
merupakan proses kegiatan pimpinan untuk memastikan dan
menjamin bahwa tujuan dan sasaran tugas organisasi akan dan telah
terlaksana dengan baik sesuai dengan rencana, kebijakan, instruksi,
dan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dan data yang berlaku.
Pengawasan sebagai fungsi manajemen sepenuhnya adalah tanggung
jawab setiap pimpinan pada tingkat mana pun. Hakikat pengawasan
adalah untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan,
pemborosan, penyelewengan, hambatan, kesalahan, dan kegagalan
dalam pencapaian tujuan dan sasaran serta pelaksanaan tugas
organisasi.”
Bertitik tolak dari pengertian tentang pengawasan sebagaimana
diungkapkan diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud
26 Ni’matul Huda. 2007. Pengawasan Pusat Terhadap Daerah. Yogyakarta: FH UII
PRESS, halaman 33
27
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. 2011. Hukum Tata Usaha Negara dan
Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta: Kencana, halaman 447
28
Ibid., halaman 449
22
dengan pengawasan adalah sebagai suatu proses kegiatan pemimpin yang
sistematis untuk membandingkan (memastikan dan menjamin) bahwa tujuan dan
sasaran serta tugas organisasi yang akan dan telah terlaksanan dengan baik sesuai
dengan standar, rencana, dan yang berlaku, serta untuk mengambil tindakan
perbaikan yang diperlukan, guna pemanfaatan manusia dan sumber daya lain yang
paling efektif dan efesien dalam pencapaian tujuan.29
b. Maksud dan tujuan pengawasan
Adapun maksud pengawasan adalah untuk mengetahui pelaksanaan
kerja, hasil kerja, dan segala sesuatunya apakah sesuai dengan yang direncanakan
atau tidak, serta mengukur tingkat kesalahan yang terjadi sehingga mampu
memperbaiki ke arah yang lebih baik.30
Sedangkan tujuan pengawasan pada pokoknya adalah:
1) membandingkan antara pelaksanaan dan rencana serta instruksi yang telah
dibuat.
2) mengetahui ada tidaknya kesulitan, kelemahan atau kegagalan serta
efesiensi dan efektivitas kerja.
3) mencari jalan keluar apabila ada kesulitan, kelemahan dan kegagalan, atau
dengan kata lain disebut tindakan korektif.31
c. Macam teknik pengawasan
Macam teknik pengawasan dapat diklasifikasikan berdasarkan berbagai
hal32
, yaitu:
29 Ibid., halaman 451
30
Ibid., halaman 452 31
Ibid., halaman 453
23
1) Pengawasan langsung dan tidak langsung
a) Pengawasan langsung, yaitu pengawasan yang dilakukan secara
pribadi oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti,
memeriksa, mengecek sendiri secara “on the spot” di tempat
pekerjaan, dan menerima laporan secara langsung pula dari
pelaksana. Hal ini dilakukan dengan inspeksi.
b) Pengawasan tidak langsung, yaitu diadakan dengan mempelajari
lapran yang diterima dari pelaksanan baik lisan maupun tertulis,
mempelajari pendapat masyarakat dan sebagainya tanpa pengawsan
“on the spot”.
2) pengawasan preventif dan represif
a) pengawasan preventif, yaitu mencegah terjadinya penyimpangan-
penyimpangan dalam pelaksanaan kegiatan. Pengawasan preventif ini
biasanya berbentuk prosedur yang harus ditempug dalam mencegah
pelaksanaan kegiatan. Pengawasan preventif ini bertujuan 33
:
(1) mencegah terjadinya tindakan yang menyimpang dari dasar
yang telah ditentukan.
(2) Memberikan pedoman bagi terselenggaranya pelaksanaan
kegiatan secara efesien dan efektif.
(3) Menentukan saran dan tujuan yang akan dicapai.
(4) Menentukan kewenangan dan tanggung jawab sebagai instansi
sehubungan dengan tugas yang harus dilakukan.
32
Ibid., halaman 457 33
Ibid., halaman 459
24
b) pengawasan represif, yaitu dilakukan setelah tindakan dilakukan
dengan membandingkan apa yang telah terjadi dengan apa yang
harusnya terjadi. Dengan pengawasan represif dimaksud untuk
mengetahui apakah kegiatan dan pembiayaan yang telah dilakukan
itu untuk telah mengikuti kebijakan dan ketentuan yang telah
ditetapkan. Pengawasan ini dilakukan dalam bentuk:
(1) pengawasan dari jauh, yaitu pengawasan yang dilakukan
dengan cara pengujian dan penelitian terhadap surat
pertanggungjawaban disertai bukti-buktinya mengenai
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan.
(2) Pengawsan dari dekat, yaitu pengawasan yang dilakukan di
tempat kegiatan atau tempat penyelenggaraan administrasi.
3) Pengawasan intern dan pengawasan ekstern
a) pengawasan intern, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat
dalam organisasi itu sendiri.
b) Pengawasan ekstern adalah pengawsan yang dilakukan oleh aparat
dari luar organisasi sendiri.34
F. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian
bertujuan untuk mengungkap kebenaran secara sistematis, metodologis, dan
konsisten. Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan kontruksi
34 Ibid., halaman 458
25
terhadap data yang telah dikumpulkan dan diolah.35
Dalam penelitian juga
dituntut untuk menyebutkan apakah sudah ada upaya untuk memperoleh data
penelitian secara akurat dengan menggunakan instrument pengumpul data yang
valid.36
Agar mendapatkan hasil yang maksimal, maka metode yang dipergunakan
dalam penelitian ini terdiri dari:
1. Sifat penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif analisis yang
mengambarkan data seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala
lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan dibahas.37
Data yang terkumpul
kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat ditarik kesimpulan dari
keseluruhan hasil penelitian. Adapun jenis penelitian ini adalah penelitian hukum
sosiologis (yuridis empiris), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti
data primer yang diperoleh di lapangan yaitu studi langsung pada Dinas
Pertamanan Kota Medan.
2. Sumber data
Sumber-sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum
sekunder.38
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah terdiri atas
data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh langsung dari sumber
35 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Raja Grafindo, halaman 1
36
Jamaluddin Ahmad. 2015. Metode Penelitian Administrasi Publik (Teori dan
Aplikasi). Yogyakarta: Gava Media, halaman 9
37
Soerjono Soekanto. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia, halaman 10
38
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
Raja Grafindo Persada, halaman 141
26
pertama di Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Medan melalui penelitian.
Sedangkan data sekunder yaitu dari buku-buku, hasil-hasil penelitian yang
berwujud laporan, dan sebagainya, antara lain:
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini terdiri atas Undang-Undang Dasar
Tahun 1945, Peraturan Perundang-Undangan, seperti Undang-undang Nomor
6 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang No. 23 Tahun 2014,
Peraturan pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota, Peraturan
Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tetang
Penataan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, Peraturan Menteri
Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman Penyediaan dan
Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan, serta Peraturan
Daerah Kota Medan No. 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kota Medan Tahun 2011-2031.
b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku, karya ilmiah, hasil penelitian dan
buku lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang ada.39
c. Bahan hukum tersier, yakni bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus hukum,
ensiklopedia, bahan dari internet dan sebagainya.40
3. Alat pengumpulan data
39 Ida Hanifa, dkk. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara, halaman 6
40
Bambang Sunggono. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers,
halaman 114
27
a. Field Research (penelitian lapangan), yakni dengan melakukan wawancara
dengan pihak-pihak yang berwenang di Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan
Kota Medan.
b. Libary Research (penelitian pustaka), yaitu studi dokumentasi atau literature
yaitu dengan mempelajari bahan-bahan kepustakaan yang terdiri dari
Peraturan Perundang-Undangan, buku-buku dan karya tulis dari ahli hukum
yang ada relevansinya atau kaitannya dengan objek yang penelitian yang akan
dibahas dan dilakukan melalui penelusuran kepustakaan di Perpustakaan
Daerah Sumatera Utara, Perpustakaan Kota Medan dan Perpustakaan
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
4. Analisis data
Analisis data merupakan proses yang tidak pernah selesai. Proses
analisis data sebaiknya dilakukan segera setelah peneliti meninggalkan
lapangan.41
Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan secara kualitatif yakni
pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin dan pasal-pasal di dalam
undang-undang yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas dalam
penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam
bentuk uraian secara sistematis dan kemudian data-data diseleksi, diolah dan
dinyatakan secara deskriptif, sehingga dapat ditarik kesimpulan dari keseluruhan
hasil penelitian dan memberikan solusi terhadap permasalahan yang dimaksud.
G. Jadwal Penelitian
1. Tahap persiapan
41 Burhan Ashshofa. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, halaman
66
28
Tahap ini diperlukan pengumpulan literatur dan penyiapan proposal selama 2
(dua) minggu.
2. Tahap pengumpulan data
Pada tahap ini diperlukan waktu 10 hari untuk mencari bahan-bahan
kepustkaan yang menunjang penulisan proposal skripsi sampai dengan
menuangkannya dalam bentuk tulisan.
3. Tahap pengolahan data dan hasil penelitian
untuk penulisan data dan pengolahan data dari hasil penelitian dibutuhkan
waktu 2 (dua) minggu.
4. Tahap penyelesaian
Proses perbaikan dan penyempurnaan dibutuhkan waktu 2 (dua) minggu.
29
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Aca Sugandhy dan Rustam Hakim. 2009. Prinsip Dasar Kebijakan Pembangunan
Berkelanjutan Berwawasan Lingkungan. Jakarta: Bumi Aksara.
A.M. Yunus Wahid. 2014. Pengantar Hukum Tata Ruang. Jakarta: Kencana.
Amiruddin dan Zainal Asikin. 2003. Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Bambang Sunggono. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rajawali Pers.
Burhan Ashshofa. 2010. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Ida Hanifa, dkk. 2014. Pedoman Penulisan Skripsi. Medan: Fakultas Hukum
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Jamaluddin Ahmad. 2015. Metode Penelitian Administrasi Publik (Teori dan
Aplikasi). Yogyakarta: Gava Media
Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik. 2013. Hukum Tata Ruang. Bandung:
Nuansa.
Marhaeni Ria Siombo. 2012. Hukum Lingkungan dan Pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Niniek Suparni. 1992. Pelestarian, Pengelolaan, dan Penegakan Hukum
Lingkungan. Jakarta: Sinar Grafika.
Ni’matul Huda. 2007. Pengawasan Pusat Terhadap Daerah. Yogyakarta: FH UII
PRESS.
Nirwono Joga dan Iwan Ismaun. 2011. RTH 30%! Resolusi (Kota) Hijau. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Soerjono Soekanto. 2014. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2011. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta:
Raja Grafindo.
Supriadi. 2006. Hukum Lingkungan Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Titik Triwulan T dan Ismu Gunadi Widodo. 2011. Hukum Tata Usaha Negara
dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Indonesia. Jakarta:
Kencana.
B. Peraturan Perundang-undangan
30
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-ndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah, LN No. 244 Tahun 2014
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, LN No. 68 Tahun 2007
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2007 tetang Penataan Ruang
Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional
Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008 tentang Pedoman
Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan
Perkotaan
Peraturan Daerah Kota Medan No. 13 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kota Medan Tahun 2011-2031, LD No. 13 Tahun 2011
C. Karya Tulis Ilmiah
Suparjo, Nopitasari. 2016. Aspek Hukum Penyediaan Ruang Terbuka Hijau
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Makassar, Skripsi, Program
Sarjana, Program Studi Ilmu Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar.
Wibowo, Sulistyo. 2009. Implementasi Ketentuan Penyediaan Ruang Terbuka
Hijau Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang Di Kota Surakarta, Skripsi, Program Sarjana,
Program Studi Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
D. Internet
Agus Suparman, dkk. “Ruang Terbuka Kota”, melalui
http://veronika.staff.gunadarma.ac.id, diakses 20 November 2016,
Pukul 21.00 wib.
31
KERANGKA SKRIPSI
Lembaran Pendaftaran
Lembaran Berita Acara Ujian
Pernyataan Keaslian
Kata Pengantar
Daftar Isi
Daftar Table
Daftar Gambar
Abstrak
Bab I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1. Rumusan masalah
2. Faedah penelitian
B. Tujuan Penelitian
C. Metode Penelitian
1. Sifat penelitian
2. Sumber data
3. Alat pengumpulan data
4. Analisis data
D. Definisi Operasional
Bab II : T INJAUAN PUSTAKA
A. Hukum Tata Ruang
B. Ruang Terbuka Hijau
C. Pengawasan
Bab III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penetapan Pemenuhan Ruang Terbuka Hijau Di Kota
Medan
B. Peran Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Dalam
Mengawasi Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau Di Kota
Medan
C. Kendala yang Di Hadapi Dinas Tata ruang dan Tata
Bangunan Dalam Mengawasi Pemanfaatan Ruang
Terbuka Hijau Di Kota Medan
Bab IV : KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
32
PEDOMAN WAWANCARA
Subjek Penelitian : Dinas Tata Ruang dan Tata Bangunan Kota Me/dan
Jln. Jenderal Abdul Haris Nasution No.17, Pangkalan
Masyhur, Medan Johor, Kota Medan, Sumatera
Utara 20143, Indonesia.
1. Siapakah yang berwenang dalam menetapkan penyediaan ruang terbuka hijau
di kota Medan?
2. Bagaimana cara menetapkan kawasan yang merupakan ruang terbuka hijau di
kota Medan?
3. Berapakah luas ruang terbuka hijau yang telah tersedia di kota medan ?
4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi ketersedian ruang terbuka hijau di kota
Medan?
5. Apa saja upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan ruang
terbuka hijau di kota Medan?
6. Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan untuk mengawasi
pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota medan?
7. Apa tindakan yang dilakukan terhadap pihak yang menyalahgunakan ruang
terbuka hijau di kota Medan?
8. Bagaimana penetapan sanksi terhadap pihak yang menyalahgunakan ruang
terbuka hijau di kota medan?
9. Bagaimana koordinasi yang dilakukan dinas tata ruang dan tata bangunan
dengan dinas lain dalam mengawasi pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota
medan?
33
10. Apa saja kendala yang dihadapi dalam mengawasi pemanfaatan ruang terbuka
hijau di kota Medan?
11. Apa saja upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala yang di hadapi dalam
mengawasi pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota Medan?
34
PEDOMAN WAWANCARA
Subjek Penelitian : Dinas Pertamanan Kota Medan
Jln. Pinang Baris No. 114 B, Lalang, Medan Sunggal,
Kota Medan, Sumatera Utara, 20127
12. Siapakah yang berwenang dalam menetapkan penyediaan ruang terbuka hijau
di kota Medan?
13. Bagaimana cara menetapkan kawasan yang merupakan ruang terbuka hijau di
kota Medan?
14. Berapakah luas rencana ruang terbuka hijau di kota medan?
15. Berapakah luas ruang terbuka hijau yang telah tersedia di kota medan ?
16. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi ketersedian ruang terbuka hijau di kota
Medan?
17. Apa saja upaya yang dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan ruang
terbuka hijau di kota Medan?
18. Bagaimana kondisi ruang terbuka hijau di kota medan?
19. Apa saja upaya dilakukan untuk mengelola ruang terbuka hijau di kota
Medan?
20. Bagaimana bentuk pengawasan yang dilakukan untuk mengawasi
pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota medan?
21. Apa tindakan yang dilakukan terhadap pihak yang menyalahgunakan ruang
terbuka hijau di kota Medan?
22. Bagaimana penerapan sanksi terhadap pihak yang menyalahgunakan ruang
terbuka hijau di kota medan?
35
23. Bagaimana koordinasi yang dilakukan dinas pertamanan dan dinas lain dalam
mengawasi ruang terbuka hijau di kota medan?
24. Apa saja kendala yang dihadapi dalam mengawasi pemanfaatan ruang terbuka
hijau di kota Medan?
25. Apa saja upaya yang dilakukan untuk mengatasi kendala yang di hadapi dalam
mengawasi pemanfaatan ruang terbuka hijau di kota Medan?