PERAN ABUYA KH ABDURRAHMAN NAWI DALAM...
Transcript of PERAN ABUYA KH ABDURRAHMAN NAWI DALAM...
PERAN ABUYA KH ABDURRAHMAN NAWI DALAM
MENGEMBANGKAN ISLAM DI JAKARTA SELATAN
(1962-1982)
SKRIPSI
Ditulis untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Disusun Oleh:
Mochamad Haidir Alkaromi
1112022000030
PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1440 H/2019 M
v
ABSTRAK
Nama : Mochamad Haidir Alkaromi
Nim : 1112022000030
Judul : Peran Abuya KH Abdurrahman Nawi Dalam Mengembangkan Islam di
Jakarta Selatan (1962-1982).
Skripsi ini berisi tentang penelitan terhadap Peran Abuya KH Abdurrahman
Nawi Dalam Mengembangkan Islam di Jakarta Selatan (1962-1982). Abuya KH
Abdurrahman Nawi adalah Ulama asli betawi yang sangat luas keilmuannya, terlebih
lagi dalam bidang ilmu tata bahasa arab atau yang biasa disebut dengan ilmu Nahwu.
Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang bisa Abuya dapatkan dengan mudah dan instan.
Sejak kecil, Abuya sudah senang dan bersemangat dalam menuntut ilmu kepada
Ulama-ulama di jakarta dan sekitarnya. Dari Muallim Ghozali, Muallim Syarbini
Tebet, KH. Djoenaedi Ismail Pedurenan, KH. Hasybiyallah Klender, hingga kepada
guru-guru yang cukup jauh tempatnya, seperti Habib Syeich Al Musawwa Surabaya.
Selain itu, cara Abuya dalam berdakwah pun sangat menarik untuk dibahas.
Dikarenakan Abuya mempunyai sifat yang ramah dan mudah bergaul, sehingga bisa
masuk ke dalam berbagai kalangan, baik itu Pemerintah, Ulama, Habaib, ataupun
masyarakat pada umumnya. hal ini dibuktikan dengan mengajarnya Abuya di
berbagai Majlis Ta’lim di Jakarta dan sekitarnya, seperti di Majlis Ta’lim Darus
Sa’adah pimpinan KH. Zarkasih di Cilandak, Majlis Ta’lim Al Ikhwan pimpinan KH.
Abdul Halim di Condet, Majlis Ta’lim Al Iqdam pimpinan Ust. H. Abdurrahman
Latif di Bukit Duri dan masih banyak lagi. Selain itu, banyak juga dari kitab-kitab
karya Abuya yang sangat mudah dipahami. Tentu hal itu sangat menarik untuk
diketahui dan dibahas.
Dalam menulis skripsi ini. Penulis menggunakan metode kualitatif. Di mana
penulis mencari sumber dengan mengkaji studi pustaka, wawancara dan terjun
langsung ke lapangan guna mencari sumber-sumber serta karya-karya Abuya.
Abuya yang terlahir dari keluarga pedagang harusnya menjadikan kita lebih
semangat dalam menuntut ilmu. Terlebih lagi kita mengetahui bahwa zaman ini lebih
keras dalam pergaulan, tentu menjadikan beliau contoh yang sempurna dalam belajar
dan mengaji.
Di sini penulis mendapatkan bahwa sosok Ulama yang satu ini sangat menarik
untuk dikaji, baik itu dari segi keilmuan, ketekunan, kegigihan serta pantang
menyerahnya dalam berdakwah. Apalagi jika kita melihat saat ini banyaknya murid-
murid sukses yang tercetak dari didikan Abuya.
Kata Kunci : Ulama, Kiai, Pengembangan Islam, Abdurrahman Nawi, Jakarta
Selatan.
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan nikmat sehat
dan panjang umur, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan
salam semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mengajarkan
bagaimana kita untuk mencintai Ilmu dan Ulama.
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu dan mendukung penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Terutama kepada
para dosen, guru, teman seperjuangan, serta semua pihak yang namanya tidak bisa
saya sebutkan satu-satu di sini, semoga semua bentuk dukungannya bernilai ibadah
dan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Terima kasih juga penulis ucapkan secara
khusus kepada:
1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof. Dr. Hj.
Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.
2. Dekan Fakultas Adab dan Humaniora Drs. Saiful Umam, M.A. Ph.D.
3. Ketua Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam H. Nurhasan, MA, serta
Sekretaris Jurusan Sholikatus Sa’diyah M.Pd. yang terus memotivasi dan
mengingatkan penulis untuk menyelesaikan studi ini.
4. Prof. Didin Saefudin, M.A. selaku dosen pembimbing yang selalu
memberikan masukan sehingga skripsi ini bisa selesai.
5. Bapak dan ibu dosen Prodi Sejarah dan Peradaban Islam serta bapak dan
ibu dosen Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis
selama ini.
6. Pimpinan dan seluruh staf Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta seluruh civitas
akademik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Kedua orang tua saya yang mendukung baik secara materil ataupun non
materil sehingga saya bisa sampai di titik ini.
vii
8. Kakak dan adik serta keponakan saya yang selalu memberikan semangat
untuk menyelesaikan studi saya.
9. KLB (Kita Luar Biasa), Waaliman, Fathzry, Egy, Aries, Fitri, Mia
Alinda, Reisa yang mengiri perjalanan masa kampus menjadi lebih hidup
dan berwarna. Kalian luar biasa.
10. Teman-teman seperjuangan di Prodi Sejarah dan Peradaban Islam
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta seluruh angkatan,
juga teman-teman seperjuangan di kampus tercinta ini.
11. Guru-guru dan teman-teman di pondok tercinta.
12. Terima kasih juga buat Bang Mawardi, Muallim Ubaidillah Hamdan,
Bang Abar, Ust Kamil dan Ahlul Ghoflah, Bung Faldi, Gus Fajar Syamsi,
Indah, Faizah, Sania, Listy, ka Husnul dan semua yang selama ini
memberi semangat, membantu, dan menemani serta memberi masukan
kepada penulis.
Juga kepada semua pihak yang membantu dan mau direpotkan, serta kepada
siapa saja yang kenal maupun tidak secara sadar dan tidak sadar mengingatkan
tentang skripsi ini sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Saya ucapkan
terima kasih banyak. Semoga karya ini dapat bermanfaat.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ii
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING iii
LEMBAR PENGESAHAN iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Permasalahan 7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
D. Tinjauan pustaka 8
E. Kerangka Teori 9
F. Metode Penelitian 10
G. Sistematika Penulisan 13
BAB II BIOGRAFI ABUYA KH ABDURRAHMAN NAWI 14
A. Keluarga Abuya KH Abdurrahman Nawi 14
B. Pendidikan Abuya KH Abdurrahman Nawi 16
C. Karya-karya Abuya KH Abdurrahman Nawi 22
BAB III ABUYA KH ABDURRAHMAN NAWI DAN DAKWAH 35
A. Metode dan Landasan 35
B. Cakupan Tempat dan Kalangan 39
C. Majlis Ta’lim 41
ix
BAB IV PENGARUH DAKWAH ABUYA KH ABDURRAHMAN NAWI 44
A. Agama 44
B. Sosial 46
C. Pendidikan 47
BAB V PENUTUP 50
A. Kesimpulan 50
B. Saran 51
DAFTAR PUSTAKA 52
LAMPIRAN 54
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu karakteristik Islam adalah apresiasinya yang tinggi terhadap ilmu
pengetahuan. Ajaran Islam banyak mengajak umat manusia, khususnya orang
islam untuk mencari, mempelajari, dan mendapatkan ilmu pengetahuan. Al
Qur‟an menyatakan bahwa tidak sama antara orang mengetahui dengan orang
yang tidak mengetahui,1 hanya orang yang belajarlah yang dapat memahami,
2 dan
hanya orang berilmu yang takut kepada Allah.3
Orang berilmu dalam bahasa Arab disebut „alim, dan dari sinilah kata ulama
berasal. Ulama adalah bentuk jama’4 dari kata ‘alim yang berarti orang yang
mengetahui, dan ulama berarti orang-orang yang diakui sebagai cendikiawan
dengan memegang otoritas pengetahuan.5 Semula kata ulama berarti orang-orang
yang berpengetahuan luas atau pandai di berbagai bidang ilmu, kemudian arti
ulama tersebut berubah lebih terperinci ketika diserap ke dalam bahasa Indonesia,
yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam. Ibrahim
Hosen bahkan mengidentikkan ulama dengan ahli fiqih.6 Sementara Nurcholish
Madjid memposisikan ulama sebagai kelompok orang yang memiliki pandangan
budaya, terutama yang dibangun berdasarkan ide-ide konservatif.7 Mereka jarang
dilihat sebagai intelektual, pengertiannya tertuju pada kelompok konservatif,
penyokong tradisi, dan sebagai bagian dari urusan pembinaan agama yang
biasanya memangku institusi pesantren. Pemahaman seperti ini belum
1 QS. az Zumar (39:9).
2 QS. al „Ankabut (29:43).
3 QS. fathir (35:38)
4 Jama’ mempunyai arti yang menunjukan sesuatu lebih dari dua atau berjumlah banyak.
Kata ini sudah menyerap kedalam bahasa Indonesia menjadi jamak. Jika kita melihat di dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), jamak adalah kata yang menyatakan lebih dari satu atau
banyak, seperti contoh : Ibu-ibu atau para siswa. Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1988), Cet. Ke-1, h.348. 5Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2000), h.417.
6 Ibrahim Hosen, Pengkaderan Ulama Kini Memprihatinkan, Harian Pelita, 2 April 1996.
7 Nurcholish Madjid, Ulama dan Pesantren di Indonesia, Jurnal Studi Islam & Budaya
GONG, No. 7/TH V (1996), h.9.
2
mengungkap makna ulama, karena selain parsial, juga belum mencerminkan
cakupan kata ulama sebagai shigat mubalaghah.8
Secara generik, ulama adalah orang yang memiliki ilmu pengetahuan yang
mendalam, baik ilmu pengetahuan agama maupun non-agama. Al Qur‟an
menyebutkan ulama sebagai orang yang takut kepada Allah. Dengan kata lain,
ulama adalah ilmuwan baik dibidang agama, humaniora, sosial, maupun
kealaman, yang dengan hal tersebut menjadikan ia taat dan patuh atas segala
perintah-NYA dan menjauhi segala larangan-NYA. Nabi sendiri mengatakan
bahwa ulama adalah pewaris perjuangan para Nabi yang akan meneruskan tugas
dakwah dalam arti yang sangat luas. Ulama sebagai pewaris Nabi adalah
pemegang pusaka Al Qur‟an dan Sunnah yang di dalamnya mengandung segala
hal yang bersangkutan dengan ilmu pengetahuan secara asasi.9
Jika kita melihat kebelakang, dari masa munculnya pemerintahan Islam
seperti Dinasti Umayyah, Abbasiyah, dan seterusnya yang ditegakkan atas dasar
hukum-hukum al-Qur‟an dan Hadist, umat Islam telah mencapai kemakmuran dan
kejayaan yang nyata. Suatu masyarakat yang dinamis di bawah bimbingan para
ulama yang berpendirian teguh, penuh kejujuran, keberanian dan keikhlasan untuk
menegakkan syari‟at Islam. Sehingga para ulama dapat menuntun dan mengarahi
jalan masyarakat, baik dia penguasa ataupun rakyat biasa dalam menempuh hidup
di dunia ini.10
Ulama selalu berjuang atau bergerak tanpa pamrih dan hanya mengharapkan
ridho Allah. Ini merupakan landasan perjuangan hidup para ulama di jalan Allah
untuk menegakkan kebenaran. Prinsip mereka adalah hidup mulia di sisi Allah
atau mati syahid. Maka dari itu, mereka tidak pernah takut dengan segala macam
ancaman dan cobaan serta penindasan, baik itu dari seorang raja, pemerintah,
ataupun pemerintahan kolonial saat kita dijajah dulu.11
Dalam lintasan sejarah, bangsa Indonesia tidak terlepas dari peran ulama, di
mana ulama selalu menempati posisi penting di setiap masanya. Seperti pada
8 Bentuk kata yang menunjukan arti “berlebihan” atau “sangat”.
9 Ali Masykur Musa, Membumikan Islam Nusantara:Respons Islam Terhadap Isu-Isu Aktual,
(Jakarta: Serambi, 2014), Cet.ke-2, h.213-215. 10
Abdul „Aziz al-Badri, Peran Ulama dan Penguasa, Penerjemah: Salim Muhammad Wakid,
(Solo Indonesia: Pustaka Mantiq 1987), Cet.Ke-2, h.9. 11
Badruddin Shubky, Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, (Jakarta: Gema Insani Press,
1995), Cet. Ke-1, h.71.
3
masa kerajaan-kerajaan Islam, ulama mempunyai kedudukan sebagai penasihat
raja atau sultan sekaligus pengajar dalam bidang ilmu agama.12
Begitupun pada
masa penjajahan. Ulama banyak menjadi pemimpin yang mengangkat senjata dan
mengobarkan semangat perjuangan.
Pasca kemerdekaan, ulama tidak lagi berjuang dengan mengangkat senjata,
tetapi lebih ke arah pendidikan; baik akhlak, intelektual, ataupun pemahaman
keislaman. Ulama menjadi penghubung antara pemerintah dan pemimpin adat.
Mukti Ali berpendapat bahwa paling tidak ada tiga kelompok pemimpin yang
harus mengambil peranan untuk menggerakkan pembangunan di negara
berkembang seperti Indonesia ini. Tiga kelompok itu adalah pemerintah sebagai
pemimpin resmi, ulama atau tokoh agama sebagai pemimpin tidak resmi, dan
pemimpin adat.13
Pada masa itu, ulama juga berperan dalam meningkatkan kualitas sumber
daya manusia (SDM) melalui ormas-ormas keagamaan; seperti Muhammadiyah,
Nahdlatul Ulama, Al-Washliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan ormas-ormas
lainnya. Mereka semua mempunyai perhatian yang cukup besar terhadap masalah
sosial, pendidikan, keagamaan, dan kesejahteraan masyarakat. Walaupun dengan
cara atau metode yang tidak sama, yang tentu saja disesuaikan dengan kalangan
atau tempat mereka berada.
Dari penjelasan di atas, penulis bermaksud menulis perjuangan dakwah salah
seorang ulama asli Betawi yang mempunyai pengaruh dan peran dalam
menyebarluaskan ilmu agama serta mempertahankan tradisi membaca kitab
kuning yang lahir pada masa sebelum kemerdekaan, berda‟wah setelah
kemerdekaan, bahkan hingga sekarang masih eksis dalam mengaji dan berda‟wah.
Beliau bernama lengkap Abdurrahman Nawi, yang terlahir dari pasangan Haji
Nawi bin Su‟id dengan ibu Aini binti Rudin pada hari Jum‟at bulan Safar tahun
1354 H/1933 M di Tebet Melayu Besar Jakarta Selatan atau yang saat ini orang
mengenalnya dengan sebutan Jalan Tebet Barat VI Jakarta Selatan.14
Abuya KH
Abdurrahman Nawi adalah kiai yang dari kecil sangat gemar menuntut ilmu atau
12
Indonesia Dalam Arus Sejarah.(PT. Ichtiar Baru Van Hoeve) Jilid.3 h.331-348. 13
Departemen Agama, Agama dan Pembangunan Di Indonesia. Jakarta: Biro Humas Depag,
1976, h.68. 14
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018.
4
berguru kepada ulama-ulama di Jakarta dan sekitarnya. Kecintaannya kepada
ulama dan haus akan pengetahuan agama telah membawa Abdurrahman kecil
kepada ulama-ulama terkemuka pada zamannya, seperti KH Abdullah Syafi‟i di
Bali Matraman, KH Muhammad Ramli di Bukit Duri, KH Hasbiyallah di Klender,
Habib Ali bin Husein al Atthas di Kemayoran, Habib Abdurrahman bin Ahmad
Assegaf di Bukit Duri dan Habib Ali bin Abdurrahman al Habsyi di Kwitang,
serta masih banyak lagi dari ulama dan habaib yang menjadi gurunya. Hampir
semua ulama di Jabodetabek kala itu di datangi Abdurrahman yang masih muda
guna menuntut ilmu. Hal ini tentu didukung oleh orang tuanya. Walaupun
ayahnya seorang pedagang, Haji Nawi adalah pedagang yang juga mencintai
ulama dan senang mengaji. Haji Nawi mempunyai harapan semoga kelak
keturunannya ada yang bisa menjadi ulama seperti ulama-ulama kala itu.
Sejak muda, Abuya15
telah menunjukkan tanda-tanda kealimannya dengan
tekun mengaji dan patuh kepada guru, tentu hal ini sangat disenangi oleh guru-
gurunya. Dalam pedomannya, akhlak kepada guru adalah kunci berkah dalam
menuntut ilmu. Seiring keduanya dilakukan dengan ikhlas dan konsisten, hingga
saat ini hasilnya pun terlihat. Harapan ayahnya yang ingin anaknya menjadi ulama
pun terpenuhi. Hingga tahun 2018 lalu, Abuya masih memimpin atau mengajar
lebih dari 20 majlis ta‟lim dan pengajian di jakarta selatan dan sekitarnya.
Selain itu, keramahan serta pembawaan Abuya yang bersifat kekeluargaan
dan suka menyelipkan candaan dalam setiap acara yang dihadiri, menjadikan
Abuya mudah dekat dan dicintai oleh semua kalangan. Seperti keakraban Abuya
dengan kalangan Habaib, diantaranya Abuya sangat dekat dengan Habib Ali bin
Abdurrahman Assegaf Tebet16
dan Habib Husain bin Ali al-Attas17
. Selain dengan
Habaib, Abuya pun dekat dengan kalangan Kiai, Asatidz dan Ormas Islam seperti
Nahdlotul Ulama (NU). Hal ini terbukti dengan aktifnya Abuya dalam Muktamar
15
Mulai dari sini penulis akan lebih banyak menyebut mana Abuya K.H Abdurrahman Nawi
dengan sebutan Abuya saja. 16
Beliau merupakan ketua umum Majlis Ta‟lim al-Afaf di Tebet. Beliau pun sangat populer
dan terkenal dengan kealimannya dikalangan Habaib dan Ulama, khususnya di Jakarta. Selain itu,
Habib Ali merupakan putra Habib Abdurrahman bin Ahmad Assegaf yang merupakan guru
Abuya. Dipercaya juga oleh kebanyakan masyarakat bahwa Habib Abdurrahman adalah salah satu
wali Allah atau yang biasa disebut dengan “paku bumi”nya Jakarta pada masanya. 17
Beliau terkenal dengan sebutan Habib Husain tongkat. Habib Husain adalah putra Habib
Ali Bungur, yang juga merupakan guru Abuya dan ulama yang sangat dihormati pada masanya.
Begitupun dengan anaknya, Habib Husain bin Ali al Atthas sangat dihormati masyarakat karena
dipercaya dengan doanya yang sangat mustajab.
5
NU pada tahun 1971 di Surabaya dan 1979 di Semarang. Hingga Abuya dipercaya
menjadi pengajar tetap pengajian bulanan PBNU Jl.Kramat Raya Jakarta pada
tahun 1989. Abuya pun menjabat sebagai ketua koordinator Majlis Ta‟lim pusat
umat islam at-Thohiriyyah Jakarta18
tahun 1971 sampai 1978 dan Guru tetap
Ta‟lim angkasa radio As Syafi‟iyah19
dari tahun 1982 sampai 2010. Abuya juga
dekat dengan kalangan pemerintah. Ini terbukti dengan dipercayanya Abuya
menjadi salah satu khotib masjid kepresidenan Baiturrohim di Istana Negara
Jakarta dari tahun 1984 sampai 2010.
Selain itu, Abuya pun tetap aktif mengajar di masjid-masjid dan musholah-
musholah di Jakarta selatan dari tahun 1962 hingga 2017. Ini menjelaskan bahwa,
Abuya mampu masuk ke dalam semua kalangan dan tidak pernah memilih serta
membeda-bedakan golongan dalam berdakwah dan mengajar.20
Hal ini tentu saja
menjadikan siapapun senang bergaul dengan Abuya. Sehingga banyak masyarakat
baik muda ataupun tua yang berdatangan dari berbagai kampung dan kota guna
berguru kepadanya.
Hingga saat ini di ketahui bahwa banyaknya murid-murid Abuya yang sudah
terjun berdakwah di masyarakat, baik itu sebagai guru, dosen, ustadz, ataupun
kiai. Diantaranya :
18
Majlis Ta‟lim at Thohiriyyah didirikan oleh seorang Kiai bernama Tuan Guru Thohir
Rohili atau yang akrab disapa dengan nama Kiai Thohir atau Guru Thohir. Beliau lahir pada tahun
1920 M dan wafat pada hari Kamis 27 Mei tahun 1999. Majlis Ta‟lim ini berlanjut dengan
berdirinya lembaga pendidikan Islam dengan nama Madrasah Diniyyah At-Thahiriyyah pada
tanngal 21 Januari Tahun 1951. Dalam perkembangannya madrasah ini telah menjadi Universitas
Islam At-Thohiriyyah. Pada tahun 1967 lembaga pendidikan ini membuka radio dengan nama
Radio At-Thohiriyyah untuk kegiatan dakwah Islam. Dan sejak tahun 1968, telah dibentuk
Yayasan Ad-Diniyah At-Thohiriyyah dengan pendiri utamanya Guru Muhammad Thohir bin Haji
Rohili, Salbiyah Romli, dan Hj, Suryani Thohir. Lembaga ini mempunyai peran penting dalam
kegiatan dakwah Islam di Jakarta. 19
Ta‟lim Angkasa radio As-Syafi‟iyyah adalah salah satu ta‟lim yang sangat terkenal di
Jakarta. Ta‟lim ini tak terlepas dari sosok pendirinya, seorang Kiai yang terkenal dengan julukan
“Singa Podium”, yaitu KH Abdullah Syafi‟i. Beliau merupakan salah satu Ulama tersohor dan
disegani pada masanya. Ulama yang lahir pada Sabtu 10 Agustus 1910 ini merintis pengajiannya
bersama empat muridnya dengan nama Al-Islamiyyah. Sekitar tahun 1940, Beliau mengubah
nama Al-Islamiyyah menjadi As-Syafi‟iyah. Perubahan nama ini didasari pada keyakinannya
sebagai penganut madzhab Syafi‟i. Pada tahun 1972, Kiai Abdullah mendirikan Yayasan
Perguruan As-Syafi‟iyah. Dan dalam beberapa tahun kemudian, ia sudah mengelola 33 lembaga
dakwah, 11 lembaga sosial. Di samping menyelenggarakan pendidikan yang konvensional, dia
juga mendirikan pesantren khusus yatim, proyek pengadaan Ulama Ma‟had Aly, Sekolah Tinggi
Wiraswasta, Ta‟lim Angkasa, Tabligh dan latihan dakwah. 20
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018.
6
Muallim KH Ubaidillah Hamdan
Muallim Dr. KH Yusuf Hidayat
KH Qurtubi Nafis
Muallim KH Hasybiallah
KH Didin Miftahuddin
Ust Abdurrahman, M. Pd
Dr. Siti Amsariah, M. Ag
Penjelasan di atas memberi pengetahuan kepada kita bahwa Abuya adalah
anak yang terlahir dari keluarga pedagang. Pada umumnya, seorang kiai atau
ulama itu terlahir dari ayah atau kakeknya yang juga merupakan seorang ulama.
Namun yang menjadi catatan penting adalah, walaupun Haji Nawi adalah seorang
pedagang, ia merupakan pedagang yang sangat senang mengaji dan cinta kepada
ulama dan kiai. Sehingga tidak jarang ketika Haji Nawi mengikuti sebuah
pengajian, ia membawa anaknya mengaji. Hal itu ia lakukan agar anaknya terbiasa
dengan apa yang selalu lakukannya. Rutinitas inilah yang membentuk pribadi
Abuya menjadi anak yang senang mengaji dari kecil, sampai-sampai menjadi
candu tersendiri baginya. Sabab inilah yang kelak menjadikan Abuya penuh
dengan ilmu dan pengetahuan.
Selain itu, Abuya pun mempunyai hubungan yang baik dengan berbagai
kalangan masyarakat serta mempunyai sanad keilmuan yang jelas dengan ulama-
ulama terdahulu. Dan ini bukan hanya satu atau dua ulama saja, tetapi lebih dari
30 ulama alim dan terkenal kala itu yang menjadi guru Abuya. Dan kita sama-
sama mengetahui bahwa saat ini sudah semakin jarang orang yang mempunyai
sanad keilmuan yang tersambung kepada ulama-ulama sebelumnya seperti Abuya.
Selain itu, kegigihan Abuya dalam menuntut ilmu tentu menjadi cambuk untuk
diri kita yang saat ini lebih tergoda dengan dunia dan perkembangan teknologi.
Dan yang lebih menarik lagi adalah suksesnya Abuya dalam mencetak kader-
kader penerus untuk berdakwah dan membantu umat dalam memahami nilai-nilai
agama, khususnya paham Ahlusunnah Wal Jama‟ah. Ini yang menjadikan
perjalanan dakwah Abuya KH Abdurrahman Nawi menurut saya sebagai penulis
sangat menarik untuk dibahas. Maka dari itu saya menulis skripsi ini dengan judul
7
Peran Abuya KH Abdurrahman Nawi dalam Mengembangkan Islam di Jakarta
Selatan (1962-1982).
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasi ada beberapa
hal yang perlu diungkapkan.
Pertama tentang sejarah hidup Abuya KH Abdurrahman Nawi, mulai dari
latar belakang sosial, budaya, keluarga, pendidikan, guru-guru, murid-murid,
majlis ta‟lim, serta karya-karya beliau dalam berbagai bidang keilmuan. Kedua,
kontribusi Abuya dalam mengembangkan Islam di kota Jakarta Selatan, hingga
meluas ke wilayah sekitarnya, baik itu dalam bidang agama, sosial, ataupun
pendidikan.21
2. Rumusan Masalah
Rumusan masalahnya adalah bagaimana upaya dan kontribusi Abuya dalam
mengembangkan Islam di Jakarta Selatan. Untuk mempermudah dalam penelitian
ini penulis mengembangkannya dalam bentuk pertanyaan penelitian, sebagai
berikut :
a. Metode apa yang digunakan Abuya dalam berda‟wah?
b. Apa kontribusi Abuya dalam mengembangkan Islam?
3. Pembatasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi permasalahan pada kontribusi
Abuya dalam mengembangkan Islam di Jakarta Selatan hingga meluas ke
sekitarnya. Antara lain tentang peran Abuya di berbagai kalangan, baik
pemerintah, kiai atau ulama, habaib, pelajar, hingga masyarakat dan peningkatan
pendidikan, serta kecerdasan masyarakat. Adapun waktunya, yaitu dari tahun
1962 M di saat Abuya mulai berda‟wah sampai tahun 1982 M, di mana Abuya
berhasil melebarkan sayapnya sampai ke daerah Depok.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk :
21
Untuk penjelasan yang lebih terperinci akan dijelaskan pada bab selanjutnya.
8
(a) Mengetahui metode yang digunakan Abuya dalam berda‟wah.
(b) Mengetahui kontribusi Abuya dalam mengembangkan Islam
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :
(1) Bagi komunitas akademik, khususnya Fakultas Adab dan Humaniora
dalam bidang kajian Sejarah dan Kebudayaan Islam dapat dijadikan bahan
masukan untuk penulisan karya ilmiah dalam bidang kesejarahan khususnya
mengenai ulama di Indonesia.
(2) Menjadi inspirasi umat Islam untuk memperjuangkan dan memajukan
masyarakat dalam bidang keagamaan dan semangat menuntut ilmu, baik ilmu
agama ataupun umum.
(3) Keteladanan edukasi.
(4) Agar masyarakat mengenal serta mengetahui peran Abuya dan mau
mencontoh, meneladani, juga meneruskan perjuangan beliau.
(5) Bagi dunia pustaka, hasil penelitian ini diharapkan sebagai sumbangan
yang berguna dalam memperkaya koleksi perpustakaan Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta pada umumnya, di Fakultas Adab dan Humaniora
pada khususnya.
D. Tinjauan Pustaka
Dari penelusuran awal yang penulis lakukan, belum ditemukan adanya studi
yang bersifat komprehensif tentang kontribusi Abuya KH Abdurrahman Nawi
dalam mengembangkan Islam di Jakarta Selatan, baik dalam bidang sosial,
budaya, ekonomi, pendidikan, dan kecerdasan masyarakat serta keterbukaan
beliau dalam bergaul ke semua kalangan yang selalu mengajak untuk mengaji dan
menjaga tradisi dalam mengkaji kitab kuning dan berdakwah.
Memang terdapat studi yang dilakukan terkait dengan subyek penelitian di
atas, seperti saudari Yeni Rahmawati yang membahas pesantren Al-Awwabin
yang didirikan dan dipimpin langsung oleh Abuya untuk menyelesaikan studi S1-
nya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2010.22
Tetapi itu lebih banyak
membahas tentang pesantren dan struktur pesantren itu sendiri, adapun tentang
22
Yeni Rahmawati, Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Pondok Pesantren Kota Depok
Tahun 1962-2000,(Jakarta: Fak. Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, 2010).
9
Abuya, hanya dijelaskan sekilas. Selain itu, saudari Yeni hanya fokus di wilayah
kota Depok di mana Pesantren itu berdiri.
Selain itu, ada juga saudara Darmuji dari Fakultas Dakwah dan Komunikasi
yang juga membahas peran Abuya K.H. Abdurrahman Nawi di kota Depok untuk
menyelesaikan studi S1-nya pada tahun 2012 lalu di Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta.23
Akan tetapi yang dibahas lebih banyak terfokus
kepada daerah Depok dan dakwah Abuya diseputar Pondok Pesantren Al
Awwabin Depok.
Juga saudara Habibi dari Fakultas Tarbiyah yang membahas peran Abuya
dalam mengembangkan pendidikan di Pesantren al-Awwabin Depok untuk
menyelesaikan studi S1-nya pada tahun 2016 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Akan tetapi tak beda dari dua penulis diatas. Saudara Habibi
lebih terfokus terhadap struktur pendidikan Pesantren al-Awwabin dan penjelasan
tentang sistem pengajaran di sana. Adapun tentang awal Abuya berdakwah dan
mengajar di Tebet, itu sangat sedikit dan minim.24
Dengan demikian, studi ini diharap dapat melengkapi penelitian di atas
tentang perjuangan dan kontribusi Abuya KH Abdurrahman Nawi secara lebih
komprehensif dalam mengembangkan Islam di Jakarta Selatan.
E. Kerangka Teori
Seperti permasalahan di atas, peranan adalah kata kunci dalam penulisan
skripsi ini. Dengan demikian, penulis menggunakan teori peran sebagai landasan
kerangka teori untuk menjawab permasalahan di atas. Menurut Kozier Barbara,
peran adalah seperangkat tingkah laku yang di harapkan oleh orang lain terhadap
seseorang sesuai dengan kedudukannya dalam suatu sistem.25
Maka dapat
disimpulkan bahwa teori peran adalah sudut pandang dalam kehidupan
bermasyarakat sebagai bentuk dari perilaku yang di harapkan seseorang pada
situasi sosial tertentu. Seperti contoh : guru, ayah, ulama.
23
Darmuji, Peran KH. Abdurrahman Nawi Dalam Pengembangan Dakwah Di Kota Depok,
(Jakarta: Fak.Dakwah UIN Syarif Hidayatullah, 2007). 24
Dhiya Habibi, Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi Dalam Mengembangkan Pendidikan
Islam Di Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok, (Jakarta: FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2016). 25
Kozier Barbara, Peran dan Mobilitas Kondisi Masyarakat (Jakarta: Gunung Agung, 1995),
h.21.
10
Dalam teori ini, sebenarnya sudah ada skrip atau skenario yang di susun oleh
masyarakat, yang mengatur apa dan bagaimananya setiap peran di dalam
masyarakat tersebut. Dalam skrip atau skenario sudah “tertulis” seorang ulama
harus bagaimana, seorang pemimpin harus bagaimana dan seterusnya sesuai
dengan peran yang kita terima dan kita jalankan. Maka dalam permasalahan di
atas, peran dapat diartikan dengan keikutsertaan Abuya KH. Abdurrahman Nawi
yang berperan sebagai tokoh agama atau ulama dalam mengembangkan Islam
dengan berdakwah, mengajar, dan berkarya di Jakarta Selatan.
F. Metode Penelitian
I. Pendekatan Penelitian
Sartono Kartodirjo seorang sejarawan besar Indonesia mengatakan bahwa
peristiwa sejarah itu tidak hanya terjadi dengan melihat satu aspek, melainkan
harus dilihat dari beberapa aspek, dan supaya peristiwa masa rekontruksi sejarah
masa lampau itu lebih bersifat komfrehensif maka harus ditekankan dengan
berbagai pendekatan, seperti dari mana melihatnya, apa yang harus dikaji, unsur
mana saja yang harus diungkapkan, sosiologi, antropologi, sosial, budaya, politik,
agama, yang terkait dengan interpretasi data untuk menjadi sebuah peristiwa
sejarah.26
Dalam penulisan skripsi ini pendekatan yang paling tepat dengan penelitian
yang penulis lakukan adalah lebih kepada pendekatan sosial-history yaitu dengan
menggunakan pendekatan sejarah dan perubahan sosial dalam mengungkapkan
fakta historis terkait uraian skripsi ini.
II. Jenis dan Sumber Data
a. Jenis Data
Dalam penelitian ini jenis data yang dikumpulkan adalah data yang terkait
dengan latar belakang sosial budaya kehidupan dan pendidikan Abuya KH.
Abdurrahman Nawi dan kontribusi keagamaan Abuya untuk umat islam di Jakarta
Selatan.
b. Sumber Data
1) Sumber Data Primer
26
Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Penelitian Sejarah,
(Jakarta: Gramedia, 1992), h.4-5, 144-156.
11
Sumber data primer dalam penelitian ini antara lain wawancara, pengamatan
langsung, arsip, yang semuanya itu merujuk pada pandangan atau pendapat tokoh
yang diteliti. Jadi, latar belakang sosial kehidupan Abuya datanya bersumber dari
wawancara dengan antara lain; Ust. Mawardi, S.Fil. selaku cucu sekaligus santri
Abuya KH Abdurrahman Nawi, Ust Hafidz Kamil selaku Sekretaris Abuya KH
Abdurrahman Nawi, Muallim KH Ubaidillah Hamdan dan Ust Djauharul Bar
selaku santri Abuya KH Abdurrahman Nawi, Rifaldi selaku Ketua Ikatan Alumni
Al Awwabin Depok (IKAAD), Bapak Sarmili selaku Masyarakat yang mengaji
kepada Abuya KH Abdurrahman Nawi dan Umi Ruqoyyah selaku Istri Abuya KH
Abdurrahman Nawi serta Pengamatan langsung di Pondok Pesantren Al Awwabin
Depok dan pengajian Asyatul Khomis mingguan dan bulanan di Tebet Jakarta
Selatan yang keduanya diasuh langsung oleh Abuya.
2) Sumber Data Sekunder
Adapun sumber data sekunder antara lain : pandangan, tulisan orang yang
memiliki referensi dengan sumber data primer yang penulis dapatkan dari buku,
koran, dan artikel, dokumen yang sekitanya masih berkenaan dengan pembahasan
yang ditulis.
III. Metode Pengumpulan Data atau Heuristik
Penelitian ini menggunakan metode sejarah, yaitu suatu cara, jalan, petunjuk,
pelaksana, atau arahan teknis untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam
penulisan sebuah peristiwa sejarah.27
Cakupan riset meliputi studi perpustakaan
dan lapangan.
Kemudian dalam penelitian ini menggunakan sumber sekunder yang
tujuannya untuk menambah sumber primer. Misalnya buku, artikel, dokumen,
koran, hasil penelitian yang dipandang masih berkaitan dengan topik
masalahnya.28
IV. Pengolahan dan Klasifikasi Data
Selanjutnya adalah penghimpunan data, dimana setelah data ataupun sumber-
sumber telah didapat kemudian dilakukan pengklasifikasian, itupun dilakukan
setelah data-data yang telah terkumpul dibaca terlebih dahulu; baik koran, buku,
27
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah, Jakarta: Ar Ruzz Media, 2007, h.53. 28
Sartono Kartodirdjo, Metode Penggunaan Bahan Dokumen, dalam Koentjaningrat, (ed),
Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta: Gramedia, 1979, h.61-92.
12
artikel, jurnal dan sebagainya. Kemudian dari data-data tersebut dimasukkan
kedalam tema yang penulis angkat..
V. Analisis Data
Data yang terkumpul di analisa dan kemudian diklasifikasikan untuk
dikategorisasi. selanjutnya, data yang terkumpul dipilah berdasarkan kaitannya
dengan subyek kajian. kemudian dilakukan analisis untuk mengungkap kontribusi
Abuya dalam mengembangkan Islam di Jakarta Selatan. Jadi penelitian ini bersifat
deskriptif-analisis.
13
G. Sistematika Penulisan
Agar lebih terarah pembahasan pada skripsi ini, penulis membaginya dalam
lima bab dan menyajikannya ke dalam tiga bagian : awal, tengah dan akhir.
Bagian awal terdiri atas halaman sampul, halaman judul, halaman pernyataan,
halaman pengesahan pembimbing, halaman pengesahan, halaman abstrak,
halaman pengisian kata pengantar, dan halaman daftar isi. Pada bagian
pertengahan terdiri dari uraian bab dirinci sebagai berikut :
BAB I : Pendahuluan yang terdiri atas uraian latar belakang, permasalahan
(identifikasi masalah, rumusan masalah, pembatasan masalah), tujuan dan manfaat
penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori, metode penelitian, sistematika
penulisan.
BAB II : Membahas tentang biografi Abuya KH. Abdurrahman Nawi, yang
terbagi dalam beberapa pembahasan. Yaitu, A. Keluarga Abuya KH.
Abdurrahman Nawi, B. Pendidikan Abuya KH. Abdurrahman Nawi, C. Karya-
karya Abuya KH. Abdurrahman Nawi
BAB III : Membahas tentang Abuya KH. Abdurrahman Nawi dan dakwah,
dan terbagi menjadi tiga subs. Pertama Metode dan Landasan, kedua Cakupan
Tempat dan Kalangan, dan terakhir Majlis Ta‟lim
BAB IV : Membahas tentang Pengaruh dakwah Abuya KH. Abdurrahman
Nawi dalam tiga sudut pandang. A. Agama, B. Sosial, C. Pendidikan.
BAB V : Merupakan Penutup, yang terdiri dari bagian akhir dari penulisan
skripsi yang berupa kesimpulan dan saran.
14
BAB II
BIOGRAFI ABUYA KH ABDURRAHMAN NAWI
A. Keluarga Abuya KH Abdurrahman Nawi
Beliau bernama lengkap Abdurrahman Nawi, yang terlahir dari pasangan Haji
Nawi bin Su‟id dengan ibu Aini binti Rudin pada hari Jum‟at bulan Safar tahun
1354 H/1933 M di Tebet Melayu Besar Jakarta Selatan atau yang saat ini orang
mengenalnya dengan sebutan Jalan Tebet Barat VI Jakarta Selatan. Abuya adalah
anak ke sembilan dari sepuluh bersaudara, yakni :
1) Siti Umroh
2) Hayati
3) Muhammad Zain
4) Maimunah
5) Kahfi
6) Roqiyah
7) Nurhayah
8) Hajjah Najwa
9) Abdurrahman Nawi‟
10) „Arfah29
Haji Nawi maupun istrinya „Aini bukanlah seorang tokoh agama bagi
masyarakatnya, juga bukan keturunan dari ulama terkemuka. Mereka hanyalah
seseorang yang taat beragama dan senang kepada ilmu dan ulama. Sehari-hari
mereka dikenal sebagai pedagang nasi ulam di warung pedok. Sebagai orang yang
senang kepada ulama, Haji Nawi tentu selalu menyempatkan diri untuk mengikuti
pengajian yang diadakan oleh para ulama dan habaib yang sekiranya masih
terjangkau oleh dirinya, baik berupa jarak ataupun waktu. Seperti pengajian di
kampung Melayu atau di kampung Kwitang pada waktu-waktu yang telah
dijadwalkan. Di Tebet kala itu tidak ada ulama atau habaib sebesar Habib Ali
Kwitang atau KH Abdullah Syafi‟i Bali Matraman yang setiap mengadakan
pengajian rutin selalu dihadiri oleh ratusan kaum muslimin dari berbagai kampung
Jakarta dan sekitarnya. Juga tidak ada madrasah atau sekolah Islam tingkat dasar
29
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018.
15
sekalipun, yang menjadi tempat belajar bagi anak-anak dan remaja. Tempat
belajar yang lazim bagi anak-anak dan remaja kampung saat itu adalah ta‟lim atau
pengajian intensif tentang ilmu agama dan bahasa Arab dengan memakai kitab-
kitab tertentu yang diselenggarakan di rumah seorang guru (mu‟allim). Besar
kecilnya ta‟lim itu, diukur dari materi dan kitab yang diajarkan, yang biasanya
sesuai dengan ke‟aliman (keilmuan dan penguasaan) guru tersebut terhadap ilmu-
ilmu agama yang dibahas.
Haji Nawi yang seorang pedagang serta cinta kepada ilmu dan ulama, tentu
menjadi cerminan dan contoh yang sangat baik bagi anak-anaknya. Seperti
pepatah menyebutkan, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Abuya pun mengikuti
jejak ayahnya dalam berdagang dan cinta kepada ulama. Sejak kecil, Abuya sudah
terbiasa berjualan dan berusaha, diawali dari suka membantu kedua orang tuanya
dalam berjualan, hingga akhirnya dipercaya oleh kedua orang tuanya untuk
membuka usaha sendiri. Dalam berjualan, tentunya Abuya tidak langsung menjadi
pedagang besar dan sukses, tetapi melalui proses panjang dan ketekunan serta
kesabaran yang tinggi. Abuya mengawali bisnisnya dengan membuka usaha-usaha
kecil seperti menjual buah-buahan, kitab-kitab, sarung, peci, baju koko dan bahan
makanan pokok di daerah Mampang, hingga akhirnya Abuya bisa membuka
bisnis jahit dan kompeksi serta usaha percetakan buku dan kitab-kitab. Selain itu,
Abuya juga membuka usaha percetakan sendiri untuk kitab-kitab dan buku-
buku.30
Dan tentu saja proses itu diselingi dengan pengajian-pengajian yang telah
menjadi rutinitas Abuya sejak kecil. Bahkan Abuya tidak pernah absen dalam
mengaji di berbagai tempat atau pengajian guru-gurunya, terkecuali jika Abuya
sakit atau membantu orang tuanya. Ketekunan ini muncul karena menurut Abuya
mengaji adalah hal yang paling Abuya senangi dan tunggu-tunggu. Diketahui
bahwa Abuya sangat senang dengan persoalan dan masalah-masalah hukum yang
ada pada kitab-kitab fiqih. Bagi Abuya itu merupakan hal yang sangat menantang
dan membuat Abuya penasaran.31
30
Wawancara pribadi dengan Umi Ruqoyyah, selaku istri Abuya KH Abdurrahman Nawi.
Depok, 7 Mei 2019 31
Wawancara pribadi dengan Ahmad Rifaldi, selaku Ketua IKAAD (2018-sekarang), Tebet,
9 Februari 2019.
16
Dalam urusan bisnis, Abuya pernah menyebutkan bahwa dalam hidup itu
harus mempunyai dua kaki. Ini mempunyai arti selain berdakwah, dalam hidup
kita pun harus berwirausaha atau berbisnis. Sehingga kita tidak mengemis dalam
berdakwah.32
Dari beberapa sumber, penulis mendapatkan usaha-usaha yang pernah Abuya
tekuni, antara lain :
Berdagang kaki lima sejak kecil (membantu orang tua)
Berdagang buah-buahan
Berdagang sarung
Berdagang baju-baju muslim
Berdagang aksesoris seperti peci, tasbih, minyak wangi
Berdagang kitab-kitab
Berdagang bahan pokok sandang dan pangan
Usaha jahit dan kompeksi
Usaha percetakan buku-buku dan kitab33
B. Pendidikan Abuya KH Abdurrahman Nawi
H. Nawi yang pedagang itu mendidik putranya Abdurrahman untuk rajin
shalat dan mengaji sebagaimana saudara-saudaranya yang lain. Mula-mula Abuya
belajar mengaji kepada guru yang ada di Tebet, yaitu Guru Siman, KH Syarkowi,
KH. Abdul Hannan Sa‟id dan KH Moehammad Nasir. Di sini Abuya belajar
membaca Al-qur‟an serta dasar-dasar akidah dan praktek ibadah. Ketekunan
Abuya untuk mengaji nampak lebih giat dibanding saudara-saudara dan anak-anak
yang lain. Maka H. Nawi dan guru-gurunya terus mendorong Abuya untuk belajar
dan mengaji serta memperingatkannya untuk tidak main-main. Dengan dorongan
orang tua dan didikan para gurunya, lambat laun Abuya merasakan nikmatnya
belajar dan hausnya mencari ilmu. Dalam hatinya tumbuh himmah34
dan ghirah35
32
Wawancara pribadi dengan Ust Hafidz Kamil, selaku Sekretaris Abuya KH Abdurrahman
Nawi. Depok, 9 Mei 2019. 33
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018. 34
Himmah adalah kata bahasa arab yang mempunyai arti Keinginan yang besar. kata ini
umum dipakai oleh kalangan santri 35
Ghirah adalah kata bahasa arab yang mempunyai arti cemburu. Cemburu disini adalah rasa
yang tak mau kalah dalam hal kebaikan. Yang dimana kecemburuan itu membuat kita semangat
untuk menjadi lebih baik dalam menuntut ilmu, ibadah, dan kebaikan lainnya.
17
yang kuat untuk belajar agar mampu menguasai ilmu-ilmu keislaman yang begitu
luas.
Seperti yang penulis sebutkan sebelumnya bahwa Abuya adalah orang yang
sangat senang dengan problem-problem dan persoalan yang ada di kitab-kitab
Fiqih. Hal ini karena Abuya merasa tertarik dan tertantang.36
Sehingga tambahlah
semangat dan rasa haus Abuya dalam penguasaan ilmu-ilmu agama.
Jadilah Abuya sebagai remaja yang pekerjaan sehari-harinya berdagang,
mengaji dan belajar. Di Tebet saat itu belum ada sekolah. Di Bali Matraman,
beberapa kilometer dari Tebet, ada madrasah Asy-Syafi‟iyyah tapi hanya tingkat
Ibtidaiyyah. Ada madrasah tingkat Tsanawiyyah Jam‟iyyatul Khaer di Tanah
Abang, namun cukup jauh untuk pulang pergi bagi Abuya menurut ukuran saat
itu.
Walaupun mengetahui hal itu, tidak menjadi penghalang bagi Abuya untuk
mewujudkan cita-citanya dalam menguasai ilmu-ilmu agama, bahasa Arab
maupun pengetahuan umum.
Abuya juga selalu mengatur waktu dan kesehatannya. Dengan bermodal
sepeda ontel ayahnya, Abuya mendatangi guru-gurunya satu persatu untuk
mengaji dan menuntut ilmu.
Dari beberapa sumber yang penulis dapat, Abuya pernah belajar kepada lebih
dari 50 kiai dan habaib, diantaranya :
Ilmu Al Qur‟an
1. Guru Siman, Tebet
2. KH Abdul Hannan Sa‟id
3. Guru H. Moehamad Nasir
4. Ust. H. Syarkowi
Kitab kuning
1. KH. Mahmud Yunus bin H. Muhammad, Bukit Duri
2. KH. Basri Hamdani, Bukit Duri
3. KH. Muhammad Ramli, Bukit Duri
4. KH. Thohir, Bukit Duri
5. Habib Abdurrahman As-Segaf, Bukit Duri
36 Wawancara pribadi dengan Ahmad Rifaldi selaku Ketua IKAAD (2018-sekarang), Tebet, 9
Mei 2019.
18
6. KH. Muhamad Zain bin Sa‟id, Kebon Kelapa
7. KH. Muhamad Arsyad bin H. Musthofa, Gg Pedati Jatinegara
8. KH. Mahmud, Pancoran
9. KH Rohmatullah Siddiq
10. KH. Idham Kholid
11. KH. Muhamad Nasir Bin Too
12. KH, Syarbini bin H. Murtaha, Tebet
13. KH. Musannif, Menteng Atas
14. KH. Ahmad Djoenaedi Ismail, Pedurenan
15. KH. Abdullah Husein, Tebet
16. KH. Abdullah Syafi‟i, Bali Matraman
17. Habib Husein Al-Haddad, Kampung Melayu
18. Prof. Dr. KH. Ali Yafie
19. Dr. KH. Irfan Zidni
20. KH. Hasbiyallah, Klender
21. KH. Mu‟allim Muhamad Na‟im, Cipete
22. KH. Khalid, Pulo Gadung
23. Habib Ali Jamlullail, Gg. Kernolong
24. Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi, Kwitang
25. Habib Abdullah bin Salim Al-Attas, Kebon Nanas
26. Habib Muhammad bin Ahmad Al-Haddad, Kramat Jati
27. Habib Ali bin Husein al-Attas, Kemayoran
28. Ustadz Abdullah Arifin, Pekojan
29. Habib Syaich Al Musawwa, Surabaya
30. Habib Ali bin Achmad bin Tholib, Pekalongan
31. Habib Abdullah Bal Faqih, Malang
32. KH Ahmad Husin Petaany, Siam
33. Asyaikh Abdul Qadir Al Mandaily Al Makky, Makkah
34. Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, Makkah
35. Asyaikh Yasin bin Isa Al Fadani
36. KH. Zahiruddin Asahan, Jambi
37. Asyaikh Ismail Al Yamani Mekkah Al Mukarromah
38. Habib Salim As Syathiri Mekkah Al Mukarromah
19
Selain itu, Abuya pun mendapatkan Ijazah dari beberapa guru dan ulama.
diantaranya :
Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki Mekkah Al Mukarromah
Habib Salim As Syathiri Mekkah Al Mukarromah
Habib Ali bin Tholib Pekalongan
Prof. Dr. Habib Abdullah Bal Faqih Malang
Al Habib Umar bin Hafidz
Al Habib Zein bin Smith
Al Habib Ali bin Husein Al Atthas Bungur
Asyaikh Ismail Al Yamani Mekkah Al Mukarromah
Asyaikh Abdul Qadir Al Mandaily Al Makky
Asyaikh Yasin bin Isa Al Fadani
KH Abdullah Syafe‟i
KH Zahiruddin Asahan Jambi.37
Meski Abuya Tidak pernah belajar di sekolah maupun di pesantren, namun
Abuya mengaku cara belajarnya tidak kalah dengan cara belajar santri di
pesantren dan siswa di sekolah. Dalam sehari Abuya biasa mengikuti pengajian di
tiga tempat yang berbeda, yang dalam masing-masing tempat, Abuya mengaji 2
atau 3 mata pelajaran. Sistem belajar yang Abuya ikuti, biasanya memakai kitab.
guru membaca sejumlah kalimat berbahasa arab dalam kitab dan
menterjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia, kemudian menerangkan maksud
dari kalimat tersebut dengan penjelasan yang sangat luas dan mendalam. Tidak
jarang seorang guru menyuruh muridnya untuk membaca, menanyakan i’rab38
,
terjemah dan maksudnya. Pelajaran tentang nahwu atau sharaf39
juga memakai
37
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018. 38
I‟rob adalah bahasa arab yang mempunyai arti perubahan. Yang dimaksud adalah
perubahan harokat pada akhir huruf, atau berubahnya suatu kata. Dan ini sesuatu yang umum di
pelajari di pengajian-pengajian kitab. 39
Nahwu dan Shorof adalah ilmu dasar dalam grametika bahasa arab. Seseorang yang ingin
menguasai bahasa arab dengan baik dan benar. Maka diharuskan menguasai ilmu Nahwu dan
shorof ini terlebih dahulu.
20
sistem tamrin40
untuk mengetahui sejauh mana murid memahami setiap materi
pelajaran. Kitab-kitab yang disusun dalam bentuk nadzam41
juga disuruh dihafal
oleh setiap murid.
Semangat serta tekad Abuya dalam memahami dan menguasai pelajaran
memang sangat tinggi. Setelah mendengarkan penjelasan dari gurunya dengan
baik, Abuya akan mencatat semua yang menurutnya penting dan perlu. Setelah
pengajian usai, Abuya pun tidak segan-segan bertanya dan bermusyawarah
dengan teman-temannya untuk mengulang dan mendalami pelajaran yang sudah
lewat. Dan Abuya selalu berusaha me-muthala’ah42
pelajarannya sendiri di rumah
bila Abuya belum menguasai benar apa yang tadi di pelajari. Abuya tidak pernah
mau ketinggalan dari teman-temannya dalam menguasai pelajaran. Jika suatu saat
Abuya merasa ketinggalan dari temannya, maka Abuya pun berjanji pada dirinya
sendiri dan bertekad untuk mengejar pelajaran yang temannya lebih kuasai. Dan,
malamnya Abuya pun tidak mau tidur sebelum benar-benar menguasai pelajaran
itu untuk esok.
Guru-guru di mana Abuya belajar memang mempunyai latar belakang yang
beragam. Ada yang berasal dari pesantren salafiyah, ada pula yang dari madrasah
dan Arab. Maka selain kitab-kitab yang diajarkan di pesantren, Abuya juga belajar
kitab-kitab baru (‘ashriyyah) yang diajarkan di madrasah. Dalam ilmu nahwu dan
sharaf misalnya selain Abuya belajar kitab-kitab Al-jurumiyah, ‘Imrithy,
Kawakib, Ibn ‘Aqil, Syudzur adz-Dzahab, Mughnil Labib, Abuya juga belajar
Nahwul Wadhih dan Qawa’id al-Lughah al-‘Arabiyyah, kitab baru yang dipakai
di madrasah. Bahkan Abuya juga belajar Balaghah, Badi’, Ma’ani, Manthiq serta
Nushush Adabiyyah, syi‟ir dan sastra Arab kepada para Habaib. seperti Habib
Abdurrahman As-Segaf, Habib Husein bin Ali, Habib Abdullah bin Salim Al-
Attas dan lain-lain.
40
Tamrin adalah istilah bahasa arab yang mempunyai makna latihan. Hal ini umum terdapat
di kitab-kitab bahasa arab. Di lakukan untuk menjadi tolak ukur kepada si murid, paham dan
tidaknya ia dengan apa yang telah dijelaskan oleh sang guru. 41
Nadzam adalah istilah bahasa arab berupa ringkasan pelajaran atau ilmu yang di tulis
menjadi bentuk syair, dalam membacanya pun biasanya terdapat nada-nada tertentu. Ini dilakukan
untuk memudahkan orang yang mempelajarinya dalam menghafal. 42
Muthola‟ah adalah istilah bahasa arab yang mempunyai arti mengulang-ulang pelajaran
yang telah di pelajari. Pada umumnya, orang-orang yang mempelajari kitab-kitab kuning akan
mengulang-ulang apa yang telah dipelajari sehingga mereka benar-benar paham apa maksud dari
pelajaran itu.
21
Selain Ilmu nahwu, sharaf dan bahasa Arab sebagai ilmu alat benar-benar
Abuya pelajari dan kuasai dengan baik, Abuya yang mengaku terus berkeliling
untuk belajar mengaji sampai umur 30-an juga telah menekuni pengajian dalam
ilmu-ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Tauhid, Tafsir, Hadits bahkan juga ilmu-ilmu umum.
Satu kitab tidak cukup sekali Abuya pelajari, tetapi bisa berkali-kali kepada
beberapa orang guru.
Kitab Taqrib, Fathul Mu’in, Fathul Wahhab, Bughyatul Mustarsyidin,
I’anatut Thalibin, Asybah wan Nazhair, Tijanud Durar, Jawahir Kalamiyah,
Sanusi, Maraqil ‘Ubudiyah, Nashaih ad-Diniyah, Ihya ‘Ulumiddin, Tafsir
Jalalain, Tafsir Munir, Qami’ut Tughyan, Jawahir Bukhari, Shahih Bukhari
sudah beberapa kali Abuya pelajari.
Meski pada umur 18 tahun Abuya sudah menikah, namun kegiatan belajar
tidak terhenti, serta Abuya juga berdagang untuk mencari nafkah. Orang tuanya
yang kemudian hari berdagang emas dan ekonominya berkecukupan juga tetap
membantu kebutuhan belajarnya. Ibunya membantu membelikan kitab-kitab yang
diperlukan, sementara ayahnya membantu kebutuhan-kebutuhan yang lainnya. H.
Nawi percaya bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan usaha dan doa hamba-Nya,
dan akan menolong hamba-Nya yang berjuang menegakkan agama-Nya.
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW “Setiap orang akan diberi pertolongan
menuju keahlian/bakat yang diciptakan”.
Dengan sistem belajar tidak formal selama kurang lebih 25 tahun itu,
memang Abuya tidak memperoleh ijazah. Tetapi ilmu dan wawasan hasil dari
belajarnya tidak bisa di pungkari telah mencapai tingkat yang tinggi jika
dibandingkan dengan pengajaran dalam sistem sekolah formal. Karenanya, Abuya
pun akhirnya diakui telah menguasai ilmu-ilmu bahasa Arab dan syari‟ah yang
mumpuni oleh guru-guru dan masyarakat sekitarnya.
Suatu saat, dihadapan ulama besar yang bernama Kiai Abdurrahman Tua,
Kampung Melayu, Abuya mengikuti semacam ujian baca kitab terbuka yang
diikuti oleh sekitar 30-an peserta dari beberapa kampung di Jakarta dan
sekitarnya. Kiai Abdurrahman Tua memanggil satu per satu peserta, kemudian
dibukakan kitab tertentu dan disuruhnya membaca. Setelah itu dibukakan lagi
kitab yang lain dan disuruhnya membaca, sampai beberapa kali. Setelah selesai,
22
Kiai Abdurrahman Tua mengumumkan, hanya ada dua peserta yang dinyatakan
lulus, yaitu Abdurrahman Nawi, Tebet, dan Turmudzi, Bukit Duri. Dari sini
Abuya merasa memperoleh pengakuan atas penguasaan ilmu yang ia pelajari
selama ini.43
Dan yang menarik adalah, keberhasilan ini tidak menjadikan Abuya puas
dengan ilmu yang telah ia dapatkan. Justru ini yang menjadikan Abuya semakin
tekun dan haus akan belajar dan mengaji guna mempelajari dan mencari ilmu-
ilmu yang belum Abuya kuasai. Maka jika kita lihat, sampai saat ini kapanpun
dan dimanapun Abuya berada, dapat dipastikan terdapat sebuah kitab
disampingnya. Selain itu, Abuya pun selalu meyempatkan diri untuk berdiskusi
dan mengaji dengan ulama-ulama yang ada saat ini, seperti mengaji al Qur‟an
dengan Prof KH Ali Yafie.
C. Karya-karya Abuya KH Abdurrahman Nawi
Seperti Ulama pada umunya, Abuya pun membuat banyak karya tulis baik
berupa kitab, atapun risalah-risalah tertentu untuk mengajar atau ceramah di
beberapa acara. Dan kebiasaan menulis ini sudah menjadi rutinitas Abuya dari
muda. Dalam penulisan, Abuya menulis kitab-kitab dan risalahnya banyak
memakai bahasa arab melayu, selain untuk memudahkan pemahaman masyarakat
dalam mempelajarinya, juga untuk mempertahankan tradisi menulis dan membaca
dengan memakai bahasa arab melayu yang sudah makin sedikit orang
menguasainya. Padahal ini adalah warisan budaya kita yang diturunkan dari
generasi ke generasi oleh para ulama terdahulu.
Diantara karya kitab-kitab Abuya yang berjumlah kurang lebih 13 kitab,
penulis mendapati ada kitab yang sangat sulit untuk ditemukan seperti kitab yang
berjudul Pedoman Penyembelihan Qurban dan Aqiqah. walaupun masih banyak
pula yang bisa kita temukan di toko-toko kitab di Jakarta dan sekitarnya.
Di antara kitab-kitab yang penulis dapatkan adalah :
1) Sullamul „Ibad
Kitab Sullamul Ibad adalah karya pertama Abuya. Kitab ini
mempunyai tebal 33 halaman, dan jika kita lihat, seluruh bahasa
43 Wawancara pribadi dengan Ahmad Rifaldi, selaku Ketua IKAAD (2018-sekarang), Tebet,
9 Mei 2019.
23
penulisannya menggunakan bahasa arab melayu. Diketahui kitab ini
diselesaikan pada hari kamis pagi jam 10 kurang 5 menit, tanggal 8
Romadhon 1383 H yang bertepatan dengan 22 Januari tahun 1964 M., ini
bisa kita lihat pada halaman 33 dalam kitab itu. Diterbitkan pada tanggal
26 Februari 1965 di Jakarta. Jika kita melihat tahun lahir Abuya, dapat kita
ketahui bahwa saat itu Abuya berumur 32 tahun ketika kitab ini
diterbitkan. Kitab Sullamul Ibad ini adalah kitab yang membahas tentang
tauhid atau ketuhanan.
Dalam segi bahasa, kitab Sullamul Ibad ini menggunakan bahasa
Betawi lama, sehingga banyak bahasa yang hanya sesuai dengan
zamannya atau sangat sulit dipahami untuk saat ini jika tidak belajar
dengan orang yang sudah mempelajarinya dengan baik atau orang yang
paham dengan dialek Betawi lama. Sebagaimana kita ketahui Abuya
adalah ulama Betawi asli. Contohnya, di bab jaiz, Abuya menuliskan kata
“harus” yang di artikan “mungkin” dalam bahasa Indonesia. Pada tahun itu
juga Tebet ditulis dengan “Kampong Tebet”.
Dalam segi penulisan, kitab Sullamul Ibad ini termasuk kitab dengan
khat yang terlihat sangat rapih jika dibandingkan dengan kitab Abuya
setelahnya yang menggunakan tulisan Khat yang lebih besar. penulis khat
ini mungkin sama dengan penulis khat kitab-kitab Habib Utsman bin
Yahya yang direvisi ulang.
Pada halaman sambutan, kita bisa melihat nama KH Mahmud Yunus
bin H Muhammad dari Bukit Duri, Jakarta Selatan. Hal ini menunjukan
bahwa KH Mahmud Yunus mengakui keilmuan muridnya dan
menganggap kitab ini sebagai kitab yang layak berada di tengah-tengah
masyarakat. Selain itu, kitab ini pun ditashih oleh ulama asal Mandaili
Sumatera yang menjadi guru Abuya saat berada di Masjidil Haram
Mekkah, nama ulama itu adalah Al-Syekh Abdul Qadir al-Mandaili al-
Makki, ini tercatat jelas pada halaman akhir dalam kitab pada tanggal 22
Dzulqo‟dah 1383 H atau 5 April 1964 M; Yang berarti kitab ini lebih dulu
ditunjukan kepada guru-gurunya sebelum benar-benar diterbitkan. Abuya
bahkan bercerita bahwa Syeikh Abdul Qadir saat itu sedang sakit, namun
24
lantaran menurutnya “ini adalah orang negeri kita” Abuya akhirnya bisa
dipersilakan. Abuya sendiri mengakui bahwa kitab ini diselesaikan di sela-
sela kesibukannya mengaji dengan Muallim Muslim. Dan saat kitab ini
ditunjukan kepada Muallim Muslim sebagai dari buah karya muridnya.
Muallim Muslim pun menangis terharu dengan apa yang telah
diajarkannya membekas di dalam hati murid. Sesuai pengakuan Abuya
sendiri Muallim Muslim adalah guru tauhidnya.
Jika kita melihat lebih detail, kitab ini membahas tentang 40 sifat
yang wajib kita yakini, satu sifat jaiz (dengan menggunakan kata Ha-Ro-
Sa mungkin dibaca harus). Sembilan sifat tambahan, sifat wajib bagi Nabi,
rukun iman, dan terakhir kalimat syahadat. Kitab Sullamul Ibad adalah
kitab tauhid, yang mana Abuya menganggap ilmu tauhid sangatlah penting
untuk diketahui dan dipelajari bagi seorang muslim. Ini alasan mengapa
Abuya pertama menulis kitab tentang tauhid, bukan Fiqih, Hadits, Alat,
dll.
Jika kita simak dan bandingkan dengan kitab tauhid lainnya, kitab
Abuya ini sedikit mirip dengan kitab Sifat Dua Puluh Habib Usman. Dan
yang menjadikan berbeda adalah Abuya banyak menjelaskan beberapa
prinsif dan istilah-istilah dasar dalam ilmu kalam. Kitab ini pun dinukil
dari 20 kitab karya ulama besar dunia. Abuya sangat gembira ketika tahu
kalau ada beberapa Ulama memakai kitab ini sebagai rujukan
mengajarnya, bahkan seorang kiai Cipete yakni Kiai Abdul Hamid
Prapanca pernah kagum luar biasa dengan karya Abuya yang satu ini.44
2) Tiga Kaifiyat Sholat Sunnah
Tiga Kaifiyat Sholat Sunnah adalah kitab Abuya dalam ilmu Fiqih.
Dan yang penulis ketahui, kitab ini diselesaikan pada waktu yang sama
dengan kitab Abuya lainnya yang berjudul Tujuh Kaifiyat Sholat Sunnah,
yaitu pada hari Selasa subuh tanggal 10 Januari tahun 1976. Selain itu,
Kata pengantarnya pun sama persis. Kitab ini tanpa muqoddimah, penulis
menduga mungkin ini adalah kitab lanjutan dari Tujuh Kaifiyat Sholat
44
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018.
25
Shunnah. Entah apa alasan Abuya untuk menjadikan kedua kitab ini
terpisah.
Kitab ini mempunyai tebal 17 halaman dan memakai bahasa arab
melayu seperti kitab Abuya yang sebelumnya. Mengenai isi, kitab ini
menjelaskan secara detail tapi simpel perangkat afdhaliah dalam shalat
sunahnya, contohnya saja shalat dhuha dijabarkan di sini sebagai yang
paling afdal45
dilaksanakan pada jam sembilan pagi.
Untuk mendapatkan kitab ini mungkin sedikit langka di beberapa toko
kitab saat ini. Jadi untuk mudah mendapatkannya, mungkin bisa langsung
mendatangin Pondok Pesantren Al Awwabin yang di asuh oleh Abuya
langsung. Jujur penulis pun sampai saat ini belum mendapatkan kitab
tersebut. Hanya beberapa catatan yang penulis peroleh dari beberapa
alumni atau santri Abuya mengenai penjelasan dan isi kitab tersebut.
3) Tujuh Kaifiyat Sholat Sunnah
Seperti yang penulis sebutkan diatas, kitab Tujuh Kaifiyat Sholat
Sunnah ini mempunyai kesamaan dengan kitab Tiga Kaifiyat Sholat
Sunnah, baik kata pengantar ataupun waktu penyelesaiannya.
Mengenai isi, kitab ini terdiri dari shalat wudhu, shalat awwabin,
shalat tarawih, shalat witir, shalat tahajjud, shalat mutlak, dan shalat
hadiah. Ketika penulis membaca kitab ini ada hal baru yang penulis
ketahui yaitu shalat hadiah, shalat untuk hadiah orang yang telah wafat.
Abuya dalam pengantar kedua kitab ini mengaku bahwa seluruh
penjelasan kitab ini diambil dari kitab Nasaih al-Diniyah, I’anah al-
Thalibin, dan al-Taaj al-Jami’ li al-Usul fi ahadis al-Rasul, juga beberapa
ijazah langsung yang diberikan oleh guru-guru Abuya, seperti shalat
hadiah yang diijazahkan oleh Habib Ali bin Husain al-Atthas Bungur,
seperti halnya dalam kitab-kitab dan amalan-amalan lain Abuya
menuliskan Ijazah a’mmah (umum) kepada jamaah melalui kitab ini.
Susunan kitab ini diawali dengan tujuh kaifiyah shalat sunnah kemudian
tiga kaifiyat shalat sunnah, ini bisa ditunjukkan dari muqodimah yang
45
Afdal adalah bahasa arab yang jika diterjemahkan kedalam bahasa indinesia mempunyai
arti “utama”. Kata ini menjadi umum dalam kitab dan dikalangan orang-orang Majlis Ta‟lim atau
pengajian.
26
hanya ada di Kitab Tujuh Kaifiyat, dan tidak ada di Tiga Kaifiyat shalat
sunnah.
4) Manasik Haji Wal Umroh
Haji merupakan Ibadah yang hanya sekali seumur hidup, haji juga
adalah satu-satunya ritual yang membutuhkan fisik dan financial yang
sukup berat, sehingga pelaksanaannya harus sesuai dengan tuntutan
syariat. Didalam kitab ini, Abuya seakan membawa kita untuk ikut paham
bagaimana pelaksanaan ibadah haji sebenarnya, karena ibadah haji
memakan waktu yang cukup lama baik pelaksanaan ataupun
perjalanannya, sehingga perubahan waktu dan tempat ini juga harus
diketahui oleh si pelaksana haji. Abuya menerangkan misalnya bagaimana
kita harus menyiapkan mental sebelum ke tanah suci, seperti menulis
wasiat, shalat istikhara, shalat taubat dan lain-lain. Atau bagaimana ibadah
ini terlihat lebih mudah, yaitu dalam perjalanan shalat jama‟ dan qasar atau
shalat-shalat lain bagi musafir. Di dalamnya juga berisikan doa-doa dan
zikir-zikir untuk musafir haji, mengenai penjelasan haji dan kewajiban-
kewajiban di dalamnya kitab ini sudah cukup lengkap. Kitab ini ditashih
oleh ulama besar Jakarta KH Hasbiyallah Klender, setelah Abuya
menyelesaikan kitab ini pada Kamis 27 Robi,us Sani yang bertepatan
dengan 10 Februari 1973, dan tashih pada 17 Syawal bertepatan 11
Nopember 1973. Kitab ini juga adalah permintaan jamaah Abuya supaya
dibuatkan sebuah kitab yang menerangkan tentang tatacara ibadah haji,
juga sekaligus menjawab kegelisahan Abuya kepada para muslimin yang
melaksanakan haji tapi minim pengetahuan. Abuya juga sempat
mengungkapkan bahwa kitab ini ditulis lantaran saat menunaikan haji
Abuya melihat beberapa orang yang masih salah dalam prakteknya,
bahkan ada yang berkata Abuya menulis kitab ini di sela-sela perjalanan
laut menuju Mekkah dalam rangka ibadah haji.
Kitab ini mempunyai tebal 132 halaman dengan menggunakan bahasa
arab melayu. Walau ada beberapa bahasa arab aslinya, tetapi abuya
memberikan arti dibawahnya guna mempermudah masyarakat dalam
memahaminya. Selain itu, abuya pun menggunakan gambar dalam
27
penjelasannya, tentu hal ini semakin memudahkan masyarakat dalam
mempelajarinya.46
Dalam penjilidan, kitab ini termasuk yang paling bagus
dan tebal dibandingkan kitab-kitab karya Abuya lainnya. Dan kitab ini
cukup mudah didapatkan di toko-toko kitab daerah jakarta dan sekitarnya.
5) Mutiara Romadhon
Kitab yang cukup terkenal di kalangan umat muslim Jakarta ini selesai
pada hari rabu 20 Agustus 1972 di Tebet. Tidak ada kata sambutan atau
tashih dari ulama lain dalam cetakan yang pertama, pada tahun 2003 saat
Abuya mengadakan Tawakkufan Majelis Ta‟lim koordinasi al-Awwabin
kitab ini ditashih oleh dua ulama besar seperti, al-Habib Ali bin
Abdurrahman al-Segaf dan KH Irfan Zidni. Di tahun itu pula Abuya
mengatakan bahwa seorang jamaah lulusan Mesir tak mampu membaca
Arab Melayu, maka dengan inisiatif itu Abuya menulis ulang dengan
versi bahasa Indonesia.
Kitab ini mempunyai tebal 48 halaman, Isi dalam kitab ini berbicara
seputar puasa ramadhan, seperti : hukum puasa (ahkam al-Shiam), shalat
tarawih serta bacaan-bacaannya, lailat al-Qadar, sholawat-sholawat,
zakat, serta shalat idul fitri dan idul adha. kitab ini cukup mudah
ditemukan di toko kitab Jakarta, mungkin hampir setiap bulan dicetak
ulang, tidak salah jika banyak musalla dan masjid di Jakarta dan sekitarnya
yang memakai kitab ini sebagai pegangan saat bulan ramadhan. Seperti di
daerah Cimanggis, Depok. Terdapat musholah Nurul Ikhlas yang sejak
tahun 80an sudah memakai kitab ini sebagai pedoman. Pengurus musholah
itu berkata Abuya mengajar di Masjid kampung sana sejak awal tahun
80an, dan hingga saat ini ilmu yang diajarkan oleh Abuya masih dipakai
oleh masyarakat sana, khususnya bacaan-bacaan saat bulan romadhon,
seperti bacaan bilal tarowih, sholawat pagi dan petang, serta dzikir-dzikir
harian. Tentu saja kitab-kitab Abuya pun menjadi salah satu pedoman,
seperti kitab Mutiara Romadhon ini.47
46
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018. 47
Wawancara pribadi dengan Bapak Sarmili, selaku masyarakat yang mengaji dengan Abuya
KH Abdurrahman Nawi, Depok, 5 Mei 2019.
28
Bagi penulis ini sekaligus merupakan penerjemahan situasi tata cara
ibadah yang sudah menjadi budaya masyarakat Jakarta di bulan romadhan,
dan Abuya melestarikannya dengan menjadikan masyarakat dan generasi
setelahnya terus mempelajari dan melakukan kebiasaan itu sehingga tidak
hilang dan tergeser oleh zaman. misalnya pembacaan zikir menjelang
buka puasa, shalat tarawih dan khatam shalat tarawih, serta shalawat yang
diselingi dalam shalat tarawih yang sudah dilakukan oleh ulama-ulama
terdahulu.
6) Pedoman Ziarah Kubur
Kitab Pedoman Ziarah Kubur ini diterbitkan pada tanggal 12 Agustus
tahun 1974 M yang bertepatan dengan 3 Sya‟ban tahun 1394 H. Kitab ini
mempunyai tebal 56 halaman dan seperti kitab lainnya, ditulis
menggunakan bahasa arab melayu. Kitab ini ditashih oleh KH Hasbiyallah
Klender, Jakarta.
Kitab Pedoman Ziarah Kubur ini terbagi menjadi 12 fasal, dan
semuanya itu membahas tentang tatacara sholat jenazah dan ziarah kubur
serta keutamaan-keutamaannya lengkap beserta dalil-dalilnya. Selain itu
juga terdapat bacaan kaifiyat tahlil, hadits Nabi seputar kubur dan mayyit
didalam kubur, serta qosidah untuk ziarah karya al Habib Abdullah bin
Husain bin Thahir Ba‟alawi48
.
7) Qoulul Hadits Fi Tarjamati Matni Tanqihil Qouli Alhatsits
Kitab ini di terbitkan oleh Pesantren Al Awwabin pada tanggal 17
maret 2010, mempunyai tebal 126 halaman dan setau penulis ini adalah
satu-satunya kitab Abuya yang memakai bahasa Indonesia, bukan bahasa
arab melayu seperti kitab lainnya. Kitab ini berisikan terjemahan kitab
Matan Tanqihul Qoul karya Syaikh Muhammad Nawawi bin Umar Al
Bantani49
tanpa menjabarkan atau menjelaskannya lagi. Kitab Matan
48 Habib Abdullah adalah ulama asal Tarim, Yaman yang lahir pada tahun 1191 H dan wafat
di Aljazair pada tahun 1272 H. Beliau merupakan salah satu ulama yang mempimpin revolusi
terhadap Dinasti Yafi‟ pada tahun 1265 H hingga mereka meninggalkan Tarim. Beliau juga
membantu berdirinya Negara Katsiri (Sultan Gholib bin Muhsin) di Tarim. Selain itu, beliau
adalah seorang ulama dibidang ilmu nahwu dan fikih, karya-karya beliau juga banyak dan sangat
berpengaruh sampai saat ini, salah satunya adalah kitab Sullamu at-Taufiq fi al-Fiqh. 49
Syaikh Nawawi adalah seorang Ulama Indonesia bertaraf Internasional yang menjadi
Imam di Masjidil Haram. Beliau lahir di Tanara Banten pada tahun 1230 H/1813 M dan wafat di
29
Tanqih adalah salah satu kitab kumpulan Hadist yang membahas tentang
keutamaan-keutamaan. Terdiri dari 40 bab keutamaan. Diawali dengan
bab keutamaan Ilmu dan Ulama sampai dengan bab keutamaan bersabar
ketika terkena musibah. Kitab ini umum dipelajari di pesantren-pesantren.
Bahkan kitab inipun dipelajari di beberapa negara seperti Yaman, Mesir,
Maroko. Melihat bagusnya kitab ini, maka Abuya menerjemahkannya
kedalam bahasa Indonesia sehingga masyarakat yang pada umumnya tidak
menguasai bahasa arab dapat membacanya dan bersemangat dalam
mengamalkannya.
8) Ilmu Tajwid
Penulis tidak mengetahui info detail kitab ini, seperti kapan kitab ini
diselesaikan. Dikarenakan penulis belum memiliki kitabnya untuk saat ini,
walaupun dulu penulis sempat memilikinya. Namun dikarenakan hilang,
maka penulis belum mendapatkannya kembali. Yang penulis ingat dari
kitab ini adalah, kitab Ilmu Tajwid ini sama dengan kitab tajwid lainnya,
yakni berisikan tentang hukum-hukum tajwid yang di awali dengan
membahas hukum nun mati. Adapun yang menjadikan beda dengan kitab
tajwid lainnya adalah kitab ini ditulis dengan menggunakan bahasa arab
melayu secara menyeluruh. Memang Abuya mempunyai niat, selain
mempelajari ilmu Tajwid, masyarakat pun supaya tidak buta dengan
bahasa arab melayu. Sehingga hampir semua kitab Abuya ditulis dengan
bahasa arab melayu, tak terkecuali kitab Ilmu Tajwid ini. Ini dikarenakan
Abuya sangat sadar akan pentingnya tradisi yang telah di turunkan oleh
ulama-ulama terdahulu dimana saat ini sudah semakin dikit masyarakat
yang dapat membaca menggunakan bahasa itu. kitab ini pun termasuk
yang paling bagus dalam penjilidan, selain itu, setiap hukum, diberi warna
agar masyarakat awwam mudah mengingatnya.
9) Wazifatul Aurod Wal Adzkar
Kitab ini bernama lengkap Wazifatul Aurod Wal Adzkar „Ala Thorikil
Akhyar. diterbitkan pada tanggal 12 Mei 2002 dan mempunyai tebal 52
Makkah pada tahun 1314 H/1897 M. Selain Kitab Tanqih, banyak lagi kitab karya beliau yang
sampai saat ini dipelajari oleh pelajar-pelajar atau lebih tepatnya santri-santri di dunia. Seperti,
kitab Tijan al Durary Kasyifah al-Saja, Nashoih al-Ibad.
30
halaman. Isi kitab ini diawali dengan 2 kalimat Syahadat dan doa sehari-
hari yang umum dimasyarakat, dan pada halaman 9 dilanjutkan dengan
lafadz adzan, doa adzan, lafadz iqomah, doa” sunnah dalam sholat, wirid
dan doa setelah sholat fardhu. Pada halaman ke 29 kita akan mendapati
asmaul husna yang penulis ketahui itu termasuk doa dan wirid subuh di
Pondok Pesatren Al Awwabin. Dan terakhir adalah Ratib Haddad50
dan
doa Ratib Al Haddad yang menjadi bacaan rutin di Pondok Pesantren Al
Awwabin selepas maghrib.
Disini penulis mendapati bahwa tradisi doa dan wiridan yang
dilakukan di Pesantren Al Awwabin itu menjadi penting dan baik.
Mungkin itu yang menjadikan Abuya ingin menyebarluaskan ke tengah-
tengah masyarakat. Sehingga masyarakat dapat hidup didalam dzikir setiap
harinya.
10) Risalah Tahajjud dan Tata Tertib Dzikir
Tidak ditemukan kapan kitab ini selesai dibuat. Penulis hanya
mendapatkan waktu kapan kitab ini di keluarkan. Seperti yang tertulis
pada cover depan, kitab Risalah Tahajjut dan Tata Cara Dzikir ini di
publikasikan pada hari Selasa, 27 Mei 2014 M, yang bertepatan dengan
maulid Nabi SAW dan Harlah Al Awwabin ke 35.
Kitab ini terdiri dari 32 halaman dan karena ini kitab dzikir, dapat
dipastikan kitab ini memakai bahasa arab asli. Risalah Tahajjut dan Tata
Tertib Dzikir ini berisikan tentang hukum Qiyamul lail, dalil qiyamul lail,
keutamaan tahajjud, kaifiyat dan tata tertib surah setelah membaca Al
Fatihah dalam Sholat Witir, tata tertib dzikir, tawassul, dan do‟a munajah.
Yang menjadi berbeda dalam kitab ini adalah Abuya menyebutkan ulama-
ulama dan guru-gurunya dalam tawassul. Ini bisa dilihat pada halaman 11
sampai dengan halaman 20. Penulis menganggap ini cukup lengkap untuk
50
Ratib al-Haddad adalah kumpulan doa yang disusun oleh seorang Ulama asal Yaman
bernama Habib Abdullah bin Alwi bin Muhammad al-Haddad. Nama Ratib al-Haddad itu sendiri
diambil dari nama penyusunnya. Awalnya Ratib ini disusun untuk memenuhi permintaan salah
seorang muridnya yang bernama Amir dari keluarga Bani Sa‟ad. Tujuan Amir meminta Habib
Abdullah untuk menyusun Ratib ini adalah agar diadakan suatu wirid atau dzikir dikampungnya
yang kala itu banyak ajaran-ajaran yang sesat di daerahnya. Lambat laun akhirnya Ratib ini mulai
dibaca di daerah-daerah sekitar dan menyebar ke seluruh penjuru dunia, termasuk Indonesia.
31
menyebutkan ulama-ulama Jakartanya, yang mana hampir semua yang
disebutkan itu merupakan guru dari Abuya KH Abdurrahman Nawi.
11) Misykatul Anwar
Misykatu Anwar adalah kitab yang diterbitkan pada hari Sabtu tanggal
2 Mei tahun 2009 M yang bertepatan dengan tanggal 6 Jumadil Awwal
tahun 1430 H. Mempunyai tebal 33 halaman dan dalam penulisan
memakai bahasa arab melayu.
kitab ini berisikan dalil-dalil seputar perayaan Maulid, dan dalil-dalil
ini kebanyakan diambil dari kitab Madarij al-Sho’ud karya Syekh
Nawawi51
, Tafsir al-Showi, ia’nah al-Tholibin. Dari sumber yang penulis
dapatkan, kitab ini dikeluarkan oleh FUHADI (Forum Ulama,
Habaib,Asatizd, dan Dai Indonesia), belakangan berganti nama menjadi
PUAADI yang salah satunya bertujuan untuk meluruskan penyelenggaraan
maulid, ziarah, tawasul, yang marak di tanah air. Desakan inilah yang
kemudian diambil oleh Abuya untuk menulis kerancuan para GAM
(Gerakan Anti Maulid) yang mengangap itu sebagai prilaku TBC
(Tahayul, Bida‟ah, dan churafat).
Dan yang penulis ketahui, Forum ini tidak hanya melibatkan ulama
Jakarta, tetapi melibatkan ulama-ulama luar pulau Jawa seperti
Palembang, Martapura. Forum ini diketuai oleh empat Ulama, yakni
Abuya KH Abdurrahman Nawi, Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf,
Habib Husain bin Ali Al Atthas, dan KH Zainuddin MZ.
12) Nahwu Melayu
Kitab Pelajaran Ilmu Nahwu atau yang lebih dikenal dengan kitab
Nahwu Melayu. Di dalam kitab ini Abuya benar-benar terlihat sebagai
Kiai ahli Nahwu, banyangkan saja tata bahasa Arab adalah tata bahasa
terumit sedunia, namun Abuya mampu memetakan untuk para pemula
terlebih bagi yang tidak bisa bahasa Arab. Jika dibandingkan dengan kita-
kitab nahwu sejenisnya (untuk pemula) seperti Nahwu al-Wadih yang
51
Yang dimaksud disini adalah Syaikh Nawawi al-Bantani, bukan Imam Nawawi ad-
Dimasyqi. Menjadi rahasia umum dikalangan Santri dan Kiai jika diawali Syaikh sebelum
namanya, maka itu menjurus pada Nawawi Banten, tetapi jika di awali Imam, maka dipastikan itu
Nawawi Damaskus. Hal ini penulis jelaskan karena terkadang ada yang salah dalam membedakan
antara Syaikh Nawawi dan Imam Nawawi.
32
sudah sangat sistematis masih terlihat terlalu sulit bagi mereka yang
paham bahasa Arab, walapun dalam segi penyampaian Abuya masih
mengikuti Nahwu al-Wadih. Nahwu Melayu turun cetak lebih belakangan
dibanding karya Abuya lainnya, kitab ini menjabarkan seputar jumlah
mufidah (kalimat menurut tata bahasa Arab), macam kata dalam kalimat
tatabahasa Arab. Semua bab dijelaskan secara singkat dan jelas, tanpa
contoh-contoh yang banyak kitab ini cukup representative untuk
menjawab persoalan Nahwu yang selama ini dikenal rumit, penggunaan
bahasa yang terlampau kuno, namun tetap sesuai dengan keinginan
modern yaitu simple dan logis. Di Al-Awwabin sendiri kitab ini menjadi
rujukan dasar yang wajib dipelajari, gaya dan ciri khas pengajaranya pun
sudah menular di al-Awwabin. Kitab yang tebalnya tak lebih dari 40
halaman ini adalah kitab satu-satunya menerangkan ilmu nahwu di Jakarta,
bahkan bisa jadi satu-satunya kitab berbahasa Arab Melayu yang paling
simpel di asia tenggara. Belakangan Kitab ini ditulis ulang menggunakan
komputer dengan tambahan beberapa kaidah dari Nahw al-Wadih, dan
rencananya sudah disiapkan dalam waktu dekat jilid keduanya.52
Selain kitab, Abuya pun terbiasa menulis risalah-risalah untuk mengajar,
khutbah, ceramah, atau acara-acara tertentu. Dari sekian banyaknya risalah, disini
penulis hanya mendapatkan tiga risalah saja, yaitu : Fadhilah Puasa „Arofah dan
Masalah Qurban, Kaifiyat Ziarah Qubur, dan Fashlun Fi Fadhilati Makkah. itu
pun risalah yang terhitung belum lama dalam penulisannya. Adapun risalah-
risalah terdahulu, penulis sampai saat ini belum mendapatkannya. Hal ini terjadi
dikarenakan sedikitnya informasi sehingga penulis tidak mengetahui siapa saja
orang-orang yang mendokumentasikan risalah itu. ketiga risalah ini berisikan
tentang :
1. Fadhilah Puasa „Arofah dan Masalah Qurban
Risalah ini dibuat untuk pengajian di majlis ta‟lim Al Khoirot Gang Buluh
pada malam senin, 8 Nopember 2009. Risalah ini mempunyai tebal 8
halaman, dan dari awal hingga akhir semuanya ditulis menggunakan
bahasa arab melayu. Pada halaman pertama dan kedua, Abuya menulis
52 Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018.
33
keutamaan puasa „arafah bagi orang yang tidak melakukan ibadah haji.
Dan disini Abuya pun menuliskan kitab I‟anatu Tholibin Juz 2 halaman
265 sebagai sumber kitab rujukan. Pada halaman ketiga dan keempat,
Abuya menjelaskan tentang keutamaan dan kelebihan tanah haram, yaitu
Makkah dan Madinah. Dan pada halaman kelima, Abuya menjelaskan
tentang kegiatan ibadah di hari kesepuluh Dzul Hijjah, jenis binatang
ternak yang sah untuk qurban dan binatang yang afdhol untuk qurban.
Pada halaman keenam, Abuya menjelaskan binatang yang tidak sah untuk
qurban dan waktu-waktu penyembelihannya. Dan untuk halaman tujuh dan
delapan, Abuya menjelaskan tentang hukum sunnah dan wajibnya daging
qurban, niat qurban, doa-doa yang sunah pada waktu penyembelihan,
hadiah qurban untuk orang yang sudah meninggal, dan diakhiri dengan
penutup.
2. Kaifiyah Ziarah Kubur
Risalah ini dibuat pada tanggal 24 Oktober 2009 untuk kegiatan Ziaroh
tahunan ke Maqom Syaikh Maulana Hasanuddin53
dan Syaikh Maulana
Yusuf54
, Banten. Kegiatan Ziaroh ini biasanya dilaksanakan pada saat
penutupan atau pembukaan pengajian majlis ta‟lim yang diasuh oleh
Abuya KH Abdurrahman Nawi. Dan seperti yang tertulis pada cover,
risalah ini dibuat untuk pembukaan pengajian.
Risalah ini mempunyai tebal 12 halaman. Dan tidak seperti risalah dan
kitab-kitab sebelumnya, risalah ini menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa
arab melayu dan bahasa arab aslinya. Pada halaman pertama, Abuya
menulis sebuah syair atau qosidah yang umum dibaca oleh masyarakat
saat datang berziarah. Qosidah ini adalah karya Habib Abdullah bin Alwi
53
Syaikh Maulana Hasanuddin adalah putra dari pasangan Sunan Gunung Jati dan Nyi
Kawunganten yang mendirikan kesultanan di daerah Banten. Ia juga bergelar Pangeran
Sabakingkin dan berkuasa di Banten dalam rentang waktu 1552-1570. Selain bergelar Sultan,
Maulana Hasanuddin pun merupakan seorang Ulama yang diberikan tugas oleh ayahnya untuk
berdakwah dan menyebarkan Agama Islam di Banten. 54
Syaikh Maulana Yusuf merupakan putra dari Syaikh Maulana Hasanuddin pendiri
Kesultanan Banten. Ia bergelar Pangeran Pasareyan. Setelah Syaikh Maulana Hasanuddin wafat
pada tahun 1570, Syaikh maulana Yusuf lah yang naik tahta untuk melanjutkan dakwah dan
kekuasaan ayahnya. Diketahui pada tahun 1579 Syaikh Maulana Yusuf melakukan ekspansi ke
kawasan pedalaman Sunda, dengan menaklukan Pakuan Pajajaran. Dan Syaikh Maulana Yusuf
berkuasa sampai tahun 1585.
34
Al Haddad.55
Pada halaman kedua, ketiga dan keempat, Abuya menuliskan
cara kita memberi salam kepada ahli qubur kepada Syaikh Maulana
Hasanuddin dan Syaikh Maulana Yusuf. Dan pada halaman kelima sampai
halaman akhir, Abuya isi dengan surat Yasin.
3. Fashlun Fi Fadhilati Makkah
Risalah ini dibuat pada tanggal 9 Desember 2012, dan tidak dijelaskan
risalah ini dibuat untuk kegiatan apa. Risalah ini ditulis menggunakan
bahasa arab melayu dan Arab aslinya, dan mempunyai tebal 8 halaman.
Yang menjadikan risalah ini berbeda dengan risalah atau kitab yang
lainnya, dari halaman awal sampai akhir, risalah ini hanya menggunakan
sumber firman Allah dan hadits Nabi tanpa ada penjelasan atau pendapat
ulama-ulama terdahulu. Jadi setiap firman Allah atau hadits Nabi, ditulis
dan diberi arti.56
55
Habib Abdullah bin Alwi Al Haddad adalah ulama abad ke 17, Beliau dilahirkan di kota
Tarim, Hadramaut, Yaman pada tanggal 30 Juni 1634. Beliau terkenal dengan kealimannya di
bidang Fiqih dan Aqidah Asy‟ariyah. Selain itu, beliau juga terkenal dengan berbagai karya yang
sampai saat ini masih dibaca dan dipelajari di seluruh dunia. Salah satu karyanya yang paling
terkenal adalah Qosidah ziaroh Qubur dan Ratib Al Haddad. 56
Wawancara pribadi dengan Ust Mawardi, S.Fil., selaku cucu Abuya KH Abdurrahman
Nawi. Depok, 11 Mei 2019.
35
BAB III
ABUYA K.H ABDURRAHMAN NAWI DAN DAKWAH
A. Metode dan landasan
Dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat, Abuya menggunakan
beberapa metode, tentu itu disesuaikan dengan tempat Abuya berdakwah. Dan
metode dakwah Abuya itu mengacu pada metode dakwah bil hikmah57
dan
mau’izatul hasanah.58
Metode yang Abuya gunakan ini memberikan ciri aktifitas
dakwah yang dilakukannya melalui ceramah-ceramah dan nasihat.
Kedua metode dakwah tersebut juga berperan penting dalam membantu
proses pendekatan Abuya kepada masyarakat, terlebih khusus lagi murid-
muridnya diberbagai tempat majlis ta‟lim yang diasuhnya.
Untuk ceramah Abuya, mungkin kita bisa menemukannya dengan mudah di
sosial media seperti youtube, instagram dan sejenisnya yang banyak di upload
oleh murid-murid ataupun pencintanya dari berbagai lapisan masyarakat. Maka
dari itu, penulis hanya memasukkan nasihat-nasihat Abuya yang penulis dapatkan
dari beberapa sumber saja. Diantaranya :
“Jangan heran perahu berjalan di atas air, namun heranlah jika ada air
di atas perahu”
Maksud dari nasihat ini adalah, jangan heran manusia tinggal di dunia, tapi
heranlah dengan dunia yang ada di hati manusia. Nasihat ini diberikan kepada
57
Hikmah adalah mengetahui rahasia dan faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga
digunakan dalam arti ucapan yang sedikit lafadzh akan tetapi banyak makna atau bisa juga
diartikan meletakkan sesuatu pada tempat yang semestinya
Al Hikmah diartikan pula sebagai al ‟adl (keadilan), al haq (kebenaran), al hilm
(ketabahan) al ilm(pengetahuan). Disamping itu, al hikmah juga diartikan sebagai menempatkan
sesuatu pada proporsinya. Sebagai metode dakwah, al hikmah diartikan bijaksana, akal budi yang
mulia, lapang dada, hati yang bersih dan menarik perhatian orang pada agama dan tuhan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat dipahami bahwa al Hikmah adalah merupakan
kemampuan dan ketetapan da‟i dalam memilih, menilai, dan menyelaraskan teknik dakwah dengan
kondisi objektif. Al hikmah merupakan kemampuan da‟i dalam menjelaskan doktrin-doktrin islam
seta realitas yang ada dengan argumentasi logis dan bahasa yang komunikatif. Oleh karena itu, al
hikmah sebagai sebuah sistem yang menyatukan antara kemampuan teoritis dan praktis dalam
berdakwah. 58
Mau‟izatul hasanah mengandung arti cara memberi pengajaran yang baik. Kata mau‟izah
sendiri pada al Qur‟an dalam segala bentuk terulang sebanyak 25 kali. Bila diperhatikan
pemaknaan mau‟izatul hasanah dalam ayat-ayat al Qur‟an, maka tekanan tertuju pada peringatan
yang baik dan dapat menyentuh hati sanubari seseorang. Sehingga pada akhirnya masyarakat
terdorong untuk berbuat baik. Metode mau‟izatul hasanah ini terdiri dari berbagai bentuk, yakni :
Nasihat, bimbingan atau pengajaran, kisah-kisah, kabar gembira dan peringatan, wasiat atau pesan-
pesan positif.
36
salah seorang cucunya yang bernama Abdurrahman Mukhtari yang sekarang
aktif menjadi dosen dan guru di usia muda.
“Hendaklah kita sebagai orangtua menjaga lisan dan menjauhkan diri
dari kata-kata tidak baik kepada anak, lantaran perkataan orangtua
kepada anak itu didengar oleh Allah. Sehingga gunakanlah kata-kata
yang baik kepada anak.”
Nasihat ini mempunyai maksud agar setiap orang tua agar selalu menjaga
ucapannya terhadap anak, sehingga tidak menjadi doa yang buruk. Ucapan
Abuya ini diberikan kepada jamaah pengajian sabtu subuh di Al Awwabin
Tebet.
“menuntut ilmu itu dimana tempat sama saja, tergantung orangnya.
Sekalipun ente kuliah di Universitas Bahr/laut tetap saja sampai sana
yang namanya alif itu lurus, ga ada yang bengkok.”
Maksud dari ucapan Abuya ini adalah pandai atau pintarnya seseorang bukan
di tentukan oleh lembaganya, tetapi tergantung dengan kegigihan dan
keseriusannya dalam belajar. Nasihat ini diberikan kepada para santri yang
akan melanjutkan belajar ke jenjang Universitas.
“Bila kita berteman dengan tukang minyak wangi, kita bakal kena
wanginya. Kita kita berteman dengan orang yang baik, maka kita
akan baik juga, begitu juga sebaliknya.”
Maksud dari ucapan Abuya ini adalah untuk memilih-milih dalam bersahabat.
Agar kita terbiasa menjadi baik, tentu mempunyai sahabat yang baik akan
sangat membantu kita menjadi manusia yang baik. Begitupun sebaliknya, jika
kita berteman dengan orang yang jahil, maka kemungkinan besar kita akan
ikut jahil juga. Walaupun kita harus tetap menjaga pertemanan dan
silaturrohim kita kesemua orang, tetapi dalam memilih sahabat yang dekat,
tentu yang baik itulah yang sangat membantu. Nasihat ini didapat saat
pengajian rabu subuh di Al Awwabin Depok.
Orang berkeluarga itu seperti ngerek bendera, yang satu narik dan
yang satu ngulur. Jika dua-duanya narik dan dua-duanya ngulur ga
bakal naik itu bendera. Berkeluarga juga gitu, harus ada yang
mengalah salah satunya.”
37
Nasihat ini mempunyai makna dalam berkeluarga harus saling mengimbangi
dan melengkapi. Kita harus mengetahui apa kekurangan dan kelebihan
pasangan kita, sehingga kita tau harus berbuat apa. Saling mengerti dan
menyeimbangi antar sesama. Ucapan ini didapat saat menghadiri pernikahan
salah satu murid Abuya di Pondok Gede.
“Orang berdosa itu tidak seperti orang kena silet. Sebeb kalau orang
terkena silet itu berasa, tapi orang berbuat dosa kadang tidak berasa.”
Maksudnya adalah kadang kita berbuat dosa atau salah itu tidak terasa dan
tidak sadar. Maka selalu intropeksi diri setiap waktu agar selalu lebih baik
lagi dalam bersosial, jangan sampai kita tidak sadar atau tidak tahu telah
menyakiti teman atau tetangga kita. Nasihat ini diberikan kepada jamaah
pengajian sabtu subuh di Al Awwabin Tebet.
“kalau ingin sukses kuncinya itu dua; jangan malu untuk belajar dan
jangan malu untuk mengajar.”
Disini Abuya menekankan mulianya belajar dan mengajar, maka Abuya
selalu menasihati santri-santrinya untuk tidak malu dalam melakukan dua hal
tersebut, karena itu merupakan hal mulia. Nasihat ini di ucapkan karena
banyaknya santri-satri yang malu saat disuruh baca atau di tes belajarnya.
“Al Adab fauq al Ilm (adab itu lebih tinggi dan utama dibandingkan
dengan ilmu)
Nasihat ini mempunyai makna sehebat atau sepintar apapun kita, adab itu
harus di nomer satukan. Terkhusus kepada orang tua dan guru yang telah
berjuang keras dalam semua hal untuk menjadikan kita orang yang hebat arau
berilmu. Dalam ucapan Abuya lainnya yang serupa adalah jangan suka
menggunakan lisanmu untuk berdebat atau menentang keinginan orang tua,
karena orang tuamu tidak mengajarkanmu berbicara untuk hal itu.
“Imam Syafi‟i berkata bahwa ada 5 hak orangtua yang sudah wafat
atas anaknya:
(1) Menguburkannya
(2) Melunasi hutangnya
(3) Melaksanakan wasiatnya
(4) Memohonkan ampunan untuknya
38
(5) Menyambung silaturrohim kepada sahabat-sahabatnya.
Abuya juga menambahkan, bahwa sampainya doa kita itu harus dengan doa
wahbah (hadiah). Itu pendapat Imam Syafi‟i.59
(6) Tanam rumput padi luput, tanam padi, rumput ikut.
Dan dari semua Ucapan atau nasihat Abuya, ini adalah nasihat atau ucapan
Abuya yang paling sering di ucapkan. Bahkan bisa dikatakan hampir pada
setiap acara Abuya selalu menyelipkan nasihat ini. Nasihat ini mempunyai
arti orang yang mengejar dunia, kebanyakan akan luput dari akhirat. Namun
sebaliknya, orang yang mengejar akhirat, maka akan selamat pula dunianya.
Dan selain itu ada satu lagi nasihat Abuya yang sering di ucapkan untuk para
santrinya. Yaitu “belajar di waktu kecil bagai mengukir di atas batu, belajar
setelah dewasa bagai mengukir di atas air”. Nasihat ini selalu Abuya ucapkan
agar para santrinya tidak malas dan menyia-nyiakan waktu, sehingga tidak
menyesal saat besarnya.
Selain menggunakan kedua metode diatas, Abuya juga selalu memakai
metode pendekatan psikologis dalam pengajian-pengajian kitab di pesantren atau
majlis-majlis asuhannya. Sebelum memulai apa yang akan di ajarkan, Abuya
selalu menanyakan nama murid-murid dan tempat asal mereka sambil sesekali
bercanda. Sehingga orang-orang yang mengaji dengan Abuya merasa nyaman,
akrab, dan senang untuk belajar.
Muallim KH Ubaidillah Hamdan menyebutkan, Abuya adalah orang yang
sulit melupakan orang lain. Jika ada 10 orang yang datang untuk belajar atau
mengaji kepada Abuya sekali dua kali, lantas tidak bertemu dalam beberapa
tahun. Jika setelahnya bertemu lagi. Maka Abuya pasti dapat mengingat nama
orang itu.60
Adapun yang menjadi landasan Abuya dalam berdakwah iyalah, dakwah
merupakan jalan hidup Nabi dan para pengikutnya. Kita tidak akan menemukan
ulama yang mengaku sebagai pengikut para Nabi namun enggan berdakwah, pun
termasuk Abuya. Allah berfirman :
59
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018. 60
Wawancara pribadi dengan Muallim Ubaidillah Hamdan, selaku santri Abuya KH
Abudrrahman Nawi. Tangerang. 4 September 2018.
39
“kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyeru
kepada yang ma’ruf dan mencegah kepada yang munkar, serta beriman
kepada Allah”.61
Di dalam ayat ini terkandung 2 hal. Pertama mulianya umat islam adalah
dengan berdakwah. Kedua, tegang dan eksisnya umat islam adalah dengan
menjalankan konsep amar ma‟ruf nahi munkar, yakni menyeru kepada kebaikan
dan mencegah keburukan. Inilah yang menjadi landasan Abuya dalam berdakwah.
B. Cakupan Tempat dan Kalangan
Sebagaimana tradisi ulama-ulama Betawi, Abuya KH. Abdurrahman Nawi
pada tahun 1962 membuka pengajian di rumahnya, Tebet Barat VIII. Pengajian
yang diberi nama As-Salafi itu mengajarkan kitab-kitab tertentu sesuai dengan
kemampuan dan minat para masyarakatnya.
Dari pengajian itulah banyak dari murid-murid Abuya yang akhirnya
membuka majlis ta‟lim, dan meminta Abuya untuk mengisi beberapa kajian
ditempat mereka. Selain itu, Abuya pun di percaya untuk mengisi pengajian di
tepat guru-gurunya seperti di majlis ta‟lim At Tohiriyyah Tebet menggantikan
Guru Mursyidi dan pengajian di As Syafi‟iyah Jakarta. Abuya pun mengisi
pengajian di berbagai masjid dan musholah di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur
sejak tahun 1962.62
Bisa dikatakan bahwa hampir seluruh masjid-masjid besar di
Jakarta Selatan dan Timur tak pernah luput dari peran Abuya kala itu.
Jika kita melihat, Abuya tidak hanya mengajar satu golongan saja, tapi
siapapun yang ingin mengaji dan belajar, baik muda ataupun tua akan diterima
oleh Abuya. Umumnya, jika untuk bapak-bapak dan ibu-ibu Abuya akan
mengajarkan kitab Taqrib, Tijan Durar, dan Nashaih Diniyah. Sedangkan untuk
pemuda dan para ustadz, Abuya memakai kitab Qawa’idul Lughah, Ibnu ‘Aqil,
Fathul Mu’in, Bughyah Mustarsyidin, Asybah wan-Nazhair, dan Qami’ut
Thughyan. Masyarakat yang ingin mengaji ini datang dari berbagai kampung di
Jakarta dan sekitarnya.
61
QS : Ali Imron 110 62
Wawancara pribadi dengan Ust Hafidz Kamil, selaku Sekretaris Abuya KH Abdurrahman
Nawi, Depok, 9 Mei 2019.
40
Abuya memang cukup cermat dan sabar dalam setiap pengajian. Dan Abuya
hanya mengajar dengan kitab disetiap majlisnya, hal itu dilakukan agar pengajian
lebih terarah. Cara ini berdasarkan pengalamannya belajar kepada beberapa guru
dan merujuk berbagai macam kitab, Abuya berusaha menyampaikan ilmu secara
sederhana agar mudah ditangkap oleh murid dan santrinya. Prinsip Abuya dalam
mengajar, biar sedikit asal betul-betul paham dari pada banyak tetapi tidak ada
yang paham.
Di antara pengalaman Abuya dalam berdakwah yang penulis dapatkan antara
lain :
1. 1962 – Sekarang : Mengasuh Majlis Ta‟lim As Salafi yang kemudian
berganti menjadi Pondok Pesantren Al Awwabin yang saat ini mempunyai
2 cabang di Kota Depok Jawa Barat
2. 1962 – 2018 : Guru di Masjid – masjid dan mushola
3. 1971 – 1978 : Ketua koordinator Majelis Ta‟lim pusat umat islam At –
Thohiriyah Jakarta
4. 1971 : Utusan ke Muktamar NU ( NAHDATHUL ULAMA ) di
Wonokoromo Surabaya Jawa Timur
5. 1976 : Utusan Jakarta ke Muktamar NU di Semarang
6. 1980 : Ketua Panitia Maulid yang ke – 25 di kediaman K.H Idham Cholid
di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat
7. 1982 – 2018 : Guru tetap Ta‟lim Angkasa Radio As- syafi‟iyah Jakarta
8. 1982 : Dosen TKI Indonesia ke Saudi Arabia pada PT. DAFCO
9. 1983 – 1985 : Dosen Darul Arqom Perguruan As – Syafi‟iyah Jatiwaringin
Jakarta Selatan
10. 1984 – 1988 : Ketua Umum IMTI ( Ikatan Majelis Ta‟lim Kaum Bapak se
Kota Depok )
11. 1984 – 2018 : Khotib di Masjid Baiturrohim Istana Negara Jakarta
12. 1989 – 2010 : Guru Pengajian bulanan di PBNU Jakarta
13. 1989 – 2018 : Memberikan ceramah – ceramah di kantor – kantor
Kecamatan Jakarta Selatan
14. 1989 – 1990 : Menjadi Anggota Majelis pembahasan masalah ithihadul
mubaliqin
41
15. 1990 – 2018 : Memberikan ceramah – ceramah di berbagai daerah se
Jabodetabek.
16. Guru tetap 24 Majelis Ta‟lim Se Jabotabek
17. Ketua Ranting NU Jakarta Selatan
18. Pelindung dan Penasehat Penggarapan dana untuk pembanguan Masjid di
Jakarta dan Masjid – masjid di Kota Depok.
19. Pendiri FUADI (Forum Ulama, Asatidz, dan Dai Indonesia).63
C. Majlis ta’lim
Pada tahun 1962, Abuya KH.Abdurrahman Nawi mengadakan pengajian
kitab-kitab kuning yang bersifat non-formal yang bertempat disalah satu ruangan
rumahnya. Pengajian ini diberi nama As-Salafiah dengan harapan para jama‟ah
dapat mengikuti jejak salafus shaleh (orang-orang terdahulu yang shaleh) dan
pengajian ini bertempat di kampung Tebet yang sekarang lebih terkenal dengan
sebutan Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan. Pengajian tersebut diikuti berbagai
macam kalangan, mulai dari orang tua, remaja, dan orang-orang dewasa yang
datang dari berbagai tempat, diantaranya: Kebayoran Lama, Kebayoran Baru,
Kebon Nanas, Pengadegan, Bukit Duri, Kampung Melayu, Jatinegara, Karang
Tengah, Bekasi, dan para pemuda setempat.
Pengajian atau majlis ta‟lim yang telah dibuka terus berkembang hingga pada
tahun 1976, Abuya mampu melebarkan sayapnya dengan mengajar dan
berdakwah diberbagai tempat, baik itu majlis ta‟lim, kantor, mushola-mushola
ataupun masjid-masjid. Tentu hal ini terjadi karena Abuya mendapat dukungan
dari masyarakat luas, baik ulama, habaib, pemerintah ataupun masyarakat umum.
Dan menjadi sunnatullah, namanya berdakwah tidak lepas dari tantangan dan
cobaan, karena majlis ta‟lim yang Abuya bina tersebut mengalami pasang surut.
Dari pengajian itulah berkembang pemikiran untuk mendirikan pendidikan
formal, guna menolong masyarakat dari belenggu kebodohan baik dalam bidang
ilmu pengetahuan agama ataupun ilmu pengetahuan umum. Pada tahun 1976
Abuya KH.Abdurrahman Nawi mengajak jama‟ah majlis ta‟lim dan kenalan
dekatnya untuk membangun gedung sekolah permanen dua tingkat di atas tanah
63
Wawancara pribadi dengan Ust Djauharul Bar, selaku Santri Abuya KH Abudrrahman
Nawi. Tangerang, 16 Februari 2018.
42
milik pribadinya yang berlokasi di jalan Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan dengan
luas tanah seluas 300 m2 ditambah dengan kavling mushola yang merupakan
wakaf dari almarhum orang tua beliau.
Akhirnya pada tahun 1979, tepatnya pada hari minggu diresmikanlah
bangunan itu oleh KH. Idham Khalid. Peresmian tersebut sekaligus dengan
peresmian pergantian nama dari As-Salafiah menjadi Al-Awwabin. Dan pada
tahun itu pula mulailah penerimaan murid baru untuk tahun ajaran 1979/1980.
Kemudian dari tahun ke tahun pendidikan itu berjalan dengan pesat hingga
sampai tahun 1982/1983. Mengingat banyaknya calon santri yang berminat
mukim di pesantren Al-Awwabin Tebet, sedangkan kapasitas tempat yang ada
tidak menampung dan lahan sekitarnya telah padat ditempati rumah-rumah
penduduk, serta tidak mungkin lagi memperluas lokasi di sekitar pesantren Al-
Awwabin Tebet. Maka dengan demikian Abuya terpaksa mengambil kebijakan
untuk mencari lokasi yang tepat untuk pendidikan. Maka dengan izin Allah,
Abuya sebagai pimpinan umum Pondok Pesantren Al-Awwabin mendapatkan
lokasi yang tepat dan Abuya membebaskan sebidang tanah yang terletak di
Kampung Sengon, Kelurahan Pancoran Mas, Depok yang dijadikan cabang
Pondok Pesantren Al-Awwabin I dengan luas tanah sekitar 4200m2 dengan harga
20.000/m2.
Abuya KH. Abdurrahman Nawi sengaja mengambil tempat di daerah Depok
mengingat di daerah ini masih kurang sekali lembaga pendidikan Islam apalagi
pondok pesantren. Sedangkan lembaga pendidikan Islam khususnya pondok
pesantren sangat dibutuhkan sekali untuk kaum muslimin untuk memberantas
kebodohan dan mempersiapkan generasi Islam yang memahami serta menggali
hukum-hukum Islam dari kitab-kitab kuning.
Pada pertengahan tahun 1982/1983 dimulai peletakan batu pertama yang
disaksikan oleh ribuan umat muslim yang terdiri dari para ulama, habaib, dan para
pejabat pemerintahan setempat. Akhir tahun 1982 masuk tahun 1983 telah selesai
bangunan lima lokal dan satu asrama, pada saat itu pula diresmikan oleh
KH.Idham Chalid dan pejabat pemerintah setempat serta dinyatakan kedudukan
Pondok Pesantren Al-Awwabin cabang Depok. Pada tahun 1983/1984 mulai
menerima murid baru untuk tingkat Madrasah Tsanawiyah (MTs), Madrasah
43
Aliyah (MA), dan mukim (untuk para santri mukim). Pondok Pesantren Al-
Awwabin merupakan pondok pesantren pertama di kota Depok untuk wilayah
Pancoran Mas.
Tahun demi tahun Pondok Pesantren Al-Awwabin semakin berkembang.
Pada tahun 1987/1988 kembali membuka Madrasah Ibtidaiyah (MI) hingga
sampai tahun ajaran 1991/1992 telah sampai pada kelas IV MI. Asal usul santri
pondok pesantren berasal dari wilayah antara lain Jambi, Kalimantan, Padang,
Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi dan masyarakat sekitar pondok pesantren itu
sendiri.
44
BAB IV
PENGARUH DAKWAH ABUYA KH ABDURRAHMAN NAWI
A. AGAMA
Dalam kehidupan manusia, unsur agama memiliki peran yang cukup penting
dalam perkembangan kehidupan masyarakat, karena fungsi agama itu sendiri
sangatlah besar bagi masyarakat, bahkan jika kita bahas lebih jauh lagi dari segi
etnografik, tidak ada satu kelompok manusia di dunia ini yang tidak memiliki
kepercayaan atau agama.64
Dan seperti yang kita ketahui, setiap agama pasti
mempunyai cabang aliran atau madzab yang berbeda-beda walau mempunyai
pokok yang sama, begitupun dengan agama Islam.
Jika melihat kitab-kitab karya Abuya KH Abdurrahman Nawi. Dapat
diketahui dengan jelas paham Islam yang dianut oleh Abuya adalah paham
Ahlussunnah Wal Jamaah yang dalam segi Aqidah mengikuti Aqidah Asy„ariyah.
Ini bisa kita ketahui dengan membaca kitab tauhid karya Abuya yang berjudul
Sullamul Ibad, yang mana seluruh isi dan referensinya mengikuti ulama-ulama
Asy‟ariyah.
Dalam faham Fiqih, Abuya mengikuti madzhab Fiqih Imam Syafi‟i. Ini bisa
dilihat dalam karyanya yang berjudul Mutiara Romadhon, baik puasa, zakat,
sholat tarowih, atau sholat idul fitrinya, semua mengikuti Fiqih imam Syafi‟i.
Begitupun dengan kitab-kitab Fiqih karya Abuya lainnya.65
Dan dari penjelasan sebelumnya, kita dapat mengetahui bahwa saat itu sangat
sedikit sekolah-sekolah Islam di daerah tempat Abuya tinggal, walaupun dalam
segi agama mayoritas mereka beragama Islam. Sehingga untuk dapat ikut mengaji
atau menimba ilmu agama, harus menempuh perjalanan yang cukup lama dan
jauh. Dari hal itu bisa kita tarik kesimpulan bahwa masyarakat kala itu banyak
yang sangat minim dalam memahami ilmu agama. Maka pada tahun 1962 Abuya
mulai membuka Majlis atau pengajian di kediamannya agar masyarakat dapat
belajar ilmu agama. Selain untuk memudahkan masyarakat untuk menuntut ilmu
64
Irfanul Hidayah, “Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama Dalam Proses Marginalisasi
Budaya Lokal”, dalam Julnal Religi, Vol 2, No 2, Juli 2013, h.136. 65
Wawancara pribadi dengan Ust Mawardi, S.Fil., selaku cucu Abuya KH Abdurrahman
Nawi. Depok, 11 Mei 2019.
45
agama, juga untuk menjaga, melestarikan, dan merawat aqidah ahlusunnah wah
jamaah yang di ajarkan oleh guru-guru dan kiai-kiai sebelumnya.
Penguasaan Abuya dalam Ilmu Nahwu. Serta sikap Abuya yang
kekeluargaan, menjadikan masyarakat kala itu senang mengaji dengan Abuya,
bukan hanya orang biasa saja yang ingin mengaji, ustadz-ustadz disekitar sana
pun banyak yang mendatangi dan berguru kepada Abuya KH Abdurrahman
Nawi.66
Dari majlis itulah banyak tercetak murid-murid dan santri-santri yang
mengikuti jejak Abuya, sehingga banyak berdiri majlis ta‟lim dan pengajian di
masjid-masjid dan musholah daerah Tebet dan sekitarnya.
Seiring berjalannya waktu, Abuya pun terus berdakwah ke berbagai wilayah
di JABODETABEK. Dalam seminggu, diketahui Abuya dipercaya untuk
mengajar di 21 majlis ta‟lim di berbagai tempat.
Selain berdakwah dan mengajar, Abuya pun menulis banyak karya kitab,
seperti yang penulis jelaskan di bab-bab sebelumnya. Dan kitab-kitab itu hingga
saat ini banyak digunakan oleh masyarakat, khususnya daerah jakarta dan depok.
Tentu inilah salah satu usaha dan upaya Abuya dalam menghidupkan ilmu-ilmu
Allah, menghidupkan ayat-ayat Allah di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini
menjadi dampak sukses yang sangat jelas, terbukti dengan banyaknya dari murid-
murid Abuya yang berhasil dan menjadi Kiai di berbagai daerah, tak sedikit pula
yang saat ini mempunyai Pesantren sendiri. Diantaranya :
1. Muallim KH Ubaidillah Hamdan yang mempunyai Pondok Pesantren
Darul Musthofa Al Mukhtar yang berlokasi di Pondok Aren Tangerang.
2. Muallim KH Yusuf Hidayat yang mempunyai Pondok Pesantren At
Tibyan yang berlokasi di Depok.
3. KH Qurtubi Nafis yang mempunyai Pondok Pesantren yang berlokasi di
Depok.
4. Muallim KH Hasybiallah Hasyim yang mempunyai Pondok Pesantren Al
Arbain yang berlokasi di Bojong Gede.
5. KH Didin Miftahuddin yang mempunyai Pondok Pesantren Miftahul
Madaniyyah yang berlokasi di Bekasi.
66
Wawancara pribadi dengan Muallim Ubaidillah Hamdan, selaku santri Abuya KH
Abudrrahman Nawi. Tangerang. 4 September 2018.
46
Selain mereka yang mempunyai Pesantren, banyak pula santri Abuya yang
mengajar di berbagai sekolah dan kampus. Seperti, Dr. Siti Amsariyah, M.Ag.
yang menjadi Dosen di Fakultas Adab dan Humaniura Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, Ust Abdurrahman Mukhtari, M. Pd. Yang menjadi
Dosen pada matakuliah Fiqih 2 dan Praktik Ibadah di STAI Al Karimiyah dan
Dhiya Habibi S.Ag. yang menjadi guru al-Qur,an di SDI Al Azhar I.
Tentu dengan banyaknya santri-santri Abuya yang mengajar dan berdakwah
di masyarakat, memberikan gambaran bagi kita bahwa peran Abuya dalam
mengembangkan Islam terhitung sangat berhasil. Terlebih lagi tidak hanya di
Jakarta Selatan saja, tetapi sudah meluas ke daerah-daerah lainnya.
B. SOSIAL
Sikap Abuya yang mudah dalam bergaul memudahkan dirinya untuk masuk
ke berbagai kalangan dalam berdakwah. Hal ini di karenakan Abuya memakai
sistem pendekatan, sehingga masyarakat merasa nyaman dan akrab dengan
sosoknya. Hal ini menjadikan Abuya bisa masuk ke dalam semua kalangan, baik
itu pemerintah, kiai, habaib, ataupun masyarakat menengah kebawah. Karena
dalam berdakwah, Abuya tidak pernah memilih-milih. Maka dari itulah, hingga
saat ini, Abuya masih terus dekat dengan berbagai kalangan.67
Sikap ini pula yang mendorong keinginan masyarakat baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk belajar dan mendirikan Majlis Ta‟lim di daerah
mereka. Abuya selalu berpesan kepada semua santri-santrinya yang sudah lulus
untuk mengajar dan berdakwah di daerahnya masing-masing. Abuya pun berpesan
untuk tidak memilih-milih dalam berdakwah, karena membagikan ilmu itu bukan
profesi, tapi merupakan kewajiban. Tentu hal ini yang menjadi landasan santri-
santri Abuya banyak yang mengajar dan berdakwah di berbagai tempat. Dan
sudah dipastikan hal ini berdampak pada sosial masyarakat tempat sang santri itu
berdakwah.68
67
Wawancara pribadi dengan Muallim Ubaidillah Hamdan, selaku santri Abuya KH
Abudrrahman Nawi. Tangerang, 4 September 2018. 68
Wawancara pribadi dengan Ust Mawardi, S.Fil., selaku cucu Abuya KH Abdurrahman
Nawi. Depok, 11 Mei 2019.
47
Dari Abuyalah banyak tercetak guru-guru dan dai-dai yang mendirikan
majlis-majlis dan sekolah. Tentu ini berdampak kepada sosial masyarakat di setiap
kampung tersebut, baik itu moral, akhlak, ekonomi, pendidikan, atau pun agama.
Contohnya sudah penulis sebutkan di atas, beberapa santri Abuya yang
mendirikan Pesantren. Selain itu pun setiap murid atau santri Abuya yang tersebar
diberbagai tempat dan mengabdikan diri untuk mengajar, tentu mempunyai
dampak sosial tersendiri.
C. PENDIDIKAN
Melihat banyaknya masyarakat yang masih minim dalam pendidikan baik
agama ataupun umum. Pada tahun 1962, Abuya KH.Abdurrahman Nawi
mengadakan pengajian kitab-kitab kuning yang bersifat non-formal yang
bertempat disalah satu ruang rumahnya. Pengajian ini diberi nama As-Salafiah
dengan harapan para jama‟ah dapat mengikuti jejak salafus shaleh (orang-orang
terdahulu yang shaleh) dan pengajian ini bertempat di kampung Tebet yang
sekarang Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan. Pengajian tersebut diikuti berbagai
macam kalangan, mulai dari orang tua, remaja, dan orang-orang dewasa yang
datang dari berbagai tempat, diantaranya: Kebayoran Lama, Kebayoran Baru,
Kebon Nanas, Pengadegan, Bukit Duri, Kampung Melayu, Karang Tengah,
Bekasi, dan para pemuda setempat.
Pengajian atau majlis ta‟lim yang telah dibuka terus berkembang hingga pada
tahun 1976, Abuya telah mengasuh lebih dari 20 majlis ta‟lim diberbagai tempat,
baik itu di mushola-mushola ataupun di masjid-masjid yang mendapat dukungan
dari kalangan masyarakat luas, ulama, dan umum. Namun, yang namanya
perjuangan tidak lepas dari tantangan dan cobaan, karena majlis ta‟lim yang
beliau bina tersebut mengalami pasang surut, dan memang sudah menjadi
sunatullah.
Dari pengajian itulah berkembang pemikiran untuk mendirikan pendidikan
formal, guna menolong masyarakat dari belenggu kebodohan dalam bidang ilmu
pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Pada tahun 1976 Abuya
KH.Abdurrahman Nawi mengajak jama‟ah majlis ta‟lim dan kenalan dekatnya
untuk membangun gedung sekolah permanen dua tingkat di atas tanah milik
48
pribadinya yang berlokasi di jalan Tebet Barat VI H, Jakarta Selatan dengan luas
tanah seluas 300 m2 ditambah dengan kavling mushola yang merupakan wakaf
dari almarhum orang tua beliau.
Akhirnya pada tahun 1979, tepatnya pada hari minggu diresmikanlah
bangunan itu oleh KH. Idham Khalid. Peresmian tersebut sekaligus dengan
peresmian pergantian nama dari As-Salafiah menjadi Al-Awwabin. Dan pada
tahun itu pula mulailah penerimaan murid baru untuk tahun ajaran 1979/1980.69
Walau sudah mempunyai Pesantren, Abuya tidak melepas semua Majlis
Ta‟lim yang sudah lama di asuhnya. Hal ini dikarenakan banyak dari masyarakat
majlis yang meminta Abuya untuk terus mengajar dan memberikan nasihat
ditempat mereka. Jadilah kesibukan Abuya sehari-hari adalah keliling Jakarta
guna mengajar diberbagai tempat.
Daftar Majlis-majlis yang di isi oleh Abuya KH Abdurrahman Nawi
1. Majlis Ta‟lim al Iqdam Bukit Duri Pimpinan KH Abdul Latif
Ma‟mun
2. Majlis Ta‟lim An Nur Menteng Dalam Pimpinan KH Luthfi Romli
3. Majlis Ta‟lim Cipinang Pimpinan Guru Salma
4. Majlis Ta‟lim Al Ikhwan Tebet Pimpinan KH Abdullah Nafis
5. Majlis Ta‟lim Al Ghoniyah Cipinang Pimpinan KH Ubaidillah
Ahyat
6. Majlis Ta‟lim Al Ikhwan Condet Pimpinan Ust Abdul Halim
7. Majlis Ta‟lim Al Makmur Kelender Pimpinan KH Mudzakkir
8. Majlis Ta‟lim Sobahussabt Tebet Pimpinan Ust Isyro
9. Majlis Ta‟lim Sobahussaalastah Bedahan Pimpinan Ust Armani
10. Majlis Ta‟lim Al Istiqomah Pondok Kelapa Pimpinan KH Zayadi
Maula
11. Majlid Ta‟lim Nurul Iman Kalimalang Pimpinan Ust Karyadi
12. MUI Kecamatan Tebet
13. Majlis Ta‟lim Ziaroh Maghom Tebet Pimpinan H.Karawenda
14. Radio Assyafiiyah
69
Wawancara pribadi dengan Ahmad Rifaldi, selaku Ketua IKAAD (2018-sekarang). Tebet,
9 Februari 2019.
49
15. Majlis Ta‟lim At Tohiriyyah mengganti Guru Mursyidi70
Selain majlis-majlis ini, ada beberapa majlis yang tidak penulis dapatkan info
lengkapnya. Selain itu Abuya pun mengajar di Pesantren Al-Awwabin Sawangan
setiap Rabu subuh, dan di Pesantren Al-Awwabin Bedahan setiap Sabtu subuh.
Semuanya ini belum termasuk undangan ceramah, khutbah jumat dan
undangan lainnya. Tentu ini menjadi cambukan bagi kita yang masih muda untuk
lebih giat dan manfaat dalam pendidikan.
70
Wawancara pribadi dengan Ust Hafidz Kamil, selaku Asisten Abuya KH Abdurrahman
Nawi. Depok, 9 Mei 2019.
50
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang penulis paparkan di atas, penulis memberikan
beberapa kesimpulan sebagai berikut :
(1) kecintaan H. Nawi dan istrinya terhadap Ilmu dan Ulama menjadi
virus yang mendarah daging terhadap anak-anaknya, dan hal itu pula yang
mengantarkan Abuya K.H Abdurrahman Nawi menjadi seorang Ulama
(2) Peran Abuya dalam berdakwah adalah semata-mata karena ingin
mencerdaskan dan mengangkat derajat serta menghidupkan Nilai-nilai
keislaman ditengah-tengah masyarakat
(3) Upaya-upaya yang dilakukan Abuya dalam berdakwah adalah
dengan aktif di berbagai majlis dan pengajian, serta aktif dalam berkarya
dari muda hingga sampai tuanya
(4) Untuk menjadi seorang ulama yang sangat diakui keilmuannya,
Abuya melalui proses belajar yang sangat panjang dan tak mudah,
walaupun tak pernah mencicipi bangku sekolah. Tentu hal ini dikarenakan
ketekunan Abuya yang selalu haus ilmu dan pantang menyerah, sehingga
setiap mengetahui adanya seorang ulama di suatu daerah yang masih
dalam jangkauannya, maka Abuya pasti datangi dan belajar kepadanya. Ini
terbukti dengan banyaknya guru-guru beliau.
(5) Sikap tidak pilih memilih dalam berdakwah dan ramah tamah
adalah salah satu kunci Abuya dalam berdakwah
(6) Tidak pernah menyerah dan mengeluh dalam berdakwah
diberbagai daerah. Hal ini terlihat dengan mengajarnya Abuya diberbagai
tempat dalam satu minggu.
(7) Peran Abuya menghasilkan banyaknya santri-santrinya yang
mengajar dan membuka tempat pengajian, majlis ta‟lim dan pondok
pesantren di berbagai tempat.
(8) Karya-karya Abuya banyak dikaji dan diamalkan oleh masyarakat
Jakarta dan dan sekitarnya.
51
B. Saran
1. Diharapkan ada penelitian lebih lanjut terkait peran Abuya saat
berdakwah di Jakarta Selatan.
2. Lebih banyaknya kepedulian masyarakat terhadap karya-karya
Ulama-ulama dalam negeri.
3. Diharapkan dengan adanya penelitian ini secara tertulis bisa
memberikan informasi tentang seorang ulama asli Betawi yang masih
eksis di masyarakat.
52
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdurrahman, Dudung. Metodologi Penelitian Sejarah. Jakarta: Ar Ruzz Media,
2007.
Al-Badri, „Aziz, Abdul. Peran Ulama dan Penguasa, Penterjemah: salim
Muhammad Wahid. Solo Indonesia: Pustaka Mantiq 1987. cet.Ke-2.
Barbara, Kozier. Peran dan Mobilitas Kondisi Masyarakat. Jakarta: Gunung
Agung, 1995.
Departemen Agama. Agama dan Pembangunan Di Indonesia. Jakarta: Biro
Humas Depag, 1976.
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI). Jakarta: Balai Pustaka, 1988.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Indonesia Dalam Arus Sejarah. PT.
Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid.3.
Glasse, Cyril. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada 2000.
Kartodirjo, Sartono. Elite Dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES, 1981.
. pendekatan ilmu sosial dalam metodologi penelitian sejarah. Jakarta:
Gramedia, 1992.
Koentjaningrat. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia, 1979.
Niel, Robert van. Munculnya Elit Moderen Indonesia. Jakarta: Pustaka Jaya,
1984.
Shubky, Badruddin. Dilema Ulama Dalam Perubahan Zaman, Jakarta: Gema
Insani Press, 1995, cet.Ke-I.
B. Jurnal
Hidayah, Irfanul. Agama dan Budaya Lokal: Peran Agama Dalam Proses
Marginalisasi Budaya Lokal. Dimuat dalam Jurnal Religi, Vol. 2, No. 2, Juli
2013.
53
C. Skripsi
Darmuji, Peran KH. Abdurrahman Nawi Dalam Pengembangan Dakwah Di Kota
Depok. Jakarta:Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012.
Dhiya Habibi, Peran Abuya KH. Abdurrahman Nawi Dalam Mengembangkan
Pendidikan Islam Di Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok.
Jakarta:Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatuallh Jakarta, 2016.
Yeni Rahmawati, Sejarah Berdiri dan Berkembangnya Pondok Pesantren Al-
Awwabin Kota Depok Tahun 1962-2008. Ciputat:Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
D. Wawancara
Ahmad Rifaldi, selaku Ketua IKAAD 2018-Sekarang, wawancara pribadi, Tebet,
9 Februari 2019.
Muallim Ubaidillah Hamdan, selaku santri, wawancara pribadi, Tangerang , 4
september 2018.
Sarmili, selaku masyarakat yang mengaji dengan Abuya KH Abdurrahman Nawi,
wawancara pribadi, Depok, 5 Mei 2019.
Ust Djauharul Bar, selaku santri Abuya KH Abdurrahman Nawi, wawancara
pribadi, Tangerang, 16 Februari 2018.
Ust Hafidz Kamil, selaku Sekretaris Abuya KH Abdurrahman Nawi, wawancara
pribadi, Depok, 9 Mei 2019.
Ust Mawardi, S.Fil., selaku cucu Abuya KH Abdurrahman Nawi, wawancara
pribadi, 11 Mei 2019.
Ummi Ruqoyyah, selaku istri Abuya KH Abdurrahman Nawi, wawancara pribadi,
Depok, 7 Mei 2019.
54
LAMPIRAN
Nama : Mawardi, S.Fil.
Umur : 36
Jabatan : Cucu sekaligus santri Abuya KH Abdurrahman Nawi
Lokasi : kediaman beliau di Depok
Waktu : 11 Mei 2019 Pukul 22:00 – 23:26
Apa pengaruh dakwah Abuya KH Abdurrahman Nawi dalam bidang
agama?
Pengaruh dakwah Abuya di agama. Agama yang di anut oleh Abuya kan
Islam ahlussunnah wal jamaah, ahlusunnah wal jamaah itu apanya? Aqidahnya,
kemudian fiqihnya, fiqihnya apa? Syafiiyah. Sayfiiyyah jelas kita liat di bukunya,
kitab mutiara romadhon, mulai puasanya, kemudian zakatnya, kemudian kitab-
kitab referensi didalam kitab mutiara romadhon itu semuanya 100 menggunakan
kitab-kitab Syafiiyah. Kemudian juga lihat kitab-kitab yang lain. Sumber-
sumbernya, referensinya dari mana aja, ketauan itu semua. Berarti Abuya itu
sebetulnya aliran fiqihnya syafiiyah.
Nah, keberadaan Abuya melalui tulisannya itu kan tentu mempengaruhi atau
memperluas, mensosialisasikan ajaran ahlusunnah wal jamaah melalui kitab-
kitabnya gitu.
Kemudian aqidahnya, itu di Sullamul Ibad kalo mau kita liat dari segi
penulisannya. Sullamul Ibad itu kemudian diajarkan ke para santrinya atau jamaah
luar, Secara ga langsung
1. dengan diajarkannya kitab Sullaul Ibad yang isinya jelas aqidahnya
Asy‟ariyah, maka
a) melestarikan
b) menjaga dari berbagaimacam tantangan luar, yakni makin banyaknya dan
tumbuhnya wahabi, aqidah-aqidah yang jelas bertentangan dengan aqidah
asyariyah
55
c) merawat. proses kegiatan transfer kitab itu tentunya kan artinya merawat
tradisi keilmuan aqidah asyariyah
Bagaimana dengan bidang Sosial?
peran Abuya, eksistentinya dengan gerakan dakwahnya yang awalnya di tebet
kemudian ikut mendorong tumbuhnya ghiroh masyarakat dan keinginan
msyarakat dalam mendirikan majlis atau juga mendorong masyarakat untuk hadir
ke majlis-majlis baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jika dalam pendidikan?
Menjaga tradisi pengajian lekaran, sesuatu yang kalo kita liat di majlis-majlis
ta‟lim Abuya, hampir seluruhnya menggunakan kitab, ditengah maraknya
pengajian jiping alias ngaji kuping, buya masih mempertahankan pengajian lekar.
Pengajian lekar itu kan sebetulnya bukan istilah kosong ya, tapi dia sebagai
bentuk perlawanan atau perbedaan terhadap pengajian jiping, pengajian yang
cuma datang ceramah. Abuya engga, Abuya pengajiannya modelnya lekaran
berbasis kitab kuning, kitab-kitab ahlusunnah wal jamaah.
Jadi Abuya itu menjaga tradisi keilmuan berbasis kitab kuning, jadi menjaga
mata rantai sanad keilmuan. Karena kitab itu kan di karang oleh ulama-ulama
terdahulu kan, Abuya justru menjaga itu tradisinya, dengan apa? Dimajlisnya
ternyata dia selalu memakai kitab, selalu berbasis kitab. Itu yang sekarang ini kita
lihat sudah makin berkurang, orang lebih gemar sekarang tuh pengajian jiping,
jiping, jiping tanpa kitab yang jelas, dia mau ngomong apa ke, lepas, ternyata
pahamnya wahabi
Ikut berkontribusi dalam dunia pendidikan formal, Abuya berangkat dari
pendidikan pengajian majlis ta‟lim Assalafi, kemudian pengajian non formal
lekaran, kitaban yang kemudian bertransformasi mendukung gerakan pemerintah
dalam memberantas kebodohan. Artinya Abuya tidak dilahirkan dari dunia
pendidikan formal, tetapi Abuya melalui geliatnya, gerakan dakwahnya ternyata
juga melampaui pengalaman dirinya, pengalaman pendidikannya yang tidak
bersekolah. Dan itu luar biasa. sorot itu, biasanya kan orang hanya mengurus
majlis ta‟lim doang, atau pengajian lekaran doang, tapi tidak peduli dengan
pendidikan formal karena tidak punya pengalaman.
56
Ini luar biasa, Abuya punya kepedulian tinggi. Dari pengajian Salafi, tapi
kemudian Abuya punya visi jauh kedepan tentang memberantas kebodohan
dengan menghadirkan pendidikan.
Jadi peran Abuya, ikut berkontribusi dalam memerangi kebodohan di
masyarakat melalui membangun lembaga pendidikan pesantren yang dimana
pesantren itu tidak hanya mengajarkan kitab kuning, tetapi kemudian juga
mengajarkan pendidikan umum. Dan selain itu, dengan transformasi dari
Assalafiah kemudian menjadi Al awwabin menjadi pesantren.
Bahwa dakwahnya itu yang awalnya hanya berbasis pengajian lekaran yang
tentu hanya beberapa orang saja atau diwilayah tertentu saja, Abuya lebih jauh
lagi, melakukan kaderisasi dalam melestarikan ahlusunnah wal jamaah dengan
mendirikan pesantren. Itu kan orang dari mana aja datang, jadi di kader.
Jadi mengkader generasi muda untuk menjadi pelestari, penjaga dan penerus
ajaran ahlusunnah wal jamaah. Kenapa? Karena didalam itu santrinya diajari
kitab-kitab syafiiyah, ahlusunnah wal jamaah.
Jadi perannya banyak kalo kita mau liat begitu, luas dan luar biasa
57
Nama : Muallim Ubaidillah Hamdan
Umur : 48
Jabatan : Pimpinan Pondok Pesantren Darul Musthofa sekaligus murid Abuya
KH Abdurrahman Nawi
Lokasi : kediaman beliau di Tangerang
Waktu : 24 Oktober 2018 Pukul 16:24
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh pak kiai
Walaikumussalam
Kapan pertama kali pak kiai mengenal Abuya KH Abdurrahman Nawi?
Sekitar umur 11 atau 12 tahun, saat saya berkunjung ke Depok. Saat itu
maksudnya itu untuk mendaftar di Pesantren Al Awwabin.
Kalo boleh tau tahun berapa?
Tahun 1984
Nah, berarti kiai dari Tangerang kan? Bagaimana pandangan
masyarakat Tangerang tentang Abuya kala itu?
Abuya sudah menjadi ulama besar, karena waktu saya khitan, yang ceramah
Abuya, itu saat saya berumur 7 tahun. Dan itu udah Masyhur Abuya.
Hampir seluruh masjid dan musholah di Jakarta, pernah ngalamin ngajar,
walaupun tidak Continue, dapet berapa tahun pindah, jadi semua kenal Abuya.
dan semua merasakan dan mengambil manfaat dari ilmu yang beliau ajarkan. dari
berbagai disiplin Ilmu,fiqihnya, tauhidnya, tafsir, hadist, tasawwuf, alat nahwu,
shorof, balaghoh, mantik macem-macem, beliau ajarkan. Kalo waktu dulu kan
Abuya masih muda, masih fit apa aja di ajarin. Kalo sekarang kita masih muda
kenalnya becandanya, guyonannya. Padahal dulunya harimau, dipanggilnya kan
beliau sibawaihi zamaanih. Kalo dateng di Asyafiiyah tuh, ulama” sana bilang Jaa
a sibawaih. Karna kalo nahwu mentok sama siapa aja, kalo sama Abuya selesai.
Ilmu alat nih sama kiai siapa aja, musykil. Kalo ditangan Abuya, langsung rapih,
karna penguasaannya
Abuya pernah ga mengalami dunia sekolah atau pesantren?
58
Setau ane kaga
Berarti ngaji kalong?
Ngaji kalong, dia ga nyantren. Sekolah sih, tapi sekolah dulu kan, sekolah
zaman Belanda. Untuk kelanjutan seperti akademi, atau kalo sekarang sekelas
SMA, mungkin itu Abuya ga ngalamin, sekolah formal yah. Cuman walaupun ga
ngalamin, guru-guru beliau itu melampaui para profesor, itu yang jadi beda. Bulan
masalah nyantrennya dimana, bukan pula fakultas mana, sekolah mana, itu bukan
jadi masalah. Yang jadi masalah ini, guru-gurunya wali-wali Allah, itu yang bikin
Abuya beda. Bukan pesantrenannya, bukan sekolaannya, bukan kampus. Jadi
gurunya wali, dan walinya bukan satu. Jadi boleh dibilang 75% guru-gurunya
Abuya itu Auliya Illah dari sekian banyak gurunya. Lah kalo kita ngaji gurunya
wali, satu aja jadi kita. Nah bagaimana kalo banyak auliya yang jadi guru
Boleh disebutin beberapa mungkin?
Habib Ali Kwitang, Habib Ali Bungur, Habib Salim Jindan, Habib Abdullah
bin Muhsin, Habib Husain bin Abdullah bin Muhsin, terus Guru Junaidi, Guru
Marzuki. Ini kelas kaliber semua, bukan orang biasa. Itu disebutnya
Farduzzamanih. Orang nomer satu dizamannya semua. Zaman-zaman keemasan
Betawi, dikala Abuya masih muda ulama-ulamanya itu semunya guru Abuya, baik
yang kita kenal namanya ataupun yang tidak. Yang jelas pada kala itu orang-orang
Alim itu kesebar kemana-mana. Jadi jangan aneh kalo dirumah-rumah buka
sorogan kecil, itu kitabnya bukhori, sohih muslim, riadussholihin. Kan di ukurnya
itu, anak-anak Tsanawiyah aja udah khatam riadussholihin. Tsanawiyah kelas tiga
aja udah khatam alfiyah. Itu santri.
Dan kala itu Abuya itu udah kiai. Ente bayangin aja santri aja udah ngaji
riadussolihin, itu Tsanawiyah, bagaimana kelas kiai?
Untuk perihal dakwah, metode apa yang kira-kira Abuya pakai?
Kalo Abuya ini pendekatan psikologis. Jadi sebelum keilmuan yang Abuya
sampaikan, Abuya pendekatan kekeluargaan, kejiwaan. Orang dikenalin dulu
siapa namanya, Abuya memperkenalkan diri pula, jadi ada keakraban dulu,
sehingga orang merasa nyaman dulu belajar sama Abuya, baru setelah ada ikatan
ruhani antara murid dengan Abuya, baru Abuya sampaikan. Tidak sebaliknya,
orang biasanya kan menyampaikan ilmu dulu, tapi sama orangnya belum akrab,
59
ini akhirnya ilmu bias. Kenapa? Sabab ilmu itu tidak cukup dengan kecerdasan
diperoleh seseorang, tetapi perlu ada ikatan dengan guru. Ketika ikatan itu sudah
terjalin, maka apa yang guru sampaikan, itu akan lebih menyerap nantinya, lebih
bisa dipahami
Itu yang Abuya pakai?
Nah ituu! itu yang susah. Dan Abuya ini susah ngelupain orang, itu bedanya.
Misalkan orang pernah dikenal dia sekali dua kali masa-masa itu kita ga ketemu
nih, 4 tahun. Seratus orang datang muridnya, ini dia kenal semua namanya.
4 tahun ga ketemu, 100 orang, semuanya dateng, satu-satu diabsen si pulan si
pulan si pulan.
Yang selanjutnya karya Abuya nih. Dari dulu sampai saat ini?
Owh Abuya karyanya yang sudah dibukukan ada 18 belas. Dari tauhid,
manasik haji, tata cara ziarah kubur, tentang sholat-sholat sunnah, dan lain lainlah.
Lebih lengkapnya di Pesantren Al Awwabin yang sudah dibukukan. Yang belum
dibukukan pun ada, belum sempet selesai beliau tulis. Itu dari ilmu balaghoh, ilmu
mantik, banyak dari ilmu alat-alat yang lainnya.
Cuman belum di bukukan?
Belum, belum dibukukan, masih dalam bentuk manuskrip. Kalo yang lain
sudah.
Ust Kamil yang megang mungkin?
Ust Kamil? Iya sama Kamil lengkap dah sama Kamil, beres sama dia mah.
Pertanyaan terakhir mungkin. Pribadi Abuya pada diri Muallim?
Owwhhhh kalo pribadi Abuya ini
1. Yang saya temukan beliau adalah seorang yang sangat tekun. Kalo ia ingin
sesuatu, kalo belum dapat, dia ga mundur. Apapun caranya, kapan pun
berhasilnya, sebelum dia dapat, dia kejar. Itu yang jadi pelajaran penting buat kita.
2. Dan Abuya itu ga pernah putus asa, ga pernah ngeluh. Dalam
menginginkan sesuatu ga pernah putus asa, dan sabar. Ga terburu-buru
maksudnya. Alon-alon asal kelakon kalo bahasa Abuya. Tekun orangnya.
3. Dan Abuya itu istiqomah. Itu yang susah dimiliki. Orang kadang ilmunya
ada, kadang-kadang orang ada ilmu, tapi mengamalkannya tidak seperti yang
diketahuinya. Kalo Abuya hampir apa yang dia ketahui, itu menjadi amalnya. Dan
60
bukan menjadi amal sekali dua kali, itu menyatu pada jiwanya. Ilmu menyatu
pada jiwanya dan istiqomah. Saya kenal Abuya itu sejak 35 tahun yang lalu. Dan
saat itu saya lihat sosok Abuya yang betul-betul. inilah Ulama menurut saya. Saya
kan masih kecil, ini kiai beneran nih, istiqomahnya, ngajarnya, bangun malamnya,
ga pernah ga tahajjut tiap malam. Dan ga pernah ga dhuha, dhuha terus. Ngaji ga
pernah beliau itu tidak hadir. Mutholaahnya, masyaAllah, pokoknya mah ga ada
orang yang mutholaah kaya Abuya. Di mobil, dimana ada Abuya ada kitab. Di
mobil, di kantor, di rumah, di masjid, dimana Abuya duduk, disampingnya ada
kitab. Itu hebatnya Abuya. Dan sampai sekarang masih sama. Makanya wajar
dengan istiqomah itu, khoirun min alfi karomah. melebihi orang yang punya
karomah. Dia ga keluar keramat, misalnya. Tapi dia istiqomah terus dalam agama,
ada seribu orang ahlul karomah 1000 orang, masih lebih tinggi ahlul istiqomah
dari 1000 orang yang ahlul karomah.
Itu yang sepengetahuan yang terlihat. Oleh karena itu Abuya bukan hanya
ilmu lahiriyyah saja yang bisa dikuasai, tapi memang Allah berikan kelebihan
maziyyah-maziyyah batiniyyah, dimana dia walau lama kita tidak bertemu, tapi
Abuya bisa mengetahui apa yang ada pada diri kita selama kita tidak pernah
bertemu. Ente begini ente begini, dibacain tuh. Ini yang jarang orang miliki. Ini
atsar dari istiqomah.
Mungkin itu yah pak kiai, terima kasih banyak, Wassalamualaikum
warohmatullahi wabarokatuh
61
Nama : Ahmad Rifaldi
Umur : 21
Jabatan : Ketua IKAAD periode 2018-2020 sekaligus santri Abuya KH
Abdurrahman Nawi
Lokasi : Tebet
Waktu : 09 April 2019 pukul 19:28
Assalamualikum warohmatullahi wabarokatuh
Disini saya bersama dengan salah satu murid Abuya yang bernama
Ahmad rifaldi, benar yah Ahmad rifaldi?
Iya
Beliau ini sekarang menjabat sebagai ketua IKAAD, yaitu kepanjangan
dari Ikatan Alumni Al Awwabin Depok.
Al Awwabin Depok adalah salah satu Pondok Pesantren yang dipimpin
langsung oleh Abuya KH Abdurrahman Nawi.
Assalamualaikum rifaldi?
Walaikumussalam
Disini saya mempunyai beberapa pertanyaan. Kan antum ketua dari
alumni nih, saya ingin mengetahui kira-kira cetakan-cetakan Abuya itu
berapa persen yang jadi?
Jadi begini dulu yah, jadi mohon maaf nih bang Haidir udah jauh-jauh nyaba
kemari, datang. Sebenarnya saya juga pertama belum layak diwawancara. Namun
karna berhubung apa yang saya tau, ya mungkin bisa saya sampaikan. Karna saya
ini masih masuk golongan alumni muda. Jadi saya menjabat menjadi ketua Ikaad
periode 2018 sampai 2020.
Jadi tadi kalo cetakan-cetakan Al Awwabin itu banyak yah. Awwabin ini
secara struktural, secara formal pesantren, itu sudah mencetak 40 angkatan.
Meskipun kalo kita lihat di data dokumen Abuya, kitab-kitab yang Abuya karang,
salah satunya kitab mutiara romadhon, bisa dilihat di akhirnya, dihalaman
terakhir. Itu tertulis, ditulis di Pondok Pesantren Al-Awwabin tahun 1972. Lalu di
kitab sullamul Ibad karangan Abuya juga, ditulis tahun 1965. Nah kalo kita
kalkulasikan dengan Awwabin secara formal itu sebenernya lebih dari 40
62
angkatan. Ini mungkin formal 40 angkatan mengacu pada batu tertulis di Pondok
Pesantren Al Awwabin Depok yang ditanda tangani oleh mentri agama
Munawwir Sazali, batu tertulis di depan Pondok Pesantren Al Awwabin tuh. Nah
itu berdirinya Pondok Pesantren Al Awwabin cabang 1 sebenarnya di Depok,
yang pusatnya itu di Tebet.
Nah alumni-alumni Abuya itu banyak yang sudah berhasil dalam bidang
apapun. Salah satunya kalo di alumni yang terkenal ada Dr. Kiai Haji Muhammad
Yusuf Hidayat M.A. beliau ini termasuk alumni pertama di Depok. Beliau lulusan
S3 UIN Jakarta bidang syariah dengan lulusan cum laude, fokusnya ke Fiqih. Nah
beliau itu sekarang sudah berhasil, sekarang mempunyai pondok sendiri, namanya
Pondok Pesantren Attibyan yang berada di Depok.
Yang kedua, yang terkenal di alumni juga, Kiai Haji Ubaidillah Hamdan.
Beliau sudah membangun pesantren juga, adanya di Pondok Aren Tangerang,
namanya Darul Musthofa Al Mukhtar
Terus yang ketiga ada juga alumni Kiai Haji Qurtubin Nafis. Beliau juga
berhasil, dan membangun pesantren namanya Pesantren Ibnu Nafis di Depok.
Dari kalangan alumni yang saya tau membangun pesantren itu baru tiga. Kiai
Yusuf Hidayat, Muallim Ubaidillah Hamdan, sama Kiai Haji Qurtubin Nafis. Tapi
banyak juga alumni-alumni lain yang sudah berjalan mengajar di majlis ta‟lim dan
masjid-masjid. Ada juga yang menjadi tenaga pengajar di dunia formal seperti
jadi dosen, kepala sekolah, Dan guru-guru. Salah satunya yang saya sebut adalah
ustadzah Amsariah, M.Ag., beliau sekarang mengajar di Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Jakarta, beliau mengajar di jurusan Bahasa dan Sastra Arab.
Selain itu?
Selain itu, yang mengajar di majlis ta‟lim juga banyak, seperti Ust Zaki
Mubarok. Beliau juga mengajar di majlis ta‟limnya di Tangerang. Lalu yang
mengajar sekolah Ustadzah Leli Marlina.
Kalo misalkan yang berada di wilayah Tebet, maksudnya alumni awal-
awal yang mengaji dengan Abuya?
Nah waktu itu di Tebet sifatnya masih non formal yah, majlis ta‟lim. Nah
yang ngaji itu banyak banget kiai-kiai yang sekarang sudah sukses, mempunyai
banyak murid. Diantaranya ada Kiai Abdul Kholik Muallif, Kiai Haji Luthfi
63
Romli, Kiai Haji Salim Na‟i, Ust Nurmansyah, trus orang tua saya Ust H
Muhammad Isyro‟, lalu Kiai Haji Zaini Sholihin, banyak deh para Ulama yang
sekarang sudah terkenal jadi Ulama yang dulunya mengaji bareng Abuya.
Dikalangan Habaib juga banyak, salah satunya yang kita tau almarhum Habib
Munzir bin Fuad Al Musawwa. Habib Munzir ini kedekatannya dengan Abuya
sangat interen. Sampai-sampai beliau ketika banyak masalah saat berdakwah di
Jakarta dengan majlis Rosulullahnya dikarenakan jamaah-jamaahnya, beliau
mengadu kepada Abuya dan mengganggap Abuya sebagai orang tuanya sendiri.
Sampai sekarang Abuya dengan majlis Rosulullah hubungannya masih berjalan
baik. Walaupun Habib Munzir sudah meninggal, kholifahnya Habib Nabil masih
datang dan silaturrohim ke Abuya.
Apa yang membekas dari belajar dengan Abuya?
Semasa saya nyantri dengan Abuya, selama 6 tahun, Abuya ini termasuk
orang yang tegas dalam mendidik dan membina santri-santrinya. Santri dulu kalo
ada Abuya, sangat takut dengan kharisma Abuya. Abuya itu orang alim dan juga
orang yang bijak, makanya Abuya bisa memiliki majlis-majlis Ta‟lim asuhan
sekitar 12 asuhan di Jakarta dan sekitarnya. Dan Abuya juga dekat dengan
pemerintah, dengan para kiai. Artiya Abuya tidak membeda-bedakan golongan
antara kelas habaib, kelas kiai, kelas pemerintah. Semua bisa bergaul dengan
Abuya.
Ada pesan Abuya yang saya ingat. Kalo kita ga punya duit, jangan kita
mengumbar-umbar ke orang kita ga punya duit. Selalu pakai pakaian rapi aja,
pakai pakaian formal, meskipun kita ga punya duit. Itu pesan Abuya.jadi kita
harus slalu rapih didepan orang, jangan terlalu terlihat payah isyaratnya. Karena
nanti santri-santri itu akan di kader menjadi kiai di kampung-kampungnya. Kalo
kiainya aja berpenampilan jelek, bagaimana dia mengurus umat. Mungkin itu saja
yang bisa saya sampaikan.
Terima kasih untuk saudara rifaldi
Sama-sama bang
Itulah percakapan saya dengan ketua IKAAD periode 2018-2020
Wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
64
Nama : Ruqoyyah
Umur : 55
Jabatan : Istri Abuya KH Abdurrahman Nawi
Lokasi : Depok
Waktu : 13 April 2019 pukul 10:23
Assalamualaikum Umi
Walaikumussalam warohmatullah
Umi, Abuya mulai berdagang kapan yah?
setau umi sih tahun 50an 60an. Sekitar segitu pokoknya.
Itu dimana mi berdagangnya? Dan apa aja yang Abuya jual?
Abuya itu dagang di daerah Mampang, dagang kain-kain, Buya kan tau
banget kain. Peci, baju-baju koko gitu, kitab, banyak; Itu di Mampang. Sembari
ngaji, ngajinya sama Haji Nashir, banyak sih Buya gurunya.
Setau umi siapa aja?
Gurunya Haji Nashir, Haji Nashir sini nih Tebet sini, Haji Sarbini juga, Habib
Abdurrahman Assegaf, terus Guru Junaidi. Banyak sih, umi ga hafal lengkapnya.
Abuya berdagang sampai kapan mi?
Abuya itu berdagang aktifnya sampai tahun 70an, soalnya tahun 80an kan
udah banyak santri-santrinya, jadi susah kalo megang semuanya, lebih fokus ke
santri.
Okee umi mungkin itu dulu, terima kasih banyak yah mi, maafin ganggu
waktunya, wassalamualaikum.
Owh iya ga papa sama-sama, walaikumussalam warohmatullah.
65
Foto-foto :
Foto Abuya saat ini saat dikunjungi murid-muridnya
Foto Abuya Bersama Sayyid Muhammad Al Maliki Makkah
68
Foto Abuya bersama Pengurus Pondok dan Kepala Sekolah di Pesantren
Depok
Foto Abuya bersama Habib Umar bin Hafidz Yaman
69
Foto Abuya bersama Habib Ali bin Abdurrahman Assegaf
Foto Abuya KH Abdurrahman Nawi bersama Abuya KH Muhtadi bin Abuya KH
Dimyati Banten