Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

32
PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH Oleh: Najib Ubaidillah 1 , Happy Nur Afni R. 2 Abstrak Dengan berakhirnya kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, maka era pemerintahan Islam dari al-Khulafa al-Rasyidin berubah menjadi era kedinastian yang diawali dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dengan pemimpin pertamanya yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada periode Dinasti Bani Umayyah, tata cara pemerintahan dan sistem ketatanegaraan sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan di era al-Khulafa al-Rasyidin, termasuk sistem peradilan yang dijalankan di beberapa wilayah kekuasan yang lebih luas. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait peradilan Islam pada masa Dinasti Bani Umayyah. Pada masa Dinasti Bani Umayyah, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus, kemudian setelah itu dimulailah era baru dalam sejarah hukum Islam. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (Qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Seorang Qadhi merupakan figur yang berlaku adil dan mampu berijtihad dan sebagai sumber refrensinya adalah Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Sahabat. Kewenangan Qadhi/hakim dibatasi hanya untuk memutus perkara dalam urusan khusus. Sedangkan yang berhak menjalankan keputusan hakim adalah penguasa sendiri atau wakilnya dengan instruksi. Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para penguasa tidak mencampuri urusan peradilan, dan peradilan bebas memutuskan dengan seadil-adilnya. Terdapat tiga lembaga peradilan, yakni wilayat al-mazhalim, wilayat al-hisbah dan al- qadhaa’ yang memiliki kewenangan dan tugas masing-masing dalam 1 Mahasiswa S1 (NIM: 12350077) Jurusan Al-Ahwal Asy- Syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum ,UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, email: [email protected] 2 Mahasiswa S1 (NIM: 12350089) Jurusan Al-Ahwal Asy- Syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, email: [email protected] 1

description

kfkujvvtvgkybktbfhnjgkuyhvhjbgkythbt hgvtfrfhgvnfvgtftyjft ghdjutrryug hjkgfi6tgkhghj mkjgt7yolijkh uyfddhytf ,mhkuhkiygf m,kughb pada masa dinasti umayyah

Transcript of Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Page 1: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

PERADILAN ISLAM PADA MASA DINASTI BANI UMAYYAH

Oleh:

Najib Ubaidillah1, Happy Nur Afni R.2

Abstrak

Dengan berakhirnya kepemimpinan Ali bin Abi Thalib, maka era pemerintahan Islam dari al-Khulafa al-Rasyidin berubah menjadi era kedinastian yang diawali dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dengan pemimpin pertamanya yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Pada periode Dinasti Bani Umayyah, tata cara pemerintahan dan sistem ketatanegaraan sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan di era al-Khulafa al-Rasyidin, termasuk sistem peradilan yang dijalankan di beberapa wilayah kekuasan yang lebih luas. Penulisan artikel ini bertujuan untuk mempelajari dan memahami lebih lanjut terkait peradilan Islam pada masa Dinasti Bani Umayyah. Pada masa Dinasti Bani Umayyah, pusat pemerintahan dipindahkan dari Madinah ke Damaskus, kemudian setelah itu dimulailah era baru dalam sejarah hukum Islam. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim (Qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang spesialis dibidangnya. Seorang Qadhi merupakan figur yang berlaku adil dan mampu berijtihad dan sebagai sumber refrensinya adalah Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Sahabat. Kewenangan Qadhi/hakim dibatasi hanya untuk memutus perkara dalam urusan khusus. Sedangkan yang berhak menjalankan keputusan hakim adalah penguasa sendiri atau wakilnya dengan instruksi. Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para penguasa tidak mencampuri urusan peradilan, dan peradilan bebas memutuskan dengan seadil-adilnya. Terdapat tiga lembaga peradilan, yakni wilayat al-mazhalim, wilayat al-hisbah dan al-qadhaa’ yang memiliki kewenangan dan tugas masing-masing dalam penyelesaian suatu perkara. Pada masa Dinasti Umayyah ini mulai ada pencatat perkara/panitera serta pertama kali dilakukan pembukuan putusan hakim.

Key words: Peradilan, Bani Umayyah, Qadhi, Lembaga Peradilan

1 Mahasiswa S1 (NIM: 12350077) Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum ,UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, email: [email protected]

2 Mahasiswa S1 (NIM: 12350089) Jurusan Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, email: [email protected]

1

Page 2: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

A. Pendahuluan

Seiring dengan wafatnya Ali bin Abi Thalib maka berakhir pula sistem

kepemerintahannya pada masa al-Khulafa al-Rasyidin, dan sekaligus sebagai

pemutus era dari al-Khulafa al-Rasyidin yang kemudian berubah menjadi era

kedinastian yang diawali dengan pemerintahan Dinasti Umayyah dengan

pemimpin pertamanya yaitu Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang pada zaman

khalifah Umar merupakan Gubernur untuk wilayah Syam. Menurut ahli sejarah,

dinasti ini terbentuk pada tahun 661 M (41 H), bukan pada saat Umayyah

memproklamirkan diri menjadi khalifah di Iliya (palestina) pada tahun 660 M (40

H).

Pada periode Dinasti Bani Umayyah, tata cara pemerintahan dan sistem

ketatanegaraan sangat berbeda jika dibandingkan dengan sistem ketatanegaraan di

era al-Khulafa al-Rasyidin, perubahan yang sangat vital terjadi pada perubahan

sistem pemerintahan dan ketatanegaraan serta tatacara pengisian jabatan kepala

negara yang menggunakan cara penunjukan oleh pemimpin yang akan digantikan,

atau bisa disebut dengan sistem pewarisan jabatan. Hal ini sangat jauh berbeda

dengan sistem yang digunakan di era al-Khulafa al-Rasyidin yang cara pergantian

jabatannya menggunakan sistem Musyawarah. Dengan ini kemudian muncul

suatu sistem dan bentuk pemerintahan baru yaitu Monarki Absolut.

Munculnya Dinasti bani Umayyah tidak terlepas dengan sejarah adanya

peradilan yang telah dikenal sejak masa silam, karena didorong oleh kebutuhan

kemakmuran hidup dan kejadian manusia itu sendiri, oleh karena itu peradilan

telah dikenal sejak masa-masa pertama dan tidak mungkin suatu pemerintahan di

dunia ini, apapun bentuknya dapat berdiri tanpa menegakkan peradilan. Pesan

utamanya adalah bahwa perdamaian harus diwujudkan dengan menegakan

keadilan, karena seperti kata Gus Dur, perdamaian tanpa keadilan adalah ilusi.

Kata tersebut menandakan bahwa perdamaian hanya bisa tegak, ketika tidak ada

pihak yang dipaksa dan ditindas untuk diam menerima kenyataan yang tidak adil

baginya. Hal ini tentunya tidak terlepas oleh adanya peradilan yang tertata dengan

rapi dan transparan sehingga dengan menegakan peradilan maka akan tercapai

2

Page 3: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

sebuah perdamaian.3 Pada dasarnya, manusia tidak dapat menghindari

persengketaan antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu pula maka

peradilan dipandang suci oleh semua bangsa, dalam berbagai tingkat

kemajuannya. Menegakkan peradilan berarti memerintahkan kebaikan dan

mencegah bahaya kedzaliman.

Dengan adanya peradilan, jiwa, harta dan kehormatan dapat dilindungi.

Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara,

apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan

yang sangat baik itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan

dan mengawasi pelaksanaannya.

B. Pembahasan

1. Pengertian Peradilan

Kata “peradilan” berasal dari kata “adil” dengan awalan “per” dan dengan

imbuhan “an”. Kata “peradilan” sebagai terjemahan dari “qaadha”, yang berarti

“memutuskan”, “melaksanakan”, menyelesaikan”.4 dan adapula yang

menyebutkan bahwa, umumnya kamus tidak membedakan peradilan dan

pengadilan.5

Dalam literatur-literatur fikih Islam, peradilan” disebut “qadha” artinya

“menyelesaikan” seperti firman Allah:

“manakala Zaid telah menyelesaiakan keperluanya dari Zainab” (QS. Al-

Ahzab : 37)

3 Jum’at 18/09/2015 <www.nu.or.id > diakses 20 Sepetember 2015.4 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), Cet. Petama Tahun

1996 M, Jakarta, hlm. 1215.5 Abdul Mujib Mabruri Talhah Sapiah AM, Kamus Istilah Fikih, Cet. Ketiga, (Jakarta: PT

Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 258. Lihat pula Kamus Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Cet. Ketujuh, (Jakarta: Dekdikbud, Balai Pustaka, 1996), hlm. 7.

3

Page 4: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Ada juga yang berarti “menunaikan”

“apabila sholat telah ditunaikan maka bertebaranlah kamu di muka

bumi” (QS. Al-Jumu’ah : 10)

Dalam dunia perdilan menurut para pakar, makna yang terakhir inilah

yang dianggap singnifikan. Dimana makna hukum disini pada asalnya berarti

“menghalangi” atau “mencegah”, karenanya qodhi dinamakan hakim karena

seorang hakim berfungsi untuk menghalangi orang yang zalim dari penganiayaan.

Oleh karena itu apabila seseorang mengatakan suatu hak atau mengembalikan

sesuatu kepada pemiliknya yang berhak.6

Kata “Peradilan” menurut istlah ahli fikih adalah berarti:

a. Lembaga Hukum (tempat di mana seseorang mengajukan

permohonan).

b. Perkataan yang harus dituruti yang diucapkan oleh seseorang

mempunnyai wilayah umum atau menerangkan hukum agama atas

dasar harus mengikutinya.

2. Sekilas tentang Sejarah Bani Umayyah

Masa pemerintahan Islam setelah Al-Khulafa al-Rasyidin digantikan oleh

pemerintahan Dinasti Bani Umayyah dan pertama kali dipimpin oleh Muawiyyah

Bin Abu Sufyan. Pada masa Dinasti Bani Umayyah, pusat pemerintahan

dipindahkan dari Madinah ke Damaskus, kemudian setelah itu dimulailah era baru

dalam sejarah hukum Islam. Pada masanya, jabatan khusus seorang hakim

(Qadhi) mulai berkembang menjadi profesi tersendiri, Qadhi adalah seorang

spesialis dibidangnya.7

6 T.M. Hasby Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Yogyakarta: Penerbit PT Ma’arif, 1994), hlm. 29.

7 Anonim, Kekhalifahan Umayyah, <https://id.wikipedia.org/kekhalifahan _umayyah>, diakses 22 September, 2015.

4

Page 5: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Bani Umayyah (bahasa Arab: أمية بنو , Bani Umayyah) atau

Kekhalifahan Umayyah, adalah kekhalifahan Islam pertama setelah masa

Khulafaur Rasyidin yang memerintah dari 661 sampai 750 di Jazirah Arab dan

sekitarnya. Serta dari 756 sampai 1031 di Cordova, Spanyol. Nama dinasti ini

diambil dari nama tokoh Umayyah bin ‘Abd asy-Syams, kakek buyut dari

Khalifah pertama Bani Umayyah, yaitu Muawiyah.8

Dinasti Bani Umayyah berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dengan 14

orang penguasa yaitu:9

1) Muawiyah bin Abu Sufyan (661-680)

2) Yazid bin Muawiyah (680-683)

3) Muawiyah bin Yazid (683-684)

4) Marwan bin Hakam (684-685)

5) Abdul Malik bin Marwan (685-705)

6) Walid I bin Abdul Malik (705-715)

7) Sulaiman bin Abdul Malik (715-717)

8) Umar bin Abdul Aziz (717-720)

9) Yazid bin Abdul Malik (720-724)

10) Hisyam bin Abdul Malik (724-743)

11) Walid II bin Yazid II (743-744)

12) Yazid III (744-745)

13) Ibrahim bin Walid II (745-747)

14) Marwan II bin Muhammad II (747-750)

Dalam usaha mensejahterakan rakyatnya, penguasa Bani Umayyah

melakukan usaha positif dengan memperbaiki seluruh sistem pemerintahan dan

menata administrasi, antara lain membuat organisasi keuangan dan memberikan

hak serta perlindungan kepada warga negara yang berada dibawah pengawasan

dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan perlindungan

8 Hodgson, Marshall G.S.; Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. (Jakarta: Paramadina, 1999), hal.34.

9 Ali Mufradi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 72.

5

Page 6: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

hukum dari kesewenangan. Oleh karena itu, Daulah ini membentuk lembaga

kehakiman.10

3. Peradilan pada Masa Bani Umayyah

Pada masa Umayyah, ulama dan ahli hukum Islam berpencar ke berbagai

pelosok negeri Islam. Mereka tidak lagi berkonsentrasi di ibukota Negara,

Damaskus. Hal ini disebabkan semakin meluasnya daerah penaklukan. Kondisi

tersebut berbeda dengan masa al-khulafa al-rasyidin yang cenderung terpusat di

kota Madinah. Lembaga peradilan pada masa Umayyah bersifat independen. Para

penguasa tidak mencampuri urusan peradilan, dan peradilan bebas memutuskan

dengan seadil-adilnya. Khalifah hanya mengawasi keputusan yang mereka

keluarkan. Selain itu, ada ancaman pemecatan bagi siapa saja yang berani

melakukan penyelewengan.11

Pada masa Al-Khulafa al-Rasyidin sebelum Bani Umayyah, pemimpin

secara langsung aktif berperan dalam pemecahan berbagai masalah. Akan tetapi,

pada masa Umayyah tidak semua persoalan diselesaikan langsung oleh khalifah,

tetapi khalifah menunjuk orang terpilih yang dipercaya untuk menyelesaikan

masalah. Selain itu seperti imam sholat yang sebelumnya dilakukan langsung

oleh khalifah, tetapi pada masa Umayyah imam sholat dipercayakan pada orang

tertentu. Selain itu, pegawai, pengajar, ahli agama dan tokoh pemuka dipilih

berdasarkan kemampuan, karakter dan bisa menjalankan fungsi yang sesuai.

Jabatan hakim (Qadhi) diserahkan kepada orang yang mampu mewakili sebagai

perwakilan penguasa dalam rangka untuk mengurangi beban khalifah.12

Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan

kebijakan yang telah dijalankan oleh al-khulafa al-rasyidin, Bani Umayyah

berusaha memberikan hak dan perlindungan kepada warga negara yang berada

10 Hasan Ibrahim, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Setiaa, 1989), hlm. 215.

11 Basiq Djalil, Peradilan Islam, (Jakarta: Amzah, 2012), hlm. 153.12Anwar Ahmad Qadri, Justice in Historical Islam, Kitab Bhavan (New Delhi: Taj Offset

Press Urdu Bazar, 1982), hlm. 29-34.

6

Page 7: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

dibawah pengawasan dan kekuasaannya. Masyarakat mempunyai hak untuk

mendapatkan perlindungan hukum dan kesewenangan.

Periode kehakiman Islam (Qadha Islami) dibagi menjadi tiga periode

besar. Pertama, peradilan di masa al-Khulafa al-Rasyidin, Bani Umayyah, dan

permulaan Bani Abbas. Selanjutnya periode kedua pada masa pemerintahan Bani

Abbasiyah, jaman keemasan hingga beralih ke pemerintahan Turkiyah dan

periode terakhir dimulai dengan pemerintahan kesultanan selanjutnya. Pada

periode pertama, dilakukan pemisahan lembaga peradilan dari tangan gubernur

dan yang mula-mula melakukannya. Dimasa empat Khalifah dan Dinasti

Umayyah, bisa dikatakan lembaga peradilan masih dalam taraf pembentukan,

belum sempurna organisasi pembinaannya. Qadhi di zaman Khalifah dan

Umayyah semuanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai keahlian ijtihad

yang sempurna, bukan ahli taqlid yang bertaqlid kepada seseorang imam dalam

menetapkan hukum. Pada masa itu taqlid belum terkenal dan mazhab belum

dibukukan.13

Terdapat dua ciri khas bentuk peradilan pada masa Bani Umayyah, yaitu14:

1) Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam

hal-hal yang tidak ada nash atau ijma’. Pada saat itu mazhab belum

lahir dan belum menjadi pingikat bagi keputusan-keputusan hakim.

Pedoman hakim hanya Al-Quran dan Sunnah.

2) Lembaga peradilan pada saat itu belum dipengaruhi oleh penguasa.

Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh

keinginan-keinginan penguasa. Keputusan mereka tidak hanya berlaku

pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa sendiri. Dalm

hal itu, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat

hakim yang menyeleweng dari garis yang ditentukan.

13 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Sedjarah Peradilan Islam, Cetakan Ketiga, (Jakarta: Bulan Bintang 1970), hlm. 15-25.

14 Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Alih Bahaasa Imron A.M. Cet. Keempat, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 20.

7

Page 8: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Hakim yang diangkat pada masa pemerintahan Bani Umayyah merupakan

figur yang dapat berlaku adil dan memiliki kemampuan untuk berijtihad. Para

hakim benar-benar bebas berijtihad dan memutuskan perkara yang diajukan sesuai

dengan kemampuannya. Pada saat itu, hubungan antara satu hakim dengan hakim

lainnya belum terbina. Dengan demikian, seorang hakim harus mengerahkan

kemampuannya sendiri untuk berijtihad pada saat mengadili dan menyelesaikan

perkara yang tidak dijumpai berdasarkan sumber hukum yang ada yaitu Al-Quran,

Hadits dan Ijma’ sahabat.15

Hakim memahami ketiga sumber hukum tersebut dengan baik dan benar.

Para hakim menyadari bahwa akar konsepsi Islam terletak pada sebuah ide, bahwa

hukum esensinya adalah religius. Karena itu, hukum harus bersumber pada pola

perilaku yang diberikan Allah (Al-Quran). Dengan kata lain, hukum Islam harus

berdasarkan pada wahyu ilahi yang menjadi sumber hukum pertama dan utama

dalam hukum Islam. Disamping itu, mereka berasumsi bahwa cara terbaik yang

harus ditempuh dalam menafsirkan dan mengaplikasikan Al-Quran adalah dengan

melihat penjabaran Al-Quran pada masa Rasulullah. Inilah sunah nabi yang

merupakan sumber hukum kedua setelah Al-Quran. Mereka juga mengetahui dan

meyakini benar bahwa para sahabat yang dekat dengan nabi memiliki pemahaman

yang bagus sehingga pendapat mereka (ijma’ sahabat) digunakan sebagai sumber

hukum ketiga.16

Pengangkatan hakim dipisah dari gubernur. Khalifah mengangkat Qadhi-

Qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, sementara Qadhi yang bertugas di

daerah diserahkan pengangkatannya pada kepala daerah tersebut. Permasalahan

yang bisa ditangani oleh Qadhi ini terbatas pada masalah-masalah khusus

sementara yang melaksanakan keputusan itu adalah khalifah. Lembaga peradilan

dipegang oleh orang Islam, sedangkan kalangan non Islam mendapatkan otonomi

15 Athiyah Musrifah, Tarikh al-Qadha’ fil Islam, Cetakan Kedua, (Syirkat al-Syarq al-Ausath, 1996), hlm. 42.

16 Oyo Sunaryo Mukhlas, Perkembangan Peradilan Islam: Dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2011), hlm. 74.

8

Page 9: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

hukum di bawah kebijakan masing-masing pemimpin agama mereka. Hal inilah

yang mendasari mengapa hakim hanya ada di kota-kota besar.17

Peradilan pada masa Bani Umayyah menurut para pegiat dan pemerhati

fikih qadha bahwa penyelenggaraan peradilan tidak dipengaruhi oleh kepentingan

politik, sementara ijtihad hakim dalam menentukan dan menetapkan hukum

berkembang pesat. Pernyataan tersebut dapat dipahami dengan tidak terlibatnya

khalifah atau penguasa dalam praktik peradilan. Khalifah tidak langsung

melibatkan dirinya menjadi Qadhi atau hakim. Sedangkan pada masa al-Khulafa

Al-Rasyidin selain berperan sebagai khalifah juga sering terjun langsung dalam

praktik peradilan bertindak langsung sebagai hakim. Dalam hal ini, kepentingan

politik diartikan sebagai campur tangan penguasa dalam menyelesaikan masalah

atau berperan sebagai hakim.18

Menurut M. Nazir dalam Oyo Sunaryo, setidaknya ada dua alasan yang

mengakibatkan kurangnya perhatian penguasa/ pemerintah Bani Umayyah

terhadap lembaga peradilan: pertama, karena pemerintah atau pemimpin Bani

Umayyah pada umumnya kurang tertarik pada masalah hukum, dan lebih

berkonsentrasi pada urusan politik dan perluasan wilayah kekuasaan. Kedua, figur

penguasa pada umumnya tidak digolongkan pada kualifikasi ulama/fukaha,

bahkan di antara mereka terdapat pribadi yang dinilai kotor.19

4. Kewenangan Hakim

Pada masa ini kewenangan hakim dibatasi hanya untuk memutus perkara

dalam urusan khusus. Sedangkan yang berhak menjalankan keputusan hakim

adalah penguasa sendiri atau wakilnya dengan instruksi. Keputusan hakim tidak

dipengaruhi oleh hal pribadi sehingga keputusan mereka benar-benar

berwibawa.20 Kewenangan hakim perkara peradilan pada masa Bani Umayyah

17 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 79-80.

18 Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 71-72.19M. Nazir, dalam Oyo Sunaryo Mukhlas, Ibid, hlm. 7.20 Basiq Djalil, Ibid.

9

Page 10: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

terbatas mengenai masalah-masalah yang bersinggungan dengan perkara perdata

(al-madany) dan perkara perorangan serta hukum kekeluargaan (al-ahwal as-

syakhsiyyah) sementara perkara-perkara berat yang melibatkan masyarakat

banyak (pidana) seperti hudud dan qishash tetap menjadi kewenangan pemerintah.

Termasuk pelaksanaan hukuman perkara yang telah diputus hakim dan telah

memiliki kekuatan hukum mengikat, eksekusinya dilakukan oleh pemerintah.21

Hakim pada saat itu ada yang memiliki kewenangan hukum terbatas

maupun tidak terbatas. Kewenangan hakim yang terbatas hanya pada perkara-

perkara khusus dan spesifik. Sedangkan hakim dengan kewenangan tidak terbatas

tetap harus patuh dan tunduk pada penguasa, dengan begitu kewenangan hakim

secara umum ditentukan oleh penguasa kecuali pada perkara-perkara perdata

tertentu. Pada dasarnya, menyelesaikan dan mengadili perkara adalah hak

penguasa sendiri, karena mengadili perkara merupakan sebagian dari kekuasan

yang masuk dalam wilayah ‘ammah. Oleh karena itu, penguasa boleh

menyelesaikan sendiri tugasnya atau mengangkat wakil/wali untuk

menyelesaikannya. Dalam hal mengangkat seorang wakil/wali, maka tugas

penguasa dalam menyelesaikan perkara diberikan kepada hakim. Penguasa boleh

menentukan banyak atau sedikitnya pekerjaan hakim. Tugas penguasa sebagai

hakim pada saat itu seperti menunjuk wakil/wali, masalah wakaf, melaksanakan

hukuman (eksekusi), urusan anak yatim, mengawasi bawahan hakim, dan menjadi

imam sholat Jumat tidak harus dilakukan dan diselesaikan oleh penguasa sendiri,

namun bisa diserahkan kepada Qadhi.22

Contoh tugas Qadhi pada perkara-perkara tersebut diatas antara lain23:

a. Penyerahan urusan anak yatim kepada Qadhi Mesir, Abdur Rahman Bin

Muawwiyah pada masa Khalifah Abdul Aziz Bin Marwan.

b. Penyerahan urusan harta wakaf kepada Qadhi Mesir, Taubah Bin Namir pada

masa Khalifah Hisyam Bin Abdul Malik. Dengan usaha Taubah, harta waqaf 21 Oyo Sunaryo Mukhlas, Ibid, hlm. 73.22 Al-Haj Muhammed Ullah, The Administration Of Justice In Islam: An Introduction To

The Muslim Conception Of The State, 3rd Edition, Kitab Bhavan, (New Delhi: Lahoti Fine Art Press, 1990), hlm. 29-31.

23 T.M. Hasbi As Shiddieqy, Ibid, hlm. 23-24.

10

Page 11: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Negera Mesir diurus oleh suatu dewan yang menjadi permulaan dewan wakaf

di Mesir.

5. Pembukuan Putusan

Pada masa Bani Umayyah, mulai muncul kesadaran kesadaran baru untuk

mencatat produk hukum, terutama putusan hakim. Adapun hakim pertama yang

merasakan pentingnya pencatatan putusan peradilan itu adalah hakim Sulaim Bin

‘Atr yang menduduki kursi kehakiman di Mesir selama 20 tahun, yaitu pada masa

pemerintahan Khalifah Muawiyyah Bin Abi Sufyan.24 Hakim Sulaim Bin ‘Atr

berpendapat bahwa pencatatan keputusan lembaga peradilan itu penting, karena

pada suatu ketika telah terjadi sengketa harta pusaka yang telah diputus, kemudian

di lain waktu pihak-pihak yang berperkara tersebut mengingkari keputusan hakim

dan mereka saling berselisih tentang keputusan tersebut sehingga mereka

mengajukan kembali perkara tersebut kepada hakim untuk diputus. Setelah

diputus kembali, keputusan perkara tersebut dicatat dan dihimpun. Pada saat

itulah pertama kalinya putusan perkara dibukukan.25

6. Lembaga Peradilan

Terdapat dua institusi yang melengkapi lembaga peradilan, yaitu wilayat

al-mazhalim dan wilayat al-hisbah. Wilayat al-mazhalim bertugas untuk

mengawasi dan memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh penguasa dan

keluarganya, sedangkan wilayat al-hisbah bertugas untuk mengawasi dan

memeriksa pelanggaran yang dilakukan oleh rakyat. Secara kelembagaan, Wilayat

al-mazhalim merupakan institusi pengendali, yaitu suatu kekuasaan peradilan

yang lebih tinggi daripada pengadilan biasa, sedangkan wilayat al-hisbah adalah

lembaga keagamaan yang merupakan lembaga peradilan moral, yang berfungsi

24 Muhammad Salam Madkur, Peradilan dalam Islam, Alih Bahaasa Imron A.M. Cet. Keempat, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1993), hlm. 66.

25 Basiq Djalil, Ibid, hlm. 154.

11

Page 12: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

untuk menegakkan misi amar ma’ruf nahi munkar. Namun pada awalnya,

lembaga ini bertugas menjaga dan mengawasi kecurangan pedagang di pasar.26

Lembaga peradilan wilayat al- mazhalim dikendalikan oleh kepala negara

atau seseorang yang diserahi tugas yang dinamakan Qadhi (wali) mazhalim.

Sedangkan wilayat al-hisbah dikendalikan oleh seorang kepala yang dinamakan

muhtasib. Para wali mazhalim memutuskan persengketaan selain perkara yang

bersangkutan dengan hukum perdata seperti hutang piutang dan hukum pidana.

Sedangkan muhtasib memutuskan perkara-perkara yang bersangkutan langsung

dengan rakyat terkait hukum perdata dan pidana. Wilayat al-mazhalim yang

diketuai oleh wali mazhalim merupakan instansi/lembaga peradilan tertinggi. Pada

masa sekarang, kedudukan wilayat al-mazhalim dapat disamakan dengan

mahkamah tertinggi yang hanya menerima dan memutuskan perkara-perkara

orang besar seperti pejabat negara.27 Selain menyelesaikan perkara dan

menghukum penguasa atau pejabat negara yang sewenang-wenang memeras

(zalim) terhadap rakyat kecil, juga berwenang menampung pengaduan-pengaduan

tentang kejahatan yang dilakukan oleh pejabat. Karena itu, lembaga ini dikenal

juga dengan sebutan dewan pengaduan.28

Wilayat al-mazhalim yang dipimpin oleh kepala negara, wali atau

seseorang yang telah ditunjuk biasanya melakukan sidang perkara di dalam masjid

yang dihadiri oleh:29

a. Beberapa petugas dan pengawal Qadhi (hakim) yang dapat

memberikan nasihat kepada orang-orang yang bersangkutan.

b. Beberapa fuqaha yang akan diminta pendapatnya mengenai hukum

yang harus diberikan, dan

c. Para pencatat (panitera) serta beberapa orang yang sewaktu-waktu

dapat diminta menjadi saksi.

26 Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 74-75.27 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ibid, hlm. 18.28 Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 87.29 Ibid, hlm. 19.

12

Page 13: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Adapun khalifah yang pertama kali membuat perhatian dan

mengkhususkan wilayat al-mazhalim terpisah dari peradilan umum adalah

Khalifah Abdul Malik Bin Marwan. Sedangkan khalifah yang memberikan

perhatian lebih besar lagi terhadap wilayat ini adalah Khalifah Umar Bin Abdul

Aziz. Disamping memperhatikan wilayat al-mazhalim, Khalifah Umar Bin Abdul

Aziz juga membangun dan menghidupkan wilayat al-syurthah (lembaga

kepolisian) dan wilayah hukum operasionalnya (kompetensi relatif).30 Lembaga

al-syurthah yaitu institusi setingkat jabatan kepolisian yang bertugas untuk

menguatkan penegakan amar ma’ruf nahi munkar, mengatur lalu lintas,

menertibkan dan mengawasi bangunan. Di samping itu, bertugas pula dalam

mengurus jawatan kesehatan, mengatur perdagangan, membawa dan menyeret

para pelanggar hukum, para pemabuk dan orang-orang yang melakukan perbuatan

tidak senonoh ke pengadilan, serta mengeksekusi potong tangan bagi pencuri

yang tertangkap basah.31

Di beberapa pustaka menyebutkan bahwa lembaga peradilan sejak masa

al-Khulafa al-Rasyidin hingga Dinasti Bani Umayyah dikategorikan menjadi tiga

instansi. Adapun instansi dan lembaga selain yang telah disebutkan di atas adalah

al-qadhaa’ yang merupakan instansi yang berwenang dalam penyelesaian perkara-

perkara yang berhubungan dengan agama. Di samping itu, badan ini juga

mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.32

7. Hakim yang Terkenal pada Masa Dinasti Bani Umayyah33

1) Al-Qadhi Suraih

Nama lengkapnya adalah Suraih bin al-Harits al-Kindi, merupakan

hakim di daerah Kufah yang menjabat selama 75 tahun sejak masa

Khalifah Umar Bin Khattab. Beliau merupakan salah satu tabi’in besar dan

banyak meriwayatkan hadits dari sahabat. Beliau juga merupakan hakim 30 Su’ud Ibn Sa’ad dalam Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 75.31 Oyo Sunaryo, Ibid, hlm. 87.32 Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011),

hlm. 80.33 Ibid, hlm. 88-90.

13

Page 14: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

yang cerdas, berwibawa, dan dapat menyelesaikan perkara dengan cepat

dan tepat.

Suraih adalah hakim yang sangat berwibawa, karna beliau

menyamaratakan antara rakyat dan penguasa dalam sidang pengadilannya.

Sebagai contoh perilaku beliau ketika menjadi hakim, suatu hari Asy’ats

bin Qais datang menemui Suraih di pengadilan dan disambut dengan

ramah dan di persilahkan duduk disampingnya. Tidak lama kemdian

datanglah seorang laki-laki yang mengadukan tentang Asy’ats bin Qais.

Maka Suraih memerintahkan kepada Asy-ats bin Qais untuk berdiri

disampimganya dan duduk ditempat terdakwa, akan tetapi Asy’ats bin

Qais menolaknya dan mengatakan akan menjawab pertanyaan dari

samping tempat duduk Suraih saja. Lalu hakim menjawab: “ kamu berdiri

dari tempat ini dan duduk di tempat terdakwa atau saya perintahkan orang

lain menegakkanmu dan memaksamu pindah”. Mendengar hal ini Asy’ats

berdiri dan pindah ke tempat duduk terdakwa.

2) Al-Qadhi Asisabi

Nama lengkapnya adalah Amir bin Surah bin asy-Sya’bi. Beliau

merupakan seorang ulama tabi’in yang terkenal, lahir tahun 17 H. beliau

adalah seorang hakim di Kufah yang menggantikan Suraih. Beliau juga

banyak menerima hadits dari Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah dan Ibnu

Umar. Beliau juga sebagai ahli fikih dan termasuk guru tertua Imam Abu

Hanifah.

3) Al-Qadhi Ijas

Nama lengkapnya adalah Abu Wailah Ijas bin Muawiyah bin

Qurrah, merupakan Qadhi dari khalifah Bani Umayyah yang paling adil,

cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidup di masa pemerintahan

khalifah Umar bin Abdul Aziz.

4) Salim bin Ataz

Seorang Qadhi di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam

menyelesaikan perkara dan merupakan hakim pertama yang mencatatkan

putusan perkara (pada pembahasan sebelumnya disebut Sulaim bin ‘Atr).

14

Page 15: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Selain itu beliau juga menyusun yurisprudensi pada masa pemerintahan

Muawiyah.

Salah satu kasus yang pernah terjadi pada masa dinasti Umaiyah

adalah kasunya Ibnu Futhais. Kasus ini terjadi pada masa Al-Hakam bin

Hisyam. Seorang qadhi yang bernama Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi

mengukum Ibnu Futhais dengan tidak menghadirkan saksi. Ibnu futhais ketika

itu berpangkat wazir (menteri). Karena tidak sepakat dengan putusan tersebut

Ibnu Futhais naik banding atau mengajukan perkara ini kepada khalifah

dengan alasan bahwa dia telah di aniaya. Kemudian Al-Hakam mengirim surat

kepada Muhammad bin Basyir al Mu’arifi dengan menerangkan keberatan

keberatan Ibnu futhais, maka surat itu pun dibalas oleh Muhammad bin

Basyir al Mu’arifi dengan mengatakan :” Ibnu Futhais tidak mengetahui siapa-

siapa yang telah menjadi saksi atas dirinya, maka dia akan mencari saksi

tersebut dan tidak segan-segan menyakitinya”. Dari salah satu contoh kasus

tersebut dapat disimpilkan bahwa hakim mempuyai hak untuk berijtihad dan

mempunyai wewenang penuh dalam penerapan hukumnya.

Pada masa Dinasti Bani Umayyah inilah mulai dibentuk jabatan

sekretaris/panitera yang bertugas mencatat jalannya proses sidang berperkara.

Selain itu, pada masa Dinasti ini pula mulai dilakukan pembukuan putusan

oleh seorang hakim ternama di kota Mesir.

C. Penutup

1. Kesimpulan

Berakhirnya kekuasaan khalifah Ali bin Abi Thalib mengakibatkan

lahirnya kekuasan yang berpola dinasti atau kerajaan. Pola kepemimpinan

sebelumnya (khalifah Ali) yang masih menerapkan pola keteladanan Nabi

Muhammad, yaitu pemilihan khalifah dengan proses musyawarah akan terasa

berbeda ketika memasuki pola kepemimpinan dinasti-dinasti yang

berkembang sesudahnya.

Beberapa periode Kehakiman Islam antara lain pada masa:

15

Page 16: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

- Al-Khulafa Al-Rasyidin

- Bani Umayyah

- Bani Abbasiyah

Pada masa Bani Umayyah seorang Qadhi merupakan figur yang

berlaku adil dan mampu berijtihad sebagai sumber refrensinya adalah Al-

Qur’an, Hadits, dan Ijma’ Sahabat. Namun pada masa ini Hakim/Qadhi belum

terjalin keharmonisan dan belum terbina dengan baik. Terdapat tiga lembaga

peradilan, yakni wilayat al-mazhalim, wilayat al-hisbah dan al-qadhaa’ yang

memiliki kewenangan dan tugas masing-masing dalam penyelesaian suatu

perkara.

Al-qadhaa’ merupakan lembaga peradilan dimana qadhi

menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping

itu badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang-orang

cacat mental. Selanjutnya wilayat al-hisbah, yang memiliki kewenangan untuk

menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat mungkar serta menjadikan

kemaslahatan dalam masyarakat. Lembaga ketiga, wilayat al-mazhalim yang

merupakan lembaga tertinggi. Merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah

banding dari mahkamah di bawahnya. Lembaga ini juga mengadili para hakim

dan pembesar Negara yang berbuat salah.

Dan hal sangat penting sebagai catatannya bahwa setiap penyelenggara

peradilan bebas dari kepentingan penguasa dan pengaruh oleh kepentingan

politik. Lain halnya pada masa al-Khulafa Al-rasyidin seorang Khalifah yang

memegang langsung peradilan dan bertindak sebagai seorang Hakim. Dimana

Era umawiyyah adalah era bangkitnya patriarki di ranah pemerintahan. Islam

yang relatif berkembang luas ke luar ternyata tidak dibarengi dengan penataan

sistem intern yang baik. Pada tahap ini, pranata-pranata sosial yang sudah

terbangun tidak bisa semuanya terealisasikan, karena akan selalu ada konflik

yag mendera. Mungkin ini adalah sebuah contoh yang kurang baik dari

“sejarah Islam” dan tentunya bagi orang yang demi kepentingan tertentu

16

Page 17: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

mengatasnamakan nama “Islam” akan menggunakan justifikasi ini demi

tujuan dan cita-cita mereka Wallahu a’lam.

2. Saran

Berbeda lain halnya dengan masa Bani Umayyah yang hanya terlalu

sibuk pada urusan politik, kurang tertariknya pemerintah atau pemimpin pada

masa Bani Umayyah pada masalah hukum mempengaruhi perkembangan dan

kinerja lembaga peradilan, sehingga antara politik dan hukum harus diatur

dengan baik untuk kemajuan bangsa atau negara itu sendiri.

Sebagai pertimbangan hendaknya setiap periode pemerintahan disuatu

bangsa dan negara. Kepemimpinn harus menjujung tinggi suatu hukum.

Dengan demikian, ketika suatu hukum kita tegakkan dengan baik sebagai

pondasi kekuatan bangsa dan negara atau pemerintahan monarki sekalipun

akan membawa perdamaian, keadilan dan kemaslahatan

Daftar Pustaka

Anonim, <www.nu.or.id > diakses 20 Sepetember 2015.

Anonim, Kekhalifahan Umayyah, <https://id.wikipedia.org/kekhalifahan _umayyah>, diakses tanggal 22 September 2015.

Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi, Sedjarah Peradilan Islam, Cetakan Ketiga, Bulan Bintang, Jakarta, 1970.

Basiq Djalil, Peradilan Islam, Amzah, Jakarta, 2012.

Ibrahim, Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Pustaka Setia, Yogyakarta, 1989.

Koto, A., Sejarah Peradilan Islam, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011.

17

Page 18: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Madkur, M. S., Peradilan Dalam Islam, Alih Bahaasa Imron A.M. Cetakan Keempat, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1993.

Marshall G. S. H., Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia; Jilid Pertama: Masa Klasik Islam; Buku Pertama: Lahirnya Sebuah Tatanan Baru. Paramadina, Jakarta, 1999.

Mukhlas, Oyo S., Perkembangan Peradilan Islam: dari Kahin di Jazirah Arab ke Peradilan Agama di Indonesia, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011.

Munawwir, Ahmad W., Al-Munawwir (Kamus Arab-Indonesia), Cet. Petama Tahun 1996 M, Jakarta, hlm. 1215.

Musrifah, A. Tarikh al-Qadha’ fil Islam, Cetakan Kedua, Al-Syarq Al-Ausath, Jakarta, 1996.

Qadri, Anwar A., Justice In Historical Islam, Kitab Bhavan, Taj Offset Press Urdu Bazar, New Delhi, 1982.

Sapiah A.M., Kamus Istilah Fikih, Cet. Ketiga, PT Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994.

Ullah, Al-Haj Muhammed, The Administration Of Justice In Islam: An Introduction To The Muslim Conception Of The State, 3rd Edition, Kitab Bhavan, Lahoti Fine Art Press, New Delhi, 1990.

18

Page 19: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

CURRICULUM VITAE (CV)

I. Najib Ubaidillah

1. Nama : Najib Ubaidillah

2. TTL : Grobogan, 28 Agustus 1993

3. Alamat Asal : Dusun Krajan Rt 001/Rw 003/ Kec.

Wirosari, Kab Grobogan, Jawa Tengah

4. Alamat Sekarang : Krapyak, Sewon, Bantul

5. Email : [email protected]

6. Riwayat Pendidikan : 2000-2006 SD N Gedangan 1

2006-2009 MTs Miftahul Amal, Jiken, Blora

2009-20012 MA Miftahul Amal

2012-sekarang UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

7. Riwayat Organisasi : PIK Remaja Mifa El Fata Ponpes Miftahul Amal

IPNU Yogyakarta

8. Contact Person : 085727112407

9. Hobby : Membaca, Folly, Bernyanyi, Sholawatan

10. Motto : “Hina ketika mencari mulia ketika dicari”

II. Happy Nur Afni

Biodata Diri

Nama Lengkap Happy Nur Afni Roudhiyah

Tempat/Tgl. Lahir Klaten/24-03-1992

Kelamin Perempuan

Agama Islam

Status Kawin Belum Kawin

Gol. Darah A

Kebangsaan Indonesia

AlamatGatak Rejo Rt. 02 Rw. 11 Drono, Ngawen,

Klaten 57466

No. Hp 085729303224

19

Page 20: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

[email protected]

[email protected]

Riwayat Pendidikan

Nama Alamat Tahun

MI Ma’arif DronoDrono, Ngawen,

Klaten1998 - 2004

MTs Sunan PandanaranJakal Km12,5

Sleman, DIY2004 - 2007

MAN Insan CendekiaBSD, Tangerang,

Banten2007 - 2010

Universitas Gadjah Mada, Fak.

PertanianSleman, DIY 2010 - Sekarang

UIN Sunan Kalijaga, Fak.

Syariah dan HukumJogjakarta, DIY 2012 - Sekarang

Kemampuan Aplikasi Komputer : Microsoft Office (Word, Power Point, Excel,

Publisher), Corel Draw, Adobe Photosop, Movie Maker, Visual Fox Pro Dasar,

Visual Basic Dasar

Kemampuan Bahasa : Indonesia, Inggris, Arab (Pasif)

Keorganisasian

Organisasi Jabatan Tahun

Ikatan Mahasiswa Hama Dan

Penyakit Tumbuhan (IMHPT)

Kepala Divisi

Medkominfo2012 - 2013

PMIIKomsat Gadjah Mada Staff Media 2012 - 2013

PMII Rayon AgroKepala Departemen

Media2011 - 2012

Forum Komunikasi Remaja

Masjid (FKRM) Gatak RejoAnggota 2010 - Dst

Kepanitiaan dan Kegiatan yang Pernah Diikuti

Panitia TIPM (Training For Integrated Pest Management) Th 2012

Panitia LMPST (Leadhership Motivation And Public Speaking Training) Th 2012

Relawan Pengajar TPA Korban Merapi Th 2011

20

Page 21: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

Peserta Mapaba PMII Rayon Eksakta Th 2011

Panitia Mapaba PMIIRayon Agro Th 2012

Peserta PKD Komsat Gadjah Mada Th 2011

Panitia PKD Komsat Gadjah Mada Th 2012

Peserta Kajian PMII 2011-2012

Panitia Seminar Tani Th 2011

Panitia Rakornas HMPTI XIV(Himpunan Mahasiswa Perlindungan Tanaman

Indonesia) Th 2011

Panitia Mukernas ISMPI X (Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia) Th

2012

Panitia Seminar Nasional Agraria (UUPA untuk Siapa) Th 2012 di Fak. Pertanian

UGM

Panitia Grenation Th 2012

Peserta Lokakarya Latihan Kepenulisan Ilmiah Th 2012

Asisten Dosen dalam Proyek Pembiakan Massal Serangga (Insect Factory) Asian

Corn Borer Th 2013

Peserta Kegiatan Bersih-Bersih Pantai Goa Cemara Th 2012

Pengurus Admin Web IMHPT 2012, Pimred Buletin Proteksia 2012

Asisten Lapangan dalam Proyek “Yucoe Project 2012-2013” (Kerjasama

Indonesia-Vietnam-Sri Lanka)

Asisten Praktikum Dasar-Dasar Ilmu Hama Tanaman 2013/2014

Asisten Pendamping dalam Pelatihan Ditlin Hortikultura, Deptan 2014 di Faperta

UGM

Asisten Lapangan Pengamatan Serangga Pada Jagung Transgenik dan Non

Transgenik

Peserta Training ICT Uin Suka Yogyakarta Th 2013

Panitia Seminar Nasional Perhimpunan Fitopatologi Indonesia Komda Joglosemar

Th 2014 Di Fak. Pertanian UGM

Asisten Praktikum Entomologi Dasar Th 2014

21

Page 22: Peradilan Islam Pada Masa Dinasti Bani Umayyah Copy

22