PENYIMPANGAN SOSIAL PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK …
Transcript of PENYIMPANGAN SOSIAL PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK …
PENYIMPANGAN SOSIAL PENGGUNAAN BAHAN PELEDAK
(Studi kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Sainoa kabupatenMorowali)
SKIRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah
Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Program Studi
Pendidikan Sosiologi
Fakultas keguruan dan ilmu pendidikan
Universitas muhammadiyah makassar
Oleh
MUHLIS
10538266413
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2018
ABSTRAK
MUHLIS. Penyimpangan Sosial Penggunaan Bahan Peledak (Studi Kasus
Nelayan Suku Bajo Desa Sainoa Kabupaten Morowali)
(dibimbing olehHj. Roslaeny Babo dan Abd Azis Muslimin
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Menyimpang nelayan
terhadap kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak di Desa
Sainoa dan untuk mengetahui dampak perilaku nelayan terhadap ekosistem
terumbu karang di Desa Sainoa. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan
yang bersifat deskriptif kualitatif, karena penelitian ini menggambarkan keadaan
kompleks, dinamis dan penuh makna,selain itu penelitian bermaksud memahami
situasi sosial secara mendalam. Adapun teknik pengumpulan data dengan cara
menggunakan studi pustaka dengan observasi langsung dan wawancara untuk
fakta-fakta berdasarkan pengamatan peneliti serta dokumentasi berupa gambar
dan juga foto.Hasil penelitian menggambarkan bahwa perilaku menyimpang
(Studi kasus Nelayan Suku Bajo di Desa Sainoa kabupaten Morowali).
Perilaku menyimpang yaitu penggunaan bahan peledak yang dimaksud
adalah pengkapang ikan dengan menggunakan bahan peledak. Adapun dampak
perilaku nelayan terhadap ekosistem terumbu karang di Desa Sainoa adalah akibat
rendahnya tingkat pendidikan sehingga pengetahuan tentang kerusakan ekosistem
terumbu karang tidak dapat diketahui, penangkapan ikan dengan menggunkan
bahan peledak juga berdampak terhadap keselamatan nyawa pelaku sendiri, ikan
yang didapat tidak segar dan juga cepat busuk. Dengan melakukan penangkapan
ikan menggunakan bahan peledak dapat mempercepat banyaknya penghasilan
sehingga masyarakatpun tetap untuk melakukan pemboman.
vii
vi
MOTTO
Tetaplah bergerak maju meski lambat karena dalam keadaan tetap bergerak, anda
menciptakan kemajuan adalah jauh lebih baik bergerak maju sekalipun pelan dari pada
tidak bergerak sama sekali.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-
Nya, sehingga penulis dapat merampungkan Skripsi dengan judul: Penyimpangan
Social Penggunaan Bahan Peledak (Study Kasus Nelayan Suku Bajo Desa Sainoa
Kabupaten Morowali). Ini untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan studi
serta dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Strata Satu pada Program
Studi Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Penghargaan dan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada Ayahanda
tercinta Muhidin dan Ibunda yang kusayangi Muhaeni yang telah mencurahkan
segenap cinta dan kasih sayang serta perhatian moril maupun materil. Semoga Allah
SWT selalu melimpahkan Rahmat, Kesehatan, Karunia dan keberkahan di dunia dan
di akhirat atas budi baik yang telah diberikan kepada penulis.
Penghargaan dan terima kasih penulis berikan kepada Ibu Dra.Hj Roslaeny
Babo,M.Si selaku Pembimbing I dan kepada Dr.Abd. Aziz Muslimin, M.Pd selaku
Pembimbing II yang telah membantu penulisan skripsi ini.
Serta banyak ucapan terima kasih kepada Bapak Dr. H. Abd Rahman Rahim,
SE., MM. Selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar. Bapak Erwin
Akib,M.Pd selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas
Muhammadiyah, Bapak Dr. H. Nursalam,M.Si selaku Ketua Program Studi
Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar, serta Bapak Dr.
ix
Muhammad Akhir,M,Pd. Dan Seluruh teman-teman sosiolog khususnya sosiologi
kelas B, buat Kakanda saya (Muh.Ahyar,S.Pd.,M.Pd) yang selalu membantu di dalam
penyusunan skripsi dan juga ucapan terimakasih atas perhatiannya selama ini
terhadap penulis, Abdul Rahman Rahim dan Yasir terimakasih atas doanya.
Akhir kata penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh
dari kesempurnaan. Karena itu, penulis memohon saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi kesempurnaannya dan semoga bermanfaat bagi kita semua. Amiin
Makassar, Januari 2018
Peneliti
x
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN JUDUL ........................................................... iii
SURAT PERJANJIAN .................................................................................. iv
SURAT PERNYATAAN ............................................................................... v
MOTTO .......................................................................................................... vi
ABSTRAK ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ...................................................................... 9
D. Manfaat Penelitian .................................................................... 9
E. Defenisi Operasional ................................................................ 10
BAB II TINJAUAN PUSTA
A. Masyarakat Nelayan ................................................................. 11
B. Analisis Suku Bajo ................................................................... 15
C. Kepercayaan Dan Adat Istiadat Suku Bajo .............................. 17
D. Penggunaan Bahan Peledak ...................................................... 17
xi
E. Perilaku Menyimpang .............................................................. 19
F. Teori Perilaku Menyimpang ..................................................... 19
G. Karakteristik Perilaku Menyimpang ......................................... 21
H. Faktor Penyebap Perilaku Menyimpang .................................. 22
I. Kerangka Konsep ..................................................................... 24
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ......................................................................... 26
B. Waktudan Lokasi Penelitian ..................................................... 27
C. Informan Penelitian .................................................................. 27
D. Fokus Penelitian ....................................................................... 29
E. Instrumen Penelitian ................................................................. 29
F. Jenis dan Sumber Data Penelitian ............................................ 30
G. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 31
H. Analisis Data ............................................................................ 34
I. Teknik Keabsahan Data ............................................................ 34
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Letak Geografis ........................................................................ 37
1. Jumlah Penduduk ................................................................. 42
2. Laju Pertumbuhan penduduk ............................................... 44
3. Sistem Kemasyarakatan ....................................................... 44
4. Agama dan Kepercayaan Masyarakat.................................. 45
5. Tinggkat Pendidikan ............................................................ 45
xii
BAB V PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
A. Faktor Penggunaan Bahan Peledak............................................ 47
a. Faktor Ekonomi.................................................................... 54
b. Faktor Sosial......................................................................... 55
B. Dampak Penggunaan Bahan Peledak........................................ 55
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 61
B. Saran ......................................................................................... 62
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 63
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia (the largest
archipelagic country in the world) yang memiliki sekaligus dua bentuk geografis
dari suatu ciri negara, yaitu Negara kepulauan dan Negara daratan. Di samping
itu, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang memiliki jumlah
pulau terbanyak di dunia yakni sekitar 27.508 pulau. Kondisi geografis Indonesia
sebagai negara kepulauan, yang dua pertiga wilayahn adalah perairan laut yang
terdiri atas laut pesisir, laut lepas, teluk, dan selat, memiliki panjang pantai 95.282
km, dengan luas perairan 5,8 juta , kaya akan sumber daya laut dan ikan (H.
Supriadi dan Alimuddin, 2012:2).
Semakin luasnya wilayah laut Indonesia adalah imbas diberlakukannya
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai Hukum Laut tahun 1982
yang telah diratifikasi dengan Undang-undang dasar Nomor 27 Tahun 1982
tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea
(UNCLOS), menempatkan Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights)
untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Laut Lepas yang dilaksanakan
berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku. Hal ini sejalan
dengan jiwa Undang-undang dasar Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(UUD RI 1945) bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) memiliki
2
kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan
dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik
untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus
meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-
besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan
prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan
pembangunan perikanan nasional.
Terfokus di bidang perikanan, Indonesia memiliki potensi ikan yang
sangat melimpah. Ditambah pula, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut
pada tingkatan genetik, spesies, maupun ekosistem tertinggi di dunia. Tidak
dipungkiri bahwa fakta ini menjadi daya tarik bagi para nelayan, baik nelayan
lokal hingga nelayan asing. Untuk mendapatkan keuntungan dari potensi
perikinanan ini berbagai cara mereka lakukan, mulai dari metode penangkapan
yang aman dan ramah lingkungan hingga terkadang penggunaan cara-cara
berbahaya yang dapat merusak lingkungan.
Dengan kekayaan alam yang melimpah yang terdapat di laut, dasar laut
serta tanah di bawahnya menjadikan wilayah perairan Indonesia rawan dari
adanya eksploitasi dan eksplorasi illegal. Dan hal yang paling rawan di bidang
kelautan dan perikanan ini adalah terjadinya praktek penangkapan ikan secara
illegal (illegal fishing) oleh nelayan.
Penanganan illegal fishing bukan tidak mendapat perhatian dari
pemerintah, bukti keseriusan pemerintah dilihat dengan diundangkannya beberapa
regulasi sebagai dasar hukum terkati Illegal Fishing. Dasar hukum tersebut dapat
3
berupa Undang-undang dasar Dasar (UUD), Keputusan Presiden (Keppres),
Peraturan Menteri dan keputusan menteri, yakni antara lain UU No. 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Perikanan sebagaimana yang telah diubah melalui UU No. 45 Tahun 2009 tentang
Perubahan Atas UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Perikanan, UU No. 34 Tahun
2004 Tentang Tentara Nasional Indonesia, UU No. 32 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Keppres No. 39 Tahun 2009
tentang Penghapusan Jaring Trawl, dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Wilayah Pengelolaan
Perikanan Republik Indonesia, serta berbagai aturan terkait lainnya yang belum
penulis disebutkan.
Meskipun telah banyak regulasi yang mengatur, tidak menjadikan kasus
Illegal Fishing surut, tetap saja masih sering terjadi pelanggaran. Tak hanya kapal
asing, kapal ikan Indonesia pun kerap kali melakukan pelanggaran illegal fishing.
Dalam penelitian sebelumnya telah dijelasakan illegal fishing sebagai berikut :
Perilaku Menyimpang Ilegal Fishing oleh Risnawati ‘’Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui bagaimanakah perilaku nelayan terhadap kegiatan penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan peledak di Taka Bonerate Kabupaten Kepulauan
selayar dan untuk mengetahui dampak perilaku nelayan terhadap ekosistem
terumbu karang di Taka Bonerate Kabupaten Kepulauan selayar. Penelitian ini
merupakan penelitian lapangan yang bersifat deskriptif kualitatif, karena
penelitian ini menggambarkan keadaan kompleks, dinamis dan penuh makna,
selain itu penelitian bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam.
4
Adapun teknik pengumpulan data dengan cara menggunakan studi pustaka dengan
observasi langsung dan wawancara untuk fakta-fakta berdasarkan pengamatan
peneliti serta dokumentasi berupa gambar dan juga foto. Hasil penelitian
menggambarkan bahwa perilaku menyimpang (studi kasus illegal fishing di taka
bonerate kabupaten kepulauan selayar). Perilaku menyimpang yaitu illegal fishing
yang dimaksud adalah pengkapang ikan dengan menggunakan bahan peledak
bom, sianida dan pembiusan, dan adapun dampak perilaku nelayan terhadap
ekosistem terumbu karang di taka bonerate kabupaten kepualauan selayar adalah
akibat rendahnya tingkat pendidikan sehingga pengetahuan tentang kerusakan
ekosistem terumbu karangpun tidak dapat diketahui, penangkapan ikan dengan
menggunkan bahan peledak juga berdampak terhadap keselamatan nyawa pelaku
sendiri, ikan yang didapat tidak segar dan juga cepat busuk. Dengan melakukan
penangkapan ikan menggunakan bahan peledak dapat mempercepat banyaknya
penghasilan sehingga masyarakatpun tetap untuk melakukan pemboman.’’
Tinjauan Kriminologis Terhadap Penggunaan Bahan Peledak Dalam
Penangkapan Ikan (Studi Kasus Desa Sainoa kecamatan Bungku Selatan) oleh
Shaffly A. Shadiq Kawu. ’’Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan
memahami faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya tindak pidana penggunaan
bahan peledak dalam penangkapan ikan di Desa Sainoa kecamatan Bungku
Selatan untuk mengetahui sejauh mana upaya DIT Polair Polda Sulawesi Selatan
dalam menanggulangi tindak pidana penggunaan bahan peledak dalam
penangkapan ikan di Desa Sainoa kecamatan Bungku Selatan. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Sainoa kecamatan Bungku Selatan dan memilih instansi DIT
5
Polair Polda Sulawesi Selatan dan Pusat Informasi & Informasi Hukum
Laboratorium Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin.’’
Beberapa modus jenis kegiatan yang sering dilakukan Kapal Ikan
Indonesia antara lain: penangkapan ikan tanpa izin (Surat Izin Usaha Perikanan
(SIUP) dan Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) maupun Surat Izin Kapal
Pengangkutan Ikan (SIKPI)), memiliki izin tapi melanggar ketentuan sebagaimana
ditetapkan (pelanggaran daerah penangkapan ikan, pelanggaran alat tangkap,
pelanggaran ketaatan berpangkalan), pemalsuan atau manipulasi dokumen
(dokumen pengadaan, registrasi, dan perizinan kapal), transshipment di laut, tidak
mengaktifkan transmitter (khusus bagi kapal-kapal yang diwajibkan memasang
transmitter) dan penangkapan ikan yang merusak (destructive fishing) dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan,bahan
bangunan yang membahayakan sumberdaya ikan.
Terfokus pada penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di
perairan morowali, sudah tentu dapat mengancam kelestarian dari potensi sumber
daya yang ada. Potensi yang merupakan aset untuk dapat memberikan
kesejahteraan kepada masyarakat bisa rusak, dan mungkin tidak dapat pulih
kembali. Keberlanjutan dari sumberdaya ini juga mungkin tidak dapat dinikmati
oleh generasi selanjutnya atau setidaknya sulit untuk diperoleh di masa yang akan
datang. Bom yang digunakan dalam penangkapan ikan merupakan sebuah alat
yang dapat merusak (destruktif). Penggunaan bom dalam penangkapan ikan
menyebabkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan di laut, khususnya
ekosistem terumbu karang.
6
Di samping itu, dalam tindak pidana Illegal Fishing tidak hanya terjadi
tindak pidana pencurian ikan saja, melainkan juga terjadinya pencemaran laut dan
rusaknya terumbu karang. Hal ini terkait teknologi yang digunakan tidak ramah
lingkungan, berupa bahan peledak, zat kimia (bahan beracun), dan bahan
berbahaya lainnya (alat tangkap terlarang) yang akan berdampak pada kerusakan
dan kepunahan sumber daya ikan.
Terkhusus terumbu karang yang dikenal sebagai rumah bagi ikan ternyata
memiliki proses pertumbuhan yang sangat lambat. Berdasarkan pengukuran yang
dilakukan oleh Vaughn (1925 dalam Nybakken, 1998) diketahui bahwa spesies
Acropora yaitu genus Acropora foliaceous (seperti daun) dapat tumbuh dengan
diameter 5-10 cm dan tingginya 2-5 cm pertahun. Sedangkan spesis Montastrea
annularis, sebuah tipe kerang masif hanya tumbuh dengan diameter 0,5-2 cm dan
tinggi 0,25-0,75 cm per tahun (M. Ghufran H. Kordi K, 2010:18-19). Bayangkan
bila sebuah populasi terumbu karang hancur, maka dibutuhkan waktu bertahun-
tahun untuk menjadikannya produktif kembali.
Koordinasi bersama antar lembaga negara, utamanya Kepolisian dan
Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai ujung tombak di lapangan perlu
mendapat perhatian lebih, tak terkecuali lembaga-lembaga lainnya, termasuk pula
Lembaga non pemerintah seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan
masyarakat itu sendiri. Bahkan salah satu kendala utama dalam menegakkan
kedaulatan di wilayah perairan, yakni tidak adanya kesamaan persepsi terhadap
hukum oleh penegak hukum yang mengatur masalah perikanan dan kelautan. (H.
Supriadi dan Alimuddin, 2012: 458).
7
Hukum itu bukan tujuan, akan tetapi hanya merupakan jembatan atau alat
yang akan membawa kita kepada ide yang dicita-citakan dengan demikian, hukum
seyogyanya harus senantiasa mengacu pada cita-cita masyarakat bangsa. Hukum
harus dibangun untuk tujuan-tujuan mengakhiri suatu tatanan sosial yang tidak
adil dan menindas hak-hak asasi manusia. Sebagaimana diketahui bahwa
Indonesia merupakan negara kepulauan yang sebagian besar luas wilayahnya
terdiri dari perairan, sehingga dengan sendirinya mata pencaharian penduduk
adalah nelayan.
Oleh karena itu, dengan tujuan peningkatan taraf hidup, para nelayan tidak
jarang melakukan hal-hal yang dilarang yang bertentangan dengan hukum. Para
nelayan yang ada di Desa Sainoa Kabupaten Morowali masih sering melakukan
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, hal ini sangat berbahaya
bagi diri pelaku juga terhadap lingkungan dan habitat laut serta ekosistem yang
ada disekitarnya,bahkan dapat musnah. Sebagai negara yang memiliki perairan
yang luas, tentunya dibutuhkan jaminan hukum bagi keamanan dan kelestarian
ekosistem laut agar dapat memberikan manfaat berkelanjutan serta dapat menjaga
wibawa negara dan bangsa dari setiap ancaman baik dari dalam maupun dari luar
terhadap kedaulatan wilayah perairan, oleh karena itu kepastian hukum
merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan.
Undang-undang dasar Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan
Pembaruan atas Undang-undang dasar Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perikanan,
telah memberikan kepastian, hukum dan kejelasan bagi penegak hukum atas
tindak pidana dibidang perikanan. Dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas
8
penegakan hukum terhadap tindak pidana dibidang perikanan, telah diatur
mengenai pembentukan pengadilan perikanan dilingkungan peradilan umum.
Walaupun penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak adalah
suatu perbuatan terlarang yang bertentangan dengan peraturan hukum yang
berlaku, akan tetapi dalam kenyataannya di wilayah perairan Desa Sainoa
Kabupaten Morowali, masih sering terjadi penangkapan ikan secara illegal dengan
cara menggunakan bahan peledak oleh para nelayan. Terumbu karang di Desa
Sainoa Kabupaten Morowali yang dulunya indah kini sudah hancur akibat ulah
masyarakatnya sendiri, sehingga biota laut pun tidak punya tempat tinggal lagi
karena terumbu karangnya telah di hancurkan dan di rusak akibat penangkapan
ikan dengan menggunakan bahan peledak bom, sianida dan pembiusan.
Sebagaimana yang telah dipaparkan pada masalah di atas, dimana secara
umum masyarakat pesisir (nelayan) terutama yang diindikasikan sebagi pelaku
penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak tersebut merupakan suatu
perbuatan terlarang yang bertentangan dengan peraturan hukum yang berlaku dan
tidak mengetahui tentang pentingnya ekosistem terumbu karang terbatas.
Berdasarkan penelitian dirumuskan, jelas bahwa penggunaan bom ikan
adalah masalah kompleks dan serius. Oleh karena itu, harus segera ditemukan
penyelesaian permasalahanya, khususnya kecenderungan peningkatan tindak
pidana Illegal Fishing di perairan Kabupaten Morowali. Dengan merangkum
setiap pokok penting uraian tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul: “Penyimpangan Sosial Penggunaan Bahan Peledak
(Study kasus desa sainoa kecamatan bungku selatan morowali).
9
B. Rumusan Masalah
1. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi penggunaan bahan peledak pada
masyarakat suku bajo desa sainoa?
2. Bagaiman dampak dari penggunaan bahan peledak pada masyarakat suku
bajo desa sainoa?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penggunaan
bahan peledak pada masyarakat suku bajo desa sainoa.
2. Untuk mengetahui dampak dari penggunaan bahan peledak pada masyarakat
suku bajo desa sainoa.
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini di harapkan berdaya guna sebagai
berikut :
1. Secara teoritis
a. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan sumbangan terhadap
pengembangan ilmu pengetahuan,khususnya pemerintah kabupaten
morowali dalam menetukan arah kebijakan di bidang kelautan dan
perikanan.
b. Di harapakan dapat memperkaya kajian sosial khususnya dibidang
penyimpangan sosial ke masyarakat dan dampak penggunaan bahan
peledak itu sendiri.
10
2. Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai informasi dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan khusunya bagi masyarakat desa
sainoa dalam menggunakan alat tangkap ikan yang rama lingkungan.
E. Definisi Oprasional
Agar tidak terjadi salah penafsiran terhadap konsep-konsep yang di
gunakan dalam penelitian ini,maka penulis memberikan batasan pengertian
sebagai berikut :
1. Perilaku menyimpang adalah perilaku dari warga masyarakat yang dianggap
tidak sesuai dengan kebiasan,tata aturan dan norma social yang berlaku.
Yang dimana setiap perilaku atau tindakan yang di lakukan oleh masyarakat
harus di control agar tidak terjadi tumpah tindik dalam masyarakat itu
sendiri.
2. Penggunaan bahan peledak adalah sejenis bahan letupan yang digunakan
oleh segelitir nelayan yang tak bertanggung jawab. Bom ikan ini sangat
mudah dalam pembuatannya karena hanya menggunakan bahan kimia yang
dikenal dengan serbuk amoni nitrat dengan bahan botol kaca dan span.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Masyarakat Nelayan
Masyarakat nelayan merupakan kelompok masyarakat yang pekerjaanya
adalah menangkap ikan.Sebahagian hasil tangap tersebut dikonsumsi untuk
keperluan rumah tangga atau dijual sepenuhnya. Biasanya istri nelayan akan
mengambil peran dalam urusan jual beli ikan dan bertanggung jawab mengurus
domestic rumah tangga.
Bagi masyarakat nelayan, kebudayaan merupakan sistem gagasan atau
system kognitif yang berfungsi sebagai pedoman kehidupan. Referensi pola-pola
kelakuan sosial, serta sebagai sarana untuk menginterprestasi dan memaknai
berbagai peristiwa yang terjadi dilingkungannya.Setiap gagasan dan praktik
kebudayan harus bersifat fungsional dalam kehidupan masyarakat.Jika tidak,
kebudayan itu hilang dalam waktu yang tidak lama.Kebudayan haruslah
membantu kemampuan survival masyarakat atau penyesuaian diri individu
terhadap lingkungan hidupnya.Sebagimana suatu pedoman untuk bertindak bagi
warga masyarakat.Isi kebudaya adalah rumusan dari tujuan-tujuan dan cara-cara
yang digunakan untuk mencapai tujuan yang disepakati secara rasional.
Masyarakat nelayan adalah kelompok manusia yang tinggal dan hidup di
wilayah pesisir. Nelayan adalah mereka yang mata pencaharian pokoknya di
bidang penangkapan ikan dan penjual ikan yang didaerah pantai (R.Bintarto
1977:25).Untuk menangap ikan diperlukan alat yang memadai misalnya: perahu,
12
pancing, jalah atau jaring. Secara geografis masyarakat nelayan adalah yang hidup
,tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir. Yakni suatu awasan tramsisi antara
wilayah darat dan wilyah laut (Kusnadi 2009:27). Teori lain yang diungkapkan
oleh Pollnac, Richard (1988:25) yang mengatakan bahwa ada beberapa factor
yang mempengaruhi lingkungan wilayah pesisir yaitu: pertambahan penduduk,
kegiatan-kegiatan manusia, pencemaran, sedimentas, ketersedian air bersih dan
exploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya alam.
Lebih jauh,pengertian nelayan sebenarnya telah di definisikan dalam
pasal 1 angka 10 dan angka 11 Undang-undang Dasar Republik Indonesia nomor
45 tahun 2009 tentang perubahan atas undang-undang dasar nomor 31 tahun 2004
tentang perikanan yakni:nelayan adalah orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan. Nelayan kecil adalah orang yang atau yang mata
pencahariannya melakukan penangkan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari yang menggunakan kapal yang berukuran paling besar 5 (lima) gross
ton.
1. Penggolongan Nelayan
Berikut penggolongan nelayan menurut Undang-undang Dasar 1945 dan
beberapa literatur yaitu :
a. Dalam Undang-undang dasar republik Indonesia nomor 16 tahun 1945
tentang pembagian hasil perikanan yaitu nelayan penggerap dan nelayan
pemilik
13
b. Nelayan pemilik ialah orang atau badan hokum yang dengan hak apapun
berkuasa atas sesuatu kapal/perahu yang yang dipergunakan dalam usaha
penangkapan ikan dan alat-alat pengkapan ikan.
c. Nelayan penggarap adalah semua orang yang sebagian kesatuan dengan
menyediakan tenaganya turut serta dalam usaha pengkapan ikan dilaut.
Berdasarkan pemilikan alat tangkap, Supriadi (2011:7) membagi nelayan
kelam tinga kelompok :
a. Nelayan buruh adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik
orang lain.
b. Nelayan juragan adalah nelayan yang mempunyai alat tangkap ikan yang
dioperasikan oleh orang lain.
c. Nelayan perorangan adalah nelayan yang memilivi alat tangkap sendiri
dan dalam pengoprasiannya tidak melibatkan orang lain.
Pollnac (50-51) karateristik nelayan penangkap ikan di laut berdasarkan
usahanya juga dapat digolongkan ke dalam dua kelompok yaitu :
a. Nelayan berskala besar(large scale fisherman)Nelayan skala besar ditandai
oleh cirinya yang terorganisir menyerupai argo-industri,padat madol serta
pendapatan yang tinggi.
b. Nelayan skala kecil pada umunya ditemukan didaerah pedesaan. Nampak
khas karena kegiatannya tumpah tindik seperi pertanian,peternakan dan
lain-lain.
Terkait hal diatas Supriadi membagi nelayan dalam tiga kelompak
dengan berbagai macam latar belakang dan pekerjaan yang dilakukan sehingakita
14
dapat melihat nelayan dari tiga sudut pandang berbeda Sedangkan Pollnac
membagi nelayan dalam kapasitas melakukan pengkapan ikan atau pemilikan alat
tangkap ikan.
Ditinjau dari aspek kapasitas teknologi (alat tangkap dan
armada),orientasi pasar dan karakteristik hubungan produksi,maka nelayan
digolongkan dalam tiga bagian yaitu :
a. Petani-nelayan (peasant-fisher) nelayan yakni biasanya lebih berorientasi
pada pemenuhan kebutuhan sendiri (subsistence). Sebutan ini muncul
karena alokasi hasil tangkap yang dijual(khusus pangan) dan bukan di
investasikan kembali untuk pengembangan usaha.
b. Nelayan pasca-petani(post-peasent fisther) yakni nelayan yang bercirikan
penggunaan teknologi pengkapan ikan yang lebih maju seperti motor
tempel atau kapal motor. Kondisi peralatan yang memadai tersebut
membuat peluang nelayan dalam menangkap ikan lebih meningkat.
c. Nelayan komersial(commercial fisher)yakni nelayan yang telah berorintasi
ada peningkatan pendapatan. Ini ditandai dengan jumlah karyawan yang
digunukan dari berbagi status yang berbeda dan teknologi yang digunakan
dalam pengakapan ikan.
Berdasarkan deskripsi diatas maka nelayan sainoa berada pada aspek
pertama yaitu petani- nelayan (peasant-fisher). Para nelayan disainoa masih
mendominasimenggunakan alat tangkap ikan yang sederhana dan hasil
tangkapnya masih dalam kategori kurang dalam memenuhi kebutuhan sehari-
15
harinya sehingga tidak jarang nelayan melakukan usaha lain untuk menutupi nilai
ekonominya.
2. Analisis Suku Bajo
Istilah suku bajo atau orang bajo lebih dikenal di Indonesia bagian timur
yaitu: suatu kesatuan sosial atau kelompok yang dapat ditemukan dikepulauan dan
perairan laut sulawesi selatan (selat Makassar, teluk bone), sulawesi bagian utara
(kima bajo, pulau nian, torosiaje) sulawesi bagian tengah dan timur (teluk tomini,
kepulauan togean dan banggai). Suku bajo dikenal sebagai pelaut ulung yang
kehidupannya berada diatas lautbahkan perkampungan mereka dibagun men-
jorong kelaut bebas, tempat mereka mencari penghidupan dilaut bagi orang bajo
lauta adalah satu-satunya tempat yang dapat di andalkan.Orang bajo ini pun
menyebar kesegala penjuru wilayah nusantara semenjak abad ke-16 hingga abad
40-50 tahun silam diberbagai tempat, orang bajo banyak akhirnya menetap, baik
inisiatif sendiri atau dipaksa oleh pemerintah. Namun tempat tidak jauh dari
laut.mereka membangun pemukiman-pemukiman baru diberbagai penjuru
Indonesia.Di dalam kehidupan sehari hari-hari orang bajo menggunakan bahasa
sebagai alat komunikasi.
Pada Suku Bajo, dikenal empat kelompok masyarakat yang didasarkan
pada karakteristik mereka dalam kaitannya dengan aktifitas mereka di lautan.
Empat kelompok masyarakat ini dikenal dengan sebutan sebagai berikut;
1. Kelompok Lilibu
Yakni Suku Bajo yang biasanya mengarungi lautan hanya satu dua hari
untuk mencari ikan dan jarak melautnya pun tidak terlalu jauh.Setelah ikan
16
didapat, kelompok ini biasanya segera pulang untuk bertemu keluarganya. Perahu
yang digunakan oleh kelompok ini biasanya berukuran kecil yang bernama soppe
dan dikendalikan menggunakan dayung.
2. Kelompok Papongka
Yakni Suku Bajo yang bisa dikenali dengan aktifitas melautnya yang
hanya seminggu dua minggu saja untuk mencari ikan. Perahu yang digunakan
oleh kelompok ini hampir sama dengan kelompok Lilibu. Hanya saja, berbeda
dengan kelompok Lilibu, jarak tempuh mereka bisa lebih jauh dan keluar
pulau.Bila dirasa telah memperoleh hasil atau kehabisan air bersih, mereka
akanmenyinggahi pulau-pulau terdekat.Setelah menjual ikan-ikan tangkapan dan
mendapat air bersih, mereka pun kembali ke laut.
3. Kelompok Sakai
Yakni Suku Bajo yang memiliki kebiasaan mencari ikan yang wilayah
kerjanya jauh lebih luas.Bila kelompok Papongka hitungannya hanya keluar
pulau, maka kelompok Sakai hitungannya sudah antar pulau.Sehingga, waktu
yang dibutuhkan pun lebih lama.Mereka bisa berada di “tempat kerja”nya itu
selama sebulan atau dua bulan.Karena itu, perahu yang digunakan pun lebih besar
dan saat ini umumnya telah bermesin.
4. Kelompok Lame
Yakni Suku Bajo yang bisa dikategorikan nelayan-nelayan yang lebih
moderen.Mereka menggunakan perahu besar dengan awak yang besar dan mesin
bertenaga besar. Karena, mereka memang bakal mengarungi laut lepas hingga
menjangkau negara lain. Mereka bisa berada di laut hingga berbulan-bulan.
17
3. Kepercayaan Dan Adat Istiadat Suku Bajo
Meskipun Suku bajo beragama Islam, namun mereka masih hidup dalam
dimensi leluhur.Budaya mantera-mantera, sesajen serta kepercayaan roh jahat
masih mendominasi kehidupan mereka.Peran dukun masih sangat dominan untuk
menyembuhkan penyakit serta untuk menolak bala atau memberikan ilmu-
ilmu.Orang bajo sangat mempercayai setan yang berada di lingkungan
sekitarnya.Rumah dan dapur-dapur mereka.Mereka percaya pantangan-pantangan
dan larangan, seperti misalnya larangan meminta kepada tetangga seperti minyak
tanah,garam, air atau apapun setelah magrib. Mereka juga percaya dengan upacara
tebus jiwa.Melempar sesajen ayam ke laut.Artinya kehidupan pasangan itu telah
dipindahkan ke binatang sesaji.Ini misalnya dilakukan oleh pemuda yang ingin
menikahi perempuan yang lebih tinggi status sosialnya.Masyarakat Suku Bajo
menyebut rumah palemana atau rumah di atas perahu.Karena masyarakat Suku
Bajo bermukim dan mencari nafkah diatas laut.Karena itulah mereka mendapat
julukan sebagai manusia perahu.
4. Penggunaan Bahan Peledak
Awalnya penangkapan ikan dengan penggunaan bahan peledak
diperkenalkandi Indonesia pada masa perang dunia ke-dua. Penangkapan ikan
dengan cara ini sangat banyak digunakan,sehingga sering dianggap sebagai cara
penangkapan ikan tardisional. Penggunaan bom ikan pada mulanya menggunakan
bahan komersial, kemudian berkembang dan cenderung membuat bahan peledak
sendiri dengan menggunakan pupuk kimia.setiap bom beratny kurang lebih 1 kg
18
gram dan ledaanya membunuh ikan dalam radius 15-20 meter,terumbuk karang
seluas 500 m2 dan menciptakan lubang diterumbuk karang selebar 3-4 meter.
Bom ikan adalah sejenis bahan letupan yang digunakan oleh segelitir
nelayan yang tak bertanggung jawab bom ikan ini sangat mudah dalam
pembuatannya karena hanya menggunakan bahan kimia yang dikenal dengan
serbuk amoni nitrat dengan bahan botol kaca dan span. Penggunaan bom ikan
suatu cara mudah untuk mendapatkan ikan yang hidup terumbuk karang karena
untk mendapatkan ikan yang hidup diterumbuk karang sangatlah sukar. Batu
karang bukan saja menjadi habitat semata-mata tetapi juga menjadi tempat
perlindungan ikan-ikan dari tanggakapan nelayan yang menggunakan pukat.
Adapun dampak dari penggunaan bahan peledak sebagai berikut :
1. Dampak tehadap manusia
a. Bukan hanya ikan yang mati tetapi racun yang ditimbulkan itu bisa
menimbulkan berdampak pada manusia itu sendiri.
b. Penggunaan bom ikan sangatlah berbahaya karena sewaktu-waktu bom
akan meledak sehingga manusia itu sendiri yng menjadi korbannya.
c. Dunia internasioanl mulai mengecam dan mengacam akan memboikot
ekspor ikan dari negara yang masih menggunakan penangkapan ikan
yang tidak ramah lingkungan.
2. Dampak terhadap makhluk hidup di laut
a. Penggunaan bahan berbahaya dapat mengakibatkan rusaknya
lingkungan perairan dan juga bibit-bibit ikan yang masih kecil.
Sehingga akan punahnya jenis-jenis ikan tertentu didunia peikanan.
19
b. Rusaknya terumbuk karan. Menurut Supriharyono (2007) terumbuk
karang di Indonesia telah banyak yang rusak ,dari luas terumbuk karang
sekitar 50.000 km2 yang ada hanya tinggal 6,48% kondisinya masih
sangat baik, 22,53 % baik, 28,39% rusak dan 42,59 rusak berat.
5. Perilaku Menyimpang
Perilaku menyimpang adalah perilaku dari warga masyarakat yang
dianggap tidak sesuai dengan kebiasan,tata aturan dan norma social yang
berlaku. Hal ini diperkuat dengan teori Howard S.Bekcer (1932) menurutnya
penyimpangan adalah suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan atau sanksi
oleh orang lain kepada seorang pelanggar. Selanjutnya menurut Ruben D.Brent
(1984:19), mengemukakan bahwa behavior atau perilaku adalah serentetan
tindakan (action) dari individu atau kelompok masyarakat yang dimana tindakan
tersebut didasari oleh pengetahuan, sikap dan nilai yang dimiliki oleh individu
tersebut.
6. Teori Yang Berhubungan Dengan Perilaku Menyimpang
a. Teori anomie
Penyimpangan adalah akibat adanya ketegangan-ketegangan dalam suatu
struktur social sehingga adanya individu-individu yang mengalami tekanan dan
akhirnya menyimpang. Menurut teori bahwa struktur sosial bukan hanya
menghasilkan perilaku yang konformasi (sesuai dengan norma) melainkan juga
mengahasilkan pelanggaran terhadap aturan social dan juga menghasilkan
anomie yaitu pudarnya kaidah.
20
b. Teori sosialisasi atau asosiasi deferensial
Menurut Edwin H. Shutherland menyebutkan differential association
untuk menegindikasikan bahwa sebagian besar dari kita belajar untuk
menyimpang dari norma masyarakat melalui dari kelompok-kelompok dimana
kita bergaul. Menurutnya, penyimpangan adalah konsekuensi kemahiran dan
penguasaan atas suatu sikap atau tindakan yang dipelajari dari norma-norma
yang menyimpang,terutama dari subkultur atau dianatara teman-teman sebaya
yang menyimpang.
c. Teori control
Penyimpangan merupakan hasil dari kekosongan control atau pengendali
an social.Setiap manusia cenderung tidak patuh pada hukum atau memiliki
dorongan untuk melawan hokum.Teori ini menilai perilaku menyimpang
adalah konsekuensi logis dari kegagalan seseorang dalam menaati hukum.
Menurut Hirschi ada empat unsur untama control social internal: attachment
(kasih sayang); commitment (tanggung jawab); involmen (keterlibatan) dan
believe (kepercayaan).
d. Teori labelling
Teori tidak menjelaskan mengapa individu tertetu tertarik pada perilaku
menyimpang tetapi menekankan definisi social dan sangsi social negatif yang
dihubungkan dengan tekanan untuk masuk kedalam tindakan social yang
makin menyimpang.Menurut Howard S. Becker tindakan perilaku
menyimpang sesungguhnya tidak ada.Setiap tindakan sebenarnya bersifat
“netral” dan “relative”.Artinya, makna tindakan itu relatif tergantung pada
21
sudut pandang orang yang menilainya. Sebuah tindakan disebut perilaku
menyimpang karena orang lain atau masytarakat memaknai dan menamainya
(labeling) sebagai perilaku menyimpang. Jika orang masyarakat tidak
menyebut sebuah tindakan sebagai perilaku menyimpang, maka perilaku
menyimpang itu tidak ada.Penyebutan sebuah tindakan parilaku menyimpang
sangat bergantung pada proses deteksi, definisi, dan tanggapan seseorang
terhadap sebuah tindakan.
e. Teori Konflik
Menurut teori ini, perilaku menyimpang merupakan akibat dari
ketidaksamaan dalam masyarakat.Teori ini menekankan bahwa seseorang atau
perbuatan yang disebut perilaku menyimpang tergantung pada kekuasaan
relative dari kelompok masyarakat. Hal itu tampak dalam ketiga hal berikut:
Norma-norma khususnya norma hukum dari setiap masyarakat pada umumnya
menguntungkan mereka yang kaya dan berkuasa. Karl Marx mengatakan
bahwa hukum (bersama dengan lembaga sosial yang lain) cenderung
mendukung kepentingan kaum kaya. Senada dengan Marx, Richard Quinney
menyatakan bahwa keadilan kapitalis dilakukan oleh kelas kapitalis, untuk
melawan kelas buruh
7. Karakteristik Dari Perilaku Menyimpang
Adapun karakteristik dari tingkahlaku menyimpang itu dapat mudah
dilihat, diamati dan nampak secara lasung oleh orang lain. Tingkalaku
menyimpang pada individu juga memiliki karakter yang sangat khas dan
berbedabeda antara individu yang satu dengan yang lainnya.
22
Menurut J. Dwi Narwoko (2006), secara umum yang digolongkan
perilaku menyimpang adalah :
1. Tindakan yang noncomfrom yaitu perilaku yang tidak sesuai dengan
norma-norma yang ada.
2. Tindakan yang antisosial atau asocial yaitu tidakan yang melawan
kebiasaan masyarakat atau kepentingan umum.
3. Tindakan criminal yaitu tindakan yang nyata-nyatanya telah melanggar
aturan hukum tertulis dan mengacam jiwa keselamatan orang lain.
8. Faktor Penyebab Terjadinya Perilaku Menyimpang
Masalah penyebap terjadinya kejahatan merupakan masalah yang sangat
menarik, baik sebelum maupu sesudah kriminologi mengalami pertubuhan dan
perkembangan seperti saat ini. Adapun faktornya yaitu : faktor pertama yang
berasal atau terdapat dalam diri si pelaku yang maksudnya bahwa yang
mempengaruhi seseorang untuk melakukan sebuah kejahatan itu timbul dari
dalam diri sendiri yang didasari oleh faktor keturunan atau kejiwaan (penyakit
jiwa). Faktor yang kedua yaitu faktor yang berasal dari luar si pelaku. Maksudnya
faktor yang timbul akibat pengaruh lingkungan sekitarnya.
Adapun faktor-fakto penyebab perilaku menyimpang, antara lain :
1. Ketidaksanggupan menyerap norma-norma kebudayaan.
Seseorang yang tidak sanggup menyerap norma-norma kebudayaan ke
dalam kepribadiannya, ia tidak dapat membedakan hal yang pantas dan tidak
pantas. Keadaan itu terjadi akibat dari proses sosialisasi yang tidak sempurna,
misalnya karena seseorang tumbuh dalam keluarga yang retak (broken home).
23
Apabila kedua orang tuanya tidak bisa mendidik anaknya dengan sempurna maka
anak itu tidak akan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anggota keluarga.
2. Proses belajar yang menyimpang.
Seseorang yang melakukan tindakan menyimpang karena seringnya
membaca atau melihat tayangan tentang perilaku menyimpang. Hal itu merupakan
bentuk perilaku menyimpang yang disebabkan karena proses belajar yang
menyimpang. karier penjahat kelas kakap yang diawali dari kejahatan kecil-
kecilan yang terus meningkat dan makin berani/nekad merupakan bentuk proses
belajar menyimpang.
3. Ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial.
Terjadinya ketegangan antara kebudayaan dan struktur sosial dapat
mengakibatkan perilaku yang menyimpang. Hal itu terjadi jika dalam upaya
mencapai suatu tujuan seseorang tidak memperoleh peluang, sehingga ia
mengupayakan peluang itu sendiri, maka terjadilah perilaku menyimpang.
4. Ikatan sosial yang berlainan.
Setiap orang umumnya berhubungan dengan beberapa kelompok. Jika
pergaulan itu mempunyai pola-pola perilaku yang menyimpang, maka
kemungkinan ia juga akan mencontoh pola-pola perilaku menyimpang.
5. Akibat proses sosialisasi nilai-nilai sub-kebudayaan yang menyimpang.
Seringnya media massa menampilkan berita atau tayangan tentang tindak
kejahatan (perilaku menyimpang)Hal inilah yang dikatakan sebagai proses belajar
dari sub-kebudayaan yang menyimpang.
24
9. Kerangka Konsep
Untuk lebih memahami dalam memudahkan proses penelitian, kiranya
perlu diuraiakn mengenai kerangka penilaian. Penyimpangan sosial adalah
perilaku masyarakat yang tidak sesuai dengan norma, adat istiadat dan aturan-
aturan yang berlaku dimasyarakat. Secara teroritis perilaku menyimpang adalah
serentetan tindakan (action) dari individu atau kelompok masyarakat yang dimana
tindakan tersebut didasari oleh pengetahuan, sikap dan nilai yang dimiliki oleh
individu tersebut. Desa Sainoa salah satu pulau yang terdapat di Kabupaten
Morowali yang berada di bagian selatan.
Desa Sainoa juga terdapat beberapa bangunan seperti gedung sekolah,
mesjid dan gedung balaidesa.Masyarakat Desa Sainoa sebagian besar
masyarakatnya adalah nelayan. Tak jarang masyarakat nelayan dalam menangkap
ikan menggunakan cara-cara yang tidak ramah lingkuan dengan menggunakan
bahan peledak untuk mendapatkan hasil tangkapan yang melimpah. Dengan
beberapa faktor yang mempengaruhi nelayan sehingga menggunakan bahan
peledak, tanpa memikirkan akibat dari penggunaan bahan peledak tersebut.
25
Kerangka Konsep dampak penggunaan bahan peledak terhadap ekosistem
di laut
Gambar 2.1 :Kerangka Konseptual
Analisis nelayan
Ada yang menyimpang Ada tidak menyimpang
Faktor penggunaan bahan peledak Dampak penggunaan bahan peledak
1. Kerusakan lingkungan
2. Keselamatan nelayan
3. Kerusakan ekosistem dilaut
1. Factor ekonomi
2. pendidikan rendah
3. factor sosial
1. Nelayan pemacing
2. Penggunaan Pukat
26
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Dari penelitian yang berjudul “Penyimpangan Social dengan Penggunaan
Bahan Peledak pada Nelayan Suku Bajo Desa Sainoa Kabupaten Morowali
Sulawesi Tengah”penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif,menggunakan
pendekatan studi kasus.Hal ini disebabkan karena kualitatif lebih mendalam
mengenai permasalahan manusia sebagai instrument penelitian.Metode
wawancara, observasi dan dokumentasi, juga teknik-teknik analisisnya lebih
merupakan eksitensi dan perilaku manusia, seperti mendengarkan, melihat, bicara,
berinteraksi dan bertanya.
Menurut pendapat Mulyadi (2005: 09) metode penelitian kualitatif adalah
metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan
untuk meneliti pada kondisi objek yang alamiah, (sebagai lawannya adalah
eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, teknik
pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari
pada generalisasi.
Sasaran kajian dari pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang berlaku
sebagai prinsip-prinsip umum yang hidup dalam masyarakat.Gejala-gejala
tersebut dilihat dari satuan yang berdiri sendiri dalam kesatuan yang bulat dan
27
menyeluruh.Sehingga pendekatan kualitatif sering disebut sebagai pendekatan
holistic terhadap suatu gejala sosial.
Adapun lokasi penelitian ini yaitu di desa sainoa kabupaten morowali
Sulawesi tengah.
B. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 2 bulan dimulai pada bulan
november 2017 hinggaJanuari 2018. Dimana lokasi penelitian ini berada di desa
sainoa kabupaten morowali Sulawesi tengah . Pemilihan lokasi ini berdasarkan
pertimbangan bahwa lokasi tersebut daerah yang mudah di jangkau oleh peneliti
sehingga dapat mempermudah dalam proses penelitian.
C. Informan Penelitian
Informan penelitian ini adalah sebagian tokoh masyarakat, kepala desa dan
masyarakat setempat di desa sainoa kabupaten morowali Sulawesi tengah.
Penentuan informan penelitian ini di lakukan secara sengaja (purvosive sampling
atau judgmental sampling). Purvosive Sampling adalah teknik penentuan sampel
dengan pertimbangan tertentu, di mana peneliti cenderung memiliki responden
secara variatif berdasarkan (alasan), sehingga dalam penelitian ini menggunakan
maximum variation sampling.
Penelitian kualitatif tidak di masukkan untuk membuat generalisasi dari
hasil penelitian yang di lakukan sehingga subjek penelitian yang telah tercermin
dalam fokus penelitian di tentukan secara sengaja. Subjek penelitian ini
akanmenjadi informan yang akan memberikan berbagai macam informasi yang
28
diperlukan selama proses penelitian. Informan ini meliputi tiga macam yaitu
informan kunci (key informan), informan utama, informan tambahan.Informan
kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai informasi pokok
yang di perlukan dalam penelitian.Informan utama adalah mereka yang terlibat
secara langsung dalam interaksi sosial yang di teliti.Sedangkan informan
tambahan adalah mereka yang dapat memberikan informasi walaupun tidak
langsung terlibat dalam interaksi sosial yang di teliti.
Pemilihan informan dalam penelitian ini berdasarkan karakteristik yang
telah dipilih ditetapkan diteliti.
1. Masayarakat nelayan’ dalam hal ini ditentukan berdasarkan pelaku yang
aktif menggunakan bahan peledak.
2. Masyarakat setempat.
3. Instansi lain yang terkait, untuk lebih jelas dapat dilihat ditabel berikut .
Tabel 1.Daftar Informan pemilhan
No. Informan Peneliti Frekuensi/Banyaknya
1. Masyarakat nelayan 5 orang
2. Masyarakat setempat 3 orang
3. Intansi yang terkait 2orang
Jumlah 10 orang
Sumber : Profile Desa Sainoa Kabupaten Morowali
29
D. Fokus Penelitian
Sesuai dengan judul penelitian ini dilakukan yaitu’’penyimpangan Sosial
Penggunaan Bahan Peledak (Study Kasus pada Nelayan Suku Bajo Desa Sainoa
Kabupaten Morowali ).’’Jadi fokus penelitian ini merupakan permasalahan yang
akan dibahas dalam penelitian. Penelitian ini difokuskan pada nelayan dan
masyaraka setempat Desa Sainoa dengan melihat banyaknya masalah yang akan
diselesaikan. Adapun yang akan menjadi fokus penelitian adalah masyarakat
pengguna bahan peledak oleh nelayan Suku Bajo Desa Sainoa Kabupaten
Morowali.
E. Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data penelitian ini, maka di gunakan instrument
penelitian berupa pedoman wawancara, kamera, alat perekam dan peneliti sendiri.
1. Pedoman wawancara adala panduan dalam melakukan kegiatan wawancara
yang terstruktur dan telah ditetapkan oleh pewawancara dalam
mengumpulkan data data penelitian baik itu tugas akhir, skripsi dan lain
sebagainya
2. Kamera merupakan seperangkat perlengkapan yang memiliki fungsi untuk
mengabadikan suatu objek menjadi sebuah gambar yang merupakan hasil
proyeksi pada sistem lensa. Kamera di gunakan sebagai alat dokumentasi
peneliti pada saat melakukan observasi dan wawancara guna memperoleh
data yang relevan.
30
3. Alat perekam adalah suatu proses menyalin ulang suatu objek, apakah objek
berupa gambar suara atau apa saja, dengan menggunakan media atau alat
perekeman tertentu yang hasilnya dapat dismpan disuatu media
penyimpanan atau tidak. Alat perekam digunakan untuk merekam suara
informan pada saat melakukan wawancara atau interview dengan informan.
4. Peneliti sendiri disini maksudnya si peneliti terjung langsung melihat,
meneliti dan mengobservasi keadaan atau penyimpangan social dengan
penggunaan bahan peledak pada nelayan suku bajo di desa sainoa
kabupaten morowali Sulawesi tengah.
F. Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian adalah jenis data primer dan
sekunder.Data primer adalah data yang didapatkan dari hasil wawancara atau
observasi, sedangkan data sekunder adalah data yang didapatkan dari hasil telaah
buku referensi atau dokumentasi.Sumber data terdiri dari sumber informan kunci,
informan ahli dan informan biasa.
Data primer adalah data yang dikumpulkan sendiri oleh perorangan/suatu
organisasi secara langsung dari objek yang diteliti dan untuk kepentingan studi
yang bersangkutan yang dapat berupa interview, observasi. Sugiono (240: 2016).
Data sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan dan disatukan
oleh studi-studi sebelumnya atau yang diterbitkan oleh berbagai instansi
lainnya.Biasanya sumber tidak langsung berupa data atau dokumentasi dan arsip-
arsip resmi. Sugiono (240: 2016).
31
G. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan (Nasution dalam
Sugiono 2016:226).Para ilmuan hanya dapat bekerja berdasarkan data,
yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang diperoleh melalui
observasi.Data itu di kumpulkan dengan bantuan berbagai alat yang sangat
canggih, sehingga benda-benda yang sangat kecil (proton dan eletron)
maupun yang sangat jauh (benda ruang angkasa) dapat diobservasi dengan
jelas. Melalui observasi, peneliti belajar tentang perilaku, dan makna dari
perilaku tersebut (Marshall dalam Sugiono 2016:226)
2. Wawancara (Interview)
Wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi
dan ide melalui Tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna dalam
suatu topik tertentu (Esterberg dalam Sugiono 2016: 231).Wawancara
digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin
melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus
diteliti, tetapi juga apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan
untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, tetapi juga apabila
peneliti ingin mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam.
3. Dokumentasi
Sugiono (2016) menyatakan bahwa, dokumentasi merupakan catatan
peristiwa yang sudah berlalu.Dokumentasi bisa berbentuk tulisan, gambar,
atau karya-karya monumental dari seseorang.Dalam artian umum
32
dokumentasi merupakan sebuah pencarian, penyelidikan, pengumpulan,
pengawetan, penguasaan, pemakaian dan penyediaan dokumen.
Dokumentasi ini digunakan untuk mendapatkan keterangan dan
penerangan pengetahuan dan bukti.Dalam hal ini termasuk kegunaan dari
arsip perpustakaan dan kepustakaan. Dokumentasi juga biasanya
digunakan dalam sebuah laporan pertanggung jawaban.
4. Partisipatif
Metode ini dilakukan dengan cara mengamati secara langsung tentang
kondisi di lapangan, baik yang berupa keadaan fisik maupun perilaku yang
terjadi selama berlangsungnya penelitian. Dalam pengertian sempit berarti
pengamatan dan pencatatan secara sistematis terhadap fenomena yang
diselidiki.Menurut Darmiyati Zuchdi (1997: 7) pengamatan mempunyai
maksud bahwa pengumpulan data yang melibatkan interaksi sosial antara
peneliti dengan subyek penelitian maupun informan dalam suatu setting
selama pengumpulan data harus dilakukan secara sistematis tanpa
menampakkan diri sebagai peneliti.
Dengan cara seperti ini antara peneliti dan yang diteliti berinteraksi
secara timbal balik. Dalam hal ini peneliti memandang yang diteliti bukan
subyek atau obyek penelitian tetapi sebagai responden yang berkedudukan
sebagai teman sejawat atau kolega.Mereka beraktivitas, segala sesuatunya
tidak dapat ditentukan (undertermine), dan dapat bersama-sama
membangun data penelitian. Menurut Noeng Muhadjir (1996: 125) antara
peneliti dengan subyek penelitian kedudukannya menyatu tidak pilah
33
secara dikotomik. Agar diperoleh data penelitian yang lebih tepat, maka
setiap permasalahan yang berkaitan dengan hasil observasi selalu dicatat.
Sehingga dalam pengamatan ini peneliti menggunakan alat tulis sebagai
alat bantu dalam pelaksanaan pengamatan. Sedangkan dalam membuat
catatan di lapangan, akan dibedakan menjadi dua bagian yang meliputi
bagian deskriptif dan bagian reflektif. Bagian deskriptif mencatat rincian
kejadian-kejadian yang tidak bersifat evaluatif.Deskripsi ini meliputi
dimensi-dimensi misalnya fisik, aktifitas dan perilaku, pikiran serta
perasaan peneliti pada waktu pengamatan.Bagian reflektif dari hasil
catatan lapangan mencatat tentang kerangka pikir, ide, dan perhatian
peneliti yang berisi penambahan ide, hubungan antar data, metode, konflik
dan dilematik serta hal-hal yang sifatnya memperjelas bagian yang tidak
jelas.
Catatan lapangan dilakukan pada saat antara waktu selesainya
pengamatan dengan pengamatan berikutnya.Pencatatan antar waktu ini
dimaksudkan agar tidak terjadi kerancuan antara hasil pengamatan yang
satu dengan pengamatan yang berikutnya, serta untuk menghindari
masuknya konsep-konsep yang tidak berasal dari hasil pengamatan.
Perpaduan antara catatan-catatan singkat dengan hasil diskusi dalam
pengamatan yang sama, peneliti anggap sebagai hasil catatan lapangan
yang sudah sempurna.
34
H. Analisis Data
Analisi data merupakan suatu cara yang digunakan untuk menganalisis,
mempelajari serta mengelolah data tertentu. Sehingga dapat diambil
kesimpulan yang konkret tentang persoalan yang diteliti. Penelitian yang akan
dilakukan adalah tergolong tipe penelitian deskriptif kualitatif analisis.
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan
lain, sehingga dapat mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan
kepada orang lain (Bogdan dalam Sugiono 2016 : 244). Analisis data dilakukan
dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya kedalam unit-unit,
melakukan sintesa menyusun kedalam pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan yang diceritakan kepada orang
lain.
Dari semua data serta informasi yang telah penulis dapatkan dari hasil
penelitian tersebut akan dianalisasi kualitatif dengan memberikan gambaran
informasi yang jelas dan mendalam sebagai metode penelitian kerja sama
pemerintah dalam pembenahan wisata. Hasil dari gambaran informasi akan
diinterprestasikan sesuai dari hasil penelitianyang dilakukan.
I. Teknik Keabsahan Data
Uji keabsahan data dalam penelitian, sering hanya ditekankan pada uji
validasi dan realibitas. Dalam penelitian kualitatif, temuan atau data dapat
dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti
35
dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Tetapi perlu di
ketahui bahwa kebenaran realitas data menurut penelitian kualitatif tidak bersifat
tunggal, tetapi jamak dan tergantung pada kontruksi manusia, dibentuk dalam diri
seorang sebagai hasil proses mental tiap individu dengan berbagai latar
belakangnya. Oleh karena itu bila terdapat 10 peneliti dengan latar belakang yang
berbeda meneliti dengan objek yang sama, maka akan mendapatkan 10 penemuan,
yang semuanya di katakana valid, kalau apa yang ditemukan tidak berbeda dengan
kenyataan sesungguhnya yang terjadi pada objek yang diteliti. Peneliti yang
berlatar pendidikan akan menemukan data yang berbeda dengan peneliti yang
berlatar belakang Manajemen, Antropologi, Sosiologi, Kedokteran, Teknik, dan
sebagainya.
Triangulasi dalam pengujian kredibilitas ini diartikan sebagai pengecekan
data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan berbagai waktu. Dengan
demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi data, dan triangulasi waktu.
1. Triangulasi Sumber
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan
dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
Sebagai contoh, untuk menguji kredibilitas data tentang gaya
kepemimpinan seseorang, maka pengumpulan dan pengujian data yang
telah diperoleh dilakukan ke bawahan yang di pimpin, ke atasan yang
mengasi, dan teman kerja yang merupakan kelompok kerjasama. Data dari
ketiga sumber tersebut, tidak bisa dirata-ratakan seperti dalam penelitian
kuantitatif, tetapi dideskripsikan, dikategorisasikan, mana pandangan yang
36
sama, yang berbeda, dan mana spesifik dari tiga sumber data tersebut.
Data yang telah dianalisis oleh peneliti sehingga menghasilkan suatu
kesimpulan selanjutnya dimintakan kesepakatan (member check) dengan
tiga data tersebut.
2. Triangulasi Teknik
Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan
cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang
berbeda. misalnya data yang diperoleh dengan hasil wawancara, lalu dicek
dengan observasi, dokumentasi, atau kuesioner. Bila dengan tiga teknik
pengujian kredibilitas data tersebut, menghasilkan data yang berbeda-beda,
maka peneliti melakukan diskusi lebih lanjut kepada sumber data yang
bersangkutan atau yang lain, untuk memastikan data mana yang di anggap
benar atau mungkin semuanya benar, karena sudut pandangnya yang
berbeda-beda.
3. Triangulasi Waktu
Waktu juga sering mempengaruhi kredibilitas data. Data yang
dikumpulkan dengan teknik wawancara dipagi hari pada saat narasumber
masih segar, belum banyak masalah, akan memberikan data yang lebih
valid sehingga lebih kredibel. Untuk itu dalam rangka pengujian
kredibilitas data dapat dilakukan dengan cara melakukan pengecekan
dengan wawancara, observasi atau teknik lain dalam waktu atau situasi
yang berbeda. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka
dilakukan secara berulang-ulang sehingga sampai ditemukan kepastian.
37
37
BAB IV
A. Letak Geografis
Secara umum luas wilayah Kecamatan Bungku Selatan yaitu 403,90 km2
dan secara administrasi pemerintahan terdiri atas 26 wilayah Kelurahan/desa. Adapun
batas– batas kecamatan Alok adalah sebagai berikut:
1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Bungku Pessisir dan Perairan
Teluk Tolo
2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Menui Kepulauan dan Provinsi
Sulawesi Tenggara
3. Sebelah Timur berbatasan dengan Perairan Teluk Tolo
4. Sebelah Barat berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Tenggara
Kecamatan Bungku Selatan terdiri dari 26 Desa dengan luas wilayah
403,90 Km2.Adapun desa yang memiliki luas wilayah terbesar yaitu Desa Lamontoli
degan luas yaitu 118,70 Km2, , sedangkan yang paling kecil luas wilayahnya adalah
Desa Pulau Dua darat yaitu 1,80 Km2. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
dan Peta Kecamatan Bungku Selatan.
38
Gambar IV.I Peta Administrasi Kecamatan
Bungku Selatan
39
Gambar IV.II Luas Wilayah Kecamatan Bungku
Selatan Perkelurahan Tahun 2016
No Kelurahan Luas (Km2) Presentase (%)
1 Sainoa 6,22 1,53
2 Bungintende 2,60 0,64
3 Boelimau 9,27 2,28
4 Polewali 20,08 4,93
5 Pulau Dua 5,01 1,23
6 Panimbawang 19,48 4,78
7 Umbele 8,72 2,14
8 Jawi Jawi 13,86 3,40
9 Buton 7,91 1,94
10 Koburu 8,90 2,19
11 Bungingkela 12,87 3,16
12 Lokombulo 11,87 2,92
13 Paku 11,10 2,73
14 Bakala 19,79 4,86
15 Buajangka 13,89 3,41
16 Kaleroang 7,40 1,82
17 Waru Waru 8,72 2,14
18 Poo 5,87 1,44
40
24 Poaro 4,30 1,06
25 Umbele Lama 3,30 0,81
26 Pulau Dua Darat 1,80 0,44
Jumlah 403,90 100,00
Sumber : Kecamatan Bahodopi Dalam Angka 2016
Berdasarkan tabel luasan wilayah kecamatan Bungku Selatan perkelurahan
diatas menunjukan bahwa kelurahan yang plaing luas wilayahnya adalah Kelurahan
Lamontoli degan luas wilayah yaitu 118,70 Km2
dan luas wilayah kelurhan di
Kecamatan Bungku Selatan yang paling kecil adalah Kelurahan Pulau Dua Darat
dengan luas wilayah yaitu 1,80 Km2
a. Topografi
Salah satu aspek fisik dasar wilayah yang menjadi pertimbangan
penting dalam perencanaan maupun pengembangan wilayah adalah aspek
topografi/kemiringan lereng. Karena topografi sangat mempengaruhi bentuk
atau kondisi suatu wilayah juga sangat berpengaruh pada penetapan fungsi
19 Padabale 15,72 3,86
20 Pado Pado 13,83 3,40
21 Pulau Bapa 7,90 1,94
22 Lalemo 48,09 11,81
23 Lamontoli 118,70 29,15
41
kawasan geografis.Keadaan topografi dan kemiringan lereng Kecamatan
Bungku Selatan berada pada ketinggian <8 mdpl. Sehingga dapat digunakan
dalam menetapkan berbagai aktifitas kegiatan dan sebagainya.
b. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan di Kecamatan Bungku Selatan mengalami
perubahan setiap tahunnya, hal ini dipengaruhi oleh aktivitas dan
pertumbuhan penduduk.Pemanfaatan lahan di Kecamatan Bungku Selatan
terdiri dari permukiman, perkantoran , peribadatan, Pendidikan, hutan
mangrove dan pemakaman. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan
berikut
Tabel IV. III Jenis penggunaan lahan di Kecamatan Bungku
Selatan
No Peruntukan Luas (Ha)
1 Pemukiman
2 Pendidikan
3 Perkantoran
4 Perkebunan
5 Hutan Mangrove
6 Perdagangan
7 Pemakaman
Jumlah
42
1. Jumlah Penduduk
Kependudukan untuk kecamatan Bungku Selatan pada tahun 2016
mengalami perkembangan.Dalam hasil pendataan yang dilakukan oleh BPS
Kabupaten Morowali, Kecamatan Bungku Selatan pada tahun 2016 dihuni oleh
15.019 jiwa.Angka tersebut menunjukan bahwa adanya peningkatan kegiatan
pembangunan dikawasan di wilayah Kecamatan Bungku Selatan untuk memenuhi
keutuhan masyarakatnya.Secara umum untuk mengetahui demografi kependudukan
Kecamatan Bungku Selatan adalah sebagai berikut:
Proses dan perkembangan penduduk suatu daerah sangat ditentukan oleh
jumlah penduduk. Penduduk merupakan modal dasar bagi kesuksesan pembangunan,
karena itu perannya akan menentukan bagi perkembangan suatu wilayah ,baik skala
regional maupun nasional. Berikut adalah tabel jumlah penduduk kecamatan Bungku
Selatan.
Tabel IV.3Jumlah Penduduk Tiap KelurahanDi Kecamatan Bungku
Selatan Tahun 2016
No Desa Jumblah Penduduk
1 Sainoa 1.193
2 Bungintende 720
3 Boelimau 495
4 Polewali 419
5 Pulau Dua 942
6 Panimbawang 703
7 Umbele 487
43
No Desa Jumblah Penduduk
8 Jawi Jawi 446
9 Buton 912
10 Koburu 285
11 Bungingkela 648
12 Lokombulo 503
13 Paku 479
14 Bakala 981
15 Buajangka 415
16 Kaleroang 1.339
17 Waru Waru 667
18 Poo 394
19 Padabale 249
20 Pado Pado 489
21 Pulau Bapa 307
22 Lalemo 442
23 Lamontoli 567
24 Poaro 361
25 Umbele Lama 342
26 Pulau Dua Darat 114
Jumlah 15.019
Sumber :Kantor BPS kab.Morowali,tahun 2016
Jumlah penduduk terbanyak pada kecamatan Bungku Selatan adalah pada
Desa Kaleroang dengan jumlah penduduk sebannyak 1.339 jiwa dan jumlah
penduduk terendah terdapat pada Desa Puylau Dua Darat dengn jumlah penduduk
sebanyak 114 jiwa.
44
2. Laju Pertumbuhan Penduduk
Pertumbuhan penduduk Desa Pulau Dua Darat pada tahun 2013 sebesar 215
jiwa, dalam kurun lima tahun terakhir mengalami penurun sebesar 114 jiwa pada
tahun 2017 Lebih jelasnya tingkat pertumbuhan penduduk Desa Pulau Dua Darat
dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel IV.4 Laju Pertumbuhan Penduduk Di Desa
Pulau Dua Darat Tahun 20132016
No Tahun Jumlah Penduduk Penurunan
1.
2013
215
2.
2014
197
18
3.
2015
176
21
4.
2016
143
33
5.
2017
114
29
Sumber:Kantor CAPIL Kab.Morowali 201
3. Sistem Kemasyarakatan
Masyarakat Kecamatan Bungku Selatan didasarkan ikatan persaudaraan
yang ada dalam ruang lingkup wilayah yang diatur oleh system adat atau nilai-nilai
dan norma yang berlaku sebagai keharusan bagi masyarakat Kecamatan Bungku
Selatan.
45
4. Agama Dan Kepercayaan Masyarakat
Menurut data statistik pemerintah di Kecamatan Bungku
Selatanmenunjukkan bahwa mayoritas (100%) penduduk di Kecamatan Bungku
Selatanberagama Islam.Kesadaran masyarakat yang kuat akan pentingnya shalat lima
waktu, sifat religius itu terlihat dari keseharian masyarakat ketika waktu shalat tiba
banyak penduduk yang melaksanakan kewajiban sebagai umat Islam terutama
masyarakat yang tinggal di dekat masjid.
Namun pada hari jumat masyarakat Sainoatidak pernah meninggalkan Shalat
jumat walaupun tugas dan pekerjaan masih banyak, banyak dari penduduk libur
bekerja setiap hari jumat agar tidak ketinggalan melaksanakan Shalat jumat. Tak
jarang pula ada orang yang masih mempercayai agama animisme dan dinamisme. Hal
itu bisa terlihat ketika ada masyarakat yang melakukan sesembahan dan selamatan
yang masih dilakukan secara turun-temurun dan yang tidak boleh ditinggalkan karena
sudah dianggap sebagai tradisi masyarakat Sainoa tapi kepercayaan Animisme dan
Dinamisme sudah berkurang karena banyaknya orang-orang yang berpengetahuan di
Kecamatan Bungku Selatan.
5. Tingkat pendidikan
Keberadan fasilitas pendidikan disuatu wilayah merupakan salah satu
indikator tumbuh dan berkembangnya suatu wilayah. Berdasarkan dari hasil badan
pusat Statistik dimana jumlah fasilitas yang terdapat Desa Sainoaadalah jumlah
sekolah untuk taman kanak kanak adalah 0 unit, jumlah sekolah untuk sekolah dasar
46
adalah 1 unit, jumlah sekolah untuk lanjutan tingkat pertama adalah 1 unit dan jumlah
sekolah untuk sekolah menengah atas adalah 0 unit.
Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah banyaknya fasiloitas pendidikan di
Kecamatan Bungku Selatan dapat dilihat pada tabel di berikut:
TabelIV .4 Banyaknya Fasilitas Pendidikan
Di Desa Sainoa Tahun 2016
Sumber:Data Bps Kab Morowali 2016
No
Jenis fasilitas Jumlah
1.
TK
0
2.
SD
1
3.
SMP
1
4.
SMA
0
JUMLAH
1
47
BAB V
PEMBAHASAN
A. Faktor Yang Mempengaruhi Penggunaan Bahan Peledak
Pada era serba terbuka ini penyuluh perikana sebagai agen perubahan
harus paham betul tentang kegiatan-kegiatan pelaku utama yang menimbulkan
dampak terhadap kerusakan lingkungan perairan. Kegiatan penangkapan yang
dilakukan nelayan seperti menggunakan bahan peledak, bahan beracun dan
menggunakan alat tangkap trawl, bertentangan dengan kode etik penangkapan.
Kegiatan ini umumnya bersifat merugikan bagi sumberdaya perairan yang ada.
Destructive fishing merupakan kegiatan mall praktek dalam
penangkapan ikan atau pemanfaatan sumberdaya perikanan yang secara yuridis
menjadi pelanggaran hukum. Secara umum, maraknya destructive fishing
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu :
a. Rentang kendali dan luasnya wilayah pengawasan tidak seimbang dengan
kemampuan tenaga pengawas yang ada saat ini,
b. Terbatasnya sarana dan armada pengawasan di laut,
c. Lemahnya kemampuan SDM nelayan Indonesia dan banyaknya kalangan
pengusaha bermental pemburu rente ekonomi,
d. Masih lemahnya penegakan hukum,Lemahnya koordinasi dan komitmen
antar aparat penegak hokum.
Nelayan adalah kelompok masyarakat yang bermukim di kawasan pantai
umumnya menggantungkan sumber kehidupan dari sektor kelautan dan perikanan.
Dalam memanfaatkan sumberdaya kelautan dan perikanan sering kali terjadi
47
48
eksploitasi secara besar-besaran namun tidak mempertimbangkan aspek
kelestarian lingkungan. Persoalannya adalah cara-cara yang dilakukan selama ini
seringkali bertentangan dengan prinsip-prinsip tata laksana perikanan yang
bertanggungjawab (Code of Conduct for Responsible Fisheries - CCRF).
Konkritnya sebagai nelayan tradisional telah melakukan penangkapan ikan
dengan cara–cara Destructive Fishing salah satu bagain dari Illegal Fishing yaitu
kegiatan menangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat/nelayan dengan cara
merusak sumberdaya ikan dan ekosistemnya seperti pemboman ikan, penggunaan
racun sianida, pembiusan dan penggunaan alat tangkap ikan seperti trawl (pukat
harimau) serta mengeksploitasi habitat laut yang dilindungi.
Kegiatan ini semata-mata hanya akan memberikan dampak yang kurang
baik bagi ekosistem perairan, akan tetapi memberikan keuntungan yang besar bagi
nelayan. Penangkapan yang dilakukan oleh nelayan dengan menggunakan alat
tangkap yang bersifat merusak yang dilakukan oleh nelayan khususnya nelayan
tradisional. kegiatan penangkapan yang dilakukan semata-mata memberikan
keuntungan hanya untuk nelayan tersebut akan berdampak kerusakan untuk
ekosistem karang. Kegiatan yang umumnya dilakukan nelayan dalam melakukan
penangkapan dan termasuk kedalam kegiatan illegal fishing adalah penggunaan
alat tangkap yang dapat merusak ekosistem seperti kegiatan penangkapan dengan
pemboman, penangkapan dengan menggunakan racun serta penggunaan alat
tangkap trawl pada daerah yang memiliki karang.
Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak yang dilakukan
oleh nelayan di Desa Sainoa merupakan cara yang sering digunakan oleh nelayan
49
di dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan khususnya didalam melakukan
penangkapan ikan-ikan karang. Penangkapan ikan-ikan karang dengan
menggunakan bahan peledak dapat memberikan akibat yang kurang baik, baik
bagi ikan-ikan yang akan ditangkap maupun untuk karang yang terdapat pada
lokasi penangkapa.
Faktor penyebab terjadinya penangkapan ikan dengan menggunakan
bahan peledak di Desa Sainoa dari hasil penelitian menunjukkan bahwa.
a. Sikap mental dan kepribadian nelayan di Desa Sainoa lebih suka menangkap
ikan dalam waktu yang singkat,
b. Menggunakan sedikit tenaga dan biaya namun dapat menghasilkan ikan hasil
tangkapan dalam jumlah yang banyak, tanpa mengindahkan bahwa efek yang
dan bahaya yang ditimbulkan dari penggunaan bahan peledak untuk
menangkap ikan baik terhadap diri sendiri maupun ekosistem perairan.
c. Masih berkaitan etika dan kepribadian masyarakat nelayan di Provinsi
Sulawesi Tengah pada umumnya adalah masyarakat tradisional dan tingkat
pendidikan yang rendah serta tidak mengetahui atau memahami bahwa cara-
cara penangkapan ikan menggunakan bahan peledak beresiko berbahaya
terhadap diri nelayan sendiri juga berdampak rusak dan matinya biota laut yang
terkena efek han peledak tesebut.
Berikut hasil wawacara peneliti dengan Burhan, seorang nelayan di Desa
Sainoa :
Saya menggunakan bom ikan setiap kali turun melaut. Selain itu dengan
menggunakan bom ikan saya tidak membutuhkan energi yang terlalu
banyak untuk mendapatkan hasil tangkapan yang banyak...Wawacara 16
November 2017)
50
Hal yang hampir senada yang dikemukakan olen Asmar, seorang nelayan
di Desa Sainoa :
Saya selalu membawa bom ikan setiap kali turun melaut karena dengan
bom ikan hasil yang saya dapatkan lumayan banyak dari pada saya
gunakan pukat..(Wawacara 18 November 2017)
Wawacara kedua diatas, mendeskripsikan bahwa faktor-faktor yang men
yebabkan masyarakat nelayan di Desa Sainoa melakukan penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan peledak adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya kepedulian masyarakat akan lingkungannya terutama lingkungan
laut;
b. Kurangnya pengetahuan masyarakat nelayan akan dampak penggunaan bahan
peledak dalam melakukan penangkapan ikan;
c. Kurangnya sosialisa pemerintah setempat kepada nelayan tentang bahaya
penggunaan bom ikan.
Penggunaan bahan peledak seperti bom dapat memusnahkan biota dan
merusak lingkungan. Penggunaan bahan peledak dalam penangkapan ikan di
sekitar daerah terumbu karang menimbulkan efek samping yang sangat besar,
Selain rusaknya terumbu karang yang ada di sekitar lokasi peledakan juga dapat
menyebabkan kematian biota lain yang bukan merupakan sasaran penangkapan
Oleh sebab itu, penggunaan bahan peledak berpotensi menimbulkan kerusakan
yang luas terhadap ekosistem terumbu karang. Penangkapan ikan dengan cara
menggunakan bom mengakibatkan biota laut seperti karang menjadi patah,
terbelah, berserakan dan hancur menjadi pasir dan meninggalkan bekas lubang
pada terumbu karang.
51
Hal cukup mengejutkan peneliti yaitu ketika saya sedang binjang-binjang
dengan salah satu nelayan di rumahnya. Ketika itu nelayan tersebut sedang
merakit sebuah bom ikan yang akan di bawah turun melaut, pada saat bersamaan
datanglah seorang petugas Polairut yang bertugas di kawasan perairan Desa
Sainoa akan tetapi bapak tidak mengindahkan nelayan tersebut dalam merakit
bom bahkan bapak itu sendiri ikut menyaksikan nelayan merakit bomnya sampai
selesai.
Hal yang sangat ironis ketika pemerintah dengan gencarnya melawan
para pelaku Destructive fishing tetapi para pengawas dilapangan sangat
berbanding terbalik bahkan para petugas yang didaerah ikut menikmati hasil
tangkapan nelayan dengan cara-cara ilegal.
Perilaku nelayan di Desa Sainoa sendiri bermacam-macam dalam
aktifnya menangkap ikan seperti ada yang hanya memancing dalam menangkap
ikan, ada yang hanya menggunakan pukat, ada yang melakukan penangkapan ikan
dengan sistem rompong dan ada pulang yang hanya menjadi awak kapal.
Ditinjau dari perspektif sosiologi, bahwa kegiatan penangkapan ikan
dengan menggunakan bahan peledak bom ikan di Perairan Desa Sainoa
merupakan hal yang sudah ada dan dilakukan dari sejak lama yang akhirnya
menjadi suatu tradisi turun temurun yang diperoleh dari keluarga terdahulu.
Sebagaimana pendapat dari Max Weber (dikutip dalam Ritzer, 2005), bahwa
tradisi merupakan bagian dari tindakan sosial. Max Weber mengklasifikasikan
tindakan sosial kedalam 4 tipe yaitu traditional yaitu tindakan yang didasarkan
atas kebiasaan-kebiasaan yang telah mendarah daging.
52
Nelayan pelaku pengeboman ikan di Perairan Teluk Lampung
menganggap bahwa keahlian penangkapan ikan dengan menggunakan bom ikan
merupakan kegiatan yang dilakukan turun temurun. Kegiatan penangkapan ikan
dengan menggunakan bom ikan ini merupakan tradisi yang ilegal secara hukum.
Sesuai dengan konsep tradisi dalam ilmu sosiologi bahwa disisi lain tradisi juga
dapat berakibat disfungsional. Dalam hal ini, tradisi berakibat disfungsional
adalah bahwa tradisi mungkin dapat membahayakan karena kadar khususnya
karena tidak semua yang berasal dari masa lalu bernilai baik. Disamping itu juga
tradisi tersebut dipelihara bukan karena pilihan sadar tetapi karena kebiasaan
semata dan juga dipertahankan bukan karena dihargai atau dipuja tetapi dinilai
sebagai cara hidup yang tidak menyusahkan (Sztompka, 2004).
Dipertahankannya tradisi penggunaan bom ikan dalam penangkapan ikan
ini oleh nelayan di Lampung dikarenakan kondisi perekonomian mereka yang
tergolong masih dibawah. Mereka nelayan yang menggunakan bom ikan dalam
penangkapan ikan beranggapan akan lebih mudah memperoleh ikan di laut
dengan cara yang praktis serta mendapatkan hasil tangkapan yang banyak
walaupun tanpa mereka sadari sangat besar resiko dengan menggunakan bahan
peledak, selain itu merupakan kegiatan penangkapan yang ilegal melanggar
hukum. Sesuai dengan yang dikemukakan oleh Shils dalam Sztompka (2004)
bahwa tradisi yang dipelihara bukan karena pilihan sadar tetapi karena kebiasaan.
Tradisi tersebut dipertahankan bukan karena dihargai tetapi dinilai sebagai cara
hidup yang tidak menyusahkan.
53
Menurut Shils “Manusia tak mampu hidup tanpa tradisi meski mereka
sering merasa tak puas terhadap tradisi mereka” (Sztompka, 2004). Maka Shils
menegaskan bahwa suatu tradisi memiliki fungsi bagi masyarakat antara lain
sebagai: pertama, tradisi merupakan kebijakan turun temurun. Tempatnya di
dalam kesadaran, keyakinan norma dan nilai yang kita anut kini serta di dalam
benda yang diciptakan di masa lalu.
Pertama, kegiatan penangkapan dengan menggunakan bom ikan di
Perairan Teluk Lampung merupakan tindakan yang sudah dari dahulu dilakukan
oleh para nelayan pendahulunya namun tidak mengandung norma dan nilai yang
dapat dianut oleh generasi selanjutnya serta tidak dapat dikatakan sebagai suatu
kebijakan.
Kedua, tradisi memberikan legitimasi terhadap pandangan hidup,
keyakinan, pranata, dan aturan yang sudah ada. Semuanya ini memerlukan
pembenaran agar dapat mengikat anggotanya. Bisa dikatakan “selalu seperti itu”
atau orang yang selalu mempunyai keyakinan demikian” meski dengan resiko
yakni bahwa tindakan pengeboman ikan dalam hal ini di Perairan Desa Sainoaa
dalah hal di masa lalu yang sama untuk dilakukan di masa sekarang dan dapat
diterima.
Ketiga, tradisi menyediakan simbol identitas kolektif yang meyakinkan,
memperkuat loyalitas primordial terhadap bangsa, komunitas dan kelompok.
Dimana dalam fungsi ini, tradisi memiliki peranan untuk mengikat anggotanya
dalam bidang tertentu. Bila dikaitkan dengan fungsi ini, tindakan yang dilakukan
oleh nelayan di Perairan Desa Sainoa tidak mencerminkan simbol identitas
54
kolektif tetapi justru dapat memicu konflik keamanan seperti konflik antar
nelayan pengguna bom ikan dengan yang tidak.
Keempat, tradisi membantu menyediakan tempat pelarian, kekecewaan
dan ketidakpuasan kehidupan modern. Tradisi yang mengesankan masa lalu yang
lebih bahagia menyediakan sumber pengganti kebanggaan bila masyarakat berada
dalam krisis. Inilah yang menjadikan alasan nelayan dalam penggunaan bom ikan
dalam penangkapan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak demi
memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Namun, tindakan ini tidak dapat dijadikan
sebagai tempat pelarian dari keluhan, kekecewaan dan ketidakpuasan kehidupan
modern karena tindakan ini tidak menjamin kehidupan yang lebih baik di masa
depan. Tindakan penggunaan bom ikan dalam penangkapan merupakan tindakan
yang melanggar hukum bahkan ada sanksi serta hukuman penjara apabila
dilakukan.
Ada dua faktor yang mendasari terjadinya penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak
a. Faktor Ekonomi
untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dengan cara mudah, murah
dan cepat, untuk pemenuhan kebutuhan pokok tanpa memikirkan resiko rusaknya
sumber daya ikan di laut. Adanya peningkatan permintaan ikan di pasaran dimana
para nelayan harus mampu memenuhinya demi mendapatkan pendapatan harian
yang tidak menentu, kemudian adanya perakit dan ada pemasok bom sehingga ada
nelayan yang memilih cara-cara praktis tapi merusak lingkungan karena tidak
mampu membeli alat tangkap yang diperbolehkan.
55
b. Faktor Sosial
Penggunaan bom ikan di Sainoa mulai marak sejak era reformasi dan
terus berlangsung sampai sekarang. Sehingga kebiasaan penangkapan ikan dengan
menggunakan bom ikan ini bagi nelayan tertentu, sudah menjadi hal yang biasa
dilakukan dan bergantian dari generasi ke generasi di suatu keluarga nelayan.
Mental dan kepribadian nelayan yang terbentuk adalah lebih suka menangkap
ikan dalam waktu singkat dan mendapatkan hasil yang banyak. Mereka
menganggap bahwa populasi ikan masih banyak di lautan dan tidak akan habis,
sehingga perbuatan merusak ini terus selalu dilakukan oleh nelayan pelaku
pengeboman ikan tanpa memikirkan.
B. Dampak Penggunaan Bahan Peledak Pada Masyarakat Suku Bajo Desa
Sainoa.
Dampak dari penggunaan bom ikan yaitu rusak/hancurnya terumbu
karang, ekosistem perairan, dan habitat laut yang lain dan butuh waktu yang
cukup lama untuk dapat kembali keadaan semula. Kegiatan pemboman ikan dapat
berdampak pada kerusakan terumbu karang, terganggunya ekosistem Perairan dan
musnahnya biota laut lainnya yang mengancam kerusakan permanen sehingga
berpengaruh pada kelangsungan dan kegunaan serta kelestarian lingkungan
perairan/laut di masa yang akan datang.
Berikut wawacara dengan Ashar,salah satu Staf Pemerintah Desa
Sainoa:
Saya melihat para nelayan disini sudah mulai jauh keluar melaut pada
hal dulunya desa kami ini sangat kaya akan ekosistem laut, contohnya
kalau dulu saya keluar memancing hanya sekitar 20 meter dari bibir
56
pantai tapi sekarang kalau bukan 50-100 meter saya keluar melaut tidak
bisah mendapatkan ikan..(Wawacara 20 November)
Hal yang hampir senada yang dikemukakan olen Dani, seorang nelayan
pemacing di Desa Sainoa :
Waktu dulu..saya sering memancing hanya dikitaran bibir pantai atau
biasa diddakat dermaga(sambil menujuk kearah dermaga) sudah
mendapatkan ikan yang bisah saya makan dengan keluarga tetapi
sekarang itu sudah susah sekali kalau Cuma memancing disekitar bibir
pantai..(Wawacara 23 November)
Menangkap ikan dengan menggunakan bahan peledak yang dilakukan
oleh nelayan di Desa Sainoa secara perorangan atau kelompok. Nelayan yang
telah dimodali oleh punggawa yang telah mempersiapkan kebutuhan nelayan
dalam kegiatan penangkapan tersebut. Kehancuran terumbu karang akibat bom,
karang-karang pecah dan terbalik akibat penggunaan bom ikan. Sementara tanda
hitam pada karang merupakan indikasi sisa penggunaan potas atau racun kalium
sianida dari para penangkap ikan. Kerusakan terumbu karang di wilayah kawasan
Sainoa akan berdampak pada populasi ikan yang hidupnya bergantung pada
karang.
Kerusakan terumbu karang juga menyebabkan populasi dan variasi
spesies ikan di perairan Bungku Selatan berkurang. Sekarang nelayan harus pergi
lebih jauh ke tengah laut untuk mencari ikan. Mencari ikan juga sudah tidak
semudah dulu. Kebiasaan nelayan sangat suka menangkap ikan dengan
menggunakan bahan peledak supaya mendapat ikan yang banyak.
Padahal cara seperti itu sangat berbahaya bagi nelayan itu sendiri.
Pengeboman ikan pada mulanya menggunakan bahan peledak komersial
57
berkembang dan cenderung membuat bahan peledak sendiri dengan menggunakan
pupuk kimia, setiap bom beratnya kurang lebih 1 kg dan ledakannya membunuh
ikan dalam radius 15-20 meter, terumbu seluas 500 m2 dan menciptakan lubang
di terumbu dengan diameter 3-4 meter, dan pengebom mencari ikan yang hidup
berkelompok (ikan bibir tebal, kerapu, ekor kuning, kakap tua dan surgeon) yang
menjadi sasaran utamanya.
Disamping itu, produk membahayakan konsumen, kesehatan ikan yang
ditangkap dengan menggunakan bahan peledak tidak segar, ikan yang ditangkap
dengan menggunakan bahan peledak itu biasanya cepat busuk, sehingga sagat
mudah dibedakan antara ikan hasil tangkapan yang normal. Padahal cara seperti
itu sangat berbahaya bagi nelayan itu sendiri.
Bom ikan sebenarnya sangat berbahaya bagi kelangsungan hidup biota
laut. Ledakan yang dihasilkan dapat membunuh semua kehidupan yang ada di
dalam laut hingga radius ribuan meter. Efek terkejut yang ditimbulkan dari
getaran tersebut akan menghancurkan dan mematikan terumbu karang dan ikan-
ikan mulai dari telur hingga ikan dewasa.
Hal ini jelas sangat merugikan, terutama menyangkut hancurnya terumbu
karang Karena terumbu karang itu sendiri merupakan tempat ikan mencari makan
sekaligus rumah bagi ikan-ikan tersebut. Bila terumbu karang hancur ikan tidak
mempunyai tempat mencari makan dan rumah, otomatis ikan yang ada akan
hilang selamanya alias punah.
Berikut sedikit paparan kaitan antara terumbu karang dan proses
kehidupan kita di atas bumi ini. Terumbu karang adalah salah satu komponen
58
rantai makanan dalam siklus daur hidup hewan di air laut sekaligus tameng atau
benteng pertahanan daratan dari gempuran gelombang laut.
Secara umum terumbu karang tersebut diperlukan dalam segala aspek
sebagaimana yang di paparkan oleh Jacob J Herin dalam opininya (PK
19/08/2009) yaitu antara lain; sebagai penunjang berbagai macam kehidupan yang
dibutuhkan dalam produksi makanan, kesehatan dan berbagai aspek dari
kehidupan manusia dan juga dalam pembangunan yang berkelanjutan.
Teori Undercontrol atau Consensus adalah teori dalam mengkaji prilaku
menyimpang (pelanggaran) mendasarkan diri bahwa kita semua menyepakati isi
serta berlakunya kaidah-kaidah mayarakat termasuk norma-norma hukum, social,
moral dan lain-lain. Oleh karena itu merupakan kewajaran bila semua warga
masyarakat mematuhi aturan-aturan hukum tersebut. Konsekuensi dari kerangka
dasar kajian teori ini, yaitu "Kenapa ada seseorang yang bisa menolak aturan
sosial sementara hampir semuanya (masyarakat) menerima". Dalam kaitannya
teori netralisasi dengan perilaku nelayan yang melakukan kegiatan penangkapan
ikan dengan cara illegal yaitu orang-orang berperilaku menyimpang disebabkan
karena adanya kecenderungan dikalangan masyarakat bahkan pemerintah sendiri
seakan melegalkan yang sudah jelas illegal. Karena pemerintah juga dalam hal ini
pemerintah setempat ikut andil dalam kegiatan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak yang merasionalkan norma-norma yang di dalamnya
hukum yang berlaku.
Terumbu karang melindungi pantai dari hempasan ombak dan keganasan
badai, mencegah terjadinya erosi dan mendukung terbentuk pantai berpasir di
59
samping juga melindungi berbagai macam pelabuhan. Terumbu karang
merupakan sumber bahan baku untuk berbagai kegiatan manusia seperti antara
lain batu karang danpasir sebagai bahan bangunan, karang hitam (black corang)
sebagai bahan perhiasan dan juga karang atau moluska yang hidup di ekosistem
ini bisa dimanfaatkan sebagai bahan pengipas keindahan rumah. Ekosistem
terumbu karang menyumbangkan berbagai biota lalut seperti ikan karang,
moluska dan krustasea bagi berbagai kelompok masyarakat yang hidup disekitar
kawasan pesisir, dan bersama dengan ekosistem pantai lainnya menyediakan
makanan dan merupakan tempat berpijah bagi banyak jenis biota laut yang
berpotensi komersial. Ekosistem terumbu karang juga memegang peranan penting
terutama bagi perikanan tradisional berskala kecil, terutama bagi negara
kepulauan seperti Indonesia.
Berikut ini adalah dampak dari penangkapan ikan dengan menggunakan
bom
a. Banyak Ikan Mati Sia-Sia.
Akibat dari ledakan bom tersebut, insang ikan sobek atau pecah sama
sekali. Sebagian pingsan, sebagian lagi mati tercabik-cabik. Sebagian ikan
tersebut mengambang, sebagian lagi tenggelam ke dasar laut. Oleh para nelayan
itu, sebagian ikan ini diangkut dan sisanya dibiarkan membusuk begitu saja.
Banyak bangkai ikan yang akhirnya membusuk di pantai sekitarnya.
b. jumlah Ikan Berkurang Drastis
Penggunaan bom ikan dilarang di manapun di dunia, karena cara mencari
ikan yang merusak ini tidak berkelanjutan. Setelah suatu tempat digunakan bom
60
ikan, dan terumbu karang hancur, ikan-ikan tidak akan kembali lagi ke daerah itu.
Nelayan-nelayan ini tidak berpikir bahwa dengan menggunakan jalan pintas
mencari ikan seperti ini, generasi selanjutnya akan menuai kemiskinan. Nelayan-
nelayan yang tidak peduli itu akan berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain
yang belum pernah tersentuh bom ikan. Demikian seterusnya.
c. Hilangannya Pengahasilan Nelayan
Banyak wilayah dasar laut yang dulu menjadi tempat kunjungan wisata,
untuk kegiatan diving dan snorkeling, akhirnya kehilangan daya tariknya karena
terumbu karangnya rusak dan tidak ada lagi ikan-ikan yang indah. Nelayan
kehilangan nafkah karena tidak ada ikan, masyarakat yang lain tidak mendapat
penghasilan karena para wisatawan tidak lagi datang ke tempat itu.
61
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyimpang sosial adalah perilaku dari warga masyarakat yang dianggap
tidak sesuai dengan kebiasan, tata aturan dan norma social yang berlaku.
Faktor penyebab terjadinya penangkapan ikan dengan menggunakan bahan
peledak oleh nelayan di Desa Sainoa dapat dilihat dari beberapa sisi yaitu,
1. Karena kegiatan melakukan penangkapan ikan merupakan mata pencharaian
masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan pokok.
2. Karena sikap mental dan kepribadian nelayan di Desa Sainoa lebih suka
menangkap ikan dalam waktu yang singkat, menggunakan sedikit tenaga dan
biayaya namun dapat menghasilkan tangkapan dalam jumlah yang banyak,
tanpa mengindahkan bahwa efek yang dan bahaya yang ditimbulkan dari
penggunaan bahan peledak untuk menangkap ikan baik terhadap diri sendiri
maupun ekosistem perairan.
3. Masih berkaitan etika dan kepribadian masyarakat nelayan di Desa Sainoa
pada umumnya adalah masyarakat tradisional dan tingkat pendidikan yang
rendah serta tidak mengetahi dan memahami bahwa cara-cara penangkapan
ikan menggunakan bahan peledak disamping beresiko bahaya terhadap diri
62
nelayan sendiri juga berdampak rusak dan matinya biota laut yang terkena
efek bahan peledak tesebut.
4. Karena sanksi pidana akibat pelanggaran-pelanggaran penangkapan ikan
menggunakan bahan peledak itu cenderung ringan dan juga para aparat
penegak hukum (penyidik) merasa kesulitan menggunakan Undang-Undang
Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan dan lebih memilih menggunakan
ataumenerapkanUndang-UndangDaruratNomor 12 Tahun 1951.
B. Saran
Berdasarkan hambatan penegakan hukum yang diuraikan sebelumnya, maka
ada beberapa saran yang penulis sampaikan yaitu sebagai berikut:
1. Aparat penegak hukum untuk lebih aktif melakukan sosialisasi kepada
masyarakat tentang akibat dari penggunaan metode tangkapan menggunakan
bahan peledak atau bom ikan.
2. Disarankan kepada Aparat penegak hukum agar penjatuhan sanksi terhadap
pelaku tindak pidana illegal fishing bisa memberikan efek jera bagi pelaku.
3. Disarankan kepada Aparat penegak hukum agar dalam melakukan tindakan
penegakan hukum sebaiknya dilakukan upaya-upayas ebagai berikut:
a. Peningkatan sumber daya manusia.
b. Peningkatan sarana dan prasarana penunjang operasional
c. Peningkatan operasi pengamanan secara rutin, terpadu, terkoordinasi.
63
DAFTAR PUSTAKA
Aditama. Sudirman, Adi. (1982). Wawasan Nusantara. Jakarta: Surya Indah.
Asbar. 1994. Hubungan Tingkat Eksploitasi dengan Struktur Populasi dan
Produksi
(Penaeus monodon Fabricius) di Segara Anakan. Tesis.
Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Dwi Narwoko, J. 2006. Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta :
Kencana Media Group.
Harahap, Mustafa Djuang. (1983). Yurisdiksi Kriminal di Perairan Indonesia
yang Berkaitan Dengan Hukum Internasional. Bandung.
Hartono, M. Dimyati, 2009, Problematik Dan Solusi Amandemen
UndangUndang
Dasar 1945, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Howard becKer. 1932.System sosiologi. Newyork: john r. wiley and sons
JE. Sahetapy. 1992.Teori Kriminologi Suatu Pengantar. Bandung: Citra
AdityaBakti.
Jacobs,M.B.1967.The analytical toxicology of industrial inorganic poinsons.
Intersciense publisher, Now york
Kordi K, danGhufran MH. 2010. Pengelolaan Perikanan Indonesia: Catatan
Mengenai Potensi, Permasalahan, danProspeknya. Yogyakarta (ID):
PustakaBaru Press.
Merton, Robert K. 1968. Social theory and social structure. New yorK: thee free
press.
Pollnac, Richard. B. 1988. Karakteristik Sosial dan Budaya dalam Pengembangan
Perikanan Berskala Kecil. Dalam Michael, M. Carnea (ed),
Mengutamakan Manusia di dalam Pembangunan. Jakarta : UI – Press
R. Bintarto. 1977. Metode Analisa Geografi. Jakarta: LP3ES.
Ritzer, George.2016. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta:
Rajawali Pers
.
64
Ritzer,G. dan Douglas J. Goodman. 2005. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:
Prenada Media.
Ruben, D. Brent. 1984. Comunication and Human Behavior. Prentice Hall,Inc.
Satria, A. (2009). EkologiPolitikNelayan. Yogyakarta: LKiS.
Supriadi, H dan Alimuddin. 2011. Hukumperikanan Indonesia. Sinar Grafika:
Jakarta.
Supriharyono.2007. Konservasi Ekosistem Sumber daya Hayati di Wilayah
Pesisirdan Laut Tropis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sztompka, Piotr. Sosiologi Perubahan sosial . Jakarta: Prenada Media. 2004.
Wines, William A. (1992).Punishment and reformation: A Tentative Modeǁ .
Journal Of Business Ethics, Vol. 11.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004.
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009.
Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951
Sumber Lain
Kusnadi. 2009. Fish Catching Methods of The World, Diakses
melaluihttp://id.wikipedia.org/wiki/Nelayan pada 26 Maret 2013 pukul
02.00.
https://media.neliti.com/media/publications/60535-ID-perilaku-menyimpang-ilegal-
fishing
http://mukhtar-api.blogspot.com/2011/05/illegal-fishing-di-indonesia diakses pada
26 Maret 2013 pukul 11.20.
http://id.wikipedia.org/wiki/Nelayan diakses pada 26 Maret 2013 pukul 02.00.
http://harianjayapos.com/detail-1759-kasus-ilegal-fishing-dipertanyakan.html
diakses pada 1 April 2012 pukul 14.00.
http://www.antarajatim.com/lihat/berita/80401/dinkes-pamekasan-jangan-
konsumsi-ikan-dibom diakses pada 7 April 2012 pukul 12.25.
LAMPIRAN
Gambar 1.1 Perjalanan menuju lokasi penelitian
Gambar 1.2 Alat dan bahan
Gambar 1.3 Bom Sumbu
Gambar 1.4 Anak nelayan
Riwayat Hidup
Muhlis, lahir didesa sakita kecamatan bungku tengah
provensi sulawesi tengah, pada tanggal 07 desember 1994,
pada tahun 2001 menjenjang pendidikan sekolah dasar
negri desa sakita, pada tahun 2008 telah menyelesaikan
pendidikan. Pada tahun 2008 pula menlanjutkan pendidian ke tingkat Sekola
Mengah Pertama Negri 1 Marasaoleh, pada tahun 2011 telah menyelesaikan
pendidikan. Pada tahun 2011 melanjutkan sekolah ke tingkat Sekolah Mengah
Atas Negri 1 Mendui dan pada tahun 2013 telah menyelesaikan pendidikan.
Pada tahun 2013 menlanjutkan pendidikan keperguruan tinggi dimakassar
dan diterima di salah satu universitas yang terkenal di sulawesi selatan yaitu
Universitas Muhammadiyah Makassar pada tahun 2013 dan lulus pada
jurusan pendidian sosiologi dalam lingkup fakultas keguruaan dan ilmu
pendidikan.