Penyimpangan Praktek Mudharabah Bank Syariah
-
Upload
selly-seftianti-2338 -
Category
Documents
-
view
157 -
download
5
Transcript of Penyimpangan Praktek Mudharabah Bank Syariah
Penyimpangan Praktek Mudharabah Bank Syariah- Setali tiga uang dengan produk murabahahnya bank syari'ah yang mengandung transaksi terlarang, produk mudharabahnya juga mengalami hal yang sama.
Pada artikel sebelumnya, Amir Zaim Saidi pernah membahas tentang pengertian dan tata cara mudharabah/qirad dengan merujuk kepada kitab Al Muwatha karya Imam Malik, sebagai berikut:
Qirad adalah kontrak kerjasama pembiayaan dagang antara dua pihak: yang satu adalah pemilik modal dan yang
lain adalah pemilik tenaga yang akan bertindak sebagai Agen bagi pihak pertama.
Pihak kedua menerima modal dari pihak pertama sebagai pinjaman dan akan membagikan keuntungan yang
diperoleh dari usaha dagang yang menggunakan modal dari pihak pertama tersebut.
Kondisi-kondisi kontrak qirad adalah sbb:
1. Kontrak diawali dan diakhiri dalam bentuk tunai (Dinar Emas atau Dirham Perak), tidak dalam bentuk komoditas.
2. Keuntungan dari usaha, bila diperoleh, dibagi berdasarkan proporsi yang disepakati sejak awal dan dituangkan
dalam kontrak, misalnya 50:50 atau 45:55
3. Kerugian dagang, bila terjadi, sepenuhnya (100%) ditanggung oleh pemilik modal. Tetapi kerugian yang
ditimbulkan karena Agen/pelaku usaha menyimpang dari perjanjian, atau nilainya melebihi jumlah uang yang
diperjanjikan, menjadi tanggungan pihak Agen.
4. Kontrak tidak mensyaratkan suatu garansi apa pun dari pihak Agen kepada pemilik modal akan sukses atau
tidaknya usaha bersangkutan.
5. Kontrak tidak boleh mensyaratkan jaminan dari Agen atas aset-aset berharganya kepada pemilik modal.
6. Tidak ada pembatasan kontrak atas dasar waktu tertentu, melainkan berdasarkan suatu siklus usaha.
7. Keuntungan usaha tidak boleh digunakan oleh pihak Agen sampai semua milik pemodal telah dibayarkan.
Sekarang mari kita telaah hukum qirad tersebut di atas dengan praktek mudharabah perbankan syariah.
A. Kejelasan Status Kepemilikan Modal dan Status Agen/Mudharib
Dalam poin ini jelas dinyatakan bahwa status modal adalah mutlak milik pemilik modal/shohibul mal dan status agen
adalah orang yang mengelola modal/uang milik pemodal untuk usaha perdagangan . Namun hal ini tidak berlaku
pada sistem perbankan syariah. Bank syari'ah memiliki status ganda, yaitu sebagai pemodal dan juga sebagai agen
dalam satu waktu.
Bank berperan sebagai pelaku usaha, yaitu ketika pada pagi hari, bank berhubungan dengan nasabah (kreditur)
pemilik modal. Namun dalam sekejap status ini berubah, dimana pada siang harinya bank berperan sebagai
pemodal, yaitu jika bank berhadapan dengan pelaku usaha yang membutuhkan modal usaha. Status ganda yang
diperankan oleh bank ini membuktikan bahwa akad yang sebenarnya dijalankan selama ini adalah akad hutang
piutang dan bukan akad mudharabah.
Jika bank berkilah bahwa dana titipan nasabah berbentuk wadhiah yad dhamanah (barang titipan yang bisa
dipergunakan), dimana bank memiliki hak untuk menggunakannya, hal itu hanyalah akal-akalan hukum saja
(pemelintiran istilah dayn/qardmenjadi wadi'ah) agar bank memiliki legalitas mengelola titipan uang nasabah dan
selanjutnya dapat menjalankan skenario mudharabah sebagai pemilik modal. Perlu diketahui, bahwa hukum asal
barang titipan adalah mubah dengan ketentuan si penerima titipan wajib menjaga amanah barang yang dititipinya
dan tidak boleh menggunakan barang titipan tersebut baik seizin maupun tanpa izin pemilik barang. Apabila
ketentuan ini dilanggar, maka si penerima titipan telah berkhianat karena tidak dapat menjalankan amanah.
Celakanya, dana nasabah yang berupa titipan/wadi'ah itu digunakan oleh bank untuk disalurkan kepada pihak ketiga,
yaitu para pengusaha yang memerlukan modal usaha melalui skema mudharabah/bagi hasil, dimana bank bertindak
sebagai pemilik modal/shohibul maal sedangkan pengusaha sebagai agen/mudharib. Kerancuan hukum mulai
tampak pada skema mudharabah ini. Dana nasabah (wadi'ah) yang seharusnya dijaga dan tidak boleh
dipergunakan, namun bank mempergunakannya untuk kepentingan bisnis demi mencari keuntungan dengan
menyalurkan kembali kepada pihak ketiga. Dengan demikian, dalam pandangan Hukum Islam akad mudharabah
versi bank syari'ah ini tidak dibenarkan dan berubah akadnya menjadi akad qard/dayn (peminjaman/piutang) karena
bank memiliki hak kepemilikan utuh atas dana nasabah yang dititipkannya dan selanjutnya dana tersebut
dimanfaatkan untuk kepentingan kontrak bisnis yang mendatangkan keuntungan. Dalam kaidah fiqih disebutkan
bahwa setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/ keuntungan, maka itu adalah riba.
Status berikutnya, yaitu bank bertindak sebagai mudharib (agen) juga tidak bisa diterima. Alasannya adalah ketika
pemilik modal (nasabah) membuat kontrak mudharabah kepada pihak bank dengan cara menunjuk pihak bank
sebagai pihak kedua (mudharib) yang akan mengelola dana nasabah dalam pembiayaan suatu usaha, ternyata bank
melanggar kontrak tersebut. Hal ini terjadi karena bank tidak memilik usaha sektor riil yang akan mendatangkan
keuntungan usaha, melainkan hanya produk perbankan yang semuanya sebatas pembiayaan dan pendanaan.
Peran perbankan hanya penyalur dana nasabah dan tidak berperan sebagai pelaku usaha (mudharib) karena takut
menanggung resiko usaha serta ingin mendapatkan keuntungan saja. Dikarenakan bank tidak memiliki usaha riil,
maka lagi-lagi bank menyalurkan dana nasabah kepada pihak ketiga yang memerlukan modal usaha sebagaimana
skema mudaharabah dengan menggunakan dana titipan nasabah (wadi'ah).
M. Arifin bin Badri, MA., dalam bukunya Riba & Tinjauan Kritis Perbankan Syariah, (Pustaka Darul Ilmi, 2009), hal.
164, mengutip perkataan Imam An-Nawawi sebagai berikut:
"Tidak dibenarkan bagi pelaku usaha (mudharib) untuk menyalurkan modal yang ia terima kepada pihak
ketiga dengan akad mudharabah. Jika ia melakukan hal itu atas seizin pemodal, sehingga ia keluar dari akad
mudharabah pertama dan berubah statusnya menjadi perwakilan/mediator bagi pemodal pada akad
mudharabah kedua ini, maka itu dibenarkan. Akan tetapi ia tidak dibenarkan untuk mensyaratkan bagi dirinya
sedikitpun dari keuntungan yg diperoleh. Bila ia tetap mensyaratkan hal itu, maka akad mudharabah kedua
tidak syah/batal".
Dengan demikian maka jelaslah bahwa status bank syari'ah dalam kontrak mudharabah sesungguhnya hanyalah
perantara alias CALO dan bukan sebagai pemilik modal/shohibul maal ataupun pengusaha/mudharib. Jika bank
mengklaim sebagai pemilik modal, maka ia mendustakan kenyataan yang sebenarnya yaitu sebagian besar dana yg
dikelola adalah milik nasabah. Jika ia mengklaim sebagai pengusaha maka kenyataanya bank tidak memiliki usaha
sektor riil dan menyalurkan kembali modal nasabah kepada pengusaha lain. Inilah tipu muslihat mudharabah a la
bank islam yang jarang diketahui umat muslimin demi melegalkan serta melestarikan kapitalisme berbasis riba.
B. Bank Tidak Mau Menanggung Resiko Kerugian
Kondisi dalam kontrak mudharabah menyebutkan bahwa kerugian usaha ditanggung 100% oleh pemilik modal jika
agen tidak melakukan kelalaian yang mengakibatkan terjadinya kerugian dan juga kondisi kontrak yang tidak
membenarkan penyertaan jaminan asset/modal agen baik sebagian maupun keseluruhannya. (lihat penjelasan
kondisi-kondisi mudharabah #3 dan #5 sebelumnya).
Namun kondisi-kondisi tersebut tidak berlaku dalam praktek mudharabah bank syari'ah. Bank tidak mau
menanggung kerugian jika usaha mengalami kegagalan/kerugian. Jika terjadi kerugian usaha, niscaya bank akan
meminta kembali modal yang telah ia kucurkan dengan utuh. Misalnya seorang pengusaha A yang mendapatkan
kucuran modal dari bank syariah B untuk pembiayaan usaha penggilingan gabah dengan perjanjian bagi hasil 50% -
50%. Namun di tengah jalannya usaha, musibah terjadi pada A hingga mengalami kerugian usaha. Gudangnya
terbakar, atau dirampok atau kejadian force majeur lainnya, sehingga modal yang tersisa di tangan A tinggal 30%.
Dalam situasi seperti ini Bank Syari'ah B akan tetap meminta A agar mengembalikan modalnya secara utuh 100%.
Kasus semacam ini tentu saja bertentangan dengan syarat dan kondisi mudharabah, dimana kerugian ditanggung
100% oleh pemilik modal, yaitu Bank B, karena kerugian terjadi bukan disebabkan oleh kelalaian A yang melanggar
kontrak perjanjian tetapi oleh hal-hal di luar itu.
Untuk menghilangkan resiko kerugian sedini mungkin, sebelum kontrak perjanjian disepakati, bank meminta jaminan
asset/modal dari nasabah pelaku usaha yang selanjutnya akan dijadikan sebagai instrument pembayaran modal
pinjaman jika terjadi kerugian atau kegagalan usaha. Hal ini menjadi indikasi bahwa akad antara perbankan dengan
nasabah pelaku usaha bukanlah mudharabah, akan tetapi HUTANG PIUTANG yang berbunga alias RIBA.
Para ulama dari berbagai madzhab telah menegaskan bahwa pemilik modal tidak dibenarkan untuk mensyaratkan
agar pelaku usaha memberikan jaminan seluruh atau sebagian modalnya. Sehingga apa yang diterapkan pada
perbankan syari'ah, yaitu mewajibkan atas pelaku usaha untuk mengembalikan seluruh modal dengan utuh jika
terjadi kerugian usaha adalah persyaratan yang bathil/tidak benar. (lihat Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al Mughni).
Sangat jelas bagi kita bagaimana perbankan syariah menampakkan wajah aslinya dalam pelaksanaan praktek
mudharabah, yaitu sama persis dengan apa yang dilakukan oleh saudara kembar siamnya, Bank Konvensional !!!
Saya menukil statemen Prof Ahamed Kameel Mydin Meera, penulis buku Perampokan Bangsa-Bangsa (Mizan,
2010) berikut ini: "perbankan syariah dan perbankan konvensional itu bukan cuma bersaudara kembar, tetapi
adalah kembar siam!" Dan ternyata statement tersebut terbukti dalam praktek mudharabah bank syari'ah yang
meyimpang dari praktek muamalah syar'iah, dimana bank tidak mau menanggung kerugian usaha dan meminta
jaminan asset nasabah pelaku usaha. Praktek ini sama persis dengan apa yang dilakukan oleh saudara kembar
siamnya - bank konvensional, hanya berbeda dalam istilah, yang satu bernama mudharabah sementara
kembarannya bernama kredit usaha berbunga.
Jika demikian kondisinya, lantas DIMANA LETAK SYAR'INYA Bank Syari'ah? Bahkan ada bank syari'ah yang berani
beriklan tanpa takut akan akibatnya (azab dari Allah subhanahu wa ta'ala karena telah merubah-ubah hukum-Nya)
dengan mengusung jargon palsu "Pertama Murni Syariah"!!
Sebagai penutup saya menukil kisah yang dituturkan M. Arifin bin Badri dalam buku yang sama sebagai berikut:
Majalah MODAL edisi 36, tahun 2006, hal. 26 � 27 memuat kisah pemain 'Golf Syari'ah' berikut ini: "Ada sebagian
pemain golf yg biasanya berjudi ketika bermain golf, telah menamakan kebiasaan judinya dengan 'golf syari'ah'. Cara
yg mereka lakukan ialah dengan mengumpulkan uang judinya dengan sebutan Tabarru', bila dana yg telah terkumpul
habis, kembali mereka mengumpulkan lagi dengan sebutan Shadaqoh. Dan bila telah habis, mereka mengumpulkan
uang lagi dengan sebutan Infaq, dan demikian seterusnya. Pada akhir permainan, mereka mengecek siapa dari
mereka yang paling banyak kalah (paling apes). Jika ada dari mereka yang kehabisan uang atau menderita banyak
kekalahan , maka pemenang diwajibkan mengeluarkan zakat 2,5% kepada yang bersangkutan. Perilaku para pemain
'golf syari'ah' tersebut adalah haram, bahkan dosanya lebih besar dari pada pegolf judi lainnya. Karena selain
menanggung dosa judi, mereka juga menanggung dosa mempermainkan istilah-istilah syari'at yg tidak pada
tempatya. (kisah ini persis apa yang dimaksud perkataan Amir Zaim Saidi, yaitu dosa bank syari'ah 300% bahkan
lebih besar dari itu daripada dosa bank konvensional 100%. Karena selain dosa akan akad/transaksi yang
mengandung riba, ditambah dosa bank syari'ah yang telah mempermainkan istilah-istilah muamalat yang tidak pada
tempatnya serta penyimpangan hukum mu'amalah syar'i dalam prakteknya).
Perbuatan mereka itu tak ubahnya seperti yang dilakukan oleh kaum Yahudi tatkala diharamkan atas mereka untuk
memakan lemak. Mereka mengakali pengharaman itu dengan cara mecairkan lemak tersebut, lalu menjualnya dan
kemudian hasil penjualan lemak itulah yg mereka makan. Menanggapi perilaku keji kaum Yahudi ini, rosulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi, sesungguhnya tatkala Allah mengharamkan atas mereka untuk
memakan lemak binatang, merekapun mencairkannya, kemudian menjualnya, dan akhirnya mereka memakan hasil
penjualan itu". (HR. Bukhari dan Muslim).
Hasbunallahu wa ni'mal wakil... Masyaallah La Quwwata illa Billahi...
Rahmat Affandi - Pegawai Pusdiklat Kementerian Agama, al-Wakil Wakala Radya