Penyimpangan Ideologi Pancasila Dalam Konteks Permasalahan Pendidikan Nasional

15
PENYIMPANGAN IDEOLOGI PANCASILA DALAM KONTEKS PERMASALAHAN PENDIDIKAN NASIONAL Disusun oleh: Nama : Wahyu Marliyani NIM : 13312241005 Kelas : IPA A 2013 e-mail : [email protected] No.HP : 087738151573 A. ABSTRAK Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat kompleks yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan masalah perubahan sosial sebagai lingkungan pendidikan. Sedangkan menyangkut permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi), profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia sesuai cita-cita dan nilai sosial masyarakat di negara yang bersangkutan, yang tergambar dari falsafah pendidikan. Falsafah pendidikan memberi petunjuk cara berbuat dan bertingkah laku yang baik dalam masyarakat, dan menjadi guiding principle atau petunjuk dalam proses operasional untuk mencapai cita-cita tersebut. Melalui falsafah pendidikan tersebut, ditentukan tujuan pendidikan nasional, yang selanjutnya mendasari tujuan institusional, tujuan kurikulum, dan tujuan instruksional. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia harus didasari pada falsafah dan pandangan hidup bangsa seperti yang terkandung dalam Pancasila. Kata kunci : Pendidikan Nasional, permasalahan pendidikan, pancasila B. PENDAHULUAN Reformasi di Indonesia telah banyak melahirkan perubahan-perubahan yang signifikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan dalam dunia pendidikan. Masyarakat meyakini bahwa perubahan yang terjadi membawa nilai- nilai sebagai upaya untuk membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik. Ketika reformasi berjalan begitu cepat, paradigma masyarakat juga begitu cepat meyakini nilai-nilai baru yang berkembang ditengah masyarakat sebagai pengganti

Transcript of Penyimpangan Ideologi Pancasila Dalam Konteks Permasalahan Pendidikan Nasional

  • PENYIMPANGAN IDEOLOGI PANCASILA DALAM

    KONTEKS PERMASALAHAN PENDIDIKAN NASIONAL

    Disusun oleh:

    Nama : Wahyu Marliyani

    NIM : 13312241005

    Kelas : IPA A 2013

    e-mail : [email protected]

    No.HP : 087738151573

    A. ABSTRAK

    Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat

    kompleks yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal

    dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan

    masalah perubahan sosial sebagai lingkungan pendidikan. Sedangkan menyangkut

    permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi),

    profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.

    Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia

    sesuai cita-cita dan nilai sosial masyarakat di negara yang bersangkutan, yang

    tergambar dari falsafah pendidikan. Falsafah pendidikan memberi petunjuk cara

    berbuat dan bertingkah laku yang baik dalam masyarakat, dan menjadi guiding

    principle atau petunjuk dalam proses operasional untuk mencapai cita-cita

    tersebut. Melalui falsafah pendidikan tersebut, ditentukan tujuan pendidikan

    nasional, yang selanjutnya mendasari tujuan institusional, tujuan kurikulum, dan

    tujuan instruksional. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia harus didasari

    pada falsafah dan pandangan hidup bangsa seperti yang terkandung dalam

    Pancasila.

    Kata kunci : Pendidikan Nasional, permasalahan pendidikan, pancasila

    B. PENDAHULUAN

    Reformasi di Indonesia telah banyak melahirkan perubahan-perubahan

    yang signifikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan dalam dunia

    pendidikan. Masyarakat meyakini bahwa perubahan yang terjadi membawa nilai-

    nilai sebagai upaya untuk membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.

    Ketika reformasi berjalan begitu cepat, paradigma masyarakat juga begitu cepat

    meyakini nilai-nilai baru yang berkembang ditengah masyarakat sebagai pengganti

  • nilai-nilai lama. Namun tidak ada upaya pertimbangan yang obyektif apakah nilai-

    nilai lama tersebut dianggap usang dan perlu dihilangkan. Sementara nilai-nilai

    baru tersebut juga tidak ada yang mampu sebagai pertimbangan nilai-nilai yang

    mesti dipegang.

    Salah satu perubahan nilai yang signifikan adalah kasus radikalisme dan

    pemahaman ideologi masyarakat yang tidak lagi menempatkan Pancasila sebagai

    dasar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak lagi dikatakan

    sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia,

    melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan penguasa.

    Dewasa ini, terdapat banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai kalangan

    terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir

    semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan

    sangat bergantung pada kontribusi pendidikan. Pendidikanlah yang dapat

    memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok (Shane, 1984: 39).

    Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 (UU

    No. 20/2003), menjelaskan secara umum tentang sistem pendidikan Nasional yang

    antara lain menyatakan bahwa manusia membutuhkan pendidikan dalam

    kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan

    potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan

    diakui oleh masyarakat.

    Dengan demikian, pada prinsipnya pendidikan merupakan etika masa

    depan. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak

    manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan

    makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak, etika

    masa depan menuntut manusia untuk tidak meninggalkan tanggung jawab atas

    konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu,

    dipihak lain manusia dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-

    nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar

    generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak

    terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 199).

  • Berdasarkan konteks etika masa depan tersebut, maka visi pendidikan

    seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari

    masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari

    kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini

    mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya,

    pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan.

    Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan

    selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan. Oleh

    karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru

    perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan

    memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya.

    Radikalisme dan penyimpangan ideologi oleh sebagian orang, khususnya

    dalam pendidikan, baik guru maupun siswa, sebagai wujud keprihatinan akan tidak

    diamalkannya Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun radikalisme

    sebagai bentuk ekspresi untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat yang dinilai

    sudah tidak ideal, namun justru radikalisme menyimpang dari sila-sila pancasila.

    C. PEMBAHASAN

    1. Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini

    Dewasa ini, permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia sesungguhnya

    sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-

    dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan

    meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global.

    Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena merupakan trend

    abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sektor kehidupan, termasuk

    pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan sosial adalah masalah

    klasik bagi pendidikan, dalam arti selalu hadir sebagai permasalahan eksternal

    pendidikan, maka perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan

    tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil

    mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan

    dalam konteks pendidikan Nasional (Daoed Joefoef, 2001: 201).

  • a. Permasalahan Globalisasi

    Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam

    kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti

    terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003:

    182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti

    terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh,

    globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang

    pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai nampak.

    Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan

    aktual pendidikan. Sejumlah SMA dan SMK di beberapa kota di Indonesia sudah

    menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku

    secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM

    ISO 9001:2000, dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.

    Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output

    pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran

    paradigma Pancasila dalam pendidian nasional tentang keunggulan suatu Negara,

    dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan

    kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada

    kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada

    pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001:

    122).

    Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan

    nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus

    berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan

    kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme

    (paham yang menolak hal-hal yang bersifat nasional) dimana anak-anak bangsa

    boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan

    mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif

    under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada

    tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah

    menengah.

  • Namun, bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka

    masalahnya tidak menjadi sangat rumit. Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah

    adanya regulasi-regulasi. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-

    batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada

    jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama

    disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan

    sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah akses ke bursa tenaga

    kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan

    nasional.

    Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi

    pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada

    pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa

    depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika

    globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.

    b. Permasalahan Perubahan Sosial

    Ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang

    abadi, semuanya akan berubah-ubah, satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu

    sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak bisa

    dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada pula yang

    berjalan cepat. Bahkan salah satu fungsi pendidikan adalah melakukan inovasi-

    inovasi sosial, yang bermaksud mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan

    sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan

    permasalahan. Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari

    perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini,

    perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju

    perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi

    budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan

    sosial secara akurat (Karim, 1991: 28).

    Dalam kaitan dengan permasalahan dalam hubungan timbal balik antar

    pendidikan dan perubahan sosial, perlu dicatat peringatan yang menyatakan bahwa

    Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan

  • ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan

    kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan

    mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan

    menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian

    harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional

    (Sudjatmoko, 199: 30)

    2. Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini

    Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di

    Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Misalnya, mencatat permasalahan

    internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan

    dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga

    permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti

    permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan

    prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai

    permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas

    tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan

    sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran (Daoed

    Joefoef, 2001: 210).

    a. Permasalahan Sistem Kelembagaan Pendidikan

    Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan

    uraian ini adalah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan

    umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum

    dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik

    yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan

    ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).

    Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri

    ini, kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa

    ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena hanya mampu

    melahirkan sosok manusia yang pincang. Jenis pendidikan yang pertama

    melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya

    sebagai urusan pribadi (Ahmad Syafii Maarif, 1987: 3).

  • Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang

    taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem

    kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan

    sosok manusia Indonesia seutuhnya. Oleh karena itu, menyarankan perlunya modal

    pendidikan yang integrative, suatu gagasan dengan ruang lingkup yang luas

    (Ahmad Syafii Maarif, 1996: 10).

    b. Permasalahan Profesionalisme Guru

    Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses

    pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan teknologi telah

    menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses

    pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Hal tersebut

    berarti guru merupakan variabel penting bagi keberhasilan pendidikan.

    Guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang

    anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis

    alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh

    kebanggaan komunitas dan bangsanya. Tetapi segera ditambahkan penjelasan

    bahwa guru yang demikian tentu bukan guru yang sembarang guru. Ia pasti

    memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa digugu lan ditiru (Suyanto,

    2006: 1).

    Lebih jauh lagi dapat dijelaskan bahwa guru yang profesional harus

    memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah:

    1) Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat

    2) Harus berdasarkan atas kompetensi individual

    3) Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi

    4) Ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat

    5) Adanya kesadaran profesional yang tinggi

    6) Memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik)

    7) Memiliki sistem seleksi profesi

    8) Adanya militansi individual

    9) Memiliki organisasi profesi (Suyanto, 2006: 28).

  • Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas

    jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem

    pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa

    dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan. Namun dalam kenyataan dilapangan

    menunjukkan adanya guru, terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari

    pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui

    sistem seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak guru

    yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi

    pekerjaan rumah bagi pendidikan nasional masa kini.

    c. Permasalahan Strategi Pembelajaran

    Dalam era globalisasi dewasa ini, mempunyai pengaruh yang sangat

    signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta

    didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma

    pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Hal tersebut

    menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru,

    menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid

    berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan

    (Suyanto, 2006: 15).

    Strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam gaya

    bank atau banking concept (Paulo Freire, 2002: 51). Di pihak lain strategi

    pembelajaran baru digambarkan bahwa berpusat pada murid, menggunakan banyak

    media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi

    guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis

    serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model

    pembelajaran baru ini disebut sebagai strategi pembelajaran hadap masalah atau

    problem posing (Paulo Freire, 2000: 61).

    Namun, dewasa ini masih terdapat tuntutan pergeseran paradigma

    pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya

    menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi

    pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru. Hal ini agaknya berkaitan erat

    dengan rendahnya professionalisme guru (Idrus, 1997: 79).

  • 3. Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional

    Selain sebagai bentuk kekecewaan, alasan lain yang melatar belakangi

    masuknya pemahaman radikalisme dalam dunia pendidikan adalah lemahnya

    proses pembelajaran di Indonesia. Dalam proses pembelajaran, anak kurang

    didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Anak hanya diarahkan

    untuk menghafal pengetahuan, sehingga otak anak dipaksa untuk mengingat dan

    menimbun berbagai pengetahuan tanpa diimbangi dengan pemahaman tentang

    pengetahuan yang diterimanya untuk menghubungkannya dengan kehidupan

    sehari-hari, sehingga hanya perubahan aspek kognitif saja yang diutamakan dalam

    proses pembelajaran. Contoh nyata adalah pada mata pelajaran Pendidikan

    Kewarganegaran di jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan atas, maupun mata

    kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan di jenjang pendidikan tinggi yang hanya

    bersifat teoritis dan hafalan yang hanya menekankan aspek kognitif atau materi

    dalam proses pembelajaran dan penerapan ideologi Pancasila. Penanaman ideologi

    Pancasila di dunia pendidikan seharusnya juga menekankan pada aspek afektif dan

    psikomotorik melalui sikap-sikap yang dibentuk dalam nilai Pancasila.

    Proses pembelajaran yang hanya mengutamakan aspek kognitif

    (pengetahuan), tanpa diimbangi dengan aspek afektif (sikap) maupun psikomotorik

    (pengalaman) tersebut, tentu saja bertentangan dengan empat pilar pendidikan

    universal seperti yang dirumuskan Unesco (1996), yaitu (1) learning to know; (2)

    learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together.

    Learning to know berarti bahwa belajar tidak hanya berorientasi pada

    produk atau hasil belajar, tetapi juga pada proses belajar. Dengan proses belajar,

    siswa akan memiliki kesadaran akan apa yang akan dipelajari sekaligus bagaimana

    cara mempelajari. Dengan kemampuan itu, proses belajar tidak terbatas tempat dan

    waktu (belajar sepanjang hayat) yang menandakan individu tersebut telah memiliki

    kemampuan dan kemauan untuk berpikir. Learning to do berarti bahwa belajar

    bukan hanya mengumpulkan dan menumpuk pengetahuan, tetapi menekankan pada

    penguasaan kompetensi, yang akan dimiliki siswa ketika diberi kesempatan untuk

    melakukan sesuatu sehingga proses pembelajaran diarahkan pada pengalaman

    (learning by experiences). Learning to be berarti bahwa belajar adalah membentuk

  • manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu yang

    bertanggung jawab, serta menyadari kelebihan dan kekurangannya. Sedangkan

    learning to live together adalah belajar bekerja sama. Dalam konteks ini belajar

    adalah membentuk masyarakat demokratis yang memahami dan menyadari adanya

    setiap perbedaan pandangan antara individu (Sanjaya, 2006:110).

    Karena proses pendidikan Indonesia yang hanya menyentuh aspek kognitif

    atau learning to know, mengakibatkan mudah masuknya paham radikalisme atau

    perubahan ideologi. Siswa maupun mahasiswa diberi paham-paham baru yang

    kemudian masuk aspek kognitif, namun dari aspek afektif dan psikomotorik

    bertentangan dengan konteks Indonesia yang multikultural, yang terdiri dari banyak

    budaya, suku bangsa termasuk agama. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya,

    apakah ideologi Pancasila masih relevan untuk era reformasi saat ini sehingga harus

    tetap diberikan dalam dunia pendidikan. Untuk mengetahuinya dengan melihat

    pendidikan dalam konteks yang mendasar. Dalam ketetapan MPR-RI No

    IV/MPR/1973 tentang GBHN, dikemukakan bahwa pendidikan pada hakikatnya

    adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam

    dan di luar sekolah serta berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya, agar

    pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-

    masing individu, maka pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga,

    masyarakat dan pemerintah yang didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan

    diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani.

    Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia

    sesuai cita-cita dan nilai sosial masyarakat di negara yang bersangkutan, yang

    tergambar dari falsafah pendidikan. Falsafah pendidikan memberi petunjuk cara

    berbuat dan bertingkah laku yang baik dalam masyarakat, dan menjadi guiding

    principle atau petunjuk dalam proses operasional untuk mencapai cita-cita tersebut.

    Melalui falsafah pendidikan tersebut, ditentukan tujuan pendidikan nasional, yang

    selanjutnya mendasari tujuan institusional, tujuan kurikulum, dan tujuan

    instruksional. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia harus didasari pada

    falsafah dan pandangan hidup bangsa seperti yang terkandung dalam Pancasila

    (Hamalik, 2008: 60).

  • Pancasila merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah

    teruji kebenaran dan keampuhannya, serta mengandung nilai-nilai luhur sehingga

    harus diresapi, dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, para

    penyelenggara negara, dan seluruh lembaga kenegaraan. Pendidikan nasional,

    sebagai bagian dari usaha pembangunan nasional, merupakan usaha yang sangat

    penting dalam membentuk manusia Indonesia seperti yang dicita-citakan. Oleh

    karena itu, sistem pendidikan nasional harus berdasarkan Pancasila dan ditujukan

    ke arah pembentukan manusia yang Pancasilais. Dengan demikian Pancasila harus

    diajarkan dan dipelajari bukan hanya sebatas aspek kognitif, tetapi juga

    menyangkut aspek afektif dan psikomotorik, Pancasila bukan hanya untuk dihafal

    tetapi perlu proses pembelajaran yang terintegrasi dalam setiap bidang ilmu untuk

    memasukkan Pancasila, sehingga kurikulum yang hanya mengejar materi, penilaian

    yang lebih menekankan aspek kognitif juga perlu dibenahi.

    Dalam pikiran bayi saat lahir adalah tabula rasa, sebuah lembaran kosong,

    dan pengalaman tertulis di atasnya. Walaupun ide-ide berasal dari pengalaman, ide-

    ide itu dikombinasi melalui refleksi atau proses rasional. Dengan demikian

    seharusnya sejak kecil, keluarga menulisi bayi dengan nilai-nilai yang benar, baik

    dari sisi agama, maupun pengenalan akan budaya dan bangsanya (Olson, 2010: 37).

    Selain keluarga, masyarakat dan sekolah juga bertanggung jawab dalam proses

    pendidikan dan pengenalan ideologi Pancasila. Tahap perkembangan anak pada

    usia 11-15 tahun mulai bisa menangani situasi hipotesis, dan proses berpikir mereka

    tidak lagi tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil, tetapi menjadi

    semakin logis. Hal ini juga terjadi pada kasus siswa kelas 2 SMP yang merakit bom

    buku, kerena pikiran yang semakin logis dan ingin tau, maka apa yang dia pelajari

    diaplikasikan dalam kehidupannya. Dari sini dapat dilihat, bahwa tanpa

    pengawasan dari orang tua atau orang dewasa, seorang anak dengan tahap

    pemikiran yang sudah berkembang dapat terjerumus dalam radikalisme atau

    ideologi bertentangan dengan Pancasila (Olson, 2010: 320).

    Anak dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang

    dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan

    berkembang secara optimal, Oleh karena itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan

  • teknologi, memungkinkan setiap siswa dapat dengan mudah endapatkan berbagai

    informasi, sehingga tanggung jawab orang dewasa (orangtua, guru) untuk

    membimbing dan mengawasi. Orang dewasa khususnya guru, dituntut mempu

    menyeleksi berbagai informasi, sehingga dapat menunjukkan pada siswa informasi

    yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru juga harus

    menjaga siswa agar tidak terpengaruh berbagai informasi yang dapat menyesatkan

    dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka (Sanjaya, 2006: 100)

    Pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, sehingga peraturan

    pemerintah dan kebijakan kurikulum nasional harus memperhatikan Pancasila

    sebagai dasar pendidikan nasional. Pada masa orde baru, pendidikan Pancasila

    menjadi salah satu mata pelajaran sekolah, namun masa reformasi, justru

    menghilangkan mata pelajaran Pancasila, meskipun pada pendidikan tinggi tetap

    ada. Namun kembali pada bahasan di atas, pendidikan Pancasila di jenjang

    pendidikan manapun di Indonesia, lebih menekankan aspek kognitif, sehingga

    siswa megetahui secara pasti isi Pancasila, namun tidak mengamalkannya dalam

    kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

    Menurut saya, aspek yang paling mendasar dari penyimpangan ideologi

    justru dari tidak adanya teladan dari pemimpin. Meskipun pemimpin disini

    termasuk orangtua, guru, pemuka agama, pemimpin kelurahan hingga yang lebih

    tinggi, namun keteladanan dari pemimpin bangsa akan menjadi sorotan.

    Keteladanan dari pemimpin bangsa dalam pengamalan Pancasila juga dirasa kurang

    mengena. Dalam masyarakat manapun, seorang pemimpin selalu diharapkan untuk

    dapat menjadi teladan, baik tingkah laku, tutur kata, bahkan penampilannya (Edi

    Sedyawati, 2006: 290).

    Keteladanan dari pemimpin juga semakin terekspos oleh media massa

    sebagai dampak dari kebebasan pers. Sehingga kekurangan pemimpin, seakan-akan

    dipertontonkan pada masyarakat, termasuk siswa dan mahasiswa. Dengan demikian

    kekurangan dan dosa pemimpin menjadi hal yang wajar dimata masyarakat, bahkan

    menjadi wajar dimata para siswa yang seharusnya diberi teladan yang baik. Untuk

    itu, tugas orangtua, guru maupun pemimpin agama menjadi semakin berat, selain

  • mengajarkan moral yang sesuai dengan nilai-nilai agama, juga mengajarkan nilai-

    nilai cinta terhadap tanah air dan bangsa.

    D. PENUTUP

    Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat

    kompleks yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal

    dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan

    masalah perubahan sosial sebagai lingkungan pendidikan. Sedangkan menyangkut

    permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi),

    profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap

    sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai

    permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah

    saling terkait.

    Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-

    permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial, yang merupakan

    pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang

    belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab.

    Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap

    pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi

    dewasa ini.

    Sebagai insan yang berpendidikan, kita tentu masih terus berharap akan

    datangnya perubahan fundamental terhadap sistem pendidikan kita. rasa optimis

    menatap masa depan wajib terbersit di lubuk hati kita semua, meskipun banyak

    sekali problem yang belum terentaskan. Rasa optimis menjadi kata kunci (key

    word) bagi semua idealisme perubahan itu. Dengan demikian, sebagai seorang yang

    berada di dunia pendidikan kita tidak perlulah merasa putus asa. Sitem pendidikan

    nasional sedang beranjak menuju perubahan (Suyanto, 2006: 54). Akan tetapi,

    perubahan itu jelas tidak bisa dalam sekali waktu yang langsung memperlihatkan

    hasil secara maksimal. Sebab, mengelola sistem pendidikan nasional ibarat

    menanam modal (investasi) untuk jangka panjang. Tetapi wujud keberhasilannya

    tidak seketika. Jika investasi dalam bentuk bisnis jelas akan menghasilkan untung-

  • rugi secara riil, karena dapat diukur dengan besarnya nominal rupiah. Namun

    investasi pendidikan adalah berbentuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang

    riil bagi generasi bangsa. Karena tujuan nasional pendidikan kita adalah untuk

    membangun mentalitas yang berkarakter.

    Seharusnya semua elemen pendidikan menyadari bahwa dasar pendidikan

    karakte suatu bangsa adalah ketika secara kontekstual mampu bersumber pada

    konsep dan strategi yang diwujudkan dalam esensi dan nilai kurikulum dalam

    pendidikan karakter bangsa (dalam hal ini misalnya pendidikan agama, pancasila

    dan kewargangeraan) sebagai kurikulum mutlak yang mesti menjadi dasar bagi

    setiap kelulusan siswanya. Dengan demikian ouput pendidikan, yakni terciptanya

    sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas adalah manusia-manusia

    Indonesia yang paham akan nilai-nilai Indonesia dan merasa memiliki Indonesia.

    Pendidikan juga bukan hanya menjadi tanggung jawab guru, tetapi secara bersama-

    sama, keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat temasuk media massa ikut

    memperhatikan proses pendidikan nasional.

    Akan sangat berat dan menjadi hal yang besar bagi proses pendidikan di

    Indonesia, khususnya menciptakan generasi yang unggul, cerdas dan terampil, serta

    memiliki akhlak mulia, bermoral serta memegang teguh nilai-nilai Pancasila.

    Tekanan-tekanan dari pihak lain, seperti keteladanan pemimpin yang kurang,

    ekploitasi kekerasan dan ketidakadilan dari media massa serta kehidupan sosial

    ekonomi masyarakat yang semakin berat selain banyak masalah yang terkait

    dengan pendidikan itu sendiri itu sendiri, seperti pemerataan pendidikan, materi.

    Meskipun banyak problem yang dihadapi oleh pendidikan nasional, namun

    itu semua tidak boleh menyurutkan semangat kita. Bagaimanapun juga, pendidikan

    nasional merupakan investasi bagi masa depan bangsa. Sebab, melalui pendidikan

    nasional, masa depan bangsa sedang dirancang sebaik mungkin dengan cara

    mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang tidak kalah kualitasnya dengan

    negara-negara lain. Kita perlu mengingat kembali kata Cicero, Pekerjaan apakah

    yang lebih mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar

    generasi yang sedang tumbuh?.

  • E. DAFTAR PUSTAKA

    Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.

    Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.

    Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya

    dkk. Jakarta: LP3ES.

    Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT

    Remaja Rosdakarya

    Hergenhahn, B & Olson, Matthew. 2010. Theories of Learning (Teori Belajar).

    Jakarta: Kencana Prenada Media Grup

    Intisari Mediatama. 2001. Untaian Kata Bijak Hari ini. Jakarta : Gramedia

    Joesoef, Daoed, 2001. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran. Jakarta: Kompas.

    Karim, M. Rusli. 1991. Pendidikan Islam sebai Upaya Pembebasan Manusia.

    Yogyakarta: Tiara Wacana.

    Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik

    dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan.

    Maarif, Ahmad Syafii. 1987. Masalah Pembaharuan Pendidikan Islam.

    Yogyakarta: LPM UII.

    Maarif. Ahmad Syafii. 1996. Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat.

    Jurnal Pendidikan Islam, No. 2 Th.I/Oktober 1996.

    Othman, Ali Issa. 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk.

    Bandung: Pustaka.

    Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

    Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.

    Sedyawati Edi. 2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.

    Jakarta: RajaGrafindo Persada.

    Shane, Harlod G. 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.

    Soedjatmoko. 1991. Nasionalisme sebagai Prospek Belajar. Prisma, No. 2 Th. XX,

    Februari.

    Suyanto, 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percanturan Dunia

    Global). Jakarta: PSAP Muhammadiyah.