Penyimpangan Ideologi Pancasila Dalam Konteks Permasalahan Pendidikan Nasional
-
Upload
wahyu-marliyani -
Category
Documents
-
view
155 -
download
2
Transcript of Penyimpangan Ideologi Pancasila Dalam Konteks Permasalahan Pendidikan Nasional
-
PENYIMPANGAN IDEOLOGI PANCASILA DALAM
KONTEKS PERMASALAHAN PENDIDIKAN NASIONAL
Disusun oleh:
Nama : Wahyu Marliyani
NIM : 13312241005
Kelas : IPA A 2013
e-mail : [email protected]
No.HP : 087738151573
A. ABSTRAK
Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat
kompleks yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal
dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan
masalah perubahan sosial sebagai lingkungan pendidikan. Sedangkan menyangkut
permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi),
profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran.
Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia
sesuai cita-cita dan nilai sosial masyarakat di negara yang bersangkutan, yang
tergambar dari falsafah pendidikan. Falsafah pendidikan memberi petunjuk cara
berbuat dan bertingkah laku yang baik dalam masyarakat, dan menjadi guiding
principle atau petunjuk dalam proses operasional untuk mencapai cita-cita
tersebut. Melalui falsafah pendidikan tersebut, ditentukan tujuan pendidikan
nasional, yang selanjutnya mendasari tujuan institusional, tujuan kurikulum, dan
tujuan instruksional. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia harus didasari
pada falsafah dan pandangan hidup bangsa seperti yang terkandung dalam
Pancasila.
Kata kunci : Pendidikan Nasional, permasalahan pendidikan, pancasila
B. PENDAHULUAN
Reformasi di Indonesia telah banyak melahirkan perubahan-perubahan
yang signifikan dalam kehidupan sosial, ekonomi, politik bahkan dalam dunia
pendidikan. Masyarakat meyakini bahwa perubahan yang terjadi membawa nilai-
nilai sebagai upaya untuk membawa bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Ketika reformasi berjalan begitu cepat, paradigma masyarakat juga begitu cepat
meyakini nilai-nilai baru yang berkembang ditengah masyarakat sebagai pengganti
-
nilai-nilai lama. Namun tidak ada upaya pertimbangan yang obyektif apakah nilai-
nilai lama tersebut dianggap usang dan perlu dihilangkan. Sementara nilai-nilai
baru tersebut juga tidak ada yang mampu sebagai pertimbangan nilai-nilai yang
mesti dipegang.
Salah satu perubahan nilai yang signifikan adalah kasus radikalisme dan
pemahaman ideologi masyarakat yang tidak lagi menempatkan Pancasila sebagai
dasar tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila tidak lagi dikatakan
sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia,
melainkan direduksi, dibatasi dan dimanipulasi demi kepentingan penguasa.
Dewasa ini, terdapat banyak kritik yang dilontarkan oleh berbagai kalangan
terhadap pendidikan, atau tepatnya terhadap praktek pendidikan, namun hampir
semua pihak sepakat bahwa nasib suatu komunitas atau suatu bangsa di masa depan
sangat bergantung pada kontribusi pendidikan. Pendidikanlah yang dapat
memberikan kontribusi pada kebudayaan di hari esok (Shane, 1984: 39).
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 20 Tahun 2003 (UU
No. 20/2003), menjelaskan secara umum tentang sistem pendidikan Nasional yang
antara lain menyatakan bahwa manusia membutuhkan pendidikan dalam
kehidupannya. Pendidikan merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan
potensi dirinya melalui proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan
diakui oleh masyarakat.
Dengan demikian, pada prinsipnya pendidikan merupakan etika masa
depan. Etika masa depan timbul dan dibentuk oleh kesadaran bahwa setiap anak
manusia akan menjalani sisa hidupnya di masa depan bersama-sama dengan
makhluk hidup lainnya yang ada di bumi. Hal ini berarti bahwa, di satu pihak, etika
masa depan menuntut manusia untuk tidak meninggalkan tanggung jawab atas
konsekuensi dari setiap perbuatan yang dilakukannya sekarang ini. Sementara itu,
dipihak lain manusia dituntut untuk mampu mengantisipasi, merumuskan nilai-
nilai, dan menetapkan prioritas-prioritas dalam suasana yang tidak pasti agar
generasi-generasi mendatang tidak menjadi mangsa dari proses yang semakin tidak
terkendali di zaman mereka dikemudian hari (Joesoef, 2001: 199).
-
Berdasarkan konteks etika masa depan tersebut, maka visi pendidikan
seharusnya lahir dari kesadaran bahwa kita sebaiknya jangan menanti apapun dari
masa depan, karena sesungguhnya masa depan itulah mengaharap-harapkan dari
kita, kita sendirilah yang seharusnya menyiapkannya (Joesoef, 2001: 198). Visi ini
mensyaratkan bahwa, sebagai institusi, pendidikan harus solid. Idealnya,
pendidikan yang solid adalah pendidikan yang steril dari berbagai permasalahan.
Namun hal ini adalah suatu kemustahilan. Suka atau tidak suka, permasalahan akan
selalu ada dimanapun dan kapanpun, termasuk dalam institusi pendidikan. Oleh
karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru
perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan
memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya.
Radikalisme dan penyimpangan ideologi oleh sebagian orang, khususnya
dalam pendidikan, baik guru maupun siswa, sebagai wujud keprihatinan akan tidak
diamalkannya Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun radikalisme
sebagai bentuk ekspresi untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat yang dinilai
sudah tidak ideal, namun justru radikalisme menyimpang dari sila-sila pancasila.
C. PEMBAHASAN
1. Permasalahan Eksternal Pendidikan Masa Kini
Dewasa ini, permasalahan eksternal pendidikan di Indonesia sesungguhnya
sangat komplek. Hal ini dikarenakan oleh kenyataan kompleksnya dimensi-
dimensei eksternal pendidikan itu sendiri. Dimensi-dimensi eksternal pendidikan
meliputi dimensi sosial, politik, ekonomi, budaya, dan bahkan juga dimensi global.
Permasalahan globalisasi menjadi penting untuk disoroti, karena merupakan trend
abad ke-21 yang sangat kuat pengaruhnya pada segenap sektor kehidupan, termasuk
pada sektor pendidikan. Sedangakan permasalah perubahan sosial adalah masalah
klasik bagi pendidikan, dalam arti selalu hadir sebagai permasalahan eksternal
pendidikan, maka perlu dicermati. Kedua permasalahan tersebut merupakan
tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, jika pendidikan ingin berhasil
mengemban misi (amanah) dan fungsinya berdasarkan paradigma etika masa depan
dalam konteks pendidikan Nasional (Daoed Joefoef, 2001: 201).
-
a. Permasalahan Globalisasi
Globalisasi mengandung arti terintegrasinya kehidupan nasional ke dalam
kehidupan global. Dalam bidang ekonomi, misalnya, globalisasi ekonomi berarti
terintegrasinya ekonomi nasional ke dalam ekonomi dunia atau global (Fakih, 2003:
182). Bila dikaitkan dalam bidang pendidikan, globalisasi pendidikan berarti
terintegrasinya pendidikan nasional ke dalam pendidikan dunia. Sebegitu jauh,
globalisasi memang belum merupakan kecenderungan umum dalam bidang
pendidikan. Namun gejala kearah itu sudah mulai nampak.
Oleh karena itu, dewasa ini globalisasi sudah mulai menjadi permasalahan
aktual pendidikan. Sejumlah SMA dan SMK di beberapa kota di Indonesia sudah
menerapkan sistem Manajemen Mutu (Quality Management Sistem) yang berlaku
secara internasional dalam pengelolaan manajemen sekolah mereka, yaitu SMM
ISO 9001:2000, dan banyak diantaranya yang sudah menerima sertifikat ISO.
Permasalahan globalisasi dalam bidang pendidikan terutama menyangkut output
pendidikan. Seperti diketahui, di era globalisasi dewasa ini telah terjadi pergeseran
paradigma Pancasila dalam pendidian nasional tentang keunggulan suatu Negara,
dari keunggulan komparatif (Comperative adventage) kepada keunggulan
kompetitif (competitive advantage). Keunggulam komparatif bertumpu pada
kekayaan sumber daya alam, sementara keunggulan kompetitif bertumpu pada
pemilikan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas (Kuntowijoyo, 2001:
122).
Dalam konteks pergeseran paradigma keunggulan tersebut, pendidikan
nasional akan menghadapi situasi kompetitif yang sangat tinggi, karena harus
berhadapan dengan kekuatan pendidikan global. Hal ini berkaitan erat dengan
kenyataan bahwa globalisasi justru melahirkan semangat cosmopolitantisme
(paham yang menolak hal-hal yang bersifat nasional) dimana anak-anak bangsa
boleh jadi akan memilih sekolah-sekolah di luar negeri sebagai tempat pendidikan
mereka, terutama jika kondisi sekolah-sekolah di dalam negeri secara kompetitif
under-quality (berkualitas rendah). Kecenderungan ini sudah mulai terlihat pada
tingkat perguruan tinggi dan bukan mustahil akan merambah pada tingkat sekolah
menengah.
-
Namun, bila persoalannya hanya sebatas tantangan kompetitif, maka
masalahnya tidak menjadi sangat rumit. Tetapi salah satu ciri globalisasi ialah
adanya regulasi-regulasi. Dalam bidang pendidikan hal itu tampak pada batasan-
batasan atau ketentuan-ketentuan tentang sekolah berstandar internasional. Pada
jajaran SMK regulasi sekolah berstandar internasional tersebut sudah lama
disosialisasikan. Bila regulasi berstandar internasional ini kemudian ditetapkan
sebagai prasyarat bagi output pendidikan untuk memperolah akses ke bursa tenaga
kerja global, maka hal ini pasti akan menjadi permasalah serius bagi pendidikan
nasional.
Globalisasi memang membuka peluang bagi pendidikan nasional, tetapi
pada waktu yang sama ia juga mengahadirkan tantangan dan permasalahan pada
pendidikan nasional. Karena pendidikan pada prinsipnya mengemban etika masa
depan, maka dunia pendidikan harus mau menerima dan menghadapi dinamika
globalisasi sebagai bagian dari permasalahan pendidikan masa kini.
b. Permasalahan Perubahan Sosial
Ada sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa di dunia ini tidak ada yang
abadi, semuanya akan berubah-ubah, satu-satunya yang abadi adalah perubahan itu
sendiri. Itu artinya, perubahan sosial merupakan peristiwa yang tidak bisa
dielakkan, meskipun ada perubahan sosial yang berjalan lambat dan ada pula yang
berjalan cepat. Bahkan salah satu fungsi pendidikan adalah melakukan inovasi-
inovasi sosial, yang bermaksud mendorong perubahan sosial. Fungsi pendidikan
sebagai agen perubahan sosial tersebut, dewasa ini ternyata justru melahirkan
permasalahan. Dalam kenyataannya menunjukkan bahwa, sebagai konsekuansi dari
perkembangan ilmu perkembangan dan teknologi yang demikian pesat dewasa ini,
perubahan sosial berjalan jauh lebih cepat dibandingkan upaya pembaruan dan laju
perubahan pendidikan. Sebagai akibatnya, fungsi pendidikan sebagai konservasi
budaya menjadi lebih menonjol, tetapi tidak mampu mengantisipasi perubahan
sosial secara akurat (Karim, 1991: 28).
Dalam kaitan dengan permasalahan dalam hubungan timbal balik antar
pendidikan dan perubahan sosial, perlu dicatat peringatan yang menyatakan bahwa
Negara-negara yang tidak mampu mengikuti revolusi industri mutakhir akan
-
ketinggalan dan berangsur-angsur kehilangan kemampuan untuk mempertahankan
kedudukannya sebagai Negara merdeka. Dengan kata lain, ketidakmampuan
mengelola dan mengikuti dinamika perubahan sosial sama artinya dengan
menyiapkan keterbelakangan. Permasalahan perubahan sosial, dengan demikian
harus menjadi agenda penting dalam pemikiran dan praksis pendidikan nasional
(Sudjatmoko, 199: 30)
2. Permasalahan Internal Pendidikan Masa Kini
Seperti halnya permasalahan eksternal, permasalahan internal pendidikan di
Indonesia masa kini adalah sangat kompleks. Misalnya, mencatat permasalahan
internal pendidikan meliputi permasalahan-permasalahan yang berhubungan
dengan strategi pembelajaran, peran guru, dan kurikulum. Selain ketiga
permasalahan tersebut sebenarnya masih ada jumlah permasalahan lain, seperti
permasalahan yang berhubungan dengan sistem kelembagaan, sarana dan
prasarana, manajemen, anggaran operasional, dan peserta didik. Dari berbagai
permasalahan internal pendidikan dimaksud, makalah ini hanya akan membahas
tiga permasalahan internal yang di pandang cukup menonjol, yaitu permasalahan
sistem kelembagaan, profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran (Daoed
Joefoef, 2001: 210).
a. Permasalahan Sistem Kelembagaan Pendidikan
Permasalahan sistem kelembagaan pendidikan yang dimaksud dengan
uraian ini adalah mengenai adanya dualisme atau bahkan dikotomi antar pendidikan
umum dan pendidikan agama. Dualisme atau dikotomi antara pendidikan umum
dan pendidikan agama ini agaknya merupakan warisan dari pemikiran Islam klasik
yang memilah antara ilmu umum dan ilmu agama atau ilmu ghairuh syariah dan
ilmu syariah, seperti yang terlihat dalam konsepsi al-Ghazali (Otman, 1981: 182).
Dualisme dikotomi sistem kelembagaan pendidikan yang berlaku di negeri
ini, kita anggap sebagai permasalahan serius, bukan saja karena hal itu belum bisa
ditemukan solusinya hingga sekarang, melainkan juga karena hanya mampu
melahirkan sosok manusia yang pincang. Jenis pendidikan yang pertama
melahirkan sosok manusia yang berpandangan sekuler, yang melihat agama hanya
sebagai urusan pribadi (Ahmad Syafii Maarif, 1987: 3).
-
Sedangkan sistem pendidikan yang kedua melahirkan sosok manusia yang
taat, tetapi miskim wawasan. Dengan kata lain, adanya dualisme dikotomi sistem
kelembagaan pendidikan tersebut merupakan kendala untuk dapat melahirkan
sosok manusia Indonesia seutuhnya. Oleh karena itu, menyarankan perlunya modal
pendidikan yang integrative, suatu gagasan dengan ruang lingkup yang luas
(Ahmad Syafii Maarif, 1996: 10).
b. Permasalahan Profesionalisme Guru
Salah satu komponen penting dalam kegiatan pendidikan dan proses
pembelajaran adalah pendidik atau guru. Betapapun kemajuan teknologi telah
menyediakan berbagai ragam alat bantu untuk meningkatkan efektifitas proses
pembelajaran, namun posisi guru tidak sepenuhnya dapat tergantikan. Hal tersebut
berarti guru merupakan variabel penting bagi keberhasilan pendidikan.
Guru memiliki peluang yang amat besar untuk mengubah kondisi seorang
anak dari gelap gulita aksara menjadi seorang yang pintar dan lancar baca tulis
alfabetikal maupun fungsional yang kemudian akhirnya ia bisa menjadi tokoh
kebanggaan komunitas dan bangsanya. Tetapi segera ditambahkan penjelasan
bahwa guru yang demikian tentu bukan guru yang sembarang guru. Ia pasti
memiliki profesionalisme yang tinggi, sehingga bisa digugu lan ditiru (Suyanto,
2006: 1).
Lebih jauh lagi dapat dijelaskan bahwa guru yang profesional harus
memiliki kualifikasi dan ciri-ciri tertentu. Kualifikasi dan ciri-ciri dimaksud adalah:
1) Harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat
2) Harus berdasarkan atas kompetensi individual
3) Memiliki sistem seleksi dan sertifikasi
4) Ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antar sejawat
5) Adanya kesadaran profesional yang tinggi
6) Memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik)
7) Memiliki sistem seleksi profesi
8) Adanya militansi individual
9) Memiliki organisasi profesi (Suyanto, 2006: 28).
-
Dari ciri-ciri atau karakteristik profesionalisme yang dikemukakan di atas
jelaslah bahwa guru tidak bisa datang dari mana saja tanpa melalui sistem
pendidikan profesi dan seleksi yang baik. Itu artinya pekerjaan guru tidak bisa
dijadikan sekedar sebagai usaha sambilan. Namun dalam kenyataan dilapangan
menunjukkan adanya guru, terlebih guru honorer, yang tidak berasal dari
pendidikan guru, dan mereka memasuki pekerjaan sebagai guru tanpa melalui
sistem seleksi profesi. Singkatnya di dunia pendidikan nasional ada banyak guru
yang tidak profesioanal. Inilah salah satu permasalahan internal yang harus menjadi
pekerjaan rumah bagi pendidikan nasional masa kini.
c. Permasalahan Strategi Pembelajaran
Dalam era globalisasi dewasa ini, mempunyai pengaruh yang sangat
signifikan terhadap pola pembelajaran yang mampu memberdayakan para peserta
didik. Tuntutan global telah mengubah paradigma pembelajaran dari paradigma
pembelajaran tradisional ke paradigma pembelajaran baru. Hal tersebut
menggambarkan paradigma pembelajaran sebagai berpusat pada guru,
menggunakan media tunggal, berlangsung secara terisolasi, interaksi guru-murid
berupa pemberian informasi dan pengajaran berbasis factual atau pengetahuan
(Suyanto, 2006: 15).
Strategi pembelajaran tradisional ini sebagai strategi pelajaran dalam gaya
bank atau banking concept (Paulo Freire, 2002: 51). Di pihak lain strategi
pembelajaran baru digambarkan bahwa berpusat pada murid, menggunakan banyak
media, berlangsung dalam bentuk kerja sama atau secara kolaboratif, interaksi
guru-murid berupa pertukaran informasi dan menekankan pada pemikiran kritis
serta pembuatan keputusan yang didukung dengan informasi yang kaya. Model
pembelajaran baru ini disebut sebagai strategi pembelajaran hadap masalah atau
problem posing (Paulo Freire, 2000: 61).
Namun, dewasa ini masih terdapat tuntutan pergeseran paradigma
pembelajaran dari model tradisional ke arah model baru, namun kenyataannya
menunjukkan praktek pembelajaran lebih banyak menerapkan strategi
pembelajaran tradisional dari pembelajaran baru. Hal ini agaknya berkaitan erat
dengan rendahnya professionalisme guru (Idrus, 1997: 79).
-
3. Pancasila sebagai Dasar Pendidikan Nasional
Selain sebagai bentuk kekecewaan, alasan lain yang melatar belakangi
masuknya pemahaman radikalisme dalam dunia pendidikan adalah lemahnya
proses pembelajaran di Indonesia. Dalam proses pembelajaran, anak kurang
didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Anak hanya diarahkan
untuk menghafal pengetahuan, sehingga otak anak dipaksa untuk mengingat dan
menimbun berbagai pengetahuan tanpa diimbangi dengan pemahaman tentang
pengetahuan yang diterimanya untuk menghubungkannya dengan kehidupan
sehari-hari, sehingga hanya perubahan aspek kognitif saja yang diutamakan dalam
proses pembelajaran. Contoh nyata adalah pada mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaran di jenjang pendidikan dasar sampai pendidikan atas, maupun mata
kuliah Pancasila dan Kewarganegaraan di jenjang pendidikan tinggi yang hanya
bersifat teoritis dan hafalan yang hanya menekankan aspek kognitif atau materi
dalam proses pembelajaran dan penerapan ideologi Pancasila. Penanaman ideologi
Pancasila di dunia pendidikan seharusnya juga menekankan pada aspek afektif dan
psikomotorik melalui sikap-sikap yang dibentuk dalam nilai Pancasila.
Proses pembelajaran yang hanya mengutamakan aspek kognitif
(pengetahuan), tanpa diimbangi dengan aspek afektif (sikap) maupun psikomotorik
(pengalaman) tersebut, tentu saja bertentangan dengan empat pilar pendidikan
universal seperti yang dirumuskan Unesco (1996), yaitu (1) learning to know; (2)
learning to do; (3) learning to be; dan (4) learning to live together.
Learning to know berarti bahwa belajar tidak hanya berorientasi pada
produk atau hasil belajar, tetapi juga pada proses belajar. Dengan proses belajar,
siswa akan memiliki kesadaran akan apa yang akan dipelajari sekaligus bagaimana
cara mempelajari. Dengan kemampuan itu, proses belajar tidak terbatas tempat dan
waktu (belajar sepanjang hayat) yang menandakan individu tersebut telah memiliki
kemampuan dan kemauan untuk berpikir. Learning to do berarti bahwa belajar
bukan hanya mengumpulkan dan menumpuk pengetahuan, tetapi menekankan pada
penguasaan kompetensi, yang akan dimiliki siswa ketika diberi kesempatan untuk
melakukan sesuatu sehingga proses pembelajaran diarahkan pada pengalaman
(learning by experiences). Learning to be berarti bahwa belajar adalah membentuk
-
manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya sendiri sebagai individu yang
bertanggung jawab, serta menyadari kelebihan dan kekurangannya. Sedangkan
learning to live together adalah belajar bekerja sama. Dalam konteks ini belajar
adalah membentuk masyarakat demokratis yang memahami dan menyadari adanya
setiap perbedaan pandangan antara individu (Sanjaya, 2006:110).
Karena proses pendidikan Indonesia yang hanya menyentuh aspek kognitif
atau learning to know, mengakibatkan mudah masuknya paham radikalisme atau
perubahan ideologi. Siswa maupun mahasiswa diberi paham-paham baru yang
kemudian masuk aspek kognitif, namun dari aspek afektif dan psikomotorik
bertentangan dengan konteks Indonesia yang multikultural, yang terdiri dari banyak
budaya, suku bangsa termasuk agama. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya,
apakah ideologi Pancasila masih relevan untuk era reformasi saat ini sehingga harus
tetap diberikan dalam dunia pendidikan. Untuk mengetahuinya dengan melihat
pendidikan dalam konteks yang mendasar. Dalam ketetapan MPR-RI No
IV/MPR/1973 tentang GBHN, dikemukakan bahwa pendidikan pada hakikatnya
adalah usaha sadar untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan di dalam
dan di luar sekolah serta berlangsung seumur hidup. Oleh karenanya, agar
pendidikan dapat dimiliki oleh seluruh rakyat sesuai dengan kemampuan masing-
masing individu, maka pendidikan merupakan tanggung jawab keluarga,
masyarakat dan pemerintah yang didasarkan atas Falsafah Negara Pancasila dan
diarahkan untuk membentuk manusia Indonesia yang sehat jasmani dan rohani.
Pendidikan merupakan proses sosial yang bertujuan membentuk manusia
sesuai cita-cita dan nilai sosial masyarakat di negara yang bersangkutan, yang
tergambar dari falsafah pendidikan. Falsafah pendidikan memberi petunjuk cara
berbuat dan bertingkah laku yang baik dalam masyarakat, dan menjadi guiding
principle atau petunjuk dalam proses operasional untuk mencapai cita-cita tersebut.
Melalui falsafah pendidikan tersebut, ditentukan tujuan pendidikan nasional, yang
selanjutnya mendasari tujuan institusional, tujuan kurikulum, dan tujuan
instruksional. Dengan demikian, pendidikan di Indonesia harus didasari pada
falsafah dan pandangan hidup bangsa seperti yang terkandung dalam Pancasila
(Hamalik, 2008: 60).
-
Pancasila merupakan kepribadian dan pandangan hidup bangsa yang telah
teruji kebenaran dan keampuhannya, serta mengandung nilai-nilai luhur sehingga
harus diresapi, dihayati dan diamalkan oleh setiap warga negara, para
penyelenggara negara, dan seluruh lembaga kenegaraan. Pendidikan nasional,
sebagai bagian dari usaha pembangunan nasional, merupakan usaha yang sangat
penting dalam membentuk manusia Indonesia seperti yang dicita-citakan. Oleh
karena itu, sistem pendidikan nasional harus berdasarkan Pancasila dan ditujukan
ke arah pembentukan manusia yang Pancasilais. Dengan demikian Pancasila harus
diajarkan dan dipelajari bukan hanya sebatas aspek kognitif, tetapi juga
menyangkut aspek afektif dan psikomotorik, Pancasila bukan hanya untuk dihafal
tetapi perlu proses pembelajaran yang terintegrasi dalam setiap bidang ilmu untuk
memasukkan Pancasila, sehingga kurikulum yang hanya mengejar materi, penilaian
yang lebih menekankan aspek kognitif juga perlu dibenahi.
Dalam pikiran bayi saat lahir adalah tabula rasa, sebuah lembaran kosong,
dan pengalaman tertulis di atasnya. Walaupun ide-ide berasal dari pengalaman, ide-
ide itu dikombinasi melalui refleksi atau proses rasional. Dengan demikian
seharusnya sejak kecil, keluarga menulisi bayi dengan nilai-nilai yang benar, baik
dari sisi agama, maupun pengenalan akan budaya dan bangsanya (Olson, 2010: 37).
Selain keluarga, masyarakat dan sekolah juga bertanggung jawab dalam proses
pendidikan dan pengenalan ideologi Pancasila. Tahap perkembangan anak pada
usia 11-15 tahun mulai bisa menangani situasi hipotesis, dan proses berpikir mereka
tidak lagi tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil, tetapi menjadi
semakin logis. Hal ini juga terjadi pada kasus siswa kelas 2 SMP yang merakit bom
buku, kerena pikiran yang semakin logis dan ingin tau, maka apa yang dia pelajari
diaplikasikan dalam kehidupannya. Dari sini dapat dilihat, bahwa tanpa
pengawasan dari orang tua atau orang dewasa, seorang anak dengan tahap
pemikiran yang sudah berkembang dapat terjerumus dalam radikalisme atau
ideologi bertentangan dengan Pancasila (Olson, 2010: 320).
Anak dapat melaksanakan tugas-tugas perkembangannya, dibutuhkan orang
dewasa yang dapat mengarahkan dan membimbing mereka agar tumbuh dan
berkembang secara optimal, Oleh karena itu, kemajuan ilmu pengetahuan dan
-
teknologi, memungkinkan setiap siswa dapat dengan mudah endapatkan berbagai
informasi, sehingga tanggung jawab orang dewasa (orangtua, guru) untuk
membimbing dan mengawasi. Orang dewasa khususnya guru, dituntut mempu
menyeleksi berbagai informasi, sehingga dapat menunjukkan pada siswa informasi
yang dianggap perlu dan penting untuk kehidupan mereka. Guru juga harus
menjaga siswa agar tidak terpengaruh berbagai informasi yang dapat menyesatkan
dan mengganggu pertumbuhan dan perkembangan mereka (Sanjaya, 2006: 100)
Pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah, sehingga peraturan
pemerintah dan kebijakan kurikulum nasional harus memperhatikan Pancasila
sebagai dasar pendidikan nasional. Pada masa orde baru, pendidikan Pancasila
menjadi salah satu mata pelajaran sekolah, namun masa reformasi, justru
menghilangkan mata pelajaran Pancasila, meskipun pada pendidikan tinggi tetap
ada. Namun kembali pada bahasan di atas, pendidikan Pancasila di jenjang
pendidikan manapun di Indonesia, lebih menekankan aspek kognitif, sehingga
siswa megetahui secara pasti isi Pancasila, namun tidak mengamalkannya dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Menurut saya, aspek yang paling mendasar dari penyimpangan ideologi
justru dari tidak adanya teladan dari pemimpin. Meskipun pemimpin disini
termasuk orangtua, guru, pemuka agama, pemimpin kelurahan hingga yang lebih
tinggi, namun keteladanan dari pemimpin bangsa akan menjadi sorotan.
Keteladanan dari pemimpin bangsa dalam pengamalan Pancasila juga dirasa kurang
mengena. Dalam masyarakat manapun, seorang pemimpin selalu diharapkan untuk
dapat menjadi teladan, baik tingkah laku, tutur kata, bahkan penampilannya (Edi
Sedyawati, 2006: 290).
Keteladanan dari pemimpin juga semakin terekspos oleh media massa
sebagai dampak dari kebebasan pers. Sehingga kekurangan pemimpin, seakan-akan
dipertontonkan pada masyarakat, termasuk siswa dan mahasiswa. Dengan demikian
kekurangan dan dosa pemimpin menjadi hal yang wajar dimata masyarakat, bahkan
menjadi wajar dimata para siswa yang seharusnya diberi teladan yang baik. Untuk
itu, tugas orangtua, guru maupun pemimpin agama menjadi semakin berat, selain
-
mengajarkan moral yang sesuai dengan nilai-nilai agama, juga mengajarkan nilai-
nilai cinta terhadap tanah air dan bangsa.
D. PENUTUP
Permasalahan pendidikan di Indonesia masa kini sesungguhnya sangat
kompleks yang dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu permasalahan eksternal
dan internal. Dalam permasalahan eksternal di bahas masalah globalisasi dan
masalah perubahan sosial sebagai lingkungan pendidikan. Sedangkan menyangkut
permasalahan internal disoroti masalah system kelemahan (dialisme dikotomi),
profesionalisme guru, dan strategi pembelajaran. Dari pemahaman terhadap
sejumlah permasalahan dimaksud di atas dapat disimpulkan bahwa berbagai
permasalahan pendidikan yang komplek itu, baik eksternal maupun internal adalah
saling terkait.
Hal ini tentu saja menyarankan bahwa pemecahan terhadap permasalahan-
permasalahan pendidikan tidak bisa dilakukan secara parsial, yang merupakan
pendekatan terpadu. Bagaimanapun, permasalahan-permasalahan di atas yang
belum merupakan daftar lengkap, harus kita hadapi dengan penuh tanggung jawab.
Sebab, jika kita gagal menemukan solusinya maka kita tidak bisa berharap
pendidikan nasional akan mampu bersaing secara terhormat di era globalisasi
dewasa ini.
Sebagai insan yang berpendidikan, kita tentu masih terus berharap akan
datangnya perubahan fundamental terhadap sistem pendidikan kita. rasa optimis
menatap masa depan wajib terbersit di lubuk hati kita semua, meskipun banyak
sekali problem yang belum terentaskan. Rasa optimis menjadi kata kunci (key
word) bagi semua idealisme perubahan itu. Dengan demikian, sebagai seorang yang
berada di dunia pendidikan kita tidak perlulah merasa putus asa. Sitem pendidikan
nasional sedang beranjak menuju perubahan (Suyanto, 2006: 54). Akan tetapi,
perubahan itu jelas tidak bisa dalam sekali waktu yang langsung memperlihatkan
hasil secara maksimal. Sebab, mengelola sistem pendidikan nasional ibarat
menanam modal (investasi) untuk jangka panjang. Tetapi wujud keberhasilannya
tidak seketika. Jika investasi dalam bentuk bisnis jelas akan menghasilkan untung-
-
rugi secara riil, karena dapat diukur dengan besarnya nominal rupiah. Namun
investasi pendidikan adalah berbentuk kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) yang
riil bagi generasi bangsa. Karena tujuan nasional pendidikan kita adalah untuk
membangun mentalitas yang berkarakter.
Seharusnya semua elemen pendidikan menyadari bahwa dasar pendidikan
karakte suatu bangsa adalah ketika secara kontekstual mampu bersumber pada
konsep dan strategi yang diwujudkan dalam esensi dan nilai kurikulum dalam
pendidikan karakter bangsa (dalam hal ini misalnya pendidikan agama, pancasila
dan kewargangeraan) sebagai kurikulum mutlak yang mesti menjadi dasar bagi
setiap kelulusan siswanya. Dengan demikian ouput pendidikan, yakni terciptanya
sumber daya manusia yang unggul dan berkualitas adalah manusia-manusia
Indonesia yang paham akan nilai-nilai Indonesia dan merasa memiliki Indonesia.
Pendidikan juga bukan hanya menjadi tanggung jawab guru, tetapi secara bersama-
sama, keluarga, sekolah, pemerintah, dan masyarakat temasuk media massa ikut
memperhatikan proses pendidikan nasional.
Akan sangat berat dan menjadi hal yang besar bagi proses pendidikan di
Indonesia, khususnya menciptakan generasi yang unggul, cerdas dan terampil, serta
memiliki akhlak mulia, bermoral serta memegang teguh nilai-nilai Pancasila.
Tekanan-tekanan dari pihak lain, seperti keteladanan pemimpin yang kurang,
ekploitasi kekerasan dan ketidakadilan dari media massa serta kehidupan sosial
ekonomi masyarakat yang semakin berat selain banyak masalah yang terkait
dengan pendidikan itu sendiri itu sendiri, seperti pemerataan pendidikan, materi.
Meskipun banyak problem yang dihadapi oleh pendidikan nasional, namun
itu semua tidak boleh menyurutkan semangat kita. Bagaimanapun juga, pendidikan
nasional merupakan investasi bagi masa depan bangsa. Sebab, melalui pendidikan
nasional, masa depan bangsa sedang dirancang sebaik mungkin dengan cara
mempersiapkan Sumber Daya Manusia yang tidak kalah kualitasnya dengan
negara-negara lain. Kita perlu mengingat kembali kata Cicero, Pekerjaan apakah
yang lebih mulia, atau yang lebih bernilai bagi negara, daripada mengajar
generasi yang sedang tumbuh?.
-
E. DAFTAR PUSTAKA
Fakih, Mansour, 2000. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi.
Yogyakarta: Insist Press dan Pustaka Pelajar.
Freire, Paulo, 2000. Pendidikan Kaum Tertindas, alih bahasa Oetomo Dananjaya
dkk. Jakarta: LP3ES.
Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya
Hergenhahn, B & Olson, Matthew. 2010. Theories of Learning (Teori Belajar).
Jakarta: Kencana Prenada Media Grup
Intisari Mediatama. 2001. Untaian Kata Bijak Hari ini. Jakarta : Gramedia
Joesoef, Daoed, 2001. Pembaharuan Pendidikan dan Pikiran. Jakarta: Kompas.
Karim, M. Rusli. 1991. Pendidikan Islam sebai Upaya Pembebasan Manusia.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuntowijoyo. 2001. Muslim Tanpa Masjid: Esai-Esai Agama, Budaya, dan Politik
dalam Bingkai Strukturalisme Transendental. Bandung: Mizan.
Maarif, Ahmad Syafii. 1987. Masalah Pembaharuan Pendidikan Islam.
Yogyakarta: LPM UII.
Maarif. Ahmad Syafii. 1996. Pendidikan Islam dan Proses Pemberdayaan Umat.
Jurnal Pendidikan Islam, No. 2 Th.I/Oktober 1996.
Othman, Ali Issa. 1981. Manusia Menurut al-Ghazali, alih bahasa Johan Smit dkk.
Bandung: Pustaka.
Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group.
Sedyawati Edi. 2006. Budaya Indonesia, Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Shane, Harlod G. 1984. Arti Pendidikan bagi Masa Depan. Jakarta: Rajawali Pers.
Soedjatmoko. 1991. Nasionalisme sebagai Prospek Belajar. Prisma, No. 2 Th. XX,
Februari.
Suyanto, 2006. Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam Percanturan Dunia
Global). Jakarta: PSAP Muhammadiyah.