PENYELESAIANSENGKETATANAHTEGALBURET Dl ...
Transcript of PENYELESAIANSENGKETATANAHTEGALBURET Dl ...
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH TEGAL BURETDl KECAMATAN GALUR KABUPATEN KULON PROGO
PROPINSIDAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SkripsiDiajukan sebagai Salah Satu Syarat untuk memperoleh
Sebutan Sarjana Sains TerapanJurusan Manajemen
Oleh:
NARNITRI KUSWARI
NIM. 02112012/M
BADAN PERTANAHAN NASIONALSEKOLAH TINGGI PERTANAHAN NASIONAL
YOGYAKARTA
2006
INTISARI
Benturan kepentingan kepemilikan dan penguasaan tanah sering kalimenimbulkan sengketa pertanahan, baik sengketa antara sesama anggotamasyarakat maupun antara masyarakat dengan pemerintah dalam hal mi antaraTNI dengan warga yang menjadi sumber sengketa adalah tanah Tegal Buretseluas 20.045 m2 tertetak di Desa Kranggan Kecamatan Galur Kabupaten KulonProgo Kedua belah pihak mengklaim bahwa tanah tersebut miliknya denganberbagai asumsi dan bukti-bukti penguasaan yang dimiliki masing-masing.Menarik untuk dikaji yang menjadi pertanyaan berikut ini: apa penyebabterjadinya sengketa tanah Tegal Buret, bagaimana proses penyelesaiansengketa tanah tersebut, dan akseptasi para pihak yang bersengketa.
Metode penelitian yang digunakan adalah studi kasus deskripW yaitupenelitian yang dilakukan secara intensif terinci dan mendalam temadap suatuorganisasi, lembaga atau gejala tertentu yang meliputi daerah atau subyek yangsangat sempit. Data yang dihimpun adalah data primer dan data sekunder yangdiperoleh dari studi dokumen dan wawancara. Analisis data dilakukan dari fakta-fakta yang diperoleh kemudian dideskripsikan dengan kata-kata untukmemperoleh kesimpulan agar mudah dipahami.
Dari hasil penelitian diperoleh bahwa penyebab terjadinya sengketa ada2 (dua) yaitu: adanya klaim dari masyarakat dan kurang tertibnya administrasipertanahan dimasa lampau. Kurang tertibnya administrasi pertanahan padamasa kolonial Belanda dan masa penjajahan Jepang yang berimplikasi padapenguasaan tanah secara yuridis (de jure) tetapi tidak dibarengi denganpenguasaan tanah secara fisik (de facto) akan menimbulkan konflik atauperselisihan pendapat tentang penguasaan atas bidang tanah. Prosespenyelesaian sengketa yang dilakukan yaitu; menempuh upaya damai, denganberkali-kali mengadakan musyawarah tetapi tidak membuahkan hasil, danmenempuh upaya hukum. Proses peyelesaian sengketa tanah ini telah masukdalam persidangan di pengadilan, akantetapi tidak menutup kemungkinan untukmelakukan suatu perdamaian, dengan difasilitasi oleh Bagian HukumPemerintah Kabupaten Kulon Progo dan tentu adanya peran serta hakim. Hasildari proses penyelesaian sengketa ini adalah berupa akta perdamaian yangdikukuhkan oleh Pengadilan Negeri Wates dengan sebutan "putusanperdamaian". Disebutkan dalam akta perdamaian bahwa pihak TNImendapatkan kompensasi sebesar Rp 300.000.000,- (tiga ratus juta rupiah) darimasyarakatdengan pinjaman dana dari pemerintah daerah setempat dan tanahTegal Buret menjadi milik ahli waris dengan bukti kepemilikan berupa sertipikat.Dengan hasil akhir putusan perdamaian maka berbagai pihakyang bersengketatertutup untuk upaya banding dan kasasi karena telah mempunyai kekuatanhukum tetap yang sama kedudukannya dengan putusan hakim. Dengandemikian, maka tertutup upaya banding dan kasasi dari kedua belah pihak,karena putusan perdamaian adalah mengakhiri sengketa. Dengan berakhimyasengketa tanah tersebut dari pihak yang bersengketa merasa puas akan hasilyang dicapaiwalaupun akta perdamaian tersebut terjadidi akhir persidangan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
KATA PENGANTAR in
INTISARI v
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Penelitian 1
B. Perumusan Masalah 7
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN 9
A. Tinjauan Pustaka 9
B. Kerangka Pemikiran 31
C. Definisi Konsep dan Batasan Operasional 35
BAB III METODE PENELITIAN 36
A. Metode Penelitian 37
B. Lokasi Penelitian 37
C. Populasi 37
D. Jenis Data dan Sumber Data 37
VI
E. Teknik Pengumpulan Data 39
F. Langkah-Langkah Penelitian 40
G. Teknik Analisis Data ..' 41
BAB IV GAMBARAN UMUN DAERAH PENELITIAN 43
A. Keadaan Fisik Wilayah Kabupaten Kulon Progo 44
B. Keadaan Fisik Desa Kranggan Kecamatan Galur 48
BABV HASIL PENELITIAN & PEMBAHASAN 49
A. Penyebab Terjadinya Sengketa 49
B. Proses Penyelesaian Sengketa 65
C. Akseptasi Para Pihak yang Bersengketa 96
BABVI PENUTUP 101
A. Kesimpulan 102
B. Saran 102
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
VII
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Dewasa ini masalah pertanahan merupakan saiah satu masalah
yang kompiek dan multidimensional. Tanah bagi manusta merupakan
sumber penghidupan dan kehidupan baik sebagai tempat tinggal maupun
sebagai faktor produksi yang dapat dimiliki sehingga mempunyai
kedudukan yang sangat strategis. Tanah mempunyai nilai ekonomis
sekaligus religius karena dimensinya begitu luas dan mencakup di hampir
seluruh kehidupan manusia. Heru Nugroho (dalam Brahmana Adhie dan
Hasan Basil Nata Menggala, 2002:99) menyatakan:
"Tanah bagi masyarakat kita memiliki makna multi dimensional.Pertama, dari sisi ekonomi tanah merupakan sarana produksi yangdapat mendatangkan kesejahteraan. Kedua, secara potto's tanahdapat menentukan posisi seseorang dalam pengambilan keputusanmasyarakat. Ketiga, sebagai budaya dapat menentukan tinggirendahnya status sosial pemifiknya. Keempat, tanah bermakna sakralkarena berurusan dengan waris dan masalah-masalah transendental.Karena makna-makna tersebut ada kecenderungan bahwa orangyang memiliki tanah akan berupaya mempertahankan tanahnyadengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar. Ada pepatah jawayang menegaskan sedumuk batuk senyari burnt, yang artinya apapunresiko yang akan diterima tetap akan dibela sampai titik darahpenghabisan, merupakan cerminan bagaimana gigihnya orangmembela tanah miliknya".
Berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Rl Nomor
IX/MPR/2001 tanggal 9 November 2001 tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam, khususnya Pasal5 ayat (1) butir d,
arah kebijakan pembaruan agraria yaitu menyelesaikan konflik di masa
mendatang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan
berdasarkan pada prinsip-prinsip sebagaimanadiatur dalam Pasal 4.
Benturan kepentingan kepemilikan dan penguasaan tersebut pada
akhirnya menimbulkan sengketa di bidang pertanahan, baik sengketa
antara sesama anggota masyarakat maupun antara masyarakat dengan
pemerintah. Belum tertibnya administrasi pertanahan pada masa kolonial
Belanda dan masa penjajahan Jepang, yang berimplikasi pada
penguasaan tanah secara yuridis (de jure) tetapi tidak dibarengi dengan
penguasaan tanah secara fisik (de facto) akan menimbulkan konflik atau
perselisihan pendapat tentang penguasaan atas bidang tanah .
Sengketa di bidang pertanahan di wilayah Kabupaten Kulon Progo
antara lain terjadi di Desa Kranggan Kecamatan Galur dan mencuat pada
awal masa reformasi pada tahun 1999 antara pihak masyarakat Desa
Kranggan (8 orang ahli waris dengan status tanah milik) dan Desa Brosot
(status tanah kas desa) dengan pihak pemerintah (pihak TNI) dalam hal
ini adalah Kodim 0731/Kulon Progo, yang penguasaan secara fisik
hampir 32 tahun dipergunakan untuk tanaman tebu yang disewa oleh
Pabrik Gula Madukismo menjadi sengketa karena pihak ahli waris
mengklaim bahwa tanah yang selama ini dikuasai oleh pihak TNI adalah
tanah milik leluhumya dengan bukti berupa Letter C yang diperkuat lagi
dengan Surat Pemerintah Daerah Kepala Jawatan Pemerintah
Umum DIY tertanggal 16 Juii 1953 No.8033/IV/A/1953, Instruksi Menteri
Dalam Negeri tertanggal 09 Mei 1950 No.H.20/5/7 serta surat dari Kantor
Pertanahan Kabupaten Kulon Progo No. 500/1402/BPN/1998.
Masyarakat menginginkan proses pengembalian tanah tanpa meialui
lembaga pengadilan, akan tetapi dari pihak TNI menginginkan sebaliknya
karena sesuai dengan perintah Pangdam IV/Diponegoro No.
Sprint/892A/I/1999. Tanah yang disengketakan seluas hampir 3 Ha yang
terdiri dari 20.045 m2 tertetak di Desa Kranggan dan 8.150 m2 tertetak di
Desa Karang Brosot (Kedaulatan Rakyat, 7 Juti 1999 dan Bemas 31
Agustus 1999).
Dari pihak TNI, dikatakan bahwa mereka telah menguasai tanah
berpuluh-puluh tahun dengan mempunyai bukti-bukti:
...riwayat singkat tanah Tegal Buret, putusan Dewan KeturahanKranggan tgt.16 Oktober 1950, surat PDM Kulon Progo nomor129/8/PDM/1952, turunan Putusan Dewan Perwakilan RakyatKeturahan Kranggan tgl. 17 Desember 1945, surat Agraria 40/25/13tanggal 13 Mei 1953, putusan Dewan Keturahan Kranggan tgl. 3September 1963, turunan Putusan Dewan keturahan Kranggan tgl.20 September 1950, sketsa tanah bekas Asrama PETA. (SumberKedaulatan Rakyat, 12 Juii 1999).
Kronologi sejarah tanah sengketa tanah Tegal Buret dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Sebetum Tahun 1943, tanah Tegal Buret yang daerahnya tertetak di
Desa Kranggan merupakan tanah milik masyarakat setempat. Tahun
1943 pada masa penjajahan Jepang tanah tersebut dipergunakan
untuk Asrama PETA tanpa adanya ganti rugi dan tidak ada tanah
partikelir yang dibeli kembali. Tanah-tanah partikelir yang diurus oleh
Kantor yang dinamakan Siryooti Kanrikoosya berdasarkan Undang-
Undang Balatentara Jepang Dai Nippon No.17 tanggal 1 Juni 2602
(1942 dihubungkan dengan Osamu Seirei Nomor 2 Tahun 2603
(1943). Setelah Jepang mengalami kekalahan, asrama tersebut
dipakai untuk Asrama Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) Jawa
Barat tanggal 21 Juii 1947.
2. Tahun 1949, tanah tersebut digunakan untuk tempat intemiran
(penaharian) nyonya-nyonya Belanda dan Cina.
3. Tahun 1968 setelah masa pemberontakan PKI tanah tersebut dikuasai
oleh Kodim 0731/Kulon Progo yang rencananya akan dipergunakan
untuk pangkalan militer dan telah diklaim menjadi aset negara yang
tercatat dalam daftar inventarisasi kekayaan yang secara hirarkhi
sampai ke Menteri Keuangan dengan registrasi nomor 20731001.
Sesuai data yang dimiliki TNI, berdasarkan turunan putusan Dewan
Kelurahan Kranggan tertanggal 16 September 1950 dijelaskan bahwa
sebanyak 9 (sembilan) pemilik hak atas tanah tersebut telah menerima
ganti rugi dan Surat Putusan Dewan Kelurahan tanggal 3 September
1953 memutuskan tanah tersebut dapat diminta kembali kepada
pemegang hak milik atau ahli waris dengan membayar kembali uang
kerugian yang pernah diterimanya, dan sesuai Surat Edaran
Departemen Dalam Negeri No.H 20/5/7 tertanggal 09 Mei 1950 dan
No. Agr 40/25/13 tertanggal 13 Mei 1953 yang menjelaskan bahwa
tanah asal penduduk Indonesia Asli yang diambilalih Balatentara Dai
Nippon dengan pemberian ganti rugi, telah dibebaskan dari hak dan
berubah menjadi tanah negara yang pengawasannya diserahkan
kepada Departeman Pertahanan atau TNI.
Kedua belah pihak tetap mempertahankan pada argumen bukti
masing-masing sehingga hal ini menyebabkan beriarut-larutnya
penyelesaian sengketa tanah tersebut, dan ini menjadi bahan perhatian
dan sorotan publik baik di tingkat daerah maupun tingkat nasional karena
dalam penyelesaiannya melibatkan berbagai pihak yaitu masyarakat,
Pemerintah Daerah, DPRD, BPN dan instrtusi militer.
Penyelesaian sengketa tanah ini telah berkali-kali diupayakan
untuk diselesaikan bahkan sampai masyarakat melakukan aksi unjuk rasa
(Kedaulatan Rakyat,30 Agustus 1999) sebagai rasa ketidakpuasan
terhadap usaha memperoleh tanahnya kembali belum bernasil. Dan
upaya yang dilakukan adalah dengan jalan musyawarah dan mediasi
akan tetapi tidak menemukan kata sepakat, maka upaya yang ditempuh
dalam proses penyelesaian sengketa adalah dengan melalui suatu
lembaga peradiian yang menghasilkan konsensus/kesepakatan berupa
"putusan perdamaian tanah". Agar mempunyai kekuatan pembuktian
yang sempuma kiranya perlu dituangkan dalam bentuk akta otentik atau
dimintakan penetapan/putusan pengadilan, dalam hal
konsensus/kesepakatan merupakan perdamaian (dading) yang bersifat
mengakhiri sengketa di pengadilan. Seperti yang dikemukakan M. Yahya
Harahap (1993:282) bagaimanapun adil dan benarnya putusan
pengadilan, pasti lebih adil putusan perdamaian. Putusan perdamaian
jauh lebih manusiawi dan hubungan pertalian persaudaraan tidak terputus
malah akan semakin kokoh dan akrab.
Dari segi lain, putusan perdamaian akan dapat mempercepat proses
penyelesaian perkara, dan sekaligus memperingan biaya perkara yang
harus dipikul para pihak. Keistimewaan dari putusan perdamaian adalah
mempunyai kekuatan hukum tetap, tertutup upaya banding dan kasasi
serta memiliki kekuatan eksekusi (Subekti, 1989:18). Dan keuntungan
bagi bagi para pihak, dengan adanya perdamaian itu berarti: menghemat
ongkos perkara, menghemat waktu, mempercepat penyelesaian sengketa
dan menghindari putusan yang saling bertentangan serta hasilnya
memuaskan semua pihak.
Hal ini perlu direnungkan dan dapat menjadi pertimbangan dalam
proses penyelesaian sengketa karena pada saat sekarang ini sungguh
langka sekali diketemukan putusan perdamaian, baik di tingkat
Pengadilan Negeri maupun pada tingkat banding sehingga hal ini menarik
untuk dikaji.
Berdasarkan hal tersebut maka penulis ingin mengkaji:
"PENYELESAIAN SENGKETA TANAH TEGAL BURET Dl KECAMATAN
GALUR KABUPATEN KULON PROGO PROVINSI DAERAH ISTIMEWA
YOGYAKARTA".
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas permasalahan dapat dirumuskan dalam
3 (tiga) pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Apa penyebab terjadinya sengketa tanah Tegal Buret di Kecamatan
Galur Kabupaten Kulon Progo Propinsi Daerah Istimewa
Yogyakarta?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa tanah Tegal Buret
Kecamatan Galur Kabupaten Kulon Progo Daerah Istimewa
Yogyakarta?
3. Bagaimana akseptasi para pihak yang bersengketa terhadap
penyelesaian sengketa tanah Tegal Buret?
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan:
a. penyebab terjadinya sengketa tanah Tegal Buret di Kecamatan
Galur Kabupaten Kulon Progo;
b. proses penyelesaian sengketa tanah Tegal Buret di Kecamatan
Galur Kabupaten Kulon Progo;
c. akseptasi para pihak yang bersengketa terhadap penyelesaian
sengketa tanah Tegal Buret di Kecamatan Galur Kabupaten
Kulon Progo.
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan penelitian ini adalah:
a sebagai bahan pertimbangan dan masukan bagi pihak yang
bersengketa, Lembaga Peradiian, Kantor Pertanahan, bagian
Hukum Pemda setempat tentang upaya penyelesaian sengketa
pertanahan, sehingga dapat dijadikan acuan dalam menentukan
kebijakan;
b. Memperkaya khasanah kajian sengketa pertanahan khususnya
putusan pengadilan yang berupa perdamaian (dading).
102
BAB VI
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Penyebab Terjadinya Sengketa.
a. Klaim dari masyarakat.
Dengan berbagai bukti kepemilikan berupa Letter C dari pihak
warga dan surat-surat penguasaan dari pihak TNI serta asumsi
yang berbeda, keduanya saling bersitegang atas pemilikan
tanah tersebut.
b. Kurang tertibnya administrasi pertanahan di waktu lampau,
dengan adanya indikasi pada penguasaan tanah secara fisik (de
facto) tanpa dibarengi dengan penguasaan tanah secara yuridis
(dejure), sehingga menimbulkan perselisihan pendapat tentang
penguasaan tanah tersebut.
2. Proses Penyelesaian Sengketa.
a. Menempuh musyawarah.
Proses penyelesaian dengan cara damai baik melalui negosiasi
dan usulan mediasi tidak membuahkan hasil kesepakatan.
b. Menempuh jalur hukum.
Dengan mengajukan dua kali gugatan di pengadilan, di sini
peran hakim sangat penting, selain para pihak yang
103
bersengketa, hakim memang dituntut untuk dapat menyadarkan
dan menyakinkan pihak-pihak yang bersengketa bahwa
penyelesaian perkara perdata dengan suatu keputusan (vonis)
pengadilan sebenamya bukanlah suatu cara penyelesaian yang
baik dan paling tepat seperti diduga kebanyakan orang yang
tidak mengerti. Akan tetapi, sebaliknya penyelesaian sengketa
perdata dengan perdamaian antara pihak-pihak yang
bersengketa adalah suatu cara yang jauh lebih baik dan jauh
lebih bijaksana daripada diselesaikan dengan keputusan
pengadilan baik dalam hal dipandang dari segi hubungan
kemasyarakatan (kekeluargaan) maupun dari segi waktu, biaya
dan tenaga yang dibutuhkan. Walaupun putusan perdamaian
didasarkan padan musyawarah.
3. Akseptasi Para Pihak yang Bersengketa.
Dengan hasil akhir berupa putusan perdamaian diharapkan
mereka menerima dengan perasaan puas dan keikhlasan hati,
sehingga perasaan yang tegang dapat menumbuhkan tali
persaudaraan dan mempererat kekeluargaan.
B. SARAN
1. Penertiban administrasi pertanahan pada seluruh desa atau
kelurahan agar subyek dan obyeknya menjadi jelas dan periunya
104
sistem informasi pertanahan mulai dari tingkat pusat sampai
ketingkat desa atau keturahan.
2. Proses penyelesaian yang panjang Diharapkan dengan adanya
kasus diatas dapat dijadikan acuan untuk menggunakan cara-cara
perdamaian, karena cara ini sudah jarang sekali terjadi di pengadilan,
3. Diharapkan dengan hasil akhir putusan perdamaian, para pihak yang
bersengketa merasakan puas dan tidak adanya ketegangan dan
pertentangan sehingga dapat mengikatkan kembali keharmonisan
dan kekeluargaan di dalam masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Brahmana Adhie dan Hasan Basri Nata Menggala, (2002), ReformasiPertanahan; Pemberdavaan Hak-Hak Atas Tanah ditiniau dari AsnekHukum. Sosial. Potitik Ekonomi. Hankam. Teknik. Aoama dan Budava.Mandar Maju, Bandung.
Darmawang, (2005), Penyerobotan Tanah Perkebunan hak Guna Usaha PT.London Sumatra Ofeh Masyarakat.
Emirson, Joni, (2001), Aitematif Penvetesaian Sengketa di Luar Pengadilan(Negosiasi, Mediasi, Konsiiiasi dan Arbitrase), Gramedia PustakaUtama, Jakarta.
Guntur, Nyoman, (2002), Penyelesaian Sengketa Pertanahan. Modut Kuliahpada Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional Yogyakarta (tidakdipublikasikan), Yogyakarta.
Harahap, Yayha M, (1993), Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi BidangPerdata. Jakarta PT. Gramedia Pustaka Utama.
Harsono, Soni, (1995). Pokok-Pokok Kebijakan Pertanahan di Indonesia SenIV, Jakarta Badan Pertahan Nasional
Hadi, Asman, (2002), Studi Tentang Sengketa Pertanahan Di KotaYogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta.
Handoko, Ribut (2000), Gugatan Masyarakat Adat Kampung Kayu Pulau danKayu Batu atas tanah dan Pantai/Perairan Laut Di Apo Dok JayapuraTerhadap Pemda Prop. Papua.
Juliantara, Dadang, (1995), Tanah, Rakyat dan Demokrasi, Yogyakarta,Forum LSM-LPSM DIY dan Yapika
Mansyur, Hesti, (2004), Studi Kasus Sengketa Pertanahan Di KantorPertanahan Madiun.
Maynihan, Comelis J, (1988), Introduction To The Law of Real. WestPubishing Co, USA
Muchsin, (2002), Konflik Sumber Dava Agraria dan Uoava Penyelesaian.Seminar, Nasional Pertanahan (Pembaharuan Agraria), Yogyakarta,STPN.
Murad, Rusmadi, (1991), Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah.Bandung, Alumni.
Nasution, Lutfi I, (2002), Kebijakan Dalam Melaksanakan PembaruanAoraria. Makalah pada Seminar Nasional Pertanahan 2002"Pembaruan Agraria" Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Sitorus, Oloan, (2004), Kapita Selekta. Perbandingan Hukum Tanah. MitraKebijakan Tanah Indonesia.
STPN, (2003), Pedoman Penulisan Proposal Penelitian Dan Skripsi padaSekolah Tinggi Pertanahan Nasioanal, STPN, Yogyakarta.
Sarjita, (2005), Teknik dan Strateoi Penyelesaian Sengketa Pertanahan.Tugu Jogja Pustaka.
Subekti, (1989), Hukum Acara Perdata. Bina Cipta Bandung.
Suharsimi, Arikunto, (2002), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.Rineka Cipta, Jakarta
Suseno, Magnis, (2001), Etika Poiitik Prinsip-Prinsip Moral DasarKeneoaraan Modem..Jakarta PT Gramedia Pustaka Utama.
Sumardjono, Maria S.W, (2002), Kebiiakan Antara Reoulasi danImplementasi. Jakarta.
Supriyanto, Eko Herry, (2005), Studi Kasus Penyelesaian Sengketa BatasWilayah Kabupaten Kebumen dan Kabupaten Cilacap Jateng.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, (1995), Metode Penelitian SurveyLP3ES. Jakarta.
Wijaya, Gunawan, (2001), Aitematif Penyelesaian Sengketa. Jakarta, PT.Raja Grafindo Persada.
W, Gulo, (2002), Metode Penelitian. PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Pokok-PokokAgraria.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan AitematifPenyelesaian Sengketa Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan kehakiman.
Undang-Undang Nomor 51 Prp Tahun 1950 tentang Larangan PemakaianTanah Tanpa IzinYang Berhak atau Kuasanya.
Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1Tahun 1999 tentang Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan.
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata