PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH YANG...
Transcript of PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH YANG...
PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH YANG BERSERTIFIKAT
GANDA MENURUT ATURAN BADAN PERTANAHAN NASIONAL
DI WILAYAH TANGERANG SELATAN
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah Dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
Riki Dendih Saputra
1110048000066
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNI VERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H / 2017 M
v
ABSTRAK
RIKI DENDI SAPUTRA, NIM: 1110048000066, PENYELESAIANSENGKETA KEPEMILIKAN TANAH YANG BERSERTIFIKATGANDA MENURUT ATURAN PERTANAHAN NASIONAL DIWILAYAH TANGERANG SELATAN, Skripsi Konsentrasi Hukum Bisnis,Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas islamNegeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1438 H/ 2017 M viii + 69 halaman.
Masalah yang diteliti dalam skripsi ini adalah penyelesaian sengketakepemilikan tanah yang bersertifikat ganda Menurut Aturan PertanahanNasional Di Wilayah Tangerang Selatan. Dari permasalahan ini, maka dilakukanpenelitian untuk mengetahui tentang bagaimana metode atau model yangdilakukan masyarakat Tangerang Selatan, khususnya Kantor Badan PertanahanNasional di Wilayah Tangerang Selatan terhadap persengketaan tanah yangbersertifikat ganda.
Metode yang digunakan peneliti adalah tidak hanya mengacu pada metodepenelitian tetapi juga terhadap paradigma, pola pikir, metode pengumpulan dananalisa data, hingga cara penafsiran dari penemuan penelitian itu sendiri. Metodepenelitian diperlukan guna mengumpulkan sejumlah bahan yang digunakanuntuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam suatu rumusan masalah.Penelitian hukum ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif analisis yangdiarahkan untuk memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objekpenelitian sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan peneliti. Penelitiandeskriptif analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggambarkanatau mendeskripsikan faktor-faktor diterbitkannya sertipikat ganda hak atastanah dan perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah bilamanaterdapat penerbitan sertifikat ganda.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa persengketaan atas sertifikat tanahberganda sering ditemukan di wilayah kantor Badan Pertanahan Nasional, baikantar personal, dengan perusahaan, maupun dengan pemerintah TangerangSelatan sendiri. Sementara model yang dilakukan untuk menyelesaikanpersengketaan tanah tadi selalu ditempuh melalui jalur hukum (PengadilanNegeri sampai ke Mahkamah Agung). Dan oleh masyarakat, model jalur hukumitu dirasakan sangat menyulitkan dan melelahkan. Padahal persengketaan tanahbersertifikat ganda tadi, bisa jadi berawal dari seseorang yang bekerja samadengan oknum di kantor BPN di wilayah Tangsel melakukan penggandaansertifikat tanah, dan akibatnya, pemilik tanah yang aslilah yang harusmenyelesaikan sengketanya,
Kata Kunci : Sengketa Tanah, Bersertifikat Ganda, Badan PertanahanNasional, Tangerang Selatan
Pembimbing : Dra. Ipah Parihah, MH Dan M. Yasir, SH, MHDaftar Pustaka : Sumber Rujukan dari tahun 1945 sampai 2017
vi
KATA PENGANTAR
Assalamualaiku Wr. Wb
Segala puji bagi Allah SWT, Tuhan Semesta Alam yang hanya dengan
hidayah dan nikmat-Nyalah skripsi berjudul ”PENYELESAIAN SENGKETA
KEPEMILIKAN TANAH YANG BERSERTIFIKAT GANDA MENURUT
ATURAN PERTANAHAN NASIONAL DI WILAYAH TANGERANG
SELATAN” dapat diselesaikan dengan baik. Penyusunan skripsi ini merupakan
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum pada fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan
teriring shalawat serta salam kita junjungkan kepada Baginda Nabi Rasulullah
saw, keluarga dan sahabatnya.
Dalam penyusunan skripsi ini, peneliti menyadari bahwa penyusunan
skripsi belum dapat dikatakan sebagai karya ilmiah yang baik, karena masih
banyak kekurangan di sana sini, yang oleh penelitipun harus terus
disempurnakan. Selain itu, peneliti pun menghadapi kendala-kendala, selain
kendala waktu, biaya perkuliahan dan penyusunanpun menjadi persoalan
tersendiri, sehingga peneliti berlarut-larut. Meskipun demikian, dengan
ketekatan bulat, penyusunan skripsi dapat selesai dengan berbagai
dukungan.Sehubungan dengan itu sudah seharusnya peneliti menyampaikan
ucapan terima kasih,kepada yang terhormat :
1. Dr. Asep Saepuddin Djahar, MA, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, Beserta Para Wakil Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
2. Dr. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH, Ketua Program Studi dan Drs. Abu
Tamrin, SH, MH Sekprodi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta. Keduanya telah banyak memberi arahan dan
bantuan dalam proses perkuliahan dan penyusunan skripsi ini.
3. Ipah Parihah S,Ag. MH Dosen pembimbing I yang telah menyediakan
waktunya dan sabar memberikan arahan, saran dan masukan terhadap
penyusunan skripsi ini.
4. H. M. Yasir, SH. M.H Dosen pembimbing II yang telah menyediakan
waktunya dan sabar memberikan arahan,saran dan masukan terhadap
penyusunan skripsi ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmunya dan bimbingannya sehingga saya
dapat menyelesaikan program studi ilmu hukum ini.
6. Kepada Para petugas perpustakaan yang telah membantu meminjamkan buku
perpustakaan sehingga peneliti mendapatkan wawasan dan ilmu pengetahuan
yang sangat luas sehingga peneliti dapat menyelesaikan studinya.
7. Kedua orang tua penulis Bapak Drs .H . Nedih MM dan Ibu Wahyuningsih
SE yang telah mendoakan,mendukung dan menjadi motivasi untuk
penyusunan skripsi ini.
8. Semua pihak terutama Adik-adik ku tercinta Diki Wahyu Saputra dan Nabila
Safitri yang sangat saya sayangi dan telah menjadi motivasi dalam
penyusunan skripsi untuk bisa membanggakan keluarga tercinta.
9. Semua pihak yang saya cintai dan orang saya sayangi Tri Diah Setiowati
dengan sabar menemani,membesarkan hati peneliti dikala kondisi lagi suntuk
viii
dan jenuh sehingga peneliti mendapatkan motivasi di saat menyelesaikan
penyusunan skripsi ini.
10. Semua Pihak di Kantor Badan Pertanahan Nasional di Wilayah Kota
Tangerang Selatan,yang sudah membantu peneliti dalam melakukan
wawancara dan memberikan informasi yang berkaitan dengan penyusunan
skripsi ini,sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini.
11. Semua pihak yang telah membantu dan berkontribusi dalam penyusunan
skripsi ini
12. Semua pihak angkatan 2010 program studi Ilmu Hukum,serta kawan-kawan
KKN DAUN 2013,yang berjuang bersama dalam memperluas wawasan
keilmuan,berdiskusi bersama dan menambah pengalaman.
Akhirnya, peneliti mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
serta berperan memberikan kontribusi, dukungan dan motivasi bagi peneliti
dalam menjalani masa-masa studi sampai dapat menyelesaikan penyusunan
skripsi ini, yang tentunya tidak dapat peneliti tuliskan semua nama-namanya
disini.
ix
Semoga ALLAH SWT membalas semua kebaikan dengan kebaikan yang
berlipat ganda dan senantiasa memberikan kebahagian dunia dan akhirat kepada
kita semua.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Pamulang, 16 Maret 2017
Riki Dendih Saputra
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ...........................................................................iiLEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI......................................................................iiiLEMBAR PERNYATAAN........................................................................................ivABSTRAK ..................................................................................................................vKATA PENGANTAR ...............................................................................................viDAFTAR ISI ...............................................................................................................x
BAB I PENDAHULUANA. Latar Belakang Masalah.......................................................................1B. Batasan dan Perumusan Masalah .........................................................4C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...........................................................5D. Review Studi Terdahulu ......................................................................7E. Metode Penelitian ...............................................................................9F. Sistematika Penulisan Skripsi..............................................................12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG SENGKETA PERTANAHANDAN LANGKAH PENYELESAIANNYAA. Pengertian Sengketa Pertanahan...........................................................14B. Faktor-Faktor Terjadinya Sertifikat Ganda...........................................16C. Penyelesaian Sengketa Pertanahan .......................................................20
BAB III TUGAS POKOK DAN WEWENANG BADAN PERTANAHANNASIONALA. Sejarah Pembentukan Badan Pertanahan Nasional ..............................26B. Tugas Pokok dan Fungsi Badan Pertanahan Nasional, Kementrian
Agraria dan Tata Ruang......................................................................33C. Wewenang Badan Pertanahan Nasional ...............................................34D. Pendaftaran Tanah dan Jenis Surat Tanah ............................................35E. Hak Hak Atas Tanah .............................................................................46
BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHANBERSERTIFIKAT GANDA DI WILAYAH TANGERANGSELATANA. Diskripsi Kasus Sengketa Sertifikat Ganda Di Tangerang Selatan ......52B. Contoh Kasus Sertifikat Ganda di Wilayah Kecamatan Pondok
Aren Kota Tangerang Selatan...............................................................54C. Penyelesaian Kasus Sertifikat Ganda di Tangerang Selatan Oleh
Badan Pertanahan Nasional ..................................................................57D. Analisis .................................................................................................64
BAB V PENUTUPA. Kesimpulan ...........................................................................................67B. Saran-Saran ...........................................................................................68
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Makna dan nilai tanah yang dianggap sebagai salah satu yang memiliki
nilai tinggi dan aset stategis serta istimewa mendorong setiap orang untuk
memiliki, menjaga dan merawat tanahnya dengan baik, bila perlu
mempertahankannya sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan.Oleh karena
itu, kepemilikin atas tanah adalah merupakan kebutuhan pokok dalam kehidupan
manusia, baik sebagai tempat tinggal, kebutuhan lain maupun sebagai sumber
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup. Kepemilikan atas
tanah dan jaminan negara terhadapnya sudah diatur dalam konstitusi negara
Republik Indonesia, sebagaimana yang termuat dalam Undang Undang Dasar
1945, yaitu “Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.1
Kebijakan negara atas kepastian jaminan kepemilikan tanah itu diperkuat
dan diatur hak dan kewajibannya dalam Undang Undang Pokok Agraria
(UUPA) yang diterbitkan pada tahun 1960.Hukum Tanah Nasional yang
ketentuan pokoknya ada di dalam Undang-undang Pokok Agraria merupakan
dasar dan landasan hukum untuk memiliki dan menguasai tanah oleh orang dan
badan hukum baik untuk hunian, untuk pertanian dalam rangka memenuhi
keperluannya (baik untuk hunian, untuk pertanian maupun untuk bisnis ataupun
pembangunan). Artinya, keberadaan hak-hak perorangan atas tanah tersebut
selalu bersumber pada Hak Bangsa Indonesia atas tanah pasal 1 ayat (1)
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia(Sejarah Pembentukan Undang-UndangPokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya), Jilid 1, Hukum Tanah Nasional, (Jakarta: Djambatan,Edisi Revisi 2007), h.22
2
Undang-undang Pokok Agraria. Masing-masing hak penguasaan atas tanah
dalam Hukum Tanah Nasional tersebut meliputi, hak bangsa Indonesia atas
tanah pasal 1 ayat (1), dan hak menguasai Negara Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang-undang Pokok Agraria, serta hak-hak peroranganatas tanah yang terdiri
dari hak-hak atas tanah (primer dan sekunder) dan hak jaminan atas tanah.
Sebagai jaminan hak kepemilikan tanah tadi, maka negara menerbitkan
regulasi yang dapat menjamin hak kepemilikan dengan memperoleh kepastian
atas hak tanah, seperti memiliki surat tanda bukti. Sebagaimana diatur UUPA
Nomor 5 Tahun 1960 yaitu, untuk menjamin kepastian hukum oleh Pemerintah
diadakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut
ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.2
Dalam Undang-undang Pokok Agraria tidak pernah disebutkan sertifikat
tanah, namun seperti yang dijumpai dalam pasal 19 ayat (2) huruf c ada
disebutkan“surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda
bukti hak ini sering kali ditafsirkan sebagai sertifikat tanah.
Dalam arti lain, bila pada kemudian hari, terjadi sengketa atau
permasalahan terhadap bidang tanah tersebut, maka Surat tanda bukti hak atau
sertifikat tanah tadi dapat berfungsi mendorong tertibnya suasana hukum yang
damai dan dapat mendorong terciptanya sauasana yang kondusif.3
2 Parlindungan, A.P. pendaftaran Tanah di Indonesia, Cet 1,(Bandung: Mandar Maju,1999), h.15
3 Lubis, Mhd Yamin dan Abd Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah,(Jakarta:
Mandar Maju, 2008), h.207
3
Pengertian sertifikat adalah tanda bukti atas tanah yang telah terdaftar
oleh badan resmi yang sah dilakukan oleh Negara atas dasar Undang-undang.
Maka, sertipikat hak atas tanah berfungsi sebagai alat pembuktian yang kuat
serta memberikan rasa aman dan tentram bagi pemiliknya, segala sesuatu akan
mudah diketahui yang sifatnya pasti, bahkan dapat di pertanggung jawabkan
secara hukum.4
Namun pada faktanya, tanah yang menjadi kebutuhan pokok manusia serta
dijamin dan diatur keberadaan haknya menurut undang-undang seringkali
menjadi sengketa, misalnya tanah tadi bersertipikat palsu, atau bersertifikat
ganda. Timbulnya persoalan tanah dengan sertifikat ganda tidak lagi hanya
menyangkut akan kebutuhan tempat tinggal dan ekonomis, tapi merambah ke
ranah yang tidak lagi orang perorang, dan melebar keranah yang bersifat publik
dan kompleks, sebut saja politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan
nasionalisme dan hak asasi manusia.5
Di beberapa wilayah, termasuk wilayah Tangerang Selatan, tidak sedikit
masyarakat menjadi korban dan bersengketa karena mempersoalkan atau
mempertahankan beberapa meter persegi tanah saja.6
4 Nae, Fandri Entiman, Kepastian Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanahyang Sudah
Bersertipikat. (Jurnal Lex Privatum, Vol. I/No.5,2013), h.625 Sembiring, Jimmy Joses, Cara Menyelesaikan Sengketa Diluar Pengadilan, (Jakarta:
Visimedia, 2011), h.586 Kasus sertifikat ganda sering terjadi di daerah Tangsel, seperti kasus kepemilikan
lahan di wilayah Kecamatan Pondok Aren, Kota Tangerang Selatan (Tangsel), banyak yangtumpang tindih.Kondisi ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah, khususnya BadanPertanahan Negara (BPN) setempat. Seperti sebidang lahan dengan luas 150 meter persegi diJalan Reformasi Raya RT 6/RW 6 Kelurahan Pondok Aren, Kecamatan Pondok Aren. Duawarga masing-masing mengaku sebagai pemilik sah lahan tersebut.ngaku berusahamenyelesaikan permasalahan yang terjadi terhadap dua warga itu. Sementara itu, Zaharudin
4
Dari tahun ke tahun, jumlah kasus sengketa di bidang pertanahan di
Indonesia terus meningkat. Dalam kurun dua tahun saja, jumlah kasus sengketa
tanah yang dilaporkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia
meningkat lima ribu kasus. Kuat dugaan, bahwa sengketa pertanahan yang
dilatar belakangi oleh sertifikat ganda ditengarai oleh kurangnya transparansi
dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah disebabkan oleh terbatasnya data dan
informasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta kurang transparannya informasi
yang tersedia di masyarakat adalah diduga menjadi salah satu penyebab
timbulnya sengketa-sengketa tanah di tengah-tengah masyarakat.
Peneliti menganggap bahwa persoalan tentang pertanahan, khususnya
sengketa tanah yang bersertifikat ganda masih relevan dan tetap menarik untuk
dibahas. Dari hasil pembahasan ini, penulis taungkan dalam bentuk skripsi
dengan judul: PENYELESAIAN SENGKETA KEPEMILIKAN TANAH
YANG BERSERTIFIKAT GANDA MENURUT ATURAN BADAN
PERTANAHAN NASIONAL (DI WILAYAH TANGERANG SELATAN).
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
a. Fungsi Badan Pertanahan Nasional mengatur kepemilikan tanah di
Indonesia?
mengaku lahan tersebut dibelinya pada 1984 lalu. Bahkan, ia mengaku rutin membayar tagihanPajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas lahan yang kini tengah dibangunnya menjadi dua unitrumah. "Saya ada suratnya," kata dia sembari menunjukkan bukti kepemilikan berupa sertifikattanah. Atas dasar surat kepemilikan lahan itu, Zaharudin mengaku memberanikan diri untukmembangun dua unit rumah di lahan itu. "Kalau tidak ada suratnya, saya tidak mungkin beranimembangun," tandasnya.http://www.jurnaltangerang.co/berita-banyak-sertifikat-tanah-ganda-di-pondok-aren.html#ixzz4L2oYFdgV. Diunduh 21 Agustus 2016.Pukul 12.00 Wib.
5
b. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional dalam menyelesaikan sengketa
pertanahan?
c. Lembaga yang memiliki wewenag mengeluarkan sertifikat tanah?
d. Hal-hal yang menyebabkan sengketa pertanahan?
2. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan identifikas masalah,maka untuk
menghindari meluasnya permasalahan yang akan dibahas pada penulis ini
maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus pada
penyelesaian sengketa kepemilikan tanah bersertifikat ganda.
3. Rumusan Masalah
Mengingat berbagai,identifikasi masalah, batasan masalah dan gambaran
latar belakang pada pendahuluan tadi, maka dapat dirumuskan beberapa
masalah, yaitu:
1. Apa faktor-faktor sertifikat ganda dapat diterbitkan oleh Badan
Pertanahan Nasional?
2. Mengapa masyarakat di wilayah Tangerang Selatan tidak memiliki
sertifikat kepemilikan tanah?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui faktor sertifikat ganda dapat diterbitkan Badan
Pertanahan Nasional.
b. Untuk mengetahui masyarakat di wilayah Tangerang Selatan tidak
memiliki sertifikat tanah.
6
2. Manfaat Penelitian
Adanya penelitian ini diharapkan bisa memberikan pencerahan,
informasi, dan daya guna bagi pihak-pihak yang berkaitan, yakni sebagai
berikut:
a. Bagi Peneliti
1) Menambah khasanah keilmuan demi meningkatkan kompetensi diri,
kecerdasan intelektual dan emosional.
2) Memperoleh dan menerapkan pengetahuan teoritis yang diperoleh di
perkuliahan dalam berbagai permasalah riil di masyarakat.
b.Bagi Mahasiswa
1) Memberikan masukan terkait hak-hak konsumen yang harus di
lindungiakibat terjadinya sertifikat ganda.
2) Memberikan gambaran perlindungan hukum terhadap kepemilikan
sertifikat ganda.
c. Bagi pihak lain
3) Sebagai bahan pertimbangan dan bahan referensi untuk penelitian
dimasa yang akan datang.
4) Pentingnya pemberian bantuan dana pendidikan demi terwujudnya
generasi yang cerdas sebagai wujud nyata dari kepedulian sosial.
5) Memberikan informasi yang nyata tentang hak-hak dan perlundungan
hukum bagi pemilik sertifikat tanah.
7
D. Review Studi Terdahulu
Untuk mendukung penelitian skripsi yang lebih menyeluruh (
komprehensif), maka ada baiknya memperhatikan beberapa penelitian skripsi
terdahulu, Pertama, sebagaimana yang dilakukan oleh Bahtiar Dwiky Damara
dalam bentuk skripsi, dengan judul Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak
Atas Tanah Dalam Hal Terdapat Sertipikat Ganda. Skripsinya dia pertahankan
dalam sidang skripsi pada Prodi Ilmu Hukum, Fakultas Hukum, Universitas
Negeri Semarang pada tahun 2015 yang lalu. Dalam bahasan skripsinya, Damara
memaparkan bahwa Fenomena kasus "sertifikat ganda", menimbulkan sengketa
terhadap berbagai pihak, khususnya pihak yang memegang sertifikat yang sama.
Para pihak-pihak tadi, memegang bukti jaminan hukum atas kepemilikan tanah
tersebut. Hasil penelitian ini yaitu (1) Adanya sertifikat ganda disebabkan oleh
(a) faktor dari kantor pertanahan berupa tidak teliti dan tidak cermat dalam
mengadakan penyelidikan riwayat bidang tanah dan pemetaan batas-batas
bidang kepemilikan tanah dalam rangka penerbitan Sertifikat obyek sengketa
dan Kantor Pertanahan tidak melakukan penelitian atau melihat gambar peta
pendaftaran tanah yang dimiliki. (b) Faktor dari Pemilik/Pemegang Hak Atas
Tanah yaitu para pemilik tanah tidak memberikan patok-patok batas bidang
tanah yang dikuasainya seperti yang diatur dalam PP RI Nomor. 24 Tahun 1997
Pasal 17 ayat (3), sehingga menimbulkan kasus penguasaan tanah secara
tumpang tindih/sertifikat ganda. (2) Perlindungan hukum terhadap para
pemegang hak yaitu sebagaimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun
1997, dan Pasal 19 ayat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2), Pasal 32 ayat (2) dan Pasal
8
38 ayat (2) UUPA, bahwa surat-surat tanda bukti hak berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat. Kedua, Pemegang hak atas tanah yang menjadi obyek
sengketa tidak mendapatkan perlindungan hukum setelah adanya keputusan
pencabutan atas sertifikat tanah tersebut karena menganut sistem publikasi
dalam pendaftaran tanah yaitu sistem publikasi negatif (tidak mutlak) yang
mengandung unsur positif.7
Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Dewi Zulkharnain, dengan judul
Bentuk Penyelesaian Terhadap Sertifikat Ganda (Overlapping) Antara Sertifikat
Hak Guna Bangunan Dengan Sertifikat Hak Milik Oleh Badan Pertanahan
Nasional Kota Surabaya II. Penelitian skripsinya, dipertahankan dalam sidang
skripsi pada Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur
Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum, Surabaya, pada tahun 2013.
Menurut hasil penelitiannya, bahwa munculnya Sertifikat Ganda (Overlapping)
ditengarai oleh faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya sertifikat ganda
antara lain karena ketidaktelitian pejabat kantor pertanahan, peta pendaftran dan
kesengajaan pemohon tidak memberikan keterangan yang tidak benar dan untuk
memperoleh keuntungan pribadi dan akibat hukum dari penerbitan sertifikat
ganda. Dan akibat hukum dari penerbitan sertifikat ganda adalah menimbulkan
ketidakpastian hukum, menimbulkan kerugian dan pembatalan sertifikat.8
7 Bakhtiar Dwiky Damara, Perlindungan Hukum Bagi Pemegang Hak Atas TanahDalam Hal Terdapat Sertipikat Ganda,(Semarang: Fakultas Hukum Universitas NegeriSemarang, 2015), h.73
8 Dewi Zulkharnain, Bentuk Penyelesaian Terhadap Sertifikat Ganda (Overlapping)
Antara Sertifikat Hak Guna Bangunan Dengan Sertifikat Hak Milik Oleh Badan Pertanahan
Nasional Kota Surabaya II.( Surabaya: Skripsi pada Yayasan Kesejahteraan Pendidikan Dan
9
Selain itu, pembahasan tentang sertifikat ganda oleh BPN, pernah juga
ditulis oleh Angga. B. Ch. Eman, dengan tema Penyelesaian Terhadap
Sertifikat Ganda Oleh Badan Pertanahan Nasional. Eman membahas tentang
Penyebab terjadinya sertifikat ganda bisa dikarenakan adanya unsur
kesengajaan, ketidaksengajaan dan dikarenakan kesalahan
administrasi.Timbulnya sertifikat ganda juga disebabkan oleh kurangnya
kedisiplinan dan ketertiban aparat pemerintah yang terkait dengan bidang
pertanahan dalam pelaksanaan tugasnya.9
E. Metode Penelitian
Dalam konteks penelitian, metodologi adalah totalitas cara untuk dapat
meneliti dan menemukan suatu kebenaran yang tidak hanya mengacu pada
metode penelitian tetapi juga terhadap paradigma, pola pikir, metode
pengumpulan dan analisa data, hingga cara penafsiran dari penemuan penelitian
itu sendiri. Oleh karena itu, metodologi tidak hanya berkaitan dengan tehnis
pengumpulan data namun juga menyangkut rasionalitas (alasan-alasan) mengapa
seluruh hal yang sifatnya tehnis tersebut sangat perlu dilakukan.
Penelitian hukum ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif analisis
Penelitian deskriptif analisis adalah penelitian yang diarahkan untuk
memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian
sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan peneliti. Penelitian deskriptif
analisis dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menggambarkan atau
Perumahan Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Hukum
Program Studi Ilmu Hukum Surabaya, 2013), h.489 Lihat jurnal Lex et Societatis, Vol. I/No. 5/September/2013
10
mendeskripsikan faktor-faktor diterbitkannya sertipikat ganda hak atas tanah dan
perlindungan hukum terhadap pemegang hak atas tanah bilamana terdapat
penerbitan sertifikat ganda.10
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian adalah penelitian pustaka atau library
research.11Artinya, penelitian yang didasarkan pada data tertulis yang berasal
dari buku, jurnal, dan sumber data tertulis lainnya yang berguna dan
mendukung penelitian.
2. Sifat penelitian
Sifat penelitian termasuk dalam jenis penelitian deskriptif
analisis.Penelitian deskriptif adalah penelitian yang diarahkan untuk
memberikan gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitian yang
dilakukan peneliti. Penelitian deskriptif analisis dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara menggambarkan atau mendeskripsikan faktor-faktor
diterbitkannya sertifikat ganda hak atas tanah dan perlindungan hukum
terhadap pemegang hak atas tanah bilamana terdapat penerbitan sertifikat
ganda.12
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik, yaitu mendeskripsikan atau
memaparkan dan menjelaskan data-data yang berkaitan erat tentang peran
10 Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h.18311 Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research. Cet. Ke-I, (Yogyakarta: Yayasan
Penerbit Fakultas Psikologi UGM, 1997), h.412 Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad.2002. Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris. (Yogyakarta. Pustaka Pelajar, 2002), h.182
11
notaris dalam menyelesaikan sengketa sertifikat ganda. Proses ini dilakukan
melalui penguraian dari data-data yang terkumpul. Kajian ini tidak
melakukan penghakiman dengan menyalahkan atau membenarkan salah satu
pemikiran atas produk pemikiran lain. Salah atau benarnya dikembalikan
kepada ahlinya.
3. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian adalah yuridis normatif, yaitu pendekatan untuk
memahami konsep tentang peran notaris dalam menyelesaikan sengketa
sertifikat ganda yang dibuat oleh badan pertanahan nasional (BPN)
Tengerang Selatan dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang
Pokok Agraria, Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun serta Peraturan Per-
Undang-Undangan lainnya yang dimaksud sebagai usaha untuk mendekatkan
masalah yang hendak diteliti berdasarkan aturan, norma, dan kaidah yang
sesuai dengan objek penelitian.
4. Teknik Pengumpulan Data
Sumber data dalam penelitian adalah sumber subjek dari manadata
dapat diperoleh. Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah
sumber data primer dan sekunder, merupakan data-data yang diperoleh
peneliti dari penelitian analisis, kepustakaan berdasarkan aturan-aturan yang
berlaku mengenai hal terkait dan juga dokumentasi., yang merupakan hasil
12
penelitian dan hasil olahan orang lain yang sudah tersedia, buku-buku dan
dokumentasi yang biasanya disediakan dari berbagai sumber.13
F. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam pembuatan dan gambaran umum tentang
skripsi ini, peneliti menyajikan sistematika pembahasan yang dikelompokkan
dalam beberapa bab, sebagai berikut ini:
Pada Bab I meliputi tentang latar belakang masalah, identifikasi masalah,
batasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review
penelitian terdahulu, kerangka konseptual, metode penelitian, serta
sistematika penyusunan skripsi.
Bab II menggambarkan tentang tinjauan umum tentang sengketa
pertanahan,faktor-faktor terjadinya seengketa pertanahan dan langkah
penyelesaiannya.
Pada Bab III menjelaskan tentang tugas pokok dan wewenang badan
pertanahan nasional,cara pendaftaran tanah serta jenis-jenis sertifikat tanah
dan hak-hak atas tanah.
Sementara pada Bab IV adalah analisa peneliti terhadap permasalahan
sertifikat tanah ganda, terkait dengan penyebab dan faktor-faktor munculnya
sertifikat ganda tadi, dan lembaga-lembaga yang berperan serta turut
bertanggung jawab dan dimintai tanggung jawabnya atas kemunculan
sertifikat ganda tadi, dan tentunya, masyarakat tidak menjadi korban atas
implementasi regulasi terkait.
13 Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta:Rineka Cipta, 2010), h.129
13
Dan Bab V, adalah bab terakhir dari rangkaian penyusunan skripsi ini.
Pada bab V adalah sebagai bab penutup yang berisi tentang kesimpulan atas
rangkaian penyusunan skripsi, dan beberapa saran-saran dari peneliti.
14
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG SENGKETA PERTANAHAN DAN LANGKAH
PENYELESAIANNYA
A. Pengertian Sengketa Pertanahan
Sengketa merupakan suatu fenomena sosial yang bersifat universal, dan
menjadi bagian yang integral serta esensial dalam kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu sengketa tidak perlu dilihat sebagai gejala patologis yang bersumber
dari tingkah laku yang abnormal, atau indikasi dari sesuatu kekacauan dalam
dinamika kehidupan masyarakat, karena setiap komunitas masyarakat
mempunyai kapasitas untuk menciptakan norma-norma dan mekanisme-
mekanisme tersendiri untuk meyelesaikan sengketa yang muncul untuk
pergaulan sosial warga masyarakat, seperti sengketa terkait tanah.1
Pengertian sengketa dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti pertentangan atau
konflik, konflik berarti adanya oposisi atau pertentangan antara orang-orang,
kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi terhadap satu objek
permasalahan.
Sengketa (dispute) dapat terjadi karena konflik mengalami eskalasi
berhubung sebab adanya konflik dikemukakan secara umum. Selanjutnya, suatu
sengketa hanyalah terjadi bila pihak yang mempunyai keluhan (claim) semula
atau seorang atas namanya, telah meningkatkan perselisihan pendapat yang
semula dari perdebatan dua pihak (diadik) menjadi memasuki wilayah publik.
hal ini dilakukan secara sengaja dan aktif dengan maksud supaya ada suatu
1 Salaman Maggalatung dan Amrizal Siagian, Pengantar Studi Antropologi HukumIndonesia, (Jakarta: Press UIN, 2015), h.213
15
tindakan mengenai tuntutan yang diinginkan. Dengan demikian pengertian
Sengketa paling tidak melibatkan tiga pihak atau mempunya ciri triadik, dan
pihak ketiga menjadi terlibat, atas inisiatif sendiri atau atas prakarsa salah satu
atau kedua pihak.2.
Dengan perkataan lain, bahwa dari perspektif antropologi hukum dikatakan
sengketa tidak selalu bermakna negatif dalam kehidupan masyarakat, karena
sengketa juga mempunyai makna positif yang dapat memperkokoh integrasi dan
kohesi hubungan sosial masyarakat, atau mengembalikan keseimbangan
hubungan dan sendi-sendi kehidupan sosial. Jadi sesungguhnya sengketa yang
terjadi dalam masyarakat mengandung arti yang konstruktif dan berifat
integrative, karena sengketa juga mempunyai kekuatan tersendiri untuk
membentuk, mengembangkan, menerbitkan ulang suatu relasi sosial, interkasi
atau tatanan kehidupan yang sudah ada dalam masyarakat.3
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu
pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan
hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.4
Penerbitan sertifikat hak atas tanah yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan
atau BPN berupa sertifikat tanah hak milik yang melibatkan pihak pemohon,
2 T.O. Ihromi, Beberapa Catatan Mengenai Metode Kasus Sengketa Yang Digunakan
dalam Antropologi Hukum, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), h. 210-2113 Salman Maggalatung dan Amrizal Siagian, Pengantar Studi Antropologi Hukum
Indonesia, (Jakarta: Press UIN, 2015), h.2234 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, Mandar Maju,
(Bandung: Mandar Maju, 1991), h.22
16
para pemilik tanah yang bersebelahan, pamong desa dan pihak instansi yang
terkait untuk memperoleh penjelasan mengenai surat-surat sebagai alas hak yang
berhubungan dengan permohonan sertifikat, sehingga penjelasan dari pihak
terkait memiliki peluang untuk timbul sertipikat cacat hukum.5
Sertifikat hak atas tanah sebagai alat bukti surat belum dapat memenuhi
keinginan masyarakat, karena dalam prosesnya sering terjadi sengketa/konflik
dalam hal menentukan siapakah yang berhak atas obyek tanah tersebut. Proses
penyelesaian sengketa/konflik tanah memerlukan waktu yang cukup lama
apabila tidak dapat diselesaikan melalui jalur mediasi antara para pihak yang
bersengketa dan Kantor Pertanahan selaku mediator. Dan tidak jarang sengketa
tanah berakhir pada perkara di meja hijau (pengadilan).
B. Faktor-Faktor Terjadinya Sengketa Pertanahaan
Pengertian sengketa pertanahan dirumuskan dalam Pasal 1 Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1999 tentang
Tata Cara Penanganan Sengketa Pertanahan, selanjutnya disebut PMNA/KBPN
1/1999, yaitu “Perbedaan pendapat antara pihak yang berkepentingan mengenai
keabsahan suatu hak, pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah,
termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang
berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang
berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut.”
Sengketa pertanahan juga bisa dikatakan sebagai proses interaksi antara dua
orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan
kepentingannya atau objek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda yang
5 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan III-PenyelesaianSengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV-Pengadaan Tanah InstansiPemerintah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003), h.18
17
berkaitan dengan tanah seperti air, tanaman, tambang dan juga udara yang
berada dibatas tanah yang bersangkutan.6
Menurut Sarjita, sengketa pertanahan adalah “Perselisihan yang terjadi antara
dua pihak atau lebih yang merasa atau dirugikan pihak-pihak tersebut untuk
penggunaan dan penguasaan hak atas tanahnya, yang diselesaikan melalui
musyawarah atau melalui pengadilan.7
Sedangkan menurut Ali Achmad berpendapat, Sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang
suatu kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya.8
Adapun beberapa tipologi sengketa dibidang pertanahan yang marak
menjadi perhatian dewasa ini adalah :9
a. Pendudukan tanah perkebunan atau non perkebunan atau tanah kehutanan dan
atau tanah aset Negara/Pemerintah, yang dianggap tanah terlantar.
b. Tuntutan pengembalian tanah atas dasar ganti rugi yang belum selesai,
mengenai tanah-tanah perkebunan, non perkebunan, tanah bekas tanah
6 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-Hak atas Tanah, (Jakarta: Prenada Media,
2005), h.237 Sarjita, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, (Yogyakarta: Tugu
jogja Pustaka, 2005), h.88 Ali Achmad Chomzah, Seri Hukum Pertanahan III Penyelesaian Sengketa Hak Atas
Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV Pengadaan Tanah Instansi Pemerintah, (Jakarta: Prestasi
Pustaka, 2003), h.14
9 Dust Ningky, Aspek Penyelesaian Sengketa Sertifikat Ganda Atas Tanah Pasca
Kerusuhan Di Kec. Sirimau Kota Ambon , http://ppsgmmi.blogspot.com/2008/05/skripsi.html ,
tanggal 10 Maret 2017
18
partikelir, bekas tanah hak barat, tanah kelebihan maksimum dan pengakuan
hak ulayat.
c. Tumpang tindih status tanah atas dasar klaim bekas eigendom , tanah milik
adat dengan bukti girik, dan atau Verponding Indonesia, tanah obyek
landreform dan lain-lain.
d. Tumpang tindih putusan pengadilan mengenai sengketa tanah.
Secara umum, sengketa tanah timbul akibat adanya beberapa faktor, faktor-
faktor ini yang sangat dominan dalam setiap sengketa pertanahan dimanapun,
adapun faktor - faktor tersebut antara lain,10
a. Ketidak sesuaian peraturan.
b. Pejabat pertanahan yang kurang tanggap terhadap kebutuhan dan jumlah
tanah yang tersedia.
c. Data yang kurang akurat dan kurang lengkap.
d. Data tanah yang keliru.
e. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas menyelesaikan sengketa
tanah.
f. Transaksi tanah yang keliru.
g. Ulah pemohon hak atau.
h. Adanya penyelesaian dari instansi lain, sehingga terjadi tumpang tindih
kewenangan.
i. Pemindahan/penggeseran tanda batas tanah.
10 Maria S.W S umardjono, Mediasi Sengketa Tanah Potensi Penerapan AlternatifPenyelesaian sengketa (ADR) Di Bidang Pertanahan , (Jakarta: Penerbit Kompas Gramedia,2008), h.38
19
Secara umum, sengketa pertanahan yang timbul di Indonesia dapat
dikelompokkan ke dalam 4 klasifikasi permasalahan, yaitu permasalahan yang
berkaitan dengan:11
a. Pengakuan kepemilikan atas tanah;
b. Peralihan hak atas tanah;
c. Pembebanan hak dan
d. Penduduk an eks tanah partikelir.
Ditinjau dari subyek yang bersengketa, sengketa pertanahan dapat
dikelompokkan ke dalam 3 macam yaitu :12
a. Sengketa tanah antar warga
b. Sengketa tanah antara Pemerintah Daerah dengan warga setempat
c. Sengketa yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam
Timbulnya sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu
pihak (orang atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan
hak atas tanah baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya
dengan harapan dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai
dengan ketentuan peraturan yang berlaku.13
Sifat permasalahan dari suatu sengketa ada beberapa macam:
11 Abdurrahman. Tebaran Pikiran Mengenai Hukum Agraria, (Bandung: Alumni,1995), h.85
12 Ali Achmad Chomzah, Pedoman Pelaksanaan U.U.P.A dan Tata Cara PenjabatPembuat Akta Tanah, (Bandung: Alumni, 2002), h.64
13 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung : MandarMaju, 1991), h.22-23
20
a. Masalah yang menyangkut prioritas untuk dapat ditetapkan sebagai
pemegang hak yang sah atas tanah yang berstatus hak atas tanah yang belum
ada haknya.
b. Bantahan terhadap sesuatu alas hak/bukti perolehan yang digunakan sebagai
dasar pemberian hak.
c. Kekeliruan/kesalahan pemberian hak yang disebabkan penerapan peraturan
yang kurang/tidak benar.
d. Sengketa/masalah lain yang mengandung aspek-aspek sosial praktis (bersifat
strategis)
C. Penyelesaian Sengketa Pertanahan
Secara teoritis penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui 2 (dua) cara.
Cara penyelesaian sengketa pertama melalui proses litigasi di dalam pengadilan,
kemudian berkembang proses penyelesaian sengketa melalui kerjasama
(kooperatif) di luar pengadilan.
Proses litigasi menghasilkan putusan yang bersifat pertentangan (adversarial)
yang belum mampu merangkul kepentingan bersama, bahkan cenderung
menimbulkan masalah baru, lambat dalam penyelesaiannya, membutuhkan biaya
yang mahal, tidak responsif, dan menimbulkan permusuhan diantara pihak yang
bersengketa. Beberapa permasalahan tanah, bisa diselesaikan dengan baik oleh
kantor Pertanahan (Badan Pertanahan Nasional) melalui ”mediasi”.14
14 Herwandi, Peran Kantor Pertanahan dalam Rangka Penyelesaian Sengketa TanahSecara Mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara, Tesis, Program Magister Kenotariatan,(Semarang: Universitas Diponegoro, 2010), h.28
21
Secara pengertian, mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa melalui
perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari bentuk
penyelesaian yang dapat disepakati para pihak.
Secara pengertian, mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa melalui
perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral (mediator) guna mencari bentuk
penyelesaian yang dapat disepakati para pihak. 15
Pola mediasi sering dijadikan sebagai cara alternatif dalam menyelesaikan
sengketa pertanahan. Sebab, pemahaman pengetahuan mediasi oleh para pihak
akan lebih mendorong keberhasilan kasus pertanahan.16
System nilai, norma politik, ekonomi, dan keyakinan sangat mempengaruhi
pilihan bentuk institusi dan model-model penyelesaian sengketa dalam
masyarakat. Dalam kondisi masyarakat yang masih sederhana dan komplek
(modern), dimana relasi antar individu, hubungan kekerabatan dan kelompok
masih kuat, model-model sengketa yang dikenal dalam masyarakat tersebut pada
pokoknya, adalah:
1. Negosiasi
Negoisasi merupakan model penyelesaian sengketa melalui kompromi antara
phak-pihak yang berengketa, tanpa mengundang kehadiran pihak ketiga untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi diantara mereka. Negoisasi merupakan
keseharian seseorang melakukan negoisasi dalam kehidupan sehari-hari seperti
sesama mitra dagang, kuasa hukum, salah satu pihak dengan pihak-pihak yang
bersengketa, bahkan pengacara yang memasukkan gugatannya di pengadilan
15 Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental DisputesResolution), (Surabaya: Airlangga University Press, 2003), h.99
16 Sofia Rachman, Alternatif Penyelesaian Sengketa Pertanahan, (Jakarta: Jurnal CitaHukum, 2010),Vol. 2 No. 1
22
juga bernegoisasi dengan tergugat atas kuasa hukumnya sebelum pemeriksaan
perkaranya dimulai. Negoisasi adalah basic of man untuk mendapatkan apa yang
diinginkan dari orang lain. Negoisasi merupakan sarana bagi pihak-pihak yang
mengalami sengketa untuk mendiskusikan penyelesaian tanpa keterlibatan pihak
ketiga sebagai penengah yang tidak berwenang mengambil keputusan.
Adapun keuntungan dan kelemahan negoisasi adalah:
Keuntungan negoisasi
a. Mengetahui pandangan dari pihak lawan
b. Kesempatan mengutarakan isi hati untuk didengar pihak lawan
c. Mengupayakan solusi terbaik yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
d. Tidak terkait kepada kebenaran fakta atau masalah hukum.
e. Dapat diadakan dan diakhiri sewaktu waktu.
Sementara kelemahan negoisasi adalah:
a. Tidak dapat berjalan tanpa adanya kesepakatan dari kedua belah pihak.
b. Tidak efektif jika dilakukan oleh pihka yang tidak berwenang mengambil
kesepakatan.
c. Sulit berjalan apabila posisi para pihak tidak seimbang.
d. Dapat membuat kesepakatan yang kurang menguntungkan.
e. Dapat membuka kekuatan dan kelemahan salah satu pihak.
2. Mediasi
Mediasi merupakan model penyelesaian sengketa melalui kesepakatan antara
pihak-pihak untuk melibatkan pihak ketiga (mediator) dalam penyelesaian
sengketa walaupun hanya berfungsi sebatas perantara (go-betwen) yang bersifat
pasif, karena inisiatif untuk mengambil keputusan sebagai wujud penyelesaian
23
sengketanya tetap didasarkan pada kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa.
Untuk mencapai penyelesaian sengketa dengan prinsip win-win solution maka
upaya yang dapat ditempuh adalah melalui jalur non litigasi yang mana salah
satu caranya adalah dengan melakukan mediasi.17
Secara umum pengaturan mediasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sedangkan
secara khusus terdapat pengaturan mediasi dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 1 angka 7
PERMA Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
menegaskan bahwa mediasi adalah penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Dalam prakteknya, jalur mediasi sering ditempuh pihak yang bersengketa
untuk menyelesaikan perkara mereka dengan harapan mendapat keuntungan
bersama atau setidaknya tidak merugikan kedua belah pihak. baik dalam
sengketa pertanahan dan lainnya seperti dalam sengketa kesehatan. Contoh
kasus misalnya, sebagaimana tertera dalam pasal 29 Nomor 36 Tahun 2009 yaitu
“ dalam hal tenaga kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesianya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi”.
3. Litigasi
Merupakan model penyelesaian sengketa melalui institusi pengadilan yang
keputusannya mengikat pihak-pihak yang bersengketa.Selain model-model
17 Cahya Wulandari, Kebijakan Nonpenal dalam Penanggulangan Tindak PidanaPerbankan,(Semarang: Fakultas Hukum Universitas Semarang, 2013), h.8
24
penyelesaian sngketa diatas, dalam masyarakat juga dikenal model-model
sengketa seperti:
a. Tindakan kekerasan (coersion), sebagai aksi yang bersifat unilateral dengan
mengandalkan kekuatan fisik dan kekerasan seperti melakukan tindakan
hukum sendiri (self-helf) atau dalam bentuk perang antar suku (warfare).
b. Tindakan membiarkan saja (lumping it), yang dilakukan oleh salah satu pihak
dengan tidak menanggapi keluhan gugatan, tuntutan pihak yang lain atau
mengabaikan sengketa yang terjadi dengan pihak yang lain.
c. Tindakan penghindaran (avoidance), yang dilakukan salah satu pihak dengan
menghindari sengketa dengan pihak lain karena sejak awal sengketa yang
bersangkutan merasa secara social, ekonoi, politik, dan psikologis merasa
sudah tidak berdaya untuk menghadapi pihak yang lain dengan demikian
tindakan menghindari sengketa dipandang paling aman dan menguntungkan
tidak saja bagi diri sendiri, tetapi juga bagi keluarga dan kerabat, dalam
rangka menjaga hubungan social yang bersifat jangka panjang.
Penyelesaian suatu sengketa memiliki beberapa pendekatan, yaitu model
litigasi (pengadilan) dan jalur non litigasi (di luar pengadilan). Dengan adanya
model non litigasi terlihat lebih mengedepankan win-win solution. Dalam
literatur hukum penggunaan mekanisme penyelesaian yang bersifat win-win
solution disebut dengan penyelesaian sengketa alternatif (Alternative Dispute
Resolution-ADR). Menurut ketentuan pasal 1 butir (10) Undang-Undang 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa Alternative (ADR),
yang dimakseud dengan ADR adalah “lembaga penyelesaian sengketa atau beda
pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
25
luar pengadilan dengan cara Konsultasi, Negoisasi, Mediasi, Konsiliasi, atau
Penilaian Ahli.
26
BAB III
TUGAS POKOK DAN WEWENANG BADAN
PERTANAHAN NASIONAL
A. Sejarah Pembentukan Badan Pertanahan Nasional
Pada era 1960 sejak diberlakukannya pemakaian Undang-Undang Pokok
Agraria (UUPA), Badan Pertanahan Nasional yang dulunya lebih dikenal
dengan istilah kantor Agraria mengalami beberapa kali pergantian penguasaan
dalam hal ini kelembagaan. tentunya masalah tersebut berpengaruh pada proses
pengambilan kebijakan.Badan Pertanahan Nasional dibentuk berdasarkan
keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1988 sebagai peningkatan dari
Direktorat Jendral Agraria Departemen Dalam Negeri, dan merupakan suatu
lembaga pemerintahan Non departemen (LPND) yang berkedudukan dibawah
dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Pada preiode 2015 sampai saat ini Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia berubah menjadi Kementrian Agraria dan Tata Ruang/Badan
Pertanahan Nasional berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015,
tentang Kementrian Agraria yang berfungsi Tata Ruang dan Peraturan Presiden
Nomor 20 Tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional yang di tetapkan
pada januari 2015.
Dalam sejarah perkembangan sistem regulasi pertanahan di Indonesia,
negara telah beberapa kali merevisi kebijakan pertanahan, berikut sepintas
perubahan regulasi pertanahan di indonesia dari masa ke masa.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2015,tentang Kementerian
Agraria yang berfungsi Tata Ruang dan Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun
27
2015 tentang Badan Pertanahan Nasional yang ditetapkan pada 21 Januari 2015.
Lembaga Kementerian Agraria dan Tata Ruang mempunyai Fungsi, diantaranya:
a. Perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan dibidang tata ruang,infrastruktur
b. Keagrariaan/pertanahan, hubungan hukum keagrariaan/pertanahan, penataanagraria/pertanahan, pengadaan tanah, pengendalian pemanfaatan ruang danpenguasaan tanah, serta penanganan masalah agraria/pertanahan,pemanfaatan ruang, dan tanah
c. Koordinasi pelaksanaan tugas, pembinaan dan pemberian dukunganadministrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan KementerianAgraria dan Tata Ruang
d. Pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawabKementerian Agraria dan Tata Ruang
e. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementerian Agraria danTata Ruang
f. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusanKementerian Agraria dan Tata Ruang di daerah dan
g. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substantif kepada seluruh unsurorganisasi di lingkungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang.
Sementara dilihat pada Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
fungsi Badan Pertanahan Nasional adalah :
a. Perumasan kebijakan nasional di bidang pertanahan.b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahanc. Kordinasi kebijakan,perencanaan dan program di bidang pertanahand. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahane. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei,pengukuran dan pemetaan di
bidang pertanahanf. Pelaksanaan pendaftran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukumg. Pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah
Berikut kronologi kebijakan pertanahan negara Republik Indonesia dari masa
ke masa1
1 Diambil dari Website, http//www.bpn.go.id
28
1. Periode 2013 – 2015
Pada 2 Oktober 2013 terbit Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang
Badan Pertanahan Nasional yang mengatur fungsi Badan Pertanahan Nasional
sebagai berikut:
a. Penyusunan dan penetapan kebijakan nasional di bidang pertanahan;b. Pelaksanaan koordinasi kebijakan, rencana, program, kegiatan dan
kerjasama di bidang pertanahan.c. Pelaksanaan koordinasi tugas, pembinaan, dan pemberian dukungan
administrasi kepada seluruh unit organisasi di lingkungan BPN RI.d. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang survei, pengukuran, dan
pemetaan.e. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak tanah,
pendaftaran tanah, dan pemberdayaan masyarakat.f. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pengaturan, penataan
dan pengendalian kebijakan pertanah.
2. Periode 2006 – 2013
Pada 11 April 2006 terbit Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang
Badan Pertanahan Nasional yang menguatkan kelembagaan Badan Pertanahan
Nasional, di mana tugas yang diemban BPN RI juga menjadi semakin luas. BPN
RI bertanggung jawab langsung kepada Presiden, dan melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral,
dengan fungsi:
a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;b. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;c. Koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;d. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;e. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaandi bidang
pertanahan;f. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hokum
29
3. Periode 2000 – 2006
Pada periode ini Badan Pertanahan Nasional beberapa kali mengalami
perubahan struktur organisasi. Keputusan Presiden Nomor 95 Tahun 2000
tentang Badan Pertanahan Nasional mengubah struktur organisasi eselon satu di
Badan Pertanahan Nasional. Namun yang lebih mendasar adalah Keputusan
Presiden Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Otonomi Daerah Dibidang
Pertanahan. Disusul kemudian terbit Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi,
Dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, dan Keputusan Presiden
Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Di Bidang Pertanahan
memposisikan BPN sebagai lembaga yang menangani kebijakan nasional di
bidang pertanahan.
4. Periode 1993 – 1998
Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 1993, tugas Kepala Badan
Pertanahan Nasional kini dirangkap oleh Menteri Negara Agraria. Kedua
lembaga tersebut dipimpin oleh satu orang sebagai Menteri Negara Agraria/
Kepala Badan Pertanahan Nasional. Dalam pelaksanaan tugasnya, Kantor
Menteri Negara Agraria berkonsentrasi merumuskan kebijakan yang bersifat
koordinasi, sedangkan Badan Pertanahan Nasional lebih berkonsentrasi pada
hal-hal yang bersifat operasional. Pada 1994, Menteri Negara Agraria/Kepala
Badan Pertanahan Nasional menerbitkan Keputusan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1994, tentang
Susunan Organisasi dan Tata Kerja Staf Kantor Menteri Negara Agraria.
30
5. Berdirinya BPN dan Masa Sesudahnya, 1988 – 1993
Tahun 1988 merupakan tonggak bersejarah karena saat itu terbit Keputusan
Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tentang Badan Pertanahan Nasional. Sejalan
dengan meningkatnya pembangunan nasional yang menjadi tema sentral proyek
ekonomi – politik Orde Baru, kebutuhan akan tanah juga makin meningkat.
Persoalan yang dihadapi Direktorat Jenderal Agraria bertambah berat dan rumit.
Untuk mengatasi hal tersebut, status Direktorat Jenderal Agraria ditingkatkan
menjadi Lembaga Pemerintah Non Departemen dengan nama Badan Pertanahan
Nasional. Dengan lahirnya Keputusan Presiden Nomor 26 Tahun 1988 tersebut,
Badan Pertanahan Nasional bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
6. Orde Baru, 1965 – 1988
Pada 1965, Departemen Agraria kembali diciutkan secara kelembagaan
menjadi Direktorat Jenderal. Hanya saja, cakupannya ditambah dengan
Direktorat bidang Transmigrasi sehingga namanya menjadi Direktorat Jenderal
Agraria dan Transmigrasi, di bawah Departemen Dalam Negeri. Penciutan ini
dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru dengan alasan efisiensi dan
penyederhanaan organisasi. Pada masih di tahun yang sama, terjadi perubahan
organisasi yang mendasar. Direktorat Jenderal Agraria tetap menjadi salah satu
bagian dari Departemen Dalam Negeri dan berstatus Direktorat Jenderal,
sedangkan permasalahan transmigrasi ditarik ke dalam Departemen Veteran,
Transmigrasi, dan Koperasi. Dan Pada 1972, Keputusan Menteri Dalam Negeri
Nomor 145 Tahun 1969 dicabut dan diganti dengan Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 88 Tahun 1972, yang menyebutkan penyatuan instansi Agraria di
31
daerah. Di tingkat provinsi, dibentuk Kantor Direktorat Agraria Provinsi,
sedangkan di tingkat kabupaten/kota dibentuk Kantor Sub Direktorat Agraria
Kabupaten/ Kotamadya.
7. Lahirnya UUPA dan Masa Sesudahnya, 1960 – 1965
Titik tolak reformasi hukum pertanahan nasional terjadi pada 24 September
1960. Pada hari itu, rancangan Undang-Undang Pokok Agraria disetujui dan
disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Dengan berlakunya
UUPA tersebut, untuk pertama kalinya pengaturan tanah di Indonesia
menggunakan produk hukum nasional yang bersumber dari hukum adat. Dengan
ini pula Agrarische Wet dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Tahun 1960 ini
menandai berakhirnya dualisme hukum agraria di Indonesia. Pada 1964, meIalui
Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1964, ditetapkan tugas, susunan, dan
pimpinan Departemen Agraria. Peraturan tersebut nantinya disempurnakan
dengan Peraturan Menteri Agraria Nomor 1 Tahun 1965 yang mengurai tugas
Departemen Agraria serta menambahkan Direktorat Transmigrasi dan
Kehutanan ke dalam organisasi. Pada periode ini, terjadi penggabungan antara
Kantor Inspeksi Agraria-Departemen Dalam Negeri, Direktorat Tata Bumi-
Departemen Pertanian, Kantor Pendaftaran Tanah-Departemen Kehakiman.
8. Masa Kemerdekaan 1945 – 1960
Pasca proklamasi kemerdekaan, sesuai dengan semangat membentuk negara
baru yang merdeka, Pemerintah Republik Indonesia bertekad membenahi dan
menyempurnakan pengelolaan pertanahan.Melalui Departemen Dalam Negeri,
pemerintah mempersiapkan landasan hukum pertanahan yang sesuai dengan
32
UUD 1945. Dan pada 1948, berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun
1948, Pemerintah membentuk Panitia Agraria Yogyakarta. Tiga tahun
kemudian, terbit Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951, yang membentuk
Panitia Agraria Jakarta, sekaligus membubarkan Panitia Agraria Yogyakarta.
Pembentukan kedua Panitia Agraria itu sebagai upaya mempersiapkan lahirnya
unifikasi hukum pertanahan yang sesuai dengan kepribadian Bangsa Indonesia.
Selanjutnya, lewat Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1955, Pemerintah
membentuk Kementerian Agraria yang berdiri sendiri dan terpisah dari
Departemen Dalam Negeri. Pada 1956, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
1 Tahun 1956 dibentuk Panitia Negara Urusan Agraria Yogyakarta yang
sekaligus membubarkan Panitia Agraria Jakarta. Tugas Panitia Negara Urusan
Agraria ini antara lain adalah mempersiapkan proses penyusunan Undang-
Undang Pokok Agraria (UUPA).
Pada 1 Juni 1957, Panitia Negara Urusan Agraria selesai menyusun
rancangan UUPA. Pada saat yang sama, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor
190 Tahun 1957, Jawatan Pendaftaran Tanah yang semula berada di
Kementerian Kehakiman dialihkan ke Kementerian Agraria. Tahun 1958,
berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 97 Tahun 1958, Panitia Negara
Urusan Agraria dibubarkan. Selanjutnya pada 24 April 1958, Rancangan
Undang Undang Agraria Nasional diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat.2
2 Website,http://www.bpn.go.id. Diunduh 16 Maret 2017
33
B. Tugas dan Fungsi Pokok Badan Pertanahan Nasional dan Kementrian
Agraria dan Tata Ruang
Tugas pokok lembaga Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dibentuk
berdasarkan Keutusan Presiden RI Nomor. 26 Tahun 1988 sebagai peningkatan
dari Direktorat Jenderal Agraria Departemen Dalam Negeri, dan merupakan
suatu Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang berkedudukan
dibawah dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Tugas pokok Badan
Pertanahan Nasional (BPN) adalah membantu Presiden dalam mengelola dan
mengembangkan Administrasi Pertanahan baik berdasarkan UUPA maupun
peraturan perundang-undangan lain yang meliputi Pengaturan, Penggunaan,
Penguasaan dan Pendaftaran Tanah, Pengukuran Hak-hak Tanah, Pengukuran
dan Pendaftaran Tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan
berdasarkan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden.
Sementara dilihat dari Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
fungsi Badan Pertanahan Nasional adalah:
a. Perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahanb. Perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahanc. Koordinasi kebijakan,perencanaan dan program di bidang pertanahand. Pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahane. Penyelenggaraan dan pelaksanaan survei,pengukuran dan penataan di bidang
pertanahanf. Pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukumg. Pengaturan dan pentepan hak-hak atas tanahh. Pelaksanaan penatagunaan tanah,reformasi agraria dan penataan wilayah-
wilayah khusus
34
C. Wewenang Badan Pertanahan Nasional
Dalam buku Ali Chomzah, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan I-
PemberianHak Atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertifikat
dan Permasalahannya.disebutkan bahwa Pengertian Badan Pertanahan
Nasional Badan Pertanahan Nasional (BPN) dibentuk berdasarkan Keutusan
Presiden RI Nomor. 26 Tahun 1988 sebagai peningkatan dari Direktorat Jenderal
Agraria Departemen Dalam Negeri, dan merupakan suatu Lembaga Pemerintah
Non Departemen LPND) yang berkedudukan dibawah dan bertanggungjawab
langsung kepada Presiden.3
Dilihat dari Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 2015
Lembaga Kementrian Agria dan Tata Ruang mempunyai fungsi :
a. Perumusan,penetapan dan pelaksanaan kebijakan dibidang tataruang,infrastruktur,hubungan hukum keagrariaan/pertanahan,penataanagraria/pertanahan,pegadaan tanah,pengendalian pemanfaatan ruangan danpenguasaan tanah,serta penanganan masalah agraria/pertanahan,pemanfaatanruang dan tanah.
b. Koordinasi pelaksanaan tugas,pembinaan dan pemberian dukunganadministrasi kepada seluruh unsur organisasi di lingkungan KementrianAgraria dan Tata Ruang
c. Pengolaan barang milik/kekayaan negara menjadi tanggung jawabKementrian Agraria dan Tata Ruang
d. Pengawasan atas pelaksanaan tugas di lingkungan Kementrian Agraria danTata Ruang
e. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan unsuranKementrian Agraria dan Tata Ruang di daerah dan
f. Pelaksanaan dukungan yang bersifat substansif kepada seluruh unsurorganisasi dilingkungan Kementrian Agraria dan Tata Ruang
Badan Pertanahan Nasional juga mempunyai tugas untuk menyellesaikan
konflik pertanahan dan juga menerima pengaduan terhadap permasalahan
3 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), h.127
35
sengketa pertanahan di masyarakat.Dilihat dari Pasal 3 Peraturan Kepala Badan
Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 2011 yaitu :
1. Pelayanan pengaduan dan informasi kasus pertanahan2. Pengkajian kasus pertanhan harga3. Penanganan kasus pertanahan4. Penyelesaian kasus pertanhan dan5. Bantuan Hukum dan perlindungan hukum
Dilihat dari Pasal 362 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3
tahun 2006.Permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas
BadanPertanahan Nasional ialah sebagai berikut:
1. Masalah-masalah yang berkaitan dengan Konversi Hak-hak atas Tanah MilikRakyat atau Adat.
2. Masalah Okupasi Ilegal3. Masalah Pelaksanaan Landreform4. Masalah Pembebasan Tanah, yang meliputi :
a. Pembebasan tanah untuk instansi Pemerintah, dalam hal ini biasanyadilakukan pengadaan tanah untuk fasilitas umum.
b.Penyediaan tanah untuk Keperluan Swasta yang digunakan untuk kawasanindustri baik yang menggunakan fasilitas PMA/PMDN maupun yang tidakmenggunakan fasilitas.
5. Masalah Pensertifikatan Tanah, yang meliputi :a. Sertifikat Palsu
Sertifikat hak atas tanah adalah tanda bukti atau alat pembuktian mengenaipemilikan tanah sehingga merupakan Surat/barang bernilai dengankecenderungan untuk memalsukan surat/barang yakni Sertifikat.
b.Sertifikat Aspal (asli tapi palsu)Surat bukti sebagai alas/dasar hak untuk penerbitan Sertifikat tersebutternayat tidak benar atau dipalsukan.
D. Pendaftaran Tanah dan Jenis Sertifikat Tanah
a. Pendafataran Tanah
Pendaftaran tanah berasal dari kata Cadaster atau dalam bahasa belanda
merupakan suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman) yang menerapkan
36
mengenai luas, nilai dan kepemilikan terhadap suatu bidang tanah.4 Dengan
mendaftarkan tanah, maka seseorang akan memiliki hak atas tanah dan tentunya
hak yang memberikan kewenangan kepada yang empunya hak untuk
mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang di hakinya,5 termasuk
membuat tanda bukti hak miliknya melalui surat tanah dengan mendaftarkan hak
kepemilikan tanahnya.
Menurut Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan
bahwa :
“Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintahsecara terus menerus, berkesinambungan, dan teratur meliputi pengumpulan,pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan datayuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dansatuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian sertipikat sebagai surat tandabukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milikatas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”6
Sementara tujuan pendaftaran tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam
Pasal 3 dan pasal 4 Peraturan Nomor 24 Tahun 1997 diantaranya adalah untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang
bersangkutan. Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum merupakan tujuan
4 AP. Parlindungan, Pendaftaran Tanah Tanah dan Konfersi hak milik atas tanah
menurut UUPA, (Bandung, Alumni, 1988), h.25 Effendi Parangin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah dari Sudut Pandang
Praktisi Hukum, (Jakarta: Rajawali,1991), h.2296 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, cet 12, (Jakarta; Djambatan, 2005), h.474
37
utama dalam mendaftarkan tanah sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 19
UUPA.7
Kemudian, dalam proses pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur,meliputi pengumpulan, pengolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaandata fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun,termasuk pemberian sertifikatsebagai surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah adahaknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yangmembebaninya. Kegiatan pendaftaran tanah secara sistematik dimulai denganpembuatan peta dasar pendaftaran. Di wilayah-wilayah yang belum ditunjuksebagai wilayah pendaftaran tanah secara sistematik oleh Badan Pertanahannasional diusahakan tersedianya peta dasar pendaftaran untuk keperluanpendaftaran tanah secara sporadik.
Kegiatan pendaftaran tanah adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh
pemerintah secara terus menerus dalam rangka menginventarisasikan data-data
berkenaan dengan hak-hak atas tanah menurut undang-undang pokok agraria dan
peraturan Pemerintah, sedangkan pendaftaran hak atas tanah merupakan
kewajiban yang harus dilaksanakan oleh si pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dan dilaksanakan secara terus menerus setiap ada peralihan hak-
hak atas tanah tersebut menurut undang-undang pokok agraria dan peraturan
pemerintah guna mendapatkan sertipikat tanda bukti tanah yang kuat.8
Kemudian, pelaksanaan pendaftaran tanah meliputi kegiatan pendaftaran
tanah untuk pertama kali ( initial registration ) dan pemeliharaan data
pendaftaran tanah ( maintenance ).pendaftaran tanah pertama kali adalah
7 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, isi dan Pelaksanaannya, cet 12, (Jakarta: Djamban, 2005), h.4758 Bachtiar Effendie, Pendaftaran Tanah Di Indonesia Dan Peraturan Pelaksanaannya,
(Bandung; Alumni, 1993), h.15
38
kegiatan pendaftaran yang dilakukan terhadap objek pendaftaran tanah yang
belum didaftar.pendaftaran tanah untuk pertama kali dilaksanakan melalui
pendaftaran tanah secara sistematik dan dan pendaftaran tanah secara sporadic.
Pendaftaran tanah secara sistematik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua objek
pendaftaran tanah yang belum di daftar dalam wilayah atau bagian wilayah
sduatu desa/kelurahaan.pendaftaran tanah secara sistematik diselnggarakan atas
prakarsa pemerintah berdasarkan pada suatu rencana kerja jangka panjang dan
tahunan serta dilaksanakan di wilayah-wilayah yang ditetapkan oleh Menteri
Negara Agraria atau kepala Badan Pertanahan Nasional.
Pendaftaraan tanah secara sporadik adalah kegiatan pendaftaran tanah untuk
pertama kali mengenai suatu atau beberapa objek pendaftaran tanah
dalamwilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahaan secara individual
atau masal.pendaftaraan tanah sedcara sporadic dilaksanakan atas permintaan
pihak yang berkepentingan,yaitu pihak yang berhak atas objek pendaftaran tanah
yang bersangkutan atau kuasanya. Dalam penetapan batas bidang tanah pada
pendaftaran tanah secara sistematik dan pendaftaran tanah secara sporadik
diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang
berkepentingan. Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib
dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.
Objek pendaftaran tanah meliputi:
a. bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha, hak
guna bangunan dan hak pakai.
39
b. tanah hak pengelolaan.
c. tanah wakaf.
d. hak atas satuan rumah susun.
e. hak tangungan.
f. tanah Negara.
Pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Badan Pertanahan. Dalam
melaksanakan tugas tersebut Kepala Badan Pertanahan di bantu oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan pejabat lain yang ditugaskan untuk
melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.
Kegiatan dan pelaksanaan pendaftaran tanah untuk pertama kali meliputi :
a. Pengumpulan dan Pengolahan data fisik.
b. Pengumpulan dan pengolahan data yuridis serta pembukuan haknya.
c. Penerbitan sertifikat.
d. Penyajian data fisik dan data yuridis.
e. Penyimpanan daftar umum dan dokumen.
b.Asas Pendaftaran Tanah
Berdasarkan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 disebutkan
bahwa pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan 5 (lima) asas yaitu :
a. Asas SederhanaAsas sederhana dalam pendaftaran tanah dimaksudkan agar ketentuan-
ketentuan pokoknya maupun prosedurnya dengan mudah dapat dipahami olehpihak-pihak yang berkepentingan, terutama para pemegang hak atas tanah.b. Asas Aman
Azas aman dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perludiselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikanjaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
40
c. Asas TerjangkauAsas terjangkau dimaksudkan agar pihak-pihak yang memerlukan, khususnya
denggan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah.Pelayanan yang diberikan dalam rangks penyelenggaraan pendaftaran tanahharus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan.d. Asas Mutakhir
Asas mutakhir dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalampelaksanaannya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yangtersedia harus menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikutikewajiban mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadidikemudian hari.e. Asas Terbuka
Dengan berlakunya asas terbuka maka data yang tersimpan di kantorpertanahan harus selalu sesuai dengan keadaan nyata lapangan dan masyarakatdapat memperoleh keterangan mengenai data yang benar setiap saat.
c. Jenis-Jenis Surat Tanah
Menurut Wantjik Saleh dalam bukunya Hak atas Tanah menyebutkan
sertipikat adalah salinan buku tanah dan surat ukur, yang setelah dijilid menjadi
satu bersama-sama dengan satu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan
dengan Peraturan Pemerintah.9 Di dalam hukum agraria pengertian sertifikat
pada dasarnya merupakan abstrak dari Daftar atas tanah dan merupakan satu-
satunya pembuktian formal hak atas tanah, atau dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa sertifikat merupakan turunan atau salinan dari Buku Tanah dan Surat
Ukur.10
Bagi orang yang memiliki bidang tanah sangatlah perlu agar segera
mensertifikatkan tanah miliknya tersebut agar kepemilikannya terhadap tanah
tersebut dijamin kepastian dan perlindungan hukumnya dari tangan-tangan jahat
9 Wantjik Saleh, Hak Anda Atas Tanah, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1997), h.6410 Benny Bosu, Pembaharuan Terbaru Sertifikat (Tanah, Tanggungan dan
Codominium), (Jakarta: Mediatama Saptakarya, 1997), h.1
41
atau itikat buruk atas tanah tersebut telah mencapai lima tahun, maka pihak lain
tdk bisa menggugat atau merebutnya.11 Dalam menentukan hak tanah tadi
diiantara jenis sertifikat tanah yang digunakan adalah :
a. Sertifikat Hak Milik (SHM)
Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah jenis sertifikat dengan kepemilikan hak
penuh atas lahan atau tanah oleh pemegang sertifikat tersebut. SHM juga
menjadi bukti kepemilikan paling kuat atas lahan atau tanah yang bersangkutan
karena tidak ada lagi campur tangan atau pun kemungkinan kepemilikan oleh
pihak lain.12
Status Hak Milik juga tidak terbatas waktunya seperti jika anda hanya
memiliki Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang akan dibahas
selanjutnya. Melalui SHM, pemilik dapat menggunakannya sebagai bukti kuat
dan sah atas kepemilikan tanah. Jadi apabila terjadi masalah, maka nama yang
tercantum dalam SHM adalah pemilik sah berdasarkan hukum. SHM juga dapat
menjadi alat yang kuat untuk transaksi jual-beli maupun penjaminan kredit atau
pembiayaan perbankan. SHM hanya diperuntukkan bagi Warga Negara
Indonesia (WNI).
Hak Milik atas lahan dan bangunan yang dibuktikan oleh SHM masih dapat
hilang atau dicabut karena tanahnya dimaksudkan untuk kepentingan negara,
11 Hernan Hermit, Cara Mengelola Sertifikat Tanah Hak Milik. Tanah Negara dan
tanah Pemda, Teori dan Praktek pendaftaran Tanah di Indonesia, cet 1, (Jakarta: Mandar maju,
1990), h.212 Chandra S, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah : Persyaratan Permohonan di
Kantor Pertanahan, (Jakarta: Grasindo,2005), h.25
42
penyerahan sukarela pemiliknya ke negara, ditelantarkan, atau karena tanah
tersebut bukan dimiliki oleh WNI.
Dengan kata lain sifat-sifat Hak Milik itu antara lain adalah 1) secara turun
temurun, yaitu Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hukum dari
seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli waris
2) Terkuat, yaitu Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara
Hak-Hak yang lain atas tanah 3) Terpenuh, yaitu Hak Milik atas tanah tersebut
dapat digunakan untuk usaha pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan 4)
dapat beralih dan dialihkan 5) dapat dibebani kredit dengan dibebani hak
Tanggungan dan 6) Jangka waktu tidak terbatas.13
b. Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)
Yang dimaksud Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) adalah jenis sertifikat
di mana pemegang sertifikat tersebut hanya dapat memanfaatkan lahan tersebut
untuk mendirikan bangunan atau keperluan lain dalam kurun waktu tertentu,
sementara kepemilikan lahannya dipegang oleh negara. Sertifikat Hak Guna
Bangunan (SHGB) memiliki batas waktu tertentu, biasanya 20 sampai 30 tahun,
dan dapat diperpanjang. Setelah melewati batas waktunya, Anda sebagai
pemegang sertifikat harus mengurus perpanjangan SHGB tersebut.14
13 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan I-Pemberian
Hak Atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertipikat dan Permasalahannya,(
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), h.614 Siahaan Marihot Pahala, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan(Teori dan
Praktek), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), h.35
43
Hak Guna dapat diartikan sebagai hak atas pemanfaatan atas tanah atau
bangunan misalnya mendirikan dan mempunyai bangunan di atas tanah yang
bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu tertentu. Hak Guna ini yang dapat
diperpanjang jangka waktunya, dan dapat pula digunakan sebagai tanggungan
serta dapat dialihkan. Pemegang Hak Guna harus memberikan pemasukan ke kas
negara berkaitan dengan Hak Guna yang dimilikinya. Apabila Hak Guna sudah
diadministrasikan dengan baik maka pemegang hak mendapatkan bukti
kepemilikan berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).Dengan denikian
maka sifat-sifat dari Hak Guna Bangunan adalah :
1. Hak atas tanah untuk mengusahakan tanah Negara untuk keperluan
perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
2. Jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 25
tahun.
3. Luas minimum 5 Ha jika luasnya lebih dari 25 Ha, harus mempergunakan
tehnik perusahaan yang baik.
4. Dapat beralih dan dialihkan.
5. Dapat dijadikan jaminan kredi dengan dibebani Hak Tanggungannya.15
c. Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS)
Rumah susun sebagaimana diatur oleh Undang-undang Nomor 16 Tahun
1985 tentang Rumah Susun (UU Nomor 16 Tahun 1985) merupakan suatu
lembaga kepemilikan baru dalam hukum kebendaan di Indonesia. Sertifikat Hak
15 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan I-PemberianHak Atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertipikat dan Permasalahannya.(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), h.17-18
44
Satuan Rumah Susun (SHSRS) dapat dikaitkan dengan kepemilikan seseorang
atas rumah vertikal atau rumah susun yang dibangun di atas tanah dengan
kepemilikan bersama. Pengaturan kepemilikan bersama dalam satuan rumah
susun digunakan untuk memberi dasar kedudukan atas benda tak bergerak yang
menjadi objek kepemilikan di luar unit seperti taman dan lahan parkir.
Pengertian Rumah Susun sebagaimana diatur dalam pasal 1 angka (1) Undang-
undang Nomor 16 Tahun 1985 secara jelas menunjukkan kemungkinan
kepemilikan yang demikian:
“Rumah Susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalamsuatu lingkungan, yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secarafungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuanyang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutamauntuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda-bersama,dan tanah bersama.
d. Girik
Girik sebenarnya bukan merupakan sertifikat kepemilikan atas tanah
melainkan jenis administrasi desa untuk pertanahan yang menunjukkan
penguasaan atas lahan untuk keperluan perpajakan. Di dalam girik tertera
nomor, luas tanah, dan pemilik hak karena jual-beli maupun waris. Girik harus
ditunjang dengan bukti lain misalnya Akta Jual Beli atau Surat Waris. Sebelum
lahirnya UUPA, girik masih diakui sebagai tanda bukti hak atas tanah, tetapi
setelah UUPA lahir dan PP Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dirubah
dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hanya sertipikat
hak atas tanah yang diakui sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Sekalipun
demikian, selain sertipikat hak atas tanah nampaknya tanda hak lain-pun masih
45
ada yang berlaku yakni Girik atau kikitir.16 Girik yang sebenarnya adalah surat
pajak hasil bumi (verponding), sebelum diberlakukannya UUPA memang
merupakan bukti kepemilikan hak atas tanah, tetapi setelah berlakunya UUPA,
girik bukan lagi sebagai bukti hak atas
tanah, namun hanya berupa surat keterangan objek atas tanah, dan dengan
adanya Undang-Undang Nomor 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
bangunan (PBB) yang dikenal sebagai girik adalah DKOP/ KP.PBB 4.1.
e. Akta Jual Beli (AJB)
Akta Jual Beli (AJB) sebenarnya juga bukan sertifikat melainkan perjanjian
jual-beli dan merupakan salah satu bukti pengalihan hak atas tanah sebagai
akibat dari jual-beli. AJB dapat terjadi dalam berbagai bentuk kepemilikan
tanah, baik Hak Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Girik. Bukti kepemilikan
berupa AJB biasanya sangat rentan terjadinya penipuan AJB ganda, jadi
sebaiknya segera dikonversi menjadi Sertifikat Hak Milik. Artinya, pembuktian
bahwa hak atas tanah tersebut dialihkan, maka harus dibuktikan dalam suatu
Akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPATK yaitu Akta Jual beli yang
kemudian akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah
sebagaimana dimaksud dalam ketetentuan Pasal 95 ayat 1 hurup a Peraturan
Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 3 tahun 1997. Akta
Jual Beli yang dibuat dihadapan PPATK tersebut bertujuan untuk memberikan
16 A. P. Parlindungan, Pendaftaran tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1991), h.3
46
kepastian hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah (pembeli
tanah).17
E. Hak-Hak Atas Tanah
Kepemilikan tanah atau sering disebut dengan “Hak Milik” adalah hak tutun-
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai atas tanah dengan mengingat
fungsi sosial, yang dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain. (pasal 20
UUPA) Dengan demikian sifat-sifat Hak Milik adalah:18
1. Turun-temurun.
Artinya Hak Milik atas tanah dimaksud dapat beralih karena hokum dari
seseorang pemilik tanah yang meninggal dunia kepada ahli waris.
2. Terkuat.
Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut yang paling kuat diantara Hak-
Hak yang lain atas tanah.
3. Terpenuh.
Artinya bahwa Hak Milik atas tanah tersebut dapat digunakan untuk usaha
pertanian dan juga untuk mendirikan bangunan.
4. Dapat beralih dan dialihkan.
5. Dapat dibebani kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.
6. Jangka waktu tidak terbatas.
17 Saleh Adiwinata, Pengertian Hukum Adat Menurut Undang-Undang Pokok Agraria,
(Bandung: Alumni, 1980), h.2118 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan I-
PemberianHak Atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertifikat dan
Permasalahannya .(Jakarta. Prestasi Pustaka, 2002), h.5-6
47
Dengan adanya pengertian ini, terlihat bahwa Hak Milik adalah hak atas
tanah yang paling kuat diantara hak atas tanah lainnya dan tidak memiliki batas
waktu tertentu dan kedudukan Hak Milik adalah paling tinggi dari hak yang lain
serta dapat dijadikan jaminan hutang sebagai hak tanggungan. Diantara
kedudukan hak milik adalah:
a. Hak Guna Usaha
Yang dimaksud dengan “Hak Guna Usaha” adalah Hak untuk mengusahakan
tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka 25 atau 30 tahun dan
dapat diperpanjang 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau
peternakan yang luasnya paling sedikit 25 Ha atau lebih, harus memakai
investasi modal yang layak dan tehnik perusahaan yang baik, dapat beralih dan
dialihkan pada pihak serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan. (pasal 28 dan pasal 33 UUPA) Dengan denikian maka sifat-sifat
dari Hak Guna Usaha adalah :
a. Hak atas tanah untuk mengusahakan tanah Negara untuk keperluanperusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.
b. Jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 25tahun.
c. Luas minimum 5 Ha jika luasnya lebih dari 25 Ha, harus mempergunakantehnik perusahaan yang baik.
d. Dapat beralih dan dialihkan.e. Dapat dijadikan jaminan kredi dengan dibebani Hak Tanggungannya.
Dengan ini peneliti menyimpulkan bahwa Hak Guna Usaha adalah hak yang
dikhususkan untuk usaha pertanian, perikanan dan peternakan dengan diberi
48
jangka waktu 25 atau 30 tahun dan dapat diperpanjang 25 tahun lagi dan dapat
dijadikan jaminan hutang sebagai hak tanggungan.19
b. Hak Guna Bangunan
Hak Guna Bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat
primer, selain Hak Milik , Hak Guna Usaha, dan Hak Pakai atas tanah.
Perkembangan Hak Guna Bangunan merupakan Hak Primer yang mempunya
peranan penting kedua, setelah Hak Guna Usaha. Hal itu disebabkan, Hak Guna
Bangunan merupakan pendukung sarana pembangunan perumahan yang
sementara ini semakin berkembang dengan pesat.20
Yang dimaksud dengan “Hak Guna Bangunan” adalah Hak untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan milikya sendiri,
dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu
20 tahun lagi, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan
jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
Dengan demikian, maka sifat-sifat dari Hak Guna Bangunan, adalah :
1. Hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang
bukan miliknya sendiri, Cq, Tanah Negara atau tanah milik orang lain.
2. Jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang 20 tahun lagi.
3. Dapat beralih / dialihkan kepada pihak lain.
4. Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggunan.
19 Ali Achmad Chomzah, Chomzah, Ali, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan
Memberian Hak Atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertifikat dan
Permasalahannya. (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002), h.620 Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta; Sinar Grafika, 2006), h.116
49
c. Hak Pakai
Yang dimaksud dengan “Hak Pakai” adalah Hak untuk menggunakan
dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau
tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya
atau dalam perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.
Hak pakai ini dapat diberikan :
a. Selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tertentu.
b.Dengan Cuma-Cuma, dengan pembayaran atau jasa berupa apapun.
Pemberian Hak Pakai ini tidak boleh disertai syarat-syarat yang
mengandung unsur-unsur pemerasan.
Dengan demikian, maka sifat-sifat dari Hak Pakai adalah:
a. Hak Pakai atas tanah bangunan maupun tanah pertanian.
b.Dapat diberikan oleh Pemerintah maupun oleh si Pemilik tanah.
c. Hak Pakai dapat diberikan untu jangka waktu tertentu atau selama tanahnya
dipergunakan untuk keperluan tertentu.
d.Hak Pakai dapat diberikan dengan Cuma-Cuma, dengan Pembayaran atau
pemberian jasa berupa apapaun.
e. Hak Pakai hanya dapat dialihkan kepada pihak lain, sepanjang dapat izin
50
Pejabat yang berwenang, apabila mengenai tanah yang dikuasai langsung
oleh Negara atau dimungkinkan dalam perjanjian yang bersangkutan
apabila mengani tanah milik.
f. Hak Pakai tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak
Tanggungan Pemberian.
g. Hak Pakai tidak boleh disertai syarat-syarat yang mengandung
pemerasan.21
d. Hak Pengelolaan
Yang dimaksud dengan “Hak Pengelolaan” adalah Hak Penguasaan atas
tanah negara, dengan maksud disamping untuk dipergunakan sendiri oleh si
Pemegang juga oleh pihak Pemegang memberikan sesuatu Hak kepada pihak
ketiga, kepada si Pemegang Hak diberikan wewenang untuk:
1. Merencanakan peruntukan dan penggunaan tanah tersebut.
2. Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan tugasnya.
3. Menyerahkan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga, dengan
Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Sedangkan pemberian hak
atas bagian-bagian tanah tetap dilakukan oleh pejabat berwenang.
4. Menerima uang pemasukan/ganti rugi dan /atau wajib tahunan. (pasal 5 dan 6
ayat 1 Pengaturan Menteri Agraria Nomor 9 Tahun 1965).
Dengan demikian maka sifat-sifat Hak Pengelolaan adalah :
21 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan Memberian HakAtas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertipikat danPermasalahannya. (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2002), h.43-44
51
a. Hak Pengelolaan atas tanah Negara.
b. Untuk dipergunakan sendiri oleh si pemegang dan sebagian atas tanah
tersebut diberikan kepada pihak ketiga sesuatu hak.
c. Kepada si pemegang hak diberikan beberapa wewenang termasuk
menerima.
d. uang pemasukan dan / atau wajib tahunan.
e. Setelah waktu hak atas tanah yang diberikan kepada pihak ketiga itu
berakhir maka tanah dimaksud kembali ke dalam penguasaan sepenuhnya
dari pemegang hak pengelolaan yang bebas dari hak tanggungan.
Apabila sebagian dari hak pengelolaan itu diberikan dengan Hak milik
kepada pihak ketiga, maka dengan sendirinya hak milik tersebut menjadi lepas
dari hak pengelolaan dan/atau hapus, sejak hak milik tersebut didaftarkan pada
Kantor Agraria Kabupaten/Kota setempat.
52
BAB IV
PENYELESAIAN SENGKETA PERTANAHAN
BERSERTIFIKAT GANDA DI WILAYAH TANGERANG SELATAN
OLEH (BPN) BADAN PERTANAHAN NASIONAL
A. Diskripsi Kasus Sengketa Sertifikat Ganda di Tangerang Selatan
Masalah tanah sekarang sudah merambah kepada persoalan sosial yang
kompleks dan memerlukan pemecahan dengan pendekatan yang komprehensif.
Perkembangan sifat dan substansi kasus sengketa pertanahan tidak lagi hanya
persoalan administrasi pertanahan yang dapat diselesaikan melalui hukum
administrasi, tapi kompleksitas tanah tersebut sudah merambah kepada ranah
politik, sosial, budaya dan terkait dengan persoalan nasionalisme dan hak asasi
manusia.1
Jika dicermati, sengketa pertanahan yang terjadi selama ini berdimensi
luas, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal. Konflik vertikal yang
paling dominan yaitu antara masyarakat dengan pemerintah atau perusahaan
milik negara dan perusahaan milik swasta. Misalnya salah satu kasus yang
paling menonjol adalah kasus yang paling sering terjadi adalah permasalahan
sertifikat ganda atau kepemilikan beberapa sertifikat pada sebuah bidang tanah.
Dalam sengketa pertanahan, pernah juga dialami oleh pihak pemerintah
Tangsel dengan masyarakat yang mengakui bahwa tanah itu adalah milik
mereka. Kronologinya adalah bahwa warga yang mengaku sebagai ahli waris
1 Eko Yulian Isnur, Tata Cara Mengurus Segala Macam Surat Rumah dan Tanah,(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012), h.9
53
pemilik lahan gedung SDN 1 dan 2 Sawah Baru serta kantor kelurahan setempat,
di Kecamatan Ciputat.
Menanggapi klaim warga tadi, pihak pemerintah kota Tangsel
membawanya kejalur hukum, sebagaimana yang dikatakan oleh Wakil Walikota
Tangsel, Benyamin Davnie, bahwa untuk menyelesaikan sengketa tanah ini
maka pemerintah Tangsel akan menempuh jalur hukum lewat Pengadilan
Negeri sebagai lembaga negara yang berwenang untuk menyelesaikan kasus
sengketa lahan. Sebelumnya, Ahli waris mengklaim lahan itu berdasarkan persil
(bukti luas tanah) bernomor C 255/986 Kotak Persil Blok atas nama Rijin Nuri.
Dalam persil itu diklaim, total lahan milik Rijin Nuri seluas 2.071,62 meter
persegi. Luas lahan yang diklaim itu terdiri dari lahan bangunan SDN Sawah
baru I dan II seluas 1.268,58 meter persegi serta bangunan kantor Kelurahan
Sawah Baru seluas 803,04 meter persegi yang berdekatan dengan gedung SD
tersebut.2
Sengketa pertanahan muncul diakibatkan adanya kepentingan-
kepentingan atas manfaat keberadaan tanah. Penyebab lainnya dari sengketa
pertanahan adalah nilai ekonomis tanah yang cukup tinggi. Di samping itu,
keberadaan tanah di dalam masyarakat adalah merupakan simbol eksistensi dan
status sosial. Oleh karena itu, sengketa tanah akan selalu muncul di tengah-
tengah masyarakat dan akan mengakibatkan timbulnya konflik pertanahan yang
bersifat vertikal atau horizontal itu.
2https://www.kabar6.com/tangerang/selatan/5466-begini-kata-bang-ben-soal sengketa-lahan-di-tangsel
54
B. Contoh Kasus sertifikat Ganda di wilayah Kecamatan Pondok Aren Kota
Tangerang Selatan
Contoh kasus sengketa tanah di Pondok Aren misalnya, yang dialami oleh
pak MN (nama inisial pensiunan PNS) dengan perusaan X. pak MN, yang
merasa memiliki tanah kurang lebih luasnya 3000 meter dengan bukti sertifikat
tanah yang dikeluarkan oleh BPN Tangerang, diakui juga oleh perusaan X tadi
(saat itu BPN nya masih wilayah Kabupaten Tangerang). Menurut pak MN
sengketa tanah yang dialami membuat dia dan keluarga tertekan dan stres dan
telah menghabiskan dana yang banyak. Sengketa tanahnya, berawal dari klaim
perusahaan X atas tanahnya dengan memiliki sertifikat tanah yang sama. Dalam
proses penyelesaikan sengketa tanahnya sejak tahun 2006 sampai sekarang
belum putus atau inckraht dan sudah menghabiskan dana sebanyak 500 juta
rupiah.
Proses hukumnya sudah sampai ke Mahkamah Agung. Baginya, proses
hukum pertanahannya sangat melelahkan baik fisik maupun psikisnya. Ketika
penulis mewawancarainya, kenapa sertifikat tanahnya bisa dua sertifikat tanah
yang sama? Menurutnya, sertifikat itu terbit akibat adanya permainan para
oknum. Baik dari pihak perusahaan X maupun oknum di BPN atau pihak pejabat
terkait. Menurutnya lagi, adanya penerbitan sertifikat tanah ganda tadi (antara
dia dengan perusahaan X), adalah dikarenakan pejabat BPN secara sembrono
dan tidak mengkroscek kembali atas keberadaan tanah tadi, dan menerimanya
hanya dengan menghandalkan atas bentuk ukuran tanah pada lembaran kertas
belaka. Dan dalam proses penerbitan sertifikat ganda tanah itu, ada upaya
pelanggaran hukum dengan menyuap pihak oknum sehingga tanah tadi
55
mendapat sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh pihak BPN. Namun, setelah pak
MN mengetahui tanahnya dikuasai pihak lain, pak MN memperkarakannya, dan
dalam proses perkara tanah tadi, harus melalui jalur hukum, bukan melalui
kantor BPN, tapi prosesnya dimulai dari Pengadilan Negeri, sampai ke
Mahkamah Agung.3
Pengalaman yang hampir sama juga dikemukakan oleh TR (nama inisial).
Menurut TR, terbitnya sertfikat ganda tanah adalah disebabkan oleh adanya
permainan oknum BPN dengan pelaku. Misalnya, seseorang yang ingin
memiliki tanah akan mendatangai oknum BPN agar dibuatkan sertifikat tanah
yang diinginkan. Oleh oknum BPN akan menerbitkan sertifikat berdasarkan
copy an sertifikat tanah tanpa harus mengkroscek ulang atau melakukan
pengukuran ulang atas tanah tadi. Karena niatnya adalah untuk memiliki tanah
meskipun harus melanggar hukum, maka terbitlah sertifikasi tanah asli yang
dikeluarkan oleh pihak BPN dengan kepemilikan tanah atas nama yang berbeda.
Bagi pihak yang memiliki tanah dengan membuat sertifikat ganda tadi sudah
siap juga dengan proses hukum yang ada dengan harapan sertifikatnya
dimenangkan oleh pengadilan. Hal itu dilakukannya karena para oknum-oknum
hukum itu bisa dia suap sampai memenangkan kasusnya.4
Kasus sengketa pertanahan di wilayah Tangsel sering terjadi, salah satu
kasus sengketa pertanahan yang bersertifikat ganda adalah sebagaimana juga
pernah dialami oleh ahli waris Keman bin Seli dengan kantor BPN Tangsel dan
melibatkan LS. Kasus seperti sengketa tanah yang dialami oleh antara ahli waris
3 Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Januari 2017. Pamulang Tangerang Selatan4 Wawancara dilakukan 24 Januari 2017. Di Inhutani Ciputat. TR adalah dosen hukum
pada universitas Pamulang.
56
Keman bin Seli dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tangsel.
Sengketanya bermula dari BPN Tangsel menerbitkan sertifikat ganda yang
berlokasi di Jalan Beruang II, Komplek Perbanas, Pondol Ranji. Ternyata, tanah
tadi adalah milik Keman bin Seli yang luasnya sekitar 7.000 m2. Namun seiring
waktu berjalan kantor BPN Tangsel menerbitkan sertifikat ganda dengan luas
tanah 1.030 m2 dengan atas nama orang lain. Sertifikat ganda itu atas nama
Nurhayati berdasarkan Akta Jual Beli tanggal 7 Juni 1985 No. 590/1732/JB/Kec.
Cpt/1985 berasal dari koversi bekss tanah milik adat C 782 Persil 78/37 D III
atas nama Djiin Djian. Dalam penerbitan sertifikat ganda itu ternyata melibatkan
orang lain, yaitu LS (nama inisial) seorang pengusaha. Dalam gelar perkaranya
LS (perkaranya ditangani oleh Polda Metro Jaya) menjelaskan tanah tersebut
adalah miliknya, dan kemudian dia menjualnya ke benerapa orang dan dibuatkan
sertifikat ganda yang dibantu oleh oknum BPN Tangsel. Dan untuk
menyelesaikan kasus tadi pihak ahli waris keman bin Seli menggugat BPN
Tangsel ke PTUN Banten agar sertifikat ganda tadi dibatalkan atau tidak diakui.5
Pada sisi lain, munculnya sengketa tanah di dalam masyarakat adalah karena
kurangnya transparansi dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah disebabkan
oleh terbatasnya data dan informasi penguasaan dan pemilikan tanah, serta
kurang transparannya informasi yang tersedia di masyarakat merupakan salah
satu penyebab timbulnya sengketa-sengketa tanah.
5 https://www.telingamata.com/dituduh-terbitkan-sertifikat-ganda-bpn-tangsel-di-ptun-kan/
57
Makna dan nilai tanah yang demikian stategis dan istimewa mendorong
setiap orang untuk memiliki, menjaga dan merawat tanahnya dengan baik, bila
perlu mempertahankannya sekuat tenaga sampai titik darah penghabisan.Akar
konflik dan sengketa pertanahan yang bersifat multidimensional tidak bisa
dilihat sebagai persoalan hukum belaka, namun juga terkait variabel-variabel
lain yang non-hukum yang antara lain yaitu lemahnya regulasi sertifikasi tanah
yang belum mencapai 50%.
C. Penyelesaian Kasus Sertifikat Ganda di Tangerang Selatan Oleh Badan
Pertanahan Nasional
Menurut undang-undang, Badan Pertanahan Nasional (BPN) adalah
Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada di bawah dan bertanggung
jawab kepada Presiden dan dipimpin oleh Kepala. (Sesuai dengan Perpres
Nomor 63 Tahun 2013). Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional
dan sektoral sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.Pasca
memisahkan diri dari Kabupaten Tangerang, pemerintah Tangerang Selatan.6
6 Kota Tangerang Selatan merupakan daerah otonom yang terbentuk pada akhir tahun 2008berdasarkan Undang-undang Nomor 51 Tahun 2008 tentang Pembentukan Kota Tangerang Selatan diProvinsi Banten tertanggal 26 November 2008. Pembentukan daerah otonom baru tersebut, yangmerupakan pemekaran dari Kabupaten Tangerang, dilakukan dengan tujuan meningkatkan pelayanandalam bidang pemerintahan, pembangunan, dan kemasyarakatan serta dapat memberikan kemampuandalam pemanfaatan potensi daerah.Dengan 36 kecamatan luas wilayah + 1.159,05 km2 dan jumlahpenduduk lebih dari tiga juta orang, pelaksanaan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat diKabupaten Tangerang dirasakan belum sepenuhnya terjangkau.Kondisi demikian perlu diatasi denganmemperpendek rentang kendali pemerintahan melalui pembentukan daerah otonom baru, yaitu KotaTangerang Selatan, sehingga pelayanan publik dapat ditingkatkan guna mempercepat terwujudnyakesejahteraan masyarakat. Kota Tangerang Selatan terletak di bagian timur Provinsi Banten yaitu padatitik koordinat 106°38’ – 106°47’ Bujur Timur dan 06°13’30” – 06°22’30” LintangSelatan dan secaraadministratif terdiri dari 7 kecamatan, 49 kelurahan dan 5 desa dengan luas wilayah 147,19 Km2 atau14.719 Ha. Kecamatan yang ada di Kota Tangerang Selatan diantaranya Serpong dengan luas 2.404 Ha,Serpong Utara dengan luas 1.784 Ha, Ciputat dengan luas 1.838 Ha, Ciputat Timur dengan luas 1.543 Ha,Pondok Aren dengan luas 2.988 Ha, Pamulang dengan luas 2.682 Ha dan Setu dengan luas 1.480 Ha.Batas wilayah Kota Tangerang Selatan adalah sebagai berikut: Sebelah utara berbatasan dengan Provinsi
58
Sudah memiliki kantor badan pertanahan, yang sebelumnya masih
bergabung dengan kantor pertanahan kabupaten Tangerang, sehingga warga
warga Kota Tangerang Selatan (Tangsel) terutama menyangkut masalah tanah,
harus rela bolak-balik ke Tigaraksa di Kabupaten Tangerang untuk mengurus
segala sesuatunya. Dengan demikian, masyarakat Tangsel akan mendapatkan
kantor pertanahan sendiri (relatif lebih mudah dijangkau dibanding kantor
pertanahan sebelumnya).Dalam tahun 2016 lalu pemerintah Tangsel
mewujudkan membangun gedung Badan Pertanahan Nasional (BPN) sendiri
yang lokasinya berada di kawasan Ruko Golden Road Blok C.27 No 59-61 BSD
Tangerang Selatan.7
Sebagaimana telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa Badan
Pertanahan berfungsi untuk menyelenggarakan merumuskan Kebijaksanaan dan
Perencanaan Penguasaan dan Penggunaan Tanah, merumuskan Kebijaksanaan
dan Perencanaan Pengaturan Pemilikan Tanah dengan prinsip-prinsip bahwa
tanah mempunyai fungsi sosial sebagaimana diatur dalam UUPA, melakukan
Pengukuran dan Pemetaan serta Pendaftaran Tanah dalam upaya memberikan
kepastian hak dibidang Pertanahan.Dalam aturannya, dasar pembentukan BPN
adalah Keputusan Presiden No. 26 Tahun 1988,sebagai panduan operasional
BPN, pimpinan lembaga ini kemudian mengeluarkan SK No. 11/KBPN/1988 jo
DKI Jakarta & Kota Tangerang, Sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta & Kota Depok,Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor & Kota Depok, dan Sebelah barat berbatasandengan Kabupaten Tangerang
7 Badan Pertanahan Nasional Kota Tangerang Selatan merupakan pemekaran dari BPNKabupaten Tangerang yang berdiri berdasarkan Peraturan Kepala Badan Nomor 4 tahun 2014 tanggal 16Mei 2014. Setelah 6 tahun berdiri Kota Tangerang Selatan baru Badan Pertanahan Nasional KotaTangerang Selatan berdiri. Sedangkan kegiatan pelayanan baru berjalan tanggal 15 September 2014dengan alamat Ruko Golden Road Blok C.27 No 59-61 BSD Tangerang Selatan. Badan PertanahanNasional Kota Tangerang Selatan dipimpin oleh Kepala Kantor (kepalanya H. Alen Saputra SH,M.Kn).Tangerangrayaonline.Com. diunduh 5 Januari 2017.
59
Keputusan Kepala BPN Nomor 1 Tahun 1989 tentang Organisasi Dan Tata
Kerja BPN Di Provinsi Dan Kabupaten/Kotamadya.
Secara normatif, BPN adalah satu-satunya lembaga atau institusi di
Indonesia yang diberikan kewenangan untuk mengemban amanat dalam
mengelolah bidang pertanahan, sesuai dengan Perpres Nomor 10 tahun 2006
tentang Badan Pertanahan Nasional yang menyatakan bahwa BPN
melaksanakan tugas dibidang pertanahan secara nasional regional dan sektoral.
Bahkan melalui Proses yang sama, pemerintah juga telah memperkuat peran dan
posisi BPN dengan membentuk Deputi V yang secara khusus mengkaji dan
menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan. Sebagaimana dalam peraturan
Kepala BPN-RI No. 3 Tahun 2006 tentang organisasi dan tata kerja BPN-RI,
pengkajian dan penanganan sengketa dan konflik pertanahan merupakan bidang
Deputi V yang membawahi:
1. Direktorat konflik pertanahan
2. Direktorat sengketa pertanahan
3. Direktorat perkara pertanahan (Pasal 346 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3
Tahun 2006)
Badan Pertanahan Nasional selalu mengupayakan solusi penyelesaian
sengketa pertanahan dengan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku
dengan memperhatikan rasa keadilan dan menghormati hak dan kewajiban
masing-masing pihak. Langkah-langkah penyelesaian sengketa yang mereka
atau pihak BPN tempuh adalah musyawarah. Begitu juga dalam sengketa
sertifikat ganda, BPN juga berwenang melakukan negosiasi, mediasi dan
fasilitasi terhadap pihak-pihak yang bersengketa dan menggagas suatu
60
kesepakatan di antara para pihak. dan Kantor wilayah BPN yaitu di Provinsi dan
Kabupaten/Kotamadya, hanya bisa sampai pada putusan penyelesaian masalah,
sedangkan tindak lanjut administrasi pertanahan tetap dilakukan BPN.
Dengan sering terjadinya sengketa tanah,maka untuk meminimalkan
terjadinya sengketa pertanahan dalam hal ini sertifikat ganda, maka BPN,
khususnya BPN Tangsel yang dianggap sebagai pelayan masyarakat, terutama
masyarakat di wilayah Tangerang selatan antara lain adalah:
1. Menelaah dan mengelolah data untuk menyelesaikan perkara di bidang
pertanahan.
2. Menampung gugatan-gugatan, menyiapkan bahan memori jawaban,
menyiapkan memori banding memori/kontra memori kasasi, Memori/kontra
memori peninjauankasasi atas perkara yang diajukanmelalui peradilan
terhadap perorangan dan badan hukum yang merugikan negara.
Mengumpulkan data masalah dan sengketa pertanahan.
3. Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan mengenai Penyelesaian
sengketa atas tanah.
4. Menelaah dan menyiapkan konsep keputusan pembatalan hak atas tanah yang
cacat administrasi dan berdasarkan kekuatan putusanperadilan.
5. Mendokumentasi.
Badan Pertanahan Nasional (BPN), khususnya BPN Tangerang selatan
juga memiliki mekanisme tertentu dalam menangani dan menyelesaikan perkara
atau sengketa pertanahan dalam hal ini termasuk juga sengketa sertifikat ganda
yaitu:
61
1. Sengketa tanah biasanya diketahui oleh BPN dari pengaduan.
2. Pengaduan ditindaklanjuti dengan mengidentifikasikan masalah,apakah unsur
masalah merupakan kewenangan BPN atau bukan.
3. Jika memang kewenangannya, maka BPN meneliti masalah untuk
membuktikan kebenaran pengaduan serta menentukan apakah pengaduan
beralasan untuk diproses lebih lanjut.
4. Jika hasil penelitian perlu ditindaklanjuti dengan pemeriksaan data fisik
administrasi serta yuridis, maka kepala kantor dapat mengambil langkah
berupa pencegahan mutasi (status quo).
5. Jika permasalahan bersifat strategis, maka diperlukan pembentukan beberapa
unit kerja. Jika bersifat politis, sosial, dan ekonomis maka tim melibatkan
institusi berupa DPR atau DPRD, departemen dalam negeri, pemerintah
daerah terkait.
6. Tim akan menyusun laporan hasil penelitian untuk menjadi bahan
rekomendasi penyelesaian masalah.
Dalam prakteknya, penyelesaian terhadap sengketa pertanahan bukan
hanya dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional tetapi juga bisa diselesaikan
oleh lembaga Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara. Jika
diperadilan umum lebih menitikberatkan kepada hal-hal mengenai perdata dan
pidana dalam sengketa pertanahan, lain halnya dengan peradilan tata usaha
negara yang menyelesaikan sengketa pertanahan berkaitan dengan surat
keputusan yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional atau pejabat daerah
lainnya yang berkaitan dengan tanah.
62
Pada saat ini, kebanyakan sengketa pertanahan dalam hal ini sertifikat
ganda diselesaikan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
1. Penyelesaian secara langsung oleh pihak dengan musyawarah.
Dasar musyawarah untuk mufakat tersirat dalam pancasila sebagai dasar
kehidupan bermasyarakat Indonesia dan dalam UUD 1945. Musyawarah
dilakukan diluar pengadilan dengan atau tanpa mediator. Mediator biasanya dari
pihak-pihak yang memiliki pengaruh misalnya Kepala Desa/Lurah, ketua adat
serta pastinya Badan Pertanahan Nasional.
Dalam penyelesaian sengketa pertanahan lewat musyawarah,satu
syaratnya adalah bahwa sengketa tersebut bukan berupa penentuan tentang
kepemilikan atas tanah yang dapat memberikan hak atau menghilangkan hak
seseorang terhadap tanah sengketa, dan diantara pihak bersengketa memiliki
kekebaratan yang cukup erat serta masih menganut hukum adat setempat.
2. Arbitrase dan alternative penyelesaian sengketa.
Arbitrase adalah penyelesaian perkara oleh seorang atau beberapa arbiter
(hakim) yang diangkat berdasarkankesepakatan/persetujuan para pihak dan
disepakati bahwa putusan yang diambil bersifat mengikat dan final. Persyaratan
utama yang harus dilakukan untuk dapat mempergunakan arbitrase sebagai
penyelesaian sengketa adalah adanya kesepakatan yang dibuat dalam bentuk
tertulis dan disetujui oleh para pihak.8
Jika telah tertulis suatu klausula arbitrase dalam kontrak atau suatu
perjanjian arbitrase, dan pihak lain menghendaki menyelesaikan masalah
hukumnya ke pengadilan, maka proses pengadilan harus ditunda sampai proses
8 Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa Diluar Pengadilan, (Jakarta:Visimedia, 2011), h.58
63
arbitrase tersebut diselesaikan dalam lembaga arbitrase. Dengan demikian
pengadilan harus dan wajib mengakui serta menghormati wewenang dan fungsi
arbiter.
3. Penyelesaian sengketa melalui badan peradilan.
Sesuai dengan peraturan yang berlaku di Indonesia, pada umumnya
penyelesaian sengketa pertanahan yang terkait sengketa kepemilikan diserahkan
ke peradilan umum, terhadap sengketa keputusan Badan Pertanahan Nasional
melalui Pengadilan Negri atau Pengadilan Tata Usaha Negara dan sengketa
menyangkut tanah wakaf diajukan ke Pengadilan Agama.
Dalam menyelesaikan sengketa pertanahan dalam sertifikat tanah ganda di
Tangerang Selatan, prosedur yang ditempuh dalam penyelesaian sengketa
pertanahan selalu melalui mekanisme mediasi oleh BPN dimulai adanya Pihak
penggugat melaporkan gugatannya dikantor BPN.
Penanganan masalah pertanahan melalui lembaga mediasi oleh BPN
biasanya didasarkan dua prinsip utama, yaitu :
1. Kebenaran-kebenaran formal dari fakta-fakta yang mendasari permasalahan
yang bersangkutan;
2. Keinginan yang bebas dari para pihak yang bersengketa terhadap objek yang
disengketakan.
Sebagai mediator, BPN mempunyai peran membantu para pihak dalam
memahami pandangan masing-masing dan membantu mencari hal-hal yang
dianggap penting bagi mereka. Mediator mempermudah pertukaran informasi,
mendorong diskusi mengenai perbedaan-perbedaan kepentingan, persepsi,
penafsiran terhadap situasi dan persoalan-persoalan dan mengatur pengungkapan
64
emosi. Hal ini sesuai dengan peran mediator membantu para pihak
memprioritaskan persoalan-persoalan dan menitikberatkan pembahasan
mengenai tujuan dan kepentingan umum. Mediator akan sering bertemu dengan
para pihak secara pribadi. Sebagai wadah informasi antara para pihak, mediator
akan mempunyai lebih banyak informasi mengenai sengketa dan persoalan-
persoalan dibandingkan para pihak dan akan mampu menentukan apakah
terdapat dasar-dasar bagi terwujudnya suatu kesepakatan.9
D. Analisis
Negara Indonesia merupakan salah satu negara agraris, sehingga tanah
mempunyai arti yang sangat penting bagi kehidupan rakyat Indonesia. Tanah
merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup
umat manusia, hubungan manusia dengan tanah bukan hanya sekedar tempat
hidup, tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber daya bagi kelangsungan
hidup umat manusia. Begitu pentingnya kedudukan tanah bagi manusia tidak
jarang menyebabkan terjadinya sengketa tentang tanah. kemunculan sengketa
tanah belakangan ini, semakin kompleks. Pemicunya, tak sebatas aspek ekonomi
saja, melainkan sosial dan budaya bahkan juga menyangkut agama. Timbulnya
sengketa hukum mengenai tanah berawal dari pengaduan suatu pihak (orang
atau badan hukum) yang berisi keberatan-keberatan dan tuntutan hak atas tanah
baik terhadap status tanah, prioritas maupun kepemilikannya dengan harapan
9 Gary Goodpaster, Tinjauan terhadap penyelesaian Sengketa dalam Seri Dasar-dasar
Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995),h.16
65
dapat memperoleh penyelesaian secara administrasi sesuai dengan ketentuan
peraturan yang berlaku.10
Dalam rangka memberi kepastian hukum kepada para pemegang hak atas
tanah dan diberikan penegasan terhadap kekuatan sertifikat. Dampak arti
praktisnya selama belum dibuktikan yang sebaliknya data fisik dan data yuridis
dalam perbuatan hukum maupun sengketa didepan pengadilan harus diterima
sebagai data yang benar. Individu atau badan hukum lainnya tidak dapat
menuntut tanah yang telah bersertifikat atas nama orang lain atau badan hukum
lainnya jika selama 5 tahun sejak dikeluarkan tidak mengajukan gugatan di
pengadilan.11
Pelaksanaan untuk tercapainya jaminan dan kepastian hukum hak-hak atas
tanah diselenggarakan pendaftaran tanah dengan mengadakan pengukuran,
pemetaan tanah dan penyelenggaraan tata usaha hak atas tanah merupakan
hubungan hukum orang atau badan hukum dengan sesuatu benda yang
menimbulkan kewenangan atas obyek bidang tanah dan memaksa orang lain
untuk menghormatinya akibat dari pemilikan. Pasal 19 Undang-Undang Pokok
Agraria menugaskan kepada pemerintah untuk menyelenggarakan pendaftaran
tanah yang bersifat rechts. Pendaftaran tanah berfungsi untuk mengetahui status
bidang tanah, siapa pemiliknya, apa haknya, berapa luasnya, untuk apa
dipergunakan. Untuk memperoleh kekuatan hukum rangkaian kegiatan
pendaftaran tanah secara sistematis, pengajuan kebenaran materil pembuktian
10 Rusmadi Murad, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Mandar
Maju, 1991),h.2211 Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan,Seri Hukum Pertanahan Memberikan
Hak Atas Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II-Sertifikat dan Permasalahnnya,(Jakarta:Prestasi Pustaka, 2002), h.11
66
data fisik dan data yuridis hak atas tanah, ataupun lain hal yang dibutuhkan
sebagai dasar hak pendaftaran tanah, dan atau riwayat asal usul pemilikan atas
tanah, jual-beli, warisan, tidak terlepas pada peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Sengketaan tanah yang bersertifikat ganda, selalu dilatar belakangi oleh
kepentingan yang didasari karena pelanggaran hukum yang secara sengaja
dilakukan. Sehingga pihak yang tidak merasa terlibat merasa sangat dirugikan
oleh terbitnya sertifikat ganda. Dan model penyelsaian sengketanyapun selalu
menempuh jalur hukum sebagaimana dalam sistem hukum Indonesia. Yaitu,
mulai dari melaporkan ke BPN dan menempuh jalur pengadilan. Parahnya,
sistem pengadilan pun selalu disusupi oleh oknum yang disuap oleh satu pihak
agar memenangkan kasusnya. Sementara pada pihak lain tidak menerima
putusan pengadilan, dan melanjutkannya dengan banding ke tingkat berikutnya
sampai ke tingkat Mahkamah Agung.
Jika melihat seperti sengketa sertifikat ganda, sepertinya pihak BPN,
terlihat tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan akibat kesalahan hukum yang
dikeluarkan BPN untuk menyelesaikan sengketa sertifikat ganda. Karena BPN
sebagaimana wewenang dan tugas fokoknya sifatnya adalah melakukan
Administrasi Pertanahan baik berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-
undangan lain yang meliputi Pengaturan, Penggunaan, Penguasaan dan
Pendaftaran Tanah, Pengukuran Hak-hak Tanah, Pengukuran dan Pendaftaran
Tanah. Artinya, pihak BPN hampir tidak memiliki hak untuk memutuskan siapa
yang paling berhak atas kepemilikan sertifikat tanah yang dikeluarkan oleh BPN
sendiri. Padahal masyarakat meminta sertifikat tanah tadi ke BPN.
67
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah diuraikan hasil analisis penulisan pada bab-bab sebelumnya maka pada
bab ini akan dipaparkan kesimpulan yang dapat diambil,sekaligus menjawab
terhadap rumusan masalah.Berikut pemaparannya :
1. Faktor yang menimbulkan sertifikat ganda karena kesalahan dari pihak Badan
Pertanahan Nasional.Faktor tersebut timbul karena pihak Badan Pertanahan
Nasional tidak melakukan pemetaan ulang di setiap daerah,sehingga
menimbulkan tumpah tindih atas kepemilikan tanah dan pihak Badan Pertanahan
Nasional seharusnya sebelum membuat sertifikat tanah,dia harus melakukan
pengecekan ulang atas tanah yang didaftarkan oleh masyarakat apakah tanah
tersebut benar dimiliki oleh pembuat sertifikat dan pihak aparatur Badan
Pertanahan Nasional tidak teliti sebelum melakukan pembuatan sertifikat tanah
sehingga menimbulkan sertifikat ganda.
2. Masyarakat Tangerang Selatan yang tidak terlalu peduli terhadap pentingnya
menjaga aset tanah yang dia miliki,masyarakat berfikir untuk memiliki sertifikat
tanah sangatlah sulit dan terlalu banyak aturan-aturan yang harus diselesaikan
dan masyarakat juga menilai bahwa untuk memiliki sertifikat tanah biaya yang
harus dikeluarkan sangatlah mahal dan untuk membuat sertifikat tanah sangat
memerlukan waktu yamg sangat lama sehingga masyarakat tidak terlalu berminat
untuk memiliki sertifikat tanah sesuai prosedur yang telah di tentukan oleh Badan
Pertanahan Nasional dan banyak oknum-oknum yang mencari keuntungan dari
68
membuat sertifikat tanah,oleh sebab itu menimbulkan kasus-kasus sertifikat
ganda yang sering kita jumpai.
B. Saran-Saran
Dari kesimpulan yang dipaparkan sebelumnya,tentu ada saran yang dimiliki
oleh peneliti yang hendak diutarakn di sini.Utamanya berkaitan tentang
Penyelesaikan Kepemilikan Yang Bersertifikat Ganda.Saran yang diutarakan
sebagai berikut :
1. Kepada pihak Badan Pertanahan Nasional agar lebih teliti dalam mebuat
sertifikat tanah dan jangan sampai setelah diterbitkan sertifikat tanah terjadi
kesamaan terhadap kepemilikan tanah tersebut,sehingga menimbulkan kerugian
kepada masyarakat.Badan Pertanah Nasional seharusnya melakukan pemetaan
ulang dan melakukan survei ke tempat dimana masih banyak tanah yang belum
didaftarkan dan belum dilakukan pemetaan dan Badan Pertanahan Nasional
segera memberhentikan oknum-oknum yang bermain dalam membuat sertifikat
tanah,sehingga menimbulkan sertifikat ganda yang sangat merugikan
masyarakat.
2. Kepada masyarakat agar lebih berhati-hati dalam menjagaa aset tanah yang dia
miliki,walaupun prosedur pendaftaran tanah yang memerlukan waktu yang
sangat lama dan memerlukan biaya yang sangat mahal,akan tetapi sangat baik
untuk menjaga aset tanah yang kita miliki agar tidak terjadinya sengketa
pertanahan dan masyarakat harus mengerti apa akibat yang ditimbulkan apabila
masyarakat belum mengerti untuk cara mendaftarkan tanah bisa juga
69
menanyakan melalui aparatur kepala desa setempat agar bisa lebih mengerti cara
mendaftarkan tanah.
DAFTAR FUSTAKA
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia(Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya),Jilid 1, Hukum Tanah Nasional,(Jakarta:
Djambatan, Edisi Revisi 2007)
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan Seri Hukum Pertanahan III-Penyelesaian
Sengketa Hak Atas Tanah dan Seri Hukum Pertanahan IV-Pengadaan Tanah
Instansi Pemerintah, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2003)
Arikunto Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. (Jakarta: Rineka
Cipta, 2010)
Badan Pertanahan Nasional, Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan
Tanah,(Jakarta; Biro Hukum dan Humas BPN, 2005)
Ali Achmad Chomzah, Hukum Pertanahan, Seri Hukum Pertanahan I-PemberianHak Atas
Tanah Negara dan Seri Hukum Pertanahan II- Sertipikat dan
Permasalahannya.(Jakarta: Prestasi Pustaka, 2002)
Dewi Zulkharnain, Bentuk Penyelesaian Terhadap Sertifikat Ganda (Overlapping) Antara
Sertifikat Hak Guna Bangunan Dengan Sertifikat Hak Milik Oleh Badan
Pertanahan Nasional Kota Surabaya II,(Surabaya: Universitas Pembangunan
Nasional “Veteran” Jawa Timur Fakultas Hukum Program Studi Ilmu Hukum,
2013)
Eko Yulian Isnur, Tata Cara Mengurus Segala Macam Surat Rumah Dan Tanah,
(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2012),
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan
Empiris.(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012)
Gary Goodpaster, Tinjauan terhadap penyelesaian Sengketa dalam Seri Dasar-dasar
Hukum Ekonomi Arbitrase di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1995)
I Made Widnyana, Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR),(Jakarta: Indonesia Business
Law Center (IBLC), 2007)
Herwandi, Peran Kantor Pertanahan dalam Rangka Penyelesaian Sengketa Tanah Secara
Mediasi di Kantor Pertanahan Jakarta Utara,(Semarang: Program Magister
Kenotariatan Universitas Diponegoro, 2010)
I Made Agus Mahendra Iswara, Mediasi Penal Penerapan Nilai-Nilai Restorative Justice
dalam Penyelesaian Tindak Pidana Adat Bali, (Jakarta: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, 2013)
Jimmy Joses Sembiring, Cara Menyelesaikan Sengketa Diluar Pengadilan, (Jakarta:
Visimedia, 2011)
Laurence Boulle, Mediation Principles, Procces and Practice, (New York: Prince
Hall,1996)
Lubis, Mhd. Yamin dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Jakarta: Mandar
Maju, 2008)
Salman Maggalatung dan Amrizal Siagian, Pengantar Studi Antropologi Hukum Indonesia.
(Jakarta: UIN Press, 2015)
Nae, Fandri Entiman, Kepastian Hukum Terhadap Hak Milik Atas Tanahyang Sudah
Bersertipikat. (Jurnal Lex Privatum, 2013) Vol. I/No.5.
Runtung, Pemberdayaan Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di
Indonesia,(Sumatra Utara: Fakultas Hukum Universitas Sumatra Utara, 1 April
2006
Rusmadi Murad, 1991, Penyelesaian Sengketa Hukum Atas Tanah, (Bandung: Mandar
Maju, 1991)
Sembiring, Jimmy Joses, Cara Menyelesaikan Sengketa Diluar Pengadilan, (Jakarta.
Visimedia. 2011)
Sunario Basuki, Ketentuan Hukum Tanah Nasional ( HTN ) yang Menjadi Dasar dan
Landasan Hukum Pemilikan dan Penguasaan Tanah, Program Pendidikan Spesialis
Notariat Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Suparto Wijoyo, Penyelesaian Sengketa Lingkungan (Environmental Disputes
Resolution), (Surabaya: Press University Airlangga University Press, 2003)
Sutrisno Hadi, Metode Penelitian Research, Cet. Ke-I (Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi UGM 1997)
Undang-Undang Dasar 1945
UUPA Nomor 5 Tahun 1960.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
Pasal 3 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006
Pasal 3 Peraturan Menteri Agraria Nomor 8 Tahun 2015
Interview
Wawancara dilakukan 24 Januari 2017. Di Inhutani Ciputat. TR adalah dosen hukum pada
universitas Pamulang.
Wawancara dilakukan pada tanggal 5 Januari 2017. Pamulang
Internet
http://www.jurnaltangerang.co/berita-banyak-sertifikat-tanah-ganda-di-pondok-aren.html#ixzz4L2oYFdgV.
https://tangerangonline.id/2016/04/13/bpn-tangsel-berikan-500-sertifikat-gratis/
https://www.kabar6.com/tangerang/selatan/5466-begini-kata-bang-ben-soal-sengketa-lahan-di-tangsel