PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ (Analisis Putusan...
Transcript of PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ (Analisis Putusan...
PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon
Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR )
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD TAQIYUDDIN AL QISTHY
NIM: 106044101425
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGRAM STUDI AHWAL AL SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul “Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR)”, telah diajukan dalam sidang munaqasah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Program Strata Satu (S 1) pada Program Studi Ahwal Al Syakhshiyyah konsentrasi Peradilan Agama.
Jakarta, 17 Juni 2010 Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM
NIP. 19550505191982031012
Panitia Ujian Munaqasah 1. Ketua : Prof.Dr.H.Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM(………….) NIP. 19550505191982031012 2. Sekretaris : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………….)
NIP. 197202241998031003
3. Pembimbing I : Drs.H.Sayed Usman, SH, MH (………….) NIP. 195607031983031002
4. Pembimbing II : Kamarusdiana, S.Ag, MH (………….) NIP.197202241998031003
5. Penguji I : Dr. H. Umar Al Haddad, M.Ag (………….) NIP.196809041994011001
6. Penguji II : Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, SH, MH (………….) NIP. 196911211994031001
PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon
Nomor:0118/Pdt.G/2009/PA.SBR)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
MUHAMMAD TAQIYUDDIN AL QISTHY
NIM. 106044101425
Di bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Drs.H. Sayed Usman, SH, M.H Kamarusdiana, S.Ag, M.H NIP.150 216 755 NIP.197202241998031003
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGAM STUDI AL-AHWAL AL-SAKHSIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1431 H /2010 M
PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ
(Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon
Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi
Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh: MUHAMMAD TAQIYUDDIN Al QISTHY
NIM: 106044101425
K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A
PROGAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A 1431 H /2010 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya, yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh Gelar Sarjana Satu (S1) di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Sarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, Juni 2010
Muhammad Taqiyuddin Al Qisthy
KATA PENGANTAR
Puja dan puji kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah,
serta kekuatan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai
bagian dari tugas akademis di konsentrasi Peradilan Agama Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi besar
Muhammad SAW, beserta keluarganya, para sahabatnya, tabi’in dan tabi’at hingga
sampailah kepada kita yang mengikuti risalahnya sampai akhir zaman.
Skripsi yang berjudul “ Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis Putusan
Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR)”
akhirnya dapat terselesaikan sesuai dengan harapan penulis. Kebahagiaan yang tak
ternilai bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik
kepada orang tua, seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam
mensukseskan harapan penulis.
Sebagai bahan yang berharga ini perkenankan penulis menuangkan dalam
bentuk ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah
Dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif HIdayatullah Jakarta yang
banyak memberikan nasihat-nasihat yang berharga demi meningkatkan kualitas
spiritual dan intelektual kepada mahasiswa/I Fakultas Syariah dan Hukum.
أ
2. Drs. H. A.Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi Ahwal Al-Syakhisiyyah,
yang selalu memberikan masukan kepada penulis secara tidak langsung sangat
membantu penyusunan skripsi ini.
3. Kamarusdiana, S.Ag,MH. Sekertaris Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah yang
banyak membantu dengan tulus ikhlas kepada penulis selama proses perkuliahan
selama empat tahun ini dan membantu memudahkan mahasiswa secara birokrasi
dan administrasi kampus.
4. Drs.H.Sayed Usman,SH, MH dan Kamarusdiana, S.Ag, MH selaku dosen
pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu disela-sela kesibukan
kariernya masing-masing dalam memberikan masukan maupun nasihat dalam
penyusunan skripsi ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama di bangku kuliah.
6. Drs.Oon Syahroni, SH Ketua Pengadilan Agama Sumber beserta seluruh staf
jajarannya baik Panitera, Panitera Muda Hukum, dan hakim-hakim wa bil khusus
kepada Bapak Drs.Ahmad Sodikin dan Drs. Bahruddin yang telah meluangkan
waktunya untuk diwawancarai demi terselesaikan penelitian ini. Di samping itu
juga membantu dalam memperoleh data dan informasi yang penulis butuhkan
dalam penyusunan skripsi ini.
7. Rasa Ta’zhim & terima kasih yang mendalam kepada ayahanda Drs.Mujahidin
dan Ibunda tercinta Ety Herawati, A.md.Pd., yang telah memberikan banyak
motivasi dan beaya pendidikan selama ini sampai ke jenjang Perguruan Tinggi ب
atas dukungan moril dan materil, kesabaran, keikhlasan, perhatian serta kasih
sayang yang tak pernah habis bahkan doa munajatnya yang tak henti-henti kepada
Allah SWT senantiasa agar penulis mendapatkan kesukseskan dalam penyelesaian
studi dan juga atas perjuangan mereka yang telah mendidik dan mengajarkan arti
kehidupan. Penulis persembahkan skripsi ini.
8. Adik-adikku tercinta, Ahmad Khotibul Umam dan Zaki Mahmud yang
memberikan support kepada penulis selama kuliah di kampus UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
10. Para Ustadz Madrasah Mu’allimin Muhammadiyyah Yogyakarta dan teman-
teman seperjuangan yang kini telah menjadi alumni yang telah memberikan
dukungan doa demi selesainya studi di kampus tercinta ini.
11. Sahabat-sahabat seperjuangan di kelas PA B angkatan 2006 yang tidak bisa
penulis sebutkan satu per satu yang telah bersama-sama berjuang dalam menuntut
ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas Syariah dan Hukum yang
tercinta dan atas persahabatan yang selama ini dibangun tak akan tergantikan
kapan dan di manapun itu tetap akan dikenang tak terlupakan oleh penulis.
12. Teman-teman Pengurus Badan Eksekutif Jurusan Peradilan Agama (BEMJ PA)
yang banyak memberikan pengajaran organsisasi selama penulis kuliah di
Fakultas Syariah dan Hukum tercinta.
Semoga amal yang telah diberikan kepada penulis dapat dibalas oleh Allah
SWT dengan pahala yang berlipat ganda. Demi kesempurnaan skripsi ini di masa
ج
د
mendatang penulis menerima saran dan kritik yang konstruktif dari para pembaca
yang budiman. Semoga Allah SWT senantisa meridhoi setiap langkah kita amiin.
Demikianlah sepatah kata dari penulis, semoga skripsi ini bermanfaat untuk
kita semuanya. Fastabiqul khoirot
Jakarta, 2 Juni 2010
Penulis
Muhammad Taqiyuddin Al Qisthy
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................... v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................... 7
D. Metode Penelitian ........................................................ 8
E. Review Studi Terdahulu............................................... 14
F. Kerangka Teori............................................................. 16
G. Sistematika Penulisan .................................................. 24
BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian dan Dasar Hukum ...................................... 25
B. Macam-macam Perceraian ........................................... 35
C. Alasan-alasan Perceraian ............................................ 43
D. Perbedaan Cerai Gugat dengan Cerai Talak ............... 46
BAB III SYIQAQ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian Syiqaq dan Landasan Hukum ................... 48
B. Perbedaan Syiqaq dengan Nusyuz .............................. 51
C. Syarat-syarat dan Tugas Hakam................................... 55
D. Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq ............... 59
BAB IV PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ
DI PENGADILAN AGAMA SUMBER, CIREBON
A. Faktor-Faktor Terjadinya Syiqaq
di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ....................... 63
B. Proses Pemeriksaan Perceraian dengan Alasan Syiqaq di
Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ........................... 64
v
vi
C. Duduk Perkara dan Pertimbangan Hukum .................. 71
D. Putusan Hakim Pengadilan Agama Sumber ................ 75
E. Analisis Penulis............................................................ 76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................. 86
B. Saran-saran................................................................... 88
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................ 90
LAMPIRAN
Profil Pengadilan Agama Sumber
Laporan Wawancara dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Sumber
Laporan Wawancara dengan Hakim Pengadilan Agama Sumber
Putusan Pengadilan Agama Sumber Nomor: 0118/PDt.G/2009/PA.SBR
Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian di Pengadilan Agama Sumber
Laporan Perceraian Pada Pengadilan Agama Sumber Pada Tahun 2009
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan implementasi dari naluri sifat manusia, Allah secara
tegas mengintrodusir ciptaan-Nya dalam Al Qur’an dengan berpasang-pasangan,
dan berjodoh-jodoh. Untuk terwujudnya hidup berpasang-pasangan tersebut, maka
perlu aturan yang disebut hukum perkawinan.1
Filosofi dasar perkawinan adalah upaya menciptakan kehidupan suami isteri
yang harmonis dalam rangka membentuk dan membina rumah tangga sakinah,
mawadah, dan rahmah. Setiap suami isteri tentu saja mendambakan kehidupan
rumah tangga yang langgeng sepanjang hayat di kandung badan.2
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat sakral dalam perjalanan
kehidupan umat manusia. Dikatakan sakral karena dalam akad pernikahan yang
dilangsungkan tersebut pihak suami mengucapkan akad nikah dimana dia dengan
suka rela telah menyatakan qobul dari ucapan ijab wali calon isteri. Sebab dalam
Kompilasi Hukum Islam pasal 2 disebutkan “Perkawinan menurut hukum Islam
1 Baharudin Ahmad , Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis Metodologis (Jakarta :
Gaung Persada Press, 2008), h.4. 2 Ibid.
2
adalah pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan ghaliizhan untuk
menaati perintah Allah dan melakukannya merupakan ibadah.3
Diadakan akad nikah adalah untuk selama-lamanya sampai suami isteri
tersebut meninggal dunia karena yang diinginkan oleh Islam adalah langgengnya
kehidupan perkawinan. Suami isteri bersama-sama dapat mewujudkan rumah tangga
tempat berlindung, menikmati naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-
anaknya hidup dalam pertumbuhan yang baik agar anak-anak bisa menjadi generasi
yang berkualitas. Oleh karena itu, ikatan antara suami isteri adalah ikatan yang
paling suci dan teramat kokoh4.
Namun, dalam kenyataan harus diakui memang tidak mudah untuk membina
suatu perkawinan yang bahagia, bahkan sering terlihat dalam berbagai informasi baik
dari media cetak maupun elektronik terdapat berbagai kasus perceraian yang
mengakibatkan perkawinan mereka kandas di tengah jalan. Bukannya kebahagiaan
atau ketentraman yang diperoleh di dalam rumah tangga, tetapi yang terjadi adalah
pertengkaran yang sengit antara suami isteri tersebut.
Dengan melihat hal itu, kehidupan rumah tangga ibarat seseorang yang
mendaki gunung yang tinggi. Dimana pendaki gunung tersebut harus melewati
berbagai rintangan yang harus dihadapi dengan penuh kesabaran dan ketelitian. Cara
yang dilakukan oleh pendaki tersebut berbeda satu dengan yang lainnya dalam
3 Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam Lingkungan Peradilan Agama, Cet.3(Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1993), h.307.
4 Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyyah Kajian Hukum Islam Kontemporer (Bandung : Angkasa, 2005), h. 162.
3
menghadapi serta menanganinya. Ada yang berhasil mendaki sampai puncak
tertinggi dan ada pula yang berjatuhan di tengah perjalanan. Demikian juga keadaan
setiap manusia yang sedang menjalani kehidupan rumah tangga, tidak berbeda dari
pendaki gunung yang tinggi yang penuh dengan berbagai macam rintangan.
Dalam kenyataan menunjukkan bahwa hubungan suami isteri tidak
selamanya dapat dipelihara secara harmonis, kadang-kadang suami isteri itu gagal
dalam mendirikan rumah tangganya karena menemui beberapa masalah yang tidak
dapat diatasi. Meskipun suami isteri sedang terbakar api kemarahan dan kebencian,
tetapi pengakhiran dan penyelesaian persoalan harus dilakukan secara baik dan benar,
sebagaimana ketentuan ajaran agama dan hukum yang berlaku. Upaya mengakhirkan
kemelut berkepanjangan dapat diselesaikan melalui alternatif talak (perceraian).
Walaupun dengan pedoman tersebut Rasulullah SAW memperingatkan
secara bijak bahwa tindakan itu tidaklah diinginkan, kecuali dalam situasi yang
sangat darurat dimana sudah tidak ada harapan lagi untuk dipertahankan pernikahan
mereka, sehingga solusi terakhir yang harus diambil kedua belah pihak yaitu
perceraian demi menghindari kemudharatan yang diderita oleh pihak suami atau
isteri yang mengalami percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangganya.5
Untuk mengatasi kasus perceraian antara suami isteri yang beragama Islam,
maka masing-masing pihak diberi hak oleh Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
5Ahmad Sudirman Abbas, Problematika Pernikahan dan Solusinya (Jakarta: Prima Heza
Lestari, 2006), h.23.
4
Agama untuk mengajukan permohonan cerai talak bagi suami dan begitu pula bagi
isteri diberi hak yang sama untuk mengajukan cerai gugat kepada Pengadilan Agama.
Tentunya mereka harus mempunyai alasan yang kuat mengapa perceraian tersebut
bisa terjadi.
Perceraian tidak dapat terjadi kecuali dengan sebab-sebab yang dapat
dipertanggung jawabkan seperti yang telah diatur dalam kitab-kitab fiqih dan
peraturan perundang-undangan. Tujuan dari aturan tersebut agar melindungi
kehormatan suami dan istri, sehingga ucapan talak tidak sembarang dilontarkan oleh
suami pada isterinya, akan tetapi dia harus mengajukan permohonan talak di depan
sidang Pengadilan Agama.6
Dari salah satu sebab perceraian dalam kitab fiqih adalah syiqaq yaitu
perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami isteri. Dimana keduanya
memang saling bertengkar hebat sehingga perkawinan mereka hampir berujung retak.
Oleh karena itu, Allah memberikan solusi yang sangat bijak agar menunjuk seorang
hakam yaitu juru penengah, pendamai dari keluarga suami dan satu orang hakam
dari keluarga isteri. Dipilih hakam dari pihak keluarga karena biasanya mereka
mengetahui keadaan yang terjadi dalam rumah tangga suami isteri yang sedang
cekcok tersebut. Diharapkan orang yang ditunjuk sebagai hakam ini bisa menasehati
suami isteri yang sedang bertengkar hebat tersebut, sehingga mereka bisa rukun
6 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi
Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI (Jakarta: Kencana, 2004), h.233-234.
5
kembali perkawinannya dan mengurungkan niatnya untuk bercerai di depan sidang
Pengadilan Agama.
Dari pengamatan yang penulis perhatikan ternyata kasus Perceraian dengan
alasan syiqaq bisa dikatakan tergolong banyak terjadi di Pengadilan Agama Sumber,
Cirebon, Jawa Barat apabila dihitung secara kuantitatif selama tahun 2009 mencapai
1.538 perkara.7 Sempat terlintas dalam benak penulis sebenarnya faktor-faktor apa
saja yang mendorong para pihak mengajukan perceraian dengan alasan syiqaq, lalu
setelah surat permohonan atau gugatan cerai tersebut diterima oleh Pengadilan
Agama dan ditunjuk Majelis Hakim yang memeriksa perkara perceraian dengan
alasan syiqaq. Maka, bagaimana tata cara Majelis Hakim dalam memeriksa perkara
tersebut. Sejumlah pertanyaan-pertanyaan inilah yang mendorong rasa ingin tahu
penulis dan ini menarik untuk diteliti lebih lanjut, sehingga penulis menuangkannya
dalam bentuk skripsi yang berjudul: “Penyelesaian Perkara Syiqaq (Analisis
Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon No: 0118/ Pdt.G/2009/PA.SBR)”.
B. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan ini tidak meluas, maka dalam penelitian ini penulis
terfokus pada kasus gugatan perceraian yang diajukan oleh isteri dengan alasan
syiqaq yang pada mulanya disebabkan oleh kecemburuan suami kepada isterinya,
7 Laporan Perceraian Pada Pengadilan Agama Sumber Tahun 2009.
6
sehingga menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus,
kemudian diajukan ke Pengadilan Agama Sumber, Cirebon dengan khusus
menitikberatkan terhadap putusan No: 0118/ Pdt.G/2009/PA.SBR.
Dari data yang penulis ketahui di Pengadilan Agama Sumber, perceraian
yang masuk dalam kategori syiqaq ini termasuk banyak, terbukti selama tahun
2009 perkara syiqaq yang telah diputus mencapai 1.538 perkara.8 Di samping itu,
sebagaimana dirilis oleh situs resmi Badan Peradilan Agama (Badilag),
Badilag.net dicantumkan bahwa sepanjang tahun 2009 dari seluruh Pengadilan
Agama yang tersebar di wilayah Indonesia ternyata Pengadilan Agama Sumber
termasuk urutan kelima sebagai Pengadilan yang mendapat rating yang tinggi
dalam menerima dan memutus perkara perceraian.9
2. Perumusan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan tersebut, maka penulis merincinya
dengan membuat beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya syiqaq di antara para
pihak yang berperkara selama tahun 2009 di Pengadilan Agama Sumber ?
2. Bagaimana tata cara pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh Majelis
Hakim Pengadilan Agama Sumber, Cirebon ?
3. Bagaimana pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh
8Ibid. 9Anonim, “Data Perkara Terbesar Pengadilan Agama Tahun 2009”, artikel diakses pada
20Mei 2010 dari http:// www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5340&itemid=1.
7
Majelis Hakim tersebut dalam putusan perkara nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.
SBR?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Penelitian ini dimaksudkan untuk mengungkap realitas hukum yang ada di
lingkungan Pengadilan Agama, khususnya dalam ruang lingkup perkara
perceraian dengan alasan syiqaq di Pengadilan Agama Sumber. Secara lebih rinci
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq.
2. Memperoleh pengetahuan tentang tata cara pemeriksaan kasus syiqaq yang
diselesaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Agama Sumber, Cirebon.
3. Mengetahui pertimbangan hukum dan amar putusan yang digunakan oleh
Majelis Hakim dalam putusan perkara nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA. SBR.
2. Manfaat Penelitian
Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat di antaranya
sebagai berikut:
a. Secara teoritis menambah khazanah keilmuan dalam bidang hukum yang
secara spesifik membahas tentang proses berjalannya suatu perkara perceraian
di Pengadilan Agama dengan harapan akan menunjang kemampuan mahasiswa
mengenai hukum formil dan pengetahuan beracara di lingkungan Peradilan
Agama.
8
b. Secara praktis sebagai bahan rekomendasi bagi para advokat dan hakim
Pengadilan Agama untuk dijadikan referensi dalam menghadapi kasus
perceraian dengan alasan syiqaq.
c. Memberikan pengetahuan secara mendalam mengenai pertimbangan Majelis
Hakim pada putusan dalam memutus perceraian dengan alasan syiqaq.
D. Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang akan dibutuhkan untuk menyusun skripsi ini,
maka penulis menggunakan beberapa metode antara lain:
1. Pendekatan Penelitian
Dari segi metode penelitian hukum, dengan melihat objek pembahasan ini
tertuju pada penelitian suatu putusan Pengadilan, maka kajian ini termasuk pada
penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, yang
dimaksud dengan penelitian hukum normatif, yakni penelitian hukum yang
dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.10
Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normatif dapat digunakan
beberapa pendekatan yang bisa membantu penulis dalam menganalisis putusan
Pengadilan, yakni: pendekatan perundang-undangan (statute approach),
10 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat
(Jakarta : CV Rajawali, 1985), h.14.
9
pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan analitis (analytical
approach).11
Maksud masing-masing pendekatan tersebut secara operasional adalah
a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan ini digunakan
untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang digunakan oleh majelis
hakim Pengadilan Agama Sumber sebagai dasar hukum dalam pertimbangan
hukum dan amar putusan yang dijatuhkan.
b. Pendekatan konseptual (conceptual approach), dilakukan berkenaan dengan
konsep perceraian dalam hukum Islam termasuk juga doktrin fiqih dalam
kaitannya dengan persoalan syiqaq, dan asas-asas yang terdapat dalam hukum
acara Peradilan Agama termasuk pemeriksaan perkara perceraian dengan
alasan syiqaq yang menjadi lex specialis (aturan khusus) dari ketentuan
perceraian pada umumnya.
c. Pendekatan analitis (analytical approach), dilakukan untuk mengetahui
pengertian hukum, asas hukum, dan kaidah hukum yang tersimpan dalam
putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber khususnya perkara syiqaq
yang sejatinya merupakan upaya positivisasi hukum Islam terkait dengan
hukum keluarga.
11Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif , cet.3 (Malang:
Bayumedia Publishing, 2007), h.300.
10
2. Jenis Penelitian
Adapun jenis penelitian setelah penulis melihat data yang dibutuhkan
dalam judul skripsi ini, maka termasuk dalam kategori penelitian kualitatif, yaitu
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
dan lisan dari orang atau perilaku yang diteliti.12 Dalam hal ini karena termasuk
pendekatan normatif, maka jenis penelitian ini bisa disebut sebagai penelitian
kepustakaan.
3. Sumber Data
Sebagai suatu penelitian hukum normatif yang hanya ditujukan pada
putusan Pengadilan Agama Sumber, maka jenis data yang diperlukan untuk
menjawab permasalahan dalam penelitian ini adalah berupa bahan-bahan
hukum. 13 Dalam hal ini, baik yang bersumber dari bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.14
Adapun bahan-bahan hukum dimaksud adalah:
a. Bahan hukum Primer
Menurut Peter Mahmud Marzuki, bahan hukum primer merupakan
bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Di antara
yang termasuk kategori tersebut adalah peraturan perundang-undangan dan
12 Sudarman Danim, Menjadi Peneliti Kualitatif (Bandung: CV Pustaka Setia, 2002), h.51.
13 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet.3 (Jakarta: UI Press, 1986), h.51. 14 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana, 2005), h.141.
11
putusan hakim. 15 Dari penjelasan tersebut jika dikaitkan dengan objek
pembahasan ini, maka bahan hukum primer itu terdiri dari Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, dan Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama. Di samping itu berupa putusan cerai dengan alasan syiqaq dengan
nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA. SBR yang diperoleh dari Pengadilan Agama
Sumber, Cirebon.
b. Bahan Hukum Sekunder
Dari penelitian ini sebagai pelengkap data dalam mencari jawaban dari
permasalahan yang disebutkan sebelumnya, maka diperlukan bahan hukum
sekunder baik berupa kitab-kitab fikih yang merupakan hasil karya para ahli
dalam bidang hukum Islam,16 jurnal-jurnal hukum, kamus hukum,17 dan hasil
interview (wawancara) dalam bentuk tertulis.18
Dalam hal ini penulis melakukan interview (wawancara) terstruktur
terhadap panitera muda hukum sebagai pejabat peradilan yang membuat
laporan tertulis berupa data-data perkara di Pengadilan yang didokumentasi
15Ibid. 16 Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, h.52. 17Peter Mahmud, Penelitian Hukum, h.155. 18 Ibid., h.165.
12
setiap tahun. Di samping itu, penulis juga melakukan wawancara kepada salah
satu hakim Pengadilan Agama Sumber yang memeriksa perkara ini, kemudian
data tersebut dianalisis dengan cara menguraikan dan menghubungkan dengan
masalah yang dikaji.
4. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara sebagai
berikut :
a. Mengumpulkan berbagai referensi baik berupa buku-buku, jurnal-jurnal hukum,
dan kitab-kitab fikih yang khusus berbicara tentang penyelesaian perkara
syiqaq lalu dihubungkan dengan putusan majelis hakim Pengadilan Agama
Sumber nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR dan peraturan perundang-undangan
yang mengatur syiqaq khususnya pada Pasal 76 Undang-Undang Nomor 3
Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama jo Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan
Pasal 19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo 116 (f)
Kompilasi Hukum Islam. Dari data tersebut diolah sedemikian rupa, sehingga
akan terlihat dengan jelas sebagai jawaban atas rumusan masalah yang dikaji.
b. Interview atau wawancara, yakni tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih
secara langsung bertatap muka antara pewawancara dengan orang yang
13
diwawancara. 19 Dalam hal ini penulis melakukan wawancara terstruktur
dengan pihak-pihak yang ada kaitannya dengan judul skripsi ini yaitu panitera
muda hukum dan hakim yang memeriksa perkara syiqaq ini. Dengan tujuan
agar memperoleh data yang lengkap sebagai alat dalam membantu menemukan
jawaban atas permasalahan yang diteliti dalam skripsi ini.
5. Teknik Analisis Data
Metode analisis data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data
tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content
analysis. Data kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan bahasa
penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok
permasalahan yang diteliti.
Untuk memperjelas analisis data tersebut, maka penulis menggunakan
dua teori yang relevan yaitu teori strukturalis fungsional sebagai pisau analisis
untuk melihat faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq selama tahun 2009 di
Pengadilan Agama Sumber dan teori konkretisasi hukum yang digagas oleh
Hans Kelsen lalu dikembangkan oleh Hans Nawiasky sebagai pijakan teori
dalam menganalisis pertimbangan hukum dan amar putusan majelis hakim
Pengadilan Agama Sumber Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR.
19 Asep Syamsul M.Romli, Jurnalistik Praktis, Cet.3 (Bandung: PT.Remaja Rosdakarya,
2001), h.23.
14
6. Teknik Penulisan
Adapun untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku
“Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”
E. Review Studi Terdahulu
Penulis menemukan beberapa judul skripsi yang pernah ditulis oleh
mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul skripsi yang
akan diteliti oleh penulis. Ternyata setelah penulis membaca beberapa skripsi
tersebut ditemukan pembahasan yang berbeda dengan judul skripsi yang akan
penulis ajukan, sehingga dalam penulisan skripsi ini nantinya tidak akan timbul
kecurigaan plagiasi. Untuk itu di bawah ini akan penulis kemukakan 2 buah skripsi
yang pernah ditulis oleh mereka, diantaranya sebagai berikut:
1. Judul: “Hakam Menurut Imam Mazhab dan UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, serta peranannya dalam menyelesaikan sengketa perceraian
(Studi Kasus Pengadilan Agama Jakarta Utara)” yang ditulis oleh Budi Setiawan/
PF/PMH/2006.
Skripsi ini membahas seputar tentang pengertian Hakam, syarat-syarat
menjadi Hakam, kemudian membahas perdamaian (hakam) di masa Sahabat dan
perdamaian pada sengketa perceraian di masa sekarang. Selain itu, dalam skripsi
ini memuat juga mengenai pandangan Imam Mazhab dan Undang-Undang
15
Peradilan Agama terhadap Hakam, serta bentuk dan upaya Hakam dalam
mendamaikan.
Juga peranan Hakam di Pengadilan Agama Jakarta Utara yang terdiri dari
sekilas tentang Pengadilan Agama Jakarta Utara, jenis perkara yang ditangani
Hakam, serta peranan Hakam dalam sengketa perceraian di Pengadilan Agama
Jakarta Utara.
Perbedaan skripsi ini dengan judul yang penulis angkat ialah pada skripsi
ini lebih menekankan pada pembahasan Hakam ditinjau dari pendapat Fukoha dan
Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Sedangkan judul
yang penulis angkat membahas tentang penyelesaian perceraian dengan alasan
syiqaq (Analisis Putusan Pengadilan Agama Sumber, Cirebon Nomor: 0118/
Pdt.G/2009/PA.SBR).
2. Judul: “Kedudukan dan Kewenangan Hakam Dalam Penyelesaian Masalah
Syiqaq Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam (Studi Kasus di BP 4
Ciputat)”yang ditulis oleh Hidayati Hanubun/ PH/PMH/2008.
Skripsi ini membahas seputar pandangan hukum positif dan hukum Islam
tentang pengertian Hakam dan fungsinya, kedudukan dan kewenangan BP 4
sebagai Hakam dalam masalah syiqaq. Selain itu dalam skripsi ini membahas
efektifitas BP 4 sebagai Hakam dalam penyelesaian masalah syiqaq.
Perbedaan skripsi tersebut dengan skripsi yang penulis angkat ialah pada
skripsi ini lebih menekankan pada pembahasan bagaimana peranan BP 4 dalam
memberi nasihat supaya penyelesaian antara suami isteri yang sedang cekcok,
16
sedangkan skripsi penulis akan menbahas tentang faktor-faktor yang
menyebabkan timbulnya syiqaq diantara para pihak yang berperkara, bagaimana
proses pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Agama Sumber, Cirebon; dan pertimbangan hukum yang digunakan
oleh Majelis Hakim tersebut.
F. Kerangka Teori
Dalam pembahasan yang akan diteliti selanjutnya jelas berkaitan erat dengan
masalah sosial yang mempengaruhi jumlah perceraian dengan alasan syiqaq antara
para pihak yang berperkara di mana mereka bertempat tinggal baik di desa maupun
kota sekitar wilayah dalam yurisdiksi Pengadilan Agama Sumber, Cirebon.
Dari hasil temuan berupa data-data yang diperoleh dari laporan maupun hasil
wawancara pribadi dengan Panitera Muda Hukum dan hakim Pengadilan Agama
Sumber terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor penyebab terjadinya syiqaq
selama tahun 2009, maka selanjutnya penulis akan menggunakan salah satu teori
dalam sosiologi yang relevan untuk menganalisis faktor-faktor tersebut, yakni teori
fungsional struktural. Penjelasan mengenai teori tersebut akan dipaparkan pada
pembahasan berikut ini.
Teori Fungsional Struktural
Fungsional struktural adalah salah satu paham atau perspektif di dalam
sosiologi yang memandang masyarakat sebagai satu sistem yang terdiri dari bagian-
17
bagian yang saling berhubungan satu sama lain dan bagian yang satu tak dapat
berfungsi tanpa ada hubungan dengan yang lain.20
Selanjutnya perubahan yang terjadi pada salah satu bagian akan
menyebabkan ketidakseimbangan dan pada gilirannya akan menciptakan perubahan
pada bagian lain. Asumsi dasar teori ini ialah bahwa semua elemen atau unsur
kehidupan masyarakat harus berfungsi, sehingga masyarakat secara keseluruhan bisa
menjalankan fungsinya dengan baik.21
Karena yang menjadi fokus kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan isi
putusan Pengadilan Agama yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka
menurut hemat penulis sebagaimana dikemukakan oleh Cik Hasan Bisri untuk
menjelaskan putusan Pengadilan dapat digunakan teori yang relevan, yakni teori
konkretisasi hukum (stufenbau theory) yang digagas oleh Hans Kelsen kemudian
dikembangkan selanjutnya oleh muridnya yang bernama Hans Nawiasky.22
Dari teori tersebut dipakai sebagai pijakan analisis penulis nantinya terhadap
putusan Pengadilan Agama Sumber nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR yang bisa
dikatakan mempunyai kontribusi dalam upaya proses penerapan hukum Islam yang
berkaitan dengan bidang Perkawinan, sehingga hukum Islam yang tertera dalam Al
Qur’an, Sunnah Nabi, dan ijtihad Ulama dalam kitab-kitab fiqih dapat terus
20 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern (Jakarta : Prestasi Pustakaraya, 2007), h.48.
21 Ibid.
22 Cik Hasan Basri, Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada , 2004), h.209-210.
18
dilanjutkan dan diimplementasikan oleh masyarakat sepanjang masa di seluruh
tempat terlebih di Negara Indonesia yang notabene mempunyai warga Negara yang
mayoritas beragama Islam.
Agar menjadi jelas dalam pembahasan selanjutnya, maka berikut ini akan
dijelaskan terlebih dahulu mengenai teori tersebut.
Teori Stufenbau Hans Kelsen
Salah satu teori yang masih dipakai sampai sekarang darinya adalah teori
Jenjang (Stufenbautheorieder normen) yang sering disingkat teori stufenbau yang
digagas oleh Hans Kelsen dan kemudian dikembangkan oleh muridnya yang
bernama Hans Nawiasky. Kelsen mengemukakan bahwa norma-norma hukum itu
berjenjang–jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki (tata susunan), dalam arti ,
suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang
lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak
dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotetis dan fiktif yaitu norma dasar
(Grundnorm).23
23 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan I Jenis, Fungsi, dan Materi
Muatan Lainnya (Yogyakarta : Kanisius, 2007), h.41.
19
Sebagai norma yang tertinggi, grundnorm tersebut harus diterima secara
aksiomatis (kenyataan yang diterima sebagai kebenaran tanpa perlu pembuktian lebih
lanjut.24
Teori Kelsen di atas memang masih bersifat umum karena tidak ditujukan
khusus kepada norma hukum. Artinya, norma apapun (agama, kesusilaan, sopan
santun, dan hukum) mengalami lapisan-lapisan dari yang terendah sampai yang
tertinggi. Dalam perkembangan selanjutnya, teori itu dikembangkan oleh muridnya
yang bernama Hans Nawiasky, dengan teorinya Die Stufenordnung der Rechtnormen
atau Die Lehre von dem Stufenaufbau der Rechtsordnung. Berbeda dengan Kelsen,
teori Nawiasky lebih bersifat khusus, karena ia sudah menerapkannya terhadap
norma hukum sebagai aturan-aturan yang yang dikeluarkan oleh Negara.25
Nawiasky membagi norma hukum dalam empat kelompok norma, yaitu : (1)
Staatsfundamental norm, (2) Staatsgrund gesetz, (3) Formulle Gesetze, dan (4)
verordnungen dan Autonome Satzungen. Dari pembagian di atas jelas terdapat
perbedaan istilah antara Nawiasky dengan Kelsen terutama yang berkaitan dengan
norma dasar Negara. Kalau Nawiasky menyebut norma dasar Negara dengan istilah
Staatsfundamental norm, bukan grundnorm atau Staatsgrundnorm seperti pendapat
Kelsen, dengan pertimbangan apabila dipakai Grundnorm itu mempunyai
kecenderungan bahwa norma dasar Negara tidak berubah atau bersifat tetap,
24 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia (Jakarta : PT Gramedia Utama, 1995), h.223.
25 Ibid.
20
sedangkan di dalam suatu Negara norma dasar itu negara itu dapat berubah sewaktu-
waktu oleh adanya suatu pemberontakan, kudeta, dan sebagainya.26
Di dalam sistem norma hukum Negara Indonesia, Pancasila merupakan
norma fundamental Negara yang merupakan norma hukum yang tertinggi, dan
kemudian secara berturut-turut diikuti oleh Batang Tubuh UUD 1945, Ketetapan
MPR, serta hukum dasar tidak tertulis atau disebut juga Konvensi Ketatanegaraan
sebagai Aturan Dasar Negara/ Aturan Pokok Negara (Staatsgrundgesetz), Undang-
undang (formel gesetz) serta Peraturan Pelaksanaan dan Peraturan Otonom
(verordnung & Autoneme Satzung) yang dimulai dari Peraturan Pemerintah,
Keputusan Presiden, Keputusan Menteri, dan peraturan pelaksanaan serta peraturan
otonom lainnya.27
Dari teori peringkat hukum yang tersusun dari rechtidee (cita hukum/hukum
abstrak), norma antara, dan norma konkret tersebut, apabila ditarik untuk
melembagakan hukum Islam, maka yang menjadi cita hukum adalah nilai-nilai Islam
yang terdapat dalam Al Qur’an dan hadits Nabi. Norma abstrak ini bersifat universal
dan tidak boleh dilakukan perubahan sedikitpun oleh manusia. Norma antara adalah
asas-asas hukum Islam dan pengaturannya sebagaimana dikembangkan oleh ahli
hukum Islam.28 Norma antara ini merupakan asas-asas hukum yang dihasilkan oleh
26 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, h.47-48.
27 Ibid., h.57.
28 Samsul Bahri, ed.,Membumikan Syariat Islam Strategi Positivisasi Hukum Islam Melalui Yurisprudensi (Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2007), h.51.
21
ijtihad para Ulama untuk merealisasikan nilai-nilai dalam norma abstrak berdasarkan
situasi dan kondisi sosial budaya manusia yang bersangkutan. Sedangkan yang
menjadi norma konkret adalah semua hasil penerapannya dalam masyarakat dan
penegakannya melalui Pengadilan. (dalam bentuk living law dan hukum positif).29
Menurut Rifyal Ka’bah sebagaimana dikutip oleh Samsul Bahri, sebelum
menjadi hukum positif, hukum Islam membutuhkan formulasi dalam bentuk kode-
kode hukum Islam (dalam bentuk bahasa hukum umum) yang siap pakai dengan
kebutuhan penyelenggaraan hidup berbangsa dan bermasyarakat.30
Menurut Jimly As Shiddiqi sebagaimana dikutip oleh Samsul Bahri, dalam
pembentukan hukum dapat ditempuh melalui dua jalur yaitu dengan melalui
prosedur legislasi dan melalui yurisprudensi.31
Pada pembahasan ini akan lebih ditekankan pada positivisasi hukum Islam
melalui yurisprudensi karena erat kaitannya dengan putusan majelis hakim
Pengadilan Agama Sumber perkara nomor : 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR yang sudah
berkekuatan hukum tetap.
Dalam mengupayakan positivisasi hukum Islam yang dilakukan melalui
yurisprudensi, maka hakim akan melakukan ijtihad untuk menemukan asas dan
kaidah hukum dalam norma yang terkandung dalam Al Qur’an melalui fiqh yang
merupakan norma antara, agar bisa diterapkan dalam kasus konkret. Di samping itu,
29 Ibid., h.52.
30 Ibid.
31 Ibid., h.133.
22
untuk dapat merealisasikan asas norma dalam Al Qur’an pada kasus konkret hakim
harus mengerti dan tidak boleh menyimpang dari maqashid al-syari’ah, yaitu tujuan
tujuan umum dari norma yang dikandung dalam Al Qur’an yang tidak lain adalah ruh
ajaran agama demi kemaslahatan manusia.32
Menurut Padmo Wahjono, norma abstrak hukum Islam berbentuk nilai-nilai
yang dikandung dalam kitab suci Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Karena berisi
nilai-nilai Al Qur’an, maka norma abstrak dalam sistem hukum Islam bersifat
universal, abadi, dan tidak dapat diubah oleh manusia. Norma antara dalam sistem
hukum Islam berupa asas-asas dan kaidah pengaturan yang dihasilkan oleh kreasi
manusia yang terikat dengan situasi, kondisi, ruang, dan waktu. Norma antara ini
adalah karya ilmiah para Ulama, pakar/ ilmuwan Islam (fuqaha), termasuk Kompilasi
Hukum Islam (KHI).33
Sedangkan norma konkret hukum Islam adalah semua hasil penerapan dan
pelayanan hukum kreasi manusia (yang bersumber dari norma abstrak melalui norma
antara) serta penegakan hukum di Pengadilan.34
Kesejajaran hubungan stufenbau theorie dalam positivisasi hukum Islam
dapat digambarkan sebagai berikut:
32 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), h.304.
33Busthanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar, Sejarah, Hambatan, dan Prospeknya (Jakarta : Gema Insani Press, 1996), h.150.
34 Samsul Bahri, ed., Membumikan Syariat Islam, h.130-131.
23
Norma Hukum Konkret:
Pedoman di dalam
penjelasan pasal 28, Hukum konkret
harus berdimensi demokratis,kemanu-
siaan dan keadilan sosial
Norma Hukum Indonesia Teori Stufenbau Hukum Islam
Keterangan:
=garis kesejajaran =garis hubungan
transformasi
Sumber: buku Samsul Bahri,Membumikan Syariat Islam, h.132
Staats- fundamental
norm
Norma Hukum Antara:
UUD 1945
menciptakan pokok pikiran dalam pasal-
pasal. Aturan untuk
penyelenggaraan aturan pokok
Norma konkret: semua hasil
penerapan dan penegakan di Pengadilan
Norma Hukum Antara:
Asas dan kaidah pengaturan hasil karya manusia
Norma Hukum Abtrak atau Cita
Hukum/ Rechtsidee
Pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD
1945/ Pancasila,
mewujudkan cita hukum yang
menguasai hukum dasar Negara
(tertulis/tidak tertulis)
Autoneme Setzung
Staats- grundnorm
dan Formeel gesetz
Norma Abstrak Nilai-nilai dalam
Al Qur’an
24
G. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok
penulisan skripsi ini dan agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata
urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan ini sebagai
berikut:
Bab Pertama : memuat Pendahuluan yang mencakup Latar Belakang Masalah,
Pembatasan dan Rumusan Masalah, Manfaat dan Tujuan Penelitian,
Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu, Kerangka Teori, dan
Sistematika Penulisan.
Bab Kedua : memuat Pengertian tentang Perceraian dan Dasar Hukum, Macam-
macam Perceraian, Alasan-alasan Perceraian, dan Perbedaan Cerai
Gugat dengan Cerai Talak.
Bab Ketiga : memuat Pengertian Syiqaq dan Landasan Hukum, Perbedaan Syiqaq
dengan Nusyuz, Syarat-syarat dan Tugas Hakam, Kedudukan
Keluarga dalam Perkara Syiqaq.
BabKeempat: memuat Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Syiqaq di Pengadilan
Agama Sumber, Proses Pemeriksaan Perceraian dengan Alasan
Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, Cirebon, Duduk Perkara dan
pertimbangan hukum, putusan hakim Pengadilan Agama Sumber,
dan Analisis Penulis.
Bab Kelima : Merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam
penulisan skripsi yang berisi Kesimpulan dan Saran-saran.
25
BAB II
KETENTUAN UMUM TENTANG PERCERAIAN
A. Pengertian dan Landasan Hukum
Perceraian terambil dari kata “cerai” dan dalam bahasa Arab sering disebut
dengan “thalaq” ( قالط ). Thalaq secara etimologis sebagaimana tertera dalam kitab
Lisan al ‘Arab karangan Ibnu Manzur berarti “الحل والإلرسال” , artinya “melepaskan
atau meninggalkan”.1 Menurut terminologis thalaq didefinisikan oleh beberapa
Ulama dengan redaksi yang berbeda sebagaimana akan disebutkan di bawah ini:
Sayyid Sabiq dalam kitabnya “Fiqh Al Sunnah” memberikan definisi thalaq
ialah
2.حل رابطة الزواج وإنهاء العلاقة الزوجية
Artinya: “melepaskan ikatan perkawinan atau menyelesaikan hubungan
perkawinan.”
Sedangkan Dr. Wahbah Zuhaily dalam kitabnya “Al Fiqh Al-Islami Wa
Adilatuhu” memberikan definisi thalaq sebagai berikut
3.حوهق وند النكاح بلفظ الطالحل قيد النكاح أو حل عق
1 Imam Al ‘Allamah ibn Manzur, Lisan al ‘Arab (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h.630. 2 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2 (Beirut: Dar Al Fikr, 1983), h.206. 3 Wahbah Zuhailiy, AlFiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX (Damaskus: Dar Al Fikr, 2007),
h.6873.
26
Thalaq ialah “melepaskan ikatan pernikahan atau melepaskan tali akad nikah dengan
lafaz At-Thalaq dan semisalnya.”
Menurut Abdurrahman Al Jaziry dalam kitabnya “Al Fiqh ‘Ala Mazahib Al
Arba’ah” thalaq didefinisikan sebagai berikut: 4.ق إزالة النكاح أو نقصان حله بلفظ مخصوصالطال
Thalaq ialah “menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi melepaskan
ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu.”
Jadi, beberapa definisi yang dibuat oleh Ulama di atas meskipun berbeda-
beda redaksinya, tetapi sebenarnya mempunyai substansi yang sama di mana talak
ialah salah satu bentuk putusnya perkawinan antara suami dengan isteri karena
sebab-sebab tertentu yang memang sudah tidak dapat diteruskan lagi ikatan
pernikahan mereka demi menghilangkan kesengsaraan yang diderita. Dalam kitab-
kitab fiqh benar bahwa talak itu merupakan hak mutlak suami dan dia dapat
menggunakannya di mana saja dan kapan saja, tanpa harus minta izin terlebih
dahulu. Berbeda dengan khulu’ dimana perceraian dengan kehendak isteri karena dia
merasa khawatir tidak dapat menegakkan ketentuan Allah yang berkaitan dengan hak
dan kewajibannya, sehingga isteri harus memberikan ‘iwadh kepada suaminya.
Talak disyari’atkan berdasarkan Kitab Al Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Di
bawah ini akan disebutkan perinciannya:
4 Abdurrahman Al Jaziri, AlFiqh ‘Ala al-Madzahib Al Arba’ah (Mesir: Dar Al Haisam, t.th),
h.964.
27
Adapun Al Qur’an mengatur talak dalam surat Al Baqarah ayat 229 yang berbunyi:
⌧
)229: 2/البقرة(
Artinya: “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik..”(Al Baqarah/2:229). Dalam surat yang lain juga Allah juga berfirman yang berbunyi:
)1: 65/الطالق (
Artinya: “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah kamu
ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”.(Ath Thalaq/65:1).
Adapun Sunnah didasarkan atas sabda Nabi Saw yang menyatakan:
فسأل ρ في عهد رسول الله - وهي حائض -ي الله عنهما أنه طلق امرأته رض-وعن ابن عمر
ثم , ثم تحيض , ثم ليمسكها حتى تطهر , ا مره فليراجعه " :فقال? عن ذلك ρعمر رسول الله
فتلك العدة التي أمر الله أن تطلق لها , وإن شاء طلق بعد أن يمس , ثم إن شاء أمسك بعد , تطهر
5.)متفق عليه( .النساء
5Imam Hafiz Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il Al Bukhari, Shohih Bukhari (Jordan:
Baitul Afkar Al Dauliyyah, 2008), h.612. Lihat juga Muhammad ibn Ismail al Amir AsShan’ni, Subul As-Salam Al Musholah ila Bulugh Al Maram, Juz 3 (Kairo: Dar Ibn Al Jauzi, 1428 H), h.156.
28
Artinya: “Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Abdullah bin Umar telah menceritakan
isterinya ketika haid di zaman Rasulullah SAW masih hidup, lalu Umar bertanya kepada Rasulullah tentang hal itu, maka Rasulullah SAW menjawab: “Perintahkan ia untuk merujuknya kemudian agar dia pegang isterinya sampai waktu suci, kemudian dia berhaid lalu suci lagi, kemudian jika ia mau, ia tetap boleh pegang isterinya setelah itu. Tetapi, jika ia mau mentalak sebelum ia mencampurinya, maka yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk mentalak isteri-isteri.” (Muttafaq ‘alaih).
رواه ( .ه الطلاق أبغض الحلال عند الل:ρ قال رسول الله : قال- رضي الله عنهما-عن ابن عمر 6.(ورجح أبو حاتم إرساله, وصححه الحاآم , وابن ماجه , أبو داود
Artinya: “Dari Ibnu Umar semoga Allah Swt meridhoi keduanya berkata: Rasulullah
SAW bersabda: perbuatan halal yang dibenci oleh Allah SWT ialah talak.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, dan Hakim, serta dikuatkan oleh Abu Hatim). Ijma’. Semua orang telah sepakat mengenai kebolehan talak, secara rasional juga
dikuatkan, karena apabila pernikahan tetap dipertahankan dengan rusaknya keadaan
hubungan antara suami isteri, maka itu mengakibatkan kerusakan dan menimbulkan
kesengsaraan semata dengan mengharuskan suami memberi nafkah dan tempat
tinggal bagi isteri yang akan dicerai.7
Putusnya perkawinan di mana salah satu dari macam-macamnya berupa talak
telah diatur secara panjang lebar dalam kitab-kitab fiqh. Bagi Indonesia meskipun
bukan Negara Islam, tetapi penduduknya yang mayoritas beragama Islam
memerlukan suatu produk perundang-undangan yang dapat mengatur semua
6 Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah (Jordan: Baitul Afkar
Al Dauliyyah, 2004), h.219. 7 Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.6874.
29
kelompok umat Islam di Indonesia, sehingga dalam melaksanakan hukum Islam
terutama salah satunya yang berkaitan dengan perkawinan sudah mempunyai
unifikasi hukum yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Aturan talak yang tadinya hanya diatur dalam kitab fiqh sekarang telah
mengalami transformasi ke dalam produk perundang-undangan di Indonesia. Hal ini
bisa dilihat dalam Pasal 38 UU Nomor 1/1974 yang menjelaskan bentuk putusnya
perkawinan dengan rumusan:“Perkawinan dapat putus karena: a. Kematian; b.
Perceraian; dan c. Atas keputusan Pengadilan.”
Pasal ini dipertegas kembali dengan bunyi yang sama dalam Kompilasi
Hukum Islam (KHI) pasal 113 dan kemudian diuraikan dalam pasal 114 dengan
rumusan: “Putusnya perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi
karena talak atau berdasarkan gugatan perceraian.”
Pengertian talak dalam Pasal 114 ini ini dijelaskan dalam Pasal 117. Talak
adalah ikrar suami di hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu
sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 129,
130, dan 131.
1. Hukum Talak
Para Ahli Fiqh berbeda pendapat mengenai hukum talak ini. Secara garis
besar akan diuraikan sebagai berikut:
Menurut Jumhur Ulama (Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah) bahwa
talak itu boleh, paling utama tidak melaksanakannya karena di dalamnya
30
memutuskan kasih sayang kecuali karena alasan.8 Sedangkan menurut
Hanafiyyah bahwa terjadinya talak itu mubah (dibolehkan)9 berdasarkan
kemutlakan ayat-ayat Al Qur’an seperti Firman Allah Swt:
: 65/الطالق(..
1(
Artinya : “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isterimu, maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)”.(Ath Thalaq/65:1).
Kemudian dalam surat yang lain Firman Allah yang berbunyi:
)236: 2/البقرة(
Artinya: “Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu
menceraikan isteri-isteri kamu..”(Al Baqarah/2:236).
Alasan yang lain juga didasarkan atas Nabi Saw yang mentalaq Hafsah
demikian juga yang dilakukan oleh sahabat Nabi, Hasan bin Ali R.A
memperbanyak nikah dan talak di Kufah.
8 Ibid., h.6879. 9 Ibid.
31
Menurut Ibnu ‘Abidin talak itu dibenci oleh Allah, tetapi tidak menafikan
hukumnya menjadi halal, meskipun demikian halalnya talak itu mengandung
makruh.
Akan tetapi, pendapat yang paling tepat di antara pendapat itu ialah
pendapat yang mengatakan bahwa suami dilarang menjatuhkan talak, kecuali
karena darurat (terpaksa).10
Mereka beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat
Allah, sebab pernikahan itu termasuk nikmat Allah atas hamba-Nya.11
Di antara darurat yang dibolehkan tadi yaitu bila suami meragukan
perilaku isterinya atau sudah tidak punya rasa cinta dengannya.
Talak hukumnya bisa berubah menjadi wajib, haram, mubah, dan sunah
ketika berhadapan dengan suatu kondisi tertentu. Sebagaimana pendapat
Hanabilah sebagai berikut:12
Talak menjadi wajib bagi suami atas permintaan isteri dalam hal suami
tidak mampu menunaikan hak-hak isteri serta menunaikan kewajibannya sebagai
suami seperti suami tidak mendatangi isteri. Talaq wajib terjadi pada kasus syiqaq
jika kedua hakam berpendapat bahwa talak itulah satu-satunya jalan untuk
mengakhiri perpecahan suami isteri yang sudah berat.
10 Ahmad Ghundur, At Thalaq fi Syari’at Islamiyyah Wa Al Qonun (Mesir: Dar Al Ma’arif,
t.th), h.37-38. 11 Ibid.,h.38. lihat juga Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz 2, h.207. 12Sayyid Sabiq, Fiqh As Sunnah, Juz 2, h.207.
32
Talak menjadi haram tatkala dijatuhkan tanpa alasan yang jelas karena
dapat merugikan pihak suami dan isteri dan melenyapkan kemaslahatan suami
isteri. Talak yang demikian bertentangan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:
رر ض ال: عن عمرو بن يحي المازي عن أبيه أن رسول اهللا ص م قال حدثنا يحي عن مالك
سعيد الخدري، بإسناد آخر رواه بن ماجه عن إبن أبي حاآم وغيره عن الرواه (.ارر ضالو
13)عباس
Artinya: Yahya Berkata kepada kami dari Malik dari ‘Amr ibn Yahya Al Maziy
dari ayahnya bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: “Tidak boleh membuat kemudharatan dan membalas kemudharatan.”(HR.Hakim dan lainnya dari Sa’id AlKhudri, dengan sanad yang lain H.R.Ibnu Majah dari Ibnu ‘Abbas).
Talak menjadi mubah bila memang perlu terjadi perceraian dan tidak ada
pihak-pihak yang dirugikan dengan perceraian itu, sedangkan manfaatnya bisa
dirasakan nantinya.14
Talak disunnahkan jika isteri rusak akhlaknya, berbuat zina atau
melanggar larangan-larangan agama dan meninggalkan kewajiban-kewajiban
agama seperti salat, puasa, dan sebagainya sementara suami tidak mampu
memaksanya agar dia menjalankan kewajibannya tersebut, atau isteri kurang rasa
malunya.15
13Imam Malik Ibn Anas, AlMuwattha’(Beirut: Dar Al Kitab Al’Arabi, 2004M), h.315. Lihat
juga Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, h.252. 14Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia di Indonesia Antara Fiqh
Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, h.201. 15 Wahbah Zuhaily, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.6880.
33
2. Rukun dan Syarat Talak
Rukun talak sebagaimana dikemukakan oleh Malikiyyah ada empat di
antaranya akan dijelaskan secara garis besarnya di bawah ini.
a. Orang yang berhak menjatuhkannya yaitu suami atau penggantinya atau
walinya jika dia masih kecil. Supaya sah talaknya suami yang menjatuhkan
talak disyaratkan harus: 1. Berakal, 2. Baligh, dan 3. Atas kemauan sendiri.16
b. Perempuan yang ditalak )ةقلطالم(
Adapun persyaratannya yaitu:
1) Perempuan yang ditalak itu berada di bawah kekuasaan laki-laki yang
mentalak yaitu isteri yang masih terikat dalam tali perkawinan dengannya.
Demikian juga isteri yang menjalin masa iddah talak raj’I karena statusnya
dipandang masih berada dalam perlindungan kekuasaan suami.
2) Kedudukan isteri yang ditalak itu harus berdasarkan atas akad perkawinan
yang sah.17
c. Shighat Talak
Shighat talak ialah lafaz yang menunjukkan atas terputusnya ikatan
pernikahan baik berbentuk sharih (jelas) maupun kinayah (sindiran)18.
16 Abdurrahman Al Jaziri, Al Fiqh ‘Ala al-Madzahib Al Arba’ah, h.216-217. 17 Ibid., h.218. 18Ibid.
34
Yang dimaksud dengan sharih itu adalah ucapan yang secara jelas
digunakan untuk ucapan talak, sedangkan yang dimaksud dengan lafaz kinayah
atau sindiran adalah lafaz atau ucapan yang sebenarnya tidak digunakan untuk
talak tetapi dapat dipakai untuk menceraikan isteri.19
Syaratnya menurut Ulama untuk ucapan kinayah harus diiringi dengan
niat, sehingga dapat dipandang jatuh talaqnya, sedangkan ucapan shorih tidak
perlu dengan adanya niat, sehingga dengan keluarnya ucapan itu jatuh talak
meskipun dia tidak meniatkan apa-apa atau meniatkan selain dari talak. Khusus
untuk ucapan shorih dipersyaratkan orang yang mengucapkan talak itu harus
mengerti apa yang dikatakannya.20
d. Qashdu (sengaja), artinya dengan ucapan talak itu memang ditujukan hanya
untuk talak bukan maksud yang lain.21 Imam Nawawi secara khusus
dibicarakan dalam Kitabnya “Minhaj Al Thalibin” dimana menyebutkan antara
niat dengan Qashdu terdapat perbedaan yaitu kalau niat itu kesengajaan hati,
sedangkan Qashd berarti tekad atau kehendak untuk berbuat.22
19 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, Cet. ke-2 (Jakarta:Kencana Pranada Media Group, 2006), h.209. 20 Ibid. 21 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke.2 (Jakarta: Kencana Prenada Media
Group, 2006), h.204. 22 Imam Abu Zakaria Yahya Ibn Syarif An Nawawi Al Dimasyqi, Raudhat al Thalibin, Juz 6
(Beirut: Dar Al Kutub al Ilmiyyah, t.th), h.50.
35
B. Macam-Macam Perceraian
Di dalam kitab fiqh putusnya perkawinan disebut dengan istilah “furqoh”.
Di antara macam-macam bentuk furqoh diantaranya berupa: talak, khulu’, dan
fasakh. Setelah pembahasan secara umum mengenai talak pada sub bab terdahulu,
maka berikut ini akan dijelaskan secara umum mengenai khulu’ dan fasakh, sehingga
akan terihat perbedaannya nanti.
1. Khulu’
Khulu’ secara etimologis berarti إزالة النزع وال yang artinya perselisihan dan
menghilangkan. Sedangkan secara terminologis Ulama Syafi’iyyah
mendefinisikan khulu’ adalah perceraian antara suami isteri dengan suatu ‘iwadh
(tebusan) dengan lafaz طلاق atau خلع seperti perkataan suami kepada isteri: طلقتك
atau خالعتك maka ia menerima.23
Menurut Hanabilah khulu’ ialah perceraian suami atas isterinya dengan
‘iwadh dimana suami menerima ‘iwadh tersebut dari isterinya atau selainnya
dengan lafaz-lafaz tertentu, maka khulu’ menurut mereka harus melalui perantara
‘iwadh.24
23 Wahbah Zuhailiy, AlFiqhAlIslamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7008. 24 Ahmad Ghundur, At Thalaq fi Syari’at Islamiyyah Wa Al Qonun, h.261.
36
a. Hukum Khulu’
Khulu’ itu perceraian dengan kehendak isteri. Hukumnya boleh atau
mubah menurut Jumhur Ulama25, karena kebutuan manusia kepadanya dengan
terjadinya syiqaq, perselisihan, dan tidak adanya kesesuaian antara suami isteri,
terkadang isteri membenci suaminya dengan tidak suka hidup bersamanya
karena sebab-sebab yang bersifat fisik jasmani atau perangai atau
keagamaannya atau takut tidak bisa melaksanakan hak Allah dalam mentaati,
maka Islam mensyari’atkan kepadanya dalam menghadapi talak yang khusus
dengan suami sebagai keikhlasan dari suami isteri untuk menolak kesulitan dan
menghilangkan kemudaratan.26
Adapun dasar kebolehannya terdapat dalam Al Qur’an dan juga terihat
dalam hadis Nabi. Dari Kitab Allah termaktub pada surat Al Baqarah ayat 229
yang berbunyi:
⌧ ☺
)229: 2/البقرة(
Artinya : “…Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang
diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya..”(Al Baqarah/2:229).
25 Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd al Qurthubi. Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtashid, Juz 2 (Beirut: Dar Ihya’ Turats al ‘Arabi, 1996), h.67.
26 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu Juz IX, h.7009.
37
Sebagai dasar hukum dari hadis, sebagaimana hadis yang diriwayatkan Ibnu
‘Abbas:
يا : فقالتρ أن امرأة ثابت بن قيس أتت النبي -ضي الله عنهما ر-عن ابن عباس ولكني أآره الكفر في , ثابت بن قيس ما أعيب عليه في خلق ولا دين ! رسول الله
" ρ قال رسول الله . نعم:قالت, " ? أتردين عليه حديقته " ρقال رسول الله , لإسلام ا 27.)اه البخاريرو( .وطلقها تطليقة, اقبل الحديقة
Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A bahwa Isteri Tsabit bin Qais datang mengadu
kepada Nabi Saw dan berkata: “Ya Rasul Allah Tsabit bin Qais itu tidak ada kurangnya dari segi kelakuannya dan tidak pula dari segi keberagamaannya. Cuma saya tidak senang akan terjadi kekufuran dalam Islam. Rasul Allah Saw berkata: “Maukah kamu mengembalikan kebunnya ? “ Si Isteri menjawab: “ Ya mau “. Nabi berkatakepada Tsabit: “Terimalah kebun dan ceraikanlah dia satu kali cerai.(HR.Bukhari).
b. Rukun Khulu’
Rukun Khulu’ menurut Jumhur selain Hanafiah diantaranya ada 5 yaitu:
Pertama, Suami. Syarat suami yang menceraikan isterinya dalam bentuk
khulu’ seperti apa yang berlaku dalam talaq yaitu seseorang yang ucapannya
telah dapat diperhitungkan secara syara’, yaitu akil baligh, dan bertindak atas
kehendaknya sendiri, serta dengan kesengajaan.28
27Imam Bukhari, Shohih Bukhari, h.615, lihat juga Hafiz Ahmad ibn Ali ibn Hajar Al
‘Asqalani. Bulugh al Maram Min jam’I Adilati Al Ahkam (Kairo: Dar Al Hadis, 2003), h.182. Lihat juga Muhammad ibn Ali ibn Muhammad As Syaukani, Nail Al Author Juz 5(Maktabah al Iman, t.th), h.271.
28Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam,h.235.
38
Kedua, Isteri yang dikhulu’. Di antara persyaratan yang harus dipenuhi yaitu: a.
Ia berada dalam wilayah suami dalam arti isterinya atau yang telah diceraikan,
tetapi masih dalam masa iddah raj’i, b. Ia dipandang telah dapat bertindak atas
harta karena dalam rukun khulu’ ini isteri harus menyerahkan harta. Dengan
demikian isteri adalah orang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah
pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta.29
Ketiga, adanya uang tebusan, atau ganti rugi, atau ‘iwadh. Tentang ‘iwadh
dimasukkan sebagai salah satu rukun khulu’ memang terjadi perbedaan
pendapat di kalangan Ulama. Menurut Jumhur Ulama memasukkan ‘iwadh
sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan untuk sahnya khulu’. Namun,
pendapat yang berbeda satu riwayat dari Ahmad dan Malik yang mengatakan
boleh terjadi khulu’ tanpa iwadh.30 Tetapi Kompilasi Hukum Islam (KHI)
mengambil pendapat Jumhur yang mengharuskan adanya ‘iwadh dalam khulu’.
Mengenai ‘iwadh itu dalam bentuk sesuatu yang berharga dan dapat dinilai
Ulama menyepakatinya.31
Keempat, Shighat atau ucapan cerai yang disampaikan oleh suami dalam
ungkapan tersebut dinyatakan “uang ganti” atau ‘iwadh. Yang dimaksud
shighat di sini ialah lafaz khulu’ atau apa yang semakna dengannya seperti
29Ibid. 30Ibid. 31Ibid.,h.236.
39
kata-kata baik berbentuk shorih (jelas) atau kinayah اءرب، اإلةءارب، الماءد، الفاءدتف اإل
(samar), maka tidak sah tanpa lafaz seperti annikah dan at-thalaq.32
c. Perbedaan antara Khulu’ dengan Talak
Dalam literatur fiqh memang bab Khulu’ ditempatkan dalam ruang
lingkup pembahasan talak, sehingga ketentuan yang berlaku dalam talak
sebagian besarnya berlaku juga untuk khulu’. Namun demikian, ada perbedaan
antara khulu’ dengan talak yakni:
1) Dalam hal waktu dijatuhkannya di mana khulu’ boleh terjadi pada waktu
yang tidak boleh terjadi talak, sehingga boleh terjadi ketika isteri sedang
haid, nifas, atau dalam keadaan suci yang telah digauli.33
2) Dari segi siapa yang berkehendak untuk putusnya perkawinan, maka dapat
dibedakan bahwa khulu’ diajukan atas kehendak isteri dengan menyerahkan
‘iwadh kepada suaminya. Sedangkan talak diajukan atas kehendak suami
dengan alasan tertentu dan dinyatakan dengan ucapan tertentu.34
2. Fasakh
a. Definisi
32 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7014. 33 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-2, h.225. 34 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, h.197.
40
Fasakh berasal dari bahasa Arab dari akar kata fa-sa-kha yang secara
etimologi berarti rusak dan membatalkan ( هضقن ودسف ).35 Kalau dikaitkan kata ini
dengan akad nikah maka berarti membatalkannya dan melepaskan ikatan
pertalian antara suami isteri.36
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia secara istilah pengertian fasakh
ialah pembatalan ikatan pernikahan oleh Pengadilan Agama berdasarkan
tuntutan isteri atau suami yang dapat dibenarkan Pengadilan Agama atau
karena pernikahan yang telah terlanjur menyalahi hukum pernikahan.37
Definisi fasakh tersebut nampaknya sudah disesuaikan dengan hukum yang
berlaku di Indonesia, sehingga tidak persis sama dengan definisi yang
ditemukan dalam literatur fiqh. Hal itu terbukti dengan disebutkannya sebuah
institusi Pengadilan Agama. Ini pertanda bahwa aturan fiqh sudah diakomodir
ke dalam hukum Islam di Indonesia yang dirumuskan dalam Peraturan
Perundang-undangan seperti terlihat dalam Undang-Undang Perkawinan yang
di dalamnya mengatur tentang batalnya perkawinan dalam tujuh Pasal (Pasal
22-28 UU Nomor 1 Tahun 1974) dan khusus fasakh ini (bentuk kedua)
diakomodir ke dalam KHI yaitu Pasal 70.
b. Macam-Macam
35 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia (Yogyakarta: Krapyak,
1984), h. 1133. 36 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2, h. 268. 37Tim redaksi KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (PT Penerbitan dan
Percetakan Balai Pustaka, 2005), h.314.
41
Dalam kitab fiqh fasakh secara garis besar dibagi menjadi dua macam
ditinjau dari segi alasan terjadinya fasakh, yaitu:
Pertama, perkawinan yang sudah berlangsung beberapa waktu dan baru
diketahui di kemudian hari ternyata tidak terpenuhi persyaratan yang
ditentukan dalam akad nikah, baik pada rukun maupun syaratnya; atau terdapat
halangan (mawani’) yang tidak membolehkan terjadinya perkawinan.38
Contoh fasakh karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi dalam akad
perkawinan:39
a. Setelah akad nikah ternyata isterinya adalah saudara sesusuan atau ada
hubungan nasab, musaharah (perkawinan). Maka, perkawinan seperti ini
harus dibatalkan oleh hakim karena memang diharamkan oleh Islam.
b. Suami isteri masih kecil diakadkan oleh selain ayah atau kakeknya,
kemudian setelah dia dewasa maka ia berhak memilih untuk meneruskan
ikatan perkawinannya dahulu itu atau mengakhirinya. Khiyar ini disebut
dengan khiyar baligh.
Kedua, Fasakh yang terjadi karena pada diri suami atau isteri terdapat sesuatu
yang menyebabkan perkawinan tidak mungkin dilanjutkan, sebab kalau
38 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia., h.243. 39 Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah, Juz 2, h. 268.
42
diteruskan akan menyebabkan kerusakan pada suami atau isteri atau keduanya
sekaligus. Bentuk fasakh ini disebut sebagai khiyar fasakh dalam kitab fiqh.40
Di antara penyebab terjadinya fasakh yaitu:41
a. Karena ketidak mampuan memberi nafkah,
b. Karena cacat atau penyakit,
c. Karena syiqaq atau buruknya pergaulan antara suami isteri,
d. Karena ghaib,
e. Karena dipenjara,
f. Karena riddah
Adapun setelah melihat uraian fasakh di atas, maka pada dasarnya
hukum fasakh itu adalah mubah atau boleh, dengan pertimbangan
kemaslahatan yang ingin dicapai oleh suami isteri tersebut dan menghilangkan
kemudharatan yang dideritanya42 karena sebagaimana kaidah fiqhiyyah
menyatakan: 43 لاز يررالض artinya “Kemudaratan itu wajib dihilangkan.”
c. Perbedaan antara Talak dengan Fasakh
40 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.244. 41 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7040. 42 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.244. 43 Jalaluddin Abdurrahman As Suyuti. Al Asybah wa Nazhair fi qawaid wa Furu’ Fiqh
Syafi’iyyah (Beirut: Dar AlKutub Al Ilmiyyah, t.th), h.83. Lihat juga Abdul Aziz Muhammad Azzam. Al Qawa’id Al Fiqhiyyah (Kairo: Dar Al Hadis, 2005), h.126.
43
Menurut pendapat Hanafiah, talak itu mengakhiri pernikahan dan
menetapkan hak-hak yang terdahulu dari mahar dan semisalnya, dan dikurangi
tiga kali kesempatan talak yang dimiliki oleh suami atas isterinya, serta talak
tidak terjadi, kecuali dalam akad yang benar. Sedangkan fasakh itu
membatalkan akad dari asalnya atau dilarang meneruskan pernikahan itu, dan
tidak mengurangi bilangan talak, serta pada umumnya terjadi pada akad yang
fasid (rusak).44
Imam Malik menambahkan perbedaan tersebut jika dilihat dari sebab
yang menyebabkan perceraian, maka apabila dari kehendak Syara’ bukan dari
suami itu disebut fasakh contohnya nikah yang diharamkan karena sepersusuan
atau nikah dalam masa iddah.45
C. Alasan-alasan Perceraian
Setelah diuraikan pada sebelumnya mengenai bentuk-bentuk perceraian baik
berupa talak, khulu’, dan fasakh dalam perspektif fikih, maka kini penulis perlu
mengkaitkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia
khususnya yang diatur dalam UU Perkawinan, PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai
aturan pelaksanaan dari UUP, dan diperinci dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Bentuk putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 38 UUP jo 113 KHI dengan
rumusan:
44 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7041. 45 Ibid., h.7042.
44
“Perkawinan dapat putus karena: a.Kematian, b. perceraian, dan c. Atas keputusan
Pengadilan.”
Selain sebab kematian yang dapat memutuskan ikatan pernikahan antara
suami isteri dikenal pula istilah talak, khulu’, dan fasakh sebagaimana dijelaskan
dalam kitab fiqh. Talak dan khulu’ termasuk dalam kelompok perceraian, sedangkan
fasakh sama maksudnya dengan perceraian atas putusan Pengadilan. Disamping itu
juga gugatan perceraian dimasukkan dalam kelompok perceraian (Pasal 114 KHI).46
Ada yang menarik jika dikomparasikan antara aturan fiqh dengan UU
Perkawinan diantaranya dalam fiqh mazhab manapun tidak diatur tentang keharusan
perceraian di Pengadilan. Misalnya: dalam khulu’ tidak perlu diajukan kepada hakim
(qodhi) menurut pendapat Hanabilah47 begitu pula dengan talak yang menjadi hak
mutlak seorang suami bebas digunakannya dimana dan kapan saja semaunya dia.
Namun demikian, aturan dalam fiqh tersebut diperbaharui oleh para Ulama
Indonesia dengan berani berijtihad bahwa perceraian harus dilakukan di depan
sidang Pengadilan dengan pertimbangan kemaslahatan, sehingga pihak isteri tidak
mengalami penderitaan akibat ditalak oleh suaminya kapan saja dan diamana saja
semaunya sendiri. Ini adalah sebuah prestasi besar yang patut diapresiasi oleh umat
Islam sebagai penghargaan atas gagasan yang dihasilkan oleh pakar hukum Islam di
Indonesia, sehingga hal itu terlihat dalam pasal 39 UU Perkawinan yang berbunyi:
46 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.227. 47 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh Al Islamiy Wa Adillatuhu, Juz IX, h.7012.
45
1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
3) Tata cara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam peraturan perundangan sendiri.
Adapun alasan-alasan perceraian yang dimaksud dalam ayat (2) Pasal 39
UUP di atas diperinci lebih lanjut dalam Pasal 19 PP Nomor 9 Tahun 1975, yaitu ada
enam alasan sebagai syarat diajukannya perceraian, yaitu sebagai berikut:48
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama dua tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
f. Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Pasal 19 PP ini diulangi dalam KHI pada Pasal 116 dengan rumusan yang
sama, dengan ditambahkan dua anak ayatnya, yaitu:49
a. Suami melanggar taklik talak.
48 Abdurahman Ghazali, Fiqh Munakahat, Cet. Ke-2. h.249. Lihat juga Ahmad Rofiq, Hukum
Islam di Indonesia, Cet ke-.6 (Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2003), h.275. 49 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam, h.228.
46
b. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam
rumah tangga.
Dengan adanya aturan di atas mengharuskan bagi setiap perkara perceraian
baik berupa cerai talak, khulu’, maupun cerai gugat didasarkan atas salah satu dari
alasan-alasan yang disebutkan di atas kepada Pengadilan Agama yang tata cara
mengajukan, memeriksa, dan menyelesaikan gugatan perceraian oleh Pengadilan,
diatur lebih lanjut dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 20 sampai dengan 36.
D. Perbedaan Cerai Gugat dengan Cerai Talak
Dalam praktek di Pengadilan Agama dikenal dua istilah perceraian yaitu cerai
talak dan cerai gugat.
Pada dasarnya proses pemeriksaan perkara cerai gugat tidak banyak berbeda
dengan cerai talak. Namun, dari sudut yang lain terdapat beberapa perbedaan di
antaranya sebagai berikut:
1. Cerai talak adalah perceraian atas kehendak suami karena menurut hukum Islam
suami memiliki kekuasaan memegang tali perkawinan, oleh karena itu suami yang
berhak melepaskan tali perkawinan dengan mengucapkan ikrar talak di depan
sidang Pengadilan.50 Berbeda dengan cerai gugat dimana pengajuannya atas
kehendak isteri dan isteri tidak memiliki hak untuk menceraikan suami. Oleh
50 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h.202.
47
karena itu, ia harus mengajukan gugatan untuk bercerai kepada Pengadilan, dan
hakim yang akan memutuskan perkawinan dengan kekuasaannya.51
2. Cerai talak itu atas permohonan suami, meskipun berbentuk permohonan tetapi
pada hakekatnya adalah contensius, karena di dalamnya mengandung unsur
sengketa antara suami sebagai pemohon melawan isteri sebagai termohon.
Putusan Pengadilan hanya bersifat deklaratoir, sehingga tidak berkekuatan
eksekutorial. Berbeda dengan cerai gugat yang berbentuk gugatan murni bersifat
contensius yaitu adanya sengketa antara isteri kedudukannya sebagai penggugat
melawan suami sebagai tergugat.52 Putusan Pengadilan bisa bersifat condemnatoir
yang otomatis mempunyai kekuatan eksekutorial.53
3. Permohonan cerai talak diajukan kepada Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi kediaman termohon (isteri)54, sedangkan gugatan perceraian
diajukan oleh isteri atau kuasanya kepada Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi kediaman penggugat (isteri).55
51 Ibid., h.203. 52 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta:
Pustaka Kartini, 1990), h.252. 53 Ibid., h.201. 54 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h.205. 55 Ibid., h.220.
48
BAB III
SYIQAQ DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Pengertian dan Landasan Hukum
Syiqaq secara bahasa merupakan bentuk mashdar (gerund) dari kata kerja
(verb) شق yang berarti perselisihan (النزاع) kebalikan dari kata 1 اإلتحاد Sedangkan
secara terminologis menurut Dr. Wahbah Zuhaily
2.الشقاق هو النزاع الشديد بسبب الطعن في الكرامة
“Syiqaq adalah perselisihan yang tajam dengan sebab mencemarkan kehormatan.”
Beliau juga mengemukakan syiqaq sebagai perceraian karena dharar (bahaya).
Bentuk-bentuk dharar yang dilakukan oleh suami kepada isterinya bisa berbentuk
perkataan maupun perbuatan, seperti mencaci dengan kata-kata kotor, mencela
kehormatan, memukul dengan melukai, menganjurkan atas perbuatan yang
diharamkan Allah Swt, suami berpaling, berpisah ranjang tanpa ada sebab yang
membolehkannya.3
1 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Yogyakarta: Krapyak,
1984), h.785. 2 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh al Islamiy Wa adillatuhu, Juz IX, h.7060. 3 Ibid.
49
Menurut Imam Malik dan Ahmad kalau isteri mendapat perlakuan kasar dari
suaminya, maka ia dapat mengajukan gugatan perceraian ke hadapan hakim agar
perkawinannya diputus karena perceraian.4
Dari penjelasan Ulama di atas syiqaq dapat dipahami sebagai peristiwa
cekcok suami isteri yang sudah mencapai batas klimaks, sehingga perkawinan mereka
diambang kehancuran tak ada harapan untuk dipersatukan kembali setelah melalui
usaha perdamaian yang dilakukan oleh Pengadilan ternyata tidak berhasil, maka jalan
terakhir untuk menghilangkan mudharat adalah dengan perceraian.
Allah SWT dengan tegas memberikan solusi yang bijak untuk mengatasi
masalah syiqaq tersebut seperti yang tertera dalam surat Annisa’ ayat 35 yang
menyatakan:
☺
☺
☯
☺ ⌧ ☺
)35: 4/النسآء(
Artinya : “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”(An Nisa’/4:35).
4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, Juz 2, h. 248.
50
Selain dasar hukum dari ayat Al Qur’an, syiqaq juga diatur dalam tiga
peraturan perundang-undangan, yaitu dalam Pasal 19 f PP Nomor 9 Tahun 1975,
Pasal 76 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 yang diamandemen dengan UU Nomor 3
Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, dan dalam Pasal 116 f Kompilasi Hukum
Islam (KHI).5
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, makna syiqaq
dirumuskan dalam penjelasan Pasal 76 ayat 1 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama yang definisinya adalah perselisihan yang tajam dan terus menerus
antara suami isteri. Menurut M.Yahya Harahap definisi tersebut sudah memenuhi
pengertian yang terkandung dalam surat Annisa’ ayat 35 di atas dan sekaligus sama
maknanya serta hakekatnya dengan rumusan Pasal 19 f PP No.9 Tahun 1975 dan
Pasal 116 KHI yang berbunyi: ”antara suami isteri terus menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.6
Gugatan perceraian dapat diajukan oleh pihak suami atau pihak isteri dengan
alasan yang telah ditentukan oleh peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Secara lengkap alasan yang dijadikan dasar gugat perceraian dapat dijumpai dalam
Pasal 116 KHI dimana sifatnya boleh alternatif artinya salah satu alasan saja yang
5 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama,
(Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), h.349. 6 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.265.
51
dimasukkan dalam gugatan perceraian dibolehkan, tentunya disesuaikan dengan fakta
yang mengiringinya dalam konkreto.7 Misalnya: isteri menggugat cerai suaminya
dengan mencantumkan salah satu alasan saja dalam surat gugatan yaitu: di antara
suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.(Point f Pasal 116 KHI).
B. Perbedaan Syiqaq dengan Nusyuz
Sebelum dikemukakan mengenai perbedaan antara syiqaq dengan nusyuz, ada
baiknya dijelaskan terlebih dahulu mengenai apa itu nusyuz, sehingga lebih mudah
dipahami perbedaannya.
Kata Nusyuz merupakan bentuk jamak (plural) dari نشز yang secara etimologi
berarti إرتفاع (meninggi atau terangkat).8 Nusyuz bisa terjadi pada diri isteri atau
suami. Pembahasan pertama dimulai dari nusyuz yang dilakukan oleh isteri. Secara
definitif nusyuz adalah kedurhakaan isteri terhadap suami dalam hal menjalankan
apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.9 Allah memberikan solusi dalam
menghadapi persoalan nusyuz ini yang ditegaskan pada surat An- Nisa’ ayat 34 yang
berbunyi:
..
7 Ibid., h. 233. 8 Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia, h.1517. 9 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.191.
52
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”(An Nisa’/4:34).
Dari ayat di atas Ulama Fiqh memahami pesan Al Qur’an tentang langkah-
langkah yang harus ditempuh secara kronologis oleh suami ketika menghadapi
kemungkinan isteri yang nusyuz yaitu terlebih dahulu dengan menasehati isterinya
supaya kembali menjalankan kewajibannya, apabila dia tidak memperlihatkan
perbaikan sikapnya, dan memang secara nyata nusyuz terjadi, suami melakukan
langkah berikutnya yaitu pisah tempat tidur, maksudnya menghentikan hubungan
seksual.10 Ada Ulama lain yang mengartikan hijrah dalam ayat 34 surat Annisa’
dengan suami tidak berkomunikasi dengan isteri yang nusyuz, akan tetapi tidak boleh
melebihi tiga hari. Setelah langkah kedua tersebut tidak dapat menghentikan
perbuatan nusyuz, maka digunakan langkah ketiga yaitu suami boleh memukul
isterinya dengan pukulan yang tidak menyakitinya sebagai bentuk pendidikan bukan
karena kebencian.11
10 Ibid.,h.192. 11 Ibid.
53
Penjelasan di atas merupakan nusyuz yang dilakukan oleh isteri di mana
perbuatan itu lebih populer daripada nusyuz yang dilakukan oleh suami. Namun
demikian tidak menutup kemungkinan terjadinya nusyuz oleh suami terhadap
isterinya. Berikut ini akan dibahas mengenai nusyuz suami tersebut.
Secara definisi tidak jauh berbeda dengan nusyuz isteri seperti disebutkan di
atas. Nusyuz jika dilakukan oleh suami berarti penyelewengan suami kepada isterinya
dengan tidak melaksanakan kewajiban sebagai suami atas isterinya baik berupa
nafkah lahir maupun batin.12 Nafkah lahir berupa memberikan makan sehari-hari,
tempat tinggal, pakaian, dan kebutuhan pokok lainnya. Nafkah batin maksudnya
suami tidak mau menggauli isterinya karena dia sudah tidak suka lagi dengan alasan
isterinya sudah tua, atau bentuk fisiknya yang tidak menarik lagi, sehingga membuat
suami tertarik kepada wanita lain.13 Untuk mengatasi masalah tersebut Allah
memberikan petunjuk sebagaimana termaktub dalam surat An-Nisa’ ayat 128:
⌧
☺
)128: 4/النسآء ( ☯ ☺
12 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat,& Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana, 2009), h.189. 13 Mujar Ibnu Syarif, “Pemukulan Isteri terhadap Suaminya Ketika Nusyuz Menurut
Perspektif Hukum Islam” , Ahkam IX, No.2 (September 2007):h.116.
54
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya….”(An Nisa’/4:128).
Jadi, untuk menyelesaikan masalah nusyuz suami, maka sesuai dengan
tuntunan ayat di atas solusi yang bijak adalah dengan mengadakan perdamaian antara
keduanya. Di antara mereka hendaklah isteri merelakan menggugurkan sebagian hak-
haknya demi menyenangkan suaminya.14 Misalkan kesediaan isteri untuk dikurangi
hak materi dalam bentuk nafkah atau kewajiban non materi dalam arti kesediaan isteri
untuk memberikan giliran bermalamnya untuk digunakan suami kepada isterinya
yang lain. Dengan adanya shulh tersebut perceraian antara suami isteri tersebut dapat
dihindarkan.15
Nusyuz memang tidak disebutkan secara eksplisit dalam peraturan perundang-
undangan baik UU Nomor 1 Tahun 1974, PP No.9 Tahun 1975, dan KHI. Meskipun
demikian, secara implisit ternyata diatur dalam Pasal 34 ayat 3 UU Nomor 1 Tahun
1974 yang berbunyi: “Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.”
Menurut hemat penulis meskipun suami atau isteri dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan karena salah satu pihak melalaikan kewajibannya, alangkah
baiknya diselesaikan dahulu dengan perdamaian antara suami isteri tersebut secara
kekeluargaan seperti solusi sebagaimana yang telah dijelaskan di atas dalam
14 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz 2, h.263. 15 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.194.
55
mengatasi nusyuz itu sebab tidak semua persoalan harus dibawa ke meja hijau. Jika
memang ternyata tak ada cara lain lagi setelah ditempuh usaha-usaha perdamaian,
maka dengan terpaksa baru mengajukan gugatan kepada Pengadilan dengan alasan
melalaikan kewajiban.
Memang benar bahwa sikap nusyuz merupakan persoalan awal dalam rumah
tangga sebelum terjadi persoalan berikutnya yang lebih parah yaitu masalah syiqaq.
Namun demikian, antara keduanya terdapat perbedaan di antaranya yaitu:
Pada masalah nusyuz sikap tidak mengacuhkan pasangannya baru terjadi pada
salah satu pihak suami atau isteri. Sedangkan pada masalah syiqaq, masing-masing
pihak sudah menunjukkan sikap antipati terhadap pasangannya. Dengan kata lain
persoalan syiqaq lebih parah dibandingkan dengan persoalan nusyuz.16
Dari sifatnya saja sudah berbeda antara nusyuz dengan syiqaq, maka hal itu
berakibat pada cara penyelesaian yang berbeda. Dimana kasus syiqaq biasanya sudah
tidak bisa diselesaikan oleh suami isteri, sehingga membutuhkan pihak ketiga yaitu
hakam dari pihak suami dan isteri. Sedangkan persoalan nusyuz, karena sikap acuh
tak acuh baru muncul dari salah satu pihak, maka permasalahannya masih dapat
diatasi penyelesaiannya antara suami isteri tanpa melibatkan pihak ketiga.17
C. Syarat dan Tugas Hakam
16 “Nusyuz”. dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam, vol.4 (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.1354. 17 Satria Effendi Zein, “Analisis Fiqh”, Mimbar Hukum XI no.46 ( 2000): h.100.
56
Hakam secara etimologis berarti wasit, pendamai, juru penengah.18 Dalam
kitab Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Ahkam Min Al Qur’an sebagaimana ditulis oleh
Muhammad Ali As-Shabuni, yang dimaksud dengan hakam ialah orang yang
mempunyai hak untuk menetapkan dan menengahi di antara orang-orang yang
bertengkar dan berselisih pendapat.19
Jika dikaitkan dengan kasus syiqaq dapat dipahami hakam adalah seorang
bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut.20
Menurut penjelasan Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama bahwa hakam diartikan sebagai “Orang yang ditetapkan Pengadilan dari
pihak keluarga suami atau pihak keluarga isteri atau pihak lain untuk mencari upaya
penyelesaian perselisihan syiqaq.”
Mengenai persyaratan orang yang dapat diangkat menjadi hakam diantaranya:
keduanya laki-laki, adil, mengetahui apa yang dituntut dari keduanya atas
kepentingan ini, dan dianjurkan keduanya berasal dari keluarga dua pasangan yaitu
hakam dari keluarga suami dan seorang hakam dari keluarga isteri sesuai dengan teks
ayat 35 An-Nisa’, tetapi hakim dapat mengangkat dua orang laki-laki asing menjadi
hakam, jika tidak ada dari pihak keluarga, dan sebaiknya orang itu adalah tetangga
18Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab Indonesia,h.309. 19 Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Ahkam Min Al Qur’an, Juz I
(Makkah, t.t,t.th), h.464. 20 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, h.195.
57
dekat suami isteri di mana keduanya mengetahui keadaan suami isteri, serta memiliki
kemampuan untuk mendamaikan antara keduanya.21
Dalam perspektif fiqh hukum mengangkat hakam ini para Ulama berbeda
pendapat dalam memahami bentuk amar (perintah) dari ayat فابعثوا حكما , sehingga ada
yang mengatakan hukum mengangkat hakam adalah wajib sebagaimana
dikemukakan oleh Imam Syafi’I dengan alasan menghilangkan penganiayaan itu
termasuk kewajiban umum bagi penguasa terutama Pengadilan.22 Sementara Ulama
lain seperti Ibnu Rusyd mempunyai pandangan yang agak berbeda yaitu hukumnya
jawaz (boleh) bukan wajib.23
Tampaknya pendapat jawaz tersebut dipilih oleh UU Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama dalam hal pengangkatan hakam, sehingga hanya bersifat
fakultatif bukan imperatif. Secara jelas hal itu terlihat pada Pasal 76 ayat 2 yang
berbunyi: Pengadilan setelah mendengar saksi tentang sifat pertengkaran antara
suami isteri dapat mengangkat seorang atau lebih dari keluarga masing-masing
pihak ataupun orang lain untuk menjadi hakam.24 Dari klausul Pasal tersebut
dinyatakan kata “dapat” bukan “harus”, sehingga bisa ditarik kesimpulan dalam
pemeriksaan kasus perceraian dengan alasan syiqaq ini pengangkatan hakam
21 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh al Islamiy Wa adillatuhu, Juz IX, h.7061. 22 Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Ahkam Min Al Qur’an, Juz I,
h.471-472. 23 Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Rusyd Al Qurthubi, Bidayat Al Mujtahid wa
Nihayat al Muqtashid Juz 2 (Beirut: Dar Ihya’ Turats Al ‘Arabiyyah, 1996), h.96. 24 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.275.
58
bukanlah suatu kewajiban Pengadilan Agama, melainkan hanya kebolehan saja.25
Tergantung kepada pertimbangan dan penilaian majelis hakim apakah diperlukan
eksistensi hakam atau tidak sama sekali, tentunya disesuaikan dengan kemaslahatan
para pihak suami isteri yang ingin bercerai tersebut.26
Adapun tugas hakam seperti diamanatkan dalam Pasal 76 ayat 2 UU Nomor 7
Tahun 1989 ialah hanya dibatasi menyelidiki dan mencari hakikat permasalahannya,
sebab musabab timbulnya persengketaan, berusaha mencari jalan yang terbaik bagi
suami isteri yang sedang cekcok tersebut apakah dengan didamaikan terlebih dahulu
secara semaksimal atau jika tidak berhasil lalu menurut keinginan mereka jalan
terbaik hanya dengan perceraian,27 maka hakam melapor kepada majelis hakim
bahwa perkawinan mereka memang tidak ada harapan untuk rukun kembali, sehingga
pada akhirnya hakim yang menceraikan mereka.28
Jelas ketentuan tersebut tidak memberikan kewenangan kepada hakam untuk
menceraikan suami isteri yang tengah bertengkar hebat karena hakekatnya hakam
ialah sebagai delegasi (wakil) suami isteri bukan sebagai hakim yang dapat memutus.
Memang benar tak dapat dipungkiri berkaitan dengan kewenangan hakam ini
masih debatable di kalangan Ulama mazhab. Secara garis besar pendapat mereka
terbagi kepada dua golongan. Pertama, pendapat yang dikemukakan oleh Abu
25 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan Agama
(Bandung: CV Mandar Maju, 2008), h.357. 26 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.276. 27 Abdurrahman Ghazali, Fiqh Munakahat, h.242. 28 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara, h.356.
59
Hanifah dan Ahmad bahwa hakam tidak dapat menceraikan suami isteri, kecuali
dengan kerelaan keduanya sebab hakam hanya sebagai delegasi (wakil), sebagaimana
diriwayatkan dari Hasan Al Bashri, Qatadah, dan Zaid bin Aslam.29 Kedua, pendapat
yang dipegang oleh Malikiyyah, bahwa hakam dapat menceraikan dan mendamaikan
tanpa harus ada kuasa terlebih dahulu dan izin dari suami isteri sepanjang ada
kebaikan (maslahat), sebagaimana diriwayatkan dari Ali, Ibnu Abbas, dan As-
Sya’bi.30
Dengan demikian UU Nomor 7 Tahun 1989 Pasal 76 ayat 2 mengambil
pendapat dimana hakam kewenangannya mencari penyelesaian perselisihan suami
isteri saja bukan menjelma sebagai hakim yang dapat memutuskan perceraian.
D. Kedudukan Keluarga dalam Perkara Syiqaq
Dalam hukum acara Peradilan Agama terdapat beberapa ketentuan khusus
yang menyimpang dari ketentuan umum hukum acara perdata. Hal tersebut memang
dibenarkan oeh UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana
tercantum dalam Pasal 54 yang menyatakan:
“Hukum acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama
adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-undang
ini.”
29 Muhammad Ali As-Shabuni, Rawa’iul Bayan Tafsir Ayat Ahkam, h.472. 30 Wahbah Zuhailiy, Al Fiqh al Islamiy Wa adillatuhu, Juz IX, h. 7061.
60
Salah satu aturan khusus yang dimiliki oleh Pengadilan Agama dalam
menerapkan hukum acara yaitu dalam pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan
syiqaq. Dalam kasus syiqaq ini pada tahap pembuktian majelis hakim yang
memeriksa perkara ini wajib mendengar keterangan saksi-saksi yang berasal dari
keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri sebelum menjatuhkan
putusan akhir.31
Perlu dipahami dari rumusan Pasal 76 ayat 1 di atas: kedudukan keluarga baik
dari suami dan isteri ataupun orang yang dekat dengan suami isteri adalah sebagai
saksi. Bukan sekedar orang yang memberikan keterangan biasa, sehingga sebelum
saksi tersebut memberikan keterangan di muka persidangan, harus disumpah terlebih
dahulu menurut ajaran agama yang dianutnya.32 Keterangan yang diberikan saksi
menurut hukum acara perdata adalah harus berdasarkan penglihatan, pendengaran,
atau pengalaman sendiri bukan atas cerita dari orang lain (testimonium de auditu).
Jika keterangan tersebut ternyata saling bersesuaian dengan saksi atau alat bukti yang
lain, maka oleh majelis hakim keterangan yang diberikan tersebut dianggap sah dan
dengan otomatis mempunyai nilai pembuktian.33
Aturan dibolehkan saksi dari pihak keluarga suami dan isteri hanya khusus
diperuntukkan dalam perkara perceraian dengan alasan perselisihan dan pertengkaran
31 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta:
Al Hikmah, 2000), h.239. 32 Abdul Manaf, Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara, h.354. 33 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.269
61
yang terus menerus. Hal ini memberikan pemahaman bahwa selain perkara syiqaq
tidak diperbolehkan saksi dari keluarga, dengan kata lain ketentuan Pasal 145-146
HIR/ 172-174 RBg tetap berlaku.34
Mengenai alasan mengapa dibolehkan saksi dari keluarga sebagaimana yang
dijelaskan oleh M. Yahya Harahap bahwa pada umumnya orang yang mengetahui
keadaan rumah tangga suami isteri tersebut hanyalah keluarga mereka baik itu ayah,
ibu, adik, kakak, dan lainnya. Dari kenyataan tersebut menunjukkan bahwa
keterlibatan keluarga sangat dibutuhkan dalam membantu majelis hakim memperoleh
kebenaran dari peristiwa yang terjadi baik mengenai sebab pertengkaran dan
perselisihan maupun sifat pertengkarannya apakah sudah sampai tingkat bahaya
(dharar) yang tidak memungkinkan untuk disatukan kembali perkawinan mereka.35
Oleh karena itu, sudah tepat apabila UU Nomor 7 tahun 1989 Pasal 76 ayat 1 yang
memberikan aturan khusus perihal dibolehkan saksi dari keluarga yang notabene
menyimpang dari asas-asas umum hukum acara perdata karena sifat persengketaan
ini juga khusus.
Perintah dari ketentuan Pasal 76 ayat 1 tersebut bersifat imperatif maksudnya
mewajibkan hakim mendengarkan keterangan saksi yang berasal dari keluarga suami
dan isteri, sehingga konsekuensinya jika majelis hakim tidak mematuhi tata cara
pemeriksaan sebagaimana dijelaskan tersebut menyebabkan putusannya dianggap
34 Ibid. 35 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata,h. 240.
62
batal demi hukum atau sekurang-kurangnya harus dilaksanakan pemeriksaan
tambahan untuk menyempurnakan kelalaian yang terjadi.36
36 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h.266.
63
BAB IV
PENYELESAIAN PERKARA SYIQAQ DI PENGADILAN AGAMA
SUMBER, CIREBON
A. Faktor-Faktor Penyebab Terjadinya Syiqaq di Pengadilan Agama
Sumber
Setelah penulis mencari sumber-sumber data yang terkait dengan
perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama Sumber selama tahun 2009,
maka berikut ini akan dikemukakan temuan-temuan yang didapat melalui
data laporan yang dibuat oleh Panitera Pengadilan Agama Sumber.
Dilihat dari kompetensi absolut secara kesuluruhan jumlah perkara
yang masuk dan diterima oleh Pengadilan Agama Sumber sebanyak 4.695
perkara. Di antara berbagai jenis perkara yang ditangani oleh Pengadilan
Agama Sumber selama tahun 2009 paling dominan adalah perceraian yaitu
sebanyak 4.553 kasus. Dilihat dari siapa yang mengajukan perceraian ternyata
lebih banyak cerai gugat daripada cerai talak. Terbukti dari data laporan
tersebut selama tahun 2009 perkara cerai gugat yang diterima oleh Pengadilan
Agama Sumber sebanyak 3.034 kasus, sedangkan perkara cerai talak hanya
mencapai 1.519 kasus.1
1 Laporan Perceraian Pada Pengadilan Agama Sumber Tahun 2009. Lihat juga
wawancara pribadi dengan Panitera Muda Hukum Pengadilan Agama Sumber, Ahmad Sodikin. Cirebon, 15 Februari 2010.
64
Dari kasus perceraian di atas terdapat perkara yang dicabut, gugur,
dan ditolak, sehingga total perkara perceraian sampai diputus selama tahun
2009 sebanyak 4.056 perkara. Dalam bentuk-bentuk perceraian di antara para
pihak yang telah diputus tersebut yang tergolong kategori syiqaq selama
tahun 2009 ini sebanyak 1.538 perkara.2
Menurut Ahmad Sodikin sebagai Panitera Muda Hukum Pengadilan
Agama Sumber, di antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya syiqaq,
yaitu:
Pertama, karena masalah ekonomi yang paling dominan sebanyak
1.253 kasus, disusul dengan kedua, karena faktor cemburu yang mencapai
175 kasus, kemudian ketiga, sebab faktor moral yang mencapai 80 kasus, dan
keempat faktor melalaikan kewajiban yang mencapai 25 kasus,dan sisanya 15
kasus di luar 4 faktor yang telah disebutkan di atas contohnya sebab SMS
(Short Message Service).3
B. Proses Penyelesaian Perkara Syiqaq di Pengadilan Agama Sumber
1. Pendaftaran Perkara
Setelah perkara terdaftar di Kepaniteraan, panitera melakukan
penelitian terhadap kelengkapan berkas perkara. Penelitian panitera
tersebut disertai dengan membuat resume tentang kelengkapan berkas
2 Ibid. 3 Ibid.
65
perkara, lalu berkas perkara beserta resume disampaikan kepada Ketua
Pengadilan dengan disertai saran tindak misalnya berbunyi : “syarat-
syarat cukup dan siap untuk disidangkan.”4
Berdasarkan resume dan saran tindak tersebut, Ketua Pengadilan
Agama mengeluarkan penetapan Penunjukan Majelis Hakim (selanjutnya
disingkat PMH) yang menunjuk hakim ketua dan anggota majelis yang
akan memeriksa perkara yang dimaksudkan, mungkin sekaligus menunjuk
panitera sidangnya.5
Selanjutnya berkas perkara beserta penetapan PMH diserahkan
kepada hakim ketua majelis yang ditunjuk untuk dipelajarinya.
Berdasarkan PMH itu, ketua majelis mengeluarkan Penetapan Hari Sidang
(selanjutnya disingkat PHS) yang menetapkan kapan hari/ tanggal/ jam
sidang pertama akan dimulai.6 Lalu juru sita/juru sita pengganti akan
memanggil pihak-pihak ke muka sidang menurut hari/tanggal/jam/ tempat
yang telah ditentukan di dalam PHS.7
4 Raihan A.Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet.9 (Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, 2002), h.129. 5 Ibid. 6 Ibid., h.80. 7 Ibid., h.81.
66
2. Mediasi
Pada sidang pertama penggugat dan tergugat menghadiri sidang
Pengadilan Agama dengan sendirinya (in person) setelah menerima surat
panggilan yang sah. Majelis hakim pada saat memulai sidang memberi
kesempatan atau berusaha agar penggugat dan tergugat berdamai, kembali
rukun sebagai suami isteri.8 Sejak dikeluarkan Peraturan Mahkamah
Agung (selanjutnya disingkat Perma) Nomor 1 Tahun 2008 tentang
prosedur Mediasi di Pengadilan, maka para pihak tersebut wajib
menempuh proses mediasi setelah diterangkan oleh Ketua Majelis,9 di
mana mereka dapat memilih salah satu mediator yang tersedia di
Pengadilan Agama sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Setelah dilakukan upaya mediasi terhadap kedua belah pihak
selama paling lama 40 hari ternyata hasilnya gagal karena pihak penggugat
tetap pada gugatannya, maka hakim mediator selanjutnya wajib
melaporkan secara tertulis bahwa mediasi dinyatakan gagal dan diserahkan
kepada ketua Majelis yang memeriksa perkara ini.10 Sebagai konsekuensi
8 Sulaikin Lubis dkk,ed., Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, cet.3
(Jakarta: Kencana, 2008), h.71. 9 Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Syariah,Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
h.313. LIhat juga Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Pasal 7.
10 Ibid., h.314.
67
dari hasil mediasi yang dilakukan telah gagal, maka persidangan tetap
dilanjutkan sebagaimana ketentuan hukum acara yang berlaku (litigasi).11
Pada hari sidang berikutnya yang ditentukan setelah para pihak
hadir dengan sendirinya menghadap persidangan, maka pertama kali
majelis hakim membuka sidang dan menyatakan persidangan terbuka
untuk umum, lalu ketua majelis wajib menanyakan perkembangan
perdamaian antara keduanya, sebab ini sudah menjadi asas dalam hukum
acara Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Pasal 154 RBg jo Pasal
14 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pasal 82 ayat (4) UU No.3 Tahun 2006 jo Pasal 31 ayat (2) PP
Nomor 9 tahun 1975.12
3. Pembacaan Gugatan
Apabila majelis hakim tidak berhasil mendamaikan para pihak
yang berperkara, maka tahapan berikutnya adalah membacakan surat
gugatan oleh penggugat di mana sebelum itu persidangan dinyatakan
tertutup untuk umum karena perkara perceraian. Setelah gugatan
dibacakan dan isinya tetap dipertahankan oleh penggugat dan tergugat
telah paham maksud dan tujuan gugatan penggugat, maka tahapan
11 Cik Basir, Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah (Jakarta: Kencana, 2009), h. 140-141. 12 Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada
Peradilan Agama (Yogyakarta : UII Press, 2009), h.81.
68
berikutnya adalah memberi kesempatan kepada tergugat untuk menjawab
gugatan penggugat tersebut, baik secara lisan maupun tulisan.13
4. Jawaban Tergugat
Dalam hal tergugat menjawab gugatan penggugat ada beberapa
kemungkinan yang dapat diajukan tergugat bersama-sama dan/atau dalam
jawaban tergugat, yaitu :
a. Eksepsi
b. Tuntutan Provisi
c. Jawaban terhadap Pokok Perkara
d. Mengajukan gugatan balik (rekonvensi).14
5. Replik Penggugat
Replik adalah tanggapan penggugat atas jawaban yang diajukan
oleh tergugat. Replik harus disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas
jawaban tergugat. Bisa dikatakan bahwa replik ini merupakan respons
penggugat atas jawaban yang diajukan tergugat. Replik ini dapat berisi
pembenaran terhadap jawaban tergugat atau boleh jadi penggugat
13 Ibid., h.84. 14 Ibid., h.84-85.
69
menambah keterangannya dengan tujuan untuk memperjelas dalil yang
diajukan penggugat dalam gugatannya.15
6. Duplik Tergugat
Duplik adalah jawaban tergugat atas replik yang diajukan
penggugat. Tergugat dalam dupliknya mungkin membenarkan dalil yang
diajukan penggugat dalam repliknya dan tidak pula tertutup kemungkinan
tergugat mengemukakan dalil baru yang dapat meneguhkan sanggahannya
atas replik yang diajukan penggugat. Tahapan replik dan duplik apabila
telah dianggap cukup oleh majelis hakim dan telah nampak pokok
sengketanya, maka dianggap selesai dan sidang ditunda sampai tahap
pembuktian.16
7. Pembuktian
Pada tahap Pembuktian, baik penggugat maupun tergugat diberi
kesempatan yang sama untuk mengajukan bukti-bukti sesuai dengan
ketentuan yang berlaku untuk meneguhkan dalil-dalil baik pada gugatan
penggugat maupun jawaban tergugat yang telah disampaikan pada
persidangan sebelumnya.17 Di antara alat-alat bukti tersebut sesuai
ketentuan Pasal 164 HIR/284 RBg antara lain terdiri atas: a. Pembuktian
15 Ibid.,h.91. 16 Ibid. 17 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, h.131.
70
dengan surat (alat bukti tertulis), b. Keterangan dengan saksi, c.
Persangkaan hakim, d. Pengakuan, dan e. Sumpah.18
Khusus dalam perkara syiqaq sesuai dengan ketentuan Pasal 76
ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama,
majelis hakim wajib memeriksa keterangan saksi-saksi yang berasal dari
keluarga atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri. Tentunya para
saksi tersebut harus disumpah terlebih dahulu sebelum memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya di depan sidang.19
Dari pemeriksaan saksi tersebut dimaksudkan supaya menjadi jelas
bagi majelis hakim mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran
itu, lalu dengan sebab yang ditemukan apakah benar-benar berpengaruh
dan prinsipil terhadap keutuhan kehidupan suami isteri.20
8. Kesimpulan
Setelah tahapan pembuktian selesai, maka baik penggugat maupun
tergugat diberi kesempatan yang sama untuk mengajukan pendapat akhir
yang merupakan kesimpulan hasil pemeriksaan selama sidang berlangsung
baik secara lisan dan tulisan.21
18 Sulaikan Lubis, dkk.Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia,h.148. 19 M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, h. 266. 20 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h.213. 21 Chatib Rasyid dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata,h.93.
71
9. Putusan Hakim
Pada tahap ini hakim merumuskan duduk perkara dan
pertimbangan hukum (pendapat hakim) mengenai perkara tersebut disertai
alasan-alasannya dan dasar-dasar hukumnya, yang diakhiri dengan putusan
hakim mengenai perkara yang diperiksanya itu.22
C. Duduk Perkara dan Pertimbangan Hukum
1. Posisi Kasus
EW umur 26 tahun menggugat suaminya N berumur 35 tahun,
melalui Pengadilan Agama Sumber yang didaftarkan di Kepaniteraan
Pengadilan Agama Sumber nomor : 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR. Penggugat
dan tergugat adalah suami isteri sah yang perkawinannya tercatat di Kantor
Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cirebon Barat Kabupaten Cirebon
(kutipan Akta Nikah Nomor : 260/31/V/2006 tanggal 10 Mei 2006).
Setelah keduanya menikah seperti suami isteri pada umumnya lalu mereka
memilih untuk tinggal bersama di rumah orang tua penggugat.
a. Keterangan Penggugat
Menurut pengakuan penggugat pada mulanya menjalani
kehidupan bahtera rumah tangga dengan harmonis, terbukti dengan
hasil pernikahan antara keduanya tersebut dikaruniai seorang anak yang
bernama RA yang umur 1 tahun 9 bulan. Seiring berjalannya waktu tak
22 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, h.107.
72
lama kemudian tepatnya sejak bulan Januari tahun 2008 keharmonisan
tersebut mulai memudar dan sering timbul perselisihan dan
pertengkaran antara penggugat dengan tergugat yang disebabkan
tergugat sering cemburu kepada penggugat dengan tanpa alasan yang
jelas. Dari setiap pertengkaran yang terjadi tersebut disertai dengan
perlakuan kasar yang dilakukan tergugat kepada penggugat.
Sebagai seorang isteri yang baik atas sikap suaminya tersebut
berusaha untuk bersabar disertai dengan memberikan saran kepada
tergugat supaya tidak cemburu terus karena penggugat tidak pernah
menyeleweng dengan laki-laki lain, namun sarannya tidak pernah
digubris oleh tergugat. Selanjutnya pada bulan September 2008 telah
terjadi puncak perselisihan (klimaks) antara penggugat dengan tergugat
di mana setelah bertengkar tergugat pergi begitu saja meninggalkan
penggugat selama 4 bulan. Akibat perbuatan tergugat tadi yang lari dari
tanggung jawab sebagai suami, maka akhirnya penggugat merasa sudah
tidak sanggup lagi mempertahankan tali perkawinan yang sudah
dibangun lebih lama lagi, sehingga menurut penggugat telah cukup
alasan baginya untuk menggugat cerai kepada tergugat yang
sebelumnya memang antara penggugat dengan tergugat belum pernah
bercerai. Berdasarkan hal-hal yang tersebut di atas, penggugat
memohon kepada Pengadilan Agama Sumber untuk memutuskan cerai
antara penggugat dan tergugat.
73
b. Keterangan Tergugat
Atas gugatan penggugat itu tergugat memberikan jawaban
secara lisan di depan sidang Pengadilan, di mana ada sebagian yang
diakui kebenarannya dan menolak dalil-dalil gugatan cerai penggugat.
Di antara yang diterima kebenaran adalah keduanya belum pernah
bercerai dan masing-masing pihak hidup rukun bersama di tempat
tinggal orang tua penggugat. Selain dari hal itu berarti dibantah oleh
tergugat seperti:
1) Tergugat merasa sejak bulan Januari 2008 kehidupan rumah
tangganya masih harmonis dan tidak pernah terjadi perselisihan dan
pertengkaran.
2) Sebenarnya tergugat hanya menasehati isterinya agar tidak
melakukan kekeliruan-kekeliruan sebab hal itu sudah merupakan
tanggung jawab dia sebagai suami, sehingga tergugat merasa tidak
pernah cemburu.
3) Tergugat membantah dengan tegas dalil penggugat yang mengatakan
telah melakukan kekerasan dalam rumah tangga dan tergugat
meluruskan bahwa dia tidak pernah berbuat demikian kepada
penggugat,
4) Tuduhan yang dikatakan tergugat terlalu dibuat-buat, yang benar
bahwa tergugat tidak pernah pergi dari penggugat beserta anak, dan
menurutnya justeru penggugat yang telah mengusir tergugat agar
74
kembali kepada orang tuanya di Pekalangan kota Cirebon, akan
tetapi dia tetap bertanggung jawab memberikan nafkah untuk
penggugat dan anak setiap bulannya.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah disebutkan, maka
tergugat memohon kepada majelis hakim untuk menolak gugatan
cerai penggugat seluruhnya.
Terhadap jawaban itu, penggugat mengajukan replik pada
persidangan tanggal 12 Mei 2009 dan tergugat telah mengajukan
duplik pada persidangan tanggal 9 Juni 2009.
c. Bukti-Bukti dan Saksi-Saksi
Baik penggugat maupun tergugat mengajukan alat bukti tertulis
berupa surat-surat dan saksi-saksi yang berasal dari keluarga dan orang
dekat dengan suami isteri.
2. Pertimbangan Hukum
Di antara pertimbangan hakim dalam mengabulkan gugatan
penggugat adalah:
Hakim dalam memeriksa perkara tersebut setelah melakukan
proses persidangan kemudian melakukan pengkajian kasus tersebut,
sehingga dalam pertimbangan hakim memandang kasus tersebut sudah
cukup bukti ada syiqaq. Hal itu didasarkan pada pengakuan penggugat dan
keterangan para saksi baik dari keluarga maupun orang dekat yang apabila
75
dicermati kesaksian mereka saling bersesuaian lalu dihubungkan dengan
alat bukti tertulis yang diajukan di persidangan dari penggugat dan
tergugat, sehingga majelis hakim telah menemukan fakta-fakta yang
menunjukkan bahwa antara penggugat dengan tergugat telah terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh faktor kecemburuan
tergugat kepada penggugat. Dari bentuk perselisihan dan pertengkaran
yang dilatarbelakangi oleh sebab-sebabnya tersebut menurut pertimbangan
majelis hakim telah mengandung unsur dharar yang dinilai benar-benar
prinsipil dan berpengaruh bagi keutuhan kehidupan suami isteri, sehingga
tidak ada harapan antara mereka hidup rukun kembali.
Dengan demikian, majelis hakim memandang gugatan penggugat
sudah berdasar hukum memenuhi unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal
19 (f) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 jo 116 (f) Kompilasi
Hukum Islam.
D. Putusan Hakim Pengadilan Agama Sumber
Setelah dilakukan musyawarah majelis hakim berdasarkan
pertimbangan hukum sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka majelis
hakim Pengadilan Agama Sumber menjatuhkan putusan yang isinya
memutuskan ikatan perkawinan antara penggugat dengan tergugat dengan
alasan telah terbukti terjadi syiqaq.
76
E. Analisis Penulis
Pertama, dari segi proses pemeriksaan yang dilakukan oleh majelis
hakim Pengadilan Agama Sumber sebagaimana disebutkan di atas, ada hal
yang menarik untuk dianalisis yaitu perihal pengangkatan hakam
sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama, ternyata majelis hakim Pengadilan Agama Sumber khusus
pada perkara yang diteliti ini tidak menggunakan lembaga hakam dalam
pemeriksaan perkara syiqaq ini. Perlu diketahui sebagaimana pendapat Sugiri
Permana,23 antara mediasi dengan hakam di sini berbeda bila ditinjau dari
sudut hukum acara peradilan agama di mana mediasi sebelum pemeriksaan
perkara, sedangkan hakam dalam proses perkara.
Salah satu alasan mengapa majelis hakim Pengadilan Agama Sumber
tidak mengangkat hakam adalah setelah ditempuh proses mediasi, namun
hasilnya gagal, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan perceraian sampai
proses pembuktian ternyata tidak ada indikasi perdamaian antara penggugat
dengan tergugat,24 sehingga menurut hemat penulis dirasakan percuma
membuang waktu lebih lama lagi jika diangkat hakam padahal dapat
diprediksikan hasilnyapun akan gagal. Di samping itu, bisa dipahami dari
23 Sugiri Permana, “Mediasi dan Hakam dalam Tinjauan Hukum Acara Peradilan Agama”,
artikel diakses pada 21 Mei 2010 dari http://www.badilag.net/ 24 Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Sumber, Bahruddin. Cirebon, 16
Februari 2010.
77
perintah Pasal 76 ayat 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menurut pendapat
M.Yahya Harahap, ketentuan tersebut perihal pengangkatan hakam hanya
bersifat fakultatif artinya tidak diwajibkan.
Dari keterangan tersebut dapat dipahami bahwa pemeriksaan majelis
hakim Pengadilan Agama Sumber khususnya pada perkara ini yang
menjatuhkan putusan setelah ditemukan fakta adanya perselisihan antara
suami isteri sudah terbukti dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dengan tanpa adanya tindakan pengangkatan hakam terlebih dahulu, maka hal
tersebut tidak bisa dinilai sebagai pelanggaran terhadap tata tertib
pemeriksaan. Dengan kata lain putusan majelis hakim Pengadilan Agama
Sumber sah secara hukum dan mengikat kedua belah pihak.
Kedua, sebagaimana disebutkan sebelumnya mengenai faktor-faktor
yang menyebabkan terjadinya syiqaq di Pengadilan Agama Sumber, maka di
bawah ini akan dianalisis dengan kacamata teori strukturalis fungsional.
Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur masyarakat yang
dibangun di atas perkawinan yang sah antara laki-laki dengan perempuan.
Dalam struktur keluarga terdiri dari ayah/suami, ibu/isteri, dan anak.
Pernikahan merupakan suatu ikatan yang sakral dalam agama Islam di mana
seorang suami mengambil janji yang kuat dari isteri pada saat prosesi akad
nikah. Dengan adanya akad tersebut, maka secara otomatis hubungan antara
78
keduanya menjadi halal dan masing-masing baik suami maupun isteri
mempunyai hak dan kewajiban yang melekat pada diri mereka.
Dengan kata lain pernikahan mempunyai konsekuensi moral, sosial,
dan ekonomi yang kemudian melahirkan sebuah peran dan tanggung jawab
sebagai suami atau isteri. Peran yang diemban pasca pernikahan terasa berat
jika tidak didahului dengan persiapan mental dan finansial yang cukup.
Salah satu kewajiban suami terhadap isteri dan anak-anaknya yang
berkaitan dengan ekonomi adalah memberikan nafkah terutama berupa
sandang, pangan, dan papan. Oleh karena itu, salah satu modal dasar
seseorang berumah tangga adalah tersedianya sumber penghasilan yang jelas
untuk memenuhi kebutuhan hidup secara finansial. Kelangsungan hidup
keluarga antara lain ditentukan oleh kelancaran ekonomi, sebaliknya
kekacauan dalam keluarga dipicu oleh ekonomi yang kurang lancar.
Jika dihubungkan dengan kasus perceraian dalam kategori syiqaq
yang terjadi di Pengadilan Agama Sumber sebagaimana disebutkan
sebelumnya bahwa faktor yang paling dominan adalah masalah ekonomi.
Perlu disimak keterangan yang diberikan oleh Drs. Bahruddin selaku hakim
Pengadilan Agama Sumber, di antara yang menjadi penyebab dari masalah
ekonomi ialah suami yang menikahi seorang isteri belum mempunyai
pekerjaan yang tetap, sehingga wajar di tengah perjalanan bahtera rumah
tangga mereka terlebih pada saat menghadapi kebutuhan hidup sehari-hari
yang memerlukan finansial yang tidak sedikit sementara suami tidak
79
mempunyai penghasilan yang tetap, maka akhirnya isteri merasa kebutuhan
hidupnya kurang terpenuhi dan ini yang mendorong isteri menuntut haknya
ke Pengadilan.25
Dengan demikian tak dapat dipungkiri dalam sebuah keluarga yang di
dalamnya terdiri dari ayah, ibu, dan anak menjadikan stabilitas ekonomi
sebagai sesuatu yang fundamental demi terwujudnya keluarga sakinah.
Karena itu, jika terjadi penyimpangan dengan kata lain tidak berfungsi salah
satu dalam struktur keluarga tersebut akan berakibat pada ketidakseimbangan
yang pada akhirnya bisa berujung pada perceraian.
Di samping kebutuhan finansial yang harus tersedia dalam sebuah
keluarga, maka sudah menjadi kebutuhan yang paling mendasar dan harus
ada pada setiap pasangan, yakni rasa saling mencintai antara suami isteri
dengan harapan agar selalu harmonis dalam perjalanan kehidupan bahtera
rumah tangga. Karena kalau rasa cinta sudah menghilang antara suami isteri
tersebut dan mulai mencintai orang lain yang seharusnya dihindari, maka
akibatnya menimbulkan benih-benih rasa cemburu yang beralasan dirasakan,
sehingga kalau tidak diantisipasi dengan mencari solusi yang bijak dapat
menyebabkan perselisihan dan pertengkaran yang tak terelakkan.
Dalam hal kepribadian yang seharusnya dimiliki oleh suami maupun
isteri adalah menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji seperti amanah, jujur,
25 Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Sumber, Bahruddin. Cirebon, 16
Februari 2010.
80
bertanggung jawab, dan menghindari sifat-sifat tercela yang dapat
menyebabkan perasaan tidak menyenangkan antara salah satu pihak dari
pasangan tersebut.
Berdasarkan peristiwa yang terjadi di masyarakat, salah satu contoh
perceraian terjadi karena suami suka mabuk, sehingga bisa dikatakan dia
memiliki sifat-sifat tercela (amoral), maka menimbulkan kebencian pada
isteri yang merasa dirugikan dan tersiksa atas perbuatan suaminya.
Begitu juga dengan kewajiban masing-masing baik sebagai suami
maupun isteri harus dilaksanakan dengan sepenuh hati dan sungguh-sungguh
sebab apabila salah satu saja ada yang dilalaikan, maka dalam struktur
keluarga tersebut ada yang tidak berjalan, yakni tidak terlaksana kewajiban
suami isteri, sehingga konsekensinya dapat menimbulkan gugatan perceraian
oleh pihak yang merasa haknya tidak dipenuhi.
Ketiga, dalam menganalisis putusan perkara nomor:
0118/Pdt.G/2009/PA.SBR, penulis menggunakan kacamata teori konkretisasi
hukum yang digagas oleh Hans Kelsen yang kemudian dikembangkan oleh
Hans Nawiasky sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.
Membaca putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber tersebut
dalam pertimbangan hukumnya yang digunakan sebagaimana disebutkan
pada pembahasan sebelumnya apabila dikaitkan dengan teori positivisasi
hukum Islam, maka sebenarnya majelis hakim telah mempositifkan hukum
Islam melalui norma antara, yakni melalui kaidah hukum yang dimuat dalam
81
Kompilasi Hukum Islam dan kaidah fikih. Setelah terbukti dalil-dalil gugatan
penggugat yang mendasarkan alasan perceraian pada pasal 19 (f) PP Nomor 9
Tahun 1975 jo 116 (f) KHI, maka majelis hakim dalam putusannya
mengabulkan gugatan penggugat dengan menjatuhkan talak satu bain sughra
tergugat kepada penggugat. Hal ini didasarkan pada Pasal 119 KHI sebab
ikatan perkawinan antara penggugat dengan tergugat putus oleh adanya
putusan Pengadilan Agama Sumber berdasarkan gugatan cerai penggugat.
Konsekuensi setelah dijatuhkan putusan yang berkekuatan hukum tetap
tersebut pihak suami tidak dibolehkan rujuk kepada mantan isterinya, kecuali
dengan akad nikah baru meskipun dalam iddah.
Dari sudut fiqih majelis hakim Pengadilan Agama Sumber telah
menggunakan kaidah hukum Islam yakni الز يررالض yang artinya
“kemudharatan itu harus dihilangkan”. Dalam pertimbangan hukum
disebutkan bahwa apabila perkawinan terus dilanjutkan sebagaimana yang
diinginkan oleh tergugat menurut pendapat majelis hakim hanya
menimbulkan kemudharatan dan ketidakpastian, serta demi kemaslahatan
kedua pihak menurut pendapat majelis hakim solusi terbaik adalah dengan
perceraian.
Dalam kasus perceraian dengan alasan syiqaq ini terlihat nilai hukum
Islam yang dipositifkan melalui putusan Pengadilan Agama Sumber perkara
nomor : 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR adalah kaidah ishlah (perdamaian) yang
termaktub dalam Al Qur’an surat Al Nisa’ ayat 35. Dalam konteks Indonesia
82
khususnya di semua lingkungan Peradilan termasuk Pengadilan Agama
kaidah ishlah tersebut telah diimplementasikan dengan model mediasi
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (selanjutnya disingkat Perma)
Nomor 1 Tahun 2008 tentang prosedur mediasi di Pengadilan dengan
diwajibkan mediasi pada sidang pertama antara para pihak yang bersengketa
termasuk perceraian dengan alasan syiqaq pada perkara ini. Menurut hemat
penulis meskipun majelis hakim Pengadilan Agama Sumber tidak
menggunakan lembaga hakam dalam perkara perceraian dengan alasan
syiqaq, akan tetapi sebenarnya substansi mendamaikan (ishlah) telah
diupayakan melalui proses mediasi dan pada setiap persidangan juga majelis
hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat 4 UU Nomor 3 Tahun 2006 jo
Pasal 31 ayat (2) dan Pasal 21 PP Nomor 9 tahun 1975 telah berupaya
mendamaikan para pihak.
Adapun dalam pemeriksaan perkara syiqaq ini majelis hakim
Pengadilan Agama Sumber wajib mendengarkan kesaksian saksi-saksi
keluarga dan orang dekat suami isteri tersebut sesuai dengan perintah
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Peradilan Agama Pasal 76 ayat 1.26 Dari pemeriksaan saksi-
saksi tersebut dapat diketahui faktor paling dominan yang menyebabkan
terjadinya syiqaq yaitu kecemburuan suami terhadap isteri, sehingga
26 Wawancara pribadi dengan hakim Pengadilan Agama Sumber, Bahruddin. Cirebon, 16
Februari 2010.
83
menimbulkan terjadinya perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus
antara penggugat dengan tergugat.
Selanjutnya unsur-unsur dari alasan perceraian yang tertera dalam
Pasal 116 f KHI sudah terpenuhi semuanya, sehingga menurut hemat penulis
Pengadilan Agama Sumber telah tepat dalam memutuskan perkara syiqaq
karena setelah dicermati dalam putusan tersebut terdapat kesesuaian antara
dali-dalil gugatan dengan keterangan penggugat dan tergugat serta
dihubungkan dengan alat-alat bukti yang diajukan oleh penggugat maupun
tergugat di persidangan.
Dari sudut teori stufenbau Kelsen, putusan perkara Nomor:
0118/Pdt.G/2009/PA.SBR sebenarnya telah mengambil norma abstrak untuk
dijadikan norma konkret secara langsung dengan menggunakan norma antara.
Selanjutnya dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sebagaimana disebutkan sebelumnya norma abstrak di sini
maksudnya nilai-nilai Islam yang terdapat dalam Al Qur’an, sehingga dalam
perkara ini majelis hakim Pengadilan Agama Sumber dalam pertimbangan
hukumnya disebutkan bahwa pada dasarnya tujuan dari perkawinan adalah
membentuk keluarga yang bahagia, kekal, sakinah, mawaddah, dan rahmah
seperti yang termaktub dalam Al Qur’an surat Al Rum ayat 21. Seiring
berjalannya waktu dengan berbagai masalah yang muncul dalam perjalanan
bahtera rumah tangga antara suami isteri yang pada mulanya hidup rukun,
harmonis ternyata yang terjadi justeru sebaliknya dari yang diharapkan, yakni
84
Di samping norma antara yang berbentuk hasil ijtihad Ulama
termasuk juga Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang disebut sebagai fiqih
Indonesia yang terlihat berikut ini.
Dengan adanya unsur dharar tersebut apabila perkawinan mereka
diteruskan, berdasarkan pertimbangan majelis hakim Pengadilan Agama
Sumber sesuai dengan kemaslahatan yang akan dirasakan oleh kedua belah
pihak di masa depan, maka jalan terbaik yang harus ditempuh adalah
perceraian. Kemudian majelis hakim menimbang gugatan penggugat sudah
85
memenuhi alasan perceraian dalam Pasal 116 f KHI. Dengan begitu hakim
Pengadilan Agama Sumber jika dilihat dari objek kajian dalam lapangan
ijtihad bisa dikategorikan pada bentuk ijtihad tathbiqi karena hakim melihat
objek untuk kemudian ditentukan hukumnya. Artinya hakim menerapkan
hukum berdasarkan objek yang diperiksanya.
Setelah peristiwa hukumnya jelas sebagaimana terbukti dalam fakta
yang ditemukan majelis hakim bahwa antara keduanya benar-benar terjadi
perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus dan tidak bisa dirukunkan
kembali, maka menurut hemat penulis amar putusan yang dijatuhkan oleh
majelis hakim sudah benar sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Pasal 119 KHI), yakni mengabulkan gugatan penggugat
dengan menjatuhkan talak satu Bain Sughra tergugat (N b Z) terhadap
penggugat (EWK bnt SS) dan sebagaimana ketentuan pada pasal 89 ayat 1
UU Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama, maka dalam amar majelis
hakim membebankan kepada penggugat untuk membayar biaya perkara
sebesar Rp 606.000,00.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Setelah melakukan penelitian terhadap penyelesaian perkara perceraian
dengan alasan syiqaq di Pengadilan Agama Sumber khususnya pada putusan perkara
Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR, maka diperoleh beberapa kesimpulan di
antaranya:
1. Di antara faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya syiqaq yang terjadi di
Pengadilan Agama Sumber selama tahun 2009 secara berurutan dari angka yang
tertinggi sampai terendah adalah karena: a. Masalah ekonomi sebanyak 1.253
kasus, b. Masalah cemburu yang mencapai 175 kasus, c. Masalah moral yang
mencapai 80 kasus, d. Masalah melalaikan kewajiban yang mencapai 25 kasus,
dan e. Lain-lain, yakni selain empat faktor di atas sebanyak 15 kasus. Dari faktor-
faktor di atas apabila ditelisik dengan kacamata teori strukturalis fungsional dapat
disimpulkan bahwa jika terjadi penyimpangan dalam arti tidak berfungsi salah satu
dalam struktur keluarga, maka akan berakibat pada ketidakseimbangan yang pada
akhirnya bisa berujung pada perceraian.
2. Tata cara pemeriksaan kasus syiqaq yang diselesaikan oleh majelis hakim
Pengadilan Agama Sumber berpedoman pada Pasal 54 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006, sehingga secara garis besar
apabila dilihat sebenarnya tidak banyak berbeda dengan pemeriksaan perceraian
pada umumnya, tetapi ada satu yang membedakan yaitu pada saat tahap
86
87
pembuktian khusus perkara syiqaq ini majelis hakim Pengadilan Agama Sumber
diwajibkan mendengarkan keterangan dari saksi-saksi yang berasal dari keluarga
atau orang-orang yang dekat dengan suami isteri berdasarkan Pasal 76 ayat 1
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 jo Pasal 134 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Selanjutnya
majelis hakim Pengadilan Agama Sumber mengacu pada petunjuk Mahkamah
Agung dalam buku Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan buku
II di mana khusus pada perkara syiqaq nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR menurut
kebijaksanaan hakim Pengadilan Agama Sumber memilih versi pertama, yakni
tidak menggunakan lembaga hakam dengan alasan setelah pemeriksaan saksi-saksi
tersebut ternyata tetap tidak ada indikasi adanya perdamaian antara kedua belah
pihak yang cekcok tersebut. Meskipun demikian, tidak tertutup kemungkinan
dalam perkara syiqaq yang lain Pengadilan Agama Sumber dapat mengangkat
hakam jika melihat adanya indikasi perdamaian antara suami isteri yang
mengalami perselisihan dan pertengkaran tersebut.
3. Pertimbangan hukum yang digunakan oleh majelis hakim Pengadilan Agama
Sumber dalam memutuskan perkara syiqaq ini apabila dilihat dari perspektif teori
stufenbau Hans Kelsen yang kemudian dikaitkan dengan teori positivisasi hukum
Islam melalui yurisprudensi dapat disimpulkan bahwa nilai-nilai yang terdapat
dalam Al Qur’an surat An Nisa’ ayat 35 yang diderivasikan ke dalam ijtihad
Ulama fiqih dan kaidah hukum yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)
khususnya Pasal 116 point f telah mengalami transformasi ke dalam norma
88
konkret yaitu putusan Pengadilan Agama Sumber nomor:
0118/Pdt.G/2009/PA.SBR, sehingga baik disadari atau tidak sebenarnya hukum
Islam yang dicita-citakan berupa hukum keluarga (ahwal al syakhsiyyah) dapat
diberlakukan di tengah masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam.
Dengan demikian, putusan-putusan Pengadilan Agama Sumber turut memberikan
kontribusi dalam rangka upaya positivisasi hukum Islam di Indonesia.
Di samping itu, amar putusan majelis hakim Pengadilan Agama Sumber
Nomor: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR yang mengabulkan gugatan penggugat dengan
menjatuhkan talak satu bain sughra sudah tepat sesuai dengan aturan fiqih maupun
dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
B. Saran-saran
Mengakhiri paparan hasil penelitian ini, penulis ingin menyampaikan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Perlu adanya pemahaman masyarakat Islam terhadap langkah-langkah yang harus
ditempuh sebelum mengajukan gugatan perceraian kepada Pengadilan Agama
terutama mengenai pendekatan secara kekeluargaan antara suami isteri yang
sedang cekcok, sehingga diharapkan efektivitas hakam sebagaimana yang
ditekankan oleh Al Qur’an dapat direalisasikan di tengah masyarakat.
2. Dalam upaya menekan angka perceraian yang termasuk tinggi di dalam yurisdiksi
Pengadilan Agama Sumber, Cirebon hendaknya perlu adanya langkah-langkah riil
yang harus dilakukan oleh instansi Pemerintah terkait seperti Kantor Urusan
89
Agama (KUA) setempat maupun Pengadilan Agama (PA) dengan memberikan
penyuluhan hukum kepada masyarakat yang berada di sekitar Cirebon dalam hal-
hal yang berkaitan dengan persiapan pra nikah bagi orang-orang yang sudah siap
menikah baik menyangkut kematangan jasmani, rohani, dan finansial. Dengan
harapan di masa mendatang perceraian dengan alasan apapun termasuk syiqaq
yang dilatarbelakangi oleh faktor-faktor yang disebutkan di atas dapat
diminimalisir semaksimal mungkin.
3. Sebagai langkah akademis perlu diadakan training bagi para mahasiswa Fakultas
Syariah dan Hukum perihal kemampuan menjadi mediator dalam mendamaikan
para pihak yang sedang cekcok termasuk perkara syiqaq ini mengingat kurikulum
yang ada di Fakultas secara dominan masih bersifat teoritis, sehingga perlu
diimbangi dengan kurikulum yang berbasis pada praktek.
90
DAFTAR PUSTAKA
Al Qur’an Al-Karim.
Abbas, Sudirman. Problematika Pernikahan dan Solusinya. Jakarta: Prima Heza Lestari, 2006.
“Nikah dan Syiqaq”. Dalam Abdul Aziz Dahlan, dkk, ed., Ensiklopedi Hukum Islam,
Jilid IV dan V. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997. Abubakar, Zainal Abidin. Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lingkungan Peradilan Agama, cet.3. Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 1993. Ahmad, Baharuddin. Hukum Perkawinan di Indonesia Studi Historis Metodologis.
Jakarta: Gaung Persada Press, 2008. Al Bukhari, Imam Hafiz Abu Abdullah Muhammad ibn Isma’il. Shohih Bukhari.
Jordan: Baitul Afkar Al Dauliyyah, 2008. Al ‘Asqalani, Hafiz Ahmad ibn Ali ibn Hajar. Bulugh Al Maram Min Jam’I Adilati Al
Ahkam. Kairo: Dar Al Hadis, 2003. Anas, Malik. Ibn. Muwattha’. Beirut: Dar al Kitab Al ‘Arabi, 2004 M. Al Jaziri, Abdurrahman. AlFiqh ‘ala al Madzahib Al-Arba’ah. Beirut: Dar Al-Fikr,
1977. Al-Nawawi Al Dimasyqy, Abi Zakaria Yahya Ibn Sharif. Raudhat Al-Thalibin.
Beirut: Dar Al Kutub Al-Ilmiyyah, t.th. Al-Shabuni, Muhammad Ali. Rawa’I al-Bayan: Tafsir Ayat Al-Ahkam Min Al-Karim.
Mekkah: Kulliyat al-Syari’ah Wa Al-Dirasat Al-Islamiyyah, t.th. . Al-Zuhaily, Wahbah. Al Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, juz IX. Damsyiq: Dar El Fikr,
1989. Arifin, Busthanul. Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia Akar Sejarah, Hambatan,
dan Prospeknya. Jakarta: Gema Insani Press, 1996. Arto, Mukti. Praktik Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2006.
91
As Shan’ani, Muhammad ibn Ismail al Amir. Subul As-Salam Al Musholah ila
Bulugh Al Maram, Juz 3. Kairo: Dar Ibn Al Jauzi, 1428 H. As Suyuthi, Jalaluddin Abdurrahman. Al Asybah wa Nazhair fi qawaid wa Furu’
Fiqh Syafi’iyyah. Beirut: Dar Al Kutub Al Ilmiyyah, t.th. As Syaukani, Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad. Nail Al Author, juz 5, Maktabah
Al Iman, t.th. Azzam, Abdul Aziz Muhammad. Al Qawa’id Al Fiqhiyyah. Kairo: Dar Al Hadis,
2005. Bahri, Samsul. Membumikan Syariat Islam Strategi Positivisasi Hukum Islam
Melalui Yurisprudensi Mahkamah Agung. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2007.
Basir, Cik. Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Pengadilan Agama dan
Mahkamah Syar’iyah. Jakarta: Kencana, 2009. Basri, Cik Hasan. Pilar-Pilar Penelitian Hukum Islam dan Pranata Sosial. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2004. Danim, Sudarman. Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: CV Pustaka Setia, 2002. Darmodiharjo, Darji dan Shidarta. Pokok-Pokok Filsafat Hukum Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995. Ghazali, Abdur Rahman. Fiqh Munakahat, Cet.2. Jakarta: Kencana Media Group,
2006. Ghundur, Ahmad. Al-Thalaq Fi As Syari’ah al Islamiyyah Wa Al Qonun. Mesir: Dar
Al Ma’arif, t.th. Hafiz, Ibn Rusyd. Bidayatu al Mujtahid wa nihayatu al-muqtasid. Beirut: Dar Al-
Fikr, t.th. Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama. Jakarta:
Pustaka Kartini, 1990. Ibnu Majah, Abu Abdullah Muhammad ibn Yazid. Sunan Ibnu Majah. Jordan: Baitul
Afkar Al Dauliyyah, 2004.
92
Ibrahim, Jhonny. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, cet.3. Malang: Bayumedia Publishing, 2007.
Lubis, Sulaikin. dkk. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia, Cet.3,
Jakarta: Kencana, 2008. Manaf, Abdul. Refleksi Beberapa Materi Cara Beracara di Lingkungan Peradilan
Agama. Bandung: CV Mandar Maju, 2008. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama.
Jakarta: Yayasan Al Hikmah, 2000. Manzur Ibnu, Imam Al ‘Allamah. Lisan Al ‘Arab. Kairo: Dar Al Hadis, 2003.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2005. M.Romli, Asep Syamsul. Jurnalistik Praktis, Cet.3 Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2001. Mufidah,ch. Psikologi Keluarga Islam Berwawasan Gender. Malang: UIN Malang
Press, 2008. Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: tp,
1984. Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia
Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No.1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2004.
Raho, Bernard. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2007.
Rasyid, A.Raihan. Hukum Acara Peradilan Agama, Cet.9. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002.
Rasyid, Chatib dan Syaifuddin, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik Pada
Peradilan Agama. Yogyakarta: UII Press, 2009. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet .6. Jakarta: PT Raja Garafindo
Persada, 2003. Sabiq, Sayyid, Fiqh al Sunnnah,cet.4. Beirut: Dar Al-Fikr, 983.
93
Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: CV Rajawali, 1985.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, cet.3. Jakarta: UI Press, 1986. Soeprapto, Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-undangan I Jenis, Fungsi, dan
Materi Muatan Lainnya. Yogyakarta: Kanisius, 2007. Syahrizal, Abbas. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syariah, Hukum Adat,& Hukum
Nasional. Jakarta: Kencana, 2009. Syarif, Mujar Ibnu. “Pemukulan Isteri terhadap Suaminya Ketika Nusyuz Menurut
Perspektif Hukum Islam” , Ahkam IX, No.2 (September 2007). Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan, Cet.2. Jakarta: Kencana Media Group, 2007.
Tim redaksi KBBI. Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga. Jakarta: PT
Penerbitan dan Percetakan Balai Pustaka, 2005. Umar, Nasaruddin. Argumentasi Kesetaraan Gender Dalam Perspektif Al Qur’an.
Jakarta: Paramadina, 1999. Wawancara Pribadi dengan Ahmad Sodikin. Cirebon. 15 Februari 2010. Wawancara Pribadi dengan Bahruddin. Cirebon. 16 Februari 2010.
Yanggo, Huzaemah Tahido. Masail Fiqhiyyah Kajian Hukum Islam Kontemporer. Bandung: Angkasa, 2005.
Zein, Satria Effendi. “Analisis Fiqh”, Mimbar Hukum XI no.46 ( 2000).
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Jakarta: Dirjen Badilag MA RI, 2006.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
94
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.
Anonim, “Data Perkara Terbesar Pengadilan Agama Tahun 2009”, artikel diakses
pada 20Mei 2010 dari http:// www.badilag.net/index.php?option=com_content&task=view&id=5340&itemid=1.
Permana,Sugiri. “Mediasi dan Hakam dalam Tinjauan Hukum Acara Peradilan
Agama”, artikel diakses pada 21 Mei 2010 dari http://www.badilag.net/
LAPORAN WAWANCARA
1. Apakah benar bapak yang memeriksa dan mengadili perkara nomor : 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR?
Jawab :
Ya, saya yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut, saya sebagai ketua majelis dan dibantu oleh dua hakim anggota yaitu : bapak Drs. Mujahidin dan Dra.Hj. Syafiah, MH.
2. Apa yang mendasari bapak menjadikan perkara perceraian ini sebagai kategori syiqaq?
Jawab :
Karena antara penggugat dengan tergugat terus-menerus terjadi perselisihan yang tajam sulit didamaikan lagi sebab perpecahan mereka sudah parah. Karakteristiknya dalam kasus ini yaitu adanya rasa cemburu yang beralasan dari tergugat kepada penggugat dan akibatnya antara penggugat dengan tergugat telah pisah rumah selama kurang lebih 4 bulan dan masing-masing tidak lagi menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
3. Selama tahun 2009 di PA Sumber, berapa perkara yang masuk dalam kategori syiqaq? Hal itu lebih banyak mana lewat cerai talak atau cerai gugat?
Jawab :
Masing-masing majelis hakim menangani sekitar 350 perkara, di PA Sumber ada 13 majelis. Dari jumlah tersebut sekitar 120 perkara syiqaq yang saya tangani. Lebih banyak cerai gugat daripada cerai talak.
4. Faktor-faktor apa yang banyak menyebabkan terjadinya syiqaq menurut pengalaman bapak selama ini?
Jawab :
Penyebabnya adalah paling banyak karena kekurangan ekonomi, kemudian karena cemburu, moral, ada yang tidak melaksanakan kewajiban suami isteri.
5. Mengapa perkara syiqaq yang diterima oleh majelis hakim lebih banyak karena masalah kekurangan ekonomi?
Jawab :
Dari surat gugatan yang diterima oleh majelis hakim rata-rata mereka waktu nikah belum mempunyai pekerjaan yang tetap, sehingga isteri banyak yang menuntut.
6. Bisa bapak jelaskan secara detail proses pemeriksaan perkara perceraian dengan alasan syiqaq yang dilakukan oleh majelis hakim PA Sumber ini?
Jawab :
kita berpedoman pada Pasal 54 UU No.7 Tahun 1989 yaitu menggunakan HIR, PP No.9/1975, dan UU No.7/ 1989. Pertama, setelah menerima penetapan majelis hakim, maka ketua majelis menetapkan hari sidang (PHS) kemudian memerintahkan juru sita untuk rmemanggil para pihak (penggugat dan tergugat) menghadap ke muka persidangan pada hari yang ditentukan. Pada sidang pertama para pihak didamaikan, jika tidak dapat didamaikan kemudian majelis memberikan pengarahan supaya para pihak didamaikan lewat mediator sesuai PERMA No.1 tahun 2008 tentang Mediasi. Apabila ternyata gagal, maka para pihak dipanggil kembali untuk menghadap di persidangan. Pada sidang tersebut dibacakan surat gugatan oleh penggugat kemudian kepada tergugat diberi kesempatan untuk memberikan jawaban baik secara lisan ataupun tulisan. Lalu kepada
penggugat diberi kesempatan untuk memberikan replik (jawaban atas jawaban), kemudian kepada tergugat diberi kesempatan untuk menjawab replik penggugat (duplik). Setelah dianggap cukup oleh kedua pihak selanjutnya acara pembuktian baik tertulis maupun saksi-saksi, khusus dalam perkara syiqaq sesuai PP No.9/1975 Pasal 22 jo Pasal 76 ayat 1 UU No.7/1989 bahwa saksi tersebut harus didengar dari keterangan keluarga atau orang yang dekat dengan suami isteri. Setelah pembuktian selesai dari pihak penggugat dan tergugat, maka masing-masing pihak memberikan kesimpulan. Selanjutnya majelis akan bermusyawarah dan memberikan putusan.
7. Benarkah ada ketentuan khusus yang mengatur perihal kasus mengadili perkara syiqaq ini, sehingga kalau ada, apa yang membedakan proses pemeriksaan dengan kasus perceraian yang lain?
Jawab :
Benar ada ketentuan khusus yaitu menggunakan Pasal 22 PP No.9/1975 atau Pasal 134 KHI dan bisa juga menggunakan Pasal 76 ayat 2 UU No.7/1989. Dari kedua Pasal tersebut intinya adalah perkara syiqaq saksi-saksinya itu diharuskan dari keluarga, sedangkan pada perkara selain syiqaq keluarga tidak dibolehkan menjadi saksi.
8. Mengapa bapak dalam perkara No: 0118/Pdt.G/2009/PA.SBR tidak memakai hakam dalam menyelesaikan perkara syiqaq ini padahal UU No.7 Tahun 1989 Pasal 76 ayat 2 menyuruh untuk diangkat hakam?
Jawab :
Karena setelah pembuktian dari pihak penggugat dan tergugat (pemeriksaan saksi-saksi), majelis hakim menilai penggugat dan tergugat tidak ada harapan akan rukun kembali, sehingga majelis hakim tidak harus mengangkat hakam. Dilihat dari perintah UU No.7/1989 Pasal 76 ayat 2 sifatnya hanya fakultatif bukan imperatif. Kenyataannya para pihak merasa puas terhadap putusan ini, sehingga tidak melakukan upaya hukum.
9. Menurut bapak, setelah sekarang diberlakukan Perma No.1 Tahun 2008 dengan diwajibkan mediasi dalam perceraian apakah lembaga hakam sudah tidak diperlukan lagi?
Jawab :
Tergantung kasusnya apabila setelah pembuktian masih ada harapan, bisa mengangkat hakam, tetapi apabila sudah didamaikan oleh majelis hakim dan mediator, serta fakta di persidangan menunjukkan tidak ada indikasi akan rukun kembali, maka tidak harus mengangkat hakam.
10. Sebagai hakim pertimbangan hukum apa yang digunakan oleh majelis hakim dalam memutuskan perkara syiqaq khususnya pada perkara No : 0118/Pdt.G/2009/PA SBR?
Jawab :
Majelis hakim dalam memutuskan perkara tersebut dengan memakai pertimbangan sebagai berikut : 1. Mempertimbangkan dalil gugatan penggugat, jawaban tergugat dihubungkan dengan alat-alat bukti yang diajukan oleh penggugat dan tergugat, 2. Setelah ternyata disimpulkan dalil gugatan penggugat terbukti kemudian dipertimbangkan satu per satu dalil penggugat lalu baru mengambil dalil-dalil dari peraturan perundang-undangan yaitu UU No.1/1974, PP No.9/1975, KHI, dan UU No.7/1989 atau ayat-ayat Al Qur’an yang berkaitan dengan perkara tersebut
Mengapa dalam kasus ini majelis hakim tidak menggunakan UU No.23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga sebagai pertimbangan hukum, padahal tergugat telah melakukan kekerasan fisik yang mengakibatkan tangan penggugat berdarah?
Jawab :
Karena hakim menilai belum cukup bukti adanya kekerasan tergugat kepada penggugat yaitu belum ada hasil visum yang membuktikan adanya luka dari anggota tubuhnya.
Disamping itu, tuntutan KDRT itu menjadi kewenangan absolut Pengadilan Negeri.
Cirebon, 16 Februari 2010
Yang diwawancarai
Hakim PA Sumber
Drs. Bahruddin
NIP : 15022749
LAPORAN WAWANCARA
1. Berapa perkara yang diterima oleh Pengadilan Agama Sumber selama tahun 2009?
Jawab :
selama satu tahun (2009) sebanyak 4695 perkara.
2. Jenis perkara apa saja yang diterima oleh PA Sumber tahun 2009? rincian masing-masing berapa banyaknya?
Jawab :
No Jenis Perkara Banyaknya (perkara)
a. Ijin Poligami 10
b. Pembatalan perkawinan 1
c. Cerai talak 1519
d. Cerai gugat 3034
e. Harta bersama 5
f. Pengesahan anak 1
g. Pengangkatan anak 4
h. Hadhanah/pemeliharaan anak 3
I Itsbat nikah (volunteer) 91
j. Dispensasi kawin 1
k. Wali adhol 2
l. Kewarisan 7
m. Wasiat 2
n. Penetapan ahli waris 2
o. Lain-lain 13
3. Dari sekian banyak jenis perkara di atas, perkara apa yang paling dominan?
Jawab : dari perkara yang diterima PA Sumber, paling banyak adalah perkara perceraian sebanyak 4.553 kasus.
4. Perkara dominan itu berapa yang telah diputus oleh majelis hakim pada tahun 2009?
Jawab : Perkara perceraian yang telah diputus selama tahun 2009 mencapai 4.056 perkara, sisanya ada yang dicabut, gugur, dan ditolak.
5. Dari perceraian yang telah diputus itu, berapa perkara yang masuk kategori syiqaq pada tahun 2009?
Jawab : sebanyak 1.538 perkara yang tergolong syiqaq selama tahun 2009.
6. Sejauh pengamatan bapak, faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya syiqaq yang diajukan oleh para pihak di PA Sumber ini?
Jawab : Faktor-faktor penyebab terjadinya perceraian dengan alasan syiqaq (terus-menerus berselisih) disebabkan karena :
No Faktor Penyebab Banyaknya (perkara)
1. Ekonomi 1253
2. Cemburu 175
3. Moral 80
4. Melalaikan kewajiban 25
5. Lain-lain 15
Cirebon, 15 Februari 2010
Yang diwawancarai
Panitera Muda Hukum PA Sumber
Drs. Ahmad Sodikin
NIP : 195902101981031002
A.Sejarah Singkat Kantor Pengadilan Agama Sumber Kabupaten Cirebon
Pengadilan Agama Sumber didirikan berdasarkan ketetapan Raja No.24 Tahun 1882 (Stbl.152 tahun 1882) yang diubah dan disempurnakan dengan stbl.116 dan 610 tahun 1937 Kabupaten Cirebon dan Kota Madya Cirebon adalah merupakan satu wilayah hukum Pengadilan Agama yaitu Pengadilan Agama Cirebon, pada tahun 1979 Pemerintah Kabupaten Cirebon dibentuk dan pada tahun 1986 pembentukan Pengadilan Agama Sumber berdasarkan Keputusan Menteri Agama RI No. 207 tahun 1986, tanggal 22 Juli 1986, yang diresmikan oleh Bupati Kepala Daerah tingkat II Cirebon tepatnya pada tanggal 23 Maret 1988.
Visi Pengadilan Agama Sumber adalah terciptanya citra, wibawa, dan kemandirian Pengadilan Agama Sumber dalam melaksanakan tugas pokok peradilan kewenangan sebagai peradilan Negara menjadi ketertiban dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat.
Sedangkan misinya salah satunya yangs angat penting adalah pemberdayaan peran, kedudukan, dan kewenangan peradilan agama sebagai peradilan Negara dan sebagai lembaga penegak hukum agar lebih mampu melayani pencari keadilan serta memberikan kepastian hukum kepada masyarakat.
Gedung balai sidang Pengadilan Agama Sumber terletak di jalan Sunan Malik Ibrahim No.11 komplek perkantoran Kabupaten Cirebon, dibangun di atas tanah seluas 1005 meter persegi dengan luas bangunan 250 meter persegi, dengan biaya Rp 50.000.000,00. Pada tahun 1989 diadakan penambahan ruang kantor Pengadilan Agama dengan swadaya sebesar Rp 12.000.000,- dan kemudian dilengkapai dengan daftar isian proyek tahun 1995 sebesar Rp 15.362.000 untuk pengerasan jalan dan halaman seluas 46 meter persegi.
Jadi luas keseluruhannya Gedung kantor Pengadilan Agama Sumber mencapai 370 meter persegi yang terdiri dari :
a. Ruang kerja karyawan 147,5 m persegi meliputi :
1. Ketua 15 meter persegi
2. Panitera 12,5 meter persegi
3. Kepaniteraan 50 meter persegi
4. Hakim 30 meter persegi
5. Panitera Pengganti 15 meter persegi
6. Kesekretariatan 25 meter persegi
b. Gedung 28 meter persegi
c. Koridor, jalan, Ruang Tamu, dan Ruang Kamar Kecil kalau dirata-ratakan untuk setiap karyawan kurang lebih 2,5 meter persegi dengan demikian kondisi seperti ini masih belum memadai.
Dengan demikian, sarana perkantoran Pengadilan Agama Sumber sampai tahun 2005 mempunyai beberapa ruang sebagai penunjang bagi terlaksananya suatu Pengadilan.
Adapun bangunan atau ruang tersebut adalah :
1. Ruang Ketua Pengadilan
2. Ruang Para Hakim
3. Ruang Kepaniteraan Tata Usaha
4. Ruang Arsip
5. Ruang Sidang
6. Ruang Tunggu
7. Ruang Doktik/ Ruang syara’
8. Ruang Panitera
9. Ruang Kepaniteraan Perkara
10. Ruang Pendaftaran
11. Ruang Perpustakaan
12. Ruang Saran Tikrai
13. Ruang sarana MCK
14. Ruang Tempat Ibadah.
B. Tugas Pokok dan Fungsi
a. Tugas Pokok
Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Peradilan Agama mempunyai tugas pokok sebagaimana tercantum dalam pasal 49, yaitu : menerima, memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqoh, dan ekonomi syari’ah.
b. Fungsi
Pengadilan agama mempunyai fungsi untuk menyelenggarakan salah satu kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum, kebenaran, ketertiban, dan kepastian hukum dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shodaqoh,dan ekonomi syari’ah bagi yang beragama Islam. Hal ini sesuai dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No.KMA/004/SK/1992 dan Keputusan Menteri Agama Nomor 303 tahun 1990. Bertitik tolak dari keadaan tersebut lembaga Peradilan agama dapat memberikan pelayanan yang memuaskan terhadap masyarakat dan memperoleh keadilan yang seadil-adilnya.
C. Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sumber
Struktur Organisasi Pengadilan Agama Sumber sampai tahun 2010 adalah sebagai berikut:
1. Ketua Pengadilan : Drs. Oon Syahroni, SH
2. Wakil Ketua :
3. Panitera/Sekretaris : Drs. Ahmad
4. Wakil Panitera : Drs. Ahmad Sahaimansur, SH
5. Wakil Sekretaris : Nurmansyah, S.Ag
6. Panitera Muda Permohonan : Hidayat, SH
7. Panitera Muda Gugatan : Drs. Juju
8. Panitera Muda Hukum : Drs. Ahmad Shodikin
9. Kepala Urusan Kepegawaian : Rohmah, SH
10. Kepala Urusan Keuangan : Indah Kurniawati
11. Kepala Urusan Umum : Adi Priyono, SH
Adapun kelompok fungional Pengadilan Agama Sumber sampai tahun 2010 adalah :
1. Panitera Pengganti : Drs. Barunah
Drs. Ahmad Sodikin
Drs. M. Jalaludin
Amin Duljamin, SH
Zaenal Hasan
Haris Abdullah,Sm, HK.
2. Juru Sita pengganti : Nurmansyah, S.Ag
Oha Toha
Nawafi
Ujang Dodo
Robani
Maman Rohaman
Ahmad Syifa, B.A
Salim
3. Hakim PA Sumber : M.M. Sami’un, S.Ag
Drs.Mujahidin
Drs. Didi Nurwahyudi
Drs.H.Amin Mansur, SH, MH
Drs.U. Nurdin
Drs.H.Hamzah
Dra.Syamsiah, MH
Drs. Bubun
Drs. Suheily
Drs.
D. Wilayah Yurisdiksi Pengadilan Agama Sumber
Wilayah yuridis Pengadilan Agama Sumber terdiri dari :
1. Luas Wilayah Kabupaten Cirebon kurang lebih 987.20 Km
2. Jumlah Penduduk 1.647.341 orang dengan rincian :
a.Penduduk Muslim 1.640.785 orang
b. Penduduk Non Muslim 6.556 orang
3. Jumlah Kecamatan :
a) 23 Kecamatan
b) 6 Perwakilan
4. Jumlah Desa sebanyak 424 Desa