PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

21

Transcript of PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Page 1: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI
Page 2: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

PENYELENGGARAAN DAN SISTEM PEMILU LEGISLATIF:

Tim Penyusun:Luky Sandra Amalia, Sandy Ikfal Rahardjo

Policy Paper

UPAYA PENINGKATAN KUALITAS KETERWAKILAN DAN AKUNTABILITAS WAKIL RAKYAT

Pusat Penelitian Politik (P2Politik)Kedeputian Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (IPSK-LIPI)Jakarta, 2018

Page 3: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Diterbitkan oleh:Pusat Penelitian Politik, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2 Politik-LIPI)Gedung Widya Graha LIPI, Lt. III & XIJl. Jend. Gatot Subroto KAV-10, Jakarta 12710 - INDONESIATlp. / fax : 021 - 520 7118 | Website: www.politik.lipi.go.id Twitter: @PolitikLIPI

Desain pra cetak: Prayogoiv + 16 hlm; 21 x 29,7 cm | Cetakan I, Desember 2018

ISBN: 978-602-5991-08-0

Policy Paper

PENYELENGGARAAN DAN SISTEM PEMILU LEGISLATIF: Upaya Peningkatan Kualitas Keterwakilan dan Akuntabilitas Wakil Rakyat

Tim Penyusun:Luky Sandra Amalia, Sandy Ikfal Rahardjo

Page 4: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

A. Pendahuluan ........................................................................ 1 B. Evaluasi Kondisi Saat ini ................................................. 3

C. Analisis dan Solusi ............................................................. 6 D. Rekomendasi Kebijakan.................................................... 8

DAFTAR ISI

Page 5: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI
Page 6: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

1

PENYELENGGARAAN DAN SISTEM PEMILU LEGISLATIF

A. Pendahuluan

Selain pemilihan umum (pemilu) legislatif yang akan dilaksanakan pada hari yang sama dengan pemilu presiden dan wakil presiden

(pilpres), sebenarnya tidak ada yang berubah dari sistem Pemilu Legislatif (pileg) 2019. Pileg 2019 tetap menggunakan sistem proporsional terbuka (open-list Proportional Representation/PR) sebagaimana Pemilu 2014 lalu. Bedanya, ambang batas parlemen (parliamentary threshold) mengalami peningkatan menjadi 4% dari 3,5% pada pemilu sebelumnya. Bagaimana pun, kualitas kinerja wakil rakyat juga tidak dapat dilepaskan dari pilihan sistem pemilu. Kenyataannya, sistem pemilu proporsional dengan beberapa modifikasi (tertutup, terbuka dan PT 2,5%-3,5%) masih belum berhasil memfasilitasi munculnya calon anggota legislatif yang kompeten dan berintegritas.

Pascalengsernya rezim otoriter Orde Baru, Indonesia telah melaksanakan empat kali pemilu legislatif setiap lima tahun sekali sejak 1999. Dalam beberapa aspek, pelaksanaan pemilu legislatif era reformasi ini dapat dikatakan lebih baik daripada pemilu sepanjang rezim otoriter Soeharto. Pemilu relatif berjalan secara demokratis, tanpa ada manipulasi dari pemerintah. Tetapi, empat kali pemilu sepanjang era reformasi ternyata belum mampu menghasilkan wakil rakyat yang berkomitmen menjalankan fungsi representasi melalui peningkatan kinerja fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran.

Misalnya terkait dengan fungsi legislasi. Tidak ada batasan waktu pembahasan satu rancangan undang-undang (RUU). Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) seringkali memperpanjang masa pembahasan satu RUU. Contohnya RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dibahas di lebih dari sepuluh kali masa sidang. Selain itu, DPR juga selalu memasang target tinggi RUU untuk disahkan tetapi justru tidak pernah berhasil memenuhi target yang dibuatnya sendiri. Sebagai contoh, tahun 2011 merupakan tahun dengan target prolegnas tertinggi yakni 93 RUU di prolegnas. Sebaliknya, target prolegnas paling rendah dibuat pada tahun 2015 yaitu 40 RUU.

Page 7: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

2

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

Hal yang sama juga terjadi pada fungsi pengawasan dan anggaran. DPR dalam menjalankan fungsi pengawasannya tidak jarang dilakukan untuk melawan institusi lain dalam menjalankan tugasnya, seperti upaya pelemahan yang dilakukan oleh anggota DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pelaksanaan fungsi pengawasan DPR seringkali lebih ramai pemberitaannya dari pada efektifitas hasilnya untuk kepentingan rakyat. Fungsi anggaran DPR juga demikian. Banyaknya anggota Dewan yang terjerat kasus korupsi menunjukkan bahwa DPR memanfaatkan celah kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya dengan cara-cara koruptif.

Sumber: Katadata, 2018, “Berapa Anggota DPR dan DPRD yang Tertangkap Korupsi?”,diakses pada 16 November 2018 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2018/09/05/berapa-anggota-dpr-dan-dprd-yang-tertangkap-korupsi.

Grafik di atas menunjukkan bahwa jumlah anggota DPR dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) yang tertangkap korupsi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Selain itu, fungsi anggaran DPR juga masih minim pencapaian. Dari 11 komisi hanya empat komisi yang melakukan rapat dengan mitra kerjanya terkait dengan pelaksanaan fungsi anggaran, padahal pengawasan pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 merupakan bagian dari fokus kerja setiap komisi. Demikian juga dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR, minim agenda rapat terkait pembahasan anggaran.

Page 8: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

3

B. Evaluasi Kondisi Saat ini

B.1. Mekanisme Pencalonan

Tahapan pencalonan merupakan salah satu tahapan paling krusial dalam rangkaian proses pemilu. Dalam tahapan rekrutmen dan kandidasi ini parpol memegang peranan penting sebagai gate-keeper bagi bakal calon anggota legislatif (bacaleg). Hasil tahapan pencalonan ini akan menjadi pilihan bagi 196,5 juta pemilih untuk memilih wakilnya di perlemen.

Pencalonan anggota DPR dan DPRD diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018. Kedua peraturan ini mengamanatkan bahwa calon anggota legislatif harus dicalonkan oleh partai politik sebagai peserta pemilu. Pencalonan tersebut harus disertai surat rekomendasi bertandatangan basah Ketua Umum (Ketum) dan Sekretaris Jenderal (Sekjen) partai di tingkat Dewan Pengurus Pusat (DPP). Artinya, semua daftar caleg partai di berbagai tingkatan harus mendapat persetujuan dari pimpinan tertinggi partai di level yang paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa partai masih sentralistik termasuk dalam penentuan anggotanya yang akan menduduki kursi jabatan publik. Pengurus daerah memang berhak untuk mengajukan sejumlah nama caleg ke DPP tetapi keputusan akhir berada di tangan DPP, terutama ketum dan sekjen. Bahkan, di banyak partai ketum mempunyai hak veto termasuk terkait susunan caleg partai.

Persoalan lain terkait pencalonan anggota legislatif adalah belum berjalannya mekanisme suara terbanyak ditambah dengan kaderisasi partai. Pemberlakuan mekanisme suara terbanyak ketika partai politik belum melakukan fungsi kaderisasinya dengan baik menimbulkan langkah pragmatis partai. Alih-alih memperbaiki sistem kaderisasi internalnya, partai politik malah memilih mengakomodasi orang di luar partainya. Pihak eksternal yang disasar partai biasanya adalah mereka, baik dari kalangan artis, tokoh masyarakat, tokoh agama, aktivis maupun akademisi, yang memiliki popularitas dan elektabilitas tinggi sebab tujuan partai adalah memenangkan pemilu. Isu lain yang juga santer menjelang proses pencalonan tahun ini adalah adanya isu transfer caleg dari berbagai partai ke satu partai, yaitu partai Nasional Demokrat (Nasdem), yang disertai dengan biaya transfer sebesar lima milyar Rupiah. Meskipun jumlah tersebut dianggap kecil untuk biaya kampanye, kenyataannya banyak caleg yang bersedia berpindah menjadi caleg di partainya Surya Paloh tersebut.

Page 9: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

4

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

Caleg mantan koruptor juga sempat menjadi polemik selama proses pencalegan. Menurut sebagian pihak, terutama mereka yang dirugikan menilai peraturan ini melanggar hak asasi manusia dan bertentangan dengan peraturan hukum di atasnya, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) juga harus berhadapan dengan kewenangan penuh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang belum pernah dimiliki sebelumnya. Bawaslu meloloskan 192 bacaleg dari sembilan provinsi, 92 kabupaten dan 11 kota yang terindikasi korupsi. Padahal tugas Bawaslu seharusnya menegakkan peraturan penyelenggaraan pemilu termasuk PKPU Nomor 20 Tahun 2018 tersebut. Polemik ini menunjukkan bahwa di antara KPU dan Bawaslu sangat terlihat pihak yang sangat memperjuangkan kepentingan rakyat dan pihak yang lebih condong pada partai politik. Persoalannya, hampir semua partai mencantumkan mantan koruptor dalam daftar calegnya kecuali Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang merupakan satu-satunya partai yang tidak mencalonkan mantan napi korupsi dalam daftar calegnya.

B.2. Kaderisasi Tidak Berjalan

Pemberlakuan mekanisme suara terbanyak ketika parpol belum melakukan fungsi kaderisasinya dengan baik menimbulkan langkah pragmatis partai. Alih-alih memperbaiki sistem kaderisasi internalnya, parpol malah memilih mengakomodasi orang di luar partainya. Berita buruk kesediaan parpol membuka diri bagi orang luar untuk menjadi caleg di satu pihak mungkin dapat dipandang sebagai “berita baik”. Artinya, berbagai elemen masyarakat yang selama ini kritis terhadap parpol memiliki kesempatan untuk terjun langsung sebagai legislator. Namun, di pihak lain, pemberian kesempatan bagi publik menjadi calon anggota legislatif tersebut sekaligus juga merupakan berita buruk bagi perkembangan demokrasi bangsa kita atas dasar beberapa argumen. Mengapa demikian?

Pertama, undangan terbuka bagi orang luar nonkader sebagai calon anggota legislatif dapat dipandang sebagai pengakuan tidak langsung kalangan partai politik atas kegagalan mereka dalam memproduksi calon anggota legislatif yang kompeten untuk pemilu mendatang. Kedua, karena proses perekrutan bersifat instan, tidak ada jaminan bahwa calon anggota legislatif nonkader lebih kompeten dan berintegritas dibandingkan calon anggota legislatif dari kalangan internal partai politik. Ketiga, proses politik instan cenderung menghasilkan komitmen dan tanggung jawab yang serba

Page 10: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

5

instan pula sehingga agak sulit membayangkan hal itu berdampak positif bagi peningkatan kualitas kinerja para legislator khususnya dan kualitas lembaga-lembaga perwakilan rakyat pada umumnya.

Namun partai politik memiliki kewajiban untuk melakukan melakukan pendidikan politik maupun menjalankan proses kaderisasi. Memang harus diakui bahwa pemilu langsung dengan mekanisme suara terbanyak seperti saat ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tetapi jika partai bersedia meluangkan waktunya dari sekarang untuk merawat sumber rekrutmennya dan melakukan fungsi kaderisasi, maka partai tidak perlu kedodoran setiap mendekati masa pendaftaran caleg setiap lima tahun sekali. Meskipun sudah empat kali pemilu dilaksanakan sepanjang era reformasi, kenyataannya parpol baru melakukan rekrutmen mendekati masa pendaftaran.

B.3. Caleg Artis

Sistem pemilu proporsional dengan ambang batas parlemen 4% memaksa parpol untuk merekrut caleg yang memiliki tingkat popularitas dan kemampuan finansial tinggi, seperti artis. Parpol melakukan ini bukan semata-mata karena kekurangan kader tetapi lebih untuk memenangkan pemilu sebab tidak semua kader parpol yang tersedia memiliki kemampuan finansial yang cukup. Di ‘era pasar bebas’ seperti saat ini diyakini parpol bahwa kader berkualitas saja tidak cukup untuk memenangkan pemilu, melainkan membutuhkan kader yang siap modal.

Sebagaimana pemilu sebelumnya, parpol juga mengandalkan selebritis sebagai caleg. Partai Nasdem merupakan pengusung cakeg artis terbanyak yakni 27 orang. Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan mencalonkan 13 artis, kemudian ada Partai Kebangkitan Bamgsa (PKB) dengan tujuh caleg artis, Partai Berkarya dengan lima caleg artis. Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional (PAN) dan Golongan Karya (Golkar) masing-masing mencalonkan empat caleg artis, sementra itu Partai Persatuan Indonesia (Perindo) dan Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) masing-masing mencalonkan tiga caleg artis, sedangkan PSI hanya mencalonkan satu caleg artis. Selain sebagai pendulang suara, dengan merekrut artis sebagai caleg parpol juga diuntungkan dengan popularitas yang dimiliki artis tersebut.

Parpol tidak perlu mengeluarkan modal sebab artis biasanya selain populer juga dikenal memiliki modal finansial tinggi. Hampir

Page 11: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

6

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

semua partai mengakui bahwa artis merupakan sumber rekrutmen caleg yang paling komplit. Selebritis dinilai memiliki popularitas, fans dan kemampuan modal finansial. Namun demikian, hampir semua partai juga mengakui bahwa mereka tidak asal mencalonkan artis. Mereka mengaku tetap mempertimbangkan kemampuan pengetahuan artis tersebut terhadap persoalan yang sehari-hari dihadapi masyarakat. Terlepas dari kontroversi artis sebagai caleg maupun anggota legislatif, kehadiran caleg artis dalam proses pencalegan menunjukkan bahwa partai gagal menjalankan fungsi kaderisasi. Akibatnya parpol mengambil langkah pragmatis dengan merekrut artis sebagai caleg untuk memenangkan pemilu atau setidaknya memenuhi PT 4%.

C. Analisis dan Solusi

C.1. Temuan Survei

Hasil Survei Ahli yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) juga mengkonfirmasi rendahnya kinerja DPR. Hal tersebut tergambar dari penilaian 145 ahli dalam periode pelaksanaan survei pada bulan April hingga Juli 2018.

Hasil survei menunjukkan bahwa mayoritas responden ahli dari bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dan pertahanan-keamanan menilai kinerja DPR RI buruk (51,72%), dan hanya 23,45% responden ahli yang memberikan penilaian baik. Demikian pula untuk kinerja DPD RI, mayoritas responden ahli memberikan penilaian buruk (52,79%) dan hanya 28,28% responden ahli yang menilai kinerja DPD RI baik.

Ada beberapa faktor yang disinyalir menyebabkan sistem penyelenggaraan pemilu legislatif di Indonesia masih lemah. Pertama, dari sisi peserta pemilu, yaitu partai politik, sistem kaderisasi yang dijalankan dinilai masih buruk. Praktik politikus loncat partai merupakan fenomena yang mengindikasikan lemahnya kaderisasi ini, sehingga loyalitas politikus tersebut rendah terhadap nilai, norma, dan ideologi partai yang diyakini dapat membangun Indonesia lebih baik ke depan. Hal ini sejalan dengan temuan Survei Ahli LIPI sebagai berikut.

Page 12: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

7

Sumber: Survei Ahli Pusat Penelitian Politik LIPI, 2018.

Hasil survei di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden ahli menilai sistem kaderisasi di dalam partai politik masih buruk dengan persentase rata-rata di atas 70%. Sebagai akibat dari sistem kaderisasi yang buruk, rekrutmen dan kandidasi untuk para caleg yang akan maju dalam pemilu legislatif juga buruk, seperti terlihat dalam hasil survey ahli di bawah ini:

Sumber: Survei Ahli Pusat Penelitian Politik LIPI, 2018.

19%

13%

20% 20%

71% 75%

63%

77%

10% 9%

17%

3% 0%

3% 0% 0%

Sistem Kaderisasi Dalam Partai Politik

Sangat Buruk

Buruk

Baik

Tidak Menjawab

19%

9% 12% 13%

64%

72% 68%

77%

17% 13%

20%

10%

0%

6%

0% 0%

Rekrutmen dan Kandidasi Dalam Partai Politik

Sangat Buruk

Buruk

Baik

Tidak Menjawab

Page 13: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

8

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

Proses rekrutmen dan kandidasi yang buruk antara lain terlihat melalui fenomena pencalonan beberapa selebritis untuk menjadi caleg dari beberapa partai peserta pemilu dengan mengorbankan kader-kader partai yang sudah lama mengabdi di dalam partai dan mengetahui fungsi legislasi di Indonesia. Dengan adanya fenomena efek “ekor jas” (coattail effect), masyarakat yang terlalu fokus pada calon presiden dan wakil presiden harus mengamankan perolehan suara di daerah-daerah pemilihan melalui pencalonan tokoh-tokoh populer (selebritis) sebagai vote getter.

Selain faktor yang ada dalam internal partai politik sebagai peserta pemilu, faktor yang lain yang menyebabkan kualitas pemilu legislatif di Indonesia masih rendah adalah praktik politik uang yang masih marak terjadi. Pada Pemilu Legislatif 2014 misalnya, Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat praktik politik uang sebanyak 313 kasus, melonjak 100% dari pemilu legislatif 2009. Praktik politik uang ini terjadi pada masa kampanye terbuka, masa tenang, dan hari pencoblosan melalui pemberian barang, jasa, uang, dan penggunaan sumber daya negara. Hal ini terjadi karena penerapan sistem proporsional terbuka, sehingga para caleg saling bersaing ketat untuk mendapatkan suara, bahkan dengan segala cara baik yang legal maupun yang melanggar hukum.

D. Rekomendasi Kebijakan

1. Pada awalnya, penerapan sistem proporsional terbuka (opened-list PR) dengan mekanisme suara terbanyak sejak Pemilu 2009 bertujuan untuk memutus oligarki partai. Berdasarkan pengalaman Pemilu 1999 dan 2004 yang menerapkan sistem proporsional tertutup (closed-list PR), pimpinan partai berkuasa dalam menyusun daftar caleg. Sebagian daftar caleg partai didominasi oleh kandidat yang memiliki kedekatan personal dengan pimpinan partai maupun yang berkontribusi secara finansial kepada petinggi partai tersebut. Akibatnya, caleg terpilih ini kemudian lebih mengutamakan kepentingan elit partainya daripada aspirasi konstituennya. Kondisi ini semakin diperkuat dengan adanya mekanisme recall yang dimiliki partai untuk mengganti anggota DPR dari partainya, termasuk, jika anggota tersebut dianggap tidak menjalankan keputusan partainya.

2. Sistem pemilu PR-tertutup diganti menjadi PR-terbuka dilengkapi dengan mekanisme suara terbanyak dengan harapan untuk menghasilkan wakil rakyat yang lebih representatif dan

Page 14: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

9

akuntabel. Persoalannya, sistem PR-terbuka dengan mekanisme suara terbanyak tidak diiringi dengan perbaikan pelembagaan partai, terutama proses kaderisasi. Kaderisasi partai yang belum maksimal membuat partai kelabakan menghadapi sistem pemilu PR-terbuka dengan mekanisme suara terbanyak tersebut. Idealnya, dalam sistem seperti ini partai politik menempatkan kader terbaiknya yang mengakar di setiap dapil untuk memenangkan suara terbanyak. Alih-alih memperbaiki kaderisasinya, partai malah mencomot calon di luar kader partainya.

3. Sistem pemilu campuran dapat dijadikan pilihan untuk tetap mempertahankan kebaikan sistem distrik dan sistem proporsional. Apapun modifikasinya, sistem campuran nampaknya mampu memberikan rasa keadilan bagi kelompok minoritas sekaligus menciptakan efektivitas perwakilan. Sistem ini, setidaknya, memberikan beberapa kebaikan, antara lain, memberikan rasa keadilan diantara partai politik. Dengan sistem ini parpol kecil pun memiliki kesempatan yang sama untuk mendudukkan wakilnya di parlemen, melalui formula proporsional, jika parpol tersebut memang tidak mampu memenangkan wakilnya di distrik. Terlebih, pada sistem Mixed Member Majoritarian (MMP), ada kompensasi kursi yang diberikan untuk memperkecil disproporsionalitas yang diciptakan formula distrik. Dengan alasan yang hampir sama, selain parpol kecil, kelompok minoritas dan kelompok kepentingan khusus juga memiliki kesempatan untuk mendudukkan wakilnya di parlemen. Lebih jauh, karena suara partai kecil dan kelompok minoritas diperhitungkan, sistem ini cenderung mendorong partisipasi masyarakat.

4. Selain perubahan sistem pemilu, skema penyelenggaraan pemilu yang mengarah pada pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilu presiden secara simultan (concurrent election) juga penting dilakukan. Pemilu serentak merupakan salah satu upaya penguatan sistem presidensial. Asumsinya pemilu legislatif yang dilaksanakan bersamaan waktunya dengan pilpres diharapkan akan melahirkan efek “ekor jas” (coattail effect). Efek ekor jas menjadi salah satu fitur penting dalam skema pemilu serentak dimana calon presiden dan wakil presiden terpilih diharapkan diikuti oleh kemenangan partai politik pengusung capres dan cawapres tersebut di pemilu legislatif. Jika efek ekor jas bekerja dengan baik, presiden akan memperoleh dukungan mayoritas di lembaga legislatif secara institusional. Dengan dukungan

Page 15: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

10

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

mayoritas parlemen, presiden dapat bekerja secara efektif tanpa adanya gangguan dari parpol-parpol di parlemen.

Skema pemilu serentak yang dimaksud berbeda dari skema pemilu borongan lima kotak yang dilaksanakan secara serempak antara pemilu presiden dan wakil presiden dengan pemilu DPR, DPD dan DPRD saat ini. Skema pemilu yang dimaksud adalah pelaksanaan secara terpisah antara pemilu nasional dan lokal ataupun pemilu legislatif dan eksekutif. Pemilu serentak nasional-lokal adalah pemilu nasional untuk memilih presiden dan wapres, DPR dan DPD dilaksanakan secara serentak tapi terpisah dengan pemilu lokal/daerah untuk memilih anggota DPRD dan kepala-kepala daerah tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dengan jeda waktu 2,5 tahun didahului pemilu nasional.

5. Perubahan paling mendasar yang perlu dilakukan adalah reformasi internal parpol. Partai sebagai salah satu pilar penting demokrasi harus menjadi institusi yang benar-benar bisa mewadahi melembaganya demokrasi substansial yang terkonsolidasi. Perilaku parpol dalam kerangka suatu sistem kepartaian akan mempengaruhi kinerja demokrasi. Bagaimanapun, sistem demokrasi hanya bisa bekerja apabila parpol juga bekerja dalam kerangka suatu sistem kepartaian yang mendukung dan memungkinkan demokrasi bekerja. Bagaimanapun, hanya partai-partai yang kuat dan terinstitusionalisasi yang menjanjikan terbangunnya demokrasi yang lebih baik. v

Page 16: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tif

11

DAFTAR PUSTAKA

Amalia, Luky Sandra. 2013. “Belajar dari Kebaikan dan Keburukan Berbagai Sistem Pemilu: Menuju Sistem Pemilu Campuran”, dalam Laporan Penelitian Fisibilitas Sistem Pemilu Campuran dalam Kerangka Demokrasi Presidensial di Indonesia. Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI).

Berita Satu. “Formappi: DPR 2014/2019 Miliki Kinerja Terburuk”, dalam http://www.beritasatu.com/nasional/477454-formappi-dpr-20142019-miliki-kinerja-terburuk.html. 8 Februari 2018.

Detiknews. “Gerindra Terbanyak Bakal Caleg Mantan Napi Korupsi, PSI Nihil”, dalam m.detik.com. 27 Juli 2018.

Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion/FGD) dengan sejumlah pengurus DPP parpol di Jakarta, 13 Agustus 2018.

Haris, Syamsuddin. 2016. “Evaluasi Proses dan Analisis Hasil Pemilu Legislatif 2014”, dalam Luky Sandra Amalia (Ed.). Evaluasi Pemilu Legislatif 2014: Analisis Proses dan Hasil. Jakarta: Balai Pustaka.

_______. “Berburu Calon Anggota Legislatif ”, dalam Kompas. 28 Januari 2013.Kompas.com. “Zulkifli Sebut “Nilai Transfer” Lucky Hakim ke Nasdem Rp

5 Miliar”, dalam nasional.kompas.com. 18 Juli 2018.Purbolaksono, Arfianto. 2014. “EvaluasiPenyelenggaraanPemiluLegislatif

2014”, diakses pada 11 November 2018 dari https://www.theindonesianinstitute.com/evaluasi-penyelenggaraan-pemilu-legislatif-2014/.

RMOL. “Formappi: Kinerja DPR Rendah”, dalam http://politik.rmol.co/read/2018/05/22/340984/Formappi:-Kinerja-DPR-Rendah-. 22 Mei 2018

Samuels, David. 2000. “Concurrent Elections, Discordant Results: Presidentialism, Federalism, and Governance in Brazil:, dalam Comparative Politics Vol.33 (1).

Shugart, Matthew Soberg and Martin P. Wattenberg (Ed.). 2001. Mixed-Member System Electoral Systems The Best of Both Worlds?, Oxford: Oxford University Press

Page 17: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

12

Polic

y Pa

per

- Pe

nye

len

gg

araa

n d

an S

iste

m P

emilu

Leg

isla

tifTempo.co. “Bawaslu Temukan 192 Bakal Caleg DPRD Bekas Napi Korupsi”,

dalam pemilu.tempo.co. 26 Juli 2018.Tirto. “Fungsi Pengawasan DPR Dinilai Tak Efektif ”, dalam https://tirto.

id/fungsi-pengawasan-dpr-dinilai-tak-efektif-bAFW. 15 Agustus 2016.Wawancara dengan caleg DPR RI Pemilu 2014 Dapil NTB, di Jakarta, 6 November 2014.Wawancara dengan pengurus DPP parpol di Jakarta, April-Agustus 2018.

Page 18: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Pro

fil S

ing

kat

Ked

epu

tian

IPSK

LIP

I

13

SEJARAH ILMU PENGETAHUAN SOSIAL DAN KEMANUSIAANLEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA (IPSK LIPI)

Berdasarkan Keputusan Presiden RI, No. 1 Tahun 1986, LIPI adalah Lembaga Pemerintah Non Kementerian yang berada

dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 178 Tahun 2000, LIPI ditetapkan sebagai salah satu dari sekian lembaga pemeritah no kementerian. Kemudian berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 43 Tahun 2011, menetapkan organisasi dan tata kerja Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Dalam menetapkan tata kerja LIPI, telah mempunyai landasan karena dapat merujuk Undang-Undang No. 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengtahuan dan Teknologi. Kemudian mengalami reorganisasi LIPI pada tahun 1997 dan berakhir tahun 2001, menetapkan organisasi dan tata kerja lembaga.

Penetapan organisasi dan tata kerja yang dimaksud, tertuang pada Surat Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1151/M/2001, tentang susunan organisasi sebagai berikut:

1. Kepala LIPI2. Wakil Kepala LIPI3. Sekretariat Utama4. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian5. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati6. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik7. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan8. Inspektorat9. Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi

Berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1151/M/2001 pada pasal 237 telah ditetapkan susuanan organisasi Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang teridir dari:

Page 19: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

14

Pro

fil S

ing

kat

Ked

epu

tian

IPSK

LIP

I

1. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB-LIPI)2. Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI)3. Pusat Penelitian Kependudukan (PPK-LIPI)4. Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI)5. Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (PSDR-LIPI)

Ditetapkan kembali organisasi dan tata kerja berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1 Tahun 2014, Pasal 5 tentang susunan organisasi sebagai berikut:

1. Kepala2. Wakil Kepala 3. Sekretariat Utama4. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian5. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati6. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Teknik7. Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan8. Deputi Bidang Jasa Ilmiah9. Inspektorat10. Pusat Penelitian Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi11. Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Peneliti

Berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), No. 1 Tahun 2014 pada pasal 275 telah ditetapkan susuanan organisasi Kedeputian Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan yang teridir dari:

1. Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (P2KK-LIPI)

2. Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI)3. Pusat Penelitian Kependudukan (P2K-LIPI)4. Pusat Penelitian Politik (P2P-LIPI)5. Pusat Penelitian Sumber Daya Regional (P2SDR-LIPI)

Dalam tugasnya IPSK-LIPI adalah melaksanakan perumusan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusian.

Page 20: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

Pro

fil S

ing

kat

Ked

epu

tian

IPSK

LIP

I

15

Deputi Bidang IPSK-LIPI, Periode 1965-Sekarang

1. Prof. Dr. K.P.H. Koentjaraningrat (1965-1978)2. Prof. Drs. Harsoyo (1978-1980)3. Dr. Mochtar Buchori (1980-1990)4. Dr. E.K.M. Masinambow (1990-1996)5. Drs. Arjuno Brojonegoro,MSc.(1996-2001)6. Prof. Dr.Dewi Fortuna Anwar, MA (1997-2010)7. Prof. Dr Ir. Aswatini (2010-2015)8. Dr. Tri Nuke Pudjiastuti, M.A. (2016-Sekarang)

VISI DAN MISI

Visi Kedeputian Bidang IPSK merujuk kepada visi nasional dan juga visi LIPI. Visi pembangunan nasional sesuai dengan UU RI Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 ialah menuju Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur. RPJPN ini dibagi menjadi 4 tahap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yaitu RPJMN I (2005-2009), RPJMN II (2010-2014), RPJMN III (2015-2019), RPJMN IV (2020-2024). Sementara itu, visi nasional dalam RPJMN III (2015-2019) berbunyi:

“memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.”

Dalam upaya mencapai visi jangka panjang tersebut, dan sejalan dengan Visi Pembangunan 2015-2019, LIPI menetapkan Visi tahun 2015-2019, sebagai berikut:

Menjadi lembaga ilmu pengetahuan berkelas dunia dalam pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan keunggulan kompetitif perekonomian melalui pengelolaan SDA berkelanjutan dan mencerdaskan masyarakat.

Visi tersebut kemudian diadopsi ke dalam visi Kedeputian Bidang IPSK-LIPI sebagai berikut:

Page 21: PENYELENGGARAAN SISTEM - LIPI

16

Pro

fil S

ing

kat

Ked

epu

tian

IPSK

LIP

I

Menjadi lembaga penelitian berkelas dunia dalam bidang ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan untuk meningkatkan kualitas hidup bangsa dan masyarakat global.

Untuk mencapai visi besar tersebut di atas, Kedeputian IPSK - LIPI menyusun tiga visi utama yaitu:

• Menghasilkantemuan-temuanpenelitianyangmenjadirujukanpengembangan ilmu sosial dan kemanusiaan.

• Menghasilkanpemikirandalambidangsosialdankemanusiaanyang berkontribusi dalam proses perumusan kebijakan dan pemberdayaan masyarakat.

• MemperkuatperanIPSKsebagairujukandanjembatanaktivitasilmiah dalam bidang sosial dan kemanusiaan pada level nasional dan internasional.

TUPOKSI

Tugas pokok Kedeputian IPSK – LIPI adalah melaksanakan perumusan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan. Selanjutnya, fungsi Kedeputian IPSK – LIPI adalah sebagai berikut:

1. Perumusan kebijakan, pelaksanaan, pemberian bimbingan dan pembinaan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan.

2. Pengendalian terhadap pelaksanaan kebijakan di bidang penelitian ilmu pengetahuan sosial dan kemanusiaan.

3. Pelaksanaan tugas-tugas yang berkaitan dengan penelitian sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Berdasarkan fungsi kedeputian bidang IPSK di atas maka setiap satuan kerja di lingkungan kedeputian bidang IPSK-LIPI mempunyai fungsi di bidangnya, sebagai berikut:

1. Mempersiapkan bahan perumusan kebijakan teknis penelitian.2. Pelayanan jasa Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.3. Tata Usaha.