PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER
Transcript of PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER
PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER
DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA
(STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN NOMOR
14/KPPU-L/2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Disusun oleh:
AMMAR ICHSAN
NIM: 11160480000077
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER
DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA
(STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN NOMOR
14/KPPU-L/2015)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Disusun oleh:
AMMAR ICHSAN
NIM: 11160480000077
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
i
PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER
DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA
(STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-L/2004 DAN NO. 14/KPPU-
L/2015)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh
AMMAR ICHSAN
NIM: 11160480000077
Di Bawah Bimbingan
Dosen Pembimbing I
Dr. Nurhasanah, M.Ag.
NIP: 19740817 20022 013
Dosen Pembimbing 2
Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H
NIDN: 2021088601
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442 H / 2021 M
ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN
SKRIPSI
Skripsi yang berjudul “PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH
MARKET LEADER DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA
(STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-L/2004 DAN NO. 14/KPPU-
L/2015)” telah diujikan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 April 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata satu (S-1) pada Program
Studi Ilmu Hukum.
Jakarta, 11 Mei
2021
Mengesahkan
Dekan,
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H.,
M.A. NIP. 19760807 200312 1 001
PANITIA UJIAN MUNAQASYAH
1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.
NIP. 19670203 201411 1 001
2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. NIP. 19650908 1995 1 001
3. Pembimbing I : Dr. Nurhasanah, M.Ag.
NIP. 19740817 200212 2 013
4. Pembimbing II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
NIDN. 2021088601
5. Penguji I : Dr. Ria Safitri,S.H., M.Hum.
NIP. 197112 200604 2 005
6. Penguji II : Faris Satria Alam, M.H.
NIDN. 0325038802 (……………..)
(……………..)
(……………..)
(……………..)
(……………..)
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:
Nama : Ammar Ichsan
NIM 11160480000077
Program Studi : Imu Hukum
Alamat : Bukit Pamulang Indah V blok b4 No.1 Pamulang,
Tangerang Selatan
Kontak : 0812-8420-9149
Email : [email protected]
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di Universitas islam negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 April 2021
Ammar Ichsan
iii
ABSTRAK
AMMAR ICHSAN, 11160480000077, “PENYALAHGUNAAN POSISI
DOMINAN OLEH MARKET LEADER DALAM KONTEKS HUKUM
PERSAINGAN USAHA (STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-
L/2004 DAN NO. 14/KPPU-L/2015)”. Konsentrasi Hukum Bsinis, Program
Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2021 M
Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai perbedaan
penafsiran hukum yang tedapat dalam putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004
dengan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015 terkait penyalahgunaan posisi
dominan. Dalam kedua putusan tersebut terdapat persamaan terkait dengan
penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukkan market leader, Sehingga setiap
unsurnya tidak ada yang membedaan. Namun, di dalam putusan KPPU terdapat
perbedaan penafsiran hukum antara putusan satu dengan yang lainnya. Sehingga
menimbulkan pertanyaan apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan
penafsiran hukum oleh Majelis Komisi dan dampak apakah yang akan timbul
dalam hukum persaingan usaha.
Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Yuridis
normatif pada penelitian ini memiliki dua sumber hukum, yakni sumber hukum
primer dan sekunder. Sumber hukum primer pada penelitian ini mencangkup
kepada putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004 dengan Putusan KPPU Nomor
14/KPPU-L/2015. Adapun sumber hukum sekunder merujuk kepada buku-buku
yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha, hukum bisnis, skripsi atau jurnal.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perbedaan penafsiran hukum
yang dilakukan oleh Majelis Komisi dalam putusan KPPU Nomor 06/KPPU-
L/2004 dengan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015 adalah terdapat
pergeseran dalam pengkategorian konsumen dan pelanggan dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1999. Pergeseran tersebut dapat terjadi karena beberapa
faktor seperti masuknya ilmu atau pengetahuan baru, masukya ahli baru, semakin
meningkatnya kualitas sdm dibidang hukum persaingan usaha serta terjadinya
perubahan kondisi dalam masyarakat. Kemudian akan menimbulkan dampak
dalam iklim persaingan usaha seperti ketidakpastian hukum, timbul atau
munculnya hukum baru dan akan menimbulkan hak atau kewajiban baru bagi
setiap subjek yang terlibat dalam hukum persiangan usaha.
Kata Kunci: Posisi Dominan, Market Leader, Hukum Persaingan Usaha
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Nurhasanah, M.Ag.
2. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1970 sampai Tahun 2020
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya,
penyusunan skripsi yang berjudul PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN
OLEH MARKET LEADER DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN
USAHA (STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-L/2004 DAN NO.
14/KPPU-L/2015), dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa
kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini. Hal ini tidak dapat
dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh
rasa hormat peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi
Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Nurhasanah, M.Ag.dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Pembimbing
Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya
untuk peneliti. Beserta Dosen Penasehat Akademik.
4. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai
untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan peneliti dalam penulisan
skripsi ini.
5. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan,
baik materil maupun imateriil berupa motivasi, do’a, bahkan kepercayaan
v
untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana
ini.
6. Kepada pihak yang terkait yang peneliti tidak dapat sebutkan Namanya
satu persatu. Tidak ada yang dapat peniliti berikan, dukungan dan
semangat kalian yang membuat peniliti dapat menyelesaikan skripsi ini
selain ucapan terima kasih.
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun bagi
parapembaca khususnya di bidang hukum bisnis.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 10 April 2021
Ammar Ichsan
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN............................................................................... iii
ABSTRAK ......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR ........................................................................................ v
DAFTAR ISI .................................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 8
D. Metode Penelitian ................................................................. 10
E. Sistematika Pembahasan ....................................................... 13
BAB II PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN DALAM
KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA ........................ 15
A. Kategori Penyalahgunaan Posisi Dominan dan Pengguasaan
Pasar dalam Hukum Persaingan usaha ................................... 15
1. Pengertian Pasar .............................................................. 15
2. Posisi Dominan ................................................................ 17
3. Unsur-unsur Penguasaan Pasar ........................................ 21
B. Pengaawasan KPPU dan Penyalahgunaan Posisi Dominan .... 25
1. Teori Kepastian Hukum .................................................... 25
2. Rule of Reasons ................................................................ 29
C. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu ...................................... 32
vii
BAB III PENGAWASAN PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN
OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA
(KPPU)....................................................................................... 35
A. Profil Komisi Pengawas Persaingan Usaha ............................ 35
B. Peran KPPU Dalam Pengawasan Penyalahgunaan Posisi
Dominan ............................................................................... 37
BAB IV KOMPARASI KASUS PENYALAHGUNAAN POSISI
DOMINAN OLEH MARKET LEADER DALAM PUTUSAN
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERKARA
NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN NOMOR 14/KPPU-L/2015 43
A. Review Kasus Penyalahgunaan Posisi Dominan Putusan KPPU
Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015 .......... 43
B. Pertimbangan Hukum Majelis Komisi dalam kasus market
leader putusan KPPU perkaara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan
Nomor 14/KPPU-L/2015. ...................................................... 47
C. Dampak hukum dalam Putusan KPPU perkara Nomor
06/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015 .................... 67
BAB V PENUTUP ................................................................................... 70
A. Kesimpulan ........................................................................... 70
B. Rekomendasi ......................................................................... 71
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 72
viii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memuat tiga kategori
tindakan-tindakan yang dilarang demi menjaga terjadinya kelangsungan
persaingan yang sehat, yaitu perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang,
dan posisi dominan. Kategori perjanjian yang dilarang terdiri atas10 (sepuluh)
jenis perjanjian yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, yakni Oligopoli,
Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust,
Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, serta Perjanjian dengan
Pihak Luar Negeri.1 Untuk kegiatan yang dilarang sendiri dapat dibagi menjadi
beberapa kegiatan seperti monopoli, monopsoni, penguasaan pasar (predatory
pricing, price war and price competition, penetapan biaya produksi dengan
curang), dan persekongkolan (conspiracy)2. Bentuk-bentuk penyalahgunaan
posisi dominan atau hambatan-hambatan persaingan usaha yang dapat
dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan ditetapkan di
dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
ialah mencegah atau mengahalangi konsumen, membatasi pasar dan
perkembangan teknologi, menghambat persaingan potensial, praktek
diskriminasi dan jual rugi.3 Diantaranya ialah penyalahgunaan posisi dominan
yang dilakuakan oleh pelaku usaha.
Contohnya dalam perkara No.7/KPPU-I/2010. Pelanggaran ini
dilakukan oleh PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer
1Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan usaha, (Jakarta: Kencana Prenada Media,
2008), h. 25 2Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,
2013), h. 67. 3Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, 2017). h.246.
1
2
Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama. Kasus ini berawal dari
Kelompok Usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 yaitu menyalahgunakan posisi
dominannya untuk mempengaruhi dokter dan/atau apotek agar hanya
meresepkan obat dengan merek Norvask. Dimana pangsa pasar Norvask
sepanjang periode 2000-2007 mencapai di atas 50%. Kondisi tersebut
memenuhi kriteria posisi dominan sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2).
Pfizer Indonesia mencanangkan program HCCP pada tahun 2005 yang
melibatkan rekanan dokter dan apotik.
HCCP merupakan Program Kesehatan dan Kepatuhan Pasien (disebut
HCCP) yang dilaksanakan dengan kerjasama antara PT. Pfizer Indonesia
dengan tenaga profesi kesehatan terutamanya yaitu dokter dan klinik/apotek.
Lewat program HCCP para dokter dipengaruhi preferensinya dalam meresepan
obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipini kepada para pasiennya. Dalam
menjalankan program tersebut, kelompok usaha Pfizer juga menjalin kerja
sama dengan PT. Dexa Medica dengan cara melakukan perjanjian penetapan
harga dan kartel.
Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan bahwa terdapat interaksi
antar dokter dengan perusahaan farmasi yang diduga berakibat kepada
keputusan dokter dalam peresepan obat. Berdasarkan dokumen, diperoleh data
rekanan dokter dan apotik yang masuk dalam program HCCP Pfizer Indonesia.
Tim pemeriksa menilai bahwa program HCCP yang menjalin kemitraan
dengan para dokter akan mempengaruhi preferensi para dokter untuk
meresepkan obat kepada pasien nya, terutama untuk produk-produk Pfizer,
termasuk Norvask. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT
Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan
PT Pfizer Corporation Panama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar
Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang - Undang Nomor
5 Tahun 1999.kasus
Penguasaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha sejatinya
tidak dilarang sepanjang pelaku usaha dalam mencapai posisi dominannya atau
3
menjadi pelaku usaha yang lebih unggul pada pasar yang bersangkutan atas
kemampuannya sendiri dengan cara yang fair (adil).4 Jika pelaku usaha
menggunakan cara yang benar untuk mencapai posisi dominan, hal tersebut
dapat memicu kepada pelaku usaha lain untuk dapat bersaing di pasar
bersangkutan dengan cara yang benar juga. Sebaliknya, perusahaan yang tidak
efisien dan tidak kompetitif serta tidak responsif terhadap kebutuhan konsumen
akan dipaksa keluar dari persaingan.5
Namun, untuk mencapai posisi dominan di suatu pasar bukanlah
perkara yang mudah bagi setiap pelaku usaha, misalkan si pelaku usaha harus
meningkatkan kemampuan keuangannya, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan
barang atau jasa tertentu terlebih dahulu, barulah kemudian si pelaku usaha
bisa mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar, sehingga tidak semua
pelaku usaha dapat menempati posisi dominan. Hanya pelaku usaha yang
sudah mengembangkan usaha dengan sangat baik saja yang dapat
menempatinya.
Untuk mencapai posisi dominan dalam pasar tidak jarang pelaku usaha
menggunakan cara yang tidak dibenarkan sehingga munculah tindakan dari
persaingan usaha yang dilarang. Salah satu ciri-ciri pelaku usaha yang
mempunyai posisi dominan adalah jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan
persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri/
individu tanpa memperhitungkan pesaing-pesaingnya. Kedudukan seperti ini
karena kepemilikan pangsa pasarnya, atau karena kepemilikan pangsa pasar
ditambah dengan kemampuan pengetahuan tehnologinya, bahan baku atau
modal, sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan untuk
menentukan harga atau mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian
4Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks, Jakarta,
Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2017, h. 165. 5Thee Kian Wie,Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru,
(Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), h.173.
4
penting dari produk-produk yang diminta.6 Dengan demikian akibat tindakan
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut pasar menjadi
terdistorsi. Pelaku usaha tersebut secara independen tanpa mempertimbangkan
keadaan pesaingnya dapat mempengaruhi pasar akibat penyalahgunaan posisi
dominannya.
Seperti hal nya pelaku usaha yang melakukan penguasaan pasar dengan
jalan menghalangi konsumen untuk membeli produk dari pesaingnya. Seperti
yang tertera dalam pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1999: “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:
a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan
kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;
b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;”
Kegiatan tersebut digolongkan ke dalam suatu tindakan yang dilarang.
Kegiatan tersebut dilakukan guna dapat mempertahankan posisi dominan atau
meraih posisi dominan dalam pasar. Jelas kegiatan menghalangi konsumen
untuk membeli produk dari pesaingnya merupakan kegiatan yang dilarang oleh
undang-undang persaingan usaha, baik untuk meraih posisi dominan atau pun
untuk mempertahankannya. Kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang
persaingan usaha dilihat berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan
tersebut, dengan menggunakan pendekatan Rule of Reasons.
Kegiatan penyalahgunaan posisi dominan tersebut seperti yang terjadi
dalam putusan KPPU dengan perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor
14/KPPU-L/2015. Dalam kedua putusan tersebut dijelaskan bahwa pelaku
usaha sebagai Market leader atau pemilik posisi dominan yang bergerak
dibidang penyediaan produk untuk dikonsumsi oleh konsumen atau pelanggan
menyalahgunakan posisi dominan dengan penguasaan pasar guna menghalangi
6Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, 2017).h.234.
5
konsumen atau pelanggan untuk membeli produk dari pesaingnya. Pada kasus
pertama ialah pada tahun 2004 PT. Arta Boga Cemerleng yang menjual batu
baterai ABC sedang melakukan Program Geser Kompetitor (yang kemudian
disebut PGK). Namun, ternyata PGK yang dilakuakan oleh PT. Arta Boga
Cemerlang merupakan pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha, karena
dinilai melakukan penguasaan pasar dengan penyalahgunaan posisi dominan
yang dimilikinya. Pada tahun 2014 PT. Forisa Nusapersada yang merupakan
atau penyuplai minuman bermerk Pop Ice mengeluarkan Program Pop Ice The
Ice Blender. Program tersebut dikeluarkan untuk mempertahankan Pop Ice
sebagai Market Leader dari pasar yang bersangkutan. Namun, cara yang
dilakukan ternyata melanggar ketentuan terkait dengan penyalahgunaan posisi
dominan dan penguasaan pasar. Kegiatan yang dilakukan oleh terlapor dalam
kedua perkara tersebut akan menimbulkan terjadinya monopoli dengan cara
yang tidak sehat.
Sejatinya karena dalam dua perkara tersebut memiliki kesamaan antara
satu dengan yang lainnya, yaitu terkait penyalahgunaan posisi dominan dan
penguasaan pasar. Seharusnya penerapan unsur-unsur dalam pasal yang
dilakukan oleh Majelis Komisi tidaklah berbeda. Tetapi kenyataannya dalam
penerapan unsur pasal-pasal terdapat perbedaan antara putusan satu dengan
putusan yang lainnya. Pada putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004, Majelis
Komisi menyatakan bahwa Pasal 19 huruf b tidak terpenuhi. Hal tersebut
dikarenakan setiap toko yang mengikuti PGK tidak dikategorikan ke dalam
konsumen dan pelangggan dari baterai Panasonic yang merupakan kompetitor
dari baterai ABC. Sedangkan dalam putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015,
Majelis Komisi menyatakan bahwa setiap toko yang mengikuti program Pop
Ice The Real Ice Blender dinyatakan termaksud dan tergolong kedalam
konsumen dan pelanggan dari pesaing Pop Ice. Sehingga pada putusan tahun
2015 Majelis Komisi menyatakan terpenuhinya Pasal 19 huruf b.
Dapat terlihat dengan jelas bahwa terdapat pergeseran penerapan unsur
dalam Pasal yang dilakukan oleh Majelis Komisi. Namun, faktor-faktor apa
saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran penerapan pasal oleh Majelis
6
Komisi. Perbedaan penerapan unsur yang dilakukann oleh Majelis Komisi
tersebut yang kemudian menimbulkan pertanyaan. Karena dengan kurun waktu
yang cukup lama, tentu banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan
penerapan unsur yang dilakukan oleh Majelis Komisi.
Dengan adanya perbedaan hasil akhir pada putusan, akan berdampak
cukup luas. Seperti ketidakpastian hukum yang akan timbul dari perbedaan
penafsiran terhadap pasal yang nantinya akan menimbulkan perbedaan jika
berkaca dari dari putusan tersebut. Hal tersebut akan menimbulkan
kekhawatiran bilamana terdapat kasus yang serupa kedepannya dapat menjadi
hambatan KPPU dalam menentukan putusan. Menurunnya tingkat kepercayaan
pengusaha terhadap kinerja dari KPPU merupakan dampak lain yang dapat
terjadi. Pergeseran penerapan unsur tersebut juga akan menimbulkan
pertanyaan, apakah perlu adanya pembuatan hukum baru terkait dengan
Hukum Persaingan Usaha. Baik dari segi peraturan terkait atau pun dari segi
peraturan yang berkaitan langsung dengan Hukum Persaingan Usaha.
Peneliti melihat perlunya ada kajian lebih mendalam terhadap
perbedaan penerapan unsur dalam pasal undang-undang persaingan usaha
terkait dengan penyalahgunaan posisi dominan dalam penguasaan pasar yang
akan berdampak kepada tindakan monopoli. Membandingkan Unsur-unsur apa
saja yang sebenarnya terdapat dalam pasal 19 dan pasal 25 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
Usaha Tidak Sehat dalam PUTUSAN KPPU NOMOR 6/KPPU-L/2004 dan
NOMOR 14/KPPU-L/2015 yang merupakan pasal terkait dengan kegiatan
penguasaan pasar dan posisi dominan pelaku usaha serta bagaimana
penerapannya. Serta menbandingkan teori apa yang tepat untuk dapat
digunakan oleh Majelis Komisi dalam memberikan putusannya dalam perkara
NOMOR 6/KPPU-L/2004 dan NOMOR 14/KPPU-L/2015
Sebagaimana uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan
membahas penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul:
“PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER
7
DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI KASUS
PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-L/2004 DAN NO. 14/KPPU-L/2015)”
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan di atas,
maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Perbedaan penafsiran Majelis Komisi dalam Putusan KPPU perkara
Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015.
b. Dampak yang timbul dari adanya perbedaan hasil akhir dalam Putusan
KPPU perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015.
c. Membandingkan perbedaan penerapan unsur dalam Putusan KPPU
perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015.
d. Menjabarkan penerapan unsur dan teori dalam Putusan KPPU perkara
Nomor 6/KPPU-L/2004.
e. Menjabarkan penerapan unsur dan teori dalam Putusan KPPU perkara
Nomor 14/KPPU-L/2015.
f. Dampak dari perbedaan putusan Komisi Pengawasaan Persaingan Usaha
terhadap Pasal-Pasal yang sama pada kasus yang berbeda.
2. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan yang ingin dikemukakan dan dikaji oleh peneliti
tidak terlalu melebar, maka pembahasan pada skripsi ini dibatasi dengan
beberapa pembatasan sebagai berikut, yaknit erkait putusan KPPU terhadap
perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015 dan melihat
luasnya dampak dari kedua putusan tersebut, maka peneliti melihat perlunya
untuk membandingkan isi dari kedua putusan tersebut. Serta dampak yang
akan timbul dari hasil akhir kedua putusan terebut.
3. Perumusan Masalah
8
Masalah utama dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan dalam
putusan KPPU dengan perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor
14/KPPU-L/2015, dimana dalam perkara tersebut sebenarnya terjadi suatu
kesamaan yaitu penyalahgunaan posisi dominan dalam penguasaan pasar
yang berdampak kepada praktek persaingan usaha tidak sehat. Karena hal
tersebut akan berdampak kepada putusan-putusan lainnya di masa yang
akan datang. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi
para pelaku usaha yang mencari keadilan.Serta dapat menurunkan tingkat
kepercayaan pelaku usaha atas kinerja KPPU.
Berdasar dari identifikasi masalah yang telah peneliti jelaskan di
atas, maka pada penelitian skripsi ini perumusan masalah yang diangkat
oleh peneliti adalah unsur-unsur dalam Pasal 19 dan Pasal 25 Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait dengan penyalahguaan posisi
doominan, berdasarkan Permasalahan tersebut maka peneliti mempertegas
dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut.
a. Mengapa terjadi perbedaan penerapan unsur-unsur Pasal 19 dan Pasal 25
dalam perkara dengan Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-
L/2015?
b. Bagaimana Penerapan Hukum atas praktik penyalahgunaan Posisi
Dominan Dalam Putusan KPPU perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan
Nomor 14/KPPU-L/2015?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasar pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah
dipaparkan dan diuraikan di atas, maka tujuan penelitian yang hendak
dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut.
I. Untuk megetahui perbedaan terkait penerapan unsur-unsur dan teori
yang digunakan oleh Majelis Komisi dalam Pasal 19 dan Pasal 25
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
9
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Putusan KPPU
perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015.
II. Untuk mengetahui dampak pada persoalan hukum jika mengacu
kepada penerapan Penyalahgunaan Posisi dominan dalam Pasal 19
dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat
dalam Putusan KPPU perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor
14/KPPU-L/2015.
2. Manfaat Penelitian
I. Manfaat Teoritis
a. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian ilmiah dan
menuliskan hasil dari penelitian tersebut dalam bentuk tulisan.
b. Menerapkan dan merekontruksi teori-teori yang telah diperoleh dari
bangku perkuliahan untuk dipraktikan di lapangan.
c. Memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya maupun
dalam bidang hukum persaingan usaha secara khususnya dengan
mempelajari literatur hukum yang ada serta perkembangan hukum
yang timbul di tengah-tengah masyarakat.
II. Manfaat Praktis
a. Bagi Peneliti
Dengan melakukan penelitian ini, peneliti dapat mengetahui
tentang penerapan unsur yang tepat dalam dalam Undang-Undang
Persaingan Usaha dan merupakan peluang untuk dapat terjun dalam
dunia hukum khususnya yang terkait dengan persaingan usaha.
b. Bagi Akademis
Dengan penelitian ini, peneliti mengharapkan dapat
memberikan ilmu pengetahuan serta dapat menjadi masukan baik
bagi pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha demi
terbentuknya suatu kepastian dalam penerapan suatau pasal dalam
10
Undang-Undang, yang dibutuhkan maupun bagi akademisi demi
perkembangan ilmu hukum terkhusus mengenai hukum persaingan
usaha. Serta diharapkan dengan adanya penelitian ini akan menjadi
titik terang bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan masyarakat
bila terdapat kasus seperti ini lagi.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini pada dasarnya menggunakan metode penelitian
Kualitatif, yaitu sebuah metode riset yang sifatnya desktiptif, menggunakan
analisis, mengacu pada data, memanfaatkan teori yang sudah ada sebagai
bahan pendukung, serta menghasilkan suatu teori. Tipe penelitian yang
digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah library research (studi
kepustakaan) dengan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis
normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti
bahan pustaka atau data sekunder, sepanjang bahan-bahan tersebut
mengandung kaidah-kaidah hukum. Penelitian ini merupakan jenis
penelitian normatif terhadap asas-asas hukum, yakni penelitian asas-asas
hukum terhadap kaidah-kaidah hukum.7
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini
adalah metode pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan
kasus (case approach), komparasi dan pendekatan konseptual (conceptual
approach).8 Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti
aturan-aturan yang berkaitan dengan putusan KPPU perkara Nomor
06/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015, yakni Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan
7Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 62. 8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), h.
136.
11
Usaha Tidak Sehat. Pendekatan kasus dilakukan dengan melakukan studi
kasus pada putusan KPPU perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor
14/KPPU-L/2015. Pedekatan komparasi digunakan untuk membandingkan
antara penerapan unsur pada putusan KPPU perkara Nomor 06/KPPU-
L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015. Terakhir, pendekatan konsep
digunakan untuk memahami unsur-unsur yang diterapkan oleh Majelis
Komisi dalam penerapannya terhadap putusan.
3. Sumber atau Sumber Data
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan bukum yang bersifat
autoritatif, artinya mempunyai otoritas.9 Bahan hukum primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam
pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam
penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari:
1) Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan Nomor Perkara
6/KPPU-L/2004.
2) Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan Nomor Perkara
14/KPPU-L/2015.
3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer.10 Bahan hukum sekunder merupakan
semua publikasi tentang hukum yang bukan termasuk dokumen resmi,
seperti buku-buku, kamus hukum, jurnal hukum, dan tulisan lainnya yang
berkaitan dengan hukum. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain buku-buku yang berkaitan dengan hukum
9Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan
Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 13. 10Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2004), h.119.
12
persaingan usaha, hukum bisnis, skripsi dan jurnal serta materi hukum
yang berkiatan dan/atau dapat mendukung materi peneliti dalam
penelitian.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier dapat juga disebut sebagai bahan
nonhukum.11 Bahan hukum tersier digunakan sebagai penunjang dari
penelitian karena peneliti menimbang butuhnya meneliti cabang ilmu lain
demi perkembangan penelitian ini untuk menjelaskan informasi lebih
lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder di atas.
Hal tersebut dilakuakan agar tujuan akhir dari penelitian ini dapat dicapai
dengan memuaskan. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam
penelitian ini, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), koran, dan
sumber-sumber informasi lain yang dapat mendukung penelitian ini baik
secara langsung atau online.
4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi kepustakaan (library
research) terhadap bahan-bahan hukum baik primer, sekunder maupun
tersier dan juga bahan non hukum yang berkaitan dengan tema penelitian.
Referensi dari literatur antara lain ialah buku, jurnal artikel skripsi, tesis,
disertasi, peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan di
berbagai pustaka umum dan universitas baik secara langsug maupun online.
5. Teknik Pengolahan Data
Adapun bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh
dalam penelitian studi kepustakaan diuraikan dan dihubungkan sedemikian
rupa. Sehingga disajikan dalam bentuk penelitian yang lebih sistematis
untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Sedangkan untuk
11Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), h.
204.
13
pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif, yakni menarik
kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap
permasahan kongkret.
6. Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan kemudian dikelola
dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu metode yang bersifat
deskriptif. Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk uraikan kalimat
yang logis, lalu diberikan penafsiran dan kesimpulan oleh peneliti. Tujuan
digunakannya metode ini adalah untuk memberikan penjelasan lebih
terperinci, mendalam dan menyeluruh terhadap isu hukum yang diteliti.Agar
dapat mencapai tujuan dari penelitian ini.
7. Teknik Penarikan Kesimpulan
Teknik penarikan kesimpulan pada penelitian ini digunakan dengan
melakukan pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif adalah pola pikir yang
menarik kesimpulan khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum
mengenai topik penelitian.12
E. Sistematika Pembahasan
Skripsi ini dengan mengacu pada buku Pedoman Penelitian Skripsi
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Hidayatullah Jakarta Tahun 2017,
yang terbagi dalam lima bab. Pada setiap bab berisikan beberapa sub bab yang
nantikan akan memperjelaskan ruang lingkupnya tersendiri, guna menjawab
permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dari setiap bab serta ini dari
pembahasan setiap bab adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi Latar
Belakang, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan Sistematika Penelitian yang
semuanya digambaran secara umum berdasarkann kaidah-kaidah yang telah
12Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,
(Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), h. 28.
14
ditentukan berdasarkan Hukum Persaingan usaha. Penerangan secara lebih
rincinya akan disampaikan pada bab 2.
Bab Kedua, Bab ini menyajikan kajian pustaka yang didahului dengan
konsep dasar dari kerangka teori dan kerangka konseptual yang berisi tinjauan
umum tentang hukum persaingan usaha, yakni mengenai unsur, asas serta teori
apa saya yang terdapat dalam hukum persaingan usaha. Pada bab ini juga
dibahas review studi terdahulu yang relevan, yang fokus pembahasannya
mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dari studi yang peneliti akan
lakukan yang teorinya nanti akan digunaakan untuk meneliti objek pada pada
bab selanjutnya.
Bab Ketiga, Bab ini berisikan profil Komisi Pengawas Persaingan
Usaha berserta data penelitian yang berkenaan dengan data yang diteliti yaitu
isi dari Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan No 6/KPPU-
L/2004 dan No 14/KPPU-L/2015. Kemudian putusan itu akan diolah pada bab
selanjutnya.
Bab Keempat, Setelah penjabaran panjang pada bab-bab sebelumnya
terkait dengan teori, asas dan objek apa yang akan diteliti. Bab ini merupakan
analisis terdahap objek permasalahan yang akan membahas dan menjawab
permasalahan pada penelitian ini diantaranya membandingkan penerapan unsur
putusan KPPU dengan perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-
L/2015
Bab Kelima, Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan
yang dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan
masalah yang telah diterapkan dan rekomendasi yang akan lahir setelah
pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi
BAB II
PEYALAHGUNAAN POSISI DIMINAN DALAM KONTEKS
HUKUM PERSAINGAN USAHA
A. Kategori Penyalahgunaan Posisi Dominan dan Pengguasaan Pasar dalam
Hukum Persaingan usaha
1. Pengertian Pasar
Menurut KBBI, pengertian pasar merupakan tempat sekumpulan
orang melakukan transaksi jual-beli. Merupakan sebuah tempat untuk jual
beli yang diadakan oleh sebuah organisasi atau perkumpulan dan
sebagainya dengan maksud untuk dapat mencari derma. Pasar adalah area
tempat jual beli barang dengan jumlah penjualan lebih dari satu baik yang
disebut pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat
perdagangan maupun sebutan lainnya. Pasar tradisional adalah pasar yang
dibangun dan dikelola oleh pemerintah pemerintah daerah, swasta, badan
usaha milik negara dan badan usaha milik daerah termasuk kerjasama
dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang
dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat
atau koperasi dengan usaha sekala kecil modal kecil dan dengan proses
jual beli barang dengan melalui tawar-menawar.
Dalam Undang-Undang Persaingan Usaha menyebutkan bahwa
“Pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi
perdagangan barang dan atau jasa.”
Menurut Gregory Mankiw pasar adalah sekumpulan pembeli dan
penjual dari sebuah barang tertentu dan pasar adalah sesuatu yang
memungkinkan pembeli dan penjual melakukan pertukaran yang saling
menguntungkan. 1
1Gregory Mankiw, Teori Makroekonomi, (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 75.
15
16
Dalam arti yang paling luas, pasar tidaklah harus berarti suatu
tempat, tetapi suatu institusi yang menjadi ajang operasi-operasi kekuatan
yang menentukan harga. Dengan kata lain, dalam pasarlah pemasok dan
permintaan beroperasi.2
Pengertian pasar menurut Sofjan Assauri dalam bukunya yang
berjudul: Manajemen Pemasaran, menyatakan: “Pada mulanya istilah
pasar dikaitkan dengan pengertian tempat pembeli dan penjual bersama-
sama melakukan pertukaran. Pengertian itu berkembang menjadi
pertemuan atau hubungan antara permintaan dan penawaran”.3 Pasar
dalam arti luas adalah suatu bentuk transaksi jual beli yang melibatkan
keberadaan produk barang atau jasa dengan alat tukar berupa uang atau
dengan alat tukar lainnya sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan
disetujui oleh kedua belah pihak.
Jika dibagi dari bentuk kegiatan, maka pasar dapat digolongkan
menjadi dua jenis, yaitu:4
a. Pasar Konkret
Adalah pasar di mana barang-barang yang akan diperjual belikan dan
dapat dibeli oleh pembeli. Contoh: pasar tradisional dan pasar
swalayan.
b. Pasar Abstrak
Adalah pasar di mana para pedagangnya tidak menawar barang-
barang yang akan dijual dan tidak membeli secara langsung tetapi
hanya dengan menggunakan surat dagangannya saja. Contoh pasar
online, pasar saham, pasar modal, dan pasar valuta asing.
Secara sederhana, definisi pasar selalu dibatasi oleh anggapan yang
menyatakan antara pembeli dan penjual harus bertemu secara langsung
2 Roger LeRoy Miller, Teori Ekonomi Mikro Intermediate, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2000), h. 23. 3Sofjan Assauri, Manajemen Pemasaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),h. 98. 4 Warta Warga, Jenis-Jenis Pasar Dibedakan Menurut Bentuk Kegiatan, Cara Transaksi
dan Menurut Jenis Barangnya, (Jakarta: Student Journalism Universitas Gunadarma, 2010).
17
untuk mengadakan interaksi jual beli. Namun, pengertian tersebut tidaklah
sepenuhnya benar karena seiring kemajuan teknologi, internet, atau malah
hanya dengan surat. Pembeli dan penjual tidak bertemu secara langsung,
mereka dapat saja berada di tempat yang berbeda atau berjauhan. Artinya,
dalam proses pembentukan pasar, hanya dibutuhkan adanya penjual,
pembeli, dan barang yang diperjualbelikan serta adanya kesepakatan
antara penjual dan pembeli.
2. Posisi Dominan
a. Pengertian Posisi Dominan
Pengaturan posisi dominan di Indonesia tercantum dalam Pasal
1 angka (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
praktik Monopoli dan Persaingnan Usaha Tidak Sehat, yaitu: “Posisi
dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan
pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi
tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan
dengan kemampuan keuangaan, kemampuan akses pada pasokan atau
penjualan, serta kemmpuan untuk mennyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu”.
Ketentuan ini menetapkan syarat atau parameter posisi
dominan. Syarat yang dimaksud adalah pelaku usaha tidak mempunyai
pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih
tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnnya di pasar yang
bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dan kemampuan
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Kemudian terdapat beberapa faktor yang dapat memicu
terjadinya penyalahgunaan posisi dominan. Diantaranya ialah5;
Pasar bebas sejatinya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
dari konsumen. Di mana pelaku usaha berlomba untuk
memenuhi segala kebutuhan dari konsumen. Naamun, pasar
5 Muhammad Fikri Alfarizi Skripsi, berjudul Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam
perspektif Kejahatan Korporasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Fakultas Hukum Universitas
Brawijaya, Malang, 2009, hlm. 6-7.
18
bebas yang tidak berjalan dengan baik dan tidak diawasi
dengan baik dapat memicu berbagai macam masalah maka
pelaku usaha dapat menguasai kegiatan ekonomi melalui
perilaku anti persaingan, seperti kartel, penyalahgunaan
posisi dominan, penetapan harga (price fixing),
penggabungan, dan sebagainya. Kondisi pasar yang bersaing
tidak sempurna, pelaku usaha secara individual atau melalui
tindakan bersama dapat menetapkan harga dan alokasi
sumber daya ekonomi.
Pelaku usaha yang organ-organnya memiliki jabatan yang
sama direksi atau dewan komisaris pada perusahaan lain yang
sejenis bidang usaha dapat mempengaruhi atau menghambat
persaingan usaha yang sehat karena ketika suatu perusahaan
menjadi anggota direksi atau dewan komisaris pada
perusahaan sejenis maka dapat menciptakan hubungan
keluarga antara perusahaan tersebut, sehingga akan
memudahkan ketika ingin membuat kebijkan-kebijakan yang
bersifat anti-persaingan.
b. Unsur-unsur Posisi Dominan
Syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1 angka (4) Undang -
Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang penting adalah bahwa pelaku
usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai posisi tertinggi
diantara pesaingnnya dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,
kemampuan akses pada pasokan atau penjualan dan kemampuan
menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.
Namun ketentuan ini tidak menjelaskan syarat-syarat tersebut harus
dipenuhi oleh suatu pelaku usaha secara kumulatif atau tidak. Artinya
apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha dapat
dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi
19
diminan? Dari pengertan posisi dominan Pasal 1 angka (4) tersebut
dapat diuraikan sebagai berikut;6
a. Kemampuan Keuangan
Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu pelaku usaha
mempunyai posisi dominan adalah apabila pelaku usaha mempunyai
keuangan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan keuangan
pelaku usaha pesaingnya. Secara sederhana dapat dilihat dari
keberadaan pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih
tinggi (besar) dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya, pelaku
usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi akan
mempunyai keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku
usaha pesaingnya. Karena presentase nilai jual atau beli yang lebih
tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu dibandingkan dengan
pesaingnya.
b. Kemampuan pada Pasoka atau Penjualan
Kemampuan mengatur pasokan atau penjualan adalah salah satu ciri
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Kemamppuan ini
dapat dilakukan oleh suatu pelaku usaha jika memiliki pasngsa pasar
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pesaingnya. Oleh karena itu
penilaian pangsa pasar pada suatu pasar bersangkutan sangatlah
penting. Karena sangat mungkin suatu pelaku yang memiliki pangsa
pasar lebih tinggi dapat menentukan pasokan atau penjualan pada
pasar yang bersangkutan.
c. Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau Permintaan
Kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan atau
permintaan barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan
menjadi salah unsur penting dalam menentukan posisi dominan dari
pelaku usaha. Pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan
atau permintaan atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang
6 M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya,
(Yogyakarta; CICODS FH-UGM, 2009), h. 76.
20
bersangkutan mempunyai kesamaan dengan kemampuan mengatur
pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu.
c. Kategori Penyalahgunaan Posisi Dominan
i. Mencegah atau Menghalangi Konsumen
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan
suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen
untuk memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari
segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat
perdagangan. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan
Pasal 25 ayat (1) huruf a adalah syarat perdagangan yang dapat
mencegah konsumen memperoleh barang yang bersaing baik dari
segi harga maupun dari segi kualitas.7
ii. Membatasi Pasar atau Pengembangan Teknologi
Pengertian membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha
yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli
dapat diartikan di mana pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi
pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk
dapat bersaing di pasar yang bersangkutan.8
iii. Menghambat Pesaing Potensial
Bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh
pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah
menghambat pelaku usaha yang lain yang berpotensi menjadi
pesaing di pasar yang bersangkutan. Ketentuan ini ada kesamaan
dengan larangan Pasal 19 huruf a tentang menolak dan atau
menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Dalam hukum
7Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, 2017).h.247. 8Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.248.
21
persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing
faktual dan pesaing potensial.9
iv. Praktik Diskriminasi
Praktik diskriminasi dapat dilakukan oleh satu pelaku usaha
secara mandiri atau dua atau tiga pelaku usaha yang mempunyai
posisi dominan atau daya tawar yang kuat yang mempunyai
posisi secara kolektif. Praktik diskriminasi merupakan tindakan
atau perlakuan dalam berbagai bentuk yang berbeda yang
dilakukan satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu.10
v. Diskriminasi Harga
Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan secara sepihak
dapat melakukan diskriminasi harga terhadap pembeli yang satu
dengan pembeli yang lain untuk suatu barang yang sama. Pasal 6
UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan
diskriminasi harga terhadap pelaku usaha tertentu untuk
membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus
dibayar oleh pelaku usaha lain untuk barang dan atau jasa yang
sama.11
vi. Predatory Pricing (Jual Rugi)
Salah satu perilaku pelaku usaha yang mempunyai posisi
dominan adalah dapat melakukan praktik jual rugi (predatory
pricing). Pengertian jual rugi adalah melakukan pemasokan
barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau
menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk
menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar
bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Tujuan pelaku
usaha melakukan jual rugi adalah untuk menyingkirkan
pesaingnya dari pasar. Oleh karena itu praktik jual rugi biasanya
9Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha,… h.249. 10Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.250. 11Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.251.
22
dilakukan dalam waktu jangka panjang sampai pesaingnya
tersingkir dari pasar. Jual rugi dalam jangka pendek akan
menguntungkan konsumen. Akan tetapi apabila pelaku usaha
pesaing tersingkir dari pasar, maka pelaku usaha dominan akan
menaikkan harga secara signifikan untuk menutupi kerugian
sebelumnya.12
3. Unsur-Unsur penguasaan Pasar13
Unsur Pelaku
a. Pelaku Usaha
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha
adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan
berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-
sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha
dalam bidang ekonomi.
b. Pelaku Usaha Lain
Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang melakukan satu atau
beberapa kegiatan secara bersama-sama pada pasar bersangkutan.
Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) huruf b
Undang- undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha yang
mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar
bersangkutan.
c. Pelaku Usaha Tertentu
Pelaku usaha tertentu adalah pelaku usaha yang dirugikan oleh
kegiatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 huruf a dan d
Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999.
d. Pelaku Usaha Pesaing
12Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.251 13Pedoman Pelaksanaan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persainggan Usaha Tidak Sehat.
23
Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha yang berada dalam pasar
bersangkutan yang sama.
e. Konsumen
Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,
konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau
jasa untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak
lain.
f. Pelanggan
Pelanggan adalah pemakai atau pengguna dari barang dan/atau jasa
untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak lain yang
menggunakan secara berkesinambungan, teratur, terus menerus baik
melalui perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Unsur Tindakan:
Unsur Tindakan
a. Penguasaan Pasar
Kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi pembentukan harga
atau kuantitas produksi atau aspek lainnya dalam sebuah pasar.Aspek
lainnya tersebut dapat berupa, namun tidak terbatas pada pemasaran,
pembelian, distribusi, penggunaan atau akses atas barang atau jasa
tertentu di pasar bersangkutan. Kegiatan ini dapat dilakukan sendiri
oleh pelaku usaha atau secara bersama-sama dengan pelaku usaha
lainnya dan dapat terdiri dari satu atau beberapa kegiatan sekaligus.
b. Praktek Monopoli
Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999,
praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau
lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau
pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.
c. Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999,
persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha
24
dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang
dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan
hukum atau menghambat persaingan usaha.
d. Pasar Bersangkutan
Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang - Undang Nomor 5 Tahun
1999, pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan
jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas
barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang
dan jasa tersebut. Sejalan dengan pengertian di atas dan dari sudut
pandang ekonomi, ada dua dimensi pokok yang harus dipertimbangkan
untuk menentukan pengertian pasar bersangkutan, yaitu produk
(barang atau jasa yang dimaksud) dan wilayah geografis.
e. Melakukan Sendiri Maupun Bersama-sama
Kegiatan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha merupakan
keputusan atau perbuatan independen tanpa kerjasama dengan pelaku
usaha yang lain. Kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama
merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar
bersangkutan yang sama dimana pelaku usaha mempunyai hubungan
dalam kegiatan usaha yang sama.
f. Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan
Satu atau beberapa kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kegiatan
secara terpisah ataupun beberapa kegiatan sekaligus yang ditujukan
kepada seorang pelaku usaha.
g. Kegiatan Usaha Yang Sama
Kegiatan usaha yang sama adalah kegiatan usaha yang sejenis dengan
yang dilakukan oleh pelaku usaha.
h. Hubungan Usaha
Hubungan usaha adalah kegiatan ekonomi antar pelaku usaha dalam
bentuk berbagai transaksi dan/atau kerjasama
i. Barang
25
Berdasarkan Pasal 1 angka (16) Undang – Undnag Nomor 5 tahun
1999, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak
berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat
diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh
konsumen atau pelaku usaha.
j. Jasa
Berdasarkan Pasal 1 angka (17) Undang – Undang Nomor 5 Tahun
1999, jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau
prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan
oleh konsumen atau pelaku usaha.
k. Menolak
Menolak adalah ketika pelaku usaha tidak bersedia melakukan
kegiatan usaha dengan pelaku usaha lainnya.
l. Menghalangi
Menghalangi adalah ketika pelaku usaha melakukan kegiatan yang
menciptakan hambatan bagi pelaku usaha lain atau pelaku usaha
pesaingnya untuk masuk ke dalam suatu pasar bersangkutan yang
sama.
m. Membatasi Peredaran
Membatasi peredaran adalah kegiatan yang dilakukan pelaku usaha
dengan tujuan untuk mengendalikan distribusi atau wilayah peredaran
barang dan/atau jasa.
n. Praktek Diskriminasi
Praktek diskriminasi adalah termasuk di dalamnya menolak sama
sekali melakukan hubungan usaha, menolak melakukan hubungan
usaha, menolak syarat-syarat tertentu atau perbuatan lain, dimana
pelaku usaha lain diperlakukan dengan cara tidak sama. Terjadi
perbedaan perlakuan oleh pelaku usaha tertentu kepada pelaku usaha
lainnya dalam suatu pasar bersangkutan.
B. Pengawasan KPPU dan Penyalahgunaan Posisi Dominan
1. Teori Kepastian Hukum
26
Banyak dari para ahli hukum telah memberikan pendapatnya
terhadap apa yang dimaksud dengan asas hukum. Menurut Satjipto
Rahardjo, “asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena asas
hukum merupakan dasar lahirnya peraturan hukum”.14
Menurut Roeslan Saleh, “asas hukum merupakan pikiran-pikiran
dasar sebagai aturan yang bersifat umum menjadi fondamen sistem
hukum”15. Menurut Bellefroid, “asas hukum adalah norma dasar yang
dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap
berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, jadi asas hukum merupakan
pengendapan hukum positif di dalam masyarakat”.16
Kepastian adalah kata berasal dari pasti, yang artinya tentu; sudah
tetap; tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu. Seorang filsuf hukum
Jerman yang bernama Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide
dasar hukum, yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat
hukum, juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya keadilan,
kemanfaatan dan kepastian hukum.17
Sejatinya keberadaan asas kepastian hukum dimaknai sebagai
suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang
konkret bagi hukum yang bersangkutan. Keberadaan asas kepastian
hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari
keadilan) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa
seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan
oleh Van Apeldoorn bahwa kepastian hukum memiliki dua segi, yaitu
dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum.
Hal memiliki arti bahwa pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui
14Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), h. 85. 15Khudzaifah Dimyati, Teoritisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005, h. 194. 16Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), h. 5. 17 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2006), h. 847.
27
apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai
perkara dan perlindungan bagi para pencari keadilan.
Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa tanpa adanya
kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan
akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan
menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum.
Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada
pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana
pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang
sifatnya subjektif.18
Menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa nilai kepastian hukum
akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman
perilaku bagi semua orang”.19 Kepastian hukum diartikan sebagai
kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang
dikenakan peraturan ini.20 Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai
bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam
masyarakat. Hal ini untuk menimbulkan banyak salah tafsir.
Menurut Van Apeldoorn21 “kepastian hukum dapat juga berarti
hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret.
Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang
berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan
dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan
yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu”
Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa
yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa
putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan
18R. Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang,
Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, h.194. 19Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol. 19 No.3 Oktober 2007,Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 388.
20Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya
Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga,Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014, hlm.219 21Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, Cetakan Kedua
Puluh Empat, 1990), h. 24-25.
28
yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa
seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan
tertentu.
Di samping itu kepastian hukum dapat diartikan jaminan bagi
anggota masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan oleh negara atau
penguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak dengan sewenang-wenang.
Kepastian hukum merupakan salah satu prinsip, asas utama dari penerapan
hukum disamping dan sering berhadapan dengan asas keadilan. Kepastian
hukum menuntut lebih banyak penafsiran secara harfiah dari ketentuan
undang-undang.22
Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang
jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi
oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.23 Mengutip pendapat
Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford University,
berpendapat bahwa untuk mewujudkan “kepastian hukum” paling tidak
haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: substansi
hukum, aparatur hukum, dan budaya hukum.24
Menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa tentang konsep kepastian
hukum yaitu bahwa “secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan
tersediannya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara
operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris,
keberadaan peraturan perundangundangan itu perlu dilaksanakan secara
konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya”25
Suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena
mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan
keragu-raguan (multitafsir) dan logis sehingga menjadi suatu sistem norma
22 H. Ridwan Syahrani, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, (Bandung: PT.
Alumni, 2009), h. 124. 23Fauzie Kamal Ismail, Tesis berjudul Kepastian Hukum Atas Akta notaris Yang
Berkaitan Dengan Pertanahan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2011, h. 2. 24Fauzie Kamal Ismail, Tesis berjudul Kepastian Hukum Atas Akta notaris Yang
Berkaitan Dengan Pertanahan,… h. 53. 25Muhammad Insan C. Pratama, Skripsi, berjudul Kepastian Hukum dalam Production
Sharing Contract, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2009, hlm. 14
29
dengan norma lain yang tidak berbenturan atau menimbulkan konflik
norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat
berbentu kontentasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.26
2. Rule of Reasons
Hukum persaingan usaha mengenal adanya beberapa pendekatan
dalam penerapan hukumnya, dua pendekatan diantaranya adalah
pendekatan perse illegal dan pendekatan rule of reason. Landasan berfikir
dari kedua pendekatan ini adalah apakah seseorang harus dihukum karena
melakukan suatu perjanjian atau perbuatan dengan alasan bahwa perbuatan
tersebut dianggap dapat membahayakan persaingan Disisi lain, apakah
diperlukan pembuktian dengan asumsi mahal, lama dan sulit
dilakukanakan adanya pengurangan atau perusakan persaingan terhadap
suatu perjanjian atau perbuatan yang hamper pasti merugikan atau
merusak persaingan?27
Larangan-larangan yang bersifat per se adalah larangan yang
bersifat mutlak, jelas dan jelas terhadap perbuatan atau perjanjian tertentu
untuk memberikan kepastian kepada pelaku usaha. Suatu perbuatan atau
perjanjian dilarang yang secara per se berarti dapat dipastikan bahwa
perbuatan tersebut akan merusak atau menghilangkan persaingan.
Larangan yang bersifat per se illegal adalah bentuk larangan yang tegas
dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam
memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha.28 Larangan-
larangan yang diatur secara tegas dan jelas dalam arti bahwa perbuatan-
perbuatan yang dilarang tersebut dapat dipastikan akan berakibat buruk
kepada persaingan. Pelaku usaha sejak awal telah mengetahui batasan-
26 Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan Mahkamah Agung
Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil dan dalamPeraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 06/Pmk/2005 TentangPedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang, Jakarta:
Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 3 No. 2 2016, h. 194. 27Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha – Teori dan Praktiknya di Indonesia,
… h. 59. 28 Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya
di Indonesia, Bayu Media, Malang, 2009, h. 223.
30
batasan norma yang dilarang sehingga dalam menjalankan usahanya dapat
menghindari perbuatan tersebut. Pendekatan per se illegal adalah
menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal,
tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari
perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. 29
Sebaliknya dalam pendekatan yang bersifat rule of reason, suatu
perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha akan dilihat sejauh mana
dampak negatifnya terhadap iklim persaingan. Apabila dampak yang
ditimbulkan oleh kegiatan tersebut terbukti secara signifikan akan
mengganggu atau menghambat persaingan maka akan diambil tindakan
hukum.30
Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang
digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat
evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna
menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat
menghambat atau mendukung persaingan.31 Dalam pendekatan rule of
reason ini, suatu perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha,
maka akan dilihat sejauh mana dampak dari perbuatan tersebut, oleh
karena itu diperlukan pembuktian lebih lanjut apakah perbuatan tersebut
berakibat menghambat persaingan. Suatu perbuatan dalam pendekatan rule
of reason, tidak secara otomatis dilarang meskipun perbuatan yang
dituduhkan tersebut kenyataannya terbukti telah dilakukan. Dengan
demikian dalam pendekatan ini memungkinkan lembaga otoritas
persaingan usaha atau pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap
undang-undang maupun terhadap pasar.32
29 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.72. 30 Supianto, Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, Jurnal Rechtens, Vol. 2, No. 1,
Juni 2013, h. 45. 31Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha,… h.66. 32Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha – Teori dan Praktiknya di Indonesia,
… h. 66.
31
Menurut Arie Siswanto, pendekatan rule of reason diterapkan
terhadap tindakan-tindakan yang tidak bisa secara mudah dilihat
ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu terhadap kondisi
persaingan. Jadi jika dalam rule of reason pengadilan disyaratkan untuk
mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang dilakukannya
tindakan, alasan bisnis dibalik tindakan itu, serta posisi si pelaku tindakan
dalam indistri tertentu. Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut,
barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau tidak.33
Menurut Syamsul Maarif dan BC Rikrik Rizkiyana dengan konsep
“rule of reason”, beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru
dianggap salah jika telah terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut
yang merugikan pelaku usaha lain atau perekonomian nasional secara
umum. Dalam pendekatan rule of reason mungkin saja dibenarkan adanya
suatu tindakan usaha yang meskipun anti persaingan, tetapi menghasilkan
suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau perekonomian
nasional pada umumnya. Sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah
karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam
prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang
merugikan pelaku usaha, konsumen dan perekonomian nasional
umumnya,
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pendekatan rule of
reason dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya, yakni pencantuman
kata-kata “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Kata-kata
tersebut mengharuskan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah
suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat
menghambat persaingan.34
33 Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, cetakan pertama, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hal.65 34 Supianto, Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, Jurnal Rechtens, Vol. 2, No. 1,
Juni 2013, h. 51.
32
Salah satu keunggulan rule of reason adalah, menggunakan
analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti,
apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada
persaingan.35 Disisi lain pendekatan rule of reason membutuhkan waktu
lama dalam membuktikan adanya suatu perjanjian, kegiatan atau posisi
dominan yang menghambat persaingaan usaha. Dengan demikian,
kepastian hukum menjadi lama diperoleh pelaku usaha.
Standar rule of reason yang diterapkan dalam UU No. 5 Tahun
1999 mencakup dua unsur, yaitu unsur praktek monopoli dan unsur
persaingan usaha tidak sehat. Kedua unsur tersebut mengandung aspek
dampak dari suatu perjanjian atau kegiatan usaha, kedua adalah aspek cara
kegiatan tersebut dilaksanakan. Dalam aspek dampak, dapat terjadi
penghambatan terhadap persaingan dan merugikan kepentingan umum.
Untuk menentukan suatu perjanjian atau kegiatan yang dilarang dapat
ditentukan setelah terjadi penghambatan persaingan. Dalam aspek cara,
suatu perjanjian atau kegiatan yang dapat dianggap anti persaingan dan
dilarang apabila perjanjian atau kegiatan tersebut dilakukan dengan tidak
jujur dan melawan hukum.36
C. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu
Dalam penelitian skripsi ini, peneliti merujuk kepada skripsi, buku,
maupun jurnal terdahulu, dengan mencari apa yang menjadi persamaan dan
perbedaan dalam rumusan masalah yang dikaji dalam rujukan dengan yang
dikaji oleh peneliti, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Skripsi ditulis oleh Iftitahus Surur37
35Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.76. 36 Supianto, Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, Jurnal Rechtens, Vol. 2, No. 1,
Juni 2013, h. 54-55. 37Iftitahus Surur, Analisa Pasar Bersangkutan Dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terkait
Penyalahgunaan Posisi Dominan.Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2017.
33
Skripsi ini membahas terkait dengan unsur-unsur dalam pasar
bersangkutan yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat
dengan berdasarkan kepada penyalahgunaan posisi dominan. Kemudian
bagaimana Komisi Pengawas Persaingan Usaha menerapkan unsur-unsur
yang terdapat dalam Pasal ke dalam putusan.
Persamaan dengan penelitian ini adalah terkait penyalahgunaan
posisi dominan dalam hukum persaingan usaha tidak sehat. Namun,
skripsi di atas tidak membahas terkait dengan unsur-unsur penguasaan
pasar yang berdampak kepada persaingan usaha tidak sehat berdasarkan
kepada posisi dominan, sedangkan penelitian peneliti melihat dari sudut
pandang penguasaan pasar.
2. Buku keluaran Komisi Pengawas Persaingan Usaha38
Buku ini berisikan penjelasan tentang Undang-undang Nomor 5
Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat. Dalam buku ini terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai
unsur-unsur yang terdapat dalam setiap pasal yang berkaitan.Buku ini pun
memberikan teori yang digunakan oleh komisi Pengawasan Persaingan
Usaha.
Persamaan dengan penelitian ini ialah sama-sama membahas
terkait persaingan usaha. Sedangkan, dalam penelitian yang peneliti
lakukan ini lebih terfokus kepada beberapa pasal dan merupakan
penerapan langsung yang dilakukan dalam praktenyasertadampak apa
yang akan muncul kedepannya.
3. Artikel dalam Jurnal oleh Hagitra Havcnah39
Jurnal ini membahas terkait dengan efektivitas dari pengaturan
penyalahgunaan posisi dominan dalam memberikan efek jera kepada
pelaku usaha yang melakukan pelanggaran penyalahgunaan posisi
dominan.
38Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h. 24 39Hagitra Havcnah, Efektivitas Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan Perkara PT.
Forisa Nusapersada dalam Program Pop Ice The Real Ice Blender, Jurnal Ilmu Hukum, 2015.
34
Persamaan penelitian ini dengan jurnal yang ditulis oleh Hagitra
Havcnah adalah terkait dengan kasus yang sama dan pasal yang diterapkan
pun tidak jauh berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan jurnal yang ditulis
oleh Hagitra Havcnah adalah penelitian ini mengangkat kepada dua contoh
kasus dan perbedaan penerapan dalam kasus tersebut. Sedangkan, jurnal
Hagitra tidak membahas dari dua contoh kasus dan tidak melihat kepada
perbedaan penerapan, ia hanya terfokus kepada efektivitas dari penerapan
peraturan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.
BAB III
PENGAWASAN PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH
KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU)
A. Profil Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KPPU berdiri berdasar keputusan presiden RI Nomor 75 Tahun
1999. KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda
selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk
menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. 1
KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, di mana dalam
menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak
dapat dipengaruhi oleh pihak manapun, baik pemerintah maupun pihak
lain yang memiliki conlict of interest, walaupun dalam pelaksanaan
wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden. KPPU juga
adalah lembaga quasi judicial yang mempunya wewenang eksekutorial
terkait kasus-kasus persaingan usaha.
Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya
Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan
khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang
menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih
merupakan lembaga administratif karena kewenangan yang melekat
padanya adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang
dijatuhkan merupakan sanksi administratif. KPPU diberi status sebagai
pengawas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Status
hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari
pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain seperti yang
1Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 137.
35
36
disebutkan pada pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.2
1. Tugas
a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat
mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat
b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan
pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan
posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek
monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi
e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan
pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau
persaingan usaha tidak sehat
f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan
Undang-undang ini
g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada
Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Wewenang
a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha
tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan
usaha tidak sehat
b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan
atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya
praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus
dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
2 Andi Fahmi Lubis et.a.l, Hukum Persaingan Usaha Teks dan Konteks,(Jakarta:ROV
Creative Media, 2009), h. 331.
37
yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang
ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya
d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang
ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha
tidak sehat
e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini
f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang
yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan
Undang-undang ini
g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,
saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e
dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi
h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya
dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha
yang melanggar ketentuan Undang-undang ini
i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat
bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan
j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di
pihak pelaku usaha lain atau masyarakat
k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga
melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat
l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku
usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini
B. Peran KPPU dalam Pengawasan Penyalahgunaan Posisi Dominan
KPPU dalam pembuktian dugaan penyalahgunaan posisi dominan,
menggunakan pendekatan yang dapat dibagi ke dalam tiga-tahap (3 step
process), yaitu:
1. Pendefinisian pasar bersangkutan ;
2. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar bersangkutan ;
38
3. Pembuktian apakah pelaku usaha yang memiliki posisi dominan
tersebut telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan;
Berikut adalah skema dari penjabaran dari KPPU dalam melakukan
pembuktian penyalahgunaan posisi dominan.
1. Pendefinisian Pasar Bersankutan
Penentuan pasar bersangkutan yang tepat diperlukan untuk
mendefinisikan ukuran pasar dari sebuah produk. Ukuran pasar ini
menjadi penting, karena dapat mengidentifikasi seberapa besar
penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku
usaha. Pasar bersangkutan terdiri dari dua dimensi, dimensi produk (set of
products) dan dimensi wilayah (relevant geographic market).
Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari
produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi
substitusi dari produk tersebut. Pembatasan pasar bersangkutan
berdasarkan produk atau secara obyektif adalah di mana terdapat
barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk subsitusinya. Di
dalam Pedoman Pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa pasar produk
adalah sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu ditambah
dengan produk lain yang bisa menjadi subsistusi dari produk tersebut.
Produk lain menjadi subsitusi sebuah produk jika keadaan produk lain
itu membatasi ruang kenaikan harga produk tersebut. Pasar produk
dapat diidentifikasi dari sisi permintaan terlebih dahulu untuk
kemudian diikuti penelaahan dari sisi penawaran.3
Suatu pasar produk terdiri dari seluruh produk dan/atau jasa yang
dipertukarkan atau dapat sebagai produk pengganti bagi konsumen
berdasarkan karakteristik produk, harga produk dan fungsi atau guna
produk. Jadi, konsumen adalah sebagai penentu suatu pasar produk
atau jasa tertentu berdasarkan karakteristik produk, harga produk,
fungsi produk dan fleksibilitas produk tersebut bagi konsumen. Oleh
3 Peraturan Komisi No. 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 1 angka 10
tentang Pasar Bersangkutan, hal. 15.
39
karena itu, penentuan pasar produk dilihat dari sisi konsumen terhadap
suatu produk dengan produk lain apakah dapat sebagai barang yang
sama atau sejenis atau suatu produk dapat sebagai barang pengganti
bagi konsumen tersebut.4
Dengan demikian diperlukan penilaian atas suatu produk dengan
produk yang lain dari sisi permintaan konsumen5;
Bentuk dan Sifat/Karakteristik barang
Fungsi Baarang
Harga
Fleksibilitas Barang Bagi Konsumen
Pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat
meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru
atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke
pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut.
Menurut Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999 pasar
bersangkutan dari segi daerah adalah jangkauan atau daerah pemasaran
tertentu. Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis ditentukan
sejauh mana produsen memasarkan produknya seluas itulah dihitung
produsen yang memasarkan barang/produk di wilayah tersebut. Fungsi
pembatasan pasar secara geografis adalah untuk menghitung pangsa
pasar bersangkutan secara obyektif di sekitar wilayah di mana barang
tersebut dipasarkan. Misalnya dalam kasus kartel sapi impor KPPU
menetapkan bahwa pasar geografisnya adalah Jabodetabek.6
Setelah ditetapkan pasar produk suatu barang tertentu, kemudian
ditetapkan pasar geografis produk tersebut, yaitu seluas mana produk-
produk yang sama dan barang penggantinya dipasarkan, maka seluas
wilayah itulah dihitung berapa jumlah pelaku usaha yang melakukan
kegiatan usaha di wilayah tersebut, dan berapa pangsa pasar masing-
masing pelaku usaha. Dari pasar geografis ini dapat disimpulkan
4 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.242. 5 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.242-243. 6 Putusan KPPU No. 10/KPPU-I/2015 tentang Perdagangan Sapi Impor, hal. 14.
40
pelaku usaha yang mana yang menguasai pangsa pasar di wilayah
tersebut, pelaku usaha itulah yang mempunyai posisi dominan di
wilayah tersebut (geographic market).7
2. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar bersangkutan
Dalam menentukan posisi dominan, KPPU akan memperhatikan
beberapa batasan-batasan (atau hambatan) yang dimiliki oleh pelaku
usaha yang diduga memiliki posisidominan. Batasan tersebut diduga
dapat mempengaruhi independensi perilaku pelakuusaha terhadap
tekanan persaingan. Batasan/hambatan tersebut dapat dibedakan atas
3(tiga) jenis, yaitu i) hambatan dari pesaing yang ada saat ini, ii)
hambatan yangberasal dari pesaing potensial, dan iii) hambatan lain
misal dari konsumen, ataupunpemasok. Pada prinsipnya, apabila
hambatan-hambatan tersebut relatif tidaksignifikan, maka posisi
dominan yang dimiliki perusahaan akan semakin menguat.
3. Pembuktian apakah pelaku usaha yang memiliki posisi dominan
tersebut telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan
Setelah tahapan pendefinisian pasar bersangkutan dan pembuktian
posisi dominan, langkah selanjutnya adalah pembuktian perilaku
penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha yang bersangkutan.
Perilaku pelaku usaha dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan posisi
dominan apabila dampak dari perilaku pelaku usaha dominan
berpengaruh negatif terhadap proses persaingan (competitive process).
Perilaku pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dapat
dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan jika perilaku tersebut terkait
dengan peningkatan efisiensi, seperti inovasi, skala ekonomis
(economies of scale), dan cakupan ekonomis (economies of scope).
Secara konseptual, perilaku yang termasuk sebagai penyalahgunaan
posisi dominan secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori,
yaitu:
7 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.245.
41
a. Perilaku yang merugikan konsumen atau pemasok. Perilaku yang
merugikan konsumen pada umumnya berupa penetapan harga yang
sangat tinggi (excessive high price).
b. Perilaku yang bersifat eksklusif. Perilaku yang dapat digolongkan
sebagai perilaku eksklusif adalah perilaku yang bersifat anti
kompetisi karena membatasi atau menghilangkan persaingan dari
pelaku usaha pesaing yang sudah ada (existing competitor) ataupun
yang akan masuk ke pasar (potential competitor).
BAB IV
KOMPARASI KASUS PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH
MARKET LEADER DALAM PUTUSAN KOMISI PENGAWAS
PERSAINGAN USAHA PERKARA NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN
NOMOR 14/KPPU-L/2015
A. Review Kasus Penyalahgunaan Posisi Dominan Putusan KPPU
Nomor 6/KPPU-L/2004 dan 14/KPPU-L/2015
1. Kasus Putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004
Perseroan Terbatas (PT) Arta Boga Cemerlang, beralamat kantor di
Jalan Palmerah Barat No. 82, Jakarta Barat 11480, selanjutnya disebut
sebagai Terlapor.
Bahwa Terlapor adalah pelaku usaha yang didirikan berdasarkan
Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT Arta Boga Cemerlang No.38,
tanggal 20 Maret 1985, dibuat dihadapan Henk Limanow, S.H., Notaris di
Jakarta dan terakhir diubah berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat
PT. Arta Boga Cemerlang No. 39 tanggal 13 Maret 2003, yang dibuat di
hadapan Eliwaty Tjitra, S.H., Notaris di Jakarta.1
Bahwa kegiatan usaha Terlapor adalah mendistribusikan berbagai
jenis produk makanan dan produk non makanan, termasuk baterai merek
ABC yang diproduksi oleh PT International Chemical Industrial dan PT
Hari Terang Industrial.2
Bahwa pada pertengahan bulan Februari 2004, PT Panasonic
Gobel Indonesia (selanjutnya disebut PT PGI) telah melaksanakan
program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang
mendisplay baterai single pack (baterai manganese tipe AA) dengan
menggunakan standing display akan diberikan 1 (satu) buah senter yang
sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan
1Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.8.
2Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.8.
42
43
mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter
yang sama, sedangkan untuk material promosi (standing display)
diberikan gratis oleh PT PGI.3
Bahwa pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlapor
sedang melaksanakan Program Geser Kompetitor (selanjutnya disebut
PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat
Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi sebagai berikut4;
a. Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan
ketentuan sebagai berikut:
i. Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan
ukuran minimal 0,5 x 1 meter
ii. Toko bersedia memajang baterai ABC
iii. Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC
b. Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan
mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan sebagai
berikut
i. Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan
Maret sudah tidak jual lagi
ii. Toko hanya menjual baterai ABC;
c. Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai
Panasonic
Bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh Pelapor dari toko-
toko, Terlapor diduga melaksanakan PGK tersebut dengan tujuan untuk
menghambat penjualan produk baterai merek Panasonic.Sejak PT PGI
mengeluarkan produk single pack untuk jenis baterai AA dan
melaksanakan program promosi Single pack Display telah menambah
peningkatan penjualan baterai Panasonic.Bahwa dengan adanya PGK
banyak diantara toko-toko yang berusaha untuk mendapatkan potongan
tambahan sebagaimana yang dijanjikan oleh Terlapor.Bahkan terdapat
3Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.2.
4Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.2.
44
toko-toko yang jelas-jelas mempunyai komitmen untuk tidak memajang
dan/atau menjual baterai Panasonic, padahal sebelumnya yang
bersangkutan adalah peserta program single pack display dari PT PGI.5
Bahwa perilaku Terlapor sebagai pelaku usaha dalam
melaksanakan kegiatan usahanya bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan maupun etika bisnis yang ada, yaitu dengan
membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas
produk baterainya dengan memuat persyaratan bahwa pemilik toko yang
menerima barang-barang dari Terlapor tidak akan membeli barang-barang
yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari
pelaku usaha pemasok.6
Bahwa Terlapor telah menyalahgunakan posisi dominannya untuk
menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaingnya untuk
memasuki pasar yang bersangkutan dan menetapkan syarat-syarat
perdagangan yang menghambat atau menghalangi konsumen memperoleh
barang dan atau jasa yang bersaing.7
2. Kasus Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015
Bahwa PT Forisa Nusapersada, yang berkedudukan di jalan Bumi
Mas II Nomor 7 Kawasan Cikupa Mas, Desa Talagga, Rukun Tetangga
003, Rukun Warga 003, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tnggerang,
Propinsi Baanten dan berkantor pusat di Jalan Raya Penagnggasaan Dua
Nomor 12, kelapa Gading Jakarta yang selaunjatnya disebut sebagai
pelapor.
Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor: PT Forisa Nusapersada,
merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang didirikan
berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan Nomor 30 tanggal 5 Juli 1995
yang dibuat oleh Ratna Komala Komar, S.H., Notaris di Jakarta dan
5Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.2.
6Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.3.
7Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.3.
45
terakhir diubah dengan akta perubahan Nomor 05 tanggal 16 Oktober
2015 yang dibuat oleh Moelianan Santoso, S.H., M.Kn., Notaris di
Tangerang serta telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak
Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-
3566734.AH.01.11.Tahun 2015 Tanggal 16 Oktober 2015.8
Bahwa dalam prakteknya, PT Forisa Nusapersada melakukan
produksi dan pemasaran berbagai produk minuman ringan, antara lain
meliputi: Pop Ice, Top Ice, Pop Drink, Sisri, Kola-Kola, Finto, Sprata,
Anget Sari, Teo, Nutrijell, Agarasa, Pop Dringk.9
Bahwa pada tanggal 29 Desember 2014 PT Forisa Nusapersada
mengeluarkan Internal Office Memo No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014
yang berisi mengenai Program POP ICE The Real Ice Blender (program
marketing dari POP ICE). Bahwa Internal Office Memo No.
105/IOM/MKT-DB/XII/2014 ditandatangani oleh karyawan PT Forisa
Nusapersada yaitu Budi Armyn (General Manager Sales and Marketing),
David Hinjaya (Brand Manager), Irwan Zhang (National Sales Promotion
Manager), Jimmy Tanweli (Regional Sales Promotion Manager), Kok Pin
Losari (Regional Sales Promotion Manager), Dede Maryadi (Regional
Sales and Promotion Manager).10
Bahwa Internal Office Memo No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014
dikirimkan melalui email kepada Area Sales Promotion Manager dan
ditembuskan kepada Area Sales Promotion Supervisor dari Marketing and
Sales Departemen PT Forisa Nusapersada. Bahwa Internal Office Memo
No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014 dikeluarkan bertujuan untuk menjaga
dan mempertahankan posisi produk dan brand POP ICE sebagai market
leader dan mencegah trial dari konsumen terhadap produk S‟Cafe serta
mencegah display produk S‟Cafe di level kios minuman dan outlet pasar.
Bahwa di dalam Internal Office Memo No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014
8Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 150.
9Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 151.
10 Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h.15.
46
tentang Program POP ICE The Real Ice Blender terdapat 3 program
Progam Bantuan Tukar (BATU) Kios Minuman, Program Display Kios
Minuman dan Program Display Toko Pasar.11
Bahwa di dalam tiga program yang tertulis di dalam Internal
Office Memo No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014 terdapat syarat atau terms
and conditions yang harus dipatuhi jika toko pasar, outlet pasar dan kios
minuman ingin mengikuti program tersebut yaitu12:
a. Menukar produk S‟Cafe yang ada di kios minuman dengan POP ICE
b. Untuk Program Display Kios Minuman tidak menjual produk
kompetitor POP ICE yaitu S‟Cafe, MilkJuss, Camelo dan Sooice
c. Untuk Program Toko Display Toko Pasar tidak mendisplay produk
kompetitor yaitu S‟Cafe, MilkJuss, Camelo dan Sooice.
Kios Minuman yang mengikuti program tersebut menandatangani Surat
Perjanjian Kontrak Display Pop Ice yang di dalamnya terdapat klausul
peraturan bersedia mendisplay produk Pop Ice secara exclusive dan tidak
menjual produk kompetitor. Tindakan yang dilakukan oleh PT Forisa
Nusapersada tersebut sangat memiliki potensi menimbulkan dampak
persaingan usaha yang tidak sehat dalam pasar minuman serbuk mengandung
susu di seluruh Indonesia.13
B. Pertimbangan Hukum Majelis Komisi dalam Kasus Market Leader
Putusan KPPU Perkaara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor
14/KPPU-L/2015.
Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting dalam
Hukum Persaingan Usaha di Indonesia karena merupakan bentuk
implementasi terhadap UU No. 5 Tahun 1999. Oleh karenanya, wajar jika
ketentuan bahwa setiap putusan Komisi yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap harus dimintakan penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri.
Namun tidak jarang dalam putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Komisi
11 Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h.16.
12Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h.19-20.
13Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h.5.
47
terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya, walaupun unsur dan
pasal yang diterapkan sama.
Pada penulisan kali ini, penulis akan mencoba membedah lebih
dalam serta membandingkan terkait dengan penerapan unsur-unsur dalam
putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004 dengan Putusan KPPU Nomor
14/KPPU-L/2015.
1. Putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004
Pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlapor sedang
melaksanakan Program Geser Kompetitor (selanjutnya disebut PGK). Isi
atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat
Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi sebagai berikut:14
a. Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%,
dengan ketentuan sebagai berikut:
Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan
ukuran minimal 0,5 x 1 meter
Toko bersedia memajang Baterai ABC
Toko bersedia memasang POS (Material Promosi) ABC
b. Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan
mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan sebagai
berikut:
Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan
Maret sudah tidak jual lagi
Toko hanya menjual baterai ABC
c. Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai
Panasonic
Dengan adanya PGK banyak diantara toko-toko yang berusaha
untuk mendapatkan potongan tambahan sebagaimana yang dijanjikan oleh
Terlapor. Bahkan terdapat toko-toko yang jelas-jelas mempunyai
komitmen untuk tidak memajang dan/atau menjual baterai Panasonic,
14Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 2.
48
padahal sebelumnya yang bersangkutan adalah peserta program single
pack display dari PT PGI. Tentu saja hal tersebut sangat merugikan pihak
Panasonic karena akan kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan
para konsumennya. Terlebih lagi posisi dari terlapor yang memiliki posisi
dominan, di mana berusaha untuk menghalangi pesaingnya untuk
memasarkan produknya ke konsumen dan untuk menghambat pesaing
potensial. Karena adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan, maka
terlapor dijerat dengan beberapa pasal yang diantaranya ialah pasal 19
huruf a dan b serta pasal 25 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Dalam memberikan putusan akhir Majelis Komisi melihat terlebih
dahulu apakah unsur-unsur yang terdapat dari Pasal yang bersanggkutan
tersebut telah terpenuhi. Bila mana unsur dalam pasal tersebut
telah terpenuhi maka terlapor dapat dijatuhkan sanksi sesuai dengann
penilaian Majelis Komisi. Berikut ini pertimbangan Majelis Komisi
terhadap putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004.
Menimbang bahwa Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5
tahun 1999 mengandung unsur-unsur sebagai berikut15:
a. Pelaku Usaha
Menimbang bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha dalam
pasal 1angka 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 adalah setiap
orangperorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan
hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan
atau melakukan kegiatandalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupunbersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang
ekonomi, bahwa berdasarkan hal tersebut, unsur “pelaku usaha”
dalam pasal 19 huruf a terpenuhi.
b. Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri-sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain
15Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 51 – 52.
49
Majelis Komisi berpendapat bahwa Terlapor telah melakukan
kegiatan promosi berupa PGK yang bertujuan untuk menyingkiran
pesaingnya di pasar bersangkutan. Bahwa berdasarkan hal tersebut
di atas, unsur “melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik
sendiri-sendiri maupun bersama pelaku usaha lain” dalam pasal ini
telah terpenuhi
c. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.
Majelis Komisi berpendapat bahwa kegiatan promosi berupa PGK
yang memuat ketentuan atau persyaratan yang melarang toko
grosir atau semi grosir untuk menjual baterai Panasonic merupakan
upaya untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya mempersulit
pelaku usaha pesaingnya, dengan demikian unsur “menolak dan
atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan
usaha yang sama pada pasar bersangkutan” pada pasal ini telah
terpenuhi.
d. Yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau
persaingan usaha yang tidak sehat.
Majelis Komisi berpendapat bahwa dengan adanya PGK, Terlapor
telah mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dalam
bentuk tersingkirnya atau setidak-tidaknya mempersulit pesaing
(PT PGI) untuk melakukan kegiatan usahanya di pasar
bersangkutan yang sama dan berkurangnya tingkat persaingan
yang pada akhirnya akan mengurangi opsi yang dimiliki oleh
konsumen untuk memilih produk baterai sesuai dengan pilihannya,
berdasarkan hal tersebut di atas, unsur “Yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak
sehat.” telah terpenuhi.
Bahwa berdasarkan pertimbangan dari Majelis Komisi dapat
dinyatakan Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 telah
terpenuhi.
50
Menimbang bahwa Pasal 19 huruf b Undang-Undang Nomor 5
tahun 1999 mengandung unsur-unsur sebagai berikut16:
a. Pelaku Usaha
Menimbang bahwa unsur pelaku usaha yang dimaksud dalam Pasal
19 huruf b telah terpenuhi sebagaimana yang telah diuraikan dalam
pemenuhan unsur Pasal 19 huruf a, bahwa berdasarkan hal
tersebut, unsur “pelaku usaha” dalam pasal 19 huruf a terpenuhi.
b. Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri-sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain
Menimbang bahwa unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan,
baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, telah terpenuhi
pada Pasal 19 huruf a maka unsur yang sama dalam Pasal 19 huruf
b telah terpenuhi, berdasarkan hal tersebut di atas, unsur
“melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri-sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain” dalam pasal ini telah
terpenuhi.
c. Menghalangi Konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya
Bahwa berdasarkan pertimbangan Majelis Komisi pelaku usaha
pesaingnya masih dapat melakukan hubungan usaha baik dengan
konsumen maupun pelanggan dari pesainngnya, kemudian setiap
toko yang mengikuti program tersebut tidak dikategorikan sebagai
konsumen dan pelanggan dari pesaingnya. Sehingga unsur
“Menghalangi Konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing
untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha
pesaingnya” dalam pasal ini tidak terpenuhi.
Bahwa berdasarkan analisis pemenuhan unsur-unsur di
atas, maka unsur-unsur pasal 19 huruf b tidak terpenuhi.
berdasarkan dokumen dan hasil pemeriksaan terhadap Pelapor,
16Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 52 – 53.
51
Pelapor menyampaikan dugaan bahwa telah terjadi PGK di seluruh
Indonesia kecuali di wilayah Sumatera. Majelis Komisi
berpendapat bahwa beberapa faktor dapat digunakan untuk
menentukan sebuah pasar geografis. Salah satu dari faktor tersebut
adalah actual sales pattern (pola penjualan yang nyata).
berdasarkan dokumen-dokumen yang diperoleh dari Terlapor
(Surat Terlapor No. 071/ARTA/CEO-BE/II/04 tertanggal 27
Februari 2004 perihal Program Display BB ABC, Surat Terlapor
No. 072/ARTA/CEO-BE/II/04 tertanggal 28 Februari 2004 perihal
Juklak Program Display ABC, dan dokumen Notulen Rapat Batu
Baterai tanggal 9 Februari 2004) Terlapor mengendalikan dan
mengontrol pemasaran baterai ABC di tingkat grosir secara
langsung di wilayah Banten, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur dan Bali. berdasarkan keterangan Pelapor, PGK berlaku di
pasar tradisional dan tidak di pasar modern hasil penyelidikan
lapangan dan pemeriksaan, PGK ditemukan di sejumlah grosir dan
semi grosir tradisional di wilayah Jawa dan Bali wilayah mana
pemasaran atau distribusi produk baterai ABC dikontrol langsung
oleh Terlapor17
Menimbang bahwa pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.
5 Tahun 1999 mengandung unsur-unsur sebagai berikut18:
a. Pelaku Usaha
Menimbang bahwa unsur pelaku usaha yang dimaksud dalam Pasal
25 ayat (1) huruf a telah terpenuhi sebagaimana yang telah
diuraikan dalam pemenuhan unsur Pasal 19 huruf a, bahwa
berdasarkan hal tersebut, unsur “pelaku usaha” dalam pasal 25 ayat
(1) huruf a terpenuhi.
b. Menggunakan Posisi Dominan, secara langsung atau tidak
langsung
17 Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 11. 18Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 54 - 55.
52
Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti yang ada serta
keterangan para saksi demikian unsur posisi dominan dalam Pasal
25 ayat (2) huruf a telah terpenuhi, maka unsur posisi dominan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a telah
terpenuhi.
c. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang
dan atau jasa yangbersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.
Menimbang bahwa syarat-syarat perdagangan dalam PGK tersebut
ditujukan untuk mencegah atau menghalangi konsumen
memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC
baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang
mengikuti PGK Terlapor, dengan demikian unsur “menetapkan
syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau
menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang
bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas” dalam pasal ini
terpenuhi.
Bahwa berdasarkan analisis pemenuhan unsur tersebut di atas,
unsur-unsur pasal 25 ayat (1) huruf a jo ayat (2) huruf a terpenuhi. Dapat
kita lihat pada pasal 19 bahwa setiap toko yang mengikuti PGK tidak
dikategorikan sebagai konsumen atau pelanggan dari pelaku usaha
pesaingnnya tersebut.dan sesungguhnya hal tersebut agak berbeda dengan
ketentuan dari pengertian konsumen dan pelangan itu sendiri.
2. Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015
Program Pop Ice The Real Ice Blender terdiri dari tiga program
yaitu Progam Bantuan Tukar (BATU) Kios Minuman, Program Display
Kios Minuman dan Program Display Toko Pasar. Bahwa di dalam tiga
program yang tertulis di dalam Internal Office Memo No. 105/IOM/MKT-
DB/XII/2014 terdapat syarat atau terms and conditions yang harus
53
dipatuhi jika toko pasar, outlet pasar dan kios minuman ingin mengikuti
program tersebut yaitu19:
a. Menukar Produk S`Café yang ada di kios minuman dengan POP
ICE
b. Untuk Program Display kios Minuman tidak menjual tidak menjual
produk kompetitor POP ICE yaitu S`Café, milkjuss, Camelo dan
Sooice.
c. Untuk Program Toko Display Toko Pasar tidak mendisplay produk
kompetitor POP ICE yaitu S`Café, milkjuss, Camelo dan Sooice.
Namun, bagi setiap toko yang ingin mengikuti program dari POP
ICE harus mematuhi peraturan yang telah dicantumkan oleh pihak POP
ICE. Dalam Surat Perjanjian Kontrak Display POP ICE terdapat peraturan
untuk mengikuti Program “DISPLAY POP ICE” yaitu sebagai berikut20:
a. Bersedia mendisplay produk POP ICE secara exclusive sesuai
target yang sudah disepakati;
b. Tidak Menjual produk kompetitor sejenis POP ICE (S‟Cafe,
Camelo, MilkJuss dan lainnya);
c. Display dilakukan sesuai ketentuan dan selama periode kontrak
berlangsung 3 (tiga) bulan;
d. Kompensasi Display
Bulan 1 : 1 Bal POP ICE Coklat
Bulan 2 : 2 Kaos POP ICE
Bulan 3 : Blender Phillips
e. Hadiah diatas diberikan setiap akhir bulan setelah Tim Forisa
melakukan verifikasi pemenuhan syarat point No. 1 dan point No.
2 di Kios;
f. Verifikasi pemenuhan syarat akan dilakukan setiap minggu oleh
tim internal Forisa;
19Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 19 - 20. 20Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 21 – 22.
54
g. Apabila peserta tidak memenuhi syarat untuk bulan 1, maka
peserta tidak mendapatkan hadiah untuk bulan 1 tetapi masih
memiliki kesempatan mendapatkan hadiah di bulan kedua apabila
syarat point 1 dan 2 di bulan kedua terpenuhi;
h. Ketentuan diatas mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.
Strategi dan perilaku PT Forisa Nusapersada yang tertuang di
dalam Internal Office Memo No.15/IOM/MKT-DB/XII/2014 bertujuan
menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang
sama pada pasar bersangkutan dan menghalangi konsumen atau pelanggan
pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan
pelaku usaha pesaingnya. Dengan cara menggunakan posisi dominan baik
secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat
perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi
konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas atau menghambat pelaku usaha lain yang
berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.
Perilaku terlapor dalam menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dan
menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk
tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu,
serta menggunakan posisi dominan dari terlapor baik secara langsung
maupun tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yang
berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan juga
dilakukan PT Forisa Nusapersada dengan mengeluarkan form Surat
Perjanjian Kontrak Display POP ICE dan terdapat peraturan untuk
mengikuti Program “DISPLAY POP ICE” yaitu sebagai berikut21:
a. Bersedia mendisplay produk POP ICE secara ekslusif sesuai
dengan target yang telah disepakati.
b. Tidak menjual produk kompetitor sejenis POP ICE.
21Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 25.
55
Bahwa PT Forisa Nusapersada (Pop ICE) sebagai pemilik posisi
dominan dari pasar bersangkutan telah melakukan hambatan strategis
terhadap pelaku usaha lain sebagai pemain baru di pasar yaitu PT Karniel
Pacific Indonesia (S‟Cafe) yang berpotensi menjadi pesaing untuk
memasuki pasar bersangkutan. Hambatan strategis yang dilakukan oleh PT
Forisa Nusapersada (Pop ICE) sebagai produsen POP ICE.
Karena tindakan PT Forisa Nusapersada dengan mengikat toko
yang menjadi distributor untuk mengikuti program dengan syarat tidak
boleh menjual dan tidak boleh mendisplay produk kompetitor,
menyebabkan produk S’Cafe (PT Karniel Pacific Indonesia) dan MilkJuss
(PT Karnunia Alam Segar) tidak tersedia di toko. Availability produk
merupakan instrumen penting dalam menciptakan permintaan produk
(Creating Demand) dan berkontribusi terhadap penjualan suatu
perusahaan (repeat buying). Tindakan PT Forisa mengeluarkan strategi
tersebut menyebabkan konsumen S’Cafe dan MilkJuss sebagai kompetitor
POP ICE tidak bisa melakukan repeat buying. Repeat buying merupakan
permintaan nyata dari konsumen yang berkontribusi terhadap pendapatan
suatu perusahaan.
Kemudian dalam memberikan putusan akhir Majelis Komisi
melihat terlebih dahulu apakah unsur-unsur yang terdapat dari Pasal yang
bersanggkutan telah terpenuhi. Bila mana unsur dalam pasal tersebut telah
terpenuhi maka Majelis Komisi dapat menentukan sanksi apa yang tepat
bagi terlapor. Berikut ini pertimbangan Majelis Komisi terhadap putusan
KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015.
Untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal
19 huruf a dan bUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka Majelis
Komisi mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut22:
22Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 187 – 190.
56
a. Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan di dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Bahwa
dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.
b. Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan, Baik Sendiri Maupun
Bersama Pelaku Usaha Lain.
PT Forisa Nusapersada melakukan kegiatan usaha berupa produksi
dan/atau pemasaran produk minuman olahan serbuk berperisa buah
mengandung susu dalam kemasan sachet. Bahwa dengan demikian
unsur Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan, Baik Sendiri
maupun bersama pelaku usaha lain terpenuhi
c. Menolak dan atau Menghalangi Pelaku Usahaa Tertentu untuk
Melakukan Kegiatan Usaha yang sama pada Pasar Bersangkutan
Dalam rangka memasarkan produk minuman Pop Ice, PT Forisa
Nusapersada menjalankan strategi pemasaran dengan nama
“Program Pop Ice The Real Ice Blender”. Penerapan “Program
Pop Ice The Real Ice Blender” telah mengakibatkan terhalanginya
pemasaran produk sejenis yang diproduksi dan/atau di pasarkan
oleh PT Karniel Pacific Indonesia dan PT Karunia Alam Segar.
Upaya menolak dan/atau menghalangi tersebut semakin nyata
terbukti berdasarkan surat perjanjian kontrak display Pop Ice dan
kewajiban surat pernyataan para pemilik kios minuman dan/atau
toko pasar sebagaimana telah diuraikan. Dengan demikian unsur
Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk
melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan
terpenuhi.
57
d. Menghalangi Konsumen atau Pelanggan Pelaku Usaha Pesaingnya
untuk Tidak Melakukan Hubungan Usaha dengan Pelaku Usaha
Pesaingnya
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa PT Karniel
Pacific Indonesia dan PT Karunia Alam Segar merupakan pelaku
usaha pesaing PT Forisa Nusapersada dalam kegiatan usaha
memproduksi dan/atau memasarkan produk minuman olahan
serbuk berperisa buah mengandung susu dalam kemasan sachet.
Perilaku PT Forisa Nusapersada melalui instrumen “Program Pop
Ice The Real Ice Blender” secara nyata terbukti telah menghalangi
konsumen atau pelanggan PT Karniel Pacific Indonesia dan PT
Karunia Alam Segar untuk membeli produknya. Dengan demikian
unsur menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha
pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku
usaha pesaingnya itu terpenuhi.
e. Mengakibatkan Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat
Bahwa perilaku PT Forisa Nusapersada melalui penerapan strategi
pemasaran bernama “Program Pop Ice The Real Ice Blender”
merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai
menghambat persaingan usaha karena terbukti telahmenolak dan
atau menghalangi pelaku usaha tertentu (dalam hal ini adalah PT
Karniel Pacific Indonesia dan PT Karunia Alam Segar) serta
menghalangi konsumen atau pelanggan PT Karniel Pacific
Indonesia dan PT Karunia Alam Segar untuk mengakses
produknya. Dengan demikian unsur mengakibatkan
terjadinya persaingan usaha tidak sehat terpenuhi.
Bahwa berdasarkan analisis pemenuhan unsur-unsur di atas, maka
unsur-unsur pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999
telah terpenuhi. Selanjutnya Majelis Komisi memberikan peritimbangan
hukumnya bersadarkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 25 ayat (1)
58
huruf a dan c. Adapun unsur-unsur dari Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c
ialah23:
a. Pelaku Usaha
Pengertian pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah setiap orang
perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum atau
bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan di dalam wilayah hukum negara Republik
Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Bahwa
dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.
b. Posisi Dominan
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penguasaan pasar
PT Forisa Nusapersada adalah berkisar antara 90,09% (sembilan
puluh koma kosong sembilan persen) sampai dengan 94,30%
(sembilan puluh empat koma tiga puluh persen) dalam kurun
waktu bulan November 2014 sampai dengan bulan Juli 2015. Atas
dasar penguasaan pangsa pasar tersebut maka PT Forisa
Nusapersada dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha yang
memiliki posisi dominan karena tidak mempunyai pesaing yang
berarti pada pasar bersangkutan. Dengan demikian unsur posisi
dominan telah terpenuhi.
c. Menetapkan Syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk
mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau
jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa perilaku PT
Forisa Nusapersada melalui “Program Pop Ice The Real Ice
Blender” yang diterapkan kepada para pemilik kios minuman
dan/atau para toko pasar terbukti telah mengakibatkan hilangnya
atau setidak-tidaknya mengurangi pilihan konsumen untuk
23Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 191 – 194.
59
mendapatkan produk minuman Olahan Serbuk Berperisa Buah
yang Mengandung Susu dalam Kemasan Sachet yang bersaing.
Dengan demikian unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan
dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen
memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi
harga maupun kualitas telah terpenuhi.
d. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing
untuk memasuki pasar bersangkuatan
Bahwa “Program Pop Ice The Real Ice Blender” sebagai salah satu
upaya PT Forisa Nusapersada untuk merespon penetrasi pasar
produk S‟Cafe yang dilakukan oleh PT Karniel Pasific Indonesia.
Berdasarkan alat bukti diketahui bahwa PT Karniel
Pasific Indonesia didirikan pada bulan Juni 2014. PT Karniel
Pasific Indonesia baru melakukan launching produk S‟Cafe
pada bulan November 2014 dan baru dipasarkan secara masal
(massive) mulai bulan Desember 2014. Atas dasar fakta tersebut,
Majelis Komisi menilai motif utama PT Forisa Nusapersada
membuat “Program Pop Ice The Real Ice Blender” adalah untuk
menghambat PT Karniel Pasific Indonesia selaku pemain baru
dalam industri minuman Olahan Serbuk Berperisa Buah yang
Mengandung Susudalam Kemasan Sachet. Adanya hambatan
masuk pasar (barrier to entry) yang dilakukan PT Forisa
Nusapersada terhadap produk S‟Cafe telah mengakibatkan PT
Karniel Pasific Indonesia mengalami penurunan volume penjualan.
Dengan demikian unsur menghambat pelaku usaha lain yang
berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan
terpenuhi.
Jika kita melihat kepada pertimbangan Majelis Komisi dalam
memberikan putusan tentunya terdapat beberapa perbedaan antara satu
dengan yang lainnya. Perbedaan pertama terdapat dalam pertimbangan
Majelis Komisi dalam Pasal 19 huruf b, di mana dalam putusan KPPU
60
Nomor 6/KPPU-L/2004 Majelis Komisi menyatakan tidak terpenuhi pasal
tersebut. Hal tersebut dikarenakan Majelis Komisi melihat toko grosir dan
semi grosir yang merupakan konsumen dan pelanggan dari ABC, namun
tidak mengkatagorikanya sebagai konsumen dan pelanggan dari PT. PGI.
Kemudian setiap toko masih memiliki opsi untuk dapat mengikuti atau
tidak mengikuti PGK yang dikeluarkan oleh ABC. Kendati banyak toko
grosir dan semi grosir yang memilih untuk mengikutinya hanya didasarkan
kepada pilihan ekonomis semata.
Seperti yang dinyatakan dalam pedoman pelaksanaan Pasal 1924:
“Tindakan yang termasuk ke dalam menghalangi konsumen atau
pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan
usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu, diantaranya adalah
melakukan perjanjian tertutup (axclusive dealing) dengan konsumen atau
pelanggan pelaku usahanya tersebut”. Namun, Majelis Komisi seolah
tidak melihat bahwa dalam surat perjanjian PGK tertera dengan sangat
jelas untuk melarang setiap toko grosir dan semi grosir untuk menjual atau
berhubungan dengan PT PGI. Pernyataan ini pun dapat dibenarkan dengan
banyaknya toko yang sebelumnya mengikuti program Single Pack Display
dari PT PGI, kemudian beralih kepada PGK untuk mendapat potongan dan
bonus yang dijanjikan. Dengan begitu secara otomatis tidak lah terjadinya
hubungan usaha antara toko dengan PT PGI yang di mana sebenarnya
merupakan hubungan antara pelaku usaha dengan pelanggan atau
konsumennya.
Di satu sisi dalam putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015 dalam
pertimbangan Pasal 19 huruf b Majelis Komisi menyatakan bahwa PT
Forisa Nusapersada terbukti telah menghalangi konsumen atau pelangan
dari pelaku usaha pesaingnya dengan instrument “program Pop Ice The
Real Ice Blender.” Di mana dalam program tersebut terdapat perjanjian
yang mengharuskan bagi setiap toko yang ingin mengikuti program
24Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Unndang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Perjanjian Usaha Tidak Sehat, h. 19.
61
tersebut diharuskan untuk menjual produk dari PT Forisa Nusapersada
(POP ICE) secara exclusive. Tidak jauh berbeda dengan PGK, program
“Pop Ice The Real Ice Blender” juga dilangsungkan selama 3 bulan
lamanya.
Kemudian yang menjadi pertanyaan ialah, “mengapa dalam
putusan yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan terkait dengan
penafsiran konsumen dan pelanggan bagi pelaku usaha?” karena jika kita
melihat kepada kedua cara yang digunakan oleh masing-masing pelaku
usaha, sejatinnya terdapat kesamaan pada targetnya yaitu toko grosir dan
semi grosir dari setiap pelaku usaha. Karena di sini toko grosir dan semi
grosir merupakan pelangan sekaligus konsumen dari masing-masing
pelaku usaha. Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 5/1999, “konsumen
adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa untuk
kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain”.Kemudian
pengertian Pelanggan dalam pedoman Pasal 19, ialah25: “pemakai atau
pengguna dari barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri maupun
kepentingan pihak lain yang menggunakan secara berkesinambungan,
teratur, terus menerus baik melalui perjanjian tertulis maupun tidak
tertulis”.
Di mana dalam putusan Majelis Komisi tersebut terdapat
kejanggalan karena tidak sesuai dengan penafsiran gramatikal atau
interpretasi bahasa. Penafsiran gramatikal adalah penafsiran yang
dilakukan oleh hakim secara tata bahasa, dimana jika rumusan undang-
undang tidak jelas, maka hakim harus mencari kata-kata atau kalimat yang
dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dengan mencari pada
makna teks yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan.26 Penafsiran
gramatikal atau interpretasi bahasa secara sederhana melihat arti dari kata
yang terdapat dalam Undang-undang oleh Majelis Komisi untuk
25Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Unndang Nomor 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Perjanjian Usaha Tidak Sehat, h. 8. 26 Sudikno mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, (Yoyakarta: Liberty
Yogyakarta, edisi kedua, cetakan ke enam, januari 2009), h. 40.
62
menentukan suatu putusan yang sesuai dengan maksud dari Undang-
undang. Jika mengkaitkannya dengan kedua putusan KPPU tersebut,
tentulah seharusnya putusan yang diberikan oleh Majelis Komisi tidak lah
berbeda. Karena Pengertian konsumen dan pelanggan dari Undang-undang
No 5 Tahun 1999 tidak berbeda dan tidak terjadi perubahan. Secara bahasa
pun keduaanya tetap memiliki makna yang sama dan tidak terjadi
perubahan.
Jika melihat kepada kedua pengetian tersebut jelaslah bahwa toko
grosir dan semi grosir dikategorikan sebagai pelanggan maupun
konsumen, karena memakai atau menggunakan barang dari pelaku usaha
tersebut dan secara berkesinambungan. Tetapi sebaliknya Majelis Komisi
menilai dalam Putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 bahwa toko grosir
dan semi grosir bukanlah konsumen dan pelangan dari Batu baterai ABC
dan PT PGI. Sedangkan menurut penulis sendiri, penulis lebih condong
kepada putusan yang kedua. Karena memang berdasarkan peraturan yang
ada toko grosir dan semi grosir dikategorikan sebagai pelanggan dan
konsumen dari kedua kasus tersebut lalu kenapa pada putusan yang
selanjutnya dinyatakan tidak terpenuhi dan tidak tergolong sebagai
konsumen dan pelanggan dari market leader. Sekalipun memang ternyata
terdapat perubahan dalam peraturan Hukum Persaingan Usaha yang
berkaitan seharusnya disampaikan kepada para pelaku usaha. karena
perubahan tersebut memiliki dapat yang cukup besar untuk kedepannya.
Dapat terlihat dengan jelas bahwa terdapat pergeseran penafsiran
yang dilakukan oleh Majelis Komisi. Namun, belum tentu semua lapisan
masyarakat mengetahui terkait dengan faktor-faktor apa saja yang bisa
mendorong terjadinya pergeseran penafsiran tersebut. Karena memang
banyak faktor yang dapat menciptakan perubahan atau pergeseran dari
suatu hukum. Kemudian berdasarkan analisis peneliti, peneliti membagi
beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran penafsiran
tersebut ialah:
a. Masuknya Ilmu atau Pengetahuan Baru
63
Masuknya ilmu atau pengetahuan baru tentu sangat mungkin dalam
suatu Negara. Terbelih lagi dengan keadaan sekarang, di mana
ilmu sudah sangat mudah untuk diakses dan berpindah-pindah dari
satu tempat ke tempat lain. Didukung dengan keadaan Negara
Indonesia yang terus berusaha meningkatkan penyempurnaan
dalam penegakan hukumnya dan terus mengikuti pekembangan
hukum dari Negara lain. Salah satunya ialah yang berkaitan dengan
Hukum Persaingan Usaha. Dengan banyaknya pengetahuan baru
dari berbagai Negara di bidang Hukum Persaingan Usaha, tentu
akan berdampak pula pada perkembangan Hukum Persaingan
Usaha di Indonesa dan pengambilan putusan oleh Majelis Komisi.
Hal tersebut yang kemudian dapat menjadi pertimbangan sebagai
salah satu faktor dari terjadinya pergeseran dalam putusan KPPU
Nomor 6/KPPU-L/2004 dan putusan KPPU Nomor 14/KPPU-
L/2015.
b. Masuknya Ahli baru pada bidang tersebut
Selain dengan semakin berkembang pesatnya perpindahan ilmu
atau pengetahuan baru dari satu tempat ketempat lain. Masuknya
ahli dari luar juga merupakan faktor lain yang dapat menjadikan
terjadinya pergeseran dalam penetapan keputusan yang dilakukan
oleh Majelis Komisi. Tidak hanya dengan menyerap ilmu yang dari
Negara lain, tetapi untuk mengembangan Hukum Persaingan
Usaha di Indonesia diperlukan juga seorang yang tidak hanya
memiliki pengetahuan namun juga harus memiliki pengalaman
yang mempuni. Dengan hadirnya seorang ahli baru di bidang
Hukum Persaingan Usaha tentunya akan semakin membuka
wawasan serta pandangan dari Majelis Komisi dalam memandang
suatu kasus. Sehingga bukan tidak mungkin hal tersebut akan
memicu terjadinya pergeseran dalam penerapan unsur dalam
putusan.
c. Semakin banyak sdm baru yang ahli dibidang persaingan usaha
64
Dengan semakin berkembangnya Hukum Persaingan Usaha dari
segi ilmu dan ahlinya, tentu akan berdampak kepada peningkatan
kualitas dari sdm. Karena sdm merupakkan faktor penting dalam
penegakan Hukum Persaingan Usaha. Dengan meningkatnya
kualitas sdm KPPU, tentu akan berdampak kepada kinerja KPPU
khususnya Majelis Komisi dalam mengambil keputusan. Majelis
Komisi tidak akan lagi melihat suatu permasalahan dengan sudut
pandang yang sama, tentunya akan ada kacamata – kacamata lain
yang akan digunakan oleh Majelis Komisi dalam mengambil
keputusan. Kemudian hal tersebut lah yang terjadi dalam putusan
KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 dan putusan KPPU Nomor
14/KPPU-L/2015.
d. Terjadinya perubahan dalam kondisi masyarakat
Tentulah banyak sekali perubahan yang terjadi dalam masyarakat
dalam kurun waktu 10 tahun. Baik dari perubahan kesadaran
masyarakat, keadaan ekonomi dan lain sebagainya. Perubahan
yang terjadi dalam masyarakat akan memperngaruhi pengambilan
keputusan yang dilakukan oleh Majelis Komisi, terbukti dengan
perbedaan dalam putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 dan
putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015. Karena dalam
pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Majelis Komisi,
mereka juga harus melihat kepada keadaan dari masyarakat atau
yang dikenal dengan penafsiran sosiologis atau teologis. Penafsiran
sosiologis atau telogis terjadi apabila makna undang-undang itu
ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan
perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi
sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah usang
digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan
sengketa yang terjadi sekarang. Metode ini baru digunakan apabila
kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai
65
cara.27 Penafsiran tersebut sangat mungkin untuk memberikan
putusan yang berbeda berdasarkan keadaan masyarakat yang sudah
berkembang seiring dengan perkembangan zaman.
Kemudian jika melihat kepada penerapan pada Rule of Reason.
Pendekatan Rule of Reason harus melalui prosedur pembuktian yang
diawali dengan menentukan definisi pasar bersangkutan. perhitungan,
penilaian, dan keputusan tentang implikasi persaingan akibat perilaku apa
pun tergantung pada ukuran (pangsa) pasar dan bentuk pasar
bersangkutan. Suatu pasar memiliki dua komponen, yakni pasar produk
dan pasar geografis. Pasar produk menguraikan mengenai barang atau jasa
yang diperjualbelikan. Sedangkan pasar geografis menguraikan lokasi
produsen atau penjual produk. Proses pendefinisian terhadap kedua
komponen pasar ini memiliki kesamaan, dan tugas penyelidik adalah
meliputi semua produk pengganti (close substitutes) dan atau sumber
penawaran produk yang sedang diselidiki. Fase ini dimaksud untuk
menentukan sampai di mana pembeli (konsumen) dapat beralih ke produk
pengganti atau tempat (sumber) penawaran lainnya.28
Dalam putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 yang dinyatakan
dengan pasar produk adalah baterai manganeseum-3 atau r6 biru atau aa
blue atau produkyang memiliki kualitas, fungsi dan harga yang setara
dengannya. Pasar geografis ialah sejumlah grosir dan semi grosir
tradisional di wilayah jawa dan bali. Dalam putusan KPPU Nomor
14/KPPU-L/2015 yang dinyatakan denan pasar produk adalah produkk
minuman olahan serbuk berperisa buah yang mengandung susu dalam
kemasan sachet. Kemudian pasar georafisnya ialah sejumlah grosir dan
semi grosir tradisional di wilayah jawa dan bali. Namun, jika kita melihat
kepada penetapan terkait dengan kategori pasar grosir dan semi grosir jelas
terjadi pergeseran.
27 Sudikno mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, (Yoyakarta: Liberty
Yogyakarta, edisi kedua, cetakan ke enam, januari 2009), h. 61. 28Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi Pengawas
Persaingan Usaha, 2017).h.83.
66
Dengan terdapatnya perbedaan penerapan unsur antara putusan
satu dengan yang lainnya tentunya akan berdampak cukup luas. Baik
berupa ketidakpastian hukum yang diciptakan sendiri oleh KPPU sebagai
lembaga pengawas dan juga menurunnya tingkat kepercayaan dari pelaku
usaha dari kinerja KPPU sendiri. Dampak-dampak dari perbedaan
penerapan keputusan tersebutlah yang kemudian akan dibahas pada
pembahasan selanjutnya.
C. Dampak Hukum dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 06/KPPU-
L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015
Perbedaan penetapan putusan yang dilakukan oleh Majelis Komisi
dalam putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 dan putusan KPPU Nomor
14/KPPU-L/2015, tentu memiliki dampak terhadap Hukum Persaingan
Usaha. Seperti timbulnya ketidakpastian hukum, timbul atau munculnya
hukum baru dan akan menimbulkan hak-hak baru kepada setiap subjek-
subjek yang terlibat dalam hukum tersebut. Dampak pertama ialah
munculnnya ketidakpastian hukum.
Dapat dipahami bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak
tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian
(uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos)
akibat ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian kepastian
hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan
konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-
keadaan yang sifatnya subjektif.29
Menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa nilai kepastian hukum
akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman
29 R. Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah
Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang,
Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, h.194.
67
perilaku bagi semua orang”.30 Kepastian hukum diartikan sebagai
kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang
dikenakan peraturan ini.31 Jika melihat kepada pedoman tersebut dan
mengaitkannya dengan putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 dan
putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015 tentu akan dapat menimbulkan
permasalahan baru bagi pelaku usaha yang dikenakan dengan peraturan
ini.
Bukan saja tidak mungkin untuk kedepannya akan muncul kasus
serupa yang melibatkan pelaku usaha lain. Dimana terjadinya
penyalahgunaan posisi dominan oleh Market Leader. Kemudian putusan
yang diberikan Majelis Komisi dinilai tidak adil atau tidak tepat oleh pihak
yang berperkara karena terdapat perbedaan putusan akhir dengan salah
satu dari putusan yang diatas. Hal tersebut yang kemudian dapat
memberatkan KPPU kedepannya, karena dinilai tidak dapat memberikan
kepastian selaku dari pengawas Hukum Persaingan Usaha.
Dengan adanya ketidakpastian hukum yang berlangsung. Akan
memberikan ketidakpuasan dari pelaku usaha terhadap Hukum Persaingan
Usaha yang ada dan akan memberikan tekanan kepada KPPU untuk dapat
menciptakan Hukum Persaingan Usaha yang baru. Karena pelaku usaha
akan menilai bahwa Hukum Persaingan Usaha yang sekarang sudah tidak
relate dengan iklim usaha yang sekarang. Terlebih lagi dengan banyak
masuknya ilmu, ahli, sdm dan pengetahuan baru terkait dengan Hukum
Persaingan Usaha tentulah sangat diharapkan adanya perubahan atau
perkembangan dari Hukum Persaingan Usaha.
Kemudian dengan adanya perbedaan penafsiran terhadap kategori
konsumen pada putusan tersebut dapat menimbulkan kerancuan terkait
30Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala
Mimbar Hukum, Vol. 19 No.3 Oktober 2007, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, hlm. 388. 31Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya
Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014, hlm.219
68
dengan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Di mana dengan pergeseran
penafsiran tersebut dapat memberikan pergeseran hak dan kewajiban yang
dibebankan. kemudian apakah pelaku usaha kemudian harus mengikuti
terkait ketentuan yang lama atau yang baru untuk memenuhi hak dan
kewajibannya pula. Hal-hal tersebut yang belum diatur terkait dengan
adanya pergeseran penetapan konsumen dalam putusan tersebut dan
tentunya dapat menimbulkan kerancuan bagi pihak-pihak yang terlibat
atau berdampak dari Hukum Persaingan Usaha dan putusan KPPU
tersebut.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah peneliti kaji dan bahas pada
setiap sub bab pembahasan, maka kemudian peneliti memberikan
kesimpulan sebagai berikut:
1. Perbedaan Penafsiran Hukum oleh Majelis Komisi dalam unsur-unsur
Pasal 19 dan Pasal 25 perkara dengan Nomor 6/KPPU-L/2004 dan
Nomor 14/KPPU-L/2015 diakibatkan oleh beberapa faktor.
Diantaranya ialah masuknnya ilmu atau pengetahuan baru, masuk atau
lahirnya ahli baru pada bidang Hukum Persaingan Usaha dan semakin
meningkatnya kualitas sdm di bidang Hukum Persaigan Usaha dan
terjadinya perubahan dalam kondisi masyarakat. Dikarenakan beberapa
faktor tersebut tentunya cara pengambilan keputusan atau pernaafsiran
hukum yang dilakukan oleh KPPU tidak sama dengan yang dulu. Akan
menggunakan penafsiran hukum lain serta ada beberapa cara pandang,
metode atau pengertian baru dalam Hukum Persaingan Usaha. Oleh
karenanya terdapat perbedaan dalam putusan akhir yang dijatuhkan
KPPU dalam ke dua putusan tersebut.
2. Penerapan Hukum yang dilakukan oleh Majelis Komisi atas
penyalahgunaan posisi dominan dalam putusan Nomor 06/KPPU-
L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015 terjadi pergeseran antara putusan
satu dengan yang lainnya. Dalam putusan Nomor 06/KPPU-L/2004
menyebutkan bahwa toko grosir dan semi grosir bukan merupakan
pelanggan atau konsumen dari pelaku usaha yang di mana jika
mengacu kepada Penafsiran gramatikal dalam Pasal 1 ayat (15)
undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Jelas bahwa toko grosir dan
semi grosir masuk kedalam kategori konsumen dan pelanggan dari
pelaku usaha. Namun, dalam putusan Nomor 14/KPPU-L/2015
menyebutkan bahwa toko grosir dan semi grosir dikategorikan sebagai
69
70
konsumen dan pelanggan dari pelaku usaha. Sehingga terjadi
pergeseran dan pelencengan penafsiran yang dilakuakan oleh Majelis
Komisi jika mengacu kepada kedua putusan tersebut.
B. Rekomendasi
1. Terjadiya perkembangan dalam Hukum Persaingan Usaha sejatinya
bukanlah suatu hal yang buruk. Namun, hal itu tidak bisa terjadi jika
tidak terdapat kejelasan dari KPPU selaku lembaga berwenang.
Menurut pendapat penulis KPPU harus terus menyampaikan
perkembangan-perkembangan yang terdapat dalam Hukum Persaingan
Usaha dan tidak ada salahnya KPPU menciptakan Undang-undang
baru jika memang terdapat pembaharuan dalam Hukum Persaingan
Usaha.
2. Perlu adanya analisis lebih mendalam yang dilakukan oleh KPPU
sebagai lembaga berwenang terhadap undang-undang Persaingan
Usaha. Kemudian menurut saya diperlukannya suatu regulasi yang
relevan dengan perkembangan zaman dan mengatur lebih terperenci
terkait dengan Hukum Persaingan Usaha. Agar tidak terjadi pergeseran
penafsiran seperti pada putusan di atas terulang kembali.
71
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Apeldoorn, Van. 1990. Pengantar Ilmu Hukum,. Jakarta: Pradnya Paramita,
Cetakan Kedua Puluh Empat.
Assauri, Sofjan Assauri. 2011. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Efendi, Jonaedidan Johnny Ibrahim. 2018. Metode Penelitian Hukum: Normatif
dan Empiris, Jakarta: Prenadamedia Group.
Fahmi, Andi Lubis dan kawan-kawan. 2017. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta:
Komisi Pengawas Persaingan Usaha.
Fahmi, AndiLubis. 2009.Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks.
Jakarta: Deutsche Gesellschaftfür Technische Zusammenarbeit.
Hawin, M. dan kawan-kawan.2009.Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan
Perkembangannya. Yogyakarta; CICODS FH-UGM.
Hermansyah,. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan usaha. Jakarta: Kencana
Prenada Media.
Miller, Roger LeRoy. 2000. Teori Ekonomi Mikro Intermediate. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.
Mankiw, Gregory Mankiw. 2000.Teori Makroekonomi. Jakarta: Erlangga.
Margono, Suyud. 2009. Hukum Anti Monopoli.Jakarta: Sinar Grafika.
Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.
Mertokusumo, Sudikno. 2004. Penemuan Hukum. Yogyakarta: Liberty.
72
Poerwadarminta , W.J.S. 2006. , Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.
Jakarta: Balai Pustaka.
Raharjdo, Satjipto. 1986.Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.
Rokan, Mustafa Kamal. 2010. Hukum Persaingan Usaha – Teoridan Praktiknya
di Indonesia. Jakarta: Raja grafindo Persada.
Soekanto, Soerjonodan Sri Mamudji. 2015. PenelitianHukumNormatif:
SuatuTinjauanSingkat. Jakarta: Rajawali Pers.
Susanto, Anton F. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat
Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Syahrani, H. Ridwan. 2009. Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum.
Bandung: PT. Alumni.
Tanya, Bernard L., dkk.2013. Teori Hukum. Yogyakarta: Genta.
Usman, Rachmadi. 2013.Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
Wie, Thee Kian. 2004. Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru.
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
JURNAL
Dimyati, Khudzaifah. “Teoritisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran
Hukum di Indonesia 1945-1990”. Dalam Muhammadiyah University
Press.2005. Universitas Muhammadiyah.
Havcnah, Hagitra. “Efektivitas Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan
Perkara PT. Forisa Nusapersada dalam Program Pop Ice The Real Ice
Blender”.Jurnal Ilmu Hukum, 2015.
Prayogo, R. Tony. “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan
Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan
73
Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang
Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Legislasi
Indonesia” Volume 13, Nomor 2, 2016
Supianto. “Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum
Persaingan Usaha di Indonesia”. Jurnal Rechtens, Vol. 2, No. 1, Juni 2013.
Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta.
Wantu, Fence M. “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim” Jurnal
Berkala Mimbar Hukum Vol. 19 No.3 Oktober 2007, Yogyakarta:
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Warga, Warta. “Jenis-Jenis Pasar Dibedakan Menurut Bentuk Kegiatan, Cara
Transaksi dan Menurut Jenis Barangnya”. Dalam Student Journalism
Volume 2, No 2. 2010. Universitas Gunadarma.
Wijayanta, Tata. “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam
Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal
Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada Yogyakarta.
SKRIPSI
Ismail, Fauzie Kamal. “Tesis berjudul Kepastian Hukum Atas Akta notaris Yang
Berkaitan Dengan Pertanahan”. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,
Depok, 2011.
Pratama, Muhammad Insan C. “Kepastian Hukum dalam Production Sharing
Contract”. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,
2009
Surur, Iftitahus. “Analisa Pasar Bersangkutan Dalam Pasal 25 Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat Terkait Penyalahgunaan Posisi
Dominan”.Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2017.
74
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat.
Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern
Pedoman Pelaksanaan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999
tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persainggan Usaha Tidak Sehat.
Putusan KPPU Nomor. 6/KPPU-L/2004
Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015