PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER

84
PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN NOMOR 14/KPPU-L/2015) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Disusun oleh: AMMAR ICHSAN NIM: 11160480000077 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2021 M

Transcript of PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER

PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER

DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA

(STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN NOMOR

14/KPPU-L/2015)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Disusun oleh:

AMMAR ICHSAN

NIM: 11160480000077

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021 M

PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER

DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA

(STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN NOMOR

14/KPPU-L/2015)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Disusun oleh:

AMMAR ICHSAN

NIM: 11160480000077

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021 M

i

PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER

DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA

(STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-L/2004 DAN NO. 14/KPPU-

L/2015)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh

AMMAR ICHSAN

NIM: 11160480000077

Di Bawah Bimbingan

Dosen Pembimbing I

Dr. Nurhasanah, M.Ag.

NIP: 19740817 20022 013

Dosen Pembimbing 2

Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H

NIDN: 2021088601

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1442 H / 2021 M

ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN

SKRIPSI

Skripsi yang berjudul “PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH

MARKET LEADER DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA

(STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-L/2004 DAN NO. 14/KPPU-

L/2015)” telah diujikan

dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 April 2021. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata satu (S-1) pada Program

Studi Ilmu Hukum.

Jakarta, 11 Mei

2021

Mengesahkan

Dekan,

Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., M.H.,

M.A. NIP. 19760807 200312 1 001

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

1. Ketua : Dr. M. Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H.

NIP. 19670203 201411 1 001

2. Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. NIP. 19650908 1995 1 001

3. Pembimbing I : Dr. Nurhasanah, M.Ag.

NIP. 19740817 200212 2 013

4. Pembimbing II : Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.

NIDN. 2021088601

5. Penguji I : Dr. Ria Safitri,S.H., M.Hum.

NIP. 197112 200604 2 005

6. Penguji II : Faris Satria Alam, M.H.

NIDN. 0325038802 (……………..)

(……………..)

(……………..)

(……………..)

(……………..)

LEMBAR PERNYATAAN

Yang bertanda tangan dibawah ini, saya:

Nama : Ammar Ichsan

NIM 11160480000077

Program Studi : Imu Hukum

Alamat : Bukit Pamulang Indah V blok b4 No.1 Pamulang,

Tangerang Selatan

Kontak : 0812-8420-9149

Email : [email protected]

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Sumber-sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya

cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di Universitas islam negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 April 2021

Ammar Ichsan

iii

ABSTRAK

AMMAR ICHSAN, 11160480000077, “PENYALAHGUNAAN POSISI

DOMINAN OLEH MARKET LEADER DALAM KONTEKS HUKUM

PERSAINGAN USAHA (STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-

L/2004 DAN NO. 14/KPPU-L/2015)”. Konsentrasi Hukum Bsinis, Program

Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif

Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2021 M

Permasalahan utama dalam skripsi ini adalah mengenai perbedaan

penafsiran hukum yang tedapat dalam putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004

dengan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015 terkait penyalahgunaan posisi

dominan. Dalam kedua putusan tersebut terdapat persamaan terkait dengan

penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukkan market leader, Sehingga setiap

unsurnya tidak ada yang membedaan. Namun, di dalam putusan KPPU terdapat

perbedaan penafsiran hukum antara putusan satu dengan yang lainnya. Sehingga

menimbulkan pertanyaan apakah yang menyebabkan terjadinya perbedaan

penafsiran hukum oleh Majelis Komisi dan dampak apakah yang akan timbul

dalam hukum persaingan usaha.

Metode penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif. Yuridis

normatif pada penelitian ini memiliki dua sumber hukum, yakni sumber hukum

primer dan sekunder. Sumber hukum primer pada penelitian ini mencangkup

kepada putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004 dengan Putusan KPPU Nomor

14/KPPU-L/2015. Adapun sumber hukum sekunder merujuk kepada buku-buku

yang berkaitan dengan hukum persaingan usaha, hukum bisnis, skripsi atau jurnal.

Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa perbedaan penafsiran hukum

yang dilakukan oleh Majelis Komisi dalam putusan KPPU Nomor 06/KPPU-

L/2004 dengan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015 adalah terdapat

pergeseran dalam pengkategorian konsumen dan pelanggan dalam Undang-

undang Nomor 5 Tahun 1999. Pergeseran tersebut dapat terjadi karena beberapa

faktor seperti masuknya ilmu atau pengetahuan baru, masukya ahli baru, semakin

meningkatnya kualitas sdm dibidang hukum persaingan usaha serta terjadinya

perubahan kondisi dalam masyarakat. Kemudian akan menimbulkan dampak

dalam iklim persaingan usaha seperti ketidakpastian hukum, timbul atau

munculnya hukum baru dan akan menimbulkan hak atau kewajiban baru bagi

setiap subjek yang terlibat dalam hukum persiangan usaha.

Kata Kunci: Posisi Dominan, Market Leader, Hukum Persaingan Usaha

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Nurhasanah, M.Ag.

2. Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1970 sampai Tahun 2020

iv

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya,

penyusunan skripsi yang berjudul PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN

OLEH MARKET LEADER DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN

USAHA (STUDI ATAS PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-L/2004 DAN NO.

14/KPPU-L/2015), dapat diselesaikan dengan baik, walaupun terdapat beberapa

kendala yang dihadapi saat proses penyusunan skripsi ini. Hal ini tidak dapat

dicapai tanpa adanya bantuan, dukungan, dan bimbingan dari berbagai pihak.

Oleh karena itu, pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati dan penuh

rasa hormat peneliti ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya

kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan jajarannya.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi

Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Nurhasanah, M.Ag.dan Indra Rahmatullah, S.H.I., M.H. Pembimbing

Skripsi yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya

untuk peneliti. Beserta Dosen Penasehat Akademik.

4. Kepala Urusan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, Kepala Pusat Perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah membantu dalam menyediakan fasilitas yang memadai

untuk peneliti mengadakan studi kepustakaan peneliti dalam penulisan

skripsi ini.

5. Kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta yang selalu memberikan dukungan,

baik materil maupun imateriil berupa motivasi, do’a, bahkan kepercayaan

v

untuk dapat duduk di bangku kuliah hingga menyelesaikan gelar sarjana

ini.

6. Kepada pihak yang terkait yang peneliti tidak dapat sebutkan Namanya

satu persatu. Tidak ada yang dapat peniliti berikan, dukungan dan

semangat kalian yang membuat peniliti dapat menyelesaikan skripsi ini

selain ucapan terima kasih.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti maupun bagi

parapembaca khususnya di bidang hukum bisnis.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Jakarta, 10 April 2021

Ammar Ichsan

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN............................................................................... iii

ABSTRAK ......................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ........................................................................................ v

DAFTAR ISI .................................................................................................... vii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah .......................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .................. 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 8

D. Metode Penelitian ................................................................. 10

E. Sistematika Pembahasan ....................................................... 13

BAB II PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN DALAM

KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA ........................ 15

A. Kategori Penyalahgunaan Posisi Dominan dan Pengguasaan

Pasar dalam Hukum Persaingan usaha ................................... 15

1. Pengertian Pasar .............................................................. 15

2. Posisi Dominan ................................................................ 17

3. Unsur-unsur Penguasaan Pasar ........................................ 21

B. Pengaawasan KPPU dan Penyalahgunaan Posisi Dominan .... 25

1. Teori Kepastian Hukum .................................................... 25

2. Rule of Reasons ................................................................ 29

C. Tinjauan (Riview) Kajian Terdahulu ...................................... 32

vii

BAB III PENGAWASAN PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN

OLEH KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA

(KPPU)....................................................................................... 35

A. Profil Komisi Pengawas Persaingan Usaha ............................ 35

B. Peran KPPU Dalam Pengawasan Penyalahgunaan Posisi

Dominan ............................................................................... 37

BAB IV KOMPARASI KASUS PENYALAHGUNAAN POSISI

DOMINAN OLEH MARKET LEADER DALAM PUTUSAN

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA PERKARA

NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN NOMOR 14/KPPU-L/2015 43

A. Review Kasus Penyalahgunaan Posisi Dominan Putusan KPPU

Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015 .......... 43

B. Pertimbangan Hukum Majelis Komisi dalam kasus market

leader putusan KPPU perkaara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan

Nomor 14/KPPU-L/2015. ...................................................... 47

C. Dampak hukum dalam Putusan KPPU perkara Nomor

06/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015 .................... 67

BAB V PENUTUP ................................................................................... 70

A. Kesimpulan ........................................................................... 70

B. Rekomendasi ......................................................................... 71

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 72

viii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat memuat tiga kategori

tindakan-tindakan yang dilarang demi menjaga terjadinya kelangsungan

persaingan yang sehat, yaitu perjanjian yang dilarang, kegiatan yang dilarang,

dan posisi dominan. Kategori perjanjian yang dilarang terdiri atas10 (sepuluh)

jenis perjanjian yang tidak boleh dilakukan oleh pelaku usaha, yakni Oligopoli,

Penetapan Harga, Pembagian Wilayah, Pemboikotan, Kartel, Trust,

Oligopsoni, Integrasi Vertikal, Perjanjian Tertutup, serta Perjanjian dengan

Pihak Luar Negeri.1 Untuk kegiatan yang dilarang sendiri dapat dibagi menjadi

beberapa kegiatan seperti monopoli, monopsoni, penguasaan pasar (predatory

pricing, price war and price competition, penetapan biaya produksi dengan

curang), dan persekongkolan (conspiracy)2. Bentuk-bentuk penyalahgunaan

posisi dominan atau hambatan-hambatan persaingan usaha yang dapat

dilakukan oleh pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan ditetapkan di

dalam Pasal 25 ayat (1) dan Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

ialah mencegah atau mengahalangi konsumen, membatasi pasar dan

perkembangan teknologi, menghambat persaingan potensial, praktek

diskriminasi dan jual rugi.3 Diantaranya ialah penyalahgunaan posisi dominan

yang dilakuakan oleh pelaku usaha.

Contohnya dalam perkara No.7/KPPU-I/2010. Pelanggaran ini

dilakukan oleh PT Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer

1Hermansyah, Pokok-Pokok Hukum Persaingan usaha, (Jakarta: Kencana Prenada Media,

2008), h. 25 2Rachmadi Usman, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,

2013), h. 67. 3Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi Pengawas

Persaingan Usaha, 2017). h.246.

1

2

Global Trading dan PT Pfizer Corporation Panama. Kasus ini berawal dari

Kelompok Usaha Pfizer diduga melakukan pelanggaran Pasal 25 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 yaitu menyalahgunakan posisi

dominannya untuk mempengaruhi dokter dan/atau apotek agar hanya

meresepkan obat dengan merek Norvask. Dimana pangsa pasar Norvask

sepanjang periode 2000-2007 mencapai di atas 50%. Kondisi tersebut

memenuhi kriteria posisi dominan sebagaimana diatur dalam pasal 25 ayat (2).

Pfizer Indonesia mencanangkan program HCCP pada tahun 2005 yang

melibatkan rekanan dokter dan apotik.

HCCP merupakan Program Kesehatan dan Kepatuhan Pasien (disebut

HCCP) yang dilaksanakan dengan kerjasama antara PT. Pfizer Indonesia

dengan tenaga profesi kesehatan terutamanya yaitu dokter dan klinik/apotek.

Lewat program HCCP para dokter dipengaruhi preferensinya dalam meresepan

obat anti hipertensi dengan zat aktif Amlodipini kepada para pasiennya. Dalam

menjalankan program tersebut, kelompok usaha Pfizer juga menjalin kerja

sama dengan PT. Dexa Medica dengan cara melakukan perjanjian penetapan

harga dan kartel.

Kesaksian dari para farmakolog menyebutkan bahwa terdapat interaksi

antar dokter dengan perusahaan farmasi yang diduga berakibat kepada

keputusan dokter dalam peresepan obat. Berdasarkan dokumen, diperoleh data

rekanan dokter dan apotik yang masuk dalam program HCCP Pfizer Indonesia.

Tim pemeriksa menilai bahwa program HCCP yang menjalin kemitraan

dengan para dokter akan mempengaruhi preferensi para dokter untuk

meresepkan obat kepada pasien nya, terutama untuk produk-produk Pfizer,

termasuk Norvask. Putusan Majelis Komisi KPPU menyatakan bahwa PT

Pfizer Indonesia, Pfizer Inc., Pfizer Overseas LLC, Pfizer Global Trading dan

PT Pfizer Corporation Panama terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar

Pasal 5, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 25 ayat (1) huruf a Undang - Undang Nomor

5 Tahun 1999.kasus

Penguasaan posisi dominan dalam hukum persaingan usaha sejatinya

tidak dilarang sepanjang pelaku usaha dalam mencapai posisi dominannya atau

3

menjadi pelaku usaha yang lebih unggul pada pasar yang bersangkutan atas

kemampuannya sendiri dengan cara yang fair (adil).4 Jika pelaku usaha

menggunakan cara yang benar untuk mencapai posisi dominan, hal tersebut

dapat memicu kepada pelaku usaha lain untuk dapat bersaing di pasar

bersangkutan dengan cara yang benar juga. Sebaliknya, perusahaan yang tidak

efisien dan tidak kompetitif serta tidak responsif terhadap kebutuhan konsumen

akan dipaksa keluar dari persaingan.5

Namun, untuk mencapai posisi dominan di suatu pasar bukanlah

perkara yang mudah bagi setiap pelaku usaha, misalkan si pelaku usaha harus

meningkatkan kemampuan keuangannya, kemampuan akses pada pasokan atau

penjualan, serta kemampuan untuk menyesuaikan pasokan atau permintaan

barang atau jasa tertentu terlebih dahulu, barulah kemudian si pelaku usaha

bisa mencapai kedudukan posisi dominan di dalam pasar, sehingga tidak semua

pelaku usaha dapat menempati posisi dominan. Hanya pelaku usaha yang

sudah mengembangkan usaha dengan sangat baik saja yang dapat

menempatinya.

Untuk mencapai posisi dominan dalam pasar tidak jarang pelaku usaha

menggunakan cara yang tidak dibenarkan sehingga munculah tindakan dari

persaingan usaha yang dilarang. Salah satu ciri-ciri pelaku usaha yang

mempunyai posisi dominan adalah jika pelaku usaha tersebut dapat melakukan

persaingan usaha tidak sehat pada pasar yang bersangkutan secara mandiri/

individu tanpa memperhitungkan pesaing-pesaingnya. Kedudukan seperti ini

karena kepemilikan pangsa pasarnya, atau karena kepemilikan pangsa pasar

ditambah dengan kemampuan pengetahuan tehnologinya, bahan baku atau

modal, sehingga pelaku usaha tersebut mempunyai kekuasaan untuk

menentukan harga atau mengontrol produksi atau pemasaran terhadap bagian

4Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks, Jakarta,

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, 2017, h. 165. 5Thee Kian Wie,Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru,

(Jakarta:Penerbit Buku Kompas, 2004), h.173.

4

penting dari produk-produk yang diminta.6 Dengan demikian akibat tindakan

pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan tersebut pasar menjadi

terdistorsi. Pelaku usaha tersebut secara independen tanpa mempertimbangkan

keadaan pesaingnya dapat mempengaruhi pasar akibat penyalahgunaan posisi

dominannya.

Seperti hal nya pelaku usaha yang melakukan penguasaan pasar dengan

jalan menghalangi konsumen untuk membeli produk dari pesaingnya. Seperti

yang tertera dalam pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1999: “Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik

sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa:

a. menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan

kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan;

b. menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk

tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu;”

Kegiatan tersebut digolongkan ke dalam suatu tindakan yang dilarang.

Kegiatan tersebut dilakukan guna dapat mempertahankan posisi dominan atau

meraih posisi dominan dalam pasar. Jelas kegiatan menghalangi konsumen

untuk membeli produk dari pesaingnya merupakan kegiatan yang dilarang oleh

undang-undang persaingan usaha, baik untuk meraih posisi dominan atau pun

untuk mempertahankannya. Kegiatan yang dilarang dalam Undang-undang

persaingan usaha dilihat berdasarkan dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan

tersebut, dengan menggunakan pendekatan Rule of Reasons.

Kegiatan penyalahgunaan posisi dominan tersebut seperti yang terjadi

dalam putusan KPPU dengan perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor

14/KPPU-L/2015. Dalam kedua putusan tersebut dijelaskan bahwa pelaku

usaha sebagai Market leader atau pemilik posisi dominan yang bergerak

dibidang penyediaan produk untuk dikonsumsi oleh konsumen atau pelanggan

menyalahgunakan posisi dominan dengan penguasaan pasar guna menghalangi

6Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi Pengawas

Persaingan Usaha, 2017).h.234.

5

konsumen atau pelanggan untuk membeli produk dari pesaingnya. Pada kasus

pertama ialah pada tahun 2004 PT. Arta Boga Cemerleng yang menjual batu

baterai ABC sedang melakukan Program Geser Kompetitor (yang kemudian

disebut PGK). Namun, ternyata PGK yang dilakuakan oleh PT. Arta Boga

Cemerlang merupakan pelanggaran terhadap hukum persaingan usaha, karena

dinilai melakukan penguasaan pasar dengan penyalahgunaan posisi dominan

yang dimilikinya. Pada tahun 2014 PT. Forisa Nusapersada yang merupakan

atau penyuplai minuman bermerk Pop Ice mengeluarkan Program Pop Ice The

Ice Blender. Program tersebut dikeluarkan untuk mempertahankan Pop Ice

sebagai Market Leader dari pasar yang bersangkutan. Namun, cara yang

dilakukan ternyata melanggar ketentuan terkait dengan penyalahgunaan posisi

dominan dan penguasaan pasar. Kegiatan yang dilakukan oleh terlapor dalam

kedua perkara tersebut akan menimbulkan terjadinya monopoli dengan cara

yang tidak sehat.

Sejatinya karena dalam dua perkara tersebut memiliki kesamaan antara

satu dengan yang lainnya, yaitu terkait penyalahgunaan posisi dominan dan

penguasaan pasar. Seharusnya penerapan unsur-unsur dalam pasal yang

dilakukan oleh Majelis Komisi tidaklah berbeda. Tetapi kenyataannya dalam

penerapan unsur pasal-pasal terdapat perbedaan antara putusan satu dengan

putusan yang lainnya. Pada putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004, Majelis

Komisi menyatakan bahwa Pasal 19 huruf b tidak terpenuhi. Hal tersebut

dikarenakan setiap toko yang mengikuti PGK tidak dikategorikan ke dalam

konsumen dan pelangggan dari baterai Panasonic yang merupakan kompetitor

dari baterai ABC. Sedangkan dalam putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015,

Majelis Komisi menyatakan bahwa setiap toko yang mengikuti program Pop

Ice The Real Ice Blender dinyatakan termaksud dan tergolong kedalam

konsumen dan pelanggan dari pesaing Pop Ice. Sehingga pada putusan tahun

2015 Majelis Komisi menyatakan terpenuhinya Pasal 19 huruf b.

Dapat terlihat dengan jelas bahwa terdapat pergeseran penerapan unsur

dalam Pasal yang dilakukan oleh Majelis Komisi. Namun, faktor-faktor apa

saja yang menyebabkan terjadinya pergeseran penerapan pasal oleh Majelis

6

Komisi. Perbedaan penerapan unsur yang dilakukann oleh Majelis Komisi

tersebut yang kemudian menimbulkan pertanyaan. Karena dengan kurun waktu

yang cukup lama, tentu banyak faktor yang mempengaruhi perbedaan

penerapan unsur yang dilakukan oleh Majelis Komisi.

Dengan adanya perbedaan hasil akhir pada putusan, akan berdampak

cukup luas. Seperti ketidakpastian hukum yang akan timbul dari perbedaan

penafsiran terhadap pasal yang nantinya akan menimbulkan perbedaan jika

berkaca dari dari putusan tersebut. Hal tersebut akan menimbulkan

kekhawatiran bilamana terdapat kasus yang serupa kedepannya dapat menjadi

hambatan KPPU dalam menentukan putusan. Menurunnya tingkat kepercayaan

pengusaha terhadap kinerja dari KPPU merupakan dampak lain yang dapat

terjadi. Pergeseran penerapan unsur tersebut juga akan menimbulkan

pertanyaan, apakah perlu adanya pembuatan hukum baru terkait dengan

Hukum Persaingan Usaha. Baik dari segi peraturan terkait atau pun dari segi

peraturan yang berkaitan langsung dengan Hukum Persaingan Usaha.

Peneliti melihat perlunya ada kajian lebih mendalam terhadap

perbedaan penerapan unsur dalam pasal undang-undang persaingan usaha

terkait dengan penyalahgunaan posisi dominan dalam penguasaan pasar yang

akan berdampak kepada tindakan monopoli. Membandingkan Unsur-unsur apa

saja yang sebenarnya terdapat dalam pasal 19 dan pasal 25 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

Usaha Tidak Sehat dalam PUTUSAN KPPU NOMOR 6/KPPU-L/2004 dan

NOMOR 14/KPPU-L/2015 yang merupakan pasal terkait dengan kegiatan

penguasaan pasar dan posisi dominan pelaku usaha serta bagaimana

penerapannya. Serta menbandingkan teori apa yang tepat untuk dapat

digunakan oleh Majelis Komisi dalam memberikan putusannya dalam perkara

NOMOR 6/KPPU-L/2004 dan NOMOR 14/KPPU-L/2015

Sebagaimana uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk mengkaji dan

membahas penelitian dalam bentuk skripsi yang berjudul:

“PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH MARKET LEADER

7

DALAM KONTEKS HUKUM PERSAINGAN USAHA (STUDI KASUS

PUTUSAN KPPU NO. 6/KPPU-L/2004 DAN NO. 14/KPPU-L/2015)”

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan di atas,

maka identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Perbedaan penafsiran Majelis Komisi dalam Putusan KPPU perkara

Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015.

b. Dampak yang timbul dari adanya perbedaan hasil akhir dalam Putusan

KPPU perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015.

c. Membandingkan perbedaan penerapan unsur dalam Putusan KPPU

perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015.

d. Menjabarkan penerapan unsur dan teori dalam Putusan KPPU perkara

Nomor 6/KPPU-L/2004.

e. Menjabarkan penerapan unsur dan teori dalam Putusan KPPU perkara

Nomor 14/KPPU-L/2015.

f. Dampak dari perbedaan putusan Komisi Pengawasaan Persaingan Usaha

terhadap Pasal-Pasal yang sama pada kasus yang berbeda.

2. Pembatasan Masalah

Agar permasalahan yang ingin dikemukakan dan dikaji oleh peneliti

tidak terlalu melebar, maka pembahasan pada skripsi ini dibatasi dengan

beberapa pembatasan sebagai berikut, yaknit erkait putusan KPPU terhadap

perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015 dan melihat

luasnya dampak dari kedua putusan tersebut, maka peneliti melihat perlunya

untuk membandingkan isi dari kedua putusan tersebut. Serta dampak yang

akan timbul dari hasil akhir kedua putusan terebut.

3. Perumusan Masalah

8

Masalah utama dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan dalam

putusan KPPU dengan perkara Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor

14/KPPU-L/2015, dimana dalam perkara tersebut sebenarnya terjadi suatu

kesamaan yaitu penyalahgunaan posisi dominan dalam penguasaan pasar

yang berdampak kepada praktek persaingan usaha tidak sehat. Karena hal

tersebut akan berdampak kepada putusan-putusan lainnya di masa yang

akan datang. Hal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum bagi

para pelaku usaha yang mencari keadilan.Serta dapat menurunkan tingkat

kepercayaan pelaku usaha atas kinerja KPPU.

Berdasar dari identifikasi masalah yang telah peneliti jelaskan di

atas, maka pada penelitian skripsi ini perumusan masalah yang diangkat

oleh peneliti adalah unsur-unsur dalam Pasal 19 dan Pasal 25 Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat terkait dengan penyalahguaan posisi

doominan, berdasarkan Permasalahan tersebut maka peneliti mempertegas

dalam bentuk pertanyaan, sebagai berikut.

a. Mengapa terjadi perbedaan penerapan unsur-unsur Pasal 19 dan Pasal 25

dalam perkara dengan Nomor 6/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-

L/2015?

b. Bagaimana Penerapan Hukum atas praktik penyalahgunaan Posisi

Dominan Dalam Putusan KPPU perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan

Nomor 14/KPPU-L/2015?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasar pada rumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah

dipaparkan dan diuraikan di atas, maka tujuan penelitian yang hendak

dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut.

I. Untuk megetahui perbedaan terkait penerapan unsur-unsur dan teori

yang digunakan oleh Majelis Komisi dalam Pasal 19 dan Pasal 25

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

9

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat dalam Putusan KPPU

perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015.

II. Untuk mengetahui dampak pada persoalan hukum jika mengacu

kepada penerapan Penyalahgunaan Posisi dominan dalam Pasal 19

dan Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat

dalam Putusan KPPU perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor

14/KPPU-L/2015.

2. Manfaat Penelitian

I. Manfaat Teoritis

a. Melatih kemampuan untuk melakukan penelitian ilmiah dan

menuliskan hasil dari penelitian tersebut dalam bentuk tulisan.

b. Menerapkan dan merekontruksi teori-teori yang telah diperoleh dari

bangku perkuliahan untuk dipraktikan di lapangan.

c. Memperoleh manfaat di bidang hukum pada umumnya maupun

dalam bidang hukum persaingan usaha secara khususnya dengan

mempelajari literatur hukum yang ada serta perkembangan hukum

yang timbul di tengah-tengah masyarakat.

II. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Dengan melakukan penelitian ini, peneliti dapat mengetahui

tentang penerapan unsur yang tepat dalam dalam Undang-Undang

Persaingan Usaha dan merupakan peluang untuk dapat terjun dalam

dunia hukum khususnya yang terkait dengan persaingan usaha.

b. Bagi Akademis

Dengan penelitian ini, peneliti mengharapkan dapat

memberikan ilmu pengetahuan serta dapat menjadi masukan baik

bagi pemerintah dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha demi

terbentuknya suatu kepastian dalam penerapan suatau pasal dalam

10

Undang-Undang, yang dibutuhkan maupun bagi akademisi demi

perkembangan ilmu hukum terkhusus mengenai hukum persaingan

usaha. Serta diharapkan dengan adanya penelitian ini akan menjadi

titik terang bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha dan masyarakat

bila terdapat kasus seperti ini lagi.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini pada dasarnya menggunakan metode penelitian

Kualitatif, yaitu sebuah metode riset yang sifatnya desktiptif, menggunakan

analisis, mengacu pada data, memanfaatkan teori yang sudah ada sebagai

bahan pendukung, serta menghasilkan suatu teori. Tipe penelitian yang

digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah library research (studi

kepustakaan) dengan metode penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis

normatif adalah metode penelitian hukum yang dilakukan dengan meneliti

bahan pustaka atau data sekunder, sepanjang bahan-bahan tersebut

mengandung kaidah-kaidah hukum. Penelitian ini merupakan jenis

penelitian normatif terhadap asas-asas hukum, yakni penelitian asas-asas

hukum terhadap kaidah-kaidah hukum.7

2. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian skripsi ini

adalah metode pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan

kasus (case approach), komparasi dan pendekatan konseptual (conceptual

approach).8 Pendekatan perundang-undangan dilakukan untuk meneliti

aturan-aturan yang berkaitan dengan putusan KPPU perkara Nomor

06/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015, yakni Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan

7Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 62. 8Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), h.

136.

11

Usaha Tidak Sehat. Pendekatan kasus dilakukan dengan melakukan studi

kasus pada putusan KPPU perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor

14/KPPU-L/2015. Pedekatan komparasi digunakan untuk membandingkan

antara penerapan unsur pada putusan KPPU perkara Nomor 06/KPPU-

L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015. Terakhir, pendekatan konsep

digunakan untuk memahami unsur-unsur yang diterapkan oleh Majelis

Komisi dalam penerapannya terhadap putusan.

3. Sumber atau Sumber Data

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan bukum yang bersifat

autoritatif, artinya mempunyai otoritas.9 Bahan hukum primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam

penelitian ini, bahan hukum primer yang digunakan terdiri dari:

1) Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan Nomor Perkara

6/KPPU-L/2004.

2) Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan Nomor Perkara

14/KPPU-L/2015.

3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek

Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

mengenai bahan hukum primer.10 Bahan hukum sekunder merupakan

semua publikasi tentang hukum yang bukan termasuk dokumen resmi,

seperti buku-buku, kamus hukum, jurnal hukum, dan tulisan lainnya yang

berkaitan dengan hukum. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam

penelitian ini antara lain buku-buku yang berkaitan dengan hukum

9Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2015), h. 13. 10Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004), h.119.

12

persaingan usaha, hukum bisnis, skripsi dan jurnal serta materi hukum

yang berkiatan dan/atau dapat mendukung materi peneliti dalam

penelitian.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier dapat juga disebut sebagai bahan

nonhukum.11 Bahan hukum tersier digunakan sebagai penunjang dari

penelitian karena peneliti menimbang butuhnya meneliti cabang ilmu lain

demi perkembangan penelitian ini untuk menjelaskan informasi lebih

lanjut mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder di atas.

Hal tersebut dilakuakan agar tujuan akhir dari penelitian ini dapat dicapai

dengan memuaskan. Bahan hukum tersier yang digunakan dalam

penelitian ini, yaitu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), koran, dan

sumber-sumber informasi lain yang dapat mendukung penelitian ini baik

secara langsung atau online.

4. Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan

prosedur pengumpulan bahan hukum dengan cara studi kepustakaan (library

research) terhadap bahan-bahan hukum baik primer, sekunder maupun

tersier dan juga bahan non hukum yang berkaitan dengan tema penelitian.

Referensi dari literatur antara lain ialah buku, jurnal artikel skripsi, tesis,

disertasi, peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan di

berbagai pustaka umum dan universitas baik secara langsug maupun online.

5. Teknik Pengolahan Data

Adapun bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yang diperoleh

dalam penelitian studi kepustakaan diuraikan dan dihubungkan sedemikian

rupa. Sehingga disajikan dalam bentuk penelitian yang lebih sistematis

untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Sedangkan untuk

11Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Prenadamedia Group, 2005), h.

204.

13

pengolahan bahan hukum dilakukan dengan cara deduktif, yakni menarik

kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap

permasahan kongkret.

6. Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh dan dikumpulkan kemudian dikelola

dengan menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu metode yang bersifat

deskriptif. Data yang telah diolah disajikan dalam bentuk uraikan kalimat

yang logis, lalu diberikan penafsiran dan kesimpulan oleh peneliti. Tujuan

digunakannya metode ini adalah untuk memberikan penjelasan lebih

terperinci, mendalam dan menyeluruh terhadap isu hukum yang diteliti.Agar

dapat mencapai tujuan dari penelitian ini.

7. Teknik Penarikan Kesimpulan

Teknik penarikan kesimpulan pada penelitian ini digunakan dengan

melakukan pola pikir deduktif. Pola pikir deduktif adalah pola pikir yang

menarik kesimpulan khusus dari pernyataan-pernyataan yang bersifat umum

mengenai topik penelitian.12

E. Sistematika Pembahasan

Skripsi ini dengan mengacu pada buku Pedoman Penelitian Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Hidayatullah Jakarta Tahun 2017,

yang terbagi dalam lima bab. Pada setiap bab berisikan beberapa sub bab yang

nantikan akan memperjelaskan ruang lingkupnya tersendiri, guna menjawab

permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dari setiap bab serta ini dari

pembahasan setiap bab adalah sebagai berikut:

Bab Pertama, Bab ini merupakan pendahuluan, yang berisi Latar

Belakang, Pembatasan Masalah dan Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penelitian, Metode Penelitian, dan Rancangan Sistematika Penelitian yang

semuanya digambaran secara umum berdasarkann kaidah-kaidah yang telah

12Jonaedi Efendi dan Johnny Ibrahim, Metode Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris,

(Jakarta: Prenadamedia Group, 2018), h. 28.

14

ditentukan berdasarkan Hukum Persaingan usaha. Penerangan secara lebih

rincinya akan disampaikan pada bab 2.

Bab Kedua, Bab ini menyajikan kajian pustaka yang didahului dengan

konsep dasar dari kerangka teori dan kerangka konseptual yang berisi tinjauan

umum tentang hukum persaingan usaha, yakni mengenai unsur, asas serta teori

apa saya yang terdapat dalam hukum persaingan usaha. Pada bab ini juga

dibahas review studi terdahulu yang relevan, yang fokus pembahasannya

mendeskripsikan persamaan dan perbedaan dari studi yang peneliti akan

lakukan yang teorinya nanti akan digunaakan untuk meneliti objek pada pada

bab selanjutnya.

Bab Ketiga, Bab ini berisikan profil Komisi Pengawas Persaingan

Usaha berserta data penelitian yang berkenaan dengan data yang diteliti yaitu

isi dari Putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha dengan No 6/KPPU-

L/2004 dan No 14/KPPU-L/2015. Kemudian putusan itu akan diolah pada bab

selanjutnya.

Bab Keempat, Setelah penjabaran panjang pada bab-bab sebelumnya

terkait dengan teori, asas dan objek apa yang akan diteliti. Bab ini merupakan

analisis terdahap objek permasalahan yang akan membahas dan menjawab

permasalahan pada penelitian ini diantaranya membandingkan penerapan unsur

putusan KPPU dengan perkara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor 14/KPPU-

L/2015

Bab Kelima, Merupakan penutup yang berisikan tentang kesimpulan

yang dapat ditarik mengacu pada hasil penelitian sesuai dengan perumusan

masalah yang telah diterapkan dan rekomendasi yang akan lahir setelah

pelaksanaan penelitian dan pengulasannya dalam skripsi

BAB II

PEYALAHGUNAAN POSISI DIMINAN DALAM KONTEKS

HUKUM PERSAINGAN USAHA

A. Kategori Penyalahgunaan Posisi Dominan dan Pengguasaan Pasar dalam

Hukum Persaingan usaha

1. Pengertian Pasar

Menurut KBBI, pengertian pasar merupakan tempat sekumpulan

orang melakukan transaksi jual-beli. Merupakan sebuah tempat untuk jual

beli yang diadakan oleh sebuah organisasi atau perkumpulan dan

sebagainya dengan maksud untuk dapat mencari derma. Pasar adalah area

tempat jual beli barang dengan jumlah penjualan lebih dari satu baik yang

disebut pusat perbelanjaan, pasar tradisional, pertokoan, mall, plasa, pusat

perdagangan maupun sebutan lainnya. Pasar tradisional adalah pasar yang

dibangun dan dikelola oleh pemerintah pemerintah daerah, swasta, badan

usaha milik negara dan badan usaha milik daerah termasuk kerjasama

dengan swasta dengan tempat usaha berupa toko, kios, los dan tenda yang

dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat

atau koperasi dengan usaha sekala kecil modal kecil dan dengan proses

jual beli barang dengan melalui tawar-menawar.

Dalam Undang-Undang Persaingan Usaha menyebutkan bahwa

“Pasar adalah lembaga ekonomi dimana para pembeli dan penjual baik

secara langsung maupun tidak langsung dapat melakukan transaksi

perdagangan barang dan atau jasa.”

Menurut Gregory Mankiw pasar adalah sekumpulan pembeli dan

penjual dari sebuah barang tertentu dan pasar adalah sesuatu yang

memungkinkan pembeli dan penjual melakukan pertukaran yang saling

menguntungkan. 1

1Gregory Mankiw, Teori Makroekonomi, (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 75.

15

16

Dalam arti yang paling luas, pasar tidaklah harus berarti suatu

tempat, tetapi suatu institusi yang menjadi ajang operasi-operasi kekuatan

yang menentukan harga. Dengan kata lain, dalam pasarlah pemasok dan

permintaan beroperasi.2

Pengertian pasar menurut Sofjan Assauri dalam bukunya yang

berjudul: Manajemen Pemasaran, menyatakan: “Pada mulanya istilah

pasar dikaitkan dengan pengertian tempat pembeli dan penjual bersama-

sama melakukan pertukaran. Pengertian itu berkembang menjadi

pertemuan atau hubungan antara permintaan dan penawaran”.3 Pasar

dalam arti luas adalah suatu bentuk transaksi jual beli yang melibatkan

keberadaan produk barang atau jasa dengan alat tukar berupa uang atau

dengan alat tukar lainnya sebagai alat transaksi pembayaran yang sah dan

disetujui oleh kedua belah pihak.

Jika dibagi dari bentuk kegiatan, maka pasar dapat digolongkan

menjadi dua jenis, yaitu:4

a. Pasar Konkret

Adalah pasar di mana barang-barang yang akan diperjual belikan dan

dapat dibeli oleh pembeli. Contoh: pasar tradisional dan pasar

swalayan.

b. Pasar Abstrak

Adalah pasar di mana para pedagangnya tidak menawar barang-

barang yang akan dijual dan tidak membeli secara langsung tetapi

hanya dengan menggunakan surat dagangannya saja. Contoh pasar

online, pasar saham, pasar modal, dan pasar valuta asing.

Secara sederhana, definisi pasar selalu dibatasi oleh anggapan yang

menyatakan antara pembeli dan penjual harus bertemu secara langsung

2 Roger LeRoy Miller, Teori Ekonomi Mikro Intermediate, (Jakarta: RajaGrafindo

Persada, 2000), h. 23. 3Sofjan Assauri, Manajemen Pemasaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011),h. 98. 4 Warta Warga, Jenis-Jenis Pasar Dibedakan Menurut Bentuk Kegiatan, Cara Transaksi

dan Menurut Jenis Barangnya, (Jakarta: Student Journalism Universitas Gunadarma, 2010).

17

untuk mengadakan interaksi jual beli. Namun, pengertian tersebut tidaklah

sepenuhnya benar karena seiring kemajuan teknologi, internet, atau malah

hanya dengan surat. Pembeli dan penjual tidak bertemu secara langsung,

mereka dapat saja berada di tempat yang berbeda atau berjauhan. Artinya,

dalam proses pembentukan pasar, hanya dibutuhkan adanya penjual,

pembeli, dan barang yang diperjualbelikan serta adanya kesepakatan

antara penjual dan pembeli.

2. Posisi Dominan

a. Pengertian Posisi Dominan

Pengaturan posisi dominan di Indonesia tercantum dalam Pasal

1 angka (4) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

praktik Monopoli dan Persaingnan Usaha Tidak Sehat, yaitu: “Posisi

dominan adalah keadaan di mana pelaku usaha tidak mempunyai

pesaing yang berarti di pasar bersangkutan dalam kaitan dengan

pangsa pasar yang dikuasai, atau pelaku usaha mempunyai posisi

tertinggi di antara pesaingnya di pasar bersangkutan dalam kaitan

dengan kemampuan keuangaan, kemampuan akses pada pasokan atau

penjualan, serta kemmpuan untuk mennyesuaikan pasokan atau

permintaan barang atau jasa tertentu”.

Ketentuan ini menetapkan syarat atau parameter posisi

dominan. Syarat yang dimaksud adalah pelaku usaha tidak mempunyai

pesaing yang berarti atau pelaku usaha mempunyai posisi yang lebih

tinggi dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnnya di pasar yang

bersangkutan dalam kaitan pangsa pasarnya, kemampuan keuangan

kemampuan akses pada pasokan atau penjualan, dan kemampuan

menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Kemudian terdapat beberapa faktor yang dapat memicu

terjadinya penyalahgunaan posisi dominan. Diantaranya ialah5;

Pasar bebas sejatinya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan

dari konsumen. Di mana pelaku usaha berlomba untuk

memenuhi segala kebutuhan dari konsumen. Naamun, pasar

5 Muhammad Fikri Alfarizi Skripsi, berjudul Penyalahgunaan Posisi Dominan dalam

perspektif Kejahatan Korporasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Fakultas Hukum Universitas

Brawijaya, Malang, 2009, hlm. 6-7.

18

bebas yang tidak berjalan dengan baik dan tidak diawasi

dengan baik dapat memicu berbagai macam masalah maka

pelaku usaha dapat menguasai kegiatan ekonomi melalui

perilaku anti persaingan, seperti kartel, penyalahgunaan

posisi dominan, penetapan harga (price fixing),

penggabungan, dan sebagainya. Kondisi pasar yang bersaing

tidak sempurna, pelaku usaha secara individual atau melalui

tindakan bersama dapat menetapkan harga dan alokasi

sumber daya ekonomi.

Pelaku usaha yang organ-organnya memiliki jabatan yang

sama direksi atau dewan komisaris pada perusahaan lain yang

sejenis bidang usaha dapat mempengaruhi atau menghambat

persaingan usaha yang sehat karena ketika suatu perusahaan

menjadi anggota direksi atau dewan komisaris pada

perusahaan sejenis maka dapat menciptakan hubungan

keluarga antara perusahaan tersebut, sehingga akan

memudahkan ketika ingin membuat kebijkan-kebijakan yang

bersifat anti-persaingan.

b. Unsur-unsur Posisi Dominan

Syarat yang ditetapkan oleh Pasal 1 angka (4) Undang -

Undang Nomor 5 Tahun 1999 yang penting adalah bahwa pelaku

usaha yang mempunyai posisi dominan mempunyai posisi tertinggi

diantara pesaingnnya dalam kaitan dengan kemampuan keuangan,

kemampuan akses pada pasokan atau penjualan dan kemampuan

menyesuaikan pasokan atau permintaan barang atau jasa tertentu.

Namun ketentuan ini tidak menjelaskan syarat-syarat tersebut harus

dipenuhi oleh suatu pelaku usaha secara kumulatif atau tidak. Artinya

apakah jika salah satu syarat tersebut dimiliki oleh pelaku usaha dapat

dinyatakan bahwa pelaku usaha tersebut sudah mempunyai posisi

19

diminan? Dari pengertan posisi dominan Pasal 1 angka (4) tersebut

dapat diuraikan sebagai berikut;6

a. Kemampuan Keuangan

Salah satu unsur yang menyatakan bahwa suatu pelaku usaha

mempunyai posisi dominan adalah apabila pelaku usaha mempunyai

keuangan yang lebih besar (kuat) dibandingkan dengan keuangan

pelaku usaha pesaingnya. Secara sederhana dapat dilihat dari

keberadaan pelaku usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih

tinggi (besar) dibandingkan dengan pelaku usaha pesaingnya, pelaku

usaha yang mempunyai pangsa pasar yang lebih tinggi akan

mempunyai keuangan yang lebih besar dibandingkan dengan pelaku

usaha pesaingnya. Karena presentase nilai jual atau beli yang lebih

tinggi atas suatu barang atau jasa tertentu dibandingkan dengan

pesaingnya.

b. Kemampuan pada Pasoka atau Penjualan

Kemampuan mengatur pasokan atau penjualan adalah salah satu ciri

pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan. Kemamppuan ini

dapat dilakukan oleh suatu pelaku usaha jika memiliki pasngsa pasar

yang lebih tinggi dibandingkan dengan pesaingnya. Oleh karena itu

penilaian pangsa pasar pada suatu pasar bersangkutan sangatlah

penting. Karena sangat mungkin suatu pelaku yang memiliki pangsa

pasar lebih tinggi dapat menentukan pasokan atau penjualan pada

pasar yang bersangkutan.

c. Kemampuan Menyesuaikan Pasokan atau Permintaan

Kemampuan pelaku usaha untuk menyesuaikan pasokan atau

permintaan barang atau jasa tertentu pada pasar yang bersangkutan

menjadi salah unsur penting dalam menentukan posisi dominan dari

pelaku usaha. Pada prinsipnya kemampuan menyesuaikan pasokan

atau permintaan atas suatu barang atau jasa tertentu pada pasar yang

6 M. Hawin, dkk, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan Perkembangannya,

(Yogyakarta; CICODS FH-UGM, 2009), h. 76.

20

bersangkutan mempunyai kesamaan dengan kemampuan mengatur

pasokan atau penjualan barang atau jasa tertentu.

c. Kategori Penyalahgunaan Posisi Dominan

i. Mencegah atau Menghalangi Konsumen

Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan dapat melakukan

suatu tindakan untuk mencegah atau menghalangi konsumen

untuk memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari

segi harga maupun kualitas dengan menetapkan syarat

perdagangan. Syarat utama yang harus dipenuhi oleh ketentuan

Pasal 25 ayat (1) huruf a adalah syarat perdagangan yang dapat

mencegah konsumen memperoleh barang yang bersaing baik dari

segi harga maupun dari segi kualitas.7

ii. Membatasi Pasar atau Pengembangan Teknologi

Pengertian membatasi pasar yang dilakukan oleh pelaku usaha

yang mempunyai posisi dominan sebagai penjual atau pembeli

dapat diartikan di mana pelaku usaha yang mempunyai posisi

dominan mempunyai kemungkinan besar untuk mendistorsi

pasar yang mengakibatkan pelaku usaha pesaingnya sulit untuk

dapat bersaing di pasar yang bersangkutan.8

iii. Menghambat Pesaing Potensial

Bentuk penyalahgunaan posisi dominan yang dilakukan oleh

pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan adalah

menghambat pelaku usaha yang lain yang berpotensi menjadi

pesaing di pasar yang bersangkutan. Ketentuan ini ada kesamaan

dengan larangan Pasal 19 huruf a tentang menolak dan atau

menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan

usaha yang sama pada pasar bersangkutan. Dalam hukum

7Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi Pengawas

Persaingan Usaha, 2017).h.247. 8Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.248.

21

persaingan usaha dikenal apa yang disebut dengan pesaing

faktual dan pesaing potensial.9

iv. Praktik Diskriminasi

Praktik diskriminasi dapat dilakukan oleh satu pelaku usaha

secara mandiri atau dua atau tiga pelaku usaha yang mempunyai

posisi dominan atau daya tawar yang kuat yang mempunyai

posisi secara kolektif. Praktik diskriminasi merupakan tindakan

atau perlakuan dalam berbagai bentuk yang berbeda yang

dilakukan satu pelaku usaha terhadap pelaku usaha tertentu.10

v. Diskriminasi Harga

Pelaku usaha yang mempunyai posisi dominan secara sepihak

dapat melakukan diskriminasi harga terhadap pembeli yang satu

dengan pembeli yang lain untuk suatu barang yang sama. Pasal 6

UU No. 5 Tahun 1999 melarang pelaku usaha untuk melakukan

diskriminasi harga terhadap pelaku usaha tertentu untuk

membayar dengan harga yang berbeda dari harga yang harus

dibayar oleh pelaku usaha lain untuk barang dan atau jasa yang

sama.11

vi. Predatory Pricing (Jual Rugi)

Salah satu perilaku pelaku usaha yang mempunyai posisi

dominan adalah dapat melakukan praktik jual rugi (predatory

pricing). Pengertian jual rugi adalah melakukan pemasokan

barang dan atau jasa dengan cara melakukan jual rugi atau

menetapkan harga yang sangat rendah dengan maksud untuk

menyingkirkan atau mematikan usaha pesaingnya di pasar

bersangkutan sehingga dapat mengakibatkan terjadinya praktik

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat. Tujuan pelaku

usaha melakukan jual rugi adalah untuk menyingkirkan

pesaingnya dari pasar. Oleh karena itu praktik jual rugi biasanya

9Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha,… h.249. 10Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.250. 11Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.251.

22

dilakukan dalam waktu jangka panjang sampai pesaingnya

tersingkir dari pasar. Jual rugi dalam jangka pendek akan

menguntungkan konsumen. Akan tetapi apabila pelaku usaha

pesaing tersingkir dari pasar, maka pelaku usaha dominan akan

menaikkan harga secara signifikan untuk menutupi kerugian

sebelumnya.12

3. Unsur-Unsur penguasaan Pasar13

Unsur Pelaku

a. Pelaku Usaha

Berdasarkan Pasal 1 angka 5 UU Nomor 5 Tahun 1999, pelaku usaha

adalah setiap orang perorangan atau badan usaha baik yang berbentuk

badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara

kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-

sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha

dalam bidang ekonomi.

b. Pelaku Usaha Lain

Pelaku usaha lain adalah pelaku usaha yang melakukan satu atau

beberapa kegiatan secara bersama-sama pada pasar bersangkutan.

Pelaku usaha lain menurut penjelasan Pasal 17 ayat (2) huruf b

Undang- undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah pelaku usaha yang

mempunyai kemampuan bersaing yang signifikan dalam pasar

bersangkutan.

c. Pelaku Usaha Tertentu

Pelaku usaha tertentu adalah pelaku usaha yang dirugikan oleh

kegiatan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 huruf a dan d

Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999.

d. Pelaku Usaha Pesaing

12Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.251 13Pedoman Pelaksanaan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persainggan Usaha Tidak Sehat.

23

Pelaku usaha pesaing adalah pelaku usaha yang berada dalam pasar

bersangkutan yang sama.

e. Konsumen

Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999,

konsumen adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau

jasa untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak

lain.

f. Pelanggan

Pelanggan adalah pemakai atau pengguna dari barang dan/atau jasa

untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak lain yang

menggunakan secara berkesinambungan, teratur, terus menerus baik

melalui perjanjian tertulis maupun tidak tertulis. Unsur Tindakan:

Unsur Tindakan

a. Penguasaan Pasar

Kemampuan pelaku usaha dalam mempengaruhi pembentukan harga

atau kuantitas produksi atau aspek lainnya dalam sebuah pasar.Aspek

lainnya tersebut dapat berupa, namun tidak terbatas pada pemasaran,

pembelian, distribusi, penggunaan atau akses atas barang atau jasa

tertentu di pasar bersangkutan. Kegiatan ini dapat dilakukan sendiri

oleh pelaku usaha atau secara bersama-sama dengan pelaku usaha

lainnya dan dapat terdiri dari satu atau beberapa kegiatan sekaligus.

b. Praktek Monopoli

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999,

praktek monopoli adalah pemusatan kekuatan ekonomi oleh satu atau

lebih pelaku usaha yang mengakibatkan dikuasainya produksi dan/atau

pemasaran atas barang dan/atau jasa tertentu sehingga menimbulkan

persaingan usaha tidak sehat dan dapat merugikan kepentingan umum.

c. Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang - Undang Nomor 5 Tahun 1999,

persaingan usaha tidak sehat adalah persaingan antar pelaku usaha

24

dalam menjalankan kegiatan produksi dan/atau pemasaran barang

dan/atau jasa yang dilakukan dengan cara tidak jujur atau melawan

hukum atau menghambat persaingan usaha.

d. Pasar Bersangkutan

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 Undang - Undang Nomor 5 Tahun

1999, pasar bersangkutan adalah pasar yang berkaitan dengan

jangkauan atau daerah pemasaran tertentu oleh pelaku usaha atas

barang dan/atau jasa yang sama atau sejenis atau substitusi dari barang

dan jasa tersebut. Sejalan dengan pengertian di atas dan dari sudut

pandang ekonomi, ada dua dimensi pokok yang harus dipertimbangkan

untuk menentukan pengertian pasar bersangkutan, yaitu produk

(barang atau jasa yang dimaksud) dan wilayah geografis.

e. Melakukan Sendiri Maupun Bersama-sama

Kegiatan yang dilakukan sendiri oleh pelaku usaha merupakan

keputusan atau perbuatan independen tanpa kerjasama dengan pelaku

usaha yang lain. Kegiatan yang dilakukan secara bersama-sama

merupakan kegiatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pasar

bersangkutan yang sama dimana pelaku usaha mempunyai hubungan

dalam kegiatan usaha yang sama.

f. Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan

Satu atau beberapa kegiatan yang dilakukan dalam bentuk kegiatan

secara terpisah ataupun beberapa kegiatan sekaligus yang ditujukan

kepada seorang pelaku usaha.

g. Kegiatan Usaha Yang Sama

Kegiatan usaha yang sama adalah kegiatan usaha yang sejenis dengan

yang dilakukan oleh pelaku usaha.

h. Hubungan Usaha

Hubungan usaha adalah kegiatan ekonomi antar pelaku usaha dalam

bentuk berbagai transaksi dan/atau kerjasama

i. Barang

25

Berdasarkan Pasal 1 angka (16) Undang – Undnag Nomor 5 tahun

1999, barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak

berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak yang dapat

diperdagangkan, dipakai, dipergunakan atau dimanfaatkan oleh

konsumen atau pelaku usaha.

j. Jasa

Berdasarkan Pasal 1 angka (17) Undang – Undang Nomor 5 Tahun

1999, jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau

prestasi yang diperdagangkan dalam masyarakat untuk dimanfaatkan

oleh konsumen atau pelaku usaha.

k. Menolak

Menolak adalah ketika pelaku usaha tidak bersedia melakukan

kegiatan usaha dengan pelaku usaha lainnya.

l. Menghalangi

Menghalangi adalah ketika pelaku usaha melakukan kegiatan yang

menciptakan hambatan bagi pelaku usaha lain atau pelaku usaha

pesaingnya untuk masuk ke dalam suatu pasar bersangkutan yang

sama.

m. Membatasi Peredaran

Membatasi peredaran adalah kegiatan yang dilakukan pelaku usaha

dengan tujuan untuk mengendalikan distribusi atau wilayah peredaran

barang dan/atau jasa.

n. Praktek Diskriminasi

Praktek diskriminasi adalah termasuk di dalamnya menolak sama

sekali melakukan hubungan usaha, menolak melakukan hubungan

usaha, menolak syarat-syarat tertentu atau perbuatan lain, dimana

pelaku usaha lain diperlakukan dengan cara tidak sama. Terjadi

perbedaan perlakuan oleh pelaku usaha tertentu kepada pelaku usaha

lainnya dalam suatu pasar bersangkutan.

B. Pengawasan KPPU dan Penyalahgunaan Posisi Dominan

1. Teori Kepastian Hukum

26

Banyak dari para ahli hukum telah memberikan pendapatnya

terhadap apa yang dimaksud dengan asas hukum. Menurut Satjipto

Rahardjo, “asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena asas

hukum merupakan dasar lahirnya peraturan hukum”.14

Menurut Roeslan Saleh, “asas hukum merupakan pikiran-pikiran

dasar sebagai aturan yang bersifat umum menjadi fondamen sistem

hukum”15. Menurut Bellefroid, “asas hukum adalah norma dasar yang

dijabarkan dari hukum positif dan yang oleh ilmu hukum tidak dianggap

berasal dari aturan-aturan yang lebih umum, jadi asas hukum merupakan

pengendapan hukum positif di dalam masyarakat”.16

Kepastian adalah kata berasal dari pasti, yang artinya tentu; sudah

tetap; tidak boleh tidak; suatu hal yang sudah tentu. Seorang filsuf hukum

Jerman yang bernama Gustav Radbruch mengajarkan adanya tiga ide

dasar hukum, yang oleh sebagian besar pakar teori hukum dan filsafat

hukum, juga diidentikan sebagai tiga tujuan hukum, diantaranya keadilan,

kemanfaatan dan kepastian hukum.17

Sejatinya keberadaan asas kepastian hukum dimaknai sebagai

suatu keadaan dimana telah pastinya hukum karena adanya kekuatan yang

konkret bagi hukum yang bersangkutan. Keberadaan asas kepastian

hukum merupakan sebuah bentuk perlindungan bagi yustisiabel (pencari

keadilan) terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa

seseorang akan dan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam

keadaan tertentu. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikatakan

oleh Van Apeldoorn bahwa kepastian hukum memiliki dua segi, yaitu

dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum.

Hal memiliki arti bahwa pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui

14Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Alumni, 1986), h. 85. 15Khudzaifah Dimyati, Teoritisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia 1945-1990, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2005, h. 194. 16Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Yogyakarta: Liberty, 2004), h. 5. 17 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2006), h. 847.

27

apa yang menjadi hukum dalam suatu hal tertentu sebelum ia memulai

perkara dan perlindungan bagi para pencari keadilan.

Dari pandangan tersebut maka dapat dipahami bahwa tanpa adanya

kepastian hukum orang tidak tahu apa yang harus diperbuatnya dan

akhirnya timbulah ketidakpastian (uncertainty) yang pada akhirnya akan

menimbulkan kekerasan (chaos) akibat ketidaktegasan sistem hukum.

Sehingga dengan demikian kepastian hukum menunjuk kepada

pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan konsisten dimana

pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-keadaan yang

sifatnya subjektif.18

Menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa nilai kepastian hukum

akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman

perilaku bagi semua orang”.19 Kepastian hukum diartikan sebagai

kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang

dikenakan peraturan ini.20 Pengertian kepastian tersebut dapat dimaknai

bahwa ada kejelasan dan ketegasan terhadap berlakunya hukum di dalam

masyarakat. Hal ini untuk menimbulkan banyak salah tafsir.

Menurut Van Apeldoorn21 “kepastian hukum dapat juga berarti

hal yang dapat ditentukan oleh hukum dalam hal-hal yang konkret.

Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa yang

berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa putusan

dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan

yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa

seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam

keadaan tertentu”

Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan, bahwa

yang berhak menurut hukum dapat memperoleh haknya dan bahwa

putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan perlindungan

18R. Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang,

Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, h.194. 19Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala

Mimbar Hukum, Vol. 19 No.3 Oktober 2007,Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, hlm. 388.

20Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya

Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga,Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014, hlm.219 21Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, Cetakan Kedua

Puluh Empat, 1990), h. 24-25.

28

yustisiable terhadap tindakan sewenang-wenang yang berarti bahwa

seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan

tertentu.

Di samping itu kepastian hukum dapat diartikan jaminan bagi

anggota masyarakat, bahwa semuanya akan diperlakukan oleh negara atau

penguasa berdasarkan peraturan hukum, tidak dengan sewenang-wenang.

Kepastian hukum merupakan salah satu prinsip, asas utama dari penerapan

hukum disamping dan sering berhadapan dengan asas keadilan. Kepastian

hukum menuntut lebih banyak penafsiran secara harfiah dari ketentuan

undang-undang.22

Kepastian hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang

jelas, tetap dan konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi

oleh keadaan-keadaan yang sifatnya subjektif.23 Mengutip pendapat

Lawrence M. Wriedman, seorang Guru Besar di Stanford University,

berpendapat bahwa untuk mewujudkan “kepastian hukum” paling tidak

haruslah didukung oleh unsur-unsur sebagai berikut, yaitu: substansi

hukum, aparatur hukum, dan budaya hukum.24

Menurut Maria S.W. Sumardjono bahwa tentang konsep kepastian

hukum yaitu bahwa “secara normatif, kepastian hukum itu memerlukan

tersediannya perangkat peraturan perundang-undangan yang secara

operasional maupun mendukung pelaksanaannya. Secara empiris,

keberadaan peraturan perundangundangan itu perlu dilaksanakan secara

konsisten dan konsekuen oleh sumber daya manusia pendukungnya”25

Suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena

mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan

keragu-raguan (multitafsir) dan logis sehingga menjadi suatu sistem norma

22 H. Ridwan Syahrani, Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum, (Bandung: PT.

Alumni, 2009), h. 124. 23Fauzie Kamal Ismail, Tesis berjudul Kepastian Hukum Atas Akta notaris Yang

Berkaitan Dengan Pertanahan, Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Depok, 2011, h. 2. 24Fauzie Kamal Ismail, Tesis berjudul Kepastian Hukum Atas Akta notaris Yang

Berkaitan Dengan Pertanahan,… h. 53. 25Muhammad Insan C. Pratama, Skripsi, berjudul Kepastian Hukum dalam Production

Sharing Contract, Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2009, hlm. 14

29

dengan norma lain yang tidak berbenturan atau menimbulkan konflik

norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat

berbentu kontentasi norma, reduksi norma atau distorsi norma.26

2. Rule of Reasons

Hukum persaingan usaha mengenal adanya beberapa pendekatan

dalam penerapan hukumnya, dua pendekatan diantaranya adalah

pendekatan perse illegal dan pendekatan rule of reason. Landasan berfikir

dari kedua pendekatan ini adalah apakah seseorang harus dihukum karena

melakukan suatu perjanjian atau perbuatan dengan alasan bahwa perbuatan

tersebut dianggap dapat membahayakan persaingan Disisi lain, apakah

diperlukan pembuktian dengan asumsi mahal, lama dan sulit

dilakukanakan adanya pengurangan atau perusakan persaingan terhadap

suatu perjanjian atau perbuatan yang hamper pasti merugikan atau

merusak persaingan?27

Larangan-larangan yang bersifat per se adalah larangan yang

bersifat mutlak, jelas dan jelas terhadap perbuatan atau perjanjian tertentu

untuk memberikan kepastian kepada pelaku usaha. Suatu perbuatan atau

perjanjian dilarang yang secara per se berarti dapat dipastikan bahwa

perbuatan tersebut akan merusak atau menghilangkan persaingan.

Larangan yang bersifat per se illegal adalah bentuk larangan yang tegas

dalam rangka memberikan kepastian bagi para pelaku usaha dalam

memaknai norma-norma larangan dalam persaingan usaha.28 Larangan-

larangan yang diatur secara tegas dan jelas dalam arti bahwa perbuatan-

perbuatan yang dilarang tersebut dapat dipastikan akan berakibat buruk

kepada persaingan. Pelaku usaha sejak awal telah mengetahui batasan-

26 Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum dalam Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil dan dalamPeraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 06/Pmk/2005 TentangPedoman Beracara dalam Pengujian Undang-Undang, Jakarta:

Jurnal Legislasi Indonesia, vol. 3 No. 2 2016, h. 194. 27Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha – Teori dan Praktiknya di Indonesia,

… h. 59. 28 Johny Ibrahim, Hukum Persaingan Usaha Filosofi, Teori dan Implikasi Penerapannya

di Indonesia, Bayu Media, Malang, 2009, h. 223.

30

batasan norma yang dilarang sehingga dalam menjalankan usahanya dapat

menghindari perbuatan tersebut. Pendekatan per se illegal adalah

menyatakan setiap perjanjian atau kegiatan usaha tertentu sebagai ilegal,

tanpa pembuktian lebih lanjut atas dampak yang ditimbulkan dari

perjanjian atau kegiatan usaha tersebut. 29

Sebaliknya dalam pendekatan yang bersifat rule of reason, suatu

perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha akan dilihat sejauh mana

dampak negatifnya terhadap iklim persaingan. Apabila dampak yang

ditimbulkan oleh kegiatan tersebut terbukti secara signifikan akan

mengganggu atau menghambat persaingan maka akan diambil tindakan

hukum.30

Pendekatan rule of reason adalah suatu pendekatan yang

digunakan oleh lembaga otoritas persaingan usaha untuk membuat

evaluasi mengenai akibat perjanjian atau kegiatan usaha tertentu, guna

menentukan apakah suatu perjanjian atau kegiatan tersebut bersifat

menghambat atau mendukung persaingan.31 Dalam pendekatan rule of

reason ini, suatu perbuatan yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha,

maka akan dilihat sejauh mana dampak dari perbuatan tersebut, oleh

karena itu diperlukan pembuktian lebih lanjut apakah perbuatan tersebut

berakibat menghambat persaingan. Suatu perbuatan dalam pendekatan rule

of reason, tidak secara otomatis dilarang meskipun perbuatan yang

dituduhkan tersebut kenyataannya terbukti telah dilakukan. Dengan

demikian dalam pendekatan ini memungkinkan lembaga otoritas

persaingan usaha atau pengadilan untuk melakukan interpretasi terhadap

undang-undang maupun terhadap pasar.32

29 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.72. 30 Supianto, Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum Persaingan

Usaha di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, Jurnal Rechtens, Vol. 2, No. 1,

Juni 2013, h. 45. 31Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha,… h.66. 32Mustafa Kamal Rokan, Hukum Persaingan Usaha – Teori dan Praktiknya di Indonesia,

… h. 66.

31

Menurut Arie Siswanto, pendekatan rule of reason diterapkan

terhadap tindakan-tindakan yang tidak bisa secara mudah dilihat

ilegalitasnya tanpa menganalisis akibat tindakan itu terhadap kondisi

persaingan. Jadi jika dalam rule of reason pengadilan disyaratkan untuk

mempertimbangkan faktor-faktor seperti latar belakang dilakukannya

tindakan, alasan bisnis dibalik tindakan itu, serta posisi si pelaku tindakan

dalam indistri tertentu. Setelah mempertimbangkan faktor-faktor tersebut,

barulah dapat ditentukan apakah suatu tindakan bersifat ilegal atau tidak.33

Menurut Syamsul Maarif dan BC Rikrik Rizkiyana dengan konsep

“rule of reason”, beberapa bentuk tindakan persaingan usaha baru

dianggap salah jika telah terbukti adanya akibat dari tindakan tersebut

yang merugikan pelaku usaha lain atau perekonomian nasional secara

umum. Dalam pendekatan rule of reason mungkin saja dibenarkan adanya

suatu tindakan usaha yang meskipun anti persaingan, tetapi menghasilkan

suatu efisiensi yang menguntungkan konsumen atau perekonomian

nasional pada umumnya. Sebaliknya suatu tindakan usaha dianggap salah

karena meskipun ditujukan untuk efisiensi tetapi ternyata dalam

prakteknya mengarah kepada penyalahgunaan posisi dominan yang

merugikan pelaku usaha, konsumen dan perekonomian nasional

umumnya,

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan

Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, pendekatan rule of

reason dapat dilihat dari ketentuan pasal-pasalnya, yakni pencantuman

kata-kata “yang dapat mengakibatkan” dan atau “patut diduga”. Kata-kata

tersebut mengharuskan perlunya penelitian secara lebih mendalam, apakah

suatu tindakan dapat menimbulkan praktek monopoli yang bersifat

menghambat persaingan.34

33 Arie Siswanto, 2002, Hukum Persaingan Usaha, cetakan pertama, Ghalia Indonesia,

Jakarta, hal.65 34 Supianto, Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum Persaingan

Usaha di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, Jurnal Rechtens, Vol. 2, No. 1,

Juni 2013, h. 51.

32

Salah satu keunggulan rule of reason adalah, menggunakan

analisis ekonomi untuk mencapai efisiensi guna mengetahui dengan pasti,

apakah suatu tindakan pelaku usaha memiliki implikasi kepada

persaingan.35 Disisi lain pendekatan rule of reason membutuhkan waktu

lama dalam membuktikan adanya suatu perjanjian, kegiatan atau posisi

dominan yang menghambat persaingaan usaha. Dengan demikian,

kepastian hukum menjadi lama diperoleh pelaku usaha.

Standar rule of reason yang diterapkan dalam UU No. 5 Tahun

1999 mencakup dua unsur, yaitu unsur praktek monopoli dan unsur

persaingan usaha tidak sehat. Kedua unsur tersebut mengandung aspek

dampak dari suatu perjanjian atau kegiatan usaha, kedua adalah aspek cara

kegiatan tersebut dilaksanakan. Dalam aspek dampak, dapat terjadi

penghambatan terhadap persaingan dan merugikan kepentingan umum.

Untuk menentukan suatu perjanjian atau kegiatan yang dilarang dapat

ditentukan setelah terjadi penghambatan persaingan. Dalam aspek cara,

suatu perjanjian atau kegiatan yang dapat dianggap anti persaingan dan

dilarang apabila perjanjian atau kegiatan tersebut dilakukan dengan tidak

jujur dan melawan hukum.36

C. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Dalam penelitian skripsi ini, peneliti merujuk kepada skripsi, buku,

maupun jurnal terdahulu, dengan mencari apa yang menjadi persamaan dan

perbedaan dalam rumusan masalah yang dikaji dalam rujukan dengan yang

dikaji oleh peneliti, diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Skripsi ditulis oleh Iftitahus Surur37

35Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.76. 36 Supianto, Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum Persaingan

Usaha di Indonesia, Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta, Jurnal Rechtens, Vol. 2, No. 1,

Juni 2013, h. 54-55. 37Iftitahus Surur, Analisa Pasar Bersangkutan Dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan Persaingan Usaha Tidak Sehat Terkait

Penyalahgunaan Posisi Dominan.Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2017.

33

Skripsi ini membahas terkait dengan unsur-unsur dalam pasar

bersangkutan yang mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat

dengan berdasarkan kepada penyalahgunaan posisi dominan. Kemudian

bagaimana Komisi Pengawas Persaingan Usaha menerapkan unsur-unsur

yang terdapat dalam Pasal ke dalam putusan.

Persamaan dengan penelitian ini adalah terkait penyalahgunaan

posisi dominan dalam hukum persaingan usaha tidak sehat. Namun,

skripsi di atas tidak membahas terkait dengan unsur-unsur penguasaan

pasar yang berdampak kepada persaingan usaha tidak sehat berdasarkan

kepada posisi dominan, sedangkan penelitian peneliti melihat dari sudut

pandang penguasaan pasar.

2. Buku keluaran Komisi Pengawas Persaingan Usaha38

Buku ini berisikan penjelasan tentang Undang-undang Nomor 5

Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha

Tidak Sehat. Dalam buku ini terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai

unsur-unsur yang terdapat dalam setiap pasal yang berkaitan.Buku ini pun

memberikan teori yang digunakan oleh komisi Pengawasan Persaingan

Usaha.

Persamaan dengan penelitian ini ialah sama-sama membahas

terkait persaingan usaha. Sedangkan, dalam penelitian yang peneliti

lakukan ini lebih terfokus kepada beberapa pasal dan merupakan

penerapan langsung yang dilakukan dalam praktenyasertadampak apa

yang akan muncul kedepannya.

3. Artikel dalam Jurnal oleh Hagitra Havcnah39

Jurnal ini membahas terkait dengan efektivitas dari pengaturan

penyalahgunaan posisi dominan dalam memberikan efek jera kepada

pelaku usaha yang melakukan pelanggaran penyalahgunaan posisi

dominan.

38Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h. 24 39Hagitra Havcnah, Efektivitas Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan Perkara PT.

Forisa Nusapersada dalam Program Pop Ice The Real Ice Blender, Jurnal Ilmu Hukum, 2015.

34

Persamaan penelitian ini dengan jurnal yang ditulis oleh Hagitra

Havcnah adalah terkait dengan kasus yang sama dan pasal yang diterapkan

pun tidak jauh berbeda. Perbedaan penelitian ini dengan jurnal yang ditulis

oleh Hagitra Havcnah adalah penelitian ini mengangkat kepada dua contoh

kasus dan perbedaan penerapan dalam kasus tersebut. Sedangkan, jurnal

Hagitra tidak membahas dari dua contoh kasus dan tidak melihat kepada

perbedaan penerapan, ia hanya terfokus kepada efektivitas dari penerapan

peraturan terhadap pelaku usaha yang melakukan pelanggaran.

BAB III

PENGAWASAN PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH

KOMISI PENGAWAS PERSAINGAN USAHA (KPPU)

A. Profil Komisi Pengawas Persaingan Usaha

KPPU berdiri berdasar keputusan presiden RI Nomor 75 Tahun

1999. KPPU merupakan suatu organ khusus yang mempunyai tugas ganda

selain menciptakan ketertiban dalam persaingan usaha juga berperan untuk

menciptakan dan memelihara iklim persaingan usaha yang kondusif. 1

KPPU adalah sebuah lembaga yang bersifat independen, di mana dalam

menangani, memutuskan atau melakukan penyelidikan suatu perkara tidak

dapat dipengaruhi oleh pihak manapun, baik pemerintah maupun pihak

lain yang memiliki conlict of interest, walaupun dalam pelaksanaan

wewenang dan tugasnya bertanggung jawab kepada presiden. KPPU juga

adalah lembaga quasi judicial yang mempunya wewenang eksekutorial

terkait kasus-kasus persaingan usaha.

Meskipun KPPU mempunyai fungsi penegakan hukum khususnya

Hukum Persaingan Usaha, namun KPPU bukanlah lembaga peradilan

khusus persaingan usaha. Dengan demikian KPPU tidak berwenang

menjatuhkan sanksi baik pidana maupun perdata. Kedudukan KPPU lebih

merupakan lembaga administratif karena kewenangan yang melekat

padanya adalah kewenangan administratif, sehingga sanksi yang

dijatuhkan merupakan sanksi administratif. KPPU diberi status sebagai

pengawas pelaksanaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Status

hukumnya adalah sebagai lembaga yang independen yang terlepas dari

pengaruh dan kekuasaan Pemerintah dan pihak lain seperti yang

1Suyud Margono, Hukum Anti Monopoli, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 137.

35

36

disebutkan pada pasal 30 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang

Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.2

1. Tugas

a. melakukan penilaian terhadap perjanjian yang dapat

mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat

b. melakukan penilaian terhadap kegiatan usaha dan atau tindakan

pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

c. melakukan penilaian terhadap ada atau tidaknya penyalahgunaan

posisi dominan yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek

monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

d. mengambil tindakan sesuai dengan wewenang Komisi

e. memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan

pemerintah yang berkaitan dengan praktek monopoli dan atau

persaingan usaha tidak sehat

f. menyusun pedoman dan atau publikasi yang berkaitan dengan

Undang-undang ini

g. memberikan laporan secara berkala atas hasil kerja Komisi kepada

Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat.

2. Wewenang

a. menerima laporan dari masyarakat dan atau dari pelaku usaha

tentang dugaan terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan

usaha tidak sehat

b. melakukan penelitian tentang dugaan adanya kegiatan usaha dan

atau tindakan pelaku usaha yang dapat mengakibatkan terjadinya

praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

c. melakukan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap kasus

dugaan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

2 Andi Fahmi Lubis et.a.l, Hukum Persaingan Usaha Teks dan Konteks,(Jakarta:ROV

Creative Media, 2009), h. 331.

37

yang dilaporkan oleh masyarakat atau oleh pelaku usaha atau yang

ditemukan oleh Komisi sebagai hasil dari penelitiannya

d. menyimpulkan hasil penyelidikan dan atau pemeriksaan tentang

ada atau tidak adanya praktek monopoli dan atau persaingan usaha

tidak sehat

e. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang ini

f. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan setiap orang

yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap ketentuan

Undang-undang ini

g. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha,

saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud huruf e

dan huruf f, yang tidak bersedia memenuhi panggilan Komisi

h. meminta keterangan dari instansi Pemerintah dalam kaitannya

dengan penyelidikan dan atau pemeriksaan terhadap pelaku usaha

yang melanggar ketentuan Undang-undang ini

i. mendapatkan, meneliti, dan atau menilai surat, dokumen atau alat

bukti lain guna penyelidikan dan atau pemeriksaan

j. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di

pihak pelaku usaha lain atau masyarakat

k. memberitahukan putusan Komisi kepada pelaku usaha yang diduga

melakukan praktek monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat

l. menjatuhkan sanksi berupa tindakan administratif kepada pelaku

usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini

B. Peran KPPU dalam Pengawasan Penyalahgunaan Posisi Dominan

KPPU dalam pembuktian dugaan penyalahgunaan posisi dominan,

menggunakan pendekatan yang dapat dibagi ke dalam tiga-tahap (3 step

process), yaitu:

1. Pendefinisian pasar bersangkutan ;

2. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar bersangkutan ;

38

3. Pembuktian apakah pelaku usaha yang memiliki posisi dominan

tersebut telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan;

Berikut adalah skema dari penjabaran dari KPPU dalam melakukan

pembuktian penyalahgunaan posisi dominan.

1. Pendefinisian Pasar Bersankutan

Penentuan pasar bersangkutan yang tepat diperlukan untuk

mendefinisikan ukuran pasar dari sebuah produk. Ukuran pasar ini

menjadi penting, karena dapat mengidentifikasi seberapa besar

penguasaan produk tertentu dalam pasar tersebut oleh suatu pelaku

usaha. Pasar bersangkutan terdiri dari dua dimensi, dimensi produk (set of

products) dan dimensi wilayah (relevant geographic market).

Pasar produk didefinisikan sebagai produk-produk pesaing dari

produk tertentu ditambah dengan produk lain yang bisa menjadi

substitusi dari produk tersebut. Pembatasan pasar bersangkutan

berdasarkan produk atau secara obyektif adalah di mana terdapat

barang dan atau jasa yang sama atau sejenis, termasuk subsitusinya. Di

dalam Pedoman Pasal 1 angka 10 disebutkan bahwa pasar produk

adalah sebagai produk-produk pesaing dari produk tertentu ditambah

dengan produk lain yang bisa menjadi subsistusi dari produk tersebut.

Produk lain menjadi subsitusi sebuah produk jika keadaan produk lain

itu membatasi ruang kenaikan harga produk tersebut. Pasar produk

dapat diidentifikasi dari sisi permintaan terlebih dahulu untuk

kemudian diikuti penelaahan dari sisi penawaran.3

Suatu pasar produk terdiri dari seluruh produk dan/atau jasa yang

dipertukarkan atau dapat sebagai produk pengganti bagi konsumen

berdasarkan karakteristik produk, harga produk dan fungsi atau guna

produk. Jadi, konsumen adalah sebagai penentu suatu pasar produk

atau jasa tertentu berdasarkan karakteristik produk, harga produk,

fungsi produk dan fleksibilitas produk tersebut bagi konsumen. Oleh

3 Peraturan Komisi No. 3 Tahun 2009 tentang Pedoman Pelaksanaan Pasal 1 angka 10

tentang Pasar Bersangkutan, hal. 15.

39

karena itu, penentuan pasar produk dilihat dari sisi konsumen terhadap

suatu produk dengan produk lain apakah dapat sebagai barang yang

sama atau sejenis atau suatu produk dapat sebagai barang pengganti

bagi konsumen tersebut.4

Dengan demikian diperlukan penilaian atas suatu produk dengan

produk yang lain dari sisi permintaan konsumen5;

Bentuk dan Sifat/Karakteristik barang

Fungsi Baarang

Harga

Fleksibilitas Barang Bagi Konsumen

Pasar geografis adalah wilayah dimana suatu pelaku usaha dapat

meningkatkan harganya tanpa menarik masuknya pelaku usaha baru

atau tanpa kehilangan konsumen yang signifikan, yang berpindah ke

pelaku usaha lain di luar wilayah tersebut.

Menurut Pasal 1 angka 10 UU No. 5 Tahun 1999 pasar

bersangkutan dari segi daerah adalah jangkauan atau daerah pemasaran

tertentu. Pembatasan pasar bersangkutan secara geografis ditentukan

sejauh mana produsen memasarkan produknya seluas itulah dihitung

produsen yang memasarkan barang/produk di wilayah tersebut. Fungsi

pembatasan pasar secara geografis adalah untuk menghitung pangsa

pasar bersangkutan secara obyektif di sekitar wilayah di mana barang

tersebut dipasarkan. Misalnya dalam kasus kartel sapi impor KPPU

menetapkan bahwa pasar geografisnya adalah Jabodetabek.6

Setelah ditetapkan pasar produk suatu barang tertentu, kemudian

ditetapkan pasar geografis produk tersebut, yaitu seluas mana produk-

produk yang sama dan barang penggantinya dipasarkan, maka seluas

wilayah itulah dihitung berapa jumlah pelaku usaha yang melakukan

kegiatan usaha di wilayah tersebut, dan berapa pangsa pasar masing-

masing pelaku usaha. Dari pasar geografis ini dapat disimpulkan

4 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.242. 5 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.242-243. 6 Putusan KPPU No. 10/KPPU-I/2015 tentang Perdagangan Sapi Impor, hal. 14.

40

pelaku usaha yang mana yang menguasai pangsa pasar di wilayah

tersebut, pelaku usaha itulah yang mempunyai posisi dominan di

wilayah tersebut (geographic market).7

2. Pembuktian adanya posisi dominan di pasar bersangkutan

Dalam menentukan posisi dominan, KPPU akan memperhatikan

beberapa batasan-batasan (atau hambatan) yang dimiliki oleh pelaku

usaha yang diduga memiliki posisidominan. Batasan tersebut diduga

dapat mempengaruhi independensi perilaku pelakuusaha terhadap

tekanan persaingan. Batasan/hambatan tersebut dapat dibedakan atas

3(tiga) jenis, yaitu i) hambatan dari pesaing yang ada saat ini, ii)

hambatan yangberasal dari pesaing potensial, dan iii) hambatan lain

misal dari konsumen, ataupunpemasok. Pada prinsipnya, apabila

hambatan-hambatan tersebut relatif tidaksignifikan, maka posisi

dominan yang dimiliki perusahaan akan semakin menguat.

3. Pembuktian apakah pelaku usaha yang memiliki posisi dominan

tersebut telah melakukan penyalahgunaan posisi dominan

Setelah tahapan pendefinisian pasar bersangkutan dan pembuktian

posisi dominan, langkah selanjutnya adalah pembuktian perilaku

penyalahgunaan posisi dominan oleh pelaku usaha yang bersangkutan.

Perilaku pelaku usaha dapat dikatakan sebagai penyalahgunaan posisi

dominan apabila dampak dari perilaku pelaku usaha dominan

berpengaruh negatif terhadap proses persaingan (competitive process).

Perilaku pelaku usaha yang memiliki posisi dominan tidak dapat

dikatakan sebagai bentuk penyalahgunaan jika perilaku tersebut terkait

dengan peningkatan efisiensi, seperti inovasi, skala ekonomis

(economies of scale), dan cakupan ekonomis (economies of scope).

Secara konseptual, perilaku yang termasuk sebagai penyalahgunaan

posisi dominan secara umum dapat dibedakan menjadi dua kategori,

yaitu:

7 Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, … h.245.

41

a. Perilaku yang merugikan konsumen atau pemasok. Perilaku yang

merugikan konsumen pada umumnya berupa penetapan harga yang

sangat tinggi (excessive high price).

b. Perilaku yang bersifat eksklusif. Perilaku yang dapat digolongkan

sebagai perilaku eksklusif adalah perilaku yang bersifat anti

kompetisi karena membatasi atau menghilangkan persaingan dari

pelaku usaha pesaing yang sudah ada (existing competitor) ataupun

yang akan masuk ke pasar (potential competitor).

BAB IV

KOMPARASI KASUS PENYALAHGUNAAN POSISI DOMINAN OLEH

MARKET LEADER DALAM PUTUSAN KOMISI PENGAWAS

PERSAINGAN USAHA PERKARA NOMOR 6/KPPU-L/2004 DAN

NOMOR 14/KPPU-L/2015

A. Review Kasus Penyalahgunaan Posisi Dominan Putusan KPPU

Nomor 6/KPPU-L/2004 dan 14/KPPU-L/2015

1. Kasus Putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004

Perseroan Terbatas (PT) Arta Boga Cemerlang, beralamat kantor di

Jalan Palmerah Barat No. 82, Jakarta Barat 11480, selanjutnya disebut

sebagai Terlapor.

Bahwa Terlapor adalah pelaku usaha yang didirikan berdasarkan

Akta Pendirian Perseroan Terbatas PT Arta Boga Cemerlang No.38,

tanggal 20 Maret 1985, dibuat dihadapan Henk Limanow, S.H., Notaris di

Jakarta dan terakhir diubah berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat

PT. Arta Boga Cemerlang No. 39 tanggal 13 Maret 2003, yang dibuat di

hadapan Eliwaty Tjitra, S.H., Notaris di Jakarta.1

Bahwa kegiatan usaha Terlapor adalah mendistribusikan berbagai

jenis produk makanan dan produk non makanan, termasuk baterai merek

ABC yang diproduksi oleh PT International Chemical Industrial dan PT

Hari Terang Industrial.2

Bahwa pada pertengahan bulan Februari 2004, PT Panasonic

Gobel Indonesia (selanjutnya disebut PT PGI) telah melaksanakan

program “Single Pack Display” dengan ketentuan setiap toko yang

mendisplay baterai single pack (baterai manganese tipe AA) dengan

menggunakan standing display akan diberikan 1 (satu) buah senter yang

sudah diisi dengan 4 baterai dan toko yang selama 3 (tiga) bulan

1Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.8.

2Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.8.

42

43

mendisplay produk tersebut akan mendapatkan tambahan 1 buah senter

yang sama, sedangkan untuk material promosi (standing display)

diberikan gratis oleh PT PGI.3

Bahwa pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlapor

sedang melaksanakan Program Geser Kompetitor (selanjutnya disebut

PGK). Isi atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat

Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi sebagai berikut4;

a. Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan

ketentuan sebagai berikut:

i. Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan

ukuran minimal 0,5 x 1 meter

ii. Toko bersedia memajang baterai ABC

iii. Toko bersedia memasang POS (material promosi) ABC

b. Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan

mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan sebagai

berikut

i. Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan

Maret sudah tidak jual lagi

ii. Toko hanya menjual baterai ABC;

c. Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai

Panasonic

Bahwa berdasarkan informasi yang diperoleh Pelapor dari toko-

toko, Terlapor diduga melaksanakan PGK tersebut dengan tujuan untuk

menghambat penjualan produk baterai merek Panasonic.Sejak PT PGI

mengeluarkan produk single pack untuk jenis baterai AA dan

melaksanakan program promosi Single pack Display telah menambah

peningkatan penjualan baterai Panasonic.Bahwa dengan adanya PGK

banyak diantara toko-toko yang berusaha untuk mendapatkan potongan

tambahan sebagaimana yang dijanjikan oleh Terlapor.Bahkan terdapat

3Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.2.

4Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.2.

44

toko-toko yang jelas-jelas mempunyai komitmen untuk tidak memajang

dan/atau menjual baterai Panasonic, padahal sebelumnya yang

bersangkutan adalah peserta program single pack display dari PT PGI.5

Bahwa perilaku Terlapor sebagai pelaku usaha dalam

melaksanakan kegiatan usahanya bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan maupun etika bisnis yang ada, yaitu dengan

membuat perjanjian mengenai harga atau potongan harga tertentu atas

produk baterainya dengan memuat persyaratan bahwa pemilik toko yang

menerima barang-barang dari Terlapor tidak akan membeli barang-barang

yang sama atau sejenis dari pelaku usaha lain yang menjadi pesaing dari

pelaku usaha pemasok.6

Bahwa Terlapor telah menyalahgunakan posisi dominannya untuk

menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaingnya untuk

memasuki pasar yang bersangkutan dan menetapkan syarat-syarat

perdagangan yang menghambat atau menghalangi konsumen memperoleh

barang dan atau jasa yang bersaing.7

2. Kasus Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015

Bahwa PT Forisa Nusapersada, yang berkedudukan di jalan Bumi

Mas II Nomor 7 Kawasan Cikupa Mas, Desa Talagga, Rukun Tetangga

003, Rukun Warga 003, Kecamatan Cikupa, Kabupaten Tnggerang,

Propinsi Baanten dan berkantor pusat di Jalan Raya Penagnggasaan Dua

Nomor 12, kelapa Gading Jakarta yang selaunjatnya disebut sebagai

pelapor.

Bahwa Majelis Komisi menilai Terlapor: PT Forisa Nusapersada,

merupakan badan usaha berbentuk badan hukum yang didirikan

berdasarkan Akta Pendirian Perusahaan Nomor 30 tanggal 5 Juli 1995

yang dibuat oleh Ratna Komala Komar, S.H., Notaris di Jakarta dan

5Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.2.

6Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.3.

7Salinan Putusan KPPU Nomor.6/KPPU-L/2004, h.3.

45

terakhir diubah dengan akta perubahan Nomor 05 tanggal 16 Oktober

2015 yang dibuat oleh Moelianan Santoso, S.H., M.Kn., Notaris di

Tangerang serta telah mendapat pengesahan dari Menteri Hukum dan Hak

Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-

3566734.AH.01.11.Tahun 2015 Tanggal 16 Oktober 2015.8

Bahwa dalam prakteknya, PT Forisa Nusapersada melakukan

produksi dan pemasaran berbagai produk minuman ringan, antara lain

meliputi: Pop Ice, Top Ice, Pop Drink, Sisri, Kola-Kola, Finto, Sprata,

Anget Sari, Teo, Nutrijell, Agarasa, Pop Dringk.9

Bahwa pada tanggal 29 Desember 2014 PT Forisa Nusapersada

mengeluarkan Internal Office Memo No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014

yang berisi mengenai Program POP ICE The Real Ice Blender (program

marketing dari POP ICE). Bahwa Internal Office Memo No.

105/IOM/MKT-DB/XII/2014 ditandatangani oleh karyawan PT Forisa

Nusapersada yaitu Budi Armyn (General Manager Sales and Marketing),

David Hinjaya (Brand Manager), Irwan Zhang (National Sales Promotion

Manager), Jimmy Tanweli (Regional Sales Promotion Manager), Kok Pin

Losari (Regional Sales Promotion Manager), Dede Maryadi (Regional

Sales and Promotion Manager).10

Bahwa Internal Office Memo No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014

dikirimkan melalui email kepada Area Sales Promotion Manager dan

ditembuskan kepada Area Sales Promotion Supervisor dari Marketing and

Sales Departemen PT Forisa Nusapersada. Bahwa Internal Office Memo

No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014 dikeluarkan bertujuan untuk menjaga

dan mempertahankan posisi produk dan brand POP ICE sebagai market

leader dan mencegah trial dari konsumen terhadap produk S‟Cafe serta

mencegah display produk S‟Cafe di level kios minuman dan outlet pasar.

Bahwa di dalam Internal Office Memo No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014

8Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 150.

9Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 151.

10 Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h.15.

46

tentang Program POP ICE The Real Ice Blender terdapat 3 program

Progam Bantuan Tukar (BATU) Kios Minuman, Program Display Kios

Minuman dan Program Display Toko Pasar.11

Bahwa di dalam tiga program yang tertulis di dalam Internal

Office Memo No. 105/IOM/MKT-DB/XII/2014 terdapat syarat atau terms

and conditions yang harus dipatuhi jika toko pasar, outlet pasar dan kios

minuman ingin mengikuti program tersebut yaitu12:

a. Menukar produk S‟Cafe yang ada di kios minuman dengan POP ICE

b. Untuk Program Display Kios Minuman tidak menjual produk

kompetitor POP ICE yaitu S‟Cafe, MilkJuss, Camelo dan Sooice

c. Untuk Program Toko Display Toko Pasar tidak mendisplay produk

kompetitor yaitu S‟Cafe, MilkJuss, Camelo dan Sooice.

Kios Minuman yang mengikuti program tersebut menandatangani Surat

Perjanjian Kontrak Display Pop Ice yang di dalamnya terdapat klausul

peraturan bersedia mendisplay produk Pop Ice secara exclusive dan tidak

menjual produk kompetitor. Tindakan yang dilakukan oleh PT Forisa

Nusapersada tersebut sangat memiliki potensi menimbulkan dampak

persaingan usaha yang tidak sehat dalam pasar minuman serbuk mengandung

susu di seluruh Indonesia.13

B. Pertimbangan Hukum Majelis Komisi dalam Kasus Market Leader

Putusan KPPU Perkaara Nomor 06/KPPU-L/2004 dan Nomor

14/KPPU-L/2015.

Putusan KPPU merupakan salah satu sumber penting dalam

Hukum Persaingan Usaha di Indonesia karena merupakan bentuk

implementasi terhadap UU No. 5 Tahun 1999. Oleh karenanya, wajar jika

ketentuan bahwa setiap putusan Komisi yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap harus dimintakan penetapan eksekusi dari Pengadilan Negeri.

Namun tidak jarang dalam putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Komisi

11 Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h.16.

12Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h.19-20.

13Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h.5.

47

terdapat perbedaan antara satu dengan yang lainnya, walaupun unsur dan

pasal yang diterapkan sama.

Pada penulisan kali ini, penulis akan mencoba membedah lebih

dalam serta membandingkan terkait dengan penerapan unsur-unsur dalam

putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004 dengan Putusan KPPU Nomor

14/KPPU-L/2015.

1. Putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004

Pada bulan Maret 2004 diperoleh informasi bahwa Terlapor sedang

melaksanakan Program Geser Kompetitor (selanjutnya disebut PGK). Isi

atau kegiatan dari program tersebut tertuang dalam suatu “Surat

Perjanjian PGK Periode Maret-Juni 2004” yang berisi sebagai berikut:14

a. Program Pajang dengan mendapatkan potongan tambahan 2%,

dengan ketentuan sebagai berikut:

Toko mempunyai space/ruang pajang baterai ABC dengan

ukuran minimal 0,5 x 1 meter

Toko bersedia memajang Baterai ABC

Toko bersedia memasang POS (Material Promosi) ABC

b. Komitmen toko untuk tidak menjual baterai Panasonic dengan

mendapatkan potongan tambahan 2%, dengan ketentuan sebagai

berikut:

Toko yang sebelumnya jual baterai Panasonic, mulai bulan

Maret sudah tidak jual lagi

Toko hanya menjual baterai ABC

c. Mengikuti Program Pajang dan Komitmen untuk tidak jual baterai

Panasonic

Dengan adanya PGK banyak diantara toko-toko yang berusaha

untuk mendapatkan potongan tambahan sebagaimana yang dijanjikan oleh

Terlapor. Bahkan terdapat toko-toko yang jelas-jelas mempunyai

komitmen untuk tidak memajang dan/atau menjual baterai Panasonic,

14Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 2.

48

padahal sebelumnya yang bersangkutan adalah peserta program single

pack display dari PT PGI. Tentu saja hal tersebut sangat merugikan pihak

Panasonic karena akan kehilangan kesempatan untuk berinteraksi dengan

para konsumennya. Terlebih lagi posisi dari terlapor yang memiliki posisi

dominan, di mana berusaha untuk menghalangi pesaingnya untuk

memasarkan produknya ke konsumen dan untuk menghambat pesaing

potensial. Karena adanya indikasi pelanggaran yang dilakukan, maka

terlapor dijerat dengan beberapa pasal yang diantaranya ialah pasal 19

huruf a dan b serta pasal 25 huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam memberikan putusan akhir Majelis Komisi melihat terlebih

dahulu apakah unsur-unsur yang terdapat dari Pasal yang bersanggkutan

tersebut telah terpenuhi. Bila mana unsur dalam pasal tersebut

telah terpenuhi maka terlapor dapat dijatuhkan sanksi sesuai dengann

penilaian Majelis Komisi. Berikut ini pertimbangan Majelis Komisi

terhadap putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004.

Menimbang bahwa Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5

tahun 1999 mengandung unsur-unsur sebagai berikut15:

a. Pelaku Usaha

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha dalam

pasal 1angka 5 Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 adalah setiap

orangperorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan

hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan

atau melakukan kegiatandalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupunbersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam bidang

ekonomi, bahwa berdasarkan hal tersebut, unsur “pelaku usaha”

dalam pasal 19 huruf a terpenuhi.

b. Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri-sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain

15Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 51 – 52.

49

Majelis Komisi berpendapat bahwa Terlapor telah melakukan

kegiatan promosi berupa PGK yang bertujuan untuk menyingkiran

pesaingnya di pasar bersangkutan. Bahwa berdasarkan hal tersebut

di atas, unsur “melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik

sendiri-sendiri maupun bersama pelaku usaha lain” dalam pasal ini

telah terpenuhi

c. Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk

melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan.

Majelis Komisi berpendapat bahwa kegiatan promosi berupa PGK

yang memuat ketentuan atau persyaratan yang melarang toko

grosir atau semi grosir untuk menjual baterai Panasonic merupakan

upaya untuk menyingkirkan atau setidak-tidaknya mempersulit

pelaku usaha pesaingnya, dengan demikian unsur “menolak dan

atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan

usaha yang sama pada pasar bersangkutan” pada pasal ini telah

terpenuhi.

d. Yang dapat mengakibatkan terjadinya praktek monopoli dan atau

persaingan usaha yang tidak sehat.

Majelis Komisi berpendapat bahwa dengan adanya PGK, Terlapor

telah mengakibatkan terjadinya persaingan usaha tidak sehat dalam

bentuk tersingkirnya atau setidak-tidaknya mempersulit pesaing

(PT PGI) untuk melakukan kegiatan usahanya di pasar

bersangkutan yang sama dan berkurangnya tingkat persaingan

yang pada akhirnya akan mengurangi opsi yang dimiliki oleh

konsumen untuk memilih produk baterai sesuai dengan pilihannya,

berdasarkan hal tersebut di atas, unsur “Yang dapat mengakibatkan

terjadinya praktek monopoli dan atau persaingan usaha yang tidak

sehat.” telah terpenuhi.

Bahwa berdasarkan pertimbangan dari Majelis Komisi dapat

dinyatakan Pasal 19 huruf a Undang-Undang Nomor 5 tahun 1999 telah

terpenuhi.

50

Menimbang bahwa Pasal 19 huruf b Undang-Undang Nomor 5

tahun 1999 mengandung unsur-unsur sebagai berikut16:

a. Pelaku Usaha

Menimbang bahwa unsur pelaku usaha yang dimaksud dalam Pasal

19 huruf b telah terpenuhi sebagaimana yang telah diuraikan dalam

pemenuhan unsur Pasal 19 huruf a, bahwa berdasarkan hal

tersebut, unsur “pelaku usaha” dalam pasal 19 huruf a terpenuhi.

b. Melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri-sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain

Menimbang bahwa unsur melakukan satu atau beberapa kegiatan,

baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, telah terpenuhi

pada Pasal 19 huruf a maka unsur yang sama dalam Pasal 19 huruf

b telah terpenuhi, berdasarkan hal tersebut di atas, unsur

“melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri-sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain” dalam pasal ini telah

terpenuhi.

c. Menghalangi Konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing

untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya

Bahwa berdasarkan pertimbangan Majelis Komisi pelaku usaha

pesaingnya masih dapat melakukan hubungan usaha baik dengan

konsumen maupun pelanggan dari pesainngnya, kemudian setiap

toko yang mengikuti program tersebut tidak dikategorikan sebagai

konsumen dan pelanggan dari pesaingnya. Sehingga unsur

“Menghalangi Konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaing

untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha

pesaingnya” dalam pasal ini tidak terpenuhi.

Bahwa berdasarkan analisis pemenuhan unsur-unsur di

atas, maka unsur-unsur pasal 19 huruf b tidak terpenuhi.

berdasarkan dokumen dan hasil pemeriksaan terhadap Pelapor,

16Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 52 – 53.

51

Pelapor menyampaikan dugaan bahwa telah terjadi PGK di seluruh

Indonesia kecuali di wilayah Sumatera. Majelis Komisi

berpendapat bahwa beberapa faktor dapat digunakan untuk

menentukan sebuah pasar geografis. Salah satu dari faktor tersebut

adalah actual sales pattern (pola penjualan yang nyata).

berdasarkan dokumen-dokumen yang diperoleh dari Terlapor

(Surat Terlapor No. 071/ARTA/CEO-BE/II/04 tertanggal 27

Februari 2004 perihal Program Display BB ABC, Surat Terlapor

No. 072/ARTA/CEO-BE/II/04 tertanggal 28 Februari 2004 perihal

Juklak Program Display ABC, dan dokumen Notulen Rapat Batu

Baterai tanggal 9 Februari 2004) Terlapor mengendalikan dan

mengontrol pemasaran baterai ABC di tingkat grosir secara

langsung di wilayah Banten, DKI, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa

Timur dan Bali. berdasarkan keterangan Pelapor, PGK berlaku di

pasar tradisional dan tidak di pasar modern hasil penyelidikan

lapangan dan pemeriksaan, PGK ditemukan di sejumlah grosir dan

semi grosir tradisional di wilayah Jawa dan Bali wilayah mana

pemasaran atau distribusi produk baterai ABC dikontrol langsung

oleh Terlapor17

Menimbang bahwa pasal 25 ayat (1) huruf a Undang-Undang No.

5 Tahun 1999 mengandung unsur-unsur sebagai berikut18:

a. Pelaku Usaha

Menimbang bahwa unsur pelaku usaha yang dimaksud dalam Pasal

25 ayat (1) huruf a telah terpenuhi sebagaimana yang telah

diuraikan dalam pemenuhan unsur Pasal 19 huruf a, bahwa

berdasarkan hal tersebut, unsur “pelaku usaha” dalam pasal 25 ayat

(1) huruf a terpenuhi.

b. Menggunakan Posisi Dominan, secara langsung atau tidak

langsung

17 Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 11. 18Salinan Putusan KPPU Nomor 06/KPPU-L/2004, h. 54 - 55.

52

Menimbang bahwa berdasarkan bukti-bukti yang ada serta

keterangan para saksi demikian unsur posisi dominan dalam Pasal

25 ayat (2) huruf a telah terpenuhi, maka unsur posisi dominan

sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a telah

terpenuhi.

c. Menetapkan syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk

mencegah dan atau menghalangi konsumen memperoleh barang

dan atau jasa yangbersaing, baik dari segi harga maupun kualitas.

Menimbang bahwa syarat-syarat perdagangan dalam PGK tersebut

ditujukan untuk mencegah atau menghalangi konsumen

memperoleh baterai Panasonic yang bersaing dengan baterai ABC

baik segi harga maupun kualitas di grosir atau semi grosir yang

mengikuti PGK Terlapor, dengan demikian unsur “menetapkan

syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau

menghalangi konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang

bersaing, baik dari segi harga maupun kualitas” dalam pasal ini

terpenuhi.

Bahwa berdasarkan analisis pemenuhan unsur tersebut di atas,

unsur-unsur pasal 25 ayat (1) huruf a jo ayat (2) huruf a terpenuhi. Dapat

kita lihat pada pasal 19 bahwa setiap toko yang mengikuti PGK tidak

dikategorikan sebagai konsumen atau pelanggan dari pelaku usaha

pesaingnnya tersebut.dan sesungguhnya hal tersebut agak berbeda dengan

ketentuan dari pengertian konsumen dan pelangan itu sendiri.

2. Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015

Program Pop Ice The Real Ice Blender terdiri dari tiga program

yaitu Progam Bantuan Tukar (BATU) Kios Minuman, Program Display

Kios Minuman dan Program Display Toko Pasar. Bahwa di dalam tiga

program yang tertulis di dalam Internal Office Memo No. 105/IOM/MKT-

DB/XII/2014 terdapat syarat atau terms and conditions yang harus

53

dipatuhi jika toko pasar, outlet pasar dan kios minuman ingin mengikuti

program tersebut yaitu19:

a. Menukar Produk S`Café yang ada di kios minuman dengan POP

ICE

b. Untuk Program Display kios Minuman tidak menjual tidak menjual

produk kompetitor POP ICE yaitu S`Café, milkjuss, Camelo dan

Sooice.

c. Untuk Program Toko Display Toko Pasar tidak mendisplay produk

kompetitor POP ICE yaitu S`Café, milkjuss, Camelo dan Sooice.

Namun, bagi setiap toko yang ingin mengikuti program dari POP

ICE harus mematuhi peraturan yang telah dicantumkan oleh pihak POP

ICE. Dalam Surat Perjanjian Kontrak Display POP ICE terdapat peraturan

untuk mengikuti Program “DISPLAY POP ICE” yaitu sebagai berikut20:

a. Bersedia mendisplay produk POP ICE secara exclusive sesuai

target yang sudah disepakati;

b. Tidak Menjual produk kompetitor sejenis POP ICE (S‟Cafe,

Camelo, MilkJuss dan lainnya);

c. Display dilakukan sesuai ketentuan dan selama periode kontrak

berlangsung 3 (tiga) bulan;

d. Kompensasi Display

Bulan 1 : 1 Bal POP ICE Coklat

Bulan 2 : 2 Kaos POP ICE

Bulan 3 : Blender Phillips

e. Hadiah diatas diberikan setiap akhir bulan setelah Tim Forisa

melakukan verifikasi pemenuhan syarat point No. 1 dan point No.

2 di Kios;

f. Verifikasi pemenuhan syarat akan dilakukan setiap minggu oleh

tim internal Forisa;

19Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 19 - 20. 20Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 21 – 22.

54

g. Apabila peserta tidak memenuhi syarat untuk bulan 1, maka

peserta tidak mendapatkan hadiah untuk bulan 1 tetapi masih

memiliki kesempatan mendapatkan hadiah di bulan kedua apabila

syarat point 1 dan 2 di bulan kedua terpenuhi;

h. Ketentuan diatas mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

Strategi dan perilaku PT Forisa Nusapersada yang tertuang di

dalam Internal Office Memo No.15/IOM/MKT-DB/XII/2014 bertujuan

menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang

sama pada pasar bersangkutan dan menghalangi konsumen atau pelanggan

pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan

pelaku usaha pesaingnya. Dengan cara menggunakan posisi dominan baik

secara langsung maupun tidak langsung untuk menetapkan syarat-syarat

perdagangan dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi

konsumen memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi

harga maupun kualitas atau menghambat pelaku usaha lain yang

berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan.

Perilaku terlapor dalam menghalangi pelaku usaha tertentu untuk

melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan dan

menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk

tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu,

serta menggunakan posisi dominan dari terlapor baik secara langsung

maupun tidak langsung untuk menghambat pelaku usaha lain yang

berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan juga

dilakukan PT Forisa Nusapersada dengan mengeluarkan form Surat

Perjanjian Kontrak Display POP ICE dan terdapat peraturan untuk

mengikuti Program “DISPLAY POP ICE” yaitu sebagai berikut21:

a. Bersedia mendisplay produk POP ICE secara ekslusif sesuai

dengan target yang telah disepakati.

b. Tidak menjual produk kompetitor sejenis POP ICE.

21Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 25.

55

Bahwa PT Forisa Nusapersada (Pop ICE) sebagai pemilik posisi

dominan dari pasar bersangkutan telah melakukan hambatan strategis

terhadap pelaku usaha lain sebagai pemain baru di pasar yaitu PT Karniel

Pacific Indonesia (S‟Cafe) yang berpotensi menjadi pesaing untuk

memasuki pasar bersangkutan. Hambatan strategis yang dilakukan oleh PT

Forisa Nusapersada (Pop ICE) sebagai produsen POP ICE.

Karena tindakan PT Forisa Nusapersada dengan mengikat toko

yang menjadi distributor untuk mengikuti program dengan syarat tidak

boleh menjual dan tidak boleh mendisplay produk kompetitor,

menyebabkan produk S’Cafe (PT Karniel Pacific Indonesia) dan MilkJuss

(PT Karnunia Alam Segar) tidak tersedia di toko. Availability produk

merupakan instrumen penting dalam menciptakan permintaan produk

(Creating Demand) dan berkontribusi terhadap penjualan suatu

perusahaan (repeat buying). Tindakan PT Forisa mengeluarkan strategi

tersebut menyebabkan konsumen S’Cafe dan MilkJuss sebagai kompetitor

POP ICE tidak bisa melakukan repeat buying. Repeat buying merupakan

permintaan nyata dari konsumen yang berkontribusi terhadap pendapatan

suatu perusahaan.

Kemudian dalam memberikan putusan akhir Majelis Komisi

melihat terlebih dahulu apakah unsur-unsur yang terdapat dari Pasal yang

bersanggkutan telah terpenuhi. Bila mana unsur dalam pasal tersebut telah

terpenuhi maka Majelis Komisi dapat menentukan sanksi apa yang tepat

bagi terlapor. Berikut ini pertimbangan Majelis Komisi terhadap putusan

KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015.

Untuk membuktikan terjadi atau tidak terjadinya pelanggaran Pasal

19 huruf a dan bUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1999, maka Majelis

Komisi mempertimbangkan unsur-unsur sebagai berikut22:

22Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 187 – 190.

56

a. Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum atau

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan di dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Bahwa

dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.

b. Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan, Baik Sendiri Maupun

Bersama Pelaku Usaha Lain.

PT Forisa Nusapersada melakukan kegiatan usaha berupa produksi

dan/atau pemasaran produk minuman olahan serbuk berperisa buah

mengandung susu dalam kemasan sachet. Bahwa dengan demikian

unsur Melakukan Satu atau Beberapa Kegiatan, Baik Sendiri

maupun bersama pelaku usaha lain terpenuhi

c. Menolak dan atau Menghalangi Pelaku Usahaa Tertentu untuk

Melakukan Kegiatan Usaha yang sama pada Pasar Bersangkutan

Dalam rangka memasarkan produk minuman Pop Ice, PT Forisa

Nusapersada menjalankan strategi pemasaran dengan nama

“Program Pop Ice The Real Ice Blender”. Penerapan “Program

Pop Ice The Real Ice Blender” telah mengakibatkan terhalanginya

pemasaran produk sejenis yang diproduksi dan/atau di pasarkan

oleh PT Karniel Pacific Indonesia dan PT Karunia Alam Segar.

Upaya menolak dan/atau menghalangi tersebut semakin nyata

terbukti berdasarkan surat perjanjian kontrak display Pop Ice dan

kewajiban surat pernyataan para pemilik kios minuman dan/atau

toko pasar sebagaimana telah diuraikan. Dengan demikian unsur

Menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk

melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan

terpenuhi.

57

d. Menghalangi Konsumen atau Pelanggan Pelaku Usaha Pesaingnya

untuk Tidak Melakukan Hubungan Usaha dengan Pelaku Usaha

Pesaingnya

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa PT Karniel

Pacific Indonesia dan PT Karunia Alam Segar merupakan pelaku

usaha pesaing PT Forisa Nusapersada dalam kegiatan usaha

memproduksi dan/atau memasarkan produk minuman olahan

serbuk berperisa buah mengandung susu dalam kemasan sachet.

Perilaku PT Forisa Nusapersada melalui instrumen “Program Pop

Ice The Real Ice Blender” secara nyata terbukti telah menghalangi

konsumen atau pelanggan PT Karniel Pacific Indonesia dan PT

Karunia Alam Segar untuk membeli produknya. Dengan demikian

unsur menghalangi konsumen atau pelanggan pelaku usaha

pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan usaha dengan pelaku

usaha pesaingnya itu terpenuhi.

e. Mengakibatkan Terjadinya Persaingan Usaha Tidak Sehat

Bahwa perilaku PT Forisa Nusapersada melalui penerapan strategi

pemasaran bernama “Program Pop Ice The Real Ice Blender”

merupakan tindakan yang dapat dikategorikan sebagai

menghambat persaingan usaha karena terbukti telahmenolak dan

atau menghalangi pelaku usaha tertentu (dalam hal ini adalah PT

Karniel Pacific Indonesia dan PT Karunia Alam Segar) serta

menghalangi konsumen atau pelanggan PT Karniel Pacific

Indonesia dan PT Karunia Alam Segar untuk mengakses

produknya. Dengan demikian unsur mengakibatkan

terjadinya persaingan usaha tidak sehat terpenuhi.

Bahwa berdasarkan analisis pemenuhan unsur-unsur di atas, maka

unsur-unsur pasal 19 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

telah terpenuhi. Selanjutnya Majelis Komisi memberikan peritimbangan

hukumnya bersadarkan unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 25 ayat (1)

58

huruf a dan c. Adapun unsur-unsur dari Pasal 25 ayat (1) huruf a dan c

ialah23:

a. Pelaku Usaha

Pengertian pelaku usaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 adalah setiap orang

perorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum atau

bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau

melakukan kegiatan di dalam wilayah hukum negara Republik

Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian,

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam bidang ekonomi. Bahwa

dengan demikian unsur pelaku usaha terpenuhi.

b. Posisi Dominan

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa penguasaan pasar

PT Forisa Nusapersada adalah berkisar antara 90,09% (sembilan

puluh koma kosong sembilan persen) sampai dengan 94,30%

(sembilan puluh empat koma tiga puluh persen) dalam kurun

waktu bulan November 2014 sampai dengan bulan Juli 2015. Atas

dasar penguasaan pangsa pasar tersebut maka PT Forisa

Nusapersada dapat dikategorikan sebagai pelaku usaha yang

memiliki posisi dominan karena tidak mempunyai pesaing yang

berarti pada pasar bersangkutan. Dengan demikian unsur posisi

dominan telah terpenuhi.

c. Menetapkan Syarat-syarat perdagangan dengan tujuan untuk

mencegah atau menghalangi konsumen memperoleh barang atau

jasa yang bersaing baik dari segi harga maupun kualitas

Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa perilaku PT

Forisa Nusapersada melalui “Program Pop Ice The Real Ice

Blender” yang diterapkan kepada para pemilik kios minuman

dan/atau para toko pasar terbukti telah mengakibatkan hilangnya

atau setidak-tidaknya mengurangi pilihan konsumen untuk

23Salinan Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015, h. 191 – 194.

59

mendapatkan produk minuman Olahan Serbuk Berperisa Buah

yang Mengandung Susu dalam Kemasan Sachet yang bersaing.

Dengan demikian unsur menetapkan syarat-syarat perdagangan

dengan tujuan untuk mencegah dan atau menghalangi konsumen

memperoleh barang dan atau jasa yang bersaing, baik dari segi

harga maupun kualitas telah terpenuhi.

d. Menghambat pelaku usaha lain yang berpotensi menjadi pesaing

untuk memasuki pasar bersangkuatan

Bahwa “Program Pop Ice The Real Ice Blender” sebagai salah satu

upaya PT Forisa Nusapersada untuk merespon penetrasi pasar

produk S‟Cafe yang dilakukan oleh PT Karniel Pasific Indonesia.

Berdasarkan alat bukti diketahui bahwa PT Karniel

Pasific Indonesia didirikan pada bulan Juni 2014. PT Karniel

Pasific Indonesia baru melakukan launching produk S‟Cafe

pada bulan November 2014 dan baru dipasarkan secara masal

(massive) mulai bulan Desember 2014. Atas dasar fakta tersebut,

Majelis Komisi menilai motif utama PT Forisa Nusapersada

membuat “Program Pop Ice The Real Ice Blender” adalah untuk

menghambat PT Karniel Pasific Indonesia selaku pemain baru

dalam industri minuman Olahan Serbuk Berperisa Buah yang

Mengandung Susudalam Kemasan Sachet. Adanya hambatan

masuk pasar (barrier to entry) yang dilakukan PT Forisa

Nusapersada terhadap produk S‟Cafe telah mengakibatkan PT

Karniel Pasific Indonesia mengalami penurunan volume penjualan.

Dengan demikian unsur menghambat pelaku usaha lain yang

berpotensi menjadi pesaing untuk memasuki pasar bersangkutan

terpenuhi.

Jika kita melihat kepada pertimbangan Majelis Komisi dalam

memberikan putusan tentunya terdapat beberapa perbedaan antara satu

dengan yang lainnya. Perbedaan pertama terdapat dalam pertimbangan

Majelis Komisi dalam Pasal 19 huruf b, di mana dalam putusan KPPU

60

Nomor 6/KPPU-L/2004 Majelis Komisi menyatakan tidak terpenuhi pasal

tersebut. Hal tersebut dikarenakan Majelis Komisi melihat toko grosir dan

semi grosir yang merupakan konsumen dan pelanggan dari ABC, namun

tidak mengkatagorikanya sebagai konsumen dan pelanggan dari PT. PGI.

Kemudian setiap toko masih memiliki opsi untuk dapat mengikuti atau

tidak mengikuti PGK yang dikeluarkan oleh ABC. Kendati banyak toko

grosir dan semi grosir yang memilih untuk mengikutinya hanya didasarkan

kepada pilihan ekonomis semata.

Seperti yang dinyatakan dalam pedoman pelaksanaan Pasal 1924:

“Tindakan yang termasuk ke dalam menghalangi konsumen atau

pelanggan pelaku usaha pesaingnya untuk tidak melakukan hubungan

usaha dengan pelaku usaha pesaingnya itu, diantaranya adalah

melakukan perjanjian tertutup (axclusive dealing) dengan konsumen atau

pelanggan pelaku usahanya tersebut”. Namun, Majelis Komisi seolah

tidak melihat bahwa dalam surat perjanjian PGK tertera dengan sangat

jelas untuk melarang setiap toko grosir dan semi grosir untuk menjual atau

berhubungan dengan PT PGI. Pernyataan ini pun dapat dibenarkan dengan

banyaknya toko yang sebelumnya mengikuti program Single Pack Display

dari PT PGI, kemudian beralih kepada PGK untuk mendapat potongan dan

bonus yang dijanjikan. Dengan begitu secara otomatis tidak lah terjadinya

hubungan usaha antara toko dengan PT PGI yang di mana sebenarnya

merupakan hubungan antara pelaku usaha dengan pelanggan atau

konsumennya.

Di satu sisi dalam putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015 dalam

pertimbangan Pasal 19 huruf b Majelis Komisi menyatakan bahwa PT

Forisa Nusapersada terbukti telah menghalangi konsumen atau pelangan

dari pelaku usaha pesaingnya dengan instrument “program Pop Ice The

Real Ice Blender.” Di mana dalam program tersebut terdapat perjanjian

yang mengharuskan bagi setiap toko yang ingin mengikuti program

24Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Unndang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Perjanjian Usaha Tidak Sehat, h. 19.

61

tersebut diharuskan untuk menjual produk dari PT Forisa Nusapersada

(POP ICE) secara exclusive. Tidak jauh berbeda dengan PGK, program

“Pop Ice The Real Ice Blender” juga dilangsungkan selama 3 bulan

lamanya.

Kemudian yang menjadi pertanyaan ialah, “mengapa dalam

putusan yang satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan terkait dengan

penafsiran konsumen dan pelanggan bagi pelaku usaha?” karena jika kita

melihat kepada kedua cara yang digunakan oleh masing-masing pelaku

usaha, sejatinnya terdapat kesamaan pada targetnya yaitu toko grosir dan

semi grosir dari setiap pelaku usaha. Karena di sini toko grosir dan semi

grosir merupakan pelangan sekaligus konsumen dari masing-masing

pelaku usaha. Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 5/1999, “konsumen

adalah setiap pemakai dan/atau pengguna barang dan/atau jasa untuk

kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain”.Kemudian

pengertian Pelanggan dalam pedoman Pasal 19, ialah25: “pemakai atau

pengguna dari barang dan/atau jasa untuk kepentingan sendiri maupun

kepentingan pihak lain yang menggunakan secara berkesinambungan,

teratur, terus menerus baik melalui perjanjian tertulis maupun tidak

tertulis”.

Di mana dalam putusan Majelis Komisi tersebut terdapat

kejanggalan karena tidak sesuai dengan penafsiran gramatikal atau

interpretasi bahasa. Penafsiran gramatikal adalah penafsiran yang

dilakukan oleh hakim secara tata bahasa, dimana jika rumusan undang-

undang tidak jelas, maka hakim harus mencari kata-kata atau kalimat yang

dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang dengan mencari pada

makna teks yang di dalamnya kaidah hukum dinyatakan.26 Penafsiran

gramatikal atau interpretasi bahasa secara sederhana melihat arti dari kata

yang terdapat dalam Undang-undang oleh Majelis Komisi untuk

25Pedoman Pelaksanaan Ketentuan Pasal 19 Undang-Unndang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Perjanjian Usaha Tidak Sehat, h. 8. 26 Sudikno mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, (Yoyakarta: Liberty

Yogyakarta, edisi kedua, cetakan ke enam, januari 2009), h. 40.

62

menentukan suatu putusan yang sesuai dengan maksud dari Undang-

undang. Jika mengkaitkannya dengan kedua putusan KPPU tersebut,

tentulah seharusnya putusan yang diberikan oleh Majelis Komisi tidak lah

berbeda. Karena Pengertian konsumen dan pelanggan dari Undang-undang

No 5 Tahun 1999 tidak berbeda dan tidak terjadi perubahan. Secara bahasa

pun keduaanya tetap memiliki makna yang sama dan tidak terjadi

perubahan.

Jika melihat kepada kedua pengetian tersebut jelaslah bahwa toko

grosir dan semi grosir dikategorikan sebagai pelanggan maupun

konsumen, karena memakai atau menggunakan barang dari pelaku usaha

tersebut dan secara berkesinambungan. Tetapi sebaliknya Majelis Komisi

menilai dalam Putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 bahwa toko grosir

dan semi grosir bukanlah konsumen dan pelangan dari Batu baterai ABC

dan PT PGI. Sedangkan menurut penulis sendiri, penulis lebih condong

kepada putusan yang kedua. Karena memang berdasarkan peraturan yang

ada toko grosir dan semi grosir dikategorikan sebagai pelanggan dan

konsumen dari kedua kasus tersebut lalu kenapa pada putusan yang

selanjutnya dinyatakan tidak terpenuhi dan tidak tergolong sebagai

konsumen dan pelanggan dari market leader. Sekalipun memang ternyata

terdapat perubahan dalam peraturan Hukum Persaingan Usaha yang

berkaitan seharusnya disampaikan kepada para pelaku usaha. karena

perubahan tersebut memiliki dapat yang cukup besar untuk kedepannya.

Dapat terlihat dengan jelas bahwa terdapat pergeseran penafsiran

yang dilakukan oleh Majelis Komisi. Namun, belum tentu semua lapisan

masyarakat mengetahui terkait dengan faktor-faktor apa saja yang bisa

mendorong terjadinya pergeseran penafsiran tersebut. Karena memang

banyak faktor yang dapat menciptakan perubahan atau pergeseran dari

suatu hukum. Kemudian berdasarkan analisis peneliti, peneliti membagi

beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran penafsiran

tersebut ialah:

a. Masuknya Ilmu atau Pengetahuan Baru

63

Masuknya ilmu atau pengetahuan baru tentu sangat mungkin dalam

suatu Negara. Terbelih lagi dengan keadaan sekarang, di mana

ilmu sudah sangat mudah untuk diakses dan berpindah-pindah dari

satu tempat ke tempat lain. Didukung dengan keadaan Negara

Indonesia yang terus berusaha meningkatkan penyempurnaan

dalam penegakan hukumnya dan terus mengikuti pekembangan

hukum dari Negara lain. Salah satunya ialah yang berkaitan dengan

Hukum Persaingan Usaha. Dengan banyaknya pengetahuan baru

dari berbagai Negara di bidang Hukum Persaingan Usaha, tentu

akan berdampak pula pada perkembangan Hukum Persaingan

Usaha di Indonesa dan pengambilan putusan oleh Majelis Komisi.

Hal tersebut yang kemudian dapat menjadi pertimbangan sebagai

salah satu faktor dari terjadinya pergeseran dalam putusan KPPU

Nomor 6/KPPU-L/2004 dan putusan KPPU Nomor 14/KPPU-

L/2015.

b. Masuknya Ahli baru pada bidang tersebut

Selain dengan semakin berkembang pesatnya perpindahan ilmu

atau pengetahuan baru dari satu tempat ketempat lain. Masuknya

ahli dari luar juga merupakan faktor lain yang dapat menjadikan

terjadinya pergeseran dalam penetapan keputusan yang dilakukan

oleh Majelis Komisi. Tidak hanya dengan menyerap ilmu yang dari

Negara lain, tetapi untuk mengembangan Hukum Persaingan

Usaha di Indonesia diperlukan juga seorang yang tidak hanya

memiliki pengetahuan namun juga harus memiliki pengalaman

yang mempuni. Dengan hadirnya seorang ahli baru di bidang

Hukum Persaingan Usaha tentunya akan semakin membuka

wawasan serta pandangan dari Majelis Komisi dalam memandang

suatu kasus. Sehingga bukan tidak mungkin hal tersebut akan

memicu terjadinya pergeseran dalam penerapan unsur dalam

putusan.

c. Semakin banyak sdm baru yang ahli dibidang persaingan usaha

64

Dengan semakin berkembangnya Hukum Persaingan Usaha dari

segi ilmu dan ahlinya, tentu akan berdampak kepada peningkatan

kualitas dari sdm. Karena sdm merupakkan faktor penting dalam

penegakan Hukum Persaingan Usaha. Dengan meningkatnya

kualitas sdm KPPU, tentu akan berdampak kepada kinerja KPPU

khususnya Majelis Komisi dalam mengambil keputusan. Majelis

Komisi tidak akan lagi melihat suatu permasalahan dengan sudut

pandang yang sama, tentunya akan ada kacamata – kacamata lain

yang akan digunakan oleh Majelis Komisi dalam mengambil

keputusan. Kemudian hal tersebut lah yang terjadi dalam putusan

KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 dan putusan KPPU Nomor

14/KPPU-L/2015.

d. Terjadinya perubahan dalam kondisi masyarakat

Tentulah banyak sekali perubahan yang terjadi dalam masyarakat

dalam kurun waktu 10 tahun. Baik dari perubahan kesadaran

masyarakat, keadaan ekonomi dan lain sebagainya. Perubahan

yang terjadi dalam masyarakat akan memperngaruhi pengambilan

keputusan yang dilakukan oleh Majelis Komisi, terbukti dengan

perbedaan dalam putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 dan

putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015. Karena dalam

pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Majelis Komisi,

mereka juga harus melihat kepada keadaan dari masyarakat atau

yang dikenal dengan penafsiran sosiologis atau teologis. Penafsiran

sosiologis atau telogis terjadi apabila makna undang-undang itu

ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan. Peraturan

perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi

sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah usang

digunakan sebagai sarana untuk memecahkan atau menyelesaikan

sengketa yang terjadi sekarang. Metode ini baru digunakan apabila

kata-kata dalam undang-undang dapat ditafsirkan dengan berbagai

65

cara.27 Penafsiran tersebut sangat mungkin untuk memberikan

putusan yang berbeda berdasarkan keadaan masyarakat yang sudah

berkembang seiring dengan perkembangan zaman.

Kemudian jika melihat kepada penerapan pada Rule of Reason.

Pendekatan Rule of Reason harus melalui prosedur pembuktian yang

diawali dengan menentukan definisi pasar bersangkutan. perhitungan,

penilaian, dan keputusan tentang implikasi persaingan akibat perilaku apa

pun tergantung pada ukuran (pangsa) pasar dan bentuk pasar

bersangkutan. Suatu pasar memiliki dua komponen, yakni pasar produk

dan pasar geografis. Pasar produk menguraikan mengenai barang atau jasa

yang diperjualbelikan. Sedangkan pasar geografis menguraikan lokasi

produsen atau penjual produk. Proses pendefinisian terhadap kedua

komponen pasar ini memiliki kesamaan, dan tugas penyelidik adalah

meliputi semua produk pengganti (close substitutes) dan atau sumber

penawaran produk yang sedang diselidiki. Fase ini dimaksud untuk

menentukan sampai di mana pembeli (konsumen) dapat beralih ke produk

pengganti atau tempat (sumber) penawaran lainnya.28

Dalam putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 yang dinyatakan

dengan pasar produk adalah baterai manganeseum-3 atau r6 biru atau aa

blue atau produkyang memiliki kualitas, fungsi dan harga yang setara

dengannya. Pasar geografis ialah sejumlah grosir dan semi grosir

tradisional di wilayah jawa dan bali. Dalam putusan KPPU Nomor

14/KPPU-L/2015 yang dinyatakan denan pasar produk adalah produkk

minuman olahan serbuk berperisa buah yang mengandung susu dalam

kemasan sachet. Kemudian pasar georafisnya ialah sejumlah grosir dan

semi grosir tradisional di wilayah jawa dan bali. Namun, jika kita melihat

kepada penetapan terkait dengan kategori pasar grosir dan semi grosir jelas

terjadi pergeseran.

27 Sudikno mertokusumo, Penemuan Hukum sebuah pengantar, (Yoyakarta: Liberty

Yogyakarta, edisi kedua, cetakan ke enam, januari 2009), h. 61. 28Andi Fahmi Lubis dkk, Hukum Persaingan Usaha, (Jakarta: Komisi Pengawas

Persaingan Usaha, 2017).h.83.

66

Dengan terdapatnya perbedaan penerapan unsur antara putusan

satu dengan yang lainnya tentunya akan berdampak cukup luas. Baik

berupa ketidakpastian hukum yang diciptakan sendiri oleh KPPU sebagai

lembaga pengawas dan juga menurunnya tingkat kepercayaan dari pelaku

usaha dari kinerja KPPU sendiri. Dampak-dampak dari perbedaan

penerapan keputusan tersebutlah yang kemudian akan dibahas pada

pembahasan selanjutnya.

C. Dampak Hukum dalam Putusan KPPU Perkara Nomor 06/KPPU-

L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015

Perbedaan penetapan putusan yang dilakukan oleh Majelis Komisi

dalam putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 dan putusan KPPU Nomor

14/KPPU-L/2015, tentu memiliki dampak terhadap Hukum Persaingan

Usaha. Seperti timbulnya ketidakpastian hukum, timbul atau munculnya

hukum baru dan akan menimbulkan hak-hak baru kepada setiap subjek-

subjek yang terlibat dalam hukum tersebut. Dampak pertama ialah

munculnnya ketidakpastian hukum.

Dapat dipahami bahwa tanpa adanya kepastian hukum orang tidak

tahu apa yang harus diperbuatnya dan akhirnya timbulah ketidakpastian

(uncertainty) yang pada akhirnya akan menimbulkan kekerasan (chaos)

akibat ketidaktegasan sistem hukum. Sehingga dengan demikian kepastian

hukum menunjuk kepada pemberlakuan hukum yang jelas, tetap dan

konsisten dimana pelaksanaannya tidak dapat dipengaruhi oleh keadaan-

keadaan yang sifatnya subjektif.29

Menurut Fence M. Wantu, “hukum tanpa nilai kepastian hukum

akan kehilangan makna karena tidak lagi dapat dijadikan pedoman

29 R. Tony Prayogo, Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan Mahkamah

Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan Dalam Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang,

Jurnal Legislasi Indonesia, Volume 13, Nomor 2, 2016, h.194.

67

perilaku bagi semua orang”.30 Kepastian hukum diartikan sebagai

kejelasan norma sehingga dapat dijadikan pedoman bagi masyarakat yang

dikenakan peraturan ini.31 Jika melihat kepada pedoman tersebut dan

mengaitkannya dengan putusan KPPU Nomor 6/KPPU-L/2004 dan

putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015 tentu akan dapat menimbulkan

permasalahan baru bagi pelaku usaha yang dikenakan dengan peraturan

ini.

Bukan saja tidak mungkin untuk kedepannya akan muncul kasus

serupa yang melibatkan pelaku usaha lain. Dimana terjadinya

penyalahgunaan posisi dominan oleh Market Leader. Kemudian putusan

yang diberikan Majelis Komisi dinilai tidak adil atau tidak tepat oleh pihak

yang berperkara karena terdapat perbedaan putusan akhir dengan salah

satu dari putusan yang diatas. Hal tersebut yang kemudian dapat

memberatkan KPPU kedepannya, karena dinilai tidak dapat memberikan

kepastian selaku dari pengawas Hukum Persaingan Usaha.

Dengan adanya ketidakpastian hukum yang berlangsung. Akan

memberikan ketidakpuasan dari pelaku usaha terhadap Hukum Persaingan

Usaha yang ada dan akan memberikan tekanan kepada KPPU untuk dapat

menciptakan Hukum Persaingan Usaha yang baru. Karena pelaku usaha

akan menilai bahwa Hukum Persaingan Usaha yang sekarang sudah tidak

relate dengan iklim usaha yang sekarang. Terlebih lagi dengan banyak

masuknya ilmu, ahli, sdm dan pengetahuan baru terkait dengan Hukum

Persaingan Usaha tentulah sangat diharapkan adanya perubahan atau

perkembangan dari Hukum Persaingan Usaha.

Kemudian dengan adanya perbedaan penafsiran terhadap kategori

konsumen pada putusan tersebut dapat menimbulkan kerancuan terkait

30Fence M. Wantu, Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim, Jurnal Berkala

Mimbar Hukum, Vol. 19 No.3 Oktober 2007, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah

Mada, hlm. 388. 31Tata Wijayanta, Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam Kaitannya

Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Jurnal Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014, hlm.219

68

dengan hak-hak yang dimiliki oleh konsumen. Di mana dengan pergeseran

penafsiran tersebut dapat memberikan pergeseran hak dan kewajiban yang

dibebankan. kemudian apakah pelaku usaha kemudian harus mengikuti

terkait ketentuan yang lama atau yang baru untuk memenuhi hak dan

kewajibannya pula. Hal-hal tersebut yang belum diatur terkait dengan

adanya pergeseran penetapan konsumen dalam putusan tersebut dan

tentunya dapat menimbulkan kerancuan bagi pihak-pihak yang terlibat

atau berdampak dari Hukum Persaingan Usaha dan putusan KPPU

tersebut.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah peneliti kaji dan bahas pada

setiap sub bab pembahasan, maka kemudian peneliti memberikan

kesimpulan sebagai berikut:

1. Perbedaan Penafsiran Hukum oleh Majelis Komisi dalam unsur-unsur

Pasal 19 dan Pasal 25 perkara dengan Nomor 6/KPPU-L/2004 dan

Nomor 14/KPPU-L/2015 diakibatkan oleh beberapa faktor.

Diantaranya ialah masuknnya ilmu atau pengetahuan baru, masuk atau

lahirnya ahli baru pada bidang Hukum Persaingan Usaha dan semakin

meningkatnya kualitas sdm di bidang Hukum Persaigan Usaha dan

terjadinya perubahan dalam kondisi masyarakat. Dikarenakan beberapa

faktor tersebut tentunya cara pengambilan keputusan atau pernaafsiran

hukum yang dilakukan oleh KPPU tidak sama dengan yang dulu. Akan

menggunakan penafsiran hukum lain serta ada beberapa cara pandang,

metode atau pengertian baru dalam Hukum Persaingan Usaha. Oleh

karenanya terdapat perbedaan dalam putusan akhir yang dijatuhkan

KPPU dalam ke dua putusan tersebut.

2. Penerapan Hukum yang dilakukan oleh Majelis Komisi atas

penyalahgunaan posisi dominan dalam putusan Nomor 06/KPPU-

L/2004 dan Nomor 14/KPPU-L/2015 terjadi pergeseran antara putusan

satu dengan yang lainnya. Dalam putusan Nomor 06/KPPU-L/2004

menyebutkan bahwa toko grosir dan semi grosir bukan merupakan

pelanggan atau konsumen dari pelaku usaha yang di mana jika

mengacu kepada Penafsiran gramatikal dalam Pasal 1 ayat (15)

undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999. Jelas bahwa toko grosir dan

semi grosir masuk kedalam kategori konsumen dan pelanggan dari

pelaku usaha. Namun, dalam putusan Nomor 14/KPPU-L/2015

menyebutkan bahwa toko grosir dan semi grosir dikategorikan sebagai

69

70

konsumen dan pelanggan dari pelaku usaha. Sehingga terjadi

pergeseran dan pelencengan penafsiran yang dilakuakan oleh Majelis

Komisi jika mengacu kepada kedua putusan tersebut.

B. Rekomendasi

1. Terjadiya perkembangan dalam Hukum Persaingan Usaha sejatinya

bukanlah suatu hal yang buruk. Namun, hal itu tidak bisa terjadi jika

tidak terdapat kejelasan dari KPPU selaku lembaga berwenang.

Menurut pendapat penulis KPPU harus terus menyampaikan

perkembangan-perkembangan yang terdapat dalam Hukum Persaingan

Usaha dan tidak ada salahnya KPPU menciptakan Undang-undang

baru jika memang terdapat pembaharuan dalam Hukum Persaingan

Usaha.

2. Perlu adanya analisis lebih mendalam yang dilakukan oleh KPPU

sebagai lembaga berwenang terhadap undang-undang Persaingan

Usaha. Kemudian menurut saya diperlukannya suatu regulasi yang

relevan dengan perkembangan zaman dan mengatur lebih terperenci

terkait dengan Hukum Persaingan Usaha. Agar tidak terjadi pergeseran

penafsiran seperti pada putusan di atas terulang kembali.

71

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Amirudin dan Zainal Asikin. 2004. Pengantar Metode Penelitian Hukum Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Apeldoorn, Van. 1990. Pengantar Ilmu Hukum,. Jakarta: Pradnya Paramita,

Cetakan Kedua Puluh Empat.

Assauri, Sofjan Assauri. 2011. Manajemen Pemasaran. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Efendi, Jonaedidan Johnny Ibrahim. 2018. Metode Penelitian Hukum: Normatif

dan Empiris, Jakarta: Prenadamedia Group.

Fahmi, Andi Lubis dan kawan-kawan. 2017. Hukum Persaingan Usaha. Jakarta:

Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Fahmi, AndiLubis. 2009.Hukum Persaingan Usaha antara Teks dan Konteks.

Jakarta: Deutsche Gesellschaftfür Technische Zusammenarbeit.

Hawin, M. dan kawan-kawan.2009.Hukum Persaingan Usaha di Indonesia dan

Perkembangannya. Yogyakarta; CICODS FH-UGM.

Hermansyah,. 2008. Pokok-Pokok Hukum Persaingan usaha. Jakarta: Kencana

Prenada Media.

Miller, Roger LeRoy. 2000. Teori Ekonomi Mikro Intermediate. Jakarta: Raja

Grafindo Persada.

Mankiw, Gregory Mankiw. 2000.Teori Makroekonomi. Jakarta: Erlangga.

Margono, Suyud. 2009. Hukum Anti Monopoli.Jakarta: Sinar Grafika.

Marzuki, Peter Mahmud. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta: Prenadamedia Group.

Mertokusumo, Sudikno. 2004. Penemuan Hukum. Yogyakarta: Liberty.

72

Poerwadarminta , W.J.S. 2006. , Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga.

Jakarta: Balai Pustaka.

Raharjdo, Satjipto. 1986.Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Rokan, Mustafa Kamal. 2010. Hukum Persaingan Usaha – Teoridan Praktiknya

di Indonesia. Jakarta: Raja grafindo Persada.

Soekanto, Soerjonodan Sri Mamudji. 2015. PenelitianHukumNormatif:

SuatuTinjauanSingkat. Jakarta: Rajawali Pers.

Susanto, Anton F. 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat

Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.

Syahrani, H. Ridwan. 2009. Kata-Kata Kunci Mempelajari Ilmu Hukum.

Bandung: PT. Alumni.

Tanya, Bernard L., dkk.2013. Teori Hukum. Yogyakarta: Genta.

Usman, Rachmadi. 2013.Hukum Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Sinar

Grafika.

Wie, Thee Kian. 2004. Pembangunan, Kebebasan, dan “Mukjizat” Orde Baru.

Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

JURNAL

Dimyati, Khudzaifah. “Teoritisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia 1945-1990”. Dalam Muhammadiyah University

Press.2005. Universitas Muhammadiyah.

Havcnah, Hagitra. “Efektivitas Pengaturan Penyalahgunaan Posisi Dominan

Perkara PT. Forisa Nusapersada dalam Program Pop Ice The Real Ice

Blender”.Jurnal Ilmu Hukum, 2015.

Prayogo, R. Tony. “Penerapan Asas Kepastian Hukum Dalam Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Hak Uji Materiil Dan

73

Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/Pmk/2005 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Pengujian Undang-Undang, Jurnal Legislasi

Indonesia” Volume 13, Nomor 2, 2016

Supianto. “Pendekatan Per Se Illegal dan Rule Of Reason dalam Hukum

Persaingan Usaha di Indonesia”. Jurnal Rechtens, Vol. 2, No. 1, Juni 2013.

Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta.

Wantu, Fence M. “Antinomi Dalam Penegakan Hukum Oleh Hakim” Jurnal

Berkala Mimbar Hukum Vol. 19 No.3 Oktober 2007, Yogyakarta:

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

Warga, Warta. “Jenis-Jenis Pasar Dibedakan Menurut Bentuk Kegiatan, Cara

Transaksi dan Menurut Jenis Barangnya”. Dalam Student Journalism

Volume 2, No 2. 2010. Universitas Gunadarma.

Wijayanta, Tata. “Asas Kepastian Hukum, Keadilan dan Kemanfaatan Dalam

Kaitannya Dengan Putusan Kepailitan Pengadilan Niaga”. Jurnal

Dinamika Hukum Vol. 14 No. 2 Mei 2014 Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada Yogyakarta.

SKRIPSI

Ismail, Fauzie Kamal. “Tesis berjudul Kepastian Hukum Atas Akta notaris Yang

Berkaitan Dengan Pertanahan”. Fakultas Hukum, Universitas Indonesia,

Depok, 2011.

Pratama, Muhammad Insan C. “Kepastian Hukum dalam Production Sharing

Contract”. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta,

2009

Surur, Iftitahus. “Analisa Pasar Bersangkutan Dalam Pasal 25 Undang-Undang

Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktek Monopoli Dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat Terkait Penyalahgunaan Posisi

Dominan”.Skripsi Fakultas Hukum, Universitas Brawijaya, 2017.

74

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan

Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan

Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan, dan Toko Modern

Pedoman Pelaksanaan ketentuan Pasal 19 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persainggan Usaha Tidak Sehat.

Putusan KPPU Nomor. 6/KPPU-L/2004

Putusan KPPU Nomor 14/KPPU-L/2015