Penyakit Kulit Nematoda

37
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematoda mempunyai jenis yang beranekaragam. Jenis nematoda yang menginfeksinyapun dari berbagai macam jenis. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang, silindrik, tidak bersegmen, dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini mulai dari 2 mm hingga 1 m. Nematoda yang ditemukan dalam manusia terdapat pada organ usus, jaringan, dan sistem peredaran darah. Keberadaan cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang beraneka ragam tergantung pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi. Beberapa penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematode adalah larva kurens, filariasis dan drakunkuliasis. Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies cacing penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti; Brugia malayi; Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari 70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan kerusakan pada sistem 1

description

referat penyakit kulit nematoda

Transcript of Penyakit Kulit Nematoda

Page 1: Penyakit Kulit Nematoda

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematoda mempunyai

jenis yang beranekaragam. Jenis nematoda yang menginfeksinyapun dari

berbagai macam jenis. Nematoda adalah cacing yang bentuknya panjang,

silindrik, tidak bersegmen, dan tubuhnya bilateral simetrik, panjang cacing ini

mulai dari 2 mm hingga 1 m. Nematoda yang ditemukan dalam manusia

terdapat pada organ usus, jaringan, dan sistem peredaran darah. Keberadaan

cacing ini menimbulkan manifestasi klinik yang beraneka ragam tergantung

pada spesiesnya dan organ yang dihinggapi. Beberapa penyakit kulit dan

kelamin yang disebabkan oleh nematode adalah larva kurens, filariasis dan

drakunkuliasis.

Filariasis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh cacing

filaria yang ditularkan melalui berbagai jenis nyamuk. Terdapat tiga spesies

cacing penyebab Filariasis yaitu Wuchereria bancrofti; Brugia malayi;

Brugia timori. Semua spesies tersebut terdapat di Indonesia, namun lebih dari

70% kasus filariasis di Indonesia disebabkan oleh Brugia malayi. Cacing

tersebut hidup di kelenjar dan saluran getah bening sehingga menyebabkan

kerusakan pada sistem limfatik yang dapat menimbulkan gejala akut dan

kronis. Gejala akut berupa peradangan kelenjar dan saluran getah bening

(adenolimfangitis) terutama di daerah pangkal paha dan ketiak tapi dapat pula

di daerah lain. Gejala kronis terjadi akibat penyumbatan aliran limfe terutama

di daerah yang sama dengan terjadinya peradangan dan menimbulkan gejala

seperti kaki gajah (elephantiasis), dan hidrokel. Berdasarkan laporan dari

kabupaten/kota, jumlah kasus kronis filariasis yang dilaporkan sampai tahun

2009 sudah sebanyak 11.914 kasus (Wahyono, Purwantyastuti, & Supali,

2010).

Filariasis menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia. Dari tahun ke

tahun jumlah provinsi yang melaporkan kasus filariasis terus bertambah.

Bahkan di beberapa daerah mempunyai tingkat endemisitas yang cukup

1

Page 2: Penyakit Kulit Nematoda

tinggi. Berdasarkan laporan tahun 2009, tiga provinsi dengan jumlah kasus

terbanyak filariasis adalah Nanggroe Aceh Darussalam (2.359 orang), Nusa

Tenggara Timur (1.730 orang) dan Papua (1.158 orang). Tiga provinsi

dengan kasus terendah adalah Bali (18 orang), Maluku Utara (27 orang), dan

Sulawesi Utara (30 orang). Menurut kabupaten, pada tahun 2009 tiga

kabupaten dengan kasus terbanyak filariasis adalah Aceh Utara (1.353 kasus),

Manokwari (667 kasus) dan Mappi (652 kasus) (Wahyono, Purwantyastuti, &

Supali, 2010).

Tingkat endemisitas di Indonesia berkisar antara 0%-40%. Dengan

endemisitas setiap provinsi dan kabupaten berbeda-beda. Untuk menentukan

endemisitas dilakukan survei darah jari yang dilakukan di setiap

kabupaten/kota. Dari hasil survei tersebut, hingga tahun 2008, kabupaten/kota

yang endemis filariasis adalah 335 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota

yang ada di Indonesia (67%), 3 kabupaten/kota yang tidak endemis filariasis

(0,6%), dan 176 kabupaten/kota yang belum melakukan survey endemisitas

filariasis. Pada tahun 2009 setelah dilakukan survei pada kabupaten/kota yang

belum melakukan survei tahun 2008, jumlah Kabupaten/kota yang endemis

filariasis meningkat menjadi 356 kabupaten/kota dari 495 kabupaten/kota di

Indonesia atau sebesar 71,9% sedangkan 139 kabupaten/kota (28,1%) tidak

endemis filariasis (Wahyono, Purwantyastuti, & Supali, 2010).

Dracunculiasis atau Dracontiasis adalah infeksi yang disebabkan oleh

cacing Dracunculus medinensis, nematoda jaringan yang sangat panjang.

Nama ilmiah yang pertama sekali diberikan pada cacing ini adalah Gordius

medinensis Linnaeus, pada tahun 1758. Nama umumnya adalah Dracunculus

yang berarti ‘ular kecil’. Disebut pula ‘Serpent worm’ atau ‘Dragon worm’

oleh karena bentuknya seperti ‘ular naga’. Sebagian lagi menyebutnya

‘Medina worm’ atau ‘Guinea worm’ oleh karena daerah tempat

penyebarannya. Pada Helmintologi cacing ini masuk dalam Famili

Dracunculidae dan subordo Camallanina.1 Walau masih ada sebagian

menganggapnya termasuk filaria. Walaupun di Indonesia insiden penyakit ini

bersifat sporadis, namun bahayanya tetap saja ada, mengingat Cyclops juga

terdapat di Indonesia. Pada era globalisasi saat ini, sangat memungkinkan

2

Page 3: Penyakit Kulit Nematoda

bagi seorang penderita dari daerah endemik masuk ke wilayah Indonesia dan

kontak dengan sumber air, terutama di daerah wisata berbasiskan air. Juga

masih adanya daerah di Indonesia yang belum memiliki sumber air minum

yang benar-benar bebas dari Cyclops (Greenaway, 2004).

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui lebih mendalam

mengenai penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematoda

khususnya larva kurens, filariasis, dan drakunkuliasis.

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penulisan Referat ini adalah untuk mengetahui hal-

hal yang berhubungan mengenai penyakit kulit dan kelamin yang

disebabkan oleh nematode khususnya larva kurens, filariasis, dan

drakunkuliasis, meliputi :

1. Definisi

2. Klasifikasi

3. Etiologi

4. Epidemiologi

5. Pemeriksaan penunjang

6. Penatalaksanaan

7. Prognosis

C. Manfaat

Manfaat dari penulisan Referat adalah menambah wawasan mengenai

penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh nematode khususnya larva

kurens, filariasis, dan drakunkuliasis. yang ditemui di praktek klinik.

3

Page 4: Penyakit Kulit Nematoda

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. LARVA CURENS

1. Definisi

Larva curens merupakan suatu penyakit kulit yang disebabkan oleh

parasit yaitu Strongiloides stercolaris. Cacing ini umumnya menyerang

duodenum dan bagian atas jejunum (Anonim. 2009).

2. Gejala Klinis

Gejala klinis yang muncul antara lain timbulnya dermatitis ringan

pada saat larva cacing masuk ke dalam kulit pada awal infeksi (Verawati,

2012).

Timbulnya dermatitis yang sangat gatal karena gerakan larva

menyebar dari arah dubur; dapat juga timbul peninggian kulit yang

stationer yang hilang dalam 1-2 hari atau ruam yang menjalar dengan

kecepatan beberapa sentimeter per jam pada tubuh (reddish serpiginous

(snake-like) pattern) (Verawati, 2012).

3. Diagnosa

Diagnosa dibuat dengan menemukan larva cacing pada spesimen

tinja segar atau dengan metode pelat agar, pada aspirat duodenum atau

kadang-kadang larva ditemukan pada sputum (Anonim. 2009).

Pemeriksaan serologi menggunakan Elisa dengan antigen larva.

Pemeriksaan tinja dapat dilakukan secara langsung; setelah konsentrasi

(formalin-ethyl acetate); dengan biakan tinja cara isolasi Baerman; setelah

kultur dengan teknik Harada-Mori filter paper; kultur di agar plates

(metode Charcoal).

4. Distribusi penyakit

Distribusi penyakit ini tersebar di daerah beriklim tropis atau

subtropis, umumnya di daerah panas dan lembab. Prevalensi tinggi

4

Page 5: Penyakit Kulit Nematoda

ditemukan pada masyarakat dengan kondisi kebersihan perorangan yang

jelek (Anonim. 2009).

5. Siklus Hidup

Manusia adalah reservoir utama cacing ini. Cara penularan cacing

ini adalah sebagai berikut (Verawati, 2012):

Larva infektif (filariform) berkembang dalam tinja atau tanah lembab

yang terkontaminasi oleh tinja, menembus kulit masuk ke dalam darah

vena di bawah paru

Di paru, larva menembus dinding kapiler masuk ke dalam alveoli

Bergerak naik menuju ke trakea kemudian mencapai epiglotis

Larva turun masuk ke dalam saluran pencernaan

Di sini cacing betina menjadi cacing dewasa , yaitu cacing betina yang

berkembang biak dengan cara partogenesis hidup menempel pada sel-sel

epitelium mukosa intestinum terutama duodenum (tempat cacing

meletakkan telurnya)

Telur menetas melepaskan larva non infektif rhabditiform

Larva ini bergerak masuk ke dalam lumen usus, keluar dari hospes

melalui tinja dan berkembang menjadi larva infektif filariform

6. Waktu inkubasi

Waktu yang diperlukan mulai saat larva infektif filariform

menembus kulit sampai ditemukan larva non infektif rhabditiform dalam

tinja penderita adalah 2-4 minggu. Sedangkan waktu dari masuknya larva

infeksi sampai timbul gejala tidak pasti, bervariasi dari satu hospes dengan

hospes yang lain (Verawati, 2012).

5

Page 6: Penyakit Kulit Nematoda

Autoinfeksi dapat terjadi karena adanya larva infektif filariform

yang melakukan penetrasi kulit perianal pada penderita dengan higiene

yang buruk, konstipasi, defekasi dibersihkan dengan tisu (Anonim. 2009).

7. Terapi

a) Thiabendazol

b) Albendazol

c) Simptomatik jika terdapat gejala diare, dehidrasi, atau gangguan

elektrolit (Verawati, 2012).

8. Pencegahan

a) Pengobatan penderita

b) Mengatur pembuangan tinja

c) Edukasi tentang higiene kesehatan

d) Anjuran memakai alas kaki pada daerah endemis (Verawati, 2012).

B. FILARIASIS

1. Definisi

Filariasis ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh

infeksi cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada

kelenjar getah bening. Penyakit ini bersifat menahan (kronis) dan bila

tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa

pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-

laki (Oemiyati, 2006).

2. Cara Penularan

Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang

tersebut digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam

tubuhnya mengandung larva (L3). Nyamuk sendiri mendapat mikro filarial

karena menghisap darah penderita atau dari hewan yang mengandung

6

Page 7: Penyakit Kulit Nematoda

mikrofolaria. Nyamuk sebagai vector menghisap darah penderita

(mikrofilaremia) dan pada saat itu beberapa microfilaria ikut terhisap

bersama darah dan masuk dalam lambung nyamuk. Dalam tubuh nyamuk

microfilaria tidak berkembang biak tetapi hanya berubah bentuk dalam

beberapa hari dari larva 1 sampai menjadi larva 3, karenanya diperlukan

gigitan berulang kali untuk terjadinya infeksi. Didalam tubuh manusia

larva 3 menuju sistem limfe dan selanjutnya tumbuh menjadi cacing

dewasa jantan atau betina serta bekembang biak (Oemiyati, 2006).

3. Etiologi

Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial : Wuchereria

Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori. cacing ini menyerupai benang

dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar getah bening dan

darah. Cacing ini dapat hidup dalam kelenjar getah bening manusia selama

4 - 6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan

jutaan anak cacing (microfilaria) yang beredar dalam darah terutama

malam hari (Oemiyati, 2006).

Gambar 1. Cacing penyebab filariasis

Penyebarannya diseluruh Indonesia baik di pedesaan maupun

diperkotaan. Nyamuk merupakan vektor filariasis Di Indonesia ada 23

spesies nyamuk yang diketahui bertindak sebagai vektor dari genus:

mansonia, culex, anopheles, aedes dan armigeres (Oemiyati, 2006).

a) W. bancrofti perkotaan vektornya culex quinquefasciatus

b) W. bancrofti pedesaan: anopheles, aedes dan armigeres

c) B. malayi : mansonia spp, an.barbirostris.

d) B. timori : an. barbirostris.

Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu tergantung dari spesies

dan tipenya. Di Indonesia semuanya nokturna kecuali type non periodic

7

Page 8: Penyakit Kulit Nematoda

Secara umum daur hidup ketiga spesies sama tersebar luas di seluruh

Indonesia sesuai dengan keadaan lingkungan habitatnya ( got, sawah,

rawa, hutan ). Ciri- ciri dari cacing dewasa atau makrofilaria adalah

(Oemiyati, 2006):

a) Berbentuk silindris, halus seperti benang, putih dan hidup di dalam

sisitemmlimfe.

b) Ukuran 55 – 100 mm x 0,16 mm

c) Cacing jantan lebih kecil: 55 mm x 0,09 mm

d) Berkembang secara ovovivipar

Sedangakan ciri-ciri microfilaria adalah

a) Merupakan larva dari makrofilaria sekali keluar jumlahnya puluhan

ribu.

b) Mempunyai sarung. 200 – 600 X 8 um

Didalam tubuh nyamuk mikrofilaria yang diisap nyamuk akan

berkembang dalam otot nyamuk. Setelah 3 hari menjadi larva L1, 6 hari

menjadi larva L2, 8-10 hari untuk brugia atau 10 – 14 hari untuk

wuchereria akan menjadi larva L3. Larva L3 sangat aktif dan merupakan

larva infektif.ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk (tetapi

tidak seperti malaria). Manusia merupakan hospes definitive Hampir

semua dapat tertular terutama pendatang dari daerah non-endemik

Beberapa hewan dapat bertindak sebagai hospes reservoir (Oemiyati,

2006).

Penularan dapat terjadi apabila ada 5 unsur yaitu sumber penular

(manusia dan hewan), Parasit, Vektor, Manusia yang rentan, Lingkungan

(fisik, biologik dan sosial ekonomibudaya (Oemiyati, 2006)).

8

Page 9: Penyakit Kulit Nematoda

Gambar 2. para penderita filariasis

4. Eliminasi Filaria

Bertujuan pemutusan rantai penularan dengan pengobatan Massal

(MDA) pada penduduk yang beresiko (population at risk) thd Filariasis

dan Disability prevention and Control : ditingkat masyarakat(CHBC) pada

kasus : limfedema, hidrokel dan Limfedema/hidrokel dengan serangan

akut serta ditingkat RS pada kasus, perbaikan/operasi Hidrokel, limfedema

skrotum. Filaria belum bisa tereliminasi karena (Oemiyati, 2006) :

a) Belum adanya kesamaan persepsi tentang kegiatan Eliminasi Kaki

Gajah

b) Kab/kota Eliminasi Kaki Gajah belum merupakan prioritas

c) Issue Eliminasi Kaki Gajah belum terangkat ke permukaan

sehingga belum banyak diketahui

5. Gejala dan Tanda Filariasis

a) Gejala dan tanda klinis akut (Oemiyati, 2006) :

1) Demam berulang ulang selama 3-5 hari, demam dapat hilang bila

istirahat dan timbul lagi setelah bekerja berat

2) Pembengkakan kelenjar getah bening (tanpa ada luka) di daerah

lipatan paha, ketiak (limfadenitis) yang tampak kemerahan, panas

dan sakit

3) Radang saluran kelenjar getah bening yang terasa panas dan sakit

yang menjalar dari pangkal ke arah ujung kaki atau lengan

9

Page 10: Penyakit Kulit Nematoda

4) Abses filaria terjadi akibat seringnya pembengkakan kelenjar getah

bening, dapat pecah dan dapat mengeluarkan darah serta nanah

5) Pembesaran tungkai, lengan, buah dada dan alat kelamin

perempuan dan laki-laki yang tampak kemerahan dan terasa panas.

b) Gejala dan tanda klinis kronis (Oemiyati, 2006) :

1) Limfedema : Infeksi Wuchereria mengenai kaki dan lengan,

skrotum, penis, vulva vagina dan payudara, Infeksi Brugia dapat

mengenai kaki dan lengan dibawah lutut / siku lutut dan siku

masih normal

2) Hidrokel : Pelebaran kantung buah zakar yang berisi cairan limfe,

dapat sebagai indikator endemisitas filariasis bancrofti

3) Kiluria : Kencing seperti susu kebocoran sel limfe di ginjal,

jarang ditemukan

6. Diagnosis Filariasis

a) Klinis - diagnosis klinis ditegakkan bila ditemukan gejala dan tanda

klinis akut ataupun kronis

b) Laboratorium - Seseorang dinyatakan sebagai penderita falariasis

apabila di dalam darahnya positif ditemukan mikrofilaria. Untuk uji

laboratorium sebaiknya gunakan darah jari yang diambil pada malam

hari (pukul 20.00 - 02.00) (Oemiyati, 2006).

7. Pengobatan

a) Pengobatan Masal

Dilakukan di daerah endemis (mf rate > 1%) dengan

menggunakan obat Diethyl Carbamazine Citrate (DEC)

dikombilansikan dengan Albendazole sekali setahun selama 5 tahun

berturut-turut. Untuk mencegah reaksi pengobatan seperti demam atau

pusing dapat diberikan Paracetamol (Oemiyati, 2006).

Pengobatan massal diikuti oleh seluruh penduduk yang berusia 2

tahun ke atas, yang ditunda selain usia ≤ 2 tahun, wanita hamil, ibu

menyusui dan mereka yang menderita penyakit berat (Oemiyati, 2006).

10

Page 11: Penyakit Kulit Nematoda

b) Pengobatan Selektif

Dilakukan kepada orang yang mengidap mikrofilaria serta

anggota keluarga yang tinggal serumah dan berdekatan dengan

penderita di daerah dengan hasil survey mikrofilaria < 1% (non

endemis) (Oemiyati, 2006).

c) Pengobatan Individual (penderita kronis)

Semua kasus klinis diberikan obat DEC 100 mg, 3x sehari

selama 10 hari sebagai pengobatan individual serta dilakukan

perawatan terhadap bagian organ tubuh yang bengkak (Oemiyati,

2006).

Gambar 3. Organ tubuh yang bengkak pada filariasis

8. Pencegahan dan Pemberantasan

a) Menghindarkan diri dari gigitan nyamuk

b) Memberantas nyamuk serta sumber perindukan

c) Meminum obat anti penyakit gajah secara masal (Oemiyati, 2006).

C. DRAKUNKULIASIS

1. Definisi

Drakunkuliasis atau yang dikenal dengan Guinea Worm Disease

adalah infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda bernama

Dracunculus medinensis. Infeksi tersebut disebabkan oleh air minum yang

mengandung kutu air spesies Cylops yang menelan larva Dracunculus

tersebut (WHO, 2013).

11

Page 12: Penyakit Kulit Nematoda

Drakunkuliasis telah ada sejak lama kira-kira 3000 tahun lalu. Pertama

kali ditemukan pada mummy bangsa Yunani yang diawetkan. Pada masa

kini, munculnya penyakit ini dihubungkan pada tingkat kemiskinan

dimana terjadi kekurangan air minum bersih di masyarakat. Infeksi cacing

ini hanya ditemukan di 13 negara Sub-sahara Afrika (Carter center, 2009).

2. Etiologi

Drakunkuliasis disebabkan oleh cacing Dranculus medinesis. Cacing

ini termasuk dalam golongan Nematoda atau cacing pipih. Cacing betina

dapat memiliki panjang hingga 1 m dengan rata-rata 2-3 mm. Sedangkan

cacing jantan memiliki panjang rata-rata 2 cm. Cacing ini dapat hidup

dalam tubuh manusia, ternak, anjing, dan kuda.

Cacing Dranculus medinesis memasuki tubuh manusia melalui

hospes perantara yaitu Cyclops. Cyclops merupakan spesies kutu air yang

sangat kecil dengan panjang 0,5 – 5mm. Cyclops memiliki mata merah

dan hitam yang besar air (Maxey, 2012; CDC, 2011).

Gambar 4. Dracunculus medinensis

(Dari: www.oucom.ohiou.edu)

12

Page 13: Penyakit Kulit Nematoda

Gambar 5. Cyclops

(Dari: www.oucom.ohiou.edu)

3. Daur hidup

Pada mulanya cacing Dracunculus medinensis dewasa yang telah

hidup menginfeksi tubuh host (manusia) akan menimbulkan manifestasi

klinis. Sebagai upaya mengurangi gejala ataupun karena aktivitas yang

menuntut host tersebut masuk ke dalam air sungai, sehingga bagian ulkus

yang masuk ke dalam air akan memicu cacing mengeluarkan ratusan

hingga ribuan larva imatur stadium pertama tersebar dalam air (Maxey,

2012; CDC, 2011).

Larva tersebut akan tertelan oleh kutu air spesies Cyclops yang

kemudian berkembang dalam tubuh Cyclops. Dalam waktu 10-14 hari

larva akan mencapai stadium tiga (stadium infektif). Manusia yang

mengkonsumsi air yang terkontaminasi tersebut tanpa dimasak akan

menularkan kembali dalam tubuh manusia. Asam lambung akan

membunuh cyclops namun larva cacing masih hidup masuk ke saluran

pencernaan hingga menembus dinding usus dan memasuki rongga tubuh

lain air (Maxey, 2012; CDC, 2011).

Dalam waktu 10-14 bulan cacing dewasa jantan dan betina akan

melakukan perkawinan. Cacing jantan akan mati sedangkan cacing betina

akan terisi hingga 1000 larva dalam jaringan ikat tubuhnya. Cacing betina

akan bergerak pindah yang biasanya ke tungkai bawah dan kaki. Larva-

13

Page 14: Penyakit Kulit Nematoda

larva tersebut siap dikeluarkan saat ulkus masuk ke dalam air air (Maxey,

2012; CDC, 2011).

Gambar 6. Daur Hidup Dracunculus medinensis

4. Manifestasi klinis

Orang yang mengalami drakunkuliasis jarang yang menampakan

suatu gejala. Setelah 1 tahun berselang dan cacing betina dewasa yang

berada di kaki akan menyebabkan terbentuknya suatu pustul atau vesikel.

Kelainan ini akan disertai dengan rasa nyeri dan sensasi terbakar, sehingga

orang-orang cenderung memasukan lukanya ke dalam air. Dalam waktu

24-72 jam, pustul akan pecah dan mengeluarkan cairan berwarna putih

yang didalam terkandung larva cacing. Beberapa hari sebelum cacing

keluar, penderita akan mengalami demam dan pembengkakan pada area

lesi. Lesi terbuka tersebut lama kelamaan dapat memicu terjadinya infeksi

sekunder yang dapat disebabkan oleh bakteri (Maxey, 2012).

14

Page 15: Penyakit Kulit Nematoda

Gambar 7. UKK pada drakunkuliasis

5. Penegakan Diagnosis

Pada daerah endemis diagnosis dapat ditegakkan tanpa ragu ketika

ditemukan kulit yang melepuh dari lokasi gatal dengan nyeri yang tajam,

sering pula diikuti gejala alergi yang umum seperti urtikaria (Cairncross et

al., 2002). Beberapa jam sebelum lepuhan berkembang, gejala yang ada

dapat diperburuk dengan adanya eritema, ruam urtikaria, pruritus yang

intens, mual dan muntah, diare, dyspnea, pusing dan pingsan. Kulit yang

melepuh kemudian akan berkembang dalam beberapa jam dengan

membentuk papul yang berpusat pada vesikel dan dikelilingi oleh indurasi

(Karam, dan Tayeh, 2006). Lepuhan yang terjadi dapat terbentuk di mana

saja pada kulit. Namun, lepuhan pada bagian tubuh yang lebih rendah

terjadi dalam 80% -90% kasus. Lepuhan ini akan lebih besar selama

beberapa hari dan menyebabkan rasa sakit seperti terbakar. Ketika

seseorang menempatkan ini di bagian tubuh yang terkena air dingin untuk

15

Page 16: Penyakit Kulit Nematoda

meredakan gejala, cacing akan mendeteksi perubahan suhu dan

mengeluarkan semburan untuk melepaskan ratusan ribu larva ke dalam air

yang dapat dilihat secara mikroskopis dibawah daya rendah (Greenaway,

2004; Ruiz-Tiben, and Hopkins, 2006).

Beberapa cacing tidak muncul dan terkalsifikasi dalam jaringan.

Sebagian besar cacing yang terkalsifikasi tetap asimtomatik dan dapat

ditemukan saat melakukan pemeriksaan radiologi X-ray atau selama

intervensi bedah. Dalam foto polos dapat ditemukan adanya kalsifikasi

ireguler berbentuk linier pada jaringan lunak (Karam, dan Tayeh, 2006).

Metode imunodiagnostik tidak berguna dalam praktik karena hal

tersebut belum terbukti dapat mendeteksi infeksi prepaten, terutama karena

kurangnya sampel serum prepaten. Namun, antibodi dapat dideteksi pada

infeksi paten dengan Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau

dot-enzymed-linked immunosorbent assay, menggunakan antigen cacing

keseluruhan. Reaksi paling spesifik yang muncul adalah sebagai deteksi

immunoglobulin G4. Tes ini mungkin dapat mendeteksi infeksi prepaten

hingga 6 bulan sebelum munculnya cacing dimana dapat menjadi

kepentingan praktis. Belum ditemukan fakta tentang adalnya antigen

sirkulasi (Cairncross et al., 2002).

6. Diagnosis Banding

Diagnosis banding drakunkuliasis ditentukan oleh gejala yang

muncul pada lesi kulit dan dapat dilihat dalam tabel berikut ini

(Mawhorter SD dan Longworth DL, 2011).

16

Page 17: Penyakit Kulit Nematoda

17

Page 18: Penyakit Kulit Nematoda

Gambar 8. Diagnosis banding pada drakunkuliasis

7. Komplikasi

Selain rasa sakit dari lepuhan, pengambilan cacing ini juga sangat

menyakitkan. Selanjutnya, tanpa perawatan luka yang tepat sering terjadi

18

Page 19: Penyakit Kulit Nematoda

infeksi oleh bakteri (Greenaway, 2004; Ruiz-Tiben, and Hopkins, 2006).

Infeksi sekunder dari ulkus dapat terjadi dalam banyak kasus karena

masyarakat pedesaan memiliki sedikit akses ke perawatan medis. Selain

selulitis lokal, komplikasi luka dapat menyebabkan pembentukan abses,

tetanus, arthritis septik atau sepsis sistemik. Infeksi sendi selanjutnya

dapat mengakibatkan kecacatan atau kontraktur (Greenaway, 2004).

Jika cacing putus selama pengambilan maka dapat menyebabkan

peradangan yang intens karena bagian yang tersisa dari cacing mati mulai

terdegradasi dalam tubuh. Hal ini menyebabkan rasa sakit yang lebih

hebat, bengkak, dan selulitis di sepanjang jejak cacing (Karam, dan Tayeh,

2006).

Ketidakmampuan berkepanjangan setiap episode penyakit ini

adalah karena munculnya cacing dari bagian bantalan berat badan dari

tubuh dan tingginya tingkat infeksi sekunder. Rasa nyeri yang berlanjut

selama 12-18 bulan setelah munculnya cacing dialami oleh 28% dari orang

dengan penyakit ini, dan gangguan fisik permanen dalam bentuk lutut atau

sendi lain "terkunci" terjadi pada 0,5% dari populasi ini. Selama migrasi

mereka, cacing dapat berakhir pada lokasi seperti pankreas, jaringan paru-

paru, periorbital, testis, pericardium dan nervus spinalis, kemudian

menyebabkan gejala lokal yang komprehensif dan pembentukan abses

lokal (Greenaway, 2004).

8. Penatalaksanaan

Ketika cacing Guinea siap untuk keluar dari tubuh maka dia akan

menciptakan lepuhan dengan rasa terbakar yang menyakitkan pada kulit.

Ketika orang yang terinfeksi merendam bagian kulit yang melepuh di air

dingin untuk meredakan gejala, cacing Guinea menerobos keluar melalui

bagian yang melepuh dan bagian dari cacing akan terlihat. Manajemen

drakunkuliasis pada umumnya melibatkan pengambilan cacing secara

keseluruhan dan perawatan luka. Tidak ada obat khusus untuk mengobati

atau mencegah penyakit ini. Tidak ada juga vaksin untuk mencegahnya.

Satu-satunya cara untuk menghindari infeksi adalah untuk mencegah

19

Page 20: Penyakit Kulit Nematoda

paparan larva cacing Guinea di sumber air minum yang terkontaminasi

(Ruiz-Tiben, and Hopkins, 2006). Pengelolaan yang optimal dari penyakit

ini melibatkan langkah-langkah berikut:

1. Pertama, pada bagian tubuh yang terkena direndam dalam air untuk

mendorong lebih banyak cacing yang keluar setiap hari. Untuk

mencegah kontaminasi, orang yang terinfeksi tidak diizinkan untuk

memasuki sumber air minum.

2. Selanjutnya, luka dibersihkan.

3. Kemudian, traksi lembut diterapkan pada cacing untuk kemudian

menariknya keluar secara perlahan-lahan. Penarikan berhenti ketika

didapatkan tahanan untuk menghindari terputusnya cacing. Karena

cacing dapat mencapai panjang satu meter, ekstraksi penuh dapat

memakan waktu beberapa hari sampai minggu.

4. Cacing ini kemudian dililitkan pada gulungan kain kasa atau sepotong

batang kecil untuk mempertahankan ketegangan pada cacing dan lebih

mendorong dari cacing yang muncul. Hal ini juga mencegah cacing

masuk kembali ke dalam.

5. Setelah itu, antibiotik topikal diberikan pada luka untuk mencegah

infeksi bakteri sekunder.

6. Bagian tubuh yang terkena kemudian dibalut dengan kasa bersih untuk

melindungi lokasi tersebut. Obat-obatan, seperti aspirin atau ibuprofen,

diberikan untuk membantu meringankan rasa sakit dari proses ini dan

mengurangi peradangan.

7. Langkah-langkah tersebut diulang setiap hari sampai seluruh cacing

berhasil ditarik keluar.

Ketika cacing guinea muncul melalui lesi kulit, orang yang

terinfeksi dapat menariknya keluar secara perlahan-lahan dan hati-hati

(untuk meminimalkan peradangan dan nyeri) seperti langkah di atas. Rasa

sakit akibat proses tersebut dapat dikurangi dengan kompres basah pada

lesi dan penggunaan analgesik oral. Risiko superinfeksi bakteri dapat

dikurangi dengan penggunaan antiseptik topikal atau salep antibiotik

(Greenaway, 2004).

20

Page 21: Penyakit Kulit Nematoda

Penggunaan niridazole (25 mg per kg berat badan setiap hari

selama 10 hari), thiabendazole (50 mg per kg berat badan setiap hari

selama tiga hari), atau metronidazle (400 mg untuk orang dewasa setiap

hari selama 10 sampai 20 hari) dapat membantu mengurangi reaksi

jaringan yang intens, membuat ekstraksi lebih mudah, dan dapat

meredakan rasa sakit. Namun, telah disarankan oleh Chippaux bahwa

pengobatan mebendazole dengan dosis tinggi dapat mengakibatkan

munculnya cacing dari situs yang tidak biasa sehingga membahayakan

kehidupan orang yang terinfeksi. Ivermectin tidak berpengaruh pada

cacing sebelum keluar dan itu tidak mempengaruhi rute migrasi (Karam,

dan Tayeh, 2006).

Ekstraksi bedah sebelum cacing keluar dipraktekkan di India dan

dapat menghilangkan cacing tanpa rasa sakit dengan menggunakan teknik

aseptik dan anestesi lokal. Meskipun teknik ini mungkin berguna untuk

pengobatan kasus-kasus individu, namun tidak direkomendasikan sebagai

intervensi untuk tujuan kesehatan masyarakat. Tindakan pembedahan

harus dipertimbangkan dan dilakukan di lingkungan rumah sakit karena

memerlukan perawatan pasca operasi dan tindak lanjut untuk menghindari

komplikasi (Karam, dan Tayeh, 2006).

Durasi rata-rata kecacatan akibat penyakit cacing ini adalah 50%

lebih pendek antara pasien mendapat intervensi pengobatan dibandingkan

dengan yang tidak mendapat intervensi. Tidak ada obat obat cacing dan

vaksin.efektif terhadap penyakit ini. Pencegahan adalah satu-satunya

intervensi yang efektif untuk mengurangi kejadian penyakit cacing guinea

(Greenaway, 2004).

Pengembangan dan pemilihan intervensi yang paling efektif untuk

pencegahan Drakunkuliasis didasarkan pada siklus transmisi parasit dan

tidak adanya vaksin yang efektif (Cairncross et al., 2002). Sejumlah

intervensi yang layak dipertimbangkan antara lain adalah:

1. Penyediaan pasokan air bersih

2. Filtrasi (penyaringan) air minum untuk menghilangkan Cyclops

21

Page 22: Penyakit Kulit Nematoda

3. Mencari pasien dengan kasus aktif dan melakukan manajemen yang

tepat pada kasus tersebut

4. Memastikan bahwa pasien menghindari kontak dengan sumber air

5. Membunuh atau menghapus Cyclops yang ada di sumber air

9. Prognosis

Drakunkuliasis jarang berakibat fatal, studi di India berdasarkan

catatan medis menunjukkan bahwa tingkat fatalitas kasus sebesar 0,1%

atau kurang, dan ini hanya merupakan kemungkinan karena orang-orang

dengan komplikasi parah biasanya mencari pengobatan dari fasilitas

kesehatan. Proporsi pasien yang mengalami cacat permanen karena

penyakit ini juga kecil, sejumlah studi telah menemukannya yaitukurang

dari 1% (Cairncross et al., 2002).

Dampak sosial dari penyakit cacing guinea terutama disebabkan

oleh cacat sementara yang diderita oleh pasien. dua studi longitudinal di

Nigeria menemukan bahwa 58 sampai 76% pasien tidak dapat

meninggalkan tempat tidur mereka kurang lebih satu bulan selama dan

setelah munculnya cacing. Kecacatan yang berat dan berlarut-larut

dikaitkan dengan infeksi lesi sekunder dan hal ini terjadi di sekitar

setengah kasus (Cairncross et al., 2002).

Dampak dari penyakit cacing ini tidak berakhir ketika cacing telah

keluar dan penderita kembali bekerja. Sebuah studi di Ghana menemukan

bahwa, antara 12 dan 18 bulan setelah munculnya cacing, 34% dari pasien

masih memiliki beberapa kesulitan melakukan kegiatan sehari-hari,

biasanya disebabkan karena nyeri pada lokasi. Walaupaun cacat ini tidak

permanen, namun dapat meluas melampaui ketidakmampuan yang terjadi

selama munculnya cacing (Cairncross et al., 2002).

22

Page 23: Penyakit Kulit Nematoda

III. KESIMPULAN

Terdapat berbagai mcam penyakit kulit dan kelamin yang disebabkan oleh

nematoda. Sebagai contohnya adalah larva currens, filariasis, dan drakunkuliasis.

Filariasis ialah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi

cacing filaria yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk pada kelenjar getah

bening. Seseorang dapat tertular atau terinfeksi filariasis apabila orang tersebut

digigit nyamuk yang sudah terinfeksi, yaitu nyamuk yang dalam tubuhnya

mengandung larva. Penyakit ini disebabkan oleh 3 spesies cacing filarial :

Wuchereria Bancrofti, Brugia Malayi, Brugia Timori.

Gejala dan tanda klinis terkena filariasis adalah demam 3-5 hari,

pembengkakan kelenjar getah benih pada daerah lipatan paha dan ketiak yang

menyebabkan rasa panas dan sakit, kemudian terjadi pembesaran tungkai, lengan,

buah dada, dan alat kelamin perempuan ataupun laki-laki yang tampak kemerahan

dan terasa panas. Jika penyakit ini telah kronis akan menimbulkan gejala

limfedema, hidrokel, maupun kiluria. Diagnosis filariasis dapat ditegakan melalui

pemeriksaan klinis dan laboratorium.

Drakunkuliasis atau yang dikenal dengan Guinea Worm Disease adalah

infeksi yang disebabkan oleh cacing nematoda bernama Dracunculus medinensis.

Drakunkuliasis telah ada sejak lama kira-kira 3000 tahun lalu. Pertama kali

ditemukan pada mummy bangsa Yunani yang diawetkan.

Cacing Dranculus medinesis memasuki tubuh manusia melalui hospes

perantara yaitu Cyclops. Manusia yang mengkonsumsi air yang terkontaminasi

oleh Cyclops tanpa dimasak akan menularkan kembali dalam tubuh manusia.

Setelah 1 tahun berselang dan cacing betina dewasa yang berada di kaki akan

menyebabkan terbentuknya suatu pustul atau vesikel yang akan pecah dalam

beberapa jam kemudian dan megeluarkan cairan putih yang berisi larva cacing

tersebut. Komplikasi luka dapat menyebabkan pembentukan abses, tetanus,

arthritis septik atau sepsis sistemik. Infeksi sendi selanjutnya dapat

mengakibatkan kecacatan atau kontraktur.

Manajemen drakunkuliasis pada umumnya melibatkan pengambilan

cacing secara keseluruhan dan perawatan luka. Tidak ada obat khusus untuk

mengobati atau mencegah penyakit ini. Tidak ada juga vaksin untuk

23

Page 24: Penyakit Kulit Nematoda

mencegahnya. Satu-satunya cara untuk menghindari infeksi adalah untuk

mencegah paparan larva cacing Guinea di sumber air minum yang terkontaminasi.

24

Page 25: Penyakit Kulit Nematoda

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Strongyloidiasis. Pustaka Kedokteran. Diunduh dari http://penyakitdalam.wordpress.com/2009/11/10/strongyloidiasis/. 12 Februari 2013.

Cairncross S, Muller R dan Zagaria N. 2002. Dracunculiasis (Guinea Worm Disease) and the Eradications Initiative. Clinical Microbiology Reviews. 15(2): 223-246.

CDC. 2011. Dracunculiasis - Guniea Worm disease. Tersedia pada: http://www.docstoc.com/docs/51746789/Dracunculiasis---Guinea-Worm-Disease. Diunduh tanggal 11 februari 2013.

Greenaway, C. 2004. Dracunculiasis (guinea worm disease). Canadian Medical Association Journal. 170(4): 495-500.

Karam, M dan Tayeh, A. 2006. Dracunculiasis eradication. Bull Soc Pathol Exot. 99(5): 377-385.

Mawhorter SD dan Longworth DL. 2011. Cutaneous Lesion. In Tropical Infectious Diseases. 3rd Edition. Edited by Guerrant RL, Walker DH dan Weller PF. Philadephia: Saunders. Hal 1496-1534.

Maxey, Meredith. 2012. Dracunculiasis. Tersedia pada: http://www.oucom.ohiou.edu/tdi/2012Site/Diseases_Info/Topics_International_Health/Dracun_2.htm Diunduh tanggal 11 Februari 2013.

Oemijati S, Kurniawan A. Epidemiologi Filariasis. Dalam: Gandahusada S, Ilahude HD, Pribadi W, editor. Parasitologi kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia; 2006: 42-44.

Ruiz-Tiben, E. dan D.R. Hopkins. 2006. Dracunculiasis (Guinea worm disease) eradication. Adv Parasitol, 61:275-309.

Verawati, Diah. 2012. Strongyloides stercoralis. Diunduh dari http://tobeadoctor.com/2012/03/strongyloides-stercoralis.html. 12 Februari 2013.

Wahyono, T. Y., Purwantyastuti, & Supali, T. 2010. Filariasis Di Indonesia. Buletin Jendela Epidemiologi , 1, 1-20.

WHO. 2013. Dracunculiasis. Tersedia pada: http://www.who.int/topics/dracunculiasis/en/. Diunduh tanggal 11 Februari 2013.

25