Penyakit Ginjal.doc

49
Penyakit Ginjal Kronik; Definisi-Patofisiologi By Exomed Indonesia – 08/12/2010Posted in: Nefrologi Taufik Agung Wibowo, MD Definisi dan Klasifikasi Penyakit ginjal kronik (CKD) didefinisikan sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate/GFR): dengan manifestasi kelainan patologis; atau terdapat tanda-tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis. (2) Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m 2 selama lebih dari 3 bulan. [/hidepost] Dalam menentukan stadium CKD, sangat penting untuk memperkirakan GFR. Terdapat 2 rumus yang dapat digunakan untuk memperkirakan GFR dengan cara mempertimbangkan kreatinin serum, usia, jenis kelamin, dan etnisitas. Tabel 2 menunjukkan rumus untuk memperkirakan GFR. Tabel 1. Rekomendasi rumus untuk memperkirakan Glomerular Filtration Rate (GFR) menggunakan kreatinin serum (P Cr ), usia, jenis kelamin, etnik, dan berat badan 3 1. Rumus dari Modification of Diet in Renal Disease study Perkiraan GFR (mL/min per 1.73 m 2 ) = 1.86 x (P Cr ) –1.154 x (age) –0.203 Dikalikan dengan 0.742 untuk

description

ginjal

Transcript of Penyakit Ginjal.doc

Page 1: Penyakit Ginjal.doc

Penyakit Ginjal Kronik; Definisi-Patofisiologi

By Exomed Indonesia– 08/12/2010Posted in: Nefrologi

Taufik Agung Wibowo, MD

Definisi dan Klasifikasi

Penyakit ginjal kronik (CKD) didefinisikan sebagai (1) kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (glomerular filtration rate/GFR): dengan manifestasi kelainan patologis; atau terdapat tanda-tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi kimia darah, atau urin, atau kelainan radiologis. (2) Jika tidak ada tanda kerusakan ginjal, diagnosis penyakit ginjal kronik ditegakkan jika nilai laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama lebih dari 3 bulan.

[/hidepost]

Dalam menentukan stadium CKD, sangat penting untuk memperkirakan GFR. Terdapat 2 rumus yang dapat digunakan untuk memperkirakan GFR dengan cara mempertimbangkan kreatinin serum, usia, jenis kelamin, dan etnisitas. Tabel 2 menunjukkan rumus untuk memperkirakan GFR.

Tabel 1. Rekomendasi rumus untuk memperkirakan Glomerular Filtration Rate (GFR) menggunakan kreatinin serum (PCr), usia, jenis kelamin, etnik, dan berat badan3

1.  Rumus dari Modification of Diet in Renal Disease study

Perkiraan GFR (mL/min per 1.73 m2) = 1.86 x (PCr)–1.154 x (age)–0.203

Dikalikan dengan 0.742 untuk wanita

Dikalikan dengan 1.21 untuk keturunan afrika-amerika

2. Cockcroft-Gault equation Dikalikan dengan 0.85 untuk wanita

Nilai maksimal GFR dicapai pada decade ke-3 kehidupan manusia, yaitu sekitar 20 mL/min per 1.73 m2 dan akan mengalami penurunan ± 1 mL/min per tahun per 1.73 m2; sehingga pada usia 70 tahun didapatkan GFR rata-rata 70 mL/min per 1.73 m2, angka ini lebih rendah pada wanita.3

Page 2: Penyakit Ginjal.doc

Penyakit ginjal kronik (chronic kidney disease/CKD) meliputi suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam yang berhubungan kelainan fungsi ginjal dan penurunan progresif GFR. Tabel 1 menunjukkan klasifikasi berdasarkan National Foundation [Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (KDOQI)], dimana stadium dari penyakit ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan estimasi nilai GFR.3

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronik (CKD)3

Stadium Fungsi Ginjal Laju Filtrasi Glomerulus (mL/menit/1,73m2)

Risiko meningkat Normal > 90, terdapat faktor risiko

Stadium 1 Normal/meningkat > 90, terdapat kerusakan ginjal, proteinuria menetap, kelainan sedimen urin, kelainan kimia darah dan urin, kelainan pada pemeriksaan radiologi.

Stadium 2 Penurunan ringan 60 – 89

Stadium 3 Penurunan sedang 30 – 59

Stadium 4 Penurunan berat 15 – 29

Stadium 5 Gagal ginjal < 15

Istilah chronic renal failure menunjukkan proses berlanjut reduksi jumlah nephron yang signifikan, biasanya digunakan pada CKD stadium 3 hingga 5. Istilah end-stage renal disease menunjukkan stadium CKD dimana telah terjadi akumulasi zat toksin, air, dan elektrolit yang secara normal diekskresi oleh ginjal sehingga terjadi sindrom uremikum. Sindrom uremikum selanjutnya dapat mengakibatkan kematian sehingga diperlukan pembersihan kelebihan zat-zat tersebut melalui terapi penggantian ginjal, dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal.3

Etiologi

Di amerika serikat penyebab tersering CKD adalah nefropati diabetikum, yang merupakan komplikasi dari diabetes mellitus tipe 2. Nefropati hipertensi merupakan penyebab tersering CKD pada usia tua, dimana terjadi iskemi kronik pada ginjal sebagai akibat penyakit vaskular mikro dan makro ginjal. Nefrosklerosis progresif terjadi dengan cara yang sama seperti pada penyakit jantung koroner dan penyakit serebrovaskular. Berikut tabel 3 merupakan etiologi yang dapat menyebabkan CKD.

Page 3: Penyakit Ginjal.doc

Tabel 3. Etiologi CKD7

Penyakit vaskular Stenosis arteri renalis, vaskulitis, atheroemboli, nephrosclerosis hipertensi, thrombosis vena renalis

Penyakit glomerulus primer Nephropati membranosa, nephropati IgA, fokal dan segmental glomerulosclerosis (FSGS), minimal change disease, membranoproliferative glomerulonephritis, rapidly progressive (crescentic) glomerulonephritis

Penyakit glomerulus sekunder Diabetes mellitus, systemic lupus erythematosus, rheumatoid arthritis, scleroderma, Goodpasture syndrome, Wegener granulomatosis,  postinfectious glomerulonephritis, endocarditis, hepatitis B and C, syphilis, human immunodeficiency virus (HIV), parasitic infection, pemakaian heroin, gold, penicillamine, amyloidosis,  neoplasia, thrombotic thrombocytopenic purpura (TTP), hemolytic-uremic syndrome (HUS), Henoch-Schönlein purpura, Alport syndrome, reflux nephropathy

Penyakit tubulo-interstitial Obat-obatan ( sulfa, allopurinol), infeksi (virus, bacteri, parasit), Sjögren syndrome, hypokalemia kronik, hypercalcemia kronik, sarcoidosis, multiple myeloma cast nephropathy, heavy metals, radiation nephritis, polycystic kidneys, cystinosis

Obstruksi saluran kemih Urolithiasis, benign prostatic hypertrophy, tumors, retroperitoneal fibrosis, urethral stricture, neurogenic bladder

Patogenesis penyakit ginjal kronik

Patogenesis penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Patofisiologi penyakit ginjal kronik melibatkan 2 mekanisme kerusakan: (1) merupakan mekanisme pencetus yang spesifik sebagai penyakit yang mendasari kerusakan selanjutnya seperti kompleks imun dan mediator inflamasi pada glomerulonephritis, atau pajanan zat toksin pada penyakit tubulus ginjal dan interstitium; (2) merupakan mekanisme kerusakan progresif, ditandai adanya hiperfiltrasi dan hipertrofi nephron yang tersisa.3

Page 4: Penyakit Ginjal.doc

Pengurangan massa ginjal menyebabkan hipertrofi sisa nefron secara struktural dan fungsional sebagai upaya kompensasi. Hipertrofi “kompensatori” ini akibat hiperfiltrasi adaptif yang diperantarai oleh penambahan tekanan kapiler dan aliran glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progesifitas tersebut. Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh  growth factor seperti  transforming growth factor ß. Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia, dislipidemia.3-5

Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial. Pada stadium yang paling dini penyakit ginjal kronik terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau bahkan meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG dibawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.4,5

Faktor risiko gagal ginjal kronik

Sangatlah penting untuk mengetahui faktor yang dapat meningkatkan risiko CKD, sekalipun pada individu dengan GFR yangnormal. Faktor risiko CKD meliputi hipertensi, diabetes mellitus, penyakit autoimun, infeksi sistemik, neoplasma, usia lanjut, keturunan afrika, riwayat keluarga dengan penyakit ginjal, riwayat gagal ginjal akut, penggunaan obat-obatan jangka panjang, berat badan lahir rendah, dan adanya proteinuria, kelainan sedimen urin, infeksi saluran kemih, batu ginjal, batu saluran kemih atau kelainan

Page 5: Penyakit Ginjal.doc

struktural saluran kemih. Keadaan status sosioekonomi dan tingkat pendidikan yang rendah juga merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko CKD.3,6

Patofisiologi dan biokimia uremia

Uremia adalah salah satu sindroma klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ yang diakibatkan oleh hilangnya fungsi ginjal yang sangat besar karena adanya gangguan pada ginjal yang kronik. Gangguan ini meliputi fungsi metabolik dan endokrin, gagal jantung, dan malnutrisi.3

Patofisiologi sindrom uremia dapat dibagi menjadi 2 mekanisme: (1) akibat akumulasi produk metabolism protein; hasil metabolism protein dan asam amino sebagian besar bergantung pada ginjal untuk diekskresi. Urea mewakili kira-kira 80 % nitrogen atau lebih dari seluruh nitrogen yang diekskresikan ke dalam urin. Gejala uremik itu ditandai dengan peningkatan urea di dalam darah yang menyebabkan manifestasi klinis seperti anoreksia, malaise, mula, muntah, sakit kepala, dll; (2) akibat kehilangan fungsi ginjal yang lain, seperti gangguan hemostasis cairan dan elektrolit dan abnormalitas hormonal. Pada gagal ginjal, kadar hormone di dalam plasma seperti hormone paratiroid (PTH), insulin, glucagon, LTH, dan prolaktin meningkat. Hal ini selain disebabkan kegagalan katabolisme ginjal tetapi juga karena sekresi hormone tersebut meningkat, yang merupakan konsekuensi sekunder dari disfungsi renal. Ginjal juga memproduksi erythropoietin (EPO) dan 1,23-dihidroxychlorocalsiferol yang pada penyakit ginjal kronik kadarnya menurun.3

Referensi :

1. Rahardjo, J.P. Strategi terapi gagal ginjal kronik. Dalam S. Waspadji, R.A. Gani, S. Setiati & I. Alwi (Eds.), Bunga rampai ilmu penyakit dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1996.

2. Lubis, H.R. Pengenalan dan penangggulangan gagal ginjal kronik. Dalam H.R. Lubis & M.Y. Nasution (Eds.), Simposium pengenalan dan penanggulangan gagal ginjal kronik. 1991.

3. Skorecki K, Green J, Brenner B M. Chronic kidney disease in Harrison’s principles of internal medicine 17th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. p. 1858-69

4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. P. 581-584.

5. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.

Page 6: Penyakit Ginjal.doc

6. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Individuals at increased risk of chronic kidney disease. Diunduh dari http://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/p4_class_g3.htm

Page 7: Penyakit Ginjal.doc

Penyakit Ginjal Kronik; Evaluasi & Tatalaksana

By Exomed Indonesia– 14/12/2010Posted in: Nefrologi

Taufik Agung Wibowo, MD

Evaluasi

Riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik

Gejala dan tanda penyakit ginjal kronik seringkali tidak terlihat hingga terjadi gagal ginjal. Hal khusus yang harus dicari tahu adalah mengenai riwayat hipertensi, diabetes mellitus, kelainan urinalisis, masalah dalam kehamilan seperti preeklamsia atau keguguran. Riwayat penggunaan obat-obatan juga perlu ditanyakan, seperti obat-obat anti inflamasi non-steroid, gold,penicillamine, antibiotic, anti retroviral, PPI, dan lithium. Pada evaluasi sindroma uremikum, perlu ditanyakan mengenai nafsu makan, penurunan berat badan, mual, muntah, cegukan, edema perifer, keram otot, pruritus, dan restless leg syndrome.

Pemeriksaan fisik harus dititikberatkan pada tekanan darah dan tanda kerusakan organ karena hipertensi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan funduskopi dan pemeriksaan precordial seperti bruit dan bunyi jantung tambahan. Funduskopi juga berperan penting pada pasien dengan diabetes mellitus untuk mencari adanya retinopati diabetikum yang seringkali berhubungan dengan adanya nephropati. Pemeriksaan fisik lain yaitu mencari adanya edema dan polineuropati sensorik.

Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium harus diarahkan untuk mencari penyebab yang mendasari penyakit ginjal kronik, keadaan yang memicu perburukan akut, derajat kerusakan ginjal, dan komplikasi dari penyakit ginjal kronik. Jika diperlukan, tes untuk mengetahui SLE dan vaskulitis perlu dilakukan. Elektroforesis protein serum dan urin perlu diperiksa pada pasien dengan usia diatas 35 tahun dengan penyakit ginjal kronik yang tidak dapat diketahui penyebabnya, terutama jika terdapat anemia dan peningkatan kalsium serum. Pada glomerulonefritis, penyebab infeksi seperti hepatitis B dan C serta HIV harus dinilai. Pemeriksaan serial pada fungsi ginjal perlu dilakukan untuk menegakkan progresi kerusakan ginjal dan penegakkan bahwa kelainan ginjal bersifat akut, subakut, atau kronik dimana keadaan akut dan subakut kelainan bersifat reversible. Kadar serum kalsium, fosfat, dan PTH perlu diperiksa untuk mengevaluasi adanya gangguan metabolisme tulang.

Page 8: Penyakit Ginjal.doc

Kadar hemoglobin, Fe, vitamin B12, dan asam folat juga perlu dievaluasi. Pengukuran protein urin/24 jam sangat bermanfaat untuk menghitung ekskresi protein pada urin, ekskresi > 300 mg merupakan indikasi pemberian terapi dengan penghambat ACE atau ARB.

Pemeriksaan radiologi

Pemeriksaan radiologi yang paling bermanfaat adalah USG ginjal karena dapat menilai adanya ginjal, kesimetrisan, mengukur besar ginjal, melihat adanya massa dan obstruksi. Karena diperlukan waktu yang lama untuk membuat ginjal menjadi mengecil karena penyakit kronik, penemuan ginjal dengan ukuran kecil dan bilateral mendukung diagnosis penyakit ginjal kronik. Bila ukuran ginjal normal, mungkin saja gangguan pada ginjal bersifat akut atau subakut, namun terdapat pengecualian pada nepfropati diabetikum, amyloidosis, dan nephropati HIV dimana ukuran ginjal dapat normal. Penyakit polikistik ginjal yang sudah menyebabkan gagal ginjal hamper selalu memperlihatkan pembesaran ginjal disertai kista multipel. Jika terlihat perbedaan ukuran ginjal > 1 cm dipikirkan adanya kelainan perkembangan ginjal atau adanya penyakit renovaskular. Jika terdapat kecurigaan adanya nephropati refluks seperti infeksi saluran kemih berulang dan ukuran ginjal yang asimetris disertai jaringan parut di kutub ginjal perlu dilakukan pemeriksaan sistogram. Pemeriksaan radiologic dengan menggunakan contrast tidak begitu banyak membantu; selain itu penggunaan contrast intravena atau arteri sebaiknua dihindari pada pasien penyakit ginjal kronik terutama bila penyebabnya nephropati diabetikum karena dapat menyebabkan gagal ginjal.

Pemeriksaan biopsi ginjal

Pada pasien dengan ukuran ginjal kecil dan bilateral, pemeriksaan biopsy ginjal tidak dianjurkan, begitu pula dengan keadaan hipertnsi tidak terkontrol, infeksi saluran kemih yang aktif, koagulopati, obesitas. Biopsi secara perkutan dengan bantuan USG merupakan cara yang paling baik, namun biopsi per laparoskopi dapat dipikirkan terutama dalam keadaan dimana pengendalian perdarahan sangat diperlukan. Pada pasien dengan indikasi biopsi ginjal seperti adanya keadaan komorbid yang mempengaruhi progresi kerusakan ginjal, perlu dilakukan pemeriksaan waktu perdarahan.

Menetapkan etiologi CKD

Langkah diagnostik awal dalam mengevaluasi pasien dengan peningkatan kreatinin serum yaitu membedakan apakah penyakit ginjal tersebut bersifat akut, subakut, atau kronik karena pada keadaan akut dan subakut fungsi ginjal masih dapat kembali bila penyebab gangguan fungsi ginjal diobati. Pengukuran kreatinin sebelumnya sangat membantu dalam menentukan perjalanan penyakitnya; nilai kreatinin serum normal pada beberapa bulan

Page 9: Penyakit Ginjal.doc

yang lalu menunjukkan proses penyakit akut atau subakut, begitu juga sebaliknya. Walaupun terdapat bukti adanya kronisitas namun tetap terdapat kemungkinan adanya konkomitan proses akut sperti deplesi volume ekstraselular, perburukan akut pada keadaan kronik. Jika dari riwayat penyakit menunjukkan adanya manifestasi sistemik multipel dengan onset baru seperti demam, poliartritis, dan rash dipikirkan insufisiensi renal terjadi karena proses akut.

Pemeriksaan laboratorium dan radiologic dapat membantu diagnosis etiologi. Adanya tanda penyakit metabolism tulang seperti hiperfosfatemia, hipokalsemia, dan peningkatan PTH serta fosfatase alkali menunjukkan kronisitas penyakit ginjal. Anemia normokromik normositik juga menunjukkan kerusakan ginjal sudah bersifat kronik. Gambaran radiologi berupa peneurunan ukuran ginjal < 8,5 cm menunjukkan adanya penyakit kronik ginjal.

Biopsy ginjal seringkali dilkakukan pada stadium 3 – 4, namun tidak selalu sesuai dengan indikasi; adanya riwayat diabetes mellitus tipe 1 selama 20 tahun dengan retinopati, proteinuria nefrotik, tidak ada hematuria dipikrkan diagnosis nephropati diabetikum sudah pasti sehingga tidak diperlukan biopsy ginjal; sebaliknya jika tidak ada tanda nephropati diabetikum disertai hematuria atau silinder keadaan diatas merupakan indikasi dilakukan biopsy renal. Nephrosklerosis hipertensi dan nephropati iskemik progresif dapat didiagnosis secara klinis dengan adanya riwayat hipertensi jangka lama, bukti adanya penyakit iskemi ditempat lain seperti CAD atau PAD, dan proteinuria ringan (<3g/hari) tanpa adanya silinder eritrosit atau hematuria.

Tidak adanya diagnosis yang dapat ditegakkan dari gejala dan tanda klinis klinis memastikan biopsy ginjal dilakukan untuk mencari etiologi penyakit ginjal kronik pada stadium awal, perlu diperhatikan bahwa pada stadium lanjut dengan ukuran ginjal yang kecil, terdapat manfaat yang sedikit untuk menemukan etiologi spesifik bila dibandingan dengan risiko yang akan terjadi bila dilakukan biopsy.

Tatalaksana penyakit ginjal kronik

Waktu paling optimal pada tatalaksana penyakit ginjal kronik yaitu sebelum terjadi adanya  penurunan GFR dan tentunya sebelum terjadinya penyakit ginjal kronik. Sangatlah membantu untuk mengetahui laju penurunan GFR sehingga dapat diketahui jika terdapat proses akut atau subakut yang masih reversible seperti deplesi volume ekstra selular, hipertensi tidak terkontrol, infeksi saluran kemih, obstruksi uropati, dan pajanan obat-obatan nephropati seperti NSAID atau contrast, dan reaktivasi atau flare penyakit dasar itu sendiri seperti SLE atau vaskulitis.

Page 10: Penyakit Ginjal.doc

Berikut ini tabel 5 menunjukkan perencanaan tatalaksana (action plan) penyakit ginjal kronik sesuai dengan stadiumnya.

Tabel 5. Perencanaan tatalaksana penyakit ginjal kronik berdasarkan stadium

Derajat

Deskripsi

GFR, mL/min per 1.73 m2

Rencana tatalaksana

1 Kerusakan ginjal dengan GFR normal atau meningkat

≥ 90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid, evaluasi pemburukan (progession) fungsi ginjal, memperkecil resiko kardiovaskuler

2 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR ringan

60–89 Menghambat pemburukan (progession) fungsi ginjal

3 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR sedang

30–59 Evaluasi dan terapi komplikasi

4 Kerusakan ginjal dengan penurunan GFR berat

15–29 Persiapan untuk terapi penggantian ginjal

5 Gagal ginjal <15 (atau dialisis)

Terapi penggantian ginjal

Menghambat progresivitas penyakit ginjal kronik

Restriksi protein

Restriksi protein dikatakan dapat memperbaiki gejala yang berkaitan dengan uremia, selain itu restriksi protein juga memperlambat progresivitas penurunan GFR pada penyakit ginjal kronik stadium awal. Konsep ini berdasarkan bukti klinis dan penelitian bahwa protein memicu hiperfiltrasi yang menyebabkan penurunan fungsi ginjal. Beberapa studi mengatakan bahwa restriksi protein efektif untuk memperlambat perburukan penyakit ginjal kronik terutama akibat proteinuria atau nephropati diabetikum. Namun demikian modifikasi diet pada penyakit ginjal kronik yang sudah stadium akhir tidak memberikan manfaat dalam memperlambat progresivitas kerusakannya. Pedoman terapan klinis yang dibuat KDOQI merekomendasikan asupan protein harian sebesar 0,6 – 0,75 g/kg per hari, bergantung pada kepatuhan pasien, penyakit komorbid, adanya proteinuria, dan status

Page 11: Penyakit Ginjal.doc

nutrisi. Selain itu juga direkomendasikan dari jumlah kebutuhan protein tersebut 50%-nya berupa protein dengan nilai biologis tinggi. Seiring dengan berjalannya stadium penyakit ginjal kronik, pasien mungkin masuk dalam keadaan malnutrisi energi-protein sehingga asupan protein 0,9 g/kg per hari dengan nilai biologis tinggi direkomendasikan. Asupan kalori yang cukup sangat penting untuk mencegah malnutrisi protein dan kalori, kebutuhannya direkomendasikan sekitar 35 kkal/kg.

Reduksi hipertensi dan proteinuria intraglomerular

Peningkatan tekanan dan hipertrofi intraglomerular dapat terjadi karena respon dari hilangnya jumlah nephron. Respon ini bersifat maladaptive karena proses penurunan fungsi ginjal tetap berjalan walau penyebab awalnya sudah diobati. Pengendalian hipertensi sistemik dan glomerular sama pentingnya seperti restriksi protein untuk mengurangi laju progresivitas penyakit ginjal kronik. Oleh karena itu, terapi antihipertensif selain untuk mengurangi risiko kardiovaskular juga untuk mengurangi progresivitas kerusakan nephron melalui penurunan hipertensi intraglomerular. Peningkatan tekanan darah akan meningkatkan proteinuria sehingga terapi antihipertensi yang bersifat protektif terhadap ginjal akan mengurangi proteinuria. Target tekanan darah pada pasien penyakit ginjal kronik dengan proteinuria adalah 125/75 mmHg.

Obat penghambat ACE dan ARB akan menghambat vasokontriksi pembuluh darah eferen arteriol mikrosirkulasi glomerular oleh angiotensin. Hambatan ini akan mengurangi tekanan intraglomerular dan proteinuria. Beberapa studi memperlihatkan kedua obat ini efektif dalam mengurangi kerusakan ginjal pada gagal ginjal diabetik maupun non-diabetik. Bila dengan satu obat tidak memperlihatkan perbaikan proteinuria, kedua obat di atas dapat dikombinasikan. Bila terjadi peningkatan kreatinin plasma secara progresif dipikirkan terdapat penyakit renovaskular ginjal sehingga dianjurkan untuk menggunakan antihipertensi lini kedua. Diantara obat penghambat kanal kalsium, diltiazem dan verapamil dapat memberikan efek anti-proteinuria dan proteksi ginjal lebih baik dibandingkan dihidropiridin.

Pengendalian gula darah

Nephropati diabetic saat ini menjadi penyebab tersering terapi penggantian ginjal pada pasien penyakit ginjal kronik. Selain itu prognosis pasien yang menjalani terapi dialisis menyerupai prognosis pasien kanker. Sehingga diperlukan tindakan untuk mengurangi laju kerusakan ginjal

Pengendalian gula darah yang baik dapat mengurangi risiko penyakit ginjal dan progresivitasnya. Sangat dianjurkan untuk menjaga kadar gula darah puasa dijaga dalam rentang 90 – 130 mg/dL dan HbA1c < 7%. Dengan berkurangnya GFR diperlukan

Page 12: Penyakit Ginjal.doc

penyesuaian dosis obat antidiabetik oral; sebagai contoh chlorpropamide berhubungan dengan hipoglikemi berkepanjangan pada pasien dengan gangguan ginjal; metformin dilaporkan dapat menyebabkan acidosis lactic pada pasien dengan gangguan ginjal sehingga penggunaannya harus dihentikan ketika GFR berkurang; tiazolidinedion (misalnya rosiglitazone, pioglitazone, dll) dapat meningkatkan absorbs garam dan cairan sehingga dapat memicu keadaab overload cairan

Hipertensi ditemukan pada mayoritas pasien diabetes mellitus tipe 2. Temuan ini berhubungan dengan adanya albuminuria dan merupakan predictor kuat kejadian kardiovaskular dan nephropati. Mikroalbuminuria mendahului penurunan GFR dan menunjukkan risiko komplikasi ginjal dan kardiovaskular. Pemeriksaan tahunan microalbuminuria direkomendasikan pada semua pasien diabetes. Jika pasien sudah memiliki proteinuria, pemeriksaan mikroalbuminuria tidak diperlukan lagi. Pengobatan antihipertensi dapat mengurangi albuminuria dan dapat mencegah progresivitasnya pada pasien diabetes dengan tekanan darah normal.

Persiapan terapi penggantian ginjal

Perbaikan gejala dan tanda sindrom uremia seperti anoreksia, mual, muntah, lemas, dan gatal-gatal dapat dicapai dengan cara restriksi protein. Namun demikian, restriksi protein dalam jangka panjang memiliki risiko tinggi terjadinya malnutrisi energi-protein sehingga diperlukan cara lain untuk tatalaksana jangka panjang.

Terapi dialisis dan transplantasi ginjal sudah mampu memperpanjang usia pasien dengan penyakit ginjal kronik. Indikasi untuk dilakukannya inisiasi terapi penggantian ginjal pada pasien penyakit ginjal kronik yaitu perikarditis, ensefalopati, keram otot persisten, anoreksia dan mual yang tidak reversible, adanya malnutrisi, ketidakseimbangan cairan dan elektrolit terutama hiperkalemia.

Rekomendasi waktu yang tempat untuk memulai terapi penggantian ginjal sudah ditetapkan oleh pedoman yang dibuat KDOQI dan berdasarkan bukti bahwa terapi penggantian ginjal setelah munculnya komplikasi sindroma uremikum atau ketika pasien sudah samapi malnutrisi berhubungan dengan buruknya prognosis pasien. Namun karena perbedaan dari fungsi ginjal dan gejala-gejala sindroma uremikum pada tiap orang, inisiasi terapi penggantian ginjal tidak dapat dilakukan berdasarkan kadar kreatinin atau nitrogen serum. Apalagi pasien dengan penyakit ginjal kronik sudah terbiasa dengan gejala sindroma uremikum kronik. Oleh karena itu, dengan didukung beberapa studi, memulai terapi penggantian ginjal sebelum perburukan atau bahkan munculnya sindroma

Page 13: Penyakit Ginjal.doc

uremikum berhubungan dengan pemanjangan harapan hidup pasien dengan penyakit ginjal kronik.

Hemodialisis

Dalam Daugirdas, Blake dan Ing (2001) dialisa diartikan sebagai proses dimana materi tertentu dari cairan dikeluarkan dari cairan tersebut dengan menggunakan bantuan cairan lain yang dibatasi oleh membrane semipermeable. Prinsip yang dipakai adalah molekul materi yang bentuknya kecil dapat melewati membrane semipermeable, sementara molekul materi cairan yang bentuknya besar akan tertahan. Terdapat beberapa cara dalam melakukan dialisa. Dua cara yang paling sering dilakukan adalah hemodialisa dan peritonealdialisa (Kartono, Darmanirini dan Roza, 1992).3 Perbedaan antara keduanya terletak pada alat dan teknik yang digunakan dalam proses dialisa. Teknik dalamm hemodialisa adalah dengan mengalirikan darah keluar tubuh dan proses dialisa terjadi di dalam tabung dialisa yang berfungsi sebagai pengganti ginjal. Sementara teknik dalam peritonealdialisa adalah dengan memanfaatkan rongga perut sebagai pengganti ginjal dengan cara mengalirkan cairan dialisa ke dalam rongga perut. Cairan dialisa dalam rongga perut dan darah yang berada dalam pembulu kapiler yang sangat banyak di luar dinding rongga perut mengalami proses dialisa karena dinding rongga perut berperan sebagai membrane semipermeable.Kriteria untuk memulai dialisa pada pasien yaitu adanya gejala sindroma uremikum, hiperkalemia yang tidak teratasi dengan terapi konservatif, adanya kelebihan cairan ekstraselular yang tidak teratasi dengan terapi diuretic, asidosis metabolic refrakter, kelainan perdarahan, dan GFR < 10 mL per 1,73 m2.3

Hemodialisa didefinisikan sebagai bergeraknya air dan zat-zat beracun hasil metabolism dari dalam darah melewati membranesemipermeable ke dalam cairan dialisa. Bentuk seperti ini disebut juga dengan ginjal tiruan ekstrakorporeal (Peterson, 1995; Pearce 1995; Michael, 1983; Carpenter dan Lazarus, 1984). Hemodialisa dapat dilakukan di rumah atau di unit dialisa. Pasien yang menderita penyakit akut atau mengalami komplikasi medis biasanya melakkan dialisa di unit dialisa rumah sakit atau di unit perawatan intensif, sementara pasien yang kondisinya kesehatannya lebih stabil dapat melalkuan dialisa sebagai pasien rawat jalan di unit dialisa rumah sakit, di pusat dialisa non-rumah sakit atau di rumah.

Pasien biasanya membutuhkan 12-15 jam hemodialisa setiap minggunya yang terbagi kedalam dua atau tiga sesi. Setiap sesi berlangsung selama 3-6 jam tergantung dari tipe membrane yang digunakan, ukuran tubuh pasien, beratnya keadaan penyakit pasien, dan penyakit komorbid pasien (Tierney, dkk, 1993; Michael, 1986; Valtin, 1979; Carpenter dan Lazarus, 1984). Diperkirakan hanya sekitar 10-20% pasien penyakit ginjal kronik yang melakukan dialisa dapat berfungsi kembali seperti orang sehat. Dari penyakit ginjal kronik

Page 14: Penyakit Ginjal.doc

non-diabetik, sekitar 30-40% dapat diharapkan untuk kembali pada status fungsionalnya walaupun tidak memiliki pekerjaan, 20% dari pasien dapat dikembalikan pada tingkat yang memungkinkan mereka untukmandiri. Sisanya sekitar 20% bergantung secara penuh pada orang lain.

Komplikasi yang dapat muncul ketika individu melakukan hemodialisa antara lain tekanan darah rendah, kram otot, mual, muntah, sakit kepala, sakit dada, sakit di punggung, prutitus, anemia, hipoglikemi, aritmia, kejang, gangguan berbicara, infeksi, gangguan gizi, dan gangguan psikososial.

Referensi :

1. Rahardjo, J.P. Strategi terapi gagal ginjal kronik. Dalam S. Waspadji, R.A. Gani, S. Setiati & I. Alwi (Eds.), Bunga rampai ilmu penyakit dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1996.

2. Lubis, H.R. Pengenalan dan penangggulangan gagal ginjal kronik. Dalam H.R. Lubis & M.Y. Nasution (Eds.),Simposium pengenalan dan penanggulangan gagal ginjal kronik. 1991.

3. Skorecki K, Green J, Brenner B M. Chronic kidney disease in Harrison’s principles of internal medicine 17th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. p. 1858-69

4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. P. 581-584.

5. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.

6. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Individuals at increased risk of chronic kidney disease. Diunduh darihttp://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/p4_class_g3.htm

7. Arora P, Verrelli M. Chronic Renal Failure. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview

Page 15: Penyakit Ginjal.doc

Penyakit Ginjal Kronik; Manifestasi Klinis

By Exomed Indonesia– 11/12/2010Posted in: Nefrologi

Taufik Agung Wibowo, MD

Manifestasi Klinis dan laboratorium penyakit ginjal kronik

Homeostasis kalium

Pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium 1-3 (GFR > 30 mL/min) biasanya tidak bergejala dan tidak menunjukkan tanda gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit atau metabolic dan endokrin. Umumnya gejala dan tanda secara klinis terlihat bila sudah stadium 4 – 5 (GFR <30 mL/min). manifestasi sindroma uremia pada pasien dengan penyakit ginjal kronik stadium 4 -5 disebabkan secara primer maupun sekunder dari akumulasi toksin.7

Kemampuan ekskresi kalium (K) pada penyakit ginjal kronik dapat dipertahankan selama kadar aldosterone dan aliran distal masih dalam batas normal. Mekanisme pertahanan lain terhadap retensi kalium yaitu melalui peningkatan ekskresi kalium dalam traktus perncernaan; yang juga dalam kendali aldosteron. Selanjutnya hiperkalemia dapat terjadi bila GFR < 20 – 25 mL/min karena terjadi penurunan ekskresi kalium oleh ginjal. Hiperkalemia pada penyakit ginjal kronik dapat dipicu oleh adanya kelebihan asupan makanan, katabolisme protein, hemolyis, perdarahan, tranfusi perdarahan, tranfusi eritrosit, pergeseran ekstraselular kalium seperti dalam keadaan acidosis atau kekurangan hormone insulin. Selain itu pengobatan pada pasien juga dapat memicu hiperkalemia melalui inhibisi pergeseran kalium ke intrasel dan ekskresi kalium oleh ginjal. Obat-obatan yang sering mengakibatkan hiperkalemi yaitu ACE inhibitors, penghambat reseptor angiotensin, spironolactone, dan diuretik hemat kalium lainnya seperti amiloride, eplerenone, dan triamterene. Hipokalemia jarang terjadi; kejadiannya sering pada pasien dengan intake kurang, kehilangan dari traktus percernaan atau saluran kemih, diare, atau akibat pemakaian diuretik.3,7

Asidosis metabolik

Asidosis metabolic dapat terjadi dengan anion gap normal atau meningkat; anion gap yang meningkat biasanya pada stadium 5 tapi biasanya anion gap tidak melebihi 20 mEq/L.

Page 16: Penyakit Ginjal.doc

pada penyakit ginjal kronik, ginjal tidak dapat menghasilkan ammonia dalam jumlah yang cukup pada tubulus proksimal untuk mengekskresi asam endogen dalam bentuk ammonium di dalam urin. Pada stadium 5 akumulasi fosfat, sulfat, dan anion organic menjadi penyebab naiknya anion gap. Asisdosis metabolic mempengaruihi keseimbangan protein tubuh sehingga menyebabkan balans nitrogen negative, peningkatan degradasi protein, peningkatan oksidasi asam amino esensial, penurunan sintesis albumin. Pada akhirnya keadaan asidosis metabolik berhubungan dengan malnutrisi energy-protein, kehilangan massa otot, dan kelemahan otot. 3,7

Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat

Gangguan metabolisme kalsium dan fosfat pada penyakit ginjal kronik selain terjadi pada tulang dan pembuluh darah, juga dapat melibatkan jaringan non-tulang, berikut adalah diagram mengenai patofisiologi gangguan metabolisme kalsium dan fosfat.

Secara umum kelainan tulang pada penyakit ginjal kronik dapat dibagi menjadi hiperparatiroid dan hipotiroid. Patofisiologi hiperparatiroid sekunder berhubungan dengan metabolism mineral, yaitu dengan cara: (1) penurunan GFR mengakibatkan reduksi ekskresi fosfat sehingga terjadi retensi fosfat, (2) retensi fosfat mengakibatkan stimulasi sintesis hormon paratiroid (PTH) dan peningkatan massa kelenjar paratiroid, dan (3) produksi calcitriol yang rendah akibat ginjal yang rusak mengakibatkan retensi fosfat dan penurunan jumlah ion kalsium juga memicu produksi hormon PTH. Keadaan hiperparatiroid dapat menyebabkan fibrosis kistik pada tulang.

Keadaan yang kedua yaitu hipoparatiroid; keadaan ini dibagi menjadi dua kategori penyakit, yaitu osteomalasia dan adynamic bone disease. Osteomalasia terjadi karena defisiensi vitamin D, kelebihan aluminium, dan asidosis metabolik.  Adynamic bone disease terjadi karena supresi produksi PTH akibat suplementasi vitamin D dan kalsium.

Page 17: Penyakit Ginjal.doc

Komplikasi adynamic bone diseaseadalah peningkatan insiden fraktur dan kalsifikasi pada pembuluh darah atau jantung.

Gangguan sistem kardiovaskular

Penyakit kardiovaskular menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada pasien penyakit ginjal kronik pada tiap stadium. Peningkatan risiko penyakit kardiovaskular pada pasien CKD meningkat 10 hingga 200 kali lipat bergantung pada stadium CKD. Sekitar 30 – 45% pasien CKD stadium 5 sudah memiliki komplikasi kardiovaskular sehingga focus pada pasien adalah prevensi komplikasi penyakit kardiovaskular pada stadium awal penyakit ginjal kronok.

Adanya CKD merupakan faktor risiko penting terjadinya iskemi sistem kardiovaskular termasuk oklusi koroner, serebrovaskular, dan vascular perifer.peningkatan prevalensi penyakit kardiovaskular pada pasien CKD berhubungan dengan faktor risiko klasik dan faktor risiko dari CKD itu sendiri. Faktor risiko klasik dapat berupa hipertensi, hipervolemia, dislipidemia, over-aktivasi simpatis, and hiperhomocysteinemia. Faktor risiko terkait CKD berupa anemia, hiperfosfatemia, hiperparatiroid, sleep apnea,dan inflamasi sistemik. Keadaan inflamasi luas dihubungkan dengan peningkatan jumlah reaktan fase akut seperti sitokin dan C-reactive protein; dan biasanya diikuti penurunan jumlah albumun. Keadaan inflamasi ini mempercepat proses penyakit oklusi vaskular sehingga memperburuk keadaan iskemia miokard dan dapat menyebabkan komplikasi mikrovaskular.

Hipertensi merupakan salah satu komplikasi CKD paling sering. Biasanya hipertensi muncul pada awal perjalanan CKD dan berhubungan dengan hipertrofi ventrikel kiri dan gangguan fungsi ginjal lebih jauh. Hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati merupakan faktro risiko terpenting terjadinya morbiditas dan mortalitas kardiovaskular, hal ini berhubungan dengan keadaan hipertensi berkepanjangan dan kelebihan cairan; selain itu keadaan anemia dan pemasangan shunt untuk hemodialisis dapat menyebabkan peningkatan curah jantung sehingga dapat mengakibatkan gagal jantung. Kelebihan cairan dapat menyebabkan hipertensi dan perbaikan tekanan darah dapat dilakukan dengan cara retriksi garam (natrium), pemakaian diuretik, dan reduksi cairan dengan dialysis. Namun karena adanya aktivasi aksis rennin-angiotensin-aldosteron dan gangguan pada keseimbangan vasokonstriktor dan vasodilator mengakibatkan pasien tetap dalam keadaan hipertensi walau sudah dilakukan terapi kelebihan cairan yang adekuat

Gangguan pompa jantung dapat terjadi sekunder karena iskemi miokardial, hipertrofi ventrikel kiri, dan kardiomiopati dengan kombinasi retensi air dan garam yang dapat terjadi pada CKD; selanjutnya berakibat gagal jantung bahkan terjadi edema paru. Gagal

Page 18: Penyakit Ginjal.doc

jantung dapat terjadi karena disfungsi sistolik, diastolik, atau keduanya. Edema paru dapat terjadi baik karena peningkatan tekanan kapiler maupun dengan tekanan kapiler yang normal; keadaan uremia dapat meningkatkan permeabilitas membrane kapiler di alveolar.

Gangguan hematologi

Anemia normositik normokrom dapat ditemui pada CKD stadium 3 dan hamper pada semua pasien CKD stadium 4. Penyebab primer anemia pada pasien CKD adalah insufisiensi produksi eritropoietin (EPO) akibat ginjal yang rusak. Faktor lain yang berperan adalah defisiensi besi, inflamasi akut dan kronik dengan gangguan utilisasi besi, hiperparatiroid berat dengan fibrosis sumsum tulang, dan pemendekan usia eritrosit karena lingkungan dengan kadar ureum yang tinggi. Penyebab yang lain adalah defisiensi asam folat dan vitamin B12 disertai toksisitas aluminium. Keadaan anemia ini mengakibatkan penurunan hantaran dan utilisasi oksigen jaringan, meningkatkan curah jantung, dilatasi dan hipertrofi ventrikel; manifestasi keadaan ini berupa angina pectoris, gagal jantung, perubahan status mental dan kognitif, penurunan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Selain itu anemia menyebabkan retardasi mental pada anak dengan CKD.

Pasien dengan CKD stadium lanjut dapat memiliki pemanjangan waktu perdarahan, penurunan aktivitas faktor III trombosit, gangguan agregasi dan adhesi trombosit, gangguan konsumsi prothrombin. Manifestasi klinis gangguan diatas berupa peningkatan kemungkinan perdarahan dan hematoma, pemanjangan waktu perdarahan saat operasi, menorrhagia, dan perdarahan spontan traktus percernaan. Pasien CKD juga memiliki kerentanan terjadinya thromboemboli terutama jika kelainan ginjal menyebabkan proteiunuria dalam batas sindroma nefrotik, hal ini menyebabkan hipoalbuminemia dan kehilangan faktor antikoagulas akibat renal loss.

Gangguan neuromuskular

Komplikasi penyakit ginjal kronik dapat berupa neuropati pada system saraf pusat, perifer, dan autonom beserta gangguan pada strutktur dan fungsi otot. Retensi metabolit nitrogen dan PTH berkontribusi dalam patofisiologi gangguan neuromuscular. Manifestasi klinis gangguan neuromuscular jelas terlihat mulai dari stadium 3 penyakit ginjal kronik. Manifestasi awal komplikasi system saraf pusat yaitu gangguan ringan pada daya ingat, konsentrasi, tidur. Iritasi neuromuscular seperti cegukan, spasme, dan fasikulasi menjadi jelas di stadium berikutnya. Pada stadium 5 yang tidak diobati dapat terjadi asterixis, myoklonus, kejang, dan koma.

Page 19: Penyakit Ginjal.doc

Neuropati perifer biasanya secara klinis terlihat setelah stadium 4, walaupun secara elektrofisiologi dan histology sudah terlihat gangguan. Pada fase awal, saraf sensorik lebih dahulu terkena daripada saraf motorik, ekstremitas bawah daripada ekstremitas atas, dan bagian distal terlebih dahulu daripada proksimal. Gangguan saraf pperifer dapat berupa restless leg syndrome, yang dikarakteristikkan dengan adanya sensasi tidak nyaman pada kaki dan membaik jika digerakkan. Jika dialisis tidak dilakukan segera setelah gejala muncul, gejala pada saraf motorik akan muncul termasuk kelemahan otot-otot. Tanda neuropati perifer tanpa adanya sebab lain seperti diabetes mellitus merupakan indikasi dilakukannya terapi penggantian ginjal.

Gangguan gastrointestinal dan nutrisi

Uremic fetor, yaitu bau nafas seperti urin terjadi akibat degradasi urea menjadi ammonia oleh air liur dan seringkali berhubungan dengan rasa logam pada mulut (dysgeusia). Pada pasien penyakit ginjal kronik dapat terjadi gastritis, penyakit peptic, dan ulserasi mukosa pada saluran cerna sehingga menyebabkan nyeri abdomen, mual, muntah, dan perdarahan saluran cerna. Pasien seperti ini juga rentan terhadap konstipasi yang dapat diperburuk dengan pemberian suplemen kalsium dan besi. Retensi ureum juga dapat menyebabkan anoreksia, mual, dan muntah.

Retriksi protein sangan bermanfaat untuk mengurangi mual dan muntah; namun hal ini dapat risiko malnutrisi pada pasien. Malnutrisi energy-protein merupakan komplikasi penyakit ginjal kronik akibat intake protein dan kalori yang rendah, hal ini seringkali merupakan indikasi dilakukannya terapi penggantian ginjal. Selain intake sulit, pasien penyakit ginjal kronik juga resisten terhadap fungsi anabolic insulin dan hormone lain serta faktor pertumbuhan. Asidosis metabolic dan aktivasi sitokin inflamasi dapat memicu katabolisme protein. Penilaian malnutrisi energy-protein harus segera dilakuan pada stadium 3 penyakit ginjal kronik. Penilaian ini termasuk riwayat diet, berat badan kering, konsentrasi albumin serum, pengukuran nitrogen dan protein urin.

Gangguan metabolik dan endokrin

Metabolisme glukosa menjadi terganggu pada penyakit ginjal kronik, dapat terlihat dari penurunan kecepatan utilisasi glukosa setelah pemberian beban glukosa. Namun glukosa puasa biasanya normal atau hanya sedikit meningkat; gangguan toleransi glukosa ringan tidak memerlukan terapi yang spesifik. Oleh karena ginjal berperan dalam eliminasi insulin dari sirkulasi darah, pada pasien dengan sindroma uremikum kadar insulin plasma meningkat, baik saat puasa atau postprandial. Oleh karena itu terapi insulin mungkin membutuhkan reduksi progresif seiring dengan kerusakan ginjal yang progresif pula;

Page 20: Penyakit Ginjal.doc

begitu pula juga dengan obat anti diabetic oral seperti metfromin, penggunaannya di kontraindikasikan bila GFR turun lebih dari setengah angka normal.

Pada wanita dengan penyakit ginjal kronik, kadar estrogen rendah sehingga terjadi gangguan menstruasi dan ketidakmampuan untuk hamil cukup bulan. Ketika GFR turun hingga 40 mL/min, kehamilan berhubungan dengan tingginya angka aborsi spontan, hanya 20% kehamilan yang berhasil mencapai usia aterm. Pada pria terjadi penurunan hormone testosterone sehingga terjadi disfungsi seksual dan oligospermia. Pada anak-anak dengan penyakit ginjal kronik, maturasi seksual dapat terlambat. Sebagian besar gangguan ini membaik atau sembuh dengan dialisis intensif atau transplantasi ginjal yang berhasil

Berikut tabel 4 adalah resume manifestasi klinis dan laboratorium pada pasien dengan penyakit ginjal kronik (sindrom uremikum).

Tabel 4. Manifestasi klinis dan laboratorium sindroma uremikum pada penyakit ginjal kronik3

Page 21: Penyakit Ginjal.doc

Referensi :

1. Rahardjo, J.P. Strategi terapi gagal ginjal kronik. Dalam S. Waspadji, R.A. Gani, S. Setiati & I. Alwi (Eds.), Bunga rampai ilmu penyakit dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 1996.

2. Lubis, H.R. Pengenalan dan penangggulangan gagal ginjal kronik. Dalam H.R. Lubis & M.Y. Nasution (Eds.),Simposium pengenalan dan penanggulangan gagal ginjal kronik. 1991.

3. Skorecki K, Green J, Brenner B M. Chronic kidney disease in Harrison’s principles of internal medicine 17th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. p. 1858-69

4. Suwitra K. Penyakit Ginjal Kronik. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. P. 581-584.

5. Brenner BM, Lazarus JM. Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume 3 Edisi 13. Jakarta: EGC, 2000.1435-1443.

6. KDOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease: Evaluation, Classification, and Stratification. Individuals at increased risk of chronic kidney disease. Diunduh darihttp://www.kidney.org/professionals/KDOQI/guidelines_ckd/p4_class_g3.htm

7. Arora P, Verrelli M. Chronic Renal Failure. Diunduh dari http://emedicine.medscape.com/article/238798-overview

Page 22: Penyakit Ginjal.doc

Kolik Renal

By Exomed Indonesia– 25/10/2010Posted in: Nefrologi

Anita Suryani, MD

Definisi

Kolik renal dikarakterisasikan sebagai nyeri hebat yang intermiten (hilang-timbul) biasanya di daerah antara iga dan panggul, yang menjalar sepanjang abdomen dan dapat berakhir pada area genital dan paha bagian dalam. Kolik renal biasanya berawal di punggung bagian mid-lateral atas dan menjalar anteroinferior menuju daerah lipatan paha dan kelamin. Nyeri yang timbul akibat kolik renal terutama disebabkan oleh dilatasi, peregangan, and spasme traktus urinarius yang disebabkan oleh obstruksi ureter akut. Ketika ada obstruksi yang kronik, seperti kanker, biasanya tidak dirasakan nyeri.

Pola nyeri bergantung pada ambang rangsang nyeri seseorang, persepsi, serta kecepatan maupun derajat perubahan tekanan hidrostatik di dalam ureter dan pelvis renal proksimal. Peristaltik ureter dan perpindahan batu ginjal dapat memicu eksaserbasi akut rasa nyeri. Pasien seringkali dapat menunjuk pada lokasi nyeri, yang kemungkinan besar adalah situs obstruksi ureteral. Renal kolik dapat pula dirasakan pada daerah tubuh yang tidak patologis (referred pain).

Etiologi Renal Kolik

Etiologi paling umum adalah melintasnya batu ginjal. Bertambah parahnya nyeri bergantung pada derajat dan tempat terjadinya obstruksi; bukan pada keras, ukuran, atau sifat abrasi batu ginjal. Bekuan darah atau fragmen jaringan juga dapat menyebabkan hal yang sama. Kolik karena bekuan darah sering ditemui pada penyakit gangguan pembekuan darah herediter atau didapat, trauma, neoplasma dari ginjal dan traktus urinarius, perdarahan setelah biopsi renal perkutan, kista renal, malformasi vaskular renal, nekrosis papilar, tuberkulosis, dan infark pada ginjal. Kolik sesungguhnya terjadi karena refluks vesikoureteral.

Batu ginjal yang bergerak sepanjang ureter dan hanya menyebabkan obstruksi intermiten sebenarnya menyebabkan rasa nyeri yang lebih hebat daripada batu yang tidak bergerak. Suatu obstruksi konstan akan memicu berbagai mekanisme autoregulasi dan refleks yang akan membantu meredakan nyeri.

Page 23: Penyakit Ginjal.doc

24 jam setelah obstruksi ureteral total, tekanan hidrostatik akan menurun karena (1) penurunan peristalsis ureteral, (2) penurunan aliran darah arteri renal, yang menyebabkan penurunan produksi urin, dan (3) edema interstitial yang menyebabkan peningkatan lymphatic drainage. Faktor-faktor ini menyebabkan kolik renal yang berintensitas tinggi berdurasi kurang dari 24 jam. Kalau obstruksi bersifat parsial, perubahan-perubahan yang sama terjadi, namun pada derajat yang lebih ringan dan waktu yang lebih lama.

Serabut saraf nyeri pada renal umumnya saraf simpatis preganglion yang mencapai korda spinal T-11 sampai L-2 melalui dorsal nerve roots. Transmisi sinyal nyeri terjadi melalui traktus spinotalamikus asenden. Pada ureter bagian bawah, sinyal nyeri juga didistribusikan melalui saraf genitofemoral dan n. ilioinguinal. N. erigentes, yang mempersarafi ureter intramural dan kandung kemih, bertanggung jawab untuk beberapa gejala kandung kemih .

Ureter bagian atas dan pelvis renal: Nyeri dari batu ureter bagian atas condong untuk menjalar ke area pinggang dan area lumbar. Di sisi kanan, hal ini bisa disalahartikan dengan kolelitiasis atau kolesistisis. Di sisi kiri, diagnosis banding meliputi pankreatitis akut, ulkus peptikum dan gastritis.

Ureter bagian tengah: Nyeri pada daerah ini menjalar ke bagian kaudoanterior. Nyeri ini bisa menyerupai apendisitis jika berada di kanan ataupun divertikulitis akut pada sisi kiri.

Ureter distal: Nyeri pada daerah ini menjalar ke lipat paha, testikel pada pria maupun labia mayor pada wanita karena nyeri ini dialihkan melalui n. ilioinguinal atau n. genitofemoral. Jika batu berada di ureter intramural, gejala yang muncul mirip dengan sistitis atau uretritis. Gejala ini meliputi nyeri suprapubis, urgensi, disuria, nyeri pada ujung penis, dan terkadang berbagai gejala GI seperti diare dan tenesmus. Gejala ini bisa disalahartikan dengan penyakit inflamasi pelvis, ruptur kista ovarium.

Kebanyakan reseptor nyeri di traktus urinarius atas yang bertanggung jawab atas persepsi kolik renal berada di submukosa dari pelvis renal, kalix dan ureter bagian atas. Di ureter, peningkatan peristaltik proksimal melalui aktivasi intrinsic ureteral pacemakers berperan penting pada persepsi nyeri. Spasme otot, peningkatan peristaltik proksimal, inflamasi lokal, iritasi, dan edema di tempat obstruksi berperan terhadap perkembangan nyeri melalui aktivasi kemoreseptor dan peregangan ujung saraf bebas submukosa.

Mual dan muntah sering dikaitkan dengan kolik renal akut dan terjadi setidaknya pada 50% pasien. Mual disebabkan oleh jalur persarafan yang umum dari pelvis renal, lambung, usus melalui serabut saraf aferen vagal dan sumbu celiac. Hal ini sering diperkuat lagi melalui efek analgesik narkotik yang menginduksi mual dan muntah melalui efek langsung

Page 24: Penyakit Ginjal.doc

terhadap motilitas GI dan efek tidak langsung pada chemoreceptor trigger zone (CTZ) di medulla oblongata. Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAIDs) seringkali dapat menyebabkan iritasi lambung dan masalah GI.

Kolik biasanya mengikuti pola yang khas yang mudah untuk dikenali, tetapi bentuk yang atipikal dapat menimbulkan kesulitan diagnostik.

A. Renal Kolik Tipikal

Fase-Fase Serangan Kolik Renal Akut

Nyeri ini  terjadi di sekitar dermatom T-10 sampai S-4. Keseluruhan proses ini terjadi selama 3-18 jam. Ada 3 fase:

1. Fase Akut/Onset

Serangannya secara tipikal terjadi pada pagi atau malam hari sehingga membangunkan pasien dari tidurnya. Jika terjadi pagi hari, pasien umumnya mendeskripsikan serangan tersebut sebagai serangan yang mulanya perlahan sehingga tidak dirasakan. Sensasi dimulai dari pinggang, unilateral, menyebar ke sisi bawah, menyilang perut ke lipat paha (groin). Nyerinya biasanya tetap, progresif, dan kontinu; beberapa pasien mengalami serangan intermiten yang paroksismal dan sangat parah. Derajat nyeri bisa meningkat ke intensitas maksimum setelah 30 menit sampai 6 jam atau lebih lama lagi. Pasien umumnya mencapai nyeri puncak pada 1-2 jam setelah onset.

2. Fase Konstan/Plateau

Saat nyeri telah mencapai intensitas maksimum, nyeri akan menetap sampai pasien diobati atau hilang dengan sendirinya. Periode dimana nyeri maksimal ini dinamakan fase konstan. Fase ini biasanya berlangsung 1-4 jam tetapi dapat bertahan lebih lama lebih dari 12 jam pada beberapa kasus. Kebanyakan pasien datang ke UGD selama fase ini. Pasien yang menderita kolik biasanya banyak bergerak, di atas tempat tidur atau saat berjalan, untuk mencari posisi yang nyaman dan mengurangi nyeri. Walaupun ginjal dan traktus urinarius terletak retroperitoneal, mual dan muntah disertai bising usus menurun / hipoaktif adalah tanda yang dominan; sehingga memungkinkan kesalahan diagnosis intraperitoneal. Contohnya terutama adalah obstruksi ureteropelvis junction pada ginjal kanan.

3. Fase Hilangnya Nyeri (Relieve)

Page 25: Penyakit Ginjal.doc

Pada fase terakhir ini, nyeri hilang dengan tiba-tiba, cepat, dan pasien merasakan kelegaan. Kelegaan ini bisa terjadi secara spontan kapanpun setelah onset. Pasien kemudian dapat tidur, terutama jika diberikan analgesik. Fase ini berlangsung 1,5 – 3 jam.

B. Renal Kolik Atipikal

Etiologi kolik tipikal bisa juga menyebabkan kolik atipikal. Obstruksi pada calyx dapat menyebabkan nyeri pinggang yang lebih ringan tapi episodik. Hematuria dapat juga terjadi. Lesi obstruktif pada ureterovesical junction (hubungan ureter dan kandung kemih) ataupun segmen intramural dari ureter dapat menyebabkan disuria, keinginan buang air kecil yang mendadak dan sering, serta nyeri yang menjalar ke atas atau bawah. Kolik renal dapat disertai muntah-muntah hebat, mual, diare, ataupun nyeri ringan yang tidak biasa sehingga memungkinkan kesalahan diagnosis.

Diagnosis Banding Kolik Renal

Kecuali kolik renal atipikal, umumnya gejala kolik renal sangat khas dan tidak seperti nyeri karena penyakit intra abdominal atau retroperitoneal lainnya. Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesis pasien.

a. Kolik bilier

Nyeri pada kuadran kanan atas abdomen, mual dan muntah yang menetap, abdominal tenderness adalah gejala kolik bilier. Jika terdapat infeksi ginjal, kolik ini juga dapat disertai demam, leukositosis, dan ikterus ringan. Kolesistitis akut dapat menyebabkan nyeri ke bahu kanan atau subskapula.

b. Apendisitis

4-6 jam setelah nyeri di periumbilikus, nyeri terlokalisasi di titik Mc Burney. Pasien biasanya berbaring tenang, berbeda dengan pasien kolik renal.

c. Divertikulitis dan irritable colon syndrome

Divertikulitis yaitu nyeri pada sisi kiri dekat ureter bagian bawah, jauh lebih ringan dari kolik renal dan seringkali ada abdominal tenderness. Ini disertai konstipasi dan darah samar di tinja, yang tidak lazim pada kolik renal. Irritable colon syndrome disertai distensi abdomen dan nyeri hebat yang berhubungan dengan nyeri punggung bawah. Yang paling membedakan dengan kolik renal adalah diare hebat dan bising usus hiperaktif.

d. Nyeri muskuloskeletal

Page 26: Penyakit Ginjal.doc

Protrusi diskus intervertebral lumbalis dapat menyebabkan nyeri punggung unilateral yang menjalar ke pinggul, paha, atau lipat paha (paling sering L4-5 dan L5-S1). Pembedanya dari kolik renal adalah nyeri tersebut bergantung dengan posisi tubuh, yang dapat hilang dengan imobilitas. Nyeri pada pelvis dapat terjadi karena lesi obstruktif dan berciri khas unilateral yang menjalar ke bagian sakral.

e. Penyakit Skrotal, Penis, atau Labial

Kolik ini terjadi karena obstruksi ureterovesical junction. Tandanya adalah keinginan untuk buang air kecil yang sering, disuria, dan nyeri sakral atau lumbal bawah.

Pendekatan Pasien dengan Kolik Renal

Setelah mengetahui bahwa ada kolik renal, yang terpenting dilakukan adalah urinalisis dan foto polos abdomen. Gambaran radioopak paling sering ditemukan pada area pelvis renal sepanjang ureter ataupun ureterovesical junction. Gambaran radioopak ini disebabkan karena adanya batu kalsium oksalat dan batu struvit (MgNH3PO4). Terdapat juga hematuria mikroskopik. Ginjal pada sisi kolik dapat membesar karena obstruksi.

Kecuali jika ada kontraindikasi, perlu dilakukan pielografi intravena untuk menilai obstruksi urinaria dan mencari etiologi kolik (Pielografi adalah radiografi pelvis renalis dan ureter setelah penyuntikan bahan kontras). Seringkali batu atau benda obstruktif lainnya sudah dikeluarkan ketika pielografi, sehingga hanya ditemukan dilatasi unilateral ureter, pelvis renalis, ataupun calyx. Jika pielografi intravena (melalui pungsi jarum perkutan) tidak dapat dilakukan, lakukan pielografi retrograde (melalui ureter), walaupun prosedur ini tidak menyenangkan dan berkemungkinan kecil menyebabkan infeksi atau kerusakan ureteral.

Pasien dengan kolik renal harus menjalani filtrasi urin untuk menemukan batu, bekuan darah, atau jaringan lainnya, sebagai penentu diagnosis. Bila perlu, ini dilakukan berminggu-minggu karena batu atau jaringan bisa menetap di kandung kemih tanpa menimbulkan gejala. Medikasi yang diberikan adalah analgesik. Pada umumnya, diperlukan obat-obat narkotika dalam dosis terapi.

Daftar Pustaka

1. Asdie, AH. Harrison prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam, Volume I. -Ed 13-. Jakarta: EGC, 1999.

Page 27: Penyakit Ginjal.doc

2. Massry SG, Glassock RJ. Textbook of nephrology, Volume I. -2nd edition-. Baltimore: Williams and Wilkins, 1989.

3. Kumala P, et al. Kamus saku kedokteran Dorland. -Ed. 25- Jakarta: EGC, 1998.

4. Anonim. Jurnal Kedokteran: Renal colic. www.emedicine.com. Jakarta: 28 Juni 2007.

Page 28: Penyakit Ginjal.doc

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS); Definisi-Patologi

By Exomed Indonesia– 18/12/2010Posted in: Nefrologi

Tommie Prasetyo, MD

Definisi

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS) adalah suatu sindrom nefritik yang ditandai dengan onset tiba-tiba hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal. GNAPS adalah salah satu penyebab gross hematuria glomerular yang paling sering pada anak-anak. Gejala-gejala ini timbul setelah infeksi, umumnya oleh kuman streptokokus -βhemolitikus grup A di saluran nafas atas atau di kulit.

Etiologi dan Epidemiologi

Glomerulonefritis akut pasca Streptokokus (GNAPS) muncul setelah infeksi pada tenggorokan atau kulit oleh strain “nefritogenik” tertentu dari streptokokus -hemolitikus βgrup A. Faktor-faktor yang menyebabkan hanya strain tertentu yang menjadi nefritogenik masih belum jelas. GNAPS biasanya muncul setelah faringitis streptokokal yang timbul selama musim dingin/penghujan dan infeksi kulit atau pioderma selama musim panas, sedangkan di daerah tropis infeksi kulit streptokokal dapat terjadi sepanjang tahun. Walaupun secara epidemis nefritis telah ditemukan berhubungan dengan infeksi tenggorokan (serotipe 12) dan kulit (serotype 49), penyakit ini paling sering muncul secara sporadis.

GNAPS paling sering menyerang anak usia sekolah (5-12 tahun) dan jarang menyerang anak usia kurang dari 3 tahun. Laki-laki lebih sering daripada perempuan dengan perbandingan 2:1.

Risiko munculnya glomerulonefritis akut tergantung apakah infeksi disebabkan oleh strain nefritogenik, risiko serangan 10-15% dan dapat terjadi pada perjalanan infeksi tenggorok atau kulit. Terdapat masa laten tertentu sebelum munculnya sindrom nefritis akut, biasanya 1-2 minggu setelah faringitis streptokokus atau 3-6 minggu setelah pioderma streptokokal.

GNAPS adalah salah satu penyebab hematuria glomerular terbanyak pada anak, hanya dikalahkan oleh IgA nefropati. GNAPS merupakan glomerulonefritis akut pasca infeksi yang

Page 29: Penyakit Ginjal.doc

paling sering ditemukan. Selain Streptokokus juga telah dibuktikan terjadinya glomerulonefritis akut setelah infeksi stafilokokus, pneumokokus, coxsackie virus B, echovirus tipe 9, influenza, dan mumps.

GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self-limiting, tetapi dapat juga menyebabkan gagal ginjal akut. Sebagian besar pasien (95%) akan sembuh, tetapi 5% diantaranya dapat mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat.

Patologi

Seperti pada GN akut lain, ginjal terlihat membesar simetris. Pada mikroskop cahaya, seluruh glomeruli tampak membesar dan bloodless dan menampakkan proliferasi sel mesangial difus dengan pembesaran matriks mesangial.

Gambar 1. Glomerulus pasien GNAPS terlihat membesar dan perdarahan kurang dan menunjukkan proliferasi mesangial dan eksudasi

netrofil. (400x)

PMN sering ada di glomerulus selama masa awal penyakit. Kresentik dan inflamasi intersisial mungkin dapat terlihat pada kasus sangat berat. Perubahan-perubahan ini tidak spesifik untuk GNAPS. Mikroskopik imunofloresensi menampakkan deposit yang bertumpuk-tumpuk dari immunoglobulin dan komplemen di membrane basalis glomerulus dan di mesangial. Pada mikroskop electron, deposit electron-dense atau “humps” terlihat pada sisi epitel membran basalis glomerulus.

Page 30: Penyakit Ginjal.doc

Gambar 4. Mikroskop electron pada GNAPS memperlihatkan deposit electron dense (D) di sisi epitel (Ep) dari membrane basalis glomerulus. PMN (P) tampak di dalam lumen (L) kapiler.

BS = Bowman space. M = mesangium.

Gambar 5. Gambaran mikroskopik sedimen urin memperlihatkan gambaran khas pada hematuria non-glomerular: sel darah merah dalam bentuk dan ukuran yang seragam namun menunjukkan dua populasi sel karena sejumlah

kecil sel kehilangan pegmen hemoglobinnya.

Page 31: Penyakit Ginjal.doc

Gambar 6: Gambaran mikroskopik sedimen urin memperlihatkan gambaran khas pada hematuria glomerular: sel darah merah kecil dan bervariasi dalam bentuk, ukuran, dan

kandungan hemoglobin.

Gambar 7: Microscopy of urinary sediment. A cast containing numerous erythrocytes, indicating glomerulonephritis.

Referensi:

1. Davis ID, Avner ED. Conditions Particularly Associated with Hematuria. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. Pennsylvania: Saunders; 2004.

2. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Current Pediatric Diagnosis & Treatment. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2006.

Page 32: Penyakit Ginjal.doc

Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus (GNAPS); Patofisiologi-Tatalaksana

By Exomed Indonesia– 28/12/2010Posted in: Nefrologi, Pediatri

Tommie Prasetyo, MD

Patofisiologi

Kebanyakan bentuk glomerulonefritis akut dimediasi oleh proses imunologik. Pada GNAPS, bukti-bukti menunjukkan bahwa kompleks imun, yang dibentuk oleh kombinasi antibodi spesifik dan antigen streptokokus, terlokalisir di dinding kapiler glomerulus dan mengaktivasi sistem komplemen. Sistem imun mungkin juga diaktivasi oleh antigen steptokokal yang menempel ke struktur glomerulus dan berperan sebagai “planted antigen” atau dengan perubahan antigen endogen.

Gambar 1. Patofisiologi GNAPS, terjadi penumpukan kompleks imun di subepitel glomerulus

Bermacam sitokin dan faktor imunitas seluler menginisiasi suatu respon inflamasi yang bermanifestasi menjadi proliferasi seluler dan edema di glomerular.

Hanya beberapa strain streptokokus yang menyebabkan glomerulonefritis akut. Penelitian yang dilakukan 50 tahun lalu menunjukkan identifikasi strain tertentu dari streptokokus grup A yang nefritogenik. Yang lebih baru, streptokokus non-grup A, terutama grup C, ditemukan juga menyebabkan glomerulonefritis.

Sedikitnya 2 antigen diisolasi dari streptokokus nefritogenik, zymogen (suatu precursor dari exotoksin B) dan glyceraldehydes phosphate dehydrogenase (GNADH), telah

Page 33: Penyakit Ginjal.doc

diidentifikasi dan dipercaya mampu menginisiasi respons imunologik. Fraksi tersebut memiliki afinitas tertentu terhadap glomerulus dan telah terbukti menginduksi respons antibodi. Hal ini membawa pada aktivasi sejumlah jalur mediator proinflamasi di glomerulus.

Walaupun infeksi streptokokus dihubungkan secara erat dengan GNAPS, sesungguhnya mekanisme kerusakan pada ginjal masih dijabarkan secara tidak komplit. Penelitian terbaru juga menunjukkan kemampuan dari SPEB dan NAPIr, suatu reseptor plasmin streptokokal, untuk terikat dan mengaktivasi plasmin, dengan demikian menginisiasi kaskade inflamasi.

Gambar 2. Etiopatogenesis GNAPS. Nefritogenisitas dari NAPIr-GAPDH streptokokus (kiri) diperkirakan berhubungan dengan aktivitas pengikatan-plasmin yang mampu memicu reaksi

inflamasi dan degradasi Membran Basal Glomerulus, kompleks ini menempati glomerulus dengan plasmin, tapi tidak dengan IgG atau komplemen. SpeB dan zSpeB (kanan) dapat

menginduksi immune-complex-mediated glomerulonephritis ketika SpeB menempel dengan komplemen dan IgG dan tampak di tumpukan subepitelial, dimana merupakan penampakan

khas dari GNAPS.

Pada kebanyakan pasien dengan GN akut sedang-berat, terjadi penurunan filtrasi glomerulus, dan kemampuan untuk mengekskresi garam dan air biasanya berkurang, menyebabkan peningkatan volume cairan ekstraseluler. Volume cairan ekstraseluler yang meningkat menyebabkan edema, dan juga berperan dalam hipertensi, anemia, kongesti sirkulasi, dan ensefalopati.

Manifestasi klinis

GNAPS paling sering terjadi pada anak berumur 5-12 tahun dan jarang sebelum usia 3 tahun. Pasien biasanya menunjukan gejala sindrom nefritis akut 1-2 minggu setelah

Page 34: Penyakit Ginjal.doc

faringitis streptokokus atau 3-6 minggu setelah pioderma. Tingkat keparahan kerusakan bervariasi dari hematuria mikroskopik asimtomatik dengan fungsi ginjal normal hingga gagal ginjal akut. Pasien dapat juga mengalami ensefalopati dan/atau gagal ginjal yang disebabkan oleh hipertensi atau hipervolemia. Ensefalopati dapat juga terjadi karena akibat langsung dari efek toksik bakteri streptokokus di system saraf pusat. Edema biasanya disebabkan dari retensi air dan garam dan sindrom nefrotik dapat muncul pada 10-20 % kasus. Gejala nonspesifik seperti malaise, letargi, nyeri abdomen/pinggang, dan demam umum terjadi. Edema subglotis akut dan gangguan pernapasan juga pernah dilaporkan muncul.

Tanda kardinal yang khas terdiri dari :

1. Hematuria dengan urin berwarna teh/cucian daging tanpa disertai disuria,2. Edema terutama periorbital dan dapat juga seluruh tubuh,

3. Hipertensi,

4. Oliguria / anuria.

Dapat disertai dengan tanda-tanda sindrom nefrotik seperti proteinuria dan hipoalbuminemia. Selain itu karena komplikasinya dapat terjadi tanda-tanda kongesti dan ensefalopati.

Gambar 5. Urin pada GNAPS. Berwarna teh tua.

Fase akut biasanya menyembuh sendiri dalam 6-8 minggu. Walaupun ekskresi protein urin dan hipertensi biasanya normal dalam 4-6 minggu setelah onset, hematuria mikroskopik dapat bertahan hingga 1-2 tahun.

Diagnosis

Page 35: Penyakit Ginjal.doc

Dari urinalisis didapatkan eritrosit, biasanya bersama dengan silinder eritrosit, proteinuria, dan lekosit PMN. Anemia normositik yang ringan mungkin dapat terjadi karena hemodilusi dan hemolisis ringan. Serum C3 menurun pada fase akut dan akan kembali normal dalam 6-8 minggu.

Konfirmasi diagnosis membutuhkan adanya bukti yang jelas tentang infeksi streptokokus yang invasive. Kultur tenggorok yang positif dapat mendukung diagnosis atau menunjukkan keadaan karier. Di sisi lain, peningkatan antibodi terhadap antigen streptokokal memastikan adanya infeksi streptokokus. Penting untuk diketahui titer antistreptolisin O (ASTO) biasanya meningkat setelah infeksi faring namun jarang meningkat setelah infeksi kulit pioderma. Titer antibodi tunggal yang paling baik untuk menunjukkan adanya infeksi streptokokus di kulit adalah deoxyribonuclease (DNase) B antigen. Tes streptozim merupakan suatu pemeriksaan alternative untuk mendeteksi antibody terhadap streptolysin O, DNase B, hyaluronidase, streptokinase, dan nicotinamide-adenine dinucleotidase menggunakan tes slide aglutinasi.

Diagnosis secara klinis GNAPS dapat ditegakkan pada seorang anak dengan sindrom nefritis akut (gross hematuria, edema, hipertensi, dan penurunan fungsi ginjal), bukti infeksi strptokokus sebelumnya, dan C3 serum yang rendah. Walaupun begitu, penting untuk memikirkan diagnosis lain seperti SLE dan eksaserbasi akut glomerulonefritis kronik. Renal biopsi hanya dipertimbangkan bila terdapat gagal ginjal akut, sindrom nefrotik, tidak adanya bukti infeksi streptokokal, atau komplemen serum yang normal. Biopsi ginjal juga dipertimbangkan bila hematuria dan proteinuria, penurunan fungsi ginjal, dan/atau C3 serum bertahan lebih dari 2 bulan.

Diagnosis banding GNAPS termasuk beberapa penyebab hematuria yang lainnya, seperti misalnya IgA nefropati. Glomerulonefritis akut juga dapat mengikuti infeksi stafilokokus koagulase-positif dan koagulase-negatif, Streptococcus pneumonia, dan bakteri gram negative. Dan juga, endokarditis bacterial dapat menimbulkan glomerulonefritis hipokomplementik dengan gagal ginjal. Akhirnya, glomerulonefritis akut dapat timbul setelah jamur tertentu, rickettsia, dan penyakit virus, terutama influenza.

Komplikasi

Komplikasi akut dari penyakit ini disebabkan terutama karena hipertensi dan disfungsi ginjal akut. Hipertensi terdapat pada 60% pasien dan dapat dihubungkan dengan ensefalopati hipertensi pada 10% kasus. Komplikasi lain termasuk gagal jantung, hiperkalemia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis, kejang, dan uremia.

Pencegahan

Page 36: Penyakit Ginjal.doc

Antibiotik sistemik pada awal infeksi faringitis streptokokus dan pioderma tidak mengurangi resiko glomerulonefritis. Anggota keluarga dari pasien dengan GN akut harus dikultur untuk streptokokus -hemolitikus grup A dan harus diobati bila kulturnya positif.β

Tatalaksana

Tata laksana ditujukan untuk menangani efek akut dari penurunan fungsi ginjal dan hipertensi. Walaupun pemberian 10 hari antibiotic sistemik dengan penisilin dianjurkan untuk membatasi penyebaran organism nefritogenik, terapi antibiotic tidak memperngaruhi perjalanan penyakit dari glomerulonefritis. Pembatasan garam, dieresis, dan farmakoterapi dengan antagonis kalsium, vasodilator, atau ACE-inhibitor adalah terapi standar yang digunakan untuk menangani hipertensi.

Prognosis

Penyembuhan sempurna terdapat pada >95% anak dengan GNAPS. Mortalitas dari fase akut dapat dicegah dengan penanganan yang tepat dari gagal ginjal akut, gagal jantung, dan hipertensi. Jarang terjadi, fase akut sangat berat dan membawa pasien pada hialinisasi glomerular dan insufisiensi ginjal kronik. Walaupun begitu diagnosis GNAPS harus dipertanyakan pada pasien dengan disfungsi ginjal kronik karena diagnosis lain seperti glomerulonefritis membranoproliferatif mungkin muncul. Rekurensi sangat jarang terjadi.

Referensi:

1. Davis ID, Avner ED. Conditions Particularly Associated with Hematuria. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, editors. Nelson Textbook of Pediatrics. Pennsylvania: Saunders; 2004.

2. Hay WW, Hayward AR, Levin MJ, Sondheimer JM. Current Pediatric Diagnosis & Treatment. 18th edition. New York: McGraw Hill; 2006.