penurunan kadar superoksida dismutase lensa berhubungan ...
Transcript of penurunan kadar superoksida dismutase lensa berhubungan ...
TESIS
PENURUNAN KADAR SUPEROKSIDA DISMUTASE
LENSA BERHUBUNGAN DENGAN
PENINGKATAN DERAJAT KEKERUHAN LENSA
PADA KATARAK SENILIS
(7,6
I PUTU RUSTAMA PUTRA
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
TESIS
PENURUNAN KADAR SUPEROKSIDA DISMUTASE
LENSA BERHUBUNGAN DENGAN
PENINGKATAN DERAJAT KEKERUHAN LENSA
PADA KATARAK SENILIS
(7,6
I PUTU RUSTAMA PUTRA
NIM : 0914128203
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
PENURUNAN KADAR SUPEROKSIDA DISMUTASE
LENSA BERHUBUNGAN DENGAN
PENINGKATAN DERAJAT KEKERUHAN LENSA
PADA KATARAK SENILIS
Tesis Ini Untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik (Combined Degree)
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana
I PUTU RUSTAMA PUTRA
NIM : 0914128203
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2014
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL : 18 JUNI 2014
Pembimbing I, Pembimbing II,
dr. W. G. Jayanegara, SpM(K) dr. AAA. Sukartini Djelantik, SpM(K)
NIP. 19640229 1991031002 NIP. 19560420 1982122001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur,
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
Prof.Dr.dr.Wimpie,I.Pangkahila,SpAnd,FAACS Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,SpS(K)
NIP. 19461213 1971071001 NIP. 19590215 1985102001
Tesis Ini Telah Diuji Pada
Tanggal 18 Juni 2014
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Direktur Program Pascasarjana
Universitas Udayana No: 1658/UN14.4/HK/2014 , Tanggal 10 Juni 2014
Ketua : dr. I W.Gede Jayanegara, Sp.M(K)
Sekretaris : dr. A.A.A. Sukartini Djelantik, Sp.M(K)
1. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH
2. Prof. dr. N.K. Niti Susila,Sp.M(K)
3. dr. Made Agus Kusumadjaja. Sp.M(K)
UCAPAN TERIMA KASIH
Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur kepada Tuhan
Yang Maha Esa, atas berkah-Nya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan. Penulis
menyadari sepenuhnya tesis ini tidak mungkin dapat selesai tanpa bantuan dari berbagai
pihak. Pada kesempatan ini, izinkan penulis dengan setulus hati menghaturkan rasa
terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD dan Dekan
Fakultas Kedokteran Udayana, Prof. Dr. dr. Putu Astawa, Sp.OT(K), M.Kes yang
telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk mengikuti dan menyelesaikan
Program Magister Pascasarjana dan Program Pendidikan Dokter Spesialis 1 di
Universitas Udayana.
2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. AA Raka
Sudewi, SpS(K) atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan sebagai mahasiswa
Program Pascasarjana Universitas Udayana.
3. Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Combined Degree, Prof. Dr. dr. Wimpie, I.
Pangkahila, SpAnd., FAACS yang telah memberikan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan Program Studi Ilmu Biomedik combined degree.
4. Direktur RSUP Sanglah Denpasar, dr. Anak Ayu Sri Saraswati, M.kes atas
kesempatan dan fasilitas yang diberikan dalam menjalani Program Pendidikan
Dokter Spesialis 1 di Bagian Ilmu Kesehatan Mata.
5. Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dr.
Putu Budhiastra, SpM (K) yang telah memberikan kesempatan mengikuti program
pendidikan spesialisasi dan memberikan bimbingan selama menjalani pendidikan
spesialisasi.
6. Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Udayana, dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM(K) yang telah memberikan
kesempatan mengikuti program pendidikan spesialisasi, memberi petunjuk, serta
bimbingan selama menjalani pendidikan spesialisasi.
7. dr. W. G. Jayanegara, SpM(K), sebagai pembimbing I yang telah meluangkan
waktu, memberikan petunjuk dan pengarahan, sejak awal penulisan sampai dapat
menyelesaikan tesis ini.
8. dr. AAA Sukartini Djelantik, SpM(K) selaku pembimbing II yang selalu
memberikan bimbingan dan pengarahan hingga terselesaikannya tesis ini.
9. Prof. Dr. dr. N. Adiputra, M.OH, Prof. N.K. Niti Susila, Sp.M(K) dan dr. Made
Agus Kusumadjaja, Sp.M(K) selaku penguji atas semua masukan, koreksi dan
saran dalam penyelesaian tesis ini.
10. Direktur RS Indera Denpasar atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan untuk
melaksanakan penelitian di RS Indera Denpasar.
11. Dr. I G.N. Made Sugiana SpM, sebagai Kepala SMF Mata RS Indera Denpasar,
yang telah memberikan kesempatan untuk melaksanakan penelitian di RS Indera
Denpasar.
12. Prof. DR. Ir. I.B. Putra Manuaba, M.Phil atas bantuan dan kerjasamanya dalam
pemeriksaan sampel penelitian serta memberikan masukan mengenai statistik
penelitian.
13. Seluruh Konsulen Ilmu Kesehatan Mata serta dosen Pascasarjana Program Studi
Ilmu Biomedik Combined Degree atas segala bimbingannya.
14. Seluruh teman sejawat residen di Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana atas bantuan dan kerjasamanya selama ini
15. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata dan IBS RSUP Sanglah atas bantuan dan
kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.
16. Seluruh paramedik di Poliklinik Mata dan Ruang Operasi RS Indera Denpasar atas
kerjasamanya dalam pengumpulan sampel penelitian.
Rasa syukur dan sujud kepada Ayahanda dan Ibunda kami I Nengah Sumatra,
Ama.Pd. dan Ni Putu Rusmawati, yang telah memberikan doa, kasih-sayang, motivasi
dan semangat kepada penulis. Ayahanda dan Ibunda Mertua I Ketut Nilawarsa dan Ni
Nyoman Tunas, terimakasih atas dorongannya selama ini. Akhirnya kepada istri tercinta
Ni Luh Made Cintia Dewi dan Ananda tersayang I Putu Prema Khamahitha dan I Made
Raktha Anantanaya atas doa, dorongan semangat, dan pengertian selama penulis
menyelesaikan pendidikan dan penelitian ini.
Semoga tesis ini memberikan manfaat dan sumbangan yang berguna bagi
perkembangan pelayanan kesehatan mata serta bagi pendidikan IImu Kesehatan Mata.
Terakhir, semoga Sang Hyang Widhi Wasa – Tuhan Yang Maha Esa, selalu
melimpahkan rahmat-Nya kepada kita semua.
Denpasar, 18 Juni 2014
Penulis
ABSTRAK
PENURUNAN KADAR SUPEROKSIDA DISMUTASE LENSA
BERHUBUNGAN DENGAN
PENINGKATAN DERAJAT KEKERUHAN LENSA
PADA KATARAK SENILIS
Katarak senilis merupakan penyakit multifaktorial dan salah satu faktornya
adalah stres oksidatif. Superoksida dismutase adalah satu antioksidan enzimatik lensa
yang melindungi mata dari stres oksidatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
hubungan antara penurunan kadar superoksida dismutase (SOD) dengan peningkatan
derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis. Penelitian ini merupakan penelitian potong
lintang analitik yang dilakukan di poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera,
Denpasar, Bali, mulai bulan Januari 2014 sampai bulan Mei 2014. Pasien katarak senilis
dikelompokkan menjadi 4 kelompok berdasarkan derajat kekeruhan lensa menurut
Burrato. Sampel diambil dengan teknik consecutive sampling dan dioperasi atas indikasi
visual. Lensa yang diekstraksi diperiksa kadar SOD-nya. Jumlah sampel yang diperiksa
sebanyak 52 lensa. Rerata kadar SOD lensa pada Derajat 2 sebesar 21,147±1,603 µg/g
protein, Derajat 3 sebesar 16,653±0,991 µg/g protein, Derajat 4 sebesar 13,920±1,374
µg/g protein dan Derajat 5 sebesar 11,668±1,496 µg/g protein. Hubungan kadar SOD
lensa derajat kekeruhan lensa dianalisis dengan uji Spearman dan didapatkan hubungan
negatif yang sangat kuat (r= - 0,9) dan bermakna secara statistik (p=0,001). Berdasarkan
hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa penurunan kadar superoksida
dismutase lensa berhubungan dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa pada katarak
senilis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mencari faktor-faktor lain yang ikut
berperan dalam etiopatogenesis katarak senilis selain SOD.
Kata kunci : katarak senilis, derajat kekeruhan lensa, kadar superoksida dismutase
lensa
ABSTRACT
DECREASED OF LENS SUPEROXIDE DISMUTASE LEVEL CORRELATED
WITH INCREASED OF LENS OPACIFICATION GRADE
IN SENILE CATARACT
Senile cataract is a multifactorial disease including oxidative stress. Superoxide
dismutase (SOD) is one of the enzymatic antioxidant lenses that protect the lens from
oxidative stress. The aim of this study was to determine the correlation between the
levels of lens superoxide dismutase and the grade of opacification of the lens in senile
cataract. This study was an analytic cross-sectional observasional study conducted in
Eye clinic Sanglah Hospital and Indera Hospital, Denpasar, Bali, starting in January
2014 until May 2014. Senile cataract patients classified into 4 groups based on the grade
of lens opacification according Burrato criteria. Samples were taken with consecutive
sampling technique and operation on visual indication. The extracted lens were
examined for SOD level. A total of 52 patients were included in this study. The mean
level of lens SOD were 21.147±1.603 µg/g protein in grade 2, 16.653±0.991 µg/g
protein in grade 3, 13.920±1.374 µg/g protein in grade 4 and 11.668±1.496 µg/g protein
in grade 5. Spearman's correlation test showed that was a very strong negative
correlation between lens SOD level and grade of lens opacification in senile cataract
(r= -0.9) and statistically significant (p=0.001). The conclusion was the decreased of
lens SOD level correlated with increased of lens opacification grade in senile cataract.
Further research is needed to look for other factors that play a role in the
aetiopathogenesis senile cataract in addition to SOD.
Keywords : senile cataract, lens opacification grade, lens superoxide dismutase level
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL………………………………………………………
PRASYARAT GELAR……………………………………………………
LEMBAR PENGESAHAN……………………………………………….
PENETAPAN PANITIA PENGUJI ……………………………………...
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT……………………………
UCAPAN TERIMA KASIH……………………………………………..
ABSTRAK………………………………………………………………..
ABSTRACT……………………………………………………………….
i
ii
iii
iv
v
vi
ix
x
DAFTAR ISI………………………………………………………………
DAFTAR TABEL…………………………………………………………
xi
xiv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………... xv
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG…………………………….. xvi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang……………………………………………………. 1
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………… 7
1.3 Tujuan Penelitian…………………………………………………. 7
1.4 Manfaat Penelitian……………………………………………...… 8
1.4.1 Manfaat teoritis ..………………………………………...… 8
1.4.2 Manfaat praktis…………………………………….....……..
8
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Lensa………………........................................................................ 9
2.1.1 Anatomi dan histologi lensa ................................................... 9
2.1.2 Biokimia lensa ........................................................................ 11
2.1.3 Fisiologi lensa .…………………………………….....…….. 13
2.2 Katarak Senilis................................................................................. 15
2.2.1 Definisi dan epidemiologi katarak ..............……….....…….. 15
2.2.2 Etiologi dan patofisiologi katarak senilis .......……......…….. 16
2.2.3 Derajat kekeruhan lensa katarak senilis ....…………….........
2.2.4 Indikasi bedah pada katarak senilis………………………..
18
18
2.3 Radikal bebas dan Stres Oksidatif................................................... 19
2.3.1 Radikal bebas……...………………………………………... 19
2.3.2 Stres oksidatif……………………......................................... 21
2.3.3 Antioksidan……………. ....................................................... 22
2.3.4 Superoksida dismutase…………….....…………………....... 24
2.3.5 Stres oksidatif pada katarak senilis…………………………. 26
BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir .………………………………………………. 30
3.2 Konsep Penelitian…………...........………………………………. 31
3.3 Hipotesis Penelitian ………….………………………………...... 31
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian……………………………………………... 32
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian……………………………………... 32
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian……........………………………... 33
4.3.1 Populasi penelitian........…………………………………….. 33
4.3.2 Sampel penelitian ……………………………………......... 33
4.3.2.1 Kriteria inklusi dan eksklusi penelitian ...................... 33
4.3.2.2 Besar sampel...…………………………………....…. 34
4.3.2.3 Cara pemilihan sampel…..................………………... 35
4.4 Variabel Penelitian………………………………………………... 35
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel……………………........ 35
4.4.2 Definisi operasional variabel……………………………….. 36
4.5 Instrumen Penelitian......................................................................... 37
4.6 Prosedur Penelitian........................................................................... 37
4.6.1 Tahap persiapan...................................................................... 37
4.6.2 Pelaksanaan penelitian............................................................ 38
4.7 Alur Penelitian ................................................................................ 40
4.8 Analisis Data .......………………………………………….……... 41
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian…………………………………
42
5.2 Perbedaan Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat
Kekeruhan Lensa………………………………………………..
43
5.3 Hubungan Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa… 45
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Subjek Penelitian………………………………………………… 46
6.2 Kadar SOD Lensa pada Katarak Senilis………………………… 50
6.3 Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan
Lensa pada Katarak senilis………………………………………
56
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan…………………………………………………………. 64
7.2 Saran……………………………………………………………… 64
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………....…….
65
LAMPIRAN-LAMPIRAN ....................................................................... 72
DAFTAR TABEL
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian ……………………………………………
43
5.2 Perbedaan Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat
Kekeruhan Lensa…………………………………………………………..
44
5.3 Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa….. 45
DAFTAR GAMBAR
Halaman
2.1 Anatomi Lensa ...................................................................................... 10
2.2 Mekanisme Terjadinya ROS……..........………................................ 21
2.3 Mekanisme Aktivitas ROS dan Antioksidan pada Lensa..................... 28
3.1 Bagan Konsep Penelitian ...................................................................... 31
4.1 Rancangan Penelitian ............................................................................ 32
4.2 Skema Hubungan Antar Variabel ........................................................ 35
4.3 Skema Alur Penelitian ........................................................................... 40
5.1 Grafik Kadar SOD lensa pada Masing-Masing Derajat Kekeruhan
Lensa……………………………………………………………………
44
DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG
ATP
AINS
DNA
HCl
HMP
H2O2
GSH
GPX
GSP
GSSG
HMP
LOOH
MDA
NADPH
Na-K-ATPase
O2-
OH-
PNS
RNA
ROS
SD
SMP
SMA
SOD
SICS
WHO
= Adenosine Triphosphate
= Anti inflamasi non steroid
= Deoxyribosa Nucleic Acid
= Hidrogen Chlorida
= Hexose Monophosphate
= Hidrogen Peroksida
= Glutation
= Glutation Peroxidase
= Glutation S-Transferase
= Glutation Disulfida
= Hexose Monophosphat
= Lipid Peroksida
= Malondialdehyde
= Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate
= Natrium-Kalium-Adenosine Triphosphatease
= Superoksida
= Hidroksil
= Pegawai Negeri Sipil
= Ribonucleic Acid
= Reactive Oxygen Species
= Sekolah Dasar
= Sekolah Menengah Pertama
= Sekolah Menengah Atas
= Superoxide Dismutase
= Small Incision Cataract Surgery
= World Health Organization
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Keterangan Kelaikan Penelitian……….. 72
Lampiran 2 Surat Ijin Penelitian di RSUP Sanglah………… 73
Lampiran 3 Surat Ijin Penelitian di RS Indera……………… 74
Lampiran 4 Penjelasan Penelitian………………………….. 75
Lampiran 5 Lembar Persetujuan ...................................... 77
Lampiran 6 Kuisioner Penelitian……………………………. 78
BAB I
PENDAHULUAN
Lampiran 7 Hasil Pemeriksaan Kadar SOD Lensa…………. 80
Lampiran 8 Tabel Induk Penelitian…................................ 82
Lampiran 9 Out Put SPSS………………………………….. 83
1.1 Latar Belakang
Katarak merupakan penyebab kebutaan yang terbanyak di dunia sampai saat ini
bila dibandingkan dengan penyakit mata lainnya. Katarak pada umumnya adalah
penyakit degeneratif yang terjadi pada usia lanjut. Katarak dapat terjadi tanpa keluhan
atau dengan keluhan berupa gangguan penglihatan dari derajat ringan sampai berat
bahkan berakhir dengan kebutaan. Kebutaan karena katarak di Indonesia maupun di
negara berkembang lainnya akan terus menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Menurut World Health Organization (WHO), di dunia pada saat ini jumlah
penderita dengan tajam penglihatan terganggu sebanyak 180 juta, dan 37 juta orang di
antaranya mengalami kebutaan serta diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali lipat
pada tahun 2020 (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Survei
kesehatan indera penglihatan di Indonesia tahun 1993-1996 menunjukkan angka
kebutaan 1,47% dari total jumlah penduduk. Penyebab utama kebutaan di Indonesia,
yaitu katarak (1,02%), glaukoma (0,16%), kelainan refraksi (0,14%), kelainan retina
0,09%, dan kelainan kornea 0,06% (Depkes RI, 2009).
Katarak senilis merupakan hampir 90% dari seluruh kasus katarak. (American
Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Katarak senilis adalah kekeruhan lensa
yang menyebabkan penurunan tajam penglihatan yang berkaitan dengan proses
degenerasi lensa yang berusia lanjut, yaitu di atas 40 tahun (Gondhowiardjo dan
Simanjuntak, 2006; Ilyas, 2008). Jumlah penderita katarak di Indonesia saat ini
berbanding lurus dengan jumlah penduduk usia lanjut, yang pada tahun 2000
diperkirakan mencapai 15,3 juta dan cenderung bertambah besar pada tahun 2025 akan
mengalami peningkatan sebesar 414 % dibandingkan dengan keadaan pada tahun 1990
(Depkes RI, 2009). Katarak senilis menjadi masalah yang serius di bidang kesehatan
(Brian dan Taylor, 2001; Chang dkk., 2008). Jumlah pasien katarak senilis di Bali
kemungkinan besar akan meningkat pula dengan bertambahnya jumlah penduduk usia
tua.
Penelitian epidemiologi di India melaporkan terjadi peningkatan prevalensi katarak
senilis dari 3,44% pada usia di bawah 50 tahun menjadi 60,91% pada penduduk usia 50-
60 tahun (Purushottam, 2009). Katarak umumnya terjadi pada usia lanjut, namun 16%
katarak di Indonesia terjadi pada usia produktif (40-45 tahun) (Depkes RI, 2009).
Masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan menderita katarak 15 tahun lebih cepat
dibandingkan penderita di daerah subtropik. Peningkatan maturitas atau kekeruhan
katarak senilis tentunya diikuti pula dengan semakin berkurangnya tajam penglihatan
pasien yang pada akhirnya akan menimbulkan beban baik bagi pasien maupun
keluarganya (Soehardjo, 2004).
Sampai sekarang tidak terdapat penanganan medis untuk katarak senilis kecuali
pembedahan. Peningkatan maturitas juga berpengaruh pada semakin tingginya kejadian
komplikasi baik sebelum maupun pada saat dilakukan tindakan pembedahan katarak
(Soehardjo, 2004). Pembedahan katarak masih sulit dijangkau oleh sebagian besar
masyarakat akibat kurangnya fasilitas kesehatan, sumber daya manusia belum memadai,
besarnya biaya yang diperlukan untuk operasi, sehingga angka backlog katarak di
Indonesia masih tinggi. Demikian pula hasil akhir operasi terkadang tidak sesuai
harapan (Brain dan Taylor, 2001). Oleh karena itu diperlukan pemahaman yang
mendalam tentang etiopatogenesis katarak senilis, sehingga dapat dikembangkan
strategi dalam usaha memperlambat perkembangan maturitas katarak senilis (Delcourt
dkk., 2003; Tabin dkk., 2008; Chang dkk., 2013). Proses terjadinya katarak senilis
memang tidak dapat dicegah namun usaha untuk menunda onset terjadinya atau
menghambat progresivitas katarak dapat mengurangi jumlah operasi katarak (Taylor,
2000). Bila onset terjadinya katarak dapat ditunda sampai 10 tahun, kebutuhan operasi
dapat diturunkan sampai setengah dari jumlah keseluruhan penderita yang memerlukan
operasi (Brian dan Taylor, 2001; Virgolici dkk., 2009).
Etiopatogenesis katarak bersifat multifaktorial dan sampai saat ini belum
sepenuhnya diketahui secara pasti (Beebe dkk., 2010; American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Salah satu teori tentang etiopatogenesis katarak
yang banyak berkembang belakangan ini adalah mekanisme stres oksidatif. Stres
oksidatif adalah suatu keadaan ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan
antioksidan (Palmiere dan Sblendario, 2006; Winarsi, 2007). Stres oksidatif yang terjadi
terus-menerus merupakan mekanisme penting yang berpengaruh pada proses terjadinya
katarak. Lensa mata sangat sensitif terhadap stres oksidatif. Lensa berada dalam
lingkungan endogen yang kaya dengan radikal bebas yang diproduksi oleh konsentrasi
oksigen lokal yang tinggi, paparan sinar ultraviolet yang lama dan aktivitas sel-sel
epitelial lensa yang patologis (Virgolici dkk., 2009). Lensa mata normal dilengkapi
perlindungan dan sistem antioksidan untuk melawan stres oksidatif. Seiring
bertambahnya usia dan adanya paparan yang terus-menerus oleh agen dari luar,
sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan dan akan menyebabkan
gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata (Cekic dkk., 2010; American
Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Hasil akumulasi dari stres oksidatif
menyebabkan gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan
protein tidak larut air (water insoluble protein), sehingga menyebabkan gangguan
transparansi lensa dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk., 2007; American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012a; Kisic dkk., 2012).
Radikal bebas mempunyai sifat sangat reaktif dan dapat mengubah molekul
menjadi radikal. Radikal bebas atau Reaktive Oxygen Species (ROS) merupakan suatu
bentukan yang dihasilkan oleh pernapasan secara aerob dan reaksi metabolik yang
menggunakan oksigen. Oksigen selama proses oksidasi akan dikonversi menjadi air,
tetapi 1-2% akan menjadi oksigen reaktif terutama superoksida (O2-), hidroksil (OH
•)
dan hidroperoksida (H2O2). Superoksida ini sangatlah reaktif dan membutuhkan
antioksidan untuk menetralisirnya (William, 2006; Ates dkk., 2010). Radikal bebas ini
akan merusak membran sel yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh menjadi
peroksida lipid. Peroksida lipid sebagai radikal bebas yang sangat toksik beredar di
seluruh tubuh dan akan merusak membran sel yang merupakan awal dari pembentukan
katarak. (Vinson, 2006; Winarsi, 2007).
Antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal dampak negatif radikal
bebas. Superoksida dismutase (SOD) merupakan salah satu enzim antioksidan penting
yang berasal dari tubuh sendiri, berefek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh
garis pertama dalam mengatasi stres oksidatif (Rajkumar dkk., 2008). SOD merupakan
antioksidan pencegah yang dapat menghambat sebelum anion superoksida
menyebabkan kerusakan. Cara kerja SOD adalah dengan mengkonversi anion
superoksida (O2-) menjadi komponen lain yang kurang berbahaya, yaitu hidrogen
peroksida (H2O2) yang selanjutnya dengan bantuan katalase diubah menjadi air (H2O)
(Behndig dkk., 1998; Li, 2003). Kadar radikal bebas yang tinggi di dalam tubuh dapat
ditunjukkan oleh rendahnya kadar aktivitas enzim antioksidan dan tingginya kadar
malondialdehid (MDA) pada plasma (Winarsi, 2007; American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Priyanti (2013), melaporkan kadar MDA pada
katarak senilis matur lebih tinggi daripada katarak senilis imatur.
Beberapa penelitian menyebutkan SOD adalah biomarker yang amat penting
untuk mengetahui kapasitas antioksidan dalam patogenesis terjadinya katarak senilis
namun hasilnya masih bervariasi (Chakraborty dkk., 2007; Rajkumar dkk., 2008).
Penelitian Kaur dkk. (2012) di India, menemukan SOD serum pasien katarak senilis
(2,0-3,3unit/ml) lebih rendah daripada orang tanpa katarak senilis(2,8-66,6 unit/ml).
Deepa dkk. (2011) yang melakukan penelitian di India menemukan aktivitas
antioksidan lensa pada katarak senilis matur (0,765±0,059 unit/ml) lebih rendah
daripada katarak senilis imatur (0,886±0,069 unit/ml). Chakraborty dkk. (2007)
menemukan bahwa terjadi penurunan SOD dalam serum pasien katarak senilis
(3,28±0,32 unit/ml) bila dibandingkan dengan kontrol (4,06±0,26 unit/ml) yang
merupakan pasien tanpa katarak senilis. Demikian juga penelitian di China yang
dilakukan oleh Chang dkk. (2013) menemukan bahwa kadar SOD serum pada pasien
katarak senilis (97,26±13,56 unit/ml) lebih rendah daripada orang normal
(103,47±18,97 unit/ml). Hasil yang berbeda diperoleh pada penelitian POLA bahwa
peningkatan kadar SOD eritrosit dengan peningkatan risiko katarak senilis tipe nuklear
(Delcourt dkk., 2003). Nourmohammadi dkk. (2001) pada penelitian di Iran
menemukan peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada pasien katarak dibandingkan
dengan pasien tanpa katarak.
Telah diketahui bahwa hampir setiap sel tubuh manusia menghasilkan SOD
yang berfungsi melindungi sel selama metabolisme tubuh yang menggunakan oksigen
dengan menangkap radikal bebas dan mengubahnya menjadi bentuk yang kurang
berbahaya. SOD bekerja di seluruh organ bahkan di setiap sel demikian pula sel-sel
lensa mata. Lensa adalah organ yang spesifik,yaitu avaskular dan seluruh
metabolismenya didukung oleh humor akuos. Aktivitas SOD pada lensa mata berbeda
dengan organ atau jaringan lainnya (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-
2012a; Kisic dkk., 2012). Selama ini telah banyak penelitian mengenai aktivitas SOD
secara sistemik yang diukur dari sampel serum darah dan eritrosit sedangkan penelitian
aktivitas atau kadar SOD pada lensa mata masih sedikit. Penelitian ini mengukur kadar
SOD pada lensa pasien katarak yang telah menjalani operasi katarak dengan indikasi
visual dan diharapkan dapat diketahui kadar SOD langsung pada target organ yang
mengalami stres oksidatif.
Penelitian mengenai hubungan kadar SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa
pada pasien katarak senilis belum pernah dilakukan sampai saat ini di Bali bahkan di
Indonesia. Penduduk pulau Bali umumnya termasuk ras melayu, tinggal di daerah tropis
dengan paparan sinar ultra violet yang banyak, umumnya bekerja sebagai petani, tingkat
pendidikan yang relatif rendah, dan nutrisi yang tentunya berbeda dibandingkan dengan
penelitian sebelumnya yang dilakukan di negara lain tentunya akan memberikan hasil
penelitian yang berbeda. Wawasan tentang etiopatogenesis katarak senilis dalam
hubungannya dengan stres oksidatif melalui pemeriksaan SOD, diharapkan dapat
memberikan masukan dalam pengembangan strategi untuk menunda onset terjadinya
katarak senilis.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah penurunan kadar SOD lensa berhubungan dengan peningkatan derajat
kekeruhan lensa pada katarak senilis?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui hubungan antara penurunan kadar SOD lensa dengan
peningkatan derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat teoritis
1. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang etiopatogenesis katarak
senilis dalam hubungannya dengan stres oksidatif.
2. Menambah pengetahuan dan pemahaman tentang kadar SOD lensa pada
masing-masing derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
1.4.2 Manfaat praktis
1. Dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan, peran SOD dalam menilai
dan memprediksi derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
2. Dapat digunakan sebagai awal dari sebuah pohon penelitian, sehingga
nantinya dapat dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengembangkan
strategi dalam memperlambat onset terjadinya katarak senilis.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1. Lensa
2.1.1 Anatomi dan histologi lensa
Lensa adalah struktur kristalin berbentuk bikonveks dan transparan. Lensa
adalah salah satu dari media refraktif terpenting yang berfungsi memfokuskan cahaya
masuk ke mata agar tepat jatuh di retina. Lensa memiliki dua permukaan, yaitu
permukaan anterior dan posterior. Permukaan posterior lebih cembung daripada
permukaan anterior. Lensa bersama dengan iris membentuk diafragma optikal yang
memisahkan bilik anterior dan posterior bola mata. Lensa tidak memiliki serabut saraf,
pembuluh darah, dan jaringan ikat (Lang, 2000; American Academy of Ophthalmology
Staff, 2011-2012b).
Secara histologis, lensa memiliki empat komponen utama, yaitu kapsul lensa,
epitelial subkapsular, korteks , dan nukleus. Kapsul lensa terdiri dari kapsul anterior dan
kapsul posterior. Kapsul ini merupakan suatu membran basalis dan terutama terdiri atas
kolagen tipe IV, beberapa serat kolagen lain dan komponen matriks ekstraselular,
seperti glikosaminoglikan, laminin, fibronektin, dan proteoglikan (Sihota dan Tandan,
2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b). Epitelial subkapsular
terdiri atas sel epitel kuboid yang hanya terdapat pada permukaan anterior lensa.
Epitelial subkapsular yang berbentuk kuboid akan berubah menjadi kolumnar di bagian
ekuator dan akan terus memanjang dan membentuk serat lensa. Lensa bertambah besar
dan tumbuh seumur hidup dengan terbentuknya serat lensa baru dari sel-sel yang
terdapat di ekuator lensa. (Kanski, 2003; American Academy of Ophthalmology Staff,
2011-2012b).
Nukleus merupakan serat massa lensa yang terbentuk sejak lahir sedangkan
korteks merupakan serat yang terbentuk setelah lahir. Nukleus lensa lebih keras
daripada korteks. Serat lensa tersusun memanjang dan tampak sebagai struktur tipis dan
gepeng. Serat ini merupakan sel-sel yang sangat terdiferensiasi dan berasal dari sel-sel
subkapsular. Serat lensa akhirnya kehilangan inti serta organelnya dan menjadi sangat
panjang. Sesuai dengan bertambahnya umur, lensa lama-kelamaan menjadi lebih besar
dan kurang elastis. Sel-sel ini berisikan sekelompok protein yang disebut kristalin.
Nukleus dan korteks terbentuk dari lamella konsentris yang panjang. Lensa ditahan di
tempatnya oleh sekelompok serat yang tersusun radial yang disebut zonula, yang satu
sisinya tertanam di kapsul lensa dan sisi lainnya pada badan siliar (Sihota dan Tandan,
2007; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).
Gambar 2.1 Anatomi lensa
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b)
2.1.2 Biokimia lensa
Lensa manusia mempunyai konsentrasi protein 33% dari berat keringnya, 2 kali
lebih besar daripada di jaringan lainnya. Protein lensa dibagi ke dalam dua kelompok
berdasarkan kelarutannya di dalam air, yaitu fraksi yang larut dalam air dan fraksi yang
tidak larut dalam air. Fraksi yang larut di dalam air berjumlah sekitar 80% dari protein
lensa dan terdiri dari sekelompok protein yang disebut kristalin. Kristalin merupakan
protein intraselular yang tersusun di dalam epitelial dan membran plasma dari serat
lensa. Kristalin dibagi ke dalam tiga kelompok, yaitu: alfa, beta, dan gamma. Fraksi
yang tidak larut di dalam air dibagi lagi menjadi dua fraksi, yaitu yang larut dan tidak
larut di dalam urea. Fraksi yang larut dalam urea terdiri dari protein sitoskeletal yang
menjadi penyusun struktur sel lensa. Fraksi yang tidak larut di dalam urea menyusun
membran plasma serat lensa (Lang, 2006; American Academy of Ophthalmology Staff,
2011-2012a). Lensa membutuhkan suplai energi dalam bentuk adenisine triphosphate
(ATP) yang terus-menerus untuk transport aktif ion dan asam amino, mempertahankan
keadaan dehidrasi lensa, untuk sintesis protein dan glutation (GSH) secara terus-
menerus. Kebanyakan energi yang dihasilkan dipakai oleh sel-sel epitelial sebagai
tempat utama proses transpor aktif. Hanya sekitar 10-20% ATP yang digunakan untuk
sintesis protein (Kanski, 2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-
2012a).
Produksi energi sangat bergantung pada metabolisme glukosa. Glukosa
memasuki lensa dari humor akuos secara difusi, baik yang sederhana maupun yang
terfasilitasi. Metabolisme glukosa pada lensa, 78% dimetabolisme secara anaerob oleh
jalur glikolisis, 5% oleh hexose monophosphate (HMP) shunt dan sebagian kecil
melalui siklus Krebs (Vavvas dkk., 2002; American Academy of Ophthalmology Staff,
2011-2012a). Kebanyakan glukosa yang ditransport ke dalam lensa difosforilasi
menjadi glukosa-6-fosfat (G6P) oleh enzim heksokinase. Kemudian G6P akan
memasuki dua jalur metabolisme, yaitu glikolosis anaerob dan HMP shunt (Kanski,
2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Jalur yang paling aktif adalah glikolosis anaerob, yang menyediakan ATP dalam
jumlah yang banyak yang dibutuhkan untuk metabolisme lensa. Jalur glikolisis anaerob
kurang efektif dibandingkan glikolisis aerob karena hanya menghasilkan 2 molekul
ATP dari 1 molekul glukosa sedangkan glikolisis aerob menghasilkan 36 ATP.
Rendahnya tekanan oksigen di dalam lensa menyebabkan hanya sekitar 3% dari glukosa
lensa yang melalui jalur siklus Krebs untuk menghasilkan energi (Lang, 2006;
American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Jalur yang kurang aktif dalam menggunakan G6P di dalam lensa adalah HMP
shunt atau yang biasa dikenal sebagai jalur pentosa fosfat. Aktivitas HMP shunt di
dalam lensa lebih tinggi daripada jaringan tubuh lainnya. Aktivitas HMP shunt
menghasilkan nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADPH) untuk biosintesis
asam lemak dan biosintesis ribosa nukleotida. NADPH juga yang sangat penting untuk
glutation reduktase dan untuk aktivitas aldose reduktase di dalam lensa. Produk
karbohidrat dari HMP shunt memasuki jalur glikolisis dan dimetabolisme menjadi laktat
(Kanski, 2003; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Jalur sorbitol relatif tidak tetap pada lensa normal tetapi jalur ini berperan
penting dalam terjadinya katarak pada pasien diabetes dan galaktosemia. Aldose
reduktase merupakan enzim kunci dalam jalur sorbitol. Ketika terjadi peningkatan kadar
glukosa di dalam lensa, seperti yang terjadi pada keadaan hiperglikemia, jalur sorbitol
lebih diaktifkan daripada jalur glikolisis dan sorbitol terakumulasi. Sorbitol
dimetabolisme menjadi fruktosa oleh enzim polyol dehidrogenase. Sebagian kecil
glukosa akan mengalami metabolisme aerob melalui siklus Krebs. Metabolisme aerob
ini dapat menghasilkan radikal bebas yang dapat mengganggu fisiologi lensa (Vavvas
dkk., 2002; Berthoud dan Beyer, 2009; American Academy of Ophthalmology Staff,
2011-2012a).
2.2.3 Fisiologi Lensa
Epitelial merupakan bagian lensa dengan tingkat metabolisme paling tinggi.
Pada epitelial lensa terjadinya aktivitas metabolisme dan transport aktif yang membawa
keluar seluruh hasil aktivitas sel normal termasuk deoxyribonucleic acid (DNA),
ribonucleic acid (RNA), protein, sintesis lipid, dan ATP. ATP dibutuhkan untuk
transportasi nutrisi, memelihara pertumbuhan sel, dan transparansi lensa. Lensa bersifat
avaskular, sehingga humor akuos berfungsi sebagai sumber nutrisi dan mengeluarkan
produk sisa metabolik lensa (Vavvas dkk., 2002).
Aspek fisiologi yang terpenting dalam menjaga ketransparanan lensa adalah
pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit. Ketransparanan lensa sangat bergantung
pada komponen struktural, makromolekular dan hidrasi lensa Lensa mempunyai kadar
kalium dan asam amino yang tinggi dibandingkan humor akuos dan korpus vitreus
tetapi memiliki kadar natrium dan klorida yang lebih rendah dibandingkan sekitarnya.
Keseimbangan elektrolit diatur oleh permeabilitas membran dan pompa natrium dan
enzim Na-K-ATPase. Pompa ini berfungsi memompa natrium keluar dan memompa
kalium untuk masuk. Kalium dan asam amino ditransportasikan ke dalam lensa secara
aktif ke anterior lensa melalui epitelial. Lalu kalium dan asam amino akan berdifusi
melalui bagian posterior lensa sedangkan natrium masuk ke dalam lensa di bagian
posterior lensa secara difusi dan keluar melalui bagian anterior lensa secara aktif
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Kadar natrium di dalam lensa sekitar 20 mM dan kadar kalium sekitar 120 mM.
Kadar natrium dan kalium di sekitar humor akuos dan korpus vitreus sedikit berbeda.
Natrium lebih tinggi sekitar 150 mM sedangkan kalium sekitar 5 mM. Pompa natrium
berfungsi memompa ion natrium keluar sedangkan ion kalium masuk. Mekanisme
pompa natrium bergantung pada pemecahan ATP dan diatur oleh enzim Na-K-ATPase.
Adanya hambatan pada enzim Na-K-ATPase menyebabkan kehilangan keseimbangan
kation dan peningkatan air di dalam lensa (Vavvas dkk., 2002 ).
2.2. Katarak Senilis
2.2.1 Definisi dan epidemiologi katarak senilis
Katarak merupakan kekeruhan pada serabut lensa atau bahan lensa mata di dalam
kapsul lensa yang diakibatkan hidrasi cairan lensa, denaturasi protein lensa, dan
gangguan metabolisme lensa (Ilyas, 2008). Katarak senilis merupakan jenis katarak
yang paling banyak ditemukan. Pasien katarak senilis diperkirakan mencapai 90% dari
seluruh kasus katarak (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Katarak senilis adalah kekeruhan lensa yang terjadi karena proses degenerasi dan
biasanya mulai timbul pada usia diatas 40 tahun (Gondhowiardjo dan Simanjuntak,
2006; Ilyas, 2008).
World Health Organization (WHO) melaporkan kurang lebih 37 juta penduduk
dunia mengalami kebutaan dan 47,8% dari jumlah tersebut disebabkan oleh katarak
(Tabin dkk., 2008; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a;).
Berdasarkan survei nasional pada tahun 1993-1996, angka kebutaan di Indonesia
mencapai 1,47% dari total jumlah penduduk dan merupakan angka kebutaan tertinggi di
Asia Tenggara. Dari hasil survei tersebut, katarak merupakan penyebab kebutaan yang
terbanyak di Indonesia, yaitu sebanyak 1.02 % (Gsianturi, 2004; Depkes RI, 2009).
Kejadian katarak senilis sangat erat kaitannya dengan umur, hal ini sesuai
dengan hasil penelitian dari berbagai ras (Congdon dkk., 200l). Penelitian oleh Leske
dkk. (2002) pada Barbados Eye Studies Group menunjukkan bahwa kelompok umur 50-
59 tahun mempunyai angka risiko relatif 11 kali dibanding kelompok umur 40-49 tahun
dan angka risiko relatif akan terus meningkat dengan bertambahnya umur. Penelitian
oleh Eye Diseases Prevalence Research Group di Amerika Serikat tentang prevalensi
katarak menunjukkan bahwa prevalensi katarak pada kelompok umur 40-49 tahun 2,5%,
meningkat menjadi 25% pada kelompok umur 65-69 tahun dan 68,3% pada kelompok
diatas 80 tahun (Friedman dkk., 2004).
2.2.2 Etiopatogenesis katarak senilis
Telah banyak informasi yang diperoleh sehubungan dengan mekanisme biokimia
dan metabolism lensa normal maupun katarak pada berbagai binatang percobaan.
Informasi sangat membantu menjelaskan perubahan fisik dan kimia yang terjadi akibat
radiasi, trauma fisik, obat-obatan, kekurangan nutrisi, katarak pada diabetes. Timbulnya
katarak senilis merupakan yang proses yang disebabkan oleh berbagai faktor yang
meliputi faktor ekternal dan internal yang terjadi secara akumulasi. Faktor-faktor
tersebut mempengaruhi secara berulang-ulang melalui berbagai reaksi kimia, sehingga
merusak kejernihan lensa (Li, 2003; Vinson, 2006). Namun untuk menjelaskan proses
kataraktogenesis sebagai proses sebab dan akibat pada katarak senilis secara pasti belum
ditemukan. Berbagai penelitian meliputi studi epidemiologi, histologis, analisis
biokimia, beberapa faktor risiko kataraktogenesis sudah dan terus berlangsung sampai
sekarang. Lensa katarak mempunyai tanda karakteristik berupa degenerasi hidrofik,
denaturasi protein, nekrosis, dan gangguan susunan serabut lensa (Vaughan dkk., 2002).
Penambahan umur akan mengakibatkan lensa menjadi lebih berat dan lebih tebal,
lapisan baru serabut lensa membentuk korteks dan akhirnya nukleus menjadi tertekan
kemudian mengeras. Melalui mekanisme kimia, kristalin mengalami agregasi dan berat
molekulnya meningkat. Hasil agregasi protein mengakibatkan penurunan kecerahan,
perubahan indeks refraksi lensa serta penyebaran sinar (American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Perubahan kimiawi protein nukleus lensa
menghasilkan pigmen yang berlebihan, sehingga warna menjadi kuning atau abu-abu.
Pada lensa juga mengalami penurunan kadar glutation dan kalium, peningkatan kadar
natrium dan kalsium serta peningkatan hidrasi. Konsumsi antioksidan yang kurang juga
dapat dikaitkan dengan berbagai bentuk katarak senilis (Michael dan Bron, 2011).
Aktivitas sistem antioksidan enzimatik (SOD, glutation peroksidase, katalase) dan
antioksidan nonenzimatik (vitamin C, glutation, sistein) yang menurun pada lensa,
humor akuos dan proses penuaan sangat mempengaruhi perkembangan katarak senilis
(Ozmen dkk., 2000).
Mengingat penyebab terjadinya katarak senilis bersifat multifaktorial dan belum
diketahui secara pasti, maka guna mendapatkan strategi pengendalian perlu dicari
beberapa faktor risiko. Berbagai faktor risiko yang dianggap berhubungan dengan
terjadinya katarak senilis antara lain diabetes mellitus, hipertensi, paparan sinar ultra
violet B, obesitas, merokok, tingkat pendidikan, kekurangan vitamin E serum,
peningkatan asam urat serum, kekurangan riboflavin, myopia, warna iris yang gelap,
dan lain-lain (Leske dkk.,2002; Zoric dkk., 2008).
Dewasa ini salah satu teori tentang etiologi katarak senilis yang banyak
berkembang adalah mekanisme stres oksidatif. Lensa mata sangat sensitif terhadap
terjadinya stres oksidatif. Seiring bertambahnya umur dan adanya paparan yang terus-
menerus oleh agen dari luar, akan menyebabkan gangguan mekanisme proteksi
antioksidan lensa mata. Hasil akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan gangguan
fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak larut air
(water insoluble protein), sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa dan
terjadi katarak (El-Ghaffar dkk., 2007; Cekic dkk., 2010; American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Secara pasti belum bisa ditentukan pada umur
berapa mulai timbulnya katarak dalam hubungannya dengan stres oksidatif karena
banyak faktor yang berpengaruh dan berbeda-beda pada masing-masing individu
(Spector, 1995; Ates dkk., 2010; Cekic dkk., 2010).
2.2.3 Derajat kekeruhan lensa katarak senilis
Derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis dapat dibagi menjadi lima derajat
berdasarkan klasifikasi Buratto. Derajat 1 biasanya ditandai dengan visus yang masih
lebih baik dari 6/12, lensa tampak sedikit keruh dengan warna agak keputihan dan
refleks fundus masih dengan mudah dapat dilihat. Derajat 2 ditandai dengan nukleus
yang mulai sedikit berwarna kekuningan, visus antara 6/12 sampai 6/30 dan refleks
fundus juga masih mudah diperoleh. Derajat 3 ditandai dengan nukleus berwarna
kuning dan korteks yang berwarna keabu-abuan dan visus antara 3/60 sampai 6/30.
Derajat 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan dengan usia
pasien biasanya sudah lebih dari 65 tahun dan visus biasanya antara 3/60 sampai 1/60.
Derajat 5 ditandai dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman dan visus
biasanya 1/60 atau lebih jelek (Sihota dan Tandan, 2007; Ilyas 2008).
2.2.4 Indikasi bedah pada katarak senilis
Indikasi utama bedah pada katarak senilis adalah keinginan pasien untuk
meningkatkan tajam penglihatannya. Indikasi bedah katarak lainnya meliputi indikasi
medik dan kosmetik. Indikasi medik dilakukan pada pasien glaukoma fakolitik,
glaukoma fakomorfik, uveitis fakoantigenik, dislokasi lensa ke bilik mata depan, dan
beberapa indikasi tambahan sehubungan dengan katarak yang mengganggu tindakan
medik di belakang lensa, misalnya laser pada retina, diagnosis retina, dan vitrektomi
(Soehardjo, 2004; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
2.3 Radikal Bebas dan Stres Oksidatif
2.3.1 Radikal bebas
Dewasa ini, dunia kedokteran dan kesehatan banyak membahas tentang radikal
bebas dan antioksidan. Hal ini karena sebagian besar penyakit diawali oleh adanya
reaksi oksidasi yang berlebihan di dalam tubuh. Tampaknya oksigen merupakan sesuatu
yang paradoksial dalam kehidupan. Molekul ini sangat dibutuhkan oleh organisme
aerob karena memberi energi pada proses metabolisme dan respirasi, namun pada
kondisi tertentu keberadaannya dapat berimplikasi pada berbagai penyakit (Vinson,
2006; Winarsi, 2007).
Radikal bebas merupakan spesies kimiawi dengan satu elektron yang tak
berpasangan di orbit terluar. Keadaan kimiawi tersebut sangat tidak stabil dan mudah
bereaksi dengan zat kimia organik atau anorganik. Saat dibentuk di dalam sel, radikal
bebas segera menyerang dan mendegradasi asam nukleat dan berbagai molekul
membran sel. Selain itu radikal bebas menginisasi reaksi autokatalitik, sehingga
semakin memperbanyak rantai kerusakan (Mitchel dan Contran, 2008). Target utama
radikal bebas adalah protein, asam lemak tak jenuh, lipoprotein, karbohidrat, RNA, dan
DNA (Valko dkk., 2005; Winarsi, 2007). Radikal bebas terbentuk dari metabolisme
normal sel-sel tubuh, fagositosis sebagai bagian dari reaksi inflamasi, radiasi, polusi,
merokok, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang
sebenarnya bukan radikal bebas tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas, misalnya
hidrogen peroksida, ozon, dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering
disebut sebagai senyawa reaktif oksigen atau Reaktive Oxigen Species (ROS). Telah
dikenal tiga jenis ROS, yaitu superoksida (O2-), hidrogen peroksida (H2O2) dan
hidroksil (OH•) (Winarsi, 2007).
Reaktive Oxigen Species juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres
maupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses
pembentukan dan pemusnahan ROS. Sementara pada keadaan stres, pembentukan ROS
lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya sistem pertahanan tubuh
terpacu untuk bekerja keras memusnahkan ROS. Antioksidan enzimatis dan
nonenzimatis adalah sistem pertahanan yang bekerja menekan ROS yang berlebihan
(Mitchel dan Contran, 2008).
Reaktive Oxigen Species adalah produk normal dari metabolisme seluler. ROS
memiliki efek menguntungkan dan efek merugikan. Efek menguntungkan ROS terjadi
pada konsentrasi rendah hingga sedang yang merupakan proses fisiologis dalam respon
seluler terhadap bahan-bahan yang merugikan, seperti dalam pertahanan diri terhadap
infeksi, dalam sejumlah fungsi sistem sinyal seluler, dan induksi respon mitogenik
(Valko dkk., 2006). ROS dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yang berbeda,
seperti reperfusi-iskemia, aktivasi neutrofil dan makrofag, kimia Fenton, endothelial
cell xanthine oxidase, metabolisme asam lemak bebas dan prostaglandin, dan hipoksia
seperti ditunjukkan dalam Gambar 2.2 (Kohen dan Nyska, 2002; Winarsi, 2007;
Hiromichi dkk., 2008).
Gambar 2.2 Mekanisme terjadinya ROS
(Hiromichi dkk., 2008).
2.3.2 Stres oksidatif
Stres oksidatif didefinisikan sebagai gangguan keseimbangan antara produksi
radikal bebas dengan antioksidan yang menyebabkan kerusakan jaringan. Stres oksidatif
dapat diakibatkan oleh pengurangan level antioksidan dan peningkatan produksi radikal
bebas ( Winarsi, 2007).
Organisme harus menghadapi dan mengontrol adanya ROS dan antioksidan
secara terus-menerus. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal dengan nama redoks
potensial yang bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi biologis. Hal-hal yang
mempengaruhi keseimbangan ke arah manapun menimbulkan efek buruk terhadap sel
dan organisme. Perubahan keseimbangan kearah peningkatan ROS yang disebut stres
oksidatif akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Perubahan keseimbangan kearah
peningkatan kekuatan reduksi atau antioksidan juga akan menimbulkan kerusakan yang
disebut stres reduktif (Kohen dan Nyska, 2002). Stres oksidatif terjadi akibat reaksi
metabolik yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status
reaksi oksidan dan antioksidan pada makhluk hidup. ROS yang berlebihan akan
merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel
(Kovacic dan Jacintho, 2001).
2.3.3 Antioksidan
Antioksidan adalah senyawa yang dapat memberikan elektron (electron donors)
atau reduktan. Antioksidan mampu menangkal atau meredam dampak negatif radikal
bebas dalam tubuh. Antioksidan bekerja dengan cara mendonorkan satu elektronnya
kepada senyawa yang bersifat radikal bebas, sehingga aktivitas senyawa tersebut bisa
dihambat. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil tetapi mampu menginaktivasi
berkembangnya reaksi oksidasi dengan cara mencegah terbentuknya radikal bebas.
Antioksidan juga dapat menghambat reaksi oksidasi dengan mengikat radikal bebas dan
molekul yang sangat reaktif, sehingga kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007).
Berkaitan dengan reaksi oksidasi di dalam tubuh, status antioksidan merupakan
parameter penting untuk memantau kesehatan seseorang. Tubuh memiliki sistem
antioksidan untuk menangkal reaktivitas radikal bebas yang secara kontinu dibentuk
sendiri oleh tubuh. Bila jumlah ROS ini melebihi jumlah antioksidan dalam tubuh,
kelebihannya akan menyerang komponen lipid, protein, maupun DNA, sehingga
mengakibatkan kerusakan-kerusakan yang disebut stress oksidatif. Reaktivitas radikal
bebas dapat dihambat melalui 3 cara, yaitu mencegah atau menghambat pembentukan
radikal bebas baru, menginaktivasi atau menangkap radikal bebas dan memotong
propagasi (pemutusan rantai), dan memperbaiki kerusakan karena radikal bebas
(Winarsi, 2007).
Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi 2, antioksidan enzimatis dan
antioksidan nonenzimatis. Antioksidan enzimatik, misalnya SOD, katalase, dan
glutation peroksidase. Antioksidan nonenzimatik, misalnya vitamin C, E, karotenoid,
flavonoid, quinon, bilirubin, asam urat, dan lain-lain. Berdasarkan mekanisme kerjanya,
antioksidan dikelompokkan menjadi 3 kelompok, yaitu:
1. Antioksidan Primer (Endogen)
Bekerja dengan cara mencegah pembentukan radikal bebas yang baru serta
mengubah radikal bebas menjadi molekul yang tidak berbahaya. Termasuk di
dalamnya adalah SOD, glutation peroksidase dan katalase. Antioksidan primer sering
juga disebut antioksidant enzimatis.
2. Antioksidan Sekunder (Eksogen)
Berguna untuk menangkap radikal dan mencegah terjadinya reaksi berantai.
Termasuk di dalamnya adalah vitamin E (α-tokoferol), vitamin C, β karoten, asam
urat, bilirubin dan albumin.
3. Antioksidan Tersier
Berguna untuk memperbaiki kerusakan biomolekuler yang disebabkan oleh radikal
bebas. Termasuk didalamnya adalah DNA repair enzyme dan metionin sulfoksida
reduktase (Winarsi, 2007).
2.3.4 Superoksida dismutase
Superoksida dismutase merupakan enzim yang mengkatalisis radikal superoksid
menjadi hidrogen peroksida dan oksigen. Enzim yang sebenarnya telah ada dalam tubuh
tetapi memerlukan bantuan zat-zat gizi mineral, seperti mangan (Mn), seng (Zn) dan
tembaga (Cu) (Winarsi, 2007; Pavani dkk., 2012). Terdapat beberapa jenis SOD, seperti
Copper-Zinc-SOD (Cu-Zn-SOD) yang terdapat di dalam sitosol terutama di lisosom dan
nukleus, manganese-SOD (Mn-SOD) yang terdapat di dalam mitokondria, ekstraseluler
SOD (EC-SOD) dan besi-SOD (Fe-SOD) yang hanya ditemukan pada tumbuhan
(Chakraborty dkk., 2007; Cemelli dkk., 2009).
Enzim SOD terdapat dalam semua organisme aerob dan sebagian besar berada
dalam tingkat subseluler (intraseluler). Organisme aerob selalu membutuhkan oksigen
untuk hidupnya, namun dalam setiap aktivitasnya dapat menimbulkan senyawa oksigen
reaktif atau ROS. SOD merupakan enzim antioksidan pencegah, yang merupakan suatu
antioksidan metalloenzim. SOD berefek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh
pertama dalam menghadapi serangan radikal bebas. SOD adalah enzim antioksidan
intraseluler utama yang dapat digunakan untuk menetralisir aktivitas O2-. Secara umum
semua SOD, ion metal mengkatalisa dismutasi O2- melalui mekanisme oksidasi reduksi.
Superoksida dismutase menetralisir O2- menjadi oksigen dan hidrogen peroksida (H2O2).
Selanjutnya H2O2 diubah menjadi molekul air (H2O) oleh enzim katalase dan glutation
peroksidase (Winarsi, 2007):
2O2- + 2H
+ O2 + H2O2 (oleh superoksida dismutase)
2H2O2 2H2O + O2 (oleh katalase)
2GSH + H2O2 GSSG + 2H2 (oleh glutation peroksidase).
Menurut Fujiwara dkk. (1992) aktivitas SOD pada lensa mata manusia dominan
terlokalisir pada epitelial kapsul lensa, korteks bagian luar dan sedikit ditemukan pada
nukleus. Aktivitas SOD sangat penting sebagai barier fotooksidasi. SOD dan GSH
menurun secara signifikan pada lensa katarak senilis matur. SOD adalah enzim yang
mampu mencegah awal terjadinya katarak (Kisic dkk., 2012). SOD adalah antioksidan
yang amat penting bila dibandingkan dengan antioksidan enzimatik lainnya karena
merupakan pertahanan pertama dalam melawan radikal bebas (Rajkumar dkk., 2008).
Semua bentuk enzim SOD memiliki inti dan argetnya adalah kompartemen
subseluler pada ujung terminal amino. Masing-masing isoenzim SOD diatur secara
independen oleh derajat stres oksidatif pada kompartemen subselular. Aktivitas SOD
dapat dilihat dari banyaknya produk peroksidasi lipid dari setiap organel. Tingginya
aktivitas SOD dapat tergambarkan oleh rendahnya produk oksidasi lipid (Winarsi,
2007). SOD adalah salah satu biomarker yang baik untuk menilai tingkat stress oksidatif
pada katarak (Pavani dkk., 2012). Penurunan kadar SOD berimplikasi pada beberapa
kondisi dan penyakit, seperti reumatoid artritis, anemia Fanconi, infeksi saluran nafas,
katarak, dan infertil (Winarsi, 2007). Aktivitas SOD dapat diukur dengan beberapa cara,
namun sebagian besar pengukurannya dilakukan secara tidak langsung. Salah satu cara
adalah dengan menggunakan sistem yang menghasikan superoksida dan indikator.
Selanjutnya, indikator akan bereaksi dengan anion superoksida. Warna yang terbentuk
diukur dengan menggunakan spektrofotometer (Winarsi, 2007; Rajkumar dkk., 2008)
2.3.5 Stres oksidatif pada katarak senilis
Radikal bebas pada lensa dihasilkan oleh proses metabolisme sel dan dapat juga
akibat pengaruh luar, misalnya akibat radiasi. Radikal bebas terbentuk secara terus-
menerus dan akan semakin meningkat dengan bertambahnya usia. Struktur dan
komposisi biokimiawi lensa mampu menyerap sinar ultraviolet yang bersifat sitotoksis.
Keseimbangan antara ketersediaan antioksidan dan terbentuknya radikal bebas
mempunyai arti penting dalam menjaga lingkungan di dalam sel. Apabila ketersediaan
antioksidan tidak mampu menetralisir radikal bebas, akan timbul stress oksidatif yang
berujung pada kerusakan membran sel, lisosom, mitokondria, DNA, maupun serabut
lensa. Stress oksidatif diyakini merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam
terjadinya katarak (Pavani dkk., 2012).
Peroksidasi lipid membran plasma serabut lensa dianggap sebagai faktor yang
berperan timbulnya katarak. Pada proses peroksidasi lipid, bahan teroksidasi akan
mengambil atom hidrogen dari asam lemak tidak jenuh, sehingga terbentuk radikal
asam lemak dan seterusnya dengan oksigen akan terbentuk radikal peroksi lipid. Reaksi
ini dapat memperbanyak rantai, yang menyebabkan pembentukan lipid peroksida
(LOOH) serta akhirnya terjadi hasil utama pemecahan berupa MDA. Malondialdehida
dihipotesiskan mampu bereaksi silang dengan lipid membran maupun protein membran,
yang akhirnya fungsi normal membran terganggu (Cabrera dan Chihuailaf, 2011;
American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Tekanan oksigen dalam lensa relatif rendah, dengan demikian reaksi radikal
bebas mungkin tidak melibatkan molekul oksigen. Radikal bebas dapat bereaksi
langsung dengan molekul-molekul DNA dan menimbulkan kerusakan. Kerusakan
tersebut sebagian dapat diperbaiki tetapi sebagian bersifat permanen. Radikal bebas
dapat juga merusak protein maupun lipid membran sel pada korteks lensa. Kerusakan
dalam serabut lensa mengakibatkan polimerisasi dan ikatan silang antara lipid dan
protein, serta akhirnya terjadi peningkatan jumlah protein lensa yang tidak larut air
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Beberapa peneliti meyakini
perkembangan maturitas katarak senilis dipengaruhi oleh stres oksidatif (Spector, 1995;
Zoric dkk., 2008; Ates dkk., 2010). Mekanisme perbaikan dan regenerasi sebagai akibat
radikal bebas dikatakan aktif terjadi pada epitel lensa dan korteks superfisial, namun
mekanisme tersebut hampir tidak ditemukan pada korteks lensa bagian dalam dan pada
nukleus. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan pada protein lensa dan membran lipid
bersifat ireversibel (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).Lensa
mempunyai beberapa enzim yang berfungsi untuk melindungi lensa dari kerusakan
akibat radikal bebas atau oksigen. Enzim-enzim ini termasuk SOD, glutation
peroksidase dan katalase. SOD mengkatalisis superoksida (O2-) dan menghasilkan
hidrogen peroksida: 2O2-
+ 2H+
→ H2O2 + O2. Katalase dapat memecah peroksida
dengan reaksi: 2H2O2 → 2H2O + O2. Glutation peroksidase mengkatalisis reaksi: 2GSH
+ LOOH → GSSG + LOH + H2O. Glutation disulfida (GSSG) kemudian dikonversi
kembali menjadi glutation (GSH) oleh glutation reduktase dengan menggunakan
nukleotida piridin NADPH yang disediakan oleh HMP shunt sebagai agen pereduksi:
GSSG + NADPH + H+
→ 2GSH + NADP+.
Gambar 2.3 Skema aktivitas ROS dan antioksidan pada lensa
(Berthoud dan Beyer, 2009)
Oleh karena itu, SOD sangat berperan dalam mekanisme pertahanan terhadap
stres oksidatif. SOD merupakan pertahanan garis pertama dalam melawan ROS.
Vitamin E dan asam askorbat juga banyak ditemukan di dalam lensa. Kedua substansi
ini dapat bekerjasama sebagai pemecah radikal bebas dan melindungi lensa dari
kerusakan oksidatif (Rajkumar dkk., 2008; American Academy of Ophthalmology Staff,
2011-2012b). Antioksidan enzimatik, nonenzimatik, dan aktivitas sistem perbaikan
menurun pada lensa lensa dan humor akuos selama proses pada proses perkembangan
atau maturitas katarak senilis (Ozmen dkk., 2000).
Telah dilakukan beberapa penelitian yang mendukung peranan penting stres
oksidatif khususnya SOD dalam patogenesis katarak senilis. Kisic dkk. (2012)
menemukan kadar SOD lensa pada katarak senilis insipien (4,13±2,14 kU/g protein)
lebih tinggi daripada katarak senilis matur (2,14±0,91 kU/g protein). Deepa dkk. (2011)
menemukan kadar aktivitas antioksidan lensa imatur (1,320±0,208 mg/mg protein) lebih
tinggi daripada katarak senilis matur (0,820±0.085 mg/mg protein). Ohrloff dan
Hockwin (1984) menyatakan tidak menemukan aktivitas SOD lensa katarak senilis
matur (0,0 U/mg protein) sedangkan SOD pada lensa normal tanpa katarak rata-ratanya
sebesar 0,20±0,05 U/mg protein. Chang dkk. (2013) menemukan kadar serum SOD
pada pasien katarak senilis (97,26 ±13,56 U/ml) lebih rendah daripada pasien normal
tanpa katarak senilis (103,47±18,97 U/mg). Sepanjang pengetahuan peneliti, di Bali dan
bahkan di Indonesia sampai saat ini belum pernah diteliti mengenai kadar SOD lensa
pada lensa normal maupun pada lensa katarak senilis, sehingga belum ada data
mengenai kadar SOD lensa normal pada populasi normal maupun hubungan kadar
SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN
3.1 Kerangka Berpikir
Katarak senilis merupakan penyakit multifaktorial yang etiopatogenesisnya
belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang etiopatogenesis katarak senilis
yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan
ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat
timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau
menetapnya sistem pertahanan antioksidan.
Salah satu anti oksidan alami berupa enzim yang terdapat dalam tubuh adalah
SOD. SOD mempunyai efek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh pertama
terhadap serangan radikal bebas. SOD mampu mengubah radikal bebas paling reaktif
dan paling berbahaya, yaitu superoksida menjadi hidrogen peroksida. Kadar SOD
mempengaruhi progresivitas atau derajat kekeruhan lensa pada katarak senilis. Seiring
bertambahnya umur, akan terjadi gangguan atau penurunan mekanisme proteksi SOD
lensa mata, sehingga terjadi akumulasi radikal bebas yang berlebihan. Kekeruhan lensa
juga cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya umur.
Beberapa peneliti juga menduga stres oksidatif berperan dalam etiopatogenesis
katarak senilis. Kadar SOD dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor
internal, antara lain adalah umur dan genetik sedangkan yang termasuk faktor eksternal,
antara lain paparan sinar ultraviolet, penyakit sistemik kronis, merokok, penggunaan
obat anti inflamasi nonsteroid (AINS), obat kortikosteroid atau obat imunosupresan,
vitamin antioksidan, infeksi intraokular, aktivitas fisik, dan stres psikologis.
3.2 Konsep Penelitian
Berdasarkan kajian pustaka dan kerangka berpikir yang telah dikaji, selanjutnya
dapat disusun konsep penelitian sebagai berikut (Gambar 3.1):
Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
3.3 Hipotesis Penelitian
Penurunan kadar SOD lensa berhubungan dengan peningkatan derajat
kekeruhan lensa pada katarak senilis.
Kadar SOD lensa
pada masing-masing
derajat kekeruhan
lensa pada katarak
senilis
Faktor Eksternal
1. Paparan sinar
ultraviolet
2. Penyakit sistemik,
kronis
3. Merokok
4. Obat anti inflamasi
non steroid (AINS),
obat kortikosteroid
atau obat
imunosupresan
5. Vitamin antioksidan
6. Infeksi intraokular
7. Aktivitas fisik
8. Stres psikologis
Faktor Internal
1. Umur
2. Genetik
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan suatu penelitian observasional analitik dengan
pendekatan studi potong lintang (cross-sectional) (Fleiss, 1981) untuk mengetahui
hubungan antara penurunan kadar SOD lensa dengan peningkatan derajat kekeruhan
lensa pada katarak senilis.
Rancangan penelitian dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut:
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Poliklinik Mata RSUP Sanglah, Denpasar; RS Indera,
Propinsi Bali dan UPT. Laboratorium Kimia Analitik Universitas Udayana, mulai bulan
Januari 2014 sampai bulan Mei 2014.
Kadar SOD
lensa
Kekeruhan
lensa Derajat 2
Kekeruhan
lensa Derajat 3
Kekeruhan
lensa Derajat 4
Kekeruhan
lensa Derajat 5
Kadar SOD
lensa
Kadar SOD
lensa
Kadar SOD
lensa
Kadar SOD
lensa
Populasi
Samp
el
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi penelitian
Populasi target penelitian adalah semua pasien katarak senilis. Populasi
terjangkau penelitian adalah semua pasien katarak senilis yang datang berobat ke
Poliklinik Mata RSUP Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode bulan Januari 2014
sampai Mei 2014.
4.3.2 Sampel penelitian
Sampel penelitian adalah semua pasien katarak senilis yang datang berobat
Poliklinik Mata RSUP Sanglah, Denpasar dan RS Indera, Propinsi Bali periode bulan
Januari 2014 sampai Mei 2014 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.3.2.1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Penelitian
4.3.2.1.1 Kriteria inklusi
Pasien katarak senilis laki-laki atau wanita yang berumur di atas 40 tahun
dengan derajat kekeruhan lensa 2, 3, 4, dan 5 dan bersedia dioperasi.
4.3.2.1.2 Kriteria eksklusi
a. Subjek sedang menderita penyakit sistemik yang kronis, seperti diabetes melitus,
hipertensi, penyakit kardiovaskular dan penyakit keganasan.
b. Subjek sedang mendapat pengobatan antiinflamasi nonsteroid, kortikosteroid atau
obat imunosupresan lainnya dalam satu bulan terakhir.
c. Subjek sedang mengkonsumsi vitamin antioksidan (vitamin A, C, dan E) dalam
satu bulan terakhir.
d. Subjek yang merokok dalam satu bulan terakhir.
e. Subjek dengan infeksi intraokular pada segmen anterior dan atau segmen posterior
bola mata, antara lain konjungtivitis, keratitis, ulkus kornea, uveitis anterior dan
posterior.
f. Subjek dengan riwayat atau sedang mengalami kelainan pada segmen posterior
mata berupa kelainan vitreus, retinopati, ablasio retina, dan kelainan makula.
g. Subjek dengan riwayat operasi intraokular.
h. Katarak senilis dengan komplikasi berupa tekanan intraokular >21 mmHg atau
dengan glaukoma sekunder dan uveitis.
4.3.2.2 Besar sampel
Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus sebagai
berikut (Dahlan, 2009):
Zα + Zβ 2
1+ r
n = 0,5 ln + 3
1 - r
1. Tingkat kemaknaan yang dikehendaki sebesar 95%, yaitu α = 0,05 dan
dipakai Zα = 1,64
2. Power penelitian yang direncanakan sebesar 90%, yaitu β = 0,10 dan Zβ =
1.28
3. Koefisien korelasi (r) = 0,4 (dikutip dari kepustakaan Chakraborty dkk.,
2007)
1,64 + 1,28 2
1+ 0,4
n = 0,5 ln + 3
1 - 0,4
= 52 sampel (mata)
Berdasarkan hasil perhitungan dengan menggunakan rumus di atas, diperoleh besar
sampel penelitian adalah 52 subjek (mata).
4.3.2.3 Cara pemilihan sampel
Sampel dipilih dengan teknik consecutive sampling dari populasi terjangkau.
Sampel yang dipilih adalah pasien katarak senilis yang bersedia menjalani operasi
katarak small incision cataract surgery (SICS) dengan persetujuan tertulis dan
dilakukan atas indikasi visual.
4.4 Variabel Penelitian
4.4.1 Klasifikasi dan identifikasi variabel
1. Variabel bebas adalah kadar SOD lensa katarak senilis.
2. Variabel tergantung adalah derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
3. Variabel kendali adalah umur.
Gambar 4.2 Skema Hubungan antar Variabel
Variabel Bebas
Kadar SOD lensa
katarak senilis
Variabel Tergantung
Derajat kekeruhan lensa
katarak senilis
Variabel Kendali
Umur
4.4.2 Definisi operasional variabel
1. Katarak senilis adalah kekeruhan pada lensa yang terjadi pada usia di atas 40 tahun
(Gondhowiardjo dan Simanjuntak 2006; Ilyas, 2008).
2. Kadar SOD lensa pada katarak senilis adalah kadar SOD yang diperiksa dengan
metode spektrofotometer dari bahan sampel lensa dalam satuan unit/ml dan
pemeriksaan dikerjakan di Laboratorium terpusat yang sudah terakreditasi, yaitu
UPT. Laboratorium Kimia Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran.
3. Derajat kekeruhan katarak senilis adalah derajat kekeruhan katarak senilis derajat 2-
5 berdasarkan klasifikasi Buratto (Sihota dan Tandan, 2007; Ilyas, 2008):
Derajat 2 ditandai dengan nukleus yang mulai sedikit berwarna kekuningan,
visus antara 6/12 sampai 6/30, dan refleks fundus juga masih mudah
diperoleh.
Derajat 3 ditandai dengan nukleus berwarna kuning dan korteks yang
berwarna keabu-abuan, visus antara 3/60 sampai 6/30.
Derajat 4 ditandai dengan nukleus yang sudah berwarna kuning kecoklatan,
dengan usia pasien biasanya sudah lebih dari 65 tahun dan visus biasanya
antara 3/60 sampai 1/60.
Derajat 5 ditandai dengan nukleus berwarna coklat hingga kehitaman dan
visus biasanya 1/60 atau lebih jelek.
4. Umur adalah umur ditentukan dari tanggal kelahiran sampai datang ke rumah sakit
berdasarkan kartu tanda penduduk atau kartu keluarga.
5. Pendidikan adalah pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh subjek
penelitian, yang dibagi menjadi tidak sekolah, Sekolah Dasar (SD), Sekolah
Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Perguruan Tinggi.
6. Pekerjaan adalah pekerjaan utama yang ditekuni oleh subjek penelitian sekurang-
kurangnya dalam 10 tahun terakhir, antara lain petani, ibu rumah tangga (IRT),
pegawai swasta, dan pegawai negeri sipil (PNS) atau pensiunan.
4.5 Instrumen Penelitian
Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan oftalmologi, dan pengambilan sampel lensa. Untuk menegakkan diagnosis
katarak senilis dan menentukan derajat kekeruhan lensanya, digunakan lembar
pemeriksaan status oftalmologis dan lembar kuisioner penelitian, E chart atau snellen
chart, tonometri schiotz, funduskopi atau lensa 78, slit lamp, anestesi topikal (pantocain
0,5%), dan sikloplegik (mydriatil 0,5%). Spesimen lensa ditampung dengan kontener
kecil dan dimasukkan lagi ke dalam kontener yang lebih besar yang berisi es dengan
temperatur - 4˚C.
4.6 Prosedur Penelitian
4.6.1 Tahap persiapan
Sampel penelitian diseleksi di poliklinik mata RSUP Sanglah dan RS Indera
Denpasar. Wawancara dan pemeriksaan mata dilakukan oleh peneliti. Sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi diberikan penjelasan tentang maksud dan tujuan
penelitian dan kemudian menandatangani informed consent. Selanjutnya dilakukan
identifikasi tentang karakteristik sampel penelitian.
4.6.2 Pelaksanaan penelitian
Adapun urutan pelaksanaan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Anamnesis meliputi nama, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan berdasarkan lembar
kuisioner penelitian. Data kemudian dicatat dalam bentuk tabel induk
2. Diagnosis dan stadium katarak senilis
Diagnosis dan stadium katarak senilis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp dan funduskopi. Pemeriksaan
dilakukan pada kedua mata. Pertama dilakukan pemeriksaan visus dengan
menggunakan E chart atau snellen chart, kemudian dilakukan pemeriksaan tekanan
intraokular dengan tonometri schiotz dan bila hasilnya kurang dari 21 mmHg, pupil
pasien kemudian dilebarkan dengan sikloplegik (mydriatil 0,5%). Setelah pupil
lebar dilakukan pemeriksaan dengan menggunakan slit lamp untuk mengevaluasi
kelainan pada segmen anterior, dilanjutkan dengan menggunakan lensa 78D dan
funduskopi untuk mengevaluasi kelainan pada segmen posterior. Derajat kekeruhan
katarak senilis ditentukan oleh seorang dokter Spesialis Mata Divisi Korneo-lensa
(JN) berdasarkan kriteria Burrato. Sampel penelitian kemudian dibagi ke dalam 4
kelompok, yaitu kekeruhan Derajat 2, Derajat 3, Derajat 4 dan Derajat 5.
3. Pengambilan spesimen lensa
Spesimen lensa adalah bagian kapsul anterior yang diambil saat kapsulotomi
kapsul anterior lensa dan nukleus lensa manusia yang didapat melalui tindakan
operasi katarak SICS. Sampel katarak senilis dengan derajat kekeruhan 2, 3, 4 dan 5
yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, serta bersedia menandatangani
informed consent, selanjutnya dilakukan ekstraksi lensa dengan teknik SICS di IBS
RSUP Sanglah dan IBS RS Indera dengan operator dokter spesialis mata, residen
mata ataupun peneliti yang didampingi dokter spesialis mata. Spesimen lensa
tersebut, selanjutnya dimasukkan ke dalam kontainer dan ditampung dalam suatu
kontener yang lebih besar yang berisi es yang bertemperatur – 4˚C. Masing- masing
spesimen diberi label sesuai dengan nomor urut kelompok katarak senilis derajat
kekeruhan 2, 3, 4, dan 5 kemudian dikirim ke Laboratorium Analitik Universitas
Udayana di Bukit Jimbaran untuk pemeneriksaan SOD lensa.
4. Pemeriksaan SOD lensa
Di Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit Jimbaran setiap spesimen
lensa kemudian digerus dan dihomogenisasikan dengan 1 ml larutan dapar 0,1M
Tris/HCl pH 7,2 yang mengandung 154 mM NaCl dalam temperatur 4˚C.
Selanjutnya dilakukan pemusingan dengan 3000 x G selama 20 menit dalam suhu
4˚C, bagian supernaktan/larutannya dipisahkan untuk dianalisis atau kembali
dibekukan pada temperatur -20˚C. Aktivitas SOD ditentukan secara biokimia, yaitu
menggunakan kit RanSOD®. Aktivitas SOD total ditetapkan dari derajat
penghambatan pembentukan warna formazan ini diukur dengan spektofotometer
A505 nm. Reagen-reagen pada pada kit ini terdiri dari campuran substrat yang
mengandung xantin, buffer fosfat, xantin oksidase dan larutan standar untuk
membuat kurva standar.
4.7 Alur Penelitian
Untuk lebih mempermudah dalam pelaksanaan penelitian, maka dibuat alur
penelitian yang ditunjukkan dengan bagan alur penelitian (Gambar 4.3).
Gambar 4.3 Skema Alur Penelitian
Sampel Penelitian
Kriteria Inklusi
Kriteria Eksklusi
Analisis Data
Semua penderita katarak senilis Semua penderita katarak senilis yang
datang berobat ke poliklinik Mata RSUP
Sanglah dan RS Indera, Denpasar periode
bulan Januari 2014 - Mei 2014
Derajat Kekeruhan
Katarak Senilis
Informed Consent
Eligible Subject
Kadar SOD lensa
4.8 Analisis Data
Data dimasukkan ke dalam formulir penelitian kemudian direkam dalam tabel
induk. Untuk menjawab permasalahan penelitian dilakukan serangkaian tahapan analisis
data:
1. Seleksi data yaitu editing, coding dan tabulasi dimasukkan pada file navigator
program Stastical Package for The Social Sciences (SPSS).
2. Analisis statistik deskriptif
Untuk menggambarkan karakteristik umum dan distribusi berbagai variabel.
Data berskala kategorik dideskripsikan dalam bentuk frekuensi dan persentase
sedangkan untuk data berskala numerik dalam bentuk rerata dan standar deviasi.
3. Uji normalitas Shapiro-Wilk
Mengingat jumlah sampel kurang dari 30 pada masing-masing kelompok, maka
digunakan uji ini untuk menguji apakah data-data penelitian berdistribusi normal
atau tidak.
4. Analisis perbedaan
Untuk mengetahui perbedaan kadar SOD lensa pada masing-masing derajat
kekeruhan lensa, digunakan analisis uji Kruskal-Wallis karena salah satu data
tidak berdistribusi normal.
5. Hubungan antara kadar SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa dianalisis
dengan uji korelasi Spearman dan tingkat kemaknaan ditetapkan pada p < 0,05.
BAB V
HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Subjek penelitian dipilih secara konsekutif dari populasi terjangkau, yaitu pasien
katarak senilis yang datang ke RSUP Sanglah, Denpasar dan RS Indera, Propinsi Bali
selama periode 1 Januari 2014–30 April 2014. Lima puluh dua orang terkumpul yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, telah diberi informed consent, dan bersedia
mengikuti penelitian dengan menandatangani surat persetujuan. Subjek penelitian
kemudian menjalani operasi katarak teknik SICS sesuai jadwal. Kapsul anterior dan
nukleus lensa yang telah diekstraksi dikumpulkan dan diperiksa kadar SOD-nya.
Karakteristik subjek penelitian ditampilkan pada Tabel 5.1, yang meliputi jenis
kelamin, umur, pendidikan, dan pekerjaan. Subjek penelitian berjenis kelamin laki-laki
sebanyak 22 (42,3%) dan wanita sebanyak 30 (57,7%). Pada variabel umur, rerata
umur pasien 69±9,86 tahun. Pada variabel status pendidikan didapatkan tidak
bersekolah sebanyak 28,8%, Sekolah Dasar ditemukan sebanyak 57,7%, SMP sebanyak
3,85%, SMU sebanyak 5,77%, dan paling sedikit Perguruan Tinggi sebanyak 3,85%.
Pada variabel pekerjaan petani merupakan jenis pekerjaan yang paling banyak, yaitu
59,62%, disusul oleh ibu rumah tangga sebanyak 19,23%, wiraswasta sebanyak 17,31%,
dan Pegawai Negeri Sipil paling sedikit sebanyak 3,85%.
Tabel 5.1
Karakteristik Subjek Penelitian
Variabel
Deskriptif
Jenis kelamin {n (%)} Laki-laki
Wanita
Umur {(tahun)(rerata±SD)} Pendidikan {n (%)}
Tidak bersekolah
SD
SMP
SMU
Perguruan Tinggi
Pekerjaan {n (%)} Petani
Ibu rumah tangga
Wiraswasta
PNS
22 (42,3)
30 (57,7)
69,2 ± 9,9
15 (28,8)
30 (57,7)
2 (3,85)
3 (5,77)
2 (3,85)
31(59,62)
10 (19,23)
9 (17,31)
2 (3,85)
5.2 Perbedaan Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat Kekeruhan
Lensa
Tabel 5.2 terlihat bahwa derajat kekeruhan lensa pasien terbanyak adalah
Derajat 5 sebesar 36,54% dan paling sedikit Derajat 2 sebesar 17,31%. Kadar SOD
minimum didapatkan sebesar 9,062 µg/g protein dan maksimum sebesar 22,855 µg/g
protein. Rerata kadar SOD lensa pada Derajat 2 sebesar 21,147±1,603 µg/g protein,
Derajat 3 sebesar 16,653±0,991 µg/g protein, Derajat 4 sebesar 13,920±1,374 µg/g
protein dan Derajat 5 sebesar 11,668±1,496 µg/g protein. Data ini menunjukkan kadar
SOD yang paling rendah pada derajat kekeruhan lensa yang paling tinggi. Hasil analisis
perbedaan kadar SOD lensa pada masing-masing kekeruhan lensa bermakna secara
statistik (p=0,001).
Tabel 5.2
Perbedaan Kadar SOD Lensa padaMasing-Masing Derajat Kekeruhan
Lensa
Derajat
Jumlah
%
SOD (µg/g protein)
Minimal Maksimal rerata±SD
2
3
4
5
9
10
14
19
17,31
19,23
26,92
36,54
17,375
15,687
12,042
9,062
22,855
18,673
16,089
14,025
21,147±1,603
16,653±0,991
13,920±1,374
11,668±1,496
Total 52 100 9,062 22,855 14,873±3,673
Uji Kruskal-Wallis (p=0,001)
Pada Gambar 5.1 terlihat rerata kadar SOD lensa pada masing-masing derajat
kekeruhan lensa dan terdapat kecendrungan bahwa semakin tinggi derajat kekeruhan
lensa, maka kadar SOD lensanya semakin rendah.
Gambar 5.1 Grafik Rerata Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat
Kekeruhan Lensa
5.3 Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa
Hubungan kadar SOD lensa dengan derajat kekeruhan lensa dianalisis dengan uji
Spearman. Pada Tabel 5.3 ditampilkan kadar SOD lensa berkorelasi negatif dengan
derajat kekeruhan lensa. Koefisien korelasi (r) didapatkan - 0,90 dan bermakna secara
statistik (p=0,001).
Tabel 5.3
Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa pada Katarak
Senilis
Variabel Koefisien korelasi Nilai p
Kadar SOD lensa dengan
Derajat kekeruhan lensa
- 0,90 0,001*
*Uji Spearman
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1 Subjek Penelitian
Penelitian ini melibatkan 52 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi kemudian dikelompokkan menjadi katarak senilis kekeruhan lensa Derajat
2, 3, 4, dan 5. Subjek penelitian kemudian dilakukan ekstraksi lensa dengan indikasi
visual dan dilakukan pemeriksaan kadar SOD pada spesimen lensanya.
Berdasarkan umur, pada penelitian ini didapatkan rerata umur pasien katarak
senilis adalah 69,2±9,86 tahun. Penelitian di Amerika Serikat menemukan prevalensi
katarak senilis meningkat 5% pada umur 65 tahun dan 50% pada umur 70 tahun ke atas
(Beebe dkk., 2010; Goyal dkk., 2010). Di India ditemukan rerata umur pasien katarak
senilis adalah 65,8±1,7 tahun (Moyong dkk., 2012). Di Cina dilaporkan rerata umur
pasien katarak senilis adalah 61±10,3 tahun (Chang dkk., 2013). Umur merupakan
faktor risiko terpenting untuk terjadinya katarak senilis. Katarak senilis umumnya mulai
terjadi pada umur di atas 40 tahun dan terdapat kecenderungan peningkatan umur diikuti
pula dengan peningkatan maturitas atau derajat kekeruhan lensa katarak senilis (Ilyas,
2008; Kaur dkk., 2012). Lensa mata mengalami perubahan sesuai dengan peningkatan
umur. Lensa akan terjadi mekanisme kompleks yang menyebabkan perubahan formasi
serat lensa dan lensa juga akan lebih rentan mengalami stres oksidatif, sehingga
kejernihan lensa menurun dan terjadi katarak senilis (Kisic dkk., 2012; Cekic dkk.,
2010; American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Seiring bertambahnya
usia dan adanya paparan yang terus-menerus oleh agen dari luar, sehingga terjadi
akumulasi radikal bebas yang berlebihan dan akan menyebabkan gangguan mekanisme
proteksi antioksidan lensa mata (Cekic dkk., 2010; American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Pada penelitian ini didapatkan pasien laki-laki katarak senilis sebesar 42,3% dan
wanita sebesar 57,7%. Penelitian-penelitian lain yang dilakukan di berbagai negara
mendapatkan hasil yang berbeda-beda mengenai predileksi jenis kelamin pada pasien
katarak senilis. Penelitian di Amerika Serikat menemukan kelompok wanita menderita
lebih banyak katarak senilis daripada laki-laki secara signifikan (Friedman dkk., 2004).
Penelitian di Jepang menemukan ratio laki-laki dan wanita menderita katarak senilis
adalah 1: 8 dan pasien katarak senilis yang telah menjalani operasi didominasi oleh
wanita berumur di atas 65 tahun (Nishikiori dan Yamamoto, 1987). Pada penelitian ini
didapatkan pasien katarak senilis lebih banyak terjadi pada jenis kelamin wanita. Hal ini
kemungkinan disebabkan karena wanita pada umur di atas 45 tahun sudah mengalami
menopause dan telah dibuktikan bahwa wanita yang mendapatkan terapi hormon
estrogen pada masa menopause terhindar dari katarak nuklearis. Menopause adalah
salah satu faktor risiko terjadinya katarak senilis (Leske dkk., 2002). Katarak senilis
lebih banyak diderita oleh wanita karena adanya angka harapan hidup wanita yang
tinggi di beberapa negara dibandingan laki-laki (Suhardjo, 2004). Beberapa penelitian
lain melaporkan bahwa laki-laki lebih banyak menderita katarak senilis daripada wanita
(Ates dkk., 2010; Miric dkk., 2012). Hal ini kemungkinan disebabkan karena laki-laki
lebih banyak melakukan aktivitas di luar ruangan. Aktivitas di luar ruangan
dihubungkan dengan banyaknya paparan sinar ultraviolet yang dialami seseorang,
terutama di daerah tropis dengan intensitas paparan sinar matahari yang tinggi (Valero
dkk., 2007).
Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar pasien pada kelompok katarak
senilis memiliki status pendidikan Sekolah Dasar, yaitu sebesar 57,7% dan tidak
bersekolah diurutan kedua, yaitu sebesar 28,8%. Hasil ini didukung penelitian di
Singapura dan Malaysia yang menemukan katarak senilis lebih banyak ditemukan pada
pasien dengan tingkat pendidikan primer (Sekolah Dasar) atau lebih rendah, yaitu
sebesar 74,4% (Sabanayagam dkk., 2011). Penelitian di Malaysia menemukan sebagian
besar pasien katarak senilis memiliki tingkat pendidikan rendah, yaitu sebesar 63,5%
(Noran dkk., 2007). Beberapa peneliti menghubungkan tingkat pendidikan pasien
katarak senilis dengan pemahaman pasien tentang penyakitnya, pengobatan yang dicari,
higienitas, gaya hidup, status sosial ekonomi, dan yang terpenting adalah status nutrisi
(Leske dkk., 2002; Lindblad, 2008; Wu dkk. 2010). Tingkat pendidikan dapat
dihubungkan dengan kecepatan untuk memperoleh pelayanan kesehatan. Pasien dengan
tingkat pendidikan tinggi biasanya lebih cepat mencari pelayanan kesehatan, sehingga
katarak senilis lebih banyak ditemukan pada stadium yang lebih awal. Pasien dengan
tingkat pendidikan rendah sebagian besar katarak senilis ditemukan sudah dalam
stadium matur, sehingga lebih berisiko untuk terjadi komplikasi baik sebelum maupun
pada saat dilakukan tindakan pembedahan katarak (Tabin dkk., 2008; Kisic dkk., 2012).
Rendahnya asupan nutrisi seperti vitamin C, E, A, riboflavin, dan β karoten atau
terjadinya defisiensi nutrisi pada periode kehidupan dapat memicu timbulnya katarak
senilis yang lebih cepat dan juga dapat mempercepat progresivitas maturitas katarak
senilis (Nirmalan dkk., 2004; Noran dkk., 2007; Lindblad, 2008).
Pada penelitian ini didapatkan sebagian besar pekerjaan pasien adalah petani
yaitu, sebesar 59,62% pada katarak senilis. Penelitian di India menemukan 90% pasien
dengan katarak senilis bekerja di bidang pertanian oleh (Nirmalan dkk., 2004).
Beberapa peneliti berpendapat bahwa pekerjaan pokok yang nonprofesional
berhubungan dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah. Orang dengan tingkat sosial
ekonomi yang rendah lebih mudah terkena katarak (Leske dkk., 2002). Kasus katarak
senilis di Kalimantan Timur meningkat pada pasien dengan aktivitas di luar ruangan
lebih dari 5 jam perhari dalam 10 tahun terakhir (Ziaulhak, 2007). Negara tropis dengan
karakteristik intensitas paparan sinar matahari yang lebih tinggi dan aktivitas di luar
ruangan dihubungkan dengan besarnya paparan sinar ultraviolet yang dialami. Semakin
lama aktivitas di luar ruangan akan menyebabkan semakin besar paparan sinar
ultraviolet yang didapat (Katoh dkk., 2001; Valero dkk., 2007). Beberapa peneliti
menghubungkan pekerjaan dengan lamanya pasien melakukan aktivitas di luar ruangan
yang selanjutnya dihubungkan dengan lamanya paparan sinar ultraviolet yang dialami
(Valero dkk., 2007). Paparan sinar ultraviolet pada lensa akan mencetuskan reaksi
oksidatif yang menghasilkan radikal bebas berlebihan. Radikal bebas yang tidak dapat
dikompensasi oleh sistem antioksidan dalam lensa, baik secara langsung maupun tidak
langsung akan menyebabkan kerusakan komponen lensa, sehingga kejernihan lensa
menurun dan terjadi katarak (Cekic dkk., 2010; American Academy of Ophthalmology
Staff, 2011-2012a). Umur juga dikatakan memiliki pengaruh pada sensitivitas lensa
terhadap paparan sinar ultraviolet. Paparan sinar ultraviolet yang reguler selama
aktivitas pekerjaan akan dapat memicu terjadinya stres oksidatif yang dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit termasuk katarak senilis (Nirmalan dkk., 2004;
Valero dkk., 2007).
Pada penelitian ini didapatkan pasien katarak senilis yang dilakukan tindakan
pembedahan paling banyak pada Derajat 5 (36,54%) disusul Derajat 4 (26,92%),
Derajat 3(19,23%), dan Derajat 2 (17,31%). Hal ini kemungkinan disebabkan pasien
dengan Derajat 5 visusnya sangat buruk dan sangat mengganggu aktivitas sehari-
harinya, sehingga datang ke tempat pelayanan kesehatan dan bersedia untuk dioperasi.
Pasien dengan derajat kekeruhan yang lebih baik biasanya lebih memilih menunda
operasinya karena visus belum begitu mengganggu aktivitasnya. Indikasi operasi
katarak senilis yang paling utama adalah keinginan pasien untuk meningkatkan visusnya
dan keputusan untuk operasi tidak semata-mata berdasarkan tingkat visus tertentu
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Adanya kesalahan konsep
penanganan katarak di masyarakat bahwa katarak senilis baru boleh dioperasi bila telah
stadium matur, sehingga pasien yang datang minta operasi adalah pasien katarak
stadium matur yang tentunya akan meningkatkan komplikasi operasinya (Brian dan
Taylor, 2001).
6.2 Kadar SOD Lensa pada Katarak Senilis
Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa stres oksidatif berperan amat
besar dalam patogenesis katarak senilis. Stres oksidatif adalah suatu keadaan
ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan (Palmiere dan Sblendario,
2006; Winarsi, 2007). Radikal bebas akan menyebabkan kerusakan terutama pada
membran sel dan DNA. Stres oksidatif yang terjadi terus-menerus merupakan
mekanisme penting yang berpengaruh pada proses terjadinya katarak. Lensa mata
sangat sensitif terhadap stres oksidatif (Cekic dkk., 2010; American Academy of
Ophthalmology Staff, 2011-2012a). Hasil akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan
gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak
larut air (water insoluble protein), sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa
dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk., 2007; American Academy of Ophthalmology
Staff, 2011-2012a; Kisic dkk., 2012). Pengukuran stres oksidatif secara langsung
adalah sangat sulit, maka stres oksidatif dapat diukur secara tidak langsung, yaitu
dengan mengukur kadar antioksidan baik di serum, eritrosit maupun jaringan seperti
lensa (Chandrasena dkk., 2006; Kisic dkk., 2012). Selain itu stres oksidatif juga dapat
diukur dari produk yang dihasilkan stres oksidatif tersebut berupa produk degenerasi
lipid, antara lain MDA, hidrokarbon, etina dan etilen (Winarsi, 2007).
Lensa mata normal dilengkapi perlindungan dan sistem antioksidan untuk
melawan stres oksidatif. Antioksidan adalah senyawa yang mampu menangkal dampak
negatif radikal bebas. Secara umum antioksidan dikelompokkan menjadi dua, yaitu
antioksidan enzimatis dan antioksidan nonenzimatis. Antioksidan enzimatik terdiri dari
SOD, katalase, dan GPX yang bertugas mencegah atau menghambat pembentukan
radikal bebas baru. Antioksidan nonenzimatis terdiri dari vitamin C, E, karotenoid,
flavonoid, quinon, bilirubin, asam urat, dan lain-lain yang berfungsi menginaktivasi atau
menangkap dan memotong propagasi radikal bebas (Winarsi, 2007). SOD merupakan
salah satu enzim antioksidan penting yang berasal dari tubuh sendiri, berefek sangat
kuat dan merupakan pertahanan tubuh garis pertama dalam mengatasi stres oksidatif
(Rajkumar dkk., 2008). SOD adalah antioksidan pencegah yang dapat menghambat
sebelum anion superoksida menyebabkan kerusakan. Antioksidan enzimatik,
nonenzimatis, dan aktivitas sistem perbaikan menurun pada lensa lensa dan humor
akuos selama proses perkembangan atau maturitas katarak senilis (Ozmen dkk., 2000).
Penelitian ini mengukur kadar SOD lensa pasien katarak yang diekstraksi atas
indikasi visual dan didapatkan rerata kadar SOD lensa pada Derajat 2 sebesar
21,147±1,60 µg/g protein, Derajat 3 sebesar 16,653±0,99 µg/g protein, Derajat 4
sebesar 13,920±1,37 µg/g protein, dan Derajat 5 sebesar 11,668±1,50 µg/g protein.
Terdapat kecenderungan bahwa semakin tinggi derajat kekeruhan, maka semakin
rendah kadar SOD lensanya dan perbedaan kadar SOD lensa antar derajat kekeruhan
lensa yang bermakna secara statistik (p= 0,001). Hasil ini didukung oleh penelitian
Kisic dkk. (2012) di Serbia yang menemukan kadar SOD lensa pada katarak senilis
insipien (4,13±2,14 kU/g protein) lebih tinggi daripada katarak senilis matur (2,14±0,91
kU/g protein). Hasil yang hampir sama dibuktikan oleh Ohrloff dan Hockwin (1984)
yang menyatakan tidak menemukan aktivitas SOD lensa katarak senilis matur bila
dibandingkan dengan lensa tanpa katarak.
Sepanjang pengetahuan peneliti, studi tentang SOD lensa masih sedikit. Pada
penelitian ini menggunakan lensa sebagai sampel penelitian disebabkan oleh beberapa
pertimbangan. Lensa adalah jaringan sensitif terhadap keadaan stres oksidatif. Lensa
adalah jaringan yang spesifik, yaitu avaskular dan seluruh metabolismenya didukung
oleh humor akuos. Lensa terdiri dari kapsul, epitelial, korteks, dan nukleus. Kapsul
lensa anterior mempunyai lapisan epitelial yang mempunyai mampu memproduksi SOD
dan tempat pertama terjadinya stress oksidatif sebelum merusak lensa secara
keseluruhan. Bisa dikatakan bahwa lensa jaringan yang terisolir dari jaringan atau organ
tubuh lainnya. Aktivitas SOD pada lensa mata berbeda dengan organ atau jaringan
lainnya. Penelitian sebelumnya lebih banyak meneliti kadar SOD sistemik
menggunakan spesimen penelitian berupa serum, plasma, eritrosit, leukosit, epitelial
kapsul lensa, dan humor akuos. Kekurangan penelitian ini bahwa tidak bisa menilai
kadar SOD lensa pada pasien tanpa katarak, sehingga tidak dapat dibandingkan antara
kadar SOD lensa pada katarak senilis dengan kadar SOD lensa tanpa katarak. Peneliti-
peneliti yang lain dengan pertimbangan tersebut, lebih banyak meneliti kadar SOD pada
serum, plasma, eritrosit, leukosit, epitelial kapsul lensa, dan humor akuos, namun
hasilnya bervariasi.
Pada plasma pasien katarak senilis ditemukan penurunan kadar SOD disertai
penurunan kadar Zn dan peningkatan MDA (Chakraborty dkk., 2007). Pada eritrosit
didapatkan peningkatan kadar SOD yang meningkatan risiko katarak senilis tipe nuklear
(Delcourt dkk., 2003). Adanya peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada pasien katarak
senilis dibandingkan dengan pasien tanpa katarak senilis (Nourmohammadi dkk.,2001).
Tidak terdapat peningkatan aktivitas SOD eritrosit yang signifikan pada pasien katarak
senilis (Jacques dkk.,1988). Pada serum didapatkan kadar SOD dan katalase serum
pasien katarak senilis lebih rendah dibandingkan dengan orang normal dan tidak
berbeda bermakna dengan pasien katarak diabetika (Artunay dkk., 2009). Kadar serum
SOD pada pasien katarak senilis lebih rendah daripada pasien normal tanpa katarak
senilis (Chang dkk., 2013). Penurunan kadar SOD serum pada pasien katarak bila
dibandingkan dengan kontrol (Moyong dkk., 2012). Kadar SOD dan GPX serum
menurun pada pasien katarak senilis bila dibandingkan kontrol (Kaur dkk., 2012). Pada
leukosit pasien katarak senilis ditemukan peningkatan kadar SOD yang dibandingkan
dengan kontrol (Saraymen dkk., 2003). Pada humor akuos ditemukan korelasi yang
signifikan antara peningkatan aktivitas SOD dan protein total dengan tingkat keparahan
atau progresivitas katarak yang terjadi diperkirakan karena adanya kebocoran kapsul
lensa (Sawada dkk., 2009). Pada epitelial kapsul lensa katarak senilis yang disertai
sindroma pseudoekspoliasi ditemukan peningkatan kadar SOD dan peningkatan SOD
tersebut diduga merupakan suatu mekanisme kompensasi terhadap stres oksidatif
(Uçakahn dkk., 2006). Pada penelitian lain ditemukan penurunan aktivitas isoenzim
SOD pada sel epitelial lensa katarak senilis sesuai dengan peningkatan umur dan
berbeda pada tiap tipe kataraknya (Rajkumar dkk., 2008).
Radikal bebas dapat juga merusak protein maupun lipid membran sel pada
korteks lensa. Kerusakan dalam serabut lensa mengakibatkan polimerisasi dan ikatan
silang antara lipid dan protein, serta akhirnya terjadi peningkatan jumlah protein lensa
yang tidak larut air. Kerusakan tersebut sebagian dapat diperbaiki tetapi sebagian
bersifat permanen (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012a).
Beberapa peneliti meyakini perkembangan maturitas katarak senilis dipengaruhi oleh
stres oksidatif (Spector, 1995; Zoric dkk., 2008; Ates dkk., 2010). Mekanisme
perbaikan dan regenerasi sebagai akibat radikal bebas dikatakan aktif terjadi terutama
pada epitelial lensa dan korteks superfisial tetapi tidak terjadi pada nukleus. Hal inilah
yang menyebabkan kerusakan pada protein lensa dan membran lipid bersifat ireversibel
(American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-2012b).
Penurunan aktivitas SOD melawan ROS dapat disebabkan oleh penurunan
kadar vitamin E, vitamin A, dan vitamin C dalam jaringan. Beberapa faktor lingkungan
seperti nutrisi, konsumsi alkohol berlebihan, dan polusi juga berpengaruh terhadap
penurunan vitamin antioksidan tersebut (Cakraborthy dkk., 2007). Antioksidan
enzimatis dan nonenzimatis (vitamin antioksidan) bersinergi yang melindungi sel
terhadap stres oksidatif, sehingga penurunan aktivitas antioksidan nonenzimatis dapat
merangsang produksi antioksidan enzimatis (Nourmohammadi dkk., 2001).
Aktivitas SOD sangat penting sebagai barier fotooksidasi. SOD dan GSH
menurun secara signifikan pada lensa katarak senilis matur. SOD adalah enzim yang
mampu mencegah awal terjadinya katarak (Kisic dkk., 2012). SOD adalah antioksidan
yang amat penting bila dibandingkan dengan antioksidan enzimatik lainnya karena
merupakan pertahanan pertama dalam melawan radikal bebas (Rajkumar dkk., 2008).
Aktivitas SOD dapat dilihat dari banyaknya produk peroksidasi lipid dari setiap organel.
Tingginya aktivitas SOD dapat tergambarkan oleh rendahnya produk oksidasi lipid
(Winarsi, 2007). SOD adalah salah satu biomarker yang baik untuk menilai tingkat
stress oksidatif pada katarak (Pavani dkk., 2012). Aktivitas SOD dapat diukur dengan
beberapa cara, namun sebagian besar pengukurannya dilakukan secara tidak langsung.
Salah satu caranya adalah dengan menggunakan sistem yang menghasilkan superoksida
dan indikator. Selanjutnya, indikator akan bereaksi dengan anion superoksida. Warna
yang terbentuk diukur dengan menggunakan spektrofotometer (Winarsi, 2007;
Rajkumar dkk., 2008).
6.3 Hubungan antara Kadar SOD Lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa
Kejernihan lensa akan terjaga bila tetap berada dalam kondisi keseimbangan
redoks. Anti oksidan baik enzimatik dan nonenzimatik memegang peran amat vital
dalam melawan ROS endogen dan eksogen. Telah diyakini oleh banyak peneliti bahwa
ROS mampu merusak berbagai komponen sel, mengganggu fungsi fisiologis, dan
mempercepat proses penuaan. Stres oksidatif bertanggung jawab pada berbagai
penyakit, antara lain kanker, penyakit jantung dan vaskular, degenerasi saraf, degenerasi
makular, dan katarak (Artunay dkk., 2009).
Kekeruhan lensa katarak menurut kriteria Buratto dibagi menjadi 5, yaitu derajat
1, 2, 3, 4, dan 5 yang didasarkan pada kekeruhan nukleus lensa dan tajam penglihatan.
Pada penelitian ini menggunakan spesimen lensa dengan derajat kekeruhan 2, 3, 4, dan
5 karena tajam penglihatan pasien katarak terganggu pada derajat kekeruhan lensa
tersebut dan datang ke rumah sakit untuk minta pertolongan. Pemeriksaannya sederhana
tanpa alat-alat yang canggih. Bisa dengan senter pada keadaan pupil lebar. Kriteria
Burrato masih menjadi pemeriksaan standar untuk pasien katarak di RSUP Sanglah
Denpasar dan RS Indera Propinsi Bali. Kriteria Burrato juga praktis digunakan untuk
kegiatan di lapangan atau di luar rumah sakit terutama kegiatan skrining pasien katarak.
Pada studi-studi sebelumnya hanya membandingkan kadar SOD pasien katarak
senilis matur dengan imatur, pasien katarak senilis dengan pasien tanpa katarak senilis
sedangkan penelitian ini mencari hubungan atau korelasi antara kadar SOD dengan
derajat kekeruhan lensa. Penelitian ini memperoleh hasil seperti yang diharapkan, yaitu
adanya korelasi negatif yang sangat kuat (r= - 0,9) antara kadar SOD lensa dengan
derajat kekeruhan lensa yang bermakna secara statistik (p= 0,001). Hal ini membuktikan
fakta bahwa adanya penurunan aktivitas antioksidan (SOD) yang bertanggung jawab
terhadap ketidakseimbangan sistem redoks lensa yang mengarah kepada stres oksidatif
yang turut berperan dalam pembentukan katarak. Hasil ini didukung oleh penelitian
sebelumnya yang menyebutkan adanya penurunan aktivitas antioksidan pada pasien
katarak senilis bila dibandingkan dengan orang normal (Chakraborty dkk., 2007; Chang
dkk., 2013). Demikian juga terdapat perbedaan kadar antioksidan yang bermakna antara
derajat kekeruhan lensa. Semakin keruh lensa, maka kadar antioksidannya akan semakin
menurun (Kisic dkk., 2012).
Hasil yang berbeda juga didapatkan oleh beberapa penelitian sebelumnya.
Adanya peningkatan kadar SOD eritrosit dapat meningkatan risiko katarak senilis tipe
nuklear (Delcourt dkk., 2003). Penelitian di Iran menemukan peningkatan aktivitas
SOD eritrosit pada pasien katarak dibandingkan dengan pasien tanpa katarak
(Nourmohammadi dkk., 2001). Hal tersebut dapat terjadi karena adanya respon
pertahanan tubuh terhadap serangan ROS, sehingga meningkatkan aktivitas antioksidan.
Adanya kerjasama antara antioksidan enzimatis dan nonenzimatis dalam melawan ROS.
Penurunan antioksidan nonenzimatis dapat memicu peningkatan antioksidan enzimatis,
sehingga dapat meminimalkan kerusakkan yang disebabkan oleh ROS (Chandrasena
dkk., 2006).
Proses terbentuknya katarak ditandai dengan terjadinya hidrasi akibat perubahan
tekanan osmotik atau perubahan permeabilitas kapsul lensa serta denaturasi protein
yang ditandai dengan peningkatan protein tidak larut air, sehingga terjadi kekeruhan
lensa (Sihota dan Tandan, 2007). Lensa katarak mempunyai tanda karakteristik berupa
degenerasi hidrofik, denaturasi protein, nekrosis, dan gangguan susunan serabut lensa
(Vaughan dkk., 2002).
Aktivitas SOD dapat dilihat dari banyaknya produk peroksidasi lipid dari setiap
organel. Tingginya aktivitas SOD dapat tergambarkan oleh rendahnya produk
peroksidasi lipid (Winarsi, 2007). Hasil akumulasi dari stres oksidatif menyebabkan
gangguan fungsi metabolisme lensa, agregasi protein lensa, peningkatan protein tidak
larut air (water insoluble protein), sehingga menyebabkan gangguan transparansi lensa
dan terjadi katarak (El-Ghaffar dkk., 2007). Peran peroksidasi lipid dalam progresivitas
maturitas katarak senilis masih menjadi perdebatan (Kisic dkk., 2012; Miric dkk.,
2012). Komposisi lipid lensa berubah secara dramatis sesuai dengan peningkatan umur
akibat terjadinya stres oksidatif (American Academy of Ophthalmology Staff, 2011-
2012b). Proses peroksidasi lipid terjadi apabila senyawa radikal bebas bereaksi dengan
senyawa asam lemak tak jenuh ganda. Bentuk produk dari proses peroksidasi lipid ini
antara lain diena terkonjugasi, hidroperoksida dan senyawa-senyawa aldehida yang
salah satunya adalah MDA. MDA merupakan produk akhir dari peroksidasi lipid dalam
tubuh. Konsentrasi MDA yang tinggi menunjukkan adanya proses oksidasi pada
membran sel serta status antioksidan yang rendah (Winarsi, 2007; Kisic dkk., 2012).
Penurunan kadar SOD pada lensa katarak senilis disebabkan oleh beberapa hal,
yaitu secara alami dengan proses penuaan produksi SOD sudah menurun, pemakaian
SOD yang meningkat karena mengkonversikan radikal superoksida menjadi hidrogen
peroksida dan selanjutnya hidrogen peroksida sendiri akan menghambat aktivitas SOD
(Moyong dkk., 2012; Kaur dkk., 2014). Penurunan kadar SOD pada katarak senilis
mungkin juga disebabkan oleh denaturasi molekul enzim dan atau penurunan sintesis
enzim. Penurunan aktivitas SOD akan menyebabkan peningkatan konsentrasi H2O2
yang mengakibatkan pembentukan radikal hidroksil dari reaksi Fenton’s dan kemudian
akan membentuk radikal superoksida yang menginisiasi proses lipid peroksidasi di lensa
(Kisic dkk., 2012).
Penyebab yang tepat mengenai penurunan SOD pada katarak senilis belum
diketahui, kemungkinan disebabkan oleh penurunan ion logam penyusun SOD, seperti
Cu, Zn, dan Mn. Kemungkinan yang lain adalah bahwa dengan bertambahnya umur,
kerentanan sel epitelial kapsul lensa meningkat terhadap stress oksidatif sebagai akibat
penurunan densitas sel oleh nekrosis dan apoptosis. Telah dibuktikan pula bahwa
lapisan sel epitelial pasien katarak yang berumur lebih dari 50 tahun lebih tipis daripada
pasien yang lebih muda. Dengan demikian diperkirakan bahwa sel epitelial dengan
densitas yang sudah menurun gagal melawan stres oksidatif karena tidak bisa
memproduksi antioksidan enzimatik secara memadai. Namun masih belum jelas apakah
penurunan aktivitas SOD tersebut adalah murni karena proses penuaan atau suatu
kondisi patologis (Rajkumar dkk., 2008).
Peningkatan MDA serum dan penurunan SOD plasma disertai penurunan Zn
serum pada pasien katarak senilis. Penurunan SOD mungkin disebabkan oleh penurunan
mRNA yang mengkodekan enzim SOD, perubahan atau modifikasi enzim SOD karena
stres oksidatif, dan lain sebagainya. Pada proses penuaan, ROS juga bisa merangsang
produksi antioksidan enzimatik sebagai suatu respon adaptasi sel terhadap stres
oksidatif. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pasien yang berhasil beradaptasi
dengan kondisi stres oksidatif akan terbentuk SOD serum yang cukup tinggi yang
melindunginya dari katarak senilis. Sebaliknya pasien yang tidak mampu beradaptasi
akan menderita katarak dan SOD serumnya akan rendah. Kemampuan adaptasi
seseorang sangat dipengaruhi oleh genetik dan lingkungannya.
Peningkatan umur akan berpengaruh pada penurunan produksi SOD dan di lain
pihak peningkatan produksi ROS, maka semakin banyak pula SOD yang terpakai untuk
menetralkan ROS. Lensa dengan tingkat kekeruhan yang rendah mencerminkan
aktivitas SOD yang cukup tinggi, sehingga mampu menangkal ROS dan kekeruhan
lensa dapat dihambat (Kaur dkk., 2014). Peneliti lain juga mempercayai bahwa semakin
meningkatnya proses peroksidasi lipid yang ditandai dengan tingginya kadar MDA
berhubungan dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa katarak senilis (Gupta dkk.,
2003; Artunay dkk., 2009).
Paparan stres oksidatif yang khronis dikatakan pula dapat mempercepat
maturitas katarak senilis. Lensa yang keruh menunjukkan adanya stress oksidatif yang
tinggi. Semakin keruh lensa, maka semakin tinggi stres oksidatifnya (Kaur dkk., 2012;
Miric dkk., 2012). Katarak mungkin dapat dicegah atau diperlambat dengan
menghambat akumulasi peroksidasi lipid di dalam lensa dan mempertahankan level
GSH dan fungsi GPX dan GST yang adekuat (Kisic dkk., 2012). Onset dan
progresivitas katarak senilis dapat diperlambat dengan pemberian asupan antioksidan.
Masyarakat sebaiknya dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan kaya SOD, seperti
rumput gandum, brokoli, melon, kubis, dan berbagai buah-buahan segar (Kaur dkk.,
2014).
Nilai aplikatif yang bisa diambil dari penelitian ini, yaitu dengan derajat
kekeruhan lensa katarak senilis dapat digunakan untuk memperkirakan kadar SOD
lensanya meskipun belum bisa digeneralisir pada populasi. Semakin tinggi derajat
kekeruhan lensanya, maka kadar SOD lensanya semakin rendah. Stres oksidatif
berperan dalam patogenesis katarak senilis dan SOD sangat berpengaruh dalam
progresivitas atau maturitas katarak senilis. Kadar SOD harus tetap dijaga agar tetap
optimal untuk melawan ROS, sehingga stres oksidatif dapat dihambat. Adanya
keseimbangan antioksidan dan ROS, maka kerusakan sel lensa dapat dihambat dan
terjadinya katarak senilis dapat dicegah atau ditunda onsetnya. Kadar SOD lensa dapat
digunakan untuk menilai atau memperkirakan tingkat stres oksidatif di lensa, yaitu
makin tinggi kadar SOD lensa, maka akan makin rendah tingkat stres oksidatif di lensa.
Salah satu strategi dalam memperlambat onset katarak senilis adalah dengan
penggunaan antioksidan. Antioksidan dipertimbangkan pemberiannya pada pasien
berumur 40 tahun ke atas, diharapkan katarak senilis dapat dicegah atau setidaknya
memperlambat onset timbulnya katarak senilis. Beberapa peneliti mempercayai
pemberian atau asupan antioksidan diduga dapat memperlambat memperlambat onset
terjadinya katarak senilis (Artunay dkk., 2009; Kisic dkk., 2012). Konsumsi antioksidan
yang kurang juga dapat dikaitkan dengan berbagai bentuk katarak senilis (Michael dan
Bron, 2011). Pemberian antioksidan pada pasien katarak senilis sudah banyak
dipaparkan oleh peneliti. Pemberian asupan lutein/zeaxanthin dan vitamin E yang tinggi
dari makanan dan suplemen pada 35.551 orang wanita pegawai kesehatan profesional
menurunkan risiko katarak secara bermakna (Christen dkk., 2008). Pemberian vitamin
C dikombinasi dengan β karoten dan zinc dapat memberikan proteksi jangka panjang
terhadap terjadinya katarak dan juga dapat memperlambat progresivitas katarak senilis
terutama tipe nuklear. Antioksidan sendiri tidak harus selalu diperoleh dari obat-obatan.
Bahan makanan yang mengandung vitamin A, C, E, dan β karoten juga dapat bertindak
sebagai antioksidan non enzimatis, seperti buah-buahan, biji-bijian, dan kacang-
kacangan (Tan dkk., 2008). Aktivitas SOD eritrosit pada kaum pria yang diberi jus
tomat selama seminggu meningkat secara bermakna. Peningkatan SOD ini disebabkan
oleh kandungan antioksidan likopen dalam tomat dapat menghambat terjadinya reaksi
oksidasi (Bub dkk., 2000). Penemuan tersebut membuktikan bahwa aktivitas
antioksidan enzimatis sangat dipengaruhi asupan antioksidan nonenzimatis. Dalam hal
ini, penting untuk memberikan edukasi kepada pasien mengenai pola makan, status
nutrisi dan gaya hidup untuk meningkatkan asupan antioksidan yang selanjutnya dapat
memberikan proteksi terhadap stres oksidatif, sehingga nantinya dapat melindungi
tubuh dari penyakit-penyakit degeneratif termasuk katarak senilis. Pemberian
antioksidan ditujukan utamanya untuk mencegah atau menunda onset terjadinya
katarak senilis, sehingga tindakan pembedahan katarak dapat dikurangi.
Pada penelitian ini terungkap bahwa oksidatif stres berperan dalam patogenesis
katarak. SOD sebagai salah satu antioksidan yang berperan melawan oksidatif stres
yang kadarnya semakin menurun signifikan seiring dengan bertambahnya kekeruhan
lensa. Mengingat katarak senilis adalah penyakit multifaktorial, maka diperlukan
penelitian lanjutan mengenai faktor- faktor lain yang turut berpengaruh dalam
patogenesis katarak senilis. Penelitian lebih lanjut juga diperlukan untuk mengetahui
peranan antioksidan enzimatis yang lain dan antioksidan nonenzimatis dalam
patofisiologi katarak senilis. SOD selain dapat diperoleh dari makanan, dapat juga
diperoleh dari sediaan langsung berupa kapsul. Bahkan dapat dilakukan suatu
penelitian uji klinis untuk meneliti efektivitas SOD dalam mencegah katarak senilis.
Dari hasil penelitian ini dapat dinyatakan bahwa adanya penurunan kadar SOD lensa
dapat dijadikan biomarker stres oksidatif pada katarak senilis.
BAB VII
SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
penurunan kadar SOD lensa berhubungan dengan peningkatan derajat kekeruhan lensa
pada katarak senilis.
7.2 Saran
Mengingat katarak senilis adalah penyakit multifaktorial, maka diperlukan
penelitian lebih lanjut untuk mencari faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam
etiopatogenesis katarak senilis selain SOD.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012a. Lens and Cataract. United
State of America: American Academy of Ophthalmology. p. 5-74
American Academy of Ophthalmology Staff. 2011-2012b. Fundamental and Principles
of Ophthalmology. United State of America: American Academy of
Ophthalmology. p. 273-318
Artunay O., Uslu E., Unal M., Aydin S., Devranoglu K., dan Bahcecioglu H. 2009. Role
of Anti-Oxidant System and Lipid Peroxidation in the Development of Age-
Related and Diabetic Cataract. Glo Kat, 4:221-225
Ates O., Hamit H., Kocer I., Baykal O., dan Salman I.A. 2010. Oxidative DNA Damage
in Patients with Cataract. Acta Ophthalmologica, 88:891-895
Beebe D.C., Shui Y.B., dan Holekamp N.M. 2010. Biochemical Mechanism of Age-
Related Cataract. In: Levin L.A., Albert D.M. editors. Ocular Disease
Mechanisms and Management. Philadelphia: Saunders.p. 231-237
Behndig A., Svensson B., Marklund S.T., dan Karisson K. 1998. Superoxide Dismutase
in Human eye. Invest Ophthalmol Vis Sci, 39(3): 471-475
Berthoud V.M. dan Beyer E.C. 2009. Oxidative Stress, Lens Gap Junction and Cataract.
Antioxid Redox Signal, 11 (2): 339-353
Brian G. dan Taylor H. 2001. Cataract blindness challenges for 21st century. Bull of
World Health Organization, 79: 249-256
Bub A., Watzl B., Abrahamse L., Delince´ H., Adam S., Wever J., Muller H., dan
Rechkemmer G. 2000. Moderate Intervention with Carotenoid-Rich Vegetable
Products Reduces Lipid Peroxidation in Men. Journal of Nutrition, 130: 2200-
2206
Cabrera M.P. dan Chihuailaf R.H. 2011. Antioxidant and the Integrity of Ocular
Tissue. Veterinary Medicine International, 2011: 1-8
Cemelli, E., Baumgatner, A., dan Anderson, D. 2009, Antioxidant and The Commet
Assay. Mutation Research, 681: 51-67
Cekic S., Zlatanovic G., Cvetkovic T., dan Petrovic B. 2010. Oxidative Stress in
Cataractogenesis. Bosnian Journal of Basic Medical Sciences, 3: 265-269
Chakraborty I., Kunti S., Bandyopadhyay M., Dasgupta A., Chattopadhyay G.D., dan
Chakraborty S. 2007. Indian Journal of Clinical Biochemestry, 22(2): 109-113
Chandrasena L.G., Chackrewarthy S., Perera T.M., dan Silva D. 2006. Erythrocyte
Antioxidant Enzyme in Patient with Cataract. Annal of Clinical and Laboratory
Science, 36 (2): 201-204
Chang D., Zhang X., Rong S., Sha Q., Liu P., Han T., dan Pan H. 2013. Serum
Oxidative Enzyme Level and Oxidative Stress Product in Age-Related Cataract
Patients. Oxidative Medicine and Cellular Longevity, 2013: 1-7
Christen W.G., Liu S., Glynn R.J., Gaziano J. M., dan Buring J.E. 2008. Dietary
Carotinoids, Vitamin C and E, and Risk of Cataract in Women. Arch
Ophthalmol, 126(1): 102-109
Congdon N., West S.K., dan Buhrmann R.R., 200l. Prevalence of the differenttypes of
age–related cataract in an African population. Invest Ophthalmol Vis Sci 42:
2478-2482
Dahlan M.S. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel. Edisi ke-2. Jakarta:
Salemba Medika. p.17-21
Deepa K., Goud M., Nandini M., Kamoth A., Sudhir, dan Nayol B. 2011. Oxidative
Stress and Calcium Levels in Senile ang Type 2 Diabetic Cataract Patient.
Biochemistry, 2: 109-115
Delcourt C., Carriere I., Delage M., Descomps B., Cristol J.P., dan Papoz L. 2003.
Association of Cataract with Antioxidant Enzymes and Other Risk Factors.
Ophthalmology, 110: 2318-2326
Departemen Kesehatan RI. 2009. Data Penduduk Sasaran Program Pembangunan
Kesehatan 2007-2011. Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. p.
26
El-Ghaffar A.A., Aziz M.A., Mahmoud A.M., dan Al-Balkini S.M. 2007. Elevation of
Plasma Nitrate and Malondialdehyde in Patient with Age-Related cataract.
Middle East Journal of Ophthalmology, 14: 13-15
Fleiss J.L. 1981. Statistical Methods for Rates and Proportions. Second edition. New
York: John Wiley. p. 100-110
Friedman D.S., Congdon N.G., dan Kempen J.H., 2004. Prevalence of cataract and
Pseudophakia/Aphakia Among Adults in the United States. Arch Ophthalmol,
122: 487-494
Fujiwara H., Takigawa Y., Suzuki T., dan Nakata K. 1992. Superoxide dismutase
activity in cataractous lenses. Japanese Journal of Ophthalmology, 36(3): 273-
280
Gondhowiardjo T.D. dan Simanjuntak G.W.S. 2006. Panduan Manajemen Klinis
Perdami. Cetakan pertama. Jakarta: PP Perdami. p. 51-55
Goyal M.M., Vishwajeet P., Mittal R., dan Sune P. 2010. A Potential Correlation
between Systemic Oxidative Stress and Intracellular Ambiance of the Lens
Epithelia in Patients with Cataract. Journal of Clinical and Diagnostic Research,
4: 2061-2067
Gsianturi. 2004. Angka Kebutaan di Indonesia Tertinggi di Asia Tenggara. Available
from: http://www.AngkakebutaandiIndonesiatertinggidiAsia Tenggara.htm. Last
update: 15 Mei 2004
Gupta S.K., Trivedi D., Srivastava S., Joshi S., Halder N., dan Verma S.D. 2003.
Lycopene Attenuates Oxidative Stress Induced Experimental Cataract
Development: An In Vitro and In Vivo Study. Nutrition, 19: 794-799
Hiromichi, S., Yuichiro, Y., dan Berthold, K. 2008. Oxidative Stress and Antioxidants
in The Perinatal Period. In : Packer, L. and Helmut, S., editors. Oxidative Stress
and Inflammatory Mechanism in Obesity, Diabetes, and The Metabolic
Syndrome. London : CRC Press Taylor & Francis Group. p. 71-85
Ilyas S. 2008. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p. 212-
214
Jacques P.K., Chylack L.T., McGandy R.B., dan Hatz S.C. 1988. Antioxidant status in
person with and without Senile Cataract. Archive of Ophthalmology, 106(3):
337-340
Kanski J.J. 2003 Clinical Ophthalmology. 5th Edition. Windsor: Butterworth
Heinemann. p. 695-700
Katoh N., Jonasson F., Sasaki H., Kojima M., Ono M., Takahashi N., dan Sasaki K.
2001. Cortical lens Opacification in Iceland. Acta Ophthalmol Scand, 79: 154-
159
Kaur J., Kukreja S., Kaur A., Malhotra N., dan Kaur R. 2012. The Oxidative Stress in
Cataract Patiens. Journal of Clinical and Diagnostic Research, 6(10): 1629-
1632
Kaur S., Gujral U., dan Singh P. 2014. Research Article: Role of Superoxide Dismutase
in Cataract Patients. International Journal of Recent Scientific Research, 5(3):
669-672
Kisic B., Miric D., Zoric L., dan Ilic A. 2012. Role of Lipid Peroxidation in the
Pathologenesis of Age-Related Cataract. Intech, 21: 457-482
Kohen, R., dan Nyska, A. 2002. Oxidation of Biological System: Oxidative Stress
Phenomen, Antioxidants, Redox Reactions, and Methods for Their
Quantification. Toxicology Pathology. 30(6): 620-650
Kovacic P. dan Jacintho J.D. 2001. Mechanisms of Carcinogenesis: Focus On Oxidative
Stress and Electron Tranfer. Curr.Med.Chem, 8: 773-796
Lang G. 2006. Ophthalmology: A Pocket Texbook Atlas. Second Edition. Stuttgut, New
York: Thieme. p. 169-189
Leske M.C., Wu S.Y., dan Nemesure B. 2002. Risk Factors for Incidence Nuclear
Opacities. Ophthalmology, 109: 1303-1308.
Li H. 2003. Free Radical and Cataract. Free Radical in Biology and Medicine, 77(222):
1-23
Lindblad B.E. 2008. “Risk Factors for Age-Related Cataract a Prospective Cohort
Study” (thesis). Stockholm, Sweden: Karolinska Institutet
Michael R. dan Bron A.J. 2011.The ageing lens and cataract: a model of normal and
pathological ageing. Phil. Trans. R. Soc. B, 366: 1278-1292
Miric D., Kisic B., Zoric L., Dolicanin Z., Mitic R., dan Miric M. 2012. The Impact of
senile Cataract Maturity on Blood Oxidative Stress Markers and Glutathione-
Dependent Antioxidant: Relations with Lens Variables. J Med Biochem, 31:
164-92
Mitchell R.N. dan Contran R.S. 2008. Cell Injury, Cell Death, and Adaptations. In:
Kumar, Abas, Fausto, Mitchell, editors. Basic Pathology. Ed.8th
. Philadelphia:
Elsevier Saunders. p.1-30
Moyong K., Kawanpure H., Kamble P., Kaleon T., dan Padmanabha B.V. 2012. Study
on Oxidative Stress in Senile Cataract. International Journal of Health Sciences
and Research, 2(4): 8-12
Nishikiori T. dan Yamamoto K. 1987. Epidemiology of cataracts. Dev Ophthalmol,15:
24-27
Nirmalan P.K., Robin A.L., Katz J., Tielsch J.M., Thulasiraj R.D., Krisnadas R., dan
Ramakrishnan R. 2004. Risk Factors for Age Related Cataract in a Rural
Population of Southern India: The Aravind Comprehensive Eye Study. Br J
Ophthalmol, 88: 989-994
Noran N.H., Nooriah S., dan Mimiwati Z. 2007. The Association between Body Mass
Index and Age Related Cataract. Med J Malaysia, 62: 49-52
Nourmohammadi I., Gohari L., Moddares M., dan Ghayoumi-Javinani A. 2001.
Evaluation of Erythrocyte Glutation Peroxidase, Superoxide Dismutase and
Total Antioxidants in Cataract Patiens. Archives of Iran Medicine, 4(3): 123-126
Ohrloff C. dan Hockwin O.1984. Superoxide dismutase (SOD) in normal and
cataractous human lenses. Graefe’s Ach Clin Exp ophthalmol, 222: 79-81
Ozmen D., Ozmen B., Erkin E., Guner I., Habil S., dan Bayindir O. 2000. Lens
Superoxide Dismutase and Catalase Activities in Diabetic Cataract. Turkish
Journal of Endocrinology and Metaboilsm, 1: 1-4
Palmiere B. dan Sblendorio V. 2006. Oxidative Stress Detection: What For?. European
Review for Medical and Pharmacological Sciences, 10: 291-317
Pavani B.Ch., Kumar S.V., Ramarao J., Rau B.R., dan Mohanty S. 2012. Role of
Biochemical Marker for Evaluation of Oxidative Stress in Cataract. Int J Pharm
Bio Sci, 2(2): 178-184
Priyanti N.P.D.R. 2013. “Kadar Malondialdehyde Serum Pasien Katarak Senilis Matur
Lebih Tinggi daripada Katarak Senilis Imatur” (Tesis). Denpasar: Universitas
Udayana
Purushottam K. 2009. Cataract A Pilot Study. Indian J Ophthalmol, 55: 355-359
Rajkumar S., Praveen M.R., Gajjar D., Vasawada A.R., Alapure B., Patel D., dan Kapur
S. 2008. Activitas of superoxide dismutase isoenzymes in epithel cells derived from
different types of age-related cataract. J Cataract Refrat Surg, 34: 470-474
Sabanayagam C., Wang J.J., Mitchell P., Tan A.G., Tai E.S., Aung T., Saw S.M., dan
Wong T.Y. 2011. Metabolic Syndrome Components and Age-Related Cataract:
The Singapore Malay Eye Study. Invest Ophthalmol Vis Sci, 52: 2397-2404
Saraymen R., Kilic E., Yasar S., dan Cetin M. 2003. Influence sex and age on the
activity of antioxidant enzymes of polymorphonuclear leukocytes in healthy
subjects, Yosei Med J, 44: 9-14
Sawada H., Fukuchi T., dan Abe H. 2009. Oxidative stress marker in aqueous humor of
patients with senile cataracts. Curr Eye Res, 34: 36-41
Sihota R. dan Tandan R. 2007. Parson’s Diseases of The Eye. Indian: Elsevier. p. 247-
269
Spector A. 1995. Oxidative Stress-Induced Cataract: Mechanism of Action. FASEB J,
9:1173-1182
Soehardjo. 2004. “Kebutaan Katarak: Faktor-Faktor Risiko, Penanganan Klinis, dan
Pengendalian” (disertasi). Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Tabin G., Chen M., dan Espandar L. 2008. Cataract Surgery for the Developing World.
Curr Opin Ophthalmol, 19: 55-59
Tan A.G., Mitchell P., Flood V.M., Burlutsky G., Rochtchina E., Cumming R.G., dan
Wang J.J. 2008. Antioxidant nutrient intake and the long-term incidence of age-
related cataract: the Blue Mountains Eye Study. Am J Clin Nutr, 87: 1899-1904
Taylor H. 2000. Cataract: How much surgery do we have to do?. Br J Ophthalmol, 84:
1-2
Uçakahn O.O., Karel F., Kanpolat A., Devrim E., dan Durak I. 2006. Superoxide
dismutase activity in lens capsule of patients with pseudoexpoliation syndrome
and cataract. J Cataract Refract Surg, 22: 618-622
Valko, M., Rhodes,C.J., Moncol, J., Izakovic, M., dan Mazur, M. 2005. Free Radicals,
Metals and Antioxidant in Oxidative Stress-Induced Cancer, Chem. Biol.
Interact, 160: 1-40.
Valero M.P., Fletcher A.E., Stavola B.L., dan Alepúz V.C. 2007. Years of Sunlight
Exposure and Cataract: a Case-Control Study in a Mediterranean population.
BMC Ophthalmology, 7: 1-8
Vaughan D., Asbury T., dan Riordan-Eva P. 2002. General Ophthalmology. 14th
Edition. London: Pretice Hall Inc. p. 169-178
Vavvas D., Azar N.F., dan Azar D.T. 2002. Mechanism of disease: cataracts.
Ophthamol Clin N Am, 15: 49-60
Vinson J.A. 2006. Review: Oxidative stress in cataract. Pathophysiology, 13: 151-162
Virgolici B., Stoian I., Muskurel C., Maracine M., Popescu L., Moraru C., dan Dinu V.
2009. Systemic Redox Modification in Senile Cataract. Rom J Intern Med,
47(3): 279-287
William D.L. 2006. Oxidation, Antioxidants and Cataract Formation: A Literature
Review. Veterinary Ophthalmology, 9 (5): 292-298
Winarsi H. 2007. Antioksidan alami dan radikal bebas. Cetakan ke-2. Yogyakarta:
Kanisnus. p. 11-121
Wu R., Wang J.J., Mitchell P., Lamoureux E.L., Zheng Y., Rochtchina E., Tan A.G.,
dan Wong T.Y. 2010. Smoking, Sosioeconomic Factors, and Age-related
Cataract. Arch Ophthalmol, 128 (8): 1029-1035
Ziaulhak S.R. 2007. “Profil Penderita Katarak dan Pterigium di Kalimantan Timur
Analisis Faktor Resiko Paparan Sinar Ultraviolet” (tesis). Jakarta: Universitas
Indonesia
Zoric L., Elek-Vlajic S., Jovanovic M., Kisic B., Djokic O., Canadanovic V., Cosic V.,
dan Jaksic V. 2008. Oxidative stress intensity in lens and aqueous depending on
age-related cataract type and brunescense. European Journal of Ophthalmology,
18(5): 669-674
Lampiran 4. Penjelasan Penelitian
INFORMASI YANG DIBERIKAN KEPADA SUBYEK PENELITIAN
Penurunan Kadar Superoksida Dismutase Lensa Berhubungan dengan
Peningkatan Derajat Kekeruhan Lensa pada Katarak Senilis
Bapak dan ibu Yth,
Katarak senilis merupakan penyakit multifaktorial yang etiopatogenesisnya
belum diketahui secara pasti. Salah satu teori tentang etiopatogenesis katarak senilis
yang banyak berkembang adalah stres oksidatif. Stres oksidatif adalah suatu keadaan
ketidakseimbangan antara radikal bebas dengan antioksidan. Stres oksidatif dapat
timbul apabila pembentukan radikal bebas terjadi berlebihan disertai berkurang atau
menetapnya sistem pertahanan antioksidan. Seiring bertambahnya usia, akan
menyebabkan gangguan mekanisme proteksi antioksidan lensa mata sehingga terjadi
akumulasi radikal bebas yang berlebihan.
Salah satu anti oksidan alami berupa enzim yang terdapat dalam tubuh adalah SOD.
SOD mempunyai efek sangat kuat dan merupakan pertahanan tubuh pertama terhadap
serangan radikal bebas. SOD mampu mengubah radikal bebas paling reaktif dan paling
berbahaya, yaitu superoksida menjadi ion-ion tidak berbahaya. Kadar SOD lensa diduga
berhubungan erat dengan derajat kekeruhan lensa katarak senilis.
Kami akan melakukan penelitian apakah penurunan kadar SOD lensa berhubungan
dengan derajat kekeruhan lensa pada pasien katarak senilis. Bila Bapak/Ibu bersedia
menjadi sampel penelitian, kami akan mengambil lensa Bapak/Ibu yang telah dioperasi
untuk diperiksa kadar SOD-nya di Laboratorium Analitik Universitas Udayana di Bukit
Jimbaran. Biaya yang diperlukan untuk pemeriksaan akan ditanggung oleh peneliti. Jika
hasil pemeriksaan (kadar SOD) telah diketahui, maka hasil pemeriksaan tersebut akan
kami sampaikan kepada Bapak/Ibu. Hasil pemeriksaan akan dianalisis sesuai dengan
tujuan penelitian seperti yang dimaksud diatas. Dengan ikut serta dalam penelitian ini,
berarti Bapak/Ibu ikut berperan serta dalam pengembangan ilmu pengetahuan
khususnya etiopatogenesis dan perkembangan maturitas katarak senilis. Data mengenai
Bapak/Ibu akan kami rahasiakan.
Demikian penjelasan ini kami sampaikan, dan atas kesediaan Bapak/Ibu ikut serta
menjadi sampel atau koresponden dalam penelitian ini, kami sampaikan banyak terima
kasih. Bila ada hal-hal yang belum jelas, Bapak/Ibu dapat menghubungi peneliti dr. I
Putu Rustama Putra di nomor HP 08124611358.
Peneliti,
dr. I Putu Rustama Putra
Lampiran 5. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama :
Umur :
Alamat :
Telepon :
Setelah mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai maksud, tujuan dan manfaat
penelitian ini, maka menyatakan setuju dan bersedia ikut serta dalam penelitian ini.
Saya bersedia mentaati semua peraturan yang diberikan. Saya mempunyai hak untuk
mengundurkan diri dari penelitian ini bila saya menginginkan dan tidak akan merusak
hubungan dokter-pasien dengan saya.
Denpasar, ............................. 2013
Tanda tangan pasien Peneliti,
..................................... dr. I Putu Rustama Putra
Saksi
....................................
Lampiran 6. Kuisioner Penelitian
1. No Sampel :
2. No CM :
3. Tgl pemeriksaan :
4. Nama :
5. Umur :
6. Jenis Kelamin :
7. Pekerjaan :
8. Pendidikan :
9. Alamat :
( Tlp / HP: )
10. Riwayat merokok : merokok / tidak; jumlah ...... ; lama .......
11. Riwayat penyakit lain :
a. DM : Ada / tidak; lama ......
b. Hipertensi : Ada / tidak; lama ......
c. Jantung : Ada / tidak
d. Keganasan : Ada / tidak; jenis .......
12. Riwayat terapi :
a. AISN : Ada / tidak; lama ......
b. Kortikosteroid : Ada / tidak; lama ......
c. Imunosupresan : Ada / tidak; lama ......
d. Antioksidan (vitamin A & E) : Ada / tidak; lama ......
13. Vital sign : TD: ............ mmHg; N: ........ X/mnt; R: ........ X/mnt;
t: .........°C
14. Status General :
15. Status oftalmologi
OD OS
Derajat.........................
VA
PH
Palpebra
Konjungtiva
Kornea
COA
Iris/Pupil
Lensa
Vitreus
Fundus
Derajat......................
16. Diagnosis :
17. Kadar SOD :
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS UDAYANA
UPT. LAB. ANALITIK
Kampus Bukit Jimbaran, Telp. 0361701954, HP.082341777050
Nomor
Hal
: 091/UN14.24/UPTLA/2014
: Hasil Laboratorium
No. Pasien Identitas Derajat
Kekeruhan Lensa SOD (g/g
protein)
1 MTD 2 21,354
2 IWP 2 20,644
3 NNB 2 21,047
4 IWK 2 20,946
5 NKB 2 21,805
6 KTR 2 22,706
7 GNN 2 21,591
8 IKB 2 22,855
9 NWB 2 17,375
10 IWN 3 18,673
11 IKL 3 17,807
12 NKL 3 16,772
13 NKK 3 17,064
14 IWC 3 16,072
15 NWS 3 15,806
16 NNT 3 15,771
17 WYA 3 15,687
18 NKR 3 16,877
19 WCT 3 15,997
20 GMA 4 16,089
21 IWP 4 14,993
22 IKR 4 15,876
23 IKW 4 14,952
24 NWS 4 14,081
25 NNS 4 14,556
26 INS 4 14,883
27 NWN 4 13,775
28 DWK 4 13,681
KEPADA YTH:
dr. I P. Rustama Putra
di tempat
29 MDK 4 12,906
30 GPY 4 12,881
31 IBK 4 12,094
32 IKS 4 12,074
33 IWM 4 12,042
34 NMT 5 13,768
35 KTS 5 14,025
36 SGR 5 12,869
37 NKD 5 11,973
38 NKP 5 12,806
39 INW 5 12,861
40 IKM 5 13,082
41 NWY 5 12,684
42 NNY 5 10,061
43 IKL 5 11,899
44 NSG 5 12,864
45 KST 5 11,841
46 NWR 5 10,662
47 WTJ 5 10,839
48 IMO 5 9,062
49 MRD 5 10,178
50 NMT 5 9,857
51 NKM 5 10,687
52 SKS 5 9,671
Bukit Jimbaran, 10 April 2014
Kepala UPT Laboratorium Kimia Analitik Unud
(Prof.Dr. Ir. Ida Bagus Putra Manuaba, MPhil)
Lampiran 8.
TABEL INDUK PENELITIAN
NO NAMA UMUR
JENIS
KELAMIN PENDIDIKAN PEKERJAAN DERAJAT
KEKERUHAN LENSA
KADAR SOD
1 NMT 62 W SD PETANI 5 13,678
2 GMA 68 W TIDAK WIRASWASTA 4 16,089
3 IWN 72 L SD PETANI 3 18,673
4 NWB 66 W TIDAK PETANI 2 17,375
5 IKR 71 L TIDAK PETANI 4 15,876
6 KTS 58 W SD PETANI 5 14,025
7 IKL 82 L TIDAK PETANI 3 17,807
8 MTD 72 L PT PNS 2 21,354
9 SGR 72 W SD IRT 5 12,869
10 NKD 82 W TIDAK PETANI 5 11,973
11 IWP 67 L SMP PETANI 4 14,993
12 NKP 60 W SD IRT 5 12,806
13 IKW 83 L SD PETANI 4 14,952
14 IWP 41 L SMU WIRASWASTA 2 20,644
15 NWS 64 W SD PETANI 4 14,081
16 NKL 67 W SMU WIRASWASTA 3 16,772
17 NKK 75 W SD IRT 3 17,064
18 NNS 54 W SD WIRASWASTA 4 14,556
19 NNB 63 W SD WIRASWASTA 2 21,047
20 INS 77 L SD WIRASWASTA 4 14,883
21 IWK 74 L SD PETANI 2 20,946
22 INW 75 W TIDAK PETANI 5 12,861
23 IKM 63 W SD IRT 5 13,082
24 IWC 69 L SD PETANI 3 16,072
25 NWS 57 W SD WIRASWASTA 3 15,806
26 NWN 69 W TIDAK IRT 4 13,775
27 NWY 65 W TIDAK PETANI 5 12,684
28 NNT 64 W SD PETANI 3 15,771
29 NKB 71 W SD IRT 2 21,805
30 NNY 79 W TIDAK PETANI 5 10,061
31 IKL 61 L SMP PETANI 5 11,899
32 NSG 90 L TIDAK PETANI 5 12,864
33 KST 88 W TIDAK PETANI 5 11,841
34 DWK 79 W PT PNS 4 13,681
35 MDK 78 W SMU IRT 4 12,906
36 NWR 67 W TIDAK PETANI 5 10,662
37 WTJ 85 L TIDAK PETANI 5 10,839
38 GPY 89 L SD PETANI 4 12,881
39 WYA 70 W TIDAK IRT 3 15,687
40 IBK 53 L SD WIRASWASTA 4 12,094
41 KTR 57 L SD PETANI 2 22,706
42 GNN 76 L SD PETANI 2 21,591
43 IMO 57 L SD PETANI 5 9,062
44 MRD 64 W SD WIRASWASTA 5 10,178
45 NMT 62 W SD PETANI 5 9,867
46 NKM 63 W SD IRT 5 10,687
47 IKS 71 L TIDAK PETANI 4 12,074
48 NKR 61 W SD IRT 3 16,877
49 WCT 69 L SD PETANI 3 15,997
50 IKB 67 L SD PETANI 2 22,855
51 IWM 78 L SD PETANI 4 12,042
52 SKS 70 W SD PETANI 5 9,671
Lampiran 9. OUT PUT SPSS
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid laki-laki 22 42.3 42.3 42.3
wanita 30 57.7 57.7 100.0
Total 52 100.0 100.0
Umur
N Valid 52
Missing 0
Mean 69.1731
Std. Error of Mean 1.36668
Median 69.0000
Mode 67.00
Std. Deviation 9.85527
Variance 97.126
Skewness -.038
Std. Error of Skewness .330
Kurtosis .375
Std. Error of Kurtosis .650
Range 49.00
Minimum 41.00
Maximum 90.00
Pendidikan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Tidak Bersekolah 15 28.8 28.8 28.8
SD 30 57.7 57.7 86.5
SMP 2 3.8 3.8 90.4
SMU 3 5.8 5.8 96.2
Perguruan Tinggi 2 3.8 3.8 100.0
Total 52 100.0 100.0
Pekerjaan
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Petani 31 59.6 59.6 59.6
Ibu Rumah Tangga 10 19.2 19.2 78.8
Wiraswasta 9 17.3 17.3 96.2
PNS 2 3.8 3.8 100.0
Total 52 100.0 100.0
Derajat Kekeruhan Lensa
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid 2 9 17.3 17.3 17.3
3 10 19.2 19.2 36.5
4 14 26.9 26.9 63.5
5 19 36.5 36.5 100.0
Total 52 100.0 100.0
Kadar SOD Lensa pada Masing-Masing Derajat Kekeruhan Lensa
Derajat Statistic Std. Error
sod 2 Mean 21.14700 .534271
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 19.91497
Upper Bound 22.37903
5% Trimmed Mean 21.26167
Median 21.35400
Variance 2.569
Std. Deviation 1.602813
Minimum 17.375
Maximum 22.855
Range 5.480
Interquartile Range 1.460
Skewness -1.743 .717
Kurtosis 4.242 1.400
3 Mean 16.65260 .313435
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 15.94356
Upper Bound 17.36164
5% Trimmed Mean 16.59400
Median 16.42200
Variance .982
Std. Deviation .991170
Minimum 15.687
Maximum 18.673
Range 2.986
Interquartile Range 1.452
Skewness 1.027 .687
Kurtosis .354 1.334
4 Mean 13.92021 .367344
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 13.12662
Upper Bound 14.71381
5% Trimmed Mean 13.90407
Median 13.92800
Variance 1.889
Std. Deviation 1.374475
Minimum 12.042
Maximum 16.089
Range 4.047
Interquartile Range 2.278
Skewness .000 .597
Kurtosis -1.178 1.154
5 Mean 11.66784 .343220
95% Confidence Interval for
Mean
Lower Bound 10.94676
Upper Bound 12.38892
5% Trimmed Mean 11.68166
Median 11.89900
Variance 2.238
Std. Deviation 1.496063
Minimum 9.062
Maximum 14.025
Range 4.963
Interquartile Range 2.686
Skewness -.161 .524
Kurtosis -1.249 1.014
Tests of Normality
derajat
Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk
Statistic df Sig. Statistic df Sig.
sod 2 .266 9 .066 .825 9 .039
3 .221 10 .182 .880 10 .129
4 .127 14 .200* .934 14 .345
5 .173 19 .139 .939 19 .249
a. Lilliefors Significance Correction
*. This is a lower bound of the true significance.
Ranks
derajat N Mean Rank
sod 2 9 47.78
3 10 37.90
4 14 24.71
5 19 11.74
Total 52
Test Statisticsa,b
sod
Chi-Square 41.626
df 3
Asymp. Sig. .000
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable:
derajat
Hubungan Kadar SOD lensa dengan Derajat Kekeruhan Lensa
(Uji Spearman)
Correlations
derajat sod
Spearman's rho Derajat Correlation Coefficient 1.000 -.900**
Sig. (2-tailed) . .000
N 52 52
Sod Correlation Coefficient -.900** 1.000
Sig. (2-tailed) .000 .
N 52 52
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).