Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

23
Edisi Cetak Lepas Versi Digital Ketahanan Toleransi Orang Jawa: Studi tentang Yogyakarta Kontemporer Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2, Juli 2010: 15-36 Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI. MASYARAKAT Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] Website: www.labsosio.org Untuk mengutip artikel ini: Putro, Zaenal Abidin Eko. 2010. “Ketahanan Toleransi Orang Jawa: Studi tentang Yogyakarta Kontemporer.”MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2, Juli: 15-36.

Transcript of Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

Page 1: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

Edisi Cetak Lepas Versi Digital

Ketahanan Toleransi Orang Jawa: Studi tentang Yogyakarta Kontemporer

Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro

Sumber: MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2, Juli 2010: 15-36

Dipublikasikan oleh: Pusat Kajian Sosiologi, LabSosio FISIP-UI.

MASYARAKAT Jurnal Sosiologi diterbitkan oleh LabSosio, Pusat Kajian Sosiologi Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia. Jurnal ini menjadi media informasi dan komunikasi dalam rangka pengembangan sosiologi di Indonesia. Redaksi MASYARAKAT mengundang para sosiolog, peminat sosiologi dan para mahasiswa sosiologi untuk berdiskusi dan menulis secara bebas dan kreatif demi pengembangan sosiologi di Indonesia. Email: [email protected] Website: www.labsosio.org

Untuk mengutip artikel ini: Putro, Zaenal Abidin Eko. 2010. “Ketahanan Toleransi Orang Jawa: Studi

tentang Yogyakarta Kontemporer.”MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi, Vol. 15, No. 2, Juli: 15-36.

Page 2: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

Ketahanan Toleransi Orang Jawa:1 Studi tentang Yogyakarta Kontemporer

Z a e n a l A b i d i n E k o P u t r o

Associate LabSosio UI Email: [email protected]

Abstract

This paper aims to elaborate the tolerance discourse in Yogyakarta through restricted research pertaining that issue within the society of Yogyakarta. Since the beginning, the society of Yogyakarta has been practiced brotherhood, fraternity and tolerance in many ways. In early 1990s, however, some Islamist group has been growing at the city in which a number of Islamic schools and hospitals were built in some area in Yogyakarta. Religious mass organizations that have existed previously, for instance Muhammadiyah, in some cases, distressed by Islamist group movements. The organizations seem to be victimized by the militants and they were vulnerable from recent renewing Islamism in global context. Surprisingly, in society itself, a number of local wisdom that has to do with tolerance discourse still spreads enormously. It’s dealt with verbal speech (pitutur) generating from predecessor to successor inhabitant, from Mataram Kingdom to recently, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Keywords: tolerancy, vulnerable, material culture, behavioral culture, identional culture

1 Diolah kembali dari laporan hasil penelitian “Toleransi dan Kerentanan di Yogyakarta”, Pusat Kajian Sosiologi (LabSosio) FISIP UI dan Respect (2008).

Page 3: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

16 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Yogyakarta,2 yang terlanjur terkenal dengan sebutan Kota Pelajar, sekarang mencoba mengganti imej dengan jargon the city of tolerance. Boleh jadi hal ini hanyalah terobosan baru yang muncul kesekian kalinya setelah mencuatnya jargon-jargon yang mengiringinya, atau tepatnya “menjual” Yogyakarta yang pernah ada.3

Akan tetapi juga tidak dapat disepelekan barangkali Yogyakarta memang kota yang toleran sebagaimana terekam dalam judul film dokumenter di atas. Namun rasanya terlalu gegabah jika hanya menurutkan pandangan sebagian masyarakat yang terekam dalam film dokumenter tersebut. Tentu saja masih memungkinkan penggalian dan pengamatan langsung atas pesan dari film tersebut, dengan sedikit melakukan riset kualitatif tentang gagasan toleransi. Pertanyaan dasarnya adalah toleransi seperti apakah yang muncul dan bertahan, serta siasat-siasat apa yang diperlukan dalam melestarikannya? Tulisan ini berangkat dari upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut.

TOLER A NSI DA N POL A R EL A SI M A SYA R A K AT JAWA

Peradaban dalam pengamatan dewasa ini mempunyai ekspektasi bahwa manusia zaman ini memiliki toleransi terhadap gagasan dan perilaku yang berbeda dari dirinya, dengan asumsi bahwa setiap orang, baik laki-laki maupun perempuan, melekat dalam

2 Yogyakarta adalah nama pendek dari Ngayogyakarta Hadiningrat. Ia juga dikenal sebagai nama kota Arjuna, pahlawan dalam Mahabharata (Woodward 1999:20). Sumber lain yang dituturkan secara lisan menyebutkan, Yogyakarta berakar dari kata Ayodya, ibukota kerajaan Rama di Babad Ramayana. Akar kata yang sama menurut informasi Darwis Khudori, dosen Sejarah Asia Tenggara di Universitas Le Havre, Prancis ini, juga mendasari penamaan Bangkok, Ibu Kota Kerajaan Thailand (wawancara melalui email, 26 Mei 2008). Kata Yogyakara pada saat penelitian ini juga masih dipakai dalam sebutan resmi pemerintahan. Papan nama-papan nama institusi pemerintah masih menggunakan nama Yogyakarta. Adapun sebutan Jogja hanya dipakai untuk istilah sehari-hari, tepatnya yang paling sering diungkap oleh para informan dalam penelitian ini. Ada pula yang memakai Jogjakarta, seperti kalangan LSM. Walhi memakai DI Jogjakarta dalam situsnya, http://walhi-jogja.or.id/index.php?option=com_content&task =view&id=49&Itemid=36, sementara kalangan kampus seperti Universitas Gadjah Mada (UGM) masih memakai Yogyakarta (http://www.ugm.ac.id/content.php?page=0). Berbeda dengan sebutan dalam pembicaraan atau obrolan sehari-hari, para informan sering mengucapkan Jogja, atau bahkan “Yoja” saja. Demi kepentingan konsistensi dalam paper ini, penggunaan Yogyakarta lebih diutamakan. 3 Jargon yang muncul sebelumnya misalnya Jogja: Never Ending Asia, yogyakarta Berhati Nyaman dan sebagainya.

Page 4: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 17

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

dirinya berbagai gagasan dan kepada mereka diperbolehkan untuk hidup dengan cara mereka sendiri. Tumbuhnya apa yang lantas dengan gampang dinyatakan multikulturalisme ini bukan hanya memungkinkan orang untuk memiliki banyak ragam pilihan disertai kebebasan, namun juga memperkaya masyarakat dengan dukungan keragamannya (Roshwald 2008:25).

Pesatnya teknologi di bidang informasi semakin memperlebar fakta keragaman yang dapat dikecap masyarakat zaman ini. Keragaman yang mengapung memaksa masyarakat untuk menyikapinya secara dewasa. Tanpa dukungan sikap toleransi, kedewasaan cara pandang terhadap keragaman itu bukan mustahil akan bermasalah di kemudian hari.

Dalam perbincangan ilmiah, toleransi seperti dituangkan pembela klasiknya, John Stuart Mill dalam esainya, On Liberty, dipahami sebagai upaya mengekspresikan gagasan dan tindakan individu. Mill dalam esainya itu yakin, toleransi seharusnyalah (ought to) dijalankan dalam dua bidang tersebut. Mill menganjurkan berpendapat sebagai kebebasan universal. Tindakan manusia yang telah matang dan dewasa semestinya diberikan kebebasan, sejauh tindakan tersebut tidak mengganggu atau merusak kebaikan orang lain dan juga masyarakat secara umum (Roshwald 2008:26). Sebagai tandemnya, pluralisme, tidak lebih merupakan konsekuensi dari praktik toleransi. Jika masyarakat bertoleransi terhadap perbedaan pendapat dan tindakan, hasilnya adalah pendapat dan tindakan itu akan beragam (Roshwald 2008:27).

Konteks masyarakat yang dikritik Mill adalah Eropa Abad Pertengahan yang sangat feodal. Kemajuan ekonomi seperti pada masyarakat Italia Utara abad 18 menandai berakhirnya Abad Pertengahan (Kuntowijoyo 2005:21). Berakhirnya feodalisme Abad Pertengahan ini ditandai pula dengan perubahan di bidang pemikiran. Apabila kalangan pemikir pada Abad Pertengahan mendapatkan patron pada gereja atau bangsawan, hingga seluruh hasil pemikirannya bersifat pelayanan pada kehidupan gereja dan sekitar istana-istana, kegiatan intelektual dan kesenian pada jaman Renaissance didukung oleh keluarga-keluarga kaya (Kuntowijoyo 2005:22).

Sama halnya kritik yang dilayangkan terhadap Eropa zaman feodal yang menimbulkan benih-benih pemikiran humanisme dan renaissance, relasi yang terpampang pada masyarakat Jawa, setidaknya

Page 5: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

18 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

pada jaman Mataram, digambarkan sebagai relasi feodal. Mataram sering disebut sebagai kerajaan feodal, dan masyarakatnya tersusun berdasarkan pemilikan luas tanah. Pemilik tanah luas itu adalah raja (maharaja atau kaisar). Karena tanah miliknya begitu luas, tidaklah mungkin baginya untuk mengelola sendiri tanah miliknya. Raja harus mau membagi-bagikan tanahnya itu kepada orang lain, yang dapat diperintah dalam ikatan feodal (dengan kontrak feodal). Dengan ini, penguasa atasan atau tuan feodal, membagikan (memberikan) sebagian tanah miliknya kepada raja atau penguasa bawahan yang di Indonesia disebut bupati, sedang di Eropa disebut vassal. Sebagai imbalannya raja bawahan memberikan kesetiaan kepada raja atasan, antara lain dalam bentuk pasukan dan upeti. Kalau raja atasan melakukan gerakan ekspansi, maka raja bawahan dengan pasukannya mengikuti. Untuk mengerjakan tanah, raja bawahan menyewakan tanah itu kepada para petani, di Indonesia (Jawa) dapat diserahkan kepada lurah atau bekel (Moeljanto 2001:xii-xiii). Kehidupan raja menjadi anutan bagi para pembesar kerajaan. Para bangsawan, bupati dan lurah meniru bangunan keraton (joglo), meski dalam ukuran yang lebih kecil ketimbang keraton. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kabupaten replika keraton, kelurahan replika kabupaten (Moeljanto 2001:xii-xiii).

Dapat dibayangkan, pola relasi masyarakat Jawa (Mataram) sesungguhnya cukup sulit dikatakan telah menumbuhkan benih-benih toleransi. Artinya, narasi besarnya telah dikuasai raja dan keraton yang bersifat feodal dan dipenuhi dengan nuansa konflik, sehingga hampir sulit ditemukan narasi kecil di luar konflik dan persaingan yang berakar dari kehidupan di luar keraton. Malah sebaliknya, yang terjadi justru peniruan secara mentah-mentah kehidupan dan gaya hidup keraton oleh kelompok masyarakat di luar keraton.

BUDAYA M ATER I A L , PER IL A K U DA N G AG A SA N K H A S YOGYA K A RTA

Kemunculan Yogyakarta, mengacu narasi di atas, ternyata juga dilandasi konflik keraton. Yogyakarta baru menjadi bermakna jika disandingkan dengan “lawannya” yang juga sekaligus pasangannya, yaitu Surakarta, sebagai akibat palihan nagari, ketika kerajaan Mataram didera konflik berkepanjangan di antara pewaris tahta

Page 6: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 19

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

kerajaan. “Yogyakarta” kemudian menjadi nama dari separoh wilayah kerajaan yang berada di bagian barat (Putra 2005:76).

Untuk melihat Yogyakarta, meminjam Koentjaraningrat, Putra (2005:77-78) berangkat dari kebudayaan sebagai perangkat simbol yang mempunyai tiga wujud, yaitu budaya material (material culture), budaya perilaku (behavioral culture) dan budaya gagasan (identional culture). Pada budaya material, di Yogyakarta terhampar begitu luas. Misalnya, kawasan Jalan Malioboro dan Mangkubumi yang khas. Tidak ada tempat lain di muka bumi ini yang sama dengan poros Malioboro-Mangkubumi dengan segala pernak-perniknya. Selain itu juga masih ada tugu putih yang berdiri kokoh di Jalan Mangkubumi. Lay out kota Yogyakarta dengan inti poros Gunung Merapi, Keraton dan Segara Kidul (Laut Selatan) berbeda dengan lay out kota lain di Pulau Jawa, bahkan di belahan dunia lainnya. Selain itu, unsur budaya material lainnya masih ada, misalnya surjan dan blangkon khas Yogyakarta. Untuk surjan sendiri masih diragukan, tetapi untuk blangkon lebih meyakinkan, karena blangkon pada budaya lain (Sunda, Madura, Surakarta) tidak ada yang memiliki mondolan di bagian belakang.

Pada aspek budaya perilaku (behavioral culture), hampir tidak ada yang khusus, karena mirip dengan orang Jawa lainnya. Titik tekannya pada perilaku masyarakat Jawa yang hampir sama di tempat lain. Putra di sini tidak menjelaskan perilaku masyarakat Jawa secara khusus, apakah yang meniru keraton seperti tersebut di atas, atau sebaliknya. Hal ini mengingat di Yogyakarta belakangan juga adalah ladang subur bagi tumbuhnya kelompok-kelompok toleran, baik secara individu maupun yang tergabung dalam kelompok interfaith dialogue yang mewabah di kalangan kampus maupun LSM, dan juga kelompok intoleran yang tersebar di beberapa tempat. Hal inilah barangkali yang “membedakan” Yogyakarta dengan tempat lain di Jawa.

Adapun hal yang dapat dibaca sebagai bagian dari budaya gagasan (identional culture) yang dimiliki Yogyakarta terkait dengan budaya global, ada yang berposisi pada inti budaya Jawa, seperti pepatah “urip iki mung mampir ngombe” (hidup ini hanya mampir minum), “manunggaling kawulo Gusti” dan “sangkan paraning dumadi” (asal dan tujuan manusia). Gagasan-gagasan dalam ungkapan ini merupakan gagasan yang njawani, yang berasal dari jagad pemikiran orang Jawa, yang boleh dikatakan unsur inti dalam budaya Jawa. Sebagai unsur-unsur budaya yang membentuk jati diri, maka unsur-

Page 7: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

20 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

unsur itu juga tidak terdapat dalam budaya-budaya lain, bahkan juga tidak terdapat dalam budaya global (Barat). Unsur-unsur inti budaya Jawa tersebut lebih dekat dengan unsur-unsur tertentu dalam budaya Islam, terutama kalangan Islam sufistik. Adapun pada pinggiran budaya Jawa, dapat ditemukan pepatah tata-tentrem karta raharja (keteraturan dan ketentraman membawa kebahagiaan). Gagasan orang Jawa mengenai keadaan masyarakat atau sebuah negeri yang tata-tentrem, kerta raharja, dikatakan Putra bersifat pinggiran karena gagasan seperti itu tidak hanya terdapat dalam budaya Jawa, tetapi juga terdapat dalam masyarakat lainnya (Putra 2005:90).

Penelusuran Putra di atas dapat dikatakan masih relevan, sekalipun khusus untuk behavioral culture barangkali masih perlu diperdebatkan. Akan tetapi, sebagai kerangka awal untuk melihat Yogyakarta dewasa ini, deskripsi di atas cukup memberikan ulasan filosofis-simbolik dan juga konsep mengenai kebudayaan yang menopangnya. Baik budaya material, budaya perilaku maupun budaya gagasan masih terbaca kuat menjadi susunan yang mengokohkan kota ini dan masyarakatnya.

K U LT U R R EMBUG A N DA N PA R A PENGIBA R TOLER A NSI

Melihat masyarakat Yogyakarta berarti membawa pada gambaran Jawa yang tidak monolitik. Masyarakat Yogyakarta adalah pewaris masyarakat Mataram yang telah terbentuk berdasarkan persinggungannya dengan perangkat kultur lainnya. Menyangkut isu kejawaan dan keislaman, jika tidak berlebihan, sebetulnya merupakan cerminan paling gampang dalam memotret kekinian masyarakat Yogyakarta.

Untuk melihat relasi dua kekuatan kultur ini, konkritnya hubungan Islam dan Jawa, digambarkan berada dalam dua bilik besar, yaitu Islam normatif dan Islam Jawa. Antara keduanya tidak melulu terpisah, malah sebenarnya saling terkait satu sama lain. Jika ditanya mana yang paling berpengaruh, jawabannya tidak pasti. Malahan, seperti dalam catatan Woodward, terlihat fakta bahwa beberapa santri (Islam) pada akhirnya berkeyakinan, ketaatan ritual yang dituntut oleh hukum Islam tidak perlu lagi bagi perkembangan spiritual mereka. Mereka meninggalkan Islam normatif dan mengadopsi Islam Jawa. Islam Jawa dan Islam normatif karena itu lebih baik dipahami sebagai orientasi-orientasi keagamaan atau bentuk-bentuk kesalehan

Page 8: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 21

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

daripada sebagai kategori-kategori sosiologis campuran (Woodward 1999:11). Dua bilik kekuatan ini terus beradu orientasi dan saling tarik-menarik hingga sekarang.

Dampak dari dialektika itu, kekerasan bernuansa teologi cukup jarang terjadi, kecuali letupan-letupan kecil saja. Jika ada, kejadian tersebut biasanya berlangsung begitu cepat, sehingga setelah peristiwa itu seolah tidak terjadi apa-apa. Cepat terjadi, cepat menguap. Tindakan kekerasan yang muncul terlebih sebagai reaksi spontan ketimbang konflik terpendam berlama-lama.4 Salah satu hal yang membuat tidak berlama-lamanya konflik itu barangkali, berdasarkan penelusuran awal, adalah kuatnya kultur rembugan (dialog), baik bersifat formal maupun informal (angkringan, dan sebagainya). Kultur dialog ini tidak semata-mata muncul dari ruang hampa, melainkan datang bersamaan dengan proses transformasi sosial masyarakat Yogyakarta. Kultur tersebut sekaligus menjamin kohesivitas sosial masyarakat Yogyakarta dengan kekuatan-kekuatan budaya penyangganya.5 Dengan sendirinya, kultur rembugan itu membawa

4 Sebagai contoh, ketika terjadi peristiwa pemukulan massa Front Pembela Islam (FPI) terhadap massa Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) di Monas, terkait dengan persoalan Ahmadiyah (Tempo 2008), ekses peristiwa itu tidak terlalu tampak di Yogyakarta. Memang terjadi sedikit letupan antara massa yang dituduh dari kalangan Banser yang merubuhkan papan nama FPI di Jalan Wates, Gamping, Sleman, berbalas dengan pemukulan kalangan FPI Yogyakarta terhadap pemuda yang dituduh bagian dari pelaku aksi tersebut. Setelah kejadian itu, beberapa elemen Yogyakarta terlihat melakukan rapat-rapat koordinasi untuk selain mengutuk kejadian tersebut, juga untuk menguatkan jalinan antarmasyarakat sipil yang begitu bertebaran di Yogyakarta. 5 Misalnya, sekitar seminggu setelah kekerasan di Monas, digelar dialog yang dihadiri Sultan Hamengkubuwono X. Forum tersebut dinamakan Forum Rakyat Jogja (FRJ). Sri Sultan HB X yang juga Gubernur DIY mengatakan, terjadinya kekerasan merupakan cermin tidak adanya trust, bersamaan fluktuasi semakin meningkat setelah era reformasi. Acara dialog tersebut berlangsung di halaman Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan (PSPK) UGM, Senin 9 Juni 2008 dengan tema “Tegakkan NKRI dan Pancasila”. Acara tersebut dihadiri berbagai elemen masyarakat Yogyakarta, antara lain Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), Komite Kemanusiaan Yogyakarta (KKY), Gereja Kristen Indonesia (GKI), Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Gerakan Jogja Bangkit (GJB), Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), Aliansi Jurnalisme Independen (AJI) Damai, BSM, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), PW IPPNU DIY, Aliansi Buruh Yogyakarta (ABY), Aliansi Masyarakat Bantul (Ganjuran, Pundong, Kanutan), PPG Jetis, Turgo Asri, Interfidei, GMKI, Pusham UII, BEM UMY, BEM UIN Suka, RTND, IRE Jogja, Aliansi Warga Nahdlotul Ulama, Forum Silaturahim Pesantren dan Petani (FSPP), dan lain-lain (Kedaulatan Rakyat 2008).

Atas bantuan asisten lapangan, peneliti berhasil mendapatkan akses untuk mengikuti rapat persiapan acara tersebut 7 Juni 2008, yang diadakan di ruang pertemuan Pusat

Page 9: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

22 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

pada pemahaman akan pentingnya toleransi yang terus dihidupkan melalui rembugan-rembugan yang telah terbiasa dilakukan.

Namun begitu, toleransi adalah kata yang masih diperdebatkan, baik oleh kalangan yang sama-sama mengusung konsep tersebut dalam tindakan konkrit mereka maupun jika dihadapkan pada kejawaan mereka, atau lebih spesifik keyogyakartaan mereka. Ada silang pendapat mengenai toleransi dan kekaburannya mungkin menarik untuk ditelusuri lebih jauh.

Bersemainya bibit-bibit toleransi di Yogyakarta sepertinya tidak dapat lepas begitu saja dari iklim kritis-kreatif di kota itu. Paling tidak dilihat dari berkumpulnya elemen-elemen penggerak masyarakat, baik yang termanifestasi pada diri figur-figur individual maupun kolektif, yang menampilkan sosok dan kiprahnya yang mendukung pada pengupayaan Yogyakarta yang ramah dan selalu tampak terlihat toleran.

Namun demikian, pemikiran toleran seperti ini pernah mendapat tantangan hebat di awal abad ke-20 dengan berdirinya Muhammadiyah di kota itu. Pendirian ormas Islam ini bertujuan untuk menundukkan praktik-praktik Islam Jawa yang lumrah kala itu, sekalipun pendiri Muhammadiyah K.H. Ahmad Dahlan cukup lunak terhadap tasawuf. Namun, tidak dapat ditampik adanya kesamaan unsur antara Muhammadiyah dan pemikiran Muhammad Abdul Wahab, terutama pada aspek tujuan dan strategi (Shihab 1997:304-305).

Pada fase selanjutnya terkuak bahwa modernitas (lewat Muhammadiyah) dan tradisionalitas berjalan beriringan, bahkan mungkin sampai hari ini. Pada suatu fase ketika terjadi peralihan kekuasaan dari kolonial ke RI, di Yogyakarta juga sedang tumbuh pemikiran nasionalisme; Jawa adalah bagian dari nasionalisme Indonesia. Begitu pula pada fase gerakan anti-kapitalisme menguat, pemikiran Marxisme juga meninggalkan jejaknya di Yogyakarta, bukan saja pada kejadian-kejadian di seputar tahun 1965, namun juga jauh setelah itu, tepatnya era reformasi, dengan tumbuhnya penerbit-penerbit buku yang beraroma kiri. Penerbitan buku beraroma kiri ini sempat mencuatkan aksi sweeping dari kalangan tertentu yang begitu fobianya pada pemikiran Karl Marx.

Studi Pedesaan dan Kawasan Universitas Gaja Mada (PSPK UGM) di Bulaksumur. Beberapa informan yang diwawancara dalam penelitian ini juga hadir dalam rapat koordinasi tersebut. Rapat itu dihadiri tidak kurang dari empat puluhan orang.

Page 10: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 23

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Penggambaran sederhana inilah yang hingga kini masih kuat terbaca untuk memetakan aktor-aktor yang berperan dalam menjaga gawang toleransi di kota itu. Institusi dan juga para aktor penyangganya yang dirasakan masih jelas sangat kuat adalah Kesultanan Ngayogyakarto Hadiningrat yang keberadaannya masih sangat dihormati bersamaan dengan masih kokohnya bangunan Keraton Yogyakarta. Keraton dan sultan (terutama yang sudah wafat dan dimakamkan di Imogiri) menjadi acuan “the living artefact” tersebut (lihat Gambar 1). Dunia simbol orang Yogyakarta pada titik tertentu banyak mereproduksi kejayaan serta kharisma raja-raja Mataram yang pernah ada. Bahkan keberadaan Sultan Hamengkubuwono X, bagi sebagian kalangan, dipengaruhi aura para pendahulunya. Akibatnya, kehadirannya bagi sebagian kalangan tidak langsung mencerminkan kesultanannya sekarang ini, melainkan ada yang menganggapnya sebatas sebagai gubernur.6 Selain itu ada juga faktor lain yang turut berperan, ketika dianggap Sultan HB X lebih cenderung berdekatan dengan kelompok pengusaha etnis tertentu.

Keraton dan sultan (Makam Imogiri) kemudian mempengaruhi alam bawah sadar kalangan tokoh masyarakat dan tokoh agama di satu sisi, dan kalangan akademisi di sisi lain. Tokoh masyarakat dan tokoh agama ini mempunyai pengaruh kuat di kalangan masyarakat grassroot, baik pada orientasinya yang eksklusif maupun inklusif. Eksklusivitas di sini kemudian melahirkan paham-paham radikal, sementara inklusivitas di sini memunculkan paham-paham liberal dan moderat. Tokoh-tokoh ini saling berjejaring untuk selanjutnya memberi ruang bagi tumbuhnya fenomena Islam literal, misalnya dengan contoh gampangnya, berdirinya sekolah-sekolah Islam Terpadu (IT) di berbagai tempat di Yogyakarta.7 Di pihak lain, tokoh-tokoh agama yang inklusif juga pada gilirannya berjejaring dan membuka ruang bagi tumbuhnya gerakan interfaith di Yogyakarta.8

6 Salah satu informan menceritakan ulang keengganan Mbah Maridjan memenuhi permintaan Sultan HB IX untuk turun dari Merapi setelah dianggap tahap kritis sebelum meletus. Mbah Maridjan enggan karena menganggap yang memerintah hanyalah seorang gubernur. Ia masih merasa sultannya adalah Sultan HB IX (wawancara 3 Juni 200).7 Di Yogyakarta juga sudah lama marak sekolah-sekolah Islam Terpadu, dari tingkat SD hingga SMA. Hal ini menurut sumber yang bisa dipercaya, pada fase selanjutnya mempengaruhi dinamika keormasan terutama Islam di Yogyakarta. Muhammadiyah adalah salah satu ormas yang rentan (vulnerable) digerogoti kalangan PKS dan HTI yang pada level dakwahnya mengusung program-program Islam terpadu tersebut.8 Organisasi seperti ini misalnya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB), Interfidei,

Page 11: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

24 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Begitu pula kalangan akademisi menjadi “pujaan” tersendiri bagi masyarakat Yogyakarta yang lain. Mereka dulunya adalah para mahasiswa yang kemudian memilih berkarir di Yogyakarta, baik sebagai tenaga pengajar, aparat birokrasi, aktivis Non-Governmental Organization (NGO) maupun pengusaha yang masih berkutat di sekitar pelayanan jasa kreatif tersebut. Karena itu pada saatnya Yogyakarta pernah diramaikan dengan pendapat bahwa bisnis yang menguntungkan di Yogyakarta hanyalah seputar penyediaan layanan mesin fotokopi, jasa indekos, dan warung makan. Namun, untuk fenomena menjamurnya NGO, yang kemudian berjejaring dalam wadah yang dinamakan Forum LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) DIY, seolah tidak menampik bahwa keberadaannya berkaitan dengan iklim akademik di kota itu. Beberapa aktivis NGO Yogyakarta yang ternama adalah para pendatang yang kemudian kuliah di berbagai kampus di Yogyakarta, bahkan beberapa muncul dari kampus-kampus swasta.910

Gambar 1. Struktur dasar kohesivitas masyarakat Yogyakarta dengan makam imogiri sebagai pusatnya

Komunitas Tikar Pandan, Forum Agamawan Muda, dan NGO-NGO lain yang mempunyai program tidak langsung terkait dengan isu tersebut, namun sering tampil pada momen dialog antariman/agama.9 Para pentolan LSM di Yogyakarta bukan saja lulusan PTN seperti UGM dan UIN Sunan Kalijaga, tetapi juga lulusan dari PTS seperti UMY, UII, Janabadra dan lain-lain.10 Menurut salah satu informan, sekarang ini ia melihat begitu dekatnya Sultan dengan kalangan pengusaha Cina, termasuk untuk pemenuhan kebutuhan operasional Sultan dalam perjalanan ke luar negeri (wawancara 1 Juni 2008).

PENGUSAHA (CINA)10 MAKAM RAJA IMOGIRI PENGUSAHA (NON-CINA)

KERATON

SULTAN HB X

TOKOH MASYARAKATTOKOH AGAMA

AKADEMISI

KEL. EKSKLUSIFKEL. INKLUSIF (PLURALIS)KEGIATAN ADAT

NGO (HAM & DEMOKRASI, PEREMPUAN & REPRODUKSI, AGRARIA, DLL.)AKTIVIS MAHASISWA

Page 12: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 25

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Di samping itu, elemen lain yang terdiri dari tokoh masyarakat dan tokoh agama bersama para akademisi sangat bertautan satu sama lain. Salah satu penjelasannya antara lain karena rata-rata tokoh masyarakat maupun tokoh agama pernah dididik di kampus-kampus di Yogyakarta. Hal ini bertambah kuat tatkala mereka diajak untuk membicarakan mengenai dinamika masyarakat Yogyakarta dan keyogyakartaannya, dan keraton sebagai simpulnya. Pendeknya, mereka ingin menunjukkan bahwa mereka juga merupakan orang Yogyakarta.

BER SER A K A N N YA A DAGIUM DA N R IT UA L TOLER A NSI

Apabila pernah mendengar ungkapan-ungkapan Jawa seperti “urip iki mung mampir ngombe” (hidup ini hanya mampir minum), “manunggaling kawulo Gusti” dan “sangkan paraning dumadi” (asal dan tujuan manusia), dapat dipastikan ungkapan-ungkapan tersebut gampang ditemukan di Jawa, terutama Yogyakarta. Tidak salah jika narasi-narasi pendek yang penuh makna tentang toleransi di Yogyakarta tidak lepas dari budaya gagasan (identional culture) yang muncul sebagai pengetahuan sehari-hari masyarakat Yogyakarta. Gagasan-gagasan yang ada dalam ungkapan ini merupakan gagasan yang njawani, yang berasal dari jagad pemikiran orang Jawa, yang boleh dikatakan unsur inti dalam budaya Jawa.

Ungkapan-ungkapan lain apabila digali sebetulnya masih berserakan. Abdul Muhaimin, salah satu pendiri FPUB11 dan juga anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta (DKY) menuturkan, bahwa ada adagium Jawa, yang dulunya mungkin adalah bias politik (Mataram) yang cukup kuat, menyediakan wiwarah, misalnya istilah sithik eding (berbagai sekalipun sedikit), sepada-pada, ngono ya ngono neng aja ngono (begitu, tapi jangan begitu), dan lain sebagainya (wawancara 1 Juni 2008). Hal ini merupakan produk elite kerajaan Jawa (Mataram) tempo dulu yang selalu dihempaskan pada pusaran

11 Didirikan pada tanggal 27 Februari 1997, forum ini tidak mengenal adanya struktur, hanya kumpulan para aktivis. Program yang paling sering dilakukan antara lain aksi damai, peringatan hari besar bersama-sama, dialog setiap bulan turun ke desa-desa mengumpulkan masyarakat. Sampai saat ini program dialog dari lembaga ini sudah keluar masuk ke lebih dari 60 desa. Adapun untuk bidang komunikasi diwujudkan dengan menerbitkan Majalah Suluh, yang hingga kini sudah terbit edisi 36.

Page 13: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

26 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

konflik antar-kerajaan dan intra-kerajaan, yang kemudian melahirkan local wisdom yang berbentuk piturur atau wiwarah-wiwarah yang menjurus pada terwujudnya kedamaian. Bukan tidak mungkin, narasi-narasi kecil ini tumbuh di luaran kehidupan keraton, yang tidak pernah dilirik sebelumnya.

Selain itu, di kalangan masyarakat Yogyakarta juga akrab dengan adagium lain yang mengarah pada inti ajaran tasawuf Islam. Misalnya, adagium alon-alon waton kelakon (pelan-pelan asal jalan), gleyak-gleyak waton tumindak (santai saja bekerja), geremat-geremet waton selamet (pelan-pelan asal selamat), yang menurut Muhaimin terkait dengan ajaran tasawuf. Dengan kekayaan semua adagium itu, membuat terujinya kemampuan masyarakat Yogyakarta dalam mengabsorbi identitas-identitas kelompok lain ke dalam kultur Jawa di Yogyakarta. Lebih lanjut, secara berkelakar ia juga menyebutkan istilah lain yang terkait dengan kondisi kekinian. Jika di zaman Orba, ada peribahasa Jawa, “asu gedhe padha kerahe”(anjing besar yang beradu), di era reformasi ini peribahasanya berubah menjadi “kirik cilik-cilik njegog kabeh” (anjing kecil-kecil menggonggong lantang).

Suwaldji12, dari kelompok Kebatinan Kawulo Ngayogyakarta juga berusaha meneguhkan kembali konsep peninggalan Hamengkubuwono (HB) I, yakni apa yang disebutnya “niat suci, batin suci, ati suci, jejer lajer sing kuat (pendirian yang kuat), memayu hayuning bawono” (menjaga keindahan dunia). Pada inti dari pendirian kelompoknya ini adalah memperteguh kembali ajaran peninggalan Sultan HB I ini (wawancara 1 Juni 2008).

Berbarengan dengan masih bertebarannya wiwarah-wiwarah Jawa di atas, yang masih juga turut terjaga kelangsungannya adalah upacara-upacara kolosal terkait suatu momen historis tertentu. Pada peristiwa-peristiwa yang lebih terkesan peristiwa adat ini, terpampang jelas atribut-atribut Jawa. Sangat mungkin ini akan memperkaya budaya perilaku (behavioral culture) yang melekat pada masyarakat Yogyakarta. Upacara adat seperti bersih desa, Rasulan, upacara mbah bergas, upacara tunggul wulung, batok bolu alas ketonggo, dan lain-lain, masih bertahan untuk memperingati awal mula desa

12 Suwaldji adalah pendiri kelompok kebatinan Kawulo Ngayogyakarta. Suwaldji sendiri menganut Katolik dan menggagas kegiatan Temu Kebatinan Katolik di bawah koordinasi Keuskupan Agung Semarang (KAS). Setiap tiga bulan sekali dilakukan pertemuan.

Page 14: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 27

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

itu berdiri. Misalnya Upacara Mbah Bergas (di Sleman) diadakan untuk menghormat jasa Mbah Bergas di masa lalu yang berjasa pada desa tersebut. Batok bolu alas ketonggo merupakan tempat mistik di mana sebelum Panembahan Senopati mendirikan Kerajaan Mataram diadakan negosiasi dengan jin-jin di sana agar mereka tidak mengganggu berdirinya Keraton Mataram. Ada pula acara labuhan di laut (wawancara dengan Abdul Muhaimin, 1 Juni 2008).

Budaya perilaku juga dapat ditemukan pada lembaga lokal seperti kelompok Kerohanian Sapto Darmo dan Kebatinan Kawulo Ngayogyakarto. Pada kelompok Kerohanian Sapto Darmo, pengemasan terhadap gagasan-gagasan Jawa itu masih diupayakan supaya tetap dalam bentuknya yang asli, belum terkontaminasi dengan unsur lain. Pada kebatinan Kawulo Ngayogyakarto, seperti yang ditunjukkan Suwaldji, telah menyusup ke dalam keyakinan universal, yaitu Katolik.

Sapto Darmo13 sampai hari ini masih eksis di Yogyakarta. Dengan begitu, wiwarah-wiwarah atau ungkapan-ungkapan orang Yogyakarta masih ada peluang kelestariannya di bawah struktur gagasan yang diusung lembaga ini. Budaya perilaku Sapto Darmo memungkinkan terlestarikannya budaya gagasan yang telah ada. Dalam Sapto Darmo dipercaya, jika telah mati, jasad menjadi bangkai, namun rohnya terus hidup. Sapto Darmo menjadi sarana bagi warganya untuk melakukan instropeksi (khas Jawa), memohon pengapura (pengampunan) kepada yang Maha Kuasa: “Aku ki ngopo to kok mengkene? Mungkin ana sing salah sing tak lakoni (Aku begini ini kenapa? Mungkin ada kesalahan tanpa disadari yang kulakukan) (wawancara dengan Totok Baroto, pimpinan Kerohanian Sapto Darmo, 3 Juni 2008).

Kejawaan dalam bentuknya yang sedikit puritan agaknya berlangsung dalam kelompok kerohanian ini sebab Sapto Darmo tidak mempercayai klenik, mistik maupun semedi. Atau, justru

13 Sapto Darmo berdiri sejak tahun 1952 dan kini telah tersebar luas di berbagai kota terutama di DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Totok Baroto menceritakan kelompoknya mundur dari Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) pada era kepemimpinan Zahid Husein di tahun 1982. Sapto Darmo mundur sebab menganggap hanya dijadikan komoditas politik. Setelah itu berubah menjadi ormas otonom dengan nama Persada (Persatuan Warga Sapto Darmo). Totok Baroto, adalah anak laki-laki Sri Pawenang, pendiri Sapto Darmo. Lembaga kerohanian ini memiliki perguruan yang dinamakan Perguruan Mayangkoro yang di dalamnya terdapat 12 anggota unit. Pada setiap Bulan Desember rutin diselenggarakan acara yang disebut “Penggalian Sapto Darmo”. Acara ini dihadiri oleh warga Sapto Darmo seluruh Indonesia. Biasanya tidak kurang dari 200-an orang yang hadir. Acaranya sendiri lebih banyak berisi penataran rohani.

Page 15: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

28 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

sebuah upaya memodernkan kejawaan. Ritualnya dilakukan paling tidak hanya sekali dalam sehari semalam, yaitu melakukan manembah sujud. Karena itu warga Sapto Darmo dibebaskan memeluk agamanya masing-masing. Anak laki-laki Totok Baroto, pimpinan Sapto Darmo, memilih Islam dan menjalankan sholat di rumahnya. Oleh orangtuanya bahkan diundangkan guru mengaji ke rumahnya.

Di sini Totok seolah ingin menempatkan bahwa gagasan-gagasan Jawa itu mampu mengapropriasi gagasan-gagasan modernitas. Sapto Darmo baginya juga tidak ingin bersaing dan merasa tidak memiliki saingan dengan keyakinan maupun gagasan manapun, termasuk yang tergolong dari agama-agama universal. Karena itu Sapto Darmo, menurutnya, tidak pernah mengalami masalah karena selalu memedomani Ketuhanan Yang Maha Esa. Selain itu juga tunduk pada negara dengan pendirian Persada yang berada di bawah naungan Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan.

Sebetulnya lembaga-lembaga kejawen lain masih berserakan seperti Pransuh, Pangestu, Subud, Sumarah, dan sebagainya. Pada kelompok-kelompok inilah gagasan-gagasan Jawa itu masih terjaga. Di tengah derasnya penetrasi budaya dan gagasan yang datang belakangan, kelompok ini berupaya untuk mempertahankan “resistensinya” dengan cara berkompromi atas negosiasi sejarah di antara gagasan-gagasan itu, dengan gagasan-gagasan lain yang datang ke Jawa, atau khususnya Yogyakarta.

TOLER A N DA N R ENTA N DA R I GEMPU R A N

Wiwarah atau gagasan Jawa itu dalam sejarahnya cukup lama mendapat gempuran gagasan-gagasan dari luar. Sampai hari ini, hal itu masih terjadi di Yogyakarta, baik dalam skala besar maupun kecil. Dalam skala kecil, seperti penuturan Zuli Qodir (peneliti di Pusat Studi Perdamaian dan Kawasan (PSPK) UGM dan aktivis Muhammadiyah) yang memiliki pengalaman pribadi bersama masyarakat kampung dalam menangkis kelompok-kelompok Islam Normatif yang berusaha masuk melalui salah satu partai Islam (wawancara 3 Juni 2008 dan 6 Juni 2008). Menurutnya, masyarakat Yogyakarta sebenarnya toleran; bibitnya memang sudah kuat. Secara kultural, masyarakat Yogyakarta adalah masyarakat terbuka. Identitas Islam Jawa-nya cukup menguat, terutama di Sleman bagian utara. Dapat dipetakan, masyarakat kota adalah masyarakat yang

Page 16: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 29

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

didominasi oleh orang-orang yang berorientasi pada institusi sekolah atau kampus, sementara masyarakat desa lebih kental warna Islam Jawanya.

Zuli memetakan ada dua kekuatan yang saling berhadapan di Yogyakarta. Kelompok-kelompok yang aktif dalam doa bersama di bawah koordinasi FPUB di satu pihak, ternyata mendapat resistensi oleh FUI14 di pihak lain karena menganggap doa bersama sesuatu yang tidak mereka setujui. Tidak hanya itu, menurut Zuli, malah mereka tidak menyetujui cara-cara berdoa kalangan kejawen. Barangkali di sinilah mulai muncul kerentanan itu, sekalipun dalam skala kecil. Bahwa kalangan pengusung gagasan lama Jawa, yang toleran, mulai diserang oleh pembawa gagasan baru dengan jargonnya pemurnian Islam. Puritanisme terus melaju dengan sayap-sayapnya yang cukup berhasil merekrut kader-kader muda potensial untuk bergabung dengan mereka.

Untuk hal ini, barangkali da lam skala besar, Zuli juga menyinggung kondisi politik internal Muhammadiyah mutakhir dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ia menceritakan kilas balik mengapa sekarang Muhammadiyah rentan digerogoti kalangan Islam Normatif. Ia menggambarkan mulai ada unsur mata pelajaran yang dimasuki aliran tarbiyah pada mata pelajaran Islam dan kemuhammadiyahan di institusi pendidikan Muhammadiyah. Siswa-siswa juga mengakui sering diajarkan model seperti yang diajarkan Ikhwanul Muslimin, bagian dari strategi gerakan tarbiyah. Zuli menambahkan, di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang menyusun kurikulum Islam dan kemuhammadiyahan itu adalah orang-orang tarbiyah PKS. Sedangkan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) yang menyusun kurikulum tersebut adalah kalangan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS) Solo, 60 persen dosennya menurut Zuli adalah orang-orang PKS. Keributan itu berlangsung selama berbulan-bulan, seingga keluarlah Surat Keputusan (SK) dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP)

14 Ketua FUI (Forum Umat Islam) adalah Ahmad Mursyidi, dosen Fakultas Farmasi UGM, mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), tetapi kini sekaligus ia juga mengetuai CRCS, program pendidikan pascasarjana di bawah UGM yang mengkaji agama dan budaya. Di CRCS sejauh yang diketahui penulis, muncul nama-nama yang pernah mengajar di program tersebut antara lain, Mahmud Ayyoub, Ali Asghar Enggineer, dan lain-lain. Selain Ahmad Mursyidi, beberapa nama lain yang aktif dalam FUI adalah Adaby Darban, dosen Sejarah di UGM, Sunardi Sahuri, seorang aktivis dakwah dan pemilik toko swalayan Pamela.

Page 17: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

30 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Muhammadiyah No. 149 yang melarang aktivitas partai menggunakan falisilitas-fasilitas Muhammadiyah. Zuli termasuk orang yang setuju dengan isi SK tersebut. Ia tidak setuju dengan penggunaan fasilitas Muhammadiyah untuk kegiatan partai. Kebanyakan orang yang berada di pihak tarbiyah turut membolehkan fasilitas itu dipakai oleh mereka, sebab mereka juga adalah warga Muhammadiyah. Ia sendiri mengamati gejala tumbuhnya gerakan tarbiyah ini karena program kaderisasi anak-anak muda Muhammadiyah yang tidak sangggup tertampung semuanya dalam kepengurusan Muhammadiyah.

Zuli yang juga redaksi Suara Muhammadiyah menulis tentang polemik itu dan ditanggapi banyak pihak, termasuk bantahan dari Kepala Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta dan juga oleh Sunardi Sahuri, seorang mubalig lokal. Bantahan itu intinya menolak dikatakan masuknya ideologi di luar Muhammadiyah ke sekolah-sekolah Muhammadiyah.

Informasi dari informan lain juga menyinggung, amal usaha Muhammadiyah juga cukup rentan diinfiltrasi kelompok-kelompok pengusung gagasan luar yang konservatif. Hal ini juga terjadi dengan RS PKU (Rumah Sakit Pembina Kesejahteraan Umat) Muhammadiyah di jalan Bantul, yang diambil alih oleh kalangan PKS. Pemimpin baru rumah sakit ini melahirkan kebijakan baru dengan menganulir kebijakan lama yang meniadakan bantuan biaya berobat kepada pengurus Muhammadiyah. Semua pasien dianggap sama-sama dan harus membayar biaya rumah sakit. Hal ini yang membuat polemik di rumah sakit tersebut, yang hingga kini masih belum dapat terselesaikan.

Sunardi Sahuri (pengurus FUI dan Majelis Ulama Indonesia [MUI] DIY) yang dipercaya Zuli Qodir mengetahui banyak persolan yang melanda Muhammadiyah, justru melihat berkembangnya aliran baru dalam Muhammadiyah sebagai hal yang wajar-wajar saja. Mereka adalah anak-anak muda yang mencoba menghidupkan kembali pengajian di masjid-masjid. Jika terjadi perselisihan, dirinya tidak segan-segan mendamaikan. Sunardi malah mengkhawatirkan tumbuhnya kalangan yang dianggap menyimpang, seperti Ahmadiyah dan Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII). Ia bahkan masygul dengan LDII sambil menceritakan bahwa seorang kepala desa di Desa Trucuk, Kabupaten Klaten, adalah juga anggota LDII. Namun begitu, Sunardi masih melihat peran sentral Keraton. Dalam melihat Keraton, Sunardi masih melihat prinsipnya tidak berubah. Masih ada

Page 18: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 31

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

masjid di dalam keraton yang menyimbolkan bahwa Keraton masih beridentitas Islam. Apabila terjadi “penyimpangan”, oleh dakwah Sunardi dikemas dengan jargon kebudayaan. Misalnya tradisi mubeng beteng, yang rutin diadakan setiap malam 1 Suro dikemas Sunardi sebagai latihan thowaf.

Sunardi seperti ingin berada di tengah-tengah antara kelompok yang mengusung normativitas Islam dan kalangan yang melestarikan adat. Namun Sunardi lebih memilih toleransi antar-pemeluk agama, dan bukan toleransi antar-agama, yang dikatakannya di Yogyakarta sangat kondusif. Ketika disinggung mengapa di Yogyakarta belum terbentuk FKUB seperti di tempat-tempat lain yang berada di bawah pemda setempat, Menurutnya, Toha Abdurrahman, ketua MUI DIY, keberatan dengan tawaran bunyi dasar pembentukan Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) tersebut. Hal ini menurutnya ada kepincangan jumlah populasi pemeluk agama dalam FKUB. Islam yang mayoritas jumlah perwakilannya, disamakan dengan penganut agama lain dalam forum tersebut. Sekalipun sudah ada lembaga FPUB, tetapi lembaga itu dinilainya tidak mewakili lembaga seperti versi MUI. Sunardi sendiri tidak menyetujui forum tersebut, sekalipun di dalamnya terdiri dari kyai, pendeta, maupun seorang pastor.

Melihat fakta bahwa selalu terjadi perang wacana dan bahkan disertai gesekan di dalam internal umat Islam di Yogyakarta, Amin Abdullah, Rektor UIN Sunan Kalijaga membenarkan, betapa memang sulitnya toleransi internal, ketimbang tolerasi eksternal (wawancara 2 Juni 2008). Ibarat satu keluarga, terjadinya clash sangat mungkin. Namun, sekali lagi, menurut Amin, di Yogyakarta masih diuntungkan dengan adanya “pimpinan kultural”, figur Sultan. Ia menjadi modal kultural dan sosial. Pada beberapa elemen, karena Yogyakarta ini on top of that, sekalipun ada Nahdlotul Ulama (NU), Muhammadiyah, PKS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), yang menyatukan adalah “Jawa”. Bagi Amin, jika mereka disowani, urusan selesai.

Pernyataan Amin Abdullah di atas seperti juga menganalisis problem kalangan Islam di Yogyakarta. Di kota yang mengusung konsep city of tolerance itu ternyata juga masih ditemukan perang wacana maupun gesekan di dalam masyarakat Muslim sendiri yang menimbulkan kerentanan di satu sisi. Sekalipun jarang sekali mengarah pada kekerasan fisik, namun perang wacana tidak juga

Page 19: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

32 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

terhindarkan. Demo-demo yang menyudutkan kelompok Islam tertentu juga terjadi.

Menyinggung kelompok rentan yang lain adalah kelompok Ahmadiyah. Ahmad Lutfi, wakil pemimpin redaksi Kedaulatan Rakyat, menuturkan bahwa gelombang demonstrasi anti-Ahmadiyah dilakukan oleh Forum Remaja Masjid (FRM) DIY15 yang meminta pembubaran Ahmadiyah (wawancara 2 Juni 2008). Dalam suatu demonstrasi itu, ada orasi juga dari Toha Abdurrahman, Ketua MUI DIY yang sekaligus juga Ketua NU DIY dan juga seorang dosen UIN Sunan Kalijaga. Demo itu diikuti sekitar 200-an orang. Untuk menyambut hal itu, perwakilan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Yogyakarta datang ke Harian Kedaulatan Rakyat (KR) dan menyatakan tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Padahal, menurut Lutfi, orang-orang Ahmadiyah termasuk cukup diterima di Yogyakarta. Ada yang menjadi dosen di UGM, Harjana, yang sempat menjadi Pembantu Rektor (Purek) III, kemudian menjabat Ketua Kopertis (Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta) selama dua periode. Ada juga dosen Bahasa Arab UIN Sunan Kalijaga, almarhum Ali Abu Bakar Basalamah yang sangat dikenal, yang merupakan seorang Ahmadi.

Selain persoalan yang memarjinalkan Ahmadiyah, terdapat juga fenomena lain menurut Lutfi yang menarik, yaitu perebutan masjid oleh kelompok NU dan Muhammadiyah. Kedua kelompok ini mungkin tidak menyadari bahwa mereka sebetulnya sama-sama rentan di tengah globalisasi Islam. Perebutan ini menjadi masalah internal masing-masing. Mereka masing-masing merasa kecolongan.

Karena mungkin sama-sama rentan, di saat bersamaan justru sebenarnya hubungan antara NU dan Muhammadiyah sekarang sudah nyaris mencair. Lutfi menyontohkan, seorang pejabat Sekretaris NU DIY, Muhtarom, adalah juga mengajar di UAD yang diketahui milik Muhammadiyah. Padahal, orang ini adalah alumni Pondok Pesantren Krapyak. Hal ini pun, menurut Lutfi, sudah diketahui banyak pihak, tetapi tidak masalah. Demikian pula fenomena yang sama terjadi di UMY. Dalam hemat Lutfi, pada awalnya memang mereka mungkin tidak menunjukkan ke-NU-annya, namun setelah mapan baru menunjukkan Ke-NU-annya.

15 Menurut Lutfi, Forum Remaja Masjid (FRM) ini di bawah PKS yang koordinatornya adalah Ardianto, anggota DPRD Kota dari PKS.

Page 20: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 33

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Kelompok Islam yang dianggap rentan, Ahmadiyah16 di Yogyakarta melalui ketua cabang JAI dan ketua tabligh-nya, Ahmad Saefuddin17, dan Mirajuddin Ahmad18, menceritakan, Ahmadiyah di Yogyakarta mengakui ada gejolak terkait demo anti-Ahmadiyah (wawancara 2 Juni 2008). Menurut Saefuddin, mereka ini hanyalah anak-anak yang tidak mengerti apa-apa dan cenderung hanya dimanfaatkan. Dengan tidak melalaikan posisi Ahmadiyah sebagai pihak yang rentan, Saefuddin turut mempertaruhkan sebutan Yogyakarta sebagai the city of tolerance. Program ini merupakan program yang inisiatifnya datang dari pemerintah. Hal ini bisa menjadi indikator apakah program tersebut akan berhasil, terkait dengan keberadaan Ahmadiyah. Namun, sekalipun didera berbagai intimidasi dan marjinalisasi di tengah upayanya untuk mengembangkan dirinya (Gualiteri 1989:13), Jemaat Ahmadiyah di Yogyakarta beberapa kali tercatat mengadakan aksi amal, terutama sejak peristiwa gempa yang menggoncang sebagian Yogyakarta dengan menerjunkan sayap organisasi kemanusiaan dalam skala internasional, Humanity First (HF). Selain itu, dalam skala kecil juga tidak jarang mengadakan pengobatan massal dengan metode homeopati (metode lain selain alopati yang dipergunakan kalangan medis kebanyakan sekarang) di beberapa tempat di Yogyakarta. Kalangan yang disasar adalah rakyat jelata.

Di Yogyakarta, selain adat Jawa yang masih tetap berjalan beriringan dengan kultur puritan Islam, ada yang juga mencoba menghidupkan adat Tionghoa. Budi Setyagraha19 adalah salah satu

16 Anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Yogyakarta tidaklah terlalu besar, sehingga tercatat baru ada satu masjid di Jalan Atmosukarto, Kotabaru dan satu musholla di daerah Perum Minomartani, Sleman.17 Ahmad Saefuddin dalam sehari-harinya adalah pengajar di Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan juga aktif di berbagai organisasi termasuk Persatuan Manajemen Rumah Sakit di Yogyakarta. Ia adalah anak bungsu dari Suroso Malangyudo, perintis berdirinya Ahmadiyah di daerah Jawa Tengah. Ayahnya adalah kawan dekat mubalig asal Pakistan, Syah Muhammad. 18 Mirajuddin adalah mubalig lulusan Rabwah, Pakistan. Ia di Pakistan selama 9 tahun, antara 1978-1987. Tamat dari Rabwah, kemudian ia bergelar Honorary in Arabic (HA). Ia asli Bogor dan sempat bekerja di Pertamina sebelum memutuskan keluar menjadi mubalig Ahmadiyah (wawancara 2 Juni 2008).19 Budi Setyagraha adalah mantan Ketua Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI) DIY. Ia kini Sekjen PITI pusat dan pemilik toko bangunan ABC di Yogyakarta. Ia mengaku masuk Islam tahun 1983. Namun, sekalipun beragama Islam, ia masih memercayai hoki dan paling senang dengan angka 8. Di rumahnya, ia juga masih memajang tiga patung kecil. Pernah suatu ketika temannya mempertanyakan mengapa

Page 21: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

34 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Tionghoa Muslim yang mencoba mengaitkan budaya Tionghoa dengan Islam. Setelah menjadi Islam dan mengusung adat Tionghoa, ia merasa tidak ada masalah berhubungan dengan komunitas Muslim lainnya. Hanya saja pada waktu ia mengadakan perayaan Tahun Baru Imlek, ia mendapatkan tentangan dari sekolompok orang Islam.

Masyarakat Jawa atau Yogyakarta adalah masyarakat kultur. Jadul Maula, pendiri Lembaga LKiS dan anggota Dewan Kebudayaan Yogyakarta, malah dengan terang menyatakan, masyarakat Yogyakarta pada dasarnya adalah abangan. Mereka adalah masyarakat yang tidak mempunyai korpus, namun mempunyai kultur. Intinya, mereka penganut Islam yang masih memperhitungkan hubungan dengan kultur Jawa. Dalam kesehariannya, Islam dengan Jawa yang klenik dan mistik itu menurut Jadul berjalan sendiri-sendiri. Sekalipun ada upaya modernitas untuk menindas tradisionalitas, tetapi faktanya keduanya berjalan sendiri-sendiri.

PENU T U P

Menyimak gempuran demi gempuran yang menimbulkan kerentanan pada situs budaya perilaku dan budaya gagasan di Yogyakarta, masih bertahankah “the living artefact” Mataram yang merupakan warisan narasi kecil di luar keraton dan menjadi cikal bakal toleransi masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta itu? Memahami gejala toleransi di Yogyakarta seperti tergambar singkat di atas, akan membawa pada masih kokohnya situs budaya perilaku (behavioral culture) dan budaya gagasan (identional culture). Pada budaya perilaku misalnya, hal itu nampak dari kuatnya keinginan warga Yogyakarta untuk sesering mungkin melakukan rembugan (dialog) dan juga tumbuhnya berbagai kelompok yang mengusung tema perdamaian dan toleransi. Adapun pada sisi budaya gagasan, wiwarah atau ungkapan-ungkapan yang khas Yogyakarta (pun Jawa) masih berseliweran beredar, yang itu terekam dalam pengalaman sehari-hari orang Yogyakarta. Bahkan perlu dicacat pula, adanya lembaga-lembaga yang mengawetkan budaya gagasan itu, seperti halnya jika menyinggung kelompok-kelompok kejawen.

sudah menjadi Islam tetapi masih memercayai patung. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, ia lantas hendak membanting patung itu sebagai tanda bahwa itu cuma patung saja, namun kemudian dilarang temannya.

Page 22: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

K E T A H A N A N T O L E R A N S I O R A N G J A W A | 35

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Akan tetapi seiring dengan masih kokohnya budaya perilaku dan budaya gagasan tersebut, pada kondisi sekarang ini muncul pula gempuran-gempuran yang mengarahkan pada kerentanan. Terutama sekali, di sini ormas Muhammadiyah di Yogyakarta dapat dibaca sebagai kelompok yang rentan. Pada titik ini akan menemukan beberapa kemiripan terjadinya proses kerentanan pada kelompok Ahmadiyah, dan juga Muslim Cina di Yogyakarta.

Beruntung Yogyakarta masih mempunyai situs budaya material lain, yaitu keraton. Keraton bukan sebatas dibaca simbol fisik, namun ia juga menyimbolkan kejawaan yang berdialog dengan agama (Islam). Hubungan gelap dari keduanyalah yang kemudian melahirkan berbagai adagium toleransi. Oleh sebab itu, meskipun terjadi kerentanan, dapat dipastikan kerentanan itu bersifat temporer dan bukan tidak mungkin terabsorbsi dalam kejawaan kembali.

DA F TA R ACUA N

Departemen Luar Negeri RI. 2005. “Yogyakarta, City of Tolerance.” Film dokumenter.

Gualiteri, R. A. 1989. Conscience and Coercion. Ahmadi Muslims and Orthodoxy in Pakistan. Montreal: Guernica.

Walhi Jogjakarta. 2010. “Tentang Walhi Jogjakarta.” Diakses 10 Oktober (http://walhi-jogja.or.id/index.php?option=com_content&task view&id=49&Itemid=36).

UGM. 2010. “Tentang UGM, Beranda.” Diakses 10 Oktober 2010 (http://www.ugm.ac.id/content.php?page=0).

Kuntowijoyo. 2005. Peran Borjuasi dalam transformasi Eropa. Yogyakarta: Ombak.

Moeljanto, G. 2001. “Konsep Kepemimpinan dan Kekuaasaan Jawa Tempo Dulu.” Dalam Kepemimpinan Jawa, Perintah Halus, Pemerintahan Otoriter, diedit oleh Hans Antlov & Sven Cederroth. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Putra, Heddy Ahimsa. 2005. “Budaya Yogyakarta, Budaya Jawa, Budaya Nasional dan Budaya Global”. Jurnal Selarong Volume 5, Oktober.

Roshwald, Mordecai. 2007. “Toleration, Pluralism, and Truth.” Diogenes 219. Diakses 30 Agustus (http://dio.sagepub.com/cgi/content/abstract/55/3/25).

Page 23: Penulis: Zaenal Abidin Eko Putro Sumber: MASYARAKAT Jurnal ...

36 | Z A E N A L A B I D I N E . P .

MASYARAKAT, Jurnal Sosiologi Vol. 15 No. 2, Juli 2010: 15-36

Shihab, Alwi. Islam Inklusif, Menuju Sikap terbuka dalam Beragama. Bandung: Mizan. 1997.

Tempo. 2008. “Beriman Tanpa Jadi Preman.” tempo, Edisi 16/XXXVII/09-15 Juni.

Kedaulatan Rakyat. 2008. “Sri Sultan HB X: Kekerasan, Cermin Tidak Adanya “Trust”. Diakses 10 Juni (http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=166573&actmenu=35).

Woodward, Mark. 1999. Islam Jawa, Kesalehan Normatif versus Kebatinan. Yogyakarta: LKiS.