Penulis: Yudi Latif - aweygaul.files.wordpress.com · (1990), S2 dalam Sosiologi Politik dari...
Embed Size (px)
Transcript of Penulis: Yudi Latif - aweygaul.files.wordpress.com · (1990), S2 dalam Sosiologi Politik dari...
-
Penulis: Yudi LatifPengantar: Prof. James J. Fox
EDISI DIGITAL
Desain Cover : Andreas KusumahadiLay-out dan Redesain cover : Priyanto
Redaksi : Anick HT
Jakarta 2012
InteligensiaMuslim dan Kuasa
Genealogi Inteligensia Muslim Indonesia Abad Ke-20
-
Democracy P ro jec t
-
Democracy P ro jec t
Pendahuluan | III
ISI BUKU
Tentang Penulis — ixPengantar — xiUcapan Terima Kasih — xiv
1. PENDAHULUAN — 1Dasar-Dasar Analisis — 6
• Genealogi — 6• Muslim — 10
Inteligensia dan Intelektual — 14• Inteligensia — 17• Intelektual — 20• Inteligensia dan Intelektual dalam Konteks Indonesia — 29
Kuasa(Power) — 39• Indonesia — 47
Studi-Studi Terdahulu Mengenai Inteligensia dan Intelektual (Muslim)Indonesia — 48
Pendekatan Alternatif, Tujuan, dan Metodologinya — 57• Dinamis — 57• Interaktif — 59• Pendidikan — 60• Praktik-Praktik Diskursif — 62
- Ruang Publik — 63- Permainan-Permainan Kuasa (Power Games) — 67
-
Democracy P ro jec t
IV | Inteligensia Muslim dan Kuasa
• Intertekstual — 68- Metodologi — 73- Susunan Penulisan Buku — 76
• Catatan tentang Ejaan — 79
2. FORMASI INTELIGENSIA — 87Akar-Akar Pendidikan Islam dari Inteligensia (Muslim) Modern — 94
• Pendidikan Barat di Bawah Kebijakan Liberal — 97• Pendidikan Barat di Bawah Politik Etis — 102• Pendidikan Barat dan Lahirnya Inteligensia — 107
Akar-Akar Pendidikan Islam dari Inteligensia (“Klerikus”) Muslim — 112• Pendidikan Islam pada Abad Ke-19 — 113• Pembaruan Sekolah-Sekolah Islam Selama Era• Politik Etis — 130
Praktik-Praktik Diskursif dan Terciptanya Identitas Kolektif — 143• Praktik-Praktik Diskursif Selama Masa Liberal — 144• Praktik-Praktik Diskursif pada Masa Awal
Politik Etis — 150Terciptanya Ruang Publik Modern di Hindia — 158
• Masa Persiapan Ruang Publik Hindia pada AkhirAbad Ke-19 — 161
• Terbentuknya “Ruang Publik Inteligensia” — 166Kaoem Moeda Islam dan Tranformasi Ruang Publik — 178
• Adopsi Teknologi Percetakan Modern dan Klub-Klub Sosial oleh Kaum Muslim — 181
• Perluasan Ruang Publik oleh Kaum Muslim — 186Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 190
• Lahirnya Perhimpunan-PerhimpunanProto-Nasionalis — 196
• Kelahiran Pers dan Karya-Karya Sastra ProtoNasionalis — 216
Kesimpulan — 220
-
Democracy P ro jec t
Pendahuluan | V
3. MENCIPTA INDONESIA, MENCIPTA TRADISI-TRADISIPOLITIK INTELEKTUAL — 245
Pemajuan dan Ketergangguan Sekolah-Sekolah Sekuler — 250• Kemajuan Pendidikan di Tingkat Dasar dan
Menengah — 251• Pengembangan Pendidikan Universitas — 253• Dampak Pendidikan terhadap Generasi Kedua
Inteligensia — 258• Pendidikan Sekuler Selama Pendudukan Jepang — 260
Pemajuan Sekolah-Sekolah Islam — 260• Modernisasi Sekolah-Sekolah Tradisionalis — 262• Perluasan Sekolah-Sekolah Reformis-Modernis — 266• Studi Islam Tingkat Tinggi di Timur Tengah — 269• Pendidikan Islam Selama Pendudukan Jepang — 270
Praktik-Praktik Diskursif dan Pembentukan Blok Historis — 272• Dari Perhimpunan Indonesia Menuju Pembentukan
Blok Historis — 277• Dari Djama’ahal-Chairiah ke Pembentukan Sebuah
Blok Historis — 286• Dari Gerakan-Gerakan Mahasiswa di Hindia ke
Pembentukan Sebuah Blok Historis — 289• Dari Aktivitas Kesusastraan ke Pembentukan Sebuah
Blok Hisroris — 293
Keretakan Ruang Publik dan Terbentuknya Tradisi-Tradisi PolitikIntelektual — 296• Kesamaan dalam Ruang Publik — 296• Perdebatan-Perdebatan dalam Ruang Publik — 299
- Lahirnya Tradisi Politik Intelektual Komunis dan Muslim Modernis — 300
- Kelahiran Tradisi Politik Intelektual Muslim Tradisionalis — 306
- Kelahiran Tradisi-Tradisi Politik Intelektual “Nasionalis” dan “Sosialis” — 311
• Kelahiran Tradisi-Tradisi Politik Intelektual Kristen — 315
-
Democracy P ro jec t
VI | Inteligensia Muslim dan Kuasa
- Fragmentasi Dalam Tradisi-Tradisi Politik Intelektual — 317
Pembentukan dan Transmisi Tradisi Politik “Intelektual” Islam — 319• Terbentuknya Identitas Kolektif dan Ideologi
Muslim — 321• Transmisi Tradisi Politik Intelektual Muslim — 331• Kepemimpinan Generasi Kedua Inteligensia
Muslim — 340Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 344
• Dari Perhimpunan-Perhimpunan Bentukan Jepang Menuju Nasionalisme Kerakyatan — 346
• Dari Gerakan Bawah Tanah Menuju Nasionalisme Kerakyatan — 354
• Dari Aktivitas Sastra dan Media Menuju Nasionalisme Kerakyatan — 358
• Menuju Proklamasi Kemerdekaan Indonesia — 360Kesimpulan — 367
4. INTELIGENSIA SEBAGAI ELITE POLITIKNEGARA BARU — 393
Kesetaraan Akses ke Pendidikan Publik (Sekuler) — 401Pendidikan Agama dan Ekspansi Universitas-Universitas Islam — 408Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik di Negara Baru — 413
• Pembentukan Partai-Partai Pasca-Kemerdekaan — 414• Pembentukan Tradisi Politik Militer Indonesia — 417
Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 420• Rintangan bagi Eksperimen Demokrasi — 421• Represi dan Resistansi — 429
Jatuh-Bangun Islam Politik — 440Transmisi Tradisi Politik Intelektual Muslim — 459
• Kemunculan HMI — 461• Kemunculan PII — 465• Kelahiran IPNU dan PMII — 468
-
Democracy P ro jec t
Pendahuluan | VII
• Kemunculan IMM — 472• Kemunculan Persami — 473• Pembentukan Identitas Kolektif Mahasiswa
Muslim — 474Kesimpulan — 482
5. DEVELOPMENTALISME-REPRESIF ORDE BARUDAN RESPONS INTELEKTUAL ISLAM — 503
Pendidikan secara Massal dan Devaluasi Intelegensia — 509Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik: Modernisasi
dan Represi — 514Jalan Buntu Islam Politik — 526Respons Intelektual dari Generasi Kedua Inteligensia
Muslim — 543Respons Intelektual Generasi Ketiga Inteligensia Muslim — 548Respons Intelektual dari Generasi Keempat Inteligensia Muslim — 554Permainan-Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 565
• Perkembangan Gerakan Dakwah — 577• Perkembangan Gerakan Pembaruan — 601• Perkembangan Gerakan “Jalan Ketiga” — 611• Perkembangan Gerakan “Sektor Kedua” — 618
Kesimpulan — 620
6. PASANG-SURUT IKATAN CENDEKIAWAN MUSLIM SE-INDONESIA (ICMI) — 641
Profil Pendidikan pada Penghujung Abad ke-20: Ledakan SarjanaMuslim — 646
Praktik-Praktik Diskursif dan Ruang Publik — 651Usaha-Usaha Awal untuk Mempersatukan para Intelektual
Muslim — 657Kelahiran ICMI — 669Permainan-Permainan Kuasa: Konsolidasi dan Kontestasi — 677
• Prestasi Politik ICMI yang Sesungguhnya — 692• Pergeseran ke Gerakan Reformasi — 697
-
Democracy P ro jec t
VIII | Inteligensia Muslim dan Kuasa
Kemunduran ICMI — 702Kesimpulan — 714
7. KESIMPULAN — 723Kontinuitas dalam Perkembangan Historis Inteligensia
Muslim — 730• Diskontinuitas dalam Perkembangan Historis
Inteligensia Muslim — 744Poskrip — 753
Kepustakaan — 759Indeks — 809
-
Democracy P ro jec t
Pendahuluan | IX
TENTANG PENULIS
Yudi Latif lahir di Sukabumi, 26 Agustus 1964. Menamatkanstudi SI pada Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran(1990), S2 dalam Sosiologi Politik dari Australian NationalUniversity (1999), dan S3 dalam Sosiologi Politik dan Komunikasidari Australian National University (2004). Sejak Sekolah Dasarhingga menamatkan studi doktoralnya, ia selalu meraih predikatoutstanding student. Tesis masternya tentang “Sekularisasi danIslamisasi di Indonesia” memberikan kartografi yang berhargatentang sosiologi politik Indonesia lewat pembacaan sejarahdari “atas” dan “bawah”. Disertasi doktoralnya tentang “GenealogiInteligensia Muslim Indonesia Abad ke-20” memberikan terobosanbaru dalam studi sosiologi dan sejarah intelektualisme Islamhingga menuai ban yak pujian.
Karier penelitiannya dimulai ketika bergabung dengan LembagaIlmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada 1993. Sejak itu, iaterlibat sebagai editor tamu pada Center for Information andDevelopment Studies (CIDES, 1995-1996), peneliti senior padaCenter for Presidential and Parliamentary Studies (CPPS, 1998-1999), dan Direktur PusatStudi Islam dan Demokrasi (PSI D)Universitas Paramadina (2002-2003). Ketika menempuh studidoktoralnya, ia juga dipercaya untuk memberikan kuliah dalam
-
Democracy P ro jec t
X | Inteligensia Muslim dan Kuasa
subjek Reading the Indonesian Media, pada Program Studi AsiaTenggara, Australian National University.
Di luar bidang akademik, Yudi juga seorang penulis yangsubur (prolific). Ia menulis dan mempunyai rubrik tetap disejumlah media massa dan jurnal. Selain itu, ia juga pernahmenjadi pemimpin redaksi dari sebuah majalah politik, Kandidat,menulis dan menyunting sejumlah buku dan sesekali tampil ditelevisi dan radio sebagai komentator isu-isu sosial politik.
Dalam bidang organisasi, Yudi pernah menjadi Ketua IkatanPemuda Masjid Agung Bandung (IKAPMA, 1985-1986),Koordinator Gelanggang Seni Sastra, Teater, dan Film (GSSTF)Universitas Padjadjaran (1987-1988), Sekretaris Jenderal SenatGabungan Universitas Padjadjaran (1989), Presidium MajelisSinergi Kalam (1997-1998), dan Ketua Perhimpunan MahasiswaIndonesia di Canberra (1999-2000).
Dalam bidang profesi, Yudi saat ini menjadi Wakil Rektoruntuk Urusan Kemahasiswaan, Riset, dan Kerja Sama Kelembagaanpada Universitas Paramadina, juga menjadi Direktur Eksekutifpada Reform Institute—sebuah lembaga riset swasta yang tengahmenanjak.[]
-
Democracy P ro jec t
Pengantar Prof. James J. Fox | XI
PENGANTARPROF. JAMES J. FOX*
Inteligensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Inteligensia MuslimIndonesia Abad ke-20, karya Yudi Latif, merupakan sebuah studidengan lingkup dan signifikansi yang luas dan penting. Studisejenis ini tak ada bandingannya dalam kelimpahan khazanahliteratur tentang Indonesia. Dengan mempertimbangkan cakupanyang luas dan argumen historis yang kritis, buku ini harus men -jadi bacaan wajib dalam upaya memahami masyarakat Indonesiadan perkembangan politiknya terkini.
Sebagai sebuah kajian sosiologis yang fundamental, buku inimendefinisikan dan menemukan subjeknya sendiri. Fokusnyaadalah pada “inteligensia” Muslim Indonesia. Argumennyaadalah bahwa “stratum” masyarakat ini—yang jarang diidentifikasiseperti itu oleh para penulis lain—telah menyediakan wacanaIslam kritis dalam ruang publik yang memungkinkan Muslimuntuk mendefinisikan diri mereka sendiri dan memberikan arahkepada bangsa Indonesia. Kajian ini menawarkan sebuah persepsi
* Prof. James J. Fox adalah Direktur Research School of Pacific and Asian Studies, theAustralian National University.
-
Democracy P ro jec t
XII | Inteligensia Muslim dan Kuasa
baru terhadap sejarah Indonesia, dengan memperhitungkan baiksentralitas ide maupun peran figur-figur kunci di Indonesiayang telah menghidupkan diskursus intelektual yang berlangsung.
Sebagai sebuah kajian tentang sejarah intelektual, buku inibertitik tolak dari abad ke-19, memotret konteks kolonial yangdi dalamnya individu-individu intelektual Muslim mendapatkanpendidikan dan menciptakan ruang aktualisasi bagi diri merekasendiri di tengah masyarakat kolonial. Pembahasan kemudianbergerak ke abad ke-20 dengan kemunculan “inteligensia” danpelbagai pergulatannya dalam mencari pengakuan dan otoritaspolitik. Dalam memberikan hal itu, buku ini memetakan peralihanantargenerasi yang identifikasi populernya, di setiap periode,memberikan pengertian tentang keterlibatan historis dari horizonintelektual mereka. Dari kaoem moeda, bangsawan pikiran,pemoeda peladjar hingga sarjana dan cendekiawan MuslimIndonesia dari generasi ke generasi bergumul dengan persoalanbagaimana menentukan posisi mereka di tengah arena nasionaldan merespons isu-isu penting di dunia Muslim.
Secara khusus harus diakui bahwa buku ini pada dirinya sen -diri merupakan suatu keterlibatan dengan wacana yang dikajinya.Apa-apa yang dikajinya mencerminkan keterlibatan yang itensdari penulisnya, karena Dr. Latif sendiri adalah seorang intelektualyang terlibat (engaged intellectual). Konsep-konsep analitis kritisyang dipakai dalam buku ini diambil dari ide-ide Mannheim,Gramsci, Foucault, dan Habermas—untuk menyebut beberapasumber inspirasinya. Penulis memodifikasi dan menyesuaikangagasan-gagasan ini ke dalam kerangka analitisnya sendiri gunamenghadirkan sebuah persepsi yang koheren atas masa lalubang sa Indonesia. Buku ini,dengan demikian, melengkapikhazanah studi-studi klasik tentang Indonesia oleh beberapapenulis, seperti Benda, Feith, Legge, dan McVey.
-
Democracy P ro jec t
Pengantar Prof. James J. Fox | XIII
Diskursus intelektual Muslim di Indonesia dan kaitan-eratnyadengan diskursus global yang lebih luas kini harus diakuikeberadaannya. Dengan mempertimbangkan fondasi-fondasidari diskursus publik dan melacak perkembangannya dari abadke-20 hingga sekarang, buku ini menjadi kunci penting bagidiskusi mutakhir tentang peran Islam pada abad ke-21. Lebihdari sekedar tinjauan atas masa lalu, buku ini merupakan titiktolak untuk memikirkan masa depan.[]
-
Democracy P ro jec t
XIV | Inteligensia Muslim dan Kuasa
UCAPAN TERIMA KASIH
Sejarah buku yang bertolak dari disertasi ini merupakan sejarahkasih sayang dan saling pengertian. Meskipun saya sendirilahyang bertanggungjawab atas hasil akhir dari buku ini, adalahmustahil karya ini bisa dituntaskan tanpa dukungan dan kontribusidari banyak pihak.
Saya terutama berutang budi kepada para pembimbing dandosen di Fakultas Studi Asia dan Research School of Pacific andAsian Studies (RSPAS), Australian National University (ANU),yang dengan murah hati telah memberikan bimbingan dandorongan.
Profesor Virginia Hooker tidak hanya seorang pembimbingyang sabar dan rendah hati, tetapi juga seorang“Ibu” yangpenuh kasih sayang yang senantiasa memperlihatkan simpatidan pengertiannya terhadap masalah-masalah psikologis danmaterial yang saya hadapi. Selama penulisan disertasi, beliaujuga telah memberi saya kesempatan berharga untuk memberikankuliah baru bersama “Reading the Indonesian Media” bagi paramahasiswa yang menggeluti studi Indonesia, yang telah membantumemperluas pemahaman saya sendiri akan pentingnya peranmedia dalam perkembangan sejarah inteligensia Indonesia.
Profesor James J. Fox merupakan seorang pembimbing lainnyayang bersahabat dan terbuka. Beliau bisa menerima pandangan-
-
Democracy P ro jec t
Ucapan Terima Kasih | XV
pandangan kritis dari para mahasiswanya, sekalipun jika hal itutak sejalan dengan preferensi-preferensi pemahamannya. Beliaujuga telah memperlihatkan dirinya sebagai seorang “Bapak”yang penuh pengertian dan tak segan-segan mengulurkanpertolongan. Dalam bidang akademik, beliau merupakan gurupertama saya dalam studi antropologi Islam. Partisipasi sayadalam reading course-nya, memberi saya wawasan baru mengenaipentingnya perbandingan internasional dalam studi Islam.
Dr. Greg Fealy adalah seorang pembimbing yang merangsangpemikiran. Pandangan-pandangan kritisnya tentang beberapapoin dalam disertasi, memberi saya tantangan yang konstruktifuntuk mempertajam analisis. Keahliannya dalam kajian tradisi -onalisme Islam Indonesia juga telah membantu memperluaspemahaman saya tentang genealogi inteligensia Muslim darikalangan tradisionalis.
Dr. Ann Kumar di Centre for Asian Societies and Histories,ANU, dan Profesor Emeritus John D. Legge di DepartemenSejarah, Monash Univesitiy, telah banyak meluangkan waktuuntuk membaca sebagian besar dari disertasi ini. Koreksi-koreksimereka terhadap beberapa poin persoalan sejarah dan saranmereka tentang struktur organisasi dari disertasi ini sungguhamat berharga.
Saya juga berterimakasih kepada Dr. Gail Craswell di AcademicSkills and Learning Centre, ANU, atas bantuan-bantuannyayang berharga sehubungan dengan masalah-masalah penulisandalam bahasa Inggris. (Aki) Achdiat Karta Mihardja juga patutdiberikan ucapan terimakasih atas bantuan-bantuannya terutamadalam penerjemahan teks-teks berbahasa Belanda.
Penulisan disertasi yang menjadi buku ini tidak mungkinterwujud tanpa dukungan finansial yang saya terima dariAustralian National University dan pemerintah Australia,khususnya Departemen Pendidikan, Pelatihan, dan Urusan
-
Democracy P ro jec t
XVI | Inteligensia Muslim dan Kuasa
Pemuda. Kedua institusi tersebut telah menganugerahi sayabeasiswa yang sulit diperoleh, International Postgraduate ResearchScholarship, yang memungkinkan saya mengikuti programdoktoral di ANU. Saat menempuh program doktoral ini, sayajuga diberi grant oleh Australia-Indonesia Institute untukmelakukan penelitian tentang Islam dan Demokrasi di Indonesia.Riset tentang isu ini memberikan masukan-masukan yang berhargauntuk memperkaya penulisan disertasi.
Saya juga patut mengekspresikan apresiasi saya kepadaPerpustakaan ANU dan Perpustakaan Nasional Australia. Koleksi-koleksinya yang kaya tentang studi Indonesia dan Islam telahmemberikan kontribusi penting dalam memperkaya pengetahuansaya. Akses saya terhadap koleksi perpustakaan-perpustakaantersebut dimungkinkan oleh layanan yang baik dari parapegawainya, yang tak bosan-bosannya membantu memenuhihasrat perburuan saya.
Kredit juga harus diberikan kepada Lembaga Ilmu PengetahuanIndonesia (LIPI) dan Universitas Paramadina di Jakarta, duainstitusi yang telah memberi jalan bagi studi doktoral saya,Apresiasi terutama harus diberikan kepada Nurcholish Madjid,Utomo Dananjaya, Sugeng Sarjadi, Benjamin Prawoto, DjokoPitono, Dipo Alam, Erman Aminullah, Taufik Abdulah, MochtarPabottingi, dan Dewi Fortuna Anwar atas bantuan, dorongan,dan nasihat-nasihatnya yang berharga.
Saya juga berterima kasih kepada para staf administratif diFakultas Studi Asia, RSPAS, dan Internasional Education Office,ANU, khususnya kepada Andrea Haese, Ludmila Mangos, VeraJoveska, Pamela Wesley-Smith, Heather Mann, dan Ann Bellatas bantuan-bantuannya yang berkaitan dengan masalah-masalahlogistik dan mekanisme birokratis.
Terima kasih juga patut dilayangkan kepada teman-temanseperguruan, Edward Chunck, Ros Matthews, Matthew Byrne,
-
Democracy P ro jec t
Ucapan Terima Kasih | XVII
Marshall Clark, dan teman-teman Indonesia di Canberra—yangnama-namanya tak mungkin disebutkan satu persatu--ataspersahabatan yang hangat dan pertukaran pikiran yang bernas.Kehadiran mereka di sekitar saya membantu menciptakanlingkungan multikultural yang stimulatif, yang membuat hidupsaya di Canberra lebih bermakna dari sekedar memburu gelarakademik.
Tak luput saya sampaikan terimakasih kepada teman-temansaya di Indonesia, terutama Idi Subandy Ibrahim, Ida AyuMustika Dewi, Tatat Rahmita Utami, Yudhie Haryono, AbdulHamid, Indah Dachlan, Yon Hotman, Angga Pribadi, Yossie,dan Ray Rangkuti, yang dengan caranya sendiri-sendiri telahmemberi kontribusi yang penting bagi penyelesaian disertasidan buku ini.
Lebih dari semua pihak yang telah disebutkan, orangtua,istri, dan anak-anak saya patut diberikan penghargaan yang se -tinggi-tingginya. Doa, dorongan, dan kehadiran mereka yangsenantiasa hadir dan mengalir, telah memberikan obat yangampuh untuk mengusir kepenataan dan kejenuhan sertameneguhkan spirit untuk tetap melangkah di jalur pengetahuan.Keluarga saya telah menanggung banyak penderitaan demituntasnya disertasi dan buku ini. Semoga Allah Swt. membalaspengorbanan mereka dengan ganjaran yang berlipat.
Akhirnya, ucapan terima kasih saya haturkan kepada EkoPrasetyo, Ahmad Baiquni, dan Penerbit Mizan yang telahberkenan menerjemahkan dan menerbitkan buku ini. Semogabuku ini memberi tetesan pengetahuan baru yang membawahikmah bagi kemaslahatan kita semua! []
-
Democracy P ro jec t
XVIII | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
BAB 1
PENDAHULUAN
Para intelektual telah turut membentuk kehidupan politik dinegara-negara sedang berkembang; merekalah para inisiator, para
pemimpin, dan para pelaksana dari kehidupan politik itu.—Edward Shils (1972)1
Strata inteligensia berkembang...manakala para anggota terdidikdari kelompok yang mapan tak sanggup menghadapi dan
memecahkan problem-problem bangsanya yang kian berkembang.Sebagai jawaban atas situasi itu, inteligensia tampil sebagai sebuah
elemen baru dalam struktur sosial, sebagai sebuah strata yangmenempati posisi di antara ‘penguasa yang mapan’
(the power establishment) di satu sisi, dengan semua kelasyang lainnya di sisi yang lain.
—Aleksander Gella (1976)2
Islam Indonesia merupakan sebuah realitas yang tak lagi bisadiabaikan oleh para akademisi. Gelombang kebangkitan kembali
Islam telah menerpa negeri itu sepanjang dua dekade terakhirsehingga semakin sulit untuk menyebut Islam sebagai sebuahkekuatan marjinal yang berada di tepi peradaban Indonesia.
—Mark R. Woodward (1996)3
Dari sela-sela krisis akut dalam ‘galaksi politik’4 Indonesia padasenjakala abad yang lalu, sinar ‘bulan sabit’ baru mulai terbit diufuk langit Jakarta: yaitu munculnya inteligensia Muslim sebagaielit politik dan birokratik yang tengah menanjak.
Pendahuluan | 1
-
Democracy P ro jec t
Pada masa akhir kekuasaan Suharto, setelah sejak tahun1960-an berlangsung proses demoralisasi yang melanda politisiMuslim, berbagai figur inteligensia Muslim secara mengejutkanmemainkan peran sentral dalam wacana sosial-politik Indonesia.5
Hampir bersamaan, banyak anggota lainnya dari inteligensiaMuslim yang berhasil menduduki eselon-eselon atas dalambirokrasi pemerintahan.6 Isu-isu yang menyangkut sepak-terjanginteligensia Muslim ini semakin mendapatkan liputan mediayang luas, menyusul pendirian Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) pada bulan Desember 1990.
Ketika gerakan reformasi muncul pada 1997/1998, beberapafigur inteligensia Muslim memainkan peran-peran yang krusialdalam proses pengunduran diri Suharto. Signifikansi politikdari inteligensia Muslim ini semakin nyata pada masa pemerintahan(transisi) Habibie, yaitu ketika para anggota kabinet dan pejabatsenior birokrasi kebanyakan berasal dari para anggota ICMI.Saat yang bersamaan, kepemimpinan partai Golkar (yangmerupakan penerus dari mesin politik Orde Baru) mulaididominasi oleh para mantan aktivis Himpunan MahasiswaIslam (HMI). Capaian politik inteligensia Muslim ini memuncakdengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (mantan ketua tanfidziyahNahdlatul Ulama) sebagai Presiden pasca-Habibie, yang disusuldengan penunjukan figur-figur Muslim sebagai pejabat-pejabatsenior negara.
Meskipun inteligensia Muslim pada akhir abad ke-20 telahmampu mencapai kredibilitas intelektual yang lebih kuat, selainjuga menempati posisi-posisi politik dan birokratik yang lebihbaik, partai politik Muslim secara keseluruhan tak kunjungmemperoleh dukungan suara mayoritas. Pada Pemilihan Umumtahun 1998, jumlah suara yang diperoleh oleh semua partaiMuslim, termasuk partai-partai yang menjadikan Pancasila
2 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
sebagai asasnya, hanya sebesar 36,38%, yang berarti hanyameraup 37,46% dari total kursi di DPR (yakni 173 kursi daritotal 462 kursi yang ada).7 Lebih dari itu, saat posisi politik danbirokratik dari inteligensia Muslim meningkat, sebagian besardari para pemimpin senior Islam menjadi kurang terobsesidengan klaim-klaim Islam. Mereka tak lagi terlalu berobsesidengan agenda pencantuman kembali ‘Piagam Jakarta’8 dalamkonstitusi negara.
Gambaran mengenai inteligensia Muslim pada akhir abadke-20 ini kontras dengan gambaran mereka pada awal abad ke-20. Sepanjang dekade-dekade awal abad ke-20, hanya sedikitdari lapisan berpendidikan terbaik dari inteligensia Indonesiayang bersedia bergabung dengan perhimpunan-perhimpunanIslam, seperti Sarekat Islam (SI), karena sebagian besar darimereka lebih suka bergabung dengan organisasi-organisasi yangmemiliki kaitan-kaitan dengan kaum priyayi seperti Budi Utomo.Namun, dengan keberhasilannya membela dan memenangkanhati masyarakat terjajah di akar rumput, SI muncul sebagaiperhimpunan Hindia Belanda pertama yang memiliki konstituenyang tersebar luas—melintasi batas-batas kepulauan Nusantara—dan berhasil memiliki jumlah keanggotaan yang terbesardibandingkan dengan perhimpunan-perhimpunan yang ada padamasa itu. Sementara, pada akhir abad ke-20, ada banyak sekalilapisan terdidik terbaik dari masyarakat Indonesia yang bergabungdengan perhimpunan-perhimpunan mahasiswa dan inteligensiaIslam (seperti HMI, ICMI, dan KAMMI), serta juga partai-partai Muslim. Namun daya tarik Islam politik di kalanganmasyarakat akar rumput cenderung merosot.
Meski pengaruh inteligensia Muslim meningkat dan sikappolitik inklusif di kalangan kaum Muslim menguat, partai-partaiIslam dan identitas-identitas komunal masih juga bertahan.
Pendahuluan | 3
-
Democracy P ro jec t
Terus bertahannya politik identitas Muslim ini bisa dilihat dariupaya-upaya yang dilakukan oleh lapisan-lapisan tertentu dariinteligensia Muslim, terutama di kalangan generasi mudanya,untuk berjuang demi diterapkannya Hukum Islam (syariah).Saat yang bersamaan, label-label Islam masih tetap dipakaisecara luas sebagai nama-nama bagi organisasi-organisasi kaumterpelajar dan politik.9
Seiring dengan kemunculan partai-partai Muslim yang liberalmaupun yang tak liberal (illiberal), pertarungan ideologi danidentitas politik baik antar maupun intra tradisi-tradisi intelektualyang ada terus berlangsung dengan agenda yang berbeda sertaintensitas dan ekspresi yang beragam. Di sini, politik Muslimmengalami fragmentasi internal dalam skala yang belum pernahterjadi sebelumnya, seperti ditunjukkan oleh kemunculan secaraberlimpah partai-partai politik Muslim. Sepanjang era reformasi,bahkan inteligensia Muslim yang pernah bersatu dalam ICMImenjadi tercerai-berai ke dalam beragam orientasi partai.
Semua gambaran tersebut mencerminkan adanya ke -sinambungan (continuity) dan perubahan-perubahan (changes)dalam gerak perkembangan inteligensia Muslim. Adanya gambarandiakronik dan sinkronik dari inteligensia Muslim ini patutmemperoleh perhatian yang serius dari kaum akademisi.Inteligensia Indonesia, dengan meminjam kata-kata Shils, telahmenjadi ‘penyeru’, ‘pemimpin’, dan ‘pelaksana’ dari politiknasional (Shils 1972: 387). Untuk satu atau lebih alasan, tingginyaketerlibatan politik dan keasyikan inteligensia Indonesia dalampertarungan memperebutkan kekuasaan masih tetap menjadisebuah gambaran pokok dari dunia perpolitikan Indonesia.Maka, upaya untuk memahami kesinambungan dan perubahan-perubahan yang berlangsung dalam gerak perkembanganinteligensia Indonesia merupakan sesuatu yang penting untuk
4 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
dilakukan agar kita bisa memahami kesinambungan dan perubahan-perubahan dalam pembentukan elit Indonesia dan politiknya.
Lebih dari itu, transformasi inteligensia Muslim dari posisimarjinal menuju posisi sentral dalam dunia politik dan birokrasiIndonesia tampak membingungkan jika kita berusahamemahaminya dalam konteks studi-studi yang telah ada mengenaielit Indonesia modern dan politiknya. Clifford Geertz dalamkaryanya yang berpengaruh, The Religion of Java (1960, 1976),menggambarkan bahwa elemen-elemen aristokratik dan birokratik(priyayi) dari masyarakat Jawa merupakan kalangan yangmerepresentasikan pandang dunia pra-Islam. Dia bahkancenderung melukiskan priyayi dan santri (elemen Muslim yangtaat) sebagai kategori-kategori yang bersifat saling berlawanan.10
Robert van Niel (1970) melukiskan elit Indonesia modernsebagai ‘para peniru cara-cara Barat’ yang secara gradualtercerabut ‘akarnya dari masyarakat Indonesia’ (1970: 23-7). R.William Liddle (1973) menyoroti dominasi ‘para intelektualmodern yang sekuler’ (secular modernising intellectuals) dalamkemunculan Orde Baru. Donald K. Emmerson (1976) mengamatibahwa ‘pada akhir tahun 1960-an dan awal 1970-an, rezimmiliter, teknokratik dan birokratik Indonesia tidak bisa disebutsebagai Muslim, baik dalam namanya maupun dalam praktiknya’(1976: 23).11 Ruth McVey (1989) sendiri menggambarkan ‘iman’(Islam) sebagai unsur luar dalam dunia politik Indonesia.
Meningkatnya pengaruh inteligensia Muslim, baik secaraintelektual, politik, dan birokratik, setelah sekian lama mengalamimarjinalisasi Islam politik, menghadirkan wawasan-wawasanbaru yang menyiratkan betapa pentingnya mempertimbangkanberagam faktor penentu politik dan beragam medan relasi kuasadalam dunia perpolitikan Indonesia. Di sisi lain, melemahnyadaya tarik partai-partai Islam buat para pemilih akar rumput
Pendahuluan | 5
-
Democracy P ro jec t
dan berubahnya sikap politik di kalangan anggota seniorinteligensia Muslim di akhir abad ke-20 mengindikasikanpentingnya mempertimbangkan keadaan-keadaan sinkronik(perubahan) yang ada di dalam sebuah bentangan perkembangandiakronik (kesinambungan) dari inteligensia Muslim.
Studi penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk menelaahgenealogi inteligensia Muslim dalam hubunganya denganpertarungan ‘kuasa’ (power) di Indonesia abad ke-20. Dalamupaya ini, pendekatan dengan kerangka waktu longue duréeakan dikombinasikan dengan sebuah metode interaktif,interdisipliner dan intertekstual untuk mendapatkan pemahamanyang lebih baik mengenai beragam impuls dan interaksi yangturut memberikan sumbangan bagi kesinambungan dan perubahandalam gerak perkembangan jangka panjang dari inteligensiaMuslim dalam relasinya dengan ‘kuasa’.
Dasar-Dasar AnalisisDalam studi mengenai ‘genealogi inteligensia Muslim (dankuasa) di Indonesia abad keduapuluh’, paling tidak terdapatlima istilah konseptual yang perlu dijelaskan secara lebih jauh:yaitu ‘genealogi’, ‘Muslim’, ‘inteligensia’, ‘kuasa’ (power), dan‘Indonesia’.
GenealogiIstilah ‘genealogi’ di sini didefinisikan baik dalam artiankonvensional maupun artian Foucauldian. Mengikuti studi-studisejarah dan antropologi tradisional, ‘genealogi’ bisa didefinisikansebagai studi mengenai evolusi dan jaringan dari sekelompokorang sepanjang beberapa generasi. Konsep genealogi ini bergunauntuk memperhatikan gerak perkembangan diakronik dan rantai
6 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
intelektual antar-generasi dari inteligensia Muslim Indonesia.Dalam artian Foucauldian, ‘genealogi’ merupakan sejarah
yang ditulis dalam terang penglihatan dan kepedulian (concerns)masa kini. Dalam pandangan Foucault, sejarah selalu ditulis dariperspektif masa kini. Sejarah merupakan pemenuhan atas sebuahkebutuhan masa kini. Fakta bahwa masa kini selalu beradadalam sebuah proses transformasi mengandung implikasi bahwamasa lalu haruslah terus-menerus dievaluasi-ulang. Dalam artianini, ‘genealogi tak berpretensi untuk kembali ke masa laludengan tujuan untuk memulihkan sebuah kontinuitas yang takterputus.’ Justru sebaliknya, ‘genealogi berusaha mengidentifikasihal-hal yang menyempal (accidents), mengidentifikasipenyimpangan-penyimpangan yang kecil (the minute deviations)’.Genealogi memfokuskan diri pada retakan-retakan, pada kondisi-kondisi sinkronik dan pada tumpang tindihnya pengetahuanyang bersifat akademis dengan kenangan-kenangan yang bersifatlokal (Foucault 1994, 1996; Lechte 1995: 110-115). ‘Genealogi’dalam artian ini berguna untuk memperhatikan dinamika,transformasi dan diskontinuitas dalam gerak perkembanganhistoris dari inteligensia Muslim.
Maka, dengan menerapkan pembacaan secara genealogis,penelitian ini akan menempatkan keadaan-keadaan sinkronik(perubahan pada saat-saat tertentu) dalam kerangka waktu yangdiakronik (lama-sinambung). Penekanan Saussurean danFoucauldian mengenai pentingnya mempelajari momen-momenyang bersifat sinkronik, dalam penelitian ini akan diimbangidengan memberikan perhatian kepada sebuah proses diakronikyang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Sepertipertanyaan yang diajukan secara retoris oleh Penelope J. Corfield(1991: 6): ‘Bagaimana bisa struktur-struktur yang bersifatsinkronik akan bisa ditelaah tanpa merujuk kepada arus ruang-
Pendahuluan | 7
-
Democracy P ro jec t
dan-waktu diakronis yang bersifat niscaya?’ Sementara studiatas momen-momen sinkronik akan bisa memperlihatkan kondisi-kondisi historis dari sebuah bangunan sosial, studi atas waktudiakronik akan bisa mengungkapkan jaringan jejak-jejak dankenangan-kenangan dari sebuah sejarah yang berlangsung lebihpanjang.12 ‘Setiap kondisi historis memunculkan polarisasi yangbersifat dialektis dan menjadi sebuah medan kekuatan (Kraftfeld)dimana di dalamnya berlangsung konflik antara masa lalu (fore-history) dan masa depan (after-history)’, demikian kata WalterBenjamin (1980: 60).
Studi atas kontinuitas yang bersifat diakronik yangdikombinasikan dengan studi atas perubahan yang bersifatsinkronik adalah penting untuk bisa mengamati proses ‘strukturasi’(structuration), -dalam artian Giddens (1984),- dari tradisi-tradisi intelektual. Ide-ide, peran, dan persepsi-diri kaumintelektual dipengaruhi oleh batas-batas tradisi intelektual dankultural terentu yang terbangun secara historis serta kemungkinantindakan dan kemauan-kemauan aktor-aktor sosial (humanagencies). Dengan demikian, inteligensia dan/atau para intelektualmerupakan bagian dari sebuah proses historis dimana di dalamnyapara aktor manusia membentuk-kembali (reinvent) tradisi-tradisikultural dan intelektualnya dalam konteks-konteks yang berbeda(Eisenstadt 1973).
Fokus perhatian buku ini terhadap proses diakronik darigerak perkembangan inteligensia Muslim sungguh penting karenapara analis arus-utama dalam bidang kajian politik Indonesiaterlalu mengarahkan perhatiannya kepada keadaan-keadaansinkronik dalam Islam politik. Konsentrasi analisis politikterhadap peristiwa-peristiwa politik harian (day-to-day politicalevents) akan beresiko memberikan perhatian yang terlalu banyakterhadap, meminjam pandangan Fernand Braudel (1980), waktu
8 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
yang bersifat individual, waktu kondisional (conjuncture) dalamdirinya sendiri, tanpa mempertimbangkan durasi jangka panjang(longue durée).
Karena mengabaikan kerangka waktu ‘longue durée’, trikotomiGeertz mengenai ‘santri-abangan-priyayi’13 gagal untuk melihatkonstruksi pandangan dunia (worldview) priyayi di masa lalu(backward) maupun di masa depan (forward). Dia mungkinakan heran bahwa jauh sebelum dia melakukan penelitianlapangnya pada tahun 1950-an, beberapa figur dari inteligensiaHindia Belanda yang baru muncul pada awal abad ke-20, sepertiTjipto Mangunkusumo, Tirto Adhi Surjo, Agus Salim,Tjokroaminoto, Djajadiningrat bersaudara, dan Sutomo dalamkenyataannya merupakan anak-anak dari keluarga priyayi yangmemiliki latar belakang keagamaan santri yang kuat (lihat bab3). Dia juga mungkin akan heran bahwa beberapa dekade setelahpenelitiannya, gambaran mengenai santri sebagai elemen pedagangdalam masyarakat Indonesia telah mulai dikalahkan oleh gambaransantri sebagai birokrat-baru.
Di sisi lain, fokus buku ini terhadap perubahan sinkronikpenting untuk menyelamatkan sejarah intelektual dari asumsi-aumsi esensialisme. Mochtar Pabottingi (1982), misalnya, dalamstudinya mengenai para intelektual Indonesia pada masa sebelumRevolusi Kemerdekaan 1945 sampai pada kesimpulan bahwaintelektual Indonesia telah selalu terikat dengan, dan tak pernahterasing dari, massa rakyat. Sementara dalam kenyataan, paraintelektual dari generasi pertama inteligensia Indonesia pernahmengalami masa dimana ruang publik mereka pada awalnyahanya terbatas pada sebuah kelompok inti priyayi terdidik,sementara publik dalam artian massa yang lebih luas, masihmerupakan pihak ketiga yang bersifat anonim, tak berbentukdan tak acuh.
Pendahuluan | 9
-
Democracy P ro jec t
Fokus perhatian kepada perubahan-perubahan sinkronik jugaakan memperlihatkan bahwa identitas-identitas politik inteligensiaMuslim tidaklah merupakan sebuah konstruk yang bersifat baku(fixed) dan stabil, yang bertahan sejak awal sampai akhir melewatisegenap perkembangan sejarah tanpa ada perubahan. Meminjamkata-kata Stuart Hall (1997: 4): ‘Identitas adalah persoalanmengenai bagaimana menggunakan sumberdaya sejarah, bahasadan kebudayaan dalam proses menjadi (becoming)... Identitas-identitas itu tunduk pada proses menyejarah secara radikal(radical historicization), dan secara terus-menerus berada dalamproses perubahan dan transformasi; individu-individu sendiritersusun dari banyak identitas, dan keberagaman identitasindividu ini dikonstruksikan dalam konteks yang berbeda-beda’(Mouffle 2000). Dalam proses transformasi dan konstruksi ini,praktik-praktik diskursif memainkan peran yang menentukan.Seperti yang dicatat oleh Hall (1997: 4): ‘Identitas-identitas ter -bangun di dalam, bukan di luar, discourse (wacana perbincangan),dan karena itu kita harus memahami identitas-identitas tersebutsebagai sesuatu yang terbentuk dalam ruang-ruang historis daninstitusional yang spesifik lewat struktur dan praktik-praktikdiskursif yang spesifik.’
MuslimIstilah ‘Muslim’ dalam buku ini bukanlah sebuah penanda(signifier) terhadap setiap orang yang menganut agama Islamdan juga bukan sebuah rujukan (reference) terhadap sikapkesalehan dalam beragama. Mereka yang termasuk dalaminteligensia Muslim tidak dengan sendirinya merupakan Muslimyang saleh, dan mereka yang tidak termasuk inteligensia Muslimtidak dengan sendirinya merupakan Muslim yang tak saleh.‘Muslim’ di sini merupakan sebuah penanda (signifier) dari
10 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
tradisi-tradisi politik dan intelektual yang berorientasi Islamyang terkonstruksikan lewat praktik-praktik diskursif dalamsuatu momen historis tertentu dalam sejarah Indonesia. ‘OrientasiIslam’, merujuk pada keterikatan tradisi-tradisi politik danintelektual ini dengan ideologi-ideologi dan/atau kolektivitas-kolektivitas Islam. Ideologi-ideologi Islam sendiri beragam danberbeda-beda karena adanya pertarungan dan ragam posisi yangsaling berlawanan; sementara yang disebut sebagai kolektivitas-kolektivitas Islam meliputi ‘komunitas-komunitas epistemik’(epistemic communities, seperti sekolah-sekolah, lembaga dakwah,zawiyah dan sebagainya.), perhimpunan-perhimpunan Islam(seperti yayasan, perkumpulan-perkumpulan dan partai-partaipolitik) dan kelompok-kelompok aksi Islam. Konsep ‘Islam’sebagai kata sifat dari kolektivitas-kolektivitas tersebut sekalilagi terkonstruksikan dalam ruang-ruang historis dan institusionalyang spesifik lewat struktur dan praktik-praktik diskursif yangspesifik. Dengan demikian, maka konsep ‘Islam’ itu pun tundukpada proses pertarungan, perubahan, dan transformasi.
Istilah ‘Muslim’ berkembang dari hasil pertarungan wacanaserta perbenturan dengan identitas-identitas yang lain, dankarena itulah, istilah tersebut memiliki sebuah dimensi politis.Istilah tersebut telah dipolitisasi untuk beberapa alasan. Pertama,istilah ini bisa jadi merupakan sebuah refleksi dari suatu sikapnasionalisme yang terfragmentasi. Fragmentasi ini lahir dariadanya kenyataan pluralitas bangsa dan dari adanya keragamankenangan-kenangan dan identitas-identitas kolektif, selain jugadari adanya kepelbagian dalam posisi subjek (subject positions),tradisi dan jaringan intelektual dari masyarakat Indonesia.
Dari sudut pandang perspektif-perspektif ini, keasyikandengan politik identitas dan simbol-simbol Islam menandakansuatu situasi ganda. Di satu sisi, keasyikan itu bisa ditafsirkan
Pendahuluan | 11
-
Democracy P ro jec t
sebagai apa yang mungkin disebut Alain Touraine sebagai sebuah‘tindakan historis’ (a historical action) dari suatu identitaskolektif tertentu dalam ‘perjuangan untuk menyejarah’ (strugglefor historicity) (Touraine, 1981). Di sisi yang lain, keasyikan itumengindikasikan adanya sebuah kecenderungan patologi pasca-kolonial yang kambuhan, ditandai oleh adanya kontradiksi-kontradiksi yang terus berlangsung karena adanya kemacetanhistoris. Menurut Albert Memmi (seorang intelektual danrevolusioner Tunisia), patologi pasca-kolonial bersifat limboantara kemungkinan kebebasan yang nyata (the visible apparatusof freedom) dengan bayang-bayang ketidakbebasan yang terusmengancam (the concealed persistence of unfreedom), antaramenjadi-ada (arrival) dan menjadi-lenyap (departure), antarakemerdekaan (independence) dan ketergantungan (dependence),yang berakar pada residu infeksi-infeksi masa lalu yang terpendamdan tak terselesaikan (unconsidered and unresolved past)’ (Gandhi1998: 6-7).
Yang kedua, politisasi atas simbol-simbol Islam tampaknyamerupakan residu yang bersifat menular dari apa yang pernahdisebut W.F. Wertheim (1980) sebagai sindrom ‘mayoritas denganmentalitas minoritas’, yang lahir karena posisi ironis Islam dinegeri ini:
Mayoritas besar orang Indonesia menganut agama Islam. Darisudut pandang kuantitatif, Indonesia bahkan bisa dianggapsebagai ‘negara Islam’ terbesar di dunia. Namun, sikap-sikapmental dari ummat Islam di negeri tersebut menunjukkan sikap-sikap mental yang khas dari sebuah kelompok minoritas. Halini terutama disebabkan oleh fakta bahwa dalam medan politik,sepanjang sejarah abad-abad yang lalu, para wakil ummat Islamsecara konsisten lebih diposisikan sebagai orang luar (Wertheim1980: 1)
12 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
Yang ketiga, istilah ‘Muslim’ telah secara sering dipolitisasikarena adanya konflik internal dalam ummat Islam dalampertarungan memperbutkan klaim sebagai wakil ‘sejati’ dariIslam. Heterogenitas latar belakang Muslim Indonesia, baikdalam kerangka etnis, kultur, geografi dan mazhab-mazhabkeagamaan, yang berkombinasi dengan tidak terlalu besarnyatekanan dari non-Muslim (paling tidak dalam hal jumlah) disebagian besar daerah di Indonesia, telah menciptakan sebuahkesempatan yang lebih besar bagi terciptanya variasi internaldalam tubuh ummat Islam. Akibatnya, politik Islam Indonesialebih dicirikan oleh keberagaman, oleh pertarungan, dan olehberagam pemikiran yang saling bertentangan, yang seringkalimerangsang terciptanya sebuah proses politisasi yang intensterhadap Islam.
Yang terakhir, namun yang juga sama pentingnya, bagi banyakgenerasi muda Muslim, terutama mereka yang dibesarkansepanjang masa-masa akhir dari era modernisasi Orde Baru,obsesi akan simbolisme Islam mungkin didorong oleh adanyaintrusi dari kondisi-konsisi post-modern serta penetrasi budayamassa yang bersifat global. Hidup dalam sebuah dunia post-modern, seperti yang dijelaskan Baudrillard (1992) kepada kita,berarti hidup dalam sebuah gerak interpenetrasi pengalaman-pengalaman kultural dan pluralisasi alam kehidupan yang dialamimanusia sehingga melahirkan ketidakjelasan nilai-nilai ideal danmenumbuhkembangkan gaya hidup konsumerisme yangmenyebabkan terdiferensiasi dan terfragmentasinya cara pandangatas dunia (worldview). Perkembangan-perkembangan ini memilikisebuah dampak yang serius terhadap kaum Muslim Indonesia,sebagaimana yang juga dialami oleh umat beragama yang lain didunia, dan dampak ini bagi para aktivis Muslim dianggap sebagaisebuah ancaman penetrasi kolonialisme baru yang bersifat tak
Pendahuluan | 13
-
Democracy P ro jec t
langsung, yaitu dalam bentuk sekularisasi kebudayaan. Jadi,meminjam pandangan Turner, balikan mereka kepada ‘identitasMuslim’ merupakan ‘sebuah upaya untuk menciptakan sebuahgemeinschaft baru, sebuah versi baru dari rumah tradisional,untuk menangkal ancaman dari postmodernitas dengan jalanmembangun kembali ideologi komunal’ (Turner 1994: 93).
Dengan kata lain, keasyikan dalam identitas-identitas dansimbol-simbol Islam ini merupakan sebuah indikasi dari apayang disebut Geertz sebagai ‘pergulatan demi menyatakan-diri’(struggle for the real) (1972: 324)14 yang tak pernah lelah darikaum Muslim, yang merefleksikan adanya jurang-jurang yangsangat lebar dan adanya pergulatan yang begitu lama antaranilai-nilai ideal Islam dan kenyataan. Sebuah ancangan terhadapsudut pandang ini pernah diungkapkan oleh Abu-Rabi’: ‘Maka,Islamisme merupakan sebuah cermin dari suatu krisis patologisyang berurat berakar dalam masyarakat Islam’ (Abu-Rabi’ 1996:59).
Inteligensia dan IntelektualFokus perhatian utama dari buku ini ialah genealogi dari entitaskolektif ‘inteligensia’ Muslim—yang merupakan sebuah sub-stratum dari inteligensia (kaum terdidik modern) Indonesia—ketimbang genealogi dari para ‘intelektual’ Muslim secaraindividual. Namun, pada saat melukiskan gerak perkembangandari sebuah kelompok inteligensia tertentu, secara tak terelakkanperhatian juga akan terarah pada peran para intelektual secaraindividual sebagai perumus dan artikulator dari identitas-identitasdan ideologi-ideologi kolektif.
Mendefinisikan ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’ merupakansesuatu yang sangat problematik. Kedua istilah tersebut telah
14 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
dipergunakan secara tumpang tindih dalam wacana mengenaisejarah dan politik Indonesia. Tak ada pemahaman bahwamasing-masing memiliki genealogi dan formasi sosialnya sendiri-sendiri, sehingga karena itu, keduanya merujuk pada suatukonsep dan fenomena sosial yang berbeda. Mohammad Hatta,dalam pidatonya yang bersejarah di hadapan sivitas akademikaUniversitas Indonesia pada tanggal 11 Juni 1957 yang berjudul‘Tanggung Djawab Moril Kaum Inteligensia’ menafsirkan‘inteligensia’ sebagai sinonim dengan ‘intelektual’ danmenggunakan konsepsi intelektual yang dipakai Benda dalamkaryanya La Trahison des Clercs (Pengkhianatan Kaum Intelektual)sebagai kerangka konseptualnya (Hatta 1957). Selo Soemardjanpernah menulis ‘The Changing Role of intellectuals in IndonesianNational Development’ (1981) untuk menjelaskan peran‘inteligentsia’. Dia berargumen: ‘...konsep intelektual dalamartian mereka yang dianggap atau menganggap diri merekasendiri sebagai intelektual haruslah diartikan identik dengankata ‘inteligensia’ (Soemardjan 1981: 139-140). Pada saat yangbersamaan, Arief Budiman menulis ‘Students as Intelligensia:The Indonesian Experience (1981), dengan menggunakan kerangkaliteratur-literatur Eropa Barat mengenai ‘intelektual’, dimana didalamnya istilah ‘intelektual’ dan ‘inteligensia’ dipakai dengansaling dipertukarkan. Pada satu kesempatan, dia menyatakanbahwa para mahasiswa Indonesia termasuk ke dalam ‘kelompokintelektual’ (h. 224). Pada kesempatan yang lain, dia melukiskanpara mahasiswa sebagai inteligentsia (h. 225). Hanya beberapabulan sebelum saya menyelesaikan tesis ini, Daniel Dhakidaemenerbitkan bukunya mengenai para intelektual Indonesiasepanjang Orde Baru dengan judul Cendekiawan dan Kekuasaandalam Negara Orde Baru (2003). Namun, dalam buku itu, diatak memberikan pembedaan yang jelas antara konsep ‘intelektual’
Pendahuluan | 15
-
Democracy P ro jec t
dan ‘inteligensia’. Selain mengasosiasikan istilah ‘inteligensia’dengan ‘intelektual’, dia menggunakan kasus ‘inteligensia’ Rusiasebagai contoh dari keberadaan ‘intelektual’ (h. 8-9).
Ambiguitas semacam itu bukan hanya tampak nyata dalamstudi mengenai Indonesia, namun juga berlangsung umum dalamwacana ilmiah Barat. Menurut Aleksander Gella (1976), paraahli sosiologi Barat selama jangka waktu yang lama ‘bahkantidak melihat adanya perbedaan antara para intelektual di Baratdengan formasi sosial yang unik dari suatu stratum, yang disebutintelligentsia, yang mulai berkembang di Rusia dan Polandiasepanjang pertengahan abad kesembilanbelas’. Dia bahkanmenunjukkan bahwa istilah ‘inteligensia’ tidak diberikan entritersendiri baik dalam Encyclopaedia of the Social Sciencesmaupun dalam International Encyclopedia of the Social Sciences.Lebih dari itu, dia mengamati bahwa dalam karya RobertMichels (1932) dan Edward Shils (1968), kedua istilah tersebuttidak dianggap sebagai dua konsep yang berbeda. SementaraMichels menggunakan istilah-istilah tersebut secara salingdipertukarkan, Shils ‘lebih konsisten dan menulis hanya semata-mata mengenai para intelektual, dengan meniadakan hampirsemua rujukan mengenai pasangan imbangan dari konsep itu(yaitu, intelligentsia), yang muncul di Eropa Timur’ (Gella 1976:19).
Deskripsi yang diuraikan oleh Gella tersebut merupakansebuah indikasi mengenai adanya kontras dalam pendekatanuntuk memahami istilah ‘intelektual’ dan ‘inteligensia, yaituantara pendekatan formalistik dan historis. Pendekatan yangpertama merupakan pendekatan yang khas para sosiolog EropaBarat dan Amerika, yang secara umum cenderung mengidentikkaninteligensia dengan intelektual. Dalam pendekatan ini, baikintelektual maupun inteligensia menunjuk pada seorang individu
16 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
atau kelompok individu yang berurusan dengan dunia ide-ide,dan menjalankan peran sosialnya sebagai para pemikir ide-ide.Pendekatan yang kedua, yang masih dianut terutama oleh parasosiolog dan sejarawan Eropa Timur, cenderung melihat inteligensiasebagai sebuah fenomena yang unik dan partikular. Dalampendekatan ini, kedua istilah tersebut dipandang memilikiformasi sosialnya masing-masing yang spesifik, dan oleh karenaitu tidak bisa dipertukarkan karena masing-masing memilikiperjalanan historis dan konsekuensi-konsekuensi sosialnya sendiri-sendiri (Gella 1976, 11-12).
InteligensiaBerbeda dengan intelektual, inteligensia tampil sejak awal sebagaisebuah strata sosial.15 Strata sosial ini muncul di Polandia danRusia pada masa kekuasaan Peter Agung (Peter the Great)—namun baru mendapatkan bentuknya pada tahun 1860-an.Strata ini terdiri dari lapis masyarakat yang lebih terdidik,namun berbeda dengan kalangan terdidik lainnya dari kelasatas. Elemen pembentuk utama dari strata yang sedang menanjakini adalah pendidikan dan orientasinya pada kebudayaan Eropa,terutama pada bidang pengetahuan teknis dan sains, yangmelampaui pengadopsian perilaku dan tata krama Eropa yangtelah lama dilakukan oleh para bangsawan (Gella 1976; Eyerman1994).
Disebutkan bahwa sampai abad ke-18, kehidupan intelektualRusia berwatak keagamaan. Namun, dalam abad-abad berikutnya,kaum Muskovit (intelligenty) Rusia semakin terpengaruhsekulerisme Eropa Barat sebagai konsekuensi dari ekspansi Rusialewat penaklukan-penaklukan dan aneksasi-aneksasi militernya,sehingga terbukalah ‘jendela baru’ menuju Dunia Barat, danterjalinlah kontak-kontak yang lebih erat dengan negara-negara
Pendahuluan | 17
-
Democracy P ro jec t
‘di seberang lautan’ (beyond the seas). Proses Westernisasi-yangdiiringi dengan-sekularisasi ini berkembang luas pada masakekuasaan Peter Agung, melalui kebijakannya untuk melakukan‘peminjaman’ budaya secara besar-besaran yang menjadikankaum Muskovi sepenuhnya terbuka terhadap pengaruh-pengaruhBarat di bidang pengetahuan teknik dan sains (Nahirny 1983:19-20). Perintis awal dari misi suci (mission sacre) peminjamanbudaya ini ialah kaum bangsawan—suatu strata yang terdiridari mereka yang mengabdi pada negara. Namun, ketergantunganpada bangsawan sebagai pengusung utama dari misi suci tersebutgagal total karena memang bangsawan merupakan stratamasyarakat yang paling enggan memikul peran tersebut. Padaparuh kedua abad ke-19, orang-orang dari kelas-kelas dan stratasosial yang lebih beragam terlibat dalam proses ini,16 sehinggamenyebabkan terbentuknya strata inteligensia yang memilikikarakteristiknya sendiri (Nahirny 1983: 22-24).
Vladimir C. Nahirny (1983) dan Aleksander Gella (1976)memiliki pemahaman yang sama mengenai karakteristik-karakteristik utama dari strata yang baru tersebut. MenurutNahirny, inteligensia, sebagai sekelompok orang yang memilikikarakteristiknya sendiri, tak dapat disangkal berada di atasdan di luar tatanan sosial yang ada, baik yang berupa sistemkelas maupun status tradisional (estates). Lebih jauh, diamelukiskan:
Karena keunggulan posisinya, para anggota dari strata inteligensiatidak terikat baik oleh kepentingan-kepentingan kelas maupunprofesi, dan juga tidak membentuk sebuah kelompok statusyang terdiri dari para individu yang menikmati hak-hak dankekebalan-kekebalan tertentu yang diterima dari adat kebiasaandan/atau hukum. Oleh karena itu, inteligensia berbeda dari
18 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
formasi-formasi sosial yang konvensional, seperti klik-klikpersonal, kelompok-kelompok status dalam profesi, perhimpunan-perhimpunan masyarakat profesi, atau lembaga-lembaga korporasi.Meskipun benar bahwa matriks dari inteligensia itu adalahstrata masyarakat berpendidikan, namun anggota-anggotaindividual dari strata ini tidaklah menjadi bagian dari stratatersebut semata-mata karena keunggulan pendidikan dankompetensi profesinya ataupun juga karena prestasi intelektualnyabelaka (Nahirny, 1983: 7-8).
Sejalan dengan pandangan Nahirny, Gella berargumen bahwadalam kedudukannya sebagai sebuah strata sosial, inteligensiajauh lebih dari sekedar sekelompok orang yang disatukan olehkepentingan-kepentingan intelektual tertentu, oleh tingkatan-tingkatan pendidikan ataupun oleh relasi-relasi pekerjaan.‘Inteligensia klasik disatukan bukan oleh standar kehidupan danpendapatan yang bersifat ekonomis maupun oleh kepentingan-kepentingan profesi, namun terutama oleh kesamaan sikap-sikap tertentu, dan oleh penerimaan terhadap suatu warisanbudaya yang lebih luas dari batas-batas nasional’ (Gell 1976:13). Sebagai tambahan: ‘Anggota-angota dari kominitas inteligensia,tanpa mempedulikan status pekerjaan dan ekonominya,dipersatukan oleh suatu panggilan bersama: ‘mengabdi padabangsamu’’ (h. 14). Panggilan ini dalam pengalaman Rusiadikobarkan oleh dorongan untuk menghapuskan Tsarisme, untukmenghancurkan negara lama lewat jalan damai ataupunrevolusioner. Di Polandia, yang menjadi motivasinya ada dua:yaitu untuk menghapuskan kekaisaran para penindas dan jugauntuk membangun kembali negara Polandia yang merdeka (h.15).
Tidak seperti Rusia dan Polandia, dalam masyarakat-masyarakat
Pendahuluan | 19
-
Democracy P ro jec t
pasar bebas di Eropa Barat, orang-orang terdidik tidak membentuksebuah strata tersendiri. Di kebanyakan masyarakat pasar-bebasBarat, orang-orang terdidik (para intelektual) tampil sebagaisebuah bagian organik dari kelas-kelas yang ada. Mereka bolehjadi menjadi bagian dari kelas atas, menengah, dan bahkanproletar (Konrád & Szelényi 1979; Gella 1976: 20). Maka,menjadi seorang intelektual dalam masyarakat-masyarakat EropaBarat sama sekali tidak merubah ikatan kelas atau kesadarankelas seseorang. Namun, di Polandia dan Rusia, inteligensiamembentuk sebuah stratum yang berdiri sendiri denganmengandaikan adanya sebuah identitas kolektif yang memancardari karakteristik-karakteristik psikologis, perilaku, gaya hidup,status sosial, sistem nilai dan panggilan historis bersama (Gella1976: 13).
Kepemimpinan strata ini dipegang oleh sekelompok relatifkecil pemimpin moral dan intelektual. Menurut Gella: ‘Keyakinan-keyakinan, sikap-sikap moral, dan perilaku politik dari parapemimpin ini tidak sepenuhnya diadopsi oleh para anggotakomunitas intelligentsia’ (Gella 1976: 13). Namun, pada umumnyaseorang anggota biasa dari strata inteligensia mempertahankanidentitas kolektif inteligensia dengan menirukan perilaku, danpaling tidak secara verbal, norma-norma dasar serta orientasinilai dari para (pemimpin) ‘intelektual’ dari strata ini. Jadisingkatnya, strata inteligensia ini memiliki intelektual-intelektualnyasendiri yang menjalankan peran sebagai perumus dan artikulatoridentitas kolektif.
IntelektualKalimat terakhir di atas mengaitkan wacana ‘inteligensia’ denganwacana tentang ‘intelektual’ yang berkembang di masyarakatBarat. Istilah ‘les intellectuels’ yang diperkenalkan oleh Clemenceau
20 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
dipakai secara luas di Prancis pada tahun 1898 sebagai resonansidari ‘manifesto intelektual’ (manifeste des intellectuel) yangdibangkitkan oleh ‘Kasus Dreyfus’ (Feuer 1976: 48; Gella 1976:19). Pada tahun 1896, Alfred Dreyfus, seorang kapten Yahudidalam dinas ketentaraan Prancis dituduh telah melakukanspionase dan dicopot dari pangkatnya oleh sebuah pengadilanmiliter dan dihukum penjara seumur hidup. Sebagai protes ataskesewenang-wenangan keputusan pengadilan itu, Emile Zola,seorang novelis populer yang terkenal, menerbitkan sebuahsurat terbuka di halaman muka sebuah koran kecil yang terbitdi Paris, yang menuduh para anggota dinas ketentaraan Prancistelah merekayasa bukti, memanipulasi dan menutup-nutupifakta-fakta dari kasus tersebut. Surat ini, yang kemudian dikenalsebagai ‘manifeste des intellectuels’ (manifesto para intelektual)menyebabkan perpecahan di kalangan pengarang Prancis menjadidua kubu: yaitu kubu Dreyfusard (yang membela Dreyfus) dankubu anti-Dreyfusard. Dari polarisasi ini, muncullah istilah‘intelektual’, yang pada awalnya merupakan sebuah istilahcemoohan yang memiliki konotasi negatif. Buat kubu anti-Dreyfusard, yang berbicara dari sudut pandang pendukunginstitusi-institusi negara, istilah ‘intelektual’ dipakai untukmenunjuk kepada para penulis dan selebritis yang berorientasi-pasar yang memiliki keterkaitan dengan kubu Dreyfusard.Namun, efek dari pelabelan ini malah semakin memperteguhkubu Dreyfusard, dan malah memberikan kepada mereka sebuahnama dan kesadaran akan identitas mereka yang baru. Sejaksaat itu, kata ‘intelektual’ bukan hanya menjadi sebuah istilahyang populer, namun juga menjadi sebuah model bagi bentukbaru keterlibatan dalam kehidupan publik dan juga bagi peranbaru untuk dimainkan (Eyerman 1994: 23-53).
Maka, pada tahap-tahap awal kemunculannya, intelektual
Pendahuluan | 21
-
Democracy P ro jec t
menunjuk pada sebuah kelompok dengan misi yang di -proklamirkan sendiri, yaitu membela sebuah nurani bersamaatas persoalan-persoalan politik yang mendasar. Namun, dalamperkembangan berikutnya, definisi-definisi dari intelektualmenjadi berlimpah dan beragam. ‘Setiap definisi yang merekaajukan’, kata Zygmunt Bauman, ‘sesungguhnya merupakansebuah upaya untuk menarik garis batas identitasnya masing-masing. Setiap batasan membelah wilayah menjadi dua sisi:yaitu di sini dan di sana, di dalam dan di luar, kita dan mereka’(Bauman 1989: 8).
Mengikuti pendapat Eyerman (1994: 1), beragam definisitersebut bisa dikelompokkan menjadi dua kategori. Yang pertama,definisi yang menginterpretasikan intelektual dalam kerangkakarakteristik-karakteristik personal, seperti ‘seorang yangmenjadikan berpikir sebagai kerja sekaligus bermain’ (Lasch1965) atau mereka ‘yang tak pernah puas dengan hal-halsebagaimana adanya’ (Coser 1965: viii). Michael Walzer (1989)dan Paul Johnson (1988) juga mengikuti dan mengembangkandefinisi semacam ini. Yang kedua, definisi yang mengaitkanistilah tersebut dengan suatu struktur dan fungsi sosial tertentu.Definisi seperti ini diajukan, misalnya, oleh Seymour MartinLipset yang mendefinisikan para intelektual sebagai mereka‘yang menciptakan, menyebarluaskan, dan menjalankankebudayaan’ (1960: 311), oleh Alvin Gouldner (1979), GeorgeKonrád dan Ivan Szelényi (1979), Pierre Bourdieu (1984, 1988),dan Antonio Gramsci (1971).
Sebagai tambahan terhadap Eyerman, teori-teori mengenaifungsi sosial dari para intelektual pada umumnya bisa jugadibagi menjadi dua perspektif yang saling bertentangan. Di satusisi, para teoretisi politik yang terpengaruh oleh Marx danLenin memandang bahwa pemikiran-pemikiran para intelektual
22 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
ditentukan terutama oleh relasi mereka dengan struktur kekuasaanatau ekonomi. Di sisi lain, para sosiolog yang terpengaruh olehide-ide Weber memandang pemikiran-pemikiran para intelektualdalam kerangka relasinya dengan pengetahuan (Miller 1999).
Eksponen paling berpengaruh dari perspektif yang pertamaadalah Gramsci, Baginya, sangatlah problematik jika harusmengidentifikasi para intelektual sebagai orang-orang yangmemiliki kualitas-kualitas khusus yang dianggap bersifat bawaan(innate).17 Dalam pandangannya, setiap orang ‘menjalankanbeberapa bentuk aktivitas intelektual’, ‘namun tidak semuaorang dalam masyarakat menjalankan fungsi sebagai intelektual’(Gramsci 1971: 8-9). Maka, faktor penentu apakah seseorangitu bisa dikategorisasikan sebagai seorang intelektual ataukahseorang pekerja manual terletak pada ‘fungsi sosial’-nya. Berbedadengan pandangan liberal yang melihat kaum intelektual sebagaisesuatu yang berada ‘di atas’ atau ‘di luar’ masyarakat, Gramscimemahami para intelektual sebagai sebuah bagian integral darimaterialitas yang kongkret dari proses-proses yang membentukmasyarakat. Atas dasar fungsi sosial dan afinitas sosialnya,Gramcsi membedakan dua kategori intelektual: yaitu intelektual‘tradisional’ dan intelektual ‘organik’. Dalam kategori intelektual‘tradisional’, Gramsci memasukkan bukan hanya para filosof,sastrawan, ilmuwan dan para akademisi yang lain, namun jugapara pengacara, dokter, guru, pendeta, dan para pemimpinmiliter (Gramsci 1971: 7, 9). Menurut penilaiannya, paraintelektual tradisional secara niscaya akan bertindak sebagaiantek dari kelompok penguasa. Bahkan, saat mereka bersikapkritis terhadap status quo pun, mereka pada dasarnya tetapmembiarkan sistem nilai yang dominan menentukan kerangkaperdebatan mereka (Gramsci 1971: 7-8, 12). Sementara para‘intelektual organik’ menurutnya menunjuk pada para intelektual
Pendahuluan | 23
-
Democracy P ro jec t
yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator dari ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan kelas, terutama dikaitkandengan ideologi-ideologi dan kepentingan-kepentingan kelasyang sedang tumbuh (kelas buruh). Dia berargumen bahwasemua kelompok sosial yang memainkan peran ekonomi yangsignifikan secara historis menciptakan intelektual-intelektualnyasendiri untuk menjustifikasi peran tersebut: ‘Setiap kelompoksosial terlahir dalam medan fungsinya yang pokok, dan bersamaandengan itu, secara organis melahirkan satu atau lebih stratakaum intelektualnya sendiri yang akan menciptakan homogenitasdan kesadaran akan fungsi dalam diri kelompok sosial tersebut,bukan hanya di medan ekonomi, namun juga di medan sosialdan politik’ (Gramsci 1971: 5).
Konsepsi Gramsci mengenai intelektual organik menimbainspirasinya dari interpretasi Marxis mengenai formasi sosialyang ada dalam konteks Eropa yang meletakkan persoalan-persoalan status sebagai bergantung kepada kepentingan-kepentingan kelas. Karena itulah, dia menempatkan konsepsimengenai intelektual organik ke dalam struktur kelas. Namun,di negara-negara dimana formasi kelasnya kurang begitu tegasatau terkonsolidasi seperti halnya di Eropa, argumen Weberbahwa status itu tak bisa direduksi secara memuaskan ke dalampersoalan kelas mendapatkan justifikasinya.18 Di Indonesia,misalnya, dimana formasi sosial tak pernah menjadi basis utamabagi penyatuan sosial, kebanyakan intelektual berkelompok atasdasar solidaritas kultural ketimbang atas dasar kelas. Problemlain yang muncul dari konsepsi Gramsci bahwa aktivitas-aktivitasintelektual dari para intelektual organik terarah sepenuhnyapada usaha untuk memenuhi kepentingan-kepentingan kelasnyasendiri. Dengan begitu, ‘para intelektual organik’ dari kaumproletariat akan merupakan orang-orang yang berlatar belakang
24 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
kelas buruh. Ini merupakan sesuatu yang bersifat problematik,terutama untuk konteks-konteks negara-negara non-Eropa sepertidi Amerika Latin dan di Indonesia, karena mayoritas besar paraintelektual, bahkan sebagian besar dari para intelektual darikelas buruh (partai komunis), merupakan orang-orang yangmemiliki latar belakang priyayi dan borjuis (kecil).
Keterbatasan-keterbatasan konsepsi Gramscian mengenaiintelektual meninggalkan ruang kosong yang diisi oleh konsepsiWeber. Dalam pandangan Weber, ranah ide susungguhnyamerupakan sesuatu yang relatif otonom dari ranah ekonomi.Sehingga para intelektual yang merupakan wakil terkemuka(sounding board) dari ranah ide tidak dengan sendirinyamendukung ide-ide yang kondusif buat kepentingan-kepentinganmaterial mereka. Dalam karya Ahmad Sadri, Weber’s Sociologyof Intellectuals (1992), dikatakan bahwa sikap para intelektualterhadap ide-ide kurang begitu ditentukan oleh pertimbangan-pertimbangan praktis. ‘Ini tidak berarti hendak menyatakansecara implisit bahwa para intelektual lebih siap untuk mengabaikankepentingan-kepentingan mereka sendiri demi kepentingan-kepentingan ide-ide. Alih-alih, hal ini berarti bahwa “kepentingan-kepentingan ideal” mereka (yaitu untuk menjalankan prosesrasionalisasi yang bersifat imanen) mengimbangi, dan seringkalimendahului, dan bahkan berkontradiksi dengan kepentingan-kepentingan material mereka (Sadri 1992: 70). Dalam perspektifWeberian, para intelektual itu, karena komitmen alamiahnyapada upaya mengejar kebenaran serta keterlibatan bersamamereka dalam wacana nalar-kritis, mengambil jarak, jika bukannyasekaligus memisahkan diri, dari masyarakat sambil tetapmempertahankan suatu perspektif kritis atas kekuasaan (Miller1999: 13). Weber menoleransi keterlibatan para intelektualdalam ‘dunia politik’ sepanjang mereka itu adalah individu-
Pendahuluan | 25
-
Democracy P ro jec t
individu yang berpaham individualis yang memiliki komitmenuntuk menyelamatkan dunia agar tidak menjadi penjara bagiindividualitas dan menjadi kuburan bagi kebebasan (Sadri 1992:84 & 97). Karya klasik Julien Benda, La Trahison des Clercs(Pengkhianatan Kaum Intelektual)19 merupakan contoh parexcellence dari konsepsi intelektual dalam perspektif ini.Menurutnya, para intelektual haruslah ‘mereka yang padadasarnya aktivitasnya tidak untuk mencapai tujuan-tujuan praktis’(Benda 1959: 30).
Kritik terhadap perspektif ini telah diajukan oleh Gramsci.Selain itu, perspektif ini juga bersifat problematik jika dipakaidalam konteks negara-negara pasca-kolonial dan Dunia Ketigadimana para intelektualnya bukan saja menjadi bagian organikdari kekuatan-kekuatan sosial dan politik, namun juga merupakaninisiator dan pemimpin dunia politik nasional. Fredric Jamesonbahkan cenderung melebih-lebihkan situasi tersebut denganmengatakan bahwa ‘dalam situasi Dunia Ketiga, intelektualselalu merupakan intelektual politis’ (Robbins 1990: ix).
Sebagai tanggapan atas kekurangan-kekurangan dari keduaperspektif tersebut, muncul sebuah konsepsi jalan tengah sejaktahun 1970-an yang mengakui adanya inter-relasi antara kuasadan pengetahuan. Sintesis ini dimunculkan oleh para sarjanayang menganut tradisi Marxis (seperti perkembangan sejarahkebudayaan-nya Raymond Williams [1958]), tradisi sosiologis(seperti karya Pierre Bourdieu mengenai ‘medan-medan’kebudayaan dan politik [1984]) dan post-strukturalisme Prancis(yang paling terkemuka ialah Michel Foucault [1980]).20 DeskripsiEyerman mengenai ‘intelektual’ (1994) merepresentasikan bukanhanya sebuah sintesis, namun juga menekankan (highlights)mengenai pentingnya memperhatikan tradisi intelektual dalamkonteks-konteks sosio-spasial tertentu. Menurutnya, memang
26 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
benar bahwa relasi produksi/pasar dan kapasitas dari modalmanusia secara individual memiliki sebuah dampak yang signifikanterhadap pembentukan intelektual, namun elemen formatifutama dalam pembentukan intelektual adalah komitmennyaterhadap norma-norma dan tradisi-tradisi. Dengan kata lain,elemen utama itu ialah komitmennya untuk mengartikulasikangagasan-gagasan fundamental mengenai identitas dan nuranikolektif, dengan jalan melembagakan dan menerapkan dalampraktik kesatuan antara kebenaran, nilai-nilai moral dan penilaianestetis. Dalam proses menyuarakan nurani dan tradisi kolektifinilah, suara dari seorang intelektual akan bisa mengarahkanterciptanya tindakan kolektif (Eyerman 1994: 6).
Di luar perspektif-perspektif yang telah dibahas di atas, telahberlangsung pula sebuah upaya baru-baru ini untukmengkonseptualisasikan ‘para intelektual’ sebagai sebuah entitaskolektif yang khas dalam bentuk kelas yang berdiri sendiri.Gagasan ini didasarkan pada asumsi bahwa proses-prosesmodernisasi dan industrialisasi diikuti dengan semakin banyaknyabidang-bidang pekerjaan non-manual, sehingga melampauijumlah dari apa yang disebut Gramsci sebagai intelektual‘tradisional’, seperti profesi guru, pendeta, sastrawan danilmuwan. Level-level atas dari pekerjaan-pekerjaan non-manualini terdiri atas aktivitas-aktivitas yang didasarkan pada‘keterampilan-keterampilan mental’ atau yang kadangkala disebutmodal ‘manusia’ (human capital) atau modal ‘kultural’, dansemua ini merupakan landasan bagi apa yang disebut sebagai‘pekerja intelektual’ (intellectual labour). Dalam semakinsiginifikannya jumlah ‘pekerja intelektual’ inilah, definisi intelektualsebagai sebuah kelas sosial tersendiri mendapatkan basisargumentasinya. Saat posisi tawar pekerja intelektual ini dalamrelasi proses produksi dan/atau pasar menjadi semakin kuat,
Pendahuluan | 27
-
Democracy P ro jec t
beberapa sarjana menganggap telah muncul sebuah ‘kelas baru’(Gouldner 1979) atau ‘kelas kaum berpengetahuan’ (knowledgeclass) (Bell 1973).
Namun, gagasan mengenai intelektual sebagai sebuah kelasbaru juga bersifat problematik. Bukan hanya karena konseptersebut masih diperdebatkan secara akademis—karena adanyadiferensia internal yang sangat substansial dalam apa yangdiklaim sebagai ‘kelas baru’ tersebut,21 namun juga karenakonsep tersebut tidak cocok dengan kondisi-kondisi dari banyaknegara sedang berkembang seperti Indonesia. Menurut AlvinGouldner, pemilik modal kultural bisa menjadi kelas yang berdirisendiri karena dia memiliki ‘kontrol yang besar secara de factoatas modus produksi dan karena itu memiliki pengaruh yangbesar untuk mencapai kepentingannya’ (Gouldner 1979: 12).Dalam kenyataannya, inteligensia Indonesia sejak kemunculannyapada awal abad ke-20 sampai akhir abad itu tidaklah memilikikontrol yang sebesar itu atas modus produksi. Mereka kebanyakanbekerja sebagai pegawai pemerintah dan berlatar studi-studihumaniora yang tidak memiliki keterkaitan kuat dengan sektorproduktif dari perekonomian.
Pada titik ini, kita bisa menarik beberapa kesimpulan mengenaiperbedaan-perbedaan utama antara inteligensia dan intelektual.Sejak dari awal kemunculannya, istilah ‘inteligensia’ merujukpada sebuah strata sosial dan mengindikasikan suatu ‘responskolektif ’ dari identitas kolektif tertentu, sebagai refleski darikesamaan kriteria pendidikan, psiko-sosiografis, sistem nilai,habitus, dan ingatan kolektif yang sama. Di sisi lain, istilah‘intelektual’ pada awalnya merujuk pada ‘individualitas’ daripara pemikir dan mengindikasikan respons individual dari parapemikir terhadap sebuah ‘panggilan’ historis tertentu atau fungsisosial tertentu. Kolektivitas dari para intelektual dimungkinkan
28 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
oleh adanya respons bersama atas sebuah ‘panggilan’ historistertentu, seperti halnya kolektivitas yang ditunjukkan oleh paraintelektual Prancis yang didorong oleh respons bersama terhadapkasus ‘Dreyfus’, atau oleh sebuah tindakan kolektif untukmenyuarakan tradisi dan kepentingan-kepentingan dari kelastertentu atau kelompok-kelompok sosial yang lain. Dengandatangnya apa yang disebut sebagai masyarakat pasca-industrial,muncul upaya untuk mengkonseptualisasikan ‘pekerja intelektual’sebagai sebuah entitas kolektif baru, yang disebut ‘kelas baru’atau ‘kelas berpengetahuan’ (knowledge class). Namun, istilahini masih menjadi bahan perdebatan secara akademis danmemiliki relevansi yang kecil bagi realitas Indonesia.
Inteligensia dan Intelektual dalam KonteksIndonesiaBagaimana kita membumikan istilah ‘inteligensia’ dan ‘intelektual’dalam sebuah formasi sosial dan konteks historis Indonesia?Memang benar bahwa peran intelektual atau fungsi sosial spesifikdari para pemikir (people of ideas) di kepulauan ini telah sejaklama dijalankan oleh pandita, resi, kyai atau ulama. Namun,penggunaan istilah ‘intelektual’ dan ‘inteligensia’ serta istilahturunannya dalam konteks Indonesia modern merujuk padasebuah formasi sosial dan trayek historis yang spesifik, yangmuncul sebagai akibat dari diintrodusirnya sistem pendidikanBarat di negeri ini—pada awalnya dilakukan oleh para misionarisBarat dan pemerintah penjajahan Belanda, lalu kemudian olehlembaga-lembaga sosial yang lain.
Asal-usul lahirnya elit berpendidikan modern di Indonesiakurang lebih sama dengan asal-usul lahirnya inteligensia dalamkonteks Polandia dan Rusia. Meskipun kondisi-kondisi sosio-
Pendahuluan | 29
-
Democracy P ro jec t
historis bagi perkembangan inteligensia Indonesia sangat berbedadengan kondisi-kondisi Eropa Timur pada abad ke-19, namunterdapat satu kesamaan mendasar. Kesamaan ini, meminjampendapat Gella, ialah tampilnya sebuah generasi yang terdidikdan terpengaruh oleh ide-ide dan pengetahuan Barat yangdiserapnya (Gella 1976: 17). Lebih dari itu, sama denganpengalaman Rusia, prototip-prototip dari orang-orang HindiaBelanda (sekarang Indonesia) yang terdidik secara Barat yangmuncul pada akhir abad ke-19 juga terutama muncul darikeluarga bangsawan sebagai kelompok intinya. Namun dengansemakin berkembangnya birokrasi pemerintahan kolonial danbirokrasi kapitalis-swasta, orang-orang dari beragam kelompokstatus secara berangsur-angsur mulai memasuki pendidikanmodern. Pada awal abad ke-20, kalangan homines novi yangberlatar pendidikan Barat ini tumbuh sebagai sebuah strata yangberdiri sendiri,22 yang memiliki kesamaan orientasi pekerjaan,kebiasaan, bahasa, struktur kognitif serta tanggung jawab sosial.
Sementara inteligensia klasik di Eropa Timur muncul sebagaisebuah strata yang relatif homogen dan memiliki tradisi-tradisiyang sama, inteligensia Indonesia sedari awal pembentukannyabersifat heterogen baik dalam posisi maupun tradisi sosialnya.Heteregonitas ini mencerminkan bukan hanya keragaman latarbelakang kelas-sosialnya, namun juga pluralitas latar religio-kultural, etnis dan kedaerahannya. Sebagai akibat dari fragmentasiinternal ini, inteligensia Indonesia tak pernah menjadi sebuahstrata sosial yang menyatu. Selain itu, sementara negara Tsar(Czarist state)—sebagai promotor dari pembentukan inteligensiadalam konteks Rusia—merupakan bagian integral dari masyarakatRusia, negara kolonial yang bertindak sebagai promotor inteligensiaHindia Belanda merupakan negara ‘asing’ yang menerapkanberbagai kebijakan diskriminatif dan segregatif. Dalam situasi-
30 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
situasi yang diskriminatif dan segregatif itu, upaya untukmenciptakan suatu elit berpendidikan modern dengan anutannilai-nilai dan prinsip-prinsip sekuler bisa melahirkankecenderungan-kecenderungan antitetis manakala para anggotakomunitas inteligensia tersebut menemukan jalan kembali kejangkar identitasnya. Sebagai misal, beberapa di antara merekayang berlatar keluarga Muslim yang taat, karena merasa kecewadengan situasi penjajahan dan/atau karena pertemuan ataupertemuan-kembali dengan tokoh-tokoh Islam berikut komunitasepistemik serta asosiasi-asosianya, terdorong untuk mempertautkankembali dirinya dengan komunitas intelektual Islam. Dalampertautan ini, mereka mulai memperkaya pengetahuankeagamaannya, sehingga muncullah apa yang disebut sebagaiintelek-ulama (inteligensia yang melek pengetahuan agama).
Selain itu, promosi pendidikan Barat oleh pemerintah kolonialtelah menciptakan hirarki-hirarki pengetahuan dan nilai-nilaikolonial yang mematrikan apa yang disebut Edward Said sebagai‘pengkelasduaan yang mengerikan’ (dreadful secondariness)terhadap beberapa lapisan masyarakat dan kebudayaan (Said1989: 207). Pada gilirannya, hal ini mendorong hasrat seranganbalik pengetahuan-pengetahuan ‘tersisihkan’ (subjugatedknowledges) lewat jalan, di samping cara-cara lainnya, strategipeniruan (mimicry) dan apropriasi (appropriation). Komunitasepistemik Islam, misalnya, berusaha sekuat tenaga untukmengadopsi aparatus, metode-metode, dan kurikulum pendidikanmodern sebagai sarana untuk merevitalisai ajaran-ajaran dandaya tahan Islam. Upaya ini lalu melahirkan apa yang disebutsebagai sistem pendidikan madrasah dimana di dalamnya aparatusdan metode-metode modern diperkenalkan dan mata-pelajaranagama diajarkan secara berdampingan dengan mata-pelajaransekuler. Hal ini melahirkan sejenis ‘clerical-intelligenstia’
Pendahuluan | 31
-
Democracy P ro jec t
(inteligensia-klerikus) yang dikenal dengan sebutan ulama-intelek(ulama yang melek pengetahuan modern).
Ketika para anggota dari komunitas inteligensia Indonesiamulai merumuskan suatu respons ideologis atas negara kolonialyang represif, pluralitas latar sosio-kultural mereka melahirkanperbedaan-perbedaan dalam ideologi. Sebagai konsekuensinya,para anggota komunitas inteligensia Indonesia terbelah ke dalambeberapa tradisi politik dan intelektual. Maka, lahirlah kelompokinteligensia Muslim, inteligensia komunis, inteligensia nasionalis,inteligensia sosialis, inteligensia Kristen, dan seterusnya. Dalamkonflik di antara tradisi-tradisi intelektual ini, masing-masingkelompok berupaya untuk memperbanyak pengikutnya denganjalan menggabungkan diri dengan kelompok-kelompok status(status groups) yang telah mapan (yaitu kelompok-kelompoksolidaritas kultural). Karena situasi demikian, inteligensia Indonesiamenjadi sebuah strata sosial yang retak sehingga sulit untukdiidentifikasi sebagai sebuah strata sosial tersendiri yang menyatu.Meski demikian, mereka tetap menunjukkan kesamaan-kesamaandalam keistimewaan sosial (social privilege), bahasa, kebiasaan,latar pendidikan dan orientasi pekerjaan. Dengan kata lain,inteligensia Indonesia merefleksikan suatu ekspresi kolektifdalam arti ‘suatu kesamaan identitas dalam perbedaan’ (identityin difference) dan ‘keberagaman dalam kebersamaan identitas’(difference in identity).
Betapapun lebarnya perbedaan di antara mereka, inteligensiaIndonesia merupakan suatu kelompok minoritas dari elit modernIndonesia yang memiliki kesanggupan untuk memikul tanggungjawab kepemimpinan dalam masyarakat, dunia politik danbirokrasi Indonesia. Istilah ‘elit’ di sini memiliki arti ‘minoritasorang yang sangat berpengaruh dalam membentuk beragamstruktur kelembagaan atau ranah aktivitas masyarakat. Dalam
32 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
masyarakat modern, struktur-struktur dan ranah-ranah tersebutmeliputi dunia politik, pemerintahan, dunia ekonomi, duniamiliter, dan ranah kebudayaan’ (Etzioni-Halevy 1985: 15).Karena inteligensia Indonesia sebagai sebuah strata sosial bersifatkabur, maka istilah ‘elit’ juga bisa dipergunakan untukmenggambarkan formasi sosial inteligensia setelah tahun 1920-an. Inteligensia Indonesia merupakan bagian dari dinamikakesejarahan Indonesia, dan oleh karena itu, formasi sosialnyajuga tunduk kepada proses kesejarahan dan transformasi.
Istilah pertama dalam bahasa Indonesia (Melayu) yangmengindikasikan lahirnya inteligensia Hindia Belanda adalah‘bangsawan pikiran’ yang mulai muncul dalam ruang publikpada dekade pertama abad ke-20. Istilah itu merupakan sebuahkode untuk menamai generasi baru dari orang-orang HindiaBelanda yang terdidik secara modern dan ikut serta dalamgerakan menuju kemadjoean, berlawanan dengan istilah‘bangsawan oesoel’ yang dikaitkan dengan kebangsawanan yanglama. Istilah ‘bangsawan pikiran’ digunakan baik untuk menunjukpada individu ‘intelektual’ maupun pada entitas kolektif‘inteligensia’ Hindia Belanda. Untuk menegaskan mulai hadirnyakomunitas baru inteligensia seperti yang dibayangkan, makakolektivitas ‘bangsawan pikiran’ itu kemudian diberi nama‘kaoem moeda’, sementara kolektivitas ‘bangsawan oesoel’ diberinama ‘kaoem toea’ atau ‘kaoem koeno’. Pada tahun 1910-an,penentangan para anggota inteligensia terhadap bangsawan tuamemunculkan sebuah upaya untuk memisahkan kata ‘pikiran’dari kata ‘bangsawan’, karena istilah ‘bangsawan’ secara implisitberarti mengagung-agungkan hak istimewa dari bangsawan lama.Maka, kemudian muncullah istilah ‘kaoem terpeladjar’, ‘pemoeda-peladjar’ atau jong (dalam bahasa Belanda). Istilah-istilah inidigunakan untuk merujuk kepada sebuah entitas kolektif dari
Pendahuluan | 33
-
Democracy P ro jec t
orang-orang yang terdidik secara modern.Sementara formasi sosial dari elit berpendidikan modern di
Indonesia menyerupai pembentukan inteligensia dalam konteksEropa Timur, kerangka-kerja intelektual dan konseptual dariinteligensia Indonesia sangat dipengaruhi oleh literatur-literaturteoretis Eropa Barat. Kata ‘Dreyfusiana’—yang merujuk padapahlawan intelektual Eropa Barat, Alfred Dreyfus—digunakanoleh koran berbahasa daerah di Hindia Belanda, Pembrita Betawi(1901-1903) sebagai nama dari salah satu rubriknya. IstilahBelanda ‘intellectueel(en)’—untuk mengatakan ‘intelektual’—diadopsi dalam tulisan-tulisan para anggota inteligensia HindiaBelanda sejak tahun 1910-an dan mulai mendapatkanpopuleritasnya di ruang publik pada tahun 1920-an. Hal iniditandai dengan berdirinya perhimpunan pertama di HindiaBelanda yang menggunakan kata ‘intellectueelen’ pada tahun1923 yang bernama ‘Bond van Intellectueelen’. Di sisi lain,istilah ‘inteligensia’ baru mulai diadopsi dalam tulisan-tulisankomunitas inteligensia di Hindia Belanda pada tahun 1930-andan lebih sering digunakan dalam wacana intelektual sejaktahun 1940-an, namun tak pernah sepopuler kata ‘intellectueel(en)’atau intelektuil.23 Kecenderungan orang Indonesia untukmenggunakan istilah ‘intellectueelen’ (dengan ragam ejaannya)secara saling dipertukarkan dengan istilah ‘inteligensia’ mengikutikecenderungan yang sama seperti yang berlangsung di EropaBarat. Maka, sesuatu yang umum dalam wacana intelektualIndonesia untuk menggunakan istilah ‘intellectueel(en)’ untukmerujuk pada entitas kolektif dari suatu kelompok inteligensiatertentu, atau untuk menggunakan istilah ‘intelegensia’ untukmerujuk pada individu intelektual.
Kesulitan yang dialami oleh orang Indonesia untuk membedakanantara ‘intelligentsia’ dan ‘intelektual’ menjadi lebih parah lagi
34 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
setelah populernya istilah ‘cendekiawan’. Istilah ini pada dasarnyamerupakan sebuah neologisme, yang disinonimkan baik dengan‘inteligentsia’ maupun dengan ‘intelektual’ (Kridalaksana 1994).Istilah tersebut merupakan neologisme karena makna asal dariistilah tersebut sangat berbeda dari makna dan asosiasinya padamasa kini. Sebagai sebuah neologisme, istilah tersebut mengandungkemungkinan perbedaan pemaknaan dan formasi diskursif yangberlawanan.
Menurut kamus bahasa Melayu sebelum abad ke-20 yangdisusun oleh R.J. Wilkinson (1903; 1985), istilah ‘cendekiawan’secara etimologis berasal dari bahasa Hindustan ‘chhandi-kya’atau ‘chandakiya’ yang ketika diadopsi ke dalam bahasa Melayuklasik (sebelum abad ke-20) memiliki arti ‘penipu’ atau ‘pendaya’(orang yang licik). Kata ini misalnya dipakai dalam teks Melayutradisional, Hikayat Gul Bakuwali, dalam ungkapan-ungkapanseperti ‘chandakiya mana’, yang memiliki arti ‘sungguh seorangpenipu’, ‘sungguh seorang yang licik’. Sir Richard Winstedtdalam kamusnya (1960) juga mendeksripsikan kata chèndèkiadalam bahasa Melayu sebagai bentuk ubahan dari kata chandakiayang bermakna penipu atau pendaya, namun di daerah NegeriSembilan,24 hal itu berarti ‘cherdek’ (cerdik) atau ‘pintar’.
Dalam bahasa Indonesia, kata ‘tjendekia’ muncul dalamkamus yang disusun oleh W.J.S Poerwadarminta, yaitu KamusUmum Bahasa Indonesia (1951), dimana kata itu disebutkanberarti berakal, pandai, tjerdik dan litjik, dan dalam kamussusunan Sutan Mohammad Zain, yaitu Kamus Modern BahasaIndonesia (1960), disebutkan kata itu memiliki arti tjerdik.Lebih dari itu, Zain menyatakan bahwa kata itu berkaitandengan kata Tjanakja, yang merupakan mantan Perdana Menteridari sebuah Kerajaan di India pra-modern, yang cukup terkenalkarena kepintarannya dalam beretorika. Yang terakhir, J. Gonda
Pendahuluan | 35
-
Democracy P ro jec t
dalam karyanya Sanskrit in Indonesia (1952) berargumen bahwakata ‘cendekia’ atau ‘candakiya’ (dalam bahasa Melayu klasik)merupakan turunan dari kata ‘canakya’. Kata ini mungkinmerujuk pada nama dari seorang menteri dalam pemerintahanCandra Gupta di India (pada abad ke-4) yang terkenal karenadia cerdik dan pintar dalam retorika. Sebagai alternatif, diamengatakan kata ‘canakya’ bisa juga merupakan turunan darikata Hindi ‘chandi’ yang memiliki arti licik dan penipu. Sehingga,dalam dunia Minangkabau, kata itu telah dipakai untuk menyebutseseorang yang sangat cerdik ataupun licik.
Pada tahun 1960-an, istilah ‘cendekiawan’ (atau ‘tjendekiawan’dalam ejaan lama) mulai memiliki konotasi politiknya bersinonimdengan konsep ‘intelektual’ atau ‘inteligensia’. Ini terlihat dariberdirinya sebuah perhimpunan intelektual sayap kiri, OrganisasiTjendekiawan Indonesia (OTI) pada awal tahun 1965. Tidaklama kemudian, majalah perjuangan milik Kesatuan Aksi SarjanaIndonesia (KASI) cabang Bandung, yaitu Tjendekiawan Berdjuangterbit pada tahun 1966. Pada tahun 1970-an, istilah tersebutdipergunakan secara reguler dalam wacana publik Indonesiasebagai dampak dari kebijakan Orde Baru untuk menggantikankata-kata dan peristilahan-peristilahan dari Barat dengan kata-kata dan peristilahan-peristilahan Indonesia. Pada tanggal 29Maret – 2 April 1979, berlangsung sebuah seminar di Menadomengenai ‘Peranan dan Tanggung Jawab Cendekiawan dalamPembangunan’. Beberapa bulan kemudian (November 1976),majalah Prisma (yang merupakan jurnal sosial ekonomi Indonesiayang paling terkenal sepanjang tahun 1970-an dan 1980-an)menerbitkan sebuah edisi khusus (No. 11) yang berjudul‘Cendekiawan’. Dalam kedua kasus itu, istilah ‘cendekiawan’dipergunakan untuk merujuk baik pada individu ‘intelektual’(yang mencakup mulai dari ulama dan jenius lokal sampai
36 | Inteligensia Muslim dan Kuasa
-
Democracy P ro jec t
dengan intelektual berpendidikan modern) maupun padarepresentasi kolektif dari ‘intelligentsia’.25
Sepanjang tahun 1980-an dan 1990-an, istilah ‘cendekiawanMuslim’ telah dipergunakan secara luas dalam wacana publik.Pengaitan cendekiawan dengan kata sifat ‘Muslim’ dalam rentangwaktu ini mencerminkan semakin berkembangnya pengaruhdari inteligensia Muslim sebagai akibat dari meningkatnya jumlahsarjana Muslim, penemuan ruang-komunikatif inteligensiaMuslim yang berpusat di masjid-masjid kampus universitas‘sekuler’, berkembangnya pengaruh para intelektual Muslimyang berlatar pendidikan universitas di Barat, serta pendalamanakomodasi inteligensia Muslim ke dalam politik dan birokrasiOrde Baru. Dalam konteks inilah, istilah ‘cendekiawan’ terutamadipertautkan dengan identitas-identitas kolektif partikular yangberasal dari kesamaan habitus, sistem nilai, struktur kognitifdan ingatan-ingatan kolektif, ketimbang dari ‘panggilan’ historisatau fungsi sosial tertentu (yang merupakan dasar bagi terbentuknyakolektivitas intelektual).
Kata sifat ‘Muslim’ sebagai suatu ikon dari suatu identitas/tradisikolektif tertentu sering dihidupkan dalam perjuangan kuasabaik dalam poros relasi negara-masyarakat maupun dalamperbenturan-perbenturan antar kelompok dalam masyarakat.Berdirinya berbagai perhimpunan kaum terdidik Muslim sepertiJIB (1925), SIS (berdiri tahun 1934), GPII (berdiri tahun 1945),HMI (berdiri tahun 1947), PII (berdiri tahun 1947), IPNU(berdiri tahun 1954), PMII (berdiri tahun 1960), IMM (berdiritahun 1964), Persami (berdiri tahun 1964), ICMI (berdiri tahun1990), dan KAMMI (berdiri tahun 1998) bisa dilihat sebagaimonumen-monumen dalam reproduksi tradisi-tradisi dan identitas-identitas kolek