Peningkatan Kemampuan Teknologi Dan Industri Pertahanan TNI AU
Click here to load reader
-
Upload
mandiri4ever -
Category
Documents
-
view
198 -
download
0
Transcript of Peningkatan Kemampuan Teknologi Dan Industri Pertahanan TNI AU
BAB II
ISI
2.1 Meningkatkan Kemampuan Teknologi Pertahanan TNI AU
Untuk meningkatkan kemampuan teknologi pertahanan, ada beberapa hal
yang perlu diadakan. Perlu kita sadari bahwa hal itu harus merupakan kegiatan
bersama antara para pakar teknologi, pakar militer dan pakar industri pertahanan.
Sebab itu perlu dibentuk satu forum yang memungkinkan bertemunya tiga unsur
itu untuk secara teratur membicarakan berbagai hal yang menyangkut teknologi
pada umumnya dan teknologi pertahanan khususnya serta industri yang
memproduksinya.
Kemudian perlu ada usaha yang selalu mengikuti perkembangan teknologi
pertahanan di seluruh dunia. Demikian pula dipelajari berbagai operasi militer
yang terjadi, khususnya selama kwartal terakhir abad ke 20, dan peran teknologi
di dalamnya. Selain itu diusahakan untuk menjajahi berbagai pikiran, pandangan
dan rencana yang ada di negara-negara lain tentang perkembangan militer. Baik
hal itu menyangkut doktrin tempur yang mereka kembangkan maupun organisasi
dan peran sistem senjata yang mereka terapkan. Hal ini perlu diketahui oleh baik
pakar militer maupun pakar teknologi dan industri yang sipil. Pengetahuan ini
diperlukan untuk dapat mendiskusikan secara produktif hal apa yang perlu kita
kembangkan.
Juga perlu ada usaha untuk menambah pengetahuan para pakar militer
tentang perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada umumnya, termasuk
4
5
aspek produksi yang menghasilkan teknologi secara efisien. Dalam hal ini juga
perlu dikembangkan pengetahuan yang bersangkutan dengan teknologi nuklir,
senjata biologi dan kimia.
Usaha pengembangan teknologi harus dilandasi prinsip bahwa kita tidak
menyiapkan diri untuk menyusun pertahanan yang menghadapi perang atau agresi
masa lalu. Melainkan yang hendak dilakukan adalah penyusunan pertahanan
menghadapi kemungkinan masa depan serta fungsi keamanan yang menjadi
kewajiban TNI. Hal ini sangat penting untuk selalu diingatkan oleh karena
umumnya ada kecenderungan untuk menggunakan masa lalu sebagai acuan
utama. Perancis pada tahun 1940 gagal total karena sikap demikian.
Juga perlu disadari bahwa terjadinya penggunaan kekerasan serta agresi
militer bukan satu kemustahilan. Sekarang ada sementara cendekiawan
mengatakan bahwa perang dan agresi itu tidak akan terjadi lagi karena manusia
makin sadar akan akibat dari penggunaan kekerasan yang mungkin amat negatif
bagi dirinya, sekalipun ia pihak yang menyerang. Pandangan demikian ada
benarnya, tetapi tidak seluruhnya benar. Tidak mustahil dorongan politik dan hal
lain menciptakan kondisi emosional yang demikian kuat sehingga
mengebelakangkan pertimbangan rasional. Apalagi kalau hal itu ditambah dengan
penilaian bahwa kekuatan yang dimiliki jauh melampaui kekuatan pihak yang
hendak diserang, sehingga timbul pandangan bahwa gerakan cepat akan
menyelesaikan persoalan dengan tuntas. Ini antara lain yang dapat kita lihat dalam
Perang Teluk, baik ketika Irak menyerang Kuwait maupun ketika AS dan
6
sekutunya menyerang Irak. Bahkan itu terjadi dengan kita sendiri ketika
melakukan gerakan merebut Timor Timur pada tahun 1975.
Memang satu offensif militer dengan pola yang dilakukan Jepang terhadap
Asia Tenggara pada tahun 1941/1942 sangat kecil kemungkinannya. Akan tetapi
offensif dengan sasaran terbatas (limited objective) masih sangat mungkin.
Katakanlah perebutan kepulauan Natuna, kepulauan Maluku atau bagian tertentu
Irian Jaya. Dan itu akan disertai kampanye psikologis untuk membawa opini
dunia melihat Indonesia sebagai sumber kebiadaban sehingga patut diserang
dengan cara kekerasan, sebagaimana telah dilakukan AS sebagai persiapan
menyerang Irak dalam Perang Teluk.
Dalam mempersiapkan diri bagi masa depan yang perlu dipertimbangkan
adalah kemungkinan menghadapi pola operasi model baru yang didasarkan
tembakan jarak jauh (deep thrust stand off attack), bahkan mungkin menggunakan
senjata destruksi massal, yaitu nuklir, biologi dan kimia. Serangan demikian
bertujuan untuk memaksa pemerintah Indonesia tunduk kepada penyerang tanpa
penyerang perlu melakukan manuver darat, laut dan udara untuk masuk wilayah
Indonesia. Serangan tembakan jarak jauh dimungkinkan penginderaan dengan
satelit, sistem pengendalian yang tepat dan sistem pengantar (delivery system)
yang mampu mencapai jarak jauh. Bahkan tanpa melakukan satu serangan
tembakan secara nyata atau penuh, Indonesia dapat diintimidasi untuk menyerah
karena tidak mau tertimpa kehancuran yang besar (nuclear blackmail). Seperti AS
membuat Jepang menyerah dalam PD II dengan menjatuhkan bom atom di
7
Hiroshima dan Nagasaki saja, tetapi dengan ancaman melakukan serangan serupa
terhadap Tokyo dan Kyoto (ibukota baru dan lama).
Untuk mencegah tindakan demikian Indonesia harus menunjukkan bahwa
ada kemampuan menggagalkan serangan demikian. Untuk menyiapkan
kemampuan itu perlu ada pengetahuan teknologi tentang tiga hal pokok. Pertama
adalah tentang penginderaan, komputer dan komunikasi. Kedua adalah tentang
alat angkut, baik kendaraan darat, kapal laut, pesawat terbang dan roket. Ketiga
adalah tentang senjata, dimulai dengan senjata konvensional yang sudah banyak
dikenal, mesin dan bahan peledak (munition and submunition), senjata energi
kinetika, senjata tidak mematikan (non-lethal weapons), senjata destruksi massal,
berbagai macam missil ballistik dan jelajah serta pertahanan terhadapnya.
Namun perlu dipertimbangkan pula bahwa mungkin terjadi serangan
masuk wilayah Indonesia tanpa serangan tembakan jauh. Serangan demikian lebih
bersifat konvensional meskipun dengan menggunakan teknologi mutahir dalam
sistem senjata dan C4ISR (command, control, communications, computer,
intelligence, surveillance, reconnaissance). Perlu dipelajari teknologi apa yang
mungkin digunakan untuk serangan demikian dan teknologi mana yang tepat
untuk pertahanan menghadapinya, baik untuk kekuatan darat, laut maupun udara.
Selain menghadapi serangan konvensional dengan pertahanan
konvensional, juga sangat efektif untuk dibarengi dengan pertahanan wilayah
dengan unsur gerilya. Juga untuk hal demikian perlu ada pendalaman
teknologinya. Pengalaman Vietnam terhadap AS maupun Afghanistan terhadap
8
bekas Uni Soviet, menunjukkan bahwa teknologi amat mendukung efektivitas
gerilya Vietnam dan Afghanistan.
Tidak boleh diabaikan bahwa TNI harus dapat memberikan bantuan
kepada Polri dalam mengatasi masalah keamanan, apabila diperlukan, khususnya
menghadapi subversi dan terorisme. Dan TNI-AL mempunyai kewajiban menjaga
keamanan di laut. Fungsi keamanan ini juga memerlukan teknologi yang sesuai,
sebagaimana terbukti sekarang.
Di dalam mengaplikasikan berbagai teknologi itu dengan sendirinya harus
ada prioritas. Sebab semua itu memerlukan pembiayaan yang tinggi. Lagi pula
pengadaan teknologi yang tidak langsung diperlukan dapat berarti pemborosan
besar. Sebab teknologi berkembang cepat dan kalau sekarang diadakan padahal
tidak diperlukan, mungkin sekali sudah usang ketika benar-benar diperlukan.
Itulah pengalaman pahit Iran yang dalam zaman pemerintahan Syah membeli
banyak dan aneka ragam sistem senjata darat, laut dan udara dari AS dengan
alasan mumpung ada uang dari keuntungan penjualan minyak. Karena waktu itu
tidak diperlukan maka begitu banyak sistem senjata disimpan. Akan tetapi ketika
Iran memerlukan senjata banyak waktu perang dengan Irak, sistem senjata yang
disimpan itu sudah kurang bermanfaat karena usang atau tidak ada lagi suku
cadangnya.
Sebab itu perlu ada penentuan prioritas teknologi mana yang segera
diperlukan dan mana yang terus menjadi bahan studi dan perencanaan. Kita perlu
meniru India yang sejak tahun 1980-an sudah mampu untuk memproduksi semua
sistem senjata yang diperlukan angkatan perangnya, termasuk tank, artilleri,
9
pesawat tempur serta kapal jelajah. Akan tetapi yang diproduksi hanya yang
diperlukan dan secara ekonomis lebih baik dibuat sendiri, sedangkan yang
diperlukan lainnya tetapi kurang ekonomis dibuat sendiri, diimpor.
Itu berarti bahwa sekalipun tidak diproduksi harus terus menerus ada studi
pendalaman tentang semua jenis teknologi pertahanan yang telah dikemukakan.
Dan memikirkan pengembangan teknologi baru serta terus mempelajari
bagaimana mengadakan produksi yang paling efisien.
2.1.1 Cara Meningkatkan Kemampuan Pertahanan TNI AU
Adapun cara untuk meningkatkan kemampuan pertahanan TNI AU, yaitu
sebagai berikut.
1) Menyusun Strategic Defense Review (SDR).
2) Lebih meningkatkan profesionalisme anggota TNI baik dalam operasi militer
untuk pserang maupun selain perang dalam rangka menghadapi ancaman dan
gangguan.
3) Meningkatkan jumlah dan kondisi peralatan pertahanan terutama alat utama
sistem persenjataan yang modern.
4) Menyiapkan komponen cadangan, Komponen Cadangan diperlukan untuk
dapat menjadikan TNI mempunyai kekuatan memadai ketika terjadi serangan
Agressor.
5) Menyiapkan komponen pendukung, Komponen Pendukung Pertahanan adalah
bentuk lain dari partisipasi TNI secara aktif dalam pertahanan. Komponen itu
terdiri dari segenap warga negara RI yang secara sukarela menyatakan
10
kesediaannya menjalankan berbagai fungsi dukungan bagi kegiatan yang
dilakukan Pemerintah dan TNI dalam rangka pertahanan keamanan.
6) Menyiapkan pertahanan Konvensional, yaitu pertahanan yang disiapkan untuk
menghadapi ancaman yang bersifat penggunaan kekerasan militer secara
terbuka.
7) Menyiapkan Pertahanan Non-konvensional, Pertahanan non-konvensional
berinti kepada kekuatan rakyat terorganisasi bersama TNI.
2.1.2 Program untuk Meningkatkan Pertahanan TNI AU
Adapun program untuk meningkatkan pertahanan TNI AU, yaitu.
1) Pengembangan sistem melalui pembinaan sistem dan metode dalam rangka
mendukung tugas pokok organisasi/satuan, serta pengembangan sistem
Informasi.
2) Pengembangan personil berupa perawatan personil dalam rangka mendukung
hak-hak prajurit, pengadaan Perwira, Bintara, Tamtama, melaksanakan
Pendidikan Pertama Perwira, Bintara dan Tamtama, serta melaksanakan
pendidikan dan latihan lanjutan Simulator.
3) Pengembangan materiil yang meliputi pengadaan/pemeliharaan alat peralatan
khusus TNI AU, kazernering dan alsintor, alat antelpam, kapor, matsus,
ranmor, ransus, renjata dan amunisi, alat radar, avionik, komalbanav,
alpernika dan komsimleksus, serta alins/alongins lemdik dan laboratorium.
4) Pengembangan fasilitas TNI AU, berupa pembangunan/renovasi fasilitas
dukungan operasi, perumahan prajurit meliputi rumdis/rumjab, mess, barak
11
dan asrama, serta pembangunan/renovasi sarana prasarana dan fasilitas
lainnya.
5) Penggiatan fungsi yang meliputi dukungan kebutuhan sesuai fungsi
organisasi, teknik, tata kerja, tenaga manusia dan peralatan.
6) Pelaksanaan kegiatan operasi dan latihan militer matra udara dalam upaya
pembinaan kekuatan dan kemampuan serta pemeliharaan kesiapan
operasional.
2.2 Industri Pertahanan TNI AU
Negara kita Indonesia memerlukan industri pertahanan dengan
kemampuan luas untuk memproduksi berbagai sistem senjata yang diperlukan
TNI di darat, laut dan udara. Namun harus selalu kita sadari bahwa membangun
industri yang efektif dan tahan lama memerlukan pertimbangan ekonomis yang
cukup saksama.
Kita ketahui bahwa kelangsungan hidup satu industri sangat tergantung
pada pemasaran hasil produksinya. Hasil pemasaran itu mendatangkan modal
untuk melakukan produksi lanjutan dan yang tidak kalah pentingnya adalah
terwujudnya kemampuan untuk melakukan riset bagi kelanjutan dan
perkembangan industri itu. Industri yang tidak dapat mengadakan riset akan
terjebak dalam pembuatan barang yang terus sama dan dengan metode produksi
yang sama pula. Kalau saingannya mampu mengadakan riset sehingga dapat
membuat produk yang lebih maju serta menerapkan metode produksi yang lebih
efisen, maka pasti yang tidak ada riset akan kalah bersaing dan terancam tutup.
12
Dilemma industri pertahanan adalah bahwa untuk kepentingan sekuriti
hasil produksinya sebaiknya tidak dijual kepada pihak lain. Akan tetapi kalau
membatasi pasar hanya di dalam negeri, maka industri pertahanan itu sukar sekali
mencapai skala produksi yang cukup besar untuk bersifat ekonomis. Bahkan tanpa
pembatasan yang bersifat sekuriti pun industri pertahanan sudah menghadapi
pembatasan pasar karena besarnya persaingan antara industri pertahanan berbagai
negara. Karena persaingan itu industri pertahanan Belgia tersohor bernama FN
dan industri pertahanan Jerman Haeckel & Koch terpaksa dijual kepada pihak
lain, demikian pula industri pesawat terbang AS McDonnel Douglas yang begitu
terkenal produknya.
Oleh sebab itu kita harus amat cerdas dan bijaksana dalam membina
industri pertahanan. Belakangan ini sering terdengar suara untuk menempatkan
industri pertahanan ke dalam struktur Departemen Pertahanan dan bahkan ke
Angkatan. Tindakan demikian adalah sangat tidak bijaksana dilihat dari sudut
manajemen dan karena itu juga mengancam kelangsungan hidup industri
pertahanan yang dinamis dan efektif. Bahwa diperlukan kerjasama antara
Departemen Pertahanan dan industri pertahanan adalah jelas sekali. Sebab
Departemen Pertahanan adalah pasar pertama bagi industri pertahanan. Bahkan
pemberian pedoman dan bantuan oleh Departemen Pertahanan dan Angkatan akan
sangat diperlukan industri pertahanan agar produknya sesuai dengan kehendak
TNI. Akan tetapi hal demikian tidak sama dengan keharusan Departemen
Pertahanan memiliki industri pertahanan.
13
Mengingat persaingan yang dihadapi industri pertahanan serta kombinasi
antara produksi barang militer dan non-militer maka diperlukan manajemen
perusahaan yang benar-benar efektif dan se-efisien mungkin. Kebanyakan industri
pertahanan di mana saja di dunia, terutama di Jepang yang dilarang mengekspor
sistem senjata setelah kalah perang dengan AS, mengadakan kombinasi produksi
barang militer dan non-militer. Hasil pemasaran produk non-militer dipakai untuk
kompensasi produk militer yang sukar pemasarannya. Kalau ditempatkan dalam
struktur Departemen, apalagi dalam Angkatan, maka ada kecenderungan
terjadinya manajemen birokratik seperti dialami PINDAD ketika masih menjadi
bagian TNI-AD. Dan akan sukar mengembangkan produksi non-militer yang amat
diperlukan. Karena manajemen kurang efektif dan efisien, maka terjadi
pembebanan suimberdaya yang berlebihan. Akibatnya adalah merugikan semua
pihak. Sebab itu industri pertahanan harus tumbuh dan berkembang seperti
perusahaan swasta yang mengejar profit. Dan karena itu melakukan manajemen
perusahaan yang tidak kalah dengan perusahaan swasta yang paling baik.
Penentuan pimpinan, baik dewan komisaris dan terutama dewan direksi harus
dilakukan atas dasar penilaian manajemen itu.
Namun sebaliknya Departemen Pertahanan juga tidak boleh meninggalkan
industri pertahanan hanya karena bukan miliknya. Tindakan yang pernah terjadi
untuk membeli sistem senjata tertentu di luar negeri, padahal industri pertahanan
sendiri dapat membuatnya dengan mutu tidak kalah (hal mana terbukti dalam
percobaan nyata) serta dengan harga sama, adalah sikap dan keputusan yang patut
dicela. Sikap demikian kurang patriotik dan meninggalkan kepentingan bangsa
14
sendiri. Mudah-mudahan sikap demikian tidak akan terulang lagi di masa depan
karena amat memalukan TNI dan Indonesia.
Sebaliknya malahan perlu diikuti contoh dari Perancis. Kementerian
Pertahanan Perancis amat aktif dalam mempromosi hasil produksi industri
pertahanannya di luar negeri. Pemerintah Perancis amat menyadari bahwa ekspor
produk industri pertahanan sangat besar dampaknya terhadap perkembangan
industri itu. Dan dengan begitu juga terhadap perkembangan sistem senjata yang
diperoleh melalui riset yang diadakannya. Di pihak lain negara yang ingin
dijadikan pembeli pasti akan bertanya dan melihat apakah produk itu sudah
dipakai oleh angkatan perang negara pembuat produk itu. Kalau angkatan
perangnya sendiri tidak mau menggunakan, mana mau negara lain membelinya.
Jadi kalau kita juga ingin menjamin kelangsungan industri pertahanan kita dengan
mempromosi ekspor produknya, maka TNI harus lebih dulu menunjukkan
penggunaan produk itu.
Ketika negara lain di Asia sudah dapat membuat berbagai sistem senjata,
terasa sekali ketinggalan kita dalam industri pertahanan. Korea Utara saja yang
tergolong negara kurang berkembang dan bahkan miskin, sanggup membuat
IRBM dan sebentar lagi juga ICBM. Dan sudah berhasil mengekspor IRBM-nya.
Apalagi RRC dan India yang sudah pada tingkat produksi senjata nuklir serta
sistem pengantarnya dan pengendaliannya. Sedangkan kita membuat roket yang
paling sederhana seperti roket antitank setingkat bazooka saja belum mampu.
Thailand sudah mampu mengirim satelit buatannya sendiri ke orbit, sedangkan
kita hanya mengorbitkan satelit yang kita beli dari negara lain. Tidak usah sejauh
15
itu, bahkan senjata konvensional seperti meriam atau howitzer kita belum pernah
membuat.
Mengingat itu semua maka sudah sangat perlu kita memberikan perhatian
kepada teknologi pertahanan. Dan kita perlu mengajak para pakar ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk turut memberikan minatnya dan turut bergulat
menciptakan sesuatu dalam bidang masing-masing yang mendukung
berkembangnya teknologi pertahanan kita.
Akan tetapi yang sangat menentukan adalah tindakan kongkrit untuk
memproduksi. Kalau pakar Indonesia belum ada yang mempunyai kecakapan
dalam produksi barang tertentu, maka kita dapat menyewa pakar asing. Sekarang
pakar Russia banyak disewa oleh negara Asia yang membangun industri
pertahanan. Bekas Uni Soviet mungkin tertinggal dari dunia Barat dalam
teknologi informasi, tetapi dalam teknologi pertahanan bekas Uni Soviet setingkat
AS kalau tidak lebih maju. Maka pakar Russia yang sekarang kurang pekerjaan di
negaranya sendiri membuka peluang untuk disewa dengan harga yang relatif
rendah dibandingkan pakar Barat. Maka untuk perluasan produksi ini diperlukan
sumberdana , baik untuk pembuatan tempat produksi baru maupun untuk
menyewa pakar. Ini merupakan handicap bagi kita yang sedang terpuruk
ekonominya. Oleh karena itu prioritas dalam pengadaan teknologi baru harus
dilakukan dengan cermat. Selain itu investasi yang dilakukan dalam PINDAD,
PAL dan IPTN sejak tahun 1984 yang juga meliputi mesin CNC harus sejauh
mungkin dimanfaatkan untuk berbagai keperluan baru. Selain itu semua industri
pertahanan didorong untuk membuat barang non-militer yang dapat dipasarkan
16
secara luas guna menambah sumberdana. Sebab itu mungkin pada tahap sekarang
percentage untuk produksi non-militer lebih besar, katakan 70 prosen dan hanya
30 prosen untuk barang militer. Akan tetapi yang 30 prosen itu harus benar-benar
dimanfaatkan untuk peningkatan teknologi pertahanan. Dengan begitu diusahakan
agar tetap ada perkembangan sekalipun dalam kesukaran. Ini semua memerlukan
manajemen yang baik di semua industri pertahanan. Itu sebabnya adalah tidak
bijaksana untuk memasukkan industri pertahanan dalam struktur Departemen
Pertahanan, apalagi Angkatan. Akan tetapi BPIS atau PT Prakarya Industri harus
dapat berfungsi baik sebagai perusahaan holding. Dan tidak sebaliknya malahan
menghambat perkembangan perusahaan yang dikelola. Jadi BPIS juga harus
menjadi organisasi yang berfungsi sebagai organisasi swasta dengan landasan
manajemen perusahaan yang mengejar efektivitas dan efisiensi, dan tidak malahan
menjadi manajemen birokratik.
Adapun cara untuk mengembangkan industri pertahanan, yaitu.
1) Pengembangan kerjasama bidang kedirgantaraan, perkapalan, teknik sipil,
industri alat berat, otomotif, elektronika, dan industri nasional lainnya.
2) Peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam bidang desain dan
engineering, meliputi keahlian dan kemampuan mengembangkan dan
pembuatan pesawat angkut militer, pesawat misi khusus, kapal patroli cepat,
kapal perang, kendaraan tempur militer, sistem senjata, sistem jaringan
komunikasi, pusat komando dan pengendalian serta sistem informasi.
3) Pemberdayaan dan peningkatan peran serta industri nasional dalam rangka
pembangunan dan pengembangan kekuatan pertahanan negara serta
17
menciptakan kemandirian, sekaligus memperkecil ketergantungan di bidang
pertahanan terhadap negara lain.