PENINGKATAN BENTUK CSR BERUPA PENGEMBANGAN …...kerugian terhadap konservasi dan pemanfaatan...
Transcript of PENINGKATAN BENTUK CSR BERUPA PENGEMBANGAN …...kerugian terhadap konservasi dan pemanfaatan...
PENINGKATAN BENTUK CSR BERUPA PENGEMBANGAN EKOSISTEM MANGROVE BAGI PERUSAHAAN
A. LATAR BELAKANG
Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman diantara makhluk hidup dari semua sumber,
termasuk diantaranya, daratan, lautan, dan ekosistem akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi
yang merupakan bagian dari keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman didalam spesies, antara
spesies dan ekosistem (UU 5 tahun 1994). Pengertian lain dari keanekaragaman hayati merupakan suatu
istilah yang menggambarkan bentuk keanekaan bentuk kehidupan di muka bumi, interaksi diantara
berbagai makhluk hidup serta antara mereka dengan lingkungannya (IBSAP 2003). Keanekaragaman
hayati merupakan keanekaragaman diantara seluruh mahluk hidup dari semua sumber yang mencakup
species, genetik dan ekosistem. Keanekaragaman hayati terdiri dari 3 komponen, yaitu: genetik, spesies
atau jenis dan ekosistem dan ketiga komponen tersebut membentuk suatu kesatuan dan saling
berinteraksi.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua
di dunia (megabiodiversity). Kekayaan ini akan menjadi lebih apabila memasukkan komponen
keaenekaragaman hayati laut. Limpahan kekayaan ini tentunya harus diiringi dengan upaya-upaya
perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan sehingga keberadaannya
dapat terus terjamin bagi generasi yang akan datang.
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem yang memiliki produktivitas yang tinggi
di kawasan pesisir dan laut terutama untuk menunjang produktivitas sumberdaya perikanan. Hal ini
dikarenakan adanya fungsi ekologi mangrove sebagai nursery ground , feeding ground dan spawning
ground bagi beberapa komoditas perikanan yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi seperti ikan,
kerang-kerangan dan krustase. Namun ekosistem ini terancam dengan adanya pemanfaatan lahan
mangrove untuk peruntukan lainnya seperti area tambak yang memberikan konstribusi besar dalam
penurunan luasan ekosistem mangrove.
Mangrove yang berkembang dengan baik akan memberikan fungsi dan keuntungan yang
besar, baik untuk mendukung sumberdaya perikanan laut dan budidaya, memberi pasokan bahan
bangunan dan produk-produk lain, maupun untuk melindungi pantai dari ancaman erosi. Potensi
mangrove di Kabupaten Tangerang mengalami penurunan sangat drastis dalam kurun waktu 10 tahun
terakhir, sebagai akibat konversi dan pembabatan hutan mangrove yang tidak terkendali. Saat ini, hanya
sekitar + 122 Hektar. Menumbuh-kembangkan luasan mangrove merupakan tantangan bagi masyarakat
Kabupaten Tangerang, untuk meningkatkan manfaat mangrove bagi kehidupan.
Wilayah pesisir kabupaten Tangerang merupakan pertemuan antara dua ekosistem yang
berbeda, yakni ekosistem laut Jawa dan ekosistem daratan kabupaten Tangerang. Dua perbedaan
ekosistem ini menunjukkan adanya perbedaan flora dan fauna. Dimana laut jawa merupakan ekosistem
laut yang dalam dengan berbagai macam flora dan fauna lautnya, sedangkan daratan terdiri atas flora
dan fauna daratan yang juga adanya dampak kegiatan manusia kepada wilayah ini.
Wilayah pesisir kabupaten Tangerang merupakan terdiri atas delapan kecamatan yang
memiliki wilayah pesisir, dimana total panjang pantai wilayah ini adalah 51 Km. terdapat 2 teluk pada
wilayah ini yakni Teluk Tanjung Anom/Karang Serang di Kecamatan Mauk dan Tanjung Burung (P.
Betingan) di Kecamatan Teluknaga. Wilayah pesisir Kabupaten Tangerang dibentuk oleh beberapa
penggunaan lahan antara lain, hutan bakau (Mangrove), muara sungai besar, permukiman nelayan dan
tambak. Pada umumnya landai dengan ketinggian mulai dari 1 – 10 mdpl. Kelandaian ini menyebabkan
lahan pesisir mudah digenangi air pasang (rob). Keadaan tanah yang relatif tidak tahan terhadap erosi
menyebabkan pantai utara Kabupaten Tangerang rawan erosi.
Proses tergerusnya garis pantai (erosi/abrasi) dan bertambah dangkalnya perairan pantai
(sedimentasi/pengendapan), pada dasarnya merupakan proses yang terjadi secara alami. Demikian pula
halnya dengan yang terjadi beberapa garis pantai di Kabupaten Tangerang. Namun demikian, khusus di
kawasan Tanjung Anom dan Tanjung Burung serta Pulau Cangkir, kecepatan dan akibat yang
ditimbulkannya, juga sangat dipengaruhi oleh kegiatan manusia yang telah membabat tanaman
pelindung pantai (mangrove) dan “membangun‟ di daerah yang secara geologi masih labil.
Di kawasan pesisir sepanjang 51 Km, permasalahan abrasi menjadi sangat penting. Menurut
hasil penelitian dari kompas (11/11/08) sudah mengalami kerusakan hingga 51 %, artinya hampir semua
kawasan pesisir mengalami abrasi. Hal ini disebabkan oleh arus pantai yang cukup deras, tanggul
penahan air yang lemah, kurangnya lahan hutan bakau, serta sisasisa eksplorasi pasir laut liar yang
terjadi sekitar 3-5 tahun lalu. Dengan pembangunan tempat wisata yang tidak memperhatikan
kelestarian lingkungan akan memperparah abrasi pantai tersebut, tempat wisata di Pulau Cangkir
misalnya terjadi penyusutan luas pulau tersebut.
Masalah erosi pantai yang terjadi di wilayah pesisir dan pulau Cangkir tersebut telah
menyebabkan kerugian material, seperti lenyapnya bangunan-bangunan masyarakat dan fasilitas umum
serta menimbulkan rasa tidak aman/nyaman bagi penduduk setempat.
B. TUJUAN
Pengelolaan keanekaragaman hayati tidak terlepas dari upaya-upaya konservasi yang mencakup:
(i) perlindungan sistem penyangga kehidupan;
(ii) pengawetan jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya;
(iii) pemanfaatan berkelanjutan dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan keanekaragaman hayati.
Perlindungan keanekaragaman hayati bertujuan untuk memelihara proses ekologis agar dapat terus berlangsung untuk menjamin kelangsungan kehidupan manusia. Dalam rangka perlindungan system penyangga kehidupan, Pemerintah menetapkan wilayah, pola dasar pembinaan dan tata cara pemanfaatan wilayah perlindungan system penyangga kehidupan. Hutan lindung dan sempadan sungai merupakan contoh dari wilayah perlindungan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Pengawetan merupakan upaya untuk menjaga keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya dari kepunahan. Pengawetan dilakukan di dalam dan di luar habitatnya. PP 7 tahun 1999 mengatur tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa yang bertujuan untuk:
• menghindarkan jenis tumbuhan dan satwa dari bahaya kepunahan
• menjaga kemurnian genetik dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa;
• memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem yang ada;
C. MANFAAT
Upaya pelestarian/pengawetan dilakukan agar keanekaragaman hayati dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia secara berkelanjutan, meliputi:
(i) penetapan dan penggolongan yang dilindungi dan tidak dilindungi;
(ii) pengelolaan jenis tumbuhan dan satwa serta habitatnya (konservasi ex situ dan konservasi in situ);
(iii) pemeliharaan dan pengembangbiakan.
Keanekaragaman hayati menghadapi berbagai tekanan, seperti pemanfaatan yang berlebihan, pencurian keanekaragaman hayati (biopiracy), perubahan iklim, deforestasi dan masuknya jenis asing yang bersifat invasive (invasive alien speces). Tekanan tersebut memicu kerusakan atau kemerosoton keanekaragaman hayati (biodiversity loss). Sehingga upaya pengedalian kerusakan keanekaragaman hayati harus dilakukan dengan mempertimbangkan
aspek konservasi. Upaya pengendalian kerusakan keanekaragaman hayati dilakukan untuk melestarikan keragaman dan fungsi keanekaragaman hayati yang mencakup:
• Pencegahan kerusakan keanekaragaman hayati, untuk mempertahankan kualitas dan kuantitas keanekaragaman hayati melalui cara-cara yang tidak memberi peluang terjadinya kerusakan keanekaragaman hayati
• Penanggulangan kerusakan keanekaragaman hayati, untuk menghentikan laju kerusakan keanekaragaman hayati
• Pemulihan kondisi keanekaragaman hayati, untuk mengembalikan keragaman dan fungsi keanekaragaman hayati.
D. DASAR HUKUM
Pengelolaan keanekaragaman hayati mengacu pada UU no 5 tahun 1990 tentang Sumber Daya Hayati dan Ekosistem, UU 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Keanekaragaman Hayati dan UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU 32 tahun 2009 memasukkan keanekaragaman hayati menjadi salah satu asas untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; salah satu aspek kajian dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS); dan merupakan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah untuk menetapkan dan melaksanakan kebijakan terkait keanekaragaman hayati.
Selain itu peraturan lainnya yang terkait adalah: (i) Undang-undang No. 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang mengatur pemanfaatan sumber daya ikan; (ii) Undang-undang No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil; (iii) Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Pengelolaan keanekaragaman hayati di Indonesia dilaksanakan dengan mengacu kepada Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) tahun 2003-2020. IBSAP memberikan arahan kebijakan serta program dan aksi untuk pengelolaan keanekaragaman hayati Indonesia. IBSAP menajdi dasar bagi kegiatan perencanaan pembangunan baik pada tataran nasional (RPJMN) maupun daerah (RPJMD).
a. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
UU 32 tahun 2009 memasukkan keanekaragaman hayati sebagai salah satu asas untuk perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu kajian mengenai tingkat ketahanan dan potensi keanekaragaman hayati menjadi salah satu aspek dalam Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Dengan demikian pertimbangan keanekaragaman hayati harus diintegrasikan kedalam rencana pembangunan tata ruang dan rencana pembangunan jangka panjang dan jangka menengah.UU 32 tahun 2009 juga memberikan mandat untuk menetapkan kebijakan keanekaragaman hayati.
b. Undang-Undang 5 tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Internasional
mengenai Keanekaragaman Hayati
Indonesia meratifikasi Konvensi Internasional mengenai Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity) pada tahun 1994 melalui Undang-undang nomor 5 tahun 1994. Konvensi ini lahir didasari dengan kepedulian global atas terjadinya kemeosotan atau hilangnya keanekaragaman hayati sehingga diperlukan upaya-upaya untuk konservasi keanekaragaman hayati.
c. Undang-Undang Nomor 21 tahun 2004 tentang Pengesahan Cartagena Protocol On Biosafety To The Convention On Biological Diversity (Protokol Cartagena Tentang Keamanan Hayati Atas Konvensi Tentang Keanekaragaman Hayati)
Protokol Cartagena merupakan protocol dalam kerangka Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) yang mengatur tentang keamanan hayati dari organisme hasil modifikasi genetic (OHMG) yang berasal dari bioteknologi modern yang dapat mengakibatkan kerugian terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan keanekaragaman hayati. Protokol ini memiliki ruang lingkup yaitu perpindahan lintas batas, persinggahan, penanganan dan pemanfatan OHMG.
Protokol ini didasari oleh prinsip kehati-hatian atas pemanfaatan bioteknologi modern yang semakin berkembang dalam rangka pemenuhan kebutuhan akan pangan, pakan dan sumber daya lainnya. Dengan demikian, perpindahan, penanganan dan pemanfaatan OHMG harus dilakukan setelah melalui penelitian yang cukup untuk menilai resiko, atau yang dikenal dengan risk assessment, terhadap kehati dan kesehatan manusia.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa
Genetika (PRG)
PP nomor 21 tahun 2005 merupakan peraturan pendukung bagi implementasi UU 21 tahun 2004 yang bertujuan untuk mewujudkan kemanan lingkungan, kemanan pangan dan/atau keamanan pakan PRG serta pemanfaatannya di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, industri, lingkungan, dan kesehatan non farmasi. Peraturan pemerintah ini juga memiliki tujuan untuk meningkatkan hasil gunan dan daya guna PRG bagi kesejahteraan masyarakat berdasarkan prinsip kehati-hatian. Pengaturan dalam PP ini mencakup: (i) Jenis dan persyaratan PRG; (ii) Penelitian dan pengembangan PRG; (iii) Pemasukan PRG dari luar negeri; (iv) Pengkajian, pelepasan dan peredaran serta pemanfaatan PRG; (v) Pengawasan dan pengendalian PRG; (vi) Kelembagaan; (vii) Pembiayaan.
Mekanisme perijinan dan pengawasan PRG masih berada di pemerintah pusat dimana pengawasan masih menjadi kewenangan Menteri atau Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang memiliki tugas dan fungsi di bidang pelepasan dan peredaran PRG.
PP 21 tahun 2005 mengamanatkan dibentuknya Komisi Kemanan Hayati (KKH) yang bertugas memberikan rekomendasi kemanan hayati kepada Menteri/Kepala LPND; membantu dalam pengawasan terhadap pemasukan dan pemanfaatan PRG serta pemeriksaaan dan pembuktian atas kebenaran laporan adanya dampak negatif dari PRG.
Pada tahun 2010, KKH telah dibentuk melalui Peraturan Presdien nomor 39 tahun 2010 dan beranggotakan perwakilan dari kalangan pemerintah dan non pemerintah.
e. Protokol Nagoya
Protokol Nagoya merupakan salah satu protokol yang berasal dari kerangka Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan bersifat mengikat bagi seluruh Negara anggota dari CBD. Protokol Nagoya berisi pengaturan mengenai akses dan pembagian keuntungan dari pemanfaatan sumber daya genetic (SDG). Protokol ini memiliki prinsip: (i) bahwa negara memiliki kedaulatan atas sumber daya alam yang dimilki; (ii) akses terhadap SDG harus mendapat ijin dari Negara penyedia SDG; (iii) adanya kesepakatan bersama antara penyedia dan pengguna untuk pembagian keuntungan dari pemanfaatan SDG. Cakupan dari Protokol Nagoya adalah akses dan pembagian keuntungan atas pemanfaatan SDG dan pengetahuan terkait pemanfaatan SDG. Indonesia, sebagai negara yang memiliki SDG yang tinggi, tentunya berkepentingan atas diberlakukannya protocol ini. Protokol ini diharapkan dapat menjadi instrument internasional yang efektif untuk perlindungan SDG dari upaya-upaya pencurian dan pemanfaatan yang tidak semestinya. Aspek pengawasan dari protocol ini adalah bahwa semua negara harus membangun pos pemeriksaan (check points) yang bertugas untuk memeriksa pemenuhan persyaratan oleh pengguna SDG yang mencakup antara lain: persetujuan atas informasi awal (prior inform consent); sumber asal SDG; kesepakatan bersama (mutual agreed terms). Persyaratan tersebut tertuang dalam sertifikat penaatan yang diakui secara internasional. Saat ini Protokol Nagoya baru memasuki tahapan proses ratifikasi menjadi peraturan perundang-undangan nasional. Pengaturan yang ada di dalam protocol ini akan menguatkan pengaturan nasional untuk pengelolaan dan perlindungan SDG. Tahapan selanjutnya adalah implementasi yang harus didukung oleh ketersediaan legislasi nasional serta data dan informasi tentang SDG dan pengetahuan tradisional terkait pemanfaatan SDG.
f. Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Genetika (RUU PSDG)
Rancangan UU PSDG memiliki tujuan untuk menjamin pemanfaatan SDG secara berkelanjutan dan pembagian keuntungan secara adil dan merata; menjamin kelestarian SDG; serta mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ketiga tujuan ini dijabarkan dengan melakukan lankah tindak sebagai berikut:
1. Penetapan Kebijakan Pengelolaan SDG
2. Pemberian ijin akses SDG dan pembagian keuntungan
3. Pengaturan tata cara perlindungan atas pemanfaatan SDG
4. Pengembangan sistem informasi & database SDG
5. Pemantauan & pengawasan
6. Litbang
7. Peningkatan Kesadaran
8. Mendorong kerjasama, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas SDM Sumber daya genetik dalam RUU PSDG ini adalah semua bahan genetik termasuk informasi genetik dari tumbuhan, binatang, jasad renik, atau asal lain termasuk derivatifnya yang mengandung unit-unit fungsional pewarisan sifat yang mempunyai nilai nyata atau potensial.
E. PROFIL PULAU CANGKIR
Sesuai dengan pertimbangan Pulau Cangkir sebagai locus kegiatan biodiversity bagi
perusahaan yang memiliki keinginan untuk menanam mangrove. Pulau yang berada di wilayah
Kabupaten Tangerang hanya Pulau Cangkir yang memiliki luas + 2,5 ha dan memiliki potensi yang baik
untuk dikembangkan sebagai wisata sejarah perdagangan Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie
(VOC) dan sebagai wisata alam vegetasi baik itu flora dan fauna (BAPPEDA Kab. Tangerang, 2015)
Kabupaten Tangerang juga memiliki kawasan lindung, Kawasan hutan lindung ini terdapat di
Kabupaten Tangerang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jabar Banten-KPH Bogor seluas kurang
lebih 1.576 (seribu lima ratus tujuh puluh enam) ha tersebar di Kecamatan Kronjo, Kecamatan Kemiri,
Kecamatan Mauk, Kecamatan Pakuhaji, Kecamatan Teluknaga, dan Kecamatan Kosambi. Kawasan
hutan lindung ini sebagian besar lokasinya sudah menjadi laut dan tambak dan hanya sebagian kecil
yang masih berupa hutan bakau. Selain itu, di wilayah kabupaten Tangerang juga sudah disiapkan
kawasan Minapolitan yakni Rencana pengembangan kawasan minapolitan di Kecamatan Kronjo seluas
lebih kurang 880 (delapan ratus delapan puluh) hektar.
Pulau Cangkir terletak di Desa Kronjo, KecamatanKronjo, Kabupaten Tangerang, berjarak
sekitar 25 km dari Kota Tangerang atau sekitar 1,5 jam perjalanan. Kawasan Pulau Cangkir semula
seluas 4,5 Ha. Dahulunya pulau tersebut merupakan daratan terpisah dari Pulau Jawa sebelum
masyarakat membuat jalan penghubung untuk memudahkan para peziarah. Lintasan tanah yang menjadi
jalur penghubung utama tersebut dibuat tahun 1995 dan merupakan hasil swadaya penduduk setempat
dengan pengurus situs ziarah.
Pulau Cangkir menjadi objek wisata ziarah karena di dalamnya terdapat makam Pangeran
Jaga Lautan yang bernama asli SyekhWaliyuddin seorang ulama besar yang berasaldari Banten.
Makam inilah yang menjadikan Pulau Cangkir sebagai tempat Wisata Religius yang tidak hanya dikenal
oleh masyarakat Banten, bahkan seluruh nusantara.
Di Pulau Cangkir pengunjung tidak hanya dapat berwisata ziarah. Kawasan yang juga kerap
disebut dengan nama Pulau Cangkir Kronjo tersebut memiliki panorama hutan mangrove yang tersebar
di sepanjang jalur menuju pulau. Pengunjung juga dapat mengamati kehidupan sehari-hari nelayan
mulai dari merawat kapal hingga mengolah hasil tangkapan. Ada pula galangan untuk membuat atau
memperbaiki kapal para nelayan.
F. PERMASALAHAN ABRASI DAN KERUSAKAN EKOSISTEM MANGROVE
Sebagaimana sudah disampaikan di atas bahwa Kawasan Pulau Cangkir semula memiliki luas
sekitar 4,5 Ha., namun akibat abrasi luasannya menyusut menjadi 2,5 ha. (ilustrasi di atas
menggambarkan perubahan garis pantai melalui citra satelit yang lewat aplikasi Google Earth dengan
membandingkan pencitraan Tahun 2006 dengan pencitraan Tahun 2019 (ditandai dengan garis kuning
pada citra satelit Tahun 2019.
Data-data ini dapat dijadikan sebagai salah satu rujukan di dalam menetapkan baseline sebagai
tolok ukur pencapaian keberhasilan Program Rehabilitasi Mangrove di sekitar Kawasan Pulau Cangkir.
Lewat rehabilitasi kawasan pantai Pulau Cangkir dengan salah satunya yaitu program penanaman
mangrove melalui dana Corporate Social Responsibility (CSR) dari beberapa perusahaan di wilayah
Kabupaten Tangerang.
G. ROADMAP REHABILITASI KAWASAN PANTAI PULAU CANGKIR
PERENCANAAN
PELAKSANAAN
MONITORING DAN EVALUASI
PERBAIKAN DAN TINDAK LANJUT
- Studi Literatur
- Studi Lapangan
- Perencanaan Lahan
- Administrasi
- Penyiapan SDM
- Penyiapan Bibit
- Penyiapan Sarpras
Pendukung, dll.
- Kegiatan
Penanaman
- Kegiatan
Pemeliharaan
- Kegiatan
Pendukung
- Pemberdayaan
Masyarakat
- Monitoring dan
Evaluasi
(perhitungan
persentase hidup
dari mangrove
yang ditanam)
- Tambal Sulam
- Bimbingan Teknis
- Dll.
- Laporan
Pelaksanaan
- Saran dan
Rekomendasi
- Kembali ke Mode
“PLAN” untuk
periode tahun
berikutnya
- Februari s.d. Maret
2019
- April 2019 - Mei s.d. Desember
2019
- Januari 2020
- Penanaman
Mangrove
- Edukasi
Masyarakat
- Penanaman
Mangrove
- Peningkatan Peran
Serta Masyarakat
- Penanaman
Mangrove
- Peningkatan taraf
hidup masyarakat
melalui Program
Rehabilitasi Pesisir
Pulau Cangkir
- Penanaman
Mangrove
- Pembuatan Sekolah
Alam
PLAN DO CHE
ACT
2019 202
202
202
H. KESIMPULAN
Secara umum lokasi yang kami ajukan dapat dikerjasamakan dengan pihak Perhutani KPH
Banten yang dapat diajukan oleh pihak perusahaan dengan beberapa pertimbangan terkait dengan lokasi
yang memiliki potensi untuk dijadikan kegiatan biodiversity.
Usaha rehabilitasi Kawasan Pantai Pulau Cangkir diperlukan untuk meningkatkan daya
dukung lingkungan sekitar pulau sebagai salah satu pendukung keberlangsungan Wisata Religi dan
kelestarian lingkungan pada akhirnya. Diperlukan peran serta pemerintah, dunia usaha dan masyarakat
yang peduli agar semuanya bisa berjalan dengan baik.
Pada tahun pertama s.d. ketiga merupakan kunci untuk dapat melaksanakan kegiatan pada
tahun-tahun berikutnya. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dari seluruh pihak agar kegiatan
Rehabilitasi Pulau Cangkir dapat diwujudkan.