Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

11

Click here to load reader

description

Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk Mendorong Pencapaian Millennium Development Goals1)Much. Imron, SE, MM2)Purwo Adi Wibowo, SE, MSc3)M. Yunies Edward, SE, MMProgram Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Islam Nahdlatul Ulama JeparaJl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan JeparaEmail: 1)[email protected])[email protected] 3)[email protected] AbstrakMillennium Development Goals (MDGs) merupakan sebuah strategi yang diadopsi secara global, sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan yang akan dicapai pada tahun 2015. Peran peningkatan akses jasa keuangan (financial inclusion) diakselerasi sejak tahun 2005 sebagai pencanangan international year of microcredit. Peningkatan akses jasa keuangan diharapkan dapat menjadi katalisator dalam pencapaian MDGs. Artikel ini akan membahas peran lembaga keuangan mikro dalam peningkatan akses jasa keuangan bagi kalangan ekonomi menengah bawah sebagai solusi pendukung dalam pengentasan kemiskinan dan pencapaian MDGs. Jenis artikel bersifat kajian kebijakan, sehingga analisisnya dilakukan dengan menelaah/mengkaji literatur. Kesimpulan umum yang diperoleh adalah lembaga keuangan mikro merupakan sarana efektif untuk mencapai MDGs. Layanan jasa keuangan memampukan golongan ekonomi bawah untuk meningkatkan penghasilannya. Keberadaan jasa keuangan mampu mematahkan lingkaran kemiskinan. Dengan penghasilan yang lebih tinggi, kalangan miskin mampu memperbaiki tingkat pendidikan anak-anaknya dan meningkatkan taraf kesehatan keluarga. Sebagian besar nasabah lembaga keuangan mikro adalah wanita, sehingga keberdayaannya juga meningkat. Peningkatan akses jasa keuangan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab lembaga keuangan mikro (LKM). Untuk mengakselerasi peningkatan akses jasa keuangan terhadap pencapaian MDGs, diperlukan peran lembaga lain, meliputi: lembaga keuangan bank, pemerintah, bank sentral, lembaga swadaya masyarakat dan pihak donor. Pada artikel ini, juga dikemukakan 5 (lima) model rekomendasi peningkatan akses jasa keuangan.Kata kunci: akses jasa keuangan (financial inclusion), millennium development goals (MDGs), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), kemiskinan.

Transcript of Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

Page 1: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

1

Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk Mendorong Pencapaian Millennium Development Goals

1)Much. Imron, SE, MM

2)Purwo Adi Wibowo, SE, MSc 3)M. Yunies Edward, SE, MM

Program Studi Manajemen, Fakultas Ekonomi dan Bisnis,

Universitas Islam Nahdlatul Ulama Jepara Jl. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara

Email: 1)[email protected] 2)[email protected]

3)[email protected]

Abstrak Millennium Development Goals (MDGs) merupakan sebuah strategi yang

diadopsi secara global, sebagai upaya untuk mengurangi kemiskinan yang akan dicapai pada tahun 2015. Peran peningkatan akses jasa keuangan (financial inclusion) diakselerasi sejak tahun 2005 sebagai pencanangan international year of microcredit. Peningkatan akses jasa keuangan diharapkan dapat menjadi katalisator dalam pencapaian MDGs. Artikel ini akan membahas peran lembaga keuangan mikro dalam peningkatan akses jasa keuangan bagi kalangan ekonomi menengah bawah sebagai solusi pendukung dalam pengentasan kemiskinan dan pencapaian MDGs.

Jenis artikel bersifat kajian kebijakan, sehingga analisisnya dilakukan dengan menelaah/mengkaji literatur. Kesimpulan umum yang diperoleh adalah lembaga keuangan mikro merupakan sarana efektif untuk mencapai MDGs. Layanan jasa keuangan memampukan golongan ekonomi bawah untuk meningkatkan penghasilannya. Keberadaan jasa keuangan mampu mematahkan lingkaran kemiskinan. Dengan penghasilan yang lebih tinggi, kalangan miskin mampu memperbaiki tingkat pendidikan anak-anaknya dan meningkatkan taraf kesehatan keluarga. Sebagian besar nasabah lembaga keuangan mikro adalah wanita, sehingga keberdayaannya juga meningkat.

Peningkatan akses jasa keuangan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab lembaga keuangan mikro (LKM). Untuk mengakselerasi peningkatan akses jasa keuangan terhadap pencapaian MDGs, diperlukan peran lembaga lain, meliputi: lembaga keuangan bank, pemerintah, bank sentral, lembaga swadaya masyarakat dan pihak donor. Pada artikel ini, juga dikemukakan 5 (lima) model rekomendasi peningkatan akses jasa keuangan. Kata kunci: akses jasa keuangan (financial inclusion), millennium development goals (MDGs), Lembaga Keuangan Mikro (LKM), kemiskinan.

Page 2: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

2

I. Pendahuluan Pada September 2000, 180 negara meratifikasi Millennium Development Goals (MDGs).

Tujuannya adalah komitmen global yang berfokus pada pengurangan kemiskinan, peningkatan kualitas kehidupan masyarakat, memastikan kelestarian lingkungan, dan membangun kemitraan untuk memastikan bahwa globalisasi menjadi kekuatan yang lebih positif bagi seluruh orang di dunia. Target dan indikator khusus telah ditetapkan untuk masing-masing tujuan, yang akan dicapai pada tahun 2015. MDGs menyediakan kerangka kerja pada penguatan etika global dan tanggung jawab dengan membawa prinsip-prinsip pembangunan manusia dan perlindungan sosial ke dalam konsep tata kelola ekonomi global (UNDP, 1999).

Pencapaian MDGs ditentukan banyak faktor, seperti: kebijakan pemerintahan yang tepat, keamanan, pertumbuhan ekonomi, ketersediaan sumber daya memadai bagi masyarakat lemah dan infrastruktur dasar (misalnya, transportasi ). Dengan demikian pembahasan mengenai ketersediaan layanan akses keuangan bagi masyarakat miskin merupakan faktor kontekstual penting yang bisa memutus lingkaran kemiskinan dan dampaknya sangat kuat terhadap pencapaian MDGs, sehingga perlu dikaji (Littlefield dkk, 2003).

Menurut PBB, sekitar tiga miliar orang di seluruh dunia tidak memiliki akses terhadap jasa keuangan formal. Persoalan ketiadaan akses keuangan ini lebih banyak terjadi di negara-negara berkembang (UN, 2007). Dari perspektif ekonomis, tidak mengherankan bahwa orang-orang yang termasuk dalam kategori miskin membutuhkan layanan keuangan. Sebagian besar penelitian, menghubungkan akses jasa keuangan dengan peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) atau penurunan kemiskinan (poverty reduction). Hal ini berarti sama dengan tujuan umum MDGs, yaitu untuk menurunkan kemiskinan (Kooy, 2009).

Menurut UNDP (2005), keuangan mikro merupakan salah satu sarana untuk peningkatan taraf hidup masyarakat karena adanya kesempatan berinvestasi sehingga dapat meningkatkan pendapatan. Akses jasa keuangan dalam konteks yang lebih luas, dipandang sebagai sarana penting untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, dan untuk menangani MDGs. Akses terhadap kredit dan jasa keuangan lainnya sangat penting untuk pertumbuhan dan investasi.

Dengan akses keuangan, tidak saja memberikan kesempatan untuk berinvestasi produktif, tetapi juga dalam kesehatan dan pendidikan, untuk mengelola keadaan darurat rumah tangga, dan untuk memenuhi berbagai kebutuhanlainnya. Bukti menunjukkan bahwa nasabah keuangan mikro di seluruh dunia menunjukkan bahwa akses ke layanan keuangan memungkinkan orang miskin untuk meningkatkan pendapatan rumah tangga mereka, membangun aset, dan mengurangi kerentanan mereka terhadap krisis banyak mereka hadapi (Littlefield dkk, 2003).

Lembaga keuangan mikro (LKM) memiliki sifat unik apabila digunakan sebagai salah satu upaya intervensi pembangunan: dapat memberikan manfaat sosial secara berkelanjutan, secara permanen, dan dalam skala masif. LKM yang dikelola secara baik menyediakan layanan keuangan secara berkelanjutan. Menurut Littlefield dkk (2003) menunjukkan bahwa dampak positif akses keuangan ini mendorong nasabah (masyarakat miskin) untuk selalu memanfaatkan pinjaman yang diberikan, sehingga peningkatan taraf hidupnya juga berkelanjutan.

Sayangnya orang-orang miskin di sebagian besar negara hampir tidak memiliki akses terhadap layanan keuangan formal. Alternatif layanan keuangan informal, seperti pinjaman keluarga, atau rentenir, biasanya dibatasi oleh jumlah, tidak fleksibel pengembaliannya atau hanya tersedia pada tingkat bunga yang tinggi. Tantangan ke depan adalah memastikan akses ke layanan keuangan bagi mayoritas miskin. Artikel ini akan membahas peran lembaga keuangan mikro dalam peningkatan akses jasa keuangan bagi kalangan ekonomi menengah bawah sebagai solusi pendukung dalam pengentasan kemiskinan dan pencapaian MDGs. Secara khusus menilai dampak di bidang pemberantasan kemiskinan, memajukan pendidikan anak-anak, meningkatkan hasil kesehatan bagi perempuan dan anak-anak, dan pemberdayaan perempuan. Akses jasa keuangan (financial inclusion) menawarkan solusi tambahan dan pelengkap untuk mengatasi kemiskinan, untuk mempromosikan pembangunan yang inklusif dan untuk mengatasi MDGs.

Namun demikian, LKM sendiri masih kurang untuk mengakselerasi pencapaian MDGs. Peningkatan akses jasa keuangan tidak semata-mata menjadi tanggung jawab lembaga keuangan mikro (LKM). Untuk mengakselerasi peningkatan akses jasa keuangan terhadap

Page 3: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

3

pencapaian MDGs, diperlukan peran lembaga lain, meliputi: lembaga keuangan bank, pemerintah, bank sentral, lembaga swadaya masyarakat dan pihak donor. Pada artikel ini, juga dikemukakan 5 (lima) model rekomendasi peningkatan akses jasa keuangan.

II. Kajian Literatur dan Pembahasan

2.1 Akses Jasa Keuangan, Lembaga Keuangan Mikro dan MDGs

Menurut Coyle (2007) kebijakan “tradisional” yang telah banyak dijalankan untuk mengatasi kemiskinan, yang berfokus pada campuran dari bantuan, pendampingan, kebijakan makro ekonomi dan kebijakan lainnya, merupakan kebijakan penting untuk menanggulangi kemiskinan tetapi belum mencukupi. Pendekatan-pendekatan tradisional tersebut perlu diakselerasi dengan pendekatan baru yang berperan sebagai pelengkap untuk mempercepat momentum menuju pencapaian MDGs. Kebijakan pendekatan baru tersebut adalah peningkatan akses jasa keuangan (Chiba, 2011).

Berdasarkan kajian teoritis, empiris dan bukti-bukti yang nampak, menunjukkan bahwa peningkatan akses jasa keuangan memiliki potensi untuk mengurangi kemiskinan. Kebijakan peningkatan akses jasa keuangan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat miskin dan membantu pencapaian MDGs (Chibba, 2008a, b, c; Littlefield dkk, 2003; Setboonsarn dan Parpiev 2008; Ujunwa dkk, 2011). Pendekatan kebijakan ini didasarkan pada pandangan bahwa pembangunan sosial dan ekonomi tidak dapat benar-benar terjadi jika sebagian besar masyarakat yang terpinggirkan dan diabaikan kebutuhan dasarnya. Dengan akses jasa keuangan masyarakat miskin akan mampu kebutuhan dasarnya.

Keuangan mikro telah berkembang sebagai pendekatan pembangunan ekonomi, yang diadopsi oleh PBB sebagai strategi MDGs dimaksudkan untuk mencapai pemberantasan kemiskinan (UNDP, 2005). Keuangan mikro mengacu pada penyediaan jasa keuangan kepada masyarakat berpenghasilan rendah. Berdasarkan UN Microfinance Readers’ Guide (2005) menyatakan bahwa keuangan mikro merupakan salah satu strategi pembangunan yang praktis dan pendekatan yang harus dilaksanakan dan didukung untuk mencapai ambisi berani mengurangi kemiskinan dunia hingga setengahnya.

Mathieu Kerekou, Presiden Republik Benin, yang berbicara dalam kapasitasnya sebagai Ketua Coordinating Bureau of the Least Developed Countries menyatakan bahwa

"Tahun 2005 dinyatakan Tahun Internasional Kredit Mikro (the International Year of Microcredit) sebagai upaya untuk menekankan betapa pentingnya akses terhadap keuangan dan terutama untuk keuangan mikro. Akses bagi masyarakat miskin terhadap jasa keuangan adalah alat yang ampuh untuk memerangi kemiskinan. LKM merupakan elemen penting dari sektor keuangan dan harus diperlakukan sebagaimana mestinya. Dengan adanya dana yang tersedia, mereka dapat berinvestasi dalam kegiatan yang menghasilkan pendapatan dan memenuhi kebutuhan vital mereka, seperti kesehatan, pendidikan dan gizi. Pekerjaan yang dihadapi sekarang ini adalah bersama-sama untuk melakukan tindakan yang efektif untuk membantu orang-orang miskin dan kelompok sasaran lainnya.”

Secara ringkas, delapan tujuan MDGs adalah:

1. Memberantas kemiskinan dan kelaparan 2. Mencapai pendidikan dasar 3. Mempromosikan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan 4. Menurunkan angka kematian balita 5. Mengurangi tingkat kematian ibu melahirkan 6. Memerangi penularan HIV/AIDS, malaria, dan penyakit menular lainnya 7. Menjamin keberlanjutan lingkungan hidup 8. Membangun kemitraan global dalam pembangunan

Dari delapan tujuan tersebut, LKM berpengaruh langsung terhadap 5 tujuan pertama (Littlefield dkk, 2003; Kooy, 2009). Pada bagian berikut ini disajikan hasil-hasil kajian dari Littlefield dkk (2003) yang menyajikan ringkasan hasil-hasil penelitian dari berbagai negara berkembang mengenai keampuhan LKM dalam mempercepat pencapaian MDGs.

Page 4: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

4

1. Memberantas Kemiskinan dan Kelaparan

LKM memungkinkan orang miskin untuk meningkatkan penjagaan diri terhadap perubahan perubahan ekonomis, diversifikasi, dan meningkatkan sumber-sumber pendapatan. Yang mana hal ini merupakan upaya penting untuk keluar dari kemiskinan dan kelaparan. Kemampuan untuk meminjam sejumlah kecil uang untuk memperoleh keuntungan dari bisnis yang dijalankan, untuk membayar biaya sekolah, atau untuk menjembatani kebutuhan uang tunai menjadi langkah pertama dalam memutus siklus kemiskinan. Rumah tangga miskin tersebut juga dapat memanfaatkan rekening tabungan untuk mengumpulkan sejumlah uang untuk membeli aset seperti persediaan untuk usahanya, membayar biaya perawatan kesehatan, atau menyekolahkan anaknya.

Dengan ketersediaan uang tunai yang sewaktu-waktu diperlukan maka dapat menurunkan fluktuasi pendapatan dan mempertahankan tingkat konsumsi, khususnya pada saat periode paceklik. Ketersediaan layanan keuangan bertindak sebagai buffer dalam keadaan darurat, menghadapi risiko bisnis, kemerosotan musiman, atau kejadian lainnya tak terduga lainnya.

Berbagai penelitian, baik kuantitatif maupun kualitatif telah mendokumentasikan peningkatan pendapatan, aset dan penurunan kerentanan yang dialami oleh nasabah LKM.. pada tabel 1 berikut adalah temuan dari penelitian-penelitian tersebut (Littlefield dkk, 2003):

Tabel 1. Kontribusi LKM Terhadap Pengurangan Kemiskinan dan Kelaparan

No Peneliti Temuan/hasil

1 Mustafa dkk (1996)

Nasabah BRAC (sebuah LKM di Bangladesh) memperlihatkan bahwa anggota yang berpartisipasi dalam program selama lebih dari empat tahun mampu meningkatkan pendapatannya sebesar 28 persen dan peningkatan aset sebesar 112 percent.

2 Khandker (1998)

Sebuah studi komprehensif keuangan mikro yang dilakukan oleh Bank Dunia di awal 1990-an pada tiga program terbesar di Bangladesh -Grameen Bank, BRAC, dan RD- menemukan bahwa nasabah perempuan mengalami peningkatan konsumsi rumah tangga sebesar 18 persen dan bahwa 5 persen dari nasabah mampu keluar dari kemiskinan setiap tahun dengan meminjam dan berpartisipasi dalam programs. Ada juga efek spillover dalam perekonomian desa. Rata-rata pendapatan rumah tangga pedesaan di desa-desa program meningkat bahkan untuk rumah tangga yang tidak berpartisipasi dalam Program. Salah satu program yang dijalankan bahkan mempengaruhi tingkat upah desa. Peningkatan kerja mandiri dan penarikan berikutnya dari pasar tenaga kerja informal mampu menyebabkan peningkatan upah sebesar 21 persen di desa-desa yang mengikuti program.

3 MkNelly dan Dunford (1998)

Di Ghana ditemukan bahwa nasabah mampu mengalami peningkatan pendapatan, yaitu sebesar $US 36 pada saat atau sesudah menjadi anggota dibandingkan dengan $US 18 pada kategori sebelum menjadi anggota. Nasabah juga telah secara signifikan mampu melakukan diversifikasi sumber pendapatan mereka. Delapan puluh persen nasabah memiliki sumber pendapatan sekunder sedangkan bukan nasabah yang memiliki sumber pendapatan sekunder sebesar 50 persen.

4 Hossain (1998)

Pendapatan anggota Grameen bank adalah 43 persen lebih tinggi dari pendapatan kelompok kontrol di desa-desa non program dan 28 persen lebih tinggi dari desa-desa non - anggota Grameen. Anggota Grameen juga dapat lebih mengandalkan tabungan dan dana mereka sendiri untuk mengatasi krisis daripada meminjam dari rentenir. Tingkat upah di desa-desa Program juga meningkat.

5 Remenyi & Quinones (2000)

Di Indonesia, nasabah peminjam mampu meningkatkan pendapatan sebesar 12,9 persen dibandingkan dengan kenaikan dari 3 persen pada kelompok kontrol yang tidak melakukan peminjaman di LKM.

6 Panjaitan dkk (1999)

Penelitian Bank Rakyat Indonesia di pulau Lombok di Indonesia dilaporkan bahwa pendapatan rata-rata nasabah telah meningkat sebesar 112 persen

Page 5: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

5

dan 90 persen rumah tangga telah berpindah di bawah garis kemiskinan.

7 Simanowitz (1999)

Sebuah studi terhadap nasabah SHARE (sebuah LKM di India) tercatat bahwa tiga-perempat dari nasabah yang berpartisipasi dalam program ini untuk waktu yang lama mengalami perbaikan yang signifikan dalam kesejahteraan ekonomi mereka (berdasarkan sumber pendapatan, kepemilikan aset produktif, kondisi perumahan, dan rasio ketergantungan rumah tangga) dan setengah dari nasabah mampu keluar dari garis kemiskinan. Ada pergeseran yang ditandai dengan pola kerja nasabah - dari yang tidak teratur, tenaga kerja harian dibayar rendah dengan sumber diversifikasi pendapatan, peningkatan lapangan kerja dari anggota keluarga, dan ketergantungan yang kuat pada usaha kecil. Lebih dari setengah dari nasabah SHARE menunjukkan bahwa mereka telah menggunakan keuntungan dari usaha yang dijalankan untuk membayar kebutuhan sehari-hari tanpa perlu mengajukan hutang.

8 Barnes (2001)

Di Zibwabwe, pada tahun 1997-1999, ada tren penurunan pengeluaran pangan di Zimbabwe. Hal ini mungkin merupakan strategi manajemen kas yang dilakukan oleh Zambuko Trust (sebuah LKM di Zimbabwe) untuk mengatasi meningkatnya biaya hidup. Partisipasi dalam Zambuko Trust, memberikan dampak positif pada konsumsi makanan tinggi protein (daging, ikan, ayam, dan susu) pada nasabah yang merupakan rumah tangga miskin.

9 Hasan (2001) Akses pada layanan keuangan mampu mengaktifkan nasabah BRAC (sebuah LKM di Bangladesh) menjadi lebih kuat terhadap tekanan ekonomi melalui perataan konsumsi, membangun aset, dan menerima penghasilan selama bencana alam (karena mengikuti program asuransi).

10 Simanowitz & Walter (2002)

Pendapatan dari 2/3 nasabah CRECER (sebuah LKM di Bolivia) meningkat setelah bergabung. Temuan lainnya adalah nasabah memiliki kemampuan perataan konsumsi (consumsi smoothing) sepanjang tahun karena memiliki diversifikasi sumber pendapatan dan mampu membeli persediaan makanan dalam jumlah besar. Delapan puluh enam persen nasabah juga mengatakan bahwa tabungan mereka telah meningkat, padahal 78 persen tidak memiliki tabungan sebelum berpartisipasi dengan program dari CRECER.

Sumber: Littlefield dkk (2003)

2. Meningkatkan Pendidikan Anak (Pendidikan Dasar) Salah satu hal pertama yang orang miskin lakukan di seluruh dunia dari pinjaman yang

diperoleh adalah adalah berinvestasi dalam pendidikan anak-anak mereka. Studi menunjukkan bahwa anak-anak nasabah keuangan mikro lebih mungkin untuk pergi ke sekolah dan tetap bersekolah lagi. Tingkat drop-out-nya juga jauh lebih rendah dalam rumah tangga yang bukan nasabah keuangan mikro (Littlefield dkk, 2003).

Ada beberapa studi tentang keuangan mikro dan dampaknya terhadap sekolah. Pada tabel 2 berikut ini disajikan kontribusi Lembaga Keuangan Mikro Terhadap Peningkatan Pendidikan Anak-anak.

Tabel 2. Kontribusi LKM terhadap Peningkatan Pendidikan Anak-anak

No Peneliti Temuan/hasil

1 Todd (1996) Penelitian etnografi pada Grameen Bank menunjukkan bahwa hampir semua anak perempuan di rumah tangga nasabah Grameen mampu melanjutkan sekolah sebesar 60 persen dibandingkan dengan anak dari rumah tangga bukan kelompok. 81 persen dari anak laki-laki di rumah tangga Grameen menlanjutkan sekolah dibandingkan dengan 54 persen di rumah tangga bukan nasabah Grameen.

2 Khandker (1996)

Studi Bank Dunia pada tahun 1998, menemukan bahwa tingkat partisipasi sekolah yang lebih tinggi untuk anak-anak dari semua rumah tangga program kredit.

Page 6: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

6

3 Marcus dkk (1999)

Penelitian dari yayasan “Save the Children” di Honduras melaporkan bahwa nasabah yang berpartisipasi mampu meningkatkan pendapatan mereka dan sumber daya (aset) yang dimiliki. Hal ini memungkinkan mereka untuk membiayai anak-anak mereka untuk tetap bersekolah dan mengurangi tingkat putus sekolah.

4 Choudury & Bhuiya (2001)

Sebuah studi longitudinal di BRAC (sebuah LKM di Bangladesh) menemukan bahwa kompetensi dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung pada anak-anak berusia 11-14 tahun di rumah tangga anggotanya telah meningkat 12 persen dibandingkan pada awal program pada tahun 1992 kemudian meningkat lagi menjadi 24 persen pada 1995. Dalam rumah tangga non - anggota, hanya 14 persen anak-anak bisa lulus tes kompetensi pendidikan tahun 1995.

5 Barnes dkk (2001)

Sebuah studi dampak program keuangan mikro di Uganda, yang dilakukan untuk proyek USAID - AIMS, menunjukkan bahwa rumah tangga nasabah LKM mampu berinvestasi lebih banyak dalam pendidikan dibanding rumah tangga bukan nasabah.

6 Barnes (2001)

Studi AIMS di Zambuko Trust (sebuah LKM di Zimbabwe) menemukan dampak positif pada rasio pendaftaran sekolah untuk anak laki-laki berusia 6-16 tahun 1997-99. Selama periode yang sama, rasio pendaftaran sekolah untuk anak perempuan 6-16 menurun. Hasil wawancara dengan nasabah peminjam ulang mengemukakan bahwa pinjaman kumulatif yang diperoleh, akan meningkatkan meningkatkan kemungkinan bahwa anak-anak nasabah berusia 6-21 akan tetap bersekolah.

7 Martha & Snodgrass (2001)

Selama periode 1997-1999, pinjaman dari Bank SEWA memiliki dampak positif pada angka partisipasi sekolah menengah anak laki-laki, yang naik menjadi 70 persen. Namun, hubungan partisipasi SEWA untuk pendaftaran anak perempuan di tingkat sekolah menengah atau anak perempuan dan anak laki-laki di tingkat sekolah dasar bersifat lemah.

Sumber: Littlefield dkk (2003) 3. Meningkatkan Derajat Kesehatan

Penyakit umumnya merupakan krisis yang paling mengancam bagi keluarga miskin. Kematian dalam keluarga, mengambil cuti dari pekerjaan ketika sakit, dan biaya perawatan kesehatan dapat menguras pendapatan dan tabungan. Bahkan dapat menyebabkan menjual aset dan atau mengajukan hutang. Untuk nasabah keuangan mikro, alasan penyakit sering menjadi alasan utama kegagalan untuk membayar pinjaman (Littlefield dkk, 2003).

Rumah tangga nasabah keuangan mikro tampaknya memiliki gizi yang lebih baik dan tingkat kesehatan yang lebih bagus dibanding rumah tangga bukan nasabah. Ketersediaan uang kas yang lebih besar memungkinkan nasabah untuk mengobati masalah kesehatan dengan segera daripada menunggu kondisi memburuk (karena tidak memiliki uang).

Bukti khusus tentang dampak kesehatan bagi perempuan dan anak-anak di rumah tangga nasabah LKM, meskipun jarang diteliti tetapi terdapat hasil penelitian yang menunjukkan dampak positif. Pada tabel 3 berikut ini disajikan kontribusi LKM terhadap peningkatan derajat kesehatan

Tabel 3. Kontribusi LKM terhadap Peningkatan Derajat Kesehatan

No Peneliti Temuan/hasil

1 Chuler & Hashemi (1994)

Survei lain dari nasabah keuangan mikro di Bangladesh menunjukkan bahwa tingkat penggunaan kontrasepsi secara signifikan lebih tinggi untuk nasabah Grameen Bank (59 persen) dibandingkan non-nasabah (43 persen).

2 McNelly & Dunford (1998)

Di Ghana ditemukan bahwa nasabah wanita memiliki praktek menyusui yang lebih baik, dan anak-anak mereka satu tahun lebih sehat daripada anak-anak non - nasabah dalam hal berat badan - untuk - usia dan tinggi badan usia. Nasabah juga menunjukkan perubahan positif yang signifikan dalam sejumlah praktik - menyusui kesehatan segera setelah lahir

Page 7: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

7

(sehingga bayi mendapatkan kolostrum). Hal ini memberikan dampak positif bagi kesehatan anak di masa depan.

3 McNelly & Dunford (1999)

CRECER (sebuah LKM di Bolivia) menyediakan pendidikan kesehatan dasar bersama dengan layanan keuangan. Anak-anak dari nasabah CRECER memiliki tingkat imun yang lebih tinggi karena disediakannya imunisasi rutin bagi anggota.

4 Rahman & Davanzo (2000)

Temuan serupa peningkatan penggunaan kontrasepsi dilaporkan Mizanur Rahman dan Julie DaVanzo. Hal ini umumnya karena meningkatnya kesadaran dari program kontrasepsi yang diperoleh dengan menghadiri pertemuan kelompok dan dari peningkatan mobilitas yang memungkinkan perempuan untuk mencari layanan tersebut.

5 Barnes dkk (2001)

Sebuah studi, yang ditugaskan oleh USAID - AIMS, melaporkan bahwa nasabah dalam program keuangan mikro FOCCAS di Uganda, memiliki praktek perawatan kesehatan jauh lebih baik daripada non - nasabah. Sembilan puluh lima persen dari nasabah terlibat dalam beberapa praktek kesehatan dan gizi yang lebih baik untuk anak-anak mereka dibandingkan dengan 72 persen non-nasabah. Tiga puluh dua persen dari nasabah telah mencoba setidaknya satu praktik pencegahan AIDS dibandingkan dengan 18 persen untuk non-nasabah.

6 Choudury & Bhuiya (2001)

Sebuah studi longitudinal komprehensif pada nasabah BRAC menemukan bahwa anggota lebih sedikit menderita gizi buruk dibandingkan kelompok kontrol. Semakin lama keanggotaannya tingkat gizi buruk anggota keluarga semakin rendah.

Sumber: Littlefield dkk (2003)

4. Pemberdayaan Perempuan Pada program keuangan mikro umumnya yang menjadi target adalah perempuan

sebagai nasabah. Perempuan sering terbukti lebih bertanggung jawab secara finansial dengan kinerja pelunasan lebih baik daripada laki-laki. Perempuan juga lebih mungkin untuk berinvestasi dibandingkan pria, sehingga bisa meningkatkan pendapatan rumah tangga dan kesejahteraan keluarga. Mungkin yang paling penting, akses ke layanan keuangan dapat memberdayakan perempuan untuk menjadi lebih percaya diri, lebih tegas, lebih mungkin untuk berpartisipasi dalam keputusan keluarga dan masyarakat, dan lebih mampu menghadapi ketidaksetaraan gender sistemik (Littlefield dkk, 2003).

Desain program yang sesuai dapat memiliki yang efek positif yang kuat pada pemberdayaan perempuan, sehingga perempuan memiliki lebih banyak aset, memiliki peran yang lebih aktif dalam pengambilan keputusan keluarga, dan meningkatkan investasi dalam kesejahteraan keluarga. Pada tabel 4 berikut ini disajikan kontribusi LKM terhadap pemberdayaan perempuan

Tabel 4. Kontribusi LKM terhadap Pemberdayaan Perempuan

No Peneliti Temuan/hasil

1 Hashemi (1996)

Sebuah survei terhadap 1300 nasabah dan non - nasabah di Bangladesh menunjukkan bahwa peserta program kredit secara signifikan lebih berdaya dibandingkan non – nasabah. Pemberdayaan ini meningkat dengan durasi keanggotaan, menunjukkan pengaruh program yang kuat.

2 Kabeer (1998)

Peserta program keuangan mikro mengalami perubahan sosial berupa, peningkatan harga diri. Pada tingkat rumah tangga, ditemukan bahwa peningkatan kontribusi perempuan sumber daya memimpin, dalam sebagian besar kasus, menyebabkan menurunnya tingkat ketegangan dan kekerasan.

3 McNelly & Dunford (1999)

Penelitian di Bolivia dan Ghana menunjukkan bahwa partisipasi program menyebabkan peningkatan kepercayaan diri pada wanita dan meningkatkan status dalam masyarakat. Peserta di Ghana memainkan peran yang lebih aktif dalam kehidupan masyarakat dan upacara

Page 8: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

8

masyarakat, sedangkan peserta di Bolivia terlibat aktif dalam pemerintahan lokal.

4 Cheston & Kuhn (2002)

Program keuangan mikro dari berbagai daerah dilaporkan mengalami peningkatan terhadap peran pengambilan keputusan oleh nasabah perempuan. Program Pemberdayaan Perempuan di Nepal menemukan bahwa 68 persen dari anggotanya yang membuat keputusan untuk membeli dan menjual properti, mengirim anak perempuan mereka ke sekolah, negosiasi pernikahan anak-anak mereka, dan merencanakan keluarga mereka. Padahal keputusan ini secara tradisional dibuat oleh suami. Di Filipina dilaporkan bahwa partisipasi perempuan dalam program Pinjaman LKM meningkatkan peran perempuan sebagai pengelola dana rumah tangga utama dari 33 persen menjadi 51 persen. Pada kelompok kontrol (bukan nasabah LKM), hanya 31 persen perempuan yang mengelola dana.

Sumber: Littlefield dkk, (2003)

2.2 Pilar kunci dan model peningkatan akses jasa keuangan

LKM memang berperan penting dalam mengentaskan kemiskinan, meningkatkan akses terhadap kredit, mempromosikan tabungan, mendukung kesetaraan gender dan meningkatkan mata pencaharian, tetapi LKM saja tidak akan mampu memfasilitasi peningkatan akses jasa keuangan untuk mengakselerasi pencapaian MDGs (Chiba, 2011).

Menurut penelitian lapangan dan analisis Chibba (2008c) menyarankan bahwa penanganan akses jasa keuangan sebagai upaya menurunkan kemiskinan dan mempercepat pencapaian MDGs membutuhkan empat pilar utama: 1) pengembangan sektor swasta (keuangan dan non-keuangan), 2) peningkatan melek keuangan (financial literacy), 3) peningkatan kapasitas LKM, dan 4) dukungan sektor publik.

1. Pengembangan Sektor Swasta Keuangan dan Non Keuangan

Pengembangan sektor keuangan (lembaga intermediasi) diketahui sebagai pemicu pertumbuhan ekonomi dan membantu menurunkan angka kemiskinan (Hossein & Kirkpatrick, 2005). Kebijaksanaan yang berlaku umum pada pengembangan sektor keuangan menyatakan bahwa fokus inisiatif harus pada dimensi kelembagaan, regulasi, ekonomi dan terkait dengan kebijakan jangka menengah-ke-panjang (Chiba, 2011).

Kelompok negara anggota Bank Dunia (World Bank Group) untuk mendukung pengembangan sektor keuangan dalam rangka peningkatan akses jasa keuangan, telah meng-inisiasi beberapa langkah berikut: 1) penggabungan kelompok peneliti keuangan dan sektor swasta, 2) menerbitkan laporan penelitian kebijakan. Salah satu contoh laporan komprehensif pertama adalah “Finance for All” yang diterbitkan tahun 2008, 3) menciptakan unit organisasi baru yang secara spesifik berfokus pada pengumpulan dan analisis data mengenai akses jasa keuangan baik rumah tangga maupun perusahaan.

Sektor swasta non-keuangan berperan penting dalam peningkatan akses jasa keuangan, khususnya dukungan dalam teknologi. Peran penting teknologi (khususnya, e-banking dan telekomunikasi pada umumnya) dan pendekatan berbasis pasar untuk melayani orang miskin dan tak memiliki rekening bank melalui aliansi bisnis yang melibatkan perusahaan-perusahaan keuangan dan non-keuangan menghasilkan produk-produk baru dan layanan diperluas. Keberadaan teknologi informasi dan komunikasi, dan teknologi biometrik juga semakin menonjol dalam beberapa tahun terakhir dalam memperluas akses terhadap pembiayaan (Chiba, 2011).

2. Tingkat Kemelekan Keuangan (Financial Literacy)

Melek keuangan adalah pilar kedua yang mendukung akses jasa keuangan. The National Foundation for Educational Resources (NFER) di Inggris mendefinisikan melek keuangan sebagai 'kemampuan untuk membuat penilaian informasi dan mengambil keputusan yang efektif tentang penggunaan dan pengelolaan uang' (NFER, 1992). Peran penting dari melek keuangan menjadi jelas, terutama dalam memfasilitasi penggunaan informasi keuangan mikro, dalam mempromosikan partisipasi dalam sektor keuangan

Page 9: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

9

formal, dan dalam menangani masalah adat istiadat yang memandu pelaksanaan banyak warga sehubungan dengan pinjaman, pengeluaran, tabungan dan keuangan pada umumnya (Chibba, 2007, 2008c).

3. Lembaga Keuangan Mikro

Pilar ketiga adalah keuangan mikro. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, LKM memiliki catatan panjang dan sukses dalam meningkatkan akses jasa keuangan. Dengan demikian LKM merupakan alat yang terbukti dan kuat untuk memfasilitasi akses jasa keuangan.

4. Dukungan Sektor Publik Dukungan sektor publik adalah pilar keempat. Sektor Publik memiliki peran sentral

untuk memastikan bahwa peraturan dan undang-undang yang ada telah sesuai, didukung oleh kebijakan, prosedur, program dan mekanisme akuntabilitas, dan dapat dijalankan untuk memfasilitasi akses jasa keuangan.

Menurut Chiba (2011) Empat pilar utama peningkatan akses jasa keuangan diperkuat

melalui penggunaan lima model peningkatan akses jasa keuangan: 1) konsensus sektor keuangan (financial sector consensus); 2) kepemimpinan sektor publik (public sector leadership); 3) pengembangan peran sektor swasta (private sector development); 4) Pengembangan sektor non-profit (civil society/non-profit sector); dan 5) model katalitik (catalytic model).

1. Konsensus Sektor Keuangan (Financial Sector Consensus)

Karakteristik utama atau blok bangunan dari model ini adalah: a. Kepemimpinan pemerintah untuk pembangunan yang inklusif melalui kerangka kerja

untuk pengembangan yang mencakup kebijakan yang tepat, mekanisme dan undang-undang yang mendukung.

b. Konsensus-driven, di mana lembaga-lembaga sektor keuangan formal bekerja sama untuk mengatasi strategis eksklusi keuangan dan bekerja menuju masyarakat yang adil.

c. Pengetahuan dan informasi dasar, terutama berkenaan dengan pengumpulan dan analisis data pada masyarakat yang unbanked (tak terjangkau/tak layak secara keuangan).

d. Sektor keuangan mengembangkan dan memperkenalkan produk-produk keuangan baru, layanan dan mekanisme penyalurannya.

e. Pemerintah terus memberikan lingkungan yang mendukung (misalnya insentif) dan intervensi infrastruktur dan pelayanan sektor publik terutama dalam mendukung program.

2. Kepemimpinan Sektor Publik (Public Sector Leadership)

Model kepemimpinan sektor publik menganggap bahwa sektor publik harus berada di pusat atau berfungsi sebagai “jangkar” dalam upaya peningkatan akses jasa keuangan. Dengan demikian, sektor publik mempersiapkan strategi dan rencana aksi; menjamin pengembangan kode etik perbankan, standar, dan aturan-aturan yang terkait dan pelaksanaan; mengundang semua pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dan membantu, dan membimbing pelaksanaan secara keseluruhan (biasanya dipimpin oleh bank sentral). Selain itu, lingkungan yang kondusif perlu disediakan oleh pemerintah dan intervensi-yang dipimpin oleh sektor publik juga ditekankan (terutama oleh bank sektor publik).

3. Pengembangan Peran Sektor Swasta (Private Sector Development) Model swasta berfokus pada dan melibatkan entitas keuangan dan non-keuangan.

Bertindak sendiri-sendiri, bersama-sama atau melalui kemitraan, sektor swasta merumuskan dan mengimplementasikan inisiatif peningkatan akses jasa keuangan yang didasarkan pada strategi bisnis, pendekatan dasarnya berbasis pasar. Sektor swasta merupakan pemain utama di bawah model ini, motif sektor swasta di balik inisiatif FI adalah laba, dibandingkan dengan tugas atau tanggung jawab sosial atau kemasyarakatan.

Page 10: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

10

Namun, seperti kebanyakan bisnis pribadi yang besar, ada unsur pelayanan sosial, kecil tapi signifikan. Biasanya program yang dijalankan adalah melalui program tanggung jawab sosial perusahaan.

4. Pengembangan Sektor Non-Profit (Civil Society/Non-Profit Sector)

Peran Lembaga keuangan mikro dan organisasi non-profit khususnya terutama untuk mendukung melek finansial dan program keuangan mikro. Selain itu, model ini meliputi advokasi dan lobi oleh sektor swasta untuk investasi yang lebih baik dan iklim usaha. Dengan demikian, semua pilar peningkatan akses jasa keuangan ditangani oleh model ini.

Model lembaga keswadayaan masyarakat sipil memiliki pendekatan tingkat akar rumput yang dipimpin oleh organisasi-organisasi sukarela, lembaga pendidikan, lembaga non-profit (termasuk kebijakan dan lembaga penelitian, universitas dan organisasi filantropi) dan LSM lainnya. Kekuatan model ini terletak pada pendidikan dan pelatihan (melek finansial), jasa keuangan tertentu (keuangan mikro, khususnya) dan advokasi. Dengan demikian, melek finansial dan keuangan mikro merupakan pilar utama ditangani. Namun, melalui advokasi, penelitian dan representasi, pengembangan dan dukungan sektor publik sektor swasta pilar juga ditujukan kepada batas tertentu.

5. Model Katalis (Catalytic Model) Model Catalytic dilakukan melalui saluran seperti advokasi, penelitian, fasilitasi,

pendanaan, kemitraan dan jasa konsultasi. Organisasi-organisasi multilateral dan bilateral adalah pemain dominan yang sesuai dengan model ini. Apakah tepat untuk melihat organisasi-organisasi internasional sebagai bagian dari model katalitik? Sebagai contoh dari kelompok bank dunia. Pada Pertemuan Tahunan 2007 dari Dewan Gubernur, Robert Zoellick, Presiden WBG, memberikan pidato berjudul “Mengkatalisasi Masa Depan: Globalisasi yang Inklusif dan Berkelanjutan". Disana dikatakan bahwa peran WBG adalah untuk membantu negara-negara untuk membantu diri mereka sendiri dengan menjadi katalis bagi modal dan kebijakan melalui gabungan gagasan dan pengalaman, pembangunan peluang pasar swasta, dan dukungan untuk pemerintahan yang baik dengan didorong oleh sumber daya keuangan kita.

Menurut Ujunwa dkk (2011) untuk mencapai MDGs pada pemberantasan kemiskinan,

LKM harus mengadopsi Model LKM terintegrasi, yaitu suatu model pemberian kredit dengan pendekatan yang mengambil pandangan yang lebih holistik dari nasabah (Ledgerwood, 2000). Ini memberikan kombinasi atau jangkauan intermediasi keuangan dan sosial, pengembangan wirausaha dan pelayanan sosial. Intermediasi keuangan melibatkan transfer modal atau likuiditas dari mereka yang memiliki kelebihan pada waktu tertentu kepada mereka yang singkat pada saat yang sama (Pandey, 2004). Intermediasi sosial adalah proses membangun modal manusia dan sosial yang diperlukan untuk intermediasi keuangan yang berkelanjutan dengan orang miskin (Ledgerwood, 2000).

Model keuangan mikro terintegrasi merupakan basis pengembangan sektor swasta lokal, karena memberikan layanan yang dapat membantu wirausahawan muda atau golongan miskin untuk mengembangkan keterampilan dan pengalaman baru yang dapat diterapkan pada berbagai tantangan lain dalam hidup, menciptakan lapangan kerja secara langsung bagi para pengusaha maupun tidak langsung bagi mereka mereka mempekerjakan, menyediakan produk dan layanan yang berharga, mendorong inovasi dan pengembangan yang mendorong masyarakat miskin yang aktif secara ekonomi untuk mencari solusi, ide-ide dan cara melakukan sesuatu, mempromosikan perubahan sosial dan identitas budaya dan menciptakan rasa memiliki dalam komunitas (UNCDF, 2005b).

III. Penutup

Tidak ada intervensi tunggal yang dapat mengalahkan kemiskinan. Orang miskin

membutuhkan pekerjaan, pendidikan, dan perawatan kesehatan. Beberapa golongan termiskin memerlukan transfer penghasilan langsung atau bantuan untuk bertahan hidup. Akses ke jasa keuangan membentuk pondasi dasar bagi banyak intervensi penting lainnya untuk mengurangi kemiskinan. Perbaikan dalam perawatan kesehatan, gizi, dan pendidikan dapat dipertahankan hanya ketika rumah tangga telah meningkat pendapatannya dan kontrol yang lebih besar atas

Page 11: Peningkatan Akses Jasa Keuangan untuk mendorong pencapaian MDGs_much. Imron-purwo Adi W-m.yunies

11

sumber daya keuangan. Jasa keuangan dengan demikian mengurangi kemiskinan dan dampaknya dalam berbagai cara secara konkret.

Lembaga Keuangan Mikro berperan penting dalam pencapaian MDGs tetapi masih diperlukan dukungan dari pihak lain. Apabila LKM berperan sendiri dalam pencapaian MDGs, maka dampak masifnya dan skalanya kurang luas. Sehingga diperlukan pilar lain untuk mendukung percepatan pencapaian MDGs. Terdapat 4 pilar untuk mendukung, yaitu sektor swasta (sektor keuangan dan non keuangan), melek keuangan, LKM dan sektor publik. Untuk mengoptimalisasi pilar-pilar tersebut, terdapat 5 model yang bisa dipilih: 1) konsensus sektor keuangan (financial sector consensus); 2) kepemimpinan sektor publik (public sector leadership); 3) pengembangan peran sektor swasta (private sector development); 4) Pengembangan sektor non-profit (civil society/non-profit sector); dan 5) model katalitik (catalytic model).

IV. Daftar pustaka

Chibba, M. 2008a. Poverty reduction in developing countries: No consensus but plenty of solutions. World Economics. Vol.9 (1). p.197–200.

Chibba, M. 2008b. Monetary policy in small emerging market economies: The way forward. Macroeconomics and Finance in Emerging Market Economies. Vol. 1 (2). p.299–306.

Chibba, M. 2008c. Financial Inclusion and Development: Concepts, Lessons Learned and Key Pillars. Mimeo.

Chibba, Michael. 2011. Financial Inclusion, Poverty Reduction and the Millennium Development Goals. European Journal of Development Research. Vol. 21 (2). p.213-230.

Coyle, D. 2007. How to tackle poverty. World Economics. Vol. 8 (3). p.1–5.

Hossein, J. and Kirkpatrick, C. 2005. Does financial development contribute to poverty reduction? Journal of Development Studies. Vol. 41 (4). p.636–656.

Kooy. 1999. Microfinance Helps to Achieve The Millennium Development Goals. Bachelor Thesis. Erasmus University.

Ledgerwood, J. 2000. Sustaining Banking with the Poor: Microfinance Handbook, An Institutional and Financial Perspective. Washington D.C: The World Bank.

Littlefield, Elizabeth; Jonathan Morduch dan Syed Hashemi. 2003. Is Microfinance an Efective Strategy to Reach the Millennium Development Goals? Focus Note CGAP. No. 24.

Setboonsarng, S. and Parpiev, Z. 2008. Microfinance and the Millennium Development Goals in Pakistan: Impact Assessment Using Propensity Score Matching. Tokyo: ADB Institute. ADB Institute Discussion Paper no. 104.

Ujunwa, Augustine, Pius Otaru Salami dan Haldu Ahmad Umar. 2011. Millennium Development Goals and Entrepreneurial Skill Development in Nigeria: The Role of Microfinance Banks. Advance in Management & Applied Economics. Vol. 1 (3). P.59-76.

UN. 2007. Press Conference on best practices for financial inclusion, UN Department of Public Information, 30 May.

UNCDF. 2005a. Microfinance and the Millennium Development Goals, A Reader Guide to Millennium Project Reports and other UN Documents.

UNCDF. 2005b. Microfinance Matters: Building Inclusive Financial Sectors, Issue 16.

UNDP. 2005. Business and the Millennium Development Goals: A Framework for Action.

World Bank Group. 2007. Catalyzing the Future: An Inclusive and Sustainable Globalization. Presentation by Robert Zoellick, President, World Bank Group, at the Annual Meeting of the Board of Governors; 22 October.

World Bank. 2008. Finance for All? Washington DC: World Bank.