Penilaian Morfologi Sperma

14
Penilaian morfologi sperma menurut kriteria WHO dan strict criteria: perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium Andre Čipak 1* , Patrik Stanić 1 , Koraljka Đurić 2 , Tihana Serdar 3 , Ernest Suchanek 4 . Biochemia Medica 2009; 19(1):87-94.http://dx.doi.org/10.11613/BM.2009.009 1 Departemen Kandungan dan Kebidanan, Rumah Sakit Universitas Zagreb, Zagreb, Kroasia. 2 Laboratorium Medis Biokimia, Poliklinik Sunce, Zagreb, Kroasia. 3 Departemen Laboratorium Medis, Rumah Sakit Universitas Dubrava, Zagreb, Kroasia. 4 Klinik Fertilitas, Rumah Sakit Tawam, John Hopkins Medicine, Al Ain, Abu Dhabi, U.A.E. Penulis korespondensi * : [email protected] ABSTRAK Latar belakang: Penilaian morfologi sperma adalah salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria pada kasus pasangan yang infertil. Adanya variasi inter- maupun intra- laboratorium yang bermakna dapat menyebabkan kesulitan maupun kesalahan interpretasi. Usaha meminimalkan variasi-variasi ini diperlukan untuk mengurangi kesalahan yang bermakna dan memastikan reproduksibilitas intra- dan inter-laboratorium. Materi dan metode: Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang mendatangi laboratorium andrologi secara berturutan untuk evaluasi fertilitas. Dua kriteria penilaian morfologi sperma dibandingkan, yaitu: 1) apusan semen dengan pewarnaan Giemsa yang dinilai dengan kriteria World Health Organization (WHO); dan 2) apusan semen dengan pewarnaan Spermac dan dinilai dengan strict criteria. Perbandingan pemeriksaan morfologi juga dilakukan. Hasil: Diagnosis teratozoospermia dengan kriteria WHO maupun strict criteria tampak setara dalam 45 dari 49 kasus. Kesetaraan pengamatan tampak sama untuk kriteria WHO maupun strict criteria (kappa: 0.700 berbanding 0.715). 1

description

Journal reading

Transcript of Penilaian Morfologi Sperma

Page 1: Penilaian Morfologi Sperma

Penilaian morfologi sperma menurut kriteria WHO dan strict criteria: perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium

Andre Čipak1*, Patrik Stanić1, Koraljka Đurić2, Tihana Serdar3, Ernest Suchanek4.Biochemia Medica 2009; 19(1):87-94.http://dx.doi.org/10.11613/BM.2009.0091Departemen Kandungan dan Kebidanan, Rumah Sakit Universitas Zagreb, Zagreb, Kroasia.2Laboratorium Medis Biokimia, Poliklinik Sunce, Zagreb, Kroasia.3Departemen Laboratorium Medis, Rumah Sakit Universitas Dubrava, Zagreb, Kroasia.4Klinik Fertilitas, Rumah Sakit Tawam, John Hopkins Medicine, Al Ain, Abu Dhabi, U.A.E.Penulis korespondensi*: [email protected]

ABSTRAK

Latar belakang: Penilaian morfologi sperma adalah salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria pada kasus pasangan yang infertil. Adanya variasi inter- maupun intra- laboratorium yang bermakna dapat menyebabkan kesulitan maupun kesalahan interpretasi. Usaha meminimalkan variasi-variasi ini diperlukan untuk mengurangi kesalahan yang bermakna dan memastikan reproduksibilitas intra- dan inter-laboratorium.

Materi dan metode: Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang mendatangi laboratorium andrologi secara berturutan untuk evaluasi fertilitas. Dua kriteria penilaian morfologi sperma dibandingkan, yaitu: 1) apusan semen dengan pewarnaan Giemsa yang dinilai dengan kriteria World Health Organization (WHO); dan 2) apusan semen dengan pewarnaan Spermac dan dinilai dengan strict criteria. Perbandingan pemeriksaan morfologi juga dilakukan.

Hasil: Diagnosis teratozoospermia dengan kriteria WHO maupun strict criteria tampak setara dalam 45 dari 49 kasus. Kesetaraan pengamatan tampak sama untuk kriteria WHO maupun strict criteria (kappa: 0.700 berbanding 0.715).

Kesimpulan: Penilaian morfologi dengan kriteria WHO dan strict criteria tidak jauh berbeda dalam mendiagnosis teratozoospermia dan kesesuaian antar pengamat dapat diperoleh dengan pelatihan yang tepat, pemeriksaan apusan yang cermat dan penyesuaian sistem klasifikasi.

Kata kunci: spermatozoa; infertilitas; pria; variasi pengamat

1

Page 2: Penilaian Morfologi Sperma

Pendahuluan

Penilaian morfologi sperma sebagai komponan dari prosedur analisis semen merupakan salah

satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria dari pasangan yang infertil. World

Health Organization (WHO) telah menerbitkan beberapa panduan untuk menyamaratakan

prosedur analisis semen; dan kriteria WHO tersebut telah diterima secara luas di berbagai

laboratorium andrologi di seluruh penjuru dunia. Menkveld dkk. pada tahun 1990

memperkenalkan penilaian morfologi sperma dengan kriteria yang lebih ketat, kriteria yang

dikenal sebagai kriteria Tygerberg atau strict criteria (kriteria “ketat”) ini meningkatkan

objektivitas dan memperkecil variabilitas intra-laboratorium. Perbedaan sistem klasifikasi

memunculkan variasi inter- dan intra-laboratorium yang bermakna sebagai akibat dari

berbagai faktor seperti perbedaan teknik pembuatan apusan, pengalaman analis dan

interpretasi. Variasi-variasi seperti ini dapat menyebabkan kesulitan interpretasi hingga

kesalahan diagnosis. Minimalisasi dari variasi-variasi ini diperlukan untuk mengeliminasi

kesalahan yang bermakna dan memastikan reproduksibilitas intra- dan inter-laboratorium.

Tujuan dari penelitian adalah untuk membandingkan dua kriteria penilaian morfologi

sperma, yaitu: 1) apusan semen dengan Giemsa yang dinilai dengan kriteria WHO; dan 2)

apusan semen dengan Spermac yang dinilai dengan strict criteria. Variasi intra-laboratorium

untuk pemeriksaan morfologi juga dibandingkan. Artikel ini merupakan laporan pertama

mengenai perbandingan metode dan variasi intra-laboratorium di Kroasia.

Materi dan metode

Pasien

Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang datang secara berturutan dalam

batas usia 18 hingga 50 tahun. Pasien-pasien mendatangi laboratorium andrologi Departemen

Kandungan dan Kebidanan Rumah Sakit Pusat Universitas Zagreb untuk pemeriksaan

fertilitas dalam rentang periode Mei hingga Juli 2007. Semua subjek diminta untuk tidak

berhubungan seksual sekurang-kurangnya 2 hari sebelum pemeriksaan.

Kriteria

2

Page 3: Penilaian Morfologi Sperma

Normozoospermia menurut kriteria WHO adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma >

20 x 106 spermatozoa/mL, motilitas sperma progresif > 50%, atau sekurang-kurangnya 25%

spermatozoa dengan motilitas progresif linier dan ≥ 30% spermatozoa memiliki morfologi

normal. Kriteria ini hanya dapat diterapkan bila analisis sperma dilakukan pada suhu 37oC.

Motilitas sperma sangat dipengaruhi oleh suhu dan penilaian harus dilakukan dengan suhu

yang terjaga. Analisis motilitas pada laboratorium andrologi dilakukan pada suhu ruang (22oC)

sehingga dilakukan penyesuaian terhadap kriteria motilitas sperma. Diagnosis

astenozoospermia menurut kriteria yang telah dimodifikasi ini dapat ditegakkan bila

ditemukan < 40% spermatozoa dengan motilitas progresif dalam sampel semen.

Teratozoospermia didiagnosa bila ditemukan < 30% morfologi spermatozoa normal dalam

sampel semen menurut kriteria WHO atau < 15% menurut strict criteria. Oligozoospermia

adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma < 20 x 106 spermatozoa/mL.

Oligoastenozoospermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi dan motilitas sperma rendah.

Penilaian motilitas dan konsentrasi sperma

Evaluasi motilitas dan konsentrasi sperma dilakukan dengan menggunakan Autosperm dari

Amsaten Corp. (De Pinte, Belgia) untuk analisis ejakulasi. Sepuluh µL semen yang sudah

diencerkan lalu diteteskan ke kaca preparat dan ditutup dengan kaca penutup (ukuran 22 x 22

mm). Analisis dilakukan pada suhu ruang dengan perbesaran 500x. Motilitas dinilai dari

persentase spermatozoa yang motil:

a) Spermatozoa dengan motilitas linear dan progresif (kecepatan linear ≥ 22 µm/detik);

b) Spermatozoa dengan motilitas linear atau nonlinear lambat (kecepatan linear < 22

µm/detik dan ≥ 5 µm/detik);

c) Lambat; dan

d) Spermatozoa tidak bergerak.

Penilaian morfologi sperma dengan kriteria WHO

3

Page 4: Penilaian Morfologi Sperma

Sepuluh µL semen yang sudah diencerkan kemudian diapuskan ke kaca preparat dan dikering-

anginkan pada suhu ruang. Apusan kemudian dicat dengan pewarnaan Giemsa dan morfologi

sperma dinilai dengan kriteria WHO. Dua pemeriksa yang berbeda menghitung hingga 200 sel

untuk setiap preparat menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran hingga 1000x dan

minyak emersi. Sebuah spermatozoon menurut kriteria WHO dianggap berbentuk normal bila

memiliki bentuk kepala oval dan akrosom menutupi 40-70% area kepala. Spermatozoon

normal tidak memiliki leher, midpiece, kelainan ekor maupun cytoplasmic droplets yang

besarnya melebihi separuh dari ukuran kepala sperma.

Perhitungan leukosit dan sel spermatozoa imatur

Leukosit dan sel spermatozoa imatur (spermatid bulat, spermatosit, dan spermatogonia) dinilai

dengan pengecatan Giemsa dan dihitung menggunakan Autosperm, produk dari Amsaten

Corp. (De Pinte, Belgia) untuk analisis ejakulasi.

Penilaian morfologi sperma dengan strict criteria

Sejumlah cairan semen yang telah diencerkan dicuci terlebih dahulu sebelum pengecatan

dengan medium pencucian sperma Quinn, produk dari SAGE (Amerika Serikat) dan

disentrifugasi dengan kecepatan 300 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan 0.5 mL

medium Quinn ditambahkan ke endapan. Sepuluh µL semen yang sudah dicuci diapuskan ke

kaca preparat, difiksasi dan dikering-anginkan. Apusan dicuci dengan akuades dan dicat

dengan pewarnaan Spermac, produk dari FertiPro (Beernem, Belgia). Apusan dicuci dengan

akuades setelah pengecatan. Dua pemeriksa yang berbeda menghitung hingga 200 sel untuk

masing-masing preparat menggunakan mikroskop cahaya dengan perbesaran hingga 1000x

dan minyak emersi. Strict criteria diterapkan untuk evaluasi, dimana spermatozoon dinyatakan

normal bila memiliki kepala oval, panjang 4.0-5.0 µm dan lebar 2.5-3.5 µm, diukur dengan

mikrometer okuler. Rasio panjang:lebar harus berada di antara 1.50-1.75. Spermatozoon

normal memiliki akrosom utuh yang menutupi 40-70% area kepala. Midpiece tipis, lebar

kurang dari 1 µm, dengan panjang sekitar 1.5x kepala. Cytoplasmic droplets, bila ada, tidak

boleh melebihi setengah dari lebar kepala. Ekor tipis, seragam, tidak melingkar, panjang

sekitar 45 µm. Semua bentuk yang meragukan dianggap abnormal dalam sistem klasifikasi ini.

4

Page 5: Penilaian Morfologi Sperma

Indeks teratozoospermia

Indeks teratozoospermia (TZI) didefinisikan sebagai jumlah kelainan yang ditemui dari setiap

spermatozoon abnormal. Semua spermatozoa abnormal dapat memiliki satu hingga empat

kelainan yaitu kelainan kepala, leher/midpiece dan ekor atau cytoplasmic droplets. Klasifikasi

spermatozoa untuk TZI dilakukan di laboratorium. Spermatozoa dicatat dalam kategori normal

atau abnormal dan dibagi dalam kelompok yang lebih spesifik (kelompok kelainan kepala,

leher/midpiece dan ekor atau cytoplasmic droplet). Kelainan tersebut dijumlah lalu dibagi

dengan jumlah spermatozoa yang abnormal.

Tes eosin

Vitalitas dianalisis dengan pengecatan apusan menggunakan eosin. Sperma vital memiliki

membran sel utuh yang tidak akan terwarnai dan tetap putih dalam apusan, sementara eosin

berdifusi melalui membran sel yang rusak dari sperma yang sudah tidak vital. Apusan

dikering-anginkan dan evaluasi dilakukan dengan menghitung spermatozoa yang tercat merah

dan yang tidak tercat dengan optik medan terang dan pembesaran maksimal 400x. Seratus sel

dihitung sekurang-kurangnya. Hasil ditampilkan dalam bentuk persentase (%) dari sperma

eosin negatif (tidak tercat).

Analisis statistik

Hasil digambarkan dengan nilai rerata dan standar deviasi. Semua sampel semen dinilai oleh

satu pemeriksa. Perbedaan antara parameter semen dalam penilaian dengan kriteria WHO dan

strict criteria diuji dengan uji-t. Perbedaan parameter semen dalam subgrup

(normozoospermia, astenozoospermia, oligozoospermia, dan oligoastenozoospermia) dinilai

dengan ANOVA. Kesetaraan pengamatan mengenai evaluasi morfologi sperma dengan

kriteria WHO dan strict criteria diperiksa. Nilai Kappa dihitung sebagai ukuran kesetaraan

pengamatan. Hasil dianalisis dengan program SPSS, produk dari SPSS Inc. (Chicago, Amerika

Serikat).

5

Page 6: Penilaian Morfologi Sperma

Hasil

Parameter semen ditampilkan dalam Tabel 1, beserta usia dan jumlah hari abstinensia seksual.

Pasien dibagi menjadi 4 kelompok sebagai berikut: normozoospermia, astenozoospermia,

oligozoospermia, dan oligoastenozoospermia. Perbedaan statistik yang bermakna dari usia

atau jumlah hari abstinensia seksual tidak ditemui dari keempat kelompok. Perbedaan yang

bermakna dari keempat kelompok tersebut ditemui dalam konsentrasi sperma, jumlah total

sperma, motilitas dan vitalitas (p < 0.001 untuk setiap parameter). Volume semen dan sel

spermatozoa imatur dari setiap kelompok juga berbeda secara bermakna (p = 0.029 dan 0.024,

berurutan).

Tabel 1. Parameter pasien dan cairan semen

Pasien N (N = 15) A (N = 13) O (N = 7) OA (N = 14) PUsia (tahun) 34 ± 6 33 ± 6 37 ± 6 33 ± 7 0.413

Hari abstinensia seksual (hari) 4 ± 1 4 ± 2 2 ± 1 4 ± 2 0.258

Volume cairan semen (mL) 4.07 ± 1.25 3.73 ± 1.09 2.24 ± 0.82 3.22 ± 1.77 0.029

pH cairan semen 7.90 ± 0.21 7.92 ± 0.24 8.11 ± 0.38 7.97 ± 0.31 0.380

Sel spermatozoa imatur(x 106 /mL)

2.36 ± 1.40 2.00 ± 2.30 0.71 ± 0.82 0.85 ± 0.50 0.024

Leukosit dalam cairan semen(x 106 /mL)

0.16 ± 0.13 0.16 ± 0.26 0.61 ± 1.36 0.40 ± 0.57 0.316

Konsentrasi sperma(x 106 /mL)

67.60 ± 28.11 35.04 ± 15.80 14.11 ± 4.45 9.56 ± 4.69 < 0.001

Jumlah sperma terhitung(x 106)

268.92 ± 134.37 130.70 ± 63.74 32.47 ± 17.23 30.91 ± 21.57 < 0.001

Motilitas sperma(tingkat a+b) (%)

53.60 ± 6.51 21.53 ± 11.70 49.42 ± 8.69 17.78 ± 10.78 < 0.001

Vitalitas sperma (%) 76.40 ± 4.74 53.23 ± 18.58 70.00 ± 5.03 46.42 ± 16.49 < 0.001

N – normozoospermia; A – astenozoospermia; O – oligozoospermia; OA - oligoastenozoospermia

Hasil penilaian morfologi sperma dan TZI ditampilkan dalam Tabel 2. Morfologi sperma

normal ditemukan sebanyak 18 dari 49 pria dengan kriteria WHO dan sebanyak 16 dari 49

pria dengan strict criteria. Diagnosis teratozoospermia baik dengan kriteria WHO maupun

strict criteria sama-sama berjumlah 45 dari 49 kasus.

6

Page 7: Penilaian Morfologi Sperma

Tabel 2. Hasil penilaian morfologi sperma

PasienN (N = 15) A (N = 13) O (N =7) OA (N = 14)

WHO SC P WHO SC P WHO SC P WHO SC P

Morfologi Normal (%) 29 ± 8 16 ± 6 0.001 24 ± 911 ±

40.001 26 ± 9 14 ± 73 0.018 13 ± 7 6 ± 4 0.001

Kategori kelainan sperma dalam sampel cairan semen

Kelainan kepala (%) 74 ± 4 71 ± 4 0.001 68 ± 4

66 ± 4

0.020 69 ± 2 66 ± 4 0.088 65 ± 7 63±7 0.031

Kelainan leher dan midpiece (%)

12 ± 3 12 ± 4 0.551 15 ± 315 ±

30.964 14 ± 2 15 ± 2 0.752 14 ± 3 16 ± 3 0.005

Kelainan ekor (%)

12 ± 3 15 ± 2 0.002 15 ± 318 ±

30.005 15 ± 2 17 ± 41 0.236 19 ± 4 19 ± 4 0.313

Cytoplasmic droplets (%)

2 ± 1 2 ± 1 1.000 2 ± 1 1 ± 1 0.527 2 ± 2 2 ± 1 0.655 2 ± 2 2 ± 1 0.132

Indeks Teratozoo-spermia

1.16 ± 0.42

1.27 ± 0.32

0.0401.44 ± 0.09

1.47 ±

0.090.278

1.27 ± 0.81

1.46 ± 0.07

0.3521.50 ± 0.13

1.46 ± 0.42 0.451

WHO – kriteria WHO; SC – strict criteriaN – normozoospermia; A – astenozoospermia; O – oligozoospermia; OA - oligoastenozoospermia

Nilai rerata persentase kelainan kepala sperma tampak lebih tinggi pada kelompok

normozoospermia, astenozoospermia dan oligoastenozoospermia dengan penilaian morfologi

sperma berdasarkan kriteria WHO bila dibandingkan dengan strict criteria (p = 0.001, 0.020

dan 0.031, berurutan). Nilai rerata persentase kelainan leher dan midpiece sperma pada

kelompok oligoastenozoospermia (p = 0.005) dan nilai rerata persentase kelainan ekor sperma

pada kelompok normozoospermia dan astenozoospermia secara bermakna lebih tinggi dengan

penilaian menggunakan strict criteria dibandingkan dengan kriteria WHO (p = 0.002 dan

0.005, berurutan). TZI tampak lebih tinggi (p = 0.040) pada kelompok normozoospermia pada

penilaian morfologi dengan strict criteria dibandingkan dengan kriteria WHO.

Kesetaraan pengamatan untuk kedua kriteria penilaian morfologi sperma tampak pada

penelitian ini. Kesetaraan pengamatan tampak sama baik untuk kriteria WHO maupun strict

criteria (kappa 0.700 berbanding 0.715).

Diskusi

Temuan kunci dari penelitian ini adalah perbandingan antara penilaian morfologi sperma

menurut kriteria WHO dan strict criteria yang menunjukkan kesetaraan maksimal dalam

mendiagnosis teratozoospermia. Kesetaraan pengamatan juga ditemukan untuk kedua kriteria

dalam perbandingan variasi intra-laboratorium dari penilaian morfologi.

7

Page 8: Penilaian Morfologi Sperma

Banyak penulis yang telah mempelajari efek dari perbedaan teknik pembuatan preparat

dan kriteria penelitian terhadap objektivitas penilaian morfologi dan variasi intra-laboratorium.

Perbedaan rancangan penelitian nampaknya menjadi penyebab sulitnya membandingkan hasil-

hasil yang sudah diterbitkan dalam literatur. Meschede dkk. pada tahun 1993 mempelajari efek

dari tiga teknik pembuatan preparat yang berbeda yaitu Papanicolaou, pengecatan Shorr, dan

protokol ‘preparat basah’; terhadap hasil penilaian morfologi sperma. Studi ini menunjukkan

korelasi yang sangat rendah di antara ketiga teknik tersebut; sehingga direkomendasikan

penggunaan satu saja metode pada seluruh laboratorium untuk dapat membandingkan hasil

dari setiap laboratorium. Peneliti lain menemukan adanya korelasi kuat antara teknik-teknik

pewarnaan yang digunakan dalam penelitian mereka. Perbaikan dalam standarisasi penilaian

morfologi sperma dan juga perbaikan kendali mutu dari analisis semen dalam 15 tahun

terakhir ini mungkin menyebabkan inkonsistensi dari hasil penelitian ini. Hasil ini menyerupai

hasil penelitian terakhir yang membuktikan bahwa kesetaraan dapat dicapai bila klasifikasi

sistem disesuaikan dengan teknik pengecatan.

Pengecatan Giemsa yang rutin digunakan di laboratorium menghasilkan persentase

nilai rerata yang lebih tinggi dalam kelainan kepala pada kelompok normozoospermia,

astenozoospermia, dan oligoastenozoospermia dengan penilaian morfologi berdasarkan

kriteria WHO dibandingkan dengan strict criteria. Hal ini dikarenakan oleh proses pengecatan

seperti sampel yang tidak dicuci dan pewarnaan serupa dari bagian sperma yang berbeda.

Berbagai bagian sperma memberikan warna yang berbeda pada pengecatan dengan Spermac,

yang juga memberikan persepsi visual yang lebih baik akan kelainan sperma.

TZI juga secara bermakna dapat dipengaruhi oleh metode pembuatan preparat. TZI

nampaknya tidak dipengaruhi metode pembuatan preparat dalam penelitian ini. Perbandingan

dari penilaian morfologi sperma dengan kedua kriteria tampak paling konsisten dalam

mendiagnosis teratozoospermia, sedangkan inkonsistensi terbesar ditemukan pada kelompok

normozoospermia.

8

Page 9: Penilaian Morfologi Sperma

Perbandingan variasi intra-laboratorium dalam penelitian ini menunjukkan kesesuaian

antar kedua pemeriksa yang baik. Penelitian terhadap 54 sampel semen dari delapan pria fertil

dan 46 pasien subfertil menggunakan sampel yang diencerkan dan dicuci lalu diwarnai dengan

Diff-Quick dan pewarnaan Papanicolaou menghasilkan kesesuaian yang baik (variabilitas

antar pemeriksa untuk sampel yang sudah diencerkan dan dicuci adalah 0.82 dan 0.93,

berurutan). Pemeriksa terdiri dari seorang peneliti terlatih dengan pengalaman lebih dari 5

tahun dan peneliti dengan pengalaman kurang dari 2 tahun.

Pengalaman praktik dan penyesuaian dengan metode yang direkomendasikan sangatlah

penting dalam mendiagnosis teratozoospermia dan memberikan efek yang sangat besar pada

hasil penilaian morfologi sperma. Salah satu pemeriksa baru mempelajari penilaian morfologi

sperma. Hal ini dapat menyebabkan kurangnya kesesuaian dalam penilaian. Hal ini

menunjukkan bagaimana pelatihan yang tepat, pemeriksaan apusan yang cermat dan

penyesuaian dengan sistem klasifikasi; akan memberikan hasil yang sama dengan mereka

yang sudah terlatih. Banyak peneliti menyertakan hasil perbandingan intra-/inter-pemeriksa

dan/atau intra-/inter-laboratorium. Hasil-hasil ini sayangnya sulit dibandingkan dikarenakan

perbedaan besar dalam rancangan penelitian dan pengukuran variabilitas.

Penelitian ini menjelaskan bahwa penilaian morfologi menggunakan kriteria WHO dan

strict criteria tidak jauh berbeda dalam mendiagnosis teratozoospermia dan kesesuaian dapat

diperoleh bila semua persiapan yang diperlukan dari praktik laboratorium yang baik telah

dipertimbangkan sebelum melakukan evaluasi morfologi.

Morfologi sperma merupakan salah satu parameter semen yang paling berhubungan

dengan kemampuan pembuahan in vivo dan in vitro. Perdebatan mengenai tingkat

kepercayaan dari hasil analisis semen saat ini menjadi bahan perdebatan. Hal ini mengacu

pada perlunya standarisasi dan pemantauan kualitas berkesinambungan. Penelitian ini

diharapkan akan merangsang laboratorium andrologi lain di Kroasia untuk menyelidiki

kesesuaian antar pengamat. Hal ini dapat menjadi rangsangan yang baik untuk standarisasi

penilaian morfologi sperma pada tingkat nasional.

9