KESESUAIAN HASIL PENILAIAN MORFOLOGIperpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/04/... ·...
Transcript of KESESUAIAN HASIL PENILAIAN MORFOLOGIperpustakaanrsmcicendo.com/wp-content/uploads/2017/04/... ·...
KESESUAIAN HASIL PENILAIAN MORFOLOGI
KLINIS BLEB DENGAN MENGGUNAKAN LAMPU
CELAH BIOMIKROSKOP DAN BLEB GRADER
SOFTWARE
Oleh :
Astrid Chairini
NPM :131221130001
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN
PUSAT MATA NASIONAL RUMAH SAKIT MATA CICENDO
BANDUNG
2017
KESESUAIAN HASIL PENILAIAN MORFOLOGI KLINIS
BLEB DENGAN MENGGUNAKAN LAMPU CELAH
BIOMIKROSKOP DAN BLEB GRADER SOFTWARE
Oleh :
Astrid Chairini
NPM :131221130001
TESIS
Untuk memenuhi salah satu syarat ujian
Guna memperoleh gelar Dokter Spesialis
Program Pendidikan Dokter Spesialis 1
Bagian Kajian Utama Ilmu Kesehatan Mata
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing pada tanggal
Seperti tertera dibawah ini
Bandung, April 2017
Dr. Bambang Setiohadji, dr, SpM(K), MHKes Dr. Elsa Gustianty, dr., SpM(K), MKes
Pembimbing I Pembimbing II
iii
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Karya tulis saya, tesis ini, adalah asli dan belum pernah diajukan untuk
mendapatkan gelar akademik (sarjana, magister dan/atau doktor), baik dari
Universitas Padjadjaran maupun di perguruan tinggi lain.
2. Karya tulis ini adalah murni gagasan, rumusan, penelitian saya sendiri,
tanpa bantuan dari pihak lain, kecuali arahan Tim Pembimbing.
3. Dalam karya tulis ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis
atau dipublikasikan orang lain kecuali secara tertulis dengan jelas
dicantumkan sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama
pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
4. Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan apabila dikemudian hari
terdapat penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini, maka
saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang
telah diperoleh karena karya ini, serta sanksi lainnya sesuai dengan norma
yang berlaku di perguruan tinggi.
Bandung, 18 April 2017
Yang membuat pernyataan,
Astrid Chairini
NPM : 131221130001
iv
ABSTRAK
Morfologi bleb pasca trabekulektomi merupakan parameter klinis yang
penting karena merupakan indikator berfungsinya suatu bleb dan prediktor
terjadinya komplikasi. Salah satu dari sistem klasifikasi morfologi bleb yang
banyak digunakan saat ini adalah Indiana Bleb Appearance Grading Scale
(IBAGS). Aplikasi klinis IBAGS telah diperkuat oleh adanya kesesuaian antar
observer dan konsistensi yang baik dalam menilai parameter bleb yaitu tinggi, luas
dan vaskularisasi. Namun demikian, tidaklah mudah untuk melakukan penilaian
yang sepenuhnya benar diantara observer dalam suatu sistem yang mengandalkan
penilaian klinis dan dipengaruhi oleh subjektivitas.
Analisis gambar secara digital menggunakan software merupakan cara yang
dapat memperkuat kualitas penilaian yang dilakukan dengan menggunakan lampu
celah biomikroskop. Bleb grader software dikembangkan sebagai suatu upaya
untuk memberikan penilaian morfologi bleb yang lebih objektif.
Penelitian ini merupakan uji kesesuaian antara dokter spesialis mata yang
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software dalam menilai
morfologi bleb berdasarkan sistem klasifikasi IBAGS. Penelitian ini melibatkan
lima puluh lima mata yang telah menjalani tindakan trabekulektomi dan
fakotrabekulektomi minimal 1 bulan periode pasca operasi serta memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi. Kesesuaian hasil penilaian morfologi bleb dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software dianalisis dan
dihitung indeks Kappanya. Kemaknaan hasil uji ditentukan berdasarkan uji chi-
kuadrat McNemar-Bowker.
Pada penelitian ini didapatkan indeks Kappa sebesar 0.821 untuk parameter
tinggi, 0.675 untuk luas dan 0.613 untuk vaskularisasi bleb. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat kesesuaian yang baik untuk ketinggian bleb dan kesesuaian sedang
untuk luas dan vaskularisasi bleb antara hasil penilaian dengan menggunakan
lampu celah biomikroskop dan bleb grader software. Uji chi-kuadrat McNemar-
Bowker menunjukkan nilai p > 0,05 untuk masing-masing parameter yang berarti
secara statistik tidak terdapat perbedaan bermakna pada penilaian dengan lampu
celah biomikrokop dan bleb grader software.
Terdapat kesesuaian yang baik terhadap tinggi bleb dan kesesuaian sedang
untuk luas dan vaskularisasi dalam penilaian dengan menggunakan lampu celah
biomikroskop dan bleb grader software.
Kata kunci : bleb, IBAGS, bleb grader software
v
ABSTRACT
Bleb morphology after trabeculectomy is an importan clinical parameter. It
represents as an indicator of bleb function and a predictor of bleb related
complications. One of clinical bleb grading system that currently in use is the
Indiana Bleb Appearance Grading Scale (IBAGS). The clinical utility of IBAGS has
been strengthened with excellent consistency and interobserver agreement in
assessment of height, extent, and vascularity. However, it is not easy to completely
correct for variability in grading among observers within a system that relies on
clinical judgment and inherent subjectivity.
Digital image analysis using software is a way to strengthen the quality of
grading assessment carried out by using a slit lamp biomicroscopy. Bleb grader
software was developed to give a more objective assesment of bleb morphology.
The objective of this study was to define correlation and agreement between
clinical grading of bleb morphology using a slit lamp biomicroscopy and
comparing to the data generated by automated bleb grader software based on
IBAGS system. Fifty-five eyes who had previously undergone trabeculectomy and
phacotrabeculectomy surgery, with a minimum post operative period of 1 months
were included. Agreement value were analyze using Kappa index method. Statistic
analysis was determine using chi-square McNemar Bowker test.
Kappa index showed an excellent agreement (𝜅 0,821) for height and a
moderate agreement (𝜅 0,675, 𝜅 0,613) respectively for extent and vascularity
between ophthalmologist’s assesment using slit lamp biomicroscopy and bleb
grader software. Statistic analysis using McNemar-Bowker test showed p value >
0,05. It means there is no significant differences in bleb morphology assessment
between slit lamp biomicroscopy and bleb grader software.
There was an excellent agreement for height and moderate agreement for extent
and vascularity between bleb morphology assesment performed by an
ophthalmolgist using slit lamp biomicroscopy and bleb grader software.
Keywords: bleb, IBAGS, bleb grader software
vi
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT,
yang telah melimpahkan berkat dan karunia-Nya yang tak terhingga sehingga tesis
ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar dokter spesialis pada Program Pendidikan Dokter Spesialis I
(PPDS-I) di bagian Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran, Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih, rasa hormat dan penghargaan
kepada semua pihak yang telah membimbing, mendidik dan membantu penulis
dalam menyelesaikan pendidikan dan menyelesaikan tesis ini. Secara khusus
penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Prof. Dr. med. Tri
Hanggono Achmad, dr. selaku Rektor Universitas Padjadjaran Bandung, Dr. Yoni
Fuadah Syukriani, dr., M.Si, SpF, DFM selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran Bandung, serta Dr. Dwi Prasetyo, dr., SpA(K) selaku
Koordinator Program Pendidikan Dokter Spesialis I yang telah memberikan
kesempatan kepada penulis untuk menempuh Program Pendidikan Dokter Spesialis
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran.
Perkenankan pula penulis menghaturkan rasa terima kasih kepada (alm)
Prof. Sugana Tjakrasudjatma, dr, SpM, Prof. Dr. Gantira Natadisastra, dr, SpM(K),
dan (alm) Prof. Dr. Farida Sirlan, dr, SpM(K) selaku guru besar Ilmu Kesehatan
Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang telah meluangkan waktu
vii
untuk memberikan dukungan, bimbingan dan suri tauladan yang tidak ternilai bagi
penulis selama mengikuti pendidikan spesialis mata hingga selesainya tesis ini.
Terima kasih sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Irayanti, dr.,
SpM(K), MARS selaku Direktur Utama Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
Cicendo, Dr. Feti Karfiati Memed, dr, SpM(K), MKes, selaku Direktur Medik dan
Keperawatan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata Cicendo, dan Tjipto, SKM
selaku Direktur Keuangan dan Plt. Direktur Umum, SDM & Pendidikan yang telah
memberikan kepercayaan dan kesempatan bagi penulis untuk menggunakan sarana
dan prasarana rumah sakit sebagai tempat belajar dan bekerja. Penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Hikmat
Wangsaatmadja, SpM(K), MKes, MM selaku Direktur Utama PMN RS Mata
Cicendo terdahulu yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan bagi penulis
untuk menyelesaikan masa studi.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Andika Prahasta, dr,
SpM(K), MKes selaku Kepala Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran, Dr. Budiman, dr, SpM(K), MKes, selaku Ketua Program
Studi Bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
serta R. Maula Rifada, dr., SpM(K), MKes, Susanti Natalya Sirait, dr., SpM(K),
MKes, Andrew M. Knoch, dr., SpM(K), MKes dan Antonia Kartika Indriati, dr.,
SpM(K), MKes, selaku tim Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis Mata, yang
telah meluangkan waktu untuk memberikan ilmu, bimbingan, dukungan, motivasi,
dan arahan kepada penulis selama penulis mengikuti pendidikan hingga selesainya
tesis ini.
viii
Penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada Dr. Bambang Setiohadji, dr, SpM(K), MHKes, selaku pembimbing I dan
Dr. Elsa Gustianty, dr., SpM(K), MKes, selaku pembimbing II, yang telah
meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, pengarahan dan masukan
selama penelitian berlangsung sehingga dapat berjalan dengan lancar sampai tahap
akhir penyelesaian tesis ini.
Ucapan terima kasih yang tulus juga penulis tujukan kepada Agwin Fahmi
Fahanani, ST dan Dr. Hasballah Zakaria, ST, MSc atas kerjasamanya dalam
penelitian ini sehingga dapat terlaksana dengan baik.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan atas ilmu dan
bimbingan yang telah diberikan oleh seluruh staf pengajar, mentor dan pembimbing
di Rumah Sakit Mata Cicendo yang tidak mungkin penulis sebutkan satu persatu,
yang dengan ikhlas membagikan ilmu dan pengalamannya kepada penulis.
Kepada seluruh teman sejawat peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
I Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran khususnya
teman satu angkatan, Rahfi, Teh Intan, Kati, Erdi dan Serisa, terima kasih atas
kebersamaan, pengertian dan kerjasamanya selama pendidikan. Semoga
persahabatan dan persaudaraan ini tetap terjalin walaupun kita telah terpisahkan
jarak dan waktu.
Kepada seluruh perawat dan karyawan Pusat Mata Nasional Rumah Sakit
Mata Cicendo Bandung, serta para staf pendidikan Ilmu Kesehatan Mata Fakultas
Kedokteran Universitas Padjadjaran, penulis mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan dan kerjasama yang telah terjalin selama ini.
ix
Kepada kedua orang tua yang penulis sangat banggakan dan hormati,
ayahanda (alm) H. Achmad Chairi, dr., MARS dan ibunda Hj. Ernita Tantawi, dr.,
SpM, serta Nenek tersayang (alm) Hj. Zaidarsyam Tantawi, tiada kata yang dapat
melukiskan ungkapan terima kasih atas cinta dan kasih sayang yang telah diberikan
dalam membesarkan, mendidik, membimbing dan memberikan teladan dalam
menjalani kehidupan, memberikan semangat serta doa yang senantiasa dipanjatkan.
Dengan setulus hati penulis juga mengucapkan terimakasih kepada kakak-kakak,
Abdul Rahim, ST, Amriati Legawani, ST, Zaki Fadillatul Rahman drg., Ruri
Nailufar, drg., dan adik Nurita Chairina, dr., atas perhatian, doa, dan pengertian
yang luar biasa besarnya dalam mendukung penulis selama mengikuti pendidikan.
Akhir kata, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepada semua pihak yang telah banyak membantu, namun tidak dapat
penulis sebutkan secara satu persatu. Semoga Allah SWT membalas seluruh
kebaikan, kesabaran, dan keikhlasan yang telah Bapak/Ibu/Saudara berikan kepada
penulis selama ini.
Bandung, 18 April 2017
Penulis,
Astrid Chairini, dr.
x
DAFTAR ISI
JUDUL .............................................................................................................. i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................. iii
ABSTRAK ........................................................................................................ iv
ABSTRACT ....................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ...................................................................................... vi
DAFTAR ISI ..................................................................................................... x
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ xv
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 7
1.4 Kegunaan Penelitian .................................................................................... 7
1.4.1 Kegunaan Teoritis ..................................................................................... 7
1.4.2 Kegunaan Praktis ...................................................................................... 7
xi
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka .............................................................................................. 8
2.1.1 Trabekulektomi ......................................................................................... 8
2.1.1.1 Keberhasilan dan Kegagalan Trabekulektomi ....................................... 9
2.1.2 Morfologi Bleb .......................................................................................... 11
2.1.2.1 Perkembangan Sistem Klasifikasi Morfologi Klinis Bleb ..................... 12
2.1.2.2 Indiana Bleb Appearance Grading Scale ............................................... 15
2.1.3 Software ..................................................................................................... 19
2.1.3.1 Bleb grader software ............................................................................. 20
2.2 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 26
2.3 Premis dan Hipotesis .................................................................................... 28
2.3.1 Premis ........................................................................................................ 28
2.3.2 Hipotesis .................................................................................................... 28
2.4 Bagan Kerangka Pemikiran .......................................................................... 30
BAB III SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian .......................................................................................... 31
3.1.1 Sampel ....................................................................................................... 31
3.1.1.1 Cara Pemilihan Sampel .......................................................................... 31
3.1.1.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi .................................................................. 31
3.1.1.2.1 Kriteria Inklusi .................................................................................... 31
3.1.1.2.2 Kriteria Eksklusi .................................................................................. 32
3.1.1.3 Penentuan Jumlah Sampel ...................................................................... 32
xii
3.2 Metode Penelitian ......................................................................................... 33
3.2.1 Rancangan Penelitian ................................................................................ 33
3.2.2 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional ......................................... 33
3.2.2.1 Identifikasi Variabel ............................................................................... 33
3.2.2.2 Definisi Operasional ............................................................................... 33
3.2.3 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data ............................................... 35
3.2.3.1 Cara Kerja .............................................................................................. 35
3.2.3.2 Uji Pendahuluan ..................................................................................... 37
3.2.3.3 Alat Penelitian ........................................................................................ 37
3.2.4 Analisis Data ............................................................................................. 37
3.2.5 Tempat dan Waktu Penelitian ................................................................... 38
3.3 Implikasi/ Aspek Etik Penelitian .................................................................. 38
3.4 Alur Penelitian .............................................................................................. 40
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian ............................................................................................ 41
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian ................................................................. 41
4.1.2 Hasil Penilaian Morfologi Bleb ................................................................ 43
4.2 Pengujian Hipotesis ...................................................................................... 45
4.3 Pembahasan .................................................................................................. 45
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ................................................................................................... 49
xiii
5.2 Saran ............................................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 50
LAMPIRAN ...................................................................................................... 53
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Perhitungan parameter bleb untuk masing-masing skala penilaian ... 26
Tabel 4.1 Karakteristik demografi subjek penelitian ......................................... 41
Tabel 4.2 Karakteristik klinis subjek penelitian ................................................. 42
Tabel 4.3 Hasil penilaian morfologi klinis bleb .................................................. 43
Tabel 4.4 Kesesuaian hasil penilaian morfologi klinis bleb antara dokter spesialis
mata dan bleb grader software .......................................................... 44
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Referensi Foto Moorfields bleb Grading System ................. 14
Gambar 2.2 Referensi Foto Indiana Bleb Appearance Grading Scale .... 17
Gambar 2.3 Blok diagram pengolahan citra .......................................... 20
Gambar 2.4 Citra bleb dengan cahaya difus dan slit ............................... 21
Gambar 2.5 Pemilihan kedua titik yang sama pada kedua citra ............. 21
Gambar 2.6 Sebelum dan sesudah segmentasi slit .................................. 22
Gambar 2.7 Sebelum dan sesudah ekstraksi morfologi bleb ................. 22
Gambar 2.8 Penentuan ketinggian bleb dari morfologi slit ................... 23
Gambar 2.9 Penentuan luas bleb dari morfologi slit .............................. 24
Gambar 2.10 Plot area bleb ...................................................................... 24
Gambar 2.11 Ekstraksi pembuluh darah bleb .......................................... 25
Gambar 3.1 Referensi Foto IBAGS ........................................................ 35
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Persetujuan Etik ........................................................................ 53
Lampiran 2 Informasi Penelitian ................................................................. 54
Lampiran 3 Pernyataan Persetujuan Mengikuti Penelitian ......................... 57
Lampiran 4 Data Hasil Penelitian ............................................................... 58
Lampiran 5 Perhitungan Statistik ................................................................ 59
Lampiran 6 Bleb Grader Software ............................................................. 64
Lampiran 7 Cara Kerja ................................................................................. 65
Lampiran 8 Daftar Riwayat Hidup ............................................................... 66
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Glaukoma merupakan suatu keadaan neuropati optik yang ditandai oleh
kerusakan saraf optik dan sel-sel ganglion retina, bersifat progresif disertai dengan
gangguan lapang pandang.1 Faktor risiko terjadinya glaukoma adalah peningkatan
tekanan intraokular, usia lanjut dan riwayat keluarga menderita glaukoma. Ras
Afro-Amerika berisiko menderita glaukoma sudut terbuka, sedangkan ras Asia
lebih banyak terkena glaukoma sudut tertutup.2
Glaukoma merupakan penyebab kedua kebutaan secara global, setelah
katarak. Kondisi ini merupakan tantangan yang besar bagi kesehatan masyarakat
mengingat kebutaan yang ditimbulkan akibat glaukoma bersifat ireversibel.3
Menurut data yang dipublikasikan oleh World Health Organization (WHO) pada
tahun 2010, diketahui terdapat 285 juta orang yang mengalami gangguan
penglihatan, 39 juta orang diantaranya mengalami kebutaan dan 246 juta orang
menderita low vision. Berdasarkan data tersebut glaukoma dilaporkan
menyebabkan gangguan penglihatan sebesar 2% dan kebutaan sebesar 8%. Jumlah
ini diperkirakan akan meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah populasi usia
lanjut.4,5 Penelitian yang dilakukan oleh Tham dkk juga menunjukkan bahwa
jumlah penderita glaukoma di seluruh dunia akan bertambah menjadi 76 juta orang
pada tahun 2020 dan sebesar 111,8 juta orang pada tahun 2040, dengan proporsi
penderita terbanyak terdapat di wilayah Asia dan Afrika.6 Situasi gangguan
2
penglihatan dan kebutaan di Indonesia berdasarkan Survei Kesehatan Indera tahun
1993-1996, diperoleh data sebanyak 1,5% penduduk Indonesia mengalami
kebutaan dengan prevalensi kebutaan akibat glaukoma sebesar 0,20%.7
Tujuan utama penanganan glaukoma yaitu memperlambat atau menghentikan
kerusakan fungsi penglihatan yang terjadi dan mempertahankan kualitas hidup
penderita glaukoma.8 Hingga saat ini, tekanan intraokular diketahui merupakan
satu-satunya faktor risiko glaukoma yang dapat dimodifikasi.9 Pada akhir tahun
1980an, Eddy dan Billings melaporkan bahwa penurunan tekanan intraokular dapat
memperlambat progresivitas glaukoma. Hal ini kemudian diperkuat oleh sejumlah
uji klinis yang dilakukan secara prospektif dan terbukti bahwa penurunan tekanan
intraokular efektif dalam memperlambat gangguan penglihatan akibat glaukoma.
Analisa data dari Advanced Glaucoma Intervention Study (AGIS) menyimpulkan
bahwa tekanan intraokular yang rendah akan memperlambat progresivitas
gangguan lapang pandang yang terjadi.10 Penurunan tekanan intraokular pada kasus
glaukoma dapat dicapai melalui terapi medikamentosa maupun tindakan
pembedahan.11
Tindakan pembedahan pada glaukoma dilakukan apabila terapi
medikamentosa tidak berhasil dalam mengendalikan tekanan intraokular. Prosedur
pembedahan glaukoma yang paling banyak dilakukan hingga saat ini adalah
trabekulektomi.12,13 Menurut Kotecha dkk, besarnya penurunan tekanan intraokular
pasca trabekulektomi memiliki peranan penting terhadap progresivitas glaukoma.10
Keberhasilan trabekulektomi bergantung dari terbentuknya bleb yang
berfungsi mengalirkan cairan akuos dari dalam mata. Morfologi bleb pasca
3
trabekulektomi merupakan parameter klinis yang penting sehingga evaluasi yang
dilakukan secara dini pasca operasi dapat membantu memperkirakan keberhasilan
atau kegagalan operasi.14 Indiana Bleb Appearance Grading Scale (IBAGS)
merupakan salah satu sistem klasifikasi penilaian morfologi bleb, yang
diperkenalkan oleh Cantor dkk pada tahun 2003. Sistem ini bertujuan untuk
memperoleh keseragaman dalam penilaian morfologi bleb sehingga hasilnya dapat
dikorelasikan terhadap keberhasilan operasi trabekulektomi dan mendeteksi dini
tanda-tanda kegagalan suatu bleb.15 Penilaian morfologi bleb dengan sistem IBAGS
dilakukan dengan menggunakan lampu celah biomikroskop dan foto berwarna
sebagai referensi. Parameter yang dinilai di dalam sistem IBAGS meliputi
ketinggian, luas, dan vaskularisasi bleb serta tes Seidel untuk menilai ada tidaknya
kebocoran pada bleb. Penentuan morfologi bleb dengan sistem IBAGS ini cukup
mudah, sederhana dan bersifat non invasif.14,16 Aplikasi klinis IBAGS juga
diperkuat oleh kesesuaian antar observer dan konsistensi yang baik dalam menilai
parameter tinggi, luas dan vaskularisasi bleb. Meski demikian, tidaklah mudah
untuk menyamakan persepsi observer dalam suatu sistem yang menitikberatkan
pada penilaian klinis karena dipengaruhi oleh faktor subjektivitas.15
Saat ini pengolahan data-data klinis dengan menggunakan komputer,
termasuk citra medis di bidang oftalmologi telah banyak mengalami kemajuan
seiring perkembangan teknologi, ketersediaan data dalam jumlah yang besar dan
teknik pengolahan citra terbaru. 17 Analisis gambar secara digital merupakan cara
yang dapat memperkuat kualitas penilaian gradasi yang dilakukan dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop. Penggunaan teknik pencitraan dan
4
analisis data dengan menggunakan software dalam melengkapi atau menggantikan
skor klinis telah banyak digunakan dalam ilmu kedokteran termasuk di bidang ilmu
kesehatan mata. Metode-metode tersebut menambah efisensi dalam pengolahan
data klinis dan juga dapat menjadi standar penilaian gradasi dalam penelitian-
penelitian klinis yang bersifat multisenter. Standarisasi sistem gradasi memberikan
nilai uji statistik yang lebih meyakinkan karena ketepatan penilaian yang lebih baik,
analisis yang lebih detail dan kemungkinan untuk dilakukannya re-analisis
retrospektif karena tersedianya basis data yang permanen.17,18
Analisis data secara digital nantinya dapat berperan dalam telemedis. Aspek
utama dalam pengembangan telemedis adalah interaksi dunia kedokteran dengan
teknologi informasi dan komunikasi. Penanganan glaukoma saat ini banyak
melibatkan penggunaan alat-alat yang dapat dianggap sebagai telemedis.
Tonometri, automated perimetry, corneal pachymetry, pencitraan diskus optik,
lapisan serabut saraf dan segmen anterior menghasilkan output digital yang dapat
ditransfer secara elektronik.19
Di daerah-daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan mata yang terbatas,
evaluasi pasca operasi seringkali sulit dilakukan. Pemeriksaan jarak jauh dengan
menggunakan telemedis diharapkan dapat menjadi alternatif pemecahan masalah.
Implementasi telemedis pasca trabekulektomi harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu pengambilan gambar yang optimal, transmisi data berjalan lancar
dan dapat diterima oleh pasien. 20
Evaluasi morfologi bleb dengan menggunakan telemedis sudah mulai
diteliti.13 Studi yang dilakukan oleh Crowston dkk melakukan penilaian kesesuaian
5
interobserver terhadap tanda-tanda klinis pasca operasi trabekulektomi yang
dievaluasi dengan menggunakan gambar real-time video dibandingkan dengan
pemeriksaan langsung dengan menggunakan lampu celah biomikroskop. Penelitian
tersebut membuktikan bahwa terdapat kesesuaian yang baik terhadap penilaian
vaskularisasi bleb, kedalaman bilik mata depan dan adanya kebocoran bleb antara
penilaian secara langsung dan dengan menggunakan real time video. Namun
demikian, telemedis kurang baik dalam menilai ketinggian dan ketebalan dinding
bleb. Penelitian ini juga menyatakan bahwa penilaian morfologi bleb dengan kedua
metode tersebut memiliki tingkat kesesuaian yang buruk. 21
Penelitian untuk menilai morfologi bleb pasca trabekulektomi dengan
melibatkan telemedis juga dilakukan oleh Kashiwagi dkk. Penelitian tersebut
dilakukan dengan membandingkan gambar 2 dimensi yang diperoleh dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop jarak jauh dan dengan menggunakan
lampu celah biomikroskop konvensional. Gambar yang diperoleh dievaluasi
dengan menggunakan parameter IBAGS yang telah dimodifikasi. Hasil penelitian
tersebut menyimpulkan bahwa gambar yang diperoleh dengan lampu celah
biomikroskop konvensional lebih baik dibandingkan dengan gambar 2 dimensi,
meski demikian lampu celah biomikroskop jarak jauh dapat memiliki potensi yang
sama dalam hal mengevaluasi morfologi bleb dengan waktu evaluasi yang lebih
panjang.29
Hingga saat ini, analisis morfologi bleb secara digital dengan menggunakan
software belum pernah dilakukan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti ingin
mengembangkan suatu sistem analisis morfologi bleb dengan menggunakan bleb
6
grader software untuk penilaian secara otomatis yang dikembangkan berdasarkan
sistem klasifikasi IBAGS sehingga dapat memberikan hasil yang lebih objektif dan
konsisten.
Tema sentral penelitian ini adalah :
Tindakan pembedahan pada glaukoma dilakukan apabila terapi
medikamentosa tidak berhasil dalam mengendalikan tekanan intraokular. Prosedur
pembedahan glaukoma yang paling banyak dilakukan hingga saat ini adalah
trabekulektomi.12,13 Keberhasilan trabekulektomi bergantung dari terbentuknya
bleb yang berfungsi mengalirkan cairan akuos dari dalam mata. Morfologi bleb
pasca trabekulektomi merupakan parameter klinis yang penting sehingga evaluasi
yang dilakukan secara dini pasca operasi dapat membantu memperkirakan
keberhasilan atau kegagalan operasi.14 Indiana Bleb Appearance Grading Scale
(IBAGS) merupakan salah satu sistem penilaian morfologi bleb yang dilakukan
dengan menggunakan lampu celah biomikroskop dan foto berwarna sebagai
referensi.15 Penilaian ini bersifat sederhana dan non invasif, akan tetapi dipengaruhi
oleh subjektivitas.14,15, 16 Analisis gambar secara digital merupakan cara yang dapat
memperkuat kualitas penilaian yang dilakukan dengan menggunakan lampu celah
biomikroskop. Penggunaan teknik pencitraan dan analisis data menggunakan
software dalam melengkapi atau menggantikan skor klinis akan menambah efisensi
dalam pengolahan data dan dapat menjadi standar gradasi dalam penelitian-
penelitian klinis.18 Analisis bleb secara digital dengan menggunakan software
belum pernah dilakukan. Pada penelitian ini, peneliti ingin mengembangkan suatu
bleb grader software untuk menilai morfologi bleb secara objektif berdasarkan
sistem klasifikasi IBAGS .
7
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian di atas dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian yaitu apakah terdapat kesesuaian penilaian parameter
morfologi bleb berdasarkan IBAGS dengan menggunakan lampu celah
biomikroskop dan bleb grader software?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesesuaian hasil penilaian
parameter morfologi bleb berdasarkan IBAGS dengan menggunakan lampu celah
biomikroskop dan bleb grader software.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.4.1 Kegunaan Teoritis
Penelitian ini dapat digunakan untuk menilai morfologi bleb secara otomatis
dan objektif dengan menggunakan bleb grader software.
1.4.2 Kegunaan Praktis
Penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksikan kemungkinan
keberhasilan ataupun kegagalan suatu bleb berdasarkan tampilan morfologinya
serta memantau perubahan morfologi bleb dari waktu ke waktu.
8
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Kajian Pustaka
2.1.1 Trabekulektomi
Tindakan pembedahan pada glaukoma dilakukan apabila terapi
medikamentosa tidak berhasil dalam mengendalikan tekanan intraokular.12
Menurut Collaborative Initial Glaucoma Treatment Study (CIGTS), bedah filtrasi
glaukoma dikatakan memiliki resiko atau efek samping yang lebih kecil
dibandingkan terapi medikamentosa.22 Sejak diperkenalkan oleh Cairns dan Watson
pada tahun 1968, trabekulektomi merupakan prosedur pembedahan glaukoma yang
paling banyak dilakukan. Tujuan trabekulektomi adalah untuk menurunkan tekanan
intraokular jangka panjang sehingga meminimalkan progresifitas glaukoma yang
terjadi. Penelitian yang dilakukan oleh Landers dkk menyatakan bahwa hingga 20
tahun pasca operasi trabekulektomi, sebanyak 60% berhasil mencapai tekanan
intraokular hingga < 21 mmHg tanpa terapi tambahan dan sekitar 90% dapat
mempertahankan nilai tekanan intraokular yang adekuat dengan terapi tambahan.13
Prosedur trabekulektomi dilakukan dengan cara membuat saluran yang
menghubungkan antara bilik mata depan dengan area subkonjungtiva sehingga
nantinya dapat dilewati oleh cairan akuos. Bagian konjungtiva yang mengalami
elevasi ini disebut sebagai bleb.20 Pembentukan bleb dipengaruhi oleh respon
penyembuhan luka pada mata.22
9
2.1.1.1 Keberhasilan dan Kegagalan Trabekulektomi
Berbagai cara telah dilakukan untuk meningkatkan keberhasilan
trabekulektomi diantaranya dengan melakukan modulasi penyembuhan luka intra
dan pasca operasi. Modulasi penyembuhan luka intra-operatif bertujuan untuk
mengendalikan pembentukan jaringan parut yang terjadi pasca operasi. Manuver
bedah yang lebih hati-hati, trauma jaringan yang minimal dan kontrol perdarahan
yang baik akan meminimalkan respon penyembuhan luka. Namun hal ini saja tidak
cukup untuk mencegah terbentuknya jaringan parut. Penggunaan adjuvant intra-
operatif seperti anti fibrotik, anti VEGF, material biodegradable dan anti inflamasi
dapat membantu mengendalikan respon penyembuhan luka pasca operasi lebih
maksimal.20
Modulasi penyembuhan luka pasca operasi sangat diperlukan untuk
memperoleh hasil yang optimal. Periode awal pasca operasi merupakan waktu yang
paling penting dan tindakan intervensi yang dilakukan untuk mencegah kegagalan
biasanya dilakukan pada periode ini. Penggunaan obat-obat anti inflamasi, digital
ocular massage dan tindakan laser suture lysis merupakan beberapa cara untuk
modulasi penyembuhan luka pasca operasi. 20
Kegagalan pada operasi trabekulektomi biasanya disebabkan reaksi
penyembuhan luka yang berlebihan di daerah konjungtiva. Jaringan parut yang
terbentuk akan menyebabkan sumbatan pada daerah operasi sehingga diperlukan
usaha-usaha untuk menekan reaksi penyembuhan luka. Sejauh ini berbagai usaha
telah dilakukan untuk mengendalikan reaksi penyembuhan luka sehingga hasil
operasi menjadi lebih baik. Pengunaan obat anti fibrotik seperti 5-fluorouracil (5-
10
FU) dan Mitomycin C (MMC) telah banyak digunakan untuk meningkatkan angka
keberhasilan operasi trabekulektomi. Namun demikian, penggunaan obat-obat
tersebut tidak terlepas dari komplikasi seperti blebitis, endoftalmitis, kebocoran
bleb dan disestesia bleb.20,23
Terlepas dari proses tahapan penyembuhan luka yang terjadi, mekanisme
terjadinya kegagalan bleb pada pasien tertentu belum sepenuhnya dapat
dijelaskan.20 Meski demikian, beberapa faktor risiko telah diketahui sebagai
penyebab kegagalan seperti usia muda, uveitis, afakia, penggunaan 2 macam obat
topikal atau lebih dan defek lapang pandang yang cukup luas pada saat
dilakukannya tindakan. Usia muda telah diketahui merupakan faktor risiko
terjadinya kegagalan trabekulektomi pada berbagai studi epidemiologi. Mekanisme
tersebut dikaitkan dengan respon penyembuhan yang berlebihan dan kapsula Tenon
yang lebih tebal. Penderita uveitis juga memiliki risiko yang lebih tinggi terhadap
kegagalan trabekulektomi akibat banyaknya fibroblas, makrofag dan limfosit yang
memicu respon penyembuhan yang berlebihan. Disamping itu, gangguan pada
sawar darah akuos memungkinkan mediator-mediator inflamasi masuk ke dalam
akuos dan menimbulkan reaksi peradangan konjungtiva yang berlebihan. Pada
kasus afakia, kegagalan trabekulektomi dapat terjadi akibat jumlah fibroblas dan
sel-sel inflamasi di daerah konjungtiva yang meningkat atau adanya vitreous di bilik
mata depan yang menyumbat sklerostomi. Penggunaan obat topikal sebelum
operasi juga berisiko menyebabkan kegagalan trabekulektomi. Hal ini disebabkan
adanya zat benzalkonium chloride, yang sering digunakan sebagai bahan pengawet
11
pada obat-obat topikal, menimbulkan peningkatan jumlah fibroblas, makrofag dan
limfosit serta berkurangnya jumlah sel goblet di daerah konjungtiva.13,20
2.1.2 Morfologi Bleb
Berbagai penelitian mengenai operasi glaukoma lebih banyak membahas
mengenai dampak terhadap kendali tekanan intraokular dan komplikasinya,
sedangkan data mengenai fungsi penglihatan dan morfologi bleb jarang dilaporkan.
Bleb merupakan bagian fungsional pada tindakan trabekulektomi dan merupakan
bagian yang dapat menentukan keberhasilan, kegagalan maupun komplikasi dari
tindakan tersebut. Berbagai usaha telah dilakukan untuk memanipulasi respon
penyembuhan luka pada trabekulektomi, diantaranya yang berkaitan dengan
fibrosis subkonjungtiva dan variasi teknik operasi. Usaha-usaha tersebut tentunya
akan mempengaruhi morfologi bleb yang terjadi. 24,25
Penilaian bleb pasca trabekulektomi telah banyak mengalami perubahan
dalam beberapa dekade terakhir. Penemuan teknologi baru seperti anterior segment
optical coherence tomography (AS-OCT), ultrasound biomicroscopy (UBM),
invivo confocal microscopy (IVCM), dan indocyanine green angiography (ICG)
turut mempengaruhi cara penilaian morfologi bleb. Seiring dengan hal tersebut,
metode konvensional untuk menilai morfologi bleb dengan menggunakan lampu
celah biomikroskop juga dikembangkan dan berbagai sistem penilaian bleb turut
dihasilkan. 26
12
2.1.2.1 Perkembangan Sistem Klasifikasi Morfologi Klinis Bleb
Pada tahun 1949, Kronfeld mengajukan sistem klasifikasi bleb yang pertama
kalinya berdasarkan tampilan dan fungsi bleb ke dalam tiga kategori yaitu tipe I, II
dan III. Bleb tipe I merupakan bleb yang berdinding tipis, polikistik dan berfungsi
baik. Bleb tipe II dideskripsikan sebagai bleb yang lebih rata, tebal, difus, relatif
avaskular dan memiliki fungsi yang baik. Bleb tipe III merupakan bleb yang rata
dengan fungsi yang minimal, ditandai perlekatan konjungtiva pada sklera yang ada
dibawahnya. 15
Penelitian retrospektif yang dilakukan oleh Vesti melibatkan 88 mata yang
telah menjalani tindakan trabekulektomi. Penelitian tersebut bertujuan untuk
mengkorelasikan morfologi bleb terhadap tekanan intraokular dan mendeteksi
faktor risiko kegagalan bleb. Bleb dikelompokkan menjadi tiga yaitu 1) bleb difus
dengan atau tanpa kista makroskopis; 2) bleb rata dan 3) bleb tidak terbentuk,
dengan angka keberhasilan secara berturut-turut sebesar 92%, 64% dan 43%.
Penelitian tersebut menyimpulkan adanya hubungan antara bleb difus dengan
respon tekanan intraokular yang baik. 14,15
Shingleton juga meneliti hubungan morfologi klinis bleb terhadap nilai
tekanan intraokular. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa kegagalan bleb
ditandai adanya injeksi bleb berupa pembuluh darah besar, penebalan dinding bleb,
bleb yang terlokalisir dan berbentuk seperti kubah (dome-shaped). Bleb yang
memiliki korelasi terhadap kontrol tekanan intraokular yang baik memiliki
gambaran bleb difus dan elevasi, sedikit mengandung pembuluh darah dan terdapat
mikrokista konjungtiva.14
13
Picht dan Grehn mengamati morfologi bleb dan tekanan intraokular selama 3
bulan pasca trabekulektomi. Bleb diklasifikasikan berdasarkan parameter berikut
yaitu 1) ada/tidaknya mikrokista; 2) jumlah, bentuk dan diameter pembuluh darah
konjungtiva; 3) ada/tidaknya encapsulation dan 4) tinggi bleb yang dibandingkan
dengan referensi foto.15 Penelitian tersebut menemukan bahwa semakin banyak
mikrokista di dalam bleb, semakin kecil jumlah pembuluh darah konjungtiva,
semakin rendah prevalensi encapsulation dan ketinggian bleb yang rendah
berkorelasi baik dengan keberhasilan operasi trabekulektomi.14
Berbagai sistem klasifikasi morfologi klinis bleb yang telah dipublikasikan
sebelumnya memiliki variasi dalam penilaian parameter morfologi bleb dan cara
mendeskripksikan antara satu dengan lainnya.15 Sebagian besar peneliti
menggambarkan morfologi bleb berdasarkan pola yang dapat dikenali seperti bleb
kistik, rata dan difus serta umumnya disertai penilaian vaskularisasi secara global.
Deskripsi tersebut memiliki kelemahan karena kurang menggambarkan perubahan
morfologi bleb dari waktu ke waktu dan adanya variasi yang cukup besar dalam
masing-masing penilaian.24
Saat ini sistem klasifikasi yang banyak digunakan sebagai referensi standar
dalam menilai morfologi klinis bleb yaitu Moorfields Bleb Grading System
(MBGS) dan Indiana Bleb Appearance Grading Scale (IBAGS). Kedua sistem
klasifikasi tersebut sama-sama membandingkan morfologi bleb yang dinilai
menggunakan lampu celah biomikroskop dengan referensi foto berwarna.14,26
Penilaian MBGS meliputi 4 parameter yaitu luas area (1-5), tinggi (1-4),
vaskularisasi bleb (1-5) serta perdarahan subkonjuntiva (0-1). Penilaian area bleb
14
dibagi menjadi area sentral yang berbatas tegas dan area maksimal (total area yang
mengalami elevasi). Sedangkan untuk penilaian vaskularisasi bleb dilakukan pada
3 area yaitu sentral, tepi dan area konjungtiva non bleb. Penilaian terhadap
perdarahan subkonjungtiva bernilai 1 apabila lebih besar dari ukuran flap sklera.25
Gambar 2.1 menunjukkan referensi foto yang digunakan dalam penilaian MBGS.
Gambar 2.1 Referensi foto Moorfields Bleb Grading System
Sumber: : Lee28
Meskipun MBGS lebih spesifik dalam menilai vaskularisasi bleb, namun
terdapat kesulitan saat menentukan area bleb yang akan dinilai. Apabila
15
dibandingkan dengan IBAGS, sistem klasifikasi MBGS bersifat lebih kompleks
dengan skala penilaian yang lebih banyak. 25
2.1.2.2 Indiana Bleb Appearance Grading Scale
Indiana Bleb Appearance Grading Scale merupakan suatu usaha untuk
mengembangkan dan menyeragamkan sistem klasifikasi bleb yang telah ada
sebelumnya sehingga menghasilkan suatu sistem penilaian morfologi klinis bleb
yang bersifat baku, sederhana dan komprehensif. Sistem ini menggunakan referensi
foto berwarna yang menggabungkan 4 parameter pada penilaian morfologi bleb,
yaitu tinggi (height), luas (extent), vaskularisasi (vascularity) dan tes Seidel (S)
untuk menilai kebocoran bleb. Berdasarkan penelitian-penelitian yang sudah
dilakukan sebelumnya, keempat parameter tersebut paling relevan terhadap fungsi
bleb.27 Termasuk dalam penilaian vaskularisasi yaitu keberadaan mikrokista yang
secara histologis mewakili saluran yang paten untuk aliran cairan akuos.15 Penilaian
bleb dengan menggunakan sistem IBAGS dilaporkan dengan format HxExVxSx.13
Ketinggian bleb dinilai dari dimensi vertikal bleb yang mewakilli elevasi flap
konjungtiva di atas permukaan sklera. Penilaian untuk ketinggian bleb digolongkan
menjadi H0 apabila bleb rata tanpa elevasi yang nyata, H1 elevasi bleb ringan, H2
elevasi bleb sedang dan H3 bleb tinggi. Penilaian tinggi bleb hanya dapat dilakukan
dengan menggunakan lampu celah biomikroskop dengan sinar yang sempit.
Penentuan tinggi bleb dilakukan dengan melihat foto standar untuk ketinggian bleb
dan berdasarkan titik tertinggi dari permukaan sklera terhadap bleb.15
Luas bleb menunjukkan dimensi horizontal bleb dan dibagi menjadi 4 skala
16
interval berdasarkan jam yaitu E0 apabila luas bleb kurang dari 1 jam, E1 luas bleb
sama dengan atau lebih besar dari 1 jam namun lebih kecil dari 2 jam, E2 luas bleb
sama dengan atau lebih besar dari 2 jam namun lebih kecil dari 4 jam dan E3 bila
luas bleb sama dengan atau lebih dari 4 jam. Apabila nilai luas bleb berada diantara
interval, maka dipakai standar nilai yang lebih tinggi. Sebagai contoh, apabila
dimensi horizontal bleb tepat 2 jam, maka skor IBAGS yang diberikan E2.15
Vaskularisasi bleb meliputi penilaian pembuluh darah yang terletak di
permukaan maupun yang letaknya lebih dalam pada daerah bleb yang tampak pada
pemeriksaan menggunakan lampu celah biomikroskop. Penilaian vaskularisasi bleb
digolongkan menjadi V0 bleb avaskular atau tampak putih, V1 bleb avaskular kistik
(tampak adanya mikrokista pada konjungtiva yang terlihat dengan menggunakan
lampu celah biomikroskop), V2 vaskularisasi ringan, V3 vaskularisasi sedang, dan
V4 vaskularisasi luas disertai gambaran pembuluh darah besar. Meskipun skala V0
dan V1 sama-sama menunjukkan bleb yang avaskular, ada atau tidaknya mikrokista
dapat digunakan untuk membedakannya. Disamping itu bleb dengan nilai V1 relatif
transparan, sedangkan bleb dengan nilai V0 berwarna putik opak. Pada penilaian
vaskularisasi bleb, hanya pembuluh darah yang tampak pada bleb yang digunakan
untuk penilaian dan bukan injeksi konjungtiva peribleb.15
Pemeriksaan tes Seidel dilakukan dengan menggunakan strip fluoresein yang
diaplikasikan pada bleb. Tes Seidel yang positif menunjukkan adanya kebocoran
cairan akuos melalui permukaan bleb. Penilaian tes Seidel dibagi menjadi 3 skala
interval yaitu S0 apabila tidak ada kebocoran bleb, S1 terdapat kebocoran berupa
titik-titik pada permukaan bleb, tetapi tidak ada cairan yang mengalir dalam waktu
17
5 detik setelah aplikasi fluorosein dan S2 ditandai adanya cairan akuos yang
mengalir dalam waktu 5 detik setelah aplikasi fluorosein (difus atau local). Gambar
2.2 menunjukkan referensi foto standar yang digunakan dalam IBAGS.15
Gambar 2.2 Referensi foto Indiana Bleb Apperance Grading Systems (IBAGS) Sumber : Cantor15
Kista Tenon atau encapsulated bleb tidak dimasukkan secara khusus sebagai
bagian dari IBAGS karena dapat dideskripsikan dengan skema klasifikasi. Kista
Tenon mewakili hipertrofi kapsul Tenon yang membatasi aliran akuos sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan intraokular. Morfologi kista Tenon berbentuk
seperti kubah, menonjol dan terlokalisir, tanpa adanya mikrokista serta
vaskularisasi yang bervariasi. Apabila dimasukkan dalam IBAGS, maka morfologi
kista Tenon memiliki nilai H2-H3, E1-E2, V3-V4 dan S0.15
Berdasarkan evaluasi morfologi bleb yang sudah pernah diteliti sebelumnya,
18
bleb yang baik memiliki tampilan elevasi sedang, luas yang difus dan vaskularisasi
minimal disertai adanya mikrokista konjungtiva. Apabila dihubungkan dengan
penilaian IBAGS, maka bleb yang baik memiliki skor H1-2, E1-3, V1, S0. Namun
demikian didapatkan pula hasil tekanan intraokular yang rendah pada tampilan bleb
yang lebih rata dan difus serta avaskular. 15
Sistem klasifikasi IBAGS yang terstandarisasi juga dapat membantu
mengenali tanda-tanda awal kegagalan suatu bleb, memprediksi hasil operasi dan
mengamati respon terhadap intervensi yang dilakukan.15,24 Misalnya, bleb dengan
morfologi H1E1V2S0 dengan tekanan intraokular yang tinggi kemungkinan
disebabkan adanya fibrosis subkonjungtiva sebagai penyebab kegagalan fungsi
bleb.15
Penilaian morfologi bleb juga dapat digunakan untuk menilai tampilan bleb
dari waktu ke waktu. Pasien yang telah menjalani trabekulektomi tetap memiliki
risiko komplikasi dalam jangka waktu yang lama setelah tindakan operasi.
Penelitian yang dilakukan oleh Kashiwagi dkk. menunjukkan bahwa insidensi
infeksi yang berkaitan dengan bleb sebesar 1,5% dalam periode follow-up 2,5
tahun.29 Wells dkk. juga melaporkan bahwa perubahan teknik operasi dari limbus-
based conjunctival flap menjadi fornix-based conjunctival flap telah menurunkan
insidensi terjadinya bleb kistik dari 90% menjadi 29% serta berkurangnya
komplikasi yang berkaitan dengan bleb kistik.24
Kegunaan klinis IBAGS telah diperkuat dengan adanya kesesuaian
interobserver dan konsistensi yang baik dalam menilai tinggi, luas dan vaskularisasi
bleb. Meski demikian, tidaklah mudah untuk menyamakan persepsi observer dalam
19
suatu sistem yang menitikberatkan pada penilaian klinis dan dipengaruhi oleh
subjektivitas. 15
2.1.3 Software
Pengolahan data-data klinis dengan menggunakan komputer, termasuk data
berupa citra okular telah banyak mengalami kemajuan dengan adanya
perkembangan teknologi, ketersediaan data dalam jumlah yang besar dan teknik
pengolahan citra terbaru. Sebagai contoh, automated retinal image analysis system
(ARIAS) yang berhasil mendeteksi adanya diabetik retinopati tanpa kehadiran
manusia sebagai subjek penilai. 17
Analisis gambar secara digital merupakan cara yang dapat memperkuat
kualitas penilaian gradasi yang dilakukan dengan menggunakan lampu celah
biomikroskop. Penggunaan teknik pencitraan dan analisis software dalam
melengkapi atau menggantikan skor klinis telah banyak digunakan dalam ilmu
kedokteran termasuk ilmu kesehatan mata. Metode-metode tersebut menambah
efisensi dalam pengolahan data klinis dan juga dapat menjadi standar gradasi dalam
penelitian-penelitian klinis yang bersifat multisenter. Standarisasi sistem gradasi
juga memberikan nilai uji statistik yang lebih meyakinkan karena ketepatan
penilaian yang lebih baik, analisis yang lebih detail dan memungkinkan untuk
dilakukannya re-analisis retrospektif karena adanya database yang permanen.18
Penggunaan software yang otomatis dapat menghilangkan variabilitas inter
atau intra observer. Keunggulaan lainnya yaitu dapat memberikan hasil yang dapat
dipercaya walaupun dilakukan penilaian secara berulang karena memiliki
20
konsistensi yang baik. 30
Ada 2 hal yang harus dilakukan agar suatu software otomatis dapat
diaplikasikan. Pertama, adanya protokol pengambilan gambar yang cermat dan
orang yang sudah terlatih untuk mengambil gambar. Kriteria yang kedua yaitu
gambar yang diperoleh harus cukup berkualitas untuk diolah menggunakan
software.30
2.1.3.1 Bleb Grader Software
Pembuatan bleb grader software berdasarkan sistem penilaian IBAGS
diharapkan dapat memberikan penilaian morfologi bleb yang objektif dan
konsisten. Proses pembuatan bleb grader software meliputi beberapa tahapan dan
secara ringkas disajikan dalam gambar 2.3. Algoritma yang dipakai pada
pembuatan bleb grader software menggunakan program MATLAB, baik dengan
modul yang telah tersedia maupun menggunakan program sendiri.31
Gambar 2.3 Blok diagram pengolahan citra
Sumber: Fahanani31
21
Tahapan pembuatan algoritma diawali dengan pemilihan input citra bleb
yang diambil dengan cahaya difus dan slit.31
Gambar 2.4 Citra bleb dengan cahaya difus dan slit Sumber: Fahanani31
Selanjutnya dilakukan tahap pre-processing yang bertujuan untuk
mendapatkan segmentasi bleb secara kasar. Hal ini dilakukan dengan mengubah
posisi citra cahaya slit agar teletak pada titik yang sama pada citra cahaya difus.
Proses ini dilakukan secara manual dengan cara mencari dua titik yang sama pada
kedua citra yang menggunakan cahaya difus dan slit.31
Gambar 2.5 Pemilihan kedua titik yang sama pada kedua citra
Sumber: Fahanani31
22
Langkah berikutnya adalah menentukan segmentasi slit untuk mendapatkan
informasi mengenai ketinggian dan luas bleb.31
Gambar 2.6 Sebelum dan sesudah segmentasi slit
Sumber: Fahanani31
Selanjutnya dilakukan ekstraksi morfologi dari segmentasi slit agar diperoleh
suatu grafik yang nantinya digunakan untuk penilaian parameter morfologi bleb.
Proses ekstraksi morfologi segmentasi slit ini dilakukan dengan menggunakan
fungsi thinning pada operasi morfologi. Tujuannya untuk mengenali bentuk
kelengkungan slit sehingga nantinya dapat diperoleh informasi mengenai tinggi dan
luas bleb.
Gambar 2.7 Sebelum dan sesudah ekstraksi morfologi bleb
Sumber: Fahanani31
23
Segmentasi slit yang sudah diekstraksi morfologinya kemudian diubah
menjadi suatu grafik untuk dianalisis. Perhitungan ketinggian bleb dilakukan
dengan mencari puncak tertinggi dari grafik yang didapatkan melalui proses
segmentasi morfologi slit. Selanjutnya dihitung jarak puncak terhadap lembah
terendah. Jarak tersebut digunakan untuk perhitungan ketinggian bleb.31
Gambar 2.8 Penentuan ketinggian bleb dari morfologi slit
Sumber: Fahanani31
Penentuan parameter luas bleb diperoleh dari lebar morfologi slit. Lebar slit
diperhitungkan sebagai jarak antara dua lembah.31
24
Gambar 2.9 Penentuan luas bleb dari morfologi slit
Sumber: Fahanani31
Penentuan vaskularisasi bleb dilakukan dengan menentukan keberadaan
vaskularisasi yang terdapat pada bleb menggunakan plot area bleb secara kasar.31
Gambar 2.10 Plot Area Bleb
Sumber: Fahanani31
25
Bleb yang telah berhasil disegmentasi kemudian dilakukan ekstraksi
pembuluh darah dengan menggunakan filter pembuluh darah multiskala Frangi.
Perhitungan parameter vaskularisasi dibuat dengan menghitung rasio piksel putih
yang menandakan pembuluh darah dibandingkan piksel hitam yang menandakan
area non vaskularisasi dengan persamaan sebagai berikut:31
𝑉𝑎𝑠𝑘𝑢𝑙𝑎𝑟𝑖𝑠𝑎𝑠𝑖 𝑏𝑙𝑒𝑏 =𝑝𝑖𝑘𝑠𝑒𝑙 𝑝𝑢𝑡𝑖ℎ
𝑝𝑖𝑘𝑠𝑒𝑙 ℎ𝑖𝑡𝑎𝑚×100
Gambar 2.11 Ekstraksi pembuluh darah bleb
Sumber: Fahanani31
Hasil perhitungan parameter bleb yang diperoleh melalui proses segmentasi
kemudian dikelompokkan ke dalam skala penilaian bleb. Proses pengelompokkan
ini dilakukan dengan menggunakan data pendahuluan yang didapat dari penilaian
dokter spesialis mata. Output dari sistem bleb grader software ini adalah nilai kelas
setiap parameter penilaian bleb seperti terlihat pada tabel 2.1 dibawah ini.31
26
Tabel 2.1 Perhitungan parameter bleb untuk masing-masing skala penilaian
Luas Ketinggian Vaskularisasi
(piksel) (piksel) (ratio)
E0 : 0 sampai 54 H0 : 0 V0 : 0 sampai 1
E1 : 55 sampai 150 H1 : 1 sampai 20 V1 : 2 sampai 5
E2 : 151 sampai 490 H2 : 21 sampai 68 V2 : 6 sampai 24
E3 : > 490 H3 : > 68 V3 : 25 sampai 38
V4 : > 38
Sumber: Fahanani31
2.2 Kerangka Pemikiran
Operasi trabekulektomi merupakan tindakan pembedahan pada glaukoma
yang paling banyak dilakukan apabila terapi medikamentosa tidak berhasil dalam
mengendalikan tekanan intraokular.12 Bleb merupakan bagian fungsional pada
tindakan trabekulektomi dan merupakan bagian yang dapat menentukan
keberhasilan, kegagalan maupun komplikasi dari tindakan tersebut.24 Penilaian
yang akurat terhadap perubahan morfologi bleb merupakan hal yang sangat penting
pada waktu follow up karena dapat memberikan petunjuk tanda-tanda kegagalan
maupun kemungkinan terjadinya suatu komplikasi.15 Berbagai penelitian telah
mengidentifikasi parameter pada morfologi bleb yang berhubungan dengan tekanan
intraokular seperti tinggi, luas dan vaskularisasi bleb serta adanya mikrokista
konjungtiva.27
Metode sederhana untuk menilai morfologi bleb adalah dengan menggunakan
lampu celah biomikroskop. Melalui metode tersebut, berbagai sistem klasifikasi
morfologi bleb telah banyak dihasilkan sejak tahun 1949, namun demikian sistem
klasifikasi terdahulu memiliki parameter yang berbeda-beda untuk dinilai.28
Indiana Bleb Appearance Grading Scale (IBAGS) merupakan salah satu usaha
27
untuk menyatukan dan menyederhanakan penilaian morfologi bleb yang telah ada
sebelumnya dan banyak digunakan sebagai referensi saat ini.15,24 Tujuan
diciptakannya sistem penilaian yang seragam adalah untuk meningkatkan
kemampuan evaluasi morfologi dan fungsi bleb melalui suatu penilaian yang lebih
objektif dan konsisten serta dapat mengkorelasikan hasil operasi dengan morfologi
bleb yang ada. Sistem penilaian yang seragam juga dapat membantu dalam
mengenali tanda-tanda awal kegagalan bleb sehingga dapat dilakukan intervensi
lebih dini.15 Smith dkk. melakukan penelitian untuk mengetahui hubungan
morfologi bleb terhadap tekanan intraokular pasca fakotrabekulektomi. Hasil
penelitian tersebut menyatakan bahwa setiap penambahan 1 nilai pada parameter
ketinggian bleb terdapat penurunan tekanan intraokular sebesar 2.16 mmHg. 27
Aplikasi klinis IBAGS telah diperkuat oleh adanya kesesuaian interobserver
dan konsistensi yang baik dalam menilai tinggi, luas dan vaskularisasi bleb. Meski
demikian, tidaklah mudah untuk menyamakan persepsi observer dalam sistem yang
menitikberatkan pada penilaian klinis dan dipengaruhi oleh subjektivitas.15
Analisis gambar secara digital merupakan cara yang dapat memperkuat
kualitas penilaian gradasi yang dilakukan dengan menggunakan lampu celah
biomikroskop. Penggunaan teknik pencitraan dan analisis data menggunakan
software akan menambah efisensi dalam pengolahan data klinis.18 Penggunaan
software juga dapat menghilangkan variabilitas inter atau intra observer.30
Pembuatan bleb grader software berdasarkan sistem penilaian IBAGS bertujuan
untuk memberikan penilaian bleb yang objektif dan konsisten.31
28
2.3 Premis dan Hipotesis
2.3.1 Premis
Berdasarkan hal tersebut diatas maka premis-premis pada penelitian ini
adalah:
Premis 1: Bleb merupakan bagian fungsional pada tindakan trabekulektomi
dan merupakan bagian yang dapat menentukan keberhasilan,
kegagalan maupun komplikasi pasca trabekulektomi.24
Premis 2 : Indiana Bleb Appearance Grading Scale (IBAGS) merupakan salah
satu sistem klasifikasi dan gradasi penilaian morfologi bleb yang
saat ini banyak digunakan sebagai referensi standar.15,24
Premis 3: Tidaklah mudah untuk menyamakan persepsi observer dalam sistem
yang menitikberatkan pada penilaian klinis dan dipengaruhi oleh
subjektivitas.15
Premis 4: Analisis gambar secara digital dengan menggunakan software
merupakan cara yang dapat memperkuat kualitas gradasi penilaian
yang dilakukan dengan menggunakan lampu celah biomikroskop.18
Premis 5: Pembuatan bleb grader software berdasarkan sistem penilaian
IBAGS bertujuan untuk memberikan penilaian morfologi bleb yang
objektif dan konsisten.31
2.3.2 Hipotesis
1. Terdapat kesesuaian hasil penilaian ketinggian bleb dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
29
2. Terdapat kesesuaian hasil penilaian luas bleb dengan menggunakan
lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
3. Terdapat kesesuaian hasil penilaian vaskularisasi bleb dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
30
2.4 Bagan Kerangka Pemikiran
Evaluasi morfologi bleb sangat penting dalam
memprediksi keberhasilan maupun kegagalan
operasi trabekulektomi
Analisis gambar secara digital dengan
menggunakan software dapat memberikan
penilaian yang lebih objektif
Penilaian morfologi klinis bleb dengan IBAGS
dipengaruhi oleh subjektivitas
Indiana Bleb Appearance Grading Scale (IBAGS)
merupakan salah satu sistem penilaian morfologi
bleb yang digunakan sebagai referensi standar saat
ini
Pengembangan bleb grader software
berdasarkan IBAGS dapat memberikan
penilaian morfologi bleb secara objektif dan
konsisten
31
BAB III
SUBJEK DAN METODE PENELITIAN
3.1 Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan subjek pasien yang datang ke Unit Glaukoma dan
telah menjalani tindakan trabekulektomi di Pusat Mata Nasional Rumah Sakit Mata
Cicendo (PMN RSMC) Bandung. Populasi target pada penelitian ini adalah pasien
yang menderita glaukoma dan telah menjalani operasi trabekulektomi. Populasi
terjangkau adalah pasien yang datang ke Unit Glaukoma PMN RSMC Bandung
untuk dilakukan pemeriksaan, memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi serta bersedia
mengikuti penelitian.
3.1.1 Sampel
3.1.1.1 Cara Pemilihan Sampel
Sampel dipilih sesuai urutan kedatangan (consecutive admission).
3.1.1.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi
3.1.1.2.1 Kriteria Inklusi
1) Pasien berusia > 18 tahun.
2) Pasien glaukoma yang telah menjalani operasi trabekulektomi/
fakotrabekulektomi minimal 1 bulan sebelumnya.
32
3.1.1.2.2 Kriteria Eksklusi
1) Pasien yang sedang mengalami infeksi pada mata.
2) Riwayat operasi trabekulektomi ulang.
3) Riwayat bedah intraokular lainnya selain trabekulektomi dan
fakotrabekulektomi.
4) Pasien yang tidak kooperatif saat dilakukan pengambilan foto.
3.1.1.3 Penentuan Jumlah Sampel
Ukuran sampel untuk penelitian disesuaikan dengan tujuan penelitiannya
yaitu untuk menganalisis korelasi antara kedua pengukuran dengan rumus sebagai
berikut:
𝑛 =(𝑧𝛼+𝑧𝛽)
2
{0,5 𝑙𝑛 (1+𝑟
1−r)}
2 + 3
Keterangan :
n = Ukuran sampel
Zα, Zβ = Nilai deviasi Z yang diperoleh dari tabel distribusi normal standar untuk
taraf signifikansi α dan power tes (1-β) yang dipilih
r = koefisien korelasi
Pada penelitian ini dipilih taraf signifikansi 5% (Zα=1,96) dan power tes 95%
(Zβ=1,65) serta besarnya koefisien korelasi dipilih untuk luas bleb r= 0,463.
Berdasarkan rumus diatas diperoleh:
𝑛 =(1.96+1.65)2
{0,5 𝑙𝑛 (1+0.463
1−0.463)}
2 + 3 = 55
33
Sehingga ukuran sampel yang diperlukan pada penelitian ini adalah 55 mata.
3.2 Metode Penelitian
3.2.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian teknik potong lintang (cross
sectional).
3.2.2 Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional
3.2.2.1 Identifikasi Variabel
Variabel bebas pada penelitian ini adalah bleb grader software dan dokter
spesialis mata. Variabel tergantung adalah morfologi bleb berupa tinggi, luas dan
vaskularisasi yang dinilai oleh dokter spesialis mata menggunakan lampu celah
biomikroskop berdasarkan sistem klasifikasi IBAGS dan bleb grader software.
3.2.2.2 Definisi Operasional
• Dokter spesialis mata didefinisikan sebagai dokter spesialis mata konsultan
glaukoma.
• Bleb grader software adalah software yang dikembangkan bekerjasama
dengan Program Studi Magister Teknik Elektro dengan bidang khusus
Teknik Biomedika Institut Teknologi Bandung (ITB), berdasarkan sistem
klasifikasi IBAGS.
• Bleb merupakan daerah konjungtiva bulbi yang mengalami elevasi setelah
suatu tindakan trabekulektomi.
34
• Tinggi bleb merupakan dimensi vertikal bleb yang menunjukkan elevasi
flap konjungtiva di atas permukaan sklera dan merupakan titik tertinggi dari
permukaan sklera terhadap bleb. Skala nilai H0 apabila bleb rata tanpa
elevasi yang nyata, H1 elevasi bleb ringan, H2 elevasi bleb sedang dan H3
bleb tinggi.
• Luas bleb merupakan dimensi horizontal bleb. Skala nilai E0 apabila luas
bleb kurang dari 1 jam, E1 luas bleb sama dengan atau lebih besar dari 1
jam namun lebih kecil dari 2 jam, E2 luas bleb sama dengan atau lebih besar
dari 2 jam namun lebih kecil dari 4 jam dan E3 bila luas bleb sama dengan
atau lebih dari 4 jam.
• Vaskularisasi bleb merupakan pembuluh darah yang terletak di permukaan
atau lebih dalam pada area bleb dan tidak termasuk injeksi konjungtiva
peribleb. Skala nilai yang diberikan yaitu V0 bleb avaskular atau tampak
putih, V1 bleb avaskular kistik (tampak adanya mikrokista pada
konjungtiva), V2 vaskularisasi ringan, V3 vaskularisasi sedang, dan V4
vaskularisasi luas disertai gambaran pembuluh darah besar.
• Indiana Bleb Appearance Grading Scale merupakan sistem klasifikasi
morfologi bleb dengan menggunakan lampu celah biomikroskop dan
referensi foto berwarna (gambar 3.1) yang meliputi penilaian tinggi, luas,
vaskularisasi dan kebocoran bleb yang dilihat dengan tes Seidel.
35
Gambar 3.1 Referensi foto IBAGS Sumber: Cantor15
3.2.3 Cara Kerja dan Teknik Pengumpulan Data
3.2.3.1 Cara Kerja
Sebelum penelitian dilakukan, rancangan penelitian diajukan ke Komite Etik
Penelitian Kesehatan (ethical clearance). Pasien yang memenuhi kriteria inklusi
dikonsulkan ke pembimbing untuk dapat diikutsertakan dalam penelitian,
kemudian pasien dan keluarga diberi penjelasan secara lisan mengenai prosedur
pemeriksaan serta kegunaan penelitian. Bila pasien dan keluarga setuju serta
tertarik untuk berpartisipasi dalam penelitian ini maka akan diberikan lembar surat
persetujuan (informed consent) untuk ditandatangani.
36
Pasien yang masuk dalam kriteria inklusi dicatat identitas yang meliputi
nama, usia, jenis kelamin, alamat dan nomor telepon seluler. Data mengenai
glaukoma yang dicatat meliputi diagnosis dan tipe glaukoma, tekanan intraokular,
jenis operasi dan periode pasca operasi. Dilakukan pemeriksaan pada kedua mata
meliputi tajam penglihatan, pemeriksaan segmen anterior serta pengukuran tekanan
intraokular dengan tonometer aplanasi Goldmann.
Seorang dokter spesialis mata melakukan penilaian morfologi bleb
berdasarkan sistem klasifikasi IBAGS yang meliputi parameter tinggi, luas dan
vaskularisasi secara langsung dengan menggunakan Slit Lamp Zeiss-SL 130.
Pengambilan gambar bleb dilakukan dengan menggunakan alat yang sama, yaitu
SL-130 yang telah dilengkapi dengan kamera ukuran 5 megapiksel resolusi
1296x972 yang terintegrasi dan program SL-imaging software. Pada saat
pengambilan gambar, pasien diminta untuk melirik ke bawah dan kelopak mata atas
diangkat dengan hati-hati sehingga tidak menimbulkan penekanan pada bola mata
atau bleb. Pengambilan gambar dilakukan sebanyak 2 kali, yaitu dengan
menggunakan cahaya difus dan slit dengan sudut 30-40 derajat. Pembesaran yang
dipilih 8x dengan menggunakan intensitas cahaya yang sedang. Gambar morfologi
bleb kemudian diinput ke dalam bleb grader software untuk penilaian secara
otomatis. Penilaian tes Seidel tidak dilakukan pada penelitian ini karena hal ini
bersifat dinamis dan tidak memungkinkan dilihat dari foto semata.
37
3.2.3.2 Uji Pendahuluan
Pasien yang datang ke Poliklinik Glaukoma PMN RS Mata Cicendo dan telah
menjalani tindakan trabekulektomi minimal 1 bulan sebelumnya, dilakukan
penilaian bleb secara langsung oleh dokter spesialis mata dengan menggunakan
lampu celah biomikroskop Carl Zeiss SL-130. Dokumentasi bleb diperoleh dengan
menggunakan kamera yang terintegrasi pada lampu celah biomikroskop SL-130
dengan resolusi 5 megapiksel dan menggunakan SL imaging software. Foto bleb
kemudian diolah menggunakan program komputer untuk pembuatan bleb grader
software yang bekerja sama dengan Program Studi Magister Teknik Elektro dengan
bidang khusus Teknik Biomedika Institut Teknologi Bandung (ITB).
3.2.3.3 Alat Penelitian
- Slit lamp Carl Zeiss SL 130
- Laptop
- Bleb grader software
3.2.4 Analisis Data
Data yang diperoleh dicatat dalam formulir penelitian yang telah dibuat
untuk dilakukan analisis data. Data disajikan dalam bentuk tabel silang yang
menghubungkan hasil penilaian dokter spesialis mata menggunakan lampu celah
biomikroskop dan bleb grader software dari ketiga parameter yang diukur. Uji
statistik yang digunakan yaitu uji chi kuadrat McNemar-Bowker. Sedangkan untuk
mengukur besarnya koefisien reliabilitas digunakan perhitungan Indeks Kappa.
38
Kriteria indeks Kappa yaitu nilai > 0,74 artinya memiliki tingkat kesesuaian baik
(excellent agreement), ≥ 0,4 dan ≤ 0,74 memiliki tingkat kesesuaian sedang
(moderate agreement) dan < 0,4 memiliki tingkat kesesuaian yang buruk (poor
agreement). Analisis data dihitung dengan menggunakan program komputer SPSS
for Windows 21.0.
3.2.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat penelitian dilakukan di Unit Glaukoma PMN Rumah Sakit Mata
Cicendo, Bandung. Waktu penelitian pada bulan Maret 2017 setelah mendapat
persetujuan dari bagian Ilmu Kesehatan Mata dan Komite Etik Fakultas Kedokteran
Universitas Padjadjaran.
3.3 Implikasi/Aspek Etik Penelitian
Penderita glaukoma yang telah menjalani tindakan trabekulektomi dilakukan
penilaian morfologi bleb oleh dokter spesialis mata dan dengan menggunakan bleb
grader software. Seluruh subjek penelitian diberikan penjelasan mengenai prosedur
penelitian, risiko, manfaat dan kemungkinan rasa tidak nyaman selama proses
pemeriksaan berlangsung. Risiko ketidaknyamanan dapat dirasakan oleh pasien
ketika dilakukan pengambilan gambar morfologi bleb. Risiko tersebut dijelaskan
kepada pasien dan bila pasien setuju maka pasien tersebut dapat masuk ke dalam
subjek penelitian.
Penelitian ini berpedoman pada 3 prinsip dasar penelitian manusia dengan
memperhatikan hal-hal yang diantaranya mencakup:
39
A. Prinsip menghormati harkat dan martabat manusia (respect for person)
1) Pasien memiliki hak untuk bertanya dan berkonsultasi mengenai
berbagai hal yang berkaitan dengan penelitian secara jelas.
2) Keikutsertaan dalam penelitian dilakukan secara sukarela dan sadar, dan
sewaktu-waktu dapat mempergunakan haknya untuk menghentikan
keikutsertaan dalam penelitian tanpa paksaan.
B. Prinsip bermanfaat dan tidak merugikan (beneficience and non-
maleficience)
1) Penelitian yang dilakukan akan memberikan manfaat dalam deteksi dini
keberhasilan atau kegagalan bleb pasca trabekulektomi.
2) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan keuntungan bagi pasien.
C. Prinsip keadilan (justice)
Penelitian ini dilakukan pada penderita glaukoma yang telah menjalani
trabekulektomi.
Pemeriksaan pasien pada penelitian ini merupakan tanggung jawab peneliti
dengan supervisi dari dokter spesialis mata Subdivisi Glaukoma. Pencatatan hasil
penelitian akan dijaga kerahasiaannya.
40
3.4 Alur Penelitian
Penilaian morfologi klinis bleb
meliputi parameter tinggi, luas dan
vaskularisasi berdasarkan IBAGS
dengan menggunakan lampu celah
biomikroskop
Analisis Statistik
Uji kesesuaian
Penderita glaukoma yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi
Analisis morfologi bleb secara
digital menggunakan bleb
grader software untuk penilaian
tinggi, luas dan vaskularisasi
bleb
Kesimpulan
41
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Penelitian dilakukan di Poliklinik Glaukoma PMN Rumah Sakit Mata
Cicendo Bandung pada bulan Maret 2017 setelah adanya persetujuan dari Komite
Etik Penelitian Kedokteran dan Bagian Mata Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran. Jumlah subjek penelitian yang terlibat sebanyak 55 mata dari 50 pasien
yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
4.1.1 Karakteristik Subjek Penelitian
Karakteristik subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin dan usia dapat
dilihat pada tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Karakteristik demografi subjek penelitian
Variabel
Jumlah
Persentase
n=50 pasien
Jenis Kelamin
Laki-laki 31 62
Perempuan 19 38
Usia
Median 62
Range 20-78
42
Tabel 4.1 diatas menunjukkan bahwa sebagian besar subjek penelitian
berjenis kelamin laki-laki. Pada penelitian ini distribusi usia subjek penelitian tidak
normal, sehingga digunakan ukuran median untuk usia yaitu sebesar 62 tahun
(range 20-78 tahun). Data mengenai karakteristik klinis subjek penelitian dapat
dlihat pada tabel 4.2 di bawah ini:
Tabel 4.2 Karakteristik klinis subjek penelitian
Variabel Jumlah
Persentase n: 55 mata
Tekanan Intraokular
Median 17
Range 10-44
Diagnosis
Glaukoma Primer Sudut Terbuka 21 38,2
Glaukoma Primer Sudut Tertutup 25 45,4
Glaukoma Sekunder 9 16,4
Jenis Operasi
Trabekulektomi 22 40
Trabekulektomi + antifibrotik 13 23,6
Fakotrabekulektomi 20 36,4
Periode Pasca Operasi
1-3 bulan 34 61,8
> 3-6 bulan 12 21,8
> 6 bulan 9 16,4
Berdasarkan tabel 4.2 diatas didapatkan median tekanan intraokular sebesar
17 mmHg. Sebagian besar subjek yang diteliti memiliki diagnosis glaukoma primer
sudut tertutup yaitu sebanyak 25 orang (45,4%). Jenis tindakan yang terbanyak
43
dilakukan adalah trabekulektomi sebanyak 22 orang (40%) dan lebih dari separuh
subjek yang diteliti memiliki riwayat tindakan operasi dalam waktu 1-3 bulan
sebelum dilakukan penelitian.
4.1.2 Hasil Penilaian Morfologi Klinis Bleb
Hasil penilaian morfologi klinis bleb dengan menggunakan lampu celah
biomikroskop oleh dokter spesialis mata dan bleb grader software dapat dilihat
pada tabel 4.3 dibawah ini.
Tabel 4.3 Hasil Penilaian Morfologi Klinis Bleb
Variabel
Skala Penilaian
0 1 2 3
Hasil Penilaian Dokter Spesialis Mata
Tinggi 3 26 23 3
Luas 5 17 32 1
Vaskularisasi 0 2 38 25
Hasil Penilaian Bleb Grader Software
Tinggi 4 25 22 4
Luas 8 12 34 1
Vaskularisasi 0 1 36 18
Berdasarkan hasil penilaian pada tabel 4.3 di atas, kemudian dilakukan uji
kesesuaian dengan menggunakan indeks Kappa dan uji kemaknaan secara statistik
44
dengan menggunakan uji chi-kuadrat McNemar-Bowker. Hasilnya dapat dilihat
pada tabel 4.4 dibawah ini.
Tabel 4.4 Kesesuaian Hasil Penilaian Morfologi bleb dengan Menggunakan Lampu
Celah Biomikroskop Oleh Dokter Spesialis Mata dan Bleb Grader Software
Variabel
Indeks Nilai
Kappa p*
Tinggi 0,821 0,572
Luas 0,675 0,308
Vaskularisasi 0,613 0,058
Keterangan : * = Uji chi-kuadrat McNemar-Bowker
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa penilaian parameter tinggi
menghasilkan indeks kappa 0,821 yang menunjukkan kesesuaian yang baik antara
penilaian dokter spesialis mata yang menggunakan lampu celah biomikroskop dan
bleb grader software. Indeks kappa untuk luas bleb sebesar 0,675 yang berarti
terdapat kesesuaian sedang antara penilaian dokter spesialis mata yang
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software. Parameter
vaskularisasi bleb memiliki indeks kappa 0,613 yang menunjukkan kesesuaian
yang sedang antara penilaian dokter spesialis mata yang menggunakan lampu celah
biomikroskop dan bleb grader software. Hasil analisis statistik dengan
menggunakan uji chi-kuadrat McNemar-Bowker, diperoleh nilai p untuk masing-
masing parameter > 0,05 yang berarti secara statistik tidak bermakna. Hal ini
menunjukkan tidak didapatkan perbedaan pada penilaian morfologi bleb oleh
dokter spesialis mata yang menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb
grader software.
45
4.2 Pengujian Hipotesis
Hipotesis
1. Terdapat kesesuaian hasil penilaian ketinggian bleb dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
2. Terdapat kesesuaian hasil penilaian luas bleb dengan menggunakan
lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
3. Terdapat kesesuaian hasil penilaian vaskularisasi bleb dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
Hasil yang mendukung:
Indeks Kappa 0,821 menunjukkan terdapat kesesuaian yang baik dalam penilaian
ketinggian bleb serta indeks Kappa 0,675 dan 0,613 berturut-turut menunjukkan
adanya kesesuaian yang sedang dalam penilaian luas serta vaskularisasi bleb antara
dokter spesialis mata yang menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb
grader software. Berdasarkan uji statistik dengan menggunakan uji chi-kuadrat
McNemar-Bowker, diperoleh nilai p untuk masing-masing parameter >0,05.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada penelitian ini, hipotesis penelitian
diterima.
4.3 Pembahasan
Pada penelitian ini sebagian besar subjek yang diteliti adalah laki-laki
dengan median usia 62 tahun. Berbagai studi epidemiologi berbasis populasi telah
banyak dilaksanakan untuk mengetahui adanya kaitan gender dengan risiko
46
terjadinya glaukoma. Sebagai contoh, Baltimore Eye Survey, Beaver Dam Eye
Study, Framingham Eye Study, Los Angeles Latino Eye Study dan Arizona Eye
Disease Study menyatakan bahwa jenis kelamin bukan merupakan faktor risiko
yang signifikan terhadap kejadian glaukoma. Penelitian dari Barbados Eye Study
dan Rotterdam Study menyimpulkan bahwa prevalensi glaukoma lebih tinggi pada
laki-laki. Hal sebaliknya didapatkan dari Blue Montain Eye Study yang menemukan
prevalensi glaukoma lebih tinggi pada jenis kelamin wanita.32
Umumnya subjek yang terlibat dalam penelitian ini memiliki diagnosa
glaukoma primer sudut tertutup dan menjalani tindakan operasi trabekulektomi.
Median tekanan intraokuler pada penelitian ini sebesar 17 mmHg. Lebih dari
separuh pasien yang terlibat dalam penelitian ini umumnya memiliki riwayat
operasi 1- 3 bulan sebelum dilakukan penelitian.
Penilaian morfologi bleb dengan menggunakan lampu celah biomikroskop
menghasilkan gambaran 3 dimensi, sedangkan penilaian dengan bleb grader
software dengan input foto memberikan gambaran 2 dimensi. Dalam hal ini
pengambilan foto dengan menggunakan cahaya slit akan memudahkan dalam
menilai ketinggian bleb. Pada penelitian ini didapatkan hasil kesesuaian yang baik
terhadap penilaian ketinggian bleb antara dokter spesialis mata yang menggunakan
lampu celah biomikroskop dan bleb grader software dengan indeks kappa sebesar
0.821. Penelitian yang dilakukan oleh Wells dkk juga menunjukkan kesesuaian
yang baik untuk ketinggian bleb antara penilaian dengan lampu celah biomikroskop
dengan gambar 2 dan 3 dimensi.24 Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan
oleh Crowston dkk yang membandingkan penggunaan lampu celah dengan
47
telemedis (real-time video) dalam menilai morfologi bleb, ketinggian bleb
merupakan satu-satunya kriteria yang menunjukkan nilai kesesuaian yang buruk.
Crowston berpendapat bahwa hal ini disebabkan karena gambar yang dihasilkan
saat menilai ketinggian bleb memiliki kontras yang lebih rendah dibandingkan
kontras untuk menilai vaskularisasi bleb.21
Posisi kelopak mata atas terhadap bleb juga turut mempengaruhi penilaian
parameter ketinggian bleb. Sebagai contoh, Elevasi kelopak mata atas yang tidak
adekuat pada pasien yang tidak mampu menggerakkan bola matanya ke bawah
secara maksimal dapat memberikan kesan bleb yang tinggi akibat penekanan bleb
ke arah limbus oleh kelopak mata sehingga menimbulkan kesalahan penilaian
ketinggian bleb.33
Pada penelitian ini, penilaian parameter luas bleb memiliki kesesuaian yang
sedang. Kashiwagi dkk membandingkan pemeriksaan morfologi bleb dengan
gambar 2 dimensi dan lampu celah biomikroskop. Menurut penelitian tersebut,
penilaian luas bleb dengan gambar 2 dimensi menunjukkan hasil yang inferior
dibandingkan lampu celah biomikroskop dengan perbedaan indeks kappa yang
signifikan.29 Luas bleb sendiri dapat dengan mudah dinilai dengan menggunakan
lampu celah biomikroskop. Estimasi luas bleb yang berbatas tegas juga mudah
dinilai pada gambar 2 dimensi. Sedangkan penentuan luas bleb baik dengan
menggunakan gambar 2 ataupun 3 dimensi seringkali menimbulkan kesulitan
terutama pada bleb yang dangkal dan difus serta tidak adanya perubahan kontur
pada tepi bleb.24
48
Wells dkk, mendapatkan kesesuaian yang baik untuk penilaian vaskularisasi
bleb menggunakan lampu celah biomikroskop dengan gambar 2 dan 3 dimensi.24
Penelitian oleh Crowston dkk yang membandingkan evaluasi bleb dengan lampu
celah biomikroskop dan telemedis (real-time video) juga memperoleh kesesuaian
yang baik terhadap vaskularisasi bleb.21 Pada penelitian ini, nilai kesesuaian untuk
parameter vaskularisasi bleb adalah sedang sehingga perlu dilakukan perbaikan
algoritma.
Terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi pengambilan foto bleb
yaitu intensitas pencahayaan lampu celah biomikroskop, besarnya sudut lampu
celah biomikroskop yang digunakan dan jenis sinar yang digunakan. Ketiga kondisi
tersebut telah diseragamkan dengan dilakukannya pemeriksaan menggunakan satu
alat yang sama (SL-130), intensitas cahaya sedang, dan besaran sudut 30-40° untuk
cahaya slit.
Penelitian ini merupakan penelitian pertama yang menilai morfologi bleb
dengan menggunakan bleb grader software. Keterbatasan pada penelitian ini adalah
penilaian hanya melibatkan 1 orang dokter spesialis mata. Sebagai tindak lanjut,
diperlukan suatu penelitian yang melibatkan lebih dari 1 orang dokter spesialis mata
terhadap bleb grader software serta perbaikan algoritma untuk luas dan
vaskularisasi bleb. Perbaikan algoritma bleb grader software lebih lanjut perlu
dilakukan sebelum software ini dapat digunakan dalam praktek sehari-hari.
49
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1. Terdapat kesesuaian yang baik terhadap penilaian ketinggian bleb dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
2. Terdapat kesesuaian yang sedang terhadap penilaian luas bleb dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
3. Terdapat kesesuaian yang baik terhadap penilaian vaskularisasi bleb dengan
menggunakan lampu celah biomikroskop dan bleb grader software.
5.2 Saran
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk meningkatkan aplikasi klinis bleb
grader software dengan perbaikan algoritma untuk parameter luas dan vaskularisasi
bleb.
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Konstanyan T, Kyung RS, Joel SS, Yun L, Katie AL, Richard AB, et al. Glaucoma
structural and functional progression in American and Korean Cohorts.
Ophthalmology 2016;123:783-788.
2. Waisbourd M, Noelle LP, Deiana J, Angela U, John EC, Jinan BS, et al. The
Philadelphia glaucoma detection and treatment project: detection rates and initial
management. Ophthalmology 2016;123:1667-1674
3. Greco A, Maria IR, Armando DV, Andrea G, Massimo F, Marco V. Emerging
concepts in glaucoma and review of the literature. The American Journal of
Medicine 2016; 129:1000.e7-1000.e13.
4. Kolko M, Anna H, John T, Jorgen J, Christian TP. The prevalence and incidence
of glaucoma in Denmark in a fifteen year period: A nationwidesStudy. PLOS ONE
2015;10(7):1-11.
5. World Health Organization. Global data on visual impairments 2010. Geneva,
2012.
6. Tham YC, Xiang L, Tien YW, Harry AQ, Tin A, Ching-Yu C. Global prevalence
of glaucoma and projections of glaucoma burden through 2040: A systematic
review and meta-analysis. Ophthalmology 2014;121:2081-2090.
7. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi dan analisis
Glaukoma. Jakarta: Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI; 2015.
8. Moraes CV, Jeffrey ML, Felipe AM, Robert NW. Management of advanced
glaucoma: characterization and monitoring. Survei of Ophthalmology 2016;61:
597-615.
9. Motlagh BF. Medical therapy versus trabeculectomy in patients with open-angle
glaucoma. Arq Bras Oftalmol 2016;79(4):233-7
10. Bertrand V, Steffen F, Ingeborg S, Thierry Z. Rates of visual field loss before and
after trabeculectomy. Acta Ophthalmol. 2014;92:116-120.
11. Caprioli J, Rohit V. Intraocular pressure modulation as treatment for glaucoma.
Am J Ophthalmol 2011;152:340-344.
12. Nesaratnam N, Nicholas S, Keith RM, Humma S. Pre-operative intraocular
pressure does not influence outcome of trabeculectomy surgery. BMC
Ophthalmology 2015;15:17
13. Landers J, Keith M, Nicholas S, Rupert B, Peter W. A twenty year follow-up study
of trabeculectomy. Ophthalmology 2012;119:694-702.
14. Singh M, Paul TKC. Bleb morphology assessment and imaging. Journal of Current
Glaucoma Practice 2008;2(1):50-55.
15. Cantor LB, Anand M, Darrel WD, Kala S, Arnold C. Morphologic classification
of filtering blebs after glaucoma filtration surgery: The Indiana Bleb Appearance
Grading Scale. Journal of Glaucoma 2003;12:266-271.
16. Devika K, Girija K, Sindhu S. Analysis of bleb morphology after trabeculectomy
51
with anterior segment optical coherence tomography. Kerala Journal of
Ophthalmology 2014; 26(1):48-52.
17. Tufail A, Caroline R, Catherine E, Venediktos VK, Sebastian SV, Christopher GP,
et al. Automated Diabetic Retinopathy Images Assesment Software.
Ophthalmology 2017;124(3):343-351.
18. Rodriguez JD, Keith JL, George WO, Endri A, Lisa MS, Mark BA. Automated
grading system for evaluation of superficial punctate keratitis associated with dry
eye. Invest Ophthalmol Vis Sci. 2015;56:2340-2347.
19. Strouthidis NG, Chandrasekharan G, Diamond JP, Murdoch IE. Teleglaucoma:
ready to go?. Br J Ophthalmol 2014;98:1605-1611.
20. Masoumpour MB, M. Hossein N, M. Reza R. Current and future techniques in
wound healing modulation after glaucoma filtering surgeries. The Open
Ophthalmology Journal 2016;10:68-85.
21. Crowston JG, Kirwan JF, Wells A, Kennedy C, Murdoch IE. Evaluating clinical
signs in trabeculectomized eyes. Eye 2004;18:299-303.
22. Singh K, Anurag S. Early aggressive intraocular pressure lowering, target
intraocular pressure and a novel concept for glaucoma care. Survei of
Ophthalmology 2008;53: S33-S38.
23. CAT-152 Trabeculectomy Study Group. Factors affecting the outcome of
trabeculectomy: An analysis based on combined data from two phase III studies of
an antibody to transforming growth factor 2, CAT-152. Ophthalmology
2007;114:1831–1838.
24. Wells AP, JG Crowston, J Marks, JF Kirwan, G Smith, JCK Clarke, et al. A pilot
study of a system for grading of drainage blebs after glaucoma surgery. J Glaucoma
2004;13:454-460.
25. Wells AP, Ashraff NN, Hall RC, Purdie G. Comparison of two clinical bleb
grading system. Ophthalmology 2006;113(1):77-83.
26. Thatte S, Rimpi R, Neeraj G. Appraisal of bleb using trio of intraocular pressure,
morphology on slit lamp and gonioscopy. Ophthalmology and Eye Disease
2016;8:41-48.
27. Smith M, Mary LC, Graham ET, Yvonne MB. Correlation between the indiana
bleb appearance grading scale and intraocular pressure after phacotrabeculectomy.
J Glaucoma 2009;18(3):217-219.
28. Lee BH, Won SC, Jong WL, Kyoo WL. Bleb morphology of fornix-based versus
limbus-based conjunctival flaps in trabeculectomy with mitomycin-C. J Korean
Ophthalmol Soc 2011;52(12): 1461-1469.
29. Kashiwagi K, Naohiko T, Kentaro G, Mitsuhiro I, Fumihiko M, Tetsuya C, et al.
Comparison of a remote operating slit-lamp microscope system with a
conventional slit-lamp microscope system for examination of trabeculectomy eyes.
J Glaucoma 2013;22(4):278-283.
30. Roy R, Aneesha L, Bikranjeet PP, Carlos MO, Rajiv R, Tarun S. Automated
diabetic retinopathy imaging in Indian eyes: A pilot study. Indian J Ophthalmol
2014;62:1121-4.
52
31. Fahanani AF, Hasballah Z. Grading bleb pasca operasi trabekulektomi
menggunakan pengolahan citra digital. Magister Teknik Biomedika [Tesis]
Bandung: Institut Teknologi Bandung;2017.
32. Tehrani S. Gender difference in the pathophysiology and treatment of glaucoma.
Current Eye Research 2015;40(2):191-200.
33. Singh M, Paul TKC, David SF, Winifred PN, Jovina LS, Scott DS, et al. Imaging
Ophthalmology 2007;114:47-53.