Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

11
Penilaian morfologi sperma menurut kriteria WHO dan kriteria Strict : perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium Andre Čipak 1* , Patrik Stanić 1 , Koraljka Đurić 2 , Tihana Serdar 3 , Ernest Suchanek 4 . Penilaian morfologi sperma berdasarkan WHO dan kriteria Strict: perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium. Biochemia Medica 2009; 19(1):87-94.http://dx.doi.org/10.11613/BM.2009.009 1 Departemen Kandungan dan Kebidanan, Rumah Sakit Universitas Zagreb, Zagreb, Kroasia. 2 Laboratorium Medis Biokimia, Poliklinik Sunce, Zagreb, Kroasia. 3 Departemen Laboratorium Medis, Rumah Sakit Universitas Dubrava, Zagreb, Kroasia. 4 Klinik Fertilitas, Rumah Sakit Tawam, John Hopkins Medicine, Al Ain, Abu Dhabi, U.A.E. Penulis korespondensi * : [email protected] ABSTRAK Latar belakang: Penilaian morfologi sperma adalah salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria pada kasus pasangan yang infertil. Adanya variasi antar- maupun intra- laboratorium yang bermakna dapat menyebabkan kesulitan dalam interpretasi, kesalahan interpretasi, bahkan menyebabkan kebingungan. Untuk itu, diperlukan minimalisasi dari variasi-variasi ini untuk mengurangi kesalahan bermakna dan memastikan reproduksibilitas dalam- dan antar-laboratorium. Materi dan metode: Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang mendatangi Laboratorium Andrologi secara berturutan untuk evaluasi fertilitas. Dua kriteria penilaian morfologi sperma dibandingkan: 1) apusan semen dengan pewarnaan Giemsa yang dinilai dengan kriteria World Health Organization (WHO); dan 2) apusan semen dengan pewarnaan Spermac dan dinilai dengan kriteria Strict. Perbandingan pemeriksaan morfologis dalam laboratorium juga dilakukan. Hasil: Diagnosa teratozoospermia baik dengan kriteria WHO maupun kriteria Strict tampak setara dalam 45 dari 49 kasus. Kesetaraan kemampuan penilaian di antara pengamat memberi hasil serupa baik dengan kriteria WHO maupun kriteria Strict (kappa, 0.700 berbanding 0.715). Kesimpulan: Penilaian morfologi dengan kriteria WHO dan kriteria Strict tidak jauh berbeda dalam mendiagnosa teratozoospermia dan kesetaraan kemampuan pengamatan dapat diperoleh dengan pelatihan yang sesuai, pemeriksaan apusan yang cermat dan penyesuaian sistem klasifikasi. Kata Kunci: spermatozoa; infertilitas; pria; variasi pengamat Diperoleh: 23 Oktober 2008 Diterima: 8 Desember 2008

description

Perbandingan antara kedua metode analisis sperma yang dilakukan di Kroasia.

Transcript of Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

Page 1: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

Penilaian morfologi sperma menurut kriteria WHO dan kriteria Strict :

perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium

Andre Čipak1*

, Patrik Stanić1, Koraljka Đurić

2, Tihana Serdar

3, Ernest Suchanek

4. Penilaian morfologi

sperma berdasarkan WHO dan kriteria Strict: perbandingan metode dan variabilitas intra-laboratorium.

Biochemia Medica 2009; 19(1):87-94.http://dx.doi.org/10.11613/BM.2009.009

1Departemen Kandungan dan Kebidanan, Rumah Sakit Universitas Zagreb, Zagreb, Kroasia.

2Laboratorium Medis Biokimia, Poliklinik Sunce, Zagreb, Kroasia.

3Departemen Laboratorium Medis, Rumah Sakit Universitas Dubrava, Zagreb, Kroasia.

4Klinik Fertilitas, Rumah Sakit Tawam, John Hopkins Medicine, Al Ain, Abu Dhabi, U.A.E.

Penulis korespondensi*: [email protected]

ABSTRAK

Latar belakang: Penilaian morfologi sperma adalah salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi

pihak pria pada kasus pasangan yang infertil. Adanya variasi antar- maupun intra- laboratorium yang

bermakna dapat menyebabkan kesulitan dalam interpretasi, kesalahan interpretasi, bahkan menyebabkan

kebingungan. Untuk itu, diperlukan minimalisasi dari variasi-variasi ini untuk mengurangi kesalahan

bermakna dan memastikan reproduksibilitas dalam- dan antar-laboratorium.

Materi dan metode: Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang mendatangi

Laboratorium Andrologi secara berturutan untuk evaluasi fertilitas. Dua kriteria penilaian morfologi

sperma dibandingkan: 1) apusan semen dengan pewarnaan Giemsa yang dinilai dengan kriteria World

Health Organization (WHO); dan 2) apusan semen dengan pewarnaan Spermac dan dinilai dengan

kriteria Strict. Perbandingan pemeriksaan morfologis dalam laboratorium juga dilakukan.

Hasil: Diagnosa teratozoospermia baik dengan kriteria WHO maupun kriteria Strict tampak setara dalam

45 dari 49 kasus. Kesetaraan kemampuan penilaian di antara pengamat memberi hasil serupa baik dengan

kriteria WHO maupun kriteria Strict (kappa, 0.700 berbanding 0.715).

Kesimpulan: Penilaian morfologi dengan kriteria WHO dan kriteria Strict tidak jauh berbeda dalam

mendiagnosa teratozoospermia dan kesetaraan kemampuan pengamatan dapat diperoleh dengan pelatihan

yang sesuai, pemeriksaan apusan yang cermat dan penyesuaian sistem klasifikasi.

Kata Kunci: spermatozoa; infertilitas; pria; variasi pengamat

Diperoleh: 23 Oktober 2008

Diterima: 8 Desember 2008

Page 2: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

1

Pendahuluan

Penilaian morfologi sperma sebagai komponen dari prosedur analisa semen merupakan

salah satu langkah terpenting dalam mengevaluasi pihak pria dari pasangan yang

infertil. Sampai saat ini, World Health Organization (WHO) telah menerbitkan

beberapa panduan untuk menyamaratakan prosedur analisa semen dan kriteria WHO

untuk pemeriksaan morfologi sperma telah diterima secara luas di laboratorium-

laboratorium andrologi di seluruh penjuru dunia (1,2). Pada 1990, Menkveld dkk.

memperkenalkan penilaian morfologi sperma dengan kriteria yang lebih ketat, kriteria

yang dikenal sebagai kriteria Tygerberg atau kriteria Strict ini meningkatkan objektifitas

dan memperkecil variabilitas intra-laboratorium (3). Namun, perbedaan sistem

klasifikasi memunculkan variasi antar- dan intra- laboratorium yang bermakna sebagai

akibat dari berbagai faktor seperti perbedaan teknik pembuatan apusan, pengalaman

teknisi dan interpretasi (4). Variasi-variasi seperti ini dapat menyebabkan kesulitan

interpretasi, kesalahan diagnosa, dan bahkan menyebabkan kebingungan. Untuk itu,

diperlukan minimalisasi dari variasi-variasi ini untuk mengeliminasi kesalahan

bermakna dan memastikan reproduksibilitas intra- dan antar- laboratorium.

Tujuan dari studi Penulis adalah untuk membandingkan dua kriteria penilaian

morfologi sperma: 1) apusan semen dengan Giemsa yang dinilai dengan kriteria WHO;

dan 2) apusan semen dengan Spermac yang dinilai dengan kriteria Strict. Penulis juga

ingin membandingkan variasi intra-laboratorium untuk pemeriksaan morfologi.

Menurut hemat penulis, artikel ini merupakan laporan pertama mengenai perbandingan

metode dan variasi intra-laboratorium di Kroasia.

Page 3: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

2

Materi dan Metode

Pasien

Spesimen-spesimen semen diperoleh dari 49 pasien pria yang datang berurutan dalam

batas usia 18 hingga 50 tahun. Pasien-pasien ini mendatangi Laboratorium Andrologi,

Departemen Kandungan dan Kebidanan Universitas, Rumah Sakit Pusat Universitas

Zagreb, untuk pemeriksaan fertilitas dalam rentang periode Mei hingga Juli 2007.

Semua subjek diminta untuk tidak berhubungan seksual sekurang-kurangnya selama 2

hari sebelum pemeriksaan.

Kriteria

Menurut kriteria WHO (1), normozoospermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi

sperma > 20 x 106 spermatozoa/mL, motilitas sperma progresif > 50%, atau sekurang-

kurangnya 25% spermatozoa dengan motilitas progresif liniar dan ≥ 30% spermatozoa

memiliki morfologi normal. Kriteria-kriteria ini hanya dapat diterapkan bila analisa

sperma dilakukan pada suhu 37 oC. Motilitas sperma sangat dipengaruhi oleh suhu dan

penilaian harus dilakukan dengan suhu yang terjaga (5). Dikarenakan analisa motilitas

pada Laboratorium Andrologi dilakukan pada suhu ruangan (22 oC), penulis harus

menyesuaikan kriteria motilitas sperma. Menurut kriteria yang telah dimodifikasi ini,

diagnosa astenozoospermia dapat ditegakkan bila ditemukan < 40% spermatozoa

dengan motilitas progresif ditemukan dalam sampel semen (5). Teratozoospermia

didiagnosa bila ditemukan < 30% morfologi spermatozoa normal dalam sampel semen

menurut kriteria WHO atau < 15% menurut kriteria Strict. Oligozoospermia adalah

hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma < 20 x 106 spermatozoa/mL. Sedangkan,

oligoastenozoopermia adalah hasil ejakulasi dengan konsentrasi sperma dan motilitas

yang rendah.

Page 4: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

3

Penilaian motilitas dan konsentrasi sperma

Evaluasi motilitas dan konsentrasi sperma dilakukan dengan menggunakan Autosperm,

sistem Amsaten Corp. (De Pinte, Belgia) untuk analisa ejakulasi. Setelah diencerkan, 10

µL semen diteteskan ke kaca preparat dan ditutup dengan cover slip (ukuran 22 x 22

mm). Analisa dilakukan pada suhu ruang dengan perbesaran 500x. Motilitas dinilai dari

persentasi spermatozoa yang motil:

a) Spermatozoa dengan motilitas linier dan progresif (kecepatan linier ≥ 22 µm/detik);

b) Spermatozoa dengan motilitas linier atau nonlinier lambat (kecepatan linier < 22

µm/detik dan kecepatan ≥ 5 µm/detik);

c) Lamban; dan

d) Spermatozoa tidak motil.

Penilaian morfologi sperma dengan kriteria WHO

Setelah diencerkan, 10 µL semen diapuskan ke kaca preparat dan diangin-anginkan

hingga kering pada suhu ruang. Apusan kemudian dicat dengan pewarnaan Giemsa dan

morfologi sperma dinilai dengan kriteria WHO (1). Dua pemeriksa yang berbeda

menghitung 200 sel untuk setiap preparat menggunakan mikroskop medan terang

dengan pembesaran hingga 1000x dan minyak emersi. Menurut kriteria WHO, sebuah

spermatozoon dianggap berbentuk normal bila memiliki bentuk kepala oval dan

akrosom menutupi 40%-70% area kepala. Spermatozoon normal tidak memiliki leher,

midpiece, kelainan ekor ataupun tetesan sitoplasmik yang melebihi 50% ukuran kepala

sperma.

Perhitungan leukosit dan sel tunas imatur

Leukosit dan sel-sel benih imatur (spermatid bulat, spermatosit dan spermatogonia)

dinilai dengan pengecatan Giemsa dan dihitung menggunakan Autosperm, sistem

Amsaten Corp. (De Pinte, Belgia) untuk analisa ejakulasi.

Page 5: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

4

Penilaian morfologi sperma dengan kriteria Strict

Setelah pengenceran dan sebelum pengecatan, sejumlah cairan semen dicuci dengan

medium pencucian sperma Quinn (Quinn’s Sperm Washing Medium), SAGE (USA) dan

disentrifugasi dengan kecepatan 300 g selama 10 menit. Supernatan dibuang dan 0.5

mL medium Quinn ditambahkan ke endapan. 10 µL semen yang sudah dicuci

diapuskan ke kaca perparat, difiksasi dan diangin-anginkan hingga kering. Apusan

dicuci dengan akuades dan dicat dengan pewarnaan Spermac, FertiPro (Beernem,

Belgia). Setelah pengecatan, apusan dicuci dengan akuades. Dua pemeriksa yang

berbeda menghitung 200 sel untuk masing-masing preparat menggunakan mikroskop

medan terang dengan perbesaran hingga 1000x dan minyak emersi. Kriteria Strict (3)

diterapkan untuk evaluasi, dimana spermatozoon dinyatakan normal bila memiliki

kepala oval, panjang 4.0-5.0 µm dan lebar 2.5-3.5 µm, diukur dengan mikrometer

okuler. Rasio panjang:lebar harus berada di antara 1.50-1.75. Spermatozoon normal

memiliki akrosom utuh yang menutupi 40%-70% area kepala. Midpiece tipis, lebar

kurang dari 1 µm, dengan panjang sekitar 1.5x kepala. Tetesan sitoplasma, bila ada,

tidak boleh melebihi setengah dari lebar kepala. Ekor tipis, seragam, tidak melingkar,

dengan panjang sekitar 45 µm. Menurut sistem klasifikasi ini, semua bentuk yang

meragukan dianggap abnormal (3).

Indeks Teratozoospermia

Indeks teratozoospermia (TZI) didefinisikan sebagai jumlah kelainan yang ditemui dari

setiap spermatozoon abnormal. Semua spermatozoa abnormal dapat memiliki satu

hingga empat kelainan, mencakup kelainan kepala, leher/midpiece dan ekor atau

adanya tetesan sitoplasma (1). Klasifikasi spermatozoa untuk TZI dilakukan di dalam

laboratorium. Spermatozoa dicatat dalam kategori normal atau abnormal dan dibagi

dalam kelompok yang lebih spesifik (kelompok kelainan kepala, leher/midpiece dan

ekor atau tetesan sitoplasma). Kelainan tersebut dijumlah lalu dibagi dengan jumlah

spermatozoa yang abnormal.

Page 6: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

5

Tes Eosin

Vitalitas dianalisa dengan pengeceatan apusan menggunakan eosin (1). Sperma vital

memiliki membran sel intak yang tidak akan terwarnai dan tetap putih dalam apusan,

sementara eosin berdifusi melalui membral sel yang rusak dari sperma yang sudah

tidak vital. Apusan dianginkan hingga kering dan evaluasi dilakukan dengan

menghitung spermatozoa yang tercat merah dan yang tidak tercat dengan optik medan

terang dan pembesaran maksimal 400x. Setidaknya 100 sel dihitung. Hasil ditampilkan

dalam bentuk persentasi (%) dari sperma eosin negatif (tidak tercat).

Analisa Statistik

Hasil digambarkan dengan nilai rerata aritmatik dan standar deviasi. Semua sampel

semen dinilai oleh satu pemeriksa. Perbedaan antara parameter semen dalam penilaian

dengan kriteria WHO dan kriteria Strict diuji dengan uji-t. Perbedaan parameter semen

dalam subgrup (normozoospermia, astenozoospermia, oligozoospermia dan

oligoastenozoospermia) dinilai dengan analisis varians 1-jalan. Kesetaraan pengamatan

diperiksa dalam evaluasi morfologi sperma baik dengan kriteria WHO maupun kriteria

Strict. Nilai Kappa dihitung sebagai ukuran kesepakatan antar pengamat. Hasil

dianalisa dengan program SPSS, SPSS Inc. (Chicago, USA).

Hasil

Parameter semen, dengan usia dan jumlah hari tanpa hubungan seksual ditampilkan

dalam Tabel 1. Pasien dibagi menjadi 4 kelompok sebagai berikut: normozoospermia,

astenozoospermia, oligozoospermia, dan oligoastenozoospermia. Tidak terdapat

perbedaan statistik bermakna dari usia atau jumlah hari tanpa hubungan seksual di

antara keempat kelompok. Namun, di antara empat kelompok tersebut terdapat

perbedaan yang bermakna menyangkut konsentrasi sperma, jumlah total sperma,

motilitas dan vitalitas (P < 0.001 untuk setiap parameter). Selain itu, volume semen dan

jumlah sel tunas imatur dari setiap kelompok juga berbeda secara bermakna (P = 0.029

dan 0.024, berurutan).

Page 7: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

6

Tabel 1. Parameter pasien dan cairan semen

Pasien N (N = 15) A (N = 13) O (N = 7) OA (N = 14) P

Usia (tahun) 34 ± 6 33 ± 6 37 ± 6 33 ± 7 0.413

Hari tanpa hubungan seksual

(hari) 4 ± 1 4 ± 2 2 ± 1 4 ± 2 0.258

Volume cairan semen (mL) 4.07 ± 1.25 3.73 ± 1.09 2.24 ± 0.82 3.22 ± 1.77 0.029

pH cairan semen 7.90 ± 0.21 7.92 ± 0.24 8.11 ± 0.38 7.97 ± 0.31 0.380

Sel tunas imatur (x 106 /mL) 2.36 ± 1.40 2.00 ± 2.30 0.71 ± 0.82 0.85 ± 0.50 0.024

Leukosit dalam cairan semen

(x 106 /mL) 0.16 ± 0.13 0.16 ± 0.26 0.61 ± 1.36 0.40 ± 0.57 0.316

Konsentrasi sperma

(x 106 /mL) 67.60 ± 28.11 35.04 ± 15.80 14.11 ± 4.45 9.56 ± 4.69 < 0.001

Jumlah sperma terhitung

(x 106) 268.92 ± 134.37 130.70 ± 63.74 32.47 ± 17.23 30.91 ± 21.57 < 0.001

Motilitas sperma

(tingkat a+b) (%) 53.60 ± 6.51 21.53 ± 11.70 49.42 ± 8.69 17.78 ± 10.78 < 0.001

Vitalitas sperma (%) 76.40 ± 4.74 53.23 ± 18.58 70.00 ± 5.03 46.42 ± 16.49 < 0.001

N – normozoospermia; A – astenozoospermia; O – oligozoospermia; OA - oligoastenozoospermia

Hasil penilaian morfologi sperma dan TZI ditampilkan dalam Tabel 2. Morfologi

sperma normal ditemukan sebanyak 18 dari 49 pria dengan kriteria WHO dan sebanyak

16 dari 49 pria dengan menggunakan kriteria Strict. Diagnosa teratozoospermia baik

dengan kriteria WHO dan kriteria ketat sama-sama berjumlah 45 dari 49 kasus.

Tabel 2. Hasil penilaian morfologi sperma

Pasien N (N = 15) A (N = 13) O (N =7) OA (N = 14)

WHO SC P WHO SC P WHO SC P WHO SC P

Morfologi Normal (%) 29 ± 8 16 ± 6 0.001 24 ± 9 11 ± 4 0.001 26 ± 9 14 ± 73 0.018 13 ± 7 6 ± 4 0.001

Kategori

kelainan

sperma

dalam

sampel

cairan

semen

Kelainan

kepala (%) 74 ± 4 71 ± 4 0.001 68 ± 4 66 ± 4 0.020 69 ± 2 66 ± 4 0.088 65 ± 7 63±7 0.031

Kelainan

leher dan

midpiece

(%)

12 ± 3 12 ± 4 0.551 15 ± 3 15 ± 3 0.964 14 ± 2 15 ± 2 0.752 14 ± 3 16 ± 3 0.005

Kelainan

ekor (%) 12 ± 3 15 ± 2 0.002 15 ± 3 18 ± 3 0.005 15 ± 2 17 ± 41 0.236 19 ± 4 19 ± 4 0.313

Tetesan

sitoplasmi

k (%)

2 ± 1 2 ± 1 1.000 2 ± 1 1 ± 1 0.527 2 ± 2 2 ± 1 0.655 2 ± 2 2 ± 1 0.132

Indeks

Teratozoo-

spermia

1.16 ±

0.42

1.27 ±

0.32 0.040

1.44 ±

0.09

1.47 ±

0.09 0.278

1.27 ±

0.81

1.46 ±

0.07 0.352

1.50 ±

0.13

1.46 ±

0.42 0.451

WHO – kriteria WHO; SC – kriteria Strict

N – normozoospermia; A – astenozoospermia; O – oligozoospermia; OA - oligoastenozoospermia

Page 8: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

7

Nilai rerata persentasi kelainan kepala sperma tampak lebih tinggi pada kelompok

normozoospermia, astenozoospermia dan oligoastenozoospermia dengan penilaian

morfologi sperma berdasarkan kriteria WHO bila dibandingkan dengan kriteria Strict

(P = 0.001, 0.020 dan 0.031, berurutan). Nilai rerata persentasi kelainan leher dan

midpiece sperma pada kelompok oligoastenozoospermia (P = 0.005) dan nilai rerata

persentasi kelainan ekor sperma pada kelompok normozoospermia dan

astenozoospermia secara bermakna lebih tinggi dengan penilaian menggunakan kriteria

Strict dibandingkan dengan kriteria WHO (P = 0.002 dan 0.005, berurutan). TZI

tampak lebih tinggi (P = 0.040) pada kelompok normozoospermia pada penilaian

morfologi dengan kriteria Strict dibandingkan dengan kriteria WHO.

Penulis mengamati adanya kesetaraan pengamatan untuk kedua kriteria

penilaian morfologi sperma. Kesetaraan pengamatan tampak sama baik untuk kriteria

WHO maupun kriteria Strict (kappa, 0.700 berbanding 0.715).

Diskusi

Temuan kunci dari studi penulis adalah perbandingan antara penilaian morfologi

sperma menurut kriteria WHO dan kriteria Strict menunjukkan kesetaraan maksimal

dalam mendiagnosa teratozoospermia. Selain itu, ditemukan kesetaraan pengamatan

yang baik untuk kedua kriteria dalam perbandingan variasi intra-laboratorium dari

penilaian morfologi.

Banyak penulis yang telah mempelajari efek dari perbedaan teknik pembuatan

preparat dan kriteria penelitian terhadap objektifitas penilaian morfologi dan variasi

intra-laboratorium. Namun, perbedaan rancangan penelitian menyebabkan kesulitan

dalam membandingkan hasil-hasil yang sudah diterbitkan dalam literatur. Pada 1993,

Meschede dkk. mempelajari efek dari tiga teknik pembuatan preparat yang berbeda,

yaitu Papanicolaou, pengecatan Shorr dan protokol ‘preparat basah’, terhadap hasil

penilaian morfologi sperma (6). Studi ini menunjukkan korelasi yang sangat rendah di

antara teknik-teknik tersebut; sehingga penulis merekomendasikan untuk menggunakan

satu saja metode pada laboratorium-laboratorium untuk memastikan hasil dari setiap

Page 9: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

8

laboratorium dapat dibandingkan. Peneliti lain (7,8) menemukan adanya korelasi yang

baik antara teknik-teknik pewarnaan yang digunakan dalam studi mereka. Inkonsistensi

dalam hasil penelitian ini mungkin diakibatkan telah adanya perbaikan dalam

standarisasi penilaian morfologi sperma dan juga perbaikan kendali mutu dari analisa

semen dalam 15 tahun terakhir ini. Hasil dari studi penulis ini menyerupai hasil dari

penelitian terakhir, membuktikan bahwa kesetaraan dapat dicapai bila klasifikasi sistem

disesuaikan dengan teknik pengecatan.

Pengecatan Giemsa, yang rutin digunakan di laboratorium penulis,

menghasilkan persentasi nilai rerata yang lebih tinggi dalam kelainan kepala pada

kelompok normozoospermia, astenozoospermia dan oligoastenozoospermia dengan

penilaian morfologi berdasarkan kriteria WHO dibandingkan dengan kriteria Strict. Hal

ini mungkin dikarenakan proses pengecatan seperti sampel yang tidak dicuci dan

pewarnaan serupa dari bagian sperma yang berbeda. Pada pengecatan dengan Spermac,

berbagai bagian sperma memberikan warna yang berbeda, yang memberikan persepsi

visual yang lebih baik dari kelainan-kelainan sperma.

Lebih lanjut, TZI juga secara bermakna dapat dipengaruhi oleh metode

pembuatan preparat (6). Namun, TZI nampaknya tidak terpengaruh oleh metode

pembuatan preparat dalam penelitian ini. Seperti yang sudah disebutkan, perbandingan

dari penilaian morfologi sperma dengan kedua kriteria tampak paling konsisten dalam

mendiagnosa teratozoospermia, sedangkan inkonsistensi terbesar ditemukan pada

kelompok normozoospermia.

Dari hasil penelitian Penulis, perbandingan variasi intra-laboratorium

menunjukkan kesetaraan antara kedua pengamat pada laboratorium penulis. Dimana

dalam sebuah studi terhadap 54 sampel semen dari delapan pria fertil dan 46 pasien

subfertil menggunakan sampel yang diencerkan dan dicuci lalu diwarnai dengan Diff-

Quick dan pewarnaan Papanicolaou, terdapat kesetaraan (variabilitas antar pemeriksa

untuk sample yang sudah diencerkan dan dicuci adalah 0.82 dan 0.93, berturutan) (9).

Dari kedua pemeriksa tersebut, satu adalah peneliti terlatih dengan pengalaman lebih

dari 5 tahun, dan lainnya adalah peneliti dengan pengalaman kurang dari 2 tahun.

Page 10: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

9

Pengalaman praktek dan penyesuaian dengan metode yang direkomendasikan

sangatlah penting dalam mendiagnosa teratozoospermia dan dapat memberikan efek

yang sangat besar dalam hasil penilaian morfologi sperma (10). Salah satu pemeriksa

dari tim penulis baru saja mempelajari penilaian morfologi sperma. Hal ini bisa jadi

menyebabkan kurangnya kesetaraan dalam penilaian. Meskipun demikian, hal ini

memberikan gambaran yang baik bagaimana pelatihan yang tepat, pemeriksaan apusan

yang cermat dan penyesuaian dengan sistem klasifikasi; akan memberikan hasil yang

sama dengan mereka yang sudah terlatih. Banyak peneliti (3, 4, 10, 13) menyertakan

hasil perbandingan intra-/antar- pemeriksa dan/atau intra-/antar- laboratorium.

Sayangnya, hasil-hasil ini sulit dibandingkan, karena perbedaan besar dalam rancangan

penelitian dan pengukuran variabilitas.

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, dapat disimpulkan bahwa penilaian

morfologi menggunakan kriteria WHO dan kriteria Strict tidak jauh berbeda dalam

mendiagnosa teratozoospermia dan kesetaraan dapat diperoleh bila semua persiapan

yang diperlukan dari praktek laboratorium yang baik telah dipertimbangkan sebelum

evaluasi morfologi.

Morfologi sperma merupakan salah satu parameter semen yang paling

berhubungan dengan kemampuan pembuahan in vivo (11) dan in vitro (12). Namun,

saat ini terjadi perdebatan mengenai tingkat kepercayaan dari hasil analisa semen (13).

Hal ini mengacu pada perlunya standarisasi dan pemantauan kualitas

berkesinambungan. Besar harapan penulis bahwa studi ini akan merangsang

laboratorium-laboratorium andrologi lain di Kroasia untuk menyelidiki kesetaraan

pemeriksa mereka. Hal ini dapat menjadi rangsangan yang baik untuk standarisasi

penilaian morfologi sperma pada tingkat nasional.

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini didukung oleh Kementerian Ilmu Pengetahuan, Pendidikan, dan Olahraga,

Republik Kroasia, nomor proyek 108-1080399-0384.

Page 11: Penilaian Morfologi Sperma Menurut Kriteria WHO Dan Strict

10

Daftar Pustaka

1. World Health Organization. WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and

Semen-Cervical Mucus Interaction. 3rd edition. Cambridge: Cambridge University Press; 1992.

2. World Health Organization. WHO Laboratory Manual for the Examination of Human Semen and

Semen-Cervical Mucus Interaction. 4th edition. Cambridge: Cambridge University Press; 1999.

3. Menkveld R, Stander FSH, Kotze TJVW, Kruger TF, van Zyl JA. The evaluation of morphological

characteristics of human spermatozoa according to stricter criteria. Hum Reprod 1990;5:586-92.

4. Coetzee K, Kruger TF, Lobard CJ, Shaughnessy D, Oehringer S, Özgür K, et al. Assessment of

interlaboratory and intralaboratory sperm morphology readings with the use of a Hamilton Thorne

Research integrated visual optical system semen analyzer. Fertil Steril 1999;71:80-4.

5. Jeyendran RS. Protocols for Semen Analysis in Clinical Diagnosis. London: Parthenon Publishing

Group; 2003. pp. 31-32.

6. Meschede D, Keck C, Zander M, Cooper TG, Yeung CH, Nieschlag E. Influence of three different

preparation techniques on the results of human sperm morphology analysis. Int J Androl

1993;16:362-9.

7. Menkveld R, Lacquet FA, Kruger TF, Lombard CJ, Sanchez Sarmiento CA, de Villiers A. Effects of

different staining and washing procedures on the results of human sperm morphology evaluation by

manual and computerised methods. Andologia 1997;29:1-7.

8. Henkel R, Schreiber G, Sturmhoefel A, Hipler UC, Zermann DH, Menkveld R. Comparison of three

staining methods for the morphological evaluation of human spermatozoa. Fertil Steril

2008;89:449-55.

9. Barroso G, Mercan R, Ozgur K, Morshedi M, Kolm P, Coetzee K, et al. Intra- and inter-laboratory

variability in the assessment of sperm morphology by strict criteria: impact of semen preparation,

staining techniques and manual versus computerized analysis. Hum Reprod 1999;14:2036-40.

10. Eustache f, Auger J. Inter-individual variability in the morphological assessment of human sperm:

effect of level of experience and the use of standard methods. Hum Reprod 2003;18:1018-22.

11. Guzick DS, Overstreet JW, Factor-Litvak P, Brazil CK, Nakajima ST, Coutifaris C, et al. Sperm

morphology, motility and concentration in fertile and infertile men. N Engl J Med 2001;345:1388-

93.

12. Kruger TF, Acosta AA, Simmons KF, Swanson RJ, Matta JF, Oehringer S. Predictive value of

abnormal sperm morphology in in vitro fertilization. Fertil Steril 1988;49:112-7.

13. Brooks AK. How reliable are results from the semen analysis? Fertil Steril 2004;82:41-4.