Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

15
23 PENGUATAN KETAHANAN PANGAN DAERAH UNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL Mewa Ariani Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jl. A. Yani No. 70 Bogor 16161 Abstrak Ketahanan pangan merupakan salah satu program utama di Indonesia. Tujuan paper ini menganalisis ketahanan pangan nasional saat ini dan kaitannya dengan penguatan ketahanan pangan daerah. Hasil kajian ketahanan pangan nasional membaik dengan ditunjukkan oleh peningkatan produksi pangan, ketergantungan pangan terhadap impor sangat kecil dan peningkatan konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan. Namun hal itu tidak menjamin di daerah, kasus busung lapar menunjukkan adanya permasalahan ketahanan pangan di daerah. Oleh karena itu, diperlukan penguatan ketahanan pangan daerah dengan melakukan advokasi kembali yang lebih intensif kepada pemerintah daerah sesuai dengan tugas, wewenang dan kesepakatan yang telah dibuat. Selain itu pemerintah daerah harus terus berupaya untuk mensosialisasi kelembagaan ketahanan pangan daerah yang telah terbentuk dan mendorong keikutsertaan swasta dan masyarakat agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah dengan memperhatikan aspek ketahanan pangan. Kata kunci : penguatan, ketahanan pangan daerah, ketahanan pangan nasional PENDAHULUAN Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDG) terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Salah satu tujuan besar dari kesepakatan tersebut adalah mengurangi bencana kelaparan dan kemiskinan ( http://millennium indicators.un.org). Membicarakan masalah kemiskinan tidak terlepas dari membahas masalah ketahanan pangan bahkan juga ketahanan gizi, karena kedua hal tersebut saling terkait. Disisi lain mengabaikan ketahanan pangan berarti membiarkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Dari Human Development Report (HDR) tahun 2003 diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia (yang ditentukan dengan indikator tingkat ekonomi, pendidikan dan kesehatan) hanya menempati urutan ke 112 dari 175 negara, merosot dari urutan ke 105 pada HDR tahun 1999 (Irawan, 2004).

description

ketahanan pangan

Transcript of Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

Page 1: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

23

PENGUATAN KETAHANAN PANGAN DAERAHUNTUK MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Mewa Ariani

Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan PertanianJl. A. Yani No. 70 Bogor 16161

Abstrak

Ketahanan pangan merupakan salah satu program utama di Indonesia. Tujuan paper ini menganalisis ketahanan pangan nasional saat ini dan kaitannya dengan penguatan ketahanan pangan daerah. Hasil kajian ketahanan pangan nasional membaik dengan ditunjukkan oleh peningkatan produksi pangan, ketergantungan pangan terhadap impor sangat kecil dan peningkatan konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan. Namun hal itu tidak menjamin di daerah, kasus busung lapar menunjukkan adanya permasalahan ketahanan pangan di daerah. Oleh karena itu, diperlukan penguatan ketahanan pangan daerah dengan melakukan advokasi kembali yang lebih intensif kepada pemerintah daerah sesuai dengan tugas, wewenang dan kesepakatan yang telah dibuat. Selain itu pemerintah daerah harus terus berupaya untuk mensosialisasi kelembagaan ketahanan pangan daerah yang telah terbentuk dan mendorong keikutsertaan swasta dan masyarakat agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah dengan memperhatikan aspek ketahanan pangan.

Kata kunci : penguatan, ketahanan pangan daerah, ketahanan pangan nasional

PENDAHULUAN

Kesepakatan global yang dituangkan dalam Millenium Development Goals (MDG) terdiri dari 8 tujuan, 18 target dan 48 indikator menegaskan bahwa tahun 2015 setiap negara menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990. Salah satu tujuan besar dari kesepakatan tersebut adalah mengurangi bencana kelaparan dan kemiskinan (http://millennium indicators.un.org). Membicarakan masalah kemiskinan tidak terlepas dari membahas masalah ketahanan pangan bahkan juga ketahanan gizi, karena kedua hal tersebut saling terkait.

Disisi lain mengabaikan ketahanan pangan berarti membiarkan rendahnya kualitas sumberdaya manusia. Dari Human Development Report (HDR) tahun 2003 diketahui bahwa Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia (yang ditentukan dengan indikator tingkat ekonomi, pendidikan dan kesehatan) hanya menempati urutan ke 112 dari 175 negara, merosot dari urutan ke 105 pada HDR tahun 1999 (Irawan, 2004).

Page 2: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

24

Bagi Indonesia dengan jumlah penduduk yang sangat besar (215 juta orang), masalah pangan selalu merupakan masalah yang sensitif. Sering terjadi gejolak politik karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga menjadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas (Sambutan Menko Perekonomian, 2005) Ketahanan pangan telah menjadi komitmen nasional berdasarkan pada pemahaman atas peran strategis dalam pembangunan nasional. Tiga aspek peran strategis tersebut antara lain adalah : 1) Akses terhadap pangan dan gizi yang cukup merupakan hak yang paling azasi bagi manusia. 2) Peranan penting pangan bagi pembentukan sumberdaya manusia yang berkualitas dan 3) Ketahanan pangan merupakan salah satu pilar utama yang menopang ketahanan pangan ekonomi dan ketahanan nasional ( Anonimous, 2003).

Komitmen Indonesia untuk mewujudkan ketahanan pangan tertuang pada Undang-Undang (UU) No. 7 tahun 1996 tentang Pangan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PP) No. 68 tentang Ketahanan Pangan. Ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Berkaitan dengan ketahanan pangan juga terdapat dalam Peraturan Presiden No. 7 tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang salah satunya bertujuan untuk mewujudkan ketahanan pangan baik pada tingkat rumah tangga, daerah maupun nasional. Pada tanggal 11 Juni 2005, pemerintah mencanangkan strategi kebijakan yang disebut Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Strategi tersebut bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan petani-hutan; meningkatkan daya saing produk pertanian, perikanan dan kehutanan; serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian, perikanan dan kehutanan (Kantor menko Perekonomian dkk, 2005). RPPK diawali dengan penegasan dan pengakuan atas posisi strategis dan peran multi fungsi pertanian, perikanan dan kehutanan yang salah satunya dikaitkan dengan ketahanan pangan. Makalah ini membahas situasi ketahanan pangan saat ini dan kaitannya dengan ketahanan pangan daerah.

SITUASI KETAHANAN PANGAN NASIONAL

Secara definisi, konsep ketahanan pangan telah jelas seperti telah disebutkan terdahulu. Namun dalam penjabarannya terdapat variasi dikarenakan konsep ketahanan pangan memang luas dan komplek menyangkut berbagai hal. Menurut Pribadi (2005) cakupan ketahanan pangan adalah : (1) Ketersediaan pangan yang mencakup produksi, cadangan dan pemasukan, (2) Distribusi/aksesibilitas mencakup fisik (mudah dijangkau) dan ekonomi (terjangkau daya beli), serta (3) Konsumsi mencakup mutu dan keamanan

Page 3: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

25

serta kecukupan gizi individu. Terdapat empat elemen untuk mencapai ketahanan pangan yaitu : (1) Tersedianya pangan yang cukup yang sebagian besar berasal dari produksi sendiri; (2) Stabilitas ketersediaan pangan sepanjang tahun, tanpa pengaruh musim; (3) Akses atau keterjangkauan terhadap pangan yang dipengaruhi oleh akses fisik dan ekonomi terhadap pangan, dan (4) Kualitas konsumsi pangan serta keamanan pangan.

Dalam bagian ini akan dianalisis perkembangan: (1) Ketersediaan dan kemandirian pangan; dan (2) Tingkat dan Kualitas konsumsi pangan. Dengan menganalisis aspek konsumsi pangan rumah tangga secara implisit sudah tercermin aspek keterjangkauan rumah tangga terhadap pangan, atau sudah masuk aspek harga pangan dan pendapatan rumah tangga karena faktor utama yang mempengaruhi konsumsi pangan adalah daya beli rumah tangga yang merupakan gabungan dari aspek pendapatan rumah tangga dan harga pangan. Analisis konsumsi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya mencapai sasaran ketahanan pangan secara keberlanjutan karena analisis konsumsi pangan adalah “entry point” analisis ketahanan pangan, khususnya di tingkat rumah tangga.

Perkembangan Produksi dan Kemandirian Pangan

Ketersediaan pangan merupakan prasyarat penting bagi keberlanjutan konsumsi, namun dinilai belum mencukupi (necessary but not sufficient) dalam konteks ketahanan pangan, karena masih banyak variabel yang berpengaruh untuk mencapai ketahanan pangan tingkat daerah dan rumah tangga. Oleh karena itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri (domestik). Bila terjadi kelebihan (surplus), pangan tersebut dapat diperdagangkan antar wilayah terutama bagi wilayah yang mengalami defisit pangan dan ekspor. Sebaliknya bila terjadi defisit, sebagian pangan untuk konsumsi dalam negeri dapat dipenuhi dari pasar luar negeri atau impor.

Gambaran perkembangan produksi dan kemandirian pangan dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan ketahanan pangan melalui berbagai kebijakan yang berkaitan langsung dan tidak langsung dengan pangan. Bahkan pemerintah telah menetapkan kebijakan swasembada pangan untuk lima komoditas penting yaitu beras, jagung, kedelai, daging sapi dan gula. Pada tahun 2004, Indonesia telah berswasembada beras dan terus diupayakan keberlanjutannya, sementara target swasembada jagung pada tahun 2007, gula tahun 2009, daging sapi tahun 2010 dan kedelai tahun 2015 (Dewan Ketahanan Pangan dan FAO, 2005).

Seperti terlihat pada Tabel 1, produksi beberapa jenis pangan sumber pangan nabati dan hewani di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Laju peningkatan pertumbuhan sekitar 1-13 persen per tahun selama periode 2001-2004 dengan peningkatan terkecil untuk komoditas beras dan terbesar komoditas buah-buahan. Permasalahan beras memang rumit karena beras yang harus disediakan untuk

Page 4: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

26

memenuhi kebutuhan dalam negeri dalam jumlah yang besar sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk dan berkembangnya industri pengolahan pangan dengan bahan baku beras. Di sisi lain, upaya peningkatan produksi beras menghadapi berbagai tantangan seperti konversi lahan sawah, rusaknya saluran irigasi dan stagnasi teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas padi.

Tabel 1. Perkembangan Produksi Pangan, 2000-2004 (000 Ton)

Komoditas 2000 2001 2002 2003 2004Laju

(%/th)

Pangan nabati

Padi

Jagung

Kedelai

Kacangtanah

Ubikayu

Ubijalar

Sayuran

Buah-buahan

M.kelapa sawit

Gula

Pangan hewani

Daging sapi

Daging unggas

Telur

Susu

Ikan

51.899

9.677

1.018

737

16.089

1.828

7.559

8.413

7.581

1.691

386

804

786

496

5.107

50.461

9.347

827

710

17.055

1.749

6.920

9.959

9.097

1.725

382

900

850

480

5.353

51.490

9.654

673

718

16.913

1.772

7.145

11.664

10.020

1.755

373

1.083

946

493

5.516

52.138

10.886

672

786

18.524

1.991

8.575

13.551

10.683

1.632

410

1.117

974

553

5.841

54.341

11.355

731

834

19.507

1.876

8.699

13.936

12.366

2.020

426

1.142

1.051

596

6.231

1,26

4,81

-9,30

3,57

4,71

1,83

5,06

12,72

11,21

3,20

2,73

8,85

7,10

5,21

4,88 Sumber : BPS, Berbagai tahun

Beras terlanjur sebagai pangan pokok utama bahkan juga pertama di berbagai daerah termasuk daerah yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok non beras seperti jagung, sagu dan umbi-umbian. Selain itu beras terlanjur sebagai komoditas politik dan publik yang melibatkan banyak pengambil kebijakan dan pelaku ekonomi.

Walaupun terjadi peningkatan produksi pangan namun tetap harus waspada terutama dalam aspek kestabilan pangan jangka panjang baik dari segi harga, volume maupun kestabilan antara wilayah. Kestabilan tersebut akan berpengaruh tidak hanya memacu terwujudnya ketahanan pangan tetapi juga ketahanan nasional, sebagai upaya untuk meredam timbulnya konflik-konflik yang muncul akibat kelangkaan pangan.

Page 5: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

27

Banyak kasus, huruhara yang terjadi di beberapa daerah atau kriminalitas akibat kelangkaan pangan atau harga pangan yang mahal.

Kemandirian pangan yang diukur dengan ketergantungan ketersediaan pangan terhadap impor dapat digunakan sebagai indikator kemampuan negara untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Dari angka rasio pada Tabel 2, ketergantungan pangan Indonesia terhadap impor sangat kecil. Impor beras pada tahun 2003 hanya 2,2 persen dari total ketersediaan beras domestik, sedangkan pada tahun 2004 penurunan menurun hanya 1,83 persen. Hanya komoditas jagung, kedelai, dan susu yang mempunyai rasio relatif tinggi dibandingkan jenis pangan yang lain. Kinerja ini lagi-lagi menunjukkan keberhasilan upaya pemerintah untuk terus memacu peningkatan produksi domestik.

Tabel 2. Perkembangan Rasio Impor Pangan terhadap Ketersediaan Pangan Domestik, 2001-2004 (%)

Komoditas 2001 2002 2003 2004Pangan nabatiBerasJagungKedelaiPangan hewaniDaging unggasSusuIkan

0,9914,2018,60

0,0039

2,00

2,6415,0021,20

0,0034,002.00

2,1612,5015,11

0,0035,002,12

1,8310,9562,29

0,0991,312,78

Sumber : BPS dalam Deptan 2004 dan Dewan Ketahanan Pangan, 2005

Keberhasilan dalam peningkatan produksi pangan juga terlihat dari tingkat ketersediaan energi dan proteinnya. Ketersediaan energi dan protein pada tahun 2004 masing-masing sebesar 3000 Kalori dan 74 gram per kapita per hari. Secara nasional, ketersediaan ini melebihi patokan ketersediaan energi dan protein yang dianjurkan hasil rekomendasi Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII, 2004 yaitu 2200 Kalori/kap/hari dan 57 gram/kap/hari.

Perkembangan Tingkat dan Kualitas Konsumsi Pangan

Persyaratan kecukupan (sufficiency condition) untuk mencapai keberlanjutan konsumsi pangan adalah adanya aksesibilitas fisik dan ekonomi terhadap pangan. Dengan demikian data konsumsi pangan secara riil menunjukkan kemampuan rumah tangga dalam mengakses pangan. Perkembangan tingkat konsumsi pangan secara implisit merefleksikan variabel pendapatan atau daya beli masyarakat. Variabel ini sebagai faktor utama dalam menentukan jumlah dan jenis pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga (Tabel 3).

Page 6: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

28

Pada kondisi sebelum krisis ekonomi, tingkat konsumsi pangan mengalami peningkatan, sebaliknya waktu krisis ekonomi terjadi penurunan konsumsi pangan. Pada masa krisis ekonomi terjadi penyesuaian (adjustment) strategi dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan pangan. Dengan daya beli yang menurun, masyarakat telah mengurangi jenis pangan yang harganya mahal dan mensubstitusi dengan jenis pangan dengan harga yang relatif murah seperti ditunjukkan oleh penurunan konsumsi pangan hewani dan peningkatan konsumsi tahu+tempe. Sehingga pada kondisi tersebut konsumsi pangan hewani yang harganya relatif mahal menurun dan sebaliknya konsumsi tahu dan tempe terjadi peningkatan. Karena sifat pangan hewani yang sangat elastis terhadap perubahan pendapatan, maka pada periode pemulihan ekonomi (1999-2002), konsumsi pangan hewani meningkat dan konsumsi tahu dan tempe menurun kembali. Secara umum, konsumsi pangan menunjukkan peningkatan seperti terlihat dari laju pertumbuhan yang bernilai positif.

Tabel. 3. Perkembangan Tingkat Konsumsi Pangan Secara Nasional Menurut Wilayah dan Jenis Pangan,1993-2002

Tingkat konsumsi (Kg/kap/th) Laju Pertumbuhan (%)Jenis Pangan

1993 1996 1999 2002 93-96 96-99 99-02Kota

- Beras- Ubikayu- Mie instant- Tahu+tempe- Daging sapi- Daging ayam- Telur ayam- Ikan segar- Ikan olahan

113,57,10,2

13,61,43,66,0

13,81,9

108,95,62,6

13,41,25,27,4

19,01,7

96,07,72,1

15,90,82,55,0

14,81,5

89,75,42,8

18,60,94,46,6

14,51,9

-4,1-21,11200-1,514,344,423,337,7

-10,5

-11,837,5

-26,918,7

-33,3-51,9-32,4-22,1-11,8

-6,6-9,933,317,012,576,032,02,0

26,7Desa

- Beras- Ubikayu- Mie instant- Tahu+tempe- Daging sapi- Daging ayam- Telur ayam- Ikan segar- Ikan olahan

123,715,80,18,60,31,63,3

11,83,0

121,09,81,2

10,00,32,74,6

14,62,8

111,8 12,2

1,010,80,31,23,1

12,22,4

109,614,41,5

13,90,31,53,9

12,62,7

-2,2-38,0110016,30,0

68,839,423,76,7

-7,624,5

-16,78,00,0

-55,6-32,6-16,4-14,3

-2,018,050,028,70,0

25,012,93,3

12,5Sumber : BPS, Susenas 1993,1996,1999,2002 (diolah)

Pencapaian ketahanan pangan tingkat rumah tangga juga dapat dilihat dari tingkat kecukupan konsumsi energi dan protein. Konsumsi energi dan protein rumah tangga dari tahun ke tahun juga menunjukkan peningkatan bahkan sudah melebihi

Page 7: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

29

anjuran terutama untuk kebutuhan protein. Berdasarkan hasil WNPG VI, tahun 1998, rata-rata konsumsi energi dan protein yang dianjurkan untuk penduduk Indonesia adalah 2200 Kalori/kapita/hari dan 48 gram/kapita/hari.

Sebetulnya tingkat kecukupan konsumsi energi menunjukkan peningkatan pada kondisi sebelum krisis yaitu dari 87,4 persen menjadi 94,0 persen; namun dengan adanya krisis ekonomi, konsumsi energi menurun hampir 10 persen baik di kota maupun di desa. Walaupun pada periode1999-2002, tingkat konsumsi energi meningkat sekitar 6 persen namun tingkat konsumsi energi masih belum kembali seperti pada waktu sebelum krisis ekonomi.

Tabel 4. Perkembangan Konsumsi Energi dan Protein Secara Nasional Menurut Wilayah, 1993-2002

Wilayah 1993 1996 1999 2002Energi(Kal/kap/hr)

Kota 1763(82,0)

1983(92,3)

1802(81,9)

1954 (88,8)

Desa 1937(90,1)

2040(94,9)

1879(85,5)

2013(91,5)

Kota + Desa 1879(87,4)

2019(94,0)

1849(84,0)

1987(90,3)

Protein (gr/kap/hr)Kota 45,3

(98,3)55,9

(121,0)49,3

(102,7)55,9

(116,7)Desa 45,6

(98,7)53,7

(116,2)48,2

(100,4)53,2

(110,8)Kota + Desa 45,5

(98,5)54,5

(118,0)48,6

(101,5)54,4

(113,3)Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan tingkat kecukupan Energi dan Protein .Sumber : BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)

Kualitas konsumsi pangan yang diukur dengan konsep Pola Pangan Harapan (PPH), juga menunjukkan peningkatan. Skor mutu pangan terus meningkat dari 66,2 tahun 1993 menjadi 69,8. Namun pada waktu krisis ekonomi, kualitas konsumsi pangan menurun menjadi 62,4. Hal yang menggembirakan walaupun tingkat konsumsi energi pada tahun 2002 masih lebih kecil dibandingkan dengan kondisi sebelum krisis ekonomi namun kualitas konsumsi pangannya menunjukkan kebalikannya. Kondisi pemulihan ekonomi telah mampu meningkatkan kualitas konsumsi pangan yang ditunjukkan dengan skor mutu pangan mencapai 71,8. Hal ini juga mengindikasikan bahwa masyarakat telah mulai berubah dalam konsep pangan yang sudah mengarah pada terjadinya diversifikasi konsumsi pangan dengan menganekaragamkan jenis pangan yang dikonsumsi. Seperti terlihat pada Tabel 5, konsumsi energi dari pangan hewani, kacang-kacangan dan sayur+buah meningkat secara signifikan.

Page 8: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

30

Tabel 5. Perkembangan Konsumsi Energi dan Kualitas Konsumsi Pangan Menurut Pola Pangan Harapan (PPH), 1993-2002

Konsumsi energi (Kalori/kapita/hari)No. Kelompok Pangan

1993 1996 1999 20021 Padi - padian 1348 1328 1240 12462 Umbi – umbian 101 68 69 683 Pangan hewani 97 124 88 1284 Minyak + lemak 155 175 171 2025 Buah/biji berminyak 62 51 41 506 Kacang – kacangan 53 62 54 737 Gula 97 100 92 1038 Sayur + buah 82 83 70 849 Minuman dan bumbu 41 29 26 34

Total 2035 2022 1851 1988Skor PPH 66,2 69,8 62,4 71,8

Sumber : BPS, Susenas 1993, 1996, 1999, 2002 (diolah)Keterangan: Skor PPH merupakan penjumlahan dari persentase konsumsi energi masing-

masing kelompok pangan dikalikan dengan pembobotnya

PERLUNYA PENGUATAN KETAHANAN PANGAN DAERAH

Situasi ketahanan pangan secara nasional dari waktu ke waktu telah membaik. Sebagian besar produksi pangan mengalami peningkatan dan rasio impor pangan terhadap ketersediaan pangan dalam negeri juga relatif kecil. Bahkan ketersediaan pangan dalam bentuk energi dan protein sudah melebihi dari yang dianjurkan. Namun dengan memperhatikan kinerja ketahanan pangan secara nasional saja tidaklah cukup. Kenyataannya permasalahan kurang gizi dan kualitas sumberdaya manusia muncul dimana-mana.

Munculnya kembali kasus gizi buruk yang pada awalnya terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat, kemudian diikuti oleh provinsi-provinsi lainnya menunjukkan bahwa walaupun secara nasional ketersediaan pangan membaik namun masih terjadi masalah gizi di masyarakat. Dari Tabel Lampiran 1 menunjukkan bahwa keragaan jumlah anak dengan gizi buruk antar daerah atau provinsi adalah berbeda. Data Departemen Kesehatan tentang prevalensi anak gizi buruk, terdapat provinsi yang dengan kategori rendah, tinggi dan sangat tinggi. Secara nasional, pada tahun 2003 terdapat sekitar 27,5 persen balita menderita gizi kurang, namun demikian terdapat 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi gizi kurang (termasuk gizi buruk) diatas 30 persen, yang menurut WHO dikelompokkan sangat tinggi (Depkes, 2004).

Gizi buruk atau dalam masyarakat sering disebut busung lapar adalah bentuk terparah dari proses terjadinya kekurangan gizi menahun. Gizi buruk yang disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor. Gizi buruk secara

Page 9: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

31

langsung maupun tidak langsung akan menurunkan kecerdasan anak, mengganggu pertumbuhan dan perkembangan serta menurunkan produktivitas, yang pada akhirnya menurunkan kualitas sumberdaya manusia. Dari aspek penyebab, gizi buruk sangat terkait dengan kondisi daya beli keluarga, tingkat pendidikan dan pola asupan gizi keluarga serta keadaan kesehatan.

Sementara itu kualitas sumberdaya manusia di setiap provinsi yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) juga masih jelek dan berbeda antar provinsi. Provinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara Indonesia yang IPMnya menduduki ranking 1, sedangkan Provinsi Nusa Tenggara Barat yang merupakan lumbung pangan, ranking IPMnya paling rendah yaitu 30 (Tabel Lampiran 2).

IPM merupakan indeks komposit yang terdiri dari umur harapan hidup, tingkat melek huruf dan pendapatan perkapita. Kondisi ini menunjukkan bahwa di setiap daerah mempunyai permasalahan yang berbeda-beda sebagai akibat perbedaan penguasaan teknologi, kelembagaan pendukung, sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan infrastruktur fisik yang berbeda.

Adanya perbedaan-perbedaan permasalahan dan potensi atau sumberdaya di setiap daerah tersebut mengharuskan kebijakan pangan terutama terkait dengan ketahanan pangan tidak bisa lagi dilihat secara general atau nasional tetapi harus spesifik daerah agar program-program dapat dilaksanakan dengan baik, tepat sasaran, dan berdampak nyata. Apalagi Indonesia telah berkomitmen untuk menurunkan kemiskinan seperti yang diamanatkan oleh MDG. Jumlah penduduk yang harus dientaskan dari kemiskinan adalah 7 juta orang per tahun selama 10 tahun (Dewan Ketahanan Pangan dan FAO, 2005).

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 tahun 2002 tentang ketahanan pangan dalam Bab VI Pasal 13 ayat 1 tertulis dengan jelas bahwa “Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dan atau Pemerintah Desa melaksanakan kebijakan dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat”. Untuk menguatkan peran dan tanggung jawab pemerintah daerah juga ada kesepakatan bersama Gubernur/ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi yang salah satunya adalah “Untuk mengembangkan berbagai program dan kegiatan ketahanan pangan yang komprehensif serta berkesinambungan dalam rangka memantapkan ketahanan pangan nasional”. Program dan kegiatan tersebut menjadi prioritas program pembangunan daerah.

Dengan memperhatikan hal tersebut diatas seharusnya kasus munculnya busung lapar tidak akan terjadi, karena kesepakatan telah dibuat dua tahun sebelum kasus tersebut muncul. Hal ini menunjukkan telah terjadi penyimpangan dari kesepakatan yang telah dibuat oleh Pemerintah Daerah. Situasi peningkatan ketahanan pangan tingkat daerah memang menghadapi kendala karena aparat tingkat daerah masih disibukkan oleh masalah politik terkait dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung dan sebagainya.

Page 10: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

32

Kegiatan tersebut telah menyita waktu dan dana pemerintah daerah, sehingga pembangunan ketahanan pangan dan pembangunan daerah secara umum ada kesan agak terabaikan. Seorang aparat di provinsi Nusa Tenggara Timur mengatakan tidak ada yang mikir ketahanan pangan, tetapi yang dipikir adalah bagaimana bisa menjadi kepala daerah. Juga dana untuk program ketahanan pangan dipakai untuk hajatan pilkada, sehingga alokasi dana APBD untuk program ketahanan pangan berkurang.

Situasi seperti tersebut di atas tidak boleh terus menerus terjadi karena dampaknya akan besar tidak hanya terjadinya rawan pangan pada masyarakat tetapi dalam jangka panjang akan berpengaruh negatif pada kualitas sumberdaya manusia, yang pada gilirannya menurunkan daya saing bangsa Indonesia di kancah pergaulan dunia. Oleh karena itu penguatan ketahanan pangan daerah adalah solusi untuk mewujudkan ketahanan nasional dan upaya untuk mencapai kualitas sumberdaya manusia yang berkualitas tinggi.

Sejalan dengan otonomi daerah yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 dan PP No. 25 tahun 2000, maka pelaksanaan manajemen pembangunan ketahanan pangan di pusat dan daerah yang dijabarkan dalam program pembangunan sistem ketahanan pangan, diletakkan sesuai dengan peta kewenangan pemerintah. Berkaitan dengan penguatan ketahanan pangan daerah maka :

1. Pemerintah pusat meningkatkan advokasi kembali kepada pemerintah daerah tentang tugas, tanggung jawab dan pentingnya ketahanan pangan daerah seperti yang diamanatkan dalam PP no. 68 dan kesepakatan bersama Gubernur/Ketua Dewan ketahanan Pangan Provinsi. Pemerintah daerah mempunyai kewajiban untuk mencegah terjadinya rawan pangan yang berarti terus berupaya untuk meningkatan ketahanan pangan daerah. Jika diperlukan pemerintah pusat dapat memberi sangsi kepada pemerintah daerah apabila pemerintah daerah tidak melakukannya,sebaliknya pemerintah pusat memberi penghargaan apabila ketahanan pangan daerah dapat terwujud.

2. Penguatan kelembagaan ketahanan pangan daerah. Terwujudnya ketahanan pangan daerah adalah tugas bersama, pemerintah, swasta dan masyarakat dari tingkat provinsi sampai tingkat desa. Di daerah telah terbentuk lembaga ketahanan pangan seperti Dewan Ketahanan Pangan Provinsi, namun tampaknya lembaga ini masih belum berfungsi optimal dan belum melibatkan berbagai unsur dalam masyarakat. Sehingga sering muncul konsep ketahanan pangan yang salah dengan menganggap ketahanan pangan identik dengan beras dan yang bertanggung jawab adalah Dinas Tanaman Pangan. Untuk itu, pemerintah daerah harus terus berupaya untuk mendorong mensosialisasi kelembagaan tersebut dan mendorong keikutsertaan swasta dan masyarakat agar memiliki kesempatan berperan seluas-luasnya untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah.

3. Sesuai dengan tugas yang diembannya, pemerintah pusat berperan dalam memfasilitasi penciptaan kondisi yang kondusif melalui penetapan kebijakan

Page 11: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

33

makro yang terkait langsung dan tidak langsung dengan terwujudnya ketahanan pangan nasional serta memberi peluang kepada masyarakat dan swasta untuk berkiprah dalam pembangunan ketahanan pangan.

Dengan memperhatikan simpul-simpul tersebut, diharapkan terjadinya penguatan peran lembaga ketahanan pangan daerah dan peningkatan partisipasi masyarakat dan swasta untuk meningkatkan ketahanan pangan daerah. Yang harus diperhatikan bahwa ketahanan pangan mencakup berbagai aspek dari ketersediaan pangan, distribusi pangan sampai ke konsumsi tingkat rumah tangga dan individu. Dengan demikian kebijakan dan program yang ditetapkan juga harus mengacu pada aspek-aspek tersebut.

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

Kesimpulan

Produksi pangan nabati dan pangan hewani di Indonesia menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Laju peningkatan pertumbuhan sekitar 1-13 persen per tahun selama periode 2001-2004 dengan peningkatan terkecil untuk komoditas beras dan terbesar komoditas buah-buahan. Ketersediaan energi dan protein pada tahun 2004 sebesar 3000 Kalori dan 74 gram per kapita per hari, lebih tinggi dari yang dianjurkan pada WNPG VIII (2004). Kemandirian pangan yang dilihat dari ketergantungan pangan Indonesia terhadap impor sangat kecil. Hanya komoditas beras, kedelai dan susu yang mempunyai rasio relatif tinggi dibandingkan jenis pangan yang lain.

Pada kondisi sebelum krisis ekonomi, tingkat konsumsi pangan mengalami peningkatan, namun pada waktu krisis ekonomi sebagian besar jenis pangan mengalami penurunan. Pemulihan ekonomi mampu meningkatkan konsumsi pangan yang ditunjukkan oleh laju pertumbuhan tahun 1999-2002 bernilai positif. Konsumsi energi, protein dan kualitas konsumsi pangan juga membaik pada tahun 2002. Konsumsi pangan hewani, sayur+buah dan kacang-kacangan lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya.

Prevalensi gizi buruk dan kualitas sumberdaya manusia adalah berbeda di setiap daerah sesuai dengan permasalahan dan potensi daerahnya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional harus dimulai dengan penguatan ketahanan pangan daerah yaitu dengan melakukan advokasi kembali yang lebih kepada pemerintah daerah.

Implikasi Kebijakan

Meskipun kemandirian pangan cukup baik, namun ketergantungan terhadap impor beberapa komoditas pangan beras, jagung, kedelai, dan susu relatif tinggi perlu

Page 12: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

34

mendapatkan perhatian serius. Kebijakan operasional untuk ketiga komoditas tersebut diarahkan pada percepatan inovasi dan adopsi teknologi baik pada aspek perbenihan/pembibitan, teknologi budidaya spesifik lokasi, serta revitalisasi pada industri pengolahan hasil, sehingga produktivitas dan mutu hasil dapat ditingkatkan. Kebijakan proteksi melalui penerapan tarif impor serta kebijakan subsidi input dan kebijakan insentif lainnya dapat terus dilakukan sejauh dalam batas-batas kesepakatan GATT.

Pentingnya melakukan kebijakan stabilisasi makro ekonomi baik melalui kebijakan moneter maupun fiskal yang mampu menggerakkan sektor riil terutama sektor pertanian dan agroindustri di pedesaan serta penataan sektor informal di perkotaan yang dapat membuka kesempatan kerja dan kesempatan berusaha, sehingga sektor UKM tidak rentan terhadap gejolak eksternal.

Penguatan ketahanan pangan daerah dilakukan dengan melakukan advokasi kembali yang lebih intensif kepada pemerintah daerah karena sesuai PP No.68 tentang Ketahanan Pangan, pemerintah daerah mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah. Bersamaan dengan hal tersebut, pemerintah daerah harus terus berupaya untuk mensosialisasi kelembagaan ketahanan pangan daerah yang telah terbentuk dan mendorong keikutsertaan swasta dan masyarakat turut berperan untuk mewujudkan ketahanan pangan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2003. Analisis Ketahanan Pangan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah. Kerjasama Badan Bimas Ketahanan Pangan, Deptan dengan Puslitbang Sosial Ekonomi Pertanian, Deptan.

Badan Bimas Ketahanan Pangan. Departemen Pertanian. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan. 2003.

BPS. 1993. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statisik. Jakarta.

BPS. 1996. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statisik. Jakarta.

BPS. 1999. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statisik. Jakarta.

BPS. 2002. Survei Sosial Ekonomi Nasional. Badan Pusat Statisik. Jakarta.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Jakarta

Departemen Pertanian. 2004. Kinerja Sektor Pertanian Tahun 2000-2003. Jakarta.

Dewan Ketahanan Pangan dan FAO. 2005. Kebijakan Umum Ketahanan Pangan. Makalah disampaikan pada Perumusan Program Ketahanan Pangan Nasional, di Hotel Kemang, tanggal 12 September 2005.

Irawan,P.B. 2004. Peranan Pembangunan Manusia dalam Mendukung Pemantapan

Ketahanan Pangan. Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 17-19 Mei. LIPI, Jakarta

Page 13: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

35

Menko Perekonomian, Departemen Pertanian,Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Kehutanan. 2005. Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan 2005. Ringkasan. Jatiluhur. 11 Juni.

Pribadi, N. 2005. Program Ketahanan Pangan : Konsep dan Implementasinya. Makalah disampaikan pada Penyusunan Indikator Kinerja Program Ketahanan Pangan di Bappenas, tanggal 15 Agustus 2005.

Sambutan Menko Bidang Perekonomian. Rapat Koordinasi Evaluasi Inpres 2/2005 dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Bidang Pangan. 20 Juli 2005. Jakarta

Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Hasil Konperensi Dewan Ketahanan Pangan 2002. Jakarta.

Statistics Division. Millenium Development Goal Indicators Database. 30 July 2005. http://millennium indicators.un.org.

Page 14: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

36

Tabel Lampiran 1. Prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang Menurut Provinsi di Indonesia, 2003

ProvinsiGizi

Buruk (%)

Gizi Kurang

(%)

Gizi Baik (%)

Gizi Lebih (%)

Gizi Buruk +Gizi Kurang

(%)

Status provinsi

1 Bali 3,58 12,60 80,84 2,99 16,18 Rendah2 DI Yogyakarta 4,04 12,46 81,08 2,42 16,49 Rendah3 Jambi 2,75 18,37 77,06 1,82 21,12 Tinggi4 DKI-Jaya 5,93 15,60 72,77 5,70 21,53 Tinggi5 Sultra 5,93 16,60 74,63 2,84 22,52 Tinggi6 Jatim 5,88 17,05 74,71 2,36 22,92 Tinggi7 Jabar 5,46 17,74 73,38 3,42 23,20 Tinggi8 Sulut 8,37 16,40 70,23 5,00 24,77 Tinggi9 Jateng 5,80 19,12 73,28 1,80 24,91 Tinggi

10 Maluku Utara 8,89 16,48 66,88 7,75 25,36 Tinggi11 Sumbar 7,03 18,39 73,02 1,56 25,42 Tinggi12 Kaltim 8,47 17,64 72,89 1,00 26,11 Tinggi13 Bengkulu 7,52 18,68 70,62 3,19 26,20 Tinggi14 Banten 8,17 18,37 70,74 2,72 26,54 Tinggi15 Riau 9,86 17,23 70,95 1,96 27,09 Tinggi16 Lampung 7,40 20,39 69,72 2,48 27,79 Tinggi17 Kalteng 9,05 19,16 68,11 3,68 28,21 Tinggi18 Bangka Belitung 9,30 20,00 67,04 3,66 29,30 Tinggi19 Sumsel 10,15 19,59 66,78 3,48 29,75 Tinggi20 Maluku 8,89 21,20 68,89 1,03 30,09 Sangat tinggi21 Sulteng 9,34 21,27 65,88 3,51 30,61 Sangat tinggi22 Sulsel 10,07 20,59 67,97 1,37 30,66 Sangat tinggi23 Papua 14,32 16,44 64,13 5,11 30,76 Sangat tinggi24 Sumut 12,35 18,59 66,49 2,57 30,94 Sangat tinggi25 Kalsel 9,35 22,72 64,92 3,01 32,07 Sangat tinggi26 NTB 10,43 23,83 63,51 2,23 34,26 Sangat tinggi27 Kalbar 13,28 24,13 60,54 2,05 37,41 Sangat tinggi28 NTT 12,52 25,93 60,10 1,46 38,44 Sangat tinggi29 Gorontolo 21,48 24,62 52,01 1,88 46,11 Sangat tinggi

Total 8,31 19,19 70,04 2,46 27,50Sumber: Depkes 2004, Aceh tidak dikumpulkan data antropometri

Page 15: Penguatan Ketahanan Pangan Daerah 3

37

Tabel Lampiran 2. Status Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Indonesia, 2003

Provinsi IPM UrutanJakarta 75,6 1SULUT 71,3 2Yogyakarta 70,8 3KALTIM 70,0 4Riau 69,1 5KALTENG 69,1 6SUMUT 68,8 7SUMBAR 67,5 8Bali 67,5 9Jambi 67,1 10Banten 66,6 11Maluku 66,5 12JATENG 66,3 13Bengkulu 66,2 14NAD 66,0 15SUMSEL 66,0 16Malut 65,8 17JABAR 65,8 18Lampung 65,8 19BABEL 65,4 20SULSEL 65,3 21SULTENG 64,4 22KALSEL 64,3 23SULTRA 64,1 24JATIM 64,1 25Gorontalo 64,1 26KALBAR 62,9 27NTT 60,3 28Papua 60,1 29NTB 57,8 30

Keterangan : IPM = Indeks komposit yang terdiri dari umur harapan hidup, tingkat melek huruf dan pendapatan per kapita.