Pengobatan TB

30
Pengobatan TB Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2 Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin. Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2 Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan, maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah : Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT) diberikan dalam bentuk kombinasi 1

Transcript of Pengobatan TB

Page 1: Pengobatan TB

Pengobatan TB

Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah

antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium.Aktifitas

obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu aktifitas membunuh bakteri, aktifitas

sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum dipakai adalah Isoniazid,

Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat ini disebut

sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal

membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin.Rifampisin dan

pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi. 2

Sedangkan obat lain yang juga pernah dipakai adalah Natrium Para Amino

Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, Kanamisin, Rifapentin dan Rifabutin.

Natrium Para Amino Salisilat, Kapreomisin, Sikloserin, Etionamid, dan Kanamisin

umumnya mempunyai efek yang lebih toksik, kurang efektif, dan dipakai jika obat

primer sudah resisten. Sedangkan Rifapentin dan Rifabutin digunakan sebagai

alternatif untuk Rifamisin dalam pengobatan kombinasi anti TB. 2

Sesuai dengan sifat kuman TB, untuk memperoleh efektifitas pengobatan,

maka prinsip-prinsip yang dipakai adalah :

Menghindari penggunaan monoterapi. Obat Anti Tuberkulosis (OAT)

diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis obat, dalam jumlah

cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Hal ini untuk

mencegah timbulnya kekebalan terhadap OAT.

Untuk menjamin kepatuhan penderita dalam menelan obat, pengobatan

dilakukan dengan pengawasan langsung (DOT = Directly ObservedTreatment)

oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).

Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari dan

perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan

1

Page 2: Pengobatan TB

obat. Sebagian besar penderita TB BTA positif menjadi BTA negatif

(konversi) dalam 2 bulan.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun

dalam jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untuk

membunuh kuman persister (dormant)sehingga mencegah terjadinya

kekambuhan

Regimen pengobatan TB mempunyai kode standar yang menunjukkan tahap

dan lama pengobatan, jenis OAT, cara pemberian (harian atau selang) dan kombinasi

OAT dengan dosis tetap. Contoh : 2HRZE/4H3R3 atau2HRZES/5HRE. Kode huruf

tersebut adalah akronim dari nama obat yang dipakai, yakni : 2

H = Isoniazid

R = Rifampisin

Z = Pirazinamid

E = Etambutol

S = Streptomisin

2

Page 3: Pengobatan TB

Sedangkan angka yang ada dalam kode menunjukkan waktu atau frekwensi.Angka 2

didepan seperti pada “2HRZE”, artinya digunakan selama 2 bulan, tiap hari satu kombinasi

tersebut, sedangkan untuk angka dibelakang huruf, seperti pada “4H3R3” artinya dipakai 3

kali seminggu ( selama 4 bulan).

Kemasan obat dalam bentuk :

Obat tunggal,

Obat disajikan secara terpisah, masing-masing INH, Rifampisin, Pirazinamid dan

Etambutol.

Obat kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination – FDC)

Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet

Tabel 1. Panduan OAT dalam Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di IndonesiaKategori 1 • 2HRZE/4H3R3

Kategori 2 • 2HRZES/HRZE/5H3R3E3

OAT sisipan • HRZE

Kategori anak • 2HRZ/4HR

1. Kategori-1 (2HRZE/4H3R3)1

Tahap intensif terdiri dari HRZE diberikan setiap hari selama 2 bulan. Kemudian

diteruskan dengan tahap lanjutan yang terdiri dari HR diberikan tiga kali dalam

seminggu selama 4 bulan. Lama pengobatan seluruhnya 6 bulan

Obat ini diberikan untuk:

• Penderita baru TB Paru BTA Positif.

• Penderita baru TB Paru BTA negatif Röntgen Positif

• Penderita TB Ekstra Paru, kasus baru

2. Kategori -2 (2HRZES/HRZE/5H3R3E3) 1

Tahap intensif diberikan selama 3 bulan, yang terdiri dari 2 bulan dengan HRZES

setiap hari.Dilanjutkan 1 bulan dengan HRZE setiap hari. Setelah itu diteruskan

3

Page 4: Pengobatan TB

dengan tahap lanjutan selama 5 bulan dengan HRE yang diberikan tiga kali dalam

seminggu. Lama pengobatan 8 bulan.

Obat ini diberikan untuk penderita TB paru BTA(+) yang sebelumnya pernah diobati,

yaitu:

• Penderita kambuh (relaps)

• Penderita gagal (failure)

• Penderita dengan pengobatan setelah lalai (after default).

3. OAT Sisipan (HRZE)1

Bila pada akhir tahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori

1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2, hasil pemeriksaan

dahak masih BTA positif, diberikan obat sisipan (HRZE) setiap hari selama 1 bulan.

Paduan OAT Sisipan untuk penderita dengan berat badan antara 33 – 50 kg: 1 tablet

Isoniazid 300 mg, 1 kaplet Rifampisin 450 mg, 3 tablet Pirazinamid 500mg, 3 tablet

Etambutol 250 mg Satu paket obat sisipan berisi 30 blister HRZE yang dikemas

dalam 1 dos kecil.

Tabel 2. Jenis dan dosis OAT1

ObatDosis

(mg/KgBB/hr)

Dosis yg dianjurkanDosisMaks (mg)

Dosis mg/KgBBHarian (mg/KgBB/hr)

Intermitten (mg/KgBB/kali)

<40 40-60 >60

R 8-12 10 10 600 300 450 600H 4-6 5 10 300 150 300 450Z 20-30 25 35 750 1000 1500E 15-20 15 35 750 1000 1500S 15-18 15 15 1000 Sesuai BB 750 1000

Saat ini tersedia juga obat TB yang disebut Fix Dose Combination (FDC). Obat ini

pada dasarnya adalah regimen dalam bentuk kombinasi, namun didalam tablet yang ada

sudah berisi 2,3 atau 4 campuran OAT dalam satu kesatuan.WHO sangat menganjurkan

pemakaian OAT-FDC karena beberapa keunggulan dan keuntungannya dibandingkan dengan

OAT dalam bentuk kombipak apalagi dalam bentuk lepas.

Keuntungan penggunaan OAT FDC:

4

Page 5: Pengobatan TB

a. Mengurangi kesalahan peresepan karena jenis OAT sudah dalam satu kombinasi tetap

dan dosis OAT mudah disesuaikan dengan berat badan penderita.

b. Dengan jumlah tablet yang lebih sedikit maka akan lebih mudah pemberiannya dan

meningkatkan penerimaan penderita sehingga dapat meningkatkan kepatuhan

penderita.

c. Dengan kombinasi yang tetap, walaupun tanpa diawasi, maka penderita tidak bisa

memilih jenis obat tertentu yang akan ditelan.

d. Dari aspek manajemen logistik, OAT-FDC akan lebih mudah pengelolaannyadan

lebih murah pembiayaannya.3

Tabel 3. Jenis OAT FDC2

Fase Intensif Fase Intensif2 bulan 4 bulan

BB Harian Harian 3x/minggu Harian 3x/mingguRHZE

150/75/400/275

RHZ150/75/400

RHZ150/150/500

RH150/75

RH150/150

30-3738-5455-70>71

2345

2345

2345

2345

2345

Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang

telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas

dosis terapi dan non toksik. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut,

bila mengalami efek samping serius harus dirujuk kerumah sakit / dokter spesialis paru /

fasilitas yang mampu menanganinya.2

4. Kategori Anak

Diagnosis TB anak ditegakkan berdasarkan anamnesis yang cermat dan teliti

(termasuk riwayat kontak dengan pasien TB dewasa), pemeriksaan fisis termasuk analisis

terhadap kurva pertumbuhan serta hasil pemeriksaan penunjang uji tuberkulin, radiologi,

serta pemeriksaan sputum BTA bila memungkinkan.)

Pada anak, batuk bukan merupakan gejala utama TB. Pada anak sangat sulit sekali

mengambil sampel dahak, maka diagnosis TB anak dapat menggunakan criteria lain yaiotu

denganb menggunakan system pembobotan (scoring system). Apabila diagnosis hanya

5

Page 6: Pengobatan TB

ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan foto toraks atau laboratorium saja, sering terjadi

misdiagnosis, underdiagnosis atau overdiagnosis.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) telah membuat program Pedoman Nasional

Tuberkulosis Anak (PNTA) yaitu pembobotan (scoring system) yaitu pembobotan terhadap

gejala atau tanda klinis yang dijumpai.

Tabel 4. Sistem pembobotan (scoring system) untuk diagnosis TB pada anak

Parameter 0 1 2 3

Kontak TB Tidak jelas Laporan

keluarga, BTA

tidak jelas

BTA (+)

Uji Tuberkulin Negatif Positif (≥ 10

mm, atau ≥ 5

mm pada

keadaan

imunosupresi)

Berat badan

/keadaan gizi

Bawah garis

merah (KMS)

atau BB/U <

80%

Klinis gizi

buruk (BB/U <

60%)

Demam tanpa

sebab jelas

> 2 minggu

(jelas)

Batuk* > 3 minggu

Pembesaran

kelenjar limfe

coli, aksila,

inginal,

> 1cm, jumlah

> 1, tidak nyeri

Pembengkakan

tulang/sendi

panggul, lutut

Ada

pembengkakan

Foto toraks Normal / tidak

jelas

Kesan TB

Catatan:

Diagnosis dengan system scoring ditegakkan oleh dokter

6

Page 7: Pengobatan TB

Gejala batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk kronik

lainnya seperti : asma, sinusitis dan lain-lain

Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat langsung

didiagnosis tuberkulosis

Berat badan dinilai saat pasien datang

Foto toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak

Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi local timbul < 7 hari setelah

penyuntikan) harus dievaluasi dengan system scoring TB anak.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6 (skor maksimal 13)

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.

Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 (≥6) didiagnosis sebagai

TB anak dan ditatalaksana dengan OAT (obat anti tuberkulosis). Bila skor kurang dari

6 tetapi secara klinis kecurigaan kea rah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan

diagnosis lainnya sesuai indikasi, seperti :

Pemeriksaan mikrobiologi spesimen bilasan lambung, cairan pleura, cairan

serebrospinal, cairan ascites atau spesimen lain.

Pemeriksaan patologi anatomi dengan spesimen hasil operasi dan atau biopsy.

Pemeriksaan pencitraan di luar paru sesuai indikasi jika perlu menggunakan

CT-Scan.

Pemeriksaan lain seperti funduskopi.

Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat dan diberikan dalam

waktu minimal 6 bulan. Terapi TB anak dibagi menjadi 2 tahap, intensif dan lanjutan. Pada

tahap intensif selama 2 bulan awal, mulai bulan ketiga dan selanjutnya merupakan tahap

lanjutan. Pada tahap intensif diberikan paduan >3 OAT. Sedangkan pada tahap lanjutan

diberikan paduan 2 obat H dan R. Pemberian OAT pada anak dilakukan setiap hari, baik pada

tahap intensif maupun tahap lanjutan, Dosis obat harus disesuaikan dengan berat badan anak.

Tabel 5. Dosis Obat Anti-Tuberkulosis pada anak

Obat Dosis Harian

(mg/KgBB/hari)

Dosis maksimal

(mg per hari)

Isoniazid (H) 5-15* 300

7

Page 8: Pengobatan TB

Rifampisisn ** (R) 10-20 600

Pyrazinamide (z) 15-40 2000

Streptomisin (S) 15-40 1000

Catatan:

* Bila Isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10

mg/Kg?BB/hari

** Rifampisisn tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena

bioavailabilitas rifampisin dapat terganggu. Rifampisisn dapat diabsorbsi dengan baik

melaui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam sebelum makan atau 2

jam setelah makan).

Obat Kombinasi Dosis tetap (KDT)

Obat KDT untuk anak terdiri dari KDT tahap intensif dan KDT tahap lanjutan. Satu

tablet KDT tahap intensif berisi isoniazid 50 mg, rifampisisn 75 mg, dan pirazinamid 150 mg.

Sedangkan satu tablet KDT berisi isoniazid 50 mg dan rifampisin 75 mg.

Tabel 6. Dosis OAT anak dalam bentuk KDT

Berat Badan (kg) KDT Tahap intensif H50,

R75, Z150 2 bulan, tiap

hari

KDT tahap lanjutan H50,

R75 4 bulan, Tiap Hari

05-09 1 tablet 1 tablet

10-14 2 tablet 2 tablet

15-19 3 tablet 3 tablet

20-32 4 tablet 4 tablet

Catatan:

Bayi dengan berat badan kurang dari 5 Kg dirujuk ke RS

Anak dengan BB > 33 Kg, diberikan obat lepas dengan dosis sesuai tabel 5

Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

Obat KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh, dikunyah (chewable), atau

dilarutkan dalam air (dispersable).

2.2 Efek Samping OAT : 5

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.

Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan

kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.

8

Page 9: Pengobatan TB

Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4 & 5), bila efek

samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka pemberian OAT dapat

dilanjutkan.

1. Isoniazid (INH)4,5

Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan,

rasa terbakar di kaki dannyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin

dengan dosis terendah 10 mg perhari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan

tersebut pengobatan dapat diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi

piridoksin (syndrom pellagra). Efek samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang

dapat timbul pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik,

hentikan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman TB pada keadaan khusus.

Insidens dan derajat keparahan reaksi isoniazid yang merugikan berkaitan dengan

dosis dan lama pemberiannya

A. Reaksi Imunologis

Demam dan ruam pada kulit sesekali dijumpai. Telah dilaporkan terjadi lupus

ertitematosus sistemis yang dipicu oleh obat

B. Toksisitas langsung

Hepatitis yang terinduksi isoniazid merupakan efek toksik utama yang paling

sering terjadi. Hal ini berbeda dengan sedikit peningkatan pada aminotransferasi hati

(hingga tiga atau empat kali nilai normal), yang tidak membutuhkan penghentian obat

dan dijumpai pada 10-20% pasien, yang biasanya asimtomatik. Hepatitis klinis yang

disertai hilangnya nafsu makan, mual, muntah, ikterus dan nyeri kuadran kanan atas

terjadi pada 1% resipien isoniazid dan dapat mematikan, terutama jika obat tidak

segera dihentikan. Terdapat bukti, histologis terjadinya kerusakan dan nekrosis

hepatoselular. Risiko hepatitis bergantung pada usia, dan jarang terjadi pada usia di

bawah 20 tahun, sebesar 0,3% pada pasien berusia 21-35 tahun, 1,2% pada pasien

berusia 36-50 tahun, dan 2,3% pada pasien berusia 50 tahun atau lebih. Risiko

hepatitis lebih besar pada pecandu alcohol dan kemungkinan selama kehamilan serta

pada masa pascapersalinan. Timbulnya hepatitis akibat isoniazid menjadi

kontraindikasi bagi pelanjutan pemberian obat tersebut.

9

Page 10: Pengobatan TB

Neuropati perifer diamati pada 10-20% pasien yang mendapat dosis lebih

besar dari 5 mg/kg/hari tetapi jarang dijumpai pada pemberian dosis dewasa standar

sebesar 300 mg. Keadaaan ini lebih sering dijumpai pada asetilator lambat dan pasien

dengan keadaan kondisi presdiposisi, seperti malnutrisi, alkoholisme, diabetes, AIDS

dan uremia. Neuropati terjadi akibat defisiensi relatif piridoksin. Isoniazid

meningkatkan ekskresi piridoksin, dan toksisitas ini cepat dipulihkan melalui

pemberian piridoksin dengan dosis serendah 10 mg/hari. Toksisitas sistem saraf pusat,

yang lebih jarang ditemui, meliputi hilangnya daya ingat, psikosis dan kejang.

Kesemuanya ini juga berespons terhadap piridoksin.

Berbagai rekasi lain meliputi kelainan hematologis, tercetusnya anemia

defisiensi piridoksin, tinitus dan keluhan saluran cerna. Isoniazid dapat menurunkan

metabolisme fenitoin sehingga meningkatkan toksisitasnya dalam darah.

2. Rifampisin1, 3, 6

Rifampin memunculkan warna jingga yang tidak berbahaya pada urin, keringat, air

mata dan lensa kontak (lensa yang lunak dapat terwarnai secara permanen).

A. Reaksi Imunologis

Efek samping meliputi ruam dan demam.

B. Toksisitas Langsung

Efek samping yang sesekali mucul meliputi trombositopenia dan nefritis. Rifampin

dapat menimbulkan ikterus kolestatik dan sesekali hepatitis. Rifampin sering

menyebabkan proteinuria rantai-ringan. Jika diberikan kurang dari dua kali seminggu,

rifampin menyebabkan sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil,

mialgia, anemia dan trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut.

Rifampin sanagt menginduksi kebanyakan isoform sitokrom P450 ( CYP 1A2, 2C9,

2C19, 2D6, dan 3A4) yang meningkatkan eliminasi berbagai obat lain seperti metadon,

antikoagulan, siklosporin, beberapa antikonvulsan, penghambat protease, beberapa

penghambat reverse transciptase nonnukleosida, kontrasepsi, dan obat lain. Pemberian

rifampin menurunkan kadar semua obat tersebut dalam serum. Efek lain seperti timbul

sindrom seperti flu yang ditandai dengan demam, mengigil, mialgia, anemia dan

trombositopenia, dan terkadang terkait dengan nekrosis tubular akut.

Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan

simptomatik ialah :

- Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

10

Page 11: Pengobatan TB

- Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang kadang

diare

- Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah :

- Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu dan

penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

- Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari gejala

ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi walaupun

gejalanya telah menghilang

- Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas

3. Pirazinamid 4,5

Efek samping utama pirazinamid meliputi hepatotoksisitas (pada 1-5% penderita),

General

Demam, porphyry, dysuria jarang dilaporkan. Hiperurisemia dialami oleh semua

penggunanya dan tidak menjadi alasan penghentian terapi. Hiperurisemia dapat

mencetuskan artritis pirai akut.

Gastrointestinal

Efek samping utama adalah reaksi hati. Hepatotoksisitas tampaknya berhubungan

dengan dosis, dan dapat muncul kapan saja selama terapi. Gangguan GI termasuk

mual, muntah dan anoreksia juga telah dilaporkan.

Hematologi dan limfatik

Trombositopenia dan anemia sideroblastik dengan erythroid hiperplasia, vakuolasi

dari eritrosit dan konsentrasi besi serum meningkat j arang terjadi pada penggunaan

obat ini. Efek samping pada mekanisme pembekuan darah juga jarang dilaporkan.

Efek lainnya

Arthralgia dan milagia ringan dilaporkan sering terjadi. Reaksi hipersensitivitas

termasuk ruam, urtikaria, pruritus juga telah dilaporkan. Demam, timbulnya jerawat,

fotosensitifitas, porfiria, disuria dan nefritis interstisial telah dilaporkan jarang terjadi.

4. Etambutol 4,5,6

Hipersensitivitas terhadap etambutol jarang terjadi. Efek samping yang paling sering

terjadi adalah neuritis retrobulbar, yang menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan

dan buta warna merah-hijau. Efek samping yang terkait dosis ini lebih sering terjadi pada

11

Page 12: Pengobatan TB

dosis 25 mg/kg/hari yang diberikan selama beberapa bulan. Pada dosis 15mg/kg/hari atau

kurang, gangguan penglihatan sangat jarang terjadi. Pemeriksaan ketajaman visual secara

teratur sebaiknya dilakukan jika dosis sebesar 25 mg/kg/hari digunakan. Etambutol relatif

dikontraindikasikan pada anak yang terlalu muda untuk dapat diperiksa ketajaman

penglihatan dan diskriminasi warna merah-hijaunya. Gangguan penglihatan akan kembali

normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan.

Ocular

Efek samping pada bagian penglihatan termasuk penurunan ketajaman penglihatan

(termasuk irreversible blindness), Optic neuropathy (termasuk neuritis optic atau

retrobulbar neuritis), scotoma, dan buta warna.

Karakteristik toksisitas penglihatan pada pemberian ethambutol6

Secara klasik, toksistas berhubungan dengan dosis dan lama pemberian, dan bersifat

reversibel ketika obat dihentikan.

o Dose-related

Insidens retrobulbar neuritis akibat ethambutol dilaporkan bervariasi antara

18% pasien yang menerima lebih dari 35 mg/kg per hari, 5-6% dengan

25mg/kg per hari dan kurang dari 1% dengan 15 mg/kg per hari dari

ethambuthol HCL dengan pemberian lebih dari 2 bulan. Belum ada dosis

aman yang dilaporkan, dengan toksisitas dilaporkan pada dosis yang lebih

rendah dari 12,3 mg/kg per hari.

o Duration-related

Manifestasi dari gangguan penglihatan biasanya terlambat dan umumnya tidak

berkembang sampai setidaknya 1,5 bulan setelah pengobatan. Mean Interval

antara onset terapi dengan efek samping dilaporkan pada 3 sampai 5 bulan.

Manifestasi gangguan setelah 12 bulan pemberian obat juga dilaporkan terjadi.

Perlu diperhatikan bahwa laporan ini menunjukkan sebagian kecil dari pasien

yang diterapi dengan eksternal validitas yang tidak diketahui.

Retrobulbar neuritis menyebabkan penurunan ketajaman penglihatan dan

penurunan penglihatan warna merah dan hijau biasa terjadi pada terapi dengan

12

Page 13: Pengobatan TB

ethambutol dam memerlukan monitoring secara berkala terhadap ketajaman

penglihatan dan perbedaan warna. Optic neuritis sering terjadi pada pemberian dosis

lebih dari 15 mg/kg/hari. Pemberian terapi sebaiknya dihentikan, ketika didapatkan

tanda gangguan pada penglihatan. Kerusakan dapat mengenai pada saraf perifer

maupun sentral dari nervus optikus. Scotoma juga sering terjadi. Kerusakan biasanya

terjadi setelah 2 bulan pemberian terapi bahkan dapat lebih cepat terjadi. Faktor

predisposisi termasuk penurunan fungsi renal, diabetes, dan kejadian optic neuritis

sebelumnya akibat penggunaan alkohol atau tembakau. Walaupun gangguan

penglihatan tersebut bersifat reversibel setelah beberapa bulan penghentian

ethambutol, kasus kebutaan yang irreversibel dan kerusakan penglihatan juga telah

ada dilaporkan.

Toksisitas terhadap penglihatan dapat lebih parah pada pasien dengan

kerusakan renal, yang dicurigai akibat adanya penumpukan obat di dalam tubuh.

Metabolik

Efek samping pada metabolik meliputi hiperurisemia dan faktor presipitasi dari

terjadinya gout. Hiperurisemia telah dilaporkan pada lebih dari 66% pasien yang

menerima terapi dan tidak tergantung pada dosis. Biasanya, lebih menuju kepada

arthralgia sendi dan gout arthritis setelah 1 sampai 2 bulan terapi. Gejala biasanya

menghilang setelah 15 hari sejak obat dihentikan.

Hepatic

Efek samping termasuk toksisitas liver. Peningkatan sementara dan asimptomatik dari

LFT terjadi pada 10% pasien. Jaundice jarang dilaporkan terjadi. Peningkatan LFT,

biasanya tanpa perubahan dari bilirubin, terjadi pada 10% pasien yang diterapi dengan

ethambutol. Peningkatan ini menghilang secara spontan ketika pemberian obat

dihentikan. Jaundice asimptomatik juga jarang terjadi pada pemberian terapi

ethambutol

Hipersensitivitas

Efek samping hipersensitivitas termasuk reaksi anafilaktik/anafilaktoid. Reaksi

hipersensitifitas termasuk demam, dan reaksi pada kulit (rash, dermatitis exfoliatif),

lichen-planus reaction, dan toxic epidermal necrolysis. Reaksi hipersensitifitas

ditunjukkan dengan demam (spiking fever), rash, mual, hipotensi, dan eosinofilia.

Lichen-planus-like reactions termasuk hiperpigmentasi dan desquamasi jarang

dilaporkan terjadi, sama seperti toxic epidermal necrolysis.

Hematology

13

Page 14: Pengobatan TB

Efek samping pada hematologis termasuk trombositopenia, leucopenia dan

neutropenia.

Respiratory

Efek samping pada saluran pernafasan termasuk pulmonary infiltrates dengan atau

tanpa eosinofilia

Gastrointestinal

Keluhan pada gastrointestinal jarang pada pemberian terapi ethambutol dan biasa

berhubungan dengan reaksi hipersensitifitas. Pseudomembranous colitis dilaporkan

terjadi ketika ethambutol diberikan bersamaan dengan rifampin dan isoniazid. Efek

samping yang lain termasuk mual, muntah, nyeri abdomen, anorexia.

Nervous system

Efek samping termasuk sakit kepala, pusing berputar, dan rasa tebal serta kesemutan

pada ekstremitas akibat peripheral neuritis.

Psychiatric

EFek samping termasuk gangguan menta, disorientasi dan halusinasi.

Dermatologic

Efek samping meliputi dermatitis, erythema multiforme, dan pruritus.

Musculoskeletal

Efek samping termasuk gangguan sendi

Renal

Efek samping pada renal jarang terjadi seperti reversible renal insufficiency. Terjadi

gangguan pada renal meliputi peningkatan kreatinin serum dan idiosyncratic

interstitial nephritis.

5. Streptomisin4,5

Reaksi Simpang Aminoglikosida secara umum

Semua aminoglikosida bersifat ototoksik dan nefrotoksik. Ototoksisitas dan

nefrotoksisitas lebih mungkin dijumpai bila terapi dilanjutkan selama lebih dari 5 hari,

pada dosis yang lebih tinggi, pada lansia, dan pada keadaan insufisiensi ginjal.

Penggunaan aminoglikosida secara bersamaan dengan diuretik kuat (misalnya furosemid,

asam etakrinat) atau antimikroba laninnya yang bersifat nefrotoksik (misalnya,

vankomisin atau amfoterisin) dapat memperparah nefrotoksisitas dan harus dihindari bila

memungkinkan. Ototoksisitas dapat bermanifestasi sendiri baik berupa kehilnagan

pendengaran, yang awalnya menimbulkan tinnitus, atau berupa kerusakan vestibular yang

14

Page 15: Pengobatan TB

ditandai adanya vertigo, ataksia, dan hilangnya keseimbangan. Nefrotoksisitas

menyebabkan peningkatan kadar kreatinin dalam serum atau penurunan clearance

kreatinin meskipun indikasi paling awal terjadinya toksistas seringkali berupa

peningkatan kadar terendah (trough) aminoglikosida serum. Neomisin, kanamisin dan

amikasin adalah obat-obat yang paling bersifat ototoksik. Streptomisin dan gentamisin

paling bersifat vestibulotoksik. Neomisin, tobramisin, dan gentamisin paling bersifat

nefrotoksik.

Pada dosis yang sangat tinggi, aminoglikosida dapat menimbulkan efek yang mirip

kurare dengan blokade neuromuskular yang menimbulkan paralisis pernafasan. Paralisis

tersebut biasanya bersifat reversibel dengan pemberian kalsium glukonat (diberikan

segera) atau neostigmin. Hipersensitivitas tidak sering terjadi.

Reaksi Simpang Streptomisin5

Demam, ruam, kulit, dan manifestasi alergi lainnya dapat terjadi akibat

hipersensitivitas terhadap streptomisin. Hal ini paling sering terjadi akibat paparan yang

lama dengan obat ini, baik pada pasien yang menjalani pengobatan dalam jangka panjang

(misalnya tuberkulosis) maupun pada petugas media yang bertugas menangani obat ini.

Desensitisasi kadang-kadang berhasil.

Rasa nyeri di tempat suntikan biasa terjadi tetapi tidak hebat. Efek toksik yang paling

serius pada penggunaan streptomisin adalah gangguan vestibular, berupa vertigo dan

hilangnya keseimbangan. Frekuensi dan keparahan gangguan ini berhubungan langsung

dengan umur, pasien, kadar obat dalam darah, dan lama pemberian. Disfungsi vestibular

dapat terjadi setelah beberapa minggu dengan kadar obat yang relatif rendah dalam darah.

Toksisitas vestibular cenderung bersifat ireversibel. Streptomisin yang bdiberikan selama

kehamilan dapat menyebabkan ketulian pada neonates sehingga penggunaannya pada

kasus ini relatif dikontraindikasikan.

15

Page 16: Pengobatan TB

Tabel 7. Efek samping OAT dan penatalaksanaannya 2

Efek Samping Kemungkinan Penyebab

Tatalaksana

Minor OAT TeruskanTidak nafsu makan, mual,

sakit perutRifampisin Obat diminum malam

sebelum tidurNyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol

Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki

INH Beri vitamin B6 (piridoksin) 1 x 100 mgperhari

Warna kemerahan pada air seni

Rifampisin Beri penjelasan, tidak perlu diberi apa-apa

Mayor Hentikan ObatGatal dan kemerahan

pada kulitSemua jenis OAT Beri antihistamin &

dievaluasi ketatTuli Streptomisin Streptomisin dihentikan

Gangguan keseimbangan (vertigo dan nistagmus)

Streptomisin Streptomisin dihentikan

Ikterik / Hepatitis ImbasObat (penyebab lain

disingkirkan)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OATSampai ikterik menghilang

dan boleh diberikanhepatoprotektor

Muntah dan confusion(suspected drug-induced

pre-icteric hepatitis)

Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT &lakukan uji fungsi hati

Gangguan penglihatan Ethambutol Hentikan ethambutolKelainan sistemik,termasuk syok dan

purpura

Rifampisin Hentikan Rifampisin

Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan

dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT

dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien menghilang, namun pada

sebagian pasien malah menjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan

semua OAT. Tunggu sampai kemerahan tersebut menghilang. Jika gejala efek samping ini

bertambah berat, pasien perlu dirujuk.

Pada unit pelayanan kesehatan rujukan (UPK Rujukan) penanganan kasus-kasus efek

samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:

16

Page 17: Pengobatan TB

Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali

OAT harus dengan cara “drug challenging” dengan menggunakan obat lepas. Hal ini

dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek

samping tersebut.

Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena

kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian

diberi kembali sesuai prinsip dechallenge-rechallenge. Bila dalam proses rechallenge

yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena

reaksi hipersensitivitas.

Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya

pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan

lagi tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya

pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko

terjadinya kambuh.

Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap

Isoniasid (INH) atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling

ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka

pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid (INH) dan atau

Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun,

jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai

risiko besar terjadi keracunan yang berat.

Dari semua lini pertama pengobatan TB, isoniazid , pyrazinamide dan rifampisin

dapat mengakibatkan kerusakan pada hati. (drug induced-hepatitis), sebagai tambahan

rifampisin dapat mengakibatkan jaundice yang asimptomatik tanpa ada buktinya nyata telah

terjadinya hepatitis. Sangat penting untuk menyingkirkan kemungkinan lain dari penyebab

hepatitis selain dari akibat regimen pengobatan TB.

Manajemen hepatitis akibat pengobatan TB tergantung dari :

Fase pengobatan; pasien dalam pengobatan fase intensif atau fase lanjutan.

Keparahan dari penyakit hati

Keparahan dari TB

Kemampuan dari unit kesehatan untuk menangani efek samping dari OAT.

17

Page 18: Pengobatan TB

Bila diperkirakan penyebab dari gangguan hati adalah disebabkan karena obat anti-TB,

semua obat TB tersebut harus dihentikan pemberiannya. Jika penyakit TB sangat berat dan

diperkirakan tidak aman untuk menghentikan pengobatan TB, regimen nonhepatotoksik yang

terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan.

Bila pengobatan TB telah dihentikan. Perlu untuk menunggu fungsi hati kembali normal

dan gejala klinis (seperti mual, nyeri abdomen) menghilang sebelum memberikan kembalin

obat anti-TB. Jika tidak memungkinkan melakukan tes fungsi hati, dianjurkan untuk

menunggu setidaknya 2 minggu setelah menghilangnya jaundice dan tenderness pada

abdomen bagian atas sebelum memulai pengobatan TB. Jika gejala dan tanda tidak

menghilang dan penyakit hati bertambah parah, pemberian regimen nonhepatotoksik yang

terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat mulai diberikan (atau

dilanjutkan) selama total 18-24 bulan.

Ketika drug-induced hepatitis menghilang, obat dapat diberikan kembali satu persatu.

Jika gejala muncul kembali atau LFT menjadi abnormal setelah obat diberikan. Obat terakhir

yang ditambahkan harus dihentikan. Beberapa ahli menganjurkan untuk memulai dengan

rifampisin karena hampir sedikit samadengan isoniazid atau pyrazinamid dalam

menyebabkan hepatotoksik dan merupakan agen yang paling efektif. Setelah 3-7 hari,

isoniazid dapat mulai diberikan. Pada pasien yang pernah mengalami jaundice dan tahan

terhadap pemberian kembali dari rifampisin dan isoniazid, dianjurkan untuk menghindari

pyrazinamide

Regimen alternative tergantung dari obat mana yang berimplikasi menyebabkan hepatitis.

Jika rifampisin berimplikasi, regimen yang dianjurkan adalah tanpa rifampisin dengan

2 bulan isoniazid, ethambutol dan streptomycin diikuti dengan 10 bulan isoniazid dan

ethambutol

Jika isoniazid tidak dapat digunakan, 6-9 bulan dari rifampisin, pyrazinamide dan

ethambutol dapat dipertimbangkan.

Jika pyrazinamide dihentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif, total terapi

dari isoniazid dan rifampisin dapat diperpanjang hingga 9 bulan.

Bila isoniazid maupun rifampisin tidak dapat digunakan, regimen nonhepatotoksik

yang terdiri dari streptomycin, ethambutol, dan fluoroquinolone dapat dilanjutkan

selama total 18-24 bulan.

Pemberian kembali obat secara satu persatu merupakan pendekatan yang optimal,

terutama jika hepatitis pasien sudah berat. Program nasional kontrol TB menggunakan

18

Page 19: Pengobatan TB

tablet FDC yang terbatas untuk setiap unit obat TB terpisah yang digunakan untuk

pengobatan dengan pendekatan diatas. Bagaimanapun, jika, suatu unit kesehatan di suatu

daerah tidak memiliki anti TB secara terpisah, (single anti TB-drugs) pengalaman klinis pada

daerah dengan sumber daya terbatas telah menunjukkan kesuksesan dengan menggunakan

pendekatan sebagai berikut, baik tergantung hepatitis dengan jaundice yang terjadi pada fase

intensif atau lanjutan.

Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase intensif dari pengobatan TB dengan

isoniazid, rifampisin, pyrazinamid, dan ethambuthol; ketika hepatitis menghilang,

ulangi kembali semua obat kecuali ganti pyrazinamid dengan streptomycin untuk

menyelesaikan 2 bulan dari permulaan terapi, diikuti rifampisin dan isoniazid selama

6 bulan pada fase lanjutan.

Bila hepatitis dengan jaundice terjadi pada fase lanjutan, ketika hepatitis menghilang,

ulangi kembali isoniazid dan rifampisin untuk menyelesaikan 4 bulan dari terapi

lanjutan.

19