Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

12
Journal Reading Mechanism of Disease: Intravenous Immune Globulin in Autoimmune and Inflammatory Disease disusun oleh: Deri Arara (1102007075) Pembimbing: dr. Yanto Widiantoro, Sp.KK Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Periode 21 Januari s.d 22 Februari 2013 Fakultas Kedokteran Universitas Yarsi Rumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet Garut

description

Kulit dan Kelamin

Transcript of Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

Page 1: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

Journal Reading

Mechanism of Disease: Intravenous Immune Globulin in Autoimmune and Inflammatory Disease

disusun oleh:

Deri Arara (1102007075)

Pembimbing:

dr. Yanto Widiantoro, Sp.KK

Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminPeriode 21 Januari s.d 22 Februari 2013Fakultas Kedokteran Universitas YarsiRumah Sakit Umum Daerah dr. Slamet

Garut

Page 2: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

Mekanisme penyakit

Penggunaan Imunoglobulin intravena pada penyakit autoimun dan inflamasiErwin w. gelfand, M.D.

Pendahuluan

Penggunaan immunoglobulin sebagai terapi pengganti pada pasien

dengan defisiensi antibodi sudah dilakukan sejak tahun 1950an. Pada saat itu

immunoglobulin diadministrasikan secara subkutan ataupun intramuskular.

Belakangan ini immunoglobulin diadministrasikan secara intravena dengan

komposisi yang lebih sedikit mengandung gula dan garam serta memiliki

osmolaritas yang normal. Hal-hal tersebut berhasil menekan angka reaksi alergi

pada pasien yang membutuhkan terapi tukar immunoglobulin.

Penggunaan immunoglobulin pada pasien dengan defisiensi antibodi

bermanfaat untuk menyediakan antibodi spesifik yang tidak dapat diproduksi oleh

pasien tersebut. Terapi tukar immunoglobulin dapat menekan angka kejadian

meningitis, osteomyelitis dan pneumonia lobaris. Selain itu terapi immunoglobulin

juga bermanfaat pada pasien dengan penyakit imunodefisiensi primer.

Terapi tukar immunoglobulin memiliki efek samping yang bervariasi. Efek

samping yang dapat ditemukan mulai dari penyakit bula pada kulit akibat rejeksi,

penyakit neurologis serta keadaan autoimun dan inflamasi lainnya. Lepas dari hal

tersebut, pada zaman sekarang tindakan terapi tukar immunoglobulin sudah

lebih banyak dilakukan dibandingkan terapi tukar antibody pada pasien dengan

imunodefisiensi.

Indikasi Penggunaan Imunoglobulin Intravena pada Kondisi Autoimun dan

Inflamasi

Imunoglobulin digunakan sebagai terapi dalam banyak penyakit dengan

75% diantaranya adalah penyakit autoimun dan inflamasi. Baru-baru ini Food

and Drugs Administration (FDA) Amerika Serikat menyetujui penggunaan

immunoglobulin pada pasien dengan multifocal motor neuropati. Sediaan

immunoglobulin tersedia dalam bermacam-macam label sesuai dengan

1

Page 3: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

produsen. Namun sejauh ini belum ada data yang membandingkan efektivitas

dari bermacam produsen tersebut.

FDA Amerika Serikat menyetujui penggunaan Imunoglobulin intravena

pada keadaan dimana adanya defisiensi imun primer. Selain itu immunoglobulin

juga boleh digunkan pada penyakit neuromuscular, kelainan darah dan penyakit

kulit. Indikasi penggunaan terapi immunoglobulin antara lain:

Tabel 1. Penyakit yang Memiliki Respon Baik dengan Terapi Imunoglobulin

Indikasi yang disetujui FDA

Penyakit imunodefisiensi primer

Leukemia limfositik kronik

Infeksi HIV pada anak

Penyakit Kawasaki

Transplantasi sumsum tulang alogenik

Polineuropati demyelinisasi inflamasi kronik

Transplantasi ginjal dimana resipien memiliki titer antibody yang tinggi

atau donor memiliki inkompatibilitas ABO

Neuropati motoric multifocal

Indikasi tambahan yang disetujui FDA

Penyakit neuromuscular

Sindrom Guillain-Barre

Multipel sklerosis relaps-remisi

Myastenia gravis

Polimyositis refrakter

Poliradikuloneuropati

Sindrom myastenik Lambert Eaton

Myoklonik opsoklonus

Retinopati Birdshot

Dermatomyositis refrakter

Kelainan darah

Anemia hemolitik autoimun

Anemia berat yang berhubungan dengan parvovirus B19

Neutropenia autoimun

Trombositopenia alloimun neonatorum

Trombositopenia yang berhubungan dengan HIV

Penyakit Graft-versus-host

2

Page 4: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

Infeksi Sitomegalovirus atau pneumonia interstisial pada pasien yang

mendapat transplantasi sumsum tulang

Penyakit kulit

Pemphigus vulgaris

Pemphigus foliaceus

Pemphigoid bulosa

Pemphigoid sikatrika

Epidermolysis bullosa acquisita

Toxic epidermolytic necrolysis atau Sindrom Steven-Johnson

Necrotizing Fasciitis

Penggunaan immunoglobulin terapi juga dicoba pada beberapa kasus

selain yang sudah diindikasikan pada table di atas. Tindakan terapi

immunoglobulin pernah dicoba pada pasien dengan autism dan sindrom fatigue

kronik, namun tidak didapatkan hasil yang memuaskan. Penelitian tentang

manfaat terapi immunoglobulin terus dikembangkan terutama pada penyakit

yang membutuhkan imunomodulasi. Penelitian terbaru dilakukan pada pasien

dengan Alzheimer. Namun efikasi dan keamanan terapi immunoglobulin pada

pasien Alzheimer masih diteliti lebih lanjut.

Mekanisme Aksi Imunoglobulin Intravena

Dosis immunoglobulin pada pasien dengan penyakit autoimun dan

inflamasi empat sampai lima kali lebih besar dibandingkan pasien dengan

imunodefisiensi .Dosis total diberikan 2 gram per kilogram berat badan yang

diberikan dua sampai dengan lima kali per bulan. Diharapkan dengan pemberian

ini dapat mengontrol kadar IgG berkisar antara 2500 sampai dengan 3500 mg

per desiliter.

Cara kerja imunomodulasi dari immunoglobulin masih belum dipahami

secara jelas. Efek kerja immunoglobulin intravena dapat dilihat dari penyakit

yang ditangani, contoh pada penyakit Kawasaki. Pemberian immunoglobulin

intravena akan menyebabkan penurunan reaksi inflamasi yang meliputi:

1. Penurunan marker inflamasi (sitokin proinflamasi, Tumor

Necrotizing Factor α (TNF α), interleukin 1 α dan interleukin 6)

2. Penurunan regulasi molekul adesi dan kemokin serta ekspresi

reseptor kemokin

3

Page 5: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

3. Netralisasi super antigen.

Ketiga keadaan diatas disebabkan karena setelah dimasukkannya

immunoglobulin maka akan terjadi peningkatan serum sitokin anti inflamasi

(interleukin 10) dan peningkatan reseptor dan antagonis (soluble TNF α reseptor

dan antagonis reseptor interleukin 1).

Penggunaan immunoglobulin intravena juga memiliki efek terhadap terapi

glukokortikoid. Glukokortikoid merupakan terapi lini pertama pada mayoritas

penyakit inflamasi kronis. Glukokortikoid memacu modulasi ekspresi gen

langsung di reseptor intraselular melalui reseptor α. Sedangkan reseptor β, yang

jumlahnya lebih sedikit, memiliki efek yang berkebalikan. Peningkatan jumlah

reseptor β dihubungkan dengan penurunan respon individu terhadap steroid dan

kebutuhan untuk meningkatkan dosis steroid. Hal ini sering dijumpai pada pasien

asma, atritis rheumatoid, lupus eritematosus sistemik dan rejeksi transplantasi.

Pasien dengan penyakit inflamasi kronis dapat mengalami fase resisten

terhadap steroid. Hal tersebut diperkirakan karena peningkatan kadar sitokin

proinflamasi. Pemberian immunoglobulin dapat menekan sensitivitas sel T dan

menormalkan reaksi pengikatn reseptor glukokortikoid, sehingga resistensi

4

Page 6: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

pasien terhadap steroid dapat ditekan. Untuk mendapatkan efek ini diperkirakan

membutuhkan waktu tiga sampai enam bulan.

Penggunaan immunoglobulin sendiri sebenarnya dapat menghasilkan

dua efek, yaitu anti inflamasi dan pro inflamasi.efek antiinflamasi biasanya

didapatkan pada pemberian dosis besar. Efek ini didapat dengan hambatan dari

resptor kristalisasi yang terdapat pada IgG. Sedangkan bila diberi dosis rendah

maka akan terjadi aktivasi mediator inflamasi yang menyebabkan timbulnya

reaksi meliputi fagositosis, degranulasi, pelepasan sitokin proinflamasi dan

antibody dependent cell toxicity.

Mekanisme lain yang berperan adalah fragmen pengikat antigen pada

IgG (Fab), Fc dan kedua fragmen yang berhubungan dengan aktivitas

antiinflamasi ataupun imunomodulator dari IgG. Fab berfungsi untuk mengikat

protein atau reseptor permukaan dari sel, meliputi sitokin spesifik, reseptor

sitokin, fas, asam sialat dan CD 5. Selain itu Fab juga berperan dalam

penyusunan kembali anti idiopatik network. Hal tersebut akan menyebabkan

penekanan pada limfosit B agar tidak autoreaktif.

5

Page 7: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

Selain Fab, Fc juga memegang peranan penting. Fc berperan dalam tiga

mekanisme, yaitu:

1. Mengurangi ambilan komplemen

Ambilan komplemen yang berlebih dapat menyebabkan dampak

buruk bagi tubuh manusia. Pengikatan komplemen C3a, C3b, C4b

dan C5a ke IgG akan memacu destruksi sel dan inflamasi.

Keadaan ini sering dijumpai pada pasien dengan

dermatomyositism, penyakit Kawasaki, anemia hemolitik

autoimun, GBS dan myasthenia gravis.

2. Saturasi FcRn

FcRn merupakan regulator waktu paruh dari IgG. FcRn banyak

ditmeukan di jaringan terutama kulit, otot dan system endothelial

pembuluh darah. FcRn memiliki efek katabolisme unutk

menyediakan energy IgG, mencegah agregasi oleh lisosom dan

mengembalikan IgG yang masih utuh ke sirkulasi. Efek inilah yang

kemudian ditekan oleh immunoglobulin.

3. Blokade aktivasi reseptor Fc

Manusia memiliki reseptor FcγRIIA/B/C dan FcγRIIIA. Kedua

reseptor ini memiliki afinitas yang rendah sehingga sulit untuk

berinteraksi dengan IgG monomer. IgG monomer banyak

ditemukan pada sediaan immunoglobulin. Hal ini menyebabkan

immunoglobulin pada sediaan dapat berkompetisi dengan IgG

yang sudah ada di tubuh. Aktivitas imunomodulator ini melibatkan

immunoglobulin anti-D atau serum hiper imun.

Selain itu juga akan terjadi inhibisi pada FcγRIIB. Reseptor ini

banyak ditemukan pada pasien dengan imun trombositopeni

purpura (ITP), artritis rheumatoid ataupun nefritis nefrotoksik.

Pemberian immunoglobulin intravena akan memacu ekspresi

FcγRIIB pada makrofag sehingga akan terjadi upregulasi FcγRIIB.

Hal ini akan menghambat FcγRIIB sehingga didapatkan respon

antiinflamasi.

Meskipun banyak teori yang menjelaskan tentang cara kerja dari

immunoglobulin intravena, namun belum ada teori yang dapat menjabarkan

6

Page 8: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

dengan jelas efek pada masing-masing penyakit. Hal ini karena pada dasarnya

mekanisme penyakit autoimun sendiri tidaklah sama. Ditambah lagi dengan

mekanisme penyakit sendiri yang masih belum jelas. Beberapa peneliti

memperkirakan bahwa efek dari immunoglobulin intravena sebenarnya dapat

bervariasi sesuai penyakit karena adanya IgG yang terglikosilasi.

Imunoglobulin yang terglikosilasi memiliki peranan dalam system imun.

Pada suatu penelitian dilakukan pengangkatan struktur karbohidrat dari IgG,

ternyata didapatkan bahwa IgG tersebut tidak dapat memberikan proteksi

antiinflamasi pada pasien dengan rheumatoid artritis. Aktivitas antiinflamasi

terletak pada kutub minor IgG yang mengandung α-2,6 asam sialat yang

berikatan dengan glikan. Glikan yang benar-benar utuh pada IgG hanya

berjumlah 1 sampai dengan 3 %. Namun begitu efeknya juga masih diragukan.

Simpulan

Penggunaan immunoglobulin intravena sudah banyak dilakukan terutama

untuk penyakit autoimun dan inflamasi, baik sebagai terapi ajuvan maupun terapi

7

Page 9: Penggunaan Imunoglobulin Intravena Pada Penyakit Autoimun Dan Inflamasi

utama. Terapi ini mengutamakan pada IgG yang merupakan regulator kunci

pada imunitas bawaan maupun didapat. Variabilitias dari terapi seringkali

ditemukan dan diperkirakan berhubungan dengan pola glikosilasi Fc, genetic

ataupun variasi dari ekspresi FcγR.

Terapi dengan immunoglobulin intravena merupakan pilihan yang berat

untuk diaplikasikan pada negara berkembang. Hal ini berhubungan dengan

harga yang mahal. Selain itu dikhawtirkan juga jumlah donor di masa yang akan

datang dapat berkurang akibat masalah keamanan dan penyakit yang akan

semakin kompleks. Karena itu perlu penelitian lebih lanjut agar dosis yang

dibutuhkan dapat ditekan dengan mengimunomodulasi IgG murni.

8