PENGGUNAAN HADIS DALAM TINDAKAN...
Transcript of PENGGUNAAN HADIS DALAM TINDAKAN...
PENGGUNAAN HADIS DALAM TINDAKAN TERORISME
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Alfi Syahriyati
NIM. 1113034000071
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1438 H./2017 M.
ii
ABSTRAK
Alfi Syahriyati, “Penggunaan dan Penyalahgunaan Hadis Perintah
Membunuh”, Skripsi Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017.
Skripsi ini membahas tentang hadis-hadis perintah membunuh. Penelitian
ini menyimpulkan bahwa terdapat 9 orang yang Rasul perintah untuk dibunuh
berdasarkan hadis-hadis yang terdapat dalam Ṣahīh Bukhāri dan Ṣahīh Muslim.
Hadis-hadis ini dikumpulkan berdasarkan fi’il amar dari lafadz qatala. Membunuh
kesembilan orang ini diperbolehkan oleh syara’, asalkan berasal dari perintah
hakim/qadhi dan pelaku yang membunuh tidak dikenai hukum qisas.
Hadis-hadis perintah membunuh ini dibaca dan dipahami menggunakan
metode pemahaman hadis Ali Mustafa Yaqub. Metode ini mampu memahami hadis
perintah membunuh dengan mempertimbangkan majaz, takwil, ‘illat, geografi,
budaya Arab, kondisi sosial, dan al-asbab al-wurūd Hadis (latar belakang Hadis).
Penelitian ini termasuk dalam kategori penelitian pustaka. Sumber data
dalam penelitian ini adalah hadis-hadis tentang perintah membunuh yang terdapat
dalam al-Kutub al-Sittah. Kemudian dari hadis-hadis tersebut dibatasi hanya pada
hadis-hadis perintah membunuh menusia yang terdapat dalam Ṣahīh al-Bukhāri dan
Ṣahīh Muslim. Pembahasan mengenai matan hadis ini berdasarkan pada kitab-kitab
syarah hadis terutama kitab syarah hadis Sahīh al-Bukhāri, yaitu Fathu al-Bāri
yang disusun oleh Ibn Hajar al-‘Asqalāni dan kitab syarah hadis Ṣahīh Muslim,
yaitu Syarh al-Nawawi yang disusun oleh Imam al-Nawawi.
iii
KATA PENGANTAR
Alḥamdulillah, atas segala rahmat dan pertolongan-Nya semata, penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Ṣalawat serta salam semoga selalu tercurahkan
pada baginda Nabi Muhammad Saw. Skripsi ini berjudul “Penggunaan dan
Penyalahgunaan Hadis Perintah Membunuh”. Meskipun demikian, semaksimal
usaha manusia tentunya tidak akan lepas dari kekurangan dan kelemahan, karena
kesempurnaan hanyalah milik Allah Swt, oleh karenanya, saran dan kritik
membangun dari berbagai pihak senantiasa penulis harapkan.
Selama proses studi di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta hingga penulisan
Skripsi ini, penulis tidak luput dari keterlibatan beberapa pihak yang memberikan
kontribusi dalam penyelesaian penulisan ini, baik itu berupa motivasi, bantuan
pikiran, material, dan moral serta spiritual. Dengan tanpa mengurangi rasa hormat,
penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.
3. Ibu Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA selaku Ketua dan Dra. Banun
Binaningrum, M.Pd, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan
Tafsir serta Bapak M. Najib Tsauri, S.Th.I dan Ibu Hani Hilyati Ubaidah,
S.Th.I yang turut membantu dalam pengelolaan Program Studi.
4. Bapak Dr. Bustamin, M.Si selaku Dosen Pembimbing Skripsi penulis yang
telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan, dan arahan-arahan
dalam menyelesaikan skripsi ini. (Jazāhullāh wanafa’anā bi ‘ulūmihi fī al-
dārayn).
iv
5. Segenap dosen Fakultas Ushuluddin, khususnya kepada dosen
pembimbing akademik, Bapak Prof. Dr. Hamdani Anwar, MA dan dosen-
dosen di Program Studi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir khususnya Bapak Rifqi
Muhammad Fatkhi, MA yang telah banyak berbagi ilmu kepada saya,
sehingga saya mendapatkan setetes air dari samudera ilmu pengetahuan.
(Jazāhumullāh wanafa’anā bi ‘ulūmihim fī al-dārayn).
6. Kedua orangtua saya, H.M. Nasir dan Hj. Sumiati Ramli yang selalu
memberikan motivasi, bimbingan, serta kasih sayang, dan senantiasa
mendoakan saya untuk mencapai kesuksesan di masa depan. (Allāhumma
irḥamhumā kamā rabbayāni ṣaghīra, waṭawwil ‘umurahumā fīṭā’atik).
7. Prof Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA dan Ibu Nyai Ulfah Uswatun
Hasanah selaku kedua orang tua saya di Darussunnah yang telah mendidik
dengan penuh kesabaran dan ikhlas. (Allāhumma irḥamhumā kama
rabbayāni ṣaghīra).
8. Kakak-Kakak dan Adik tersayang (Kak Dewi, Kak Eti, Abang Mustafa,
Abang Iqbal, Kak Febri, Kak Ani dan Adik Ana) yang selalu senantiasa
mendengar keluh kesah serta memberi semangat di kala suka maupun
duka. (Allāhumma allif baynanā fī khayri dunyānā wa ukhrānā).
9. Segenap keluarga Darussunnah Internasional Institute For Hadith
Sciences, mahasantri, beserta alumninya, khususnya Ustadz Arrazy
Hasyim, Ustadz Andi Rahman, Ustadz Ali Hudaibi, Ustadz Ubaidi
Hasbillah, Ustadz Ali Wafa, Ustadz Shofin Sugito, Ustadz Hilmi Firdaus.
(Jazāhumullāh wanafa’anā bi ‘ulūmihim fī al-dārayn).
v
10. Teman-teman saya dimanapun berada, khususnya sahabat-sahabat AS-
SHUFFAH (I’adatul Adawiyyah, Azkiyatuttahiyyah, M.Iqbal Syauqi,
Dailami) yang tak pernah bosan memberikan bimbingan dan sarannya,
seluruh mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir angkatan 2013, khususnya
Izzah, Uswah, Dewi, Udoh, Azka, Atina, Gizda, Ira, terima kasih atas
kebersamaannya, sahabat-sahabat Pondok Pesanteren Ar-Risalah yang tak
pernah bosan untuk mendoakan dan memberikan motivasi, khususnya Mas
Hanif Rusdiansyah, Naufila Medina, Vivi, Shona, Dira, Zia, Mba Ilmiah.
(Allāhumma waffaqnā fī kulli khayr).
11. Para rekan-rekan PSM UIN Jakarta (khususnya Kak Guilas, Kak Laja,
Soleram, Gesang, Murphy, Ensemble, Sektia, dll), Lembaga Tahfidz dan
Ta’lim al-Qur’an Masjid Fathullah UIN Jakarta (Kak Kholil, Kak Biah,
Faiz, Latifah, Farah, dll), dan Forum Lingkar Pena Ciputat (Kak Belda,
Ifah, Kak Ocol, dll), terima kasih banyak untuk ilmu dan pengalaman yang
selama ini kalian berikan. (Jazākumullāh aḥsana al-jazā’).
12. Sahabat-sahabat di Darussunnah, Eva Hanifah, Wichda Rahma Azkia, Lia
Lianti, Nailal Amani, Akmilna ‘Aqlina, Najahatul A’laliyah, Lailatul
Fajriyah, Rahmi Warman, Diah Ayu Agustina, dll terima kasih banyak
untuk kebersamaan selama kurang lebih empat tahun di Ciputat.
(Jazakumullāh aḥsana al-jazā’).
Jakarta, 2 Mei 2017
Alfi Syahriyati
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................i
ABSTRAK ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
B. Permasalahan ................................................................................. 5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................... 6
D. Kajian Pustaka ............................................................................... 7
E. Metodologi Penelitian ................................................................... 10
F. Sistematika Penulisan .................................................................... 18
BAB II LANDASAN TEORI ........................................................................ 20
A. Hadis .............................................................................................. 20
1. Perkembangan Posisi Hadis ...................................................... 20
2. Sejarah Penggunaan Hadis ....................................................... 22
3. Penggunaan dan Penyalahgunaan Hadis-Hadis ........................ 25
B. Qatl ................................................................................................ 30
1. Definisi Qatl ............................................................................. 30
2. Sejarah Qatl dalam Islam .......................................................... 32
BAB III PEMAHAMAN HADIS PERINTAH MEMBUNUH ................... 39
A. Ilmu Ma’āni al-Hadis .................................................................... 39
vii
B. Analisis Pemahaman Tekstual dan Kontekstual Hadis-Hadis
Perintah Membunuh ...................................................................... 40
BAB IV PENDAPAT ULAMA FIQH TENTANG PERINTAH
MEMBUNUH ................................................................................... 53
A. Dasar Hukum Membunuh ............................................................. 53
B. Pendapat Ulama Fiqh tentang Pembunuhan .................................. 55
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 60
A. Kesimpulan .................................................................................... 60
B. Saran-saran .................................................................................... 60
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
A. Konsonan
gh ═ غ r ═ ر ’ ═ ء
f ═ ف z ═ ز b ═ ب
q ═ ق s ═ س t ═ ت
k ═ ك sy ═ ش ts ═ ث
l ═ ل ṣ ═ ص j ═ ج
m ═ م ḍ ═ ض ḥ ═ ح
n ═ ن ṭ ═ ط kh ═ خ
w ═ و ẓ ═ ظ d ═ د
h ═ ة/ه (ayn) ‘ ═ ع dz ═ ذ
y ═ ي
B. Vokal dan Diftong
Vokal Pendek Vokal Panjang Diftong
═ a ا— ═ ā ى ═ ī
═ i ى— ═ á و ═ aw
═ u و— ═ ū ي ═ ay
C. Keterangan Tambahan
1. Kata sandang ال (alif lam maʽrifah) ditransliterasi dengan al-, misalnya
al-dzimmah. Kata sandang (الذمة) al-ātsār dan (اآلثار) ,al-jizyah (الجزية)
ini menggunakan huruf kecil, kecuali bila berada pada awal kalimat.
2. Tasydīd atau syaddah dilambangkan dengan huruf ganda, misalnya al-
muwaṭṭāʽ.
ix
3. Kata-kata yang sudah menjadi bagian dari bahasa Indonesia, ditulis
sesuai dengan ejaan yang berlaku, seperti al-Qur’an, Hadis dan
lainnya.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Terorisme1 merupakan suatu kegiatan ekstrim yang dapat merenggut nyawa
banyak orang dan sangat merugikan berbagai pihak. Aksi terorisme yang semakin
mencuat satu dekade terakhir mendorong berbagai elemen masyarakat dunia
mencari jalan penyelesaiannya. Berbagai studi dan penelitian dilakukan untuk
menelusuri faktor yang melatarbelakangi aksi terorisme yang muncul hampir di
seluruh dunia. Beberapa peneliti mengatakan bahwa faktor penyebab terjadinya
terorisme adalah ideologi atau agama.2 Dalam hal ini agama Islam seringkali
dituduh sebagai pemicu dan pelaku berbagai aksi teror tersebut. Terutama saat
dunia dihebohkan dengan terjadinya serangan teror WTC di Amerika Serikat.
Jika dilihat sejarah terorisme dunia, ternyata gerakan terorisme yang
bermotifkan agama dan ideologi ialah yang paling banyak terjadi. Hal ini
berdasarkan laporan Patterns of Global Terrorism 2000 yang dikeluarkan
pemerintah Amerika Serikat. Dalam laporan ini disebutkan bahwa terdapat 43
kelompok teroris internasional utama yaitu: 1) 27 kelompok, diantaranya sub
kelompok religius fanatik yang terdiri dari 18 kelompok Islam, 8 kelompok Kristen
(Katolik), dan 1 kelompok menganut sekte Aum; 2) 12 sub kelompok berbasis
1 Menurut Walter Laqueur, terorisme merupakan penggunaan kekuatan secara tidak sah
untuk mencapai tujuan-tujuan politik. Target terorisme adalah masyarakat sipil yang tidak bersalah.
Unsur utama terorisme adalah penggunaan kekerasan. Lihat Laqueur Walter, The Age of Terrorism,
Boston, MA : Little, Brown, 1987. Menurut Manullang A.C terorisme adalah suatu cara untuk
merebut kekuasaan dari kelompok lain, dipicu oleh banyak hal, seperti; pertentangan (pemahaman)
agama, ideologi dan etnis, kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi masyarakat dengan
pemerintah, atau karena adanyapaham separatism dan ideolog fanatisme. Lihat Manullang A.C,
Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, Jakarta : Panta Rhei, 2001. 2 Imam Mustofa, "Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi (Gerakan Islam Radikal sebagai
Respon terhadap Imperealisme Modern)." Religia 15.1 (2013), hlm. 66-67.
2
ideologi, yaitu Marxisme dengan berbagai variasinya; 3) 4 sub kelompok etno-
nasionalisme.3 Dari data tersebut wajar bila ada sebuah penyudutan terhadap agama
Islam setelah terjadinya serangan terror WTC di Amerika Serikat.
Neil J. Smelser meluruskan hal ini. Beliau menyatakan dalam artikelnya
yang berjudul Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi bahwa agama merupakan salah
satu faktor yang dapat menimbulkan gerakan terorganisir yang terlibat dalam
terorisme. Namun, aksi kekerasan dan terorisme yang dilakukan oleh sebagian umat
Islam bukan berarti kesalahan teks atau agama itu sendiri melainkan karena kurang
ketepatan pemeluknya dalam menginterpretasikan teks-teks dan ajaran agama
Islam. Di samping itu, tidak adanya kontekstualisasi terhadap interpretasi tersebut
juga ikut menyumbang “kesalahan” pada aksi implementasi teks dan ajaran agama
tersebut.4 Dalam Islam, gerakan ini biasa disebut dengan gerakan Islam radikal.
Ninin Prima Damayanti memperkuat hal ini, bahwa kemunculan gerakan
Islam radikal khususnya di Indonesia disebabkan oleh pemahaman umat Islam yang
totalistik, yang bersikap kaku dalam memahami teks-teks agama, sehingga mereka
cenderung menolak perubahan sosial. Misalnya, menolak sistem negara demokrasi,
sistem globalisasi, dan lain-lain.5 Imam Mustofa juga mengatakan bahwa ideologi
agama sedikit banyak berpengaruh terhadap munculnya aksi radikalisme. Teks-teks
agama yang ditafsirkan secara totalistik akan menimbulkan pandangan yang sempit
dalam beragama. Kebenaran agama menjadi barang komoditi yang dapat
dimonopoli. Ayat-ayat suci dijadikan justifikasi untuk melakukan tindakan radikal
3 Imam Mustofa, "Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi”, h. 66-67. 4 Imam Mustofa, "Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi”, h. 66-67. 5 Ninin Prima Damayanti, et al. "Radikalisme Agama Sebagai Salah Satu Bentuk Perilaku
Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam." Jurnal Kriminologi Indonesia 3.1 (2012), hlm.
48-49.
3
dan kekerasan dengan alasan untuk menegakkan kalimat Tuhan di muka bumi ini.
Aksi radikalisme inilah yang sering mengarah ke arah aksi teror.6
Ali Mustafa Yaqub mengatakan dalam bukunya yang berjudul “Ijtihad,
Terorisme, dan Liberalisme” bahwa sebagian orang yang melakukan beberapa
tindakan anarkis dan teror di berbagai belahan dunia mengklaim bahwa tindakan
mereka tersebut merupakan bagian dari jihad7, padahal interpretasi terhadap makna
jihad yang mereka lakukan masih berada di luar kebenaran syariat. Contohnya
seperti gerakan Jamaah Islamiyah (JI) yang sebagian anggotanya dituduh berada
dibalik aksi-aksi pengeboman di Indonesia dan negara lainnya. Aksi terbesarnya
adalah pengeboman yang terjadi si pulau Bali Indonesia pada 2002. Ali Mustafa
mengatakan “kami mendengar langsung dari beberapa anggota JI yang telah keluar
dari organisasinya itu, bahwa teman-teman mereka melakukan aksi-aksi terorisme
karena berijtihad setelah membaca terjemah al-Qur’an bahasa Indonesia, yang
berisi perintah Allah kepada kaum muslimin untuk membunuh orang-orang kafir
dimana saja mereka berada”.8 Sebagaimana Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah
[2]: ayat 191:
منالقتلواق ت لوه نةأشد محيثثقفتموهموأخرجوهممنحيثأخرجوكموالفت “Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah
mereka dari tempat mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu
lebih besar bahayanya dari pembunuhan”.
Tindakan ini merupakan satu contoh sikap kaku dalam memahami ayat al-
Qur’an yang dapat mengakibatkan tindakan radikal. Padahal dalam ayat ini, Allah
memerintahkan untuk memerangi orang kafir jika mereka memerangi orang muslim
6 Imam Mustofa, "Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi, hlm.68. 7Ali Mustafa Yaqub, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2012),
hlm. 46. 8 Ali Mustafa Yaqub, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme, hlm. 50-52.
4
terlebih dahulu. Sebagaimana dijelaskan dalam ayat sebelumnya (QS. al-Baqarah [2]:
ayat 190):
المعتدينو ليب الله الهذيني قاتلونكمولت عتدواإنه قاتلوافسبيلالله
“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi)
janganlah kamu melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang melampaui batas”.
Selain ayat-ayat al-Qur’an di atas, terdapat hadis Nabi yang digunakan oleh
Imam Samudera9 sebagai salah satu legitimasinya melakukan aksi Bom Bali pada
tahun 2000, 10 hadis tersebut adalah sebagai berikut:11 ي قولوا:لإله مالهون فسهأمرتأنأقاتلالنهاسحته ،فمنقالاف قدعصممن الله إله
بقه،وحسابهعلىالله12 إله“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka
mengucapkan Lā Ilāha illa Allāh (masuk Islam). Siapa yang mengucapkan
Lā Ilaha illa Allāh, maka harta dan jiwanya terpelihara dariku, kecuali
dengan haknya, dan perhitungannya diserahkan kepada Allah.”
Selain hadis di atas, terdapat pula hadis yang berisi perintah Rasul untuk
membunuh. Adapun orang-orang yang Rasul perintah untuk dibunuh diantaranya;
‘Abū Rāfi’,13 Ka’ab bin Asyraf,14, ‘Abdullāh bin Khaṭṭal15 dan lain-lain. Mereka
yang mengaku telah berijtihad pada dalil-dalil ini ternyata tidak mengetahui bahasa
Arab, ilmu al-Qur’an, dan perangkat ijtihad lainnya.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa pengkajian ulang terhadap hadis-
hadis perintah membunuh menjadi sangat penting agar dapat dipahami latar
9 Nama aslinya ialah Abdul Aziz, lelaki kelahiran Banten, 14 Januari 1969, merupakan
salah seorang tersangka utama dalam kasus Bom Bali 2000. Pada tahun 2008, ia terpidana mati
sebab kasus tersebut. 10 Imam Samudra, Aku Melawan Teroris, Solo: al-Jazeera, 2004, hlm. 125-130. 11 Ali Mustafa Yaqub, Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme, hlm.54. 12 Abū al-Husain Muslimal-Hajjāj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahīh Muslim, Riyaḍ : Dār
al-Salām, 1998, hlm.32. 13 Abū Abdillah Muhammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, (Riyaḍ : Dār al-
Salām, 1998), hlm. 682. 14 Abū Abdillah Muhammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari,hlm.682. 15 Abū Abdillah Muhammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, hlm.503.
5
belakang dari perintah Nabi Muhammad Saw untuk membunuh. Karena perintah
membunuh berbenturan dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan saat ini, dalam
mengkaji hadis-hadisnya perlu melihat kondisi sosial pada masa Nabi Saw
disandingkan dengan kondisi sosial pada masa sekarang. Dalam penelitian ini
penulis mengunakan analisis pemahaman hadis yang mempertimbangkan majaz,
takwil, ‘illat, geografi, budaya Arab, kondisi sosial, dan al-asbab al-wurūd (latar
belakang) dalam Hadis. Upaya ini dilakukan untuk memperoleh pemahaman hadis
yang utuh.
B. Permasalahan
1. Identifikasi Masalah
Dari topik yang dibahas di atas, ada beberapa masalah yang dapat
diidentifikasi, diantaranya:
a. Adanya perdebatan dikalangan ulama seputar maksud lafadz Uqātil
dan Uqtul dari hadis perintah membunuh.
b. Hadis-hadis perintah membunuh merupakan hadis yang perlu untuk
dipahami secara tekstual maupun kontekstual.
c. Hadis perintah membunuh merupakan hadis yang perlu diteliti baik
secara sanad maupun matan, agar dapat diketahui kesahihan hadis
tersebut.
d. Hadis perintah membunuh merupakan hadis-hadis yang kerap
dijadikan legitimasi golongan teroris, namun perlu diketahui
pemahaman para teroris dalam memahami hadis perintah membunuh.
6
e. Hadis perintah membunuh muncul dan memiliki pengaruh pada
zaman Nabi. Apa peran Nabi saat mengemukakan perintah
membunuh tersebut.
2. Batasan Masalah
Dari beberapa masalah yang telah diidentifikasi di atas, maka pembahasan
hadis perintah membunuh pada penelitian ini akan dibatasi pada pemahaman
tekstual dan kontekstual hadis saja. Hadis-hadis perintah membunuh yang akan
dibahas juga dibatasi hanya pada hadis-hadis perintah membunuh manusia yang
terdapat pada kitab Ṣahīh Bukhāri dan Ṣahīh Muslim. Mengingat bahwa kedua kitab
ini merupakan kitab Hadis yang memenuhi syarat kesahihan Hadis.16 Sehingga
penulis tidak mencantumkan pembahasan takhrīj al-hadīs dalam penelitian ini.
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan di atas, penulis fokus pada satu rumusan masalah,
yaitu: Bagaimana pemahaman tekstual dan kontekstual hadis perintah membunuh
berdasarkan metode Ma’āni al-Hadīs Ali Mustafa Yaqub?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui pemahaman tekstual dan kontekstual hadis perintah
membunuh.
2. Untuk memenuhi syarat studi sebagai sarjana S1 UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat diantaranya :
16 M. Syuhudi Ismail. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan Kritis
dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 2014, hlm.12.
7
1. Memberikan sumbangsih dalam wacana pemikiran untuk mewujudkan
semangat akademik, khususnya pada ilmu pengetahuan.
2. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
menginterpretasi perintah membunuh dalam hadis secara khusus, dan teks
keagamaan secara umum.
3. Bagi bangsa dan negara, penelitian ini diharapkan mampu memberikan
kontribusi terhadap problematika perintah membunuh/ perang/ jihad, serta
menawarkan solusi yang mampu membantu untuk mengurangi
kesalahpahaman tentang kemanusiaan dan keagamaan, khususnya Islam.
4. Bagi penulis, penelitian ini diharapkan mampu membuka cakrawala
penulis tentang aktualisasi hadis dalam masyarakat, sehingga berguna
dalam interaksi sosial.
D. Kajian Pustaka
Untuk mendudukkan posisi penelitian ini, penulis akan menghadirkan
beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan kajian ini. Beberapa studi
terdahulu yang dianggap relevan dengan kajian ini antara lain:
Sebuah artikel tahun 2012 yang berjudul Meninjau Hukuman Mati bagi
Murtad (Kajian Hadis Tematik) karya M Robith Fuadi Abdullah. Jurnal ini
membahas hadis-hadis hukuman mati terhadap pelaku murtad. Kemudian
disimpulkan bahwa hukuman mati bagi orang murtad tidak bisa dipahami secara
harfiah, sehingga orang murtad yang boleh dihukum mati ialah mereka yang
memerangi Allah dan Rasulnya.17 Perbedaannya dengan penelitian penulis, M
17 M.Robith Fuadi Abdullah, “Meninjau Hukuman Mati Bagi Murtad (Kajian Hadits
Tematik).”de Jure 4.1 (2012), hlm.24.
8
Robith Fuadi hanya fokus pada pembahasan hadis hukuman mati bagi orang
murtad, sedangkan penulis fokus pada hadis-hadis perintah membunuh.
Sebuah Tesis tahun 2012 yang berjudul Hukuman Mati terhadap Pelaku
Tindak Pidana Terorisme Perspektif Fiqh Jinayah karya Ahmad Zainut Tauhid.
Tesis ini membahas undang-undang anti terorisme yang kemudian dianalisa dalam
fiqh al-jinayah dan memberikan kesimpulan bahwa hukuman mati boleh diterapkan
dalam keadaan tertentu.18 Perbedaannya dengan penelitian penulis, Ahmad Zainut
Tauhid fokus pada pembahasan hukuman mati bagi pelaku terorisme dalam
perspektif fiqh al-jinayah, sedangkan penulis fokus pada pembahasan hadis-hadis
perintah membunuh dengan pendekatan ma’āni al-hadīs.
Sebuah Tesis tahun 2012 yang berjudul Hukuman Mati Orang Murtad
dalam Hadits (Aplikasi Hermeneutika Hadits Fazlur Rahman) karya Acep
Husbanul Kamil. Penelitian ini membahas hadis-hadis hukuman mati bagi orang
murtad dengan menggunakan pendekatan hermeneutika Fazlur Rahman dan
bagaimana relevansi hukuman mati bagi orang murtad terhadap kebebasan
beragama dalam konteks kekinian. Kesimpulan tesis ini ialah bahwa orang murtad
yang wajib dibunuh ialah mereka yang membawa bencana besar untuk orang
muslim. Jika pelaku murtad tidak membawa bencana demikian, maka ia hanya
dijatuhkan hukum perdata.19 Perbedaannya dengan penelitian penulis, Acep
Husbanul Kamil fokus pada pembahasan hadis hukuman mati bagi orang murtad
18Ahmad Zainut Tauhid, Hukuman Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Perspektif Fiqh Jinayah. (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2012), hlm.ii. 19 Acep Husbanul Kamil, Hukuman Mati Orang Murtad dalam Hadits(Aplikasi
Hermeneutika Hadits Fazlur Rahman). (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri
Sunan Walisongo Semarang, 2012), hlm.ix.
9
dengan pemahaman hermeneutika, sedangkan penulis fokus pada pembahasan
hadis-hadis perintah membunuh dengan pendekatan ma’ani al-hadis.
Sebuah Tesis pada tahun 2014 yang berjudul Hadits Hukuman Mati
(Pendekatan Sistem Sosial Talcott Parsons) karya Mu’jizad Abdurrazak. Penelitian
ini ditulis untuk mengungkap hukuman mati yang terkadung dalam hadis Nabi
menggunakan paradigma sistem sosial Talcott Parsons yang mengemukakan
bagaimana sebuah sistem terus memiliki fungsi. Lebih lanjut, analisis ini melihat
bagaimana hukum yang memiliki fungsi untuk mengikat elemen-elemen dalam
sebuah sistem. Cara pandang fungsionalis ini memaknai persoalan hukuman mati,
bukan terletak pada apakah hukuman ini masih relevan atau tidak, tetapi lebih
kepada fungsi mengapa hukuman mati ini termaktub khususnya dalam teks hadis
umat Islam. Penelitian ini menyimpulkan bahwa hadis dan kandungan hukuman
matinya merupakan syarat partikular yang terintegrasi dalam satu keseluruhan
sistem, apabila syarat ini dihilangkan, maka yang terjadi adalah goyahnya sebuah
sistem.20 Perbedaannya dengan penelitian penulis, Mu’jizad Abdurrazak fokus pada
pembahasan hadis-hadis hukuman mati melalui pendekatan sistem sosial Talcott
Parsons, sedangkan penulis fokus pada pembahasan hadis-hadis perintah
membunuh dengan pendekatan ma’āni al-hadīs.
Sebuah artikel pada tahun 2015 yang berjudul Hadits Man Baddala Dinahu
Faqtuluhu Teori Semiotika Komunikasi Hadits, karya Benny Afwadzi merupakan
kajian yang terpusat pada pembahasan semiotika hadis Man baddala Dīnahu
Faqtulūhu. Melalui pembacaan semiotika Umberto Eco, ia menyimpulkan bahwa
20 Mu’jizad Abdurrazak, “Hadis Hukuman Mati (Pendekatan Sistem Sosial Talcott
Parsons)” (Tesis S2 Fakultas Agama dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2014), hlm.viii.
10
kata faqtulūhu dalam hadis merujuk pada makna “memperingatkan dia”, dan bisa
juga bermakna “memberikan nasihat kepadanya”. Adapun tafsiran selanjutnya
menjadi “menghormati dia”. Tafsiran yang terakhir dianggap cukup masuk akal dan
banyak memberikan kontribusi besar bagi kehidupan konteks modern.21
Perbedaannya dengan penelitian penulis, Benny Afwadzi fokus pada pembahasan
hadis hukuman mati bagi orang murtad melalui pendekatan semiotika, sedangkan
penulis fokus pada pembahasan hadis-hadis perintah membunuh dengan
pendekatan ma’ani al-hadis.
Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan metode Ma’āni al-Hadīs
Ali Mustafa Yaqub dalam memahami hadis-hadis perintah membunuh.
Berdasarkan studi terdahulu yang penulis temukan, belum ada kajian tentang hadis-
hadis perintah membunuh dengan menggunakan metode Ma’āni al-Hadīs Ali
Mustafa Yaqub.
E. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Metode penelitian atau metode ilmiah adalah prosedur atau langkah-
langkah dalam mendapatkan pengetahuan ilmiah atau ilmu.22 Dalam penelitian,
banyak metode dan pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan. Menurut
Sutama, terdapat dua macam pendekatan dalam penelitian, yaitu pendekatan
kuantitatif dan pendekatan kualitatif.23 Dalam hal ini, penulis menggunakan
pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang
21 Benny Afwadzi, "Hadis Man Baddala Dinahu Faqtuluhu”: Telaah Semiotika Komunikasi
Hadis." Esensia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 16.2 (2015), hlm.135. 22 Suryani, Metodologi Penelitian; Model Prakatis Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif
(Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), hlm.20. 23 Sutama, Metode Penelitian Pendidikan, (Surakarta: Fairuz Media, 2010), hlm.15.
11
menghasilkan data deskriptif yang berlaku bagi pengetahuan humanistic atau
interpretative yang secara teknis penekanannya lebih pada teks.24
Lebih lanjut dalam melakukan pengkajian dan penelitian yang berkenaan
dengan metode Ma’āni hadis-hadis perintah membunuh, penulis menggunakan
jenis penelitian kepustakaan (library research), dengan rincian sebagai berikut:
a. Menggali sejarah turun dan berkembangnya hadis-hadis perintah
membunuh pada zaman Nabi Saw.
b. Menggali pendapat para Ulama pensyarah hadis yang masyhur seperti
Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya Fath al-Bāri bi Syarh Sahīh al-
Bukhāri, al-Nawawī dalam kitabnya Sahīh Muslim bi Syarh al-Nawawī,
dll.
c. Mengkaji lebih dalam hadis-hadis perintah membunuh dengan
menggunakan metode Ma’āni al-Hadīs.
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kepustakaan ini terbagi menjadi dua, yaitu
sumber primer (primary resources) dan sumber pendukung (secondary resources)
yang seluruhnya adalah teks.25
a. Sumber Primer
Sumber primer yang akan dijadikan rujukan dalam penelitian ini
adalah referensi-referensi yang mampu menunjukkan data secara
komprehensif tentang tercantumnya perintah membunuh dalam hadis-
hadis jinayah, diantaranya: al-Kutub al-Sittah : 1) Ṣahīh al-Bukhāri 2)
24 Robert Bogdan & Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif Suatu
Pendekatan Fenomenologi terhadap Ilmu Sosial, terj. Arief Furchan (Surabaya: Usaha Nasional,
1992) hlm.12. 25 Muhammad Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998) hlm.39.
12
Ṣahīh Muslim 3) Sunan al-Nasā’i 4) Sunan Ibn Mājah 5) Sunan al-
Tirmidzī 6) Sunan Abū Dāwud. Kitab-kitab Syarah Hadis: Fath al-
Bāri (Syarah Ṣahīh al-Bukhāri), Syarh al-Nawawī (Syarah Ṣahīh
Muslim), dll . Selain itu digunakan pula kitab yang membahas khusus
metode Ma’āni al-Hadīs Ali Mustafa Yaqub yang berjudul al-Ṭuruq
al-Ṣahīhah fī Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah.
b. Sumber Sekunder
Adapun sumber sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku hadis
dan tafsir, baik klasik maupun kontemporer; buku-buku yang
membahas fundamentalisme dan radikalisme, khususnya dalam
Islam; buku-buku yang membahas hukum pidana dalam Islam, baik
yang ditulis oleh orang Islam sendiri ataupun dari non Islam; buku-
buku yang menjelaskan metode Ma’āni al-Ḥadīs.
Selain itu rujukan yang menjadi sumber sekunder adalah karya-karya atau
monografi hasil penelitian yang membahas metode Ma’āni al-Ḥadīs. Demikian
pula karya-karya yang terkait dengan tafsir, hadis, hermeneutika, sejarah, filsafat,
sosiologi, psikologi, maupun kamus yang dapat digunakan untuk menopang dan
mempertajam analisis penelitian ini.
3. Metode Pengumpulan Data
Dalam hal pengumpulan data, penulis menggunakan teknik studi pustaka,
yaitu mengumpulkan literatur-literatur yang terkait dengan penelitian yang akan
dibahas dengan menganalisa, mentelaah dan mengkaji literatur-literatur tersebut.
Pengumpulan data juga akan dilakukan dengan mentakhrij hadis melalui
metode bi al-lafdzi, yakni pencarian ḥadīs yang menggunakan bantuan sebagian
13
lafadz hadis dalam matan hadis perintah membunuh. Adapun kitab yang dijadikan
rujukan adalah al-Mu‘jam al-Mufahras li Alfādz al-Ḥadīs al-Nabawī karya tim
orientalis yang diketuai oleh AJ. Wensinck dan ‘Abd al-Bāqi sebagai
komentatornya. Penulis mengambil hadis-hadis dari beberapa kitab-kitab induk
hadis. Penulis juga menggunakan Maktabah Syāmilah untuk mempermudah dalam
pencarian data.
4. Metode Pengolahan dan Analisa Data
Setelah data terkumpul, penulis melakukan beberapa langkah dalam upaya
mengolah dan menganalisis data.
a. Mengkategorisasi pesan-pesan Rasul yang terkandung dalam hadis.
b. Setelah melakukan kategorisasi, langkah selanjutnya penulis
mendeskripsikan secara sistematis dengan menggunakan pendekatan
teks dan konteks dalam meneliti hadis-hadis perintah membunuh.
Penelitian ini bersifat deskriptif analisis, yaitu suatu bentuk penelitian yang
meliputi pengumpulan data kemudian dianalisis. Pelacakan data dimulai dari
sumber primer yakni kitab syarah hadis yang membahas tentang perintah
membunuh.
Adapun metode untuk menganalisa matan hadis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pemaknaan hadis yang ditawarkan oleh Ali Mustafa
Yaqub26 yang secara ringkas telah mencakup metode-metode yang ditawarkan oleh
pakar studi hadis. Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
26Ali Mustafa Yaqub, al-Ṭuruq al-Ṣahīhah fī Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2014), hlm.1-7.
14
1. Majaz dalam Hadis
Dalam memahami teks berbahasa Arab, terkadang ditemukan makna
yang sebenarnya (hakiki atau denotatif) dan terkadang ditemukan makna
kiasan (majazi atau konotatif). Teks Hadis masuk dalam kategori teks
bahasa Arab, sehingga maknanyapun terkadang denotatif dan konotatif.
Jika yang dimaksud dalam Hadis adalah makna konotatif, maka tidak
diragukan bahwa makna yang dimaksud dalam hadis tersebut bukan yang
denotatif, sehingga tidak perlu mengamalkannya dengan makna denotatif.
Apabila diamalkan dengan makna denotatif, maka hal ini masuk dalam
pemahaman hadis yang salah, meskipun tidak termasuk dalam kesesatan.
2. Takwil dalam Hadis
Al-Ta’wil merupakan bentuk Masdar dari awwala- yu’awwilu-ta’wil.
Secara etimologi, takwil adalah al-tarji’ yang berarti pengembalian. Dalam
kitab-kitab bahasa, kata takwil berkisar pada dua pengertian. Pertama,
takwil bermakna al-aqibah wa al-marja’ wa al-mashir (akibat, tempat
rujukan, dan tempat kembali). Kedua, takwil bermakna al-tafsir wa al-
bayan (tafsir dan penjelasan). Menurut Ibn al-Atsir (w.606 H) dalam
kitabnya al-Nihayah, takwil adalah mengalihkan teks lafadz dari makna
asalnya (eksplisit) kepada makna yang memerlukan suatu indikasi yang jika
indikasi ini tidak ada, maka tidak perlu mengabaikan makna eksplisit dari
teks tersebut.
Dalam teks Hadis, Hadis yang ditakwil adalah Hadis yang tidak dapat
dipahami dengan makna eksplisit (tekstual), melainkan dengan makna lain.
15
3. ‘Illat dalam Hadis
Hadis Nabi terkadang berbentuk perintah, larangan, atau berupa
lafadz yang semakna dengan perintah dan larangan. Perintah atau larangan
dalam Hadis kadangkala disebutkan illatnya (illat eksplisit atau
manṣushah), dan kadangkala tidak disebutkan illatnya (illat implisit atau
mustanbaṭah). Maka illat di sini bukan illat dalam ilmu Hadis yang menjadi
salah satu faktor penyebab kedaifan Hadis. Tetapi yang dimaksud di sini
adalah illat menurut Ilmu Ushul Fiqh.
Illat menurut mayoritas ulama Ushul Fiqh adalah sifat dzahir yang
dapat dipedomani dan menjadi pendeteksi hukum. Dalam redaksi lain
diartikan suatu sifat yang keberadaannya menyebabkan adanya hukum, dan
ketiadaannya menyebabkan tidak adanya hukum.
Secara umum, illat manshushah (eksplisit) tidak menyebabkan
adanya perbedaan pendapat di antara Ulama. Beda halnya dengan illat
mustanbathah (implisit). Sebab illat ini terkadang menyebabkan para Ulama
berbeda pendapat mengenai maksud Hadis yang illatnya tidak disebutkan
dalam teksnya. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan pendapat dalam
memahami maksud Hadis yang menyebutkan illatnya.
Perbedaan pendapat dalam hal ini baru tampak ketika ada pendapat
perbedaan riwayat di dalam Hadis. Sebagian Ulama menggunakan riwayat
Hadis yang memuat illat (manṣushah) di dalamnya, sementara sebagian
Ulama yang lain menggunakan riwayat Hadis yang tidak menyebutkan illat
di dalamnya.
16
4. Geografi dalam Hadis
Tidak ada perbedaan pendapat di antara para Ulama bahwa geografi
bukan termasuk salah satu sumber hukum Islam. Namun demikian,
geografi yang merupakan ilmu peta bumi dapat membantu seorang
muslim dalam memahami Hadis Nabi. Seorang muslim yang tidak
mengetahui geografi terkadang keliru dalam memahami beberapa
Hadis. Tidak diragukan bahwa geografi merupakan hal yang diperlukan
dalam memahami Hadis.
5. Budaya Arab dalam Hadis
Allah Swt berfirman:
وماآتكمالرهسولفخذوهوماناكمعنهفان ت هوا“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.”
Dalam ayat ini, Allah Swt memerintahkan kaum mukminin untuk
mengambil apa yang datang dari Rasulullah Saw, baik dalam hal syariat
maupun agama, atau dalam hal urusan dunia berupa budaya dan muamalah.
Hal ini karena lafadz “ma” pada ayat di atas mengandung arti umum.
Namun ayat ini tidak selamanya bersifat umum, karena ada riwayat lainnya
dari Rasulullah Saw yang mengkhususkan keumuman ayat tersebut.
Imam Muslim berkata: “Bab Wujub Imtitsal Ma Qalahu Rasulullah
Sallallahu ‘alaihi wa Sallam Syar’an, Ma Dzakarahu Min Ma’ayisy al-
Dunya ‘ala Sabil al-Ra’yi (Bab Kewajiban Mengikuti Sabda Nabi yang
berkaitan dengan Syariah, Bukan Pernyataan Beliau tentang Kehidupan
Dunia menurut Pendapatnya).
17
Imam Nawawi (w. 676 H) menjelaskan bahwa: “Menurut para Ulama,
sabda Nabi berupa : “ra’yi” adalah berupa urusan dunia dan kehidupannya,
bukan tentang syariat Islam”. Maka yang wajib diambil dari Rasulullah Saw
adalah hanya dalam urusan agama saja. Sedangkan di luar masalah agama,
misalnya berkaitan dengan budaya Arab atau tentang kehidupan dunia
berdasarkan pendapat beliau, maka seorang muslim boleh mengambil atau
tidak.
6. Kondisi Sosial dalam Hadis
Di antara perangkat yang dapat membantu kita dalam memahami Hadis
adalah mengetahui kondisi sosial yang terjadi saat Rasulullah
menyampaikan sabdanya. Kondisi sosial pada masa Nabi terkadang berbeda
dengan kondisi sosial pada masa sekarang ini. Oleh karena itu, Hadis yang
berkaitan dengan kondisi saat itu tidak boleh dipraktikkan dan diamalkan
secara harfiah (tekstual) pada kondisi saat ini jika kondisi sosialnya
berbeda. Jika tetap dipraktikkan, maka kesinpulan hukumnya tidak tepat,
bahkan dapat menyalahi Sunnah Nabi.
7. Al-Asbab al-Wurūd Hadis (Latar Belakang Hadis)
Di antara perangkat yang dapat membantu kita dalam memahami Hadis
adalah sabab al-wurud al-hadis (latar belakang Hadis). Jika dalam ayat al-
Qur’an terdapat al-asbab al-nuzul, maka dalam Hadis terdapat al-asbab al-
wurud. Mengetahui latar belakang suatu hadis dapat membantu untuk
mengetahui maksud Hadis tersebut. Imam Ibn Taimiah (w. 728 H) berkata:
“Mengetahui tentang sabab al-nuzul dapat membantu untuk memahami ayat
al-Qur’an. Karena sesungguhnya dengan mengetahui al-sabab (faktor
18
penyebab) dapat melahirkan pengetahuan terhadap al-musabbab (faktor
yang dihasilkan atau akibat). Terkadang Hadis belum bisa dipahami kecuali
setelah mengetahui al-asbab al-wurud Hadis tersebut. Oleh karena itu, al-
asbab al-wurud Hadis menjadi perangkat yang diperlukan dalam
memahami Hadis Nabi.
5. Teknik Penulisan
Dalam penelitian ini, saya berpedoman pada Pedoman Penulisan Skripsi
pada buku Pedoman Akademik Program Strata 1 2012/2013. Transliterasi yang
dipakai dalam penyusunan skripsi ini berpedoman pada Romanisasi Standar Bahasa
Arab (Romanization of Arabic) yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1991 dari
American Library Association (ALA) dan Library Congress (LC).
F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Pada bab pertama akan dibahas
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kajian
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Pada bab kedua akan dibahas landasan teori dari penelitian, bagian ini terdiri
dari dua pembahasan, pembahasan pertama membahas tentang “Hadis”, mencakup
tiga cabang pembahasan yaitu tentang perkembangan posisi hadis, sejarah
penggunaan hadis, dan pembahasan penggunaan dan penyalahgunaan hadis-hadis.
Pembahasan kedua membahas tentang “Qatl”, pembahasan ini terdiri dari dua
cabang pembahasan, yaitu definisi qatl dan sejarah qatl dalam Islam.
Pada bab ketiga akan dibahas pemahaman hadis perintah membunuh, terdiri
dari dua pembahasan, pertama, membahas tentang “Ilmu Ma’ani al-Hadis”, kedua,
19
membahas tentang analisis pemahaman tekstual dan kontekstual hadis-hadis
perintah membunuh
Pada bab keempat akan dibahas pendapat ulama fiqh tentang hadis-hadis
perintah membunuh.
Pada bab kelima atau terakhir adalah penutup berupa kesimpulan dan saran.
20
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Hadis
1. Perkembangan Posisi Hadis
Hadis merupakan sumber hukum kedua dalam Islam setelah Al-Quran. Pada
awalnya, hadis tidak memiliki posisi yang signifikan dalam hukum Islam.1 Hadis
Nabi hanya digunakan sebagai referensi aktifitas tekstual yang berlangsung pada
abad 1 H sampai dengan awal abad 2 H.2 Kemudian atas inisiatif Imam al-Syāfi’i
(204 H), hadis dimasukkan dalam struktur bangunan referensi Hukum Islam secara
resmi. Hal ini didasari oleh kebutuhan terhadap hadis dalam dunia praktek
keagamaan dan hukum.3
Kebutuhan terhadap hadis pada perkembangan selanjutnya hingga hari ini
berkembang tidak hanya pada praktek keagamaan, tapi merambah pada kebutuhan
legitimasi untuk setiap aspek kehidupan, termasuk di dalamnya persoalan sehari-
hari. Selain itu, hadis telah menjadi alat justifikasi bagi setiap tindakan yang orang
lakukan. Artinya, setiap perilaku sehari-hari, gaya berpakaian, apalagi praktek
keagamaan harus bersumber dari hadis, terutama hadis-hadis sahih. Pada saat yang
bersamaan, seseorang atau pihak yang tidak mendasari perbuatan dan pemikirannya
dengan hadis, dianggap sebuah penyimpangan. Persoalan yang muncul kemudian
adalah hadis yang awalnya tidak digunakan sebagai referensi hukum, kemudian
1Fathiddin Beyanouni, “Ḥadīth and its Principles in the Early Days of Islam a Critical
Study of a Western Approach” (University of Glasgow, 1994), hlm. 20. 2Wael B. Hallaq, The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005), hlm. 66-67. 3Aisha Y Musa, “Al-Shāfiʻī, the Ḥadīth, and the Concept of the Duality of
Revelation,”Islamic Studies46:2 (2007): 163-197. Lihat Juga Aisha Y. Musa, Ḥadīth as a Scripture
(New York: Palgrave Macmillan, 2008), 2 dan 31. Wael B. Hallaq, “Was Al-Shāfiʻī the Master
Architect of Islamic Jurisprudence?”International Journal of Middle East Studies, No. 25 (1993):
592-593.
21
berkembang menjadi sebuah referensi yang diperlakukan otoriter oleh beberapa
kelompok keagamaan.4
Fenomena yang disebutkan di atas diistilahkan oleh Rifqi Muhammad
Fatkhi sebagai paradigma hadis, yaitu kecenderungan masyarakat untuk
menggunakan hadis-hadis sahih semata, tanpa mempertimbangkan keberlakuan
dan penggunaan hadis tersebut pada generasi awal.5 Artinya, sebuah perilaku
keagamaan (ibadah) dapat dilakukan jika didasari oleh hadis, dan hanya bisa
diterima jika hadis tersebut memiliki kualitas sahih.6
Berbanding terbalik dengan paradigma ini, ada paradigma lain yang
kemudian disebut oleh Rifqi Muhammad Fatkhi dengan “paradigma fikih”.
Paradigma yang kedua ini berawal dari sejumlah fakta dalam khazanah keilmuan
dan keberagamaan umat Islam yang tidak serta merta mengamalkan sebuah hadis
meskipun memiliki kualitas sahih. Hadis sahih bisa diamalkan setelah ia
didialogkan dengan sejumlah kaidah-kaidah uṣūl seperti nāsikh-mansūkh, muṭlaq
muqayyad, ‘ām-khāṣ, mujmal-mubayyan, ḥaqīqah-majāz, musytarakah lafdẓiyyah-
ma’nawiyyah, dalālāt, mafhūm muwāfaqah-mukhālafah, ‘ibārat al-naṣ, dan
kaidah-kaidah uṣūl lainnya yang sangat menentukan makna dan keberlakuan
sebuah hadis. Paradigma ini pada gilirannya tidak meniscayakan hadis sahih untuk
diamalkan, betapapun sahihnya hadis tersebut. Misalnya al-Imām Mālik, beliau
tidak mengamalkan hadis khiyār dalam jual beli karena tidak ada dalam praktek
4 Rifqi Muḥammad Fatkhi, The Use and Not Use of Ḥadīth, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional “Radikalisme: Problem Pemahaman Teks Al-Qur’an dan Hadits” Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Ciputat, 4 November 2015, hlm.2. 5 Mereka yang menggunaan hadis-hadis sahih ini juga enggan memahami asbab al wurud
dan kondisi historisnya terlebih dahulu. 6 Rifqi Muḥammad Fatkhi, The Use and Not Use of Ḥadīth, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional“Radikalisme: Problem Pemahaman Teks Al-Qur’an dan Hadits” Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, 4 November 2015, hlm.
6-7.
22
penduduk Madinah (‘Amal Ahlu al-Madīnah), padahal hadis tersebut diriwayatkan
di dalam kitab Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, Ṣaḥīh Muslim, Musnad Aḥmad, Sunan al-Tirmidzī,
Sunan al-Nasā’ī, dan Sunan Abī Dāwūd.7
Paradigma fikih ini belakangan tergeser secara masif oleh paradigma hadis
di atas. Menurut penulis, hal ini disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang
cenderung praktis dalam memahami hadis. Paradigma hadis ini pada gilirannya
membentuk pola keberagamaan masyarakat Islam di Indonesia untuk hanya
melakukan aktifitas keagamaan jika didasari oleh hadis sahih. Bahkan mereka
cenderung menganggap pihak-pihak yang tidak menggunakan hadis sahih sebagai
pihak yang salah, menyimpang, bid’ah dan istilah-istilah sejenis lainnya.8 Karakter
inilah yang disebut oleh Greg Fealy sebagai karakter kelompok Islam radikal.9
2. Sejarah Penggunaan Hadis
Ketika pemerintahan dipegang oleh Bani Umayyah (41 H- 131 H), para
sahabat banyak yang pergi meninggalkan kota Madinah, menuju kota-kota yang
baru dibangun seperti Kufah, Mekkah, Baṣrah, Mesir dan Syam. Di ibu kota
tersebut mereka mengajarkan fikih, meriwayatkan hadis, dan mengembangkan
ajaran agama. Umat Islam di daerah tersebut pun berlomba-lomba untuk
mempelajari dan mendalami ilmu agama berupa fikih dan Hadis, sehingga banyak
melahirkan generasi yang mumpuni. Di antara mereka adalah Sa’īd bin al-
7 Rifqi Muḥammad Fatkhi, The Use and Not Use of Ḥadīth, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional “Radikalisme: Problem Pemahaman Teks Al-Qur’an dan Hadits” Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, 4 November 2015, hlm.
7-8. 8 Rifqi Muḥammad Fatkhi, The Use and Not Use of Ḥadīth, Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional “Radikalisme: Problem Pemahaman Teks Al-Qur’an dan Hadits” Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Ciputat, 4 November 2015, hlm.
9. 9 Greg Fealy, “Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?", Southeast Asian
Affairs, 2004, hlm.105.
23
Musayyab (13 H- 94 H), Ibrāhim al-Nakha’i (46 H- 96 H), Amīr bin Suraḥbi (19
H- 103 H), Ṭaus bin Kaisan al-Yamānī (W 106 H), al-Ḥasan bin Jasar al-Biṣrī (W
110 H), dan ‘Aṭā’ bin Abi Rābah (27 H-110 H).10
Pada periode Umayyah ini, fikih mulai dipandang sebagai ilmu yang berdiri
sendiri, dan para ulama pun mulai saling berbeda pendapat. Di antara mereka ada
yang lebih dominan dalam menggunakan wahyu di samping akal atau ra’yi.
Sebagiannya lagi lebih dominan menggunakan ra’yi atau logika ketimbang wahyu.
Untuk itu, para ulama fikih pada masa ini terbagi kepada dua golongan, yaitu;
golongan Ahl al-Ra’yī dan golongan Ahl al-Ḥadīth.11
a. Ahlu al-Hadīth
Ulama golongan ini, dalam menyelesaikan persoalan fikih, lebih
dominan menggunakan hadis ketimbang akal atau ra’yi. Karenanya mereka
menjauhi penggunaan ra’yi dan baru akan menggunakannya bila dalam
keadaan yang sangat mendesak. Untuk itu kegiatan mereka banyak
dicurahkan untuk menghafal hadis-hadis dan fatwa para sahabat. Aliran ini
berkembang di daerah Hijaz. Di antara tokohnya adalah; Sa’īd bin al-
Musayyab (W 94 H), Amīr bin Syurahil al-Sya’by (W 104 H), dan lain-lain.
Adapun faktor penyebab aliran ini berkembang di Hijaz adalah;
1. Pengaruh dari para sahabat yang mengajarkan fikih di Hijaz, yang
notabene sebagai ahlu al-hadis. Misalnya, ‘Abdullāh bin‘Abbās,
‘Abdullāh bin‘Umar.
10Muḥammad ‘Alī al-Sayis, Tārīkh al-Fiqh al-Islāmī, (Maktabah wa Maṭbāh Muḥammad
‘Alī Ṣabih wa Aulāduhu), hlm.72-73. 11Lihat Muḥammad ‘Alī al-Sayis, Tarikh al-Fiqh al-Islāmī,hlm.72. Lihat juga Joseph
Schacht, Pengantar Hukum Islam, alih bahasa.Moh Said dkk.(Clarendom Pres.1977), hlm.40-50.
24
2. Banyaknya jumlah sahabat yang berdomisili di daerah Hijaz, serta
merta Sunnah dan fatwa sahabat beredar dengan jumlah yang besar.
3. Di daerah Hijaz, jarang sekali terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak
di dapati hukumnya di dalam al-Quran dan Hadis, serta fatwa-fatwa
sahabat, dikarenakan kehidupan masyarakat Hijaz pada saat itu hampir
tidak berbeda dengan masa sebelumnya.
b. Ahlu al-Ra’yī
Ulama golongan ini, dalam menyelesaikan persoalan fikih, lebih
mengedepankan atau lebih dominan menggunakan ra’yi ketimbang hadis.
Aliran ini muncul disebabkan oleh sedikitnya jumlah hadis yang beredar di
tempat fuqaha berada. Keadaan ini mendorong mereka untuk meneliti dan
mengkaji secara mendalam maksud-maksud syara’ dalam menetapkan
hukum. Aliran ini berkembang di daerah Irak. Adapun tokohnya yang
termasyhur adalah; ‘Alqamah bin Qais (W. 62 H), Ibrāhim bin Yazīd al-
Nakha’i (W. 95H).
Adapun faktor penyebab aliran ini berkembang di Irak ialah:
1. Pengaruh dari sahabat yang pertama mengajarkan fikih, yaitu
‘Abdullāh bin Mas’ūd, yang notabene bercorak ra’yi.12
2. Sedikitnya jumlah hadis dan fatwa sahabat yang beredar di Irak.
3. Banyaknya persoalan fikih yang muncul di daerah Irak.
12Khalīl, Rashād Ḥasan. ‘Abd al-Fataḥ ‘Abdullāh al-Barsumī. Tarīkh al-Tashrī’ al-Islāmī,
(Beirut: Dār al-Fikr, 1981), hlm.240.
25
4. Daerak Irak merupakan pusat kegiatan politik, dan daerah tempat
berkembangnya aliran Khawarij dan Syī’ah, yang memicu munculnya
hadis-hadis palsu.
Pada pemerintahan Bani ‘Abbasiyyah (132 H- 656 H), lahirlah imam-imam
mujtahid yang profesional dari golongan Ahlu al-Hadis dan Ahlu al-Ra’yi. Di
antaranya ialah Imam Hanafi dari golongan Ahlu al-Ra’yi. Sedangkan Imam Mālik,
Syāfi’i, Hambali, dan Madzhab Ẓahiry merupakan Imam-imam dari golongan Ahlu
al-Hadis.13
3. Penggunaan dan Penyalahgunaan Hadis-Hadis
Sejak zaman Rasulullah hingga sekarang banyak sekali ragam masyarakat
dalam menggunakan hadis-hadis Nabi. Dari yang awalnya hanya sebagai referensi
aktifitas-aktifitasnya, kemudian hadis dijadikan legitimasi dan justifikasi dalam
kehidupan sehari hari. Contohnya ialah sebagai berikut:
a. Hadis sebagai Sumber Hukum Islam
Hadis tentang Mahar
ا معك ممن 14القرآنم اذهب، ف قد ملكتكها بم“Pergilah dan aku akan menikahkanmu dengan apa yang ada padamu
dari Al-Qur’an”.
Hadis ini dijadikan landasan oleh orang-orang ketika ingin menikahi
perempuan dan tidak memiliki mahar sebagaimana yang ditentutkan oleh Nabi.
Sabda Nabi بما معك من القرآن (apa yang ada padamu dari al-Qur’an) memiliki dua
13Lihat Joseph Schacht, hlm. 51-112. Lihat juga, Muḥammad ‘Alī al-Sayis, Tarīkh al-Fiqh
al-Islāmī, hlm. 91-110. Lihat juga Sya’bah Muḥammad Ismāil.al-Tashrī’ al-Islāmī Maṣādiruhu wa
Aṭwāruhu (Mesir: Maktabah al-Nadhah, 934), hlm.212-348. 14 Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Ismā’īl al-Bukhārī, Shahih al-Bukhārī,hlm.901.
26
tafsiran di antara para ulama. Menurut al-Qāḍi ‘Iyāḍ, sabda Nabi ‘apa yang ada
padamu dari Al Qur’an‘memiliki dua tafsiran:15
1. Tafsiran yang lebih tepat, yaitu “apa yang bisa kamu ajarkan dari
al-Qur’an atau kadar tertentu dari al-Qur’an dan menjadikan pengajaran
tersebut sebagai mahar”. Tafsiran ini disebutkan juga oleh Malik, dan
dikuatkan juga oleh sebagian jalan yang shahih dari riwayat ini. Maka sang
suami wajib mengajarkan al-Qur’an sebagaimana sudah dijelaskan. Dan
dalam hadis Abu Hurairah disebutkan secara spesifik kadar ayat yang
diajarkan, yaitu 20 ayat.
2. Tafsiran yang memaknai huruf ba’ di sini dengan makna lam,
sehingga maknanya “karena sebab apa yang ada padamu dari al-Qur’an,
maka hafalan tersebut membuatmu mulia dan layak menikahi istrimu tanpa
mahar. Karena si suami adalah seorang penghafal al-Qur’an atau
menghafal sebagiannya”.
b. Hadis digunakan dalam Kehidupan Sehari-hari
Hadis Larangan Mencukur Jenggot
خالمفوا المشرمكمني أحفوا الشوارمب وأوفوا الل محى16“Selisilah orang-orang musyrik. Potong pendeklah kumis dan
biarkanlah jenggot”
Sebagian ulama cenderung memaknai hadis ini secara tekstual sesuai
dengan dzhahir hadis. Mereka berpendapat bahwa memotong kumis dan
memelihara jenggot adalah sebuah keharusan bagi umat Islam. Berdasarkan hadis
15Aḥmad bin ‘Alī Ibn Hajar Abū al-Fadl al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhāri,
(Beirut: Dār al-Ma’rifah), juz 9, hlm.212.
16Abū al-Ḥusain Muslim al-Hajjāj al-Qushayrī al-Naisabūrī, Ṣahīh Muslim, hlm.125
27
tersebut, sebagian umat Islam berpendapat bahwa Nabi telah memerintahkan semua
kaum laki-laki untuk memangkas kumis dan memanjangkan jenggot. Mereka
memandang bahwa ketentuan itu merupakan salah satu kesempurnaaan dalam
mengamalkan ajaran Islam.17
Perintah Nabi tersebut memang relevan untuk orang-orang Arab, Pakistan,
dan lain-lain yang secara alamiah mereka dikaruniai rambut yang subur, termasuk
di bagian kumis dan jenggot. Tingkat kesuburan dan ketebalan rambut milik orang-
orang Indonesia tidak sama dengan milik orang-orang arab tersebut. Banyak orang
Indonesia yang kumis dan jenggotnya jarang. Atas kenyataan itu, maka hadis
tersebut harus dipahami secara kontekstual.18
c. Hadis digunakan sebagai Legitimasi Politik
Hadis Pemimpin Laki-Laki
19ق وم ولوا أمرهم امرأة ي فلمح ن ل “Tidak akan bahagia suatu kaum yang mengangkat sebagai pemimpin
mereka seorang wanita”.
Jumhur ulama memahami hadis ini secara tekstual, sehingga mereka
berpendapat bahwa berdasarkan petunjuk hadis tersebut, maka pengangkatan
wanita menjadi kepala negara, hakim pengadilan dan berbagai jabatan yang setara
dengannya dilarang. Mereka mengatakan bahwa wanita menurut petunjuk syara’
hanya diberi tanggungjawab untuk menjaga harta suaminya.20 Untuk memahami
hadis tersebut, perlu dikaji lebih dahulu keadaan yang sedang berkembang pada saat
17Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma`ani al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm.
68. 18Subhan. "Hadis Kontekstual (Suatu Kritik Matan Hadis)." Mazahib 10.2 (2012), hlm. 84. 19 Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, hlm.753. 20 M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma`ani al-Hadis
Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, hlm.65.
28
hadis itu disabdakan oleh Nabi. Di mana diketahui bahwa hadis itu disabdakan
tatkala Nabi mendengar penjelasan dari sahabat beliau tentang pengangkatan
wanita menjadi ratu di Persia.
Menurut tradisi yang berlangsung di Persia, yang diangkat menjadi kepala
negara adalah seorang laki-laki. Yang terjadi pada tahun 9 Hijriyah itu menyalahi
tradisi tersebut, yang diangkat menjadi kepala negara bukan laki-laki, melainkan
seorang wanita, yakni Buwaran binti Syairawaih bin Kisrah bin Barwaiz. Dia
diangkat menjadi ratu (kisra) di Persia setelah terjadi pembunuhan-pembunuhan
dalam rangka suksesi kepala negara. Ketika ayah Buwaran meninggal dunia, anak
laki-lakinya yakni saudara lakilaki Buwaran telah mati terbunuh tatkala melakukan
perebutan kekuasaan, karenanya Buwaran dinobatkan sebagai ratu (Kisra).21
Pada waktu itu derajat kaum wanita dalam masyarakat berada di bawah
derajat kaum laki-laki. Wanita sama sekali tidak dipercaya untuk ikut serta
mengurus kepentingan masyarakat umum, terlebih-lebih dalam masalah
kenegaraan. Hanya laki-lakilah yang dianggap mampu mengurus kepentingan
masyarakat dan negara. Bahkan keadaan seperti itu tidak hanya terjadi di Persia,
bahkan jazirah Arab pada umumnya. Dalam kondisi kerajaan Persia dan masyarakat
seperti itu, maka Nabi memiliki kearifan tinggi menyatakan bahwa bangsa yang
menyerahkan kenegaraan dan kemasyarakatan kepada kaum wanita tidak akan
sukses (menang atau beruntung) sebab bagaimana mungkin akan sukses, kalau
orang yang memimpin adalah makhluk yang sama sekali tidak dihargai oleh
masyarakat yang dipimpinnya. Salah satu syarat yang harus dimiliki oleh seorang
21Aḥmad bin ‘Alī Ibn Hajar Abū al-Faḍl al-‘Asqalāniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-
Bukhāri (Beirut: Dar al-Ma’rifah, hlm.128.
29
pemimpin adalah kewibawaan, sedangkan wanita pada saat iu sama sekali tidak
memiliki kewibawaan untuk menjadi pemimpin. Dengan demikian dalam
perjalanan sejarah, penghargaan masyarakat kepada kaum wanita semakin
meningkat, akhirnya dalam banyak hal, kaum wanita diberi kedudukan yang sama
dengan kaum laki-laki. al-Qur`an sendiri memberi peluang yang sama kepada kaum
wanita untuk melakukan berbagai aktivitas dan amal kebajikan. Dengan demikian
hadis ini harus dipahami secara kontekstual.
d. Hadis digunakan sebagai Legitimasi Kelompok Radikal
Hadis Membunuh Orang Murtad
ينه فاق ت لوه 22 من بدل دم“Siapa yang mengganti agamanya, bunuhlah!”
Pada masa kekhalifahan ‘Ali RA, sebagaimana latar belakang hadis ini
diketahui bahwa ia pernah membunuh bahkan membakar orang kafir zindiq (orang-
orang murtad dari Islam) pada zamannya. Walaupun hal ini tidak disetujui oleh Ibn
‘Abbās, namun ia tetap melaksanakan hukum bunuh bagi orang murtad.23 Konteks
hadis ini adalah kejadian dimana Sayyidina ‘Ali membakar orang-orang yang kafir
zindiq karena telah mempermainkan Islam. Mereka menyembunyikan
kekafirannya, dan mengumumkan keislamannya.24 Pendapat ini sesuai dengan
pendapat dari al-‘Asqalāni yang menjelaskan bahwa makna kaum dalam hadis ini
adalah orang-orang kafir zindiq yang memiliki sebuah kitab dan ‘Ali bin Abi Ṭālib
memerintahkan untuk membakarnya namun mereka menolak, maka kemudian ‘Ali
22Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhri, hlm.1192. 23 Abū Ja’far Aḥmad bin Muḥammad bin Salamah bin ‘Abd al-Malik bin Salamah al-Azdi
al-Ṭahawi. Syarh Musykil al-Atsar (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1949), VII/303. 24 Abū ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al-Barr bin ‘Ashim al-Namri
al-Qurthubi, al-Istidzkar, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000).
30
membakar mereka dan juga kitab-kitab mereka.25 Penjelasan ini dikuatkan dengan
periwayatan yang menyebutkan bahwa kaum yang dimaksud adalah kaum kafir
zindiq.26
Oleh karena itu hadis ini tidak bisa dimaknai secara tekstual. Murtad yang
dimaksud dalam hadis ini ialah kafir zindiq, dimana pada zaman Rasul mereka ialah
golongan yang lebih dikenal dengan istilah munafiq, namun dalam istilah syar’i
sering disebut zindiq. Sedangkan dalam ilmu aqidah, zindiq adalah orang yang
mengingkari hari akhirat dan rububiyyah Allah Swt. Kafir zindiq dianggap sangat
berbahaya karena keberadaan mereka yang menjadi musuh dalam selimut.27
B. Qatl
1. Definisi Qatl dan Derivasinya
Qatl berasal dari kata qatala- yaqtulu-qatl, yang berarti membunuh atau
pembunuhan.28 WJ.S Poerwadarminta mengemukakan bahwa pembunuhan adalah
perbuatan membunuh. Istilah pembunuhan biasanya disepadankan dengan istilah
homicide dalam Bahasa Inggris. Dalam Webster’s New World Dictionary of The
American Language diuraikan bahwa istilah homicide berasal dari dua kata, yaitu:
kata homo yang berarti a man atau manusia, dan caedere yang berarti to cut
(memotong) atau to kill (membunuh). Sehingga bila kedua kata tersebut
digabungkan akan menjadi homicide yang artinya adalah “setiap perbuatan
25 Aḥmad bin ‘Alī bin Hajar Abū al-Faḍl al-‘Asqalāniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-
Bukhāri (Beirut: Dār al-Ma’rifah,1379),VI/151. 26 Muḥammad bin ‘Alī bin Muḥammad bin ‘Abdullāh al-Syawkanī, Nayl al-Awṭār (Mesir:
Dār al-Hadis, 1993), 1/357. 27Wizārah al-Awqāf wa al-Syu’ūn al-Islāmiyyah, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaytiyyah (Kuwait : Wizārah al-Awqāf wa al-Syu’ūn al-Islāmiyyah, 1427), XXIV/48 28 Ibn Mandzūr, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dār Ihya al-Turats al-‘Araby, 1408 H), hlm.552.
31
membunuh seseorang yang dilakukan oleh orang lain”.29 Adapun derivasi dari kata
qatl ialah sebagai berikut.30
Bentuk kata Arti
Membunuh قتل
,Dikutuk, dilaknat, dicelakakan, dibinasakan, dibunuh قتل
digugurkan, dikalahkan, diperangi
Berperang, memerangi, melaknat, membinasaan قاتل
Berbunuh-bunuhan, berperang اقتتل
Membunuh, bunuh يقتل
Terbunuh يقتل
Berperang, memerangi يقاتل
Berkelahi يقتتل
Membunuh, dibunuh, bunuh يقتل
Membunuh, terbunuh, dibunuh القتل
Pembunuhan القتلى
Dibunuh dengan sehebat-hebatnya تقتيال
Berperang, peperangan, perang القتال
Bunuhlah اقتل
Berperanglah, perangilah قاتل
29Eko Hariyanto, Memahami Pembunuhan, (Jakarta: Kompas, 2014), hlm.1. 30A.J. Wensink. Mu’jam al-Mufahras Li Alfādz al-Hadis al-Nabawi, Leiden: E.J. Brill,
1986.hlm.266, lihat juga Imam al-Raghib al-Isfahani. Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an.
(Damaskus: Dār al-Qalam, 2009) dan Ibn Mandzūr, Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dār Ihya al-Turats al-
‘Araby, 1408 H). Lihat arti term qatala dan derivasinya dalam Depag Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya (Semarang: CV ALWAAH, 1993) dan A.W. Munawir, Kamus Al-Munawwir Arab-
Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997. hlm.1091.
32
2. Sejarah Qatl dalam Islam
Thedor Noldeke dan Schwally membagi surat-surat dalam al-Quran
menjadi empat periode, yakni periode Makkah pertama, periode Makkah kedua,
periode Makkah ketiga, dan yang terakhir adalah periode Madinah.31 Melalui
pemetaan surat dan ayat-ayat al-Quran yang turun di Mekah dan Madinah ini,
penulis akan menguraikan sejarah pembunuhan dalam Islam sehingga akan
diketahui perintah apa saja yang diturunkan Allah kepada manusia ketika peristiwa
pembunuhan tersebut berlangsung baik di Mekah maupun di Madinah., dengan
pemetaan ini penulis juga akan melacak kapan perintah membunuh diperbolehkan
oleh Allah.
Pada pariode Makkah 1, al-qatl secara keseluruhan diungkapkan dengan
menggunakan fi’il maḍi, sebagaimana dalam QS. al-Muddatsir [74]: 19-20.32Ayat
ini dengan menggunakan lafadz qatala menjelaskan bahwa Allah Swt melaknat
terhadap orang-orang yang pada masanya telah mengingkari Allah swt dan telah
menentang ayat-ayat al-Qur’an. Mereka ditetapkan sebagai orang-orang yang
celaka.
Dengan menggunakan lafadz yang sama seperti penjelasan ayat
sebelumnya, dalam QS.‘Abasa [80]: 1733 lafadz qatala ditujukan kepada orang-
orang yang tidak memahami tentang hakikat dirinya dikarenakan amat sangat
31Taufiq Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah al-Quran (Ciputat-Jakarta, Alvabet, 2005),
hlm.117. ر 32 ر )19( ث قتمل كيف قد ف قتمل كيف قدMaka celakalah dia! Bagaimana dia menetapkan? Sekali lagi, celakalah dia! Bagaimanakah
dia menetapkan? QS. al-Muddatsir (74): 19-20. نسان ما أكفره 33 قتمل المCelakalah manusia! Alangkah kufurnya dia! QS. ‘Abasa (80): 17.
33
kekafirannya. Sebab turunnya ayat ini sebagaimana yang telah dikisahkan oleh Ibn
al-Mundzir yang bersumber dari ‘Ikrimah, ia berkata: “Turunnya ayat itu berkenaan
dengan ‘Utbah bin Abī Lahab yang berkata: “Saya kufur dengan Tuhan bintang”.34
Masih menggunakan lafadz yang sama, Allah mengutuk orang-orang yang
banyak berdusta (orang-orang yang terbenam dalam kebodohan lagi lalai). Untuk
lebih jelasnya, lihat pada QS. al-Zāriāt [51]: 10.35
Seperti yang telah disebutkan di atas, dari sekian ayat yang menggunakan
lafadz qatala dari derivasi lafadz al-qatl, semuanya mengandung makna kemurkaan
Allah terhadap hamba-hamba-Nya pada masa periode Makkah 1 yang tidak pernah
berpikir secara sehat dan selalu menghasilkan keputusan atau pijakan yang keliru.
Dengan hasil kebijakannya itu akhirnya mereka menjalani apa yang telah
diputuskannya, dijadikan pedoman dalam kehidupan mereka, sehingga dengan
keyakinannya itu mereka menjadi orang-orang yang selalu mengingkari dan
menjadikannya sebagai penentang terhadap ayat-ayat Allah.
Dalam fase ini belum ada perintah untuk membunuh orang-orang tersebut,
ayat al-Quran yang turun masih bermakna melaknat atau menghukum.
Pada periode Makkah 2, turun ayat al-qatl yang berkaitan dengan kisah
perjalanan kerasulan Nabi Musa as yang pernah menghukum mati manusia tanpa
disengaja. Sebagaimana QS. Ṭāhā ayat 40.36 Selain itu, kisah menghukum mati
34Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, Lubāb al-Nuqul Fī al-Asbāb al-Nuzūl, terj. Abdul Mujib
(Surabaya: Mutiara Ilmu, 1986), hlm.639. قتمل الراصون 35Terkutuklah orang-orang yang banyak berdusta. QS. al-Dzaariat (51): 10. ن ها ول تزن وق ت لت ن فس ا 36 ي أختك ف ت قول هل أدلكم على من يك فله ف رجعناك إمل أم مك كي ت قر عي إمذ تشم
ئت على قدر ي موس نمني فم أهلم مدين ث جم ناك ممن الغم م وف ت ناك ف تون ف لبمثت سم ي ى ف نج
(yaitu) ketika saudara perempuanmu berjalan, lalu dia berkata (kepada keluarga Fir'aun),
"Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya?" Maka Kami
mengembalikanmu kepada ibumu, agar senang hatinya dan tidak bersedih hati. Dan engkau pernah
34
seorang manusia juga dialami oleh Nabi Khidir as terhadap seorang anak.
Sebagaimana QS. al-Kahfi [18]: 74.37 Setelah diungkapkan kisah-kisah hukuman
mati oleh nabi-nabi di atas, selanjutnya derivasi lafadz al-qatl diungkapkan dan
dijelaskan dengan menggunakan fi’il muḍāri’ yang lebih sarat dengan nuansa
perintah larangan menghukum mati jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya).
Sebagaimana QS. Al-Furqān [25]: 68.38
Dalam periode kedua ini dijelaskan bahwa perbuatan yang dilakukan oleh
Nabi Musa as dan Nabi Khidir as di atas hanyalah sebagai propaganda di zamannya,
semata-mata untuk menegakkan agama Allah sejak dini. Nabi Musa melakukan
pembunuhan itu tidak disengaja dikarenakan niatnya yang ingin melerai
perkelahian antara orang mukmin dan kafir yang sedang berkelahi, tetapi pada
kenyataannya orang kafir inilah yang meninggal dikarenakan pukulan Nabi Musa
as. Sedangkan Nabi Khidir as melakukan proses hukuman mati terhadap seorang
anak tersebut (dengan disengaja) karena jika tidak dibunuh, akan mendatangkan
suatu bencana terhadap keimanan kedua orang tuanya yang mukmin.
Kedua ayat yang turun tersebut bersifat larangan dari Allah kepada hamba-
Nya untuk tidak membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah (untuk membunuh)
membunuh seseorang, lalu Kami selamatkan engkau dari kesulitan yang besar dan Kami telah
mencobamu dengan beberapa cobaan (yang berat); lalu engkau tinggal beberapa tahun di antara
penduduk Madyan, kemudian engkau, wahai Musa, datang menurut waktu yang ditetapkan. QS.
Ṭāhā [20]: 40. ئ ا نكر ا 37 ئت شي فانطلقا حت إمذا لقميا غالم ا ف قت له قال أق ت لت ن فس ا زكمية بمغيم ن فس لقد جمMaka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka
Khidhr membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena
dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar". QS. al-
Kahfi [18]: 74. لق م و ل ي زنون ومن ي فعل ذلمك ي لق أثم ا 38 إمل بم والذمين ل يدعون مع اللم إمل ا آخر ول ي قت لون الن فس التم حرم اللDan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak
membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan
tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan)
dosa(nya). QS. Al-Furqan (25): 68.
35
nya, dan tidak melakukan pembunuhan terhadap anak-anak dikarenakan takut akan
kemiskinan.
Periode Makkah tiga merupakan lanjutan dari periode kedua tentang
larangan-larangan membunuh manusia. Namun dalam periode ini ayat-ayat yang
ada lebih menjelaskan suatu realitas terbalik, dimana Allah Swt dalam wahyu-Nya
melarang adanya pembunuhan (lihat perode Makkah kedua). Yang terjadi bahkan
sebaliknya, yakni maraknya aktivitas pembunuhan yang dilakukan oleh orang-
orang musyrik sebagai reaksi dari sikap mengkhianati Allah Swt. Akibatnya, pada
masa itu banyak orang mukmin yang menjadi korban kekerasan dan pelanggaran
hak asasi manusia lainnya. Hal ini ditandai dengan adanya pembunuhan yang
dilakukan oleh orang-orang musyrik terhadap anak-anak (orang-orang tidak
berdosa) dan orang-orang mukmin. Seperti halnya yang dijelaskan dalam kitab
Tafsir Ibnu Katsir bahwa Fir’aun memerintahkan kaumnya untuk membunuh putra-
putra orang yang beriman kepada Musa as dan Bani Israil serta membiarkan anak-
anak perempuan tetap hidup. Tujuan yang dilakukan Fir’aun untuk membunuh itu
ialah sebagai penghinaan kepada Bani Israil, kaum Musa dan juga untuk
memperlambat pertumbuhan Bani Israil yang dapat mengancam kelestarian
kerajaan Fir’aun.39 Kisah ini berdasarkan pada QS. al-Mu’min [40]: 25.40
39Ismā’īl Abū al-Fida’ Ibnu Kathīr, Tafsīr al-Qur’ān al-Aẓīm, terj. Salim Bahreisy dan Said
Bahreisy (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1990), hlm.120. لق م ممن عمندمن قالوا اق ت لوا أب ناء الذمين آمنوا معه واستحيوا نمساءهم وما كيد الكافمرمين إمل فم 40 ف لما جاءهم بم
ضالل Maka tatkala Musa datang kepada mereka membawa kebenaran dari sisi Kami mereka
berkata: "Bunuhlah anak-anak orang-orang yang beriman bersama dengan dia dan biarkanlah hidup
wanita-wanita mereka". Dan tipu daya orang-orang kafir itu tak lain hanyalah sia-sia (belaka). QS.
al-Ghafir [40]: 25.
36
Disamping itu, juga adanya perencanaan pembunuhan terhadap diri Nabi
Musa as sendiri yang masih dilakukan oleh kelompok Fir’aun sebagaimana QS. al-
Mu’minūn [40]: 26.41
Dalam periode Makkah yang terakhir ini, ada beberapa poin yang bisa
diambil sebagai sejarah atas periode-periode sebelumnya, antara lain: diharamkan
melakukan pembunuhan terhadap anak-anak karena takut akan kemiskinan dan
diharamkan pula melakukan pembunuhan terhadap jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya) kecuali dengan suatu (sebab ) yang benar.
Periode Madinah merupakan kelanjutan dari peristiwa pada periode
Makkah 3, banyak pengungkapan kembali kisah-kisah dari berbagai macam
pembunuhan yang terjadi pada nabi-nabi Allah yang dilakukan oleh orang-orang
musyrik seperti yang terdapat pada QS. al-Baqarah [2]: 61.42 Sebenarnya
pembunuhan terhadap seseorang pada waktu itu tidak hanya terjadi pada kelompok
nabi saja akan tetapi pada kehidupan internal sekalipun. Mereka juga melakukan
aksi pembunuhan antar sesama yang disertai dengan melakukan pengusiran-
ل دينكم أو أن ي ظهر في الرض الفساد 41 وقال فرعون ذروني أقتل موسى وليدع ربه إن ي أخاف أن يبد
Dan berkata Fir'aun (kepada pembesar-pembesarnya): "Biarkanlah aku membunuh Musa
dan hendaklah ia memohon kepada Tuhannya, karena sesungguhnya aku khawatir dia akan menukar
agamamu atau menimbulkan kerusakan di muka bumi". QS.al-Ghafir [40]: 26. ن ب قلمها وقمثائمها وفوممها 42 د فادع لنا ربك يرمج لنا مما ت نبمت الرض مم على طعام واحم وإمذ ق لتم ي موسى لن نصبم
ها وبصلمها قال م الذ ملة والمسكنة أتست بدملون الذمي هو أ وعدسم لذمي هو خي اهبمطوا ممصر ا فإمن لكم ما سألتم وضرمبت عليهم دن بميتم اللم وي قت لون النبمي مني بمغيم م كانوا يكفرون بم ن ا عصوا وكانوا ي عتدونق م ذلمك بم ال وبءوا بمغضب ممن اللم ذلمك بم
Dan (ingatlah), ketika kamu berkata: "Hai Musa, kami tidak bisa sabar (tahan) dengan satu
macam makanan saja. Sebab itu mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu, agar Dia
mengeluarkan bagi kami dari apa yang ditumbuhkan bumi, yaitu sayur-mayurnya, ketimunnya,
bawang putihnya, kacang adasnya, dan bawang merahnya". Musa berkata: "Maukah kamu
mengambil yang rendah sebagai pengganti yang lebih baik? Pergilah kamu ke suatu kota, pasti
kamu memperoleh apa yang kamu minta". Lalu ditimpahkanlah kepada mereka nista dan
kehinaan, serta mereka mendapat kemurkaan dari Allah. Hal itu (terjadi) karena mereka selalu
mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi yang memang tidak dibenarkan. Demikian
itu (terjadi) karena mereka selalu berbuat durhaka dan melampaui batas. QS. al-Baqarah [2]: 61.
37
pengusiran terhadap sebagian masyarakat lainnya sebagaimana QS al-Baqarah [2]:
8543
Setelah pemaparan kilas balik dari beberapa kisah yang terjadi dalam
periode Makkah, maka pada periode Madinah persoalan-persoalan tersebut
mendapatkan penjelasan, seperti perintah ditegakkannya hukum qisas sebagaimana
QS. al-Baqarah [2]: 178.44
ثم والعدوانم وإمن يتوكم أسارى 43 م تظاهرون عليهمم بم لم نكم ممن دميرمهم ث أن تم هؤلءم ت قت لون أن فسكم وترمجون فرميق ا مم
نون بمب عضم الكمتابم وتكفرون بمب عض فما جزا نكم إمل ت فادوهم وهو مرم عليكم إمخراجهم أف ت ؤمم ء من ي فعل ذلمك ممن يا وي وم القميامةم ي ردون إمل أشد م العذابم زي فم الياةم الد ا ت عملون خم بمغافمل عم وما الل
Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (saudaramu sebangsa) dan mengusir
segolongan daripada kamu dari kampung halamannya, kamu bantu membantu terhadap mereka
dengan membuat dosa dan permusuhan; tetapi jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu
tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagimu. Apakah kamu beriman kepada
sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang
yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari
kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu
perbuat. QS al-Baqarah [2]: 85. لن ثى فمن عفمي له ممن 44 لعبدم والن ثى بم لر م والعبد بم لى الر بم ي أي ها الذمين آمنوا كتمب عليك م القمصاص فم القت
لمعروفم وأداء إمليهم بممحسان ذلمك تفميف ممن رب مكم ورحة فمنم اع يهم شيء فات مباع بم عد ذلمك ف له عذاب ألميم تدى ب أخم
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita
dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat)
kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih. QS al-Baqarah (2 ):178.
Dikemukakan oleh Abi Hatim yang bersumber dari Sa’id Ibn Jubair, bahwa sebelum
datangnya Islam pada zaman jahiliyah dua suku arab saling berperang, mereka ada yang terbunuh
dan ada yang hanya sekedar luka-luka, bahkan mereka membunuh hamba sahaya dan wanita-wanita.
mereka belum sempat membalas dendam, sebab mereka masuk agama Islam. Masing-masing
membanggakan diri dengan jumlah pasukan dan harta kekayaan. mereka bersumpah tidak rela,
hingga orang merdeka dibunuh disebabkan membunuh hamba sahaya dan orang laki-laki dibunuh
disebabkan membunuh wanita. Lihat Jalaluddin al-Suyūṭi, Lubab al-Nuqūl, hlm 54.
Kemudian Allah menetapkan keadilan dalam hukum qisas, orang-orang merdeka dengan
merdeka, budak dengan budak, wanita dengan wanita dan jangan sampai melampaui batas atau
mengubah hukum Allah sebagaimana yang terjadi pada Yahudi Bani Quraiḍah dengan Bani al-
Nadhir dimana Yahudi Bani Quraiḍah dan Bani al-Nadhir pada zaman Jahiliyah saling berperang.
ketika Bani Quraidhah membunuh soarang Bani al-Nadhir, maka tidak dibalas bunuh melainkan
seratus wasaq dari kurma, dan sebaliknya jika Bani al-Nadhir membunuh seoarang Bani Quraiḍah,
maka dua ratus wasaq kurma. maka Allah memerintahkan berlaku adil dalam melakukan qisas dan
jangan mengikuti jejak orang-orang yang menyeleweng atau merubah terhadap hukum-hukum
Allah. Lihat Isma’īl Abū al-Fida’i Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an, hlm 209.
38
Dalam hal ini maka dapat diketahui bahwa pada periode Makiyah I, II, dan
III Allah belum memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk memerangi orang-orang
yang melakukan penganiayaan terhadap orang-orang mukmin, walaupun saat itu
banyak dari nabi-nabi dan pengikutnya yang menjadi korban aniaya dan
pembunuhan. Allah dalam wahyu-Nya saat itu hanya mengutuk dan mengharamkan
atas perbuatan-perbuatan jahat yang mereka lakukan. Lalu pada periode Madinah,
lafadz al-qatl (dengan segala konjungsinya) sering disebutkan dalam bentuk fi’il
amar, terutama setelah banyak terjadinya pengkhianatan atas kesepakatan
perdamaian antara orang-orang Islam dengan kelompok orang-orang musyrik kafir
yang terdiri dari berbagai kabilah dan suku. Dalam konteks ini, al-qatl tidak hanya
berarti membunuh (uqtul), tetapi juga berperang (uqatil). Sebagaimana QS. al-
Baqarah [2]: 244.45
سميع عليم 45 واعلموا أن للا وقاتلوا في سبيل للا
Dan berperanglah kamu sekalian di jalan Allah, dan ketahuilah sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.QS. al-Baqarah [2] : 244.
40
BAB III
PEMAHAMAN HADIS PERINTAH MEMBUNUH
A. Ilmu Ma’āni al-Hadis
Kajian tentang bagaimana memahami hadis sebenarnya sudah muncul sejak
kehadiran Nabi Muhammad Saw, terutama sejak beliau diangkat sebagau Rasul,
yang kemudian dijadikan panutan (uswatun hasanah) oleh para sahabat. Dengan
kemahiran Bahasa Arab yang dimiliki para sahabat, mereka secara umum bisa
langsung menangkap maksud dari sabda-sabda yang disampaikan Nabi Saw.
Dengan kata lain, dulu nyaris tidak ada problem dalam memahami hadis, sebab
kalaupun muncul kesulitan memahami sabda Nabi (baca : hadis) para sahabat bisa
langsung melakukan konfirmasi dan menanyakan kepada Nabi Saw.
Problem yang agak serius berkaitan dengan pemahamn hadis, muncul ketika
pasca wafatnya Nabi Saw, sebab para sahabat dan generasi berikutnya tidak bisa
lagi bertanya langsung kepada Nabi Saw. Sehingga mereka mau tidak mau, harus
memahami sendiri ketika terjadi kesulitan dalam memahami hadis-hadis Nabi Saw.
Problem memahami hadis kemudian menjadi semakin kompleks terutama ketika
Islam mulai tersebar di berbagai daerah non Arab. Mereka yang tidak mengetahui
dengan baik tentang stalistika Bahasa Arab yang dipakai Nabi Saw jelas akan
menemui kesulitan dalam memahami hadis-hadis Nabi Saw. Sebab kadang beliau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang bersifat majazi (metaforis), rumzi
(simbolis), qiyāsi (analogis), dan bahkan kadang-kadang menggunakan sebuah kata
gharīb (asing), yang dulu sangat jelas maknanya, namun kemudian kata tersebut
lambat laun tenggelam, tidak dipakai lagi sehingga kata tersebut dianggap asing dan
sulit dipahami.
41
Itulah sebabnya kemudia para Ulama berusaha keras untuk menjembatani
problem-problem tersebut. Muculah ilmu yang kemudian sekarang disebut dengan
Ilmu Ma’ānial-Hadis, yakni ilmu yang mengkaji tentang bagaimana memaknai dan
memahami hadis Nabi Saw dengan mempertimbangkan struktur linguistik teks,
konteks munculnya hadis (asbāb al-wurūd), kedudukan Nabi Saw ketika
menyampaikan hadis, dan bagaimana menghubungkan teks hadis masa lalu dengan
konteks kekinian, sehingga diperoleh pemahaman yang relatif tepat, tanpa
kehilangan relevansinya dengan konteks kekinian.1
B. Analisis Pemahaman Tekstual dan Kontekstual Hadis-Hadis Perintah
Membunuh
Dalam kitab Sahīh al-Bukhāri penulis menemukan 6 hadis perintah
membunuh, diantaranya 1) hadis perintah membunuh Ibnu Khaṭṭal 2) hadis perintah
membunuh orang munafik 3) hadis perintah membunuh murtad 4) hadis perintah
membunuh mata-mata musyrik 5) hadis perintah membunuh Abū Rāfi’ 6) hadis
perintah membunuh Ka’ab bin Asyraf.
Sedangkan dalam Ṣahīh Muslim penulis menemukan 5 hadis perintah
membunuh, diantaranya 1) hadis perintah membunuh orang yang mengambil harta
orang lain tanpa hak 2) hadis perintah membunuh orang khawarij/atheis 3) hadis
perintah membunuh orang yang masuk Makkah (Ibnu Khaṭṭal) 4) hadis perintah
membunuh orang yang memecah belah urusan umat Islam 5) hadis perintah
membunuh khalifah kedua.
Dari hasil pencarian ini, ditemukan 2 hadis perintah membunuh yang
semakna dalam Sahīh al-Bukhāri dan Sahīh Muslim, yaitu Hadis perintah
1Abdul Mustaqim, Ilmu Ma’anil Hadis Paradigma Interkoneksi, (Yogyakarta: Idea Press,
2008),hlm.4-5.
42
membunuh Ibn Khaṭṭal dan Hadis perintah membunuh orang munafik yang
semakna dengan Hadis perintah membunuh khawarij. Sehingga penulis
mendapatkan 9 hadis perintah membunuh dalam Sahīh al-Bukhāri dan Sahīh
Muslim. Sembilan Hadis ini ialah sebagai berikut:
1. Hadis Perintah Membunuh Ibn Khaṭṭal
ث نا عبد الل بن يوسف أخبن مالك عن ابن شهاب عن أنس بن مالك رضي الل حدهأن رسول الل صلى الل عليه وسلم دخل عام الفتح وعلى رأسه المغفر ف لما ن زعه عن
2جاء رجل ف قال إن ابن خطل مت عل ق بستار الكعبة ف قال اق ت لوه Telah menceritakan kepada kami '‘Abdullāh bin Yūsuf telah mengabarkan
kepada kami Mālik dari Ibnu Shihāb dari Anas bin Mālik RA bahwa
Rasulullah Saw memasuki Makkah pada tahun Penaklukan Makkah dengan
mengenakan pelindung kepala terbuat dari besi diatas kepala Beliau. Ketika
Beliau melepaskannya, datang seseorang lalu berkata; "Sesungguhnya Ibnu
Khattal sedang berlindung di balik kain penutup Ka'bah. Maka Beliau
berkata: "Bunuhlah dia".
Hadis ini menjelaskan bahwa Rasul memerintahkan para sahabat untuk
membunuh Ibnu Khaṭṭal. Lafadz Uqtul dalam hadis ini bermakna hakiki. hadis ini
tidak membutuhkan adanya penta’wilan. Nama asli Ibnu Khaṭṭal ialah ‘Abdullāh
Ibnu Khaṭṭal.. Jika dilihat dari latar belakang hadis ini, ternyata Ibnu Khaṭṭal
dibunuh bukan semata-mata karena ia bergelantungan di Ka’bah. Akan tetapi ia
merupakan seseorang yang murtad, yang memusuhi Allah dan Rasulullah serta
pernah membunuh orang muslim yang merupakan sayyidnya. Ibnu Khaṭṭal juga
memiliki budak yang selalu bernyanyi-nyanyi sambil mencaci orang-orang muslim.
Kondisi yang terjadi saat itu ialah ketika peristiwa Fathu Makkah (peristiwa
pembebasan), dimana Rasul sebagai pemimpin memilih yang terbaik bagi kaum
2Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, hlm.503. Lihat juga
Abū al-Husain Muslim al-Hajjāj al-Quṣairi al-Naisaburi, Shahīh Muslim,hlm.572.
43
muslim antara membunuh tawanan, membebaskan mereka baik dengan tebusan
maupun tanpa tebusan atau menjadikannya sebagai budak. Rasulpun memberikan
kesempatan bagi orang kafir untuk mukim di kediaman Sufyan, apabila mereka
ingin menjaga darahnya. Namun hal ini tidak diindahkan oleh Ibnu Khattal. Ia
malah bergelantungan di Ka’bah. Sehingga ketika Rasulullah mengetahuinya,
beliau sebagai kepala negara langsung memerintahkan sahabat untuk
membunuhnya.3 Oleh karena itu dapat diketahui bahwa illat dari Hadis ini ialah
hifdz al-nafs, yaitu untuk menjaga jiwa atau eksistensi keberadaan orang muslim di
Mekkah.
2. Hadis Perintah Membunuh Orang Munafik
ث نا ممد بن كثري أخبن سفيان عن ثمة عن سويد بن غفلة قال قال حد العمش عن خي عنه عليه وسلم ي قول يت ف آخر الزمان ق وم علي رضي الل عت رسول الل صلى الل س
سلم كما يرق حدثء السنان سفهاء الحلم ي قولو ن من خري ق ول البية يرقون من الل هم أجر السهم من الرمية ل ياوز إيانم حناجرهم فأي نما لقيتموهم فاق ت لوهم فإن ق ت
4لمن ق ت لهم ي وم القيامة Telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Kathīr Telah
mengabarkan kepada kami Sufyān Telah menceritakan kepada kami al-
A'masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghaflah bahwa ‘Alī RA berkata;
Aku mendengar Nabi Saw bersabda: "Pada akhir zaman nanti, akan datang
suatu kaum yang muda usianya,lagi bodoh. Mereka berkata-kata dengan
kebaikan, akan tetapi mereka keluar dari Islam sebagaimana meluncurnya
anak panah dari busurnya. Keimanan mereka tidaklah melewati batas
tenggorokan (tidak meresap dalam hati). Karena itu, dimanapun kalian
menemukannya, maka bunuhlah mereka. Karena sesungguhnya membunuh
mereka merupakan pahala, yakni pahala pada hari kiamat bagi yang
membunuh mereka.
3Aḥmad bin ‘Ali bin Hajar Abu al-Fadl al-‘Asqalāniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-
Bukhāri (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1379),VI/743. 4Al-Imam Abū Abdillāh Muḥammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari, hlm.606.
44
Hadis ini berisi tentang perintah Rasul untuk membunuh orang munafik
yang akan muncul di akhir zaman nanti, mereka berkata-kata dengan kebaikan,
akan tetapi mereka keluar dari Islam sebagaimana meluncurnya anak panah dari
busurnya. Keimanan mereka tidaklah melewati batas tenggorokan (tidak meresap
dalam hati). Lafadz Uqtul dalam hadis ini bermakna hakiki. Hadis ini juga tidak
membutuhkan adanya penta’wilan.
Imam Mālik menyatakan bahwa jika ditemukan orang munafik tersebut,
maka perintahlah ia untuk bertaubat. Jika ajakan untuk bertaubat tersebut tidak
dihiraukannya, maka bunuhlah ia. Sahnūn menyatakan bahwa jika orang munafik
ini ditemukan dan ia mengajak orang-orang lain untuk melakukan kemunafikan
atau perbuatan bid’ah sebagaimana yang dilakukannya, maka perangilah sampai ia
kembali pada Allah (taubat). Namun apabila ia tidak mengajak orang-orang lain
untuk melakukan kemunafikan atau perbuatan bid’ah sebagaimana yang
dilakukannya, maka hukuman yang diberikan untuknya ialah seperti yang pernah
dilakukan oleh Sayyidina ‘Umar, yaitu dipenjara, dipukul berulang-ulang sampai
mati.5 Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa illat dalam hadis ini ialah hifdzu
al-nafs, yaitu untuk menjaga jiwa orang muslim dari orang-orang munafik yang
perbuatannya dapat mengancam keutuhan umat Islam. Dalam pelaksanaan
hukuman bunuhnya pun harus dilakukan berdasarkan perintah kepala negara.
5Badr al-Dīn Abū Muḥammad Mahmūd bin Aḥmad al-‘Aini,‘Umdatual-Qāri Syarh Shahīh
al-Bukhāri, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001), juz 21 hlm 168.
45
3. Hadis Perintah Membunuh Kafir Ḥarbi
ثنا أبو العميس عن إيس بن سلمة بن الكوع عن أبيه قال ثنا أبو ن عيم قال حد حدالمشركي وهو ف سفر فجلس عند أصحابه أتى النب صلى هللا عليه وسلم عي من
6.يتحدث ث ان فتل فقال النب صلى هللا عليه وسلم اطلبوه واق ت لوه فقت له فن فله سلبه Telah bercerita kepada kami Abu Nu'aim telah bercerita kepada kami Abu
al-'Umais dari Iyas bin Salamah bin al-Akwa' dari bapaknya berkata; "Telah
datang mata-mata Kaum Musyrikin kepada Nabi Saw di tengah perjalanan,
lalu dia duduk bersama para sahabat yang sedang bercerita, kemudian ia
pergi. Kemudian Nabi Saw berkata: "Carilah dia dan bunuhlah". Maka
(Salamah bin al-Akwa') membunuhnya dan dia berhak atas semua yang
dipakai mata-mata itu (sebagai harta rampasan).
Hadis ini menjelaskan tentang perintah Nabi untuk membunuh mata-mata.
Lafadz Uqtul dalam hadis ini bermakna hakiki. Hadis ini juga tidak membutuhkan
adanya penta’wilan. Latar belakang hadis ini ialah ketika Nabi didatangi oleh
seorang mata-mata kaum musyrikin. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalāni belum
menemukan nama orang yang dimaksud tersebut. Laki-laki tersebut datang dan
duduk berbincang-bincang dengan para sahabat tanpa diketahui bahwa ia adalah
seorang mata-mata. Setelah ia mendapatkan informasi kelemahan kaum muslim, ia
bergegas pergi dan mempercepat jalannya. Namun hal ini diketahui oleh salah
seorang sahabat. Kemudian sahabat nabi tersebut berdiri dan mengabarkan kepada
Nabi bahwa orang tersebut adalah mata-mata kaum musyrikin. Kemudian Nabi
memerintahkan agar mata-mata tersebut dibunuh. ‘Ikrimah bin Ammar segera
keluar berlari memukulnya hingga mata-mata tersebut tersungkur. Kemudian
‘Iqrimah menghunuskan pedang kepadanya hingga akhirnya mata-mata tersebut
meninggal.
6Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari,hlm.504.
46
Riwayat ‘Ikrimah menyebutkan bahwa faktor atau illat yang mendorong
Nabi memerintahkan orang tersebut untuk dibunuh karena ia berhasil mengetahui
kelemahan kaum muslimin dan ingin menyampaikan kepada sahabat-sahabatnya
agar mereka dapat memanfaatkan kelengahan ini. Maka pembunuhannya membawa
kemaslahatan bagi kaum muslimin.
Imam al-Nawāwi mengatakan bahwa hadis ini menjelaskan tentang
bolehnya membunuh mata-mata kafir ḥarbi. Hal ini disepakati oleh para ulama.
Adapun mereka yang terikat perjanjian damai atau yang mendapat jaminan
keamanan, maka menurut Imam Mālik dan al-Auzā’i perjanjian dengannya batal
akibat perbuatannya tersebut. Sedangkan dalam madzhab Syāfi’ī masalah ini masih
diperselisihkan. Apabila hal itu disyaratkan maka perjanjian dianggap batal
menurut kesepakatan Ulama.7
4. Hadis Perintah Membunuh Orang Murtad
ث نا حاد بن زيد عن أيوب ع ث نا أبو الن عمان ممد بن الفضل حد ن عكرمة قالت حد عنه بزندقة فأحرق هم ف ب لغ ذلك ابن عباس ف قال لو كنت أن ل أح رق هم علي رضي الل
بوا بعذاب الل ول قت لت هم لقول رسول الل لن هي رسول الل صلى الل عليه وسلم ل ت عذ ل دينه فاق ت لوه عليه وسلم من بد 8صلى الل
Telah menceritakan kepada kami Abū Nu'man Muḥammad bin Faḍl telah
menceritakan kepada kami Ḥammad bin Zaid dari Ayyūb dari ‘Ikrimah
mengatakan, beberapa orang Zindiq diringkus dan dihadapkan kepada ‘Alī,
lalu Ali membakar mereka. Kasus ini terdengar oleh Ibnu Abbās, sehingga
ia berujar; 'Kalau aku (menjadi orang yang bertanggung jawab
menghukum), aku tak akan membakar mereka karena terdapat larangan
Rasulullah Saw: "Janganlah kalian menyiksa dengan siksaan Allah" dan aku
tetap akan membunuh mereka sesuai sabda Rasulullah Saw: "Siapa yang
mengganti agamanya, bunuhlah!"
7Aḥmad bin ‘Ali bin Hajar Abū al-Faḍl al-‘Asqalāniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-
Bukhāri, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1379),VI/100. 8Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari,hlm.1192.
47
Hadis ini menjelaskan tentang perintah membunuh orang murtad. Lafadz
Uqtul dalam hadis ini bermakna hakiki. Hadis ini juga tidak membutuhkan adanya
penta’wilan. Pada masa kekhalifahan ‘Ali RA, sebagaimana disebutkan pada latar
belakang hadis ini diketahui bahwa ia pernah membunuh bahkan membakar orang
murtad9 pada zamannya. Walaupun hal ini tidak disetujui oleh Ibn ‘Abbās, namun
ia tetap melaksanakan hukum bunuh bagi orang murtad.10 Konteks hadis ini adalah
kejadian dimana Sayyidina ‘Ali membakar orang-orang yang kafir zindiq karena
telah mempermainkan Islam. Mereka menyembunyikan kekafirannya, dan
mengumumkan keislamannya.11 Sehingga dapat diketahui bahwa illat dari hadis ini
bukan perintah membunuh karena kebencian, akan tetapi untuk menjaga jiwa atau
eksistensni umat Islam (hifdzu al-nafs) dari perbuatan orang murtad yang
membenci Islam. Pelaksaan hukuman bunuhpun dilakukan berdasarkan perintah
Abu Bakar selaku Khalifah pada masa itu.
Al-‘Asqalāni yang menjelaskan bahwa makna kaum dalam hadis ini adalah
orang-orang kafir zindiq yang memiliki sebuah kitab dan ‘Ali bin Abi Ṭālib
memerintahkan untuk membakarnya namun mereka menolak, maka kemudian ‘Ali
membakar mereka dan juga kitab-kitab mereka.12 Penjelasan ini dikuatkan dengan
9Murtad yang dimaksud dalam hadis ini ialah kafir zindiq, dimana pada zaman Rasul
mereka ialah golongan yang lebih dikenal dengan istilah munafiq, namun dalam istilah syar’i sering
disebut zindiq. Sedangkan dalam ilmu aqidah, zindiq adalah orang yang mengingkari hari akhirat
dan rububiyyah Allah Swt. Kafir zindiq dianggap sangat berbahaya karena keberadaan mereka yang
menjadi musuh dalam selimut. 10Abū Ja’far Aḥmad bin Muḥammad bin Salamah bin ‘Abd al-Malik bin Salamah al-Azdi
al-Ṭahawi, Syarh Musykil al-Atsar, (Beirut: Muassasah al-Risalah, 1949), VII/303. 11Abū‘Umar Yusuf bin ‘Abdullāh bin Muḥammad bin ‘Abd al-Barr bin ‘Ashim al-Namri
al-Qurṭubi, al-Istidzkar, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000). 12Aḥmad bin ‘Alī bin Hajar Abū al-Faḍl al-‘Asqalānī, Fatḥ al-Bārī Syarh Shahīh al-
Bukhāri, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1379),VI/151.
48
periwayatan yang menyebutkan bahwa kaum yang dimaksud adalah kaum kafir
zindiq.13
5. Hadis Perintah Membunuh Abū Rāfi’
ث نا ابن أب زائدة عن أبيه عن أب إسح ث نا يي بن آدم حد ثن إسحاق بن نصر حد اق حدهما قال ب عث رسول الل صلى الل عليه وسلم رهطا عن الباء بن عازب رضي الل عن
ته ليل وهو نئم ف قت له 14إل أب رافع فدخل عليه عبد الل بن عتيك ب ي Telah menceritakan kepadaku Ishaq bin Naṣr telah menceritakan kepada
kami Yaḥya bin Adam telah menceritakan kepada kami Ibnu Abū Zā`idah
dariayahnya dari Abū Isḥaq dari al-Barrā` bin 'Azib RA, beliau berkata,
"Rasulullah Saw pernah mengutus sekelompok orang kepada Abū Rāfi',
kemudian pada malam hari ‘‘Abdullāh bin 'Atīk masuk ke dalam rumahnya
dan membunuhnya saat ia sedang terlelap tidur."
Hadis ini menjelaskan tentang perintah membunuh orang Yahudi (Abū
Rāfi’). Lafadz Uqtul dalam hadis ini bermakna hakiki. Hadis ini juga tidak
membutuhkan adanya penta’wilan Jika dilihat latar belakang hadis ini, Abū Rāfi’
merupakan seorang yahudi yang menyakiti Rasulullah dan membantu orang-orang
yang memusuhi Rasul. Karena perbuatannya ini, Rasul mengirimkan beberapa
orang Anshar yang dipimpin oleh ‘Atīq Abdulllah bin ‘Atīq untuk membunuhnya.
Mereka mendatangi benteng Abū Rāfi’ di Hijaz (riwayat lain mengatakan di
Khaibar) pada malam hari, hingga akhirnya ‘‘Abdullāh berhasil membunuh Abū
Rāfi’ dengan menghunuskan pedang pada Abū Rāfi’ saat ia tidur dikamarnya.
Imam al-Zuhri berkata bahwa Abū Rāfi’ dibunuh setelah Ka’ab bin al-Asyraf.15
Dari latar belakang ini, dpaat diketahui bahwa illat dari hadis ini ialah hifdz al-nafs,
13 Muḥammad bin ‘Alī ibn Muḥammad bin ‘Abdullāh al-Syawkanī, Nayl al-Awṭār (Mesir:
Dār al-Hadis, 1993), 1/357. 14Al-Imam Abū ‘Abdillāh Muḥammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari,hlm.682. 15Aḥmad bin ‘Ali Ibn Hajar Abu al-Faḍl al-‘Asqalāniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-
Bukhari, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1379),VI/220.
49
yaitu untuk menjaga jiwa Rasul dan umat muslim dari perbuatan Abu Rafi’ yang
merugikan.
6. Hadis Perintah Membunuh Perampas Harta Orang Lain
ث نا ممد بن جعف ث نا خالد ي عن ابن ملد حد ثن أبو كريب ممد بن العلء حد ر عن حد صلى الل عليه العلء بن عبد الرحن عن أبيه عن أب هري رة قاجلاء رجل إل رسول الل
وسلم ف قال ي رسول الل أرأيت إن جاء رجل يريد أخذ مال قال فل ت عطه مالك قال أرأيت إن ق ت لته أرأيت إن قات لن قال قاتله قال أرأيت إن ق ت لن قال فأنت شهيد قال
16قال هو ف النار Telah menceritakan kepada kami Abū Kuraib Muḥammad bin al-'Ala' telah
menceritakan kepada kami Khālid -yaitu Ibnu Makhlad- telah menceritakan
kepada kami Muḥammad bin Ja'far dari al-Ala' bin ‘Abd al-Raḥman dari
bapaknya dari Abū Hurairah dia berkata, "Seorang laki-laki mendatangi
Rasulullah Saw seraya berkata, 'Wahai Rasulullah, bagaimana pendapatmu
jika ada seorang lelaki yang ingin merampas harta bendaku? ' Beliau
menjawab: 'Jangan kamu berikan hartamu kepadanya! ' Laki-laki itu
bertanya lagi, 'Lalu bagaimana jika dia hendak membunuhku? ' Beliau
menjawab: 'Bunuhlah dia! ' Laki-laki itu bertanya lagi, 'Lalu bagaimana
pendapatmu kalau dia berhasil membunuhku? ' Beliau menjawab: 'Maka
kamu syahid'. Dia bertanya lagi, 'Bagaimana pendapatmu jika aku yang
berhasil membunuhnya? ' Beliau menjawab: 'Dia yang akan masuk ke dalam
api neraka'."
Hadis ini menjelaskan tentang perintah Rasul untuk membunuh orang yang
mengambil harta orang lain tanpa haknya. Lafadz Uqtul dalam hadis ini bermakna
hakiki. Hadis ini juga tidak membutuhkan adanya penta’wilan. Hadis ini
menjelaskan illat diperbolehknnya membunuh orang yang merampas harta tanpa
haknya ialah karena selain ingin mengambil harta, ia juga ingin membunuh pemilik
harta tersebut.
Ibnu Mundzir mengatakan bahwa mayoritas Ulama membolehkan
membunuh orang yang mengambil harta orang lain yang bukan haknya secara
16Abū al-Husain Muslimal-Hajjāj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahīh Muslim, hlm.72
50
dzalim. Hadis ini menunjukkan bahwa tidak ada diyat dan qiṣas bagi siapapun yang
membunuh orang yang mengambil harta orang lain tanpa haknya dengan cara
dzalim. Jika pelaku tersebut terbunuh, maka ia akan masuk ke dalam api neraka.17
7. Hadis Perintah Membunuh Pemecah Belah Islam
ثن أبو بكر ث نا غندر و قال ابن بشار حد بن نفع وممد بن بشار قال ابن نفع حدعت عرفجة قال ث نا شعبة عن زيد بن علقة قال س ث نا ممد بن جعفر حد سمعت حد
عليه وسلم ي قول إنه ستكون هنات وهنات فمن أراد أن ي فر ق أمر رسول الل صلى اللث نا ث نا أحد بن خراش حد يع فاضربوه بلسيف كائنا من كان و حد هذه المة وهي ج
ث نا أبو عوان ث نا عب يد الل بن موسى عن حبان حد ء حد ثن القاسم بن زكري ة ح و حدث نا ث نا إسحق بن إب راهيم أخبن المصعب بن المقدام الث عمي حد بان ح و حد شي
ث ثن حجاج حد ث نا عبد الل إسرائيل ح و حد ث نا حاد بن زيد حد نا عارم بن الفضل حديه بن المختار ورجل ساه كلهم عن زيد بن علقة عن عرفجة عن النب صلى الل عل
يعا فاق ت لوه وسلم بثله غري أن ف ح 18ديثهم جTelah menceritakan kepadaku Abū Bakar bin Nāfi' dan Muḥammad bin
Bashār, Ibnu Nāfi' berkata; telah menceritakan kepada kami Ghundar, dan
Ibnu Bashār berkata; telah menceritakan kepada kami Muḥammad bin Ja'far
telah menceritakan kepada kami Shu'bah dari Ziyād bin 'Ilaqah beliau
berkata; saya mendengar 'Arfajah berkata, "Saya mendengar Rasulullah
Saw bersabda: "Suatu saat nanti akan terjadi bencana dan kekacauan, maka
siapa saja yang hendak memecah belah persatuan ummat ini penggallah
dengan pedangmu, siapa pun orangnya."
Dan telah menceritakan kepada kami Aḥmad bin Khirasy telah
menceritakan kepada kami Habbān telah menceritakan kepada kami Abū
'Awānah. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepadaku al-
Qāsim bin Zakariā telah menceritakan kepada kami 'Ubaidullāh bin Musa
dari Syaiban. (dalam jalur lain disebutkan) Telah menceritakan kepadaku
Ishāq bin Ibrāhim telah mengabarkan kepada kami al-Muṣ'ab bin al-
Miqdam al-Khats'amiy telah menceritakan kepada kami Isra'īl (dalam jalur
lain disebutkan) Telah menceritakan kepadaku Ḥajjāj telah menceritakan
kepada kami 'Ārim bin Faḍl telah menceritakan kepada kami Ḥammād bin
Zaid telah menceritakan kepada kami 'Abdullāh bin al-Mukhtār dan seorang
laki-laki, mereka semua dari Ziyād bin 'Ilāqah dari 'Arfajah dari Nabi Saw
17Abū al-Faḍl Iyaḍ bin Musa bin ‘Iyaḍ al-Yahshobi, Ikmal al-Mu'allim biFawāidi Muslim,
juz 1, hlm.444. 18Abū al-Husain Muslimal-Hajjāj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahīh Muslim, hlm.832.
51
seperti hadits di atas, namun dalam hadits mereka disebutkan, "Maka
bunuhlah ia."
Hadis ini menjelaskan perintah Rasul untuk memerangi orang yang
memberontak atas Imam atau orang yang ingin memecah belas Islam. Lafadz Uqtul
dalam hadis ini bermakna hakiki. Hadis ini juga tidak membutuhkan adanya
penta’wilan Dalam Syarah al-Nawāwī dijelaskan bahwa jika terdapat pemecah
belah Islam dalam suatu daerah, maka cegahlah perbuatannya tersebut dengan
berbagai cara. Jika tidak bisa dicegah lagi, perangilah. Apabila setelah diperangi ia
masih mengulangi kesalahannya, maka bunuhlah, jika membunuh merupakan jalan
satu-satunya untuk mencegah perbuatannya tersebut.19 Dari penjelasan ini, dapat
diketahui bahwa ‘illat diperbolehkannya membunuh pemberontak dalam sebuah
daerah ialah hifdz al-nafs, yaitu untuk menjaga jiwa masyarakat di daerah tersebut
dari perbuatan si pemberontak yang merugikan. Pelaksanaan pembunuhannya pun
harus dilakukan berdasarkan perintah kepala negara.
8. Hadis Perintah Membunuh Khalifah Kedua
ث نا خالد بن عبد الل ثن وهب بن بقية الواسطي حد عن اجلريري عن أب نضرة عن حدقال رسول الل صلى الل عليه وسلم إذا بويع لليفتي فاق ت لوا أب سعيد الدري قال
هما 20الخر من Dan telah menceritakan kepadaku Wahb bin Baqiyyah al-Wāsiṭiy telah
menceritakan kepada kami Khālid bin ‘Abdullāh dari al-Jurairi dari Abū
Naḍrah dari Abū Sa'īd al-Khudrī dia berkata, "Rasulullah Saw bersabda:
"Apabila ada dua khalifah yang dibaiat, maka bunuhlah yang paling terakhir
dari keduanya."
Hadis ini menjelaskan perintah nabi untuk membunuh khalifah kedua,
apabila dalam suatu negara terdapat khalifah kedua yang dibai’at. Lafadz Uqtul
19Abu Zakariya Yahya al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, (Kairo: Dar al-Hadis, 2005), juz
6 hlm 476. 20 Abu al-Husain Muslimal-Hajjāj al-Qushairi al-Naisaburi, Shahīh Muslim, hlm.832.
52
dalam hadis ini bermakna hakiki. Hadis ini juga tidak membutuhkan adanya
penta’wilan Latar belakang dari hadis ini ialah ketika ada salah seorang sahabat
Nabi bertanya kepada Nabi tentang apa yang harus dilakukannya ketika Nabi wafat
dan banyak khalifah yang dibaiat. Kemudian Nabi menjawab khalifah yang sah
ialah khalifah yang pertama kali dibai’at. Apabila ditemukan Khalifah kedua yang
dibai’at maka ia termasuk pemberontak. Jika tidak ada jalan lain untuk mencegah
perbuatannya tersebut, maka bunuhlah khalifah kedua tersebut.21 Dari penjelasan
ini, dapat diketahui bahwa ‘illat diperbolehkannya membunuh khalifah kedua ialah
hifdz al-nafs, yaitu untuk menjaga jiwa masyarakat di daerah tersebut dari
perbuatan khalifah kedua yang merugikan (perbuatannya sama seperti
pemberontakan). Terlebih lagi jika khalifah kedua tersebut tersebut memimpin
sebuah kelompok yang sama-sama ingin melakukan pemberontakan dalam suatu
negara. Dalam hal ini pelaksanaan pembunuhannya harus dilakukan berdasarkan
perintah kepala negara.
9. Hadis Perintah Membunuh Ka’ab bin al-Asyraf
عت جابر بن عبد الل ث نا سفيان قال عمرو س ث نا علي بن عبد الل حد حد رضي اللهما ي قولقال رسول الل صلى الل عليه وسلم من لكعب بن الشرف فإنه قد آذى عن
د بن مسلمة ف قال ي رسول الل أتب أن أق ت له قال ن عم قال فأذ الل ن ورسوله ف قام ممئا قال قل فأته ممد بن مسلمة ف قال إن هذا الرجل قد سألنا صدقة ل أن أقول شي
تك أستسلفك قال وأيضا والل لتملنه قال إن قد ات و ب عناه فل إنه قد عنان وإن قد أت ي ا أو وسقينو نب أن ندعه حت ن نظر إل أي شيء يصري شأنه وقد أردن أن تسلفنا وسق
ث نا عمرو غري مرة ف لم يذكر وسقا أو وسقي أو ف قلت له فيه وسقا أو وسقي ف قال حدون نساءكم أرى فيه وسقا أو وسقي ف قال ن عم ارهنون قالوا أي شيء تريد قال ارهن
قالوا كيف ن رهنك نساءن وأنت أجل العرب قال فارهنون أب ناءكم قالوا كيف ن رهنك
21Abu Zakariya Yahya al-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 6 hlm 477.
53
نا ولكنا ن ره مة أب ناءن ف يسب أحدهم ف ي قال رهن بوسق أو وسقي هذا عار علي نك اللمن قال سفيان ي عن الس لح ف واعده أن يتيه فجاءه ليل ومعه أبو نئلة وهو أخو كعب
ه الساعة ف قال الرضاعة فدعاهم إل الصن ف ن زل إليهم ف قالت له امرأته أين ترج هذ ا هو ممد بن مسلمة وأخي أبو نئلة وقال غري عمرو قالت أسع صوت كأنه ي ق طر إن
ا هو أخي ممد بن مسلمة ورضيعي أبو نئلة إن ال م قال إن كرمي لو دعي إل منه الد طعنة بليل لجاب قال ويدخل ممد بن مسلمة معه رجلي قيل لسفيان ساهم عمرو
جب والارث قال سى ب عضهم قال عمرو جاء معه برجلي وقال غري عمرو أبو عبس بن بن أوس وعباد بن بشر قال عمرو جاء معه برجلي ف قال إذا ما جاء فإن قائل بشعره
أشكم ف ن زل فأشه فإذا رأي تمون استمكنت من رأسه فدونكم فاضربوه وقال مرة ث فح منه ريح الط يب ف قال ما رأيت كالي وم ريا أي أطيب وقال إليهم مت وش حا وهو ي ن
ل أن غري عمرو قال عندي أعطر نساء العرب وأكمل العرب قال عمرو ف قال أتذن ه ث أشم أصحابه ث قال أتذن ل قال ن عم ف لما استمكن منه أشم رأسك قال ن عم فشم
عليه وسلم فأخبوه 22قال دونكم ف قت لوه ث أت وا النب صلى اللTelah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Abdullāh telah menceritakan
kepada kami Sufyān, ‘Amr berkata, aku mendengar Jābir bin ‘Abdullāh RA
berkata, "Rasulullah Saw bersabda: "Siapakah yang akan membunuh Ka'ab
bin al-Asyraf yang telah durhaka kepada Allah dan melukai Rasul-Nya?"
Maka Muhammad bin Maslamah berdiri dan berkata, "Wahai Rasulullah,
sukakah anda jika aku yang akan membunuhnya?" beliau menjawab: "Ya."
Muhammad bin Maslamah berkata, "Izinkan aku untuk mengatakan
sesuatu." Beliau bersabda: "Katakanlah." Setelah itu Maslamah mendatangi
Ka'ab, lalu dia berkata, "Sesungguhnya laki-laki itu (maksudnya Nabi Saw)
telah meminta sedekah kepada kami padahal kami dalam keadaan susah,
oleh karena itu aku datang kepadamu untuk berhutang." Ka'ab berkata, "Dan
juga -demi Allah- kalian akan bosan kepadanya." Maslamah berkata,
"Sesungguhnya kami telah mengikutinya, dan kami tidak suka
meninggalkannya hingga kami mengetahui akhir kesudahannya, dan kami
hendak meminjam satu atau dua wasaq." 'Amr tidak hanya sekali
menceritakan kepada kami, namun ia tidak menyebutkan 'satu atau dua
wasaq'. Atau, aku berkata kepadanya, 'satu atau dua wasaq'." Perawi
berkata, "Seingatku dalam hadits tersebut disebutkan 'satu atau dua wasaq'."
- Ka'ab bin al-Asyraf menjawab, "Baiklah, akan tetapi kalian harus
memberikan jaminan kepadaku." Mereka menjawab, "Apa yangengkau
inginkan?" Ka'ab menjawab, "Gadaikanlah isteri-isteri kalian." Mereka
menjawab, "Bagaimana kami harus menggadaikan isteri-isteri kami,
sementara kamu adalah orang yang paling rupawan di Arab." Ka'ab berkata,
22 Abū ‘‘Abdillāh Muḥammad bin Ismaīl Al-Bukhāri, Shahih al-Bukhari,hlm.682.
54
"Kalau begitu, gadaikanlah puteri-puteri kalian." Mereka berkata,
"Bagaimana kami harus menggadaikan puteri-puteri kami, nantinya mereka
akan dihina orang-orang dan dikatakan, 'Mereka telah digadaikan dengan
satu atau dua wasaq, ' hal ini akan membuat kami terhina, akan tetapi kami
akan menggadaikan la'mah kami." -Sufyān mengatakan; maksudnya adalah
senjata- Kemudian mereka membuat perjanjian untuk bertemu kembali, di
suatu malam Maslamah bersama Abū Nā`ilah -ia adalah saudara
sepersusuan Ka'ab- datang menemui Ka'ab, lalu Ka'ab mengundangnya
untuk masuk ke dalam benteng, setelah itu Ka'ab turun menemui mereka.
Isteri Ka'ab berkata kepadanya, "Kemana engkau hendak keluar pada saat
seperti ini?" Ka'ab menjawab, "Dia adalah Muhammad bin Maslamah dan
saudaraku Abū Nā`ilah." -Selain 'Amr menyebutkan, "Isteri Ka'ab berkata,
"Aku mendengar suara seperti darah menetes." Ka'ab menjawab, "Dia
hanyalah saudaraku, Muhammad bin Maslamah dan saudara sepersusuanku
Abū Nā`ilah. Sesungguhnya sebagai seorang yang terhormat, apabila
dipanggil, maka ia akan menemuinya walaupun di malam hari."Perawi
berkata, "Kemudian Muhammad bin Maslamah memasukkan (ke dalam
benteng) dua orang bersamanya." -Dikatakan kepada Sufyān, "Apakah 'Amr
menyebutkan nama mereka?" Ia menjawab, "’Amr hanya menyebutkan
nama sebagian dari mereka." 'Amr berkata, "Ia datang dengan dua laki-laki."
Sementara yang lain mengatakan, "Abū‘Abbsi bin Jabri, al-Harits bin Aus
dan 'Abbād bin Bisyr." 'Amr mengatakan- Ia datang bersama dua orang laki-
laki." Maslamah melanjutkan, "Sungguh, aku akan meraih rambut
kepalanya dan menciumnya, jika kalian melihatku telah berhasil menguasai
kepalanya, maka mendekatlah dan tebaslah dia." Sesekali Maslamah
berkata, "Kemudian aku akan memberikan kesempatan kepada kalian untuk
menciumnya." Ketika Ka'ab turun untuk menemui mereka, dan bau minyak
wanginya mulai tersebar, Maslamah berkata, "Aku belum pernah mencium
aroma wangi yang lebih bagus dari ini." Selain 'Amru menyebutkan, "Aku
memiliki minyak wangi wanita arab dan lebih sempurna dikalangan Arab."
'Amr mengatakan, "Maslamah berkata, "Apakah engkau mengizinkanku
untuk mencium kepalamu?" Ka'ab menjawab, "Silahkan." Kemudian
Maslamah menciumnya dan diikuti oleh sahabat-sahabatnya." Setelah itu
Maslamah berkata lagi, "Apakah engkau mengizinkanku lagi?" Ka'ab
menjawab, "Silahkan." Ketika ia telah berhasil menguasainya, Maslamah
berkata, "Mendekatlah." Maka mereka langsung membunuhnya, setelah itu
mereka menemui Nabi Saw dan mengabarkan kepada beliau."
Hadis ini menjelaskan tentang perintah membunuh orang Yahudi (Ka’ab
bin al-Asyraf). Jika dilihat latar belakang hadis ini, Ka’ab bin al-Asyraf merupakan
seorang Yahudi Arab yang berasal dari Bani Nabhān. Karena bapaknya terbunuh
pada masa Jahiliyah, ia akhirnya datang ke Madinah bersekutu dengan Bani Naḍir
dan hendak memerangi kaum muslimin. Ka’ab adalah seorang penyair. Dengan
syair-syairnya ia biasanya menghina Rasulullah serta memotivasi orang-orang
55
Kafir Quraisy untuk melakukan hal tersebut. Rasulullah hijrah ke Madinah,
penduduk Madinah sangat bercampur-baur (heterogen). Rasulullah bermaksud
untuk berdamai dengan mereka namun Yahudi dan orang-orang musyrik tetap
menyakiti kaum muslim dengan sangat dasyat. Allah memerintahkan Rasul dan
kaumnya untuk bersabar.
Kemudian ketika Ka’ab bin al-Asyraf tidak henti-hentinya mengganggu
Rasulullah, akhirnya Rasul memerintahkan Sa’ad bin Mu’adz agar mengutus suatu
kelompok untuk membunuhnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ka’ab
pernah bersekutu dengan orang Yahudi untuk mengundang Nabi dalam suatu
jamuan. Jika Nabi datang, mereka akan membunuhnya. Nabi menghadiri jamuan
tersebut dengan para sahabat namun malaikat Jibril memberi tahu Nabi apa yang
mereka rencanakan, hingga akhirnya Nabi meninggalkan jamuan tersebut tanpa
diketahui oleh mereka (sebab malaikat Jibril menutupi Nabi dengan sayapnya). Saat
itulah beliau berkata “Siapa yang suka rela membunuh Ka’ab?”
Dalam riwayat al-Humaidi, saat istirahat siang, Ka’ab di datangi oleh
Muhammad bin Maslamah (keponakan Ka’ab), Abū Nā’ilah (saudara sepersusuan
Ka’ab), ‘Abbād bin Bisyr, Abū‘Absi bin Jabr, dan al-Hārits bin Mu’ādz. Mereka
berlima menghampiri Ka’ab di rumahnya dan hendak menyalaminya. Saat
Muhammad bin Maslamah hendak menyalaminya dan Ka’ab sedang mendekatkan
kepalanya, Muhammad bin Maslamah langsung menebasnya hingga ia terbunuh.23
Dari penjelasan ini, dapat diketahui bahwa ‘illat diperbolehkannya membunuh
23Aḥmad bin ‘Ali bin Hajar Abū al-Faḍl al-‘Asqalaniy, Fath al-Bāri Syarh Shahīh al-
Bukhāri, (Beirut: Dar al-Ma’rifah,1379),VI/432.
56
Ka’ab (Yahudi) ialah hifdz al-nafs, yaitu untuk menjaga jiwa umat muslim
perbuatan Ka’ab yang merugikan.
57
BAB IV
PENDAPAT ULAMA FIQH TENTANG QATL
Pembunuhan (al-qatl) merupakan salah satu tindak pidana menghilangkan
nyawa seseorang dan termasuk dosa besar. Dalam fikih, tindak pidana pembunuhan
(al-qatl) disebut juga dengan al-jināyah ‘alā al-nafsal-insāniyyah (kejahatan
terhadap jiwa manusia). Ulama fikih mendefinisikan pembunuhan dengan
“Perbuatan manusia yang berakibat hilangnya nyawa seseorang”.1 Menurut
Wahbah al-Zuhailī pembunuhan adalah perbuatan yang menghilangkan atau
mencabut nyawa seseorang.2 Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa
pembunuhan adalah perbuatan seseorang terhadap orang lain yang mengakibatkan
hilangnya nyawa, baik dilakukan dengan sengaja maupun tidak sengaja. Apabila
dilihat dari segi hukumnya, pembunuhan dalam Islam terbagi menjadi dua bentuk,
yaitu pembunuhan yang diharamkan, seperti membunuh orang lain dengan sengaja
tanpa sebab; dan pembunuhan yang dibolehkan, seperti membunuh orang yang
murtad jika ia tidak mau taubat atau membunuh musuh dalam peperangan.
A. Dasar Hukum Membunuh
Banyak sekali ayat al-Qur’an dan sunnah Rasulullah saw. yang menyatakan
keharaman membunuh tanpa suatu sebab yang dihalalkan syara’. Di antara ayat-
ayat tersebut adalah:
لق ي إيل بي ومن قتيل مظلوما ف قد جعلنا ليوليي يهي سلطان فل ول ت قت لوا الن فس التي حرم الل يسريف في القتلي إينه كان منصورا
1 Audah, Abdul Qadir. al-Tasyri’ al-Jina`i al-Islāmī (Beirut: Muassah al-Risalah, 1992),
Juz 2, hlm. 6. 2 Wahbah al-Zuhailī, al-Fiqhu al-Islāmī wa Adillatuhu (Damaskus: Dār al-Fikr, 1984), juz
2, hlm. 7.
58
Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah
(membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar[853]. dan
Barangsiapa dibunuh secara zalim, Maka Sesungguhnya Kami telah
memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang
mendapat pertolongan. (QS. al-Isrā’ [17]: 33)
طئا كبيرياول ت قت لوا أو لهم كان خي كم إين ق ت لدكم خشية إيملق نن ن رزق هم وإيي Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan.
kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar. (QS. al-
Isrā’ [17]: 31)
نا على بني إيسرائييل أنه من ق تل ن فسا بيغريي ن فس أو فساد في الرضي ن أجلي ذليك كت ب ميا يعا ومن أحياها فكأن ا ق تل الناس جي يعا ولقد جاءتم رسلنا فكأن أحيا الناس جي
هم ب عد ذليك في الرضي لمسريفون ن لب ي يناتي ث إين كثيريا مي بيOleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa:
Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu
(membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka
bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya. dan
Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-
olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan
(membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara
mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat
kerusakan dimuka bumi. (QS. al-Mā’idah [5]: 32)
لعبدي وال لر ي والعبد بي لى الر بي ن ثى ي أي ها الذيين آمنوا كتيب عليكم القيصاص في القت لمعروفي وأداء إيليهي بييحسا يهي شيء فات يباع بي لن ثى فمن عفيي له مين أخي ن ذليك تفييف بي
مين رب يكم ورحة فمني اعتدى ب عد ذليك ف له عذاب ألييم Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka,
hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af)
membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula).
yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa
yang sangat pedih. (QS. al-Baqarah [2]: 178)
59
لن فسي والعي م فييها أن الن فس بي نا عليهي لذني وكت ب لنفي والذن بي لعيي والنف بي بيا أن زل ا ن ي والروح قيصاص فمن تصدق بيهي ف هو كفارة له ومن ل يكم بي لس ي ن بي والس ي لل
فأولئيك هم الظاليمونDan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat)
bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada
kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan
hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan
perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-
orang yang zalim. (QS. al-Mā’idah [5]: 45)
ن ن أعظم عيند اللي مي ي بييديهي لقتل مؤمي ن ياوالذيي ن فسي زوالي الدPembunuhan terhadap seorang mukmin lebih besar (madharatnya) menurut
Allah daripada pemusnahan dunia.3
Berdasarkan ayat-ayat dan hadis di atas yang melarang menghilangkan
nyawa orang lain, ulama sepakat menyatakan bahwa perbuatan menghilangkan
nyawa orang lain tersebut hukumnya haram.4
B. Pendapat Ulama Fiqh tentang Pembunuhan
Jumhur ulama fikih, termasuk ulama Madzhab Syāfi’i dan Madzhab
Hanbali, membagi tindak pidana pembunuhan kepada tiga macam sebagai berikut:5
1) Pembunuhan sengaja yaitu, suatu pembunuhan yang disengaja,
dibarengi dengan rasa permusuhan, dengan menggunakan alat yang
biasanya dapat menghilangkan nyawa, baik secara langsung maupun
tidak, seperti menggunakan senjata, kayu atau batu besar, atau melukai
seseorang yang berakibat pada kematian.
3Aḥmad bin Syu’aib bin ‘Alī bin Sinān bin Baḥr al-Khurasanī al-Qaḍī, Sunan al-Nasā’i,
(Beirut: Dāral-Fikr, 2005), hlm. 86. 4 Yusuf, Imaning. Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam, Nurani: Jurnal Kajian
Syari'ah dan Masyarakat 13.2 (2013), hlm. 1-3. 5Ibn Rusyd, Bidāyat al-Mujtāhid (Beirut: Dār al-Fikr, 2005), juz 2, hlm. 296-303.
60
2) Pembunuhan semi sengaja, yaitu suatu pembunuhan yang disengaja,
dibarengi dengan rasa permusuhan, tetapi dengan menggunakan alat
yang biasanya tidak mematikan, seperti memukul atau melempar
seseorang dengan batu kecil, atau dengan tongkat atau kayu kecil.
3) Pembunuhan tersalah, yaitu suatu pembunuhan yang terjadi bukan
dengan disengaja, seperti seseorang yang terjatuh dari tempat tidur dan
menimpa orang yang tidur di lantai sehingga ia mati, atau seseorang
melempar buah di atas pohon, ternyata batu lemparan itu meleset dan
mengenai seseorang yang mengakibatkannya tewas. Dalam
menetapkan perbuatan mana yang termasuk unsur kesengajaan dalam
membunuh. Terdapat perbedaan pendapat ulama fikih.
Menurut ulama Madzhab Hanafi suatu pembunuhan dikatakan dilakukan
dengan sengaja apabila alat yang digunakan untuk membunuh itu adalah alat yang
dapat melukai dan memang digunakan untuk menghabisi nyawa seseorang, seperti
senjata (pistol, senapan, dan lain-lain), pisau, pedang, parang, panah, api, kaca, dan
alat-alat tajam lainnya. Menurut ulama Madzhab Syāfi’i dan Mazhab Hanbali, alat
yang digunakan dalam pembunuhan sengaja itu adalah alat-alat yang biasanya
dapat menghabisi nyawa seseorang, sekalipun tidak melukai seseorang dan
sekalipun alat itu memang bukan digunakan untuk membunuh. Menurut ulama
Madzhab Maliki, suatu pembunuhan dikatakan sengaja apabila perbuatan
dilakukan dengan rasa permusuhan dan mengakibatkan seseorang terbunuh, baik
alatnya tajam, biasanya digunakan untuk membunuh atau tidak, melukai atau tidak.
Bahkan apabila seseorang menendang orang lain dan mengenai jantungnya, lalu
wafat, maka perbuatan ini dinamakan pembunuhan sengaja.
61
Dasar perbedaan pendapat ulama Madzhab Maliki dengan ulama fikih
lainnya adalah karena ulama Mazhab Maliki tidak mengakui adanya pembunuhan
semi sengaja, karena menurut mereka pembunuhan yang terdapat dalam al-Qur’an
dan diancam dengan hukuman hanya dua, yaitu pembunuhan sengaja dan
pembunuhan tersalah (QS.al-Nisā’: 92-93).6 Oleh karena itu, untuk membedakan
pembunuhan sengaja dengan tersalah, menurut mereka, cukup dilihat dari unsur
permusuhan, kesengajaan, dan akibatnya, tanpa melihat kepada alat yang
digunakan. Akan tetapi, ulama fikih yang lain, di samping melihat kepada rasa
permusuhan, kesengajaan, dan akibatnya, juga melihat kepada alat yang digunakan.
Alasan mereka adalah persoalan sengaja atau tidak adalah persoalan tersembunyi
dalam hati, dan hanya akan dapat dilihat dari cara dan alat yang digunakan, dan
adanya pengakuan dari pelaku.
Sumber perbedaan pendapat ulama Madzhab Hanafi disatu pihak dengan
ulama Madzhab Syāfi’i dan Madzhab Hanbali, di pihak lain dalam menetapkan
pembunuhan sengaja ulama Madzhab Hanafi berpendapat bahwa pembunuhan
sengaja itu adalah suatu pembunuhan yang dikenakan hukuman qisas, sehingga
untuk membuktikannya tidak boleh ada keraguan, baik dari segi niat atau tujuan
maupun dari segi alat yang digunakan. Alat yang digunakan itu, menurut mereka,
haruslah alat yang memang disediakan/digunakan untuk menghilangkan nyawa. Di
samping itu, perbedaan mendasar antara pembunuhan sengaja dan semi sengaja
menurut mereka terletak pada niat/tujuan membunuh. Oleh sebab itu, dalam
نة و ديية مسلمة إيل أهليهي إيل أن 6 نا خطأ ف تحريير رق بة مؤمي نا إيل خطأ ومن ق تل مؤمي وما كان ليمؤمين أن ي قتل مؤمي
ق نكم وب ي ن هم مييثاق فديية مسلمة إيل وا فإين كان مين ق وم عدو لكم وهو مؤمين ف تح يصد ن ق وم ب ي نة وإين كان مي ريير رق بة مؤمييام شهريني مت تابيعيي ت وبة مين اللي وكان نة فمن ل ييد فصي علييما أهليهي وتريير رق بة مؤمي نا مت عم يدا 92حكييما ) الل ( ومن ي قتل مؤمي
عليهي ولعنه وأعد له عذاب عظييما ب الل فجزاؤه جهنم خاليدا فييها وغضي
62
menetapkan pembunuhan sengaja diperlukan kepastian dan kehati-hatian, sehingga
tidak ada yang meragukannya, baik dari segi niat/ tujuan maupun dari segi alat yang
digunakan. Akan tetapi, ulama Madzhab Syāfi’i dan Madzhab Hanbali berpendirian
bahwa untuk membuktikan suatu pembunuhan itu disengaja cukup dengan alat
yang digunakan, yakni alat yang biasanya (bukan pasti) membawa kematian kepada
korban, apapun jenis alat yang digunakan, benda tajam, ataupun benda tumpul,
asalkan berakibat kepada kematian.
Bersandar dengan pendapat 4 Madzhab di atas, penulis menyimpulkan
bahwa perintah membunuh yang terdapat dalam hadis-hadis Nabi merupakan
bagian dari pembunuhan sengaja, namun pelaku pembunuhan tidak diqiṣas karena
niat dan tujuan dari pembunuhan tersebut berlandaskan Syara’. Sebagaimana dua
macam pembunuhan yang telah dirumuskan oleh Syekh Wahbah al-Zuhailī. Yakni
pertama, pembunuhan sengaja yang dilarang oleh Syara’, kedua, pembunuhan
sengaja yang diperintahkan Syara’. Sehingga hukum pelaku pembunuhan yang
berasal dari perintah Rasul masuk dalam kategori pembunuhan yang kedua, yaitu
pembunuhan sengaja yang diperintahkan Syara’.
Wahbah al-Zuhailī juga menjelaskan dalam kitabnya bahwa dalam al-
Qur’an banyak dijelaskan hukum pembunuhan sengaja beserta siksaan-siksaannya
di akhirat kelak. Sebagaimana QS. al-Nisā’ [4]: 93;
عليهي ولعنه وأعد له عذاب عظي يما ب الل نا مت عم يدا فجزاؤه جهنم خاليدا فييها وغضي ومن ي قتل مؤمي
Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka
balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.
63
Sedangkan dalam hadis-hadis Nabi, banyak dijelaskan keadaan-keadaan
pembunuhan sengaja yang diizinkan menurut hukum Islam. Maksudnya
pembunuhan yang diperbolehkan bagi hakim bukan bagi individu atau seseorang.7
Hal ini sesuai dengan sembilan Hadis yang penulis telah analisis dalam bab
ketiga, bahwa perintah membunuh tersebut berasal dari Nabi, dimana posisi Nabi
saat itu ialah sebagai seorang hakim dan kepala Negara. Sehingga membunuh yang
berasal dari perintah hakim atau kepala negara diperbolehkan.
7Wahbahal-Zuhaili, al-Fiqhu al-Islāmī wa ‘Adillatuhu, juz 6,hlm.218-219.
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelisuran lafadz qatala dari fi’il amrnya, terdapat 9 hadis
perintah membunuh dalam kitab Sahīh al-Bukhāri dan Sahīh Muslim. Setelah
dianalisis, dapat disimpulkan bahwa lafadz uqtul dalam hadis-hadis perintah
membunuh bersifat hakiki. Kesembilan hadis tersebut diucapkan oleh Rasulullah
Saw di Madinah. Hal ini sesuai dengan ayat-ayat perintah perang dalam al-Qur’an
yang turun di Madinah pula.
Adapun kesepuluh hadis yang penulis teliti, semuanya memiliki latar
belakang yang berbeda-beda dan konteks yang berbeda-beda pula. Namun dari
berbagai latar belakang hadis-hadis tersebut, terdapat satu faktor utama yang
menyebabkan Rasul memerintahkan untuk membunuh. Faktor tersebut ialah
perbuatan para pelakunya yang mengancam eksistensi Islam. Hal ini sesuai dengan
pemahaman ‘illat bahwa dalam pelaksanaan perintah pembunuhan, terdapat dasar
syariat yang melegitimasinya.
Ketika melihat posisi Nabi dan masyarakatnya dalam kesembilan hadis
tersebut, posisi Nabi ialah sebagai pemerintah atau kepala negara, sehingga
seseorang hanya diperbolehkan membunuh jika berasal dari perintah hakim atau
kepala negara.
B. Saran
Berangkat dari pembahasan di atas, dapat diketahui bahwa ada beberapa hal
yang belum bisa dikemukakan, diantaranya ialah belum diketahuinya keseluruhan
orang-orang yang Rasul perintahkan untuk dibunuh, keseluruhan penyebab
65
dibunuhnya orang-orang tersebut serta bagaimana bentuk-bentuk proses
membunuhnya baik pada zaman Rasul Saw maupun pada zaman Khulafa al-
Rasyidin. Kerenanya, dalam melakukan penelitian lanjutan, penulis
merekomendasikan agar masalah tersebut dapat ditelusuri dan kemudian diteliti.
66
DAFTAR PUSTAKA
A.C, Manullang. Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, Jakarta : Panta
Rhei, 2001.
Abdullah, M. Robith Fuadi. “Meninjau Hukuman Mati Bagi Murtad (Kajian Hadits
Tematik).”de Jure 4.1 (2012).
Abdurrazak, Mu’jizad. “Hadis Hukuman Mati (Pendekatan Sistem Sosial Talcott
Parsons)” (Tesis S2 Fakultas Agama dan Filsafat, Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2014).
Afwadzi, Benny. "Hadis Man Baddala Dinahu Faqtuluhu”: Telaah Semiotika
Komunikasi Hadis." Esensia: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin 16.2 (2015).
Al-‘Aini, Badr al-Dīn Abū Muhammad Mahmūd bin Ahmad. ‘Umdatu al-Qāri
Syarh Shahīh al-Bukhāri, (Beirut-Libanon: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah, 2001).
Amal, Taufiq Adnan. Rekonstruksi Sejarah al-Quran, (Ciputat-Jakarta, Alvabet,
2005).
Al-‘Asqalāniy, Ahmad bin ‘Ali Ibn Hajar Abū al-Faḍl. Fath al-Bāri Syarh Shahīh
al-Bukhāri, (Beirut: Dār al-Ma’rifah,1379).
Beyanouni,Fathiddin. “Ḥadīth and its Principles in the Early Days of Islam a
Critical Study of a Western Approach” (University of Glasgow, 1994).
Bogdan, Robert& Steven J. Taylor.Pengantar Metode Penelitian Kualitatif Suatu
Pendekatan Fenomenologi terhadap Ilmu Sosial, terj. Arief Furchan
(Surabaya: Usaha Nasional, 1992).
Al-Bukhāri, Abū Abdillah Muhammad bin Ismaīl. Shahih al-Bukhari, (Riyaḍ : Dār
al-Salām, 1998).
67
Damayanti, Ninin Prima, dkk. "Radikalisme Agama Sebagai Salah Satu Bentuk
Perilaku Menyimpang: Studi Kasus Front Pembela Islam." Jurnal
Kriminologi Indonesia 3.1 (2012).
Depag Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: CV ALWAAH, 1993).
Al-Dimasyqiy, Ismail bin Katsir. Tafsir al-Qur’an al-’Adzim, (Qāhirah: Maktabatul
Awlad).
Fatkhi, Rifki Muhammad. The Use and Not Use of Ḥadīth, Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional “Radikalisme: Problem Pemahaman Teks Al-Qur’an
dan Hadits” Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, Ciputat, 4 November 2015.
Fealy, Greg.“Islamic Radicalism in Indonesia: The Faltering Revival?", Southeast
Asian Affairs, 2004.
Hallaq, Wael B. “Was Al-Shāfiʻī the Master Architect of Islamic
Jurisprudence?”International Journal of Middle East Studies, No. 25 (1993).
Hallaq, Wael B. The Origins and Evolution of Islamic Law (Cambridge: Cambridge
University Press, 2005).
Hariyanto, Eko. Memahami Pembunuhan, (Jakarta: Kompas, 2014).
Hasan, Khalil Rasyad. Abdul Fatah Abdullāh al-Barsumi. Tarikh al-Tasyri’ al-
Islami, (Beirut: Dār al-Fikr, 1981).
Imaning, Yusuf. Pembunuhan dalam Perspektif Hukum Islam, Nurani: Jurnal
Kajian Syari'ah dan Masyarakat 13.2 (2013).
Al-Isfahani, Imam al-Raghib. Mu’jam Mufradat Alfadz al-Qur’an. (Damaskus: Dār
al-Qalam, 2009).
68
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual; Telaah Ma`ani al-
Hadis Tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, Jakarta:
Bulan Bintang, 2014.
Ismail, M. Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan
Kritis dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, Jakarta: Bulan Bintang, 2014.
Ismail, Sya’bah Muhammad. al-Tasyri’a al-Islamy Maṣādiruhu wa Aṭwāruhu,
(Mesir: Maktabah al-Nadhah, 934).
Kamil, Acep Husbanul. Hukuman Mati Orang Murtad dalam Hadits(Aplikasi
Hermeneutika Hadits Fazlur Rahman). (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin,
Universitas Islam Negeri Sunan Walisongo Semarang, 2012).
Munawir, A.W. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya:
Pustaka Progressif, 1997.
Mandzūr, Ibn. Lisan al-‘Arab, (Beirut: Dār Ihya al-Turats al-‘Araby, 1408 H).
Musa, Aisha Y. “Al-Shāfiʻī, the Ḥadīth, and the Concept of the Duality of
Revelation,” Islamic Studies 46:2 (2007).
Musa, Aisha Y. Ḥadīth as a Scripture (New York: Palgrave Macmillan, 2008).
Mustaqim, Abdul. Ilmu Ma’anil Hadis Paradigma Interkoneksi, (Yogyakarta: Idea
Press, 2008).
Mustofa, Imam. "Terorisme: Antara Aksi dan Reaksi (Gerakan Islam Radikal
sebagai Respon terhadap Imperealisme Modern)." Religia 15.1 (2013).
Al-Naisaburi, Abū al-Husain Muslimal-Hajjāj al-Qushairi. Shahīh Muslim, Riyaḍ :
Dār al-Salām, 1998.
Nawawi, Abu Zakariya Yahya. Syarah Shahih Muslim, (Kairo: Dar al-Hadis,
2005).
69
Nazir, Muhammad. Metode Penelitian (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998).
Al-Qadi, Ahmad bin Syu’aib bin ‘Ali bin Sinan bin Bahr al-Khurasani. Sunan al-
Nasa’i, (Beirut: Dār al-Fikr, 2005).
Al-Qadir, Audah ‘Abdu. al-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami. (Beirut : Muassah al-
Risalah, 1992).
Al-Qurthubi, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdullāh bin Muhammad bin ‘Abd al-Barr bin
al-‘Ashim al-Namri. al-Istidzkar, (Beirut : Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000).
Rusyd, Ibn. Bidâyatu al-Mujtahid, (Beirut: Dar al-Fikr, 2005).
Samudra, Imam. Aku Melawan Teroris, Solo: al-Jazeera, 2004.
Al-Sayis, Muhammad Ali. Tarikh al-Fiqh al-Islamy, (Maktabah wa Maṭbāh
Muhammad Ali Ṣabih wa Awlāduhu).
Schacht, Joseph. Pengantar Hukum Islam, alih bahasa. Moh Said dkk. (Clarendom
Pres.1977).
Subhan. "Hadis Kontekstual (Suatu Kritik Matan Hadis)." Mazahib 10.2 (2012).
Suryani. Metodologi Penelitian; Model Prakatis Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif (Universitas Pendidikan Indonesia, 2010).
Sutama.Metode Penelitian Pendidikan, (Surakarta: Fairuz Media, 2010).
Al-Syawkanī, Muhammad bin ‘Alī bin Muhammad bin ‘Abdullāh. Nayl al-Awṭār
(Mesir: Dār al-Hadis, 1993).
Al-Ṭahawi, Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad bin Salamah bin ‘Abd al-Malik bin
Salamah al-Azdi. Syarh Musykil al-Atsar (Beirut: Muassasah al-Risalah,
1949).
70
Tauhid, Ahmad Zainut. Hukuman Mati terhadap Pelaku Tindak Pidana Terorisme
Perspektif Fiqh Jinayah. (Skripsi S1 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012).
Walter, Laqueur.The Age of Terrorism, Boston, MA : Little, Brown, 1987.
Wensink, A.J. Mu’jam al-Mufahras Li Alfādz al-Hadis al-Nabawi, Leiden: E.J.
Brill, 1986.
Al-Wizārah al-Awqāf wa al-Syu’ūn al-Islāmiyyah, al-Mawsu’ah al-Fiqhiyyah al-
Kuwaytiyyah (Kuwait:Wizārah al-Awqāf wa al-Syu’ūn al-Islāmiyyah, 1427).
Al-Yahshobi, Iyaḍ bin Musa bin ‘Iyaḍ. Ikmal al-Mu'allim bi Fawāidi Muslim.
Yaqub, Ali Mustafa. al-Ṭuruq al-Ṣahīhah fī Fahmi al-Sunnah al-Nabawiyyah
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2014).
Yaqub, Ali Mustafa. Ijtihad, Terorisme, dan Liberalisme, (Jakarta: Pustaka Firdaus,
2012).
Al-Zuhaili, Wahbah. al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dār al-Fikr,
1984).