Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

7
Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa Tanggapan terhadap pernyataan R Mawikere Oleh: Pdt Dr AF Parengkuan MTh Harian Komentar, Rabu (25/06) memuat berita tentang upaya pelurusan Sejarah Pekabaran Injil di Tanah Minahasa, dengan judul ‘Riedel dan Schwarz Bukan Penginjil Pertama di Minahasa’ dengan narasumber Raymond Mawikere Mhum. Untuk menanggapi hal itu, Pdt Dr AF Parengkuan MTh, mantan Ketua Sinode GMIM dan ahli sejarah gereja, bersedia memberikan tanggapan melalui tulisan, yang baru saja disemilokakan. Berikut catatan lengkap Pdt Dr AF Parengkuan: Hari ini, kita mengadakan Semiloka dengan judul: Peng-galian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa. Su-dah sejak beberapa waktu yang lalu ada pertanyaan dari ang-gota-anggota jemaat: “Apakah tepat untuk mengatakan bahwa Pekabaran Injil dan Pendidik-an Kristen nanti mulai pada 177 tahun yang lalu, pada 12 Juni 1831?” Petanyaan ini be-lum memperoleh jawaban yang dapat diterima oleh semua ka-langan di lingkungan GMIM. Dengan judul semiloka ter-sebut di atas, kita diperhadap-kan pula dengan pertanyaan yang sama, yang mudah-mu-dahan melalui semiloka ini kita memperoleh masukan-masukan yang sesungguhnya memberi kejelasan tentang waktu masuk-nya Pekabaran Injil dan Pen-didikan Kristen di Minahasa. Sebenarnya usaha untuk menggali Sejarah Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen sudah dicoba untuk disusun, pada waktu GMIM merayakan 70 Tahun GMIM Bersinode, pada tanggal 30 September 2004. Sebuah buku dengan sampul terbilang istimewa un-tuk peringatan perayaan itu berjudul Menggali Harta Ter-pendam. Penerbitannya telah diprakarsai oleh panitia pada waktu itu. Dua orang dosen Bidang Studi Sejarah Gereja di Fakultas Teologia UKIT yang diminta untuk menyusun isi buku tersebut adalah Pdt DR Arnold Fr Parengkuan MTh dan Pdt David M Lintong STh. Dua topik utama yang diurai-kan dalam buku itu adalah mengenai “GMIM dan Pekabar-an Injil” dan “Tata Gereja GMIM Sepanjang Sejarahnya”. Dalam penulisan Sejarah Gereja di Indonesia sekarang ini, para ahli yang terhimpun dalam Paguyuban Ahli Sejarah Kekristenan di Indonesia (PASKI) telah mengembangkan suatu pendekatan kontekstual. Bukan lagi memberi banyak penekanan pada peran para missio-naris/zendeling dari Barat, melainkan berusaha menggali peran penduduk pribumi dalam pem-beritaan injil dan IK

Transcript of Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

Page 1: Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

Tanggapan terhadap pernyataan R Mawikere

Oleh: Pdt Dr AF Parengkuan MTh

Harian Komentar, Rabu (25/06) memuat berita tentang upaya pelurusan Sejarah Pekabaran Injil di Tanah Minahasa, dengan judul ‘Riedel dan Schwarz Bukan Penginjil Pertama di Minahasa’ dengan narasumber Raymond Mawikere Mhum.

Untuk menanggapi hal itu, Pdt Dr AF Parengkuan MTh, mantan Ketua Sinode GMIM dan ahli sejarah gereja, bersedia memberikan tanggapan melalui tulisan, yang baru saja disemilokakan. Berikut catatan lengkap Pdt Dr AF Parengkuan:

Hari ini, kita mengadakan Semiloka dengan judul: Peng-galian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa. Su-dah sejak beberapa waktu yang lalu ada pertanyaan dari ang-gota-anggota jemaat: “Apakah tepat untuk mengatakan bahwa Pekabaran Injil dan Pendidik-an Kristen nanti mulai pada 177 tahun yang lalu, pada 12 Juni 1831?” Petanyaan ini be-lum memperoleh jawaban yang dapat diterima oleh semua ka-langan di lingkungan GMIM. Dengan judul semiloka ter-sebut di atas, kita diperhadap-kan pula dengan pertanyaan yang sama, yang mudah-mu-dahan melalui semiloka ini kita memperoleh masukan-masukan yang sesungguhnya memberi kejelasan tentang waktu masuk-nya Pekabaran Injil dan Pen-didikan Kristen di Minahasa.

Sebenarnya usaha untuk menggali Sejarah Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen sudah dicoba untuk disusun, pada waktu GMIM merayakan 70 Tahun GMIM Bersinode, pada tanggal 30 September 2004. Sebuah buku dengan sampul terbilang istimewa un-tuk peringatan perayaan itu berjudul Menggali Harta Ter-pendam. Penerbitannya telah diprakarsai oleh panitia pada waktu itu. Dua orang dosen Bidang Studi Sejarah Gereja di Fakultas Teologia UKIT yang diminta untuk menyusun isi buku tersebut adalah Pdt DR Arnold Fr Parengkuan MTh dan Pdt David M Lintong STh. Dua topik utama yang diurai-kan dalam buku itu adalah mengenai “GMIM dan Pekabar-an Injil” dan “Tata Gereja GMIM Sepanjang Sejarahnya”.

Dalam penulisan Sejarah Gereja di Indonesia sekarang ini, para ahli yang terhimpun dalam Paguyuban Ahli Sejarah Kekristenan di Indonesia (PASKI) telah mengembangkan suatu pendekatan kontekstual. Bukan lagi memberi banyak penekanan pada peran para missio-naris/zendeling dari Barat, melainkan berusaha menggali peran penduduk pribumi dalam pem-beritaan injil dan

IK

Page 2: Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

pengembang-annya di daerah di mana me-reka berasal. Demikian juga dalam penyusunan bahan se-miloka ini, saya mencoba un-tuk mendapatkan catatan-ca-tatan historis yang berkenaan dengan peran perintis-perintis pribumi dalam Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen.Dari data-data itu diharap-kan kita boleh meninjau kem-bali apakah penentuan mulai-nya Pekabaran Injil dan Pendi-dikan Kristen memang masih dapat dipertahankan atau su-dah memerlukan revisi bagi peletakan dasar pengetahuan anak cucu kita tentang Seja-rah GMIM.Keadaan Masyarakat Mina-hasa Sebelum Perjumpaan dengan Pendatang dari Barat.Mengapa kita mulai dengan pokok ini? Jawaban semen-tara adalah bahwa yang ber-inisiatif dan mengambil ke-putusan untuk me-nerima Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen adalah orang Minahasa yang su-dah mendiami Ta-nah Minahasa se-belum kedatangan orang-orang asing dari belahan bumi bagian barat. Pada waktu itu penduduk Minahasa tinggal di wilayah-wilayah pedalaman. Mereka terdiri dari beberapa sub-etnis dengan bahasanya masing-masing, yakni: Tonsea, Toulour, Tountemboan, Tom-bulu, Pasan-Ponosakan dan Bantik. Dalam wilayah peda-laman itu mereka bebas dari pengaruh Arab dan India2.

Berdasarkan cerita-cerita kuno tentang penyebaran sub-sub-etnis di Minahasa dan cerita tentang musyawarah di Watu Pinawetengan dapat disimak bahwa masyarakat Minahasa di masa sebelum kedatangan bangsa-bangsa Barat telah mengenal adanya orang-orang yang berinisiatif sebagai pemimpin. Karena ke-istimewaan yang mereka miliki seorang, maka ia men-dapat penghormatan dan di-segani oleh masyarakat di se-kitarnya.

Orang-orang seperti itu dike-nal sebagai Tonaas dan Wa-lian3. Suara mereka didengar oleh anggota masyarakat kare-na kewibawaan, keberanian dan kharisma yang mereka miliki4.Berkenaan dengan pandang-an keagamaan, orang Minaha-sa purba telah memiliki konsep tentang kuasa tertinggi, yang kehendaknya ditafsirkan dari gejala-gejala alam. Umpama-nya, untuk mengetahui apakah maksud dan rencana seseorang direstui oleh kuasa tertinggi itu, maka mereka menyendiri di tempat yang sunyi untuk men-dengar suara burung Manguni. Bilangan sembilan menjadi pe-gangan tentang ke-sempurna-an. Karena itu jika suara bu-rung Manguni berbunyi sembi-lan kali maka itu menjadi pe-tunjuk bahwa maksud mereka direstui oleh kuasa tertinggi. Jika tidak maka mereka ha-rus menunda rencana itu dan menunggu sampai ada tanda berikut yang boleh menjadi pe-gangan. Kuasa terbatas lainnya diungkap-kan dalam bentuk pengajaran yang lebih bersifat etika. Kita tidak akan memba-has ini satu persatu karena tentang itu dapat dibaca dalam tulisan-tulisan yang sudah pernah diterbitkan oleh orang Minahasa sebelumnya. Yang hendak diambil sebagai contoh adlah beberapa hal yang menunjukkan akan kepercaya-an pada kuasa terbatas, yang bersifat lokal. Umpamanya, un-tuk mengajarkan masyarakat agar menghormati kegiatan pri-badi orang lain, maka untuk melewati batu besar, pohon be-sar, mata air, seseorang harus mendehem lebih dulu sebelum sampai di tempat-tempat itu. Dalam tradisi kepercayaan la-ma di Minahasa yang juga dipe-lihara sebagai adat, penekanan ketetapan ini diarahkan kepa-da penghormatan terhadap kuasa supernatural terbatas itu. Tetapi ditinjau dari sisi pe-ngajaran etika, tem-pat seperti batu be-sar dan pohon besar sering dipakai untuk menjadi tempat membuang hajat, se-dangkan mata air menjadi tempat orang mandi.

Dengan mendehem, maka sesorang yang hendak mele-wati tempat itu memberi kesem-patan bagi yang bersangkutan untuk membalas dengan men-dehem pula atau berjongkok di dalam air sampai ke lehernya sehingga orang yang akan le-wat dapat melanjutkan perja-lanannya, atau lebih berha-ti-hati jika hendak meniti jem-batan bambu melewati parit.

Dari kedua contoh ini dapat dipahami bahwa orang Mina-hasa purba telah memiliki ni-lai-nilai keagamaan dan etika. Ini penting bagi kita untuk menyadari bahwa sebelum orang Barat datang ke Mina-hasa, mereka sudah memiliki kepercayaan dan memper-oleh pendidikan melalui adat.

Page 3: Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

Uraian Singkat Mengenai Orang-orang Kristen Pertama yang Masuk Tanah Minahasa dan Penerimaan Orang Mina-hasa atas Ajaran Ke-agamaan dan Pendi-dikan yang Mereka Bawa.

Menurut catatan-catatan historis yang kita miliki5 orang-orang Spanyol lebih dulu datang ke Mina-hasa dari pada orang Portugis, yakni pada tahun 1525. Nanti sesudah 1580 barulah mereka lebih menetap. Orang-orang Portugis nanti datang ke Minahasa pada tahun 1563, sebagai usaha tandingan terhadap ekspidisi Sultan Khai-run dari Ternate6. Kedua bangsa ini datang ke Minahasa untuk berdagang pala, cengkih dan kopra.

Tetapi di samping itu mereka juga membawa iman Katolik dari negeri mereka. Pendeta-pendeta Protestan nanti da-tang ke Minahasa pada abad ke-17 (1663) bersama-sama dengan VOC (Serikat Dagang Hindia Timur). Mereka meng-geser kekuasaan Spanyol dan Portugis.Pendeta-pendeta VOC itu an-tara lain, Ds. Jacobus Monta-nus, yang dalam perjalanan-nya ke Taruna singgah juga di Manado pada tahun 1675.

Pada waktu itu ada seorang yang dibaptis, ada satu rumah gereja dan satu sekolah. Tidak jelas apakah orang yang dibap-tis adalah dari kalangan pega-wai VOC. Namun menarik un-tuk mengangkat di sini apa yang disebutkan oleh Molsber-gen tentang seorang wali negeri Maluku bernama Pieter Roose-laar yang dari tahun 1700 sam-pai dengan 1706 mengadakan studi tentang keadaan di wila-yah pemerintahannya yang lu-as, termasuk Manado. Ia me-nyebutkan tentang tiga orang pemimpin hukumtua, yakni Soupit dari Tombariri, Lonto dari Tonsea Tonsaronson (To-unsarongsong ?) dan Paat dari Tomohon. Disebutkan sedikit-nya ada 567 jiwa orang Kristen dan adanya pemimpin-pemim-pin yang luar biasa, ada sebu-ah sekolah pribumi dan se-orang guru keliling yang me-mimpin kebaktian serta men-didik para pemuda. Walaupun yang menjadi sasaran peneliti-an itu menyangkut kekuatan perekonomian di wilayah-wi-layah tersebut, namun dalam-nya diinformasikan tentang adanya orang-orang Kristen dan sekolah pribumi di sekitar Tombariri, Tomohon dan Ton-sea pada awal abad ke-187. Da-ri informasi itu dapat disimak bahwa ada guru keliling yang sangat mungkin berasal dari Minahasa yang sangat berpe-ran dalam pekabaran Injil dan penyelenggaraan pendidikan di ketiga wilayah itu. Jika kita perhatikan ini, maka kerja pe-kabaran Injil di Minahasa su-dah cukup intensif dan dilaku-kan oleh guru pribumi, walau-pun jumlahnya sangat langka. Molsbergen juga menyebutkan tentang Ds. Adams yang dise-but-sebut datang ke Tondano dan tentang desa-desa Atep dan Kapataran(g) yang pada se-kitar tahun 1786 nampaknya menjadi tempat mendarat pe-rahu-perahu dari luar Minaha-sa, seperti perahu yang dikenal dengan nama “kora-kora”. Tempat sekitar Atep itu kemu-dian dikenal sebagai Labuhan Kora-kora8. Walaupun disentil oleh Molsbergen bahwa ada ha-rapan Ds. Adams akan mem-perhatikan kepercayaan Kris-ten yang pernah dimiliki oleh penduduk di sana, namun kita tidak memiliki data yang jelas tentang siapa-siapa orang Mi-nahasa yang dibaptis pada waktu itu9. Dengan demikian sampai bubarnya VOC pada ta-hun 1799, telah ada guru-guru pribumi yang giat mengabar-kan Injil dan berkeliling di be-berapa desa/wilayah untuk mengajar penduduk yang telah menjadi Kristen. Nama mereka memang tidak disebutkan, ke-cuali guru-guru pribumi yang memperoleh didikan para zen-deling di abad ke-19, sesudah VOC dibubarkan dan babak baru dalam pekabaran Injil se-telah badan-badan pekabaran Injil terbentuk di Eropa pada akhir abad ke-18, seperti ada-nya NZG (Nederlandse Zende-ling Genootschap) atau Per-kumpulan Pekabar Injil Belan-da) yang didirikan pada 19 De-sember 1797. Lembaga-lemba-ga yang giat melaksanakan pe-kabaran Injil ke luar Eropa itu timbul oleh pengaruh gerakan Pietisme, yang merupakan arus kekuatan kerohanian di Eropa yang hendak mengimba-ngi kecenderungan pementing-an segi intelektual para pemim-pin gereja di masa pasca-Re-formasi, kemudian menekan-kan agama hati, kesalehan dan pelaksanaan tugas menga-barkan Injil di antara orang Kristen.

Pemahaman Umum Jemaat-jemaat di Minahasa tentang Permulaan Pekabaran Injil di Minahasa.

Peringatan Hari Pekabaran Injil dan Pendidikan Kristen di Minahasa, sebagaimana yang berlaku sampai sekarang ialah bahwa penentuan mulainya Pekabaran Injil dan Pendidik-an Kristen di Minahasa nanti terjadi pada waktu para zen-deling Johan Frederich Riedel dan Johan Gotlieb

Page 4: Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

Schwarz ti-ba di Minahasa pada 12 Juni 1831.

Ini menunjukkan bahwa per-hatian jemaat-jemaat kita lebih terarah kepada zendeling/misi dari Eropa dan peranan mereka. Dalam uraian di atas telah disentil tentang peran orang Mi-nahasa sendiri dalam peneri-maan akan Injil dan kegiatan mereka memelihara kerohanian jemaat. Tetapi, sejak masa ke-datangan orang Spanyol dan Portugis, nama-nama rohania-wan asinglah yang disebut-se-but, seperti Pater Diego Magel-haes, seorang imam Katolik yang dipandang sebagai misio-nari Katolik yang pertama kali datang ke Manado. Kemudian Ds Jacobus Montanus dan Ds Adams dari masa VOC. Akan dapat dilihat lagi bahwa ada ba-nyak pekabar injil dari Eropa yang datang ke Minahasa yang menetap di tanah ini sejak pa-roan pertama abad ke-19.

Boleh di kata bahwa setelah VOC bubar, maka ada kelowo-ngan kehadiran pekabar injil yang difasilitasi oleh serikat da-gang itu, dari tahun 1800 sam-pai sekitar tahun 1817. Namun sesudah VOC, orang-orang Kristen di Eropa yang merasa terbeban untuk mengabarkan injil ke luar negeri mereka di masa kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda melanjutkan kekuasaan atas kepulauan di Hindia Timur (Indonesia). Keda-tangan pekabar-pekabar injil itu memang berkesinambu-ngan, tidak lagi seperti yang terjadi di masa VOC.

Kehadiran mereka didahului oleh orang-orang yang ditugas-kan oleh pengurus Gereja Pro-testan di Batavia (Jakarta). Um-pamanya Ds Lenting dikatakan datang ke Minahasa pada ta-hun 1819-1820 dan membaptis banyak orang. Kemudian L Lammers yang meninggal di Ke-ma pada tahun 1824 dan D Muller meninggal pada 182710.

Pada tahun itu juga Jan Gerrit Hallendoorn, yang disebut oleh Molsbergen sebagai seorang guru injil dan oleh Coolsma disebut sebagai predikat ber-giat di Minahasa. Ia digelari “pe-letak dasar pekabaran injil di Minahasa”11. Coolsma menye-butkan bahwa sejak Hellendo-orn mengadakan perjalanan ke-liling di Minahasa, ia mendapati adanya sekolah-sekolah yang sangat miskin dengan adanya 400 orang murid, dan sampai kematiannya telah ada 56 seko-lah dengan murid sebanyak 4.000 siswa. Sesudahnya baru-lah datang J F Riedel dan J G Schwarz pada 1831 yang disu-sul oleh para zendeling lain se-cara bergelombang, antara lain: C T Hermann, A Mattern N P Wilken Zendeling Wilken me-majukan persekolahan di To-mohon dibantu oleh guru pri-bumi bernama Alexander Wa-jong. Oleh kegiatan dan pembe-rian diri guru pribumi itu, maka murid-murid katekhisasi mem-peroleh pengertian yang lebih jelas tentang isi pengajaran yang disampaikan kepada mereka.

Di antara tahun 1848 dan 1851 datang pula para zende-ling Hartig, Bossert, N Graaf-land, S Ulfers dan H W Nooij. Pekerjaan Hartig, yang mening-gal pada tahun 1854, dilanjut-kan oleh Linemann, yang diban-tu oleh guru Hehanussa yang diangkat sebagai penolong zen-deling di tahun 1856. Selanjutnya di antara tahun 1861-1864 datang juga ke Mi-nahasa para zendeling: H Ro-oker, H J Tendeloo, A O Scha-afsma, C J van der Liefde, J A T Schwarz, J N Wiersma, M Van der Wal, J Louwerier dan M Brouwer. Tidak dapat disangkal bahwa mereka telah datang dari negerinya yang jauh.

Mereka memberitakan injil dengan terlebih dulu mengada-kan pendekatan dan penye-suaian hidup di tengah lingku-ngan masyarakat setempat di Minahasa. Mereka mempelajari adat kebiasaan orang Minahasa, alam kerohanian mereka dan cara orang Minahasa bermasya-rakat, sebagaimana dijelaskan pada bagian permulaan tulisan ini. Mereka semua tidak bekerja sendiri di tempatnya masing-masing. Ada banyak guru injil yang sudah memberi diri diper-siapkan dan melaksanakan kegiatan pekabaran injil dan pendidikan Kristen. Peranan orang pribumi dalam kegiatan pekabaran injil makin nampak di masa zendeling H Rooker bekerja di Tondano dan sekitarnya, sejak tahun 1855, ketika ia melanjutkan pekerjaan Riedel dan Nooij.

Dalam melakukan pekerja-annya, Rooker dibantu oleh Selvanus Item, salah seorang yang dinilai baik oleh Ridel. Sejak 1857 Item ditetapkan sebagai pembantu zendeling. Sepuluh tahun

Page 5: Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

sebelumnya (1847) telah ditetapkan seorang lain bernama Adrianus Angkouw di Sonder12.

Selain kedua guru pribumi itu disebutkan juga seorang ber-nama Eliza Siwij di Rerer. Ia se-mula adalah seorang guru NZG, yang kemudian diangkat seba-gai penolong zendeling. Rooker menyebutnya sebagai seorang yang memiliki sedikit kekua-tan tetapi menghasilkan ba-nyak hal yang besar13. Ini me-nunjukkan bahwa guru-guru pribumi telah sangat berperan dalam pendidikan di sekolah-sekolah dan dalam kegiatan pe-kabaran injil, dalam pemeliha-raan jemaat-jemaat.

Dalam majalah yang diterbit-kan secara berkala oleh NZG berjudul Mededeelingen van het NZG, nomor XX, 1876, hlm 195-197, disebutkan sebanyak 124 nama-nama guru sekolah yang tersebar di jemaat-jemaat pe-desaan, dalam resort pelaya-nan para zendeling. Van Ran-dwijk menjelaskan bahwa pe-kerjaan pekabaran injil dan pendidikan Kristen telah berkembang pesat. Jemaat bukan hanya mendengar injil tetapi juga merasa terdorong menjadi pekabar injil14.

Kelompok-kelompok inti da-lam persekutuan jemaat men-jadi batu penyanggah yang kuat bagi pekabaran injil. Pada ta-hun 1849 Riedel membaptis se-banyak 665 orang. Jumlah se-banyak itu perlu dilayani dalam pemahaman mereka akan injil dan bagaimana perkembangan iman mereka. Dapat dipahami bahwa jumlah sebanyak orang yang dibaptis itu mungkin tersebar di beberapa wilayah pedesaan dan memerlukan pe-layanan katekisasi. Mengingat bahwa orang-orang tersebut menggunakan bahasa setem-pat yang belum dipahami oleh Riedel, maka sulit membayang-kan bagaimana ia sendiri me-ngajar mereka jika tidak diban-tu oleh orang pribumi.

Mungkin Riedel sendiri telah berusaha mempelajari bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan orang-orang pribumi. Tetapi hanya di dipergunakan di kalangan terbatas. Sementara itu untuk memberi pengertian kepada orang pribumi, ia mem-butuhkan penerjemah. Dalam catatan-catatan historis tenta-ng perkembangan kekristenan di Minahasa, Riedel memakai orang-orang tertentu untuk menjadi penerjemah.

Khotbah Minggu di rumah ge-reja disalin oleh orang-orang yang berkemampuan menerje-mahkan bahasa Melayu ke da-lam bahasa setempat. Kata “sa-linan” masih dipakai di bebera-pa tempat untuk menunjuk pa-da ibadah sore hari di lingku-ngan jemaat yang tidak mengi-kuti kebaktian di rumah gereja.

Guna mendapatkan tenaga-tenaga pembantu bagi kerja pe-nerjemahan itu, Riedel (juga zendeling lainnya) mengadakan pelajaran Alkitab secara tetap. Mungkin anak-anak Minahasa yang bersekolah sejak masa pe-layanan Jan Geritt Helendoorn sejak tahun 1927 menjadi orang-orang pertama yang berperan dalam penerjemahan pemberitaan Firman Tuhan pada masa itu. Ketika kita membaca bahwa Riedel mengadakan pertemuan untuk belajar isi Alkitab di ru-mahnya, dan memperhatikan siapa di antara mereka yang berkemauan dan menjadikan mereka sebagai kelompok inti yang dipersiapkan guna mem-bantu pekerjaannya, maka ia telah mengadakan pelatihan dan pembinaan terhadap mere-ka bagi pekerjaan itu. Mereka jugalah yang telah memberi diri mereka menjadi “anak piara” dan mereka kemudian menjadi orang-orang yang mengambil bagian aktif dalam kerja peka-baran injil, kemudian juga se-bagai guru-guru bagi orang Mi-nahasa. Dari data laporan pe-nginjil tahun 1865, menjadi je-las bahwa 33, 67% dari dana yang dikumpulkan oleh jemaat dipergunakan untuk pekaba-ran injil ke luar Minahasa. Dise-butkan antara lain bahwa di akhir abad ke-19 jemaat-jemaat di Minahasa mengutus guru-guru ke daerah lain. Empat pa-sang suami istri di tahun 1891 diutus ke Tanah Karo.

Selain kedua guru pribumi itu disebutkan juga seorang ber-nama Eliza Siwij di Rerer. Ia se-mula adalah seorang guru NZG, yang kemudian diangkat seba-gai penolong zendeling. Rooker menyebutnya sebagai seorang yang memiliki sedikit kekua-tan tetapi menghasilkan ba-nyak hal yang besar13. Ini me-nunjukkan bahwa guru-guru pribumi telah sangat berperan dalam

Page 6: Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

pendidikan di sekolah-sekolah dan dalam kegiatan pe-kabaran injil, dalam pemeliha-raan jemaat-jemaat.

Dalam majalah yang diterbit-kan secara berkala oleh NZG berjudul Mededeelingen van het NZG, nomor XX, 1876, hlm 195-197, disebutkan sebanyak 124 nama-nama guru sekolah yang tersebar di jemaat-jemaat pe-desaan, dalam resort pelaya-nan para zendeling. Van Ran-dwijk menjelaskan bahwa pe-kerjaan pekabaran injil dan pendidikan Kristen telah berkembang pesat. Jemaat bukan hanya mendengar injil tetapi juga merasa terdorong menjadi pekabar injil14.

Kelompok-kelompok inti da-lam persekutuan jemaat men-jadi batu penyanggah yang kuat bagi pekabaran injil. Pada ta-hun 1849 Riedel membaptis se-banyak 665 orang. Jumlah se-banyak itu perlu dilayani dalam pemahaman mereka akan injil dan bagaimana perkembangan iman mereka. Dapat dipahami bahwa jumlah sebanyak orang yang dibaptis itu mungkin tersebar di beberapa wilayah pedesaan dan memerlukan pe-layanan katekisasi. Mengingat bahwa orang-orang tersebut menggunakan bahasa setem-pat yang belum dipahami oleh Riedel, maka sulit membayang-kan bagaimana ia sendiri me-ngajar mereka jika tidak diban-tu oleh orang pribumi.

Mungkin Riedel sendiri telah berusaha mempelajari bahasa Melayu untuk berkomunikasi dengan orang-orang pribumi. Tetapi hanya di dipergunakan di kalangan terbatas. Sementara itu untuk memberi pengertian kepada orang pribumi, ia mem-butuhkan penerjemah. Dalam catatan-catatan historis tenta-ng perkembangan kekristenan di Minahasa, Riedel memakai orang-orang tertentu untuk menjadi penerjemah.

Khotbah Minggu di rumah ge-reja disalin oleh orang-orang yang berkemampuan menerje-mahkan bahasa Melayu ke da-lam bahasa setempat. Kata �sa-linan� masih dipakai di bebera-pa tempat untuk menunjuk pa-da ibadah sore hari di lingku-ngan jemaat yang tidak mengi-kuti kebaktian di rumah gereja.

Guna mendapatkan tenaga-tenaga pembantu bagi kerja pe-nerjemahan itu, Riedel (juga zendeling lainnya) mengadakan pelajaran Alkitab secara tetap. Mungkin anak-anak Minahasa yang bersekolah sejak masa pe-layanan Jan Geritt Helendoorn sejak tahun 1927 menjadi orang-orang pertama yang berperan dalam penerjemahan pemberitaan Firman Tuhan pada masa itu. Ketika kita membaca bahwa Riedel mengadakan pertemuan untuk belajar isi Alkitab di ru-mahnya, dan memperhatikan siapa di antara mereka yang berkemauan dan menjadikan mereka sebagai kelompok inti yang dipersiapkan guna mem-bantu pekerjaannya, maka ia telah mengadakan pelatihan dan pembinaan terhadap mere-ka bagi pekerjaan itu. Mereka jugalah yang telah memberi diri mereka menjadi �anak piara� dan mereka kemudian menjadi orang-orang yang mengambil bagian aktif dalam kerja peka-baran injil, kemudian juga se-bagai guru-guru bagi orang Mi-nahasa. Dari data laporan pe-nginjil tahun 1865, menjadi je-las bahwa 33, 67% dari dana yang dikumpulkan oleh jemaat dipergunakan untuk pekaba-ran injil ke luar Minahasa. Dise-butkan antara lain bahwa di akhir abad ke-19 jemaat-jemaat di Minahasa mengutus guru-guru ke daerah lain. Empat pa-sang suami istri di tahun 1891 diutus ke Tanah Karo.

Mereka adalah pasangan suami istri: Benyamin dan Su-zana Wenas, Johan dan Peni-na Pinontoan, Richard dan Sa-ra Tampenawas serta Hendrik dan Mintje Pesik15. Di awal abad ke-20 kita kurang men-dengar tentang pengutusan pekabar injil ke luar. Nanti se-sudah GMIM berdiri sendiri pada tahun 1934 barulah kita mendengar keaktifan GMIM mengutus para guru injil dan pendeta ke berbagai daerah lain di Indonesia16.

Dari uraian di atas kiranya menjadi jelas, bahwa hal mem-peringati pekabaran injil di Mi-nahasa maupun ke luar Mina-hasa, baik sejak jemaat-jemaat di Minahasa masih berada da-lam asuhan para zendeling dan guru-guru injil, maupun se-sudah GMIM berdiri sendiri di lingkungan Gereja Protestan di Indonesia, kita tidak dapat melupakan pemberian diri para zendeling yang telah bersedia meninggalkan kampung hala-mannya dan memberi dirinya dalam pelayanan di Minahasa

Page 7: Penggalian Sejarah Pekabaran Injil Masuk Tanah Minahasa

sampai akhir hidupnya.

Di sana ada banyak semangat dan pengorbanan. Di samping itu, kita hendaknya memberi penghormatan dan mengang-kat peran para guru injil pri-bumi yang perannya dalam pekabaran injil dan pendidik-an kristen sangat besar.

Apakah semangat militansi dan kesediaan berkorban itu masih kita miliki sampai seka-rang? Atau kita lebih banyak memperkuat diri sendiri dan tidak lagi memiliki semangat perintisan bagi kerja pekabar-an Injil?

Memang ada pendapat-pen-dapat yang mengatakan bahwa tren pekabaran injil sekarang sudah berubah, tidak lagi sama dengan di waktu yang lampau. Seandainya demikian, perlu di-pertanyakan, apakah isi peka-baran injil dan tujuan pendi-dikan kristen sebagai warga GMIM pahami dan apa yang kita laksanakan sekarang? Ini suatu tantangan bagi kita.

Karena semiloka ini tidak di-maksud untuk mengevaluasi penetapan HUT pekabaran injil dan pendidikan kristen, maka dalam paper ini tidak diberi uraian khusus untuk menjawab pertanyaan yang sempat dikemukakan di atas.

Namun demikan bahan in-formasi historis di atas diha-rapkan dapat menjadi sum-bangan dan masukan untuk mewujudkan harapan dan mencapai maksud baik yang diamati oleh generasi muda GMIM dewasa ini.(habis)

(Disajikan dalam semiloka yang diselenggarakan oleh Pa-nitia HUT Pekabaran Injil Sinode GMIM bertempat di The Ritzy Hotel Manado pada tanggal 14 Juni 2008.) Penulis, Mantan Ketua Sinode GMIM dan ahli sejarah gereja.

Tulisan ini dipublikasikan dalam Harian Komentar secara bersambung, pada edisi 26, 27, 28, 30 Juni dan 1, 2 Juli 2008. Angka dibelakang kalimat adalah “catatan kaki”

yang tidak dimuat dalam edisi koran.

P. Berty msc