BAB II PERGESERAN PARADIGMA MISI SEPANJANG...

33
BAB II PERGESERAN PARADIGMA MISI SEPANJANG SEJARAH GEREJA Misi Kristen mula-mula adalah melibatkan pribadi Yesus sendiri, namun kita tidak dapat membatasi pribadi Yesus dengan rumusan apapun juga. Misi dari masa Gereja awal dapat dilihat lebih jelas dalam pemikiran dan praktek misi yang terkandung dalam Matius. Arti misi dalam Matius adalah memberitakan Kristus sebagai Tuhan. Dalam Matius dikatakan bahwa berdasarkan pelayanan Yesus di dunia, kematian dan kebangkitanNya membuka jalan misi kepada orang-orang bukan Yahudi. Penafsiran konservatif terhadap Matius 28:18-20 selalu menjadi inspirasi yang kuat dan memainkan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan pekerjaan pekabaran injil yang dilakukan misi-misi Kristen selama berabad-abad. 1 Misi adalah sebuah pelayanan berwajah banyak, sehubungan dengan kesaksian, pelayanan, keadilan penyembuhan, perujukan, pembebasan, perdamaian, penginjilan, persekutuan, penanaman gereja, kontekstualisasi dan lebih banyak lagi. Usaha-usaha untuk mendefinisikan misi adalah sesuatu yang baru. Gereja Kristen mula-mula tidak melakukan hal itu. Dan pada dekade-dekade terakhir, telah terjadi peningkatan dalam penggunaan istilah ‘misi’. Matius 28:18-20, yang sering disebut Amanat Agung, berisikan perintah kepada orang Kristen untuk menjadikan murid, membaptis dan mengajar orang-orang di seluruh dunia. Penafsiran konservatif terhadap Matius 28:18-20 ini ‘memberikan tugas’ kepada orang Kristen untuk melakukan kristenisasi atau orang Kristen mempunyai tanggung jawab dalam proses pertambahan jumlah orang Kristen di bumi. Misi yang seutuhnya ini menuruti karya Yesus, sebab misi Yesus senantiasa berlangsung dengan seutuhnya. Yesus memberitakan Injil dan 1 Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 7

Transcript of BAB II PERGESERAN PARADIGMA MISI SEPANJANG...

  • BAB II

    PERGESERAN PARADIGMA MISI SEPANJANG SEJARAH GEREJA

    Misi Kristen mula-mula adalah melibatkan pribadi Yesus sendiri, namun kita tidak dapat

    membatasi pribadi Yesus dengan rumusan apapun juga. Misi dari masa Gereja awal dapat dilihat

    lebih jelas dalam pemikiran dan praktek misi yang terkandung dalam Matius. Arti misi dalam

    Matius adalah memberitakan Kristus sebagai Tuhan. Dalam Matius dikatakan bahwa

    berdasarkan pelayanan Yesus di dunia, kematian dan kebangkitanNya membuka jalan misi

    kepada orang-orang bukan Yahudi. Penafsiran konservatif terhadap Matius 28:18-20 selalu

    menjadi inspirasi yang kuat dan memainkan peranan yang sangat penting dalam pelaksanaan

    pekerjaan pekabaran injil yang dilakukan misi-misi Kristen selama berabad-abad.1

    Misi adalah sebuah pelayanan berwajah banyak, sehubungan dengan kesaksian, pelayanan,

    keadilan penyembuhan, perujukan, pembebasan, perdamaian, penginjilan, persekutuan,

    penanaman gereja, kontekstualisasi dan lebih banyak lagi. Usaha-usaha untuk mendefinisikan

    misi adalah sesuatu yang baru. Gereja Kristen mula-mula tidak melakukan hal itu. Dan pada

    dekade-dekade terakhir, telah terjadi peningkatan dalam penggunaan istilah misi.

    Matius 28:18-20, yang sering disebut Amanat Agung, berisikan perintah kepada orang

    Kristen untuk menjadikan murid, membaptis dan mengajar orang-orang di seluruh dunia.

    Penafsiran konservatif terhadap Matius 28:18-20 ini memberikan tugas kepada orang Kristen

    untuk melakukan kristenisasi atau orang Kristen mempunyai tanggung jawab dalam proses

    pertambahan jumlah orang Kristen di bumi. Misi yang seutuhnya ini menuruti karya Yesus,

    sebab misi Yesus senantiasa berlangsung dengan seutuhnya. Yesus memberitakan Injil dan

    1

    1

    Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner dalam Konteks Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 1997), 7

  • menyembuhkan orang. Oleh karena itu konsultasi United in Mission 1998 sudah merumuskan

    dengan sangat tepat: Kita tidak berhak untuk membuat Injil impian sorgawi saja. Yesus

    menyenangkan orang lapar dan membasuh kaki yang kotor. Yesus menyembuhkan orang sakit

    dan menghiburkan orang yang berdukacita. Yesus memanggil orang kaya dan berkuasa untuk

    bertobat. Oleh karenanya adalah merupakan suatu tugas menyebutkan nama Yesus yang melebihi

    segala nama di bawah kolong langit ini (kisah Para Rasul 4 : 12) dan berjuang untuk keadilan di

    sisi orang yang tertindas dan terasing.2

    Pada awal kemunculannya, misi dan pekabaran Injil dipahami sebagai dua sisi mata uang,

    hal yang tak bisa dipisahkan. Pandangan tersebut menjadi usang tatkala, keduanya dianggap

    memiliki fungsinya masing-masing. Adalah John Stott, yang mempelopori perubahan paradigma

    di kalangan Injili tentang pengertian misi. Ia berpendapat bahwa misi Alkitabiah mencakup

    penginjilan dan pelayanan, tetapi penginjilan tetap menjadi inti misi.3 Murid-murid diutus untuk

    melakukan misi sama seperti yang telah dilakukan Yesus, sedangkan dalam pelayanan Yesus, Ia

    tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga memperhatikan masalah sosial. Dalam pergerakan

    misi, hal yang perlu diperhatikan adalah usaha untuk dapat mensejahterakan para penerima misi

    tersebut. Sama halnya pergerakan misi yang terjadi di bumi Indonesia, bangsa barat (Eropa)

    datang ke Indonesia untuk melakukan ekspansi. Namun selain melakukan ekspansi tentu ingin

    memperkenalkan suatu kebudayaan baru bagi bangsa Indonesia pada awalnya.

    Bosch merumuskan penginjilan sebagai dimensi dan aktivitas misi Gereja, dengan kata,

    perbuatan, dan dalam terang situasi serta konteks tertentu, yang menawarkan kepada setiap

    2

    2

    Beyer, Ulrich. Dr; United Evangelical Mission, Bersekutu untuk Misi Bersama-sama (Menggapai Gereja Inklusif); Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung 2004, hal: 226

    3

    3

    John R. W. Stott, Christian Mission in the Modern World, 15.

  • orang dan komunitas di segala tempat suatu kemungkinan yang sah untuk secara langsung

    ditantang memasuki suatu reorientasi radikal atau hidup mereka yang meliputi pembebasan dari

    perbudakan dunia dan kekuatan-kekuatannya serta menyambut Kristus sebagai Juru Selamat dan

    Tuhan, menjadi anggota yang hidup dari komunitas Gereja, terlibat dalam pelayanan rekonsiliasi,

    perdamaian, dan keadilan di dunia, serta memiliki komitmen sesuai dengan tujuan Allah yang

    menempatkan segala hal di bawah Kristus.4

    Gereja melaksanakan Pekabaran Injil karena adanya pengutusan, dan Pekabaran Injil

    yang dilakukan oleh gereja merupakan penggenapan Misi di dunia. Di sini berarti bahwa gereja

    melaksanakan Pekabaran Injil atas perintah Allah Tritunggal. Seperti Allah Bapa mengutus Putra

    dan Allah Putra mengutus Roh Kudus, ketiga-Nya mengutus gereja ke tengah-tengah dunia.

    Seperti yang kita ketahui bersama bahwa misi gereja di dunia ini adalah menciptakan kerajaan

    ALLAH dan mendatangkan damai sejahtera bagi seluruh ciptaan-Nya serta menjadikan bumi ini

    untuk layak didiami.

    Mayoritas lembaga-lembaga penginjilan yang bertugas di Indonesia diprakarsai oleh

    kebangkitan Pietisme dan Revival di Eropa. Sehingga, dalam perjalanan misinya, gerakan ini

    bergaya Pietisme yang menekankan pertobatan perorangan dan bersikap kritis terhadap ilmu

    duniawi. Kemudian juga, gerakan ini menekankan adanya penyatuan dan tidak boleh membawa

    paham dari gereja-gereja tertentu darimana mereka berasal.5 Gaya Pietisme ini bahkan dianut

    4

    4

    David J. Bosch. Transformasi Misi Kristen : Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (Transforming Mission Paradigm Shifts Teology of Mission), Maryknoll, New York : Orbis Books, 1991, 644.

    5

    5

    Dr. Th. Van Den End, Ragi Carita 1 (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2006, 156.

  • hingga utusan-utusan zending yang datang ke Indonesia pada abad 19. Dan dalam tahun 1800-

    1900, pekabaran Injil dengan realitas penjajahan (kolonialisme) semakin menonjol.6

    Sejarah PI adalah bagian dari sejarah gereja. Ditinjau dari sudut tertentu dan menentukan,

    Prof. J.H. Bavink membedakan sejarah PI menurut motif atau dorongan melakukan PI.7

    1. Masa sesudah para rasul.

    Pada masa ini, belum ada motif atau dorongan yang pasti untuk melakukan PI, semua

    dilakukan dengan spontan. Namun ada catatan penting pada masa ini, bahwa PI kurang

    berminat terhadap hal-hal yang berbau politik dan juga tidak berminat pada kebudayaan.

    Penginjilan pada masa awal-awal kekristenan ini dilakukan bukan oleh lembaga-lembaga

    penginjilan yang terorganisir dengan baik, tetapi lebih banyak dilakukan dengan cara

    penginjilan secara perorangan dan spontan.

    2. Agama Negara, sekitar tahun 350 1700.

    Pada masa ini, motif melakukan PI adalah gerejani, politik dan pertapaan. Sehingga PI

    mulai meluas hingga ke dalam dunia kebudayaan dan politik. Catatan penting masa ini

    adalah Kristen dipakai sebagai agama negara dan PI berarti perluasan Negara Kristen.

    3. Pietisme, Methodisme, sekitar abad ke-17.

    Masa ini, PI tidak lagi mencampuri dunia politik dan melepaskan diri dari gereja

    (negara). Pada masa ini, kesalehan perorangan sangat diutamakan, PI dilakukan dengan

    memberi kritik kepada kebudayaan dan pelaksanaan PI dengan memberikan penekanan

    pada dimensi eskhatologia.

    4. Abad ke-19.

    6

    6

    Prof. B.F. Drewes, M.Th. dan Pdt. Julianus Mojau, M.Th, Apa itu Teologi? (Jakarta : BPK Gunung Mulia), 2003, 55.

    7

    7

    Venema, Injil untuk Semua, 210.

  • Masa ini ditandai dengan memberikan reaksi terhadap Pietisme. Badan-badan PI sudah

    terlepas sepenuhnya dari unsur pemerintah, meskipun masih sering mengikuti jejak-jejak

    kolonialisme. Pada masa ini, teologia yang mulai dipakai adalah teologi yang mengarah

    kepada teologi liberal dengan penekanan kepada sudut-sudut sosial dan peradaban. PI

    sangat giat dilakukan, namun mengakibatkan korban yang tidak sedikit. Ada beberapa

    motif yang dipakai untuk melaksanakan PI pada masa ini, yaitu kasih dan ketaatan.

    5. Masa baru, sejak 1914.

    Pada masa ini, badan-badan PI pada umumnya sudah mulai digerejanikan, gereja-gereja

    muda mulai didewasakan. PI mulai berkembang ke arah oikumene, perhatian kepada

    kaum awam ditingkatkan, namun penekanan PI masih pada dimensi eskhatologia. Masa

    ini juga ditandai dengan adanya penghalang pelaksanaan PI yaitu nasionalisme barat dan

    timur.

    Pembagian sejarah PI yang dituliskan oleh Bavink di atas, sebenarnya hanya merupakan

    salah satu bentuk pembagian sejarah PI yang dibuat oleh para ahli. Namun setidaknya pembagian

    ini dapat memberikan sedikit gambaran kepada kita tentang bagaimana sejarah PI itu

    berlangsung dari waktu ke waktu.

    2.1. Konsep-Konsep Misi dalam Pemikiran Para Reformator

    Secara langsung meskipun tidak ada pembahasan para reformator tentang penginjilan, namun

    dengan belajar dasar-dasar teologis secara Apriori( Fakta yang dibela itu tetap merupakan

    sesuatu yang tidak dapat dimengerti, namun ia adalah fakta yang tidak dapat disangkal) dari

    mereka maka kita akan mengetahui secara biblis/tekstual, tentang pemikiran para reformator

  • dalam konteksnya tentang misi Pekabaran Injil. Sebut saja Calvin dari uraiannya tentang jabatan

    gerejawi yang didasarkan pada Matius 28:19 yang adalah tugas gereja masa kini dari IV

    Institutio, latar belakang pemikirannya adalah polemik terhadap gereja Katolik Roma yang

    akhirnya seolah-olah memindahkan perhatian dari visi pekabaran Injil yang begitu jelas dalam

    pasal sebelumnya(Inst.IV,4) kepada jabatan secara polemis (Inst. IV,5-6). Menurut Luther dalam

    tafsirannya, Abraham menjadi berkat yang jauh lebih besar dari materi, ini tidak datang dari

    pribadi Abraham melainkan asalnya dari Allah Sendiri. Kemudian menurutnya cerita mengenai

    Sara di Mesir dalam tafsirannya Ia memberitakan dan mengajarkan firman Allah kepada

    pembesar-pembesar Mesir, di sini Luther melihat pemberitaan firman Allah/Injil Sebagai sesuatu

    yang melekat kepada Setiap orang Percaya. Secara singkat titik tolak teologi Luther adalah

    misoner, tetapi tidak terwujud dalam praktek. Dinamika misionernya tidak dapat bertahan dalam

    Lutheranisme. Baru Tahun 1984 ia ditemukan kembali hal ini berdasarkan kesimpulan Kirche

    aus Allen Volkern. Martinus Burcer disebut sebagai pietis di kalangan reformator ia

    dimunculkan oleh Afred Erichson dari Strassburg. 1885, ia dikenal sebagai seorang misioner

    (zendingsman), karena seruan untuk pelaksanaan Pekabaran Injil di tahun 1538. Secara ringkas

    menurut A.M. Brouwer 1930. Motif-motif yang luhur dalam Pekabaran Injil sampai ke ujung

    bumi tersebar dalam karya-karyanya yang penting. Burcer Bertolak dari janji yang diberikan

    sesudah Kejatuhan manusia (Kj. 3:15), namun dosa makin menguasai manusia. 8

    8

    8

    Studi Institut Misiologi Prasetia 1992: Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual.

    Lihat Bagian I Perspektif Sejarah T. Kobong. Konsepsi Misi Dalam Teologi Para

    Reformator(Jakarta: Prasetia, 1992)1-15. Dalam pembahasannya dengan menunjukan

    secara tidak langsung dalam kaitan dengan Misi pekabaran injil menurutnya di

    kesimpulan bahwa misi para reformator sangatlah kontekstual pada konteks mereka

    karena reformasi sebagai tugas utama yang memerlukan segala kemampuan berteologi

    agar kontra-reformasi jangan meninggalkan reformasi, reformasi sibuk membenahi

    warga gereja yang merupakan prioritas utama dengan penakanan pada teaching dan

  • Secara Alkitabiah pemikiran, dan pemahaman iman yang juga secara langsung maupun tidak

    langsung semacam ini sangat mempengaruhi konsep berpikir gereja-gereja yang lahir dari

    reformasi termasuk injili, dan ekumenis, yang nampak dalam pemahaman imannya maupun

    misinya yang berkembang hingga saat ini. Maka banyak teolog yang terpengaruh oleh cara

    berpikir dan praktek misi yang diwariskan dari para Bapa gereja untuk menggumuli misi kristen

    dalam denominasinya, dan perkembangan misi secara lebih luas.

    2.2. Pengertian Penginjilan

    Penginjilan adalah membagi atau memberitakan kabar baik kepada orang lain. Penginjilan

    merupakan pemberitaan tentang Yesus yang hidup, mati dan bangkit sehingga otoritasNya atas

    manusia sebagai Tuhan dan Raja yang sekarang ini duduk disebelah kanan Allah Bapa. Dalam

    hal ini penginjil tidak boleh terjebak dalam pengertian teologis, dimana tujuannya menjadi faktor

    untuk mengukur suatu penginjilan yang diperkenankan Tuhan.

    Penginjilan dalam pengertian deontologis menurut Stott: Penginjilan tidak boleh

    didefenisikan dalam pengertian penerima-penerima Injil, tidak boleh didefinisikan dalam

    preaching. Hal ini nampak dari khotbah-khotbah, tafsiran-tafsiran dan kuliah-kuliah. Juga

    dari segi kehidupan jemaat, liturgi, dan disiplin kita bisa melihat usaha pembenaan.

    Reformasi juga tidak lepas dari kontra reformasi karena dalam kerangka ini kita dapat

    mengerti nada-nada polemis terhadap gereja Khatoliik Roma. Konteks Politis pun kait-

    mengkait dengan kedua konteks diatas dan sangat mempengaruhi jalannya reformasi.

    Konteks corpus Christianum-pun masih tetap ada dan dengan demikian IPI hanya bisa

    dipikirkan dalam kerangka menaklukan kuasa-kuasa yang berada di luar corpus

    Christianum itu. Lebih Lanjut Gereja-gereja kita dituntut untuk mengembangkan visi

    yang sama dalam konteks yang berbeda.

  • pengertian hasil, inti penginjilan adalah pemberitaan injil. Pemberitaan tersebut bukan tugas

    dunia, bukan tugas orang tidak percaya, pemberitaan adalah tugas esensial dari gereja. Misi

    termasuk penginjilan adalah mandat Yesus Kristus kepada gereja sebagaimana Ia berkata:

    pergilah keseluruh dunia dan beritakanlah kabar baik kepada segala mahkluk (Mrk. 16:15-20).

    Jadi baik penginjilan maupun persoalan sosial manusia merupakan hal yang penting untuk

    perwujudan kerajaan Allah dalam arti yang luas. Namun dalam hal yang paling utama

    penginjilan merupakan hal yang utama. Karena penginjilan adalah perhatian utama Injil, dimana

    semua orang mendapat kesempatan untuk menerima Yesus Kristus sebagai Tuhan dan

    Juruselamat mereka. Karena gereja adalah agen penginjilan, yaitu alat untuk menyebarluaskan

    injil keseluruh dunia. Penyebarluasan injil ini diikuti oleh pengaruh injil itu sendiri yang

    membawa pembaharuan manusia di semua sektor kehidupan sosial.9

    Maka pemikiran semacam ini telah diakui dan ditegaskan bahwa tugas penginjilan dan

    kehidupan sosial gereja, keduanya tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena

    itu bagian dari misi gereja yang juga penting. Namun paling utama yang harus diutamakan

    adalah pemberitaan injil atau penginjilan karena gereja merupakan agen misi, maka lingkup

    sosialpun akan berjalan didalam terang injil.

    2.3. Misi Gereja yang Berakar pada Misi Allah

    Pemikiran misi ini dilandasi atas amanat agung, kemudian secara nyata dihubungkan dengan

    hakekat gereja bagi sebuah misi kristen dan, gereja itu sendiri merupakan ekspresi misi Allah.

    9

    9

    Stott : Pengertian Penginjilan. Dalam bukunya Stevri. I. Lumintang. Misiologia

    Kontemporer ( Malang: Departemen Literatur PP II, 2006) 132-148.

  • Oleh sebab itu gereja harus kembali kepada Alkitab sebagai dasar dan sumber misi gereja. Yesus

    berkata: Damai sejahtera bagimu! Seperti Bapa telah mengutus Aku demikian Aku mengutus

    kamu. Dan Ia menghembusi mereka dan berkata: terimalah Roh Kudus (Yoh. 20:21-22). Ayat-

    ayat ini menyampaikan kepada kita tiga hal yakni pertama bahwa misi Allah Bapa juga

    merupakan misi Allah Anak. Kedua, Allah Tritunggallah yang mengutus gereja kedalam dunia

    ini dengan otoritas Allah Sendiri. Ketiga bahwa misi Allah adalah misi Allah Bapa, Allah Anak

    dan Allah Roh Kudus.10

    Selain itu Alkitab jugalah yang memberikan fondasi misi kristen. Dalam perjanjian lama

    Abraham yang diutus kepada bangsa-bangsa dan kita sebagai keturunnya diutus untuk

    melanjutkan misi Allah tersebut. Karena, jika dengan iman kita jadi milik Kristus, maka kita

    adalah anak-anak rohani Abraham dan memikul tanggungjawab untuk semua umat manusia. Para

    nabi perjanjian lama juga telah mengatakan bagaimana Allah akan menjadikan Sang Kristus ahli

    waris dan terang untuk bangsa-bangsa.

    Dalam perjanjian baru, Yesus juga bernubuat bahwa dari timur barat dan dari utara selatan

    dan akan duduk makan bersama Abraham, Ishak dan Yakub di dalam kerajaan Surga (Mat

    8:11;Luk13:29). Setelah klaim maha hebat bahwa segala kuasa di surga, dan di bumi telah

    diberikanNya kepadaNya (Mat.28:18). Dalam konsekuensi universalnya itulah Ia memerintahkan

    para pengikutNya untuk menjadikan semua bangsa muridNya, membaptis mereka ke dalam umat

    baru-Nya, dan mengajarkan kepada mereka semua dan demikian pula hal ini terjadi pada jemaat

    atau orang kristen perdana.11 Hal ini menjadi faktor yang paling penting dalam memperkokoh

    10

    1

    Ibid.,129-131.

    11

    1

    John R.W.Stott, Johanes Verkuyl dkk. Misi Menurut Perspektif Alkitab

    (JakartaYayasan Komunikasi Bina Kasih, 2007) 10-20.

  • dasar berpikir tentang tugas setiap orang percaya yang diambil dari Matius 28:18-20.12 Inilah ciri

    khas utama dalam paradigma misi injili yang sangat menonjol.

    2.4. Kontekstualisasi Penginjilan

    A. Teologi Kontekstualisasi13

    Pemikiran ini mengganggap bahwa Alkitab perlu ditekankan sebagaimana kita melihat teks

    dan konteks teks. Bahkan juga melihat situasi konkrit yang terjadi sebagai proses penginjilan

    secara kontekstual dapat dilakukan secara dinamis. Prinsip kerja konsep kontekstualisasi

    berhubungan erat dengan sifat teologi situasional. Maksudnya ialah kontekstualisasi

    berhubungan erat dengan refleksi teologi yang mengaitkan teks (Alkitab) dengan konteks (situasi

    kehidupan). Hubungan ini adalah suatu interaksi dinamis yang daripadanya muncullah suatu

    teologi kontekstualisasi sifat teologi kontekstualisasi yang berhubungan dengan refleksi adalah

    sebagai berikut:

    1. Refleksi teologi bersifat kritis dan propertikal.

    Penekanan yang pertama menekankan tentang refleksi teologi harus memahami teks

    Alkitab dalam situasi aslinya dan berusaha untuk menerapkannya dalam situasi dan

    12

    1

    E.B Surbakti. Benarkah Injil Kabar Baik ?(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2008) 29.

    13

    1

    Y.Y. Tomatala. Penginjilan Masa Kini (Malang: Gandum Mas, 1997) 63-67.

  • kondisi masa kini, dalam terang firman itu orang kristen pada setiap tempat menganalisa,

    menafsirkan dan menghakimi sejarah.

    2. Refleksi teologi secara kondisional dibungkus oleh kenyataan sejarah dan budaya dari

    setiap konteks sejarah.

    Di sini, dalam suatu masyarakat dari sekelompok orang kristen cara berpikir, konsep, dan

    lambang merupakan alat bagi ekspresi iman tersebut.

    3. Refleksi teologi kontekstualisasi berdasarkan sikap self determination yaitu sikap

    menetapkan sendiri pandangan teologi tanpa dipengaruhi oleh refleksi teologi atau budaya asing.

    Pengutamaannya terletak pada kebenaran firman Allah harus diterjemahkan dalam situasi

    budaya secara keseluruhan, sehingga firman itu dapat diterima dan dipastikan menjadi milik

    budaya tersebut. Refleksi teologi kontekstualisasi menuntut perlibatan diri melalui tindakan

    refleksi dalam berteologi. Ajaran Alkitab harus diterapkan dalam struktur pikir dan kehidupan

    budaya, sehingga Kristus menjadi Tuhan atas dan dalam setiap budaya tersebut.

    B. Dimensi Penginjilan dalam Konsep Kontekstualisasi14

    1. Teologi kontekstualisasi yang sah mempertahankan keunggulan supremasi Alkitab

    sebagai norma iman dan perbuatan dalam setiap budaya.

    2. Teologi kontekstualisasi harus menekankan kesadaran akan lingkungan sekitar sebagai

    hasil karya ciptaan Allah.

    14

    1

    Ibid.,69.

  • 3. Teologi Kontekstualisasi yang sah harus peka atau tanggap dengan keadaan lingkungan

    atupun budaya, serta harus bisa membela setiap orang yang tertindas dan melakukan pembebasn

    dengan penuh kebenaran.

    2.5. Paradigma Misi Ekumenis

    2.5.1. Akar Oikumene

    Sebelum berbicara mengenai gerakan ekumenis maka perlu diketahui terlebih dahulu kata

    ekumenis/Oikumene. Kata ini berasal dari bahasa Yunani dari kata kerja Oikeo yang berarti

    tinggal, berdiam atau mendiami. Oleh sebab itu secara harafiah berarti tinggal atau mendiami.

    Tetapi participum ini telah memiliki arti khusus sebagai kata benda. Arti pertama adalah

    geografis: Dunia yang didiami (Luk.4:5,Rom. 10:18,Ibr. 1:6 dan lain-lain). Dari sana kata ini

    juga dapat berarti: Seluruh umat manusia (Kis. 17:31,19:27, Why.12:9), kemudian istilah ini

    mendapat arti politik dari kekaisaran Romawi (Kis.24:5 sedangkan dari bidang politik istilah

    oikumene dan oikumenis mulai dipakai oleh gereja. Oikumene seluruh dunia yang didiami dan

    yang di kuasai oleh kekaisaran Romawi menjadi tempat gereja menjalani misinya.15 Pemahaman

    yang modern baru muncul pertengahan abad lalu mula- mula diartikan sebagai rela untuk

    melampaui dan mengatasi batas-batas konfensional yang memisahkan orang-orang kristen.

    Singkat kata arti modern tidak lagi menunjuk kepada kenyataan seperti dulu tetapi kepada suatu

    15

    1

    Christian De Jong. Menuju Keesaan Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993)

    2.

  • tujuan usaha dan pergumulan, yaitu gereja yang satu (esa) untuk itu harus diwujudkan secara

    nyata. Inilah perkembangan sejarah gereja mula mula khususnya mengenai akar-akar oikumene.

    2.5.2. Kemunculan Gerakan Ekumenis

    Paradigma misi ekumenis yang sangat kental dipengaruhi oleh sejarah masa lalu, didasarkan

    pada gejolak-gejolak dalam masyarakat terutama konflik dan keprihatinan-keprihatinan

    ekonomi, sosial yang lebih luas. Secara singkat masalah-masalah ini yang kemudian

    menghasilkan prinsip keesaan gereja, keutuhan ciptaan, dan konteks-konteks konkrit lainnya

    menjadi hal utama dalam paradigma misi ekumenis.

    Kesadaran ini pada awal puncaknya dimulai dari diadakannya pertemuan di Edinburgh 1910,

    sebagai puncak dari seluruh rangkaian pertemuan yang pernah diadakan untuk membahas

    tentang kesatuan gereja dan umat kristen melalui pemikiran maupun praktek misi kristen yang

    luas.16 Sebagai akibatnya para teolog humanis baik dari khatolik maupun protestan, menjadi

    pelopor dalam gerakan perkembangan paradigma misi ekumnis yang dikemudian hari

    mempunyai ciri khas yang paling menonjol yaitu misi kemanusian dalam arti yang luas

    berdasarkan konteks.

    2.6. Hakekat Misioner

    16

    1

    Ibid., 9-32. Bandingkan pula, S. Marantika. Ekumene Dalam Pembangunan

    Bangsa (Jakarta: Sinar Harapan Anggota IKAPI,1983) 28.

  • David J. Bosch berpendapat bahwa;17 Unsur yang paling penting untuk memahami hakekat

    missioner adalah (a) kegiatan missioner bukanlah terutama karya gereja melainkan sebagai

    gereja yang berkarya ini adalah tugas yang berkaitan dengan seluruh gereja karena Allah adalah

    Allah yang missioner dan umat Allah adalah umat yang missioner. (b) Gereja dan misi saling

    terkait sejak semula, sebuah gereja tanpa misi atau sebuah misi tanpa gereja sama-sama adalah

    kontradiksi. (c) Dimensi missioner dari kehidupan sebuah gereja lokal menampakan diri, antara

    lain bila ia sungguh-sungguh merupakan suatu komunitas yang beribadah; ia mampu menyambut

    orang luar dan membuat mereka merasa betah; ini adalah gereja yang mana sang pendeta tidak

    memegang monopoli dan anggota-anggotanya bukan sekedar objek dari pemeliharaan pastoral;

    anggota-anggotanya dilengkapi untuk melaksanakan panggilan mereka dalam masyarakat;

    secara struktur ia lentur dan inovatif; dan tidak membela hak-hak kelompok khusus. Dimensi

    missioner gereja semacam ini membangkitkan intensional yakni keterlibatan langsung-nya

    didalam masyarakat; ia sesungguhnya bergerak melampaui tembok-tembok gereja dan terlibat

    dalam titik-titik konsentrasi missioner seperti penginjilan karya keadilan dan perdamaian.

    2.6.1. Misi Sebagai Misio Dei

    Misi sebagai Misio Dei menegaskan suatu perkembangan pergeseran misi yang luas. Misi

    yang dimaksudkan ada di dalam terang Allah sendiri.18 Misio Dei bukanlah secara sempit sebagai

    perluasan gereja, atau misi keselamatan dalam sejarah gereja. Namun misi ini adalah misi Allah.

    17

    1

    David J Bosch. Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2009)

    571-572.

    18

    1

    Ibid.,596-601.

  • Allah adalah Allah yang missioner. Bukan gereja yang mempunyai misi keselamatan yang harus

    digenapi didalam dunia. Ini adalah misi Sang Anak dan Roh Kudus melalui Bapa yang mengikut

    sertakan dunia dengan begitu, misi dipandang sebagai sebuah gerakan dari Allah kepada dunia

    dan gereja dipandang sebagai sebuah Alat, tanda dan sakramen.,19 untuk misi Allah tersebut.

    Gereja ada karena ada misi bukan sebaliknya. Ikut serta dalam misi berarti ikut serta di

    dalam gerakan kasih Allah kepada manusia, karena Allah adalah sumber dari kasih yang

    mengutus. Allah adalah sumber kasih yang mengutus diriNya sendiri dan misi ada karena Allah

    mengasihi manusia.

    2.6.2. Misi Sebagai Perjuangan Demi Keadilan

    Misi ini sesungguhnya merupakan suatu bentuk yang ada dalam konteks perjanjian lama,

    yaitu nabi-nabi mengkritik pemerintahan raja-raja karena ketidakadilan yang terjadi dalam

    bangsa Israel lebih daripada itu konteks gereja mula-mula banyak pula ketidakadilan yang terjadi

    dalam gereja di zaman Romawi yang merupakan sumber ketidakdilan yang besar dalam sejarah

    perjalanan kekristenan. Untuk itu, sifat dari keadilan dalam injil inilah yang kini penting untuk

    diperhatikan dan dicermati dalam upaya sebuah misi yang relevan meskipun hal ini sering kontra

    dengan pemahaman kasih namun ini merupakan sosok dari injil yang bersifat memanusiakan

    manusia karena inilah intisari yang penting untuk melihatnya dalam terang misi kekristenan

    sambil mempertimbangan aspek etis yang mengaturnya yaitu bagaimana keadilan itu seharusnya

    di tegakan dalam terang injil yang konkrit dan benar.20

    19

    1

    Ibid.,571-576.

    20

    2

    Ibid.,614-626.

  • 2.6.3. Misi Sebagai Kontekstualisasi

    Dalam menguraikan misi sebagai kontekstualisasi maka terdapat beberapa pikiran utama

    yang menjadi pertimbangan misi dilihat sebagai kontekstualisasi;21

    1.Misi sebagai kontekstualisasi adalah pemahaman tentang Allah telah berpaling kepada dunia.

    Situasi dunia yang historis bukanlah semata-mata suatu kondisi luar bagi misi gereja; sebaliknya

    ia harus diikutsertakan sebagai suatu unsur pembentuk ke dalam pemahaman kita tentang misi,

    tujuan dan organisasinya. Sikap seperti itu sepenuhnya sesuai dengan pemahaman Yesus tentang

    misi-Nya seperti yang dicerminkan dalam injil-injil kita; Ia tidak membumbung tinggi ke langit

    melainkan menenggelamkan diriNya ke dalam keadaan-keadaan yang sama sekali riil dari orang

    orang miskin mereka yang tertawan, yang buta, dan tertindas. Masa kinipun, Kristus berada di

    antara yang lapar sakit, yang dihisap disisihkan. Kuasa kebangkitanNya mendorong sejarah umat

    manusia menuju akhir, di bawah panji-panji lihatlah Aku menjadikan semuanya baru (Why

    21:5). Seperti Tuhannya, gereja di dalam misi harus memihak, demi kehidupan dan menentang

    maut, demi keadilan dan menentang penindasan.

    2. Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi Lokal. Dalam

    defenisi ini secara sederhana ingin menekankan bahwa teologi harus dipribumikan.

    Kontekstualisasi mengusulkan sifat yang eksperimental dan sementara dari semua

    teologi. Selain itu untuk mengantisipasi sifat relativisme yang muncul dari teologi

    kontekstual perlunya juga dimensi universal dan transenden dari teologi karena ada

    tradisi-tradisi kristen yang universal yang dapat diterima secara universal. Perspektif-

    21

    2

    Ibid.,652-662.

  • perspektif yang semata-mata sementara perlu diimbangi oleh suatu penekanan pada

    perspektif-perspektif meta-teologis. Karena hal ini untuk pembahasan tentang

    keterkaitan dari perspektif-perspektif ini dalam teologi dan budaya. Oleh sebab itu,

    teologi kontekstual kini menjadi penting di pendidikan teologi dunia pertama.

    3. Perlunya juga mempertimbangkan bukan hanya bahaya relativisme dalam teologi

    kontekstual tetapi sikap absolutisme karena secara singkat ini terjadi di barat dan juga

    tidak kebal terhadap negara dunia ketiga.

    4. Kita harus memandang pada seluruh masalah ini dari sudut pandang yang lain lagi yakni

    membaca tanda tanda zaman memang ada kemungkinan untuk kita melihat ke

    belakang dan masa kini namun penekanan yang paling utama adalah dengan memakai

    terang injil sebagai norma dan ketika kita berjuang demi keadilan, kebebasan komunitas,

    perujukan kesatuan dan kebenaran dalam semangat kasih dan sikap tidak mementingkan

    diri sendiri kita boleh diberanikan untuk melihat Allah bekerja. Keyakinan ini

    memampukan kita untuk bersikap berani dan mengambil keputusan-keputusan meskipun

    relatif sifatnya karena penilaian kita tidak sama persis dengan penghakiman akhir.

    5. Jadi meskipun tak dapat disangkal pentingnya sifat dan peran konteks, hal itu tidak boleh

    ditanggapi sebagai kewibawaan satu-satunya yang paling mendasar untuk refleksi

    teologis dan untuk ini konteks secara sederhana juga memerlukan peran penting teori

    secara kritis.

    6. Kita juga membutuhkan dimensi penciptaan atau representasi imaginatif dari gambaran

    gambaran yang evokatif- membangkitkan kesadaran. Orang tidak hanya perlu melihat

    kebenaran (teori) dan keadilan(praksis) mereka juga membutuhkan keindahan simbol-

  • simbol yang kaya, kesalehan, ibadah, kasih, ketakjuban dan misteri. Terlalu sering dalam

    tarik-menarik antara prioritas kebenaran dan prioritas keadilan, dimensi ini hilang.

    2.6.4. Misi Sebagai Pembebasan

    Pemikiran ini terkait kepada sebuah pendalaman tentang teologi kontekstual karena menurut

    Bosch Teologi Pembebasan Adalah sebuah gejala yang berwajah banyak, yang menampakan

    dirinya sebagai teologi hitam teologi hispanik, teologi Amerika latin dan sebagainya yang secara

    langsung membangun pemikiran dan praktek misi yang memperjuangkan pembebasan dalam

    kerangka berteologi misi.22

    Kemudian lebih dari itu misi ini dalam dunia ketiga khususnya berbicara tentang inkulturasi

    budaya yang mana telah diketahui bahwa ragam budaya dunia pertama kedua dan khususnya

    ketiga berbeda dan untuk itulah membentuk cara berteologi yang berbeda berdasarkan budaya

    masing-masing dan hal ini berdasarkan tidak terdapat misi pembebasan dari kaum misionaris

    barat dan lebih penting lagi misi pembebasan ini terkait langsung dengan struktural dunia secara

    global antara dunia pertama, kedua dan ketiga yang dilanda kemiskinan dalam arti yang luas

    yaitu korban masyarakat baik yang dimarjinalkan dan tidak mendapat kesempatan partisipasi

    aktif dimasyarakat di mana hal ini merupakan persoalan misi yang penting antara persoalan injil

    juga dibantu dengan unsur etika sosial orang-orang yang mengetahuinya yang turut terlibat

    22

    2

    Ibid., 663-685. Pendapat yang tidak jauh berbeda dapat dilihat dalam Stephen B.

    Bevans. Model-Model Teologi Kontekstual(Maumere: Ledalero, 2002) 1.

    Khususnya tentang tidak ada sesuatu yang disebut teologi; yang ada hanya

    teologi kontekstual: Teologi pembebasan, teologi Asia-Amerika teologi Afrika dll.

  • dalam penindasan ini, ditobatkan dan disadarkan untuk memahami dan tidak menyangkali

    realitas yang ada.

    2.6.5. Misi Sebagai Inkulturasi23

    Paradigma misi ini dimulai dengan kesadaran pluralisme budaya, yang juga pada zaman

    sebelumnya dihancurkan oleh dunia barat terhadap dunia ketiga. Padahal dengan adanya

    keragaman budaya maka terdapat pula keragaman teologi. Perkembangan inkulturasi ini dimulai

    dari dalam teolog-teolog dunia ketiga dan bukan lagi teolog barat atau misionaris.

    Perbedaan yang kedua adalah tekanannya ada pada situasi lokal di mana baik bahasa sosial

    politik ekonomi keagamaan bahkan pendidikan tergabung menjadi bagian-bagian yang utuh

    dalam inkulturasi. Sambil perlu diperdebatkan secara regional perbedaan kebudayaan ini apakah

    ia diterima ataukah tidak. Inkulturasi juga secara sadar mengikuti model inkarnasi dalam hal ini

    masalah pokok utama dari paradigma ini adalah gereja yang dilahirkan kembali dari konteksnya.

    Berikutnya bahwa model inkulturasi ini harus ditata dalam bentuk Kristologis meskipun dalam

    model lainnya memperlihatkan adanya interaksi kebudayaan dan injil.

    Karena dengan demikian inkulturasi memberikan kesan sebuah gerakan ganda: pada saat

    bersamaan ada inkulturasi terhadap kekristenan dan Kristenisasi terhadap kebudayaan.

    Kemudian terakhir injil harus terus melakukan perjumpaan dengan budaya secara inklusif. Maka

    pengalaman ini akan menjadi satu kekuatan yang menghidupkan dan memperbaharui

    kebudayaan dari dalam.

    Dari kepelbagaian inkulturasi yang dikemukakan inkulturasi kemudian tetap memiliki

    batasannya yaitu secara sederhana pada tingkat injil yang tetap memiliki dimensi yang berbeda

    23

    2

    Ibid., 686-700.

  • dengan kebudayaan dan yang kedua adalah penerimaan firman yang pada hakekatnya injil dapat

    menjadi peringatan bagi kebudayaan tetapi injilpun dapat berjalan bersama-sama kebudayaan.

    Dalam hakekat ini yang paling penting dari budaya dan injil adalah menciptakan suatu

    kehidupan baru yang ditransformasikan secara tajam melalui proses yang saling mendukung,

    ataupun bertolak belakang pada sisi atau bagian-bagian tertentu. Tetapi bahkan lebih daripada itu

    kita membutuhkan interkulturasi yaitu suatu pertukaran teologi yang juga sangat penting dalam

    konteks saling belajar hal-hal yang mungkin baru pada konteks yang berbeda-beda dalam tataran

    lokal dengan cara berpikir yang global karena pekerjaan Allah melibatkan partisipasi seluruh

    umat manusia terkhususnya gereja dimanpun berada untuk itu perlu melihat dunia lokal dengan

    pikiran global.

    2.6.6. Misi Sebagai Kesaksian Bagi Orang Orang berkepercayaan Lain

    Pada dasarnya misi semacam ini ingin memperlihatkan suatu konteks di mana terdapat

    keberagaman agama dan krisis agama yang sedang dialami semua agama, tentang bagaimana

    menerima perbedaan ini dan dilihat sebagai suatu misi, yang penting untuk diperhatikan dalam

    konteks berteologi misi dengan memperhatikan perbedaan yang bukan hanya dari dalam tetapi

    yang lebih besar lagi yaitu dari luar agama tersebut yang berhadapan dengan agama lain,

    terutama yang dikatakan Bosch tentang teologi agama agama.24

    2.6.7. Misi Sebagai Teologi

    Pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap hakikat gereja yang berkaitan dengan misi

    gereja yang pada masa kini diakui hal ini penting dalam melihat dunia sebagai ladang misi,

    24

    2

    Ibid., 727-731.

  • dalam artian tanggungjawab berteologi. Di sisi yang lain dalam bidang keilmuan tentunya misi

    yang dikenal dalam misiologi sebagai upaya berteologi sudah tidak hanya terbatas pada

    pekerjaan misionaris, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa melainkan misiologi adalah upaya

    berteologi secara keseluruhan sebagai sebuah bidang ilmu yang melihat dunia sebagai lahan

    berteologi dengan memperhatikan kenyataan kenyataan disekitarnya.

    2.7. Tanah Batak sebagai tujuan misi Kristen

    Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan suku. Salah satu dari suku yang banyak itu

    ialah suku Batak yang menurut sejarah pada mulanya berdiam di pinggiran Danau Toba,

    Sumatera Utara, Indonesia. Suku Batak dalam konteks Indonesia Raya adalah bagian dari bangsa

    Indonesia. Suku ini dikenal memiliki sejumlah kebudayaan yang sejajar dengan kebudayaan

    suku bangsa lain.25 Salah satu suku bangsa di Indonesia adalah Batak, yang memiliki beberapa

    sub-suku, di antaranya Batak Toba.

    2.7.1. Antropologis Suku Batak

    Pertama-tama, menurut penelitian antropologis yang pernah dilakukan, orang (atau suku)

    Batak biasanya digolongkan ke dalam beberapa sub-suku (Toba, Angkola, Mandailing,

    Simalungun, Pakpak-Dairi, Karo, dsb) yang termasuk apa yang disebut Melayu Kuno (Proto-

    Malays) yang secara bergelombang datang dari Cina Selatan menyebar ke seluruh Asia Tenggara

    melalui semenanjung Melayu pada akhir zaman es pertama. Mereka mendesak sisa-sisa suku

    bangsa penduduk asli ke daerah pegunungan di pedalaman. Ribuan tahun kemudian gelombang

    25

    2

    Ibrahim Gultom. Agama Malim di Tanah Batak, jakarta: Bumi Aksara, 2010., 1

  • berikut yang terdiri atas suku-suku bangsa yang disebut Deutro-Malays (Melayu Muda)

    mendesak Melayu Kuno ke daerah pegunungan.26

    2.7.2. Pembagian Wilayah Batak Toba

    Suku Batak Toba merupakan salah satu suku terbesar yang ada di Sumatera utara.

    Masyarakat batak toba umumnya mendiami wilayah kabupaten Toba Samosir, yang meliputi

    Balige, Laguboti, Parsoburan dan sekitarnya. Dahulu kala, ketika kerajaan Batak masih jaya

    berdiri, pemerintahan nya dipusatkan di wilayah Bakara. Ketika kekuasaan dipegang oleh dinasti

    Sisingamangaraja, kerajaan dibagi menjadi empat daerah yang disebut sebagai Raja Maropat,

    yang terdiri atas Raja Maropat Silindung, Raja Maropat Samosir, Raja Maropat Humbang, dan

    Raja Maropat Toba. Bisa ditebak, daerah Batak Toba masuk ke dalam otoritas Raja Maropat

    Toba yang meliputi kabupaten Toba Samosir kini hingga pantai timur dan berbatasan dengan

    kerajaan Johor Malaysia.

    2.7.3. Kehidupan Suku Batak Toba

    Dalam kehidupan masyarakat batak toba sehari-hari, mereka memegang prinsip-prinsip adat

    maupun umum, di antaranya adalah kekerabatan (baik darah maupun suku), religi (agama

    tradisional maupun modern), konsep hagabeon (doa banyak keturunan dan panjang umur).

    Selain itu masih ada prinsip nilai hasangapon(kemuliaan, kewibawaan, kharisma) nilai

    26

    2

    Simatupang Maurits, Prof. Dr. Majalah HKBP (Immanuel) sebagai Sarana Pengembangan Intelektualisme Batak Kristen, dalam buku Menggapai Gereja Inklusif; Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung ; 2004; hal 4-5

  • hamoraon (mencari rezeki yang banyak) nilai hamajuon (merantau dan menuntut ilmu), nilai

    hukum (menegakkan kebenaran dan mencari keadilan), pengayoman, dan mengatasi konflik

    kekerabatan dengan sesama suku batak ritual-ritual adat juga tidak lepas dari suku Batak Toba.

    Gambaran tentang masyarakat Batak yang diberikan orang luar biasanya kurang lengkap dan

    mengandung bias, kecuali tentunya hasil peneliatian ilmiah yang dikerjakan oleh para pakar

    setelah tanah Batak terbuka. Namun dapat diduga, masyarakat Batak sebelum perjumpaannya

    dengan zaman modern tidaklah semiskin dan seliar yang diperkirakan orang. Masyarakat

    Batak, walaupun belum memiliki teknologi yang tinggi dan pranata sosial yang lengkap telah

    dapat mengatur dan mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Pertanian mereka sudah menggunakan

    irigasi. Mereka mempunyai perangkat hukum (adat) yang diharapkan dapat menjamin ketertiban

    masyarakat. Mereka memiliki aturan-aturan berinteraksi (yang dikenal dengan dalihan na tolu)

    yang mempunyai sanksi. Mereka mempunyai lembaga-lembaga yang merupakan ciptaan mereka

    sendiri. Mereka mempunyai kesenian sendiri, lengkap dengan seni sastra (terutama sastra lisan),

    musik, tari, ukir, tenun, dan sebagainya, sebagai ungkapan rasa keindahan mereka dan sarana

    untuk memuja dewa-dewa dan roh leluhur mereka. Mereka mempunyai tulisan sendiri.

    Semuanya merupakan unsur-unsur budaya yang diperlukan untuk melaksanakan suatu kehidupan

    bermasyarakat yang memenuhi kebutuhan mereka pada zaman itu. Secara kultural, mereka juga

    sama sekali tidak terisolasi dari budaya-budaya lain. Tulisan Batak, misalnya, merupakan

    turunan tulisan yang berasal dari India Selatan, konsep-konsep keagamaan pra-Kristen Batak

    juga dipengaruhi oleh konsep-konsep agama Hindu dan Budha.27

    27

    2

    Simatupang Maurits, Prof. Dr. Majalah HKBP (Immanuel) sebagai Sarana Pengembangan Intelektualisme Batak Kristen, dalam buku Menggapai Gereja Inklusif; Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung ; 2004; hal: 4

  • Agama batak berpusat pada Debata Mulajadi Na Bolon, sebagaimana yang telah

    diamanatkannya: jika penghuni Banua Tonga (manusia) dapat bertemu dengan penghuni Banua

    Atas, haruslah dengan sesaji sebagai alas tangan, di mana sesaji itu haruslah bersih dan suci,

    maka kepercayaan Siraja Batak disebut Parmalim atau Parbaringin, yang selanjutnya disebut

    Agama Parmalim. Pada dasarnya agama ini mengutamakan pengabdian yang sunguh-sungguh,

    sehingga seseorang dituntut sungguh-sungguh untuk berbuat baik dan suci, sesuai dengan arti

    nama Parmalim. Parmalim berasal dari kata Par sebagai awalan, dan Malim yang artinya

    dalam segala kesucian badan dan rohani.28

    Agama Parmalim berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan Sang Khalik Besar),

    dan pada perkembangan awalnya pemimpin agama ini adalah keluarga Raja Sisingamangaraja,29

    sebab hanya Raja Sisingamangaraja dipandang sebagai perantara orang batak dengan Debata

    Mulajadi Na Bolon.30 Perkembangan selanjutnya, setelah kematian Raja Sisingamangaraja XII,

    pemimpinnya adalah datu (dukun) yang dipercayai mampunyai wibawa untuk meneruskan

    agama parmalim, sehingga walaupun agama ini berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon,

    tetapi peranan datu (dukun), sangat besar dalam acara-acara keagamaan. Datu sangat dihormati

    oleh semua anggotanya, karena ia yang melangsungkan acara-acara kerohanian.31 Datu yang

    mempunyai hak untuk melakukan upacara-upacara pengorbanan dan pemujaan di tempat

    masing-masing, seperti pada saat sebelum dan sesudah anak lahir, waktu pemberian nama, pada

    28

    2

    T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 74

    29

    2

    Raja Sisingamangaraja disebut Datu Bolon yaitu dukun yang mempunyai kekuasaan yang melebihi seluruh orang batak

    30

    3

    B. Sijabat. Ahu Sisingamangaraja, (Jakarta: Sinar Harapan, 1982), 157

    31

    3

    T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 75

  • hari penetapan jodoh, pesta perkawinan dan pada upacara kematian. Dan mereka jugalah yang

    menentukan hari dan tanggal baik berdasarkan perhitungan almanak parhalaan (almanak khusus

    para datu).32 Artinya selain yang bersifat kerohanian, datu juga yang memimpin upacara-upacara

    dalam adat-istiadat.

    Pada masa lalu, mereka kerap mengadakan pesta persembahan kurban (pesta bius) yang

    dilakukan sebagai permohonan kepada para dewa untuk menghilangkan musim kemarau yang

    berkepanjangan. Suku Batak Toba dahulu masih percaya kepada dewa-dewa, dan roh-roh orang

    yang sudah mati. Paganisme orang Batak adalah suatu campuran dari kepercayaan keagamaan

    kepada dewata, pemujaan yang bersifat animisme terhadap roh orang yang sudah meninggal, dan

    dinamisme. Di dalam banyak tata cara dan adat istiadat, ketiga bentuk pemikiran religius ini

    masih bercampur baur tak terpisah satu sama lain. Dalam penerapannya, batas-batas ketiga unsur

    itu tidak tampak dengan jelas, baik ia berlangsung dalam kalangan orang biasa, di lingkungan

    para pemimpin yang sudah mantap ataupun dalam praktik religius-magis.33

    Didalam keseharian masyarakat Batak Toba dahulu tidak terlepas akan peran serta dewa-

    dewa ataupun roh-roh nenek moyang. Dalam setiap kesempatan selalu dihubungkan dengan

    dewa atupun roh (begu), oleh karena itu juga untuk memulai ataupun mengakhiri suatu pekerjaan

    selalu diadakan pesta. Pesta yang dimaksudkan adalah pesta pemujaan kepada dewa ataupun roh-

    roh, pesta ini sebagai cara untuk meminta berkat dari roh-roh nenek moyang ataupun para dewa,

    sebagi contoh adalah pesta untuk memulai musim tanam. Pesta ini diselenggarakan setiap tahun

    untuk menghindari paceklik, wabah penyakit dan kelaparan. Suku Batak Toba juga meyakini

    32

    u

    Andar M. Lumbantobing, Makna Wibawa Jabatan dalam Gereja Batak, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992), 19

    33

    Vergouwen, J.C, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba (yogyakarta, LKIS)2004, 73-74

  • bahwa roh leluhur masih berperan dalam kehidupan mereka, karena roh leluhur selalu memantau

    kehidupan sosial kemasyarakatan. Oleh karena itu, mereka juga menggelar ritual hahomion

    (rahasia) supaya roh leluhur senantiasa memberikan kemakmuran dan ketentraman bagi

    keturunannya.34

    2.7.4. Masuknya Injil di Tanah Batak

    Masuknya injil di tanah Batak tidak terlepas dari adanya penjajahan. Bangsa barat datang

    untuk melakukakan ekspansi. Mereka datang selain untuk mengambil hasil-hasil perkebunan,

    melakukan perluasan wilayah, dan mengenalkan suatu kebudayaan baru. Bangsa barat datang

    untuk mengenalkan kebudayaan baru tersebut, bisa dikatakan sebagai ungkapan balas jasa karena

    mereka telah memperoleh hasil bumi dari tanah Batak. Mereka juga merasa kasihan dengan

    kebudayaan bangsa Batak dahulu yang masih terbelakang, dan belum mengenal Tuhan. Oleh

    karena itu para misionaris bisa dikatakan datang bersama penjajah.

    Beberapa Misi yang dilakukan oleh Gereja Kristen Barat salah satunya adalah Pekabaran

    Injil di Sumatera Utara dimulai pada tahun 1824, penginjil yang pertama yakni Richard Burton

    dan Nathaniel Ward utusan zending Baptist Mission Society of England sebuah lembaga

    pekabaran Injil dari Inggris, mereka mencoba untuk melakukan pekabaran Injil di tanah Batak.35

    Melalui dari daerah pesisir Sumatera mereka berhasil menerobos sampai ke wilayah orang Batak

    Toba di daerah Silindung, akan tetapi mereka terpaksa mundur dari tempat itu karena pemerintah

    Belanda menolak untuk memberi izin bekerja di daerah itu.36 Kemudian pada tahun 1834 Pdt.

    34

    http://www.anneahira.com/batak-toba.htm. 28/09/2011. 11.04

    35

    .

    Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1975), 45-46.

    36

    1

    Dr.Th. Van den End. Dr. J. Weitjens, S.J, Ragi Cerita 2, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003), 182.

    http://www.anneahira.com/batak-toba.htm.%2028/09/2011

  • Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman utusan Amerika Board of Commisioners for Foreign

    Missions sebuah kongsi zending Amerika (Boston) datang ke tanah Batak untuk melakukan

    pekabaran Injil. Pada 23 Juni 1834 mereka meninggalkan Sibolga mengikuti jejak Burton dan

    Ward ke Lembah Silindung, akan tetapi mereka berdua tewas terbunuh di Lobu Pining dalam

    perjalanan menuju daerah Silindung.37 Maka Pada tahun 1840-1842 F. Junghuhn, seorang

    ilmuwan antropolog Jerman datang ke tanah Batak untuk melakukan ekspedisi penelitian di

    pedalaman Sumatera. Kemudian dia menerbitkan karangannya dan melalui karangannya orang

    Eropa dapat mengenal orang Batak. Karangan itu sampai ke tangan tokoh-tokoh lembaga Alkitab

    di Belanda, lalu pada tahun 1849 mereka mengutus H. Neubronner van der Tuuk ke Sumatera.

    Van der Tuuk seorang utusan Kongsi Bible Netherland (NZG) yang merupakan perintis jalan

    untuk pelayanan zending kepada suku Batak. Beliau menerjemahkan sebagian isi Alkitab

    Perjanjian Lama ke dalam bahasa Batak, menulis tata bahasa Batak dan membuat kamus bahasa

    Batak Belanda. Dengan adanya misi pekabaran Injil yang dilakukan bangsa-bangsa barat, maka

    dengan segera Badan Zending Rheinshe (RMG) mengalihkan konsentrasinya dalam

    menyebarkan Injil ke daerah Batak dengan mengutus Pdt. D.R. Fabri ke sana.

    Tanah Batak dan masyarakat Batak sebelum kekristenan sering digambarkan sebagai daerah

    yang terisolasi dan liar serta menakutkan, suatu daerah hutan belantara yang dihuni binatang-

    binatang buas dan orang-orang yang masih mempraktekkan kanibalisme. Informasi tentang

    keadaan tanah Batak yang sebenarnya sulit diperoleh. Pengetahuan dunia luar tentang tanah

    Batak terutama terdiri atas laporan-laporan perjalanan (ekspedisi) yang secara sporadis dan

    terutama terdiri atas laporan lisan, baik yang dilakukan oleh orang luar dan orang Batak sendiri.

    37

    3

    Paul B. Pedersen, Darah Batak dan Jiwa Protestan, 48-50.

  • Menurut penelitaian Parkin (1978), orang Batak dapat lebih mudah menerima agama Kristen

    karena mereka sudah terlebih dahulu mendapat pengaruh agama Hindu (Hindu thought) yang

    memperlihatkan adanya unsur-unsur yang mereka kenal dalam agama Hindu dan telah

    mempengaruhi agama mereka sebelumnya, memiliki kemiripan dengan agama Kristen. Dengan

    kata lain, pengaruh Hindu itu semacam preparation evangelium (Parkin, 1978).38

    Dengan masuknya para penjajah ke tanah Batak seakan membuka kehidupan baru bagi

    bangsa Batak. Bangsa Batak yang dahulu masih di dalam kegelapan, kini telah sedikit berubah

    dan siap menuju era modernisasi. Meskipun penjajahan sangatlah dikecam, namun tidak dapat

    dipungkiri bahwa dengan adanya penjajahan akan memberikan dampak baik secara moril

    maupun materil. Penjajahan di tanah batak sangatlah membantu para misionar, untuk bisa

    mengabarkan injil keselamatan bagi bangsa Batak yang masih hidup di dalam kegelapan.

    Para misionaris yang datang ke tanah Batak, berhasil membawa keluar bangsa batak menuju

    terang. Perubahan pun banyak terjadi mulai dari kekerabatan, hukum serta agama juga

    mengalami perubahan. Bangsa Batak yang dahulu hidup dalam masa kegelapan, yang masih

    percaya kepada dukun dan dewa-dewa, kini berubah mereka telah mau masuk Kristen dan

    memilih Yesus sebagai Juruselamatnya. Di dalam kehidupan sehari-hari juga bangsa Batak

    banyak mengalami perubahan, yang dahulu masih tertutup akan keberadaan orang baru kini

    menjadi terbuka. Dan sistem perbudakan juga telah hilang, bangsa Batak telah menyadai bahwa

    setiap manusia itu adalah sama, yaitu merupakan mahkluk ciptaan Tuhan. Kehidupan beragama

    juga berubah, bangsa Batak sudah mau untuk beribadah di hari minggu, dan mengadakan

    pertemuan-pertemuan ibadah di hari lainnya. Meskipun perubahan itu tidaklah drastis langsung

    38

    3

    Simatupang Maurits, Prof. Dr. Majalah HKBP (Immanuel) sebagai Sarana Pengembangan Intelektualisme Batak Kristen, dalam buku Menggapai Gereja Inklusif; Kantor Pusat HKBP, Pearaja, Tarutung ; 2004; hal 3-4

  • berubah dalam segi kehidupan bangsa batak, namun perubahan itu telah membuat bangsa batak

    hidup dalam menuju kebaikan, dan telah siap untuk berubah kepada yang lebih baik lagi.

    2.8. Kesimpulan Bab II

    Perkembangan paradigma misi yang terus berkembang dan mengalami berbagai pergeseran

    baik pada pemahaman dan praktek dalam sejarah, sampai pada pasca modern memberikan arti

    dan peran yang mendalam bahwa misi itu pada hakekatnya adalah misi Allah, dan gereja hanya

    sebagai alat. Karena penggenapan misi itu ada di dalam terang kerjasama Allah dan manusia.

    Dengan demikian misi adalah bagaimana gereja menjawab tanggungjawabnya. Melalui

    panggilannya di manapun gereja berada untuk melakukan sebuah transformasi jemaat dan

    masyarakat secara luas tanpa menjatuhkan dan mengganggu siapapun dengan bahasa kasih yang

    diterjemahkan dalam praktek hidup sehari-hari sebagai wujud partisipasi dalam keselamatan dan

    tanggungjawab menghadirkan kerajaan Allah ditengah dunia.

    Pada pemahaman-pemahaman yang telah dikemukakan baik itu misi penginjilan, yang selalu

    mengingatkan dan menekankan pemberitaan firman dalam konteks, maupun komunitas kristen

    yang cenderung sangat tekstual dalam kitab suci, untuk pekabaran injil, maupun dengan aksi

    sosial sebagai pendukungnya yang bentuk konkritnya masih terus dalam pergumulan terutama

    dalam kehidupan orang percaya. Dalam konteks dan mengkontekstualisasikan berdasarkan

    Alkitab merupakan kelemahan yang konkrit dari paradigma misi Penginjilan. Karena jika semua

    orang berhasil menjadi kristen, perlu dipertanyakan kualitas kekristenannya yang merupakan

    proses belajar seumur hidup.

    Pemahaman dan praktek misi yang telah berkembang hingga menjangkau tanah Batak

    (Indonesia), merupakan sebuah langakah besar dalam pergerakan misi. Bangsa-bangsa barat

  • yang datang ke tanah Batak, boleh dikatakan sangat berhasil. Hal ini dikarenakan, bangsa barat

    yang belum mengenal sama sekali tanah Batak, namun berani datang dan merubah kehidupan

    bangsa Batak. Masyarakat Batak yang pada awalnya belum terjamah akan perubahan kini

    dapat berubah. Dalam segi kehidupan masyarakat Batak pada zaman dahulu tentu misi yang

    dikerjakan oleh bangsa barat sangatlah berat. Namun dengan kegigihan bangsa barat, maka

    masyarakat batak dapat merasakan misi yang dari Allah.

    Berbagai pemahaman dan praktek misi dapat berjalan dalam kehidupan masyarakat Batak,

    yaitu;

    1. Misi Sebagai Misio Dei

    Dalam hal ini Misi sebagai Misio Dei menegaskan suatu perkembangan pergeseran

    misi yang luas. Tanah Batak sebagai ladang misi tentu mendapatkan Terang Ilahi dari

    para Pekerja misi. Allah sebagi sumber misi, tentu telah menetapkan ataupun

    menggambarkan bangsa Batak harus mendapatkan pencerahan dan hidup dari Terang

    Allah.

    2. Misi Sebagai Perjuangan Demi Keadilan

    Pada misi para misionaris yang datang ke tanah Batak tentu saja harus berhadapan

    pada tetua-tetua adat (raja) yang ada di tanah batak. Mereka datang kepada raja-raja

    tersebut untuk minta izin agar bisa menetap di tanah Batak, namun seiring perjalan

    waktu para misionaris tentu melihat banyaknya kejanggalan-kejanggalan yang terjadi

    dalam kehidupan masyrakat batak tersebut. Dan tentu saja para raja tersebut mendapat

    kritik dan ajaran hidup yang benar, yang sesuai dengan Firman Allah. Maka dalam

    kegiatan misi yang dibawa para misionaris tersebut dengan sendirinya kan berjalan

  • dengan lancar, karena para misionaris melakukan perubahan hidup didalam kehidupan

    bermasyakat orang Batak.

    3. Misi Sebagai Kontekstualisasi

    Misi sebagai Kontekstualisasi melibatkan pembangunan berbagai teologi Lokal.

    Dalam defenisi ini secara sederhana ingin menekankan bahwa teologi harus

    dipribumikan. Pemahaman orang Batak tentang Debata Mulajadi Na Bolon, masih

    seperti pada agama suku, akibatnya pemahaman orang Batak tentang Injil tidak

    mendasar karena pengaruh agama suku dan adat Batak.39 Pertentangan batiniah pada

    orang Batak oleh karena mereka dengan jelas menyadari adanya suatu Tuhan yang

    Mahatinggi yang menciptakan dunia, sehingga kekristenan orang Batak menurut

    Lothar Schreiner, masih turun-temurun dari orangtua kepada anak,40 akibatnya banyak

    orang Batak Kristen bukan Kristen Batak, yang hubungan orang meninggal dengan

    orang hidup tidak pernah terputus. Karena orang Batak pada zaman dahulu masih

    sering memuja orang yang sudah mati.

    Persoalan selanjutnya, apakah suku Batak dulu hanya menerima Injil hanya sebatas

    pergantian nama, tanpa mengerti akan makna dan isi daripada ajaran keristenan

    tersebut? Pertanyaan ini sampai saat ini masih terus dilontarkan, sebab pada prinsipnya

    orang Batak masih mengutamakan budayanya daripada agamanya, artinya kebudayaan

    39

    3

    Krisis HKBP, Ujian bagi Iman dan Pengamalan Pancasila (Pearaja: Tarutung, 1995), 22

    40

    4

    Lothar Schreiner, Adat dan Injil; (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), 59

  • atau adat-istiadat lebih dijunjung tinggi dari pada agama. Pendapat ini tentu

    mempunyai alasan yang sangat kuat, sebab sebelum keKristenan sampai ke tanah

    Batak, orang Batak telah hidup dalam adat yang kuat, sehingga kehadiran para

    missionar Pendeta Burton dan Pendeta Ward dari gereja Babtis Inggris, pada tahun

    1824 tidak mendapat tempat, karena orang Batak mencurigai kehadiran mereka untuk

    merusak tatanan adat telah baik dan baku.41 Namun pada sisi lain, harus diakui bahwa

    Injil banyak membawa perubahan, pada suku Batak, di mana yang sebelumnya suku

    batak tertutup pada dunia luar, tetapi dengan hadirnya Injil, suku Batak kini mengenal

    dunia luar melalui pendidikan.

    4. Misi Sebagai Pembebasan

    Pembebasan orang Batak dari hidup kegelapan tentu merupakan langkah awal bagi

    kehidupan orang batak selanjutnya. Para misionaris berhasil membebaskan orang

    batak dari kuasa kegelapan, dari kehidupan perbudakan menjadi manusia bebas, dan

    berhasil memperkenalkan kehidupan baru, kehidupan yang bersifat modern.

    5. Misi Sebagai Kesaksian Bagi Orang Orang berkepercayaan Lain.

    Misi semacam ini ingin memperlihatkan suatu konteks di mana terdapat keberagaman

    agama dan krisis agama yang sedang dialami semua agama, tentang bagaimana

    41

    4

    Ibid, Almanak HKBP, 448. (di mana tahun 1711-1824 Sumatera berada dibawah kekuasaan Inggris, namun Tapanuli tidak dapat diduduki karena kepemimpinan Raja Sisingamangaraja, sehingga kedatangan Tuan Burton dan tuan Ward dari Inggris (1824) sebagai Missionaris pertama ke Tanah Batak tidak mendapat tempat, dan karena tahun 1824, Inggris menyerahkan kekuasaannya ke tangan Belanda. Hampir bersamaan dengan peralihan kekuasaan dari Inggris ke pemerintahan Belanda, terjadi pula Perang Bonjol/Paderi di tanah Batak, sehingg kehadiran Pendeta Samuel Munson dan Pdt. Henry Lyman tahun 1834 yang dikirim Zending Boston, Amerika Serikat ke Tapanuli harus dibayar dengan mahal, di mana mereka berdua mati dibunuh di Lobu Pining, namun alasan yang utama mereka dicurigai untuk merusak adat batak.

  • menerima perbedaan ini dan dilihat sebagai suatu misi. Masyarakat Batak yang

    sebelumnya beragama suku, yaitu Parmalim. Pada dasarnya agama ini mengutamakan

    pengabdian yang sunguh-sungguh, sehingga seseorang dituntut sungguh-sungguh

    untuk berbuat baik dan suci, sesuai dengan arti nama Parmalim. Parmalim berasal dari

    kata Par sebagai awalan, dan Malim yang artinya dalam segala kesucian badan

    dan rohani.42 Agama Parmalim berpusat kepada Debata Mulajadi Na Bolon (Tuhan

    Sang Khalik Besar), dan pada perkembangan awalnya pemimpin agama ini adalah

    keluarga Raja Sisingamangaraja.43

    6. Misi Sebagai Teologi

    Pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap hakikat gereja yang berkaitan dengan

    misi gereja yang pada masa kini diakui hal ini penting dalam melihat dunia sebagai

    ladang misi, dalam artian tanggungjawab berteologi. Di sisi yang lain dalam bidang

    keilmuan tentunya misi yang dikenal dalam misiologi sebagai upaya berteologi sudah

    tidak hanya terbatas pada pekerjaan misionaris, untuk menyelamatkan jiwa-jiwa

    melainkan misiologi adalah upaya berteologi secara keseluruhan sebagai sebuah

    bidang ilmu yang melihat tanah batak sebagai lahan berteologi dengan memperhatikan

    keadaan lingkungan disekitarnya.

    42

    4

    T.E. Taringan dan Emilkam Tambunan, Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba, (Ende Flores: Nusa Indah-Arnoldus, 1974), 74

    43

    4

    Raja Sisingamangaraja disebut Datu Bolon yaitu dukun yang mempunyai kekuasaan yang melebihi seluruh orang batak