PENGGALIAN HAKIKAT, FUNGSI, DAN NILAI TRADISI LISAN …
Transcript of PENGGALIAN HAKIKAT, FUNGSI, DAN NILAI TRADISI LISAN …
1
PENGGALIAN HAKIKAT, FUNGSI, DAN NILAI TRADISI LISAN TIMOR
DALAM UPAYA MEMPERKUAT RELASI KULTURAL
INDONESIA - TIMOR LESTE
Maria Matildis Banda, Ida Bagus Jelantik SP,
Anak Agung Ayu Rai Wahyuni, Sri Jumadiah
(Fakultas Ilmu Budaya Unud Jln. Nias 13 Denpasar)
Abstrak
Penelitian tentang "Penggalian Hakikat, Fungsi, dan Nilai Tradisi Lisan Timor dalam
Upaya Memperkuat Relasi Kultural Indonesia - Timor Leste" dilaksanakan di Wini Kecamatan
Insana Utara Kabupaten Timur Tengah Utara. Pada wilayah tersebut dan wilayah perbatasan
lainnya sering terjadi konflik perebutan lahan, sengketa batas wilayah, hak atas tanah ulayat,
perebutan tanah pemakaman, dan konflik sosial yang berkaitan hubungan kekerabatan dan siklus
hidup (kelahiran, perkawinan, kematian), pertanian dan peternakan yang memperkeruh relasi.
Karenanya kesadaran identitas perlu digali dari tradisi lisan untuk memperkuat relasi. Rumusan
masalah: 1) bagaimanakah hakikat tradisi lisan sebagai kearifan lokal?; 2) bagaimanakah fungsi
dan nilai tradisi lisan Timor. Tujuannya untuk mendapatkan data komprehensif tentang hakikat,
fungsi, dan nilai tradisi lisan Timor yang yang berlaku di daerah perbatasan. Metode dan teori
yang digunakan adalah metode penelitian lapangan melalui focus group discussion (FGD),
workshop, dan wawancara; dan teori tradisi lisan.
Hasilnya diketahui bahwa tradisi lisan memiliki fungsi dan nilai strategis dan politis
sebagai berikut. Bahasa Dawan: 1) memperlancar komunikasi dan keterbukaan antarwarga; 2)
mengatasi berbagai konflik dengan lebih mudah karena saling memahami; 3) memperkuat relasi
dan hubungan kekerabatan karena berbagai ritual dijalankan dengan bahasa yang sama. Rumah
adat dan ritual yang berkaitan dengannya: 1) simbol penguat identitas; 2) simbol pemersatu; dan
3) simbol kebanggaan asal-usul. Sejarah dan hukum adat: 1) fungsi dan nilai konsiliasi; 2) fungsi
dan nilai rekonsiliasi, dan arbitrase yang berbasis keluarga, hubungan kekerabatan, rumah adat,
suku, bahasa, dan budaya yang sama; 3) fungsi dan nilai diplomasi lokal berbasis hukum adat.
Fungsi dan nilai tersebut diyakini dapat memperkuat relasi kultural antara kedua negara.
Kata Kunci: Tradisi Lisan, Bahasa, Rumah Adat dan Budaya, Sejarah dan Hukum Adat.
2
PENDAHULUAN
Relasi kultural Negara Kesatuan Republik Indonesia (RI) dengan Negara Democratik
Timor Leste (NDTL) dibangun dengan ungkapan: satu bahasa, satu rumah adat, satu budaya,
meskipun beda negara (Linus Lusi, BPP NTT, 2018). Ungkapan ini diharapkan dapat
mendukung upaya menjawab berbagai konflik di wilayah perbatasan Indonesia - Timor Leste.
Pertama. Banyak masalah yang bersumber pada kekacauan identitas. Beberapa contoh di
antaranya: 1) pertanyaan tentang tarian suru boek (menangkap udang) yang dipentaskan dalam
wellcome parthy kenegaraan (kerja sama Universitas Udayana dan NDTL) di kota Dili pusat
pemerintahan Negara Democratic Timor Leste (NDTL) (September 2016). Tarian Suru boek
diangkat dari salah satu tradisi lisan dan menangkap udang adalah salah satu mata pencaharian
masyarakat lokal kedua negara. Thomas, koreografer dan beberapa penari yang diwawancarai
pada waktu itu mempertanyakan soal "kepemilikan" tradisi dari NDTL ataukah dari Indonesia;
2) seorang mahasiswa yang berkunjung ke stand Pameran Budaya Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana (13 September 2016). Ia gelisah dan bertanya mengapa motif tenun NTT
dan Timor Leste sama? Sebenarnya siapa dan mana yang berhak; 3) seorang mahasiswi
mengajukan pertanyaan (dalam seminar yang diadakan Kementrian Perdagangan, Industri, dan
Lingkungan Hidup NDTL bersama Ikadin Bali, Ikadin Timor Leste, dan Universitas Udayana
Selasa, 13 September 2016) tentang tarian, tenun ikat, bahasa daerah. “Sebenarnya, milik
siapa?”; 4) kisah perebutan jenazah WNI turunan asli NDTL yang meninggal di Oekusi Hospital.
Almarhum adalah ASN di Kecamatan Wini Utara. Perebutan jenazah berlangsung alot dengan
meninggalkan berbagai problem asal usul, rumah adat, dan warga negara (disampaikan Bpk.
Dominikus, Camat Wini).
Pertanyaan di atas menggarisbawahi kesadaran akan keunikan Timor Leste yang berbagi
pulau dengan Propinsi Nusa Tenggara Timor; sekaligus “ketidaksadaran” asal-usul leluhur,
tradisi lisan, dan kebudayaan yang sama antara Timor Indonesia dan Timor Timor Leste.
Kearifan yang sesungguhnya dari tanah leluhur yang lahir secara turun-temurun di sebuah pulau
-yang menurut legenda - terjadi dari perjanjian laki-laki Timor dengan seekor anak buaya.
Kedua. Kegamangan identitas di tingkat masyarakat dilengkapi juga dengan
permasalahan perbatasan RI - NDTL dalam konteks regulasi formal berupa kebijakan, hukum,
dan undang-undang. Sebagaimana dijelaskan CNN Indonesia melalui Laudya Gracivia
(indografis) dengan naskah Raja Eben Lumbanrau dan Anggi Kusuma Dewi, terdapat 907 titik
yang ditetapkan dalam persetujuan tentang perbatasan darat, pada tanggal 08 Juni 2005.
Sebagaimana dijelaskan Kaseh bahwa di balik pesoalan perbatasan negara sesunguhnya
terdapat pula persoalan lain yang justru membuat kondisi perbatasan semakin rumit dan
kompleks. Persoalan-persoalan tersebut antara lain mengenai tanah ulayat, rumah adat,
kependudukan, asal usul keturunan, hubungan perkawinan, kesehatan, serta berbagai ritual adat
maupun ritual agama formal (Katolik), tempat pemakaman, pasar tradisional, jalan tikus yang
terletak di wilayah kedua negara. Demikian pula persoalan warisan adat, persoalan hewan
gembalaan yang melintasi batas negara, dan lain sebagainya (Kaseh, 2017:5). Persoalan ini tidak
dapat dipecahkan di atas meja PBB, meja pemerintah dan berbagai regulasi, apalagi meja hijau
dengan hukum modern.
3
Fenomena-fenomena di atas menjadi salah satu alasan mendasar untuk menggali dan
menemukan kearifan lokal (local wisdom) yang termuat dalam nilai-nilai tradisi lisan. Nilai-nilai
yang menyatakan kesadaran diri dalam karakter kelompok sebagai cermin identitas masyarakat.
Identitas sebagai cermin karakter dasar yang dimiliki bersama dapat digali antara lain melalui
tradisi lisan dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1) bagaimanakah hakikat tradisi lisan
Timor sebagai kearifan lokal?; 2) bagaimanakah fungsi dan nilai tradisi lisan Timor sebagai
kearifan lokal yang memiliki fungsi strategis dan politis dalam membangun relasi kultural
Indonesia - Timor Leste? Tujuannya untuk mendapatkan data komprehensif tentang hakikat,
fungsi, dan nilai tradisi lisan Timor yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat relasi kultural
Indonesia - Timor Leste.
II. TEORI DAN METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilakukan di Pulau Timor di wilayah perbatasan Indonesia - Timor Leste.
Khususnya daerah Wini Kecamatan Insana Utara yang berbatasan langsung dengan Distrik
Oequsi Timor Leste. Teori yang digunakan adalah teori tradisi lisan yang menggarisbawahi
peran dan fungsinya bagi masyarakat. Data yang diamati dalam penelitian ini adalah data primer
tentang tradisi lisan diperoleh melalui penelitian lapangan dan data sekunder melalui kajian
pustaka serta berbagai informasi yang diperoleh melalui media sosial. Data primer diperoleh
melalui workshop yang diselengarakan di Kantor Badan Perbatasan NTT 09 Juli 2018 dan Focus
Group Disscussion (FGD) di Wini, 11 Juli 2018.
Ruang lingkup penelitian terdiri atas: 1) hakikat tradisi lisan di Pulau Timor berdasarkan
rumusan tradisi lisan menurut UNESCO dan Pedoman Kajian Tradisi Lisan; 2) fungsi dan nilai
tradisi lisan Pulau Timor dalam peran politis dan strategis bagi relasi kultural antara kedua
negara NKRI dan NDTL. Analisis data dilakukan bersamaan dengan proses penelitian. Analisis
data mulai dilakukan sejak data dikumpulkan. Tahapan analisis data terdiri atas tiga sub-proses
yang berkaitan (Haberman, 1984, 1994), yaitu: reduksi data, penyajian data, dan pengambilan
simpulan/verifikasi (Denzin, ed., 2009: 592). Penyajian data (data display) adalah konstruksi
informasi padat terstruktur yang memungkinkan pengambilan simpulan dan penerapan aksi
dengan memperhatikan reduksi data sebagai dasar pemaknaan (Haberman dalam Denzin, ed.,
2009: 592). Penyajian data dideskripsikan secara naratif (informal) yang dilengkapi dengan foto,
tabel, dan gambar (formal). Penyajian dilanjutkan dengan pengambilan simpulan verifikasi dan
penetapan makna dari data yang telah tersaji (Haberman dalam Denzin, ed, 2009: 592).
III HASIL PENELITIAN
3.1 Hakikat Tradisi Lisan
"Tralisi lisan (selanjutnya disingkat TL) tidak sekadar penuturan, melainkan konsep
pewarisan sebuah budaya dan bagian diri kita sendiri sebagai makhluk sosial" (Pudentia, 2012).
Tradisi lisan lebih jauh memiliki arti penting dalam pelestarian budaya nusantara. Bentuk,
4
fungsi, dan nilai tradisi lisan dapat diimplementasikan dalam kehidupan masyarakat, baik
masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Hakikat tradisi lisan ditentukan oleh
kelisanan dalam implementasi maupun dalam transmisi. Lord (1976) mengungkapkan tentang
kelisanan yang tidak dapat digantikan dengan penulisan dalam upaya-upaya pewarisan.
Perhatikan kutipan berikut ini.
Ada mungkin kebingungan ketika dikatakan bahwa penyair lisan mempelajari lagunya
secara lisan, menyusunnya secara lisan, dan mentransmisikannya secara lisan kepada
lainnya. Keberatan serupa dapat diteruskan melawan istilah yang “populer,” diturunkan
dari bahasa Latin sama dengan “rakyat.” Demam nasionalisme dalam abad ke sembilan
belas menghantar ke penggunaan epik lisan untuk propaganda nasionalis. Beberapa
sarjana berusaha untuk menghindari perangkap tiga istilah yang didiskusikan, rakyat,
populer, dan nasional, dengan cara lain pada kata “primitif.” Secara ringkas, semua
istilah digunakan untuk mewakili puisi naratif lisan dalam upaya untuk
membedakannya, puisi naratif tertulis berisi beberapa indikasi dalam perbedaan bentuk.
Jika kebutuhan suatu klarifikasi proses yang menghasilkan puisi naratif lisan
direfleksikan dalam kebingungan istilah yang digunakan untuk mewakili puisi,
kebutuhan ini bahkan lebih nyata, dalam variasi teori yang dikemukakan dalam dua
abad belakangan (dan yang masih bertahan dalam satu bentuk atau lain sekarang) untuk
menjelaskan fenomena epik lisan yang khusus (Lord, 1976: 1).
Kutipan di atas menjelaskan: 1) proses penyampaikan cerita secara lisan; 2) proses
penyampaian isi teks berlangsung dan disusun secara lisan; dan 3) tentang tradisi lisan yang
ditransmisikan secara lisan. Hal ini juga dijelaskan secara terperinci oleh Banda (2016)
berdasarkan beberapa referensi tentang kelisanan sebagaimana dikutip berikut ini.
Pertama, tradisi lisan adalah pengetahuan dan adat istiadat yang disampaikan turun-
temurun secara lisan. Kedua, tradisi lisan adalah hasil karya seni dan hukum adat yang
berkelanjutan dalam proses budaya. Ketiga, tradisi lisan adalah berbagai bentuk karya
sastra tradisional yang disampaikan secara lisan dan hidup dalam konteks estetika
sejarah, struktur dan organisasi sosial, filsafat, etika, serta nilai-nilai moral. Singkatnya,
tradisi lisan adalah pengetahuan, adat istiadat, karya seni, hukum adat, sastra tradisional;
diturunkan secara lisan; hidup dalam konteks estetika sejarah, struktur dan organisasi
sosial, filsafat, etika, nilai-nilai moral; dan berkelanjutan dalam proses budaya yang
dinamis (Banda, 2015:23), ekspresif, dan mengikuti perkembangan zaman. Oleh Goody
(1992) dijelaskan bahwa tradisi lisan terdiri dari apapun yang diteruskan melalui saluran
lisan; dengan kata lain sebenarnya keseluruhan dari budaya itu sendiri (Banda, 2016).
Tradisi lisan adalah berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan yang secara turun-temurun
disampaikan secara lisan, mencakup tidak hanya cerita rakyat, mitos, dan legenda, tetapi sistem
kognitif masyarakat, sejarah, hukum, hukum adat, practices, dan medication (Tol, 1995: 2;
Hoed, 2008: 184). Oleh UNESCO tradisi lisan dirumuskan sebagai berikut.
Tradisi lisan itu adalah tradisi yang ditransmisi dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan
tindakan. Dengan demikian tradisi lisan mencakup: 1) kesusastraan lisan; 2) teknologi
tradisional; 3) pengetahuan folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan; 4)
5
unsur-unsur religi dan kepercayaan folk (di luar batas formal agama-agama besar); 5)
kesenian folk diluar pusat-pusat istana dan kota metropolitan; 6) hukum adat. Dalam
pembagian ini, sastra lisan menjadi bagian dari tradisi lisan (Hutomo, 1991).
Penjelasan di atas menggarisbawahi bahwa hakikat tradisi lisan adalah kelisanannya. Pulau
Timor pada umumnya tidak memiliki tradisi tulis. Berbagai pewarisan tradisi lisan seperti
bahasa, budaya, dan adat istiadat disampaikan secara turun-temurun dalam bentuk lisan dan
pewarisannya pun dilakukan secara lisan. Tradisi lisan memuat berbagai kearifan lokal warisan
leluhur untuk dicermati dan dilaksanakan sehingga fungsi dan nilainya dapat dijadikan pedoman
hidup.
3.2 Fungsi dan Nilai Tradisi Lisan
Ada lima macam nilai dalam tradisi lisan sebagai produk budaya dan karya seni yaitu:
1) nilai hedonik memberi kepuasan secara langsung, sebagai kesenangan semata-mata; 2) nilai
artistik, nilai keindahan itu sendiri; 3) nilai kultural, nilai-nilai yang bermanfaat bagi masyarakat;
4) nilai etis, nilai moral religius, dan 5) nilai praktis, bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari
(Shipley melalui Kutha, 2013:308). Kelima nilai ini merupakan pegangan dasar bagi manusia
dalam bertindak. Apakah seseorang bertindak berdasarkan nilai hedonik demi uang, kekayaan,
kepuasan, dan kesenangan semata-mata? Ataukah sesorang bertindak berdasarkan nilai etis,
artistik, dan kultural?
Nilai mempunyai peran yang amat penting dalam kehidupan manusia, karena dapat
dikatakan bahwa seluruh kehidupan manusia berkisar pada usaha-usahanya untuk menciptakan,
memperjuangkan, dan mempertahankan bermacam-macam nilai, mulai dari nilai-nilai yang
bersifat biasa, hingga sampai ke nilai-nilai yang bersifat luhur dalam urusan yang penting-
penting (Gie, 2004: 107; Tajuddin, 2005: 33). Dalam kaitannya dengan penggalian hakikat,
fungsi, dan nilai-nilai budaya di Pulau Timor, perlu ditentukan nilai-nilai luhur yang memiliki
peran politis dan peran strategis sebagai upaya untuk mengatasi konflik.
Kedudukan nilai sering kali begitu tinggi dalam konsep kebudayaan (karena tingkah
laku dianggap berpedoman pada nilai, dan kebudayaan material diciptakan berdasarkan sistem
nilai) tampaknya perlu direlatifkan, supaya konsep kebudayaan dapat menjadi lebih realistis
terhadap perkembangan sekarang (Kleden Ignas, 1985: 81). Dengan demikian penggalian
hakikat, fungsi, dan nilai tradisi lisan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah nilai-nilai
luhur yang digali dari tradisi lisan Timor. Tradisi lisan yang memiliki peran politis dan peran
strategis dalam kebersamaan dan keamanan kedua wilayah negara.
3.2.1 Fungsi dan Nilai Bahasa dan Sastra Lisan
Menurut catatan Badan Bahasa, NTT memiliki 64 bahasa lokal (bahasa daerah atau
bahasa ibu). Bahasa-bahasa tersebar di seluruh Propinsi NTT yang terdiri dari pulau-pulau itu.
Secara khusus bahasa ibu atau bahasa daerah di Wini Insana Utara Kabupaten Timur Tengah
Utara adalah Bahasa Dawan.
6
Bahasa Dawan (Timor) dituturkan di Kabupaten Kupang, Kabupaten Ambenu, Kabupaten
Timor Tengah Utara, dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Penutur bahasa Dawan
(Timor) berbeda-beda dalam menyebut bahasa yang mereka gunakan. Di Desa Camplong
I, Oenoni, dan Teunbaun, bahasa Dawan (Timor) disebut sebagai bahasa Timor Dawan; di
Desa Bipolo, Hauteas, Abani, dan Oepliki disebut sebagai bahasa Timor Naikono; di Desa
Tetaf dan Manufui disebut sebagai bahasa Timor; di Desa Sallu dan Manunain disebut
sebagai bahasa Dewan; di Desa Netpala, Nenas, Bijeli, Nobi-Nobi, Lotas, dan Lilo disebut
sebagai bahasa Dawan. (Badan Bahasa).
Bahasa Dawan tidak disebutkan dalam penelitian Sudiartha dkk (1991). Dari workshop
yang diselenggarakan di Badan Pengelolah Perbatasan NTT (09 Juli 2018) diketahui ada empat
bahasa daerah di Timor Indonesia yaitu bahasa Tetun, Helong, Bunak, dan bahasa Dawan.
Dalam Focus Group Disscusion (FGD) dilaksanakan di lokasi penelitian Wini Kecamatan Insana
Utara (11 Juli 2018) diketahui bahasa bahasa Dawan adalah bahasa yang sama digunakan di
Timor Indonesia -khususnya Kabupaten Timur Tengah Utara dan Timor Leste- lebih khusus lagi
di daerah TTU bagian Utara (Kecamatan Insana Utara) yang berbatasan langsung dengan Oekusi
Timor Leste dan wilayah perbatasan lainnya. Masyarakat di wilayah perbatasan itu juga
menggunakan bahasa Indonesia. Karenanya komunikasi dapat berlangsung dengan lancar dan
hubungan yang dibangun menjadi lebih baik karena saling mengerti atas dasar bahasa yang
sama.
Masyarakat daerah perbatasan ini juga mengenal tradisi sastra lisan. Salah satunya
legenda terjadinya Pulau Timur yang diyakini berasal dari seekor buaya yang berubah wujud
menjadi pulau. Hal ini terjadi karena rasa kasih dan terima kasih kepada seorang pemuda yang
telah menolongnya kembali ke sungai pada saat sang buaya tersesat di daratan. Mitos tentang
buaya ini diwujudkan antara lain dalam motif buaya yang mendominasi motif tenun ikat khas
NDTL maupun Timor Indonesia.
Bahasa adalah jati diri pemiliknya. Bahasa menunjukkan bangsa yang memiliki fungsi
dan nilai stategis maupun politis bagi keberlangsungan hidup. Demikian pula Bahasa Dawan di
wilayah perbatasan Wini Insana Utara dan Oekusi memiliki peran strategis dan politis: 1)
memperlancar komunikasi dan keterbukaan antarwarga; 2) mengatasi berbagai konflik yang
terjadi antar warga dengan lebih mudah karena saling memahami; 3) memperkuat relasi dan
hubungan kekerabatan karena berbagai ritual dijalankan dengan bahasa yang sama. Bahasa juga
memiliki fungsi sebagai simbol identitas, alat pemersatu, dan alat perhubungan antarbudaya
(Sukartha, dkk. 2005:3). Bahasa pada hakekatnya adalah lisani (Ikram, 2008: 204) yang
digunakan untuk berbagai tradisi lisan, salah satu tradisi yang mengekspresikan kebudayaan
yang diturunkan leluhur. Apa yang diajarkan kepada kita selama ini tentang kebudayaan telah
membentuk suatu keyakinan bahwa kebudayaan itu merupakan blue-print yang telah menjadi
kompas dalam perjalanan hidup manusia, ia menjadi pedoman dalam tingkah laku (Abdullah,
Irwan, 2010: 1).
7
3.2.2 Fungsi dan Nilai Rumah Adat
Usfinnit (2003) menjelaskan bahwa Pulau Timor adalah sebuah wilayah transisi.
Penduduknya merupakan campuran antara Proto-Melayu dan Melanesia, bahkan, menurut W.
Keers (1928), ada tanda-tanda ras Negrito. Wilayah Insana didiami oleh orang Dawan atau Atoni
(Melanesia). Tiap suku mempunyai cabang atau subklan. Suku-suku pada umumnya terbagi atas
tiga kelompok besar, yaitu usif (bangsawan), amaf, (pendamping bangsawan, penjaga tanah) dan
kolo manu (masyarakat biasa) (Usfinit, 2003). Kelompok suku tersebut membentuk sebuah
sistem kekerabatan yang masih berlaku sampai sekarang. Menurut Yan Meko dan Dominikus
(narasumber) kelompok kekerabatan di Dawan disebut Ume.
Ume dalam masyarakat Dawan mengenal struktur adat menurut wilayah terdiri atas
wilayah pusat (Usfinit, Usif Besar Dalam, Amaf Dalam), wilayah tengah (Usif Tengah, Amaf
Tengah), wilayah luar (Timur, Utara, Selatan, dan Barat) yang dilengkapi dengan sejumlah suku
(Usfinit, 2003) yang memiliki tugas dan fungsi masing-masing, serta identitas yang khas
sebagaimana dijelaskan Usfinit yaitu:
1) aturan atau tata cara adat (nono atau tusi);
2) larangan atau pantangan (nuni);
3) wilayah teritorial atau tanah kekuasaan (in naijan in pa ma in nifu);
4) rumah adat (tola), yaitu sonaf le’u bagi usif dan uam le’u bagi amaf;
5) sumber air (oela atau oe makana), yang dikeramatkan;
6) pohon dan tempat keramat (hau le’u dan bale mnasi le’u);
7) bukit batu dan gunung (fatu makana dan nu makana);
8) cap atau tanda suku (malak) dan hetes yaitu memotong kuping ternak peliharaan,
pada zaman dahulu malak dipakai sebagai semacam tanda pengenal suatu suku.
Segenap identitas berpusat pada rumah adat. Rumah adat adalah salah satu penanda
identitas orang Dawan baik ada di wilayah Timor Leste maupun yang di Timor Indonesia. Sama
seperti orang Dawan, hampir semua etnis di NTT menempatkan rumah adat sebagai salah satu
penanda identitas. Dalam diskkusi kelompok terpadu dan wawancara di lapangan diketahui
bahwa upacara dan ritual disepakati bersama dalam rumah adat dan suku. Rumah adat adalah
tempat berbagai masalah dalam keluarga kecil maupun dalam keluarga yang lebih luas
diselesaikan. Rumah adat sebagai pusat ritual yang berkaitan dengan kepemilikan tanah,
pertanian dan peternakan, sistem upacara, sistem kemasyarakatan dan siklus hidup.
Rumah adat -sebagaimana yang diketahui dari FGD di Wini- terdiri atas dua jenis yakni
rumah adat beratap alang-alang dan rumah adat beratap gewang/lontar. Keduanya memiliki
fungsi yang sama. Ritual dilaksanakan dalam periode tertentu untuk rumah adat lama, rumah
adat yang direnovasi karena rusak termakan usia, maupun untuk pembuatan rumah adat baru
(taten nibaki).
Warga Timor Leste ada yang memiliki rumah adat di wilayah Indonesia demikian pula
sebaliknya. Karenanya dalam waktu tertentu keluarga besar berkumpul di rumah adat untuk
8
berbagai hal. Dalam periode tertentu juga dilaksanakan ritual yang berkaitan dengan rumah adat.
Ritual pertanian pun berpusat pada rumah adat artinya dimulai dengan pemujaan pada
leluhur dan Yang Mahatinggi dalam rumah adat, sebelum dilaksanakan di kebun atau tempat
tertentu (Yan Meko). Ritual panen adalah salah satu ritual yang mempertemukan keluarga besar
dalam rumah adat.. Keluarga besar berkumpul pada saat ini diselenggarakan oebanit (Nyanyian
syukur pada saat panen jagung), pangkahale (nyanyian menghibur duka saat menumbuk padi)
tahfeu (makan bersama hasil panen). Dalam semua ritual tersebut, pemujaan terhadap leluhur
melalui tradisi bakar lilin di tempat pemujaan dalam rumah adat, maupun bakar lilin di
pemakaman. Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa rumah adat memiliki fungsi dan nilai
strategis dan politis sebagai berikut: 1) simbol penguat identitas; 2) simbol pemersatu; dan 3)
simbol kebanggaan asal-usul.
3.2.3 Sejarah dan Hukum Adat
Pemahaman sejarah dan hukum adat adalah hal yang serius dalam membangun relasi
kultural Indonesia - Timor Leste. Banyak argumentasi yang telah dikemukakan mengenai
penanganan masalah-masalah perbatasan Indonesia - Timor Leste melalui hukum adat.
Tampaknya hukum adat sebagai salah satu wujud kearifan lokal disadari oleh Pemerintah
Propinsi NTT melalui Badan Pengelolah Perbatasan NTT (BPP NTT). Sesuai Keputusan Menteri
Dalam Negeri dan Otonomi Daerah selaku Koordinaor Komite Bersama RI-UNTAET Nomor
185.05-079 tahun 2001 tentang Pembentuka Perantara Perbatasan (Border Liaison) RI dan
Timor-Timor, menetapkan Wakil Gubernur NTT sebagai Ketua Border Liaison Committee
(BLC). BLC merupakan forum kerjasama untuk membahas aspek teknis dan aspek sosial budaya
masyarakat perbatasan RI-RDTL. BLC juga sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam
mendukung Joint Border Committee (JBC) RI-RDTL yang diketuai oleh Direktur Jenderal
Pemerintahan Umum Kemendagri dan Joint Ministrial Committee (JMC) RI-RDTL yang
diketuai oleh Menteri Luar Negeri (Manehat, 2014). Dengan demikian berbagai konflik yang
terjadi di daerah perbatasan dapat diselesaikan dengan kearifan lokal dan diplomasi lokal
berbasis kearifan hukum adat.
Mengkaji kekuatan berlakunya diplomasi lokal berbasis hukum adat dari aras faktual
atau dari konteks berlakunya, berarti yang hendak diuji disini adalah mengenai konteks
sosial budaya di mana hukum adat itu tumbuh, hidup dan berkembang. Hukum adat
yang menjadi basis penyelenggaraan diplomasi lokal itu, walaupun tidak tertulis tetapi
ditaati secara sadar dan sepenuh hati, maka kekuatan berlaku secara “materialnya
tebal”, sekalipun kekuatan “formalnya lemah” karena tidak dituliskan dan diundangkan.
Secara material, kekuatan berlakunya hukum adat tergolong “tebal”, karena adanya
kesadaran dari masyarakat Timor pada umumnya (baik di Timor Barat maupun Timor
Leste) bahwa secara geneologis memiliki hubungan kekerabatan sebagai saudara satu
turunan. Dengan demikian, sekalipun secara politis dipisahkan oleh sekat (batas) negara
tetapi diantara warga masih tetap mengakui adanya hubungan kekerabatan dan tatanan
hukum adat sebagai pedoman hidup bersama (Kaseh, 2018).
Kutipan di atas menjelaskan: 1) diplomasi lokal berbasis hukum adat; 2) konteks budaya
di mana hukum adat itu tumbuh, hidup, dan berkembang; 3) adanya kesadaran masyarakat
9
tentang hubungan geneologis kekerabatan satu turunan; dan 4) pemahaman tentang tatanan
hukum adat sebagai pedoman hidup bersama.
Sebagaimana dijelaskan Usfinit (2003) diplomasi lokal berbasis hukum adat pada
dasarnya diwujudkan melalui komunikasi berbasiskan asal usul yang sama dengan
memperhatikan peran tua adat, rumah adat, eksistensi suku, fungsi kampung, dan hak-hak juga
kewajiban akan tanah ulayat.
Pertikaian atau sengketa tanah pada umumnya terjadi karena pemahaman yang keliru
tentang kepemilikan tanah, asal-usul, hubungan kekerabatan, hubungan antarsuku, dan hal-hal
lainnya yang terjadi sebagaimana dijelaskan Usfinit berikut ini.
Pada masa sekarang pembagian tanah untuk para suku amaf dan usif ini sudah
semakin bergeser akibat kurangnya pengetahuan penguasa wilayah formal tentang
adat-istiadat setempat, serta hilangnya fungsi tobe, dilaksanakan pembentukan desa
gaya baru, dan berlakunya UU agraria yang baru. Yang mempunyai hak atas tanah
kini adalah kepala desa, pada hal mereka kurang memahami secara mendalam adat-
istiadat serta riwayat tanah-tanah adat, termasuk pusuf-kelef serta susu laku.
Akibatnya tak jarang terjadi perebutan atas tanah yang dianggap tidak bertuan. Sejak
pemerintahan eksekutif diatur penjajah, dilakukan pengangkatan pejabat pemerintah
dari orang ataupun suku yang tidak sesuai dengan struktur adat, dan setiap orang atau
suku yang diangkat rupanya berupaya mendahulukan kepentingan dirinya atau
sukunya untuk menguasai tanah, sehingga hak atas tanah oleh atupas hampir hilang
(Usfinit, 2003:13).
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa pemahaman sejarah dan hukum adat perlu
ditegaskan kembali. Rumah adat sebagai pusat penyelesaian konflik penting diperhatikan
sehingga masalah lebih mudah diatasi dibandingkan dengan hukum positif dan meja hijau.
Fungsi dan nilai politis dan strategis rumah adat adalah sebagai berikut.
a. Fungsi dan nilai konsiliasi.
b. Fungsi dan nilai rekonsialisasi, dan arbitrase yang berbasis keluarga, hubungan
kekerabatan, rumah adat, suku, bahasa, dan budaya yang sama.
c. Fungsi dan nilai diplomasi lokal berbasis hukum adat.
IV. KESIMPULAN
Kesimpulan penelitian Hibah Unggulan Udayana (HUU) tentang "Penggalian Hakikat,
Fungsi, dan Nilai Tradisi Lisan Timor dalam Upaya Memperkuat Relasi Kultural Indonesia -
Timor Leste" adalah sebagai berikut.
Pertama. Bahasa yang digunakan diwilayah perbatasan Insana Utara Kabupaten Timur
Tengah Utara (TTU) adalah Bahasa Dawan. Bahasa Dawan adalah simbol identitas etnik Dawan
yang tersebar di bagian Timor Pulau Timur Indonesia maupun Timur Pulau Timor yang menjadi
bagian dari Timor Leste (NDTL). Bahasa memiliki fungsi dan nilai strategis dan politis: 1)
10
memperlancar komunikasi dan keterbukaan antarwarga; 2) mengatasi berbagai konflik yang
terjadi antar warga dengan lebih mudah karena saling memahami; 3) memperkuat relasi dan
hubungan kekerabatan karena berbagai ritual dijalankan dengan bahasa yang sama. Bahasa juga
memiliki fungsi sebagai simbol identitas, alat pemersatu, dan alat perhubungan antarbudaya
(Sukartha, dkk. 2005:3).
Kedua. Berbagai ritual adat, sistem upacara, sistem kemasyarakatan dan siklus hidup,
sistem dan kepercayaan kepada kekuatan gaib, serta stratifikasi sosial yang dipahami dan
dihayati bersama antara masyarakat berpusat pada rumah adat. Asal usul suku dan rumah adat
yang sama adalah kekuatan utama yang berkaitan dengan identitas. Rumah adat memiliki fungsi
dan nilai strategis dan politis sebagai berikut: 1) simbol penguat identitas; 2) simbol pemersatu;
dan 3) simbol kebanggaan asal-usul.
Ketiga. Sejarah dan hukum adat adalah salah satu kearifan lokal utama. Kearifan lokal
yang digali dari sejarah dan hukum adat dapat dijadikan spirit bersama untuk mengatasi
berbagai konflik seperti: batas negara, hak ulayat, tanah pemakaman, kepemilikan rumah adat,
klaim terhadap hewan peliharaan, serta berbagai masalah lainnya. Sejarah dan hukum adat, perlu
dipertegas karena fungsi dan nilai politis dan strategisnya sebagai berikut. 1. Fungsi dan nilai
konsiliasi. 2. Fungsi dan nilai rekonsialisasi, dan arbitrase yang berbasis keluarga, hubungan
kekerabatan, rumah adat, suku, bahasa, dan budaya yang sama. 3. Fungsi dan nilai diplomasi
lokal berbasis hukum adat.
Yang dapat disarankan saat ini adalah perlunya penelitian yang lebih konprehensif untuk
menghasilkan kebijakan-kebijakan yang berpijak pada nilai-nilai tradisi serta kearifan lokal.
Nilai dan kearifan tidak dapat menjelaskan apa pun apabila hanya tersimpan sebagai
sebuah hasil penelitian yang tertulis dan dipajang di atas meja. Perlu dipikirkan kebijakan
berbasis tradisi lisan dan nilai-nilainya yang disepakati sebagai sebuah regulasi yang dipatuhi
bersama.
11
Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2010. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Banda, Maria Matildis 1996. ”Tradisi Sangaza: Ragam Puisi Lisan Ngadha Bajawa Flores Nusa
Tenggara Timur” Makalah Lokakarya Hasil Penelitian Asosiasi Tradisi Lisan
Nusantara Jakarta.
Finnegan, Ruth. 1978. Oral Literature in Afrika airobi, London: Oxford University Press.
Fox, Djames J. 1986. Bahasa, Sastra, dan Sejarah. Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat
Roti. Terjemahan Sapardi Djoko Damono. Seri ILDEP. Jakarta: Djambatan.
Goody, Jack. 1968. Literacy In Traditional Societies. Cambridge: The Univercity Press.
Goody, Jack. 1992. “Oral Culture” dalam buku Folklore, Cultural Perfomance, dan Popular
Entertainments A Communication Centered Handbook. Baurman, Richard.
1992. Oxford University Press.
Ikram Achadiati, 2008 “Beraksara dalam kelisanan” dalam Metodologi Kajian Tradisi Lisan,
Pudentia MPSS, ed. 2008. Jakarta: Asosiasi Tradisi Lisan.
Kase, Dhesy A. Model Penyelesaian Sengketa Internasional Berbasis Hukum Adat, Kupang:
Mediacentre Publishing, 2018.
Kleden, Ignas. 1985. “Kebudayaan: Agenda buat Dayacipta” dalam Majalah Prisma No 1 tahun
1985 Tahun XIV. Jakarta: LP3ES.
Kleden Ignas.1995. Fungsi Kesenian dalam Masyarakat. Pergeseran Nilai-Nilai Moral,
Perkembangan Kesenian, dan Perubahan Sosial” dalam Kongres Kesenian
Indonesia I 1995.
Mubyarto, Prof. Dr. 1990. “Masyarakat Desa Timor-Timor” Laporan Penelitian Sosio-
Antropologis. Yogyakarta: Pusat Penelitian dan Pembangunan Pedesaan dan
Kawasan UGM.
Sudiarga, dkk. 1990/1991. “Sastra Lisan Tetun Belu” Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra
Indonesia dan daerah Bali. Denpasar: Depdikbud.
Sudiartha, dkk. 1991. “Survei Bahasa dan Sastra di Timor Timur” Proyek Penelitian Bahasa dan
Sastra Indonesia dan daerah Bali. Denpasar: Depdikbud.
12
Poespawardojo, Soerjanto. 1986. “Pengertian Local Genius dan Relevansinya dalam
Modernisasi” dalam Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius), Ayatrohaedi,
ed. Jakarta: Pustaka Jaya.
Rahyono, F.X. 2009. Kearifan Budaya dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra.
Pudentia, MPSS. 2004. “kelisanan dan keberaksaraan dalam naskah Roro Mendut dan
Pronocitro:
Kasus Perlawanan Pesisiran Terhadap Mataram” dalam Naskah, Tradisi Lisan dan
Sejarah.Jakarta: Akademi Jakarta Bekerja sama dengan PMB-LIPI, PSDR - LIPI,
dan ATL
Yosef Eilers, Frans. 1995. Komunikasi Antara Budaya. Ende: Nusa Indah.
-----------------------------------------------------
Laudya Gracivia (indografis) CNN 2005
___________________________________
13