PENGERTIAN USHUL FIQH

10
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pengertian fiqih atau ilmu fiqih sangat berkaitan dengan syara’ karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelumnya memberikan penjelasan tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dijelaskan arti dan hakikat syari’ah. Fiqh adalah ilmu tentang hukum Allah yang dibicarakan adalah hal-hal yang bersifat mamaliyah furu’iyah, pengetahuan tentang hukum Allah itu berdasarkan dalil tafsili, dan fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan ustidlal seorang mujtahid/fiqh. Pada waktu Nabi Muhamad Saw masih hidup, segala peroalan hukum yang timbul langsung dinyatakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak ditemukan jawabannya dalam Al- Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui penetapan beliau yang disebut Hadits atau sunnah. Kemudian para ulama’ mustahid merasa perlu menetapkan dan menyusun kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan azaz dan kaidah yang ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan

description

ushul fiqh

Transcript of PENGERTIAN USHUL FIQH

Page 1: PENGERTIAN USHUL FIQH

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengertian fiqih atau ilmu fiqih sangat berkaitan dengan syara’ karena fiqh

itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah. Karenanya, sebelumnya

memberikan penjelasan tentang arti fiqh, terlebih dahulu perlu dijelaskan arti dan

hakikat syari’ah.

Fiqh adalah ilmu tentang hukum Allah yang dibicarakan adalah hal-hal

yang bersifat mamaliyah furu’iyah, pengetahuan tentang hukum Allah itu

berdasarkan dalil tafsili, dan fiqh itu digali dan ditemukan melalui penalaran dan

ustidlal seorang mujtahid/fiqh.

Pada waktu Nabi Muhamad Saw masih hidup, segala peroalan hukum yang

timbul langsung dinyatakan kepada beliau. Beliau memberikan jawaban hukum

dengan menyebutkan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam keadaan tertentu yang tidak

ditemukan jawabannya dalam Al-Qur’an, beliau memberikan jawaban melalui

penetapan beliau yang disebut Hadits atau sunnah.

Kemudian para ulama’ mustahid merasa perlu menetapkan dan menyusun

kaidah atau aturan permainan yang dijadikan pedoman dalam merumuskan

hukum dari sumber-sumbernya dengan memperhatikan azaz dan kaidah yang

ditetapkan ahli bahasa yang memahami dan menggunakan bahasa Arab secara

baik. Disamping itu, jika memperhatikan jiwa syari’ah dan tujuan Allah yang

menetapkan mukallaf dalam tanggung jawab hukum. Kaidah-kaidah dalam

memahami hukum Allah dari sumber itulah yang disebut ushul fiqh.

Page 2: PENGERTIAN USHUL FIQH

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Ushul Fiqh

Kata “Ushul Fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul” dan kata

“fiqh”. Kata “fiqh” secara etimologi berarti “paham yang mendalam”.

Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian

etimologi berarti “paham yang mendalam”.

Arti fiqh dari segi istilah hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian

etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum

syara’ yang bersifat analiah yang digali dan dirumuskan dari dalil-dalil tafsili”.

Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari

ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amali dan

kedua tentang dalil-dalil tafsili.

Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara etimologi

berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainnya.” Arti etimologi ini tidak

jauh dari maksud definitif dari kata shal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah

suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh”. Dengan demikian “ushul fiqh”

secara istilah teknik hukum berarti: “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa

kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci’, atau dalam

artian sederhana adalah: “Kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara

mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya”.

Umpamanya dalam kitab-kitab fiqh ditemukan ungkapan, “Mengerjakan

shalat itu hukumnya wajib”. Wajibnya melakukan shalat itu disebut “hukum

syara’”. Tidak pernah tersebut dalam al-Qur’an maupun hadits bahwa shalat itu

hukumnya wajib. Yang tersebut dalam al-Qur’an hanyalah perintah mengerjakan

shalat yang berbunyi:

Kerjakanlah shalat

Ayat al-Qur’an yang mengandung perintah mengerjakan shalat itu disebut

“dalil syara’”.

Page 3: PENGERTIAN USHUL FIQH

Yang disebut “dalil syara’” itu ada aturannya dalam bentuk kaidah,

umpamanya: “Setiap perintah itu menunjukkan wajib”. Pengetahuan tentang

kaidah-kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalil

syara’ tersebut, itulah yang disebut “Ilmu Ushul Fiqh”.

Ushul fiqh adalah pedoman atau aturan-aturan yang membatasi dan

menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seseorang fakih dalam usahanya

menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya; sedangkan fiqh ialah

hukum-hukum syara’ yang telah digali dan dirumuskan dari dalil-dalil menurut

aturan yang sudah ditentukan itu.1

Menurut Prof. Dr. TM. Hasbi Ash Shiddieqy, telah mengemukakan definisi

Ushul Fiqh yang lengkap, yaitu:

“Ushul fiqh ialah kaidah-kaidah yang dipergunakan untuk mengeluarkan hukum

dari dalil-dalilnya. Dan dalil-dalil hukum (kaidah-kaidah yang menetapkan dalil-

dalil hukum).2

Ushul fiqh ialah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk

hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.

Perkataan dasar yang dipergunakan dalam perumusan ini bukanlah dasar dalam

pengertian benda (seperti dasar kain untuk baju misalnya). Akan tetapi dasar ialah

bahan-bahan yang dipergunakan oleh pikiran manusia untuk membuat hukum

fiqih, yang menjadi dasarnya, ialah :

- Al-Qur’an

- Sunnah Nabi Besar Muhamad Saw (Hadits)

- Ra’yu atau akal seperti qiyas dan ijma’.3

B. Tujuan dan Manfaat Ushul Fiqh

Tujuan yang hendak dicapai dari ilmu ushul fiqh ialah untuk dapat

menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dall syara’ yan terperinci agar sampai

kepada hukum-hukum syara’ yang bersifat amali, yang ditunjuk oleh dalil-

1 Amir Syaifuddin, Ushul Fiqh Jilid I (Ciputat: 1997), h. 412 Nazar Bkary, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: 1996)h. 16-173 Syafi’i Karim, Fiqh Ushuk Fiqh, (Jakarta: 1995), h. 20

Page 4: PENGERTIAN USHUL FIQH

dalilitu. Dengan kaidah-kaidah ushul serta bahasannya itu dapat dipahami nash-

nash syara’ dan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya.4

Dalam hal ini ada dua maksud mengetahui ushul fiqh itu antara lain:

Pertama, bila kita sudah mengetahui metode ushul fiqh yang dirumuskan

ulama terdahlu, maka bila suatu ketika menghadapi masalah baru yang tidak

mungkin ditemukan hukumnya dalam kitab-kitab fiqh terdahlu, maka kita akan

dapat mencari jawaba hukum terhadap masalah bau itu denga cara menerapkan

kaidah-kaidah hasil rumusan ulama terdahlu itu.

Kedua, bila kita menghadapi masalah hukum fiqh yang terurai dalam kitab-

kitab fiqh, tetapi mengalami kesukaran dalam penerapannya karena sudah begitu

jauhnya perubahan yang terjadi, dan kita ingin mengkaji ulang rumusan fuqaha

lama itu atau ingin merumuskan hukum angsesuaidengan kemaslahatan dan

tuntutan kondisi yang menghendakinya.5

C. Aturan-aturan Ushul fiqh

a. aliran Jumhur Ulama Ushul Fiqh

aliran ini dikenal juga dengan aliran ayafi’iyah atau aliran Mutakallimin.

Disebut aliran Syafi’iyah karena orang paling pertama mewujudkan cara

penulisan Usul seperti ini adalah Imam Syafi’i, dan dikenal sebagai aliran

Mutakallimin karena para pakar di bidang ini setelah Imam Syafi’i adalah

kalangan Mutakallimin (para ahli lmu kalam), misalnya Imam al-Qadli

Abdul Jabbar, dan al-Imam al-Ghazali.

Dalam perkembangannya metode penyusunan Ushul Fiqh aliran ini

diikuti oleh kalangan Malikiyah dan Hanabilah. Oleh karena itu, metode ini

juga dikenal dengan metode Jumhur ulama Ushul Fiqh. Buku-buku setandar

dalam aliran ini yang disusun ketika itu adalah kitab al-Amd oleh Qadi Abdul

abbar al-Mu’tazili (w. 415H), kitab al Mu’amad fi Ushul al-Fiqh oleh Abu

Husein Al-Bashri al-m’tazili (w. 436 H).

4 Amir Syarifudin, op.cit., h. 415 Syafi’i Karim, op.cit., h. 53

Page 5: PENGERTIAN USHUL FIQH

b. Aliran Fuqaha atau Alira Hanafiyah

Aliran fuqaha, adalah aliran yang dikembangkan oleh kalangan ulama

hanafiyah. Disebut aliran fuqaha (ahli-ahli fikih) karena dalam sistem

penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fikih. Dalam merumuskan

kaidah Ushul Fiqh mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fikih Abu

Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan

contoh-contoh.

Kitab-kitab standar yang disusun dalam aliran ini adalah periode ini

adalah antara lain kitab Ta’sis al-Nazhar oleh Abu Zaid Al-Dabbusi (w.430

H), kitab Ushul al-Bazdawi oleh Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi (w. 483 H).

c. Aliran yang mnggabngkan antara Dua Aliran diatas

Dalam perkembangan selanjutnya, seperti disebutkan oleh Muhammad

Abu Zahrah, muncul aliran ketiga yang dalam penulisan ushul Fiqh

menggabungkan antara dua aliran tersebut. Mislanya buku Badi’al-Nizam

karya Ahamd bin ‘Ali al-Sa’ati (w. 694 H) ahli Ushul Fiqh al-Bazdawi oleh

Ali Ibn Muhammad al-Bazdawi dari aliran Hanafiyah dan al-Ihkam fi ushul

al-Ahkam oleh al-Amidi (w. 631 H) dari aliran Syafi’iyah buku Jam’u al-

Jawami’ oleh Ibnu al-Sibki (w. 771 H), ahli ushul fiqh dari kalangan

Syafi’iyah, dan buku al-Tahrir oleh al-Kamal Ibnu al-Humam (w. 861 H)

ahli Usuhul Fiqh dari kalangan Hanafiyah.6

D. Pokok Pembahasan Ushul Fiqh

Bertitik tolak dari definisi ushul fiqh yang disebutkan di atas maka bahasan

pokok ushul fiqh itu adalah tentang :

1. Dalil-dalil atau sumber hukum syara;

2. Hukum-hukum syara’ yang terkandung dalam dalil itu

3. Kaidah-kaidah tentang ushaa dan cara mengeluarkan hukum syara’ dari dalil

atau sumber yang mengandungnya

Dalam membicarakan sumber hukum dibicarakan pula kemungkinan

terjadinya benturan antara dalil-dalil dan cara menyelesaikannya. Dibahas pula

tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan kaidah atau

6 Satria Efendi, M. Zein, MA, Ushul Fiqh, (Jakarta: 2005), h. 23-26

Page 6: PENGERTIAN USHUL FIQH

metode dalam tentang orang-orang yang berhak dan berwenang menggunakan

kaidah atau metode dalam melahirkan hukum syara’ tersebut. Hal ini

memunculkan pembahasan tentang ijtihad dan mujtahid.7

E. Perkembangan Ushul Fiqh

Ushul Fiqh itu adalah ketentuan atau kaidah yang harus diikuti mujtahid

pad awaktu menghasilkan fiqhnya. Namun dalam perumusannya ushul fiqh

datang belakang para sahabat dalam melakukan ijtihad mengikuti suatu pedoman

tertentu meskipun meskipun tidak dirumuskan secara jelas.

Usha istinbath hukum yang dilakukan Ibrahim al-Nakha’i dan ulama Irak

lainnya mengarah kepada mengeluarkan ‘illat hukum dari nash dan

menerapkannya terhadap peristiwa yang sama yang baru bermunculan kemudian

hari.

Dari keterangan di atas jelaslah bahwa metode yang digunkan dalam

merumuskan hukum syara’ semakin memperlihatkan bentuknya. Perbendaan

metode yang digunakan menyebabkan timbulnya perbedaan aliran dalam fiwh.

Abu Hanifah dalam usaha merumuskan fiwhnya menggunakan metode tersendiri.

Ia menerapkan al-Qur’an sebagai sumber pokok, kemudian hadist nabi,

berikutnya fatwasahabat. Abu Hanifah tidak mengambil pendapat ulama Tabi’in

sebagai dalil dengan pertimbangan bahwa ulama tabi’in itu berada dalam satu

rangking dengannya. Metodenya dalam menggunakan qiyas dan istihsan terlihat

nyata sekali. Imam Malik menempuh metode ushuli yang lebih jelas

menggunakan tradisi yang hidup di kalangan penduduk Madinah.

Dalam penggunaan qiyas, ia memberikan persyaratan yang begitu berat.

Tetapi di balik itu Imam Malik menggunakan maslahat mursalah sedangkan

metode yang dirumuskan Imam Syafi’i itulah yang disebut ushul fiqh.

Dengan mencoba mengembangkan ushul fiqh syafi’i dengan cara antara

lain, menyerahkan, memperinci, yang bersifat garis besar. 8

7 Amir Syarifudin, op.cit., h. 418 Ibid, h. 36