Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 1/9 IsiBukuTamu LihatBukuTamu HinduDharma PokokKeimananHindu Reinkarnasi ProsesPunarbawa KebenaranSamsara YogaMarga Moksa TentangDanaPunia CaturPurusaArtha CaturAsrama CaturMarga IntisariAjaranHindu Banten HinduDharmainBali Link PilihDisini Sponsor MaupasangbannerdiHinduBatam? HubPengasuh[ Klik Disini ] PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA IWayanSudarma(ShriDanuD.P) OmSwastyastu 1. Pengertian Pura IstilahPuradenganpengertiansebagaitempatpemujaanbagimasyarakatHindukhususnyadiBali,tampaknyaberasaldarijaman yangtidakbegitutua.PadamulanyaistilahPurayangberasaldarikataSanskertaituberartikotaataubentengyangsekarang berubahartimenjaditempatpemujaanHyangWidhi.SebelumdipergunakannyakataPurauntukmanamaitempatsuci/tempat pemujaandipergunakanlahkataKahyanganatauHyang.PadajamanBaliKunadanmerupakandatatertuakitatemuidiBali,ada disebutkandidalam prasastiSukawanaA Itahun882M.KataHyangyangberartitempatsuciatautempatyangberbubungan denganKetuhanan. Didalam prasastiTurunyanAIth.891M adadisebutkan ........................ SanghyangdiTuruñan"yangartinyatempatsucidi Turunyan"DemikianpuladidalamprasastiPuraKehenA(tanpatahun)adadisebutkanpujaankepadaHyangKarimama,Hyang ApidanHyangTandayangartinyatempatsuciuntukDewaKarimama,tempatsuciuntukDewaApidantempatsuciuntukDewa Tanda. PrasastiprasastiyangdisebutkandiatasadalahprasastiBaliKunayangmemakaibahasaBaliKunatipe"Yumupakatahu"yang berhubungandengankeratonBaliKunadiSinghamandawa.Padaabadke10masuklahbahasaJawaKunakeBaliditandaioleh perkawinanrajaputriMahendradatadariJawaTimurdenganrajaBaliUdayana.SejakituprasastiprasastimemakaibahasaJawa KunadanjugakesusastraankesusastraanmulaimemakaibahasaJawaKuna.DalamperiodepemerintahanAirlanggadiJawa Timur(10191042M)datanglahMpuKuturandariJawaTimurkeBalidanpadawaktuituyangmemerintahdiBaliadalahraja MarakatayaituadikdariAirlangga.Beliaulahmengajarkanmembuat"ParhyanganatauKahyanganDewa"diBali,membawacara membuattempatpemujaandewasepertidiJawaTimur,sebagaimanadisebutkandidalam rontalUsanaDewa.KedatanganMpu KuturandiBalimembawaperubahanbesardalamtatakeagamaandiBali. BeliaulahmengajarkanmembuatSadkahyanganJagatBali,membuatkahyanganCaturLokaPaladankahyanganRwabhinedadi Bali.BeliaujugamemperbesarPuraBesakihdanmendirikanpelinggihMeru,Gedongdanlainlainnya.PadamasingmasingDesa pakramandibangunKahyanganTiga.Selainbeliaumengajarkanmembuatkahyangansecarapisik,jugabeliaumengajarkan pembuatannyasecaraspiritualmisalnya:jenisjenisUpacāra,jenisjenispedaginganpelinggihdansebagainyasebagaimana diuraikandidalamlontarDewaTattwa. PadajamanBaliKunadalamarlisebelumkedatangandinastiDalemdiBali,istanaistanarajadisebutKeratonatauKedaton. DemikianlahrontalUsahaBalimenyebutkan"...SriDanawarajaakadatwaningBalingkang ........ "MemangadakataPuraitudijumpai didalamprasastiBaliKunatetapikataPuraitubelumberartitempatsucimelainkanberartiKotaatauPasar,sepertikatawijayapura artinyapasaranWijaya.PemerintahandinastiSriKrsnaKapakisandiBalimembawatradisiyangberlakudiMajapahit.Kitab Nagarakrtgama73.3menyebutkanbahwaapayangberiakudiMajapahitdiperlakukanpuladiBaliolehdinastiSriKrsna Kapakisan.SalahsatucontohterlihatdalamsebutanistanarajabukanlagidisebutKeratonmelainkandisebutPura.Kalaudi MajapahitkitamengenalistilahMadakaripurayangberartirumahnyaGajahMada,makaKeratonDalemdiSamprangandisebut Linggarsapura,KeratonnyadiGelgeldisebutSuwecapuradanKeratonnyadiKlungkungdisebutSemarapura.Ruparupanya penggunaankatapurauntukmenyebutkansuatutempatsucidipakaisetelahdinastiDalemdiKlungkungdisampingjugaistilah Kahyanganmasihdipakai.Dalamhubunganinilalukatapurayangberartiistanarajaataurumahpembesarpadawaktuitudiganti dengankataPuri.PadaperiodepemerintahanDalemWaturenggongdiGelgel(1460I550M)datanglahDangHyangNirarthadi BalipadaTahun1489M adalahuntukmengabadikandanmenyempumakankehidupanagamaHindudiBali.Beliaupadawaktu itumenemuikeadaanyangkabursebagaiakibatterjadinyaperalihanpahamkeagamaandaripahampahamkeagamaansebelum EmpuKuturankepaham paham keagamaanyangdiajarkanolehMpuKuturanyakni:antarapemujaanDewadenganpemujaan rohLeluhur,sehinggaadapurauntukDewadanadapurauntukRohLeluhuryangsulitdibedakansecarapisik. Demikianpulabentukbentukpalinggih,adamerudangedonguntukDewadanmerudangedonguntukRohLeluhur.Terdapat jugakekaburandibidangtingkatatapmeru,misalnyaadameruuntukRohLeluhurbertingkat7danmeruuntukDewabertingkat3. Halinisecaraphisiksulituntukdibedakan,walaupunperbedaannya,terdapatpadajenispadagingannya.Halitulahyang mendorongDangHyangNirarthamembuatpalinggih berbentukPadmasana untukmemuja Hyang Widhi,dan sekaligus membedakanpalinggihpemujaanDewasertaRohLeluhur. DalamperkembanganlebihlanjutkataPuradigunakandisampingkataKahyanganatauParhyangandenganpengertiansebagai tempatsuciuntukmemujaHyangWidhi(dengansegalamanifestasinya)danBbataraatauDewaPitarayaituRohLeluhur. KendadipundemikiannamunkinimasihdijumpaikataPurayangdigunakanuntukmenamaisuatukotamisainyaAmlapuraatau Bhagawadgita9.22 TetapiorangyangselalumenyembahKudenganbhaktitanpatujuanyanglaindanbersemadipada bentukrohaniKuAkubawakanapayangdibutuhkannya,danAkumemeliharaapayangdimilikinya HOME PURA TATTWA SUSILA UPACARA ORGANISASI MEMBER PRODUK HUBUNGIKAMI

Transcript of Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

Page 1: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 1/9

Isi Buku Tamu

Lihat Buku Tamu

Hindu Dharma

Pokok Keimanan Hindu

Reinkarnasi

Proses Punarbawa

Kebenaran Samsara

Yoga Marga

Moksa

Tentang Dana Punia

Catur Purusa Artha

Catur Asrama

Catur Marga

Intisari Ajaran Hindu

Banten

Hindu Dharma in Bali

Link

­ ­ ­ Pilih Disini ­ ­ ­

Sponsor

Mau pasang banner di HinduBatam?Hub Pengasuh [ Klik Disini ]

PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUNPURAI Wayan Sudarma (Shri Danu D. P)

Om Swastyastu

1. Pengertian Pura

Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman

yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang

berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat

pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada

disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan

dengan Ketuhanan.

Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan........................ Sanghyang di Turuñan " yang artinya tempat suci di

Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang

Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa

Tanda.

Prasasti ­prasasti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe " Yumu pakatahu " yang

berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh

perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Udayana. Sejak itu prasasti ­ prasasti memakai bahasa Jawa

Kuna dan juga kesusastraan ­ kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa

Timur (1019 ­ 1042M) datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja

Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara

membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu

Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.

Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka Pala dan kahyangan Rwabhineda di

Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lain­lainnya. Pada masing masing Desa

­ pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan

pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis ­ jenis Upacāra, jenis ­ jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana

diuraikan di dalam lontar Dewa Tattwa.

Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana ­ istana raja disebut Keraton atau Kedaton.

Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai

di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura

artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab

Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna

Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di

Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut

Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa ­ rupanya

penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga istilah

Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti

dengan kata Puri. Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 ­ I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di

Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu

itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham­paham keagamaan sebelum

Empu Kuturan ke paham ­ paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan

roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.

Demikian pula bentuk ­ bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat

juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3.

Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang

mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus

membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.

Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai

tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur.

Kendadipun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau

Bhagawadgita 9.22

Tetapi orang yang selalu menyembah­Ku dengan bhakti tanpa tujuan yang lain dan bersemadi pada

bentuk rohani­Ku­­Aku bawakan apa yang dibutuhkannya, dan Aku memelihara apa yang dimilikinya

HOME PURA TATTWA SUSILA UPACARA ORGANISASI MEMBER PRODUK HUBUNGI KAMI

Page 2: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 2/9

kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar

dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli

berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah

dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.

Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak­ undak yang diduga sebagai replika

(bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem

pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama­sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di

Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.

Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung

(Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai

alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian)

Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama ­ sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang

lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata.

Lebih ­ lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah ­ olah tampak sebagai

terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada

akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkembang

bersama ­ sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistem kepercayaan masyarakat

Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan

sistem pemujaan dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain terlihat pada

konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang

disebut bhatara. Hal ini memberikan salah satu pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung (Mahameru) tempat pemujaan dewa

dan bhatara.

2. Pengelompokan Pura

Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat

dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.

2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.

Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi

ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya

kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah

memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.

Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya

kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan

sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru)

Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya.

Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan ,

berdagang , nelayan dan lain ­ lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri ­ ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas

karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:

1). Pura Umum.

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong

umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri ­

ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan

Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja

kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada

hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi

rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak,

Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain­lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan

oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.

Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di

hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat­tempat bersejarah

dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.

Page 3: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 3/9

Ada tanda ­ tanda bahwa masing ­ masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu:

Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang

terletak di tepi pantai laut.

Pura ­ pura kerajaan tersebut rupa ­ rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan

Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas

atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2). Pura Teritorial

Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu

desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok

dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura

disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan

perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama

kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh

ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.

Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang

memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga

seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat­ tempat

berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang

tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru.

Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai

hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.

3). Pura Fungsional

Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang

sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah

tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak.

Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.

Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan

pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.

Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang

disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan

pasar tersebut.

4). Pura Kawitan:

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura

ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen.

Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing­ masing warga atau

kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang

merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga

mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu

keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak­

anak mereka yang belum kawin .

Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat

pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas

dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan

tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang

menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan

bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga

batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk

pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek ­

aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :

a. Berdasarkan atas Fungsinya :

1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya

(manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu

lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.

Page 4: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 4/9

2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya:

sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman

b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:

1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa­Nya misalnya Pura Sad

Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.

2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat.

3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai

profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .

4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis)

seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.

Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan

Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha

Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan

masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.

3. Tata Upacāra Membangun Pura

a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. Upacāra ini dilaksankan sebagai Upacāra awal dalam persiapan

membangun sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis

Upacāra ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya

pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun sepelebahan pura

baru.

b. Upacāra Nyukat Karang. Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak bangunan pelinggih yang

akan didirikan, dan luas masing­masing mandala (palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan

aturan yang termuat baik dalam Asta Kosala­Kosali, maupun Asta Bumi.

c. Upacāra Nasarin. Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang didahului dengan Upacāra permakluman kepada

Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini ditanam sebuah

bata merah yang telah dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan

Angkara, dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang dirajah dengan aksara Ang­Ung­ Mang. Lalu

dibungkus kain hitam dan diisi sebuah kuangen. Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus

dengan kain putih dan diisi kuangen.

d. Upacāra Memakuh, Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para

pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan

Upacāra pujawali, sedangkan untuk membersihkan/ mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan

berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan memperhatikan kedudukan dan

fungsi Pura masing­masing, maka akan ditentukan atas/ berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat

setempat yang telah berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih sempurna.

e. Upacāra Mendem Pedagingan. Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan dilaksanakan Upacāra Mendem

Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih

dengan Pelinggih yang lainnya tidak sama ­ hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis

bebantennyapun juga ada yang berbeda.

Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga mengikuti isi Bhisama dari Mpu

Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru di Besakih.

Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : "Yan meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, sami

wenang mepadagingan tur mangda memargi manista, madya, utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar

salwiring prabot manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa, maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek

mas, slaka, kacang mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah, prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum

mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar. Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha

mawadah rerapetan sane mawarna putih, mwah wangi­wangian setegepe, mawastra putih, rantasan sapradeg. Ring madyaning

tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi musah 2, wangi­wangian setegepe. Ring puncaknya, taler

prihpih mas, slaka miwah jarum kadi ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika kandaning meru

tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista madya utama, utama jinah papendemane 11 tali, madya 8 tali,

nista 4 tali.

Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah prabot manusa genep, wangi­

Page 5: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 5/9

wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga, miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian

mas, slaka, nyalian mas, udang mas, getem (ketam) temaga, tanlempas mewangi­wangian segenepa, mewadah rapetan putih,

metali benang catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara, pripih slaka merajah kulum, pripih

tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi mirah 2, tan sah wangi­wangian setegepa mewadah rerapetan putih.

Malih korsi mas mewadah lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwir­luwir padagingan ika,

kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika

wenang dadi pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng

putra potrakanya, asapunka kojarnya sami mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca mirah

korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana"

Untuk cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena telah mempergunakan bahasa Bali lumrah, sehingga telah

dapat dimengerti oleh sebagian masyarakat umat Hindu yang ada di Bali.

f. Ngenteg Linggih. Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan

sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan ­ linggih berarti menobatkan/ menstanakan.

Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi­Nya pada Pelinggih yang

dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang

bersangkutan. Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut :

Upacāra ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten suci 4 (empat) soroh dan banten

catur, tegen­tegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh) butir

yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti dilengkapi

lagi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan lainnya (menurut petunjuk Sulinggih). Pada

undakan Sanggar tawang bebantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat

peras pagenayan bertumpeng merah, ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. Pada Sanggar

tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada

rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada masing­masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang

kayu, plawa dilengkapi pajeng, tetunggul empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan

perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng 225, benang setukel dan memakai busana

lengkap. Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,­ (lima ribu), jerimpen 5

(lima) tanding, dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang.

Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah dengan plegembal. Di depan

lubang yang nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan, didepannya digelar baying­bayang (kulit) kerbau hitam,

sesajen selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteg, isu­isu, kwangi.

Pada Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci putih, bebangkit dan pula kerti,

sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama

Pelinggih), berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa caru panca sanak, baying­bayang

(kulit) angsa, bebek belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan

beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri

dengan persembahyangan bersama.

Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan

petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang menjadi Manggala Upacāra saat Ngenteg Linggih

4. Upacāra Pujawali (Odalan)

Upacāra Pujawali (piodalan) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yadnya, yaitu suatu korban suci yang dilakukan

oleh umat Hindu ditujukan kehadapan Ida Hyang Widhi dan Para Dewa sekalian.

Bagi umat Hindu (etnis Bali) khususnya, korban itu berbentuk banten, banten yang menjadi salah satu bentuk persembahan ini

sesungguhnya merupakan suatu wujud nyata ungkapan rasa terima kasih yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi, terutapa

meyakinkan getaran­getaran nurani bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai manusia amat tergantung daripada­Nya.

Ungkapan rasa terima kasih kita kepada Hyang Widhi yang kemudian melandasi umat Hindu dalam melaksanakan Yadnya (korban

suci) itu dan sesungguhnya telah mengikuti petunjuk­petunjuk Bhagawadgita (salah satu buku suci), utamanya bab II sloka 12 ­ 13

berbunyi sebagai berikut :

"istam bhogam hi vo dava dasyate Yajnabhawitah tuir dattan aprodayani'bhyo Yo bhumkte stana eva sah" ­ Dipelihara oleh Yadnya,

para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau inginkan, Ia yang menikmati pemberian­pemberian ini, tanpa memberikan

balasan kepada­Nya adalah pencuri.

"Yajnasistasinah santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyate teti agham papa ya pacanty atmakaranat" ­ Orang­orang yang baik yang

makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan

makan bagi kepentingan sendiri adalah makan dosanya sendiri.

Dengan demikian sudah amat wajarlah setiap orang yang mengakui Kemahakuasaan Tuhan, akan berusaha berbuat segala

sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk melaksanakan Yadnya kepada­Nya.

Page 6: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 6/9

Namun apa yang paling penting dalam melaksanakan Yadnya itu adalah adanya rasa yang tulus ikhlas yang terlahir dari lubuk hati

yang paling dalam (suci ­ bersih), bukan didasarkan atas besar kecilnya yadnya yang dilaksanakan. Kutipan berikutnya

menyatakan betapa sederhananya yadnya itu boleh dilaksanakan :

"Patram puspam phlam toyam yo me bhaktya prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami prayatatmanah" ­ Siapapun dengan

kesujudan mempersembahkan kepada Ku daun, bunga, buah­buahan dan air, persembahan yang didasari dengan cinta yang

keluar dari hati yang suci, Aku terima. (Bhagawadgita, III. 28)

Memperhatikan beberapa petunjuk di atas, maka para penyungsung Pura dan umat bertekad melaksanakan dan mensukseskan

Upacāra Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan segala ketulusan hati yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian

sebuah Pujawali / Pidodalan dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :

a. Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing­masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci

2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan.

3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut­urutan:

a. Peasepan

b. Toya Anyar

c. Byakala:

a) Pengeresikan

b) Tirtha – Padma

c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah

d) Prayascitta:

a) Pengeresikan

b) Tirtha – Padma

c) Bungkak Gading – Lis Senjata

d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas

e) Pengulapan:

a). Pengeresikan

b).Tirtha – Padma

c). Bungkak Bulan – Lis

d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.

Catatan:

Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana­TamanSari­Pengempon Tirtha­ Beji­ Anglurah ­Bale Pawedaan ­ Pengraksa

Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi

Agung, Ganesha­Sanggar Tapeni­ Dapur Suci ­ Bale Kulkul –Candi Bentar­ Pemedal Agung­ Pelinggih Maya –Bale Banjar­ Bale

Gong­ Penunggu Karang­ Bale Ebat – Dapur­ Pemedal Banjar­ lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang

pengayah untuk prosesi ini.

1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah

2. Nunas Tirtha Wangsuhpada

3. Puja parama santih

b. Upacāra Ngingsah (Taman Sari/ Beji)­

Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) Pinandita memohon Tirtha 5 (Lima) Jenis dari

Taman Sari atau Beji

1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan­bahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten

2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras,

kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d.

Beras Hitam (Injin) e. Kacang­kacangan (Bija ratus)

3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat

4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan­bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)

c. Upacāra Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)­

Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) 1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan

Putih Kuning dilinggihkan di Sanggar Tapeni 2. Suci alit, Pejati, Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1 tempeh,

dibawahnya 3. Dua tempeh sukla 2, kain putih ­/+ @ 0.5 mtr, Kuangen PengErekan 11x 2, uang kepeng 108 x 2, beras yang sudah

diingsah, cili lanang­istri @ 1 buah, soda 2, canang lenga wangi 2 burat wangi 2, canang pengeraos 2, canang sari 2 4. Beras

direka menyerupai manusia laki dan perempuan (yang laki­laki oleh ditanding oleh Pria, dan yang perempuan ditanding oleh

Wanita) 5. Muspa ke hadapan Bhagawan Wiswakarma dan Bhatari Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian Upacāra

pujawali berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang bertengkar/berselisih faham dan semuanya bergembira, serta agar tidak

boros 6. Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha Pengarksa Karya dan Tirtha Panginih­inih 7. Dilanjutkan dengan membuat adonan

tepung untuk samuhan catur, suci, pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.

d. Upakāra Nunas Tirtha Ke Pura Lain

Page 7: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 7/9

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing­masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita

memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan

dengan urut­urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke

pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita

diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a). Pengeresikan b).Tirtha – Padma c). Bungkak Bulan – Lis d). Banten

Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan: Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana­TamanSari­

Pengempon Tirtha­ Beji­ Anglurah, Bale Papelik ­ Bale Pawedaan – Asagan Banten ­ Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut

(SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha­

Sanggar Tapeni­ Dapur Suci ­ Bale Kulkul –Candi Bentar­, Bale untuk Nedunang ­ Pemedal Agung­ Pelinggih Maya – Bale Banjar­

Bale Gong­ Penunggu Karang­ Bale Ebat – Dapur­ Pemedal Banjar­ lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13

orang pengayah untuk prosesi ini. Jika tidak ada kegiatan nunas tirtha ke Pura lain, maka upacara ini tidak dilaksanakan 1. Umat

diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah 2. Nunas Tirtha Wangsuhpada 3.

Puja parama santih 4. Petugas nunas Tirtha dibagikan Bumbung dan Banten.

e. Upacāra Pecaruan

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing­masing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2.

Pandita/ Pinandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan

Pelinggih disucikan dengan urut­urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten

Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata

d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan –

Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Ida pedanda Catatan:

Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana­TamanSari­Pengempon Tirtha­ Beji­ Anglurah, Bale Papelik ­ Bale Pawedaan –

Asagan Banten ­ Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA),

Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha­Sanggar Tapeni­ Dapur Suci ­ Bale Kulkul –Candi Bentar­ Caru, Bale

untuk Nedunang ­ Pemedal Agung­ Pelinggih Maya –Bale Banjar­ Bale Gong­ Penunggu Karang­ Bale Ebat – Dapur­ Pemedal

Banjar­ lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Pandita/Pinandita mapuja

ke Surya (Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita Ngundang Bhūta, diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan Tirtha Pecaruan (Byakala,

Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah Timur­Tenggara­Selatan ­ Barat Daya­ Barat­ Utara­ Tengah. 7. Pandita / Pinandita

Ngayabang Caru dibantu oleh umat (7 Orang) 8. Pandita / Pinandita Ngelukat Bhūta dibantu oleh Pinandita 9. Pralina Bhūta 10.

Nyarub Caru, dengan urut­urutan: Tirtha Caru, Nasi Caru, Sampat, Tulud, Kulkul, dilaksanakan memutar berlawanan dengan arah

jarum jam (prasawya) sebanyak 3 x diikuti Gong Bleganjur 11. Kemudian Pandita / Pinandita Mepuja dalam rangka Nedunang.

f. Upacāra Nedunang di Pañca Desa

Telajakan Wastra Putih dari Padmasana sampai Candi Bentar di atasnya berisi Canang Cari. Di Panggungan: Suci Laksana,

Daksina Gede, Pejati. Di bawah panggungan: Segehan Agung, Arak­Berem­Tuak. Perlengkapan lainnya: Peasepan, Kober,

Lontek, Tumbak, Mamas, Penuntun, Sesayut Penuntun Dewa, Sesayut Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung, Cane,

Tempat Tirtha, Rantasan, Daksina Pralingga, Tedung, Gong Bleganjur. Banten Arepan ; Peras, Daksina, Segehan, Tirtha

Panedunan dari Ida Pedanda 1. Setelah Semua Uperengga di atas berada di Pangungan, pinandita mulai ngastawa, diiringi

dengan kidung dan Gong Bleganjur a. Ngemargian Tirtha Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan Catatan: Semua

prosesi di atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari, Pangemit Tirtha, Anglurah. c. Masegeh Agung oleh pinandita d.

Tedun dari panggungan dengan melewati Panggungan dengan urut­urutan dari depan: Peasepan Penuntunan Mamas

Umbul­umbul Banten pemagpag

Banten Penuntun dewa Banten Pangiring Cane Rantasan Tempat Tirtha Daksina Pralingga Tedung Catatan: • Dari

Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga

Anglurah: Sekeha Santi, Bleganjur, umat • Point d butuh tenaga: 26 orang

g. Upacāra Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati

1, Pangulapan, Datengan, Canang Pangrawos, Masing­masing Daksina Pralingga; Soda Pemendak, Pependetan dan atau

bebarisan 1. Pinandita mepuja ngaturang banten datengan 2. Tarian papendetan 3. Memargi ke Utama Mandala menuju Bale

papelik 4. Bleganjur sampai di depan Kori Agung

h. Banten Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati

1, Masing­Masing Daksina Pralingga: banten Rayunan (Hidangan nasi, lauk, sayur, minuman menjadi 1 tempat), di bawah:

Segehan Cacahan. Setelah selesai mesandekan menuju Taman Sari Untuk Mesucian

i. Upacāra Masucian Ring Beji (Pancoran)

Suci Alit, Pejati, Ayaban Tumpeng Lima, Eteh­eteh Pasucian (sisir, cermin, minyak wangi, bedak), Masing­Masing Daksina

Pralingga; Canang Lenga Wangi, Canang Burat Wangi, Wastra (kain, handuk, sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1. Pinandita

mulai ngaturang banten bersamaan ketika Ida Bhatara Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai dari Padmasana samapi Anglurah

dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air kumkuman d. Katuran Wastra e. Sisir f. Bedak g. Minyak Wangi h. Cermin i. Masegeh

Cacahan 3. Persiapan Purwa Daksina

j. Upacāra Mapurwa Daksina

Page 8: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 8/9

1. Pinandita ngaturang Segehan Agung di depan Padmasana, Petabuh Arak­Berem­Tuak. 2. Urut­urutan Purwa Daksina:

Peasepan Penuntunan Mamas Umbul­umbul Banten pemagpag Banten Penuntun dewa Banten Pangiring Cane

Rantasan Tempat Tirtha Daksina Pralingga Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman

Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat • Selesai Purwa Daksina,

Ngelinggihan Ke masing­masing pelinggih oleh Pinandita dibantu Para Sutra

k. Upacāra Pujawali

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing­masing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2.

Panditamemohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih

disucikan dengan urut­urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading –

Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas d. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c)

Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Tirtha padudusan dari Pandita f. Tirtha Catur

Kumbha dari Pandita g. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Pandita Catatan: Semua kegiatan a – g dimulai dari Padmasana­

TamanSari­Pengempon Tirtha­ Beji­ Anglurah, Bale Papelik ­ Bale Pawedaan – Asagan Banten ­ Pengraksa Karya mulai dari sudut

Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha­Sanggar

Tapeni­ Dapur Suci ­ Bale Kulkul –Candi Bentar­ Pemedal Agung­ Pelinggih Maya –Bale Banjar­ Bale Gong­ Penunggu Karang­

Bale Ebat – Dapur­ Pemedal Banjar­ lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 16 orang pengayah untuk prosesi ini.

1. Pandita mapuja ngaturang Pujawali 2. Sembahyang bersama 3. Mejaya­jaya 4. Nunas tirtha 5. Dharma Wacana 6. Puja Parama

Santih

l. Upakāra Ngayarin:

A. Pagi Hari: (pk. 09.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan,

Tapeni, Penunggu Karang: Masing­masing, Pejati, Kopi /Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang

lainnya: masing­masing: Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar Agung,

Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing­masing,

Rayunan , di 2. Pelinggih yang lainnya masing­masing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan: Upacara Nganyarin

dilaksanakan jika pujawali / piodalannya nyejer, selama nyejer dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan umat

sembahyang. Jika pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini ditiadakan

m. Upacāra Penyineban

1. Pinandita ngaturang Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4. Nedunang Daksina Pralingga dari masing­

masing Pelinggih 5. Urut­urutan Nyineb a. Purwa Daksina: Peasepan Penuntunan Mamas Umbul­umbul Banten

pemagpag Banten Penuntun dewa Banten Pangiring Cane Rantasan Tempat Tirtha Daksina Pralingga Tedung

Salaran Tegen­tegenan Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha,

Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di Asagan 7.

Pinandita ngaturang Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha Pralina untuk Daksina Pralingga 10.

Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga 12. Puja Parama Santih 13. Meprani

n. Upacāra Ngelemekin

1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing­masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita

memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan

dengan urut­urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke

pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita

diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten

Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan: Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana­TamanSari­

Pengempon Tirtha­ Beji­ Anglurah ­Bale Pawedaan ­ Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat

Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha­Sanggar Tapeni­ Dapur Suci ­ Bale Kulkul –Candi

Bentar­ Pemedal Agung­ Pelinggih Maya –Bale Banjar­ Bale Gong­ Penunggu Karang­ Bale Ebat – Dapur­ Pemedal Banjar­ lalu

petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina Pralingga Dewi Tapeni

5. Mralina Lingga Bhagawan Wiswakarma 6. Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang bersama dan

Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10. Ngaturang Guru Dakasina kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia,

Banjar 11. Puja parama santih 12. Asah­Asih­Asuh

o. Penutup

Demikianlah pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini.

Dari uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah

melaksanakannya ? Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai Yajamana tetapi

tugas Umat Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang. Tetapi penulis yakin, apabila memang dilandasi

dengan pikiran tulus dan suci tidak ada yang tidak dapat kita lakukan, lebih­lebih demi kepentingan yang lebih besar dan untuk

kerahayuan jagat. Demikian Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih banyak kekurangannya, namun ada baiknya

untuk bahan renungan dalam usaha ngastiti kerahayuan kita bersama ­ Moksartham Jagadhita Om Santih Santih Santih Om

Page 9: Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura

9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 9/9

Copyright © 2010 Hindu Batam. Developed by IndoLiveSite