Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura
Transcript of Pengertian, Pengelompokan Dan Tata Upacara Membangun Pura
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 1/9
Isi Buku Tamu
Lihat Buku Tamu
Hindu Dharma
Pokok Keimanan Hindu
Reinkarnasi
Proses Punarbawa
Kebenaran Samsara
Yoga Marga
Moksa
Tentang Dana Punia
Catur Purusa Artha
Catur Asrama
Catur Marga
Intisari Ajaran Hindu
Banten
Hindu Dharma in Bali
Link
Pilih Disini
Sponsor
Mau pasang banner di HinduBatam?Hub Pengasuh [ Klik Disini ]
PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUNPURAI Wayan Sudarma (Shri Danu D. P)
Om Swastyastu
1. Pengertian Pura
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman
yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang
berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat
pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada
disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan
dengan Ketuhanan.
Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan........................ Sanghyang di Turuñan " yang artinya tempat suci di
Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang
Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa
Tanda.
Prasasti prasasti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe " Yumu pakatahu " yang
berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh
perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Udayana. Sejak itu prasasti prasasti memakai bahasa Jawa
Kuna dan juga kesusastraan kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa
Timur (1019 1042M) datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja
Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara
membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu
Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka Pala dan kahyangan Rwabhineda di
Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lainlainnya. Pada masing masing Desa
pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan
pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis jenis Upacāra, jenis jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana
diuraikan di dalam lontar Dewa Tattwa.
Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana istana raja disebut Keraton atau Kedaton.
Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai
di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura
artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab
Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna
Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di
Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut
Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa rupanya
penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga istilah
Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti
dengan kata Puri. Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di
Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu
itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari pahampaham keagamaan sebelum
Empu Kuturan ke paham paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan
roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.
Demikian pula bentuk bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat
juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3.
Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang
mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus
membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai
tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur.
Kendadipun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau
Bhagawadgita 9.22
Tetapi orang yang selalu menyembahKu dengan bhakti tanpa tujuan yang lain dan bersemadi pada
bentuk rohaniKuAku bawakan apa yang dibutuhkannya, dan Aku memelihara apa yang dimilikinya
HOME PURA TATTWA SUSILA UPACARA ORGANISASI MEMBER PRODUK HUBUNGI KAMI
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 2/9
kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar
dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli
berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah
dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak undak yang diduga sebagai replika
(bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem
pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersamasama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di
Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung
(Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai
alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian)
Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang
lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata.
Lebih lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah olah tampak sebagai
terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada
akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkembang
bersama sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistem kepercayaan masyarakat
Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan
sistem pemujaan dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain terlihat pada
konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang
disebut bhatara. Hal ini memberikan salah satu pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung (Mahameru) tempat pemujaan dewa
dan bhatara.
2. Pengelompokan Pura
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat
dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :
1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi
ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya
kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah
memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.
Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya
kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan
sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru)
Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya.
Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan ,
berdagang , nelayan dan lain lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.
Berdasarkan atas ciri ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas
karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
1). Pura Umum.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong
umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri
ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan
Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja
kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada
hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi
rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak,
Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lainlainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan
oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di
hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempattempat bersejarah
dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 3/9
Ada tanda tanda bahwa masing masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu:
Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang
terletak di tepi pantai laut.
Pura pura kerajaan tersebut rupa rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan
Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas
atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.
2). Pura Teritorial
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu
desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok
dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura
disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan
perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama
kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh
ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.
Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang
memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga
seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat tempat
berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang
tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru.
Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai
hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.
3). Pura Fungsional
Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang
sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah
tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak.
Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.
Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pcmujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan
pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang
disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan
pasar tersebut.
4). Pura Kawitan:
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau lcluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura
ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen.
Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing masing warga atau
kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang
merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga
mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu
keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak
anak mereka yang belum kawin .
Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat
pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas
dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan
tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang
menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan
bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga
batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk
pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek
aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :
a. Berdasarkan atas Fungsinya :
1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya
(manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu
lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 4/9
2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya:
sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman
b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:
1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala PrabhawaNya misalnya Pura Sad
Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat.
3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai
profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .
4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis)
seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.
Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan
Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha
Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan
masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.
3. Tata Upacāra Membangun Pura
a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. Upacāra ini dilaksankan sebagai Upacāra awal dalam persiapan
membangun sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis
Upacāra ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya
pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun sepelebahan pura
baru.
b. Upacāra Nyukat Karang. Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak bangunan pelinggih yang
akan didirikan, dan luas masingmasing mandala (palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan
aturan yang termuat baik dalam Asta KosalaKosali, maupun Asta Bumi.
c. Upacāra Nasarin. Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang didahului dengan Upacāra permakluman kepada
Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini ditanam sebuah
bata merah yang telah dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan
Angkara, dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang dirajah dengan aksara AngUng Mang. Lalu
dibungkus kain hitam dan diisi sebuah kuangen. Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus
dengan kain putih dan diisi kuangen.
d. Upacāra Memakuh, Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para
pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan
Upacāra pujawali, sedangkan untuk membersihkan/ mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan
berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan memperhatikan kedudukan dan
fungsi Pura masingmasing, maka akan ditentukan atas/ berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat
setempat yang telah berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih sempurna.
e. Upacāra Mendem Pedagingan. Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan dilaksanakan Upacāra Mendem
Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih
dengan Pelinggih yang lainnya tidak sama hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis
bebantennyapun juga ada yang berbeda.
Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga mengikuti isi Bhisama dari Mpu
Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru di Besakih.
Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : "Yan meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, sami
wenang mepadagingan tur mangda memargi manista, madya, utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar
salwiring prabot manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa, maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek
mas, slaka, kacang mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah, prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum
mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar. Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha
mawadah rerapetan sane mawarna putih, mwah wangiwangian setegepe, mawastra putih, rantasan sapradeg. Ring madyaning
tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi musah 2, wangiwangian setegepe. Ring puncaknya, taler
prihpih mas, slaka miwah jarum kadi ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika kandaning meru
tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista madya utama, utama jinah papendemane 11 tali, madya 8 tali,
nista 4 tali.
Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah prabot manusa genep, wangi
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 5/9
wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga, miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian
mas, slaka, nyalian mas, udang mas, getem (ketam) temaga, tanlempas mewangiwangian segenepa, mewadah rapetan putih,
metali benang catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara, pripih slaka merajah kulum, pripih
tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi mirah 2, tan sah wangiwangian setegepa mewadah rerapetan putih.
Malih korsi mas mewadah lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwirluwir padagingan ika,
kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika
wenang dadi pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng
putra potrakanya, asapunka kojarnya sami mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca mirah
korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana"
Untuk cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena telah mempergunakan bahasa Bali lumrah, sehingga telah
dapat dimengerti oleh sebagian masyarakat umat Hindu yang ada di Bali.
f. Ngenteg Linggih. Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan
sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan linggih berarti menobatkan/ menstanakan.
Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasiNya pada Pelinggih yang
dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang
bersangkutan. Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
Upacāra ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten suci 4 (empat) soroh dan banten
catur, tegentegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh) butir
yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti dilengkapi
lagi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan lainnya (menurut petunjuk Sulinggih). Pada
undakan Sanggar tawang bebantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat
peras pagenayan bertumpeng merah, ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. Pada Sanggar
tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada
rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada masingmasing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang
kayu, plawa dilengkapi pajeng, tetunggul empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan
perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng 225, benang setukel dan memakai busana
lengkap. Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000, (lima ribu), jerimpen 5
(lima) tanding, dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang.
Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah dengan plegembal. Di depan
lubang yang nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan, didepannya digelar bayingbayang (kulit) kerbau hitam,
sesajen selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteg, isuisu, kwangi.
Pada Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci putih, bebangkit dan pula kerti,
sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama
Pelinggih), berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa caru panca sanak, bayingbayang
(kulit) angsa, bebek belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan
beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri
dengan persembahyangan bersama.
Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan
petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang menjadi Manggala Upacāra saat Ngenteg Linggih
4. Upacāra Pujawali (Odalan)
Upacāra Pujawali (piodalan) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yadnya, yaitu suatu korban suci yang dilakukan
oleh umat Hindu ditujukan kehadapan Ida Hyang Widhi dan Para Dewa sekalian.
Bagi umat Hindu (etnis Bali) khususnya, korban itu berbentuk banten, banten yang menjadi salah satu bentuk persembahan ini
sesungguhnya merupakan suatu wujud nyata ungkapan rasa terima kasih yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi, terutapa
meyakinkan getarangetaran nurani bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai manusia amat tergantung daripadaNya.
Ungkapan rasa terima kasih kita kepada Hyang Widhi yang kemudian melandasi umat Hindu dalam melaksanakan Yadnya (korban
suci) itu dan sesungguhnya telah mengikuti petunjukpetunjuk Bhagawadgita (salah satu buku suci), utamanya bab II sloka 12 13
berbunyi sebagai berikut :
"istam bhogam hi vo dava dasyate Yajnabhawitah tuir dattan aprodayani'bhyo Yo bhumkte stana eva sah" Dipelihara oleh Yadnya,
para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau inginkan, Ia yang menikmati pemberianpemberian ini, tanpa memberikan
balasan kepadaNya adalah pencuri.
"Yajnasistasinah santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyate teti agham papa ya pacanty atmakaranat" Orangorang yang baik yang
makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan
makan bagi kepentingan sendiri adalah makan dosanya sendiri.
Dengan demikian sudah amat wajarlah setiap orang yang mengakui Kemahakuasaan Tuhan, akan berusaha berbuat segala
sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk melaksanakan Yadnya kepadaNya.
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 6/9
Namun apa yang paling penting dalam melaksanakan Yadnya itu adalah adanya rasa yang tulus ikhlas yang terlahir dari lubuk hati
yang paling dalam (suci bersih), bukan didasarkan atas besar kecilnya yadnya yang dilaksanakan. Kutipan berikutnya
menyatakan betapa sederhananya yadnya itu boleh dilaksanakan :
"Patram puspam phlam toyam yo me bhaktya prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami prayatatmanah" Siapapun dengan
kesujudan mempersembahkan kepada Ku daun, bunga, buahbuahan dan air, persembahan yang didasari dengan cinta yang
keluar dari hati yang suci, Aku terima. (Bhagawadgita, III. 28)
Memperhatikan beberapa petunjuk di atas, maka para penyungsung Pura dan umat bertekad melaksanakan dan mensukseskan
Upacāra Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan segala ketulusan hati yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian
sebuah Pujawali / Pidodalan dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :
a. Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masingmasing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan.
3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan uruturutan:
a. Peasepan
b. Toya Anyar
c. Byakala:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah
d) Prayascitta:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Gading – Lis Senjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas
e) Pengulapan:
a). Pengeresikan
b).Tirtha – Padma
c). Bungkak Bulan – Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.
Catatan:
Semua kegiatan a – e dimulai dari PadmasanaTamanSariPengempon Tirtha Beji Anglurah Bale Pawedaan Pengraksa
Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi
Agung, GaneshaSanggar Tapeni Dapur Suci Bale Kulkul –Candi Bentar Pemedal Agung Pelinggih Maya –Bale Banjar Bale
Gong Penunggu Karang Bale Ebat – Dapur Pemedal Banjar lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang
pengayah untuk prosesi ini.
1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah
2. Nunas Tirtha Wangsuhpada
3. Puja parama santih
b. Upacāra Ngingsah (Taman Sari/ Beji)
Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) Pinandita memohon Tirtha 5 (Lima) Jenis dari
Taman Sari atau Beji
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahanbahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras,
kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d.
Beras Hitam (Injin) e. Kacangkacangan (Bija ratus)
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahanbahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)
c. Upacāra Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)
Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) 1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan
Putih Kuning dilinggihkan di Sanggar Tapeni 2. Suci alit, Pejati, Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1 tempeh,
dibawahnya 3. Dua tempeh sukla 2, kain putih /+ @ 0.5 mtr, Kuangen PengErekan 11x 2, uang kepeng 108 x 2, beras yang sudah
diingsah, cili lanangistri @ 1 buah, soda 2, canang lenga wangi 2 burat wangi 2, canang pengeraos 2, canang sari 2 4. Beras
direka menyerupai manusia laki dan perempuan (yang lakilaki oleh ditanding oleh Pria, dan yang perempuan ditanding oleh
Wanita) 5. Muspa ke hadapan Bhagawan Wiswakarma dan Bhatari Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian Upacāra
pujawali berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang bertengkar/berselisih faham dan semuanya bergembira, serta agar tidak
boros 6. Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha Pengarksa Karya dan Tirtha Panginihinih 7. Dilanjutkan dengan membuat adonan
tepung untuk samuhan catur, suci, pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.
d. Upakāra Nunas Tirtha Ke Pura Lain
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 7/9
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masingmasing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita
memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan
dengan uruturutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke
pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita
diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a). Pengeresikan b).Tirtha – Padma c). Bungkak Bulan – Lis d). Banten
Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan: Semua kegiatan a – e dimulai dari PadmasanaTamanSari
Pengempon Tirtha Beji Anglurah, Bale Papelik Bale Pawedaan – Asagan Banten Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut
(SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha
Sanggar Tapeni Dapur Suci Bale Kulkul –Candi Bentar, Bale untuk Nedunang Pemedal Agung Pelinggih Maya – Bale Banjar
Bale Gong Penunggu Karang Bale Ebat – Dapur Pemedal Banjar lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13
orang pengayah untuk prosesi ini. Jika tidak ada kegiatan nunas tirtha ke Pura lain, maka upacara ini tidak dilaksanakan 1. Umat
diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah 2. Nunas Tirtha Wangsuhpada 3.
Puja parama santih 4. Petugas nunas Tirtha dibagikan Bumbung dan Banten.
e. Upacāra Pecaruan
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masingmasing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2.
Pandita/ Pinandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan
Pelinggih disucikan dengan uruturutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten
Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan –
Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Ida pedanda Catatan:
Semua kegiatan a – e dimulai dari PadmasanaTamanSariPengempon Tirtha Beji Anglurah, Bale Papelik Bale Pawedaan –
Asagan Banten Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA),
Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, GaneshaSanggar Tapeni Dapur Suci Bale Kulkul –Candi Bentar Caru, Bale
untuk Nedunang Pemedal Agung Pelinggih Maya –Bale Banjar Bale Gong Penunggu Karang Bale Ebat – Dapur Pemedal
Banjar lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Pandita/Pinandita mapuja
ke Surya (Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita Ngundang Bhūta, diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan Tirtha Pecaruan (Byakala,
Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah TimurTenggaraSelatan Barat Daya Barat Utara Tengah. 7. Pandita / Pinandita
Ngayabang Caru dibantu oleh umat (7 Orang) 8. Pandita / Pinandita Ngelukat Bhūta dibantu oleh Pinandita 9. Pralina Bhūta 10.
Nyarub Caru, dengan uruturutan: Tirtha Caru, Nasi Caru, Sampat, Tulud, Kulkul, dilaksanakan memutar berlawanan dengan arah
jarum jam (prasawya) sebanyak 3 x diikuti Gong Bleganjur 11. Kemudian Pandita / Pinandita Mepuja dalam rangka Nedunang.
f. Upacāra Nedunang di Pañca Desa
Telajakan Wastra Putih dari Padmasana sampai Candi Bentar di atasnya berisi Canang Cari. Di Panggungan: Suci Laksana,
Daksina Gede, Pejati. Di bawah panggungan: Segehan Agung, ArakBeremTuak. Perlengkapan lainnya: Peasepan, Kober,
Lontek, Tumbak, Mamas, Penuntun, Sesayut Penuntun Dewa, Sesayut Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung, Cane,
Tempat Tirtha, Rantasan, Daksina Pralingga, Tedung, Gong Bleganjur. Banten Arepan ; Peras, Daksina, Segehan, Tirtha
Panedunan dari Ida Pedanda 1. Setelah Semua Uperengga di atas berada di Pangungan, pinandita mulai ngastawa, diiringi
dengan kidung dan Gong Bleganjur a. Ngemargian Tirtha Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan Catatan: Semua
prosesi di atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari, Pangemit Tirtha, Anglurah. c. Masegeh Agung oleh pinandita d.
Tedun dari panggungan dengan melewati Panggungan dengan uruturutan dari depan: Peasepan Penuntunan Mamas
Umbulumbul Banten pemagpag
Banten Penuntun dewa Banten Pangiring Cane Rantasan Tempat Tirtha Daksina Pralingga Tedung Catatan: • Dari
Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga
Anglurah: Sekeha Santi, Bleganjur, umat • Point d butuh tenaga: 26 orang
g. Upacāra Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati
1, Pangulapan, Datengan, Canang Pangrawos, Masingmasing Daksina Pralingga; Soda Pemendak, Pependetan dan atau
bebarisan 1. Pinandita mepuja ngaturang banten datengan 2. Tarian papendetan 3. Memargi ke Utama Mandala menuju Bale
papelik 4. Bleganjur sampai di depan Kori Agung
h. Banten Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati
1, MasingMasing Daksina Pralingga: banten Rayunan (Hidangan nasi, lauk, sayur, minuman menjadi 1 tempat), di bawah:
Segehan Cacahan. Setelah selesai mesandekan menuju Taman Sari Untuk Mesucian
i. Upacāra Masucian Ring Beji (Pancoran)
Suci Alit, Pejati, Ayaban Tumpeng Lima, Eteheteh Pasucian (sisir, cermin, minyak wangi, bedak), MasingMasing Daksina
Pralingga; Canang Lenga Wangi, Canang Burat Wangi, Wastra (kain, handuk, sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1. Pinandita
mulai ngaturang banten bersamaan ketika Ida Bhatara Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai dari Padmasana samapi Anglurah
dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air kumkuman d. Katuran Wastra e. Sisir f. Bedak g. Minyak Wangi h. Cermin i. Masegeh
Cacahan 3. Persiapan Purwa Daksina
j. Upacāra Mapurwa Daksina
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 8/9
1. Pinandita ngaturang Segehan Agung di depan Padmasana, Petabuh ArakBeremTuak. 2. Uruturutan Purwa Daksina:
Peasepan Penuntunan Mamas Umbulumbul Banten pemagpag Banten Penuntun dewa Banten Pangiring Cane
Rantasan Tempat Tirtha Daksina Pralingga Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman
Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat • Selesai Purwa Daksina,
Ngelinggihan Ke masingmasing pelinggih oleh Pinandita dibantu Para Sutra
k. Upacāra Pujawali
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masingmasing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2.
Panditamemohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih
disucikan dengan uruturutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading –
Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas d. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c)
Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Tirtha padudusan dari Pandita f. Tirtha Catur
Kumbha dari Pandita g. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Pandita Catatan: Semua kegiatan a – g dimulai dari Padmasana
TamanSariPengempon Tirtha Beji Anglurah, Bale Papelik Bale Pawedaan – Asagan Banten Pengraksa Karya mulai dari sudut
Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, GaneshaSanggar
Tapeni Dapur Suci Bale Kulkul –Candi Bentar Pemedal Agung Pelinggih Maya –Bale Banjar Bale Gong Penunggu Karang
Bale Ebat – Dapur Pemedal Banjar lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 16 orang pengayah untuk prosesi ini.
1. Pandita mapuja ngaturang Pujawali 2. Sembahyang bersama 3. Mejayajaya 4. Nunas tirtha 5. Dharma Wacana 6. Puja Parama
Santih
l. Upakāra Ngayarin:
A. Pagi Hari: (pk. 09.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan,
Tapeni, Penunggu Karang: Masingmasing, Pejati, Kopi /Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang
lainnya: masingmasing: Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar Agung,
Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masingmasing,
Rayunan , di 2. Pelinggih yang lainnya masingmasing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan: Upacara Nganyarin
dilaksanakan jika pujawali / piodalannya nyejer, selama nyejer dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan umat
sembahyang. Jika pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini ditiadakan
m. Upacāra Penyineban
1. Pinandita ngaturang Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4. Nedunang Daksina Pralingga dari masing
masing Pelinggih 5. Uruturutan Nyineb a. Purwa Daksina: Peasepan Penuntunan Mamas Umbulumbul Banten
pemagpag Banten Penuntun dewa Banten Pangiring Cane Rantasan Tempat Tirtha Daksina Pralingga Tedung
Salaran Tegentegenan Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha,
Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di Asagan 7.
Pinandita ngaturang Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha Pralina untuk Daksina Pralingga 10.
Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga 12. Puja Parama Santih 13. Meprani
n. Upacāra Ngelemekin
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masingmasing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita
memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan
dengan uruturutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke
pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita
diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten
Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan: Semua kegiatan a – e dimulai dari PadmasanaTamanSari
Pengempon Tirtha Beji Anglurah Bale Pawedaan Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat
Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, GaneshaSanggar Tapeni Dapur Suci Bale Kulkul –Candi
Bentar Pemedal Agung Pelinggih Maya –Bale Banjar Bale Gong Penunggu Karang Bale Ebat – Dapur Pemedal Banjar lalu
petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina Pralingga Dewi Tapeni
5. Mralina Lingga Bhagawan Wiswakarma 6. Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang bersama dan
Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10. Ngaturang Guru Dakasina kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia,
Banjar 11. Puja parama santih 12. AsahAsihAsuh
o. Penutup
Demikianlah pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini.
Dari uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah
melaksanakannya ? Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai Yajamana tetapi
tugas Umat Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang. Tetapi penulis yakin, apabila memang dilandasi
dengan pikiran tulus dan suci tidak ada yang tidak dapat kita lakukan, lebihlebih demi kepentingan yang lebih besar dan untuk
kerahayuan jagat. Demikian Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih banyak kekurangannya, namun ada baiknya
untuk bahan renungan dalam usaha ngastiti kerahayuan kita bersama Moksartham Jagadhita Om Santih Santih Santih Om
9/21/13 PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA
www.hindubatam.com/upacara/dewa-yadnya/tata-upacara.html 9/9
Copyright © 2010 Hindu Batam. Developed by IndoLiveSite