Pengertian Asas Legalitas

10
1. Pengertian asas legalitas Telah dijelaskan bahwa dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakuakan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar ini mengenai dipertanggungjawabankannnya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Criminal Responbility/Criminal liability). Namun sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidana itu sendiri, mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya asas ini dikenal dengan nullum delictum uulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu) Dalam sejarahnya tidak menunjukkan perubahan hukum pidana pada abad ke-18 dulu bahwa keseluruhan masalah hukum pidana harus ditegaskan dengan suatu undang-undang. Ucapan nullum delictum uulla poena sine praevia lege ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: lehrbnuch des pein leichen recht. Biasanya asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu: 1.Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan-aturan undang-undang. 2.Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi 3.Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut. Pengertian pertama, bahwa harus aturan-aturan undang-undang jadi aturan hukum tertulis yang terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam P. 1 KUHP dimana dalam teks belanda disebutkan wettijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini kosekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah diajukan bahwa hukum pidana adat masih belak, walaupun untuk orang- orang tertentu dan sementara saj. P. 14 A. 2 dijelaskan “tidak seorang taupun dituntut untuk dihukum atau dijatuhi humuman kecuali

description

Asas Legalitas

Transcript of Pengertian Asas Legalitas

1. Pengertian asas legalitasTelah dijelaskan bahwa dasar pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakuakan perbuatan pidana adalah norma yang tidak tertulis yakni tidak dipidana jika ada kesalahan. Dasar ini mengenai dipertanggungjawabankannnya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya (Criminal Responbility/Criminal liability). Namun sebelum itu, mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidana itu sendiri, mengenai criminal act juga ada dasar yang pokok yaitu asas legalitas yaitu asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan. Biasanya asas ini dikenal dengan nullum delictum uulla poena sine praevia lege (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu) Dalam sejarahnya tidak menunjukkan perubahan hukum pidana pada abad ke-18 dulu bahwa keseluruhan masalah hukum pidana harus ditegaskan dengan suatu undang-undang. Ucapan nullum delictum uulla poena sine praevia lege ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana jerman (1775-1833). Dialah yang merumuskannya dalam pepatah latin tadi dalam bukunya: lehrbnuch des pein leichen recht.Biasanya asas-asas ini mengandung tiga pengertian, yaitu:1.Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan-aturan undang-undang.2.Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi3.Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.Pengertian pertama, bahwa harus aturan-aturan undang-undang jadi aturan hukum tertulis yang terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam P. 1 KUHP dimana dalam teks belanda disebutkan wettijke strafbepaling yaitu aturan pidana dalam perundangan. Tetapi dengan adanya kekuatan ini kosekuensinya adalah bahwa perbuatan-perbuatan pidana menurut hukum adat tidak dapat dipidana, sebab disitu tidak ditentukan dengan aturan yang tertulis. Padahal diatas telah diajukan bahwa hukum pidana adat masih belak, walaupun untuk orang-orang tertentu dan sementara saj. P. 14 A. 2 dijelaskan tidak seorang taupun dituntut untuk dihukum atau dijatuhi humuman kecuali karena aturan hukum yang sudah ada dan berlaku terhadapnya. Karena yang dipakai disini adalah istilah aturan hukum, maka dapat meliputi aturan-aturan yang tertulis maupun tidak tertulis. Bahwa dalam menentukan atau adanya atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi pada umumnya masih dipakai dalam kebanyakan Negara.Menurut Mulyatno batas antara tafsiran extensief dan analogi dapat ditentukan sebagai berikut:Dalam tafsiran extensief kita berpegang kepada aturan yang ada. Disitu ada perkataan yang kita beri arti menurut makna yang hidup dalam masyarakat sekarang, tidak menurut maknanya pada waktu undang-undang yang dibentuk. Dalam menggunakan analogi, pangkal pendirian kita ialah: bahwa perbuatan yang menjadi soal itu tidak bisa dimasukkan dalam aturan yang ada. Sesungguhnya jika jika digunakan analogi, yang dibuat untuk menjadikan perbuatan pidana pada satu perbuatan yang tertentu, bukan lagi aturan yang ada, tapi ratio, maksud, inti dari aturan yang ada.Ada perbedaan yang besar diantara keduanya ini, yaitu yang pertama masih tetap berpegang pada bunyinya aturan, semua kata-katanya masih diturut, hanya ada perkataan yang tidak lagi diberi makna seperti pada waktu penggunaannya: karena itu masih dinamakan interprestasi, dan seperti hlanya dengan cara interprestasi yang lain, selalu diperlukan dalam menggunakan undang-undang. Yang kedua sudah tidak berpegang kepada aturan yan ada lagi, melainkan pada inti, ratio dari padanya. Karena ini bertentangan dengan asas legalitas, sebab asas ini mengharuskan adanya suatu aturan

sebagai dasar Intepretasi = Menjalankan undang-undang setelah undang-undang tersebut dijelaskan.Analogi = Menjelaskan suatu perkara dengan tidak menjalankan undang-undangInterpretasi = Menjalankan kaidah tersebut untuk menyelesaikan perkara yang tidak disinggung oleh kaidah, tetapi yang mengundang kesamaan dengan perkara yang disinggung kaidah tersebut .Roeslan Saleh mengatakan bahwa asas legalitas mempunyai 3 dimensi, ialah dapat disebutkan sebagai berikut:1. Dimensi Politik HukumArti politik hukum dari syarat ini adalah perlindungan terhadap anggota masyarakat dari tindakan sewenang-wenang pihak pemerintah.2.Dimensi PolitikWalaupun feurbach disebut sebagai peletak dasar dari teori paksaan psyichologis, yang berpendapat bahwa kriminalitas harus dicegah dengan jalan suatu paksaan psikologis yang ditimbulkan oleh rumusan-rumusan delik dalam undang-undang dan ancaman-ancaman yang dilekatkan dalam undang-undang.3. Dimensi OrganisasiC.F. letrosne Pernah mengatakan: undang-undang pidana kita bertebaran dimana-mana. Kita bahkan tidak tau dimana kita harus menemukannya. Tetapi bagaimana kita menemukannya. Tetapi bagaimana kita mengetahui dan menerapkannya, jika kita bahkan tidak tau dimana menemukannnya? Ucapan letrosne ini menunjukkan segi pragmatis dari asas legalitas, letrosne berpendapat, bahwa tidak jelasnya perundang-undangan pidana: rumusan yang samar dan tidak ada batasan yang tegas dari amsing-masing wewenang dalam acara pidana mengakibatkan banyak sekali kehajatan yang tidak dipidanaAsas legalitas dikaitkan dengan peradilan pidana mengharapkan lebih banyak lagi dari pada hanya akan melindungi warga masyarakat dari kesewenag-wenangan pemerintah. Asas legalitas itu diharapkan memainkan peranan yang lebih positif. Dia ditangani suatu sistem hukum pidana yang sudah tidak dapat dipakai lagi. Peradilanlah yang terutama sekali dirasakan kegawatannya sebagai aspek dari asas legalitas itu .Menurut asas legalitas yang sekarang yang berlaku, bahwa untuk menjatuhkan pidana/sanksi kepada seorang, disyaratkan bahwa perbuatannya atau peristiwa yang diwujudkannya harus terlebih dahulu dilarang atau diperintahkan oleh peraturan hukum pidana tertulis dan terhadapnya telah ditetapkan oleh peraturan pidana atau sanksi hukum. Dengan kata lain harus ada peraturan huku pidana (strafrechtsnorm) dan peraturan pidana (strafnorm) lebih dahulu daripada perbuatan/peristiwa, sekalipun perbuatan sangat tercela, tapi kalau tak ada peraturan hukumnya, maka orang yang melakukan/mewujudkannya tak boleh jatuhi pidanan. Jadi sifat melawan hukum yang materieel harus dilengkapi dengan sifat melawan hukum yang formeel.2. Dasar Asas LegalitasAsas legalitas tercantum didalam P.1. A.1 KUHP yang berbunyi: Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakuakan .Yang dimaksud dengan asas legalitas yaitu tak ada pelanggaran dan tak ada hukuman sebelum adanya undang-undang yang mengaturnya, asas legalitas pada hukum pidana Islam ada tiga cara dalm menerapkannya, yaitu:1. Pada hukuman-hukuman yang sangat gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan dan ketentraman masyarakat asas legalitas dilaksanakan dengan teliti sekali sehingga tiap-tiap hukuman dicantumkan hukumannya satu persatu.

2. Pada hukuman-hukuman yang tidak begitu berbahaya, syara memberikan memberikan kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman,. Syara hanya menyediakan sejummlah hukuman untuk dipilih oleh hakim, yaitu dengan hukuman yang sesui bagi peristiwa pidana yang dihadapinya.3. Pada hukuman-hukuman yang diancamkan hukuman untuk kemaslahatan umum, syara memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi penentuan macamnya hukuman.Adapun pada hukum pidana positif cara penerapan asas legalitas untuk semua hukuman adalah sama yaitu suatu hal yang menyebabkan timbulnya kritikan-kritikan terhadapnya. Pada mulanya hukum pidana positif memakai cara pertama (dalam hukum pidana Islam) untuk semua perbuatan pidana, namun hal ini menyebabkan para hakim tidak mau menjatuhkan hukuman berat terhadap perbutan yang tidak gawat setelah mereka mengingat aturan-aturan pidana yang termasuk kejahatan dan yang termasuk pelanggaran. Dengan demikian hukum pidana positif mengambil cara yang kedua (dalam hukum pidana Islam) yaitu dengan mempersempit kekuasaan hakim dalam memilih hukuman dan dalam menentukan tinggi rendahnya hukuman yang diterapkan secara umum.Perbedaan asas legalitas yang ditinjau dari hukum pidana Islam ataupun hukum pidana positif adalah pada dasarnya hukum pidana Islam menentukan jenis hukuman secara jelas, hakim tidak mungkin untuk menciptakan hukuman dari dirnya sendiri, sebaliknya pada hukum pidana positif tiap perbuatan pidana disediakan satu atau dua macam hukuman yang mempunyai batas yang tertinggi dan batas terendah sehingga hakim dapat menjatuhkan dua hukuman, atau satu hukuman yang terletak antara kedua batas tersebut.Dari segi penerapannya, asas legaluitas pada hukum pidana Islam telah diterapkan sejak Al-Quran diturunkan, sedangkan asas legalitas pada hukum pidana positif diterapkan pada abad ke-18 yaitu sesudah Revolusi Perancis

2. PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA1. Pengertian Kemampuan Bertanggung jawab(Zurechnungsfahigkeit Toerekeningsvatbaarheid)Telah disebutkan, bahwa untuk adanya pertanggung-jawab pidana diperlukan syarat bahwa pelaku mampu bertanggung jawab. Tidaklah mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila ia tidak mampu bertanggung jawab.Bilamana seseorang itu dikatakan mampu bertanggung-jawab ? Apakah ukurannya untuk menyatakan adanya kemampuan bertanggung jawab itu ? KUHP tidak memberikan rumusannya. Dalam literatur hukum pidana Belanda dijumpai beberapa definisi untuk kemampuan bertanggung jawab.Simons : kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai suatu keadaan psychis sedemikian, yang membenarkan adanya penerapan sesuatu upaya pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun dari orangnya.Dikatakan selanjutnya, bahwa seseorang mampu bertanggung jawab, jika jiwanya sehat, yakni apabila :a. Ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukumb. Ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan kesadaran tersebut.Van Hamel : kemampuan bertanggung jawab adalah suatu keadaan normalitas psychis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa 3 kemampuan :a. Mampu untuk mengerti nilai dari akibat-akibat perbuatannya sendirib. Mampu untuk menyadari, bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat tidak dibolehkanc. Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatannya-perbuatannya ituVan Bemmelen : seseorang yang dapat dipertanggung-jawabkan ialah orang yang dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut.Definisi van Bemmelen ini singkat, akan tetapi juga kurang jelas, sebab masih dapat ditanyakan kapankah seseorang itu dikatakan dapat mempertahankan hidupnya dengan cara yang patut ?Adapun Memorie van Toelichting (memori penjelasan) secara negative menyebutkan mengenai kemampuan bertanggung jawab itu, antara lain demikian :Tidak ada kemampuan bertanggung jawab pada sipelaku :a. Dalam hal ia tidak ada kebebasan untuk memilih antara berbuat dan tidak berbuat mengenai apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang.b. Dalam hal ia ada dalam suatu keadaan yang sedemikian rupa, sehingga tidak dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu bertentangan dengan hukum dan tidak dapat menentukan akibat perbuatannya.Definisi-definisi tersebut memang ada manfaatnya, tetapi untuk setiap kali dalam kejadian yang kongkrit dalam praktek peradilan menilai jiwa seorang terdakwa dengan ukuran-ukuran tadi tidaklah mudah. Sebagai dasar untuk mengukur hal tersebut, apabila orang yang normal jiwanya itu mampu bertanggung jawab, ia mampu untuk menilai dengan pikiran atau perasaannya bahwa perbuatannya itu dilarang oleh undang-undang dan berbuat sesuai dengan pikiran atau perasaannya itu.Dalam persoalan kemampuan bertanggung jawab itu ditanyakan apakah seseorang itu merupakan norm-adressat (sasaran norma), yang mampu. Seorang terdakwa pada dasarnya dianggap (supposed) mampu bertanggung jawab, kecuali dinyatakan sebaliknya (lihat pembahasan tentang dasar-dasar penghapus pidana).[footnoteRef:1] [1: http://mahathir71.blogspot.com/2012/04/kesalahan-dan-pertanggungjawaban-pidana.html]

3.UNSUR-UNSUR TINDAK PIDANADalam menjabarkan suatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka akan dijumpai suatu perbuatan atau tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan suatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.Unsursubjektifadalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsurobjektifadalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan di mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus di lakukan[2].1.Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:oKesengajaan atau ketidaksengajaan (dolusatauCulpa).oMaksud atauVoornemenpada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP.oMacam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain.oMerencanakan terlebih dahulu atauvoorbedachte raadseperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP.oPerasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut Pasal 308 KUHP.2.Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:oSifat melanggar hukum atauwederrechtelicjkheidoKualitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.oKausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut[3]:oDiancam dengan pidana oleh hukumoBertentangan dengan hukumoDilakukan oleh orang yang bersalahoOrang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

B.JENIS-JENIS TINDAK PIDANATindak pidana dapat dibedakan atas dasar-dasar tertentu, yaitu sebagai berikut :1)Kejahatan dan PelanggaranDalam WvS Belanda, terdapat pembagian tindak pidana antara kejahan dan prlanggaran. Untuk yang pertama biasa disebur dengan rechtdelicten dan untuk yang kedua disebut denganwetsdelicten.(Simons 1992 : 138)Disebut denganrechtdelictenatau tindak pidana hukum yang artinya yaitu sifat tercelanya itu tidak semata-mata pada dimuatnya dalam UU melainkan memenag dasarnya telah melekat sifat terlarang sebelum memuatnya dala rumusan tindak pidana dalam UU. Walaupun sebelum dimuat dalam UU [ada kejahatan mengandung sifat tercela (melawan hukum), yakni pada masyarakat, jadi melawan hukum materiil, Sebaliknya wetsdelicten sifat tercelanya itu suatu perbuatan itu terletak pada setelah dimuatnya sebagai demikian dalam UU. Sumber tercelanyawetsdelictenadalah undang-undang[4]. Dasar pembedaan antara kejahatn dan pelanggaran yang pasti jenis pelanggaran itu lebih ringan daripada kejahatan. Hal ini dapat diketahui dalam ancaman pidana pada pelanggaran tidak ada yang diancam dengan pidana penjara, tetapi berupa pidana kurungan denda, sedangkan kejahatan lebih didominasi dengana ancaman pidana penjara.2)Delik formil dan delik mateeriilDelik formula adalah tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga memberikan arti bahwa inti larangan yang dirumuskan adalah melakukan suatu perbuatan tertentu. Perumusan tindak pidana formil tidak membutuhkan dan memperhatikan timbulnya suatu akibat tertentu dari perbuatan yang sebagai syarat penyelesaian tindak pidana, melainkan semata-mata pada perbuatannya. Misalnya pada pencurian (Ps. 369) untuk selesainya pencurian bergantung pada selesainya perbuatan.Sebaliknya, tindak pidana materiil inti larangan adalah pada timbulnya akibat yang dilarang. Oleh karena itu siapa yang menimbulkan akibat dilarang. Oleh karena itu, siapa yang menimbulkan akibat yang dilarang itulah yang dipertanggungjawabkan dan dipidana. Misalnya pada pembunuhan (Ps 338), inti larangan adalah menghilangkan nyawa seseorang, dan bukan pada menenbak, membacok, atau memukul. Untuk selesainya perbuatan digantungkan pada timbulnya akibat dan bukan pada selesainya wujud perbuatan.3)Delikdolusdan delikculpaTindak pidana sengaja(dolus)adalah tindak pidana yang dalam rumusannya dilakukan dengan kesengajaan atau mengandung unsur kesengajaan. Di samping tindak pidana yang tegas unsur kesengajaan itu dicantumkan dalm pasal, misalnya ps. 362 (maksud), 338 (sengaja), 480 ( yang diketahui).Sedangkan tindak pidana kelalaian(culpa)adalah tindak pidana yang dalam rumusannya mengandung unsur culpa (lalai), kurang hati-hati dan tidak karena kesengajaan. Tindak pidana yang mengandung unsur culpa ini misalnya, Pasal 114, 359, 360.Dalam suatu rumusan tindak pidana tertentu adakalanya kesengajaan dan culpa dirumuskan secara bersamaan (ganda), maksudnya ialah dapat berwujud tindak pidana sengaja dan dapat culpa sebagai alternatifnya. Misalnya unsur yang diketahui atau sepatutnya harus diduga (ps 418, 480). Dilihat dari unsur kesalahnnya di sini, ada dua tindak pidana, yatiu yang satu adalah tindak pidana sengaja dan yang lain adalah tindak pidana culpa, yang ancamannya sama atau kedua tindak pidana ini dinilai sama beratnya.4)Tindak Pidana aktif(Delik commisionis)dan Tindak Pidana PasifTindak pidana aktif adalah tindak pidana yang perbuatannya berupa perbuatan aktif (positif). Perbuatan aktif adalah perbuatan yang untuk mewujudkannya disyaratkan adanya gerakan dari anggota tubuh orang yang berbuat.Berbeda dengan tindak pasif, dalam tindak pidana pasif ada suatu kondisi dan atau keadaan tertentu yang mewajibkan seseorang dibebani hukum untuk berbuat tertentu yang mewajibkan hukum untuk berbuat tertentu yang apabila ia tidak melakukan perbuatan itu, ia telah melanggar kewajiban hukumnya tadi.Tindak pidana pasif ada dua macam, yaitu tindak pidana pasif murni dan tindak pidana pasif tidak murni disebut dengan delicta commissionis per omissionem. Tindak pidana pasif murni adalah adalah tindak pidana yang secara formil atau tindak pidana yang pada dasarnya semata-mata unsurperbuatannya adalah berupa perbuatan pasif, misalnya pasal 224, 304, 522. Tindak pidana pasif yang tidak murni berupa tindak pidana yang pada dasarnya adalah tindak pidana positif tetapi dilakukan dengan cara tidak berbuat aktif, misalnya pada pembunuhan 338 tetapi jika akibat matinya itu disebabkan karena seseorang tidak berbuat sebagaimana kewajibannya.5)Tindak Pidana Terjadi Seketika dan Tindak Pidana Berlangsung TerusTindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga untuk terwujudnya atau terjadinya dalam waktu seketika atau waktu singkat saja disebut juga aflopende delicten Misalnya jika perbuatan itu selesai tindak pidana itu menjadi selesai secara sempurna. Sebaliknya tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga terjadinya tindak pidana itu berlangsung lama, yakni setelah perbuatan tiu dilakukan, tindak pidana itu berlangsung terus yang disebut juga dengan voortdurende delicten. Misalnya pada pasal 329,330, 331, 333, dan 334. Seperti pasal 333, perampasan kemerdekaan itu berlangsung, tidak selesai seketika, bahkan sangat lama, dan akan terhenti setelah korban dibebaskan.6)Tindak Pidana Khusus dan Tindak Pidana UmumTindak pidana umum adalah semua tindak pidana yang dimuat dalam KUHP sebagai kodifikasi hukum pidana materiil (buku II dan III KUHP). Sementara tindak pidana khusu adalah semua tindak pidana yang terdapat dalam luar yang terdapat di luar kodifikasi tersebut. Misalnya tindak pidana korupsi (UU No.31 th 1999), tindak pidana psikotropika (UU No. 5 th 1997), tindak pidana perbankan (UU no. 10/1998), tindak pidana narkotika (UU No. 22 Th. 1997).7)Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya / peringannya(eenvoudigedangequalificeerde / geprevisilierde delicten)Delik yang ada pemberatannya, misal : penganiayaan yang menyebabkan luka berat atau matinya orang (pasal 351 ayat 2, 3 KUHP), pencurian pada waktu malam hari dsb. (pasal 363). Ada delik yang ancaman pidananya diperingan karena dilakukan dalam keadaan tertentu, misal : pembunuhan kanak-kanak (pasal 341 KUHP). Delik ini disebut geprivelegeerd delict. Delik sederhana; misal : penganiayaan (pasal 351 KUHP), pencurian (pasal 362 KUHP).8)Tindak Biasa dan Tindak Pidana AduanTindak pidana biasa yang dimaksudkan ini adalah tindak pidana yang untuk dilakukannya penuntutan pidana terhadap pembuatnya tidak disyaratkanadanya pengaduan bagi yang berhak. Sebagian besar tindak pidana adalah tindak pidana biasa yang dimaksudkan ini.Tindak pidana aduan adalah tindak pidana yang untuk dapatnya dilakukan penuntutan pidana disyaratkan untuk terlebih dulu adanya pengaduan oleh yang berhak mengajukan pengaduan, yakni korban atau wakilnya dalam perkara perdata (ps. 72) atau keluarga tertentu dalam hal tertentu (ps. 73). Atau orang yang diberi kuasa khusus untuk pengaduan oleh yang berhak.[footnoteRef:2] [2: http://sirkulasiku.blogspot.com/2013/05/unsur-unsur-tindak-pidana.html]