PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

15
PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI PEGUNUNGAN TENGGER LERENG ATAS: ADAPTASI PETANI MELALUI SISTEM WARIS Anik Susanti * Tulisan ini akan membahas mengenai adaptasi masyarakat pedesaan melalui sistem waris sebagai upaya dalam merespon tekanan penduduk pada lahan pertanian. Jumlah lahan pertanian yang tersedia cenderung terus berkurang, sedangkan jumlah tenaga kerja di pedesaan cenderung terus bertambah. Akibatnya, pedesaan mengalami surplus tenaga kerja. Padahal lahan pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang paling utama dan tidak tergantikan khususnya pada usaha tani yang bersifat land-based agriculture. Isu pemilikan dan penguasaan lahan bukanlah hal yang baru di bidang kajian sosiologi. Meskipun demikian, isu ini tetap penting untuk diteliti karena terkait dengan penyebaran pendapatan dan diferensiasi masyarakat pedesaan. Walaupun jumlah penduduk di Jawa semakin bertambah dan sumberdaya semakin langka, namun tidak seperti di negara-negara berkembang lainnya, di pedesaan Jawa masyarakat tidak terkutub menjadi sekelompok tuan tanah dan sekelompok hamba tani. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan dapat melakukan adaptasi untuk merespon tekanan yang timbul akibat peningkatan jumlah penduduk terhadap keterbatasan lahan. Kata kunci: pengendalian dan penguasaan lahan, sistem waris, adaptasi, petani This paper attempts to explain how rural adaptation to the increase of population and limitation of land through their system of inheritance. Land ownership and control have been a long-standing issue within sociological studies. Nevertheless, they remain relevant today. Distribution of wealth and societal differentiation in this case are closely related to social differentiation in rural areas, in which the number of * Anik Susanti, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Email: [email protected]. © Anik Susanti, 2017 Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 49-63. Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA): Susanti, Anik. 2017. “Pengendalian dan Pengusaan Lahan Pertanian di Pegunungan Tengger Lereng Atas: Adaptasi Petani Melalui Sistem Waris,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1(1):49-63. DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2017.001.1.05

Transcript of PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Page 1: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI PEGUNUNGAN TENGGER LERENG ATAS: ADAPTASI PETANI MELALUI SISTEM WARIS

Anik Susanti* Tulisan ini akan membahas mengenai adaptasi masyarakat pedesaan melalui sistem waris sebagai upaya dalam merespon tekanan penduduk pada lahan pertanian. Jumlah lahan pertanian yang tersedia cenderung terus berkurang, sedangkan jumlah tenaga kerja di pedesaan cenderung terus bertambah. Akibatnya, pedesaan mengalami surplus tenaga kerja. Padahal lahan pertanian merupakan salah satu faktor produksi yang paling utama dan tidak tergantikan khususnya pada usaha tani yang bersifat land-based agriculture. Isu pemilikan dan penguasaan lahan bukanlah hal yang baru di bidang kajian sosiologi. Meskipun demikian, isu ini tetap penting untuk diteliti karena terkait dengan penyebaran pendapatan dan diferensiasi masyarakat pedesaan. Walaupun jumlah penduduk di Jawa semakin bertambah dan sumberdaya semakin langka, namun tidak seperti di negara-negara berkembang lainnya, di pedesaan Jawa masyarakat tidak terkutub menjadi sekelompok tuan tanah dan sekelompok hamba tani. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan dapat melakukan adaptasi untuk merespon tekanan yang timbul akibat peningkatan jumlah penduduk terhadap keterbatasan lahan. Kata kunci: pengendalian dan penguasaan lahan, sistem waris, adaptasi, petani This paper attempts to explain how rural adaptation to the increase of population and limitation of land through their system of inheritance. Land ownership and control have been a long-standing issue within sociological studies. Nevertheless, they remain relevant today. Distribution of wealth and societal differentiation in this case are closely related to social differentiation in rural areas, in which the number of

* Anik Susanti, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya. Email: [email protected]. © Anik Susanti, 2017 Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya, Vol. 1, No. 1, 2017, hlm. 49-63. Cara mengutip artikel ini, mengacu gaya selikung American Sociological Association (ASA): Susanti, Anik. 2017. “Pengendalian dan Pengusaan Lahan Pertanian di Pegunungan Tengger Lereng Atas: Adaptasi Petani Melalui Sistem Waris,” Jurnal Kajian Ruang Sosial-Budaya 1(1):49-63. DOI: 10.21776/ub.sosiologi.jkrsb.2017.001.1.05

Page 2: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Susanti

50

agricultural land tends to be inversely proportional to population growth. The population surplus consecutively causes a surplus of human resources. Human resources increase while land decreases. Despite the importance of human resource, land is an essentially important factor in agriculture. In land-based agriculture system, land determines whether the family can farm from generation to generation. Within such system, land is irreplaceable. Landowners will occupy the high place in the village’s social class, while no-land peasants will be forced in poverty. The high number of peasants in a village is one of the signs of impoverishment. Despite the increase of population and scarcity of resources in Java, its rural areas inhabitants are not rigidly polarized into landowners and peasants, which sets the island apart from other places in other developing countries. This signifies that rural inhabitants in Java could adapt to the pressure of population growth on land scarcity. Keywords: land ownership and control, system of inheritance, adaptation, farmers

Pendahuluan Lahan pertanian merupakan aset yang paling penting bagi kaum tani.

Ketersediaan lahan garapan menjadi syarat mutlak bagi usaha tani yang bersifat land base agricultural karena lahan sebagai faktor produksi utama yang tidak dapat tergantikan (Setiawan 2006). Namun, peningkatan jumlah penduduk di pedesaan seringkali tidak didukung oleh ketersediaan lahan pertanian. Pernyataan tersebut sejalan dengan yang disampaikan der Kroef (dalam Tjondronegoro dan Wiradi 1984) mengenai masalah kelebihan penduduk agraris yaitu terdapatnya surplus tenaga kerja manusia dibanding dengan tersedianya lahan pertanian. Akibatnya, barang siapa yang memiliki atau menguasai lahan, mereka akan memperoleh rezeki nomplok. Sebaliknya, barang siapa yang tidak memiliki atau menguasai lahan akan semakin mengalami tekanan hidup atau kemiskinan (Fauzi 1999).

Tanda dari kemiskinan pedesaan terlihat dari kenyataan semakin tingginya proporsi tunakisma dan petani gurem dalam distribusi penguasaan lahan. Seperti yang ditunjukkan Wiradi dan Makali (dalam Marzali 2003) bahwa distribusi pemilikan lahan sangat timpang dengan indeks gini di atas 0,60. Lebih lanjut, kedua peneliti ini memberikan contoh kasus di Desa Wargabinangun bahwa 73% rumah tangga adalah tunakisma, tetapi di pihak lain 12% rumah tangga memiliki 90% dari luas sawah di desa itu. Sejalan dengan temuan tersebut, Marzali (2003) telah terlebih dahulu menemukan contoh kasus di desa-desa di daerah aliran Sungai Cimanuk, misalnya pada tahun 1905 terdapat 36% rumah tangga tunakisma. Sedangkan dari seluruh rumah tangga pemilik lahan, 65% adalah petani gurem yang

Page 3: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Pengendalian dan Penguasaan Lahan Pertanian di Tengger Atas

51

memiliki lahan kurang dari 0,7 hektar. Inilah yang disebut sebagai gejala kekurangan lahan garapan.

Pembahasan mengenai isu pemilikan dan penguasaan lahan bukanlah hal baru. Namun, isu ini penting untuk dilakukan mengingat secara sosiologis ada hubungannya dengan penyebaran pendapatan dan diferensiasi masyarakat pedesaan. Sudah banyak dilakukan penelitian dengan tema pemilikan dan penguasaan lahan pertanian. White dan Wiradi (dalam Marzali 2003) menaruh perhatian pada dinamika pola-pola penguasaan lahan yang berimplikasi pada relasi sosial ekonomi dan politik antar manusia. Walaupun jumlah penduduk di Jawa semakin bertambah dan sumberdaya semakin langka, namun tidak seperti di negara-negara berkembang lainnya, masyarakat desa di Jawa tidak terkutub menjadi sekelompok tuan tanah dan sekelompok hamba tani karena adanya kebiasaan berbagi rezeki, walaupun rezeki itu sendiri memang sudah kurang. Dengan ungkapan lain, masyarakat pedesaan dapat melakukan adaptasi untuk merespon tekanan penduduk pada lahan. Bagaimana bentuk-bentuk adaptasi masyarakat pedesaan dalam merespon tekanan penduduk pada lahan pertanian?

Bentuk-bentuk Adaptasi Masyarakat Pedesaan akibat Tekanan Penduduk pada Lahan Pertanian

Beberapa penelitian berhasil mengidentifikasi pola bentuk-bentuk adaptasi masyarakat pedesaan akibat tekanan jumlah penduduk pada lahan pertanian. Jika Boserup melihat peningkatan jumlah penduduk secara evolusi akan diikuti oleh makin kompleksnya organisasi ekonomik yaitu pembagian kerja dan penggunaan teknologi yang lebih canggih. Akan tetapi, kondisi ini bertolak belakang dengan apa yang ditemukan oleh Boeke pada masyarakat Jawa yaitu gejala pertumbuhan penduduk yang begitu kentara, tidak diiringi oleh evolusi apa pun juga. Boeke (1953, dalam Marzali 2003) tidak menyangkal adanya perkembangan pada masyarakat pedesaan Jawa, namun perkembangan itu lebih bersifat sosial daripada ekonomik.

Bagi petani pedesaan Jawa dan Madura keperluan sosial terasa lebih utama daripada keperluan ekonomik. Petani Jawa dan Madura bekerja di sawah bukan untuk mencari keuntungan, tetapi sekedar untuk mencukupi keperluan hidup sehari-hari keluarganya yang sederhana. Apalah arti dan tujuan hidup ini kalau bukan untuk mencapai ketenangan dan kepuasan batin. Mengejar harta dan

Page 4: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Susanti

52

keuntungan materi, sama seperti minum air laut. Makin diminum makin haus. Nilai dan sikap seperti ini tidak sepantasnya dianut oleh Orang Jawa yang bijaksana. Nilai dan sikap yang semacam ini disebut oleh Boeke dengan istilah limited needs. Karena itulah mereka tidak pernah maju dan mencapai kemakmuran. Sementara itu, jumlah penduduk Jawa terus bertambah. Dengan sistem pewarisan yang boleh dikatakan sama rata untuk setiap anak, pertumbuhan penduduk ini jelas akan menghasilkan penurunan luas lahan pertanian milik setiap keluarga, yang pada gilirannya menimbulkan kemiskinan pedesaan. Apabila situasi ini terjadi pada Orang Jawa yang berideologi limited needs itu, maka mereka akan beradaptasi dengan static expansion yaitu memperluas daerah pertanian, namun tetap dengan tingkat teknologi dan sistem pembagian kerja semula. Sebagian dari mereka pindah dari daerah asal yang sudah padat untuk membuka lahan pertanian dan desa baru dari hutan-hutan di sekitar desa lama. Di permukiman baru ini para petani sudah merasa puas apabila mereka sudah dapat mencapai tingkat kehidupan ekonomi yang sederhana seperti yang dicapai oleh orang tua mereka dulu di desa asal, sampai pada suatu masa pemukiman baru ini berkembang makin padat dan menimbulkan ulangan kemiskinan, lalu mereka mulai lagi berupaya membuka lahan pertanian dan desa baru.

Berbeda dengan Boeke, Geertz cenderung menolak tesis limited needs karena terlalu menyederhanakan fakta meskipun realistik. Menurut Geertz (dalam Yuliati, 2011:43), lahan di Jawa tidak lagi memberikan kemungkinan bagi penduduk pedesaan untuk meneruskan pola pertanian static expansion. Dia pun mengeluarkan formula kulturalnya yang terkenal dengan agriculture involution. Konsep ini digunakan untuk menggambarkan pola-pola respon petani Jawa yang khas terhadap tekanan penduduk baik secara kultural, sosial, ekonomik dan ekologis. Konsep involusi yang dipinjam Geertz dari Goldenweiser berarti pengukuhan pola dasar, komplikasi, dan keterampilan teknis yang tiada putusnya. Dalam hal pertanian sawah, involusi berarti bahwa intensifikasi pertanian dilakukan bukan dengan cara menciptakan atau memasukkan institusi ekonomi dan teknologi baru, tetapi dengan cara memadati sebidang sawah dengan makin banyak tenaga kerja sehingga melampaui titik utilitas.

Sementara itu, malalui pengamatan terhadap desa-desa di Filipina dan Indonesia Hayami dan Kikuchi (dalam Yuliati 2011) menyimpulkan bahwa tekanan penduduk terhadap tanah merupakan masalah serius di pedesaan Asia. Di banyak

Page 5: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Pengendalian dan Penguasaan Lahan Pertanian di Tengger Atas

53

daerah, dampak negatif dari tekanan penduduk ini tidak mampu ditangani oleh teknologi pertanian yang baru. Akibatnya tingkat upah buruh terus menurun nilainya bila dibandingkan dengan dengan keuntungan yang diterima pemilik lahan. Mempelajari kenyataan ini, Hayami dan Kikuchi meramalkan terjadinya masyarakat yang berstrata banyak. Usaha tani kecil bertambah banyak sejalan dengan pertumbuhan tunakisma. Sedangkan usaha tani besar komersil yang tergantung pada buruh bebas jarang ditemukan. Hal ini terjadi karena kontrak-kontrak kerja tradisional yang berdasarkan atas moral masyarakat pedesaan tidak berkembang ke arah kontrak komersil yang impersonal.

Sebagai tambahan, Palte (dalam Marzali 2003) mengidentifikasi strategi yang ditempuh oleh peisan dalam menghadapi masalah tekanan penduduk, antara lain melakukan perluasan kawasan pertanian, intensifikasi penggarapan lahan, penggunaan bibit unggul, peningkatan cara-cara bertani dan membuka usaha-usaha nonpertanian. Tidak seperti Boeke, Geertz, ataupun Hayami dan Kikuchi yang memfokuskan penelitiannya pada masyarakat pertanian sawah basah, Palte lebih memfokuskan kajiannya pada masyarakat pertanian lahan kering di dataran tinggi khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh sebab itu, berpijak dari keempat penelitian terdahulu penulis akan menyumbangkan satu temuan penelitian tentang strategi yang dikembangkan oleh petani di Pegunungan Tengger Lereng Atas dalam merespon tekanan penduduk pada lahan pertanian. Strategi itu dapat diketahui melalui perubahan sistem pewarisan lahan pertanian. Jika biasanya petani membagi lahan pertanian miliknya sama rata kepada setiap anaknya, kini praktik itu sudah mengalami perubahan.

Adaptasi Petani melalui Perubahan Sistem Pewarisan

Struktur Penguasaan Lahan Pertanian Pemilikan lahan pertanian di Pegunungan Tengger Lereng Atas selama 27 tahun

sejak 1986 hingga 2013 telah mengalami penurunan. Hefner (1990) melaporkan bahwa rata-rata kepemilikan lahan pada tahun 1986 masih lebih dari 0,66 hektar. Seiring dengan pertumbuhan penduduk, rata-rata pemilikan lahan telah berkurang dan kenyataan ini ditandai dengan dibukanya lahan tidur dan hutan untuk ekstensifikasi pertanian (Yuliati 2011). Ada pun data terbaru mengenai rata-rata pemilikan lahan pertanian di Pegunungan Tengger Atas yaitu seluas 0,28 hektar

Page 6: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Susanti

54

(Susanti 2013a). Dengan luas lahan tersebut, petani tidak dapat mencapai tingkat hidup yang layak seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria bahwa luas minimum untuk mencapai hidup yang layak yaitu seluas 2 hektar.

Penurunan rata-rata luas lahan pertanian ada kaitannya dengan sistem pemilikan lahan yang berlaku di Pegunungan Tengger Lereng Atas. Lahan pertanian dengan corak kepemilikan pribadi akan memudahkan pemilik memindahtangankan kepada pihak lain baik melalui komersialisasi lahan pertanian maupun melalui sistem pewarisan. Pemindahtangan hak milik lahan pertanian baik itu untuk sementara waktu mau pun secara permanen akan menghasilkan struktur penguasaan lahan pertanian. Tabel 1 adalah gambaran struktur penguasaan lahan pertanian yang ada di Pegunungan Tengger Lereng Atas khususnya di Desa Sapikerep (Susanti 2013b:43). Sebesar 24% rumah tangga adalah tunakisma. Selanjutnya, 38% rumah tangga petani gurem memiliki sebesar 20% lahan yang ada di desa. Sementara itu, dari 23% rumah tangga petani menengah memiliki 30,8% lahan dan sisanya 15% petani kaya memiliki 49.2% lahan. Artinya, distribusi pemilikan lahan pertanian mengarah pada ketimpangan dengan Indeks Gini 0,56 (Susanti 2013b). Agar ketimpangan pemilikan lahan pertanian tidak semakin dalam, maka petani memiliki beberapa strategi adaptasi berupa praktik sistem waris yang berubah.

Tabel 1. Sebaran Rumah Tangga Menurut Luas Pemilikan Lahan Tegalan di Dusun Krajan, Sapikerep Golongan Luas Lahan Milik (ha)

Jumlah Rumah Tangga

Persentase (%) Luas Tegal (ha)

Persentase (%)

0 43 24 0 0 0,01-0,19 19 10 2,3897 2,4 0,20-0,49 50 28 17,2379 17,6 0,50-0,99 42 23 30,1407 30,8 1,00-1,99 21 12 28,7542 29,3

>2,00 5 3 19,5760 19,9 180 100 98,0985 100 Sumber: Wawancara dan buku Letter C

Adaptasi Petani melalui Perubahan Sistem Pewarisan Sistem warisan dalam suatu masyarakat berkaitan dengan sistem kekerabatan

yang dianut oleh masyarakat tersebut. Masyarakat Tengger menganut sistem kekerabatan bilateral, sebagaimana juga dianut oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Dalam sistem kekerabatan bilateral, anak laki-laki maupun anak

Page 7: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Pengendalian dan Penguasaan Lahan Pertanian di Tengger Atas

55

perempuan mempunyai hak yang sama atas harta waris termasuk lahan pertanian dari orang tuanya. Oleh karena itu, aset lahan pertanian dalam suatu rumah tangga dapat berasal dari harta bawaan pihak suami dan/atau pihak istri yang dikelola secara bersama-sama dalam manajemen rumah tangga. Dalam praktek kehidupan masyarakat Tengger, aturan normatif tersebut ada yang diikuti sepenuhnya, namun ada pula yang disesuaikan dengan kondisi luas lahan milik orang tua dan jumlah ahli waris yang ada.

Ada pun sebaran rumah tangga menurut asal lahan pertanian yang dimiliki, apakah dari warisan suami saja, warisan istri saja atau dari warisan suami dan istri, disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Sebaran rumah tangga menurut asal lahan pertanian, dari warisan suami atau istri atau suami dan istri di Dusun Krajan Desa Sapikerep

Asal Lahan Rumah Tangga Jumlah Rumah Tangga

Persentase (%)

Rata-rata Luas Lahan (ha)

Dari warisan suami saja 40 45,45 0,736 Dari warisan istri saja 44 50,00 0,494 Dari warisan suami dan istri 4 4,54 0,952 Jumlah 88 100 0,727 Sumber: Wawancara dan Buku Letter C

Tabel 2 mengungkapkan bahwa pihak suami dan istri dalam suatu rumah

tangga mendapat warisan lahan pertanian dari orang tuanya. Nampaknya, perempuan mempunyai kesempatan lebih besar daripada laki-laki dalam mendapatkan warisan lahan pertanian. Kesempatan tersebut disebabkan oleh kecenderungan orang tua untuk mewariskan lahan miliknya kepada anak perempuan. Di antara anak-anak perempuan, orang tua akan memberikan bagian yang lebih banyak kepada salah seorang anak perempuan yang diharapkan dapat merawat dan melayani orang tua pada saat usia lanjut. Untuk memperkuat pola pewarisan tersebut, dalam salah satu prosesi perkawinan yaitu peminangan, secara tegas pihak perempuan akan mempertimbangkan tawaran pihak laki-laki dalam menentukan tempat tinggal setelah menikah apakah secara patrilokal atau matrilokal.

Bila keluarga perempuan berasal dari rumah tangga yang memiliki lahan relatif luas, maka tempat tinggal setelah menikah adalah secara matrilokal. Sebaliknya, jika

Page 8: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Susanti

56

suami berasal dari rumah tangga yang memiliki lahan relatif luas, maka dinyatakan dalam pelamaran bahwa nantinya calon istri akan mengikuti keluarga calon suaminya (patrilokal). Pada rumah tangga yang memiliki lahan pertanian sempit atau tidak memiliki lahan, waktu pelamaran juga dinyatakan apakah istri ikut keluarga calon suami atau sebaliknya calon suami ikut keluarga calon istri. Dengan demikian, anak perempuan yang mendapat warisan rumah dan lahan pertanian akan memilih tempat tinggal secara matrilokal pada saat telah menikah. Dengan menetap secara matrilokal, orang tua lebih leluasa untuk mendidik anak perempuannya dalam menjalankan peran dalam rumah tangga. Selain itu, orang tua tidak akan merasa canggung apabila sewaktu-waktu membutuhkan bantuan anaknya. Hal sebaliknya terjadi pada anak laki-laki yang harus menerima untuk tidak mendapatkan bagian lahan pertanian orang tuanya karena jumlahnya terbatas. Menurut pandangan orang Tengger, anak laki-laki dianggap bisa mencari kekayaan sendiri sehingga menjadi hal yang wajar apabila anak laki-laki meninggalkan rumah untuk menetap di rumah istri atau pergi merantau.

Mengenai cara pemindahan hak milik atas lahan pertanian dari orang tua kepada ahli warisnya diuraikan sebagai berikut. Menurut hukum waris Barat, syarat-syarat untuk memindahkan hak atas lahan pertanian kepada ahli waris antara lain pewaris telah meninggal dunia dan penunjukkan ahli waris dilakukan menurut undang-undang. Tidak demikian halnya cara pemindahan hak milik pada masyarakat Tengger. Orang tua pada masa hidupnya telah membagikan hak kepemilikan atas lahan kepada sejumlah anaknya dalam luas tertentu. Tujuannya supaya tidak terjadi konflik antara ahli waris jika orang tuanya sudah meninggal. Adakalanya tidak semua lahan pertanian diberikan kepada anak-anaknya. Sebidang atau dua bidang lahan tetap digarap sendiri yang kelak akan diserahkan kepada siapa yang merawatnya jika sudah tidak mampu bekerja.

Mengenai bagian lahan pertanian yang diterima setiap ahli waris tergantung pada banyak dan luasnya lahan pertanian yang dimiliki. Tidak akan menimbulkan konflik jika pembagian lahan pertanian diperuntukkan bagi anak tunggal. Sebaliknya, bila petani memiliki anak lebih dari satu, pembagian lahan pertanian dilakukan dalam cara yang berbeda. Pemilik beberapa bidang lahan cenderung membagikan kepada setiap anak masing-masing sebidang lahan yang tiap-tiap bidang lahan tersebut memiliki luas yang sama atau berbeda. Meskipun luas lahan warisan yang diterima setiap anak berbeda, ada patokan yang dijadikan dasar oleh

Page 9: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Pengendalian dan Penguasaan Lahan Pertanian di Tengger Atas

57

orang tua dalam menerapkan nilai keadilan yaitu lokasi lahan. Lahan seluas satu hektar sekali pun bila termasuk lahan Kelas III, memiliki nilai lebih rendah bila dibandingkan dengan lahan seluas seperempat hektar yang termasuk Kelas I.

Pewarisan lahan di satu sisi menyebabkan pewaris melepaskan haknya atas sebagian atau keseluruhan lahan pertanian, di sisi lain anak-anaknya akan menerima bagian dari pemberian orang tuanya. Ditemukan pula petani yang mengalihkan hak kepemilikan lahan kepada anak yang baru berumah tangga sebagai modal untuk menghidupi keluarga barunya. Sementara itu, anak-anak yang menerima hak kepemilikan lahan dapat menggarapnya sendiri, tetapi ada pula yang menyerahkan penggarapannya kepada orang lain.

Pada bagian setelah ini akan dikemukakan lebih lanjut contoh pola pewarisan yang mengakibatkan perpecahan lahan pertanian.

Pewarisan kepada Sejumlah Ahli Waris Kemampuan orangtua memberikan harta kekayaan kepada anak-anaknya

ditentukan oleh banyaknya kekayaan yang dimiliki. Kebiasaan petani menggunakan kelebihan keuntungan untuk mengumpulkan benda-benda bernilai ekonomi seperti ternak, kendaraan, rumah dan utamanya lahan pertanian, memungkinkan diterapkannya sistem pewarisan yang dapat dibagi. Sebab, motivasi mengumpulkan kekayaan tidak hanya untuk mendapatkan kesejahteraan pribadi tetapi dipersiapkan untuk diberikan kepada anak-anaknya. Selain itu, keinginan setiap anak untuk menjadi petani dapat memperkuat bentuk pewarisan yang dapat dibagi. Kecenderungan yang terjadi, petani berlahan luas pemilik beberapa bidang lahan yang paling banyak menerapkan sistem pewarisan ini. Ada pun contoh kasus pola warisan kepada sejumlah ahli waris adalah yang terjadi pada keluarga besar Ibu Rohana dan disajikan pada Gambar 1.

Page 10: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Susanti

58

Gambar 1. Kasus Pola Pewarisan Pada Rumah Tangga Petani Pemilik Lahan Luas di Dusun Krajan Desa Sapikerep, 2012 (Sumber: Wawancara dan Buku Leter C)

Sebelum tahun 1970, Bapak Sarnaji dan Ibu Marsait (nomor 1 & 2) mampu

membeli beberapa bidang lahan yang tersebar di dusun Krajan dengan luas keseluruhan yaitu ± 3,3 hektar. Setelah Sarnaji dan Marsait meninggal dunia, pada tahun 1995 beberapa bidang lahan dibagi-bagi diantara tujuh bersaudara sebagai ahli waris (nomor 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, & 9). Masing-masing ahli mendapatkan sebidang lahan. Parini (nomor 3, usia 63 tahun) mendapat 0,412 hektar, Sutik (nomor 4, usia 62 tahun) mendapat 0,523 hektar, Rohana (nomor 5, usia 61 tahun) mendapat 0,557 hektar, Sumariyo (nomor 6) mendapat 0,421 hektar, Purwadi (nomor 7, usia 52 tahun) mendapat 0,819 hektar, Parto (nomor 8, usia 45 tahun) mendapat 0,184 hektar, dan Siswani (nomor 9, usia 47 tahun) mendapat 0,421 hektar. Setelah berumah tangga, setiap ahli waris tinggal di rumah yang terpisah dari keluarga inti Bapak Sarnaji dan Ibu Marsait kecuali Siswani. Siswani inilah yang mendapat tambahan warisan rumah karena merawat orang tuanya hingga meninggal dunia.

Page 11: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Pengendalian dan Penguasaan Lahan Pertanian di Tengger Atas

59

Setiap ahli waris dari Bapak Sarnaji dan Ibu Marsait memiliki keturunan rata-rata tiga orang yang rinciannya sebagai berikut. Parini memiliki tiga orang anak yaitu Subar (43 tahun), Sugeng ( 41 tahun) dan Rini (32 tahun). Ketiga anak Parini sudah berumah tangga dan hanya Sugeng yang tinggal menetap bersama Parini. Sejak kepala keluarga (Pak Sugi) meninggal dunia, pengusahaan lahan warisan dilakukan oleh Sugeng sebagai pekerjaan sampingan. Sementara itu, dua saudaranya yang lain meninggalkan keluarga inti untuk bekerja dan menetap di kota lain.

Sutik memiliki enam orang anak yaitu Wawan (39 tahun), Tijah (36 tahun), Lilik (34 tahun), Usman (30 tahun), Bahri (27 tahun) dan Susri (25 tahun). Semua anak Sutik sudah berumah tangga dan meninggalkan keluarga inti untuk menetap dan bekerja di kota lain. Hanya sesekali secara bergantian anak-anak Sutik mengunjungi orang tuanya. Sejak istrinya meninggal, Sutik tidak lagi menggarap lahan pertanian miliknya dan beralih pekerjaan sebagai tukang kayu. Lahan pertanian tersebut tidak ditelantarkan, tetapi digarap oleh Purwadi.

Rohana memiliki empat orang anak yaitu Munati (47 tahun), Sugiami (38 tahun), Manisah (34 tahun) dan Titik (27 tahun). Semua anak Rohana sudah berumah tangga. Dua diantaranya, Manisah dan Titik, meninggalkan keluarga inti untuk mengikuti suami. Sementara itu, Sugiami dan Munati tinggal bersama Rohana. Sejak Pak Nur (suami Rohana) meninggal dunia, lahan pertanian digarap bersama oleh Sugiami dan Munati sebagai pekerjaan sampingan selepas berjualan makanan di sekolah.

Sumariyo memiliki tiga orang anak yaitu Yuni (33 tahun), Eko (30 tahun) dan Heti (27 tahun). Semua anak Sumariyo sudah berumah tangga dan hanya Yuni yang tinggal bersama keluarga inti. Pekerjaan sehari-hari Yuni adalah sebagai Guru Pendidikan Anak Usia Dini dan suaminya sebagai kondektur. Dua saudaranya yang lain meninggalkan keluarga inti untuk bekerja dan menetap di kecamatan lain dalam wilayah kabupaten Probolinggo.

Purwadi memiliki dua orang anak yaitu Erna (27 tahun) dan Ratih (22 tahun). Erna sudah berumah tangga dan meninggalkan keluarga inti dengan menyewa rumah milik salah seorang petani berlahan luas. Pekerjaan sehari-hari Erna dan suaminya adalah sebagai pegawai honorer dan penyedia rental warnet. Sementara itu, Ratih masih belum berumah tangga dan tinggal bersama keluarga inti.

Siswani memiliki dua orang anak yaitu Saipul (30 tahun) dan Yuli (25 tahun). Saipul sudah berumah tangga dan meninggalkan keluarga inti untuk mengikuti

Page 12: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Susanti

60

istrinya menetap di Blitar. Sementara itu, Yuli masih belum berumah tangga dan tinggal bersama orang tuanya. Dapat disimpulkan bahwa sebagian besar cucu-cucu Pak Sarnaji dan Bu Marsait memperoleh nafkah dari pekerjaan nonfarm mengingat lahan pertanian yang dikuasai orang tuanya tidak mungkin lagi bisa menampung tenaga kerja mereka dengan efektif.

Pewarisan kepada Seorang atau Beberapa Orang Ahli Waris dari Sejumlah

Ahli Waris Beberapa bidang lahan berikut harta kekayaan yang lain memungkinkan petani

berlahan luas membagikan kepada setiap anaknya dalam jumlah yang relatif sama. Tidak demikian halnya dengan petani menengah dan petani gurem yang cenderung memberikan lahan pertanian kepada seorang atau beberapa orang dari sejumlah anaknya. Pada sistem ini, pemberian warisan kepada anak perempuan lebih diutamakan daripada anak laki-laki karena anak perempuan diharapkan orang tua dapat merawat di hari tua dan anak laki-laki dianggap lebih tangkas dalam mencari penghidupan sendiri. Anak-anak yang tidak mendapat bagian, pergi meninggalkan kediaman keluarga inti untuk mengikuti istri atau suami dan memiliki pekerjaan sendiri.

Orang Tengger yang memiliki lahan sempit tetapi memiliki anak lebih dari satu, melakukan adaptasi dengan menyeleksi anak yang dapat diberi lahan pertanian atas dasar suatu kriteria sebagaimana yang telah dikemukakan di atas. Tujuannya supaya anak-anak tersebut tidak memadati lahan pertanian orang tuanya yang berakibat pada menurunnya produktivitas kerja, sekaligus mencegah supaya lahan pertanian tersebut tidak semakin terpecah sehingga produktivitas hasil panennya rendah.

Adapun bentuk lain pola pewarisan kepada ahli waris tertentu dari sejumlah ahli waris adalah yang terjadi pada keluarga Mbok Kasiyami sebagaimana yang tersaji pada Gambar 2.

Page 13: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Pengendalian dan Penguasaan Lahan Pertanian di Tengger Atas

61

Gambar 2. Kasus Pola Pewarisan pada Rumah Tangga Petani Pemilik Lahan Sempit di Dusun Krajan Desa Sapikerep, 2012 (Sumber: Wawancara)

Pada tahun 1993 Mbok Kasiyami (Angka 1, usia 82 tahun) mendapat warisan

dari orang tuanya lahan pertanian seluas 0,179 hektar. Di atas lahan tersebut berdiri tiga buah rumah yang ditempati Mbok Kasiyami beserta kedua ahli warisnya yaitu Sunarmi dan Kojit. Hingga saat ini Mbok Kasiyami tidak pernah melakukan pembelian untuk menambah lahan miliknya, kenyataan bahwa pekerjaan yang dilakukan adalah sebagai petani gurem sekaligus memburuh tani. Sejak tahun 1989, separuh lahan tersebut mulai digarap Sunarmi (angka 3) yang saat itu baru menikah dengan Noto. Separuh sisanya digarap sendiri yang kelak akan diserahkan kepada Senetri (angka 0**). Tiga anak laki-laki Mbok Kasiyami yaitu Sunarto, Satuki dan Seneram keluar dari keluarga inti untuk menetap di rumah istri. Ketiganya tidak mendapatkan lahan warisan dari orang tuanya karena anak laki-laki dianggap lebih cakap dalam mencari kekayaan sendiri.

Dari uraian di atas menunjukkan bahwa pada petani gurem melakukan adaptasi aturan-aturan dalam pranata warisan, yakni tidak semua anaknya diberi lahan warisan. Di sini menggambarkan terjadi perpecahan lahan pertanian dari generasi pertama ke generasi kedua. Namun perpecahan lahan itu tidak berlangsung semakin parah, karena adanya penyesuaian aturan pranata warisan lahan, yakni warisan hanya diberikan kepada anak perempuan saja. Cara pemindahan hak milik bentuk

Page 14: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Susanti

62

ini memiliki variasi yang lain, yaitu yang terjadi pada keluarga Watima sebagaimana yang tersaji pada Gambar 3.

Gambar 3. Kasus Pola Pewarisan Pada Rumah Tangga Petani Pemilik Lahan di Dusun Krajan Desa Sapikerep, 2012 (Sumber: Wawancara)

Sebelum tahun 1980, Bapak dan Ibu Ponaya (angka 1,2) dapat membeli dua

bidang lahan pertanian dengan luas keseluruhan 1,75 hektar. Sebidang lahan berlokasi di Blok Wates dengan luas 0,998 hektar dan sebidang lainnya berlokasi di Blok Jombok dengan luas 0,75 hektar. Di atas pekarangan Bapak dan Ibu Ponaya yang berlokasi di Dusun Krajan berdiri dua rumah. Satu rumah ditempati oleh Bapak dan Ibu Ponaya bersama Sukartini dan satu rumah lainnya ditempati Watima bersama Sri. Dua saudara lelaki Sukartini meninggalkan keluarga inti. Wisam tinggal di desa Ledok Ombo di kecamatan Sumber mengikuti istrinya yang kedua setelah bercerai dengan Satriyami. Dari perkawinan dengan Satriyami, Wisam mempunyai seorang anak bernama Wiwin yang diasuh oleh Watima. Wiskamto tinggal di Surabaya dan bekerja pada sebuah pabrik rokok.

Sekitar tahun 1991, lahan di Blok Wates diwariskan kepada Watima (angka 3) dan lahan di Blok Jombok diwariskan kepada salah seorang anak Watima yaitu

Page 15: PENGENDALIAN DAN PENGUASAAN LAHAN PERTANIAN DI …

Pengendalian dan Penguasaan Lahan Pertanian di Tengger Atas

63

Sukartini (angka 4). Meskipun Sukartini berstatus sebagai cucu, kenyataannya mendapatkan warisan dari Bapak dan Ibu Ponaya karena telah diasuh sejak lahir. Konsekuensinya, pada saat Bapak dan Ibu Ponaya tidak lagi mampu bekerja, Sukartini yang bertugas mencari nafkah dan merawatnya hingga meninggal dunia. Sekitar tahun 1993, lahan yang menjadi bagian Sukartini dijual untuk membiayai perayaan khitanan anaknya. Pada tahun 2004, seluas 0,337 hektar dari lahan milik Watima dihibahkan kepada salah seorang cucunya yaitu Wiwin (anak dari Wisam). Lahan milik Watima tersisa 0,661 hektar yang kelak diwariskan kepada Sri sebab saat ini Watima tinggal bersama Sri.

Kesimpulan Peningkatan jumlah penduduk pedesaan yang tidak diimbangi oleh tersedianya

lahan pertanian menyebabkan terjadinya tekanan penduduk pada lahan. Beberapa bentuk adaptasi dilakukan oleh masyarakat pedesaan untuk merespon surplus tenaga kerja dan kekurangan lahan pertanian, antara lain: (1) static expansion; (2) agriculture involution; (3) kontrak kerja berdasarkan moral ekonomi masyarakat pedesaan (4) melakukan perluasan kawasan pertanian, intensifikasi penggarapan lahan, penggunaan bibit unggul, peningkatan cara-cara bertani dan membuka usaha-usaha nonpertanian; (5) konsolidasi lahan pertanian.

Daftar Pustaka Fauzi, N. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hefner, R.W. 1999. Geger Tengger. Yogyakarta: LKiS. Marzali, A. 2003. Strategi Peisan Cikalong dalam Menghadapi Kemiskinan. Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia. Setiawan, I. 2006. Dinamika Struktur dan Kultur Agraria Petani pada Berbagai Zona

Agroekosistem di Kabupaten Bandung. Bandung: Makalah Tidak Diterbitkan. Susanti, A. 2013a. Strategi Adaptasi Petani akibat Perpecahan dan Fragmentasi Lahan

Pertanian. Malang: Tesis Tidak Diterbitkan. Susanti, A. 2013b. “Struktur Penguasaan Lahan Pertanian dan Hubungan Kerja

Agraris pada Masyarakat Tengger.” Jurnal Habitat, Vol. 24, No.1. Tjondronegoro, S.M.P. 1984. Dua Abad Penguasaan Tanah. Jakarta: PT Gramedia. Yuliati, Y. 2011. Perubahan Ekologis dan Strategi Adaptasi Masyarakat di Wilayah

Pegunungan Tengger. Malang: UB Press.