pengemb&pengolahan_kakao

20
1 .  K , , . D . 2002, 900 K I (KI) $ 701 . I 20 2002 I 914.051 . (87,4%) 6,0% 6,7% . J , . D J J . D , I G I . , I . D , . , I B K (BK), . H . 2002 I 224.411 (24,6%) (B), 618.089 (67,6%) (), 71.551 (7,8%) /. 924 /, () 963,3 /, (B) 688,13 / (B) 681,1 /. I () () 1980 13,125 18,636 5,321 37,082 1,058 8,410 816 10,284 1985 51,765 29,198 11,834 92,797 8,997 20,512 4,289 33,798 1990 252,237 57,600 47,653 357,490 97,418 27,016 17,913 142,347 1995 428,614 66,021 107,484 602,119 231,992 40,933 31,941 304,866 2000 641,133 52,690 56,094 749,917 363,628 34,790 22,724 421,142 2001 710,044 55,291 56,114 821,449 476,924 33,905 25,975 536,804 2002 798,628 54,815 60,608 914,051 511,379 34,083 25,693 571,155 2003 861,099 49,913 53,211 964,223 634,877 32,075 31,864 698,816 2004 1,033,252 38,668 19,040 1,090,960 636,783 2,583 52,338 691,704 2005 1,081,102 38,295 47,649 1,167,046 693,701 25,494 29,633 748,828 2006 1,105,654 38,453 47,635 1,191,742 723,9 92 26,122 29,360 779,474 K : = B = B B = B

description

pengembangan pengolahan kakao

Transcript of pengemb&pengolahan_kakao

  • 1

    PENGEMBANGAN BUDIDAYA

    DAN PENGOLAHAN KAKAO

    I. PENDAHULUAN

    Kakao merupakan salah satu komoditas andalan perkebunan yang peranannya cukup penting bagi

    perekonomian nasional, khususnya sebagai penyedia lapangan kerja, sumber pendapatan dan devisa negara.

    Di samping itu kakao juga berperan dalam mendorong pengembangan wilayan dan pengembangan

    agroindustri. Pada tahun 2002, perkebunan kakao telah menyediakan lapangan kerja dan sumber pendapatan

    bagi sekitar 900 ribu kepala keluarga petani yang sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia (KTI)

    serta memberikan sumbangan devisa terbesar ke tiga sub sektor perkebunan setelah karet dan minyak sawit

    dengan nilai US $ 701 juta.

    Perkebunan kakao di Indonesia mengalami perkembangan pesat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir dan

    pada tahun 2002 areal perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 914.051 ha. Perkebunan kakao tersebut

    sebagianbesar (87,4%) dikelola oleh rakyat dan selebihnya 6,0% perkebunan besar negara serta 6,7%

    perkebunan besar swasta. Jenis tanaman kakao yang diusahakan sebagian besar adalah jenis kakao lindak

    dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah. Di samping

    itu juga diusahakan jenis kakao mulia oleh perkebunan besar negara di Jawa Timur dan Jawa Tengah.

    Dari segi kualitas, kakao Indonesia tidak kalah dengan kakao dunia dimana bila dilakukan fermentasi

    denganbaik dapat mencapai cita rasa setara dengan kakao berasal dari Ghana dan keunggulan kakao

    Indonesia tidak mudah meleleh sehingga cocok bila dipakai untuk blending. Sejalan dengan keunggulan

    tersebut, peluang pasar kakao Indonesia cukup terbuka baik ekspor maupun kebutuhan dalam negeri. Dengan

    kata lain, potensi untuk menggunakan industri kakao sebagai salah satu pendorong pertumbuhan dan

    distribusi pendapatan cukup terbuka.

    Meskipun demikian, agribisnis kakao Indonesia masih menghadapi berbagai masalah kompleks antara lain

    produktivitas kebun masih rendah akibat serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK), mutu produk masih

    rendah serta masih belum optimalnya pengembangan produk hilir kakao. Hal ini menjadi suatu tantangan

    sekaligus peluang bagi para investor untuk mengembangkan usaha dan meraih nilai tambah yang lebih besar

    dari agribisnis kakao.

    Pada tahun 2002 tersebut komposisi tanaman perkebunan kakao Indonesia tercatat seluas 224.411 ha (24,6%)

    tanaman belum menghasilkan (TBM), 618.089 ha (67,6%) tanaman menghasilkan (TM), dan 71.551 ha (7,8%)

    tanaman tua/rusak. Produktivitas rata-rata nasional tercata 924 kg/ha, dimana produktivitas perkebunan

    rakyat (PR) sebesar 963,3 kg/ha, produktivitas perkebunan besar negara (PBN) rata-rata 688,13 kg/ha dan

    produktivitas perkebunan besar swasta (PBS) rata-rata 681,1 kg/ha.

    Tabel Perkembangan areal dan produksi perkebunan kakao Indonesia

    Tahun Areal (ha) Produksi(ton)

    PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah

    1980 13,125 18,636 5,321 37,082 1,058 8,410 816 10,284

    1985 51,765 29,198 11,834 92,797 8,997 20,512 4,289 33,798

    1990 252,237 57,600 47,653 357,490 97,418 27,016 17,913 142,347

    1995 428,614 66,021 107,484 602,119 231,992 40,933 31,941 304,866

    2000 641,133 52,690 56,094 749,917 363,628 34,790 22,724 421,142

    2001 710,044 55,291 56,114 821,449 476,924 33,905 25,975 536,804

    2002 798,628 54,815 60,608 914,051 511,379 34,083 25,693 571,155

    2003 861,099 49,913 53,211 964,223 634,877 32,075 31,864 698,816

    2004 1,033,252 38,668 19,040 1,090,960 636,783 2,583 52,338 691,704

    2005 1,081,102 38,295 47,649 1,167,046 693,701 25,494 29,633 748,828

    2006 1,105,654 38,453 47,635 1,191,742 723,992 26,122 29,360 779,474

    Keterangan : PR = Perkebunan Rakyat PBN = Perkebunan Besar Negara PBS = Perkebunan Besar Swasta

  • 2

    Pada Tabel tersebut tampak bahwa perluasan areal perkebunan kakao yang begitu pesat umumnya dilakukan

    petani, sehingga perkebunan rakyat telah mendominasi perkebunan kakao Indonesia. Tanaman kakao

    ditanam hampir di seluruh pelosok tanah air dengan sentra produksi utama adalah Sulawesi Selatan, Sulawesi

    Tenggara, Sulawesi Tengah, Sumatera Utara, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Kalimantan Timur, maluku

    Utara dan Irian Jaya. Keberhasilan perluasan areal dan peningkatan produksi tersebut telah memberikan hasil

    nyata bagi peningkatan pangsa pasar kakao Indonesia di kancah perkakaoan dunia. Indonesia berhasil

    menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua dunia setelah Pantai Gading (Cote dlvoire) pada

    tahun 2002, walaupun kembali tergeser ke posisi ketiga oleh Ghana pada tahun 2003 (International Cocoa

    Organization, 2003). Tergesernya posisi Indonesia tersebut salah satunya disebabkan oleh makin

    mengganasnya serangan hama PBK. Pada saat ini teridentifikasi serangan hama PBK sudah mencapai 40% dari

    total areal kakao khususnya di sentra utama produksi kakao dengan kerugian sekitar US$ 150 juta per tahun.

    Di samping itu rendahnya produktivitas tanaman kakao disebabkan oleh masih dominannya kebun yang

    dibangun dengan asalan, terutama perkebunan rakyat dan belum banyaknya adopsi penggunaan tanaman

    klonal.

    Sementara mengganasnya serangan hama Penggerek Buah Kakao (PBK) antara lain disebabkan oleh belum

    ditemukannya klon kakao yang tahan terhadap hama PBK. Pada saat ini teknologi pengendalian hama PBK

    sudah diperoleh, tetapi penerapannya masih menghadapi berbagai kendala. Hal ini menjadi tantangan bagi

    pelaku bisnis kakao untuk segera mengatasi permasalahan hama PBK.

    Guna membantu mengatasi masalah mutu benih kakao, Kementeraian Negara Koperasi dan UKM telah

    melaksanakan program bantuan perkuatan bibit kakao kepada masyarakat melalui koperasi. Program ini

    dimulai sejak tahun anggaran 2005 di Kabupaten Temanggung Propinsi Jawa Tengah melalui 2 koperasi

    sebanyak 2 juta batang bibit kakao, dan dilanjutkan pada tahun anggaran 2006 di Kabupaten Jayapura Propinsi

    Papua melalui 7 koperasi sebanyak 1,4 juta batang bibit kakao, Propinsi Jawa Tengah sebanyak 2,64 juta

    batang bibit kakao yang tersebar di Kabuapaten Semarang (9 koperasi sebanyak 1.424.025 batang), Kabupaten

    Wonogiri (4 koperasi sebanyak 440.000 batang) dan Kabupaten Karanganyar (7 koperasi sebanyak 759.997

    batang), Kabupaten Ciamis Propinsi Jawa Barat (2 koperasi sebanyak 500.000 batang) serta Kabupaten Lebak

    Propinsi Banten (6 koperasi sebanyak 1.420.005 batang). Selanjutnya pada tahun anggaran 2007 Kementerian

    Negara Koperasi dan UKM masih melanjutnya program bantuan perkuatan bibit kakao bermutu di daerah

    potensial kakao lainnya sebanyak 5 juta batang yang tersebar di Propinsi Lampung (Kabupaten Lampung),

    Propinsi Bengkulu (Kabupaten Kepahiang), Propinsi Sumatera Utara (Kabupaten Tapanuli Tengah dan

    Mandailing Natal), Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Garut), Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Banjarnegara),

    Propinsi Sulawesi Tenggara (kabupaten Konawe Selatan) dan Propinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Luwu).

    Di samping itu, Kementerian Negara Koperasi dan UKM telah memberikan bantuan perkuatan kepada koperasi

    berupa sarana pengolahan kakao tahun anggaran 2005 yang tersebar di Propinsi Sulawesi Tengah (Kabupaten

    Donggala), Propinsi Papua (Kabupaten Jayapura) dan Propinsi Sulawesi Tenggara (Kabupaten Konawe Selatan)

    serta pada tahun anggaran 2006 di Propinsi Sulawesi Selatan (Kabupaten Wajo).

    Diprogramkan bantuan perkuatan bibit kakao ini dilanjutkan pada tahun-tahun yang akan datang sehingga

    pemenuhan bibit kakao bermutu dapat terwujud dan produksi kakao nasional dapat ditingkatkan.

    II. MENGENAL TANAMAN KAKAO

    A. Sistematika Tanaman Kakao

    Kakao merupakan satu-satunya di antara 22 jenis marga Theobroma, suku Sterculiaceae yang diusahakan

    secara komersial. Menurut Tjitrosoepomo (1988) sistematika tanaman ini sebagai berikut :

    Divisi Spermatophyta

    Anak divisi Angioospermae

    Kelas Dicotyledoneae

    Anak kelas Dialypetalae

    Bangsa Malvales

    Suku Sterculiaceae

    Marga Theobroma

    Jenis Theobroma cacao L

  • 3

    Beberapa sifat (penciri) dari buah dan biji digunakan dasar klasifikasi dalam sistem taksonomi.

    Berdasarkan bentuk buahnya, kakao dapat dikelompokkan ke dalam empat populasi

    Kakao lindak (bulk) yang telah tersebar luas di daerah tropika adalah anggota subjenis Sphaerocarpum.

    Bentuk bijinya lonjong (oval), pipih dan keping bijinya (kotiledon) berwarna ungu gelap. Mutunya

    beragam tetapi lebih rendah daripada subjenis cacao. Permukaan kulit buahnya relatif halus karena alur-

    alurnya dangkal. Kulit buah ini tipis tetapi keras (liat). Pertumbuhan tanamannya kuat dan cepat, daya

    hasilnya tinggi dan relatif tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit.

    Gambar : Biji Kakao bentuk lonjong, pipih dan keping bijinya ungu gelap

    Menurut Wood, G.A.R. (1975), kakao dibagi tiga kelompok besar, yaitu criollo, forastero, dan sebagian

    sifat criollo telah disebutkan di atas. Sifat lainnya adalah pertumbuhannya kurang kuat, daya hasil lebih

    rendah daripada forastero, relatif gampang terserang hama dan penyakit permukaan kulit buah criollo

    kasar, berbenjol-benjol dan alur-alurnya jelas. Kulit ini tebal tetapi lunak sehingga mudah dipecah. Kadar

    lemak dalam biji lebih rendah daripada forastero tetapi ukuran bijinya besar, bulat, dan memberikan

    citarasa khas yang baik. Lama fermentasi bijinya lebih singkat daripada tipe forastero. Dalam tata niaga

    kakao criollo termasuk kelompok kakao mulia (fine flavoured), sementara itu kakao forastero termasuk

    kelompok kakao lindak (bulk) kelompok Kakao trinitario merupakan hibrida criollo dengan farastero. Sifat

    morfologi dan fisiologinya sangat beragam demikian juga daya dan mutu hasilnya. Dalam tata niaga,

    kelompok trinitario dapat masuk ke dalam kakao mulia dan lindak, tergantung pada mutu bijinya.

    B. Morfologi Tanaman Kakao

    1. Batang dan Cabang

    Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis dengan naungan pohon-pohon yang tinggi, curah

    hujan tingi, suhu sepanjang tahun relatif sama, serta kelembapan tinggi dan relatif tetap. Dalam

    habitat seperti itu, tanaman kakao akan tumbuh tinggi tetapi bunga dan buahnya sedikit.

    Jika dibudidayakan di kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun mencapai 1,8 3,0 meter dan pada

    umur 12 tahun dapat mencapai 4,50 7,0 meter (Hall, 1932). Tinggi tanaman tersebut beragam,

    dipengaruhi oleh intensitas naungan serta faktor-faktor tumbuh yang tersedia.

  • 4

    Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas vegetatif. Tunas yang arah

    pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas ortotrop atau tunas air (wiwilan atau chupon),

    sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas

    atau fan).

    Tanaman kakao asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9 1,5 meter akan berhenti tumbuh dan

    membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola percabangan ortotrop ke

    plagiotrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Pembentukan jorket didahului dengan berhentinya

    pertumbuhan tunas ortotrop karena ruas-ruasnya tidak memanjang. Pada ujung tunas tersebut,

    stipula (semacam sisik pada kuncup bunga) dan kuncup ketiak daun serta tunas daun tidak

    berkembang. Dari ujung perhentian tersebut selanjutnya tumbuh 3 - 6 cabang yang arah

    pertumbuhannnya condong ke samping membentuk sudut 0 60 dengan arah horisontal. Cabang-cabang itu disebut dengan cabang primer (cabang plagiotrop). Pada cabang primer tersebut

    kemudian tumbuh cabang-cabang lateral (fan) sehingga tanaman membentuk tajuk yang rimbun.

    Gambar : Skema tajuk tanaman kakao dengan dua jorket

    Pada tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau tunas air (chupon).

    Dalam teknik budi yang benar, tunas air ini selalu dibuang, tetapi pada tanaman kakao liar, tunas air

    tersebut akan membentuk batang dan jorket yang baru sehingga tanaman mempunyai jorket yang

    bersusun.

    Gambar : Percabangan tanaman kakao bersifat demorfisme,

    yaitu terdiri dari atas tunas ortotrop dan plagiotrop

    Dari tunas plagiotrop biasanya tumbuh tunas-tunas plagiotrop, tetapi kadang-kadang juga tumbuh

    tunas ortotrop. Pangkasan berat pada cabang plagiotrop yang besar ukurannya merangsang

    tumbuhnya tunas ostrotop itu. Tunas ostotrop hanya membentuk tunas plagiotrop setelah

    membentuk jorket. Tunas ortotrop membentuk tunas ortotrop baru dengan menumbuhkan tunas air.

  • 5

    Saat tumbuhnya jorket tidak berhubungan dengan umur atau tinggi tanaman. Pemakaian pot besar

    dilaporkan menuda tumbuhnya jorket, sedangkan pemupukan dengan 140 ppm N dalam bentuk

    nitrat mempecepat tumbuhnya jorket. Tanaman kakao akan membentuk jorket setelah memiliki ruas

    batang sebanyak 60-70 buah. Namun, batasan tersebut tidak pasti, karena kenyataannya banyak

    faktor lingkungan yang berpengaruh dan sukar dikendalikan. Contohnya, kakao yang ditanam dalam

    polibag dan mendapat intensitas cahaya 80% akan membentuk jorket lebih pendek daripada

    tanaman yang ditanam di kebun. Selain itu, jarak antar daun sangat dekat dan ukuran daunnya lebih

    kecil. Terbatasnya medium perakaran merupakan penyebab utama gejala tersebut. Sebaliknya,

    tanaman kakao yang ditanam di kebun dengan jarak rapat akan membentuk jorket yang tinggi

    sebagai efek dari etiolasi (pertumbuhan batang memanjang akibat kekurangan sinar matahari).

    2. Daun

    Sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat dimorfisme. Pada tunas ortotrop,

    tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya

    hanya sekitar 2,5 cm (Hall, 1932). Tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung

    pada tipenya.

    Salah satu sifat khusus daun kakao yaitu adanya dua persendian (articulation) yang terletak di

    pangkal dan ujung tangkai daun. Dengan persendian ini dilaporkan daun mampu membuat gerakan

    untuk menyesuaikan dengan arah datangnya sinar matahari.

    Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing (acuminatus) dan pangkal

    daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip dan tulang daun menonjol ke permukaan

    bawah helai daun. Tepi daun rata, daging daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun

    dewasa hijau tua bergantung pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm.

    Permukaan daun licin dan mengkilap.

    3. Akar

    Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagain besar akar lateralnya (mendatar)

    berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada kedalaman tanah (jeluk) 0-30 cm. Menurut Himme

    (cit.Smyth, 1960), 56% akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26% pada jeluk 11-20 cm, 14% pada

    jeluk 21-30 cm, dan hanya 4% tumbuh pada jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan

    jelajah akar lateral dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil

    yang susunannya ruwet (intricate).

    4. Bunga

    Tanaman kakao bersifat kauliflori. Artinya bunga tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun

    pada batang dan cabang. Tempat tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan

    menebal atau biasa disebut dengan bantalan bunga (cushioll). Bunga kakao mempunyai rumus

    K5C5A5+5G (5) artinya, bunga disusun oleh 5 daun kelopak yang bebas satu sama lain, 5 daun

    mahkota, 10 tangkai sari yang tersusun dalam 2 lingkaran dan masing-masing terdiri dari 5 tangkai

    sari tetapi hanya 1 lingkaran yang fertil, dan 5 daun buah yang bersatu. Bunga kakao berwarna putih,

    ungu atau kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota. Warna bunga

    ini khas untuk setiap kultivar. Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkota

    panjangnya 6-8 mm, terdiri atas dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku binatang (claw)

    dan bisanya terdapat dua garis merah. Bagian ujungnya berupa lembaran tipis, fleksibel, dan

    berwarna putih.

  • 6

    Gambar : Bantalan bunga atau buah kakao

    5. Buah dan Biji

    Warna buah kakao sangat beragam, tetapi pada dasarnya hanya ada dua macam warna. Buah yang

    ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna kuning.

    Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak berwarna jingga (oranye).

    Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan

    trinitario alur kelihatan jelas. Kulit buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya,

    pada tipe forasero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata); kulitnya tipis, tetapi dan liat.

    Buah akan masak setelah berumur enam bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari panjang 10

    hingga 30 cm, pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama perkembangan buah.

    Gambar : Buah Kakao akan masak setelah berumur enam bulan

    C. Fisiologi Tanaman Kakao

    1. Fotosintesis

    Habitat asli tanaman kakao adalah hutan tropis basah dan tumbuh di bawah naungan tanaman

    hutan. Di dalam teknik budidaya yang baik, sebagian sifat habitat aslinya tersebut masih

    dipertahankan, yaitu dengan memberi naungan secukupnya. Ketika tanaman masih muda, intensitas

    naungan yang diberikan cukup tinggi, selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin

    tuanya tanaman atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia.

    Pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree), laju fotosintesis

    optimnum berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70%. Tanaman penaung berperan sebagai

    penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal,

    seperti kesuburan tanah rendah serta musim kemarau yang tegas dan panjang.

  • 7

    2. Perkembangan Akar

    Pada awal perkembangan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur satu

    minggu, mencapai 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga bulan. Setelah itu laju

    pertumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50 cm memerlukan waktu dua tahun.

    Kedalaman akar tunggang menembus tanah dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada

    tanah yang dalam dan berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 1,5 m.

    Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan keras, maupun air

    tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar tunggang akan membelah diri

    menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris (mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang

    dijumpai terlalu besar, sebagian akar lateral mengambil alaih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke

    bawah. Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang sama sekali.

    3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pembungaan Kakao

    Pembungaan tanaman kakao sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan faktor lingkungan

    (iklim). Pada lokasi tertentu, pembungaan sangat terhambat oleh musim kemarau atau oleh suhu

    dingin. Namun, di lokasi yang curah hujannya merata sepanjang tahun serta fluktuasi suhunya kecil,

    tanaman akan berbunga sepanjang tahun.

    D. Kesesuaian Lahan Kakao

    Kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara

    baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan

    variasi kecil, curah hujan tahunan tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan

    intensitas cahaya matahari rendah (Muray, 1975).

    Kakao saat ini bukan hanya tanaman perkebunan besar tetapi telah menjadi tanaman rakyat. Di

    Indonesia, menurut data statistik tahun 2002, luas areal kakao telah mencapai lebih dari 777.900 hektar.

    Kakao tersebut tersebar dalam lahan yang beragam dan tingkat produktivitasnya yang sangat beragam.

    Seperti tanaman pertanian lainnya, kako dapat berproduksi tinggi dan menguntungkan jika diusahakan

    pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat

    produktivitas kakao.

    1. Iklim

    Sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah

    hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan memengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang

    tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap

    produksi kakao.

    Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat

    tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi

    merata sepanjang tahun.

    2. Tanah dan Topografi

    Sifat-sifat tanah yang memengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman adalah sifat fisik, kimia, dan

    biologi tanah. Sifat kimia tanah meliputi kadar unsur hara mikro dan makro tanah, kejenuhan basa,

    kapasitas pertukaran kation, PH atau keasaman tanah, dan kadar bahan organik relatif mudah

    diperbaiki dengan teknologi yang ada. Sementara itu, sifat tanah yang meliputi tekstur, struktur,

    konsistensi, kedalaman efektif tanah (slum), dan akumulasi endapan suatu (konkresi) relatif sulit

    diperbaiki meskipun teknologi perbaikannya telah ada.

  • 8

    Sifat biologi tanah belum menjadi pertimbangan dalam melakukan penilaian kesesuaian lahan,

    karena hubungannya belum banyak diketahui secara pasti. Secara tidak langsung sifat tersebut

    mempengaruhi pertumbuhan tanaman.

    Keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus

    berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya

    netral, agak asam, atau agak basa.

    Tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi, yaitu di atas 3%. Kadar bahan

    organik yang tinggi akan memperbaiki struktur tanah, biologi tanah, kemampuan penyerapan

    (absorpsi) hara, dan daya simpan lengas tanah. Tingginya kemampuan absorpsi menandakan bahwa

    daya pegang tanah terhadap unsur-unsur hara cukup tinggi dan selanjutnya melepaskannya untuk

    diserap akar tanaman. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah kurang dari 15%.

    Suhu udara harian idealnya sekitar 28C, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah tingkat kesesuaiannya.

    III. BUDIDAYA TANAMAN KAKAO

    A. Perbanyakan secara Generatif

    Perbanyakan secara generatif akan menghasilkan tanaman kakao semaian dengan batang utama

    orototrop (pertumbuhan cabang atau tunas yang mengarah keatas) yang tegak, mempunyai rumus daun

    3/8, dan pada umur tertentu akan membentuk perempatan (jorquet) dengan cabang-cabang pagiotrop

    yang mempunyai rumus 1/2 . Rumus daun 3/8 artinya sifat duduk daun seperti spiral dengan letak duduk

    daun pertama sejajar dengan daun ketiga pada jumlah daun kedelapan. Sementara itu, rumus daun

    setengah artinya sifat duduk daun berseling dengan letak daun pertama sejajar kembali setelah daun

    kedua.

    Perbanyak generatif bisa dilakukan dengan dua cara, yakni secara bauatan (hand pollination) dan alami

    (open pollination). Perbanyakan secara buatan dilakukan dengan menyilangkan dengan tangan antara dua

    tanaman kakao. Serbuk sari jantan tanaman kakao ditempelkan pada kepala putik tanaman kakao lainnya.

    Sementara itu, perbanyakan secara alami biasanya dilakukan oleh lalat yang menempelkan serbuk sari

    jantan pada kepala putik tanaman kakao lainnya di kebun benih hibrida yang telah dirancang tanaman

    dan pola tanamnya.

    B. Perbanyakan secara Vegetatif

    Bahan yang digunakan untuk perbanyakan secara vegetatif bisa berupa akar, batang, cabang, bisa juga

    daun. Sampai saat ini bagian vegetatif tanaman kakao yang banyak digunakan sebagai bahan tanam untuk

    perbanyakan vegetatif adalah batang atau cabang yang disebut dengan entres (kayu okulasi). Ciri entres

    yang baik antara lain tidak terlalu muda atau tua, ukurannya relatif sama dengan batang bawah, tidak

    terkena penyakit penggerek batang, dan masih segar.

    Perbanyakan vegetatif tanaman kakao dapat dilakukan dengan cara okulasi, setek, atau kultur jaringan.

    Perbanyakan vegetatif yang lazim dilakukan adalah dengan okulasi, karena penyetekan masih sulit

    dilakukan di tingkat pekebun. Sementara itu, perbanyakan secara kultur jaringan masih dalam penelitian.

    Okulasi dilakukan dengan menempelkan mata kayu pada batang kayu bawah yang telah disayat kulit

    kayunya dengan ukuran tertentu, diikat, dan dipelihara sampai menempel dengan sempurna walaupun

    tanpa ikatan lagi.

    Tanaman kakao hasil perbanyakan vegetatif memiliki bentuk pertumbuhan yang sesuai dengan entres

    yang digunakan. Jika entres berasal dari cabang plagiotrop, pertumbuhan tanaman yang dihasilkan akan

    seperti cabang plagiotrop dengan bentuk pertumbuhan seperti kipas.

  • 9

    Perbanyakan vegetatif akan menghasilkan tanaman yang secara genetis sama dengan induknya sehingga

    akan diperoleh tanaman kakao yang produktivitas serta kualitasnya seragam. Karena itu, penggunaan

    bahan tanam vegetatif yang berasal dari klon-klon kakao yang sudah teruji keunggulannya akan lebih

    menjamin produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan.

    Perbanyakan tanaman kakao secara vegetatif telah lama dilakukan pada tanaman kakao mulia dengan

    cara okulasi dan menggunakan bahan tanam beru[pa entres klon-klon unggul dari jenis DR 1, DR 2, dan DR

    38. Perbanyakan vegetatif dengan cara okulasi dapat dilakukan pada tanaman kakao lindak dengan

    menggunakan bahan tanam berupa entres (kayu okulasi) klon-klon kakao lindak unggul.

    C. Metode Okulasi

    Tempelan mata okulasi lazimnya dilakukan pada ketinggian 10-20 cm dari permukaan tanah. Sisi batang

    bawah yang dipilih sebaiknya bagian yang terlindung dari kemungkinan kerusakan oleh faktor-faktor luar.

    Jika cuaca mendukung keberhasilan okulasi dan kemungkinan penyebab kegagalan sangat kecil sebaiknya

    dipilih bagian yang paling rata atau halus. Jika okulasi dilaksanakan di pembibitan dan jarak antar bibit

    cukup rapat, lebih tepat jika letak tempelan di sisi yang sama untuk mempermudah pengamatan dan

    pemeliharaan.

    Metode okulasi cukup beragam. Metode yang digunakan di suatu tempat mungkin berbeda dengan

    tempat lain karena disesuaikan dengan iklim, pengalaman dan keterampilan pelaksana, serta hasil yang

    diperoleh. Beberapa metode okulasi bisa diuraikan sebagai berikut :

    1. Metode Modifikasi Forket

    Metode ini banyak digunakan untuk okulasi kakao karena telah terbukti memberi banyak keuntungan

    seperti mudah, cepat dan hasilnya tinggi. Urutan metode ini sebagai berikut :

    Menyiapkan Batang Bawah

    Kulit kayu ditoreh dari atas, lebar 1,5 cm panjang sekitar 5 cm. Kulit kayu ini disayat dengan sudut

    45. Caranya, kulit ditekan pada pisau dengan jari telunjuk sambil ditarik ke atas sampai ujung torehan.

    Menyiapkan Mata Okulasi

    Dibuat sayatan dari bawah ke atas. Batas bawah sekitar 3 cm dari mata. Sayatan dibuat dengan

    mengikutsertakan sebagian kayu, lebar 2 cm batas atas sekitar 3 cm dari mata. Kayu diangkat

    dengan hati-hati dari ujung ke pangkal. Selanjutnya dibuat potongan mata okulasi dengan

    panjang sekitar 4 cm dan lebar 1,5 cm.

    Menempelkan Mata Okulasi

    Lidah kulit batang bawah diangkat, kemudian mata tunas disisipkan ke dalamnya. Harus

    diusahakan tepi mata tunas bersinggungan dengan tepi kulit batang bawah. Selanjutnya lidah

    kulit ditutupkan ke mata-mata tunas dan diikat. Pengikatan dari bawah ke atas membentuk

    susunan seperti genteng. Arah bukaan kulit batang bawah bisa dari atas ke bawah, tetapi

    risikonya jika pengikatan tidak rapat, mata tunas sering busuk karena tergenang air hujan.

    Dua minggu kemudian dilakukan pengamatan terhadap hasil okulasi dengan cara membuka tali,

    mengangkat lidah kulit bawah tanah, dan menusukkan pisau atau kuku ke kulit mata okulasi, jika

    mata okulasi masih berwarna hijau berarti okulasi jadi, tetapi jika berwarna cokelat berarti

    okulasi gagal. Segera setelah pengamatan ini, dilakukan pengulangan terhadap okulasi yang

    gagal, yakni di sisi lainnya.

    Perlakuan selanjutnya untuk okulasi yang jadi adalah memotong lidah kulit pada batas di atas

    mata dan menoreh kulit batang di atas tempelan utnuk memacu bertunasnya mata okulasi. Dua

    minggu kemudian setelah mata okulasi kelihatan membesar (metir), batang bawah

    dilengkungkan dengan cara menyayat batangnya di atas tempelan. Bentuk pemeliharan yang

    diperlukan adalah membuang tunas-tunas yang tumbuh selain tunas mata okulasi, melindungi

    tunas baru dari hama dan penyakit, serta melakukan penyiraman dan pemupukkan.

  • 10

    Pemotongan batang bawah yang dilengkungkan ini dilakukan setelah tunas okulasi cukup kuat

    dan memiliki paling sedikit delapan lembar daun yang telah berkembang.

    2. Metode T atau T-Budding

    Metode T ini digunakan secara luas dalam budidaya tanaman buah-buahan. Persyaratan umum

    okulasi metode ini adalah diameter batang sudah mencapai 6-25 mm dan pertumbuhan batang

    bawahcukup aktif, sehingga kulit batang mudah sekali dilepaskan dari bagian kayunya. Urutan kerja

    metode ini sebagai berikut :

    Menyiapkan batang Bawah

    Dibuat irisan vertikal dengan panjang 2,5 cm. Selanjutnya dibuat irisan horisontal di ujung atas

    irisan vertikal dengan lebar sekitar 1/3 lingkaran batang. Untuk membuka kulit, sebaiknya pisau

    agak dicongkelkan.

    Menyiapkan Mata Okulasi

    Dibuat sayatan kulit bersama sebagian kayu dari 3 cm di bawah mata sampai 3 cm di atas mata.

    Dibuat potongan mendatar 2 cm di atas mata hinga menembus kulit dan kayu untuk

    memudahkan pengambilan mata. Kayu menempel pada mata dilepas dari ujung ke pangkal.

    Menyisipkan Mata

    Potongan mata disisipkan di bawah kulit batang bawah sampai batas atas dari mata dan torehan

    batang bawah bertautan setelah itu diikat erat.

    3. Metode T terbalik

    Metode ini lazimnya dilakukan jika okulasi dilaksanakan pada musim hujan guna mencegah genangan

    air pada mata. Di samping itu metode ini dapat digunakan pada tanaman yang banyak mengandung

    getah karena memungkinkan penghentian mengalirnya getah agar tidak mengganggu mata okulasi.

    Pelaksanaan metode ini sama dengan metode T. hanya, dalam menyisipkan mata dilakukan dari

    bawah ke atas. Satu hal yang perlu diperhatikan adalah mata okulasi tidak sampai terbalik melawan

    polaritas tanaman. Meskipun tunas okulasi terbalik tetap bisa tumbuh pertumbuhan dan

    keguanannya kurang menguntungkan.

    4. Metode Jendela (Patch Budding)

    Metode jendela membutuhkan waktu lebih lama dan lebih sukar dibandingkan dengan beberapa

    metode di atas, serta memerlukan batang bawah yang diameternya besar. Di samping itu, dalam

    metode ini luas bidang luka yang terjadi cukup besar, sehingga kemungkinan untuk berhasil menjadi

    lebih kecil. Sehubungan dengan beberapa kelemahan tersebut metode ini jarang diaplikasikan pada

    budidaya tanaman kakao.

    D. Manajemen Pembibitan Kakao

    Dalam uraian berikut akan diberikan contoh kebutuhan benih, bibit, dan luas areal tempat pembibitan

    yang perlu disiapkan untuk rencana luas areal tertentu. Angka-angka yang dicantumkan bukan patokan

    mati, tapi hanya merupakan gambaran yang dapat dipakai sebagai acuan.

    1. Kebutuhan Bibit Kakao untuk Areal Pertanaman 1 Ha

    Tanah datar, jarak tanam 3 x 3 m = 1.111 pohon

    Persediaan sulaman 20% = 222 pohon

    Jumlah = 1.333 pohon atau 1.300 pohon (dibulatkan)

    Bibit apkir 20% sehingga bibit yang harus disiapkan di pembibitan = 100/80 x 1.300 pohon =

    1.625 pohon

  • 11

    Tanah miring, jarak tanam 4 x 2,5 m = 1.000 pohon

    Persediaan sulaman 20% = 200 pohon

    Jumlah = 1.200 pohon

    Bibit apkir 20%, sehingga yang harus disiapkan di pembibitan = 100/80 x 1.200 pohon =

    1.500 pohon

    2. Kebutuhan Benih Kakao untuk Areal Pertanaman 1 Ha

    Asumsi : daya kecambah benih 90%, jumlah kecambah yang dapat dipindahkan 95%, dan jumlah bibit

    yang dapat ditanam 80%. Jadi, kebutuhan benih kakao = 100/90 x 100/95 x 100/80 x Y = 1,46 Y (Y =

    jumlah bibit kakao yang dibutuhkan).

    Tanah datar, jarak tanam 3 x 3 m, kebutuhan benih 1.300 biji

    Kebutuhan benih = 1,46 x 1.300 biji = 1.898 atau 1.900 butir

    Tanah miring, jarak tanam 4 x 2,5 m, kebutuhan benih 1.200 benih

    Kebutuhan benih = 1,46 x 1.200 biji = 1.752 atau 1.800 butir

    3. Kebutuhan Areal Pembibitan untuk Areal Pertanaman 1 Ha

    Luas areal pembibitan yang efektif adalah 60% dari luas tanah yang harus disiapkan.

    Jarak bibit (kantong plastik) = 15 x 15 cm = 44,44 bibit/m atau 45 bibit (dibulatkan). Jarak tanam 3 x 3 m, sehingga memerlukan bibit 1.625 pohon.

    Kebutuhan luas tanah pembibitan = 100/60 x 1.625/45 x 1 m = 60,185 m atau 60 m Jarak tanam 4 x 2,5 m memerlukan bibit 1.500 pohon. Kebutuhan luas tanah pembibitan = 100/60 x 1.500/45 x 1 m = 55,56 m atau 56 m

    E. Pola Tanaman dan Tumpang Sari

    Usaha tani kakao selalu menghadapi resiko kegagalan panen akibat serangan hama dan penyakit serta

    kondisi musim yang tidak mendukung produksi. Fluktuasi harga biji juga kadang menyebabkan pekebun

    kakao menderita kerugian besar. Laju peningkatan faktor input yang pelan tetapi pasti, suatu saat tidak

    bisa diimbangi oleh peningkatan harga jual produk. Konsekuensinya adalah pekebun selalu menyesuaikan

    penggunaan faktor input pada tingkat yang optimal. Padahal tindakan ini berisiko menurunkan kesehatan

    tanaman dan tingkat produksi.

    Risiko kegagalan usaha tersebut dapat ditekan dengan menerapkan diversifikasi (penganekaragaman)

    tanaman. Dalam budidaya kakao, peluang melakukan diversifikasi horizontal cukup luas karena tanaman

    ini toleran terhadap penaungan. Pemakaian pohon penaung yang produktif serta tanaman sela yang tepat

    merupakan bentuk diversifikasi yang sebaiknya dikembangkan.

    Satu-satunya cara meningkatkan produktivitas di lahan kering adalah dengan tumpang sari

    (intercropping). Tumpang sari menjamin berhasilnya penanaman menghadapi iklim yang tidak menentu,

    serangan hama dan penyakit, serta fluktuasi harga.

    Selain itu, dengan pola ini distribusi tenaga kerja dapat lebih baik sehingga sangat berguna untuk daerah

    yang padat tenaga. Luas lahan pertanian terbatas, serta modal untuk membeli sarana produksi juga

    terbatas. Dengan kata lain, usaha tumpang sari bearti meminimalkan risiko dan memaksimalkan

    keuntungan.

    Antar individu tanaman dan antar jenis tanaman yang diusahakan secara tumpang sari terjadi interaksi

    dalam mencari faktor tumbuh cahaya, air, dan unsur hara. Interaksi ini sering disebut dengan kompetisi

    (persaingan). Kompetisi akan lebih parah jika salah satu jenis tanaman mengeluarkan zat beracun atau

    sebagai inang hama dan penyakit.

    Keragaman penyebaran serta aktivitas sistem perakaran juga menjadi penyebab kopetisi. Dengan begitu,

    persaingan tersebut sangat kompleks dan merupakan kumpulan dari semua proses yang mengakibatkan

  • 12

    tidak meratanya penyebaran faktor tumbuh antar individu tanaman. Memperhatikan faktor penyebab

    kompetisi dan untuk menghindari dampak negatif yang ditimbulkannya, pemilihan jenis tanaman yang

    diusahakan dalam tumpang sari merupakan langkah awal yang sangat penting.

    Pengaturan jarak tanam dalam tumpang sari merupakan hal yang sangat penting karena berkaitan

    langsung dengan tingkat tersedianya energi matahari dan sebaran sistem perakaran. Mengingat

    konsentrasi perakaran kelapa terletak pada radius 2 m dari pokok pohon, maka jarak minimum tanaman

    kakao dari pokok kelapa adalah 3 m. Walaupun akar lateral tanaman kakao tumbuh ke samping sampai

    batas tajuk tanaman, tetapi distribusi akar yang terbanyak sampai jarak 90-120 cm dari pokok tanaman.

    Thong dan Ng juga menyatakan 89% akar lateral kakao terdapat dalam radius 92 cm dari pokok pohon.

    Karena itu jarak kakao ke tanaman kelapa selebar 3 m tersebut dipandang cukup optimal. Selain aspek

    dari sistem perakaran, persaingan dalam pengunaan cahaya matahari juga perlu mendapat perhatian

    besar. Jarak tanam kelapa monokoltur yang optimum adalah 8 x 8 m (156 pohon/ha) atau 9 x 9 m (123

    pohon/ha). Dengan jarak tanam tersebut populasi kelapa dianggap terlalu banyak untuk pola tanam

    tumpang sari. Jika tanaman kelapa telah terlanjur ditanam dengan jarak tanam yang normal, pekebun

    dapat memotong beberpa pelepahnya untuk mendapatkan intensitas cahaya yang cukup bagi kakao.

    Dalam pola tanam tumpang sari, jadwal tanam memegang peranan penting karena melibatkan banyak

    tanaman yang menghendaki syarat tumbuh yang berbeda. Karena sifat fisiologis tanaman kakao

    menghendaki naungan sebelum ditanam pohon pelindung harus sudah berfungsi baik. Peranan pohon

    pelindung (penaung) bagi tanaman kakao muda sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan awal dan

    produksi.

    Untuk mendapatkan pelindung yang cukup, minimum satu tahun sebelum bibit kakao dipindahkan ke

    kebun, bibit kelapa harus ditanam. Lebih baik lagi jika kelapa ditanam 3-4 tahun sebelumnya.

    Penanaman kelapa yang lebih awal bertujuan agar pertumbuhan tajuk kelapa tidak mengganggu

    pertumbuhan kakao.

    Penaung sementara Gliricidia sp ditanam bersamaan dengan tanam kelapa atau satu tahun sebelum

    menanam sebelum menanam kakao. Gliricidia sp diperlakukan sebagai tanaman penaung sementara

    karena nantinya akan dibongkar setelah tajuk kelapa berfungsi optimal.

    Pertumbuhan cabang Gliricedia sp perlu diatur sehingga memberikan perlindungan yang cukup. Pada

    umur tiga bulan, cabang Gliricedia sp cukup disisakan 3-4 cabang yang arah pertumbuhannya ke atas.

    Setelah bibit kakao ditanam, tanaman penaung Gliricidia sp perlu dikurangi percabangannya setiap tiga

    bulan dengan meninggalkan tiga cabang dan menyisakan satu cabang ketika kakao berumur sembilan

    bulan. Setelah kakao mulai berbunga (umur 18 bulan) populasi Gliricidia sp dikurangi setengahnya.

    Setelah kakao berumur empat tahun, semua Gliricidia sp yang masih tersisa dimusnahkan karena

    tanaman kelapa telah berfungsi baik sebagai penaung.

    * * *

    1 1 1 1 1 1 1

    1 1 1 1 1 1 1

    1 1 1 1 1 1 1

    * * *

    1 1 1 1 1 1 1

    1 1 1 1 1 1 1

    1 1 1 1 1 1 1

    * * *

    * : Kelapa, Jarak tanam 9 m x 9 m, populasi 123 pohon/ha

    1 : Kakao, Jarak tanam 3 m x 3 m, populasi 1.100 pohon/ha

    Gambar : Bagan tata tanam akhir kakao dan kelapa yang memerlukan pengaturan

    pada pelepah kelapa dewasa

  • 13

    * * *

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    * * *

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    0 0 0 0 0 0 0 0

    * * *

    * : Kelapa, Jarak tanam 12 m x 12 m, populasi 169 pohon/ha

    0 : Kakao, Jarak tanam 3 m x 2 m, populasi 1.667 pohon/ha

    Gambar : Bagan tata tanam akhir kakao dan kelapa secara standar

    IV. PENGOLAHAN KAKAO

    Proses pengolahan buah kakao menentukan mutu produk akhir kakao, karena dalam proses ini terjadi

    pembentukan calon citarasa khas kakao dan pengurangan citarasa yang tidak dikehendaki, misalnya rasa pahit

    dan sepat.

    Mengingat pentingnya arti pengolahan terhadap mutu biji kakao kering, maka para produsen hendaknya

    mengusahakan agar biji kakaonya diolah dengan baik untuk memperoleh harga yang lebih tinggi dan

    memperkuat daya saingnya di pasaran.

    Proses pengolahan biji kakao terdiri dari 2 metode :

    a. Metode Konvensional

    b. Metode Sime Cadbury

    Pada prinsipnya kedua metode tersebut tidak terlalu berbeda, tetapi khusus pada kakao lindak dengan

    metode konvensional dihasilkan biji kakao yang mempunyai tingkat keasaman lebih tinggi sedangkan citarasa

    khas kakao relatif lebih rendah. Untuk mengatasinya disarankan mengolah biji kakao dengan metode Sime

    Cadbury dan ini dapat dilaksanakan pada perusahaan besar (PTP dan PBS)

  • 14

    Tahapan-tahapan proses pengolahan kakao terlihat pada skema berikut :

    SKEMA PENGOLAHAN KAKAO

    METODE

    KONVENSIONAL

    Catatan : Sebagian produsen tidak melakukan

    pencucian/penutasan

    PANEN

    SORTASI

    PEMECAHAN BUAH

    FERMENTASI

    PANEN

    SORTASI

    PEMECAHAN

    FERMENTASI

    PEMERAMAN

    BUAH 5-12 HARI

    PENCUCIAN

    PENUTASAN

    PENJEMURAN

    SORASI

    PENYIMPANAN

    PENGERINGAN

    ALAT/BUATAN

    PENJEMURAN

    SORASI

    PENYIMPANAN

    PENGHEMBUSAN

    PENGHEMBUSAN

  • A. Pemeraman

    Pemeraman buah bertujuan, untuk memperoleh keseragaman kematangan buah dan memudahkan

    pengeluaran biji dari buah kakao.

    Caranya : buah dimasukkan ke dalam keranjang rotan atau sejenisnya

    dengan alas daun-daunan dan permukaan tumpukan ditutup dengan daun

    Pemeraman dilakukan di tempat yang teduh lamanya sekitar maksimum 1 minggu.

    Gambar : Pemerama

    B. Pemecahan Buah

    Pemecahan atau pembelahan buh kkao harus dilakukan secara hati

    merusak biji kakao.

    Caranya :

    1. Buah dipecah dengan menggunakan parang pemukul kayu atau

    2. Biji kakao dikeluarkan, sedangkan empulur yang melekat pada biji dibuang;

    3. Biji kakao yang sudah dikeluarkan dimasukkan ke dalam ember plastik atau tempat lain yang bersih;

    4. Harus dihindarkan kontak biji kakao dengan benda

    kakao menjadi kelabu.

    Gambar : Cara membelah buah dengan menggunakan parang

    Pemeraman buah bertujuan, untuk memperoleh keseragaman kematangan buah dan memudahkan

    pengeluaran biji dari buah kakao.

    Caranya : buah dimasukkan ke dalam keranjang rotan atau sejenisnya disimpan di tempat yang bersih

    daunan dan permukaan tumpukan ditutup dengan daun-daunan.

    Pemeraman dilakukan di tempat yang teduh lamanya sekitar maksimum 1 minggu.

    Gambar : Pemeraman buah di dalam keranjang rotan

    Gambar : Pemeraman buah kakao di kebun dengan penutup daun kakao kering

    Pemecahan atau pembelahan buh kkao harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai melukai atau

    Buah dipecah dengan menggunakan parang pemukul kayu atau memukulkan buah satu sama lainnya;

    Biji kakao dikeluarkan, sedangkan empulur yang melekat pada biji dibuang;

    Biji kakao yang sudah dikeluarkan dimasukkan ke dalam ember plastik atau tempat lain yang bersih;

    Harus dihindarkan kontak biji kakao dengan benda-benda logam, karena dapat menyebabkan warna

    kakao menjadi kelabu.

    Gambar : Cara membelah buah dengan menggunakan parang

    15

    Pemeraman buah bertujuan, untuk memperoleh keseragaman kematangan buah dan memudahkan

    disimpan di tempat yang bersih

    daunan.

    Pemeraman dilakukan di tempat yang teduh lamanya sekitar maksimum 1 minggu.

    Gambar : Pemeraman buah di dalam keranjang rotan

    n buah kakao di kebun dengan penutup daun kakao kering

    hati, jangan sampai melukai atau

    memukulkan buah satu sama lainnya;

    Biji kakao dikeluarkan, sedangkan empulur yang melekat pada biji dibuang;

    Biji kakao yang sudah dikeluarkan dimasukkan ke dalam ember plastik atau tempat lain yang bersih;

    benda logam, karena dapat menyebabkan warna

    Gambar : Cara membelah buah dengan menggunakan parang

  • Gambar : Cara memecahkan buah kakao dengan memukulkan sesama buah kakao

    Gambar : Cara memecahkan buah kakao dengan memukulkan ses

    C. Fermentasi

    Tujuan fermentasi adalah :

    1. Mematikan lembaga

    2. Menghancurkan pulp

    3. Menimbulkan aroma (membentuk calon aroma)

    4. Memperbaiki warna biji

    Wadah/alat fermentasi yang diperlukan :

    1. Kotak pemeraman yang berlubang atau keranjang bambu

    2. Daun pisang

    3. Karung goni

    Gambar : Cara memecahkan buah kakao dengan memukulkan sesama buah kakao

    Gambar : Cara memecahkan buah kakao dengan memukulkan sesama buah kakao

    Tujuan fermentasi adalah :

    Menimbulkan aroma (membentuk calon aroma)

    Memperbaiki warna biji

    Wadah/alat fermentasi yang diperlukan :

    Kotak pemeraman yang berlubang atau keranjang bambu

    16

    Gambar : Cara memecahkan buah kakao dengan memukulkan sesama buah kakao

    ama buah kakao

  • 17

    Caranya :

    1. Fermentasi dengan kotak/peti fermentasi :

    a. Biji kakao dimasukkan ke dalam kotak fermentasi yang berukuran panjang 60 cm, lebar 60 cm

    dan tinggi 40 cm (kotak menampung 100 kg biji kakao basah) dan ditutup dengan karung

    goni/daun pisang

    b. Pada hari ke-3 (setelah 48 jam) diadakan pembalikan agar fermentasi biji merata.

    c. Pada hari ke-6 biji-biji kakao dikeluarkan dari kotak fermentasi dan siap untuk dijemur.

    Gambar : Fermentasi dengan peti/kota fermentasi berlubang

    2. Fermentasi dengan keranjang

    a. Sebelum biji kakao dimasukkan keranjang, terlebih dahulu keranjang dibersihkan dan dialasi

    dengan daun pisang (keranjang menampung 50 kg kakao basah).

    b. Setelah biji kakao dimasukkan keranjang ditutup dengan daun pisang.

    c. Pada hari ke-3 diadakan pembalikkan biji dan pada hari ke-6 biji-biji dikeluarkan dan siap untuk

    dijemur.

    Gambar : Fermentasi biji kakao dengan keranjang bambu yang dilapisi daun untuk wadah fermentasi

    kakao

    3. Fermentasi dengan mempergunakan alas daun pisang

    a. Daun pisang diletakkan di atas ranting-ranting kayu

    b. Kemudian biji kakao ditumpuk sekitar 40 cm dan ditutup lagi oleh daun

    c. Pada hari ke-3 (setelah 48 jam) biji-biji kakao dipindahkan pada alas daun pisang segar di tempat

    yang baru

    d. Tumpukan difermentasi selama 5 hari

    Gambar : Fermentasi biji kakao di atas daun pisang

  • 18

    D. Perendaman dan Pencucian

    Proses ini tidak mutlak dilakukan tergantung kebiasaan dan permintaan konsumen. Tujuan perendaman

    dan pencucian adalah menghentikan proses fermentasi dan memperbaiki kenampakan biji. Biji yang tidak

    dicuci memberikan kenampakan yang kurang menarik, sedang pencucian bersih meningkatkan jumlah biji

    pecah dan mengurangi rendaman. Dalam hal ini disarankan agar melakukan pencucian setengah bersih,

    cara ini dapat memperbaiki kenampakan fisik, mempercepat pengeringan tanpa terlalu banyak

    menurunkan rendaman.

    Sebelum pencucian dilakukan perendaman 3 jam untuk meningkatkan jumlah biji bulat dengan

    kenampakan menarik dan warna coklat cerah. Pencucian dapat dilakukan secara manual (dengan tangan)

    atau menggunakan mesin cuci.

    E. Pengeringan biji kakao

    Tujuan pengeringan adalah menurunkan kandungan air biji basah dari sekitar 60% menjadi 7,5%.

    Pengeringan biji kakao ada 3 cara yaitu dengan penjemuran pada sinar matahari, memakai alat

    pengeringan dan kombinasi keduanya.

    1. Penjemuran dengan sinar matahari

    a. Biji kakao dijemur di atas balai bambu dengan ketinggian 1 m dari tanah atau di atas alas

    tikar/sesek bambu.

    b. Tebal lapisan/komponen biji 3 cm

    c. Biji kakao dibalik setiap 1-2 jam sekali supaya pengeringan merata.

    d. Lama penjemuran tergantung keadaan cuaca dan tebalnya hamparan biji, biasanya berlangsung

    7-10 hari.

    Gambar : Penjemuran biji kakao

    2. Pengeringan dengan alat pengering buatan

    a. Alat pengering yang biasa digunakan adalah rancangan BPP-Bogor (Stasioner dan mobil)

    b. Kapasitas unit pengering stasioner : 25-35 kg biji kakao basah.

    c. Tebal lapisan-lapisan 10-20 cm.

    d. Biji kakao setiap 1-2 jam dibalik supaya pengeringan merata

    e. Lama pengeringan dengan 48 jam dengan suhu 55-60 c.

  • 19

    3. Kombinasi pengeringan dengan sinar matahari dan alat pengering buatan

    a. Biji kakao terlebih dahulu dijemur dengan sinar matahari selama dua hari

    b. Kemudian dimasukkan ke dalam alat pengering sampai diperoleh kadar air 7,5%

    Cara menentukan selesainya proses pengeringan biji kakao adalah :

    1. Melihat kekerasan kulit/keping biji, biji kakao yang sudah kering mudah patah/rapuh apabila

    ditekan antara ibu jari dan telunjuk

    2. Menggunakan alat pengukur kadar ai

    F. Sortasi

    1. Sortasi biji kakao kering dimasukkan untuk memisahkan antara biji baik dan cacat yang berupa : biji

    pecah, kotoran atau benda asing lainnya (batu, kulit dan daun-daunan)

    2. Sortasi dilakukan setelah 1-2 hari dikeringkan agar kadar air seimbang, sehingga biji tidak terlalu

    rapuh dan tidak mudah rusak

    3. Sortasi dilakukan dengan ayakan yang dapat memisahkan biji kakao dari kotoran-kotoran

    G. Pengemasan dan Penyimpanan Biji

    1. Biji kakao dikemas dengan baik di dalam wadah bersih dan kuat, biasanya menggunakan karung goni

    dan tidak dianjurkan menggunakan karung plastik

    2. Biji kakao jangan disimpan dengan produk pertanian lainnya yang berbau keras, karena biji kakao

    dapat menyerap bau-bauan tersebut

    3. Biji kakao jangan disimpan di atas para-para dapur, karena dapat mengakibatkan biji kakao berbau

    asap

    4. Biji kakao disimpan dalam ruangan, dengan kelembaban tidak melebihi 75%, ventilasi cukup dan

    bersih

    5. Antara lantai dan alas wadah diberi jarak 8 cm dan dari dinding 60 cm

    6. Biji kakao dapat disimpan 3 bulan.

    H. Standarisasi

    Standar mutu biji kakao disusun sebagai pedoman pengolahan biji kakao pada tingkat petani, sebagai

    dasar penetapan harga pada tingkat petani/produsen dan dapat menjamin serta memenuhi kepentingan

    produsen, kalangan dagang maupun industri pengguna.

    Tabel. Standar Nasional Biji Kakao

    (SNI 01 2333 2000)

    No. Karakteristik Mutu I Mutu II

    1 Jumlah biji/100 gr ** ** **

    2 Kadar air, % (b/b) maks 7,5 7,5 7,5

    3 Berjamur, % (b/b) maks 3 4 4

    4 Tak terfermentasi, % (b/b) maks 3 8 8

    5 Berserangga, hampa, berkecambah, % (b/b) maks 3 6 6

    6 Biji pecah, % (b/b) maks 3 3 3

    7 Benda asing, % (b/b) maks 0 0 0

    8 Kemasan kg, netto/karung 62,5 62,5 62,5

    Keterangan :

    ** Ukuran biji ditentukan oleh jumlah biji per 100 gr

    - AA jumlah biji per 100 gram maksimum 85

    - A jumlah biji per 100 gram maksimum 100

    - B jumlah biji per 100 gr maksimum 110

    - C jumlah biji per 100 gram maksimum 120

    - Sub standar jumlah biji per 100 gram maksimum > 120

  • 20

    DAFTAR PUSTAKA

    Anonimous, 1993, Pengolahan kakao, Direktorat Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian RI.

    Anonimus, 2004, Kakao (theobroma cacao L), Direktorat Jenderal Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian

    Departemen Pertanian RI.

    Anonimous, 2007, Prospek dan Arah Pembangunan Agrisbisnis Kakao, Badan Pengembangan dan Penelitian

    Pertanian (Indonesian Agency for Agricultural Research and Development), Departemen Pertanian RI

    Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2006, Panduan Lengkap Budidaya Kakao (Kiat mengatasi permasalahan

    praktis), PT. Agromedia Pustaka.

    Sri Mulato dkk, 2005, Pengolahan Produk Primer dan Sekunder Kakao, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia,

    Jember.

    Tjitrosoepomo, Gembong, 1988, Taksonomi Tumbuhan (Spermathopyta), Yogyakarta : Universitas Gadjah Mada.

    Tumpal H.S. Siregar dkk, 2006, Budidaya, Pengolahan dan Pemasaran Coklat, Penebar Swadaya Jakarta.

    Wood, G.A.R, 1975, Cocoa Tropical Agriculture Series, 3 Ed, London, Longmans.